sindrom cushing and addison disease
TRANSCRIPT
Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Adrenal
Korteks adrenal terdiri dari daerah yang secara anatomi dapat dibedakan :
1. Lapisan luar zona glomerulosa, merupakan tempat dihasilkannya mineralokorticoid
(aldosterone), ysng terutama diatur oleh angiotensin II, kalium, dan ACTH. Juga
dipengaruhi oleh dopamine, atrial natriuretic peptide (ANP) dan neuropeptides.
2. Zona fasciculate pada lapisan tengah, dengan tugas utama sintesis glukokortikoid,
terutama diatur oleh ACTH. Juga dipengaruhi oleh beberapa sitokin (IL-1, IL-6,
TNF) dan neuropeptida.
3. Lapisan terdalam zona reticularis, tempat sekresi androgen adrenal (terutama
dehydroepiandrostenedion [DHEA], DHEA sulfat dan androstenedion) juga
glukokortikoid (kortisol and corticosteron).
Tidak terdapat perbedaan yang jelas secara anatomi antara korteks dan medula yang
menghasilkan katekholamin oleh sel chromafin. Bukti terakhir hal ini memungkinkan adanya
interaksi parakrin diantara keduanya.
Sel-sel Immun
Makrofag tersebar pada korteks adrenal. Sebagai tamba han pada aktifitas fagositosis,
juga mengsekresikan sitokin (TNF, IL-1, IL-6) dan peptida (VIP), yang berinteraksi
dengan sel adrenokortikal dan berpengaruh pada fungsinya. Limfosit juga tersebar pada
korteks adrenal, dan diketahui menghasilkan substansi mirip ACTH . Juga telah terbuk ti
bahwa interaksi immuno -endokrin antara limfosit dan sel zona retikula ris dapat
menstimulasi dihasilkannya dehidroepiandrosteron. Jadi, kontak yang erat antara sel
chromafin, pembuluh darah dan sel-sel immunitas secara bersama-sama mengatasi adanya
respon stres. Dalam melakukan eksplorasi pengaruh sitokin pada hypothalamus-hypofise,
pada penelitian invitro diperlihatk an bahwa IL –β dan TNF-α akan menghambat pelepasan
TSH dari hypofise melalui stimulasi terhadap pelepasan somatostatin dari hypothalamus. IL-
6 sendiri berperan melalui po ros hypothalamus-hypofise-adrenal, tidak melalui tiroid.
Efek Biologik Glukokortikoid
Walaupun mula -mula nama glukokortikoid di hubungkan dengan pengaruhnya terhadap
metabolisme glukosa sekarang ini didefinisikan sebagai steroid yang bekerja dengan
pengikatan pada reseptor sitosolik yang spesifik yang merupakan perantara dari kerja
1
hormon-hormon ini. Reseptor glukokortikoid ini dijumpai pada hampir semua jaringan, dan
interaksi dari reseptor glukokortikoid ini yang bertanggung jawab terhadap mekanisme kerja
sebagian besar steroid-steroid tersebut.
Mekanisme Molekuler
A. Reseptor Glukokortikoid
Cara kerja glukokortikoid diawali dengan masuknya steroid ini ke dalam sel dan
berikatan dengan protein reseptor glukokortikoid sitosilik. Setelah terjadi pengikatan,
kompleks hormon reseptor yang aktif masuk dalam inti dan bereaksi dengan sisi
reseptor kromatin inti. Kompleks reseptor-glukokortikoid terikat pada tempat spesifik
pada nukleus DNA, elemen pengaturan glukokortikoid. Protein yang terjadi
mempengaruhi respons glukokortikoid, yang dapat bersifat inhibitor atau stimulator
tergantung dari jaringan spesifik yang dipengaruhi. Walaupun reseptor glukokortikoid
adalah sama pada kebanyakan jaringan, protein yang disintesis berbeda jauh dan
merupakan hasil ekskresi gen yang spesifik pada tipe sel-sel yang berbeda. Walaupun
domain pengikat steroid dari reseptor glukokortikoid memberikan spesifitas untuk
pengikatan glukokortikoid, glukokortikoid seperti kortisol dan kortikosteron terikat pada
reseptor mineralokortikoid dengan afinitas sama seperti dengan aldosteron.
B. Mekanisme yang Lain
Walaupun interaksi dari glukokortikoid dengan reseptor sitosolik dan rangsangan
selanjutnya dari ekskresi gen adalah hasil kerja utama glukokortikoid, pengaruh lain
dapat terjadi melalui mekanisme berbeda. Contoh yang penting adalah pengaruh inhibisi
balik dari glukokortikoid terhadap sekresi ACTH . Pengaruh ini terjadi dalam beberapa
menit setelah pemberian glukokortikoid dan reaksi yang cepat ini mungkin sekali bukan
disebabkan oleh sintesis RNA dan protein tetapi terutama dis ebabkan oleh perubahan
fungsi sekresi atau membran sel yang diinduksi glukokortikoid.
Glukokortikoid Agonis dan Antagonis
Pengertian mengenai reseptor glukokortikoid memberikan petunjuk tentang definisi
glukokortikoid agonis dan antagonis. Pengertian ini juga membuktikan sejumlah steroid
dengan efek campuran yang disebut sebagai agonis parsial, antagonis parsial atau agonis
parsial-antagonis parsial.
A. Agonis
2
Pada manusia, kortisol, glukokortikoid sintetik (misal, prednisolon, deksametason),
kortikosteron, dan aldosteron adalah agonis gluko-kortikoid. Glukokortikoid sintetik
mempunyai afinitas yang kuat terhadap reseptor glukokortikoid, dan juga mempunyai
afinitas glukokortikoid yang lebih besar dari pada kortisol bila terdapat pada konsentrasi
ekuimolar. Kortikosteron dan aldosteron mempunyai afinitas yang kuat terhadap reseptor
glukokortikoid, tetapi, konsentrasi di dalam plasma biasanya lebih rendah dari pada
kortisol, jadi steroid ini tidak menunjukkan efek fisiologis glukokortikoid yang berarti.
B. Antagonis
Antagonis glukokortikoid mengikat reseptor glukokortikoid tetapi tidak mengakibatkan
peristiwa yang terjadi dalam nukleus yang dibutuhkan untuk menyebabkan respons
glukokortikoid. Steroid ini bersaing dengan reseptor steroid agonis seperti kortisol
sehingga menghalangi respons agonis. Steroid-steroid lain mempunyai aktivitas agonis
parsial bila didapat tersendiri; misalnya menyebabkan respons glukokortikoid parsial.
Tetapi di dalam konsentrasi yang cukup terjadi kompetisi dengan steroid agonis untuk
reseptor, hingga terjadi kompetisi menghalangi respons agonis; misalnya agonis parsial
dapat berfungsi sebagai antagonis parsial dengan adanya glukokortikoid yang aktif. Jenis
steroid seperti progesterone, 11deoksikortikoid, DOC, testosteron, dan 17 β-estradiol
mempunyai efek antagonis atau agonis parsial-antagonis parsial; tetapi, peranannya
secara fisiologi mungkin tidak berarti, karena konsentrasi di dalam sirkulasi sangat
sedikit. Agen antiproge steron RU 486 (mifepristone) mempunyai sifat antagonis
glukokortikoid kuat dan digunakan untuk memblok kerja glukokortikoid pada pasien
dengan sindroma Cushing.
Metabolisme Intermedier
Glukokortikoid pada umumnya menghambat sintesis DNA. Pada sebagian besar jaringan
meng hambat sintesis RNA dan protein dan mempercepat katabolisme protein.
A. Metabolisme Glukosa Hepatik
Glukokortikoid meningkatkan glukoneogenesis hepatik dengan merangsang enzim
glukoneogenik yaitu fosfoenolpiruvat karboksikinase dan glukosa-6-fosfatase.
Glukokortikoid juga mempunyai pengaruh meningkatkan respons hepar terhadap hormon
glukoneogenik (glukagon, katek olamin) dan juga mempengaruhi peningkatan
pembesaran substrat dari jarin gan perifer terutama otot. Pengaruh akhir ini ditingkatkan
oleh glukokortikoid yang menyebabkan pengurangan ambilan asam amino di perifer dan
sintesis protein. Glukokortikoid juga meningkatkan pelepasan gliserol dan asam lemak
3
bebas dengan lipolisis dan meningkatkan pembebasan asam laktat dari otot. Steroid ini
juga meningkatkan sintesis glikogen hepatik dan penyimpanan dengan stimulasi aktivitas
glikogen sintetase dan dengan sedikit mengurangi pemecahan glikogen. Efek ini
tergantung pada insulin.
B. Metabolisme Glukosa di Perifer
Glukokortikoid juga mempengaruhi metabolisme karbohidrat dengan jalan menghalangi
ambilan glukosa di perifer dalam otot dan jaringan adiposa.
C. Pengaruh Terhadap Jaringan Adipose
Dalam jaringan adiposa pengaruh utama adalah peningkatan lipolisis dengan
pembebasan gliserol dan asam lemak bebas. Sebagian disebabkan oleh stimulasi
langsung lipolisis oleh 7 glikokortikoid, tetapi juga atas pengaruh penyerapan glukosa
yang berkurang dan peningkatan oleh glukokortikoid terhadap pengaruh hormon
lipolitik. Walaupun glukokortikoid bersifat lipolitik, terjadi peningkatan penimbunan
lemak yang merupakan manifestasi klasik dari kelebihan glukokortikoid. Keadaan yang
paradoksal ini dapat diterangkan dengan meningkatnya selera makan yang disebabkan
oleh karena kadar steroid yang tinggi, dan karena pengaruh lipogenik dari keadaan
hiperinsulinemia yang terjadi pada keadaan ini. Pengaruh glukokortikoid terhadap
metabolisme intermedier dapat dirangkum sebagai berikut:
(1). Dalam keadaan kenyang pengaruhnya sangat minim. Tetapi pada keadaan puasa,
glukokortikoid ikut mengatur kadar glukosa dalam plasma dengan cara
meningkatkan glukoneo-genesis, deposisi glikogen, dan pembebasan substrat di
perifer.
(2). Peningkatan produksi glukosa hepatik sebagaimana juga sintesis hepatik RNA dan
protein.
(3). Pengaruhnya terhadap otot bersifat katabolik; misalnya mengurangi penyerapan dan
metabolisme glukosa, mengurangi sintesis protein, dan meningkatkan pembebasan
asam amino.
(4). Pada jaringan adiposa merangsang lipolisis.
(5). Pada defisiensi glukokortikoid, dapat terjadi hipoglikemia, sedangkan pada
glukokortikoid berlebihan dapat terjadi hiperglikemia, hiperinsulinemia,
pengecilan otot, dan peningkatan berat badan dengan distribusi lemak yang
abnormal.
4
Efek pada Fungsi dan Jaringan-Jaringan Lain
A. Jaringan Ikat
Glukokortikoid dalam jumlah yang berlebihan menghambat fungsi fibroblas, yang akan
menyebabkan kehilangan jaringan kolagen dan jaringan ikat, sehingga mengakibatkan
penipisan kulit, mudah mengelupas, pembentukan striae dan kesulitan penyembuhan luka.
B. Tulang
Glukokortikoid secara langsung menghambat pembentukan tulang dengan menurunkan
proliferasi sel dan sintesis RNA, protein, kolagen dan hialuronat. Glukokortikoid secara
langsung juga menstimulasi sel -sel yang meresorbsi di tulang, menyebabkan osteolisis
dan meningkatkan ekskresi hidroksiprolin di urin. Sebagai tambahan, juga memperkuat
efek PTH pada tulang, dan hal tersebut akan berpengaruh lebih lanjut pada resorpsi akhir
pada tulang.
C. Metabolisme Kalsium
Glukokortikoid juga mempunyai efek utama pada homeostasis mineral. Glukokortikoid
jelas akan mengurangi absorpsi kalsium dari usus, yang menyebabkan penurunan kadar
kalsium serum. Hal ini menyebabkan peningkatan sekunder sekresi PTH, yang akan
mempertahankan kadar kalsium serum dalam batas-batas normal dengan menstimulasi
resorpsi dari tulang. Glukokortikoid juga meningkatkan ekskresi kalsium di urin. Juga
mengurangi reabsorpsi fosfor di tubulus, yang menyebabkan fosfaturia dan penurunan
kadar fosfor dalam serum. Jadi, glukokortikoid berlebihan menyebabkan keseimbangan
kalsium yang negatif, dengan penurunan absorpsi dan peningkatan ekskresi di urin.
Kadar kalsium dalam serum tetap bertahan normal, tetapi ini akan merugikan karena
terjadi resorpsi dari tulang. Penurunan pembentukan tulang dan peningkatan resorpsi
akhirnya akan menyebabkan osteopenia yang mungkin menjadi komplikasi utama dari
glukokortikoid berlebihan spontan ataupun iatrogenic.
D. Pertumbuhan dan Perkembangan
Glukokortikoid mempercepat perkembangan sejumlah sistem dan organ-organ pada fetus
dan jaringan-jaringan yang berdiferensiasi. Contoh dari efek-efek yang mempercepat
pertumbuhan ini adalah peningkatan produksi surfaktan di paru-paru pada fetus dan
peningkatan perkembangan sistem-sistem enzim pada hepar dan gastrointestinal.
Glukokortikoid dalam jumlah yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan pada anak-
anak, dan efek yang merugikan ini merupakan komplikasi utama terapi dengan obat
tersebut. Hal ini mungkin terjadi sebagai akibat adanya efek langsung pada sel-sel tulang,
5
walaupun disini juga dipengaruhi oleh penurunan sekresi hormon pertumbuhan (GH) dan
pembentukan somatomedin.
E. Sel-sel Darah dan Fungsi Imunologis
1. Eritrosit
Glukokortikoid hanya sedikit berpengaruh pada eritropoiesis dan konsentrasi
hemoglobin. Walaupun mungkin terdapat polisitemia dan anemia yang ringan berturut
-turut pada sindroma Cushing dan penyakit Addison, perubahan perubahan ini lebih
mungkin terjadi sekunder akibat perubahan pada metabolisme androgen.
2. Leukosit
Glukokortikoid mempengaruhi pergerakan dan fungsi leukosit, meningkatkan
leukosit polimorfonuklear intravaskular dengan meningkatkan pelepasan sel-sel
tersebut dari sumsum tulang, dengan meningkatkan waktu-paruh sel-sel PMN dalam
sirkulasi, dan dengan menurunkan pergerakan kompartemen vaskular ke luar.
Pemberian glukokortikoid menurunkan jumlah limfosit-limfosit, monosit-monosit dan
eosinofil -eosinofil dalam sirkulasi berk urang, terutama akibat peningkatan
pergerakannya ke luar dari sirkulasi. Keadaan sebaliknya ini yaitu terjadinya
netropenia, limfositosis, monositosis dan eosinofilia-ditemukan pada insufisiensi
adrenal. Glukokortikoid juga menurunkan migrasi sel -sel inflamasi (sel -sel PMN,
monosit -monosit dan limfosit -limfosit) ke lokasi terjadinya perlukaan, hal ini
mungkin merupakan mekanisme utama dari kerja anti-inflamasi dan meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi yang terjadi akibat pemberian yang bersifat kronis .
Glukokortikoid juga menurunk an produksi limfosit dan mediator serta fungsi-fungsi
efektor sel-sel tersebut.
3. Efek imunologis
Glukokortikoid mempengaruhi berbagai aspek respons imunologis dan inflamasi,
termasuk mobilisasi dan fungsi leukosit. Mereka menghambat fosfolipase A2, suatu
enzim kunci dalam sintesis prostaglandin. Mereka juga mengganggu pelepasan
substansi efektor seperti limfokin interleukin-1, produksi dan bersihan antibodi, serta
derifat spesifik sumsum tulang lainnya dan fungsi limfosit yang berasal dari timus.
Kemudian, sistem imun mempengaruhi aksis hipotalamus -hipofisis-adrenal;
interleukin-I merangsang sekresi CRH dan ACTH.
F. Fungsi Kardiovaskular
Glukokortikoid mungkin dapat meningkatkan curah jantung, dan juga meningkatkan tonus
vaskular di perifer, mungkin dengan meningkatkan efek vasokonstriktor-vasokonstriktor
6
lain misalnya: katekolamin. Glukokortikoid juga mengatur ekspresi reseptor adrenergik.
Jadi, dapat terjadi syok refraktori bila individu yang mengalami defisiensi glukokortikoid
terkena stres. Glukokortikoid yang berlebihan sendiri dapat menyebab kan hipertensi yang
berasal dari efek mineralokortikoidnya. Walaupun insidens dan penyebab yang pasti
problem ini masih belum jelas, tampaknya mekanisme yang terlibat dalam sistem rennin-
angiotensin; glukokortikoid me ngatur subtrat renin, prekursor angiotensin I.
G. Fungsi Ginjal
Steroid-steroid akan mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit dengan bekerja
melalui reseptor-reseptor mineralokortikoid (retensi natrium dan air, hipokalemia, dan
hipertensi) atau melalui reseptor glukokortikoid (meningkatkan kecepatan filtrasi
glomerulus dengan meningkatkan curah jantung atau dengan efek langsung pada ginjal).
Kortikosteroid seperti betamet ason atau deksametason mempunyai aktivitas
mineralokortikoid ringan, meningkatkan ekskresi natrium dan air. Penderita penderita
defisiensi glukokortikoid mengalami penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan tidak
mampu mengekskresi beban cairan yang berlebihan. Hal ini dapat dipengaruhi dari aki bat
peningkatan sekresi ADH, yang dapat terjadi pada defisiensi glukokortikoid.
H. Fungsi Susunan Saraf Pusat
Glukokortikoid dapat masuk ke dalam otak, dan walaupun peranan fisiologis pada pada
susunan saraf pusat belum diketahui, kelebihan dan defisiensinya jelas dapat
mempengaruhi fungsi kognitif dan tingkah laku.
1. Glukokortikoid yang berlebihan-- Pada keadaan berlebihan, mula-mula glukokortikoid
akan menyebabkan euforia; namun selanjutnya bila pajanan berlangsung lama,
terjadilah sejumlah kelainan psikologis mencakup iritabilitas, labilitas emosi, dan
depresi. Banyak pasien yang mengalami kegagalan fungsi kognitif, sebagian besar
mengenai ingatan dan konsentrasi. Efek-efek sentral lainnya adalah peningkatan nafsu
makan, penurunan libido, dan insomnia.
2. Penurunan glukokortikoid -- Pasien-pasien dengan penyakit Addison bersifat apatis dan
depresi, cenderung mudah terangsang, negativistik. Mereka juga mengalami penurunan
selera makan.
I. Efek terhadap Hormon-Hormon lainnya
1. Fungsi tiroid -- Glukokortikoid dalam jumlah berlebihan akan mempengaruhi fungsi
tiroid. Walaupun kadar TSH basal biasanya tetap normal, respons TSH terhadap
thyrotropin-releasing hormone (TRH) sering subnormal. Kadar tiroksin (T4) total
dalam serum biasanya k urang dari normal, thyroxin 11 binding globulin menurun, dan
7
kadar T4 bebas normal. Kadar T3 (triiodotironin) total dan bebas mungkin rendah,
karena glukokortikoid yang berlebihan menurunkan konversi T4 menjadi T3 dan
meningkatkan konversi menjadi T3 reverse. Walaupun terjadi perubahan-perubahan
tersebut, manifestasi hipotiroidisme tidak jelas terlihat.
2. Fungsi gonad-- Glukokortikoid juga mempengaruhi fungsi gonad dan fungsi
gonadotropin. Pada pria, glukokortikoid menghambat sekresi gonadotropin terbukti
dengan menurunnya respons terhadap pemberian gonadotropin releasing hormone
(GnRH) dan kadar testosteron plasma yang subnormal. Pada wanita, glukokortikoid
juga akan menekan respons LH terhadap GnRH, yang menyebabkan terjadinya supresi
estrogen dan progestin berakibat inhibisi ovulasi dan terjadinya amenorea.
J. Efek-efek Lainnya
1. Ulkus peptikum-- Peranan steroid yang berlebihan pada terjadinya atau reaktivasi
ulkus peptikum masih kontroversial. Ulkus -ulkus pada sindroma Cushing spontan dan
pada kontak dengan terapi glukokortikoid dosis sedang tidak sering terjadi, walau data-
data terakhir menimbulkan dugaan bahwa pasien-pasien yang telah mempunyai ulkus
dan diterapi dengan steroid dan yang mendapat terapi steroid dosis tinggi mungkin akan
meningkatkan risiko.
2. Efek-efek oftalmologis- Tekanan intraokuler bervariasi sesuai dengan kadar
glukokortikoid yang beredar dan paralel dengan variasi sirkadian kadar kortisol plasma.
Sebagai tambahan, glukokortikoid yang berlebihan akan meningkatkan tekanan
intraokuler pada pasien-pasien glaukoma sudut terbuka. Terapi glukokortikoid dapat
pula menyebabkan terbentuknya katarak.
Fungsi Klinis dan Laboratoris Androgen Adrenal
Aktivitas biologis langsung dari androgen -androgen adrenal (androstenedion, DHEA
dan DHEA sulfat) adalah minimal dan berfungsi terutama sebagai prekursor-prekursor untuk
konversi di perifer menjadi hormon-hormon androgenik aktif, testosteron dan
dihidrotestosteron. Jadi, DHEA sulfat disekresikan oleh adrenal mengalami konversi menjadi
DHEA dalam jumlah 12 terbatas; DHEA yang dikonversi di perifer ini dan yang disekresi
oleh korteks adrenal dapat dikonversi lebih lanjut di jaringan perifer menjadi androstenedion
yang merupakan prekursor siap pakai menjadi androgen androgen aktif.
Efek pada Pria
8
Pada pria dengan fungsi gonad normal, konversi androstenedion adrenal menjadi testosteron
hanya berjumlah kurang dari 5% kecepatan produksi hormone ini, dan jadi efek fisiologis
yang ditimbulkan dapat diabaikan. Pada pria dewasa, sekresi androgen adrenal yang
berlebihan tidak menimbulkan pengaruh klinis: namun, pada anak pria, akan me nyebabkan
pembesaran penis prematur dan perkembangan dini ciri-ciri seks sekunder.
Efek pada Wanita
Pada wanita, fungsi adrenal abnormal seperti yang terjadi pada sindroma Cushing, karsinoma
adrenal dan hiperplasia kongenital menyebabkan sekresi androgen-androgen dalam jumlah
berlebihan, dan konversi perifernya menyebabkan terbentuknya androgen berlebihan, yang
bermanifestasi sebagai akne, hirsutisme, dan virilisasi.
Regulasi Sekresi Kelenjar Adrenal
A. Sekresi CRF dan ACTH
ACTH adalah hormon tropik dari zona fasikulata dan retikularis dan merupakan pengatur
utama dari produksi kortisol serta androgen di korteks adrenal. Sebaliknya ACTH diatur
oleh hipotalamus dan susunan saraf pusat melalui neurotransmiter dari corticotropin
releasing factor (CRF).
B. Pengaruh ACTH pada Korteks Adrenal
Adanya aliran ACTH ke korteks adrenal menyebabkan sintesis dan sekresi steroid dengan
cepat ; kadar hormon ini dalam plasma meningkat dalam beberapa menit setelah
pemberian ACTH. ACTH meningkatkan RNA, DNA, dan sintesis protein. Stimulasi
kronis menyebabkan hiperplasia dan hipertrofi korteks adrenal; sebaliknya kekurangan
ACTH menyebabkan berkurangnya steroidogenesis disertai dengan atrofi korteks adrenal,
berkurangnya berat kelenjar dan berkurangnya kadar protein serta asam nukleat.
C. ACTH dan Steroidogenesis
ACTH berikatan dengan afinitas yang kuat pada reseptor plasma membran sel korteks
adrenal, dari ini akan mengaktifkan adenilat siklase, meningkatkan cAMP, yang
seterusnya mengaktifkan fosfoprotein kinase intraselular. Proses ini merangsang langkah
dasar dari perubahan kolesterol menjadi ∆5-pregnenolon dan mengawali steroidogenesis.
Mekanisme pasti perangsangan ACTH dari enzim pemecahan rantai samping (P450scc)
belum diketahui, sebagaimana juga kepentingannya secara relatif; namum, ACTH
mempunyai sejumlah efek termasuk meningkatkan pembentukan kolesterol bebas
sebagai akibat dari meningkatnya aktivitas kolesterol esterase dan menurunnya kolesteril
9
estersintetase; meningkatnya ambilan lipoprotein oleh korteks adrenal; meningkatnya
kadar dari fosfolipid tertentu, yang akan meningkatkan terurainya rantai samping dari
kolesterol; dan meningkatkan pengikatan dari kolesterol pada sitokrom P-450scc, enzim
dalam mitokondria.
D. Kontrol Neuroendokrin
Sekresi kortisol sangat erat hubungannya dengan pengaturan ACTH, dan kadar plasma
kortisol paralel dengan kadar ACTH . Didapat 3 mekanisme kontrol neuroendokrin.
(1). Episode fungsi dan irama sirkadian dari ACTH.
(2). Respons aksis hipotalamus hipofisis terhadap stress.
(3). Umpan balik yang menghambat dari kortisol terhadap sekresi ACTH.
1. Irama Sirkadian- Irama sirkadian yang didahului oleh sekresi episode ini adalah
hasil kerja susunan saraf pusat yang mengatur jumlah dan banyaknya sekresi
episodik dari CRF dan ACTH. Sekresi kortisol pada petang hari rendah dan terus
menurun selama beberapa jam pertama/waktu tidur, di mana pada waktu itu kadar
kortisol plasma dapat tidak terdeteksi. Selama jam ketiga dan kelima waktu tidur,
terjadi peningkatan sekresi kortisol; tetapi waktu sekresi maksimal dimulai pada
ma sa tidur jam keenam sampai jam kedelapan dan kemudian mulai menurun
setelah bangun tidur. Sekitar setengah dari keluaran kortisol harian disekresikan
pada saat ini. Sekresi kemudian menurun selama siang hari, dengan episode
sekretori lebih jarang dan jumlahnya berkurang, namun ada peningkatan sekresi
kortisol seb agai respons terhadap makanan dan latihan.
Walau ini adalah pola umum terus-menerus, namun ada variabilitas
intraindivudu dan interindividu, dan irama sirkadian dapat berubah oleh
perubahan pola tidur; cahaya agak gelap, dan waktu pemberian makan. Irama ini
juga diubah oleh:
(1). Stres fisik seperti 25 penyakit berat, pembedahan, trauma, atau kelaparan.
(2). Stres psikologis, termasuk anxietas berat, depresi endogen, dan fase manik
pada psikosamanik-depresif
(3). Kelainan susunan saraf pusat dan hipofisis
(4). Sindroma Cushing
(5). Penyakit hati dan kondisi lain yang mempengaruhi metabolisme kortisol
(6). Gagal ginjal kronis
(7). Alkoholisme.
10
2. Respons terhadap stres - Sekresi ACTH dan kortisol plasma juga secara
karakteristik mempunyai respons terhadap stres fisik. Jadi sekresi ACTH dan
kortisol plasma dimulai dalam beberapa menit setelah terjadi stres seperti pada
pembedahan dan hipoglikemia, dan respons ini menghilangkan periodisitas
sirkadian jika stres ini berlangsung terus. Respons terhadap stres yang berasal dari
susunan saraf pusat menunjukkan sekresi CRH dan juga sekresi ACTH hipofisis.
Respons stres terhadap ACTH dan kortisol dihilangkan dengan pemberian
glukokortikoid dosis tinggi sebelumnya dan juga pada sindroma Cushing yang
spontan; sebaliknya respons sekresi ACTH meningkat bila dilakukan
adrenalektomi. Pengaturan aksis hipot alamus-hipofisis-adrenal terikat kepada
sistem imun.
3. Inhibisi umpan-balik- Regulasi utama yang ketiga dari sekresi ACTH dan
kortisol adalah pengaruh inhibisi umpan-balik dari sekresi glukokortikoid oleh
CRF, ACTH dan kortisol. Pengaruh inhibisi umpan balik dari glukokortikoid
terjadi pada tingkat hipofisis dan hipotalamus dan mempengaruhi dua
mekanisme yang berbeda pengaruh inhibisi umpan-balik yang cepat dan lambat.
Inhibisi umpan balik cepat dari sekresi ACTH sebanding dengan kecepatan
meningkatnya glukokortikoid dan bukan oleh dosis yang diberikan. Fase ini
cepat, sekresi basal dan stimu lasi sekresi ACTH mengurang dalam waktu
beberapa menit setelah kadar glukokortikoid dalam plasma meningkat. Pengaruh
efek inhibisi umpan balik ini hanya sementara dan berlangsung kurang dari 10
menit, sangat mungkin efek ini tidak melewati reseptor sitosol glukokortikoid,
tetapi lebih dapat diterima bekerja melalui membran sel. Inhibisi umpan balik
lambat setelah pengaruh awal cepat dari efek glukokortikoid selanjutnya terjadi
penekanan sekresi CRH dan ACTH dengan mekanisme yang tergantung pada
waktu dan dosis. Jadi, dengan pemberian glukokortikoid terus menerus kadar
ACTH terus menurun dan tidak memberikan respons terhadap stimulasi. Efek
terakhir dari pemberian glukokortikoid jangka panjang adalah supresi pelepasan
CRH dan ACTH dan atrofi dari zona fasikulata serta retikularis sebagai akibat
kekurangan ACTH. Aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal yang inhibisi umpan ba
lik yang lambat ternyata bekerja melalui reseptor klasik glukokortikoid , jadi
11
mempengaruhi sintesis messenger RNA untuk pro-opiomelanokortin sebagai
prekursor pembentukan ACTH.
E. Regulasi produksi androgen
Produksi androgen pada orang dewasa juga diatur oleh ACTH; DHEA dan
androstenedion menunjukkan adanya periodik sirkadian bersama semua dengan ACTH
dan kortisol. Sebagai tambahan, konsentrasi DHEA dan androstenedion dalam plasma
meningkat dengan cepat pada pemberian AC TH dan tertekan pada pemberian
glukokortikoid, yang memastikan pengaruh sekresi ACTH endogen. DHEA sulfat,
karena mempunyai bersihan metabolik yang lama, tidak menunjukkan irama diurnal.
Jadi, sekresi androgen adrenal diatur oleh ACTH dan pada umumnya sekresi hormon ini
terjadi bersamaan de ngan kortisol. Eksistensi pemisahan hormon hipofisis anterior yang
mengatur sekresi telah diketahui tapi belum pernah dibuktikan. Beber pa faktor ini telah
diidentif ikasi pada ekstrak hipofisis.
12
CUSHING SYNDROME
DEFINISI
Sindrom cushing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolik gabungan dari
peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. Kadar yang tinggi ini dapat
terjadi secara spontan atau karena pemeberian dosis farmakologik senyawa-senyawa
glukokortikoid. (Sylvia A. Price; Patofisiolgi, Hal. 1088)
ETIOLOGI
Sindrom cushing disebabkan oleh sekresi kortisol atau kortikosteron yang berlebihan,
kelebihan stimulasi ACTH mengakibatkan hiperplasia korteks anal ginjal berupa adenoma
maupun carsinoma yang tidak tergantung ACTH juga mengakibatkan sindrom cushing.
Demikian juga hiperaktivitas hipofisis, atau tumor lain yang mengeluarkan ACTH. Syindrom
cuhsing yang disebabkan tumor hipofisis disebut penyakit cusing. (buku ajar ilmu bedah, R.
Syamsuhidayat, hal 945)
Sindrom cusing dapat diakibatkan oleh pemberian glukortikoid jangka panjang dalam dosis
farmakologik (latrogen) atau oleh sekresi kortisol yang berlebihan pada gangguan aksis
hipotalamus-hipofise-adrenal (spontan) pada sindrom cusing spontan, hiperfungsi korteks
adrenal terjadi akibat ransangan belebihan oleh ACTH atau sebab patologi adrenal yang
mengakibatkan produksi kortisol abnormal. (Sylvia A. Price; Patofisiologi, hal 1091)
MANIFESTASI KLINIS
Dapat digolongkan menurut faal hormon korteks adrenal yaitu : cortisol, 17 ketosteroid,
aldosteron dan estrogen.
1. Gejala hipersekresi kortisol (hiperkortisisme) yaitu :
a. Obesitas yang sentrifetal dan “moon face”.
b. Kulit tipis sehingga muka tampak merah, timbul strie dan ekimosis.
c. Otot-otot mengecil karena efek katabolisme protein.
d. Osteoporosis yang dapat menimbulkan fraktur kompresi dan kifosis.
e. Aterosklerosis yang menimbulkan hipertensi.
f. Diabetes melitus.
g. Alkalosis, hipokalemia dan hipokloremia.
13
2. Gejala hipersekresi 17 ketosteroid :
a. Hirsutisme ( wanita menyerupai laki-laki ).
b. Suara dalam.
c. Timbul akne.
d. Amenore atau impotensi.
e. Pembesaran klitoris.
f. Otot-otot bertambah (maskulinisasi)
3. Gejala hipersekresi aldosteron.
a. Hipertensi.
b. Hipokalemia.
c. Hipernatremia.
d. Diabetes insipidus nefrogenik.
e. Edema (jarang)
f. Volume plasma bertambah
Bila gejala ini yang menyolok, terutama 2 gejala pertama, disebut penyakit Conn atau
hiperaldosteronisme primer.
4. Gejala hipersekresi estrogen (jarang)
Pada sindrom cushing yang paling karakteristik adalah gejala hipersekresi kortisol,
kadang-kadang bercampur gejala-gejala lain. Umumnya mulainya penyakit ini tidak jelas
diketahui, gejala pertama ialah penambahan berat badan. Sering disertai gejala psikis sampai
psikosis. Penyakit ini hilang timbul, kemudian terjadi kelemahan, mudah infeksi, timbul
ulkus peptikum dan mungkin fraktur vertebra. Periode menstruasi pada wanita yang tidak
teratur. Kematian disebabkan oleh kelemahan umum, penyakit serebrovaskuler (CVD) dan
jarang-jarang oleh koma diabetikum.
KLASIFIKASI
Sindrom cushing dapat dibagi dalam 2 jenis:
1. Tergantung ACTH
Hiperfungsi korteks adrenal mungkin dapat disebabkan oleh sekresi ACTH kelenjar hipofise
yang abnormal berlebihan. Tipe ini mula-mula dijelaskan oleh oleh Hervey Cushing pada
tahun 1932, maka keadaan ini disebut juga sebagai penyakit cushing.
2. Tak tergantung ACTH
14
Adanya adenoma hipofisis yang mensekresi ACTH, selain itu terdapat bukti-bukti histologi
hiperplasia hipofisis kortikotrop, masih tidak jelas apakah kikroadenoma maupum hiperplasia
timbal balik akibat gangguan pelepasan.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Adanya sindrom cushing dapat ditentukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan jasmani
yang telah dijelaskan. Diagnosis umunya ditegakkan berdasarkan kadar kortisol yang tinggi
dalam plasma dan kemih. Ada juga tes-tes spesifik yang dipakai untuk menentukan adanya
tidaknya irama sirkandian normal pelepasan kortisol dan mekanisme pengaturan umpan balik
yang sensitif. Tidak adanya irama sirkandian dan berkurangnya atau berkurangnya kepekaan
sistim pengaturan umpan balik merupakan ciri sindrom cushing.
Pemeriksaan fisiologi dapat membantu membedakan chusing hipofisis dari cusing ektopik
atau cushing kortek sdrenal primer. Pada sindrom cushing ektipik dan korteks adrenal, sekresi
abnormal ACTH atau kortisol biasanya tidak berubah pada peransangan ataupun penekanan
untuk menguji mekanisme kontrol umpan balik negatif yang normal.
CT scan resolusi tinggi pada kelenjar hipofisis dapat menunjukkan daerah-daerah penurunan
atau penigkatan densitas yang kosisten dengan mikrodema pada sekitar 30% dari penderita-
penderita ini. MRI dengan koontras memberikan temuan positif pada ma yoritas penderita.
CT scan kelenjar adrenal biasanya menujukkan pembesaran adrenal pada kasus sindrom
cushing tergantung ACTH dan massa adrenal pada pasien dengan adenoma atai karsinoma
adrenal. (Sylvia, A. Price; Patofisiologi; Hal 1092-1093)
PENATALAKSANAAN
Karena lebih banyak sindrom cushing yang disebabkan oleh tumor hipofisis
dibanding tumor korteks adrenal, maka penanganannya sering ditujukan kepada kelenjar
hipofisis. Operasi pengangkatan tumor melalui hipofisektomi transfenoidalis merupakan
terapi pilihan yang utama dan angka keberhasilannya sangat tinggi (90%) jika operasi ini
dilakukan oleh tim bedah yang ahli. Radiasi kelenjar hipofisis juga memberikan hasil yang
15
memuaskan meskipun diperlukan waktu beberapa bulan untuk mengendalikan gejala.
Adrenalektomi merupakan terapi pilihan bagi pasien dengan hipertropi adrenal primer.
Setelah pembedahan, gejala insufisiensi adrenal dapat mulai terjadi 12 hingga 48 jam
kemudian sebagai akibat dari penurunan kadar adrenal dalam darah yang sebelumnya tinggi.
Terapi penggantian temporer dengan hidrokortison mungkin diperlukan selama beberapa
bulan sampai kelenjar adrenal mulai memperlihatkan respons yang normal terhadap
kebutuhan tubuh. Jika kedua kelenjar adrenal diangkat (Adrenalektomi bilateral), terapi
penggantian hormon-hormon korteks adrenal harus dilakukan seumur hidup.
Preparat penyekat enzim adrenal (yaitu metyrapon, aminoglutethimide, mitotane,
ketokonazol) dapat digunakan untuk mengurangi hiperadrenalisme jika sindrom tersebut
disebabkan oleh sekresi ektopik ACTH oleh tumor yang tidak dapat dihilangkan secara
tuntas. Pemantauan yang ketat diperlukan karena dapat terjadi gejala insufisiensi adrenal dan
efek samping akibat obat-obatan tersebut.
Jika sindrom cushing akibat pembesaran kortikosteroid ekstrnal (eksogen) pemberian
obat tersebut harus diupayakan untuk dikurangi atau dihentikan secara bertahap hingga
tercapai dosis minimal yang adekuat untuk menghadapi proses penyakit yang ada dibaliknya
(misalnya, penyakit autoimun serta alergi dan penolakan terhadap organ yang
ditransplantasikan). Biasanya terapi yang dilakukan setiap dua hari sekali akan menurunkan
gejala sindrom Cushing dan memungkinkan pemulihan daya responsifkelenjar adrenal
terhadap ACTH.
NUTRISI BAGI PASIEN
Pasien Cushing Syndrome dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang cukup
kalori, protein, mineral , kalsium, dan vitamin serta diet rendah garam. Selain itu,
menghindari makanan berlemak dan olahan karena akan meningkatkan gejala-gejala yang
timbul seperti jerawat dan berat badan.
PROGNOSIS
Sindrom cushing yang tidak diobati akan fatal dalam beberapa tahun oleh karena
gangguan vaskuler dan sepsis. Setelah pengobatan radikal, klien kelihatan membaik
tergantung pada ada tidaknya gangguan kerusakan kardiovaskuler irreversiblel. Pengobatan
substitusi permanen memberikan resiko pada waktu pasien mengalami stress dan diperlukan
16
perawatan khusus. Karsinoma adrenal atau yang lainnya cepat menjadi fatal oleh karena
kaheksia dan metastasis.
ASPEK LEGAL ETIK PADA PASIEN CUSHING SYNDROME
1. Asas Menghormati Otonomi Klien
Klien mempunyai kebebasan untuk mengetahui dan memutuskan apa yang akan
dilakukan terhadapnya, untuk itu perlu diberikan informasi yang cukup oleh perawat
seperti perihal Cushing Syndrome, pengobatannya seperti tindakan operatif bila
diperlukan, komplikasinya, prognosis apabila tidak dilakukan tindakan operatif.
2. Asas Kejujuran
Perawat mengatakan kepada klien atau keluarga klien tentang Cushing Syndrome,
operasi yang dilakukan serta komplikasinya.
3. Asas Tidak Merugikan
Perawat mengutamakan tindakan yang tidak merugikan klien serta mengupayakan
risiko yang paling minimal atas tindakan yang dilakukan, seperti terapi substitusi
kortikosteroid yang dibutuhkan selama berbulan-bulan untuk mengembalikan fungsi
adrenal ke normal.
4. Asas Kerahasiaan
Kerahasiian klien harus dihormati meskipun klien telah meninggal.
17
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas pasien
a. Nama : -
b. Umur : -
c. Pekerjaan : -
d. Jenis Kelamin : -
e. Alamat : -
2. Keluhan utama
Klien datang ke rumah sakit dapat dengan berbagai keluhan utama, namun gejala yang
dirasakan klien adalah lemah dan mudah lelah.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Klien datang dengan keluhan lemah dan mudah lelah serta melaporkan tentang
kenaikan berat badan, kesembuhan luka ringan yang memerlukan jangka waktu lama
dan gejala memar.
4. Riwayat kesehatan masa lalu :
Salah satu penyebab penyakit ini adalah konsumsi obat-obatan yang banyak
mengandung kortikosteroid, oleh karena itu klien perlu ditanyakan tentang kebiasan
mengkonsumsi jenis obat tersebut sebelum klien mengalami gejala yang dirasakan
sekarang. Selain itu, tanyakan pada klien tentang konsumsi bahan kontrasepsi yang
mengandung estrogen seperti mestranol, atau menjalani adrenalektomi yang biasanya
mengakibatkan terjadinya adenoma pada kelenjar hipofisis.
5. Riwayat kesehatan keluarga :
Tanyakan pada klien apakah ada keluarganya yang memiliki penyakit yang dialami
klien serta riwayat keluarga yang terkena DM, TB, dan kanker.
6. Riwayat psikososial :
Perawat harus mengkaji fungsi mental klien yang mencakup keadaan emosi, respons
terhadap pernyataan, kesadaran akan lingkungan dan tingkat depresi jika klien
mengalami.
7. Aspek Biologis
Penampilan umum :
Pada aspek ini perawat harus melihat kondisi klien secara keseluruhan, mulai dari
ekspresi wajah, penampilan berbusana, cara klien berbicara dan berkomunikasi.
Kesadaran :
18
Kesadaran dapat dinilai dengan korelasi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan perawat kepada klien ketika melakukan pengkajian.
Antropometri
- Tinggi badan : - cm
- Berat badan : - kg
Tanda-tanda vital
- Tekanan darah : - mmHg
- Nadi : - x/menit
- Respirasi : - x/menit
- Suhu : - 0 C
8. Data Dasar Pengkajian Klien
o Aktivitas atau Istirahat
Gejala : Lelah, letih/kelemahan pada otot
Tidak mampu beraktivitas atau bekerja
Tanda : Peningkatandenyut jantung/denyut nadi pada aktivitas yang minimal
Penurunan kekuatan dan rentang geraka sendi
Depresi,gangguan konsentrasi
Letargi
o Sirkulasi
Tanda : Hipotensi/hipertensi
Takikardia, disritmia, suara jantung melemah atau semakin kuat
Nadi perifer melemah
Pengisian kapiler memanjang
Ekstremitas dingin, sianosisi, dan pucat. Membaran mukosa hitam
keabu-abuan (peningkatan pigmentasi)
o Integritas Ego
Gejala : Adanya riwayat faktor stress yang baru dialami, perubahan gaya
hidup
Ketidakmampuan mengatasi stres
Tanda : Ansietas, peka rangsang, emosi tidak stabil
o Eliminasi
Gejala : Diare sampai adanya konstipasi
Kram abdomen
19
Perubahan frekuansi dan karekteristik urine
Tanda : Diuresis yang diikuti oliguria
o Makanan/Cairan
Gejala : Anoreksia berat, mual/muntah
Berat badan naik dengan cepat
Tanda : Turgor kulit jelak, membran mukosa kering.
Mudah terjadi memar
Luka ringan sulit sembuh
o Neurosensori
Gejala : Pusing
Sakit kepala
Penurunana toleransi terhadap keadaan dingin atau stress.
Kesemutan/baal/lemah
Tanda : Peka rangsang, koma
Rasa kecap/penciuman berlebihan, ketajaman pendengaran yang
meningkat
o Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri tulang belakang, abdomen, ekstremitas (pada keadaan krisis)
o Pernapasan
Gejala : Dispnea
Tanda : Kecepatan pernapasan meningkat
o Keamanan
Gejala : Tidak toleran terhadap panas, cuaca panas
Tanda : Hiperpigmentasi kulit
Peningkatan suhu
Otot menjadi kurus
Gangguan/tidak mampu berjalan
o Seksualitas
Gejala : Adanya riwayat menopause dini, amonerea
Hilangnya tanda-tanda seks sekunder (misal : misalnya penyusutan
ukuran payudara)
Hilangnya libido
o Penyuluhan/Pembelajaran
20
Gejala : Adanya riwayat keluarga DM, TB, kanker
9. Data Penunjang
Hasil Labolatorium
Indikator Sindrom Chusing mencakup peningktan kadar natrium serta glukosa
darah, penurunan kadar natrium serum, penurunana jumlah sl-sel eosinofil dan
menghilangnya jaringan limfoid. Pengukuran kadar kortisol plasma dan urin
harus dilakukan
Tes Supresi Deksametason
Tes ini dilakukan untuk mematikan penyebab terjadinya sindrom Chusing,
apakah dari hipofisis atau adrenal. Pemberian deksamentason, suatu
glukokortikoid sintetik yang kuat, dilakukan dengan dosis yang
bervariasi(dosis tinggi atau rendah), dan kemudian kadar 17,
hidroksikortikosteroid dalam plasma dan urin tetap diukur.
Pemeriksaan Diagnostik Lain
Pemeriksaan lainnya mencakup pengukuran kadar kortisol bebas dalam urin
24 jam dan pengumpulan urin 24 jam untuk memeriksa kadar 17-
hidroksikortikosteroid serta 17-ketosteroid yang merupakan metabolit kortisol
dan androgen dalam urin. Pada sindrom Chusing, kadar kortisol plasma akan
meningkat.
Pemeriksaan radioimmunoassay ACTH plasma berguna untuk mengenali
penyebab sindrom Chusing.
Pemindai CT, USG, atau MRI dapat dilakukan untuk menentukan lokasi
jaringan adrenal dan mendeteksi tumor pada kelenjar adrenal.
B. ANALISA DATA
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
1. DS :
DO :
(Dependent ACTH) tumor
kelenjar hipofisis
Sekresi ACTH
21
Menstimulasi ↑ sekresi
hormon-hormon
adenokortikoid dari korteks
adrenal (terutama gluko
kortikoid)
Kelenjar hipofisis terus
mensekresi ACTH
↑ hormon glukokortikoid,
mineralkortikoid,
adrenoandrogen
Gluko kortikoid disekresi oleh
bag. Korteks adrenal
Pada metabolisme protein
Kekurangan endapan protein
dalam tulang
Osteoporosis
Kelemahan tulang
Risiko cidera
Cedera, resiko tinggi
22
2. DS :
DO :
Gluko kortikoid disekresi oleh
bag. Korteks adrenal
hiperkortisolism
Mendorong jaringan adipose
pada tempat-tempat tertentu
Pada wajah bagian atas
Moon face
Gangguan citra diri
Gangguan citra diri
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Cedera, resiko tinggi berhubungan dengan kerapuhan tulang akibat
osteoporosis.
2. Gangguan citra diri berhubungan dengan penumpukan lemak pada wajah
ditandai dengan moon face.
D. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No. Diagnosa
Keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
1. Cedera, resiko tinggi
berhubungan dengan
kerapuhan tulang
akibat osteoporosis.
Tupen : dalam
waktu 3x24
jam, klien tidak
mengalami
cedera.
Tupan : dalam
waktu 6x24
jam, klien
MANDIRI
Pantau tanda vital
dana catat adanya
peningkatan suhu
tubuh, takikardia
(140-200 x/mnt),
disritmia, distres
pernapasan,
Bermanfaat
dalam
mengevaluasi
TTV,
menetukan
pilihan
intervensi,
23
mengatakan
dapat
menyesuaikan
diri dengan
kondisinya,
dengan criteria :
Dapat
melakukan
aktivitas
ringan tanpa
bantuan,
IMT meningkat
dari
sebelumnya.
sianosis.
Berikan dan atur
lingkungan yang
aman : mis.,
menjaga agar
seluruh benda yang
diperlukan dan bel
pemanggil berada
dalam jangkauan
klen dan menjada
agar tempat tidur
tetap rendah.
Pertahankan
istirahat di tempat
tidur/kursi apabila
klien sudah merasa
kelelahan atau
sesuai kebutuhan
perseorangan. Kaji
aturan obat-obatan.
Bantu klien dalam
mobilisasi ataupun
saat beraktivitas.
menentukan
efektivitas
terapi.
Mengurangi
cedera yang
tidak disengaja
yang dapat
menyebabakan
perdarahan.
Mengurangi
kemungkinan
cedera,
meskipun
aktivitas harus
tetap
dipertahankan.
Mungkin
diperlukan
untuk
mengurangu
penggunaan
obat-obatan.
Klien
membutuhkan
bantuan
seseorang
ketika
kondisinya
sangat lemah.
Walaupun klien
24
Ajarkan klien
aktivitas yang dapat
dilakukan selama
perawatan. Seperti
naik turun tempat
tidur, mengambil air
minum.
Berikan makanan
tinggi protein,
kalsium dan vitamin
D.
KOLABORASI
Rencanakan diet
klien bersama ahli
gizi. Pilih jenis
makanan yang tepat
tetapi tendah
natrium dan kalori.
lemah, namun
latihan dalam
batas
kemampuan
klien harus
tetap dilakukan
untuk
mempertahanka
n tonus dan
msa otot serta
mencegah
komplikasi
akibat
imobilitas dan
mempertahanka
n percaya diri
klien.
Dianjurkan
untuk
memperkecil
kemungkinan
pelisutan otot
dan
osteoporosis.
Penting untuk
mempertahanka
n homeostatis
klien serta
menjaga asupan
nutrisi untuk
mempertahan
status imun
klien.
25
Batasi penggunaan
obat-obatan jenis
kortikosteroid.
Kortikosteroid
dapat
memperberat
kondisi klien.
2. Gangguan citra diri
berhubungan dengan
penumpukan lemak
pada wajah ditandai
dengan moon face.
Tupen : dalam
waktu 3x24 jam
klien dapat
menerima
kondisi dirinya.
Tupan : dalam
waktu 5x25 jam
klien dapat
menerima
kondisi dirinya,
dengan criteria :
Dapat
mengakui
drinya sebagai
individu
Menerima
tanggung
jawab untuk
tindakan
sendiri.
MANDIRI
Buat hubungan
terapeutik
perawata/klien.
Tingkatkan konsep
diri tanpa penilaian
moral.
Biarkan klien
mengungkapkan
kondisi dirinya.
Nyatakan aturan
Dalam
hubungan
membantu,
klien dapat
mulai untuk
mempercyai
dan mencoba
pemikiran dan
perilaku baru.
Klien melihat
diri sebagai
lamah-harapan,
meskipun
bagian pribadi
merasa kuat
dan dapat
mengontrol.
Memberikan
kesempatan
mendiskusikan
persepsi klien
tentang
diri/gambaran
diri dan
kenyataan
sesuai individu.
Konsistensi
26
dengan jelas tentang
jadwal
penimbangan, tetap
melihat waktu
makan dan minum
obat, dan
konsekuensi bila tak
mengikuti aturan.
Beri respons
terhadap kenyataan
bila klien membuat
pernyataan yang
tidak realistis.
Sadari reaksi sendiri
terhadap perilaku
klien, hindari
perdebatan.
penting dalam
membuat
kepercayaan.
Sebagai bagian
dari program
perubahan
perilak, klien
mengetahui
risiko bila tidak
menjalankan
aturan yang
telah
disepakati.
Klien
menuangkan
aspek situasi
psikologi diri
sendiri dan
sering
menyatakan
rasa
ketidakadekuat
an dan depresi.
Perasaan muka,
bermusuhan,
marah tidak
umum bila
merawat klien.
Untuk itu,
perawat harus
dapat
mengontrol dan
menguasai diri
di saat kondisi
27
Bantu klien
membuat tujuan
untuk diri sendiri da
membuat rencana
yang dapat diatur
untuk mencapai
tujuan itu, mis,
manajeman aktivitas
harian.
KOLABORASI
Libatkan dalam
terapi kelompok.
tersebut terjadi
agar tidak
melukai
perasaan klien.
Klien perlu
untuk
mengenal
kemampuan
mengontrol
area lain dalam
hidup dan perlu
untuk belajar
keterampilan
pemecahan
masalah untuk
meningkatkan
control ini.
Memberikan
kesempatan
untuk bicara
tentang
perasaan dan
mencoba
perilaku baru.
28
ADDISON DISEASE
DEFINISI
Addison’s Disease adalah kegagalan korteks kelenjar adrenal untuk memproduksi hormone
dalam jumlah yang adekuat sehingga akan mempengaruhi kerja tubuh dalam menekan dan
meregulasi tekanan darah serta mengatur keseimbangan air dan garam, dapat terjadi pada
semua kelompok umur dan menimpa pria-pria dan wanita-wanita sama rata.
Penyakit Addison adalah hipofungsi kronik korteks adrenal primer akibat dari kerusakan
pada korteks adrenal. (Cermin Dunia Kedokteran No. 39)
Penyakit Addison adalah penyakit yang terjadi akibat fungsi korteks tidak adekuat untuk
memenuhi kebutuhan pasienakan hormon-hormon korteks adrenal. (Soediman, 1996 )
Penyakit Addison adalah lesi kelenjar primer karena penyakit destruktif atau atrofik, biasanya
autoimun atau tuberkulosa. (Baroon, 1994)
ETIOLOGI
Penyebab terbanyak (75%) atrofi otoimun dan idiopatik, penyebab lain: operasi dua keelenjar
adrenal atau infeksi kelenjar adrenal, TB kelenjar adrenal, sekresi ACTH tidak adekuat.
Penghentian mendadak terapi hormon adrenokortika akan menekan respon normal tubuh
terhadap stress dan menggangu mekanisme umpan balik normal. Terapi kortikosteroid
selama dua sampai empat minggu dapat menekan fungsi korteks adrenal.
Autoimun
Penyakit Addison karena proses autoimun didapatkan pada 75% dari penderita. Secara
histologik tidak didapatkan 3 lapisan korteks adrenal, tampak bercak-bercak fibrosis dan
infiltrasi limfosit korteks adrenal . Pada serum penderita didapatkan antibodi adrenal yang
dapat diperiksa dengan cara Coons test, ANA test, serta terdapat peningkatan imunoglobulin
G.
Tuberkulosis
29
Kerusakan kelenjar Adrenal akibat tuberkulosis didapatkan pada 21% dari penderita .
Tampak daerah nekrosis yang dikelilingi oleh jaringan ikat dengan serbukan sel-sel limfosit,
kadang kadang dapat dijumpai tuberkel serta kalsifikasi Seringkali didapatkan proses
tuberkulosis yang aktif pada organ-organ lain, misalnya tuberkulosis paru, tuberkulosis
genito-urinari, tuberkulosis vertebrata (Pott s disease), hati, limpa serta kelenjar limpa.
Infeksi lain
Penyebab kerusakan kelenjar adrenal karena infeksi yang lebih jarang ialah karena :
histoplasmosis, koksidioid omikosis, serta septikemi karena kuman stafilokok atau
meningokok yang sering menyebabkan perdarahan dan nekrosis.
Bahan-bahan kimia
Obat-obatan yang dapat menyebabkan hipofungsi kelenjar adrenal dengan menghalangi
biosintesis yaitu metirapon; sedang yang membloking enzim misalnya amfenon, amino-
glutetimid dll.
Iskemia
Embolisasi dan trombosis dapat menyebabkan iskemia korteks adrenal, walaupun hal ini
jarang terjadi.
Infiltrasi
Hipofungsi korteks adrenal akibat infiltrasi misalnya metastasis tumor, sarkoidosis, penyakit
amiloid dan hemokromatosis
Perdarahan
Perdarahan korteks adrenal dapat terjadi pada penderita yang mendapat pengobatan dengan
antikoagulan, pasca operasi tumor adrenal.
Lain-lain
Akibat pengobatan radiasi, adrenalektomi bilateral dan kelainan kongenital.
30
MANIFESTASI KLINIS
Segera sesudah penyakit Addison terjadi, orang merasa lemah, lelah, dan pusing kalau
berdiri sesudah duduk atau berbaring. Masalah ini mungkin berkembang lambat laun dan tak
kentara. Orang dengan penyakit Addison memiliki spot kulit yang gelap. Kegelapan mungkin
nampaknya seperti karena sinar matahari, tetapi tampak pada kulit yang terpapar matahari
secara tidak merata. Orang dengan kulit gelap pun bisa mengalami pigmentasi yang
berlebihan, walaupun perubahan lebih sukar untuk diketahuii. Bintik-bintik hitam mungkin
berkembang di balik dahi, muka, dan bahu, dan seorang kulit hitam kebiru-biruan pemudaran
warna mungkin terjadi di seputar puting susu, bibir, mulut, dubur, kantung kemaluan, atau
vagina.
Kebanyakan orang kehilangan berat badan, menjadi dehidrasi, tidak mempunyai
selera makan, dan berkembang manjadi sakit otot, mual, muntah, dan diare. Banyak menjadi
tidak dapat mentolerir dingin. Kecuali kalau penyakit hebat, gejala cenderung menjadi nyata
hanya selama stress. Periode hypoglycemia, dengan kecemasan dan sangat kelaparan untuk
makanan asin, bisa terjadi, teristimewa pada anak.
Jika penyakit Addison tidak diobati, nyeri abdominal yang hebat, kelemahan yang
sangat, tekanan darah yang teramat rendah, kegagalan ginjal, dan shock mungkin terjadi
(krisis adrenal). Krisis adrenal sering terjadi jika badan mengalami tekanan, seperti
kecelakaan, luka, pembedahan, atau infeksi hebat. Kematian dengan cepat mungkin
mengikuti.
Gejala-gejala dari ketidakcukupan adrenal biasanya mulainya secara berangsur-
angsur. Karakteristik-karakteristik dari penyakit adalah:
Kelelahan yang memburuk kronis
Kelemahan otot
Kehilangan nafsu makan
Kehilangan berat badan
Mual muntah
Diare
Gejala-gejala lain termasuk:
Tekanan darah rendah yang jatuh lebih lanjut ketika berdiri, menyebabkan
kepeningan atau membuat pingsan
Perubahan-perubahan kulit pada penyakit Addison, dengan area-area dari
hyperpigmentation, atau penggelapan, yang mencakup bagian-bagian tubuh yang
31
tertutup dan tidak tertutup; penggelapan kulit ini adalah paling terlihat pada luka-luka
parut (scars); lipatan-lipatan kulit; titik-titik penekanan seperti siku-siku, lutut-lutut,
sendi-sendi engsel, dan jari-jari kaki; bibir; dan selaput-selaput berlendir
Penyakit Addison dapat menyebabkan sifat lekas marah (mudah terangsang) dan
depresi. Karena kehilangan garam, permintaan untuk makanan-makanan bergaram juga
adalah umum. Hypoglycemia, atau glukosa darah yang rendah, adalah lebih berat/parah pada
anak-anak daripada pada dewasa-dewasa. Pada wanita-wanita, periode-periode menstrual
mungkin menjadi tidak teratur atau berhenti.
Karena gejala-gejala majunya secara perlahan, mereka umumnya diabaikan hingga
kejadian yang penuh stress seperti penyakit atau kecelakaan menyebabkan mereka menjadi
lebih buruk. Ini disebut krisis addisonian, atau ketidakcukupan adrenal yang akut. Pada
kebanyakan kasus-kasus, gejala-gejala cukup berat sehingga pasien-pasien mencari
perawatan medis sebelum krisis terjadi. Bagaimanapun, pada kira-kira 25 persen dari pasien-
pasien, gejala-gejala pertama kali nampak selama krisis addisonian.
Gejala-gejala dari krisis addisonian termasuk:
Nyeri menembus yang tiba-tiba pada punggung bawah, perut, atau kaki-kaki
Muntah dan diare yang berat
Dehidrasi
Tekanan darah rendah
Kehilangan kesadaran
Ditinggalkan tidak dirawat, krisis addisonian dapat menjadi fatal.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Tes skrining terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan menguji respon kortisol dengan
pemaparan 250 g ACTH secara IV atau IM lalu dinilai setelah 60 menit. Hasil penilaiannya
adalah level kortisol harus lebih dari 18 ?g /dl setelah 30-60 menit pemaparan. Pemeriksaan
lain yang dapat dilakukan adalah memeriksa kadar ACTH plasma atau aldosteron plasma
untuk membedakan apakah insufisiensi tersebut primer atau sekunder.
32
Kadar Kortisol
Kadar kortisol dalam darah pada jam 08.00 pagi normal 6—20 mg%, dan kurang dari 8 mg%
pada waktu tengah malam, pada penyakit Addison kadar kortisol plasma pada jam 08.00
pagi kurang dari 5 mg% .
Kadar hormon Adrenokortikotropilt
Pemeriksaan kadar hormon adrenokortikotropik plasma dapat digunakan untuk membedakan
antara insufisiensi korteks adrenal primer dan sekunder. Harga normal hormon adreno-
kortikotropik plasma 0,1 — 0.4 m Unit per 100 ml plasma. Pada insufisiensi korteks adrenal
primer kadar hormon adreno kortikotropik plasma lebih besar dari 8,2 m Unit per 100 ml
plasma. Dengan pemberian 10 mg hidrokortison, kadar hormon adreno kortikotropik akan
menurun dan meningkat lagi setelah injeksi dihentikan.
Rasio natrium serum dibanding kalium
Pada penyakit Addison, didapatkan pengeluaran natrium dan retensi kalium karena
menurunnya hormon mineralokortikoid, di mana kadar natrium serum kurang dari 142
mEq/1, dan kadar kalium serum lebih besar dari 4,5 mEq/1. Rasio natrium serum dibanding
kalium normal 30 — 35, bila rasio kurang dari 30 berarti terdapat insufisiensi korteks
adrenal.
Mengukur kadar 17 hidroksikortikoid dalam urin dengan “Porter Silber Chromogen”.
Harga normal 17 hidroksikortikoid urin = 4 — 10 mg/24 jam. Pada insufisiensi korteks
adrenal, kadar 17 hidroksikortikoid urin kurang dari 4 mg/24 jam. Dengan pemberian
ACTH/kosintropin pada insufisiensi korteks adrenal primer tak ada kenaikan dari 17
hidroksikortikoid, sedang pada insufisiensi korteks adrenal sekunder kadar 17
hidroksikortikoid urin meningkat
Mengukur kadar 17 hidroksikortikoid plasma dengan”Porter Silber Chromogen”
Kadar normal 8–20 Ug/100 ml (pagi) dan akan turun 50% waktu sore. Pada insufisiensi
korteks adrenal, kadar 17 hidroksikortikoid plasma kurang dari 8 Ug/100 ml.
33
Tes ACTH/Kortrosin
1) Plasma ACTH Tes
Diambil plasma dalam keadaan puasa, kemudian diukur kadar 17 hidroksikortikoid dengan
cara Porter Silber Chromogen. Kemudian disuntik 25 unit ACTH atau 0,25 mg kortrosin
intramuskuler, lalu diambil darah setelah 30 dan 60 menit. Pada insufisiensi korteks adrenal
primer kenaikan plasma kortikoid kurang dari 10 Ug per 100 ml.
2) Tes ACTH Urin
25 unit ACTH atau 0,25 mg kortrosin dilarutkan dalam 500– 1.000 ml larutan salin kemudian
diberikan secara intravena selama 8 jam, diukur kadar 17 hidroksikortikoid urin per 24jam
sebelum dan sesudah tes. Pada penyakit Addison tidak terdapat kenaikan 17 hidroksikortikoid
urin setelah pemberian ACTH.
Repeated 8 Hour ACTH Test”
25 unit ACTH atau 0,25 mg kortrosin dalam 500–1.000 ml larutan salin di infus selama 8
jam, hal ini dikerjakan selama 3 hari berturut-turut, kemudian diukur ekskresi 17 hidroksi
kortikoid urin/24 jam. Pada insufisiensi korteks adrenal primer tak didapat kenaikan ekskresi
17 hidroksikortikoid urin/24 jam.
“Water Load Test” (Robinson — Kepler — Power Test)
Tes ini kurang spesifik, tetapi dapat digunakan apabila tidak ada fasilitas pemeriksaan
hormon kortisol dan lainnya. Penderita diberi air minum dengan dosis 20 ml per kg berat
badan, kemudian urin ditampung selama 4 jam, pada hipofungsi korteks adrenal ekskresi air
kurang 80% dari dosis total air yang diminum, dan akan kembali normal apabila diberi 100
mg hidrokortison sebelum tes.
Diagnostik” therapeutic trial with D.C.A.”
34
2,5 mg Desoksikortikosteron asetat (D.C.A.) disuntikkan tiap hari selama 10 hari, kemudian
diberi plasebo. Pada penyakit Addison akan tampak perbaikan klinis dan timbul relaps
setelah injeksi dihentikan.
