1715 chapter ii
Embed Size (px)
DESCRIPTION
coastal analysis,TRANSCRIPT

BAB II
DASAR TEORI
2.1 UMUM
Dalam suatu perencanaan dibutuhkan pustaka yang dijadikan sebagai dasar
perencanaan agar terwujud spesifikasi yang menjadi acuan dalam perhitungan dan
pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Pada bab ini menyajikan teori-teori dari berbagai
sumber yang bertujuan untuk memperkuat materi pembahasan maupun sebagai dasar
untuk menggunakan rumus-rumus tertentu dalam perencanaan suatu konstruksi.
2.2 DASAR-DASAR PERENCANAAN
2.2.1 Bathimetri – Topografi
Untuk keperluan perencanaan reklamasi, sangat diperlukan peta bathimetri dan
topografi. Peta bathimetri diperlukan untuk:
• Menentukan volume material yang akan dipergunakan pada reklamasi
• Menghitung deformasi gelombang dalam rangka menentukan tinggi
gelombang rencana
• Menentukan tata letak (lay out) lahan reklamasi dan bangunan pelindung
• Menentukan volume bangunan pelindung lahan reklamasi
Sedangkan peta topografi diperlukan untuk :
• menghubungkan antara prasarana atau fasilitas yang terdapat dilahan
reklamasi dengan prasarana atau fasilitas yang terdapat di daratan induk
• Untuk menganalisis pengaruh reklamasi terhadap tata air yang terdapat di
daratan induk, misalnya peningkatan potensi banjir, dan gangguan terhadap
drainase perkotaan
Pengukuran bathimetri harus meliputi daerah disekitar perairan yang akan
dilakukan reklamasi, paling tidak meliputi perairan sejauh 500 sd 1000 m keluar dari
kawasan yang akan direklamasi. Hal ini memberikan keleluasaan pada perencanaan
dalam menentukan tata letak dan perhitungan deformasi gelombang. Bersama dengan
pelaksanaan pengukuran kedalaman perairan (laut) perlu dicatat pula waktu dan
pasang surut pada saat itu. Data hasil pengukuran kedalaman (dari echosounder)
harus dikoreksi dengan hasil pencatatan pasang surut pada jam yang sama, sehingga

8
RL = UW/UL ( Triatmodjo, hal : 154,1999) Dimana : UL = Kecepatan angin yang diukur di darat (m/dt)
UW = Kecepatan angin dilaut (m/dt)
RL = Tabel korelasi hubungan kecepatan angin di darat
dan di laut ( lihat gambar 2.1)
semua hasil pengukuran mempunyai datum yang sama, Pengukuran bathimetri dan
topografi harus menggunakan datum yang sama, disarankan menggunakan Chart
Datum. Pengukuran topografi dan bathimetri digabungkan dan digambar pada peta
dengan sekala 1:2000 sd 1:5000, atau sesuai dengan kebutuhan. Pada peta harus
tampak jelas garis pantai dengan elevasi + 0,00 m.
2.2.2 Angin
Angin yaitu sirkulasi udara yang kurang lebih sejajar dengan permukaan bumi.
Data angin yang didapat biasanya diolah dan disajikan dalam bentuk tabel atau
diagram yang disebut dengan mawar angin (wind rose).
Pada umumnya pengukuran angin dilakukan di daratan, sedangkan di dalam
rumus-rumus pembangkitan gelombang data angin yang digunakan adalah yang ada
di atas permukaan laut. Oleh karena itu diperlukan transformasi data angin di atas
daratan yang terdekat dengan lokasi studi ke data angin di atas permukaan laut.
Hubungan antara angin di atas laut dengan angin di atas daratan terdekat diberikan
rumus sebagai berikut ini.
Gambar 2.1. Grafik Hubungan Kecepatan Angin di Laut dan di Darat

9
Feff = ∑ Xi cos α1 / ∑ cos α1 ( Triatmodjo,hal: 155,1999) Dengan : Feff = Fetch rerata efektif
Xi = Panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelom
bang ke ujung akhir fetch
α1 = Sudut arah angin datang yang diukur dari arah tegak lurus garis
pantai
Dari kecepatan angin yang didapat, dicari faktor tegangan angin (wind stress
factor) dengan persamaan:
2.2.3 Fetch
Fetch adalah panjang daerah dimana gelombang dibangkitkan oleh angin yang
berhembus dengan kecepatan dan arah yang konstan. Didalam peninjauan
pembangkitan gelombang di laut, fetch dibatasi oleh daratan yang mengelilingi. Di
daerah pembangkitan,gelombang tidak hanya dibangkitkan oleh angin dengan arah
angin yang sama tetapi juga dalam berbagai sudut arah angin.
Gambar 2.2. Panjang Fetch
UA = 0,71 U 1.23 ( Triatmodjo, hal: 155,1999)
Dimana UA adalah kecepatan angin darat dalam m/dt
U adalah kecepatan angin laut dalam m/dt

10
2.2.4 Peramalan Gelombang Laut Dalam Berdasarkan wind stress factor pada sub bab 2.2.1 dan panjang fetch pada sub
bab 2.2.2, dilakukan peramalan gelombang di laut dalam dengan menggunakan grafik
peramalan gelombang, tinggi, durasi, dan periode gelombang signifikan dapat
diketahui dengan cara mencari titik potong antara nilai UA dengan panjang fetch yang
sudah diketahui, maka akan didapat nilai tinggi gelombang dan periode gelombang.
Berikut ini adalah grafik peramalan gelombang.
Gambar 2.3. Grafik Peramalan Gelombang

11
2.2.5 Gelombang
Gelombang di laut dapat dibedakan menjadi beberapa macam yang tergantung
pada daya pembangkitnya. Gelombang tersebut adalah gelombang angin, gelombang
pasang surut, dan gelombang tsunami, serta gelombang lainnya. Diantara beberapa
bentuk gelombang yang paling penting adalah gelombang angin dan gelombang
pasang surut. Pada umumnya bentuk gelombang sangat kompleks dan sulit
digambarkan secara matematis karena ketidak linierannya, tiga dimensi dan
bentuknya yang random. Ada beberapa teori yang menggambarkan bentuk gelombang
yang sederhana dan merupakan pendekatan dari alam. Teori yang paling sederhana
adalah teori gelombang linier. Menurut teori gelombang linier, gelombang
berdasarkan kedalaman relatifnya dibagi menjadi tiga yaitu deep water, transitional,
shallow water. Klasifikasi dari gelombang tersebut ditunjukan dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.1 Klasifikasi Gelombang Menurut Teori Gelombang Linier
Klasifikasi d/L 2π d/L tan h (2π d/L)
Deep Water > ½ >π ≈ 1
Transitional 1/25 s/d ½ ¼ s/d π tan h (2π d/L)
Shallow Water < 1/25 < ¼ ≈ 2π d/L Sumber : Shore Protection Manual (volume I ), hal: 2-9,1984
Sedangkan persamaan dari profil gelombang, cepat rambat gelombang, dan
panjang gelombang dari masing masing gelombang diberikan pada tabel 2.2 berikut.
Masing-masing penggunaan rumus harus disesuaikan dengan kriteria gelombang
tersebut apakah termasuk shallow water, transitional, atau deep water.

13
2.2.6 Deformasi Gelombang
Gelombang merambat dari laut dalam ke laut dangkal. Selama penjalaran
tersebut, gelombang mengalami perubahan-perubahan atau disebut deformasi
gelombang. Deformasi gelombang bisa disebabkan karena variasi kedalaman di
perairan dangkal atau karena terdapatnya penghalang/rintangan seperti struktur di
perairan.
2.2.6.a Gelombang Laut Dalam Ekivalen
Analisis transformasi gelombang sering dilakukan dengan konsep gelombang
laut dalam ekivalen yaitu tinggi gelombang di laut dalam jika tidak mengalami
refraksi. Tinggi gelombang laut dalam ekivalen diberikan dalam persamaan:
H’0 = K’Kr Ho ( Triatmodjo, hal:66, 1999)
Dimana :
H’0 = tinggi gelombang laut dalam ekivalen
Ho = tinggi gelombang laut dalam
K’ = koefisien difraksi
Kr = koefisien refraksi
2.2.6.b Waveshoaling dan Refraksi
Akibat dari pendangkalan ( waveshoaling ) dan refraksi ( berbeloknya
gelombang akibat perubahan kedalaman ) persamaan gelombang laut dapat menjadi:
H = KS KR HO
rOO
KHH
HH
'=
KrHH
O
O ='
H’O = Kr Ho (Triatmodjo, hal: 70,1999)
Dimana:
Ks = Koefisien Pendangkalan (Ks bisa didapat langsung dari tabel fungsi d/L
untuk pertambahan nilai d/Lo)
Kr = Koefisien refraksi
= αα
coscos 0

14
α0 = Sudut antara garis puncak gelombang dengan dasar dimana gelombang
melintas
α = sudut yang sama yang diukur saat garis puncak gelombang melintasi
kontur dasar berikutnya
Gambar 2.4 Refraksi gelombang
2.2.6.c Difraksi Gelombang
Apabila gelombang datang terhalang oleh suatu rintangan seperti pemecah
gelombang atau pulau, maka gelombang tersebut akan membelok disekitar ujung
rintangan dan masuk di daerah terlindung dibelakangnya, fenomena ini yang disebut
difraksi gelombang.
Hitungan difraksi gelombang ini adalah:
HA = K’ Hp
K’ = f ( θ, β, r/L ) (Triatmodjo, hal: 80, 1999)
Dimana :
HA = Tinggi gelombang dititik A
K’ = Perbandingan antara tinggi gelombang dititk yang terletak di
daerah terlindung dan tinggi gelombang datang
r = Jarak suatu titik terhadap suatu rintangan
θ = Sudut antara arah perjalanan gelombang dan rintangan
β = Sudut antara rintangan dan garis yang menghubungkan titik
tersebut dengan ujung rintangan

15
Gambar 2.5 Difraksi gelombang
2.2.6.d Gelombang Pecah
Gelombang yang merambat dari laut dalam menuju pantai mengalami
perubahan bentuk karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut. Gelombang
pecah dipengaruhi oleh kemiringannya, yaitu perbandingan antara tinggi dan
panjang gelombang. Dilaut dalam kemiringan gelombang maksimum di mana
gelombang mulai tidak stabil diberikan oleh bentuk berikut:
o
o
LH
= 71 = 0.142 Lo = Panjang gelombang
Jika kedalaman gelombang pecah (db) dan tinggi gelombang pecah Hb, maka
rumus untuk menentukan tinggi dan kedalaman gelombang pecah adalah
31)/(3,31
ooo LHHH
=
28,1=b
b
Hd
(Triatmodjo, hal: 94, 1999)
Parameter Hb/Ho’ disebut dengan indek tinggi gelombang pecah. Pada grafik 2.4
menunjukan hubungan antara Hb/Ho dan Hb/Lo untuk berbagai kemiringan dasar
laut. Sedang grafik 2.5 menunjukan hubungan antara db/Hb dan Hb/gT2 untuk
berbagai kemiringan dasar. Grafik 2.5 ditulis dalam rumus sebagai berikut:
)/(
12gTaHbH
d
bb
b
−= (Triatmodjo, hal: 95, 1999)
Dimana a dan b merupakan fungsi kemiringan pantai m dan diberikan oleh
persamaan berikut:

16
a = 43,75 ( 1 – e-19m ) b = )1(
56,15,19 me−+
(Triatmodjo, hal: 95, 1999)
Gambar 2.6 Penentuan Tinggi gelombang Pecah ( Hb )
Gambar 2.7 Penentuan Kedalaman Gelombang Pecah ( db )

17
2.2.7 Fluktuasi Muka Air Laut
Fluktuasi muka air laut disebabkan oleh pasang surut, tsunami, wave set-up dan storm
surge.
2.2.7.a Tsunami
Tsunami adalah gelombang yang terjadi karena gempa bumi atau letusan
gunung api di laut. Gelombang yang terjadi bervariasi dari 0,5 m sampai 30 m dan
periode dari beberapa menit sampai beberapa satu jam.
Tabel 2.3 Hubungan antara besarnya gempa dan tinggi tsunami di pantai
M H (meter)
5,0
4,5
4,0
3,5
3,0
2,5
M
> 32
24,0 – 32,0
16,0 – 24,0
12,0 – 16,0
8,0 – 12,0
6,0 – 8,0
H (meter)
2,0
1,5
1,0
0,5
0,0
-0,5
-1,0
-1,5
-2,0
,0 – 6,0
3,0 – 4,0
2,0 – 3,0
1,5 – 2,0
1,0 – 1,5
0,75 – 1,0
0,5 – 0,75
0,3 – 0,5
< 0,3
2.2.7.b Kenaikan Muka Air Karena Gelombang (Wave Set-up)
Gelombang yang datang dari laut menuju pantai menyebabkan fluktuasi muka
air di daerah pantai terhadap muka air diam. Pada waktu gelombang pecah akan
terjadi penurunan elevasi muka air rerata terhadap elevasi muka air diam disekitar

18
lokasi gelombang pecah. Kemudian dari titik dimana gelombang pecah permukaan air
rerata miring ke atas ke arah pantai. Turunnya muka air tersebut dikenal dengan wave
set-down, sedang naiknya muka air disebut wave set-up.Besarnya wave set-down di
daerah gelombang pecah (Sb) adalah:
Sb = - Tg
H b21
32536,0 (Triatmodjo, hal: 107, 1999)
Dimana:
Sb : Wave set down ( m )
Sw : Wave set up ( m )
T : periode gelombang
H’o : tinggi gelombang laut dalam ekivalen
db : kedalaman gelombang pecah
g : percepatan gravitasi
Wave set-up di pantai diberikan oleh bentuk berikut:
Sw = ∆S - Sb (Triatmodjo, hal: 107, 1999)
Jika ∆S = 0,15 db dan dianggap bahwa db = 1,28 Hb maka:
Sw = 0,19 ⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡− 282,21
gTH b Hb (Triatmodjo, hal: 108, 1999)
Gambar 2.8 Wave set up dan wave set down

19
2.2.7.c Kenaikan Muka Air Karena Angin (Wind Set-up)
Angin dengan kecepatan besar (badai) yang terjadi di atas permukaan laut bisa
membangkitkan fluktuasi muka air laut yang besar besar di sepanjang pantai jika
badai tersebut cukup kuat dan daaerah pantai dangkal dan luas. Kenaikan elevasi
muka air karena badai dapat dihitung dengan persamaan berikut:
∆h = 2Fi
∆h = F c gd
V2
2
(Triatmodjo, hal: 108, 1999)
Denagan:
∆h = kenaikan elevasi muka air karena badai (m)
F = panjang fetch (m)
i = kemiringan muka air
c = konstanta = 3,5 x 10-6
V = kecepatan angin (m/dt)
d = kedalaman air (m)
g = percepatan gravitasi (m/dt2)
Gambar 2.9 Wind set up
2.2.7.d Pemanasan Global
Efek rumah kaca menyebabkan bumi panas sehingga dapat dihuni kehidupan.
Disebut efek rumah kaca karena kemiripannya dengan apa yang terjadi dalam sebuah
rumah kaca ketika matahari bersinar. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya suhu
bumi yang nantinya akan berdampak pada peningkatan tinggi permukaan laut yag
disebabkan oleh pemuaian air laut dan mencairnya gunung-gunung es di kutub.
Kenaikan muka air laut akan menyebabkan mundurnya garis pantai sehingga
menggusur daerah pemukiman dan mengancam daerah perkoataan yang rendah,

20
membanjiri lahan produktif dan mencemari persediaan air tawar. Untuk melindungi
daerah tersebut perlu dibangun tanggul laut.
2.2.7.e Pasang Surut
Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda-
benda langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Elevasi
muka air tertinggi (pasang) dan muka air terendah (surut) sangat penting untuk
perencanaan bangunan pantai. Data pasang surut didapatkan dari pengukuran selama
minimal 15 hari. Dari data tersebut dibuat grafik sehingga didapat HHWL, MHWL,
MLWL, MSL. Dalam pengamatan selama 15 hari tersebut telah tercakup satu sirklus
pasang surut yang meliputi pasang purnama dan perbani. Pengamatan yang lebih lama
akan memberikan data yang lebih lengkap.
2.2.8 Proses Abrasi
Abrasi adalah proses pengkikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus
laut yang bersifat merusak. Material yang terkikis tersebut terbawa oleh arus ke
tempat lain dan tidak kembali ke tempat semula. Material tersebut akan mengendap di
daerah yang lebih tenang dan akan mengakibatkan sedimentasi di daerah tersebut.
Abrasi pantai dapat disebabkan oleh 2 faktor yaitu proses alami dan kegiatan
manusia.
Tabel 2.4 Penyebab Abrasi Pantai
Alami Kegiatan Manusia
Kenaikan muka air laut Penurunan muka tanah
Berubahnya jumlah suplai sedimen ke
arah pantai
Gangguan dalam transpor material
Gelombang badai Reduksi suplai sedimen sungai ke arah
pantai
Gelombang dan ombak overwash Pemusatan energi gelombang di pantai
Deflasi
(perpindahan material lepas karena angin)
Peningkatan elevasi muka air
Transpor sedimen sejajar pantai Perubahan perlindungan alami pantai
Pengurangan sedimen pantai Pemindahan material dari pantai Sumber : Shore Protection Manual (volume I), 1984, hal : 1-16

21
2.2.9 Sedimen Pantai
Sedimen pantai bisa berasal dari erosi garis pantai itu sendiri, dari daratan yang
dibawa oleh sungai, dan dari laut dalam yang terbawa arus ke daerah pantai.
(Triatmodjo, hal: 108, 1999)
Angkutan sedimen pantai dapat dihitung dengan rumus berikut:
Qs = K P1n
P1 = ρg Hb2 Cb sin αb cos αb (Triatmodjo, hal: 186, 1999)
8
Dimana :
Qs = angkutan sedimen sepanjang pantai ( m3/hari )
P1 = komponen fluks energi gelombang sepanjang pantai pada saat pecah
( Nm/d/m )
ρ = rapat massa air laut ( Kg/ m3)
Hb = tinggi gelombang pecah (m)
Cb = cepat rambat gelombang pecah (m/d) = √gdb
αb = sudut datang gelombang pecah
K,n = konstanta
2.2.10 Kondisi Tanah Dasar
Untuk keperluan perencanaan bangunan maritim, termasuk reklamasi dan
bangunan pengamannya, diperlukan informasi mengenai keadaan dan sifat – sifat
teknik ( engineering properties ) dari tanah dasar. Untuk mengetahui informasi
tersebut maka diperlukan penyelidikan tanah dan pengujian mekanika tanah di
laboraturium.
Penyelidikan tanah di lokasi pekerjaan dimaksudkan untuk mendapatkan data
lapisan – lapisan tanah dibawah permukaan, sifat dan perilaku tanah yang berkaitan
dengan pekerjaan penimbunan yang akan dilakukan di lokasi tersebut. Beberapa
kegiatan penyelidikan dan pengujian tanah diantaranya adalah:
• Pengeboran dan pengambilan sample tanah, tanah terganggu maupun tidak
terganggu
• Uji sondir (statis)
• Uji penetrasi standart (STP)

22
• Vane shear test
• Uji deformasi dan kekuatan ditempat dengan pressuremeter
• Plate bearing test
• Direct dynamic probing
• Static-dynamic penetration testing
• Uji kepadatan (densitas)
• CBR lapangan
• Survey geofisik (seismic refraction, electrikal resistivity)
Kegiatan pengujian di laboraturium mekanika tanah ditujukan untuk
mendapatkan informasi tanah di lokasi pekerjaan terutama mengenai klasifikasi tanah,
sifat mekanis (kekuatan) dan pemampatan (kompressibilitas), diantaranya adalah:
• Kadar air asli
• Kepadatan asli (berat volume)
• Berat jenis
• Batas Atterberg (batas cair, batas plastis, dan tekan bebas)
• Konsolidasi
• Uji kimia tanah bila diperlukan
Hasil penyelidikan sondir digambarkan dalam bentuk grafik hubungan antara
kedalaman sebagai ordinat dengan bacaan konus qc (kg/cm2) dan jumlah hambatan
pelekat JHP (kg/cm) sebagai absis. Hubungan perlawanan konus dan tingkat
kekerasan tanah dapat diperkirakan sebagai berikut (Direktorat Bina Teknik Dirjen
SDA, 2004)
qc < 20,4 kg/cm2 = sangat lunak /gembur
qc < 20,4 sd 40,8 kg/cm2 = lunak
qc < 40,8 sd 122,4 kg/cm2 = keras
qc < 204 kg/cm2 = sangat keras
Pegujian penetrasi standart (Standart Penetration Test – SPT) merupakan cara
yang paling ekonomis dalam mendapatkan informasi dibawah permukaan tahan
dengan melakukan pengambilan contoh bahan pada kedalaman – kedalaman tertentu
dengan alat berupa tabung selinder yang dipancang pada kedalaman tertentu dengan
hasil nilai N berupa banyaknya pukulan untuk memasukkan tabung selinder tersebut,
berdasarkan nilai N tersebut secara empiris dan pengujian laboratorium dari hasil

23
pengambilan material akan didapatkan parameter tanah lainya seperti terlihat pada
Tabel 3.1
Untuk daerah yang akan di reklamasi, kondisi tanah dasar telah dilakukan
penyelidikan tanah oleh PPLH UNDIP. Hasil penyelidikan dapat dilihat pada
lampiran.
Tabel 2.5 Parameter tanah hasil pengujian dan analisis laboratorium
Deskripsi Jenis tanah granular
Sangat lepas Lepas Sedang Padat Sangat padat
Angka penetrasi
Standart (N) 5-10 8-15 10-40 20-70 >35
Sudut geser dalam
(ø) 250 - 300 270 - 320 300 - 350 350 - 400 380 - 430
Berat jenis tanah
(γ) ton/m3 7 – 10 9 - 11,5 11 - 13 11 - 14 13 - 15
2.2.11 Borrow Area dan Quarry
2.2.11.a Borrow Area
Reklamasi pantai merupkan pekerjaan yang menggunakan tanah timbunan yang
jumlahnya cukup besar. Material timbunan biasanya dipilih yang bergradasi baik dan
berbutir kasar. Material urug bagian bawah (lapisan bawah) biasanya berupa pasir,
dan lapisan atas setebal 0,5 m sampai dengan 1,0 m berupa tanah urug. Tanah urug
diperlukan di bagian atas agar supaya tanaman dapat tumbuh dengan baik. Mengingat
pentingnya bahan timbunan ini, maka sumber material untuk keperluan penimbunan
(borrow area) haruslah di studi dengan baik terutama terkait dengan:
• Volume material yang tersedia
• Peralatan yang digunakan untuk menggali, mengangkut, dan menebarkan
material di lokasi pekerjaan
• Perijinan melakukan penggalian di borrow area.
Untuk keperluan penggalian material urug ini diperlukan kajian lingkungan
berupa AMDAL dan ijin penambangan dari Pemerintah (Departemen Pertambangan).
Penyelidikan tanah yang dilakukan di daerah borrow area terutama adalah
pengeboran, pengambilan contoh tanah dan uji kepadatan. Sedangkan uji

24
laboratorium yang diperlukan adalah untuk mendapatkan informasi berat jenis, batas
atterberg, distribusi ukuran butir, uji pemadatan dan kuat geser tanah.
2.2.11.b Quarry
Disamping kebutuhan material timbun yang jumlahnya sangat besar, pekerjaan
reklamasi juga membutuhkan batu dari quarry untuk pekerjaan - pekerjaan seperti :
perlindungan lahan rekamasi (tembok, tanggul laut, krib sejajar pantai, jetty atau
groin) dan material untuk perkerasan jalan.
Batu yang diperlukan adalah batu yang keras, tahan aus dan mempunyai rapat
massa yang cukup besar ( di atas 2500 Kg/m3 ). Quarry yang disukai berupa gunung
batu, dan ditambang dengan cara peledakan. Hasil peledakan berupa batu ukuran
besar yang berfungsi untuk lapis luar tembok laut sedangkan yang kecil sebagai
pengisinya.
2.2.12 Design water level ( DWL )
Untuk menentukan kedalaman rencana bangunan ( ds )maka perlu dipilih suatu
kondisi muka air yang memberikan gelombang terbesar, atau run-up tertinggi. (ds)
dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
ds = (HHWL – BL) + wind set-up + SLR
(Triatmodjo, hal: III-11, 1992)
Dimana :
ds = kedalaman kaki bangunan pantai
HHWL= highest high water level ( muka air pasang tertinggi )
BL = bottom level ( elevasi dasar pantai di depan bangunan )
SLR = sea level rise ( kenaikan muka air laut )
Yang dimaksud dengan sea level rise disini adalah kenaikan muka air yang
disebabkan oleh perubahan cuaca, misal efek rumah kaca. Pada perencanaan ini
kenaikan tersebut tidak diperhitungkan.
2.2.13 Run-Up Gelombang
Run-Up sangat penting untuk perencanaan bangunan pantai. Nilai run-up dapat
diketahui dari grafik setelah terlebih dahulu menentukan bilangan Irribaren.
Ir = tg θ / ( H / Lo )0.5 (Triatmodjo, hal: 268, 1999)
Dimana : Ir = bilangan Irribaren

25
θ = sudut kemiringan sisi pemecah gelombang
H = tinggi gelombang di lokasi bangunan
Lo = panjang gelombang di laut dalam
Grafik tersebut juga dapat digunakan untuk menentukan rundown (Rd).
Gambar 2.10 Grafik Run-Up Gelombang
Run-up digunakan untuk menentukan elevasi mercu bangunan pantai,
sedangkan run-down digunakan untuk menghitung stabilitas rip-rap atau revetmen.
Besarnya elevasi mercu dapat dihitung dengan persamaan :
ELmercu = DWL + Fb + Ru (Triatmodjo, hal: 349, 1999)
Dimana :
ELmercu = elevasi mercu bangunan pantai (m)
Ru = Run-up gelombang (m)
Fb = tinggi jagaan ( 1,0 – 1,5 m )
DWL = design water level

26
2.2.14 Bangunan Pelindung Pantai
Bangunan pantai digunakan untuk melindungi pantai terhadap kerusakan karena
serangan gelombang dan arus. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk
melindungi pantai yaitu:
Memperkuat / melindungi pantai agar mampu menahan serangan
gelombang
Mengubah laju transpor sedimen sepanjang pantai
Mengurangi energi gelombang yang sampai ke pantai
(Triatmodjo, hal: 201, 1999)
Sesuai dengan fungsinya, bangunan pantai dikelompokkan dalam tiga kelompok
yaitu :
Konstruksi yang dibangun di pantai dan sejajar dengan garis pantai. Yang
termasuk kelompok ini adalah dinding pantai / revetment
Konstruksi yang dibangun kira-kira tegak lurus pantai dan sambung ke
pantai. Yang termasuk kelompok ini adalah groin dan jetty.
Konstruksi yang dibangun lepas pantai dan kira-kira sejajar dengan garis
pantai. Yang termasuk kelompok ini yaitu pemecah gelombang.
(Triatmodjo, hal: 201, 1999)
Gambar 2.11 Beberapa Tipe Bangunan Pelindung Pantai
2.2.14.a Dinding Pantai dan Revetment
Dinding pantai dan revetment adalah bangunan yang memisahkan daratan dan
perairan pantai, yang terutama berfungsi sebagai pelindung pantai terhadap erosi dan
limpasan gelombang ( overtopping ) ke darat. Daerah yang dilindungi adalah daratan
tepat dibelakang bangunan. Dinding pantai biasanya berbentuk dinding vertikal,

27
sedang revetment mempunyai sisi miring. Bangunan ini ditempatkan sejajar dengan
garis pantai, dan bisa terbuat dari pasangan batu, beton tumpukan pipa beton, turap,
kayu atau tumpukan batu. (Triatmodjo, hal: 205, 1999)
Dalam perencanaan dinding pantai dan revetment perlu ditinjau fungsi dan
bentuk bangunan, lokasi, panjang, tinggi stabilitas bangunan dan tanah pondasi,
elevasi muka air baik di depan maupun belakang bangunan, ketersediaan bahan
bangunan dan sebagainya. (Triatmodjo, hal: 205, 1999). Gambar di bawah ini
menunjukan penempatan revetment dan tampang melintangnya.
Gambar 2.12 Revetment dan Tampang Melintang
Pada perencanaan bangunan pantai perlu diperhatikan stabilitas dinding pantai.
Dinding pantai harus dicek terhadap stabilitas guling dan geser. Bila stabilitas geser
belum memenuhi, diberikan sepatu di tengah atau di ujung tumitnya.
2.2.14.b Groin
Groin adalah bangunan pelindung pantai yang biasanya dibuat tegak lurus
pantai dan berfungsi untuk menahan transpor sedimen sepanjang pantai sehingga bisa
mengurangi atau menghentikan erosi yang terjadi. Groin hanya bisa mengurangi
transpor sedimen sepanjang pantai. (Triatmodjo, hal: 213, 1999)

28
Gambar 2.13 Sket groin
Berikut ini adalah kriteria perencanaan groin:
a. Panjang groin
Groin dibuat sepanjang 40% sampai dengan 60% dari lebar surf
zone.(Triatmodjo, hal: 214, 1999)
b.Tinggi groin
Tinggi groin menurut Thorn dan Robert berkisar antara 50-60 cm di atas elevasi
rencana, sedangkan berdasarkan Muir Wood dan Fleming antara 0,5-1,0 m di
atas elevasi rencana.
c.Jarak groin
Jarak groin pada pantai kerikil biasanya diambil 1-3 L, sedangkan pantai pasir
diambil 2-4 L. (Triatmodjo, hal: 214, 1999)
d.Elevasi groin
Elevasi puncak groin dapat diambil di bawah HWL
2.2.14.c Pemecah Gelombang
Pemecah gelombang adalah bangunan yang digunakan untuk melindungi
daerah perairan dari gangguan gelombang. Pemecah gelombang dibedakan menjadi
dua macam yaitu pemecah gelombang sambung dan lepas pantai. Tipe pertama
digunakan untuk perlindungan perairan pelabuhan sedangkan tipe kedua digunakan
untuk perlindungan pantai terhadap erosi. (Triatmodjo, hal: 224, 1999)
Pemecah gelombang lepas pantai bisa dibuat dari satu pemecah gelombang
atau suatu seri bangunan yang terdiri dari beberapa ruas pemecah gelombang yang

29
dipisahkan oleh celah. Di Indonesia penggunaan pemecah gelombang sisi miring
dapat dihitung dengan menggunakan rumus Hudson:
W = θ
γcot)1(
3
−rD
r
sKH
Sr = a
r
γγ (Triatmodjo, hal: 259, 1999)
Dengan:
W = Berat butir batu pelindung
γr = Berat jenis batu
γa = Berat jenis laut
H = Tinggi gelombang rencana
υ = Sudut kemiringan sisi pecah gelombang
KD = Koefisien stabilitas yang tegantung pada bentuk batu pelindung,
kekasaran permukaan batu, ketajaman sisinya, ikatan antar butir, dan
keadaan pecahnyan gelombang.
Lebar puncak pemecah gelombang dapat dihitung dengan rumus:
B = n k ∆ 31
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡
r
Wγ
(Triatmodjo, hal: 264, 1999)
Dengan:
B = Lebar puncak
n = Jumlah butir batu (nminimum)
k∆ = Koefisien lapis
W = Berat butir batu pelindung
γr = berat jenis batu pelindung
Sedangkan tebal lapis pelindung dan jumlah butir tiap satu luasan diberikan oleh
rumus berikut ini:
t = n k ∆ 31
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡
r
Wγ
N = A n k ∆ 32
1001 ⎥⎦
⎤⎢⎣⎡⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ −
WP rγ (Triatmodjo, hal: 265, 1999)
Dengan:
t = Tebal lapisan pelindung

30
n = Jumlah lapisan batu dalam lapisan pelindung
k∆ = Koefisien lapisan
A = Luas permukaan
P = Porositas rerata dari lapis pelindung
N = Jumlah butir batu untuk satu satuan luas
γr = Berat jenis batu pelindung
2.2.14.d Tembok Laut ( Sea Wall )
Tembok laut biasanya dipergunakan untuk melindungi pantai atau tebing dari
gempuran gelombang laut sehingga tidak terjadi erosi atau abrasi. Agar fasilitas yang
ada dibalik tembok dapat aman biasanya tembok laut direncanakan tidak boleh
overtopping. Tembok laut ada dua macam yaitu tembok laut masif dan tidak masif.
Tembok laut masif biasanya dibuat dari konstruksi beton atau pasangan batu
sedangkan tembok laut tidak masif berupa tumpukan batu ( rubble mound ).
Konstruksi tembok laut dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.14 Sket Tembok Laut
Kriteria perencanaan tembok laut:
1.Elevasi mercu
ELmercu = DWL + Fb + Ru (Triatmodjo, hal: 349, 1999)
Dimana :

31
ELmercu = elevasi mercu bangunan pantai (m)
Ru = Run-up gelombang (m)
Fb = tinggi jagaan ( 1,0 – 1,5 m )
DWL = design water level
2.Lebar mercu
Lebar mercu tembok laut paling tidak tiga kali diameter equivalen batu lapis
lindung. Bila mercu dipergunakan untuk jalan maka lebar mercu dapat diambil
antara 3,0 s/d 6,0 m.
3.Berat lapis lindung
W = )(3
3
θγ
CotKH
D
b
∆ (Triatmodjo, hal: 259, 1999)
∆ = ( γb - γa ) / γa
Dimana:
W = Berat minimum batu (tf)
γb = Berat jenis batu (tf/m3)
γa = Berat jenis laut (tf/m3)
H = Tinggi gelombang rencana (m)
υ = Sudut kemiringan tembok laut
KD = Koefisien stabilitas batu lindung
4. Tebal lapis lindung
t = 2de = 231
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
b
Wγ
Dimana: t = Tebal lapisan lindung (m)
de = Diameter equivalen (m)
W = Berat lapis lindung (m)
γb = Berat jenis batu (tf/m3)
5.Toe protection
Tebal toe protektion = 1t – 2t, sedangkan berat batu lapis lindung
dipergunakan kira-kira 1/2 dari yang dipergunakan dinding tembok laut. Menurut

32
Triatmodjo, berat butir batu untuk pondasi da pelindung kaki bangunan diberikan oleh
persamaan berikut:
W = )1(3
3
−rs
r
sNHγ (Triatmodjo, hal: 268, 1999)
Dimana:
W = Berat rerata butir batu (ton)
γr = Berat jenis batu (ton/m3)
Sr = Perbandingan antara berat jenis batu dan berat jenis air laut (γr/γa)
γa = Berat jenis air laut (1,025 – 1,03 ton/m3)
Ns = Angka stabilitas rencana untuk fondasi dan pelindung kaki bangunan
seperti diberikan dalam gambar 2.6
Gambar 2.15 Angka Stabilitas Ns Untuk Pondasi Dan Pelindung Kaki

33
2.2.14.e Training Jetty
Jetty adalah bangunan tegak lurus pantai yang diletakkan pada kedua sisi muara
sungai yang berfungsi untuk mengurangai pendangkalan alur oleh sedimen pantai.
Mengingat fungsinya, jetty dapat dibagi menjadi tiga jenis:
Jetty panjang
Jetty ini ujungnya berada di luar gelombang pecah. Tipe ini efektif
untuk menghalangi masuknya sedimen ke arah muara tetapi biaya
konstruksinya sangat mahal. Jetty ini dibangun apabila daerah yang
dilindungi sangat penting.
Jetty sedang
Jetty sedang ujungnya berada di antara muka air surut dan lokasi
gelombang pecah dan dapat menahan transpor sedimen sepanjang pantai.
Jetty pendek
Jetty pendek ujungnya berada pada muka air surut. Fungsinya untuk
menahan berbeloknya muara sungai dan mengkonsentrasikan aliran pada
alur yang telah ditetapkan untuk mengerosi endapan.
2.2.15 Teori Konsolidasi
Penurunan total adalah jumlah dari penurunan segera dan penurunan
konsolidasi. Bila dinyatakan dalam bentuk persamaan besarnya penurunan total
adalah :
St = Si + Scp + Scs
Keterangan :
St = penurunan total
Si = penurunan segera
Scp = penurunan konsolidasi primer
Scs = penurunan konsolidasi sekunder
Penurunan yang diakibatkan oleh konsolidasi sekunder adalah sangat penting
untuk semua jenis tanah organik dan tanah anorganik yang sangat mampu mampat
( Compressible ). Untuk lempung anorganik yang terlalu terkonsolidasi, indeks
pemampatan sekunder adalah sangat kecil sehingga diabaikan.

34
Penurunan segera ( Immediate Settlement )
Penurunan segera atau penurunan elastis terjasi segera setelah pemberian
beban tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan kadar air. Perhitungnan
penurunan segera umumnya didasarkan pada penurunan yang diturunkan dari
teori elastisitas. Untuk perhitungan penurunan tanah segera disini kami
mengasumsikan beban timbunan sebagai sebuah pondasi kaku diatas material
yang elastis. Penurunan ini dapat dihitung dari persamaan – persamaan yang
diturunkan dengan menggunakan prinsip dasar teori elastis. Bentuk persamaan
tersebut adalah sebagai berikut :
IpEVBqSi .1..
2
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ −=
Keterangan :
Si = Penurunan elastis
q = Tekanan bersih yang dibebankan
B = Lebar urugan
v = Angka poisson
E = Modulus elastisitas tanah ( Modulus Young )
Ip = Faktor pengaruh yang tidak mempunyai dimensi.
Tabel 2.6 Harga – Harga Angka Poisson
Jenis Tanah Angka Poisson
Pasir lepas
Pasir agak padat
Pasir padat
Pasir berlanau
Lempung lembek
Lempung agak kaku
0,2 – 0,4
0,25 – 0,4
0,3 – 0,45
0,2 – 0,4
0,15 – 0,25
0,2 – 0,5

35
Tabel 2.7 Harga Modulus Young
Jenis Tanah Modulus Young
( KN/m2 )
Lempung lembek
Lempung keras
Pasir lepas
Pasir padat
1 380 – 13 450
5 865 – 13 800
10 350 – 27 600
34 500 – 69 000
Tabel 2.8 Faktor Pengaru Ip
Bentuk M Ip
Bundar
Peregi
-
1,0
1,50
2,0
3,0
5,0
10
20
50
100
0,79
0,88
1,07
1,21
1,42
1,70
2,10
2,46
3,0
3,43
Penurunan konsolidasi primer
Bila suatu lapisan tanah jenuh yang berpermeabilitas rendah dibebani,
maka tekanan air pori dalam tanah tersebut akan segera bertambah. Akibatnya
air mengalir ke lapisan tanah dengan tekanan air yang lebih rendah, yang
diikuti dengan penurunan tanahnya. Karena permeabilitas tanah yang rendah,
proses ini membutuhkan waktu. Konsolidasi adalah proses berkurangnya
rongga pori dari tanah jenuh yang berpermeabilitas rendah akibat pembebana,
dimana prosesnya dipengaruhi oleh kecepatan air pori yang keluar rongga
tanah.
Penambahan beban diatas permukaan tanah dapat mengakibatkan
lapisan tanah dibawahnya mengalami pemampatan. Pemampatan tersebut

36
disebabkan adanya deformasi partikel tanah, dan keluarnya air dan udara dari
dalam pori. Faktor – faktor tersebut mempunyai hubungan dengan keadaan
tanah yang bersangkutan.
Proses keluarnya air dari dalam pori – pori tanah, sebagai aibat dari
penambahan beban, yang disertai dengan pemindahan kelebihan tekanan air
pori ke tegangan efektif akan menyebakan terjadinyan penurunan tanah.
Besarnya amplitudo penurunan tanah akibat konsolidasi primer ( Scp )
dari tanah lempung ini, tergantung dari sejarah tanahnya, yaitu Normally
Consolidated ( NC ) atau Over Consolidated ( OC ).
Kondisi terkonsolidasi secara normal ( Normally Consolidated ),
dimana tekanan efektif overburden pada saat ini adalah merupakan
tekan maksimal yang pernah dialami oleh tanah ini.
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ ∆+
+=
00 '1log
1.
σσ
eHCcScp
Kondisi terlalu terkonsolidasi ( Over Consolidated ), dimana tekanan
efektif overburden pada saat ini adalah sangat kecil dari tekanan yang
pernah diterima oleh tanah itu sebelumnya. Tekanan efektif
overburden maksimal yang pernah dialami sebelum dinamakan
tekanan prakonsolidasi ( Preconsolidation Pressure ).
Bila σ’o + ∆P ≤ σ’e, maka :
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ ∆+
+=
00 '1log
1.
σσ
eHCsScp
Bila σ’o + ∆P > σ’e, maka :
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ ∆++
++
=ee
HCceeHCsScp
''
log1
.''log
1. 0
000 σσσ
σσ
Keterangan :
H = Tebal lapisan lempung ( Compressible Soil )
eo = Angka pori awal ( initial Void Ratio )
Cc = Compression index
Cs = Swelling index
∆σ = Surcharge ( Besarnya tergangan dimuka tanah )
σ’o = Overburden pressure effective
σ’e = Tegangan prakonsolidasi effective

37
Surcharge yang dimaksud adalah besarnya beban yang bekerja
diatas permukaan tanah asli dalam satuan tegangan.
∆σ = γtimbunan * h timbunan
Bila timbunannya terendam air, maka dipakai harga γ’.
Gambar 2.16 Grafik Osterberg

38
OSTERBERG ( Gambar 2.16 ) menyajikan suatu grafik dari koefisien
pengaruh I untuk perhitungan besarnya tegangan vertikal ( ∆σ ) yang
diterima oleh suatu titik tinjau tertentu didalam lapisan tanah. Koefisien I
tersebut dipengaruhi oleh : a, b, dan z yang merupakan karakteristik
geometrik dari bentuk timbunan reklamasi dan kedalaman titik tinjau.
Jadi : ∆σ = γ * h * 2l
Koefisien l dikalikan dua, karena disajikan oleh grafik Osterberg
tersebut adalah harga l untuk separuh dari lebar timbunan total.
Untuk lapisan tanah yang heterogen ( berlapis – lapis ), maka formula
perhitungan Scp dapat dilakukan disetiap lapisannya,sehingga penurunan
total dari seluruh lapisan tersebut adalah :
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ ∆+⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡+
= ∑00 '
1log1
.σσ
eHCs
Scp i
Keterangan :
Hi = Tebal sub lapisan i
σ’oi = Overburden pressure pada lapisan I
∆σi = Variasi tegangan vertikal yang diterima oleh lapisan
ke i
Penurunan konsolidasi sekunder
Pada proses prabeban sebenarnya hanya dikaitkan dengan salah satu
unsur penurunan, yakni penurunan konsolidasi. Penurunan seketiaka biasanya
tidak menjadi masalah, karena dapat diukur langsung bersamaan pada waktu
beban diberikan. Penurunan sekunder atau rangkak sering kali menjadi
kendala. Untuk tanah lempung lunak. Dimana compression index ( Cc ) dan
secondary compression index ( Cd ) bernilai tinggi, penurunan rangkak bisa
menjadi komponen yang cukup besar untuk diabaikan, bahkan dalam hal
tertentu, penurunan sekunder atau rangkak bisa menjadi komponen terbesar.
Untuk mengatasi hal ini, Terzaghi, Peck dan Mesri ( 1996 ),
mengusulkan suatu pendekatan yang menggunakan prabebean atas dasar suatu
Surcharging Time Ratio. Dalam pendekatan ini diperlukan informasi yang
teliti mengenai tegangan efektif pada saat prabeban disingkirkan. Untuk

39
penurunan rangkak, Terzaghi et al (1996 ) menganjurkan penjumlahan tiga
persamaan berikut :
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
+=
pc tt
eHCaScp log
1'.
Keterangan :
Scs = Penurunan rangkak akibat prabeban
H’ = Tebal lapisan yang ditinjau pada saat akhir konsolidasi
Ca = Indeks pemampatan sekunder
tp = Waktu selesainya konsolidasi ( primer )
ec = Angka pori saat selesainya konsolidasi ( primer )
Setelah prabeban sisingkirkan, akan terjadi rebound, yang komponen
rangkaknya Scr, adalah :
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
+=
pr
l
l tt
eHCaScp log
1''.
Keterangan :
H” = Tebal lapisan saat primary rebound selesai
Cα = Mengambil nilai yang sama dengan untuk penurunan
tt = Waktu sampai akhir rebound rangkak, dihitung sejak saat
prabeban diambil
tpr = Waktu sampai akhir primary rebound, dihitung sejak saat
prabeban diambil
el = Angka pori saat akhir primary rebound
Bila waktu masih terus berlanjut, rebound akan berubah menjadi penurunan
rangkak kembali.
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
+=
tlt
eHCaScp
cr
log1
''''.'
Keterangan :
H” = Tebal lapisan saat rebound rangkak selesai
Cα” = Diambil dari data uji oedometer ( Mesri dan Feng, 1991 )

40
tt = Waktu sampai akhir rebound rangkak, dihitung sejak saat
prabeban diambil
ecr = Angka pori saat akhir rebound rangkak
Karena semua besaran yang dinyatakan dalam tiga persamaan tersebut
dapat diperoleh dari uji oedometer, besarnya penurunan akibat pembebanan
pasca masa prabeban dapat diperkirakan.
Kecepatan waktu penurunan
Yang perlu diperhatikan pada saat lamanya waktu penurunan adalah
waktu yang dibutuhkan oleh tanah untuk melakukan proses penurunan segera (
Immediate Settlement ), berlangsung sesaat setelah pembebanan bekerja pada
tanah ( t = 0 ). Waktu penurunan akibat proses konsolidasi primer tergantung
pada besarnya kecepatan konsolidasi ( Cv ), panjang aliran rata – rata yang
harus ditempuh air pori selama proses consolidasi ( Hd ) serta faktor waktu (
Tv ).
Waktu atau lamanya penurunan tanah ( t ) dapat diperoleh dari
perumusan sebagai berikut :
CvHdTvt
2.=
Keterangan :
Tv = Faktor waktu, tergantung derajat konsolidasi U
Cv = Koefisien konsolidasi vertikal ( cm2/s atau m2 )
Hd = Panjang aliran air drainage di dalam tanah ( m )
Faktor waktu
Faktor waktu Tv adalah merupakan fungsi langsung dari derajat
konsolidasi ( U % ) danbentuk dari distribusi tegangan pori ( u ) di dalam
tanah ( aliran satu arah atau dua arah ). Harga faktor waktu dan derajat
konsolidasi dapat dinyatakan dengan satu hubungan yang sederhana :
Untuk U = 0 sampai dengan 60 %,2
100%.
4⎟⎠⎞
⎜⎝⎛=UTv π
Untuk U = 60 %, Tv = 1,781 – 0,933log ( 100 – U % )
Panjang Aliran Drainage

41
Apabila tebal lapisan lempung ( Compressible Soil ) kita sebut H,
maka panjang aliran drainage Hd adalah :
Hd = ½ * H
Bila aliran air selama proses konsolidasi adalah dua arah ( ke atas dan
ke bawah )
Hd = H
Bila aliran drainasenya satu arah ( ke atas atau ke bawah ) hal ini
biasanya terjadi apabila salah satu lapisan merupakan lapisan kedap air.
Koefisien Konsolidasi Vertikal
Koefisien konsolidasi vertical Cv, diperoleh dari grafik korelasi antara
besarnya penurunan tanah dengan waktu ( t ), berdasarkan hasil konsolidasi
Oedometric test.
50
2)2/.(197,0t
HCv =
Apabila lapisan tanahnya heterogen dan mempunyai beberapa nilai Cv,
maka Cv yang dipakai adalah nilai Cv rat-ratanya :
( )
2
2
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡=−
∑
∑
iCvhi
hirataCvrata
Keterangan :
hi = tebal lapisan i
Cvi = harga Cv di lapisan i
2.2.16 Perbaikan Tanah Dengan Vertical Drain
Fungsi utama digunakannya Vertical Drain dalam suatu lapisan tanah lempung
adalah untuk mempercepat proses konsolidasi primer. Konsolidasi primer menurut
definisi adalah merupakan peristiwa keluarnya air dari dalam ruang pori tanah sebagai
akibat adanya pembebanan mekanik atau lainnya, sehingga mengakibatkan suatu
settlement dari suatu lapisan tanah tersebut. Proses konsolidasi primer ini ditandai
dengan mengecilnya harga tegangan air porinya ( u ). Apabila harga u tersebut
menjadi konstan atau ∆u = 0, namun deformasi masih tetap berlangsung, maka
fenomena ini dinamakan konsolidasi sekunder.

