tuigas refleksi kasus

14
A. Identitas Pasien Nama : Bpk. RR Umur : 63 tahun Jenis Kelamin : L No.RM : 492014 Diagnosis Kasus : Stroke non Hemoragik Diambil minggu ke- : 3 B. Uraian Refleksi Kasus 1. Resume Kasus Yang Diambil Pada tanggal 4 Mei 2012, OS datang dengan keluhan tiba- tiba saat sedang beraktivitas tidak dapat berbicara sejak 5 jam sebelum dibawa ke rumah sakit. OS tidak memiliki gangguan bicara sebelumnya. Keluhan disertai dengan tangan dan kaki kanan OS yang dirasakan lemas. Keluhan tidak didahului dengan kejadian trauma dan demam. Keluhan juga tidak disertai dengan penurunan kesadaran atau pingsan. OS belum pernah memeriksakan diri ke dokter dan belum mengkonsumsi obat apapun. Riwayat Hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat keluhan serupa (-), riwayat jatuh sebelumnya (-), dan riwayat demam (-). Dari hasil pemeriksaan diperoleh GCS saat datang E4VxM6, hamiparesis dextra dan afasia. Setelah itu OS dirawat di bangsal Kenanga. Dua hari setelah dirawat OS mengalami penurunan kesadaran dengan GCS E2VxM1, keadaan baru mambaik pada hari ke 6 dengan GCS E3VxM5.

Upload: unells-ituh-punells

Post on 03-Jan-2016

27 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: tuigas Refleksi Kasus

A. Identitas Pasien

Nama : Bpk. RR

Umur : 63 tahun

Jenis Kelamin : L

No.RM : 492014

Diagnosis Kasus : Stroke non Hemoragik

Diambil minggu ke- : 3

B. Uraian Refleksi Kasus

1. Resume Kasus Yang Diambil

Pada tanggal 4 Mei 2012, OS datang dengan keluhan tiba-tiba saat sedang

beraktivitas tidak dapat berbicara sejak 5 jam sebelum dibawa ke rumah sakit. OS

tidak memiliki gangguan bicara sebelumnya. Keluhan disertai dengan tangan dan

kaki kanan OS yang dirasakan lemas. Keluhan tidak didahului dengan kejadian

trauma dan demam. Keluhan juga tidak disertai dengan penurunan kesadaran atau

pingsan. OS belum pernah memeriksakan diri ke dokter dan belum mengkonsumsi

obat apapun. Riwayat Hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat keluhan serupa (-),

riwayat jatuh sebelumnya (-), dan riwayat demam (-). Dari hasil pemeriksaan

diperoleh GCS saat datang E4VxM6, hamiparesis dextra dan afasia. Setelah itu OS

dirawat di bangsal Kenanga. Dua hari setelah dirawat OS mengalami penurunan

kesadaran dengan GCS E2VxM1, keadaan baru mambaik pada hari ke 6 dengan GCS

E3VxM5.

OS adalah pasien dengan Jamkesda non kuota yang dirawat di bangsal Kenanga

selama 18 hari. OS sempat dipindahkan ke ruang isolasi (masih di bangsal yang

sama) karena di ruangan sebelumnya terdapat pasien dengan Tb paru. Selama dirawat

OS telah menjalani pemeriksaan laboratorium, CT Scan, pemasangan NGT,

pemasangan DC, terapi farmakologi dan fisioterapi. Kondisi OS saat pulang sudah

lebih baik, meskipun masih belum dapat berbicara dan masih mengalami hemiparesis

dextra. Selama 18 hari OS hanya ditunggui oleh istrinya berinisial Ny.S (53 tahun).

Beberapa kali OS dikunjungi kerabat, namun Ny.S lah yang selalu setia mendampingi

OS.

Page 2: tuigas Refleksi Kasus

2. Latar Belakang Ketertarikan

Perjalanan penyakit OS dan kesetiaan Ny.S adalah dua hal yang membuat

penyusun tertarik untuk merefleksikan kasus ini. Selain itu, penyusun juga mengikuti

perkembangan penyakit Bpk.RR, sehingga dapat merefleksikan menjadi sebuah

laporan.

3. Refleksi dari Aspek Etik

Komisi Etik yang ada di berbagai Negara yang memberikan pendapat dan

pegangan menggenai hak etika dalam ranah praktek kedokteran dengan

memperhatikan beberapa asas yaitu :

1. Yang pertama merupakan keinginan untuk bertindak yang didasarkan untuk selalu

berbuat baik (beneficence) yang berarti seorang dokter harus menyediakan

kemudahan bagi pasiennya dalam mengambil langkah positif.

2. Tindakan yang dilakukan tidak bertujuan untuk kejahatan (non maleficence) yaitu

seorang dokter selalu memilihkan semua bentuk pengobatan yang baik dan

beresiko seminimal mungkin bagi pasiennya.

3. Menghargai kebebasan setiap orang agar selalu bisa menentukan nasibnya sendiri

(autonomy) yaitu seorang dokter menghormati pasiennya sebagai satu individu

yang memiliki martabat dan berhak menentukan nasibnya sendiri.

4. Tindakan yang dilakukan sesuai dengan hukum dan norma yang telah diakui di

masyarakat (justice) yaitu seorang dokter memperlakukan semua pasiennya sama

rata dan sama adil.

(Anonim, 2010)

Pada kasus Bpk. RR diatas etika yang digunakan merupakan asas non

maleficence. Prinsip pengobatan yang dilakukan terhadap Bpk.RR adalah

memperbaiki perfusi jaringan dan mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut

dengan memberikan pelindung jaringan otak (Afiani, 2011). Sehingga secara klinis,

kondisi Bpk.RR tidak semakin memburuk. Tindakan agar membuat keadaan Bpk.RR

bertambah parah juga telah dilakukan dengan baik oleh paramedis setempat, yaitu

dengan memindahkan ruang perawatan Bpk.RR terpisah dari pasien lain dengan

Page 3: tuigas Refleksi Kasus

penyakit infeksi karena pasien stroke memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk

mengalami infeksi sehingga keaadaannya dapat semakin menurun.

Selain prinsip non maleficence, prinsip lain yang diterapkan pada kasus

Bpk.RR adalah prinsip beneficence yang terlihat pada saat planning terapi. Semua

terapi tambahan yang diberikan adalah untuk kepentingan Bpk.RR seperti

pemasangan NGT, pemasangan DC, dan pelaksanaan fisioterapi. Prinsip autonomy

juga diterapkan dengan baik, dengan bukti adanya surat pernyataan untuk dilakukan

tindakan-tindakan tersebut. Meski planning terapi yang dibuat untuk kepentingan

Bpk.RR namun Bpk.RR berhak untuk menolak ataupun menerima terapi tersebut.

Pada saat yang sama Bpk.RR sedang mengalami penurunan kesadaran sehingga

pengambilan keputusan dapat diserahkan kepada orang yang bertanggung jawab

terhadap Bpk RR, yaitu Ny.S selaku istrinya.

Akan tetapi yang penyusun rasakan prinsip justice tidak terlaksana dengan

baik. Bangsal Kenanga tempat Bpk.RR dirawat adalah bangsal kelas 3 yang jarang di

visite oleh dokter jaga yang bertanggung jawab setiap harinya. Beberapa kali dokter

jaga datang dan hanya melakukan kunjungan singkat, yaitu bertanya pada paramedis

lain apakah ada masalah dan sebagainya. Tetapi tidak jarang, dokter jaga tersebut

hanya mengunjungi pasien di bangsal kelas 1 dan kelas 2 saja padahal pasien kelas 3

juga memiliki hak yang sama. Saat penyusun bertanya kepada paramedis yang lain,

jawabannya sungguh ironi : “Maklum mbak, ini kan pasien kelas 3 jadi jarang di

visite”

Jika dikaitkan dengan hukum, pelayanan kesehatan adalah hak warga negara.

Berdasarkan SK Menteri Kesehatan tahun 2007 dengan jelas mengatakan bahwa

semua pasien memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu,

komprehensif dan holistik, maka diperlukan kebijakan pelayanan kesehatan di

Indonesia yang memberikan arah bagi sarana pelayanan kesehatan untuk

menyelenggarakan pelayanan pelayanan kesehatan (Depkes, 2007).

4. Refleksi dari Aspek Sosial Ekonomi

Bapak RR adalah salah satu pasien dengan Jamkesda Non-Kuota. Berdasarkan

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 menyatakan bahwa Jaminan

Page 4: tuigas Refleksi Kasus

Kesehatan Daerah Provinsi Jawa Tengah yang selanjutnya disebut Jamkesda adalah

suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan kesehatan daerah oleh Badan

Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah di Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten /

Kota. Sedangkan masyarakat miskin non kuota adalah masyarakat miskin yang

belum memiliki jaminan pelayanan kesehatan dari Pemerintah. Sehingga dalam biaya

pengobatan bapak RR mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah sebesar 50%,

50% sisanya menjadi tanggungan pribadi. Pasien dengan Jamkesda non kuota akan

mendapat bantuan penuh jika dirawat di RS Provinsi (Pemprov Jateng, 2009).

Namun, dengan pertimbangan jarak dan lain-lain keluarga tidak membawa bapak RR

ke RS Provinsi yang ada di Purwokerto.

Setelah penyusun telusuri biaya bapak RR selama diwarat tidaklah sedikit.

Dalam 5 hari perawatan, biaya obat, belum termasuk pelayanan mencapai hampir

Rp.2.000.000,- Biaya itu semakin melambung jika ditambah dengan biaya jasa,

pelayanan dan pemeriksaan yang cukup mahal. Sedangkan bapak RR adalah seorang

petani yang tidak memiliki anak. Ny.S bercerita kepada penyusun bahwa untuk

memenuhi biaya pengobatan suaminya, ia harus bekerja di rumah saudara sebagai

pembantu rumah tangga. Tentu biayanya tetap tidak cukup karena gaji Ny.S dalam

sebulan tidak sampai Rp.1.000.000,-, maka Ny.S mencari pinjaman sana sini untuk

menutupi kekurangannya. Selain bantuan yang berdatangan dari kerabat dan keluarga

bapak RR yang kebanyakan berada di Purbalingga. Setiap hari Ny.S selalu

menemani bapak RR, kecuali pada saat dia harus bekerja, misalnya siang atau sore

hari. Malam harinya Ny.S sudah kembali lagi ke RS untuk mendampingi bapak RR.

Stroke menimbulkan dampak yang sangat besar dari segi ekonomi karena

biaya pengobatan dan perawatan sangat tinggi. Selain itu stroke juga berdampak

sosial dari gejala sisa karena penderita tidak dapat lagi bekerja seperti sediakala dan

proses sosialisasinya dapat terhambat (Sutarto, 2010). Dalam hal sosial ekonomi,

penderita stroke secara tidak langsung memang menjadi beban keluarga. Penelitian

WHO menyatakan seperlima sampai dengan setengah dari penderita stroke

mengalami kecacatan menahun yang mengakibatkan munculnya keputusasaan,

merasa diri tidak berguna, tidak ada gairah hidup, disertai menurunnya keinginan

berbicara, makan dan bekerja, sedangkan 25% penderita dapat bekerja seperti semula

Page 5: tuigas Refleksi Kasus

(Purna, 2010). Menurut WHO rata-rata pengeluaran untuk pasien stroke adalah

sekitar 55.000-73.000 USD per tahun. Maka, diperlukan kesiapan pihak keluarga

untuk menanggulangi hal tersebut. Indonesia, adalah bangsa yang dikenal dengan

keramahan dan gotong royongnya, maka penyusun berharap pengobatan pasien

stroke tidak hanya berhenti di RS kemudian dibiarkan begitu saja. Keluarga memiliki

peran yang besar dalam proses pemulihan pasien stroke karena strategi

penanggulangan stroke mencakup aspek preventif, terapi rehabilitasi, dan promotif

(Batticaca, 2008).

5. Refleksi dari Aspek Keislaman

World Health Organization (WHO) pada tahun 1984 (dalam Hawari, 2005)

menyatakan bahwa kesehatan manusia seutuhnya ditunjukkan oleh empat hal, yaitu

sehat secara biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Witmer dan Sweeney

(dalam Burke, Chauvin, & Miranti., 2005) menyatakan bahwa elemen spiritual

dalam diri manusia, mengintegrasikan dan mempersatukan elemen kebutuhan

fsik, emosi, dan intelektual di dalam tubuh manusia dalam pertumbuhan dan

perkembangannya. Selain itu, Prest dan Keller (dalam Blume, 2006) menyatakan

bahwa proses intervensi terhadap klien yang mempertimbangkan keyakinan

agama yang dianut menjadi penting untuk menghindari resistensi apabila proses

yang dilakukan dirasakan klien sebagai suatu hal yang berbeda dengan aturan

agama yang diyakininya. Bagi umat Muslim, keimanan yang penting salah satunya

adalah percaya pada wahyu Allah sebagai sumber pengetahuan yang sempurna

(Hasan, 2006). Maka, setiap orang memiliki kebutuhan spiritual.

Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau

mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk

mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa

percaya dengan Tuhan (Carson, 1992). Maka dapat disimpulkan kebutuhan spiritual

merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk

mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan dan kebutuhan untuk memberikan dan

mendapatkan maaf. Adapun adaptasi spiritual adalah proses penyesuaian diri dengan

melakukan perubahan perilaku yang didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan

Page 6: tuigas Refleksi Kasus

yang dimiliki sesuai dengan agama yang dianutnya (Asmadi dalam Assidiqiy, 2001).

Individu sebagai makhluk spiritual mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : diciptakan

Tuhan dalam bentuk yang sempurna dibanding makhluk ciptaan lainnya, memiliki

rohani/jiwa yang sempurna (akal, pikiran, perasaan dan kemauan), dan individu

diciptakan sebagai khalifah (penguasa dan pengatur kehidupan) dimuka bumi.

Kebutuhan spiritual ini telah difasilitasi dari RS dengan adanya jasa rohani islam

yang rutin diberikan pada pasien-pasien yang membutuhkan.

Mengingat pengobatan stroke yang panjang dan adanya gejala sisa, maka

penderita stroke diharapkan memiliki kekuatan yang ekstra untuk menerima keadaan

yang tidak lagi normal dan mau terus berusaha untuk mendapatkan pengobatan.

Rasulullah pernah memaparkan perihal berobat dalam beberapa haditsnya. Di

antaranya:

1. Dari Jabir bin ‘Abdullah, bahwa Rasulullah bersabda:

“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya

maka dia akan sembuh dengan seizin Allah.” (HR. Muslim)

2. Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “Tidaklah Allah menurunkan sebuah

penyakit melainkan menurunkan pula obatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Dari Usamah bin Syarik z, bahwa beliau berkata: Aku pernah berada di samping

Rasulullah. Lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai

Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya, wahai para hamba

Allah, berobatlah. Sebab Allah tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan

meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa

itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul

Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini

hasan shahih. Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i menshahihkan hadits ini dalam

kitabnya Al-Jami’ Ash-Shahih mimma Laisa fish Shahihain, 4/486).

4. Dari Ibnu Mas’ud z, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidaklah

menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya. Obat itu diketahui

oleh orang yang bisa mengeta-huinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak bisa

mengetahuinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya

Page 7: tuigas Refleksi Kasus

dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Al-Bushiri menshahihkan hadits ini dalam

Zawa`id-nya. Lihat takhrij Al-Arnauth atas Zadul Ma’ad, 4/12-13.

Dari penjelasan tersebut, maka telah jelas Islam memerintahkan agar berobat

pada saat ditimpa penyakit. Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis

tentang keharusan berobat, maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat dari Al

Quran dan hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam upaya kesehatan dan

pengobatan. Al-Quran menegaskan bahwa, "Barang siapa yang menghidupkan

seseorang, maka dia bagaikan menghidupkan manusia semuanya..." (QS Al-

Maidah [5): 32). Menghidupkan di sini bukan saja yang berarti memelihara

kehidupan, tetapi juga dapat mencakup upaya memperpanjang harapan hidup

dengan cara apa pun yang tidak melanggar hukum. Namun dalam ajaran Islam juga

ditekankan bahwa obat dan upaya hanyalah sebab, sedangkan penyebab

sesungguhnya di balik sebab atau upaya itu adalah Allah Swt., seperti ucapan Nabi

Ibrahim a.s. yang diabadikan Al-Quran dalam surat Al-Syu'ara' (26): 80 : ”Apabila

aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.”

Selain berobat, Islam juga mengajarkan untuk selalu bersabar dalam menghadapi

sagala cobaan seperti yang juga dapat dilihat pada kasus Bpk.RR. Ny.S dan keluarga

selalu sabar untuk menyelesaikan pengobatan Bpk.RR meskipun dalam berbagai

keterbatasan. Ajaran untuk selalu bersabar terdantum dalam AI Qufan Sural AI

Baqoroh ay at 115-157 yang artinya ."Dan sungguh akan Kamiberikan cobaan

kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan hart a, jiwa dan buah-

buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar..."

Page 8: tuigas Refleksi Kasus

DAFTAR PUSTAKA

Afriani I.R., 2011. Tatalaksana Pasien Stroke Non Hemoragik. FK USU, Sumatera Utara.

Ash-Shiddieqy, T. M. H. 2001. Al-Islam Jilid 1. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.

Al-Jauziyah, Ibnul Qoyyim (2000) I'lamitl Mmvaqi'in; Panduan Hiikum Islam (terjemahan). Jakarta:

Pustaka Azzam.

Al-Makhdali, Syaikh Rabi' bin Hadi Al Wadi'i (tanpa tahun). Syarh Ushulus Sunnah. Riyadh: Daarul

Atsar.

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1946. Tafsir Al-Maraghiy (jilid I). Mesir: Al-Halabiy.

Al-Maqdisy. Abu Muhammad Abdul Ghaniy bin Abdul Wahid Ali bin Surur. (tanpa tahun). Al

Mihnah 'alal imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanhal. Beirut: Daarul Kutub al Hmiyyah.

Batticaca, F. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.

Karya Tulis Ilmiah. www.belbuk.com/asuhan-keperawatan-klien-dengan-gangguan-sistem.

Diakses tanggal 24 Mei 2012.

Blume, T. W., 2006. Becoming A Family Counselor. New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.

Burke, M. T., Chauvin, J. C., & Miranti, J. G. , 2005. Religious and Spiritual Issues in

Counseling: Applications Across Diverse Populations. New York: Brunner-Routledge.

Carson. Robert C., Butcher, James N. (1992). Abnormal Psychology and Modern Life.

Ninth Edition. New York: Harpercollins Publisher.

Departemen Agama Republik Indonesia. 2005. Al-Aliy: Al-Qur'an dan

Terjemahannya. Bandung: Diponogoro.

Gubernur Jawa Tengah. 20009. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun

2009 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Daerah Provinsi Jawa Tengah. Pemerintah

Provinsi Jawa Tengah.

Hasan, A. B. B. P.,2006. Psikologi Perkembangan Islami. PT.Raja Grafndo Persada, Jakarta.

Page 9: tuigas Refleksi Kasus

Hawari, D., 2005. Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor : 812/Menkes/Sk/Vii/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif. Departemen

Kesehatan, Jakarta.

Purna, D. 2010. Hubungan Antara Kesabaran dengan Tingkat Depresi pada Penderita Paska

Stroke. Skripsi-Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sutarto, D. 2010. Manfaatkan Golden Periode, Hindarkan Kecacatan Berat Akibat Stroke.

Makalah-Universitas Yarsi. http://www.pdpersi.co.id. Diakses tanggal 24 Mei 2012.