refleksi kasus baru

Upload: sekarfitri-gilang

Post on 12-Jul-2015

422 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Diskusi Refleksi Kasus

SEORANG LAKI-LAKI 55 TAHUN DENGAN STROKE NON HEMORAGIK

Oleh: Farah Maulida Sanny Kusuma Sary I Putu Kharisma P. A. Weda Kusuma Putri Amengkutyas P. Pitra Sekarhandini Arini Tri Lestari Andhika Trisna Putra Apariminta Herning Inggit Wulan Sari Mahliqa QaraI Masduki Pradipta Arief Notariana Kusuma Astuti G0007010 G0007153 G0007198 G0007025 G0007133 G0006213 G0006046 G0006002 G0006042 G0006096 G0006122 G0006136 G0006127

STROKE 1. Definisi Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejalagejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler. Menurut EUSI 2003, stroke atau serangan otak (brain attack) adalah defisit neurologis yang mendadak dari susunan saraf pusat yang disebabkan oleh peristiwa iskemik atau hemoragik. 2. Klasifikasi Pembagian klinis klasifikasi stroke adalah : a. Stroke non hemoragik yang mencakup (80-85% dari jenis stroke). Pada jenis stroke ini, didapatkan penderita dengan gangguan neurologik fokal yang mendadak karena obstruksi atau penyempitan pembuluh darah otak dan menunjukkan gambaran infark pada CT scan kepala. Stroke iskemik dapat disebabkan oleh penyumbatan trombus (84%) atau adanya emboli dari tempat lain (31%). Biasanya emboli ini berasal dari jantung dan menyumbat bifurcatio arteri carotis (terutama disebelah kiri). Adapun beberapa jenis stroke iskemik antara lain : TIA (Transient Ischemic Attack) : Setangan-serangan defisit neurologik yang mendadak dan singkat akibat iskemia otak fokal yang cenderung membaik dengan kecepatan dan tingkat penyembuhan bervariasi tetapi biasanya dalam 24 jam. RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit) : TIA dengan tanda-tanda yang berlangsung lebih dari 24 jam tetapi masih bisa mengalami pemulihan secara sempurna. Stroke in evolution: Gambaran klinis yang memperlihatkan kelumpuhan yang sedang berkembang menjadi hemiparalisis total. Completed stroke: Hemiparalisis yang sudah menjadi suatu kenyataan lengkap. b. Stroke hemoragik (15-20% dari jenis stroke)

Stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah baik secara intraserebral, subaraknoid, maupun subdural sehingga daerah distal dari tempat dinding arteri pecah tidak mendapatkan darah sehingga wilayah tersebut menjadi iskemik dan kemudian infark. Berdasarkan lokasi perdarahan dibedakan menjadi : Perdarahan intraserebrum (PIS) Paling sering terjadi akibat cedera vascular yang dipicu oleh hipertensi dan rupture salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh kedalam jaringan otak. Sering terjadi ketika pasien terjaga dan aktif. Gejala prodomal tidak jelas, kecuali nyeri kepala akibat hipertensi. Hemiparesis/hemiplegic biasa terjadi sejak awal mula serangan.Perdarahan di bagian dalam otak menyebabkan deficit neurologi fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang dari 2 jam. Perdarahan subarachnoid (PSA)

Memiliki dua kausa utama yaitu : rupture suatu aneurisma vascular dan trauma kepala. Gejala prodomal berupa nyeri kepala hebat dan akut. Kesadaran sering terganggu. Ada tanda rangsang meningeal. (Price, 2006; Sidharta, 1997) 3. Faktor resiko Penggolongan faktor risiko stroke dibagi berdasakan dapat atau tidaknya faktor risiko tersebut ditanggulangi / diubah : a. Faktor risiko yang tak dapat diubah atau dicegah/dimodifikasi b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi c. Faktor risiko yang sangat dapat dimodifikasi Pengenalan faktor-faktor risiko ini penting, karena banyak pasien yang mempunyai faktor risiko lebih dari satu faktor atau bahkan lebih, tetapi kadang-kadang faktor risiko ini diabaikan.

Setelah mengetahui maka perlu dikenal juga bagaimana cara pengatasan atau penghindaran faktor-faktor risiko dan cara-cara pemeriksaannya. a. Faktor resiko yang tak dapat diubah 1) Umur Kemunduran sistem pembuluh darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sehingga, makin bertambah usia makin tinggi kemungkinan mendapat stroke. Berdasarkan hasil statistik faktor ini menjadi 2 x lipat setelah usia 55 tahun. 2) Jenis Kelamin Stroke diketahui lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan, kecuali pada umur 35 44 tahun dan diatas 85 tahun, lebih banyak diderita perempuan. Hal ini diperkirakan karena pemakaian obat-obat kontrasepsi dan usia harapan hidup perempuan yang lebih tinggi dibanding laki-laki. 3) Berat Badan Lahir Rendah Sebuah hasil statistik di Inggris menyimpulkan bahwa berat badan lahir rendah menunjukkan angka kematian yang lebih tinggi pada orang yang berat badan lahirnya rendah dibanding orang yang lahir dengan berat normal. Namun apa hubungan antara keduanya belum diketahui secara pasti. 4) Ras Penduduk Afrika - Amerika dan Hispanic Amerika mempunyai risiko stroke yang lebih tinggi dibandingkan Eropa Amerika. Pada penelitian penyakit artherosklerosis terlihat bahwa penduduk kulit hitam mendapat serangan stroke 38 % lebih tinggi dibanding kulit putih. 5) Faktor Keturunan Adanya riwayat stroke pada orang tua menaikkan faktor risiko stroke. Hal ini diperkirakan melalui beberapa mekanisme antara lain : - Faktor genetik - Faktorlife style

- Penyakit-penyakit yang ditemukan - Interaksi antara yang tersebut diatas 6) Kelainan Pembuluh Darah Bawaan : sering tak diketahui sebelum terjadi stroke b. Faktor resiko yang dapat diubah Banyak data menunjukkan bahwa penderita stroke yang pertama kali menunjukkan bahwa penderita stroke yang pertama kali menunjukkan angka penurunan terjadinya stroke setelah penanggulangan faktorresikonya, terutama pengatasan akan faktor risiko artherosklerosis. 1) Hypertensi/tekanan darah tinggi Makin tinggi tensi darah makin tinggi kemungkinan terjadinya stroke, baik perdarahan maupun bukan. 2) Merokok Penelitian menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor risikoterjadinya stroke, terutama dalam kombinasi dengan faktor risikoyang lain misal pada kombinasi merokok dan pemakaian obat kontrasepsi . Hal ini juga ditunjukkan pada perokok pasif. Merokok meningkatkan terjadinya thombus, karena terjadinya artherosklerosis. 3) Diabetes Penderita diabetes cenderung menderita artherosklerosis dan meningkat kan terjadinya hypertensi, kegemukan dan kenaikan lemak darah. Kombinasi hypertensi dan diabetes sangat menaikkan komplikasi diabetes termasuk stroke . Pengendalian diabetes sangat menurunkan terjadinya stroke . 4) Penyakit Jantung/Atrial Fibrilation Penderita penyakit katub jantung dengan atau tanpa atrium fibrilasi membutuhkan obat pengencer darah. Atrium fibrilasi apapun penyebabnya dapat menyebabkan terjadinya emboli/jendalan darah yang memicu terjadinya suatu stroke. 5) Kenaikan kadar cholesterol/lemak darah

