urtikaria kronik

15
Nama Ko-ass : Fatia Ayu Ramadhana NIM : 1320221142 Stase : Departemen Ilmu Kulit dan Kelamin Tugas : Pembacaan Jurnal Urtikaria Kronik: Pilihan Tatalaksana Terbaru Paul A Greenberger ABSTRAK Urtikaria kronik didefinisikan sebagai urtika episodik atau harian yang berlangsung selama minimal 6 minggu dan mempengaruhi kualitas hidup. Dua subtipe utama mencakup urtikaria kronik idiopatik (spontan) dan urtikaria terinduksi (fisik), namun ada pula beberapa pasien yang mengalami vaskulitis urtikarial. “Urtikaria kronik autoimun” menunjukkan pelepasan histamin atau aktivasi sel mast menyebabkan autoantibodi terhadap IgE atau FcɛRI, yang merupakan reseptor berafinitas tinggi pada sel mast dan basofil. Pada pasien yang tidak segera dikontrol dengan dosis standar antagonis reseptor H 1 generasi kedua (antihistamin), terdapat bukti bahwa urtikaria baru dapat dikurangi dengan menggunakan peningkatan dosis standar hingga 4 kali lipat. Agen modifikasi biologis, omalizumab, dapat mengurangi lesi urtikaria kronik dalam 1 – 2 minggu. Kata kunci Urtikaria, Kronik, Vaskulitis, Antihistamin, Reseptor H 1 , Omalizumab, Imunosupresif 1

Upload: fatia-ramadhana

Post on 07-Feb-2016

45 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Urtikaria kronik

TRANSCRIPT

Page 1: Urtikaria kronik

Nama Ko-ass : Fatia Ayu Ramadhana

NIM : 1320221142

Stase : Departemen Ilmu Kulit dan Kelamin

Tugas : Pembacaan Jurnal

Urtikaria Kronik: Pilihan Tatalaksana Terbaru

Paul A Greenberger

ABSTRAK

Urtikaria kronik didefinisikan sebagai urtika episodik atau harian yang berlangsung selama

minimal 6 minggu dan mempengaruhi kualitas hidup. Dua subtipe utama mencakup

urtikaria kronik idiopatik (spontan) dan urtikaria terinduksi (fisik), namun ada pula

beberapa pasien yang mengalami vaskulitis urtikarial. “Urtikaria kronik autoimun”

menunjukkan pelepasan histamin atau aktivasi sel mast menyebabkan autoantibodi

terhadap IgE atau FcɛRI, yang merupakan reseptor berafinitas tinggi pada sel mast dan

basofil. Pada pasien yang tidak segera dikontrol dengan dosis standar antagonis reseptor

H1 generasi kedua (antihistamin), terdapat bukti bahwa urtikaria baru dapat dikurangi

dengan menggunakan peningkatan dosis standar hingga 4 kali lipat. Agen modifikasi

biologis, omalizumab, dapat mengurangi lesi urtikaria kronik dalam 1 – 2 minggu.

Kata kunci

Urtikaria, Kronik, Vaskulitis, Antihistamin, Reseptor H1, Omalizumab, Imunosupresif

1

Page 2: Urtikaria kronik

Pendahuluan

Urtikaria kronik, yang berprevalensi seumur hidup dan didefinisikan sebagai urtika

episodik atau harian yang berlangsung selama 6 minggu, terjadi pada 1.8% populasi

dewasa dengan periode prevalensi (dalam 12 bulan terakhir) 0.6 – 0.8% [1-3]. Urtikaria

kronik terjadi pada 0.1 – 0.3% anak-anak [4]. Selain mengganggu kualitas hidup dan

menyebabkan ketidakhadiran sekolah atau kerja [5], durasi urtikaria kronik pada dewasa

telah dilaporkan sebagai berikut: 6 – 12 minggu pada 52.8%, 3 – 6 bulan pada 18.5%, 7 –

12 bulan pada 9.4%, 1 – 5 tahun pada 8.7%, dan lebih dari 5 tahun pada 11.3% [3].

