titrasi redoks
DESCRIPTION
Kimia AnalitikTRANSCRIPT
Rimanda Prasasti Windiaresty240210120029
V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Reaksi oksidasi reduksi atau reaksi redoks adalah reaksi yang melibatkan
penangkapan dan pelepasan elektron. Dalam setiap reaksi redoks, jumlah elektron
yang dilepaskan oleh reduktor harus sama dengan jumlah elektron yang ditangkap
oleh oksidator. Ada dua cara untuk menyetarakan persamaan reaksi redoks yaitu
metode bilangan oksidasi dan metode setengah reaksi (metode ion elektron).
Titrasi redoks berbeda dengan titrasi asam basa. Bila titrasi asam basa titik
akhirnya ditentukan oleh terjadinya perubahan pH, maka pada titrasi redoks
ditentukan oleh terjadinya perubahan potensial reduksi-oksidasi. Potensial redoks
merupakan besaran yang menyatakan kekuatan oksidasi atau reduksi yang dinyatakan
dengan E.
Ada beberapa jenis titrasi redoks, tetapi dalam praktikum kali ini hanya
dilakukan dua jenis titrasi redoks yaitu permanganometri dan iodometri.
Permanganometri merupakan titrasi yang dilakukan berdasarkan reaksi oleh kalium
permanganat (KMnO4). Titrasi permanganometri digunakan untuk menetapkan kadar
reduktor dalam suasana asam sulfat encer dengan menggunakan kalium permanganat
sebagai titran. Oksidasi ini dapat berlangsung dalam suasana asam, netral dan alkalis
(Svehla, 1995).
5.1 Permanganometri
Mn adalah unsur transisi dengan bilangan oksidasi +2, +3, +4, +6, +7. Dalam
suasana asam atau [H+] ≥ 0,1 N, ion permanganat mengalami reduksi menjadi ion
mangan (II) sesuai reaksi:
MnO4- + 8H+ + 5e- → Mn2+ + 4H2O Eo = 1,51 Volt
Dalam suasana netral, ion permanganat mengalami reduksi menjadi mangan
dioksida seperti reaksi berikut:
Rimanda Prasasti Windiaresty240210120029
MnO4- + 4H+ + 3e- → MnO2 + 2H2O Eo = 1,70 Volt
Dan dalam suasana basa atau [OH-] ≥ 0,1 N, ion permanganat akan mengalami
reduksi sebagai berikut:
MnO4- + e- MnO4
2- Eo = 0,56 Volt.
Permanganometri merupakan titrasi yang dilakukan berdasarkan reaksi oleh
kalium permanganat (KMnO4). Reaksi ini difokuskan pada reaksi oksidasi dan
reduksi yang terjadi antara KMnO4 dengan bahan baku tertentu. Oksidasi berlangsung
pada suasana asam, basa, atau netral. Namun, dalam praktikum titrasi harus selalu
dilakukan dalam lingkungan asam. Hal tersebut disebabkan oleh daya oksidasi
KMnO4 dalam suasana asam lebih besar sehingga didalam suasana asam atau netral
akan terbentuk endapan KMnO4 yang berwarna coklat, endapan inilah yang
mengganggu titrasi karena pada titrasi ini tidak digunakan suatu indikator.
Sebelum dititrasi dengan permanganat, setiap besi (III) harus di reduksi
menjadi besi (II). Reduksi ini dapat dilakukan dengan reduktor jones atau dengan
H2SO4. KMnO4 berlaku sebagai autoindikator, sehingga tanpa indikator dengan
KMnO4 sudah bisa dilakukan titrasi.
5.1.1 Standarisasi KMnO4 Terhadap Na2C2O4
Pada metode permanganometri, yang pertama dilakukan adalah standarisasi
KMnO4 terhadap Na2C2O4 0,1 N. 10 ml H2C2O4 0,1 N dimasukkan ke dalam labu
erlenmeyer dengan ditambahkan 10 ml H2SO4 6N. Penambahan H2SO4 bertujuan
untuk menciptakan suasana asam pada lingkungan titrasi sehingga daya oksidasi
KMnO4 lebih besar dan tidak terbentuk endapan pada reaksi. Titrasi ini lebih baik
dilakukan pada suasana asam, karena :
1. Daya oksidasi KMnO4 dalam suasana asam lebih besar
Rimanda Prasasti Windiaresty240210120029
2. Dalam suasana basa atau netral akan terbentuk endapan MnO2 yang berwarna
coklat, endapan ini akan mengganggu titrasi karena pada titrasi ini tidak
digunakan suatu indikator.
Untuk pengasaman sebaiknya dipakai asam sulfat, karena asam ini tidak
menghasilkan reaksi samping. Sebaliknya jika dipakai asam klorida dapat terjadi
kemungkinan teroksidasinya ion klorida menjadi gas klor dan reaksi ini
mengakibatkan dipakainya larutan permanganat dalam jumlah berlebih.
Setelah itu, larutan tersebut dipanaskan hingga mendidih dengan
menggunakan hotplate di ruang asam. Pemanasan tersebut bertujuan untuk dapat
mempercepat reaksi. Kemudian, pada larutan tersebut dilakukan titrasi dengan
KMnO4 hingga berubah warna menjadi merah jambu. Hasil yang diperoleh setiap
kelompoknya yaitu:
Kelompok V KmnO4 N KmnO4
1 2 ml 0,5 N
2 2,1 ml 0,48 N
3 2,1 ml 0,48 N
4 2,1 ml 0,476 N
5 3,7 ml 0,27 N
6 2 ml 0,5 N
7 1,9 ml 0,52 N
8 2,8 ml 0,357 N
9 2 ml 0,5 N
10 2,3 ml 0,4348 N
Tabel 1. Hasil Pengamatan Permanganometri.
Sumber: Dokumen Pribadi (2013)
Normalitas yang diinginkan adalah tepat 0,5 N. Penyimpangan perhitungan
normalitas pada titrasi ini dapat disebabkan karena beberapa hal, yaitu kurang
tepatnya pengukuran zat-zat yang akan digunakan dan kurang bersihnya alat-alat
Rimanda Prasasti Windiaresty240210120029
yang digunakan dalam praktikum untuk percobaan. Perbedaan data yang didapat
dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu larutan KMnO4 akan terurai menjadi MnO2
dan akan dipengaruhi oleh sinar, sehingga terbentuk endapan berwarna cokelat bukan
berwarna merah jambu. Penambahan KMnO4 secara cepat ataupun lambat akan
mempengaruhi reaksi yang sedang berlangsung. Konsentrasi KMnO4 dihitung dengan
tujuan untuk digunakan dalam perhitungan penentuan kadar Fe dalam FeSO4.
Gambar 1. Hasil Standarisasi KMnO4 terhadap Na2C2O4
Sumber: Dokumentasi Pribadi (2013)
Warna merah muda yang timbul harus dipertahankan sampai tidak berubah
bening kembali. Titrasi yang tepat ditunjukkan dengan warna merah muda yang tidak
hilang selama 1 menit. Apabila warna merah muda hilang setelah titrasi artinya titrasi
tersebut belum selesai.
5.1.2 Penentuan Kadar Fe dalam FeSO4.
Salah satu penggunaan dari titrasi permanganometri ini adalah untuk
mengetahui kadar besi (Fe). Dalam praktikum ini, larutan yang diuji adalah Fe2SO4.
Ketika titrasi mencapai titik akhir maka berarti bahwa besi tersebut tepat habis
bereaksi dengan permanganat. Besi (II) akan dioksidasi oleh permanganat menjadi
besi (III), yang menandakan adanya kenaikan biloks. Pada titik akhir titrasi itulah
Rimanda Prasasti Windiaresty240210120029
maka kadar dari besi dalam larutan Fe2SO4 dapat dihitung. Reaksi redoks yang terjadi
adalah sebagai berikut (dalam kondisi asam).
MnO4- + 5Fe2+ + 8 H+ → Mn2+ + 5Fe3+ + 4H2O
Sama seperti pada titrasi sebelumnya, titrasi ini juga diawali dengan
memasukkan 10 ml FeSO4 ke dalam labu erlenmeyer dengan ditambahkan 10 ml
H2SO4 6N. Penambahan H2SO4 bertujuan untuk menciptakan suasana asam dalam
titrasi. Kemudian dilakukan pemanasan yang berfungsi untuk mempercepat reaksi.
Setelah itu, dititrasi oleh larutan KMnO4. Larutan dititrasi sampai terbentuk warna
merah jambu yang tidak hilang.
Penentuan kadar suatu zat didalam suatu campuran juga dapat ditentukan
melalui permanganometri, Fe akan mengalami oksidasi melalui pereduksian
(reduktor) Permanganat. Berikut adalah reaksi yang terjadi.
KMnO4 + 5 e- → Mn2+ + 4 H2O (x1)
Fe2+ → Fe3+ + e- (x5)
KMnO4 + 5 Fe3+ → Mn2+ + 4 H2O + 5 Fe3+
Menurut data hasil pengamatan, kita dapat mengetahui kadar Fe 2+ dalam
larutan FeSO4 dengan perhitungan seperti di bawah ini:
WFe2+ = V . NKMnO 4VFeSO 4
x BE Fe ……………… (1)
%Fe2+ = WFe x 100% ……………….. (2)
Kemudian didapatkan hasil seperti berikut:
KelVKMnO
4WFe2
+ %Fe PPm1 0.1 ml 0.14 14% 14002 0.1 ml 0.27 27% 2700
Rimanda Prasasti Windiaresty240210120029
3 0.1 ml 0.27 27% 27004 0.1 ml 0.266 27% 26605 0.4 ml 0.6048 60% 60486 0.1 ml 0.28 28% 28007 0.05 ml 0.14 14% 1400
8 0.05 ml0.0999
6 10% 999.69 0.05 ml 0.14 14% 140010 0.05 ml 0.1215 12% 1215
Tabel 2. Hasil pengamatan kadar Fe dalam FeSO4
Sumber: Dokumen Pribadi (2013)
Gambar 2. Hasil Titrasi Penentuan Kadar Fe dalam FeSO4
Sumber: Dokumentasi Pribadi (2013)
Secara keseluruhan, sumber-sumber kesalahan pada titrasi permanganometri,
yaitu:
1. Penambahan KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan seperti H2C2O4 Pemberian
KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4
dan telah dipanaskan cenderung menyebabkan reaksi antara MnO4- dengan Mn2+
( MnO4- + 3Mn2+ + 2H2O ↔ 5MnO2 + 4H+).
2. Penambahan KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan seperti H2C2O4 Pemberian
KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4
dan telah dipanaskan mungkin akan terjadi kehilangan oksalat karena
Rimanda Prasasti Windiaresty240210120029
membentuk peroksida yang kemudian terurai menjadi air. H2C2O4 + O2 ↔ H2O2
+ 2CO2↑
3. Larutan pentiter KMnO4 pada buret sudah terurai menjadi MnO2 sehingga pada
titik akhir titrasi akan diperoleh pembentukan presipitat coklat yang seharusnya
adalah larutan berwarna merah muda.
5.2 Iodometri
Iodometri merupakan salah satu jenis titrasi dengan prinsip reduksi oksidasi
(redoks). Dasar dari titrasi ini adalah reaksi reversible (bolak balik) dari iodium dan
iodida.
I2 + 2 e → 2 I-
Jenis titrasi ini terbagi menjadi dua, yaitu iodometri dan iodimetri. Dalam
proses analitik, iodimetri menggunakan iodium sebagai pereaksi oksidasi dan,
sedangkan iodometri menggunakan ion iodida sebagai pereaksi reduksi. Iodometri
disebut sebagai metode langsung, sedangkan iodimetri sering disebut dengan metode
tak langsung.
1. Iodimetri (Cara Langsung)
Iodimetri merupakan analisis titrimetri yang secara langsung digunakan untuk zat
reduktor atau natrium tiosulfat dengan menggunakan larutan iodin atau dengan
penambahan larutan baku berlebihan. Kelebihan iodin dititrasi kembali dengan
larutan tiosulfat.
Reduktor + I2 → 2I-
Na2S2O3 + I2 → NaI +Na2S4O6
2. Iodometri (Cara tak Langsung)
Iodometri adalah analisa titrimetrik secara tidak langsung untuk zat yang bersifat
oksidator seperti besi III, tembaga II, dimana zat ini akan mengoksidasi iodida
Rimanda Prasasti Windiaresty240210120029
yang ditambahkan membentuk iodin. Iodin yang terbentuk akan ditentukan
dengan menggunakan larutan baku tiosulfat.
Oksidator + KI → I2 + 2e
I2 + Na2S2O3 → NaI + Na2S4O6
Larutan standar yang dipergunakan dalam kebanyakan proses iodometrik
adalah natrium tiosulfat. Garam ini biasanya tersedia sebagai pentahidrat
Na2S2O3.5H2O. Larutan tidak boleh distandarisasi dengan penimbangan secara
langsung, tetapi harus distandarisasi terhadap standar primer. Hal yang dilakukan
adalah standardisasi Na2S2O3 terhadap K2Cr2O7 0,1 N dan penentuan kadar Cu dalam
terusi. Larutan natrium tiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama. Kestabilan
larutan mudah dipengaruhi oleh pH rendah (< 5), sinar matahari dan bakteri. Bakteri
menyebabkan terbentuknya endapan S berupa koloidal (keruh). Pertanda larutan
harus diganti. Larutan ini paling stabil pada pH 9 – 10.
Pada iodometri (cara tidak langsung), iodida bertindak sebagai pereduksi
diubah menjadi iodium dan iodium yang terbentuk dititrasi dengan larutan standar
Na2S2O3. Jadi, cara iodometri dipakai untuk menentukan zat-zat pengoksidasi. Titik
titrasi ditandai dengan hilangnya warna biru pada larutan dengan indicator larutan
amilum. Iodometri bertujuan untuk menjaga pH agar tetap tinggi. Dasar dari titrasi ini
adalah reaksi reversible dari iodium dan iodide :
I2 + 2 e- → 2 I-
5.2.1 Standardisasi Na2S2O3 Terhadap K2Cr2O7 0,1 N
Pembakuan larutan natrium tiosulfat dapat dilakukan dengan menggunakan
kalium iodat, kalium kromat, tembaga dan ion sebagai larutan standar primer, atau
dengan kalium permanganat atau serium (IV) sulfat sebagai larutan standar
sekundernya. Namun pada percobaan ini senyawa yang digunakan dalam proses
pembakuan natrium tiosulfat adalah kalium iodida standar. Natrium tiosulfat dapat
Rimanda Prasasti Windiaresty240210120029
dengan mudah diperoleh dalam keadaan kemurnian yang tinggi, namun selalu ada
saja sedikit ketidakpastian dari kandungan air yang tepat, karena sifat flouresen atau
melapuk-lekang dari garam itu dan karena alasan-alasan lainnya. Karena itu, zat ini
tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai larutan baku standar primer dan harus
di standarisasi terlebih dahulu.
Pada percobaan standardisasi Na2S2O3 terhadap K2Cr2O7 0,1 N, dilakukan
penambahan 8 mL KI 20% dan 10 mL H2SO4. Warna larutan tersebut menjadi kuning
pekat. Fungsi penambahan asam sulfat pekat dalam larutan tersebut adalah
memberikan suasana asam, sebab larutan yang terdiri dari kalium iodat dan kalium
iodida berada dalam kondisi netral atau memiliki keasaman rendah, selain itu
penambahan H2SO4 dan KI berfungsi untuk mereduksi larutan sampel sehingga dapat
terjadi pembentukan iodium. Kemudian dilakukan titrasi dengan larutan Na2S2O3
sampai berubah warna menjadi kuning kehijauan. Apabila telah berubah menjadi
warna kuning kehijauan, hal tersebut menandakan bahwa pada hasil titrasi terdapat I2.
Setelah warna terbentuk, kemudian ditambahkan 0,5 ml amilum 1%. Amilum berlaku
sebagai indikator yang berfungsi untuk membantu mempermudah penentuan titik
akhir dari titrasi. Amilum ditambahkan setelah titrasi untuk mencegah perbedaan
hasil titik akhir titrasi, karena amilum dapat mengikat molekul titrat sehingga titrasi
bisa berbeda hasilnya. Penambahan amilum yang dilakukan saat mendekati titik akhir
titrasi dimaksudkan agar amilum tidak membungkus iod karena akan menyebabkan
amilum sukar dititrasi untuk kembali ke senyawa semula. Proses titrasi harus
dilakukan sesegera mungkin, hal ini disebabkan sifat I2 yang mudah menguap. Pada
titik akhir titrasi iod yang terikat juga hilang bereaksi dengan titran sehingga warna
biru mendadak hilang dan perubahannya sangat jelas. Sensitivitas warnanya
tergantung pada pelarut yang digunakan. Kompleks iodium-amilum memiliki
kelarutan yang kecil dalam air, sehingga umumnya ditambahkan pada titik akhir
titrasi. Setelah itu, titrasi diteruskan sampai warna larutan berubah menjadi hijau
muda .Warna hijau muda pada hasil titrasi kedua menandakan Cr2+ sudah benar-benar
terbentuk. Reaksi yang terjadi yaitu:
Rimanda Prasasti Windiaresty240210120029
Cr2O72+ + 14 H+ + 6e- → 2 Cr3+ + 7 H2O (x1)
2 I- → I2 + 2e- (x3)
Cr2O72+ + 14 H+ + 6 I- → 2 Cr3+ + 7 H2O + 3I2
Kelompok V Na2S2O3 N Na2S2O3
1 10,5 ml 0,095 N
2 10 ml 0,1 N
3 10 ml 0,1 N
4 10,2 ml 0,098 N
5 10,2 ml 0,098 N
6 10,7 ml 0,09 N
7 9,9 ml 0,101 N
8 10,1 ml 0,099 N
9 10,5 ml 0,095 N
10 10 ml 0,1 N
Tabel 3. Hasil pengamatan Iodometri
Sumber: Dokumentasi Pribadi (2013)
Gambar 3. Titik Akhir Standardisasi Na2S2O3 Terhadap K2Cr2O7 0,1 N
Sumber: Dokumentasi Pribadi (2013)
Dalam titrasi ini seringkali dijumpai berbagai kesalahan, antara lain
disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:
1. Ion iodida yang sudah teroksidasi menjadi I2 oleh oksigen. Reaksi dikatalisis oleh
cahaya dan panas. Cara menghindarinya dapat dilakukan dengan cara mentitrasi
Rimanda Prasasti Windiaresty240210120029
larutan segera setelah penambahan KI dan menambahkan NaHCO3 pada kondisi
asam untuk meningkatkan pH serta adanya CO2 pada larutan NaHCO3 yang dapat
mengusir O2.
2. Pemberian amilum terlalu awal
3. pH terlalu tinggi. I2 yang terbentuk bereaksi dengan air (hidrolisis) yang
menyebabkan penggunaan Na2S2O3 lebih rendah dari yang seharusnya.
5.2.2 Penentuan Kadar Cu dalam CuSO4 (Terusi)
Penentuan kadar Cu dengan larutan baku Na2S2O3 merupakan salah satu
aplikasi atau penggunaan dari titrasi iodometri ini. Pada penentuan kadar Cu dengan
larutan baku Na2S2O3 akan terjadi beberapa perubahan warna larutan sebelum titik
akhir titrasi. Tembaga murni dapat digunakan sebagai standar primer untuk natrium
thiosulfat dan direkomendasikan jika thiosulfat harus digunakan untuk menetapkan
tembaga. Potensial standar pasangan Cu(II) – Cu(I) adalah +0,15 V dan karena itu
iod merupakan pengoksidasi yang lebih baik dari pada ion Cu(II). Karena harga E°
iodium berada pada daerah pertengahan maka sistem iodium dapat digunakan untuk
oksidator maupun reduktor. I2 adalah oksidator lemah sedangkan iodida secara relatif
merupakan reduktor lemah. Tetapi bila ion iodida ditambahkan ke dalam larutan
Cu(II) akan terbentuk endapan Cu(I).
Tujuan dari percobaaan ini adalah untuk mengetahui kadar Cu dalam larutan
terusi (CuSO4). Sama seperti pada titrasi standardisasi, pertama-tama ditambahkan
larutan terusi sebanyak 10 ml, kemudian ditambahkan 10 ml H2SO4 lalu dimasukan
ke dalam labu erlenmeyer untuk menciptakan suasana asam. Setelah itu baru
ditambahkan 8 ml KI 20% kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 hingga berubah
warna menjadi kuning jerami. Apabila telah berubah warna, kemudian ditambahkan
amilum 1% dimaksudkan agar memperjelas perubahan warna yang terjadi pada
larutan tersebut. Kemudian larutan tersebut dititrasi kembali dengan larutan natrium
tiosulfat. Bertemunya I2 dengan amilum ini akan menyebabakan larutan berwarna
Rimanda Prasasti Windiaresty240210120029
biru kehitaman. Kemudian titrasi dilanjutkan hingga larutan berubah warna menjadi
putih susu. Reaksi yang terjadi yaitu :
Cu2+ + e- → Cu+ (x2)
2 I- → I2 + 2 e- (x1)
2 Cu2+ + 2 I- → 2 Cu+ + I2
Setelah titrasi selesai, didapatkan kadar Cu dalam terusi dengan menggunakan rumus:
WCu = V Na2S 2O 3 x N Na2S 2O 3 x ArCu x BE …………… (3)
%Cu = W cuV terusi
x 100 %................... (4)
Kemudian didapatkan hasil sebagai berikut:
Kel VNa2S2O3 Wcu %Cu PPm1 10 ml 0.060325 0.60% 602 10.2 ml 0.06477 0.65% 653 10.2 ml 0.06477 0.65% 654 10 ml 0.06223 0.62% 625 10 ml 0.06223 0.62% 62.236 10 ml 0.05715 0.57% 577 10.1 ml 0.06478 0.65% 658 10.2 ml 0.06412 0.64% 649 10 ml 0.05712 0.57% 5710 10.2 ml 0.06212 0.64% 64
Tabel 4. Hasil Pengamatan kadar Cu dalam Terusi
Sumber: Dokumen Pribadi (2013)
Rimanda Prasasti Windiaresty240210120029
Gambar 4. Titik Akhir pada Titrasi Penentuan Kadar Cu dalam CuSO4 (Terusi)
Sumber: Dokumentasi Pribadi (2013)
VI. KESIMPULAN
1. Permanganometri merupakan titrasi yang dilakukan berdasarkan reaksi oleh
kalium permanganat (KMnO4).
2. Iodometri merupakan titrasi yang dilakukan berdasarkan reaksi oleh kalium
Iodia (KI).
3. KMnO4 berlaku sebagai autoindikator, sehingga tanpa indikator dengan
KMnO4 sudah bisa dilakukan titrasi
4. Pemanasan sebelum standarisasi KMnO4 terhadap Na2C2O4 adalah untuk
mempercepat reaksi karena reaksi permanganat dengan asam oksalat berjalan
agak lambat pada suhu kamar.
5. Indikator yang dipakai untuk praktikum iodometri adalah amilum karena
amilum sangat peka terhadap iodium dan terbentuk kompleks amilum
berwarna biru cerah, saat ekivalen amilum terlepas kembali.
6. Indikator amilum ditambahkan di tengah titrasi karena:
a. Kompleks amilum-I2 terdisosiasi sangat lambat akibatnya banyak I2 yang
akan terabsorbsi oleh amilum jika amilum ditambahkan pada awal titrasi.
Rimanda Prasasti Windiaresty240210120029
b. Biasanya iodometri dilakukan pada media asam kuat sehingga akan
menghindari terjadinya hidrolisis amilum. Titrasi harus dilakukan secepat
mungkin karena iodia bersifat reaktif dengan udara.
7. Penambahan amilum dilakukan saat mendekati titik akhir titrasi agar amilum
tidak membungkus iod karena akan menyebabkan amilum sukar dititrasi
untuk kembali ke senyawa semula.
8. Perbedaan perhitungan kadar Cu dalam terusi bisa terjadi karena pada saat
melakukan titrasi iodometri dan menetukan kadar Cu, titrasi dilakukan tidak
cepat sehingga I2 menguap.
DAFTAR PUSTAKA
Anonima. 2009. Titrasi-redoks. Available at: http://annisanfushie.wordpress.com (diakses pada tanggal 24 September 2013)
______b. 2012. Permanganometri. Available at: http://id.wikipedia.org (diakses pada tanggal 24 September 2013)
______d. 2012. Titrasi Redoks. Available at: http://kimiaanalitik.blogspot.com (diakses pada tanggal 24 September 2013)
Ellya. 2011. Analisa Kualitatif. Available at: http://ellya08.student.fkip.uns.ac.id. (diakses pada tanggal 24 September 2013)
Harjadi, W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. PT. Gramedia Pustaka, Jakarta.
Khopkar, S.M. 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Sukarti, T. 2008. Kimia Analitik. Penerbit Widya Padjadjaran, Bandung.
Zultiniar. 2012. Iodometri dan Iodimetri. Available at: http://chemtutorial.blogspot.com (diakses pada tanggal 24 September 2013)
Rimanda Prasasti Windiaresty240210120029