Pemeriksaan penunjang
a. Pemerisaan laboratorium
1) Penurunan konsentrasi glukosa darah dan natrium (hipoglikemia dan hiponatremia)
2) Peningkatan kosentrasi kalium serum (hiperkalemia)
3) Peningkatan jumlah sel darah putih (leukositosis)
4) Penurunan kadar kortisol serum
5) Kadar kortisol plasma rendah
b. Pemeriksaan radiografi abdominal menunjukan adanya kalsifikasi diadrenal
c. CT Scan
Detektor kalsifikasi adrenal dan pembesaran adrenal yang sensitive hubungannya dengan
insufisiensi pada tuberculosis, infeksi, jamur, penyakit infiltratif malignan dan non malignan,
dan haemoragik adrenal
d. Gambaran EKG
Tegangan rendah aksis QRS vertical dan gelombang ST non spesifik abnormal sekunder
akibat adanya abnormalitas elektrolit
PENATALAKSANAAN
Terapi darurat ditunjukkan untuk mengatasi syok, memulihkan sirkulasi darah,
memberikan cairan, melakukan terapi penggantian kortiosteroid, memantau tanda-tanda vital
dan menempatkan pasien dalam posisi setegah duduk dengan kedua kaki ditinggikan.
Hidrokortison (Solu-Cortef) disuntikkan secara intravena yang kemudian diikuti oleh
pemberan infus dexstrosa 5% dalam larutan normal saline. Pada terapi jangka panjang dosis
35
yang tepat kira-kira 25 mg pagi hari dan 12,5 mg pada sore hari per-oral untukmencapai
produksi dan ritme yangnormal. Preparat vasopresor amina mungkin diperlukan jika kedaan
hipotensi bertahan.
Antibiotik dapat diberikan jika infeksi memicu krisis adrenal pada penderita
insufisiensi kronis adrenal. Disamping itu, pengkajian kondisi pasien harus dilakukan dengan
ketat untuk mengenali faktor-faktor lain, yaitu stressor atau keadaan sakit yang menimbulkan
serangan akut.
Asupan per oral dapat dimulai segera setelah pasien dapat menerimanya. Secara
perlahan-lahan pemberian infus dikurangi ketika cairan asupan per oral sudah adekuat, untuk
mencegah hipovolemia.
Jika kelenjar adrenal tidak dapat berfungsi kembali, pasien memerlukan terapi
penggantian preparat kortikosteroid dan mineralokortikoid seumur hidup untuk mencegah
timbulnya kembali insufisiensi adrenal serta krisis addisonian pada keadaan stres atau sakit.
Selain itu, pasien mungkin akan memerlukan suplemen makanan egan penambahan garam,
pada saat terjadi kehilangan cairan dari saluran cerna akibat muntah dan diare.
NUTRISI BAGI PASIEN DENGAN ADDISON DISEASE
Pasien Addison disease mengalami hipotesi maka dianjurkan untuk mengkonsumsi antara
lain:
Mengkonsumsi makanan yang cukup mengandung kadar garam
Mengkomsumsi sayuran yang berwarna hijau, sayuran yang berwarna hijau mengandung
zat besi
Minum air putih dalam jumlah yang cukup banyak antara 8 hingga 10 gelas per hari
Komposisi makanan sebaiknya dengan 10-15% daging, 25% sayuran dan sisanya
karbohidrat. Dengan kata lain diet TKTP (Tinggi Kalori Tinggi Protein)
Menghindari makanan yang berkolesterol tinggi
Selain itu, pasien dengan Addison Disease mengalami mual, muntah dan diare maka
diberikan makanan dalam porsi kecil setiap 3 jam dan vitamin C.
PROGNOSIS
Kecuali resiko krisis adrenal, kesehatan dan usia pasien biasanya normal, sedangkan
pigmentasi dapat menetap.
36
ASPEK LEGAL ETIK PADA PASIEN ADDISON DISEASE
1. Asas Menghormati Otonomi Klien
Klien mempunyai kebebasan untuk mengetahui dan memutuskan apa yang akan
dilakukan terhadapnya, untuk itu perlu diberikan informasi yang cukup oleh perawat
seperti perihal Addison Disease, pengobatannya, prognosis penyakitnya, hal-hal yang
menambah beban penyakitnya seperti stress.
2. Asas Kejujuran
Perawat mengatakan kepada klien atau keluarga klien tentang pengobatan yang
dilakukan serta hal-hal apa saja yang terjadi apabila pengobatan tidak dipatuhi oleh klien.
3. Asas Tidak Merugikan
Perawat mengutamakan tindakan yang tidak merugikan klien serta mengupayakan
risiko yang paling minimal atas tindakan yang dilakukan, seperti hydrocortisone atau
prednisone (kortikosteroid buatan) dengan pemberian oral.
37
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
a. Nama :
b. Umur :
c. Pekerjaan :
d. Jenis Kelamin :
e. Alamat :
f. Agama :
g. Suku Bangsa :
h. Diagnosa Medis :
2. Keluhan utama :
3. Riwayat kesehatan sekarang :
P :
Q:
R:
S :
T :
4. Riwayat kesehatan masa lalu :
5. Riwayat kesehatan keluarga :
6. Riwayat psikososial :
7. Riwayat Penggunaan Obat-obatan :
8. Aspek Biologis
Penampilan umum :
Kesadaran :
Tanda-tanda vital
- Tekanan darah :
- Nadi :
- Respirasi :
- Suhu :
Antropometri
- Tinggi badan :
- Berat badan :
38
9. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :
Palpasi :
Perkusi :
Auskultasi :
10. Pemeriksaan Diagnostik:
B. ANALISA DATA
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
1. DS:
DO:
disfungsi kelenjar adrenal
insufisiensi adrenal
aldosteron
minerakortikoid
sekresi Na dan ekskresi K
dalam tubulus
Volume cairan ekstra sel
Kurang volume cairan
Kurang volume cairan
2. DS:
DO:
Kelemahan otot
metabolisme anaerob
kelelahan
Napsu makan menurun
Anoreksia
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan
39
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kurang volume cairan berhubungan dengan kekurangan natrium.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia.
40
D. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No. Diagnosa
Keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
1. Kurang volume
cairan
berhubungan
dengan
kekurangan
natrium
Menunjukkan
adanya
perbaikan
keseimbangan
cairan dengan
kriteria
pengeluaran
urine yang
adekuat, TTV
stabil, turgor
baik, tekanan
nadi perifer jelas,
membran
mukosa lembab
dan basah.
a. Pantau TTV,
catat perubahan
tekanan darah
pada perubahan
posisi, kekuatan
dari nadi
perifer.
b. Kaji klien
mengenai
adanya rasa
haus, kelelahan,
nadi cepat,
pengisian
kapiler
memanjang,
turgor jelek,
membran
mukosa kering.
Catat warna
kulit dan
temperaturnya.
c. Periksa adanya
a. Hipotensi postural
merupakan bagian
hipovolemiaakibat
kekurangan
hormone
aldosteron dan
penurunan curah
jantung sebagai
akibat dari
penurunan kortisol.
Nadi mungkin
melemah dan
dengan mudah
dapat hilang.
b. Mengindikasikan
berlanjutnya
hipovolemia dan
mempengaruhi
kebutuhan volume
pengganti.
c. Dehidrasi berat
41
perubahan
dalam status
mental dan
sensori.
d. Anjurkan cairan
oral diatas 3000
ml/hari sesegera
mungkin sesuai
dengan
kemampuan
pasien.
Kolaborasi:
e. Berikan cairan
NaCl 0,9%.
f. Beri larutan
glukosa
g. Beri obat
kortison atau
hidrokortison
sesuai dengan
indikasi
h. Pantau kadar
natrium
menurunkan curah
jantung dan perfusi
jaringan terutama
jaringan otak.
d. Menjaga
keseimbangan
cairan tubuh.
e. Mengatasi
kekurangan
natrium.
f. Ditambahkan
untuk
menghilangkan
hipoglikemik
g. Mengganti
kekurangan
kortison dalam
tubuh dan
meningkatkan
reabsorpsi natrium.
h. Mengetahui nilai
natrium untuk
mengidentifikasi
adanya kerusakan
pada tubulus ginjal.
2. Ketidakseimbang
an nutrisi kurang
dari kebutuhan
berhubungan
Kebutuhan
nutrisi klien
terpenuhi, tidak
ada anoreksia,
1. Timbang berat
badan klien
setiap hari.
2. Anjurkan klien
1. Mengetahui kemajuan
kesehatan klien.
2. Mempertahankan
42
dengan anoreksia berat badan
ideal.
makan sedikit
tapi sering
dengan TKTP
3. Sajikan makanan
dalam keadaan
hangat.
4. Berikan
lingkungan yang
nyaman
5. Sajikan makanan
yang sesuai
dengan kesukaan
klien tapi tetap
mengikuti diet
yang disarankan
Kolaborasi:
6. Konsultasi
dengan ahli gizi
7. Berikan glukosa
intravena dan
obat-obatan
sesuai indikasi.
intake nutrisi yang
adekuat
3. Menumbuhkan napsu
makan klien.
4. Menumbuhkan napsu
makan klien
5. Makanan yang klien
sukai akan menambah
keinginan klien untuk
makan
6. Menentukan
penggunaan/kebutuha
n kalori dengan tepat.
7. Memperbaiki
hipoglikemia,
member sumber
energi untuk fungsi
seluler.
43
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, dkk. . Rencana Asuhan Keperawatan.1992. Jakarta: EGC
R. Syamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah.1997. Jakarta: EGC.
Sylvia A. Price. Patofisiolgi Konsep klinis Proses-Proses Penyakit . 1994.
Jakarta: EGC
Susanne C. Smeltzer. Buku Ajar Medikal Bedah Brunner-Suddart. 1999.
Jakarta: EGC.
http://www.scribd.com/doc/31394775/askep-cushing-sindrom
.
44