epidemiologi urtikaria

45
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Urtikaria pertama kali digambarkan dalam sastra Inggris pada tahun 1772, walaupun sebenarnya penyakit telah diakui sepanjang sejarah. Urtikaria ditandai dengan onset edema setempat pada kulit yang berhubungan dengan rasa gatal dan terbakar yang disebabkan oleh bermacam- macam sebab. 1,2 Urtikaria juga kadang dikenal sebagai hives, nettle rash, biduran, kaligata. 2 Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai dan mengenai 15-25% populasi semasa hidupnya. Urtikaria dapat terjadi secara akut maupun kronik. Urtikaria akut adalah gangguan umum yang sering mendorong pasien untuk mencari pengobatan di unit gawat darurat (UGD). Bahkan, urtikaria akut adalah penyakit kulit paling umum yang dirawat di UGD. 1 Urtikaria kronik yang terjadi setiap hari selama lebih dari 6 minggu dapat mengganggu kualitas hidup seseorang. 3 Kebanyakan kasus urtikaria adalah self-limited dan durasinya pendek. Namun, ketika urtikaria menjadi kronik, maka akan menjadi masalah bagi pasien atau dokter yang merawat. 4 Walaupun patogenesis dan beberapa penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata pengobatan yang 1

Upload: lady-manga-patanduk

Post on 19-Jan-2016

65 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: epidemiologi urtikaria

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Urtikaria pertama kali digambarkan dalam sastra Inggris pada tahun 1772,

walaupun sebenarnya penyakit telah diakui sepanjang sejarah. Urtikaria ditandai

dengan onset edema setempat pada kulit yang berhubungan dengan rasa gatal dan

terbakar yang disebabkan oleh bermacam-macam sebab.1,2 Urtikaria juga kadang

dikenal sebagai hives, nettle rash, biduran, kaligata.2

Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai dan mengenai 15-25%

populasi semasa hidupnya. Urtikaria dapat terjadi secara akut maupun kronik.

Urtikaria akut adalah gangguan umum yang sering mendorong pasien untuk mencari

pengobatan di unit gawat darurat (UGD). Bahkan, urtikaria akut adalah penyakit kulit

paling umum yang dirawat di UGD.1 Urtikaria kronik yang terjadi setiap hari selama

lebih dari 6 minggu dapat mengganggu kualitas hidup seseorang.3

Kebanyakan kasus urtikaria adalah self-limited dan durasinya pendek. Namun,

ketika urtikaria menjadi kronik, maka akan menjadi masalah bagi pasien atau dokter

yang merawat.4 Walaupun patogenesis dan beberapa penyebab yang dicurigai telah

ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak memberi hasil

seperti yang diharapkan.2 Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-langkah

umum untuk mencegah atau menghindari faktor pemicu dan farmakoterapi.

Penatalaksanaan tersebut distratifikasikan menjadi first-line therapy, second-line

therapy, dan third-line therapy.3

B. Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui penatalaksanaan

urtikaria.

BAB II

1

Page 2: epidemiologi urtikaria

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya

ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan,

berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat

dikelilingi halo.2

B. Anatomi dan Fisiologi Kulit

1. Anatomi Kulit

Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh. Lapisan luar

kulit adalah epidermis dan lapisan dalam kulit adalah dermis atau korium.5

Epidermis terdiri atas lima lapisan yaitu stratum korneum, stratum lusidum,

stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale (stratum germinativum).

Fungsi epidermis sebagai proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan

sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan

alergen (sel langerhans).5

Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan papiler dan lapisan retikuler yang

merupakan lapisan tebal terdiri dari jaringan ikat padat. Fungsi dermis berfungsi

sebagai struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing

forces dan respon inflamasi. Subkutis merupakan lapisan di bawah dermis atau

2

Gambar 1. Lapisan Epidermis Kulit.6

Page 3: epidemiologi urtikaria

hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak, berfungsi menunjang suplai darah ke

dermis untuk regenerasi.5

2. Fisiologi Kulit

Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya

adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier

infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi, dan metabolisme.

Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma

mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen. Kulit

berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan cairan elektrolit.5

C. Epidemiologi

Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa urtikaria

(kronis, akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada suatu waktu dalam

hidup mereka. Chronic idiopatic urticaria (CIU) terjadi hingga 0,5-1,5% populasi

semasa hidupnya. Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden

urticaria kronis tidak meningkat pada orang dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria

3

Gambar 2. Anatomi Kulit.7

Page 4: epidemiologi urtikaria

berdasarkan usia menunjukkan bahwa urtikaria akut paling sering terjadi pada anak

dan dewasa muda, sedangkan CIU lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita

setengah baya.4

Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada perempuan (0.48%)

daripada laki-laki (0.12%). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada

perbedaan prevalensi urtikaria kronik berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis,

atau luas wilayah suatu kota. Sedangkan insidensi urtikaria akut pada suatu kota

dengan penduduk lebih dari 500.000 orang mempunyai frekuensi urtikaria akut yang

secara signifikan lebih tinggi daripada wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari

500.000.8

D. Etiologi

Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga

penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain: 2

1. Obat

Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik

maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik)

menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara

non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya

opium dan zat kontras.2

2. Makanan

Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat

reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan,

kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.2

3. Gigitan atau sengatan serangga

Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih

banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).2

4. Bahan fotosenzitiser

4

Page 5: epidemiologi urtikaria

Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan

kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.2

5. Inhalan

Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang,

dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).2

6. Kontaktan

Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil,

air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect

repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik.2

7. Trauma Fisik

Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor tekanan,

dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non

imunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa

menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau

fenomena Darier.2

8. Infeksi dan infestasi

Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri,

virus, jamur, maupun infestasi parasit.2

9. Psikis

Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan

permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .2

10. Genetik

Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang

menunjukkan penurunan autosomal dominant.2

11. Penyakit sistemik

Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi

lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.2

B. Klasifikasi

5

Page 6: epidemiologi urtikaria

Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada karakteristik klinis daripada

etiologi karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi atau patogenesis urtikaria

dan banyak kasus karena idiopatik.3 Terdapat bermacam-macam klasifikasi urtikaria,

berdasarkan lamanya serangan berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik.

Klasifikasi urtikaria yang lain tampak pada tabel 1.3,9

Tabel 1. Klasifikasi Urtikaria

Ordinary urticarias

Acute urticaria

Chronic urticaria

Contact urticaria

Physical urticarias

Dermatographism

Delayed dermatographism

Pressure urticaria

Cholinergic urticaria

Vibratory angioedema

Exercise-induced urticaria

Adrenergic urticaria

Delayed-pressure urticaria

Solar urticaria

Aquagenic urticaria

Cold urticaria

Special syndromes

Schnitzler syndrome

Muckle-Wells syndrome

Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy

Urticarial vasculitis

1. Urtikaria Akut

Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau

berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.2 Lesi individu biasanya hilang

dalam <24 jam, terjadi lebih sering pada anak-anak, dan sering dikaitkan dengan

6

Page 7: epidemiologi urtikaria

atopi. Sekitar 20%-30% pasien dengan urtikaria akut berkembang menjadi kronis atau

rekuren.3

2. Urtikaria Kronik

Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu2,

pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama lebih dari 6

minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya mungkin parah dan dapat

mengganggu kesehatan terkait dengan kualitas hidup.3

3. Urtikaria Kontak

Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan urticarial wheals di tempat

di mana agen eksternal membuat kontak dengan kulit atau mukosa. Urtikaria kontak

dapat dibagi lagi menjadi bentuk alergi (melibatkan IgE) atau non-alergi (IgE-

independen).3

4. Urtikaria Fisik

a. Dermographism

Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan

merupakan suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk linier yang

tepinya eritem yang muncul beberapa detik setelah kulit digores.9,10 Dermographism

tampak sebagai garis biduran (linear wheal). Transient wheal atau biduran yang

sementara muncul secara cepat dan biasanya memudar dalam 30 menit; akan tetapi,

kulit biasanya mengalami pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul.9

b. Delayed dermographism

7

Gambar 3. Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear wheal.9

Page 8: epidemiologi urtikaria

Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan atau tanpa

immediate reaction, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri dari nodul

eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan delayed pressure urticaria.9

c. Delayed pressure urticaria

Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema lokal, sering

disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap kulit.

Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah sabuk

pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan setelah mengerjakan pekerjaan

dengan tangan.9

d. Vibratory angioedema

Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat, dapat

berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa tahun karena

paparan vibrasi okupasional seperti pada pekerja-pekerja di pengasahan logam karena

getaran-getaran gerinda. Urtikaria ini dapat sebagai kelainan autosomal dominan

yang diturunkan dalam keluarga. Bentuk keturunan sering disertai dengan flushing

pada wajah. 9,10

e. Cold urticaria

Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan (herediter).

Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang meliputi perubahan

dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung dengan objek dingin. Jarak antara

paparan dingin dan onset munculnya gejala adalah kurang lebih 2,5 jam, dan rata-rata

durasi episode adalah 12 jam.9

8

Gambar 4. Delayed Pressure Urticaria pada Kaki.11

Gambar 5. Cold Urticaria. 9

Page 9: epidemiologi urtikaria

f. Cholinergic urticaria

Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh. Cholinergic

urticaria terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast. Erupsi tampak dengan

biduran bentuk papular, bulat, ukuran kecil kira-kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh

flare eritema sedikit atau luas merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.9,10

g. Local heat urticaria

Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi dalam

beberapa menit setelah paparan dengan panas secara lokal, biasanya muncul 5 menit

setelah kulit terpapar panas diatas 43°C. Area yang terekspos menjadi seperti

terbakar, tersengat, dan menjadi merah, bengkak dan indurasi. 9,10

9

Gambar 6. Cold Urticaria. 9

Gambar 7. Local Heat Urticaria. 12

Page 10: epidemiologi urtikaria

h. Solar urticaria

Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan kadang-

kadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan sinar

matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil

dan neutrofil dapat ditemukan dalam darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet A

(UVA), UVB, dan sinar/cahaya yang terlihat.9

i. Exercise-induced anaphylaxis

Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri dari

pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan sinkop yang

berbeda dari cholinergic urticaria. Exercise-induced anaphylaxis memerlukan

olahraga/exercise sebagai stimulusnya. 9

j. Adrenergic urticaria

Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh white halo yang

terjadi selama stress emosional. Adrenergic urticaria terjadi karena peran

norepinefrin. Biasanya muncul 10-15 menit setelah rangsangan faktor pencetus

seperti emosional (rasa sedih), kopi, dan coklat.9,10

10

Gambar 8. Solar Urticaria. 13

Gambar 9. Exercise-induced anaphylaxis.14

Page 11: epidemiologi urtikaria

k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus

Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan urtikaria

dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena bertindak sebagai pembawa

antigen-antigen epidermal yang larut air. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil

yang mirip dengan cholinergic urticaria.9,10

4. Sindrom Khusus

a. Schnitzler syndrome

Schnitzler Syndrome adalah varian unik urtikaria kronis yang ditandai oleh

pruritic non-wheals yang berulang, demam intermiten, nyeri tulang, arthralgias, atau

radang sendi, terdapat peningkatan erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan

monoclonal IgM gammopathy. 3,15

b. Muckle-Wells syndrome

Muckle-Wells syndrome adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan

autoinflammatory yang ditandai dengan urtikaria, arthralgia, ketulian sensorineural

yang progresif, dan amiloidosis.3,16

c. Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy

Pada wanita hamil dapat muncul erupsi papular urtikaria dan plak disertai gatal

yang dikenal dengan Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy (PUPP).

Erupsi muncul secara tiba-tiba dengan 90% di abdomen, dan dalam beberapa hari

dapat menyebar secara simetris dengan tidak melibatkan wajah.9

d. Urticarial vasculitis

Presentasi klinis urticarial vaculitis dapat dibedakan dari urtikaria kronis.

Berbeda dengan urtikaria kronis, lesi dari urticarial vasculitis cenderung bertahan

lebih lama dari 24 jam dan berkaitan dengan sensasi panas, nyeri, dan gatal. Lesi ini

juga digambarkan sebagai penyembuhan dengan atau petechiae purpura karena

garukan.3

C. Patogenesis

11

Page 12: epidemiologi urtikaria

Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang

meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan

cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan.

Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan

mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of

anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.2

Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast

atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada yang

nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang

peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan

amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan

beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin,

dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui langsung

dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya

panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung merangsang sel

mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat

merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas.2

Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik;

biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya

reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi

degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak

pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga

ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif

menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mast

dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.

Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan

kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat

kontak dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga,

12

Page 13: epidemiologi urtikaria

bahan kosmetik, dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik

menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.

13

SEL MAS BASOFIL

FAKTOR NON IMUNOLOGIK FAKTOR IMUNOLOGIK

Efek kolinergik

Faktor fisik(panas, dingin, trauma,

sinar X, cahaya)

AlkoholEmosi

Demam

Idiopatik?

Bahan kimia pelepas mediator(morfin,kodein)

Reaksi tipe I (IgE)(inhalan, obat, makanan, infeksi)

Reaksi tipe IV (kontaktan)

Pengaruh komplemen

Reaksi tipe II

Reaksi tipe III

URTIKARIA

Aktivasi komplemenklasik – alternatif

(Ag-Ab, venom, toksin)

Faktor genetik(defisiensi C1 esterase inhibitor)

PELEPASAN MEDIATOR(histamin, SRSA, serotonin,

kinin, PEG, PAF)

VASODILATASI

PERMEABILITAS KAPILER ↑

Gambar 10. Diagram Faktor Imunologik dan Non-Imunologik yang Menimbulkan Urtikaria2

Page 14: epidemiologi urtikaria

D. Gejala dan Tanda

1. Gejala

Gejala urtikaria adalah sebagai berikut: 2,4

a. Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.

b. Biduran berwarna merah muda sampai merah.

c. Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat mucul

seterusnya.

d. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut diare,

muntah dan nyeri kepala.

2. Tanda

Tanda urtikatria adalah sebagai berikut: 2,4

a. Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-kadang

bagian tengah tampak lebih pucat.

b. Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.

14

Page 15: epidemiologi urtikaria

c. Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala hipotensi,

respiratory distress, stridor, dan gastrointestinal distress.

d. Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika ditekan,

maka merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat meninggalkan

perubahan pigmentasi.

e. Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan objek

tumpul dan diamati pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-15 menit.

f. Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema.

E. Diagnosis Banding

1. Angioedema

Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya

permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa, dan lapisan

submukosa yang terjadi pada saluran napas dan saluran cerna. Angioedema dapat

disebabkan oleh mekanisme patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada

angioedema mengenai lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutaneus.

Karakteristik dari angioedema meliputi vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan

yang lebih dalam daripada yang tampak pada urtikaria, pembengkakan yang

nonpitting dan nonpruritic dan biasanya terjadi pada permukaan mukosa dari saluran

nafas dan saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen berat),

serta suara serak yang merupakan tanda paling awal dari edema laring.9

2. Pitiriasis rosea

Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak sering dijumpai.

Morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang

sesuai dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama halus. Lokalisasinya dapat

tersebar di seluruh tubuh, terutama pada tempat yang tertutup pakaian. Efloresensi

berupa makula eritroskuamosa anular dan solitar, bentuk lonjong dengan tepi hampir

tidak nyata meninggi dan bagian sentral bersisik, agak berkeringat. Sumbu panjang

lesi sesuai dengan garis lipat kulit dan kadang-kadang menyerupai gambaran pohon

15

Page 16: epidemiologi urtikaria

cemara. Lesi inisial (herald patch = medallion) biasanya solitary, bentuk oval, anular,

berdiameter 2-6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald patch.17

3. Urtikaria pigmentosa

Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang

berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal.

Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit pada kulit. Lokalisasi terutama pada badan,

tapi dapat juga mengenai ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula

coklat-kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh, dapat

juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel.17

4. Dermatitis atopik

Dermatitis atopik adalah dermatitis yang timbul pada individu dengan riwayat

atopi pada dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu riwayat asma bronchial, rhinitis

alergika, dan reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk tanaman. Penyebab yang pasti

belum diketahui, tetapi faktor turunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya

penyakit. Gejala utama dermatitis atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul

sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita

akan menggaruk sehingga timbul papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi,

eksudasi, dan krusta. Diagnosis dermatitis atopi harus mempunyai tiga kriteria mayor

dan tiga kriteria minor dari Hanifin dan Rajka.2

5. Dermatitis kontak alergi

Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi

yang menempel pada kulit pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap

suatu alergen. Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua bagian tubuh dapat

terkena. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas

kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat

pecah menimbulkan erosindan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit

kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya tidak

jelas.2,17

16

Page 17: epidemiologi urtikaria

F. Diagnosis

1. Anamnesis

Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam, dan gatal

dapat bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau kronik. 9

Beberapa pertanyaan untuk menentukan penyebab alergi atau non-alergi adalah

sebagai berikut: 4

a. Apakah biduran berhubungan dengan makanan? Apakah ada makanan baru

yang ditambahkan dalam menu makanan?

b. Apakah pasien sedang menjalani pengobatan rutin atau menggunakan obat

baru? Jika iya, apakah jenis obat tersebut?

c. Apakah pasien mempunyai penyakit kronik atau riwayat penyakit kronik?

d. Apakah pasien sedang hamil?

e. Apakah biduran disebabkan oleh stimulus fisik seperti panas, dingin, tekanan,

vibrasi?

f. Apakah biduran berhubungan dengan senyawa yang dihirup atau kontak

dengan kulit yang mungkin timbul pada tempat kerja?

g. Apakah biduran berhubungan dengan gigitan/sengatan serangga?

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi: 2, 9,18

Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.

Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi

kulit, kadang-kadang bagian tengah tampak pucat.

Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.

Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.

Dermographism.

b. Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang memungkinkan

menjadi presipitasi urtikaria atau dapat berpotensi mengancam nyawa,

diantaranya adalah: 9

17

Page 18: epidemiologi urtikaria

Faringitis atau infeksi saluran nafas atas, khususnya pada anak-anak.

Angioedema pada bibir, lidah, atau laring.

Sklera ikterik, pembesaran hati, atau nyeri yang mengindikasikan adanya

hepatitis atau penyakit kolestatik hati.

Pembesaran kelenjar tiroid.

Lymphadenopati atau splenomegali yang dicurigai limfoma.

Pemeriksaan sendi untuk mencari bukti adanya penyakit jaringan

penyambung, rheumatoid arthritis, atau systemic lupus erythematosus

(SLE).

Pemeriksaan pulmonal untuk mencari pneumonia atau bronchospasm

(asthma).

Ekstremitias untuk mencari adanya infeksi kulit bakteri atau jamur.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya

infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.2 Pemeriksaan darah

rutin bisa bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit

penyerta. Pemeriksaan-pemeriksaan seperti komplemen, autoantibodi,

elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati, dan urinalisis akan

membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4

komplemen sangat penting pada kasus angioedema berulang tanpa urtikaria.19

Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin.2

b. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina.

Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.2

c. Tes Alergi

Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan

melakukan tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik

(radio-allergosorbent test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan

serum pasien sendiri (autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai

18

Page 19: epidemiologi urtikaria

tes penyaring yang cukup sederhana untuk mengetahui adanya faktor

vasoaktif seperti histamine-releasing autoantibodies. 20

d. Tes Provokasi

Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes

alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes

provokasi ini dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin

keamanannya.18

e. Tes eleminasi makanan

Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang

dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.2

f. Tes foto tempel

Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar.18

g. Suntikan mecholyl intradermal

Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria

kolinergik.2

h. Tes fisik

Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila dicurigai

adanya alergi pada suhu tertentu. 2

i. Pemeriksaan histopatologik

Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu diagnosis.2

Pada urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak terdapat

perubahan epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan peningkatan jarak

antara serabut-serabut kolagen karena dipisahkan oleh edema dermis. Selain

itu terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler di papilla dermis dan pembuluh

limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu terdapat suatu infiltrat limfositik

perivaskuler dan mungkin sejumlah eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya

pada kulit yang bersangkutan.10

Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan kronik.

Beberapa lesi urtikaria mempunyai campuran infiltrat seluler, yaitu campuran

limfosit, polymorphonuclear leukocyte (PMN), dan sel-sel inflamasi lainnya.

19

Page 20: epidemiologi urtikaria

Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan histopatologi dari respon

alergi fase akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris yang sangat parah atau

urtikaria atipikal memiliki vaskulitis pada biopsi kulit. Spektrum histopatologi

berhubungan derajat keparahan penyakit, mulai dari limfositik (ringan)

sampai ke vaskulitik (parah).4

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-line

therapy, dan third-line therapy.3

1. First-line therapy

First-line therapy terdiri dari: 3,4

a. Edukasi kepada pasien:

Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria dengan

menggunakan bahasa verbal atau tertulis.

Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak

mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan

fakta jika penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan.

b. Langkah non medis secara umum, meliputi:

Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres,

alcohol, dan agen fisik.

Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.

Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.

Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau

2%.

c. Antagonis reseptor histamin

Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap.

Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja

antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada

reseptor-reseptornya. Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan

angioedema dipercayakan pada efek antagonis terhadap histamin pada

reseptor H1 namun efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping

20

Page 21: epidemiologi urtikaria

farmakologik yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin

yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi

nonsedasi golongan ini disebut sebagai antihistamin nonklasik.2

Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah terfenadin,

aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih

cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih

lambat dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin)

sedangkan aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral.

Efektifitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan AH1 yang klasik

bahkan aztemizol masih efektif 21 hari setelah pemberian dosis tunggal secara

oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang long

acting. Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi

karena tidak dapat menembus sawar darah otak.2

Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan pada

beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah tipe

H2. Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri karena efeknya

yang minimal pada pruritus. Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah

cimetidine, ranitidine, nizatidine, dan famotidine.3

2. Second-line therapy

Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-line

therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-farmakologi.

a. Photochemotherapy

Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy (psoralen plus

UVA [PUVA]) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian

menunjukkan peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola urtikaria

fisik tapi tidak untuk urtikaria kronis.

b. Antidepresan

21

Page 22: epidemiologi urtikaria

Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis

reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai

efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik.

Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan urtikaria kronik yang

bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk pengobatan depresi dapat

bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30 mg/hari yang dianjurkan

untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan yang menunjukkan

efek signifikan pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah

dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayed-

pressure urticaria pada dosis 30 mg/hari.3

c. Kortikosteroid

Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin

gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping bermasalah.

Dalam situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon dengan

menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka pertimbangkan

kemungkinan proses penyakit lain (misalnya, keganasan, mastocytosis,

vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam urticarial vasculitis,

yang biasanya tidak respon dengan antihistamin. Sebuah kursus singkat dari

kortikosteroid oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa

tappering) atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika digunakan

untuk episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin.

Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang pengobatan

urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid seperti hiperglikemia,

osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi.3,4

Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone,

methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi

prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa

40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak 0.5-2

mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari. Prednisolone dapat

mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60

22

Page 23: epidemiologi urtikaria

mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anak-

anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis).

Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler,

diberikan dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8

mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.4

d. Leukotriene Receptor Antagonist

Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan

mempunyai respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria

kronis atau pada individu yang sehat. Leukotriene receptor antagonist seperti

montelukast, zafirlukast, dan zileuton menunjukkan keunggulan yang lebih

dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan pasien dengan urtikaria

kronik.3

e. Antagonis saluran kalsium

Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan

whealing pada pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau

dikombinasikan dengan antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan

dengan modifikasi influks kalsium ke dalam sel mast kutaneus.3

3. Third-line therapy

Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak berespon

terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line therapy menggunakan agen

immunomodulatori, yang meliputi cyclosporine, tacrolimus, methotrexate,

cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG).

Pasien yang memerlukan third-line therapy seringkali mempunyai bentuk autoimun

dari urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya meliputi plasmapheresis, colchicine,

dapsone, albuterol (salbutamol), asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine,

hydroxychloroquine, dan warfarin.3

a. Immunomudulatory Agents

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam

mengobati pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine dengan

23

Page 24: epidemiologi urtikaria

dosis 3-5 mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga pasien dengan

urtikaria kronik yang tidak berespon terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan

dosis 20-µg/mL setiap hari dapat mengobati pasien dengan corticosteroid-

dependent urticaria.3

Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen

pasien dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme

yang terlibat tidak jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi

anti-idiotypic antibody yang bersaing dengan IgG endogen untuk reseptor H1

dan memblok pelepasan histamin atau memperbanyak klirens IgG endogen.3

b. Plasmapheresis

Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan

urtikaria autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup untuk

mencegah akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan histamine dan

harus diselidiki dalam hubungannya dengan penggunaan immunosuppressant

pharmacotherapy.3

c. Obat lainnya

Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam mengelola

urtikaria ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis, tetapi mungkin

paling berguna untuk urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine juga telah

menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pengobatan urtikaria kronik

idiopatik; dan telah dikaitkan dengan respon yang baik pada

hypocomplementemic urticarial vasculitis. Meskipun ß2-adrenoceptor agonist

terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik, penggunaannya

umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan insomnia

yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.3

24

First-line TherapyEdukasiLangkah non-medis

↓Antihistamin

Second-line TherapyFarmakologiNon-farmakologi

PUVAAntidepresanKortikosteroidLeukotriene receptor antagonistCCB

Third-line TherapyImmunomodulatory agent

CyclosporineTacrolimus

PlasmapheresisObat lain:

Colchicine DapsoneHydroxychloroquineTerbutaline

URTIKARIA

Gambar 11. Alur Penatalaksanaan Urtikaria.

Page 25: epidemiologi urtikaria

25

NACNAC selama 3 minggu

Identifikasi dan menghilangkan penyebab.

Mengurangi faktor non spesifik yang memperberat vasodilatasi kulit(alkohol, aspirin, olahraga, stress emosional)

Ringan Sedang-Berat Berat(Distress pernapasan, asma, edema

laring)

Antihistamin H1 non sedatif Antihistamin H1 non sedatif

Antihistamin H1 non sedatif+

Kortikosteroid oral

Epinefrin subkutan↓

Kortikosteroid sistemik(oral atau IV)

↓Antihistamin H1 (IM)

NAC: not adequately controlled

Gambar 12. Pedoman Penatalaksanaan Urtikaria Akut.20

Page 26: epidemiologi urtikaria

Pada urtikaria akut, identifikasi dan menghilangkan penyebab adalah ideal,

namun sayang sekali bahwa hal ini tidak dilakukan pada beberapa kasus. Meskipun

demikian, faktor pendorong yang pasti dapat dikurangi atau dihilangkan. Kami

menganjurkan bahwa pasien dengan urtikaria akut ringan seharusnya memulai

pengobatan dengan antihistamin H1 non sedatif. Pada pasien dengan urtikaria akut

sedang-berat, antihistamin H1 non sedatif seharusnya juga menjadi terapi pilihan

utama. Jika keadaan akut tidak dapat dikendalikan secara adekuat, pemberian

kortikosteroid oral jangka pendek seharusnya ditambahkan. Pada pasien yang

menunjukkan urtikaria akut yang berat dengan gejala distress pernapasan, asma, atau

edema laring, pengobatan yang mungkin diberikan berupa epinefrin subkutan,

kortikosteroid sistemik (oral atau intravena), dan antihistamin H1 intramuskuler.20

26

Identifikasi dan menghilangkan penyebab.

Mengurangi faktor non spesifik yang memperberat vasodilatasi kulit(alkohol, aspirin, olahraga, stress emosional)

NAC: not adequately controlled

NAC

Antihistamin H1 non sedatif

NAC

Antihistamin H1 non sedatif+

Tambahan obat:antihistamin H1 pada malam hari, antidepresan trisiklik, antihistamin H2.

Antihistamin H1 + kostikosteroid oral jangka

pendek + pencarian/penanganan untuk urtikaria karena vaskulitis,

faktor tekanan, dan lain-lain + dicoba obat lain

Gambar 13. Pedoman Penatalaksanaan Urtikaria Kronik.20

Page 27: epidemiologi urtikaria

Urtikaria kronik memberikan tantangan yang agak banyak dan seharusnya selalu

dirujuk ke spesialis untuk evaluasi diagnostik dan program penanganan. Strategi

penanganan awal seharusnya kembali menggunakan antihistamin H1 non sedatif.

Terapi tambahan lain mungkin berguna, yaitu antihistamin H1 sedatif menjelang tidur,

antidepresan trisiklik, atau antihistamin H2. Sebagai tambahan antihistamin H1

mungkin dapat disarankan untuk diawali dengan kortikosteroid jangka pendek dengan

harapan dapat memotong siklus penyakit.20

H. Prognosis

Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi,

sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.2

27

Page 28: epidemiologi urtikaria

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

C. Kesimpulan

1. Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit akibat faktor imunologik dan non-

imunologik.

2. Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-langkah umum untuk

mencegah atau menghindari faktor pemicu dan farmakoterapi.

3. Edukasi kepada pasien dan antagonis reseptor histamine H1 merupakan first-

line therapy urtikaria.

D. Saran

1. Penatalaksanaan urtikaria sebaiknya menggunakan stratifikasi terapi yaitu

first-line therapy, second-line therapy, dan third-line therapy.

2. Pada dekade selanjutnya, diharapkan terdapat penelitian-penelitian yang

meneliti tentang penatalaksanaan urtikaria secara holistik sehingga dapat

menolong memperbaiki kualitas hidup para penderita urtikaria.

28

Page 29: epidemiologi urtikaria

DAFTAR PUSTAKA

1. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 17 Desember 2009, dari http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print

2. Djuanda, A. (2008). sIlmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-21.

4. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 15 Desember 2009, dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print

5. Perdanakusuma, D.S. (2008). Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Kulit. Surabaya Plastic Surgery, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/anatomi-fisiologi-kulit-dan-penyembuhan.html

6. Anonim. (2009). Epidermal Layer. Wordpress, Gambar. Diakses 16 Desember 2009, dari http://sekolahperawat.files.wordpress.com/2009/02/kulit1-copy.jpg

7. Anonim. (2009). Skin Anatomy and Physiology. Gambar. Diakses 16 desember 2009, dari http://www.essentialdayspa.com/images/emerginc/Skin_Anathomy_and_Physiology.gif

8. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria in Spain. J Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220

9. Hasan. (2009). Urtikaria. Wordpress, Artikel. Diakses tanggal 15 desember 2009, dari http://drhasan.files.wordpress.com/2009/02/refurtikariafh.doc

10. Siahaan, J. (2009). Urtikaria/Biduran. Blogspot, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari http://jeksonsiahaansked.blogspot.com/2009/05/urtikariabiduran.html

29

Page 30: epidemiologi urtikaria

11. Anonim. (2009). Urticaria. Gambar. Diakses tanggal 16 Desember 2009, dari http://www.urticaria.thunderworksinc.com/pages/UrticariaPhotos/images/foot1.jpg

12. Anonim. (2006). Urticaria Info. Steadyhealth, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://www.steadyhealth.com/articles/user_files/4542/Image/687_urticaria.jpg

13. Ngan, V. (2009). Solar Urticaria. Dermnet, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://dermnetnz.org/reactions/img/solar-urticaria-s.jpg

14. Kolodziej, K. (2005). Asthma and Exercise-Induced Anaphalaxis: A Case Study. Cfkeep, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://www.cfkeep.org/html/phpThumb.php%3Fsrc%3D/uploads/uticaria.jpg

15. Lipsker, D. (2004). Schnitzler Syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tabnggal 17 Desember 2009, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-schnitzler.pdf

16. Grateau, G.(2005). Muckle-Wells syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-MWS.pdf

17. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.

18. Irga. (2009). Urtikaria. Blogspot, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari http://irwanashari.blogspot.com/2009/03/urtikaria.html

19. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. (2006). Urtikaria dan Angioedema dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; p.257-61.

20. Rikyanto. (2006). Urtikaria dalam: Handout Bahan Ajar Kuliah. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UMY.

30