Penelitian menunjukkan angka

stroke

meningkat pada pasien dengan kadar

cholesterol diatas 240 mg %. Setiap kenaikan 38,7 mg % menaikkan angka stroke 25 %. Sedangkan kenaikan HDL 1 mmol (38,7 mg %) menurunkan terjadinya stroke setinggi 47 %. Demikian juga kenaikan trigliserid menaikkan jumlah terjadinya stroke . Pemberian obat-obat anti cholesterol jenis statin sangat menurunkan terjadinya stroke . 6) Penyempitan Pembuluh darah Carotis Pembuluh darah carotis berasal dari pembuluh darah jantung yang menuju ke otak dan dapat diraba pada leher. Penyempitan pembuluh darah ini kadang-kadang tak menimbulkan gejala dan hanya diketahui dengan pemeriksaan. Penyempitan > 50 % ditemukan pada 7 % pasien laki-laki dan 5 % pada perempuan pada umur diatas 65 tahun. Pemberian obat-obat aspirin dapat mengurangi incidence terjadinya stroke, namun pada beberapa pasien dianjurkan dikerjakan carotid endarterectomy. 7) Gejala Sickle cel Penyakit ini diturunkan, kadang-kadang tanpa gejala apapun. Beberapa menunjukkan gejala anemia hemolytic dengan episode nyeri pada aanggota badan, penyumbatan-penyumbatan embuluh darah termasuk stroke . 8) Penggunaan terapi sulih hormon. Penggunaan terapi sulih hormon dianjurkan untuk mencegah terjadinya stroke dan penyakit jantung vaskuler, namun pada beberapa penelitian pada pemakaian 6 bulan berturut-turut meningkatkan terjadinya stroke pada pemakaian restradol. Pemakaian sulih hormon untuk mencegah stroke tidak dianjurkan. 9) Diet dan Nutrisi Asupan makanan yang mengandung banyak sayur dan buah mengurangi terjadinya stroke. Pemakaian garam dapur berlebihan meningkatkan terjadianya stroke. Mungkin ini dikaitkan dengan terjadinya kenaikan tensi. 10) Latihan fisik

Kegiatan fisik yang teratur dapat mengurangi terjadinya stroke ( 30 menit gerakan moderate tiap hari) 11) Kegemukan - BMI (Body Mass Index) yaitu BB (kg) = TB (m) > 25 29,9 dikategorikan berat berlebih (over weight). Sedang > 30 dikategorikan obesitas - Central Obesitas/Gemuk perut Dihitung jika lingkar perut > 102 cm pad alaki-laki dan > 88 cm pada perempuan. Kegemukan meningkatkan terjadnya juga tekanan darah c. Faktor resiko yang sangat dapat diubah 1) Metabolik Sindrom Dikatakan metabolik sindrom jika terdapat 3 atau lebih gejala-gejala sebagai berikut: - Gemuk perut - Trigliceride > 150 mg % - HDL < 40 mg % - Tensi 130 / 85 mm Hg - Gula puasa 110 mg % Perubahan gaya hidup, pola makan, penurunan BB dan diet seimbang akan menurunkan terjadinya stroke. 2) Pemakaian alkohol berlebihan Pemakaian alkohol berlebihan memicu terjadinya stroke . Pemakaian jumlah sedikit dapat menaikkan HDL cholesterol dan mengurangi perlengketan trombosit stroke , baik jenis penyumbatan ataupun perdarahan. Penurunan berat badan akan menurunkan

dan menurunkan kadar fibrinogen. Alkohol berlebihan akan menyebabkan peningkatan tensi darah, darah gampang menjendal, penurunan aliran darah dan juga atrium fibrilasi. 3) Drug Abuse/narkoba Pemakaian obat-obat terlarang seperti cocain, auphetamine, heroin dsb meningkatkan terjadinya stroke. Obat-obat ini dapat mempengaruhi tensi darah secara tiba-tiba, menyebabkan terjadinya emboli, karena adanya endocarditis dan menaikkan kekentalan darah dan perlengketan thrombosit. 4) Pemakaian obat-obat kontrasepsi (OC) risiko stroke meningkat jika memakai OC dengan dosis obstradial 50 ug. Umumnya risiko stroke terjadi jika pemakaian ini dikombinasi dengan adanya usia >35 tahun, perokok, hipertensi, diabetes dan migrain. 5) Gangguan Pola Tidur Penelitian membuktikan bahwa tidur ngorok meningkatkan terjadinya stroke . Pola tidur ngorok sering disertai apneu (henti nafas) tidak hanya berpotensi menyebabkan stroke tapi juga gangguan jantung. Hal ini disebabkan penurunan aliran darah ke otak, kenaikan tensi dsb. Pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan yang cermat dengan mencari penyebabnya. 6) Kenaikan homocystein Homocystein adalah sulpenydril yang mengandung asam amino dan diet yang mengandung methirin. Kenaikan homocystein meningkatkan artheriosclerosis. Diet kaya sayur dan buah akan menurunkan homocystein. 7) Kenaikan lipoprotein (a) Lipid protein komplex yang meningkat risiko terjadinya penyakit jantung dan stroke . Lp (a) merupakan partikel dari LDL dan peningkatannya akan

meningkatkan terjadinya thrombosis dengan mekanisme menghambat plasminogen aktivator. Pengobatan dengan niacin akan menurunkan lp (a) 8) Hypercoagubility Ada kecenderungan darah mudah menggumpal di karenakan adanya

autiphospolipid antibody. Test dapat dikerjakan dengan pemeriksaan anti crdiolipin antibody dan anticoagulant lypus. 9) Peradangan Infeksi dan peradangan pembuluh darah antara lain TBC, syphilis, AIDS, Cacing dapat memicu terjadinya stroke. Kebersihan dan pola hidup sehat diperlukan unuk mencegahnya. (AHA, 2006) 4. Patogenesis Otak yang hanya 2 % dari berat seluruh badan relatif menerima banyak darah (15% dari seluruh darah yang dipompa oleh jantung per menit). Otak selanjutnya memakai 20% dari seluruh oksigen yang diperlukan badan manusia. Dari hal ini tampak bahwa fungsi otak sangat tergantung dari aliran darah yang mengalir ke otak. Pada seorang dewasa yang tidak sakit, aliran darah ke otak adalah 58 ml/100 gram jaringan otak/ menit. Bila aliran darah ke otak ini turun hingga 18 ml/100 gram jaringan otak/ menit, maka akan terjadi penghentian aktivitas listrik dari neuron (EEG datar, dan gangguan dari evoked potentials), tetapi struktur sel masih baik, hingga gejala klinis masih reversible. Ini yang disebut ischemic penumbra, yaitu daerah dimana sel inaktif, tetapi masih dapat berfungsi lagi bila perfusi menjadi normal kembali. Bila terjadi stroke, maka di suatu daerah tertentu dari otaknya terjadi kerusakan (baik infark maupun perdarahan). Neuron-neuron di daerah tersebut tentu akan mati, dan neuron yang rusak ini akan mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya membanjiri sel-sel di sekitarnya. Glutamat ini akan menempel pada membran sel neuron di sekitar daerah primer yang terserang. Glutamat akan merusak membran sel neuron dan membuka kanal

kalsium. Kemudian terjadilah influks kalsium yang mengakibatkan kematian sel. Sebelumnya, sel yang mati ini akan mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya akan membanjiri lagi neuron-neuron di sekitarnya. Terjadilah lingkaran setan. Neuron-neuron yang rusak juga akan melepaskan radikal bebas, yaitu charged oxygen molecules (seperti nitric acide atau NO), yang akan merombak molekul lemak di dalam membran sel, sehingga membran sel akan bocor dan terjadilah influks kalsium. Aliran darah ke otak melalui pembuluh darah dipengaruhi oleh hukum dari HagenPoiseuille yang mengatakan: Q= P r4 /8 L n Q P r L n = aliran darah = pressure gradient = radius pembuluh darah = panjangnya pembuluh darah = viskositas darah Dari hukum ini, yang dapat digunakan untuk pengobatan adalah : pressure gradient, radius pembuluh darah, dan viskositas. Mengenai radius pembuluh darah dapat dikatakan bahwa pemberian vasodilator ternyata tidak dapat melebarkan darah di daerah infark, karena pada umumnya pembuluh darah di daerah infark sudah menunjukkan dilatasi maksimal akibat akumulasi karbondioksida di daerah infark, yang menyebabkan asidosis. Pemberian vasodilator hanya akan melebarkan pembuluh darah di daerah sehat, dan justru menarik darah dari daerah ischemik ke daerah sehat. Dengan demikian klinis akan lebih berat. Mengenai meningkatkan tekanan darah ditakutkan dapat menambah edema vasogenik dan menjelekkan klinis penderita. 5. Penegakan Diagnosis

Diagnosis stroke yang tepat sangat penting karena pengobatan untuk stroke tergantung pada jenis, sumber stroke (biasanya berhubungan dengan faktor risiko), dan dalam beberapa kasus, pada lokasi cedera pada otak. Jenis stroke harus ditentukan karena pengobatan untuk stroke berbeda antara stroke hemoragik dan stroke iskhemik. Dasar diagnosis stroke adalah : a. Anamnesa Anamnesa dapat diperoleh dari penderita sendiri maupun dari keluarga atau pembawa penderita. Anamnesa penting yang harus diketahui adalah : Onset terjadinya serangan Aktivitas penderita saat terjadi serangan Kesadaran penderita Adanya gejala-gejala yang menyertai, misalnya nyeri kepala, mual, muntah, kejang Riwayat penyakit terdahulu yang mungkin bisa menjadi faktor resiko terjadi atau

berulangnya serangan stroke misalnya hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, gejala serupa sebelumnya. b. Pemeriksaan fisik Keadaan Umum Kesadaran (kualitatif atau kuantitatif/GCS) Tanda vital (Tensi, nadi, suhu, respiration rate) Status neurologis (Fungsi luhur, fungsi vegetatif, fungsi sensorik, fungsi motorik,

nervus cranialis) c. Alat bantu scoring 1) Siriraj Stroke Score (2,5 x DK) + (2 x MT) + (2 x NK) + (0,1 x TD) (3 x TA) 12

Keterangan: DK (derajat kesadaran) : Sadar = 0, Stupor = 1, Semikoma/koma = 2 MT (muntah): Tidak muntah = 0, muntah = 1 NK (nyeri kepala): Tidak nyeri kepala = 0, Nyeri kepala = 1 TD (Tekanan darah diastolik) TA (Tanda ateroma): Tidak ada tanda ateroma = 0, ada tanda ateroma (seperti diabetes, angina, penyakit pembuluh darah perifer) = 1 Bila skor total > 1, berarti stroke perdarahan Bila skor total < 1, berarti stroke infark 2) Algoritma Stroke Gajah Mada - Penurunan kesadaran - Nyeri kepala - Refleks babinsky Bila didapatkan 2 dari 3 gejala diatas maka terdapat perdaran serebral

d. Pemeriksaan penunjang1) Pemeriksaan laboratorium

- Darah lengkap : Hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, eritrosit - Gula darah - Fungsi ginjal : ureum, kreatinin, asam urat - Fungsi hati : SGOT, SGPT - Protein darah : albumin, globulin

- Profil lipid : kolesterol total, LDL, HDL, trigliserid - Elektrolit - Cairan serebrospinal (jika perlu) 2) Radiologis CT scan kepala polos (gold standart) CT Scan berguna untuk menentukan: jenis patologi lokasi lesi ukuran lesi menyingkirkan lesi non vaskuler Rontgen thorax (mengetahui adanya kelainan jantung) MRI MRI menggunakan medan magnet besar untuk menghasilkan gambar dari otak. Seperti pada CT scan, hasil MRI menunjukkan lokasi dan luasnya cedera otak. Gambar yang dihasilkan oleh MRI lebih tajam dan lebih rinci dibandingkan CT scan, sehingga sering digunakan untuk mendiagnosa luka kecil dan dalam Neurosonografi 3) Lumbal Pungsi Sudah jarang dilakukan karena tidak akurat dan banyak menimbulkan herniasai otak 4) EKG 5) Pemeriksaan penunjang khusus, yaitu : Masa protrombin, fibrinogen, agregasi trombosit Ekokardiografi

Ekokardiografi untuk mendeteksi adanya sumber emboli dari jantung. Pada banyak pasien, ekokardiografi transthorakal sudah memadai. Ekokardiografi transesofageal memberikan hasil yang lebih mendetail terutama kondisi atrium

kiri dan arkus aorta serta lebih sensitif untuk mendeteksi trombus mural atau vegetasi katup Ultrasonografi Doppler transkranial Ultrasonografi Doppler karotis diperlukan untuk menyingkirkan stenosis karotis yang simtomatis serta lebih dari 70 % merupakan indikasi untuk enerterektomi karotis Transcranial Doppler Transcranial Doppler dapat dipakai untuk mendiagnosis oklusi atau stenosis arteri intrakranial besar. Gelombang intrakranial yang abnormal dan pola aliran kolateral dapat juga dipakai untuk menentukan apakah suatu stenosis pada leher menimbulkan gangguan hemodinamik yang bermakna Angiografi (Perdossi, 2008) 6. Diagnosis Banding a. Trauma kepala 1) Comutio cerebri Kesadaran yang menurun dalam waktu kurang dari 15 menit. Terdapat amnesia retrogard, yaitu suatu keadaan dimana penderita tidak mengetahui apa yang terjadi sebelum trauma (dimana terjadinya,siapa yang menabrak, kapan berangkat dari rumah,dsb). Gejala autonom atau vegetatif, gejala ini timbul karena adanya gangguan pada batang otak antara lain: mual, muntah, pucat. Pada penderita yang tampak pucat post trauma harus dibedakan dengan pucat yang terjadi oleh karena perdarahan (misalnya perdarahan intra abdominal). Cara membedakan dengan mengukur tekanan darahnya. Pada comutio tensi normal atau meningkat, sedangkan pada perdarahan tensi menurun. Pada comutio cerebri tidak ada gejala neurologis maupun gejala psikis dan EEG normal. 2) Contusio cerebri

Kesadaran menurun lebih dari 15 menit (beberapa jam, hari, minggu). Penderita tidak selalu dalam keadaan koma, tetapi penderita dapat bicara, gelisah, tetapi tidak sadar apa yang diucapkan atau diperbuatnya sehingga disebut kesadaran penderita terganggu. Terdapat amnesia retrogard dan amnesia post traumatik. Lamanya amnesia post traumatik dapat merupakan pedoman untuk menentukan prognosis. Bila amnesia post traumatik kurang dari 7 hari, 90% akan normal kembali. Bila lebih dari 28 hari hanya 10% yang menjadi normal. Terdapat gangguan neurologis gangguan syaraf cranial maupun hemiparesis. Terdapat gangguan psikis terutama trauma lobus temporalis, pada CT-Scan terapat perdarahan kecil-kecil di jaringan otak. b. Meningoencephalitis Adalah suatu infeksi pada selaput otak dan jaringan otak. Gejala klinis dapat akut maupun kronis, terdiri dari : nyeri kepala, muntah, kesadaran menurun, kejang, tidak suka makan (terdapat pada anak kecil yang belum dapat mengeluh). Pemeriksaan objektif meliputi kaku kuduk, tanda kernig, tanda brudzinsky. Kelainan saraf otak tersering N. III dan N. VI (N. II, N. VII dan N. IV baru terganggu pada stadium akhir). Hemiparesis karena kerusakan pada traktus piramidalis c. Tumor otak. Pada tumor otak dengan gejala defisit neurologi sangat lambat bahkan sampai berbulan bulan, pasien mengalami nyeri kepala yang hebat pada saat beraktifitas yang menyebabkan peninggian liquor cerebrospinalis intracranial, seperti membungkuk, mengejan, atau excercise dan nyeri kepala menurun apabila tidak beraktifitas, keadaan mudah lesu, gangguan daya ingat dan penurunan kesadaran. Tentunya pemeriksaan dengan CT-scan akan lebih mudah diketahui adakah infark pada otak, adanya trombosis, emboli maupun tumor, disamping itu pemeriksaan sekunder lain, seperti pemeriksaan laboratorium juga mendukung.d. Abses serebri

Merupakan infeksi intrakranial dapat melibatkan jaringan otak atau lapisan yang menutupi lapisan otak dan medulla spinalis (meningitis) atau adanya akumulasi bebas/ terbentuknya pus berkapsul dalam otak (abses otak) sumber penyebab dapat berupa bakteri,virus atau jamur dan hasil atau penyembuhan dapat komplit (sembuh

total) sampai pada menimbulkan penurunan neurologis dan juga sampai terjadi kematian. 7. Penatalaksanaan a. Protokol Penatalaksanaan Strok Iskemik Akut 1) Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB intravena (dosis maksimum 90 mg). 10% diberikan bolus intravena dan sisanya diberikan per drips dalam waktu 1 jam jika onset gejala stroke dapat dipastikan kurang dari 3 jam dan hasil CT Scan otak tidak memperlihatkan infark dini yang luas. 2) Pertimbangkan pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau iskemia miokard. Bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg intravena atau amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam. 3) Tekanan darah yang tinggi pada stroke iskemik tidak boleh terlalu cepat diturunkan.Akibat penurunan tekanan darah yang terlalu agresif pada stroke iskemik akut dapat memperluas infark dan perburukan neurologis. Aliran darah yang meningkat akibat tekanan perfusi otak yang meningkat bermanfaat bagi daerah otak yang mendapat perfusi marginal (Penumbra iskemik). Tetapi tekanan darah yang terlalu tinggi, dapat menimbulkan infark hemoragik dan memperhebat edema serebri. Oleh sebab itu, pedoman untuk penatalaksanaan hipertensi pada stroke iskemik akut adalah bila terdapat salah satu hal berikut ;

Hipertensi diobati jika terdapat kegawatdaruratan hipertensi non neurologis : - Iskemia miokard akut - Edema paru kardiogenik - Hipertensi maligna (retinopati) - Neuropati hipertensif - Diseksi aorta

Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada 3 kali pengukuran selang 15 menit : - Sistolik > 220 mmHg - Distolik > 120 mmHg - Tekanan arteri rata-rata > 140 mmHg

Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana tekanan

darah sistolik > 180 mmHg dan diastolik > 110 mmHg. Dengan obat-obat antihipertensi golongan penyekat alfa beta (labetolol), penghambat ACE (kaptopril atau sejenisnya) atau antagonis kalsium yang bekerja perifer (nifedipin atau sejenisnya) penurunan tekanan darah pada stroke iskemik akut hanya boleh maksimal 20 % dari tekanan darah sebelumnya. Nifedipin sublingual harus diberikan dengan hati-hati dan dengan pemantauan tekanan darah ketat setiap 15 menit atau dengan alat monitor kontinus sebab dapat terjadi penurunan tekanan darah secara drastis. Oleh sebab itu, sebaiknya dimulai dengan dosis 5 mg sublingual dan dapat dinaikkan menjadi 10 mg tergantung respons sebelumnya. Pada tekanan darah yang sulit diturunkan dengan obat diatas atau bila diastolik > 140 mmHg secara persisten maka harus diberikan natrium nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5% dalam air (200 mg/ml) dengan kecepatan 3 ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi sampai tekanan darah yang diinginkan. Alternatif lain dapat diberikan nitrogliserin drips 10-20 ug/menit. Tekanan darah yang rendah pada stroke akut adalah tidak lazim. Bila dijumpai maka tekanan darah harus dinaikkan dengan dopamine atau dobutamin drips serta mengobati penyebab yang mendasarinya.a) Pertimbangan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda klinis

atau radiologis adanya infark hemisfer atau serebellum yang massif, kesadaran menurun, gangguan pernafasan, atau stroke dalam evolusi. b) Pertimbangkan konsul bedah saraf untuk dekompresi pada pasien dengan infark serebellum yang luas. c) Pertimbangkan MRI (Magnetic Resonance Imaging) pada pasien dengan stroke vertebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infark yang tidak nyata pada CT Scan. d) Pertimbangkan pemberian heparin intravena dimulai dosis 800 unit/jam, 20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai masa tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi berikut ini :

Kemungkinan besar stroke kardioemboli

Iskemia otak sepintas (TIA) atau infark karena stenosis arteri karotis Stroke dalam evolusi Diseksi arteri Trombosis sinus dura

Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada pasien dengan infark luas yang berhubungan dengan efek massa atau konversi/transformasi hemoragik. Pasien stroke dengan infark miokard baru, fibrilasi atrium, penyakit katup jantung atau trombus intrakardia harus diberi antikoagulan oral (warfarin) minimal 1 tahun dengan mempertahankan masa protrombin 1,5-2,5 kali kontrol atau INR 2-3. b. Terapi Medik Stroke Iskemik. Pada stroke iskemik didapatkan gangguan pemasokan darah ke sebagian jaringan otak. Ini disebabkan karena aliran darah berkurang atau berhenti. Bila gangguan cukup berat, akan ada sel saraf yang mati. Disamping sel yang mati didapatkan pula sel otak yang sekarat. Sel yang sudah mati tidak dapat ditolong lagi. Yang kita lakukan ialah usaha agar sel yang sekarat jangan sampai mati. Setelah terjadi iskemia, di otak terjadi berbagai macam reaksi lanjutan, misalnya pembentukan edema (sembab) di sebagian otak, perubahan susunan neurotransmitter, perubahan vaskularisasi regional, perubahan tingkat metabolisme. Tujuan terapi ialah agar reaksi lanjutan ini jangan sampai merugikan penderita. Kita berusaha agar sel otak yang belum mati tetap berada dalam keadaan gawat, jangan sampai menjadi mati. Diupayakan agar aliran darah di daerah yang iskemik dapat dipulihkan kembali. Demikian juga metabolismenya. Berikut ini beberapa macam obat yang digunakan pada stroke iskemik : a) Obat untuk sembab otak (edema otak) Pada fase akut stroke dapat terjadi edema di otak. Bila edema ini berat akan mengganggu sirkulasi darah di otak dan dapat juga mengakibatkan herniasi (peranjakan) jaringan otak. Herniasi ini dapat mengakibatkan keadaan lebih buruk atau dapat juga menyebabkan kematian. Obat antiedema otak ialah cairan hiperosmolar (misalnya larutan Manitol 20%; larutan gliserol 10%). Membatasi jumlah cairan yang diberikan juga membantu

mencegah bertambahnya edema di otak. Obat dexametasone, suatu kortikosteroid, dapat pula digunakan. b) Obat antiagregasi trombosit Ada obat yang dapat mencegah menggumpalnya trombosit darah dan dengan demikian mencegah terbentuknya thrombus (gumpalan darah) yang dapat menyumbat pembuluh darah. Obat demikian dapat digunakan pada stroke iskemik, misalnya pada TIA. Obat yang banyak digunakan ialah asetosal (Aspirin). Dosis asetosal berkisar dari 40 mg sehari sampai 1,3 gram sehari. Akhir-akhir ini juga digunakan obat tiklopidin untuk maksud yang sama, dengan dosis 2 x 250 mg atau Klopidogrel dengan dosis 1 x 75 mg sehari. Pada TIA, untuk mencegah kambuhnya, atau untuk mencegah terjadinya stroke yang lebih berat, lama pengobatan dengan antiagregasi berlangsung 1 2 tahun atau lebih. Tentu kita harus juga menanggulangi faktor-faktor resiko yang ada dengan baik. a) Antikoagulansia Antikoagulansia mencegah terjadinya gumpalan darah dan embolisasi thrombus. Antikoagulansia masih sering digunakan pada penderita stroke dengan kelainan jantung yang dapat menimbulkan embolus. Obat yang digunakan ialah heparin, kumarin, sintrom. b) Obat Trombolitik (obat yang dapat menghancurkan thrombus) Terapi trombolitik pada stroke iskemik didasari anggapan bahwa bila sumbatan oleh thrombus dapat segera dihilangkan atau dikurangi (rekanalisasi), maka sel-sel neuron yang sekarat dapat ditolong. Penelitian yang cukup besar, yang membuktikan efektivitas penggunaan rtPA pada stroke iskemik, ialah penelitian HINDS, yang melibatkan 624 penderita dan pengobatan dimulai dalam kurun waktu 3 jam setelah mulainya stroke. Terjadinya perdarahan sebagai akibat pengobatan ini cukup tinggi (6,4 % dibanding 0,6% pada kelompok tanpa trombolitik (plasebo). Namun demikian, pasien yang dapat pergi pulang ke rumah lebih banyak pada kelompok yang mendapat rt-PA, yaitu 48% dibanding 36% pada plasebo. Terapi trombolitik pada stroke iskemik merupakan terapi yang poten, dan cukup berbahaya bila tidak dilakukan dengan seksama.

c) Obat atau tindakan lain Berbagai obat dan tindakan telah diteliti dan dilaporkan di kepustakaan dengan tujuan memperbaiki atau mengoptimalisasi keadaan otak, metabolisme dan sirkulasinya. Hasilnya masih kontroversial dan masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Obat-obat ini misalnya : kodergokrin mesilat (Hydergin), nimodipin (Nimotop), pentoksifilin (Trental), sitikolin (Nicholin). Tindakan yang perlu penelitian lebih lanjut ialah : hemodilusi (mengencerkan darah). Hal ini dilakukan bila darah kental pada fase akut stroke. Bila darah kental, misalnya hematokrit lebih dari 44 50 %, maka darah dikeluarkan sebanyak 250 cc, diganti dengan larutan dekstran 40 atau larutan lainnya. Bila masih kental juga, dapat dikeluarkan lagi 250 cc keesokan harinya. c. Fisioterapi pada stroke Pendekatan yang dilakukan fisioterapi antara lain adalah terapi latihan, yang terdiri dari breathing eercise, latihan dengan mekanisme reflek postur, latihan weight bearing, latihan keseimbangan dan koordinasi, dan latihan fungsional. 1) Breathing Exercise Breathing exercise adalah salah satu bentuk latihan pernafasan yang ditujukan untuk mencegah penurunan fungsional sistem respirasi. Tirah baring yang cukup lama dan toleransi aktivitas yang menurun mengakibatkan penurunan metabolisme secara umum. Hal ini dapat menurunkan kapasitas fungsional pada sistem tubuh dengan menifestasi klinis berupa sindroma imobilisasi, salah satunya pada sistem respirasi yang berupa penurunan kapasitas vital, penurunan ekspansi sangkar thorak, penurunan ventilasi volunter, gangguan mekanisme batuk (Saleem & Vallbona, 2001). Breathing exercise dilakukan sebelum dan sesudah latihan diberikan kepada pasien. Metode yang dipilih adalah deep breathing exercise. Deep breathing exercise adalah bagian dari brething exercise yang menekankan pada inspirasi maksimal yang panjang yang dimulai dari akhir ekspirasi dengan tujuan untuk meningkatkan volume paru, meningkatkan redistribusi ventilasi, mempertahankan alveolus agar tetap mengembang, meningkatkan oksigenasi, membantu

membersihkan sekresi mukosa, mobilitas sangkar thorak, dan meningkatkan kekuatan dan daya tahan serta efisiensi dari otot-otot pernafasan (Levenson, 1992).

Breathing exercise (Kisner,1996) 2) Latihan dengan mekanisme reflek postur Gangguan tonus otot (spastisitas) secara postural pada pasien stroke, dapat mengakibatkan gangguan gerak. Melalui latihan dengan mekanisme reflek postur dengan cara mengontrol spastisitas secara postural mendekati status normal, maka seseorang akan lebih mudah untuk melakukan gerakan volunter dan mengontrol spastisitas otot secara postural (Rahayu, 1992). Konsep dalam melakukan latihan ini adalah mengembangkan kemampuan gerak normal untuk mencegah spastisitas dengan menghambat gerakan yang abnormal dan mengembangkan kontrol gerakan (Rahayu, 1992). Dalam upaya melakukan penghambatan maka perlu adanya penguasaan teknik pemegangan (Key Point of Control) (Suyono, 1992). Bentuk latihannya antara lain : Mobilisasi trunk Menurut Davies (1990) salah satu latihan melalui mekanisme reflek postural adalah mobilisasi trunk seperti gerakan fleksi, ektensi, dan rotasi trunk. Latihan mobilisasi trunk merupakan komponen keseimbangan serta akan menghambat pola spastisitas melalui gerakan rileksasi dari trunk.. Salah satunya adalah latihan rotasi trunk, gerak rotasi merupakan komponen gerak yang sangat penting untuk menunjang fungsi tubuh (Suyono, 1992). Latihan menghambat pola spastisitas anggota gerak atas dan bawah Latihan menghambat pola spastisitas seperti latihan menghambat spastisitas pada lengan dan tungkai serta latihan mengontrol tungkai. Latihan ini bertujuan untuk menurunkan spastisitas serta dapat melakukan gerakan yang selektif hingga menuju ke aktivitas fungsional seperti latihan menghambat ektensor tungkai

khususnya pada kaki untuk mempersiapkan tungkai saat berjalan agar tidak terjadi droop foot (Davies, 1985).

Latihan gerak pasif pada sendi bahu (Kisner, 1996)

Latihan gerak pasif pada pergelangan kaki (Kisner, 1996)

Latihan gerak fleksi dan ekstensi pasif pada panggul dan lutut (Kisner, 1996)

Latihan gerak abduksi dan adduksi pada sendi panggul (Kisner, 1996)

Latihan gerak sirkumduksi pada sendi panggul (Kisner, 1996) 3) Latihan weight bearing Latihan weight bearing untuk mengontrol spastisitas pada ekstremitas dalam keadaan spastis. Melalui latihan ini diharapkan mampu merangsang kembali fungsi pada persendian untuk menyangga. Latihan ini berupa mengenalkan kembali bentuk permukaan benda yang bervariasi kepada sisi yang lumpuh agar kembali terbentuk mekanisme feed back gerakan yang utuh (Rahayu, 1992 ). Latihan weight bearing dapat dilakukan saat duduk dan berdiri. Latihan weight bearing saat duduk bisa melakukan gerak menumpu berat badan ke belakang, depan dan samping kanan serta kiri. Sedangkan latihan weight bearing saat berdiri bisa melakukan gerakan menumpu berat badan kedepan dan belakang. Latihan weight bearing saat berdiri bertujuan untuk mempersiapkan latihan berjalan agar tidak ada keraguan dalam melangkah karena adanya spastisitas (Davies, 1985). 4) Latihan keseimbangan dan koordinasi

Latihan keseimbangan dan koordinasi pada pasien stroke stadium recovery sebaiknya dilakukan dengan gerakan aktif dari pasien dan dilakukan pada posisi terlentang, duduk dan berdiri. Latihan aktif dapat melatih keseimbangan dan koordinasi untuk membantu pengembalian fungsi normal serta melalui latihan perbaikan koordinasi dapat meningkatkan stabilitas postur atau kemampuan mempertahankan tonus ke arah normal (Pudjiastuti, 2003). Latihan keseimbangan dan koordinasi pada pasien stroke non haemoragik stadium recovery dapat dilakukan secara bertahap dengan peningkatan tingkat kesulitan dan penambahan banyaknya repetisi. Latihan keseimbangan dapat dilakukan pada posisi duduk dan berdiri. Latihan ini merupakan latihan untuk meningkatkan reaksi keseimbangan equilibrium berbagai keadaan serta merupakan komponen dasar dalam kemampuan gerak untuk menjaga diri, bekerja dan melakukan berbagai kegiatan dalam kehidupan sehari-hari (Davies, 1985). Latihan keseimbangan dan koordinasi merupakan latihan yang saling berkaitan yang dapat menimbulkan gerak volunter (Rahayu, 1992).

Latihan keseimbangan duduk (Johnstone, 1987) 5) Latihan fungsional Pada pasien stroke non haemoragik stadium recovery terjadi gerak anggota tubuh yang lesi dengan total gerak sinergis sehingga dapat membatasi dalam gerak untuk aktivitas fungsional dan membentuk pola abnormal (Rahayu, 1992). Latihan fungsional dimaksudkan untuk melatih pasien agar dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri tanpa menggantungkan penuh kepada orang lain. Latihan fungsional berupa latihan yang berhubungan dengan

kehidupan sehari-hari. Jika latihan fungsional dilakukan berulang ulang akan menjadikan pengalaman yang relatif permanen atau menetap dan akhirnya akan menjadi sebuah pengalaman gerak yang otomatis (Suyono, 1992). Latihan fungsional seperti latihan briging, latihan duduk ke berdiri dan latihan jalan. Latihan briging untuk mobilisasi pelvis agar dapat stabil dan menimbulkan gerakan ritmis saat berjalan (Johnstone, 1987). Latihan duduk ke berdiri merupakan latihan untuk memperkuat otot-otot tungkai dan mempersiapkan latihan berdiri (Davies, 1985). Latihan jalan merupakan komponen yang sangat penting agar pasien dapat melakukan aktivitas berjalan dengan pola yang benar (Davies, 1985).

Latihan miring sisi sehat dan sakit (johnstone, 1987)

Bangun keduduk (johnstone, 1987)

8. Komplikasi a. Neurologis- Stroke berulang: berdasarkan CT Scan atau diagnosis dari dokter saraf - Kejang epileptik: berdasarkan diagnosis klinis baik fokal maupun general pada pasien

non epileptik dan/atau temuan EEG yang mendukung b. Infeksi

- Infeksi Saluran Kemih: adanya pyuria dengan gejala sistemik yang perlu ditangani

- Infeksi Paru: berdasarkan gejala klinis atau temuan pemeriksaan fisik maupun radiologis c. Mobiliitas- Ulkus: degenerasi atau nekrosis kulit akibat tekanan

d. Tromboemboli- Deep Vein Thrombosis: berdasarkan diagnosis klinis maupun pemeriksaan radiologis - Emboli Paru: berdasarkan diagnosis klinis maupun pemeriksaan radiologis

e. Nyeri tungkai dan sendi: nyeri yang memerlukan obat-obatan analgesia dalam waktu lama f. Psikologis: depresi yang membutuhkan terapi medikamentosa g. Kardiovaskular - Gagal jantung, aritmia, sindrom koroner akut : berdasarkan pemeriksaan EKG atau diagnosis klinis dari kardiolog h. Hipertensi yang tidak terkontrol : hipertensi berat yang membutuhkan obat-obatan segera i. Retensi Urin j. Gastrointestinal - Konstipasik. Lain-lain: nyeri disertai demam (pyrexial illness), anemia

:

- Perdarahan saluran cerna

(Doshi et al., 2003) 9. Prognosis Prognosis stroke pada umumnya digambarkan dalam bentuk angka kematian dan status fungsional pasca serangan stroke. Penelitian Darsquo Alessandro, dkk (1992) menunjukkan bahwa secara keseluruhan angka kematian pada 30 hari pertama adalah 31%. Pengukuran status fungsional pada hari ketiga puluh pasca serangan stroke memperlihatkan bahwa 62% pasien stroke dapat mandiri dalam kehidupannya. Penelitian Marini, dkk (1999) pada 330 pasien stroke iskemik dengan rerata lama follow up 96 bulan menunjukkan bahwa angka mortalitas adalah 13,5%.

Prognosis stroke ditentukan oleh banyak parameter dan prediktor klinis. Penelitian Wardlaw, dkk (1998) pada 993 pasien stroke memperlihatkan bahwa infark yang terlihat pada gambaran CT Scan kepala akan meningkatkan risiko kematian sebesar 4,5 kali (95% CI: 2,7-7,5), dan ketergantungan hidup sebesar 2,5 kali (95% CI 1,9-3,3). Penelitian de Jong, dkk (2002) pada 333 pasien memperlihatkan bahwa pasien stroke dengan lebih dari 1 infark lakuner memiliki prognosis yang lebih buruk daripada pasien dengan 1 infark lakuner. Angka mortalitas yang lebih tinggi (33% VS 21%), angka rekurensi stroke yang lebih tinggi (21% VS 11%), dan nilai status fungsional yang lebih rendah dihubungkan dengan infark lakuner yang lebih dari 1. Pada kasus stroke perdarahan, angka mortalitas relatif lebih tinggi. Penelitian Larsen, dkk (1984) pada 53 pasien stroke perdarahan menunjukkan bahwa angka mortalitas akut adalah 27%. Faktor prognosis yang utama adalah tingkat kesadaran dan volume hematoma. Penelitian Fieschi, dkk (1988) pada 104 pasien stroke menunjukkan angka kematian pada bulan pertama adalah 30%. Faktor prognosis yang paling signifikan adalah usia, tingkat kesadaran saat masuk RS, dan ukuran heatoma. Penelitian Kiyohara, dkk (2003) pada 1621 pasien stroke di Jepang memperlihatkan hasil serupa, angka kematian pada perdarahan serebral di 30 hari pertama adalah 63,3% dibanding infark serebral sebesar 9%. Faktor demografik, penyakit penyerta, dan keparahan gejala stroke berkontribusi terhadap prognosis stroke. Penelitian kohort Kernan, dkk (2000) memperlihatkan prognosis stroke dipengaruhi oleh usia, komorbiditas gagal jantung, riwayat stroke sebelumnya, diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung koroner. Adanya komorbiditas, usia tua, riwayat stroke sebelumnya akan memberikan prognosis yang lebih buruk. Cacat mempengaruhi 75% dari penderita stroke yang cukup untuk mengurangi kesempatan kerja mereka. Stroke dapat mempengaruhi pasien secara fisik, mental, emosional, atau kombinasi dari ketiganya. Hasil stroke sangat bervariasi tergantung pada ukuran dan lokasi lesi. Disfungsi sesuai dengan daerah di otak yang telah rusak. Beberapa cacat fisik yang dapat hasil dari stroke termasuk kelumpuhan, mati rasa, luka tekanan, pneumonia, inkontinensia, apraxia (ketidakmampuan untuk melakukan gerakan-gerakan belajar), kesulitan melakukan kegiatan sehari-hari, kehilangan nafsu makan, kehilangan

bicara, kehilangan penglihatan, dan rasa sakit. Jika stroke cukup parah, atau di lokasi tertentu seperti bagian dari koma, batang otak atau kematian dapat terjadi. Masalah emosional akibat stroke bisa terjadi akibat kerusakan langsung ke pusatpusat emosi di otak atau dari frustrasi dan kesulitan menyesuaikan keterbatasan baru. kesulitan emosional Pasca-stroke termasuk kegelisahan, serangan panik, datar mempengaruhi (kegagalan untuk mengekspresikan emosi), mania, apatis, dan psikosis. 30 sampai 50% dari penderita stroke menderita depresi pasca stroke, yang ditandai dengan kelesuan, lekas marah, gangguan tidur, menurunkan harga diri, dan penarikan. Depresi dapat mengurangi motivasi dan memperburuk hasil, tetapi dapat diobati dengan antidepresan. Lability emosional, konsekuensi lain dari stroke, menyebabkan pasien untuk beralih cepat antara tertinggi emosional dan rendah dan untuk mengekspresikan emosi tidak tepat, misalnya dengan kelebihan tertawa atau menangis dengan sedikit atau tanpa provokasi. Meskipun ekspresi emosi biasanya sesuai dengan emosi yang sebenarnya pasien, bentuk yang lebih parah lability emosional menyebabkan pasien untuk tertawa dan menangis patologis, tanpa memperhatikan konteks atau emosi. lability emosional terjadi pada sekitar 20% pasien stroke. Defisit kognitif akibat stroke meliputi gangguan persepsi, masalah bicara, demensia, dan masalah dengan perhatian dan ingatan. Seorang penderita stroke mungkin menyadari cacat sendiri, suatu kondisi yang disebut anosognosia. Dalam kondisi yang disebut mengabaikan hemispatial, pasien tidak dapat hadir untuk apa pun di sisi berlawanan ruang ke belahan bumi yang rusak. Sampai dengan 10% dari semua pasien stroke terserang kejang-kejang, paling sering pada minggu setelah acara tersebut, tingkat keparahan dari stroke meningkatkan kemungkinan kejang.

KASUSSTATUS PASIEN I. IDENTITAS NAMA UMUR JENIS KELAMIN AGAMA PEKERJAAN ALAMAT TGL. MRS TGL. PEMERIKSAAN NO. RM : Ny. Y : 41 tahun : Perempuan : Islam : Ibu rumah tangga : Karangbayam rt 6/1 Sumber, Simo, Boyolali : 3 Mei 2011 : 10 Mei 2011 : 01064404

II. ANAMNESIS A. KELUHAN UTAMA Kelemahan anggota gerak sebelah kiri.

B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG beberapa jam SMRS pasien tiba-tiba mengalami kelemahan anggota gerak sebelah kiri ketika turun dari mobil di depan RSDM. Pasien lemah dan ambruk ke sebelah kiri tanpa penurunan kesadaran. Muntah (+), suara agak lemah (+), disartria (+), ngompol (-). Didapatkan mulut mencong ke arah kanan. Kemudian pasien ke poli penyakit

dalam untuk kontrol hipertensi, dari poli penyakit dalam dikonsulkan ke bagian saraf. Dari poli saraf pasien diberi pengantar mondok dan pasien mondok di RSDM.

semalam SMRS pasien mengeluh sakit perut yang dirasakan terus hingga keesokan harinya sehingga keluarga pasien membawa pasien ke RSDM untuk memeriksakan kondisi pasien di poli penyakit dalam serta kontrol obat untuk hipertensi.

5 bulan SMRS pasien mengeluh sakit kepala, penglihatan kabur, dan leher cengeng yang dirasa terus-menerus. Kondisi tersebut membaik jika pasien mengkonsumsi obat Captopril dan dirasa memberat jika pasien tidak mengkonsumsi obat. Selama ini pasien tidak rutin mengkonsumsi Captopril. Obat hanya diminum bila ada keluhan. Pasien juga tidak rutin kontrol hipertensinya.

6 bulan SMRS pasien sempat dirawat di salah satu RS swasta karena hipertensi dan didiagnosa adanya pembengkakan jantung.

>5 tahun yang lalu pasien sudah sering mondok karena hipertensi.

C. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Riwayat Hipertensi Riwayat Diabetes Mellitus Riwayat Sakit Jantung : (+) >5 tahun, kontrol tidak rutin, obat tidak rutin. : disangkal : (+) 6 bulan yang lalu didiagnosa pembengkakan

jantung dan kontrol ke poli Jantung. Riwayat Stroke : disangkal

Riwayat Trauma

: disangkal

D. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA Riwayat Hipertensi Riwayat Diabetes Mellitus Riwayat Stroke : (+) ibu : disangkal : (+) ibu, meniggal dengan stroke.

E. RIWAYAT PERAWATAN Pasien sudah 7 hari dirawat di RSDM dengan diagnosa stroke hemoragik dan mendapat pengobatan ............................... . Selama di RSDM pasien mengeluh badan terasa pegel, susah tidur, berak-berak, dan sempat demam.

III.

PEMERIKSAAN FISIK

A. KESAN UMUM Composmentis, Gizi kesan cukup, Pasien tampak lemah, Sakit berat. B. VITAL SIGN Tensi Nadi RR Suhu : : : :

C. STATUS NEUROLOGIS 1. Kesan Umum dan Fungsi Luhur

a. Kesadaran b. Cara Berbicara

: E4V5M6 : dbn

c. Fungsi Psikosensorik : dbn d. Tanda Perangsangan Selaput Otak : dbn 2. Kolumna Vertebralis 3. Saraf Otak a. N. Olfaktorius b. N. Opticus c. N. III, IV, VI d. N.V e. N.VII Saat Diam Kanan Otot dahi Tinggi alis Sudut mata Sudut mulut Lipatan nasolabial Pejam mata Meringis Pengecap lidah f. N.VIII g. N. IX dan X h. N. XI i. N. XII Kanan Atrofi lidah Kekuatan Posisi diam Posisi dijulurkan (-) dbn Kiri (-) dbn di tengah ke kanan : dbn : dbn : dbn dbn dbn tertarik ke kiri Kiri Simetris simetris simetris tertarik ke kiri yang kanan lebih datar dbn Kanan Saat Gerak Kiri Simetris simetris simetris : dbn : dbn : dbn : dbn : dbn

4. Pemeriksaan Sistem Koordinasi Ekstremitas : dbn

5. Pemeriksaan Sistem Sensorik n n 6. Pemeriksaan Sistem Otonom : dbn 7. Pemeriksaan Sistem Motorik dan Reflek K T RF RP I. 2 2 N N +2 +2 + 5 5 N N +2 +2 -

PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Laboratorium (7April 2011) Hb Hct AE AL AT Ureum Creatinin 13, 8 g/dl 37, 2 % 4,40.10/L 9,1.10/L 216.10/L 36 mg/dl 1,2 mg/dl Natrium Kalium Chlorida HBSAg Gol Darah GDS 138 mmol/L 3,0 mmol/L 105 mmol/L Negatif A 137 mg/dl

B. CT scan

:

II. DIAGNOSIS Diagnosis Klinis : hemiparese dextra Diagnosis Topis : cortex Diagnosis Etiologi: SNH III. PENATALAKSANAAN A. Pengobatan Umum head up 300

prinsip 6 BB. Pengobatan medikamentosa

Inf RL 20 tpm Inj Ranitidin 1 amp/12 jam Inj Citicholin 250 mg / 12 jam Aspilet 1 x 80 mg Inj Sohobion 1 amp/24 jam (drip) KSR 2x1 Inj Furosemid 1 amp/24 jam Aprazolam 0-0-0,5 mg Fenofibrat 1x1

ANALISIS KASUS Pada kasus ini, didapatkan pasien Tn.S dengan keluhan kelemahan mendadak pada lengan dan tungkai kanan. Kelemahan ini disebut dengan hemiparesis. Hemiparesis dapat ditemukan pada pemeriksaan motorik, dinilai dari kekuatan dan tonus. Pada pemeriksaan kekuatan, pasien ini tidak dapat mengangkat ekstremitas bagian kanan, hanya dapat menggesernya tanpa melawan gravitasi, sehingga skor pada pemeriksaan ini adalah 2. Hemiparesis pada pasien ini didapatkan pada ekstremitas sebelah kanan, hal ini menunjukkan adanya lesi pada hemisfer cerebri sinistra. Hemiparesis bisa didapatkan pada pasien dengan stroke, infeksi, trauma atau massa yang terdapat di hemisfer cerebri, akan tetapi dapat dibedakan berdasarkan onset dari timbulnya kelemahan tersebut. Jika kelemahan terjadi mendadak, hal ini mengarahkan pada kelainan vaskuler. Stroke merupakan gangguan peredaran darah otak yang dapat dibedakan berdasarkan patogenesisnya, yaitu stroke tipe perdarahan (hemoragik) dan stroke non hemoragik. Pada pasien dengan stroke hemoragik dapat ditemukan adanya kelemahan mendadak saat beraktivitas, nyeri kepala, mual muntah dan penurunan kesadaran. Pada pasien Tn.S tidak ditemukan adanya nyeri kepala, mual muntah, penurunan kesadaran dan kelemahan terjadi saat pasien sedang tidak beraktivitas, sehingga ini mengarahkan pada stroke tipe non hemoragik. Hal ini didukung dengan skor shiriradj: (2,5x0) + (2x0) + (2x0) + (0,1x110) (3x0) -12 = 11-12 = -1 Bila skor < 1, maka stroke yang terjadi adalah tipe non hemoragik, sedangkan skor > 1 maka tipe stroke yang terjadi adalah perdarahan. Akan tetapi, gold standart untuk mendiferensiasi stroke hemoragik dan stroke non hemoragik adalah dengan bantuan CT-Scan kepala. Pada pasien ini tidak ditemukan adanya perdarahan atau lesi hiperdens, sehingga hal ini mendukung pada diagnosis stroke non-hemoragik. Pada pemeriksaan neurologis Tn.S didapatkan adanya gangguan bicara atau pelo dan tidak simetrisnya alis, lipatan nasolabial dan celah mulut. Gangguan ini disebabkan adanya parese NVII dan NXII dekstra. Pada pemeriksaan refleks patologis didapatkan Babinsky (+) pada tungkai kanan, hal ini menunjukkan adanya lesi pada UMN.

Stroke memiliki beberapa faktor risiko yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu yang tidak dapat diubah dan yang dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat diubah diantaranya adalah usia, faktor familial dan ras. Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah diantaranya adalah hipertensi, penyakit jantung, hiperkolesterolemia, TIA, merokok, alkohol, obesitas, dan kontrasepsi. Pada pasien ini ditemukan beberapa faktor risiko, diantaranya hipertensi dan merokok. Faktor risiko menjadi penting untuk dikoreksi, sehingga dapat mencegah terjadinya stroke berulang.

DAFTAR PUSTAKA

AHA/ASA. 2006. Premiary Prevention Of Stroke. AHA/ASA Guideline Stroke. p 15831633 Doshi V S, J H Say, S H-Y Young, P Doraisamy. 2003. Complications in Stroke Patients: A Study Carried out at The Rehabilitation Medicine Service, Changi General Hospital. Singapore Med J 2003 Vol 44 (12): 643-652 Hernawati, Ika Y. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan pada Pasien Paska Stroke Hemorage Dextra Stadium Recovery. Surakarta Johnstone, 1987. The Stroke Patient: A Team Approach, Churchill Livingstone, London. Kisner, Carolyn, and Lynn, Colby, 1996; Therapeutic Exercise Foundation and Technique, Third edition, F.A Davis Company. Philadelphia. Sidharta P., Mahar Mardjono. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat. Tjokronegoro, Arjatmo. 2004. Updates in Neuroemergencies. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Perdossi. 2008. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis & Standar Prosedur Operasional Neurologi. Jakarta: Penerbit Balai FKUI. Price S. dan L. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC