refrat radiologi

Upload: astridhanifah

Post on 07-Oct-2015

12 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mnbzkxzjdnhalijh

TRANSCRIPT

REFRAT

PERDARAHAN GASTROINTESTINAL

Oleh :Hanifah Astrid ErnawatiG99131041Nimas Ayu Suri P.G99131057Pratiwi Prasetya P. G99131064Irene Yunita P.G99131043Bobbi Juni Saputra G99131024

Pembimbing :dr. Sulistyani K, M.Sc., Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK SMF RADIOLOGIFAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD Dr. MOEWARDISURAKARTA2015BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangPerdarahan saluran cerna sering ditemukan di masyarakat. Gejalanya dapat bermacam-macam dari perdarahan yang tidak terlihat hingga perdarahan masif. Hal yang paling cepat harus ditemukan adalah menentukan beratnya perdarahan. Hematemesis menunjukkan perdarahan dari saluran cerna bagian atas, proksimal dari ligamentum Treitz. Melena adalah akibat perdarahan saluran cerna bagian atas, meskipun demikian perdarahan dari usus halus atau kolon bagian kanan, juga dapat menimbulkan melena. Perdarahan Saluran Cerna adalah salah satu penyakit yang sering dijumpai. Berbagai kondisi pasien yang datang dengan perdarahan sluran cerna bermacam-macam dari yang berkondisi stabil hingga keadaan gawat darurat.Dewasa ini insidensi perdarahan saluran cerna telah menurun, tetapi angka kematian dari perdarahan akut saluran cerna, masih berkisar 3 % hingga 10 %, dan belum ada perubahan selam 50 tahun terakhir.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN fISIOLOGISistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan dan mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses pencernaan tersebut dari tubuh. Sistem Pencernaan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses pencernaan (pengunyahan, penelanan dan pencampuran) dengan enzim dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut (oris) sampai anus.Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan (esofagus), lambung (gaster), usus halus, usus besar (kolon), rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.2

Gambar 1. Saluran PencernaanI. Mulut 1. Mulut adalah permulaan saluran pencernaan.Fungsi rongga mulut: Mengerjakan pencernaan pertama denganjalan mengunyah Untuk berbicara Bila perlu, digunakan untuk bernafas.2. Pipi dan bibirMengandung otot-otot yang diperlukan dalam proses mengunyah dan bicara, disebelah luar pipi dan bibir diselimuti oleh kulit dan disebelah dalam diselimuti oleh selaput lendir (mukosa).3. Gigi Terdapat 2 kelompok yaitu gigi sementara atau gigi susumulai tumbuh pada umur 6-7 bulan dan lengkap pada umur 2 tahun jumlahnya 20 buah dan gigi tetap (permanen) tumbuh pada umur 6-18 tahun jumlahnya 32 buah. Fungsi gigi: gigi seri untuk memotong makanan, gigi taring untuk memutuskan makanan yang keras dan liat dan gigi geraham untuk mengunyah makanan yang sudah dipotong-potong.4. LidahFungsi Lidah: Untuk membersihkan gigi serta rongga mulut antara pipi dan gigi Mencampur makanan dengan ludah Untuk berbicara Untuk mengecap manis, asin dan pahit Untuk merasakan dingin dan panas.Bagian lidah yang berperan dalam mengecap rasa makanan adalah papilla.Papilla ini merupakan bentukan dari saraf-saraf sensorik (penerima rangsang). 3

5. Kelenjar ludah Kelenjar parotis, terletak disebelah bawah dengan daun telinga diantara otot pengunyah dengan kulit pipi. Cairan ludah hasil sekresinya dikeluarkan melalui duktus stesen kedalam rongga mulut melalui satu lubang dihadapannya gigi molar kedua atas. Saliva yang disekresikan sebanyak 25-35 %. Kelenjar Sublinguinalis, terletak dibawah lidah salurannya menuju lantai rongga mulut. Saliva yang disekresikan sebanyak 3-5 % Kelenjar Submandibularis, terletak lebih belakang dan kesamping dari kelenjar sublinguinalis. Saluran menuju kelantai rongga mulut belakang gigi seri pertama. Saliva yang disekresikan sebanyak 60-70 %6. Ada 2 jenis pencernaan didalam rongga mulut: Pencernaan mekanik Pencernaan kimiawi

II. Tenggorokan (Faring) Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari bahasa yunani yaitu Pharynk. Didalam lengkung faring terdapat tonsil yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang.2

III. Kerongkongan (Esofagus) Kerongkongan atau esofagus adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Sering juga disebut esophagus (dari bahasa Yunani: i, oeso membawa, dan , phagus memakan). Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi. Esofagus dibagi menjadi tiga bagian: Bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka) Bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus) Berta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).

IV. Gaster (lambung)Lambung terletak pada epigastrium dan terdiri dari mukosa, submukosa, lapisan otot yang tebal, dan serosa. Mukosa ventriculus berlipat-lipat atau rugae. Secara anatomis ventriculus terbagi atas kardiaka, fundus, korpus, dan pilorus. Sphincter cardia mengalirkan makanan masuk ke dalam ventriculus dan mencegah refluks isi ventrikulus memasuki oesophagus kembali. Di bagian pilorus ada sphincter piloricum. Saat sphincter ini berrelaksasi makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika berkontraksi sphincter ini mencegah terjadinya aliran balik isi duodenum (bagian usus halus) ke dalam ventriculus.3 Lapisan epitel mukosa lambung terdiri dari sel mukus tanpa sel goblet. Kelenjar bervariasi strukturnya sesuai dengan bagiannya. Pada bagian cardiac kelenjar terutama adalah sel mukus. Pada bagian fundus dan corpus kelenjar mengandung sel parietal yang mensekresi HCl dan faktor intrinsik, dan chief cell mensekresi pepsinogen. Bagian pilorus mengandung sel G yang mensekresi gastrin. Mukosa lambung dilindungi oleh berbagai mekanisme dari efek erosif asam lambung. Sel mukosa memiliki permukaan apikal spesifik yang mampu menahan difusi asam ke dalam sel. Mukus dan HCO3 dapat menetralkan asam di daerah dekat permukaan sel. Prostaglandin E yang dibentuk dan disekresi oleh mukosa lambung melindungi lambung dan duodenum dengan merangsang peningkatan sekresi bikarbonat, mukus lambung, aliran darah mukosa, dan kecepatan regenarasi sel mukosa. Aliran darah mukosa yang bagus, iskemia dapat mengurangi ketahanan mukosa.4 Fungsi utama lambung adalah sebagai tempat penampungan makanan, menyediakan makanan ke duodenum dengan jumlah sedikit secara teratur. Cairan asam lambung mengandung enzim pepsin yang memecah protein menjadi pepton dan protease. Asam lambung juga bersifat antibakteri. Molekul sederhana seperti besi, alkohol, dan glukosa dapat diabsorbsi dari lambung.5

V. Usus halus Usus halusadalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( M sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah Luar ). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum). 51. Usus dua belas jari (Duodenum) Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz. Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan.Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari. Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan. 22. JejunumUsus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis. Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti lapar dalam bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Laton, jejunus, yang berarti kosong. 2

3. IleumUsus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, ) ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.3

VI. Usus Besar (Kolon) Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari : Kolon asendens (kanan) Kolon transversum Kolon desendens (kiri) Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum) Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare. 5

VII. SekumSekum (Bahasa Latin: caecus, buta) dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing. 2

VIII. Umbai Cacing (Appendix) Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen). Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix (atau hanya appendix) adalah hujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum. Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, Umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. Walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda bisa di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum. 2

IX. Rektum Rektum (Bahasa Latin: regere, meluruskan, mengatur) adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. 2

X. AnusAnus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphincter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar BAB), yang merupakan fungsi utama anus. 2

XI. Pankreas Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi utama yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting seperti insulin. Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan berhubungan erat dengan duodenum (usus dua belas jari). Pankraes terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu : Asinimenghasilkan enzim-enzim pencernaan Pulau Langerhans menghasilkan hormon Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan melepaskan hormon ke dalam darah. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas akan mencerna protein, karbohidrat dan lemak. Enzim proteolitik memecah protein ke dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan dilepaskan dalam bentuk inaktif. Enzim ini hanya akan aktif jika telah mencapai saluran pencernaan. Pankreas juga melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat, yang berfungsi melindungi duodenum dengan cara menetralkan asam lambung. 3

XII. Hati Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan memiliki berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan. Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan penetralan obat. Dia juga memproduksi bile, yang penting dalam pencernaan. Istilah medis yang bersangkutan dengan hati biasanya dimulai dalam hepat- atau hepatik dari kata Yunani untuk hati, hepar. Zat-zat gizi dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya akan pembuluh darah yang kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan darah ke dalam vena yang bergabung dengan vena yang lebih besar dan pada akhirnya masuk ke dalam hati sebagai vena porta. Vena porta terbagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil di dalam hati, dimana darah yang masuk diolah. Hati melakukan proses tersebut dengan kecepatan tinggi, setelah darah diperkaya dengan zat-zat gizi, darah dialirkan ke dalam sirkulasi umum. 2

XIII. Kandung empedu Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ berbentuk buah pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses pencernaan. Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan berