tinjauan pustaka laporan kasus anestesi umum pada polip nasi
DESCRIPTION
tinjauan pustaka laporan kasus anestesi umum pada polip nasiTRANSCRIPT
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anestesi Umum
3.1.1 Definisi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthētos,"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.1
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum memiliki
karakteristik menyebabkan amnesia bagi pasien yang bersifat anterogard yaitu
hilang ingatan kedepan maksudnya pasien tidak akan bisa ingat apa yang telah
terjadi saat dia dianestesi/operasi, sehingga saat pasien bangun dia hanya tau kalo
dia tidak pernah menjalani operasi. Karakteristik selanjutnya adalah reversible
yang berarti anestesi umum akan menyebabkan pasien bangun kembali tanpa efek
samping.1-6
3.1.2 Teori Anestesi Umum
Ada beberapa teori yang membicarakan tentang kerja anestesi umum,
diantaranya:1
a. Meyer dan Overton (1989) mengemukakan teori kelarutan lipid (Lipid
Solubity Theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya berhubungan
langsung dengan kelarutan dalam lemak. Makin mudah larut di dalam lemak,
makin kuat daya anestesinya. Ini hanya berlaku pada obat inhalasi (volatile
anaesthetics), tidak pada obat anestetika parenteral.
b. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas Effect).
Potensi analgesia gas-gas yang lembab dan menguap terbalik terhadap
tekanan gas-gas dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia. Jadi tergantung
dari konsentrasi molekul-molekul bebas aktif.
12
c. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikrohidrat (The Hidrat Micro-
crystal Theory). Obat anestetika berpengaruh terutama terhadap interaksi
molekul-molekul obatnya dengan molekul-molekul di otak.
d. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan interaksi
dengan membrana lipid meningkatkan keenceran (mengganggu membran).
Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang
selanjutnya menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah jaringan
yang banyak vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan kesadaran dan
rasa sakit hilang. Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor
respirasi, sirkulasi, dan sifat fisik obat itu sendiri.1
3.1.3 Tujuan Anestesi Umum
Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan stabilisasi
otonom.1
3.1.4 Jenis Anestesi Umum
3.1.4.1 Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi merupakan suatu anestesi yang menggunakan inhalan
berupa gas. Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini adalah N2O,
halotan, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran. Mekanisme kerja obat inhalasi
ditentukan oleh ambilan paru, difusi gas dari paru ke darah dan distribusi ke
organ. Sedangkan konsentrasi uap obat anestetik dalam alveoli ditentukan oleh
konsentrasi inspirasi, ventilasi alveolar, koefisien gas darah, curah jantung, dan
perfusi.5
3.1.4.2 Anestesi Intravena
13
Anestesi intravena merupakan suatu tindakan pemberian anestesi dengan
memasukkan obat melalui intravena.5
Obat-obatan anestesi intravena:5
1. Barbiturat kerja ultra singkat
Walaupun terdapat beberapa babiturat dengan masa kerja ultra singkat,
tiopental merupakan obat terlazim yang digunakan untuk induksi anestesi dan
banyak dipergunakan dalam bentuk kombinasi anestetik inhalasi lainnya.
Setelah pemberian secara intra vena, tiopenta akan melewati sawa darah otak
secara tepat dan, jika diberikan pada dosis yang mencukupi, akan
menyebabkan akan mengakibatkan hypnosis dalam waktu sirkulasi. Efek
sama akan terlihat pada pemberian barbiturate dengan masa kerja ultra singkat
lainnya seperti diamilan dan metoheksitan.
2. Benzodiazepine
Anggota tertentu dalam kelompok obat sedative hypnosis seperti diazepam,
lorazepam, dan midazolam, yang dipergunakan pada prosedur anestesi. (dasar-
dasar farmakologi benzodiazepin) diazepam dan lorazepan tidak larut dalam
air dan penggunaan intravenanya memerlukan vehikulum yang tidak encer,
sehingga pemberian intravena dapat menyebabkan iritasi luka. Formulasi
mudah larut dalam air dan kurang iritasi tetapih mudah larut dalam lemak
pada pH fisiologis serta mudah melewati sawa darah otak.
3. Anestesi analgesic opioid
Dosis besar analgesic opioid telah digunakan untuk anestetik umum, terutama
pada penderita operasi jantung atau operasi besar lainnya ketika sirkulasi
dalam keadaan minimal. Pemberian morfin, secara intravena dengan dosis 1
sampai 3 per kg digunakan dalam keadaan sirkulasi yang berat.
4. Propofol
14
Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting. Propofol dapat
menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan pemberian barbiturate
secara intravena, dan waktu pemulihan yang lebih cepat.
5. Etomidat
Etomidat merupakan imidazol karboksilasi yang digunakan untuk induksi
anestesi dan teknik anestesi secara seimbang yang tidak boleh diberikan untuk
jangka lama. Kelebihan utama dari anestestik ini yaitu depresi kardiovaskular
dan repilasi yang minimal.
6. Ketamin
Ketamin menimbulkan anestesi disosiatif yang ditandai dengan kataton,
amenesia, dan analgesia. Mekanisme kerjanya adalah dengan cara
menghambat efek membrane eksitator neurotrasmiter asam glutamate pada
subtype reseptor NMDA.
3.1.5 Cara Pemberian Anestesi Umum1,5,6
1. Parenteral (intramuscular/intravena).
Digunakan untuk tindakan yang singkat atau induksi anestesi. Umumnya
diberikan thiopental, namun pada kasus tertentu dapat digunakan ketamin,
diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama anestesi parenteral dikombinasikan
dengan cara lain.
2. Parekteral.
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.
3. Anestesi inhalasi, yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan
anestesi yang mudah menguap (volaitile agent) sebagai zat anestetik melalui
udara pernafasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan
oksigen) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari tekanan
parsialnya.
15
Tekanan parsial dalam jaringan otak akan menentukan kekuatan daya
anestesi, zat anestetika disebut kuat bila dengan tekanan parsial yang rendah
sudah dapat memberi anestesi yang adekuat.
3.1.6 Syarat, Kontraindikasi, dan Komplikasi Anestesi Umum
Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah:1-6
a. Memberi induksi yang halus dan cepat.
b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons
c. Timbulkan keadaan amnesia
d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.
e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup untuk tindakan
operasi.
f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO yang
berlangsung lama.
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis
derajat III-IV, AV blok derajat II-total (tidak ada gelombang P). Kontraindikasi
Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM tak terkontrol,
infeksi akut, sepsis, GNA.1
Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan.
Pada pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian obat yang
bersifat hepatotoksik. Pada pasien dengan gangguan jantung, obat-obatan yang
mendepresi miokard atau menurunkan aliran koroner harus dihindari atau
dosisnya diturunkan. Pasien dengan gangguan ginjal, obat-obatan yang
diekskresikan melalui ginjal harus diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang
memicu sekresi paru, sedangkan pada bagian endokrin hindari obat yang
meningkatkan kadar gula darah, obat yang merangsang susunan saraf simpatis
pada penyakit diabetes basedow karena dapat menyebabkan peningkatan kadar
gula darah.1
16
Sedangkan komplikasi kadang-kadang tidak terduga walaupun tindakan
anestesi telah dilakukan dengan sebaik-baiknya. Komplikasi dapat dicetuskan oleh
tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri. Komplikasi dapat timbul pada
waktu pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi kardiovaskular
berupa hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 %
dari sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada
periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan
khususnya pada penyakit jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan-
kebutuhan miokard yang meningkat yang dapat menyebabkan iskemik atau infark
apabila tidak tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah setelah
anestesi, tidak sadar , hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu tubuh.1
3.1.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum1,5,6
3.1.7.1 Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus adalah:
1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi,
semakin cepat kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan
parsial
3.1.7.2 Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar
daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian
kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
17
3.1.7.3 Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan
2. Koefisien partisi jaringan/darah
3. Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya
pembuluh darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit
pembuluh darah/JSPD)
3.1.7.4 Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC
(Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika
dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon)
terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat
anestetika tersebut.
3.1.7.5 Faktor Lain
1. Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
2. Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia
3. Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman
anestesia semakin cepat.
3.1.8 Prosedur Anestesi Umum
3.1.8.1 Persiapan Pra Anestesi Umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun
darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan
pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan
pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.1,2
18
Tujuan kunjungan pra anestesi:1,2
1. Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang
mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.
3. Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal
ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai
gambaran prognosis pasien secara umum.
3.1.8.2 Persiapan Pasien
3.1.8.2.1 Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau
melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan
pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien.1,2
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:2
1. Identifikasi pasien, misal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes
mellitus, penyakit paru-paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis),
penyakit jantung dan hipertensi (infark miokard, angina pectoris,
dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal.
3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid,
obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan
aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti
alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.
4. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa
kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu
seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
19
5. Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya
anestesi seperti: merokok dan alkohol.
3.1.8.2.2 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,
tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah
akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga
akan menyulitkan laringoskopi intubasi.2
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem
organ tubuh pasien.2
3.1.8.2.3 Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan
uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,
misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji
ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji
semacam ini.2
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang
akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan
ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik,
mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada
anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan
perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu
pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.2
20
A. Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang
tidak perlu harus dihindari.2
B. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia
harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6
jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anesthesia.2
C. Klasifikasi status fisik
Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society
of Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5
kelompok atau kategori sebagai berikut:1-6
1. ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
2. ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
3. ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
4. ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat.
5. ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
21
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan
mencantumkan tanda darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III E.
D. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:1-6
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Memperlancar induksi anesthesia
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik
5. Mengurangi mual muntah pasca bedah
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi cairan lambung
8. Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun
kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai
nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuskular.2
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2
jam sebelum jadwal operasi.2
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).2
22
E. Medikasi dalam Anestesi Umum
Jenis obat anestesi umum diberikan dalam bentuk suntikan intravena atau
inhalasi:1,6
1. Anestetik intravena
Obat anestetik intravena meliputi:
a) Benzodiazepine
Sifat: hipnotik – sedative, amnesia anterograd, atropine like effect,
pelemas otot ringan, cepat melewati barier plasenta.
Kontraindikasi: porfiria dan hamil.
Dosis : Diazepam : induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi : 0,15
– 0,45 mg/kg IV.
b) Propofol
Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting. Propofol
dapat menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan pemberian
barbiturat secara inutravena, dan waktu pemulihan yang lebih cepat. Dosis:
2 – 2,5 mg/kg IV.
c) Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general anaesthetic.
Indikasi pemakaian ketamin adalah prosedur dengan pengendalian jalan
napas yang sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien resiko
tinggi dan asma. Dosis pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2 mg/kgBB dan
pada pemberian IM 3 – 10 mg/kgBB.
d) Thiopentone Sodium
Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan dalam air
menjadi larutan 2,5%atau 5%. Indikasi pemberian thiopental adalah
induksi anestesi umum, operasi singkat, sedasi anestesi regional, dan untuk
mengatasi kejang. Keuntungannya :induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi
mukosa jalan napas. Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.
23
2. Anestetik inhalasi
a) N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau,
tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya tersimpan dalam
bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan penguapan pada suhu
kamar ± 50 atmosfir. N2O mempunyai efek analgesic yang baik, dengan
inhalasi 20% N2O dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin.
Kadar optimum untuk mendapatkan efek analgesic maksimum ± 35% . gas
ini sering digunakan pada partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu
kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi kekuatan
kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi untuk mencegah terjadinya
hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan secara intermiten untuk
mendapatkan analgesic pada saat proses persalinan dan Pencabutan gigi.
H2O digunakan secara umum untuk anestetik umum, dalam kombinasi
dengan zat lain.
b) Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar dan
tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen. Halotan
bereaksi dengan perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium, brom, karet
dan plastic. Karet larut dalam halotan, sedangkan nikel, titanium dan
polietilen tidak sehingga pemberian obat ini harus dengan alat khusus yang
disebut fluotec. Efek analgesic halotan lemah tetapi relaksasi otot yang
ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman waktu 10 menit untuk
induksi sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4 volume %).
Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.
24
c) Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara kimiawi
mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda. Isofluran berbau
tajam sehingga membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap oleh
penderita karena penderita menahan nafas dan batuk. Setelah pemberian
medikasi preanestetik stadium induksi dapat dilalui dengan lancar dan
sedikit eksitasi bila diberikan bersama N2O dan O2. Isofluran merelaksasi
otot sehingga baik untuk intubasi. Tendensi timbul aritmia amat kecil
sebab isofluran tidak menyebabkan sensiitisasi jantung terhadap
ketokolamin. Peningkatan frekuensi nadi dan takikardi dihilangkan dengan
pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg morfin
atau 0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia diatasi terlebih
dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi dengan mengatur dosis.
Pada anestesi yang dalam dengan isofluran tidak terjadi perangsangan SSP
seperti pada pemberian enfluran. Isofluran meningkatkan aliran darah otak
pada kadar labih dari 1,1 MAC (Minimal Alveolar Concentration) dan
meningkatkan tekanan intracranial.
d) Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling disukai
untuk induksi inhalasi. Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter.
Induksi dan pulih dari anestesilebih cepat dibandingkan dengan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi disampinghalotan.Efek terhadap
kardiovaskuler cukup stabil, jarang mnyebabkan aritmia. Efek terhadap
sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik
terhadaphepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan
oleh badan.Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime), tetapi
belum ada laporanmembahayakan terhadap tubuh manusia.
25
F. Medikasi Lainnya6
1) Fentanyl
Pemberian Fentanyl bertujuan untuk mengurangi rangsang nyeri pada saat
operasi. Dosis dapat diberikan 1 – 2 µg.2 Pada operasi ini diberikan fentanyl
60 µg sesuai berat badan pasien.
2) Rokuronium
Termasuk pelumpuh otot nondepolarisasi. Zat ini merupakan analog
vekuronium dengan awal kerja lebih cepat. Keuntungannya adalah tidak
mengganggu fungsi ginjal, sedangkan kerugiannya adalah terjadi gangguan
fungsi hati dan efek kerjanya lebih lama. Dosis intubasi 0,3 - 0,6 mg/ kg BB.
Obat ini bekerja dengan menghalangi asetilcholine menempati reseptornya
dan tidak menyebabkan depolarisasi, sehingga tidak terjadi fasikulasi. Pada
pasien ini digunakan rocuronium sebagai obat pelumpuh otot dengan dosis 30
mg.
3) Atropin
Atropin merupakan obat golongan antikolinergik sehingga meningkatkan
sistem saraf simpatis dan juga bekerja memblok asetilkolin endogen maupun
eksogen. Pada saluran nafas efeknya adalah untuk mengurangi sekret hidung,
mulut, faring dan bronkus. Pada saluran cerna sebagai antispasmodik
(menghambat peristaltik lambung dan usus). Efek samping atropin adalah
mulut kering, gangguan miksi, meteorismus, retensio urin dan muka merah.
Dosis Atropin : 0,01-0,04 mg.
4) Aminophilin
Aminophilin disini dipakai sebagai obat emergensi untuk mengatasi tekanan
darah pasien yang terlalu tinggi pada awal operasi. Mula-mula berikan 2cc
(20 mg) kemudian lihat perkembangan tekanan darah pasien bila masih tinggi
dapat diberikan 2 cc (20 mg) lagi.
5) Neostigimin
Merupakan penawar dari pelumpuh otot. Bekerja pada sambung saraf otot,
mencegah asetilcholine-esterase bekerja, sehingga asetilcholine dapat bekerja.
Dosis yang digunakan adalah 0,04 – 0,08 mg/kgBB.
26
Obat ini bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan,
bradikardi, untuk itu pemberiannya harus disertai obat vagolitik yaitu atropin
dengan dosis 0,01-0,04 mg/kgBB.
6) Nalokson
Adalah antagonis opoid murni dan bekerja pada reseptor mu, delta, kappa,
dan sigma. Nalokson diberikan untuk melawan depresi nafas pada akhir
pembedahan dengan dosis diciccil 1-2 µg/kgBB intravena dan dapat diulang
3-5 menit, sampai ventilasi dianggap baik.
7) Ketorolac
Cara kerja ketrolac ialah menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa
menganngu reseptor opoid di sistem saraf pusat. Ketorolac dapat diberikan
secara oral, im, atau iv. Dosis awal 10- 30 mg dan dapat diulang setiap 4-
6jam sesuia kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari-hari dapat dibatasi
maksimal 90 mg dan untuk berat <50 kg, manula atau gangguan faal ginjal
dibtasi maksimal 60 mg.
8) Tramadol
Adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu. Dan
kelemahan analgesinya 10-20% dibandingkan morfin. Tramadol dapat
diberikan im atau iv dengan dosis 50-100 mg dn dapat diulang tip 4-6jam.
Dengan dosis maksimal 400 mg perhari.
3.1.8.3 Persiapan Peralatan Anestesi
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan
anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti
berfungsi, sesuai dengan tujuan kita memberi anesthesia yang lancar dan aman.2
27
3.1.9 Rumatan Anestesi (Maintenance)
Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena (anestesia
intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan
(hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama
dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.2,6
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan
analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan
intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan
dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total
intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.2,6
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%,
atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu
(assisted), atau dikendalikan (controlled).2,6
3.1.10 Monitoring Perianestesi dan Pasca-anestesi
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah, harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan). Selain menilai tanda vital, di kamar puih juga dinilai tingkat kesadaran, motorik, pupil (ukuran, kualitas, releks cahaya), GCS dan kekuatan otot, serta menilai sisa obat anestesi. Saat Pasien akan dipindahkan ke ruangan rawat maka harus dinilai terlebih dahulu menggunakan skor aldrete (dewasa) atau steward (anak-anak).2,6
28
3.1.11 Komplikasi
Komplikasi dapat dicetuskan oleh tindakan anesthesia sendiri atau kondisi pasien.
Penyulit dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun
belakangan setelah pembedahan (lebih dari 12 jam).
- Kardiovasklar
a) Hipotensi
b) Hipertensi, umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode induksi
dan pemulihan anestesia. Komplikasi ini menyebabkan jantung akan bekerja
keras dengan kebutuhan O2 mokard yang meningkat, bila tak tercukupi
dapat timbul iskemia atau infark miokard. Namun bila hipertensi karena
tidak adekuat dapat dihilangkan dengan menambah dosis anestetika.
c) Aritmia Jantung, anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi dapat
merangsang saraf simpatiks, dapat menyebabkan aritmia. Bradikardia yang
terjadi dapat diobati dengan atropin
d) Payah Jantung mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan IV berlebihan.
- Respirasi
Obstruksi jalan nafas, batuk,cekukan (Hiccup), intubasi endobronkial,apnu
(Henti Nafas), atelektasis, pnemotoraks, muntah dan regurgitas.
- Perubahan Cairan Tubuh
29
- Neurologi
Konvulsi, terlambat sadar dan cidera saraf tepi (perifer)
- Komplikasi Lain-Lain
Mengigil, gelisah setelah anestesi, mimpi buruk, sadar selama operasi, kenaikan
suhu tubuh, dan hipersensitif.
3.2 Intubasi Endotracheal
3.2.1 Definisi
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea
melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira pada pertengahan
antara pita suara dan bifurkasio trakea.5-7
3.2.2 Tujuan5-7
1. Pembebasan jalan napas
2. Pemberian napas buatan dengan bag and mask
3. Pemberian napas buatan secara mekanik (respirator)
4. Memungkinkan penghisapan sekret secara adekuat
5. Mencegah aspirasi asam lambung (dengan adanya balon yang dikembangkan)
6. Mencegah distensi lambung
7. Pemberian oksigen dosis tinggi
3.2.3 Alat
Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea, ada beberapa alat yang perlu
disiapkan yang disingkat dengan STATICS.5-7
1. S= Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop
untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat
laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan
benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:
a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
30
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah
lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa
Gambar 2.1 Miller Blade8 Gambar 2.2 Macintosh8
2. T=Tubes
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa
trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari
bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran
milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa
berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang
melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh
karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff)
sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan
lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput
lendir trakea dan postintubation croup.
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau
melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila
penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya
pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun penggunaan
nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii.
31
Di pasaran bebeas dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak pada
tabel di bawah ini.
Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai
Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa kaf
Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Karakteristik Pipa Endotrakea
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,
oksigenasi dan
pengisapan.
32
Gambar 2.3 Pipa endotrakea7
Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride)
yang bebas lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor standar. Termosensitif
untuk melindungi jaringan mukosa dan memungkinkan pertukaran gas, serta
struktur radioopak yang memungkinkan perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada
tabung didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman
pipa.
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea
disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa
endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat
melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea
berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin
sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama
adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang
kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah
aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila
intubasi secara langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak
berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga
disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan menggunakan
laringoskop serat optik.
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai
pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi
pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya
tidak dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan
balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon
(yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan
nafas) atau dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari
33
plastik yang tidak iritasif. Untuk bayi dan anak kecil pemilihan diameter dalam
pipa (mm) = 4 + ¼ umur (tahun).
3. A=Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untk menjaga terbukanya jalan napas
yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
Gambar 2.4 OPA, NTA dan posisinya5
4. T=Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.
5. I=Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
6. C=Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag
valve mask ataupun peralatan anestesia.
7. S=Suction
34
Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan lainnya.
3.2.4 Indikasi Intubasi
Indikasi intubasi trakea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut:2,6,7
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Misalnya akibat kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.
Misalnya saat resusitasi dan ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
3.2.5 Kontraindikasi2,6,7
1. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
2. Keadaan trauma / obstruksi jalan nafas atas, mencegah aspirasi, penanganan
jalan nafas jangka panjang, mempermudah proses weaning ventilator
3.2.6 Penyulit Intubasi
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi
yang dijumpai. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi empat kelas.
Sedangkan menurut Cormack dan Lehanne kesulitan intubasi juga dibagi menjadi
4 gradasi.2,6,7
35
Gambar 2.5. Mallampati Classification and Cormack-Lehanne Classification2
Kesulitan intubasi umumnya ditemui pada kondisi:2
1. Leher pendek dan berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak verteba servikal terbatas.
3.2.7 Teknik Intubasi Trakea
Sebelum melakukan intubasi, perlu dipersiapkan alat-alat yang diperlukan
dan diperiksa keadaannya, misalkan apakah kaf pada intubasi tidak bocor, nyala
lampu pada laringoskop, dan lain-lain. Keberhasilan intubasi tergantung dari
posisi pasien yang benar. Kepala pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan
pinggang dokter anestesi untuk mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak
perlu selama laringoskopi. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja
operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito join membuat pasien berada pada posisi
sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher dibuat fleksi dengan
menempatkan kepala diatas bantal.7
36
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin.
Setelah induksi anestesi umum, mata rutin direkat dengan plester karena anestesi
umum menghilangkan refleks proteksi cornea.7
3.2.7.1 Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka
lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk
menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring
dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade biasanya di masukan ke dalam
vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Handle diangkat dan jauh dari
pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara.
Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan dari gigi harus
dihindari. Orotracheal tube (OTT) diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya
dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon OTT harus berada
dalam trachea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop ditarik dengan hati-
hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan minimal
udara yang dibutuhkan untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada
mukosa trachea.2,3,7
Gambar 2.6 Tampilan Glottis selama laringoskopi7
37
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan
capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratracheal. Walaupun
deteksi kadar CO2 dengan capnograf yang merupakan konfirmasi terbaik dari
letak OTT di trachea, tapi tidak dapat mengecualikan intubasi bronchial.
Manifestasi dini dari intubasi bronkhial adalah peningkatan tekanan respirasi
puncak. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan
kecuali dalam ICU. Setelah yakin OTT berada dalam posisi yang tepat, pipa
diplester atau diikat untuk mengamankan posisi.2,3,7
3.2.7.2 Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat
hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang
hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas
lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan
pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar,
lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.2,3,7 Memasukkan NTT
melalaui hidung berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang berat
disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.2,3,7
3.2.7.3 Ekstubasi
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar,karena :
1. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
2. Adanya resiko aspirasi
Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anastesi sudah ringan dengan
catatan tidak terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut,
laring, faring dari secret dan cairan lainnya.
3.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang berhubungan dengan intubasi endotrakeal. Faktor-faktor
predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal dapat dibagi
menjadi:7
38
Faktor pasien:
1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki
laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan
napas.
2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.
3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat
menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung mendapatkan
trauma fisik atau fisiologis selama intubasi.
4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.
Faktor yang berhubungan dengan anestesia:7
1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi
krisis yang dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya
komplikasi selama tatalaksana jalan napas.
2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan pasien
dan peralatan yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam intubasi.
Faktor yang berhubungan dengan peralatan:7
1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang
maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi
pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube
tersebut.
2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma.
3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.
4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik
berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.
5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan
tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di
bagian yang tidak tepat.
39
Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan
ventilasi dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan
melakukan intubasi dan kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah
tidak dapat dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada pasien apnoe karena
proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan kematian atau
hipoksia otak.7
Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika
dalam keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation
(CVCI).7
Komplikasi:6-8
1. Selama intubasi
- Trauma gigi geligi
- Laserasi bibir, gusi , laring
- Merangsang saraf simpatis
- Intubasi bronkus
- Intubasi esophagus
- Aspirasi
- Spasme bronkus
2. Selama Ekstubasi
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glotis-subglotis
- Infeksi laring, faring, dan trakea
Ekstubasi,6-8
a. Ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
1) Intubasi kembali menimbulkan kesulitan
2) Adanya resiko aspirasi
b. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan dengan
catatan tidak terjadi spasme laring
40
c. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari sekret dan
cairan lainnya.
3.3 Laringeal Mask Airway
Laryngeal Mask Airway (LMA) atau sungkup laring adalah alat jalan
nafas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung
menyerupai sendok yang pinggirnya dapat di kembang kempiskan seperti balon
pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek
dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten. Alat ini juga dapat digunakan
untuk memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea.
Ukuran LMA
Ada berbagai variasi ukuran pada LMA yang tersedia, mulai dari nomer 1
yang digunakan pada pasien neonatus sampai ukuran paling besar yaitu 5 yang
digunakan pada dewasa besar.
Pada penggunaan sungkup laring, ada yang menggunakan jenis kelamin
sebagai patokan ukuran pada penderita dewasa yaitu nomer 3 untuk wanita dan
nomer 4 untuk pria. Yang perlu menjadi perhatian adalah setelah melakukan
41
pemasangan LMA, pengembangan kaf tidak boleh melebihi volume maksimal
yang telah ditentukan dari setiap ukuran.
Indikasi LMA
- Untuk menghasilkan jalan nafas yang lancar tanpa penggunaan sungkup
muka.
- Untuk menghindari penggunaan intubasi endotrakeal selama ventilasi spontan.
- Pada kasus-kasus kesulitan intubasi.
- Untuk memasukkan ETT ke dalam trakea.
- Pada tindakan pembedahan dalam waktu yang tidak lama
Kontraindikasi LMA
- Ketidakmampuan menggerakkan kepala atau membuka mulut lebih dari 1,5
cm, (ankylosing spondylitis, severe rheumatoid arthritis, servical spine
instability)
- Kelainan didaerah faring (abses, hematom).
- Obstruksi jalan nafas pada atau dibawah laring.
- Pasien dengan lambung penuh atau kondisi yang menyebabkan lambatnya
pengosongan lambung.
- Meningkatnya resiko regurgitasi (hernia hiatus, ileus intestinal).
- Ventilasi satu paru.
- Keadaan dimana daerah pembedahan akan terhalang oleh kaf dari LMA.
Macam-Macam LMA
1. Klasik LMA
2. Fastracht LMA
3. Proseal LMA
4. Fleksibel LMA
42
Cara Pemasangan LMA
Pemasangan LMA dapat dilakukan dengan induksi menggunakan
sevofluran atau propofol. Dari bebarapa penelitian menyatakan bahwa propofol
merupakan obat pilihan untuk pemasangan sungkup laring dengan
kemampuannya menekan reflek jalan nafas (batuk, cegukan, spasme laring) dan
kemudahan dalam pemasangannya. Sevofluran merupakan agen anestesi inhalasi
yang ideal untuk induksi, oleh karena mempunyai koefisien kelarutan yang
rendah, bau tidak menyengat, tidak iritatif serta waktu pulih yang cepat.
Adapun langkah-langkah pemasangan LMA dengan teknik Brain adalah
sebagai berikut :
1. Kaf harus dikempeskan maksimal dan benar sebelum dipasang.
Pengempisan harus bebas dari lipatan dan sisi kaf sejajar dengan sisi
lingkar kaf.
2. Oleskan jeli pada sisi belakang LMA sebelum dipasang. Hal ini untuk
menjaga agar ujung kaf tidak menekuk pada saat kontak dengan palatum.
Pemberian jeli pada sisi depan akan dapat mengakibatkan sumbatan atau
aspirasi, karena itu tidak dianjurkan.
43
3. Sebelum pemasangan, posisi pasien dalam keadaan “air sniffing” dengan
cara menekan kepala dari belakang dengan menggunakan tangan yang
tidak dominan. Buka mulut dengan cara menekan mandibula kebawah atau
dengan jari ketiga tangan yang dominan.
4. LMA dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk pada perbatasan antara
pipa dan kaf.
5. Ujung LMA dimasukkan pada sisi dalam gigi atas, menyusur palatum dan
dengan bantuan jari telunjuk LMA dimasukkan lebih dalam dengan
menyusuri palatum.
6. LMA dimasukkan sedalam-dalamnya sampai rongga hipofaring. Tahanan
akan terasa bila sudah sampai hipofaring.
7. Pipa LMA dipegang dengan tangan yang tidak dominan untuk
mempertahankan posisi, dan jari telunjuk kita keluarkan dari mulut
penderita. Bila sudah berpengalaman, hanya dengan jari telunjuk, LMA
dapat langsung menempati posisinya.
8. Kaf dikembangkan sesuai posisinya.
9. LMA dihubungkan dengan alat pernafasan dan dilakukan pernafasan
bantu. Bila ventilasi tidak adekuat, LMA dilepas dan dilakukan
pemasangan kembali.
10. Pasang bite – block untuk melindungi pipa LMA dari gigitan, setelah itu
lakukan fiksasi.
LMA dibuat sedemikian rupa sehingga dalam pemasangan tidak
diperlukan laringoskop seperti pada pemasangan pipa endotrakea. Pemasangan
sangat mudah, meski tanpa melihat langsung ke daerah hipofaring tetapi dapat
menyekat daerah sekitar faring dengan baik, sehingga memudahkan ventilasi
spontan atau dengan tekanan positip.
Pemasangan LMA yang tepat yaitu ujung LMA akan berada pada dasar
hipofaring da berhadapan dengan sfingter esofagus atas, dan sisi samping akan
berada pada fossa pyriformis dan bagian atas LMA akan berada pada pangkal
lidah.
44
Keuntungan dan Kerugian LMA
Penggunaan sungkup laring mempunyai beberapa keuntungan
dibandingkan penggunaan intubasi endotrakeal dan sungkup muka. Dalam
pemasangannya, sungkup laring tidak memerlukan laringoskop, tidak perlu
pemberian pelumpuh otot, tidak merusak pita suara, respon kardiovaskuler sangat
rendah dibanding intubasi endotrakea. Kenyamanan pemasangan sungkup laring
setelah induksi anestesi memerlukan anestesi yang dalam untuk menekan reflek
jalan nafas seperti batuk, cegukan dan spasme laring. Penempatan sungkup laring
yang benar akan menjaga kebocoran lebih baik dibandingkan sungkup muka dan
sebanding dengan pipa endotrakea pada tekanan ventilasi mencapai 20 cmH20.
Kelemahan penggunaan sungkup muka adalah tidak dapat melindungi
jalan nafas dari kemungkinan regurgitasi isi lambung. Cegukan, batuk dan spasme
laring dapat dicegah dengan memberikan suksinilkolin, meningkatkan dosis obat
induksi atau penambahan pemberian narkotik saat induksi.
45
3.4 Polip Cavum Nasi
3.4.1 Definisi
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, bewarna putih keabu-abuan yang terjadi akibat inflamasi mukosa.
Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat
bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah
belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koana. Polip koana (polip
antrum koana) adalah polip yang besar dalam nasofaring dan berasal dari antrum
sinus maksila. Polip ini keluar melalui ostium sinus maksila dan ostium
asesorisnya lalu masuk ke dalam rongga hidung kemudian lanjut ke koana dan
membesar dalam nasofaring. 9
Gambar 2.7 Polip
3.4.2 Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitifitas atau
reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip
hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu – raguan bahwa infeksi
dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan
adanya polip.9
Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau
sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya
berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan
46
eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya
ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak – anak. Pada anak – anak,
polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain : Alergi
terutama rinitis alergi, sinusitis kronik, iritasi, sumbatan hidung oleh kelainan
anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka, peradangan mukosa hidung
dan sinus paranasal yang kronik dan berulang, gangguan keseimbangan
vasomotor dan edema.
Peningkatan tekanan cairan interstitial sehingga timbul edema mukosa
hidung. Terjadinya edema ini dapat dijelaskan oleh fenomena Bernoulli, yaitu
udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan menimbulkan tekanan
negatif pada daerah sekitarnya sehingga jaringan yang lemah ikatannya akan
terisap oleh tekanan negatif tersebut. Akibatnya timbulah edema mukosa.
Keadaan ini terus berlangsung hingga terjadilah polip hidung.9
3.4.3 Patofisiologi
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik,
disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Brenstein, terjadi
perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi,
terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa
yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi
peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi
air sehingga terbentuk polip.9
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbngan saraf vasomotor, terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang
menyebabkan edema dan lama kelamaan menjadi polip. Bila proses terus
berlanjut, mukosa yang sembab semakin membesar menjadi polip dan kemudian
akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.9
47
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan
terdapat di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan
interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil), sehingga mukosa yang
sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin
membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat
sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip.
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab
tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama,
vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa.
Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya
membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila,
kemudian sinus etmoid. Setelah polip terus membesar di antrum, akan turun ke
kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang
yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada
rinitis alergi terutama rinitis alergi perenial yang banyak terdapat di Indonesia
karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun.
Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa
menyebabkan obstruksi di meatus medial.9
3.4.4 Penegakan Diagnosis
Cara menegakkan diagnosa polip cavum nasi, yaitu :9
1) Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang
ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit
kepala daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post
nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah
bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan
penurunan kualitas hidup. Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas
bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi
48
dengan asma. Selain itu harus ditanyakan riwayat rhinitis alergi, asma,
intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan.
2) Pemeriksaan fisik
- Inspeksi
Terlihat deformitas hidung luar sehingga hidung tampak melebar
- Rhinoskopi anterior
Memperlihatkan massa translusen pada rongga hidung. Deformitas septum
membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret mukus dan
polip multipel atau soliter. Polip kadang perlu dibedakan dengan konka
nasi inferior, yakni dengan cara memasukan kapas yang dibasahi dengan
larutan efedrin 1% (vasokonstriktor), konka nasi yang berisi banyak
pembuluh darah akan mengecil, sedangkan polip tidak mengecil. Polip
dapat diobservasi berasal dari daerah sinus etmoidalis, ostium sinus
maksilaris atau dari septum
Gambar 2.8 Tampilan Polip pda Rhinoskopi
- Rhinoskopi Posterior
Kadang - kadang dapat dijumpai polip koanal.Sekret mukopurulen ada
kalanya berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian superior,
yang menandakan adanya rinosinusitis
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997), stadium 1 :
polip masih terbatas di meatus medius, stadium 2 : polip sudah keluar dari
meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga
49
hidung, stadium 3 : polip yang masif, polip yang sudah menyebabkan
obstruksi total.
3) Naso-Endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus
polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan
nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai
polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.Untuk melihat polip
yang masih kecil dan belum keluar dari kompleks osteomeatal.
4) Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam
sinus, tetapi kurang bermamfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi
komputer (TK, CT scan) sangat bermamfaat untuk melihat dengan jelas
keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan
anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama
diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terpai medikantosa,
jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah
terutama bedah endoskopi.
5) Biopsi
Di anjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien berusia lanjut,
menyerupai keganasan pada penampakan makroskopis dan ada gambaran
erosi tulang pada foto polos rontgen.
3.4.5 Penatalaksanaan
Pengobatannya berupa terapi obat-obatan dan operasi. Terapi
medikamentosa ditujukan pada polip yang masih kecil yaitu pemberian
50
kortikosteroid sistemik yang diberikan dalam jangka waktu singkat, dapat juga
diberiksan kortikosteroid hidung atau kombinasi keduanya.9
Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid : 1.
Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari, kemudian
dosis diturunkan perlahan – lahan (tappering off). 2. Suntikan intrapolip, misalnya
triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc, tiap 5 – 7 hari sekali, sampai
polipnya hilang. 3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid,
merupakan obat untuk rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai
lanjutan pengobatn kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil,
sehingga lebih aman. 9
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan pembedahan.
Pembedahan dilakukan jika :
1. Polip menghalangi saluran nafas
2. Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus.
2) Polip berhubungan dengan tumor
3) Pada anak – anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitist yang gagal
pengobatan maksimum dengan obat- obatan.
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip (polipektomi)
dengan menggunakan senar polip. Polipektomi merupakan tindakan pengangkatan
polip menggunakan senar polip dengan bantuan anestesi lokal, untuk polip yang
besar dan menyebabkan kelainan pada hidung, memerlukan jenis operasi yang
lebih besar dan anestesi umum. Kategori polip yang diangkat adalah polip yang
besar namun belum memadati rongga hidung. Polipektomi sederhana cukup
efektif untuk memperbaiki gejala pada hidung, khususnya pada kasus polip yang
tersembunyi atau polip yang sedikit. Surgical micro debridement merupakan
prosedur yang lebih aman dan cepat, pemotongan jaringan lebih akurat dan
mengurangi perdarahan dengan visualisasi yang lebih baik. Etmoidektomi atau
bedah sinus endoskopi fungsional merupakan tindakan pengangkatan polip
sekaligus operasi sinus, merupakan teknik yang lebih baik yang tidak hanya
membuang polip tapi juga membuka celah di meatus media yang merupakan
tempat asal polip yang tersering sehingga akan membantu mengurangi angka
51
kekambuhan. Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang sangat besar,
berulang, dan jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal. Antibiotik sebagai
terapi kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan sebelum dan sesudah
operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk langkah profilaksis
pasca operasi.9
52