Sebagai gambaran, prevalensi urtikaria akut seumur hidup sebesar 8 – 20% [1-3].

Histologi urtikaria kronik

Pemeriksaan histologis pada biopsi lesi pasien dengan urtikaria kronik mungkin

menunjukkan temuan nyata berupa sel mononuklear (limfosit Th1 dan Th2 CD4),

eosinofil, neutrofil, basofil, sel mast (yang juga meningkat pada kulit non-lesi), dan

makrofag teraktivasi [6-10]. Sebagian biopsi menunjukkan adanya edema dengan sedikit

atau tanpa infiltrat seluler sedangkan beberapa biopsi lain menunjukkan adanya

“perivaskulitis” dimana terdapat infiltrat mononuklear yang tidak merusak dinding

pembuluh darah [7,10]. Akan tetapi, mungkin dapat terjadi vaskulitis leukositoklastik

(adanya infiltrat seluler dengan kerusakan dinding pembuluh darah, debris nuklear,

ekstravasasi sel darah merah) tanpa memandang fenotip untuk menjadi lesi urtikaria yang

tidak meninggalkan pigmen residual atau ekimosis [7,10]. Lesi urtikaria kronik idiopatik

diilustrasikan pada Gambar 1.

2

Page 3: Urtikaria kronik

Terminologi

Urtikaria kronik idiopatik, yang bersinonim dengan urtikaria kronik spontan,

merupakan salah satu subtipe urtikaria kronik [2,11,12]. Subtipe urtikaria kronik lain yakni

urtikaria fisik, “urtikaria kronik autoimun”, dan vaskulitis urtikarial. Urtikaria fisik

mungkin terjadi bersamaan dengan urtikaria kronik idiopatik (spontan). Pedoman

European Academy of Allergy and Clinical Immunology/Global Allergy and Asthma

European Network/European Dermatology Foundation/World Allergy Organization

(EAACI/GA2LEN/EDF/WAO) [11] dan World Allergy Organization membuat suatu

rancangan urtikaria terinduksi (dematografis, kontak dingin, tekanan lama, kontak panas,

solaris, akuagenik, kolinergik, kontak, dan getaran). Urtikaria kronik “autoimun”

menunjukkan pelepasan histamin atau aktivasi sel mast menyebabkan autoantibodi

terhadap IgE atau FcɛRI, dan merupakan salah satu subtipe urtikaria kronik idiopatik

(spontan) [2,11,12].

Pendekatan terhadap pasien

Dalam merencanakan pengobatan, akan sangat membantu untuk mempertimbangkan

beberapa faktor prognostik merugikan yang tercantum di Tabel 1 [2,4,13-21]. Daftar

tersebut terutama didasarkan atas penelitian pada orang dewasa; urtikaria fisik diakui

sebagai salah satu faktor prognostik merugikan pada anak-anak [4]. Apabila biopsi kulit

dapat dilakukan, hal tersebut mungkin cukup membantu, namun banyak pasien dengan

urtikaria kronik yang resisten antihistamin tidak memiliki vaskulitis urtikarial yang

mendasari. Rekam medis seharusnya mencatat pengobatan (dan dosisnya) yang sudah

pernah dicoba, tingkat berkurangnya pruritus, urtika dan angioedema, dan reaksi

merugikan apapun yang terjadi. Pandangan psikis pasien mengenai urtikaria kronik dan

pengobatannya sebaiknya dinilai. Beberapa pasien mungkin meragukan dokter dapat

membantu menyembuhkan akibat urtikaria kronik yang dialaminya telah berlangsung

persisten, serta mereka juga mungkin sudah tidak mempercayai rasio untung-rugi terapi

baru apapun maupun terapi-terapi yang belum pernah dicoba.

3

Page 4: Urtikaria kronik

Tabel 1 Faktor yang berhubungan dengan durasi yang lebih lama atau kesulitan

untuk menatalaksana urtikaria kronik

Faktor Keterangan

Kegagalan dosis tunggal H1 receptor blocker untuk mengontrol urtikaria kronik

Eksplorasi kualitas hidup

Durasi lama (6 bulan atau lebih) pada saat munculAngioedema Mencapai hingga 40%

pasienUrtikaria fisik Tanya dan uji di tempat yang

terindikasiPenyakit/hasil tes autoimun*Serum atau plasma uji kulit intradermal autologus positif Gunakan secara hati-hati

dengan sera dan plasmaIgG anti IgE atau IgG anti FcɛRI serumHipertensiAktivasi subklinis jalur koagulasi ekstrinsik (deteksi fragmen Protrombin) atau fibrinolisis (D-Dimer > 500 ng/mL)Aktivasi basofil (CD203c+)

*Berlaku pada dewasa namun tidak untuk anak pada patologi/autoantibodi tiroid

Pendekatan pengobatan terbaru sebagai pilihan untuk urtikaria kronik persisten

Terapi biologis

Omalizumab efektif untuk urtikaria kronik yang resisten terhadap antihistamin [22-

28]. Berbeda dengan pengobatan asma berat persisten dimana pasien harus dinilai 4 – 6

bulan setelah terapi omalizumab, berkurangnya pruritus dan lesi urtikaria terjadi dalam 1

minggu setelah injeksi tunggal 150 atau 300 mg secara subkutan [22]. Tingkat keparahan

dan durasi urtikaria kronik pada subjek penelitian digambarkan dengan rata-rata

penggunaan 4.3 obat dan rata-rata durasi lesi selama 6.8 tahun [22]. Subjek dinilai

berdasarkan sistem penilaian derajat gatal dimana nilai tertinggi yaitu 21 mewakili gejala

dan dampak terberat. Nilai terendah (yaitu 14) dibandingkan dengan minggu terakhir dari

interval aktif 12 minggu [22]. Subjek kelompok plasebo mendapat 1 antagonis reseptor H1

generasi kedua yang mereka gunakan sebelumnya untuk memulai omalizumab-plasebo

dengan pengobatan diphenhydramine. Berkurangnya gatal/nilai derajat keparahan adalah

sebesar 36% untuk subjek dengan placebo dibandingkan 70% untuk subjek dengan

pengobatan aktif omalizumab 300 mg [22]. Maka dari itu, jumlah pasien yang perlu diobati

(the number needed to treat/NNT) untuk menguntungkan seorang pasien dikalkulasikan

sebagai 1/peningkatan manfaat absolut atau

4

Page 5: Urtikaria kronik

NNT = 1/nilai hasil eksperimental - nilai kontrol,

dinyatakan dalam desimal dan bilangan

absolut, atau 1/0.70 - 0.36 = 1/0.34 = 2.9...

sebuah hasil yang sangat mengesankan.

Omalizumab telah disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat pada urtikaria

kronik idiopatik yang tidak dapat terkontrol oleh antagonis reseptor H1 pada pasien berusia

12 tahun atau lebih. Dosisnya berupa 150 mg atau 300 mg secara subkutan setiap 4

minggu. Belum ada masalah keamanan baru yang ditemukan pada pengobatan pasien

dengan urtikaria kronik. Respon cepat mungkin disebabkan oleh 1) ikatan antara

omalizumab dengan antibodi IgE bebas, yang terjadi dalam beberapa jam setelah

pemberian obat, yang mengurangi ikatan IgE dengan reseptor berafinitas tinggi FcɛRI pada

basofil dan sel mast, dan 2) downregulation ekspresi FcɛRI pada basofil (dalam 2 minggu)

dan sel mast (dalam 8 minggu) di dalam darah [22]. Apabila efek farmakologisnya

diekstrapolasi dari percobaan pada pasien dengan rhinitis alergika, maka omalizumab

berkaitan dengan terjadinya pengurangan ukuran papul/plakat yang terinduksi alergen serta

rekruitmen eosinofil menjadi reaksi kulit fase lanjut [29]. Eosinofil terdapat pada beberapa

pasien dengan urtikaria kronik, dan adanya aktivasi eosinofil pada kulit berlesi telah

dibuktikan dengan pewarnaan major basic protein (MBP) pada jaringan ekstraseluler [30].

Oleh karena MBP dapat mengaktivasi sel mast [31], maka efek anti-eosinofil dari

omalizumab mungkin merupakan mekanisme lain yang menyebabkan berkurangnya lesi

pada urtikaria kronik idiopatik (spontan) pada beberapa pasien.

Durasi pengobatan masih perlu untuk ditetapkan. Pada subjek penelitian yang

diobservasi selama 20 minggu setelah suntikan omalizumab ketiga dan terakhir dalam 8

minggu, terdapat pruritus dan urtikaria yang secara bertahap kembali timbul pada minggu

ke 20; data tersebut menyarankan durasi pengobatan selama 4 minggu dengan

berkurangnya efikasi selanjutnya. Penelitian ini menganjurkan waktu pengobatan yang

lebih lama untuk beberapa pasien. Pada pasien dengan asma sedang dan berat persisten

mungkin tidak melanjutkan pengobatan dengan omalizumab, dengan alasan kurangnya

manfaat terhadap efek yang diinginkan. Serupa dengan pengobatan atau intervensi lain,

keputusan untuk melanjutkan pengobatan omalizumab pada urtikaria kronik sebaiknya

mencakup penilaian manfaat terapeutik dan dampak apapun yang tidak diharapkan.

5

Page 6: Urtikaria kronik

Dosis antagonis reseptor H1 yang lebih tinggi

Peningkatan 4 kali lipat dosis standar antagonis reseptor H1 generasi kedua untuk

dewasa, levocetirizine dan desloratadine, menunjukkan penurunan gejala pada 75% pasien

dengan urtikaria kronik idiopatik (termasuk pasien dengan urtikaria fisik yang timbul

bersamaan) [32]. Delapan puluh pasien (yang terpilih secara acak) dengan urtikaria kronik

“yang sulit diobati” mencakup 58 pasien (72.5%) yang mendapat kortikosteroid oral dalam

3 minggu terakhir. Subjek penelitian tidak dapat dikontrol dengan antagonis reseptor H1

generasi pertama maupun kedua. Rancangan penelitian adalah randomized, blinded, dan

menggunakan pengobatan aktif levocetirizine atau desloratadine secara crossover, dengan

dosis awal 5 mg. Pada interval 1 minggu, dosis antagonis reseptor H1 ditingkatkan

menjadi 10 mg lalu 20 mg jika belum dapat mencapai kontrol. Jika subjek terbebas dari

gejala dan urtikaria selama 3 hari (“berhasil”), mereka tidak melanjutkan ke kelompok

crossover penelitian. Hasil penelitian mencakup pengawasan berikut: [1] penggandaan

dosis menjadi 10 mg cukup efektif pada kedua pengobatan aktif tersebut; [2] tingkat

keberhasilan awal (peningkatan hingga 20 mg jika diperlukan) lebih tinggi pada

levocetirizine (22 dari 40 subjek) dibandingkan dengan desloratadine (12 dari 37 subjek);

[3] saat pengobatan pada subjek yang bergejala diganti dengan kelompok alternatif lain,

manfaat terapeutik didapatkan pada levocetirizine namun tidak dengan desloratadine.

Sebagai contoh, 7 dari 25 subjek yang tidak mencapai keberhasilan penyembuhan dengan

desloratadine 20 mg, dapat terbebas dari gejala dengan levocetirizine 20 mg [32]. Sebagai

alternatif, 0 dari 18 subjek yang tidak mencapai keberhasilan penyembuhan dengan

levocetirizine 20 mg, membaik dengan desloratadine 20 mg [32]; [4] nilai dapat tidak

berubah dari penilaian dasar atau dapat lebih rendah dengan menggunakan kedua

pengobatan aktif tersebut. Pedoman WAO Scientific and Clinical Issues Council dan

EAACI/GA2LEN/EDF/WAO merekomendasikan dibandingkan penggunaan kortikosteroid

oral sebagai pengobatan lini-kedua untuk pasien dengan urtikaria kronik, antagonis

reseptor H1 generasi kedua dengan dosis yang lebih tinggi lebih layak dicoba.

Efektivitas obat-obatan terdahulu untuk urtikaria kronik persisten

Antidepresan trisiklik

6

Page 7: Urtikaria kronik

Antidepresan trisiklik, doxepin, telah diteliti pada uji 2 double blind terkontrol

[33,34]. Meskipun doxepin telah digunakan selama sekurang-kurangnya 30 tahun,

antagonis reseptor H1 (dan reseptor H2) tetap poten dan efektif pada beberapa pasien tanpa

adanya intoleransi maupun rasa kantuk. Dalam sebuah studi pada 50 pasien, doxepin 10

mg 3 kali sehari dibandingkan dengan diphenhydramine 25 mg 3 kali sehari [33].

“Hilangnya pruritus dan lesi urtikaria terjadi pada 43% pasien yang mendapat doxepin, dan

hanya 5% pada pasien yang mendapat diphenhydramine” [33]. Dan pada studi lain yang

mencakup 16 dewasa, doxepin lebih unggul dibandingkan plasebo serta mampu meredakan

papul/plakat kutaneus yang diproduksi histamin dan codein [34]. Efek samping anti-

kolinergik seperti konstipasi dan mulut kering dapat terjadi selain efek sedasi.

Bagaimanapun juga, doxepin (dan antidepresan trisiklik lain seperti nortriptyline) mungkin

bermanfaat untuk mengobati urtikaria kronik yang sulit.

Antagonis reseptor leukotrien

Akibat injeksi intradermis LTD4 dosis minimal dapat menyebabkan reaksi

papul/plakat/eritema [35,36], antagonis reseptor leukotrien zafirlukast [37] dan

montelukast [38,39] telah diuji coba pada pasien dengan urtikaria kronik idiopatik. Dalam

uji kontrol-plasebo 2 kelompok, penambahan zafirlukast 20 mg 2 kali sehari ke cetirizine

10 mg 1 kali sehari menghasilkan suatu penurunan “sederhana namun signifikan” dalam

skala analog visual (visual analogue scale) ketika dinilai selama 3 minggu dibandingkan

dengan cetirizine monoterapi [37]. Apabila ditinjau ke belakang, pasien-pasien yang

memiliki serum uji kulit autologus positif cenderung berespon terhadap montelukast

sebagai terapi “tambahan” [37]. Pada sebuah studi double-blind, crossover, kontrol-

plasebo, tidak terdapat perbedaan antara montelukast 10 mg dengan placebo (termasuk

pada pasien dengan intoleransi aspirin yang timbul bersamaan) sebagai terapi tambahan.

Sebuah ulasan sistematis tahun 2009 menyimpulkan bahwa “montelukast mungkin efektif

pada urtikaria kronik yang berhubungan dengan hipersensitivitas terhadap aspirin (ASA)

atau zat aditif makanan atau dengan autoreaktivitas terhadap injeksi serum intradermis

(ASST) apabila diberikan dengan antihistamin, tetapi tidak berlaku pada urtikaria kronik

idiopatik ringan atau sedang (urtikaria tanpa penyebab sekunder yang mungkin...)” [40].

Literatur tersebut menyebutkan bahwa jika suatu respon terhadap antagonis reseptor

leukotrien bagus, hal tersebut terjadi selama 3 minggu pertama. Maka dari itu, seorang

pasien dapat diuji selama 3 – 4 minggu dan apabila tidak terjadi reaksi simptomatik,

antagonis reseptor leukotrien dapat dihentikan. Merupakan hal menarik bahwa antagonis

7

Page 8: Urtikaria kronik

reseptor leukotrien telah dilaporkan efektif pada beberapa tipe urtikaria fisik seperti

urtikaria kontak dingin, urtikaria tekanan lama dan dermatografisme [40].

Obat-obatan imunosupresif

Obat-obatan imunosupresif dapat menjadi terapeutik sebagai monoterapi untuk

pasien dengan urtikaria kronik tidak terkontrol. Terdapat respon nyata terhadap obat-

obatan imunosupresif pada 1-4 minggu awal terapi. Beberapa pasien berespon setelah 3 – 5

bulan pengobatan. Pertimbangan manfaat-risiko harus dinilai, dan pasien harus diawasi

mengenai bahaya klinis dan abnormalitas hasil laboratorium. Cyclosporine [41-45],

tacrolimus [46], mycophenolate mofetil [47,48], methotrexate [49], azathioprine [50] dan

mizoribine [51] telah diketahui efektif pada beberapa pasien yang sulit disembuhkan,

khususnya urtikaria kronik bergantung-prednisone. Terdapat berbagai macam tinjauan

mengenai pilihan pengobatan ketika pasien mengalami gagal terapi-terapi lain [52-56].

Dosis awal harian cyclosporine adalah 5 mg/kg namun untuk menghindari hipertensi dan

hilangnya fungsi ginjal (biasanya reversibel), digunakan dosis yang lebih rendah yaitu 1.5

– 2.5 mg/kg/hari [41]. Pemeriksaan tekanan darah pasien dilakukan 2 kali seminggu dan

fungsi ginjal diperiksa setiap 2 minggu. Apabila kreatinin serum meningkat 30%, maka

dosis cyclosporine diturunkan. Jika kadar kreatinin tidak kembali ke nilai awal dalam 2

minggu lebih, (setelah 1 bulan meningkat), dapat diambil keputusan untuk menghentikan

pengobatan [41]. Dosis harian tacrolimus dilaporkan setinggi 0.05 – 0.07 mg/kg 2 kali

sehari selama 4 minggu lalu diturunkan menjadi ½ selama 6 minggu [46]. Pada akhirnya,

dosisnya menjadi 1 mg/hari. Dikarenakan oleh efek samping (nyeri abdomen, diare, nyeri

kepala, dll), pengarang memulai dengan 5 mg/hari untuk dewasa untuk memastikan

tolerabilitas dan keamanan. Khan merekomendasikan pemberian awal 1 mg 2 kali sehari

[52]. Mycophenolate mofetil, yang tidak menyebabkan gangguan ginjal namun dapat

meningkatkan risiko infeksi, diawali dengan dosis 1000 mg 2 kali sehari [52]. Azathioprine

dapat menyebabkan nyeri abdomen akut, nausea, arthralgia, fungsi hati abnormal dan

sitopenia, dan juga mungkin efektif sebagai monoterapi. Pengarang mengawali terapi pada

dewasa dengan dosis 100 mg/hari. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan setiap 2

minggu pada 2 bulan pertama lalu menjadi interval yang lebih sedikit bila terdapat respon

terhadap azathioprine.

Agen-agen lainnya

8

Page 9: Urtikaria kronik

Colchicine [57-59], dapsone [60-62] dan sulfasalazine [63,64] memiliki efek anti-

inflamatorik yang berkontribusi untuk mengurangi frekuensi dan keparahan lesi urtikaria

pada urtikaria kronik resisten-terapi. Agen-agen ini memiliki efek merugikan spesifik

seperti diare untuk colchicine, hemolisis dan methemoglobinemia (walaupun pada pasien

dengan glukosa 6 fosfat dehidrogenase yang cukup) untuk dapsone, dan gejala

gastrointestinal, nyeri kepala, ruam, leukopenia dan peningkatan fungsi hati untuk

sulfasalazine. Kebanyakan pengalaman berasal dari ulasan retrospektif. Dosis awal pada

dewasa adalah sebagai berikut: colchicine 0.6 mg/hari selama seminggu lalu 2 kali sehari

[57]; 25 – 100 mg/hari untuk dapsone, dan 500 mg/hari ditingkatkan mingguan hingga

2000 mg/hari untuk sulfasalazine [64].

Pada peningkatan konsentrasi D-dimer sebagai cerminan dari aktivasi jalur eksternal

sistem koagulasi dan fibrinolisis, pasien dengan urtikaria kronik resisten-terapi mendapat

suatu heparin berat molekul rendah, nadroparin (11,400 IU) per hari dan tranexamic acid

oral sebagai inhibitor fibrinolisis [65]. Terdapat “perbaikan nyata” dalam 2 minggu pada 5

dari 8 pasien [65]. Konsentrasi D-dimer menurun pada responden dan non-responden. Ini

diduga karena faktor jaringan, yang mengaktivasi kaskade koagulasi, berasal dari eosinofil

di urtikaria kronik [66]. Warfarin telah dilaporkan sebagai pengobatan yang mungkin

dalam sebuah uji double-blind, crossover, terkontrol dimana Rasio Normalisasi

Internasional (International Normalized Ratio/INR) antara 2.0 dan 2.5 [67]. Pada pasien

yang membaik, tidak terdapat penurunan respon terhadap injeksi histamine atau aktivator

sel mast intradermis, yaitu 48 dari 80 pasien [67]. Selain menghambat trombin dan

menurunkan sintesis protein C dan faktor dependen-vitamin K (protrombin dan VII, IX,

dan X), warfarin mengurangi pembentukan kinin, aktivasi komplemen, dan down-regulate

molekul adhesi vaskuler.

Disetujui untuk Leishmaniasis karena aktivitas anti-tripanosomatidnya dan diakui

sebagai obat dengan efek antineoplastik, inhibitor protein kinase B, miltefosine, dilaporkan

dapat menurunkan nilai aktivitas urtikaria pada pasien resisten antihistamin (UAS7) selama

4 minggu dibandingkan dengan placebo [68]. Intensitas pruritus tidak berkurang. Efek

samping mencakup muntah, diare, peningkatan fungsi hati dan peningkatan serum

kreatinin. Bagaimana cara miltefosine dapat digunakan untuk mengontrol urtikaria kronik

masih belum dipastikan.

Ringkasan

9

Page 10: Urtikaria kronik

Urtikaria kronik menyebabkan gangguan kualitas hidup dan pada ½ jumlah pasien

tidak segera berespon terhadap dosis standar tunggal antagonis reseptor H1. Selain

meningkatkan dosis agen generasi kedua hingga 4 kali lipat, levocetirizine [32] atau

desloratadine [32] juga cukup berguna pada beberapa pasien, ini secara kasar ekuivalen

terhadap penggunaan antagonis reseptor H1 generasi pertama yang poten dan bertahan

lama (dimana hydroxyzine 25 mg sebanding dengan cetirizine 10 mg) [54]. Oportunitas

untuk mengobati urtikaria kronik idiopatik (spontan) dengan omalizumab memberikan

suatu pendekatan keamanan yang menghasilkan pengurangan pruritus dan jumlah urtika

dalam 1 minggu pemberian dosis subkutis pertama [22]. Jumlah pasien yang diobati untuk

menguntungkan seorang pasien dengan omalizumab adalah 2.9, suatu angka yang sangat

baik. Penting untuk memastikan apakah pengobatan jangka panjang dapat menyebabkan

remisi penyakit.

10