42
Metoda perbaikan tanah dengan menggunakan vertical drain ini, pada
hakekatnya adalah untuk :
• Mereduksi waktu antara dua fase pelaksanaan di saat diterapkannya
penimbunan bertahap.
• Mengurangi waktu yang diperlukan untuk memperoleh derajat konsolidasi
yang memadai.
Adakalanya penggunaan vertical drain ini dikombinasikan dengan
“surcharge”( beban lebih) sementara. Surcharge temporer ini dapat menghasilkan
dengan cepat sebagian besar dari penurunan tanah total sebelum struktur bangunan
atau timbunan permanent di atasnya berfungsi.
Jenis –jenis vertical drain :
• Vertical Sand Drain, yaitu dengan membuat lubang bor pada lapisan lempung
dan diisi dengan pasir gradasi tertentu
• Prefabricated Vertical Drain ( PVD ) yang berupa band-shaped(rectangular
cross section) yang terdiri dari Syinthetic geotextile jacket di sekeliling plastic
core. Jaket tersebut umumnya dibuat dari bahan non-woven polyester`atau
polypropelene geotextile.
2.2.16.a Prinsip Teori kerja Vertical Drain
Prinsip kerjanya adalah mempercepat aliran air. jika tanpa vertical drain, aliran
air akan bergerak kea rah vertical saja. Tetapi dengan adanya vertical drain, aliran air
selain bergerak ke arah vertical juga kea rah horizontal.
Dengan adanya vertical drain, maka konsolidasi yang akan terjadi aalah
konsilidasi tiga dimensi, yaitu arah x, y, z. Pada arah x-y atau arah mendatar,
perhitungan didasarkan pada satu pipa pasir yang berpengaruh pada satu lingkaran
tertentuyang berjari-jari R. Mengenai besarnya jari – jari tersebut tergantung pada
bentuk jaringan pipanya.
• Untuk jaingan bujur sangkar, R = 0,564.S
• Untuk jaringan segitiga sama sisi, R = 0,525.S

43
R= 0,525SR= 0,564S
rw
R
s
s
rw
R
s
s
Arah Aliran
Drainase Horizontal
Drainase Vertikal
Lapisan Kedap Air
Timbunan
Gambar 2.17 Drainase Vertikal, Pola Bujur Sangkar dan Segitiga
2.2.16.b Teori Dasar Drainase Vertical
Pada pemasangan vertical drain maka pengaliran horizontal/radial yang
dominan, sedangkan data tanah yang ada biasanya hanya koefisien konsolidasi arah
vertical ( Cv). Dari hasil penelitian diketahui bahwa rasio koefisien konsolidasi arah
horizontal dengan arah vertical adalah sebagai berikut :
Ch = (1-2) Cv
Dengan semakin besarnya rasio tersebut, maka pemasangan vertical drain
akan sangat bermanfaat, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh : “Jamiolkowski
dkk. (1983)” rasio konsolidasi arah vertical dengan menggunakan konstruksi PVD
didapat :
Ch = (2-4). Cv
Dengan menggunakan pengaruh smear zone nilai Ch dapat diambil :
Ch = (1,2-3). Cv
Derajat konsolidasi tanah lempung tanpa vertical fibre drain :

44
2
.Hd
CvtTv =
Uv = f (Tv)
Uv = 100.√(4Tv/Π)
Dimana :
Uv = derajat konsolidasi arah vertical
Tv = Time factor
t = waktu yang dibutuhkan untuk konsolidasi
Cv = koefisien konsolidasi arah vertical
Hd = tebal tanah lunak yang terkonsolidasi
Derajat konsolidasi tanah lempung dengan vertical fibre drain :
U = 1-(1-Uv).(1-Uh)
Uh= f(Th)
2
.D
tChTh =
2
2
2
2
413)ln(
1)(
nnn
nnnF −
−−
=
rwren =
dimana :
re = jari-jari ekivalen
rw = jari-jari sumuran drainase pasir
Uh = derajat konsolidasi rata-rata arah horizontal akibat vertical drain
Fn = faktor jarak vertical drain
dw= keliling bahan vertical drain
D = diameter ekivalen vertical drain
Diameter ekivalen ditentukan oleh formasi jarak titik vertical fibre drain,
yaitu : jaringan bujur sangkar dan jaringan segitiga.
Faktor waktu untuk aliran radial :
2
*
edtCvrTr = ( Mekanika Tanah, Ir. G. Djatmiko S, & Ir. S. J. Edy P. hal 88,
1997 )

45
Perhitungan derajat konsolidasi dengan drainase vertikal dan radial. Apabila
drainase vertikal dan radial bekerja bersamaan maka derajat konsolidasi rata-rata oleh
Carrilo (1942 ) diberikan persamaan sebagai berikut :
U = 1-(1-Uv) (1-Ur)
Tabel 2.9 Harga-harga faktor waktu Truntuk bermacam-macam harga Ur.
Derajat
Faktor Waktu
Tr
Konsolidasi re/rw = 5 10 15 20 25 30 40 50 60 80 100
Ur, %
5 0,006 0,01 0,013 0,0144 0,016 0,017 0,019 0,02 0,021 0,032 0,025 10 0,012 0,021 0,026 0,03 0,032 0,035 0,039 0,042 0,044 0,048 0,051 15 0,019 0,032 0,04 0,046 0,05 0,054 0,06 0,064 0,068 0,074 0,079 20 0,026 0,044 0,055 0,063 0,069 0,074 0,082 0,088 0,092 0,101 0,107 25 0,034 0,057 0,071 0,081 0,089 0,096 0,106 0,114 0,12 0,131 0,139 30 0,042 0,07 0,088 0,101 0,11 0,118 0,131 0,141 0,149 0,162 0,172 35 0,05 0,085 0,106 0,121 0,133 0,143 0,158 0,17 0,18 0,196 0,208 40 0,06 0,101 0,125 0,144 0,158 0,17 0,188 0,202 0,214 0,232 0,246 45 0,07 0,118 0,147 0,169 0,185 0,198 0,22 0,236 0,25 0,291 0,288 50 0,081 0,137 0,17 0,195 0,214 0,23 0,255 0,274 0,29 0,315 0,334 55 0,094 0,157 0,197 0,225 0,247 0,265 0,294 0,316 0,334 0,363 0,385 60 0,107 0,18 0,226 0,258 0,283 0,304 0,337 0,362 0,383 0,4136 0,441 65 0,123 0,207 0,259 0,296 0,325 0,3487 0,386 0,415 0,439 0,477 0,506 70 0,137 0,231 0,289 0,33 0,362 0,389 0,431 0,463 0,49 0,532 0,564 75 0,162 0,273 0,342 0,391 0,429 0,46 0,51 0,548 0,579 0,629 0,668 80 0,188 0,317 0,397 0,453 0,498 0,534 0,592 0,636 0,673 0,73 0,775 85 0,222 0,373 0,467 0,534 0,587 0,629 0,697 0,75 0,793 0,861 0,914 90 0,27 0,455 0,567 0,649 0,712 0,764 0,847 0,911 0,963 1,046 1,11 95 0,351 0,59 0,738 0,844 0,926 0,994 1,102 1,185 1,253 1,36 1,444 99 0,539 0,907 1,135 1,298 1,423 1,528 1,693 1,821 1,925 2,091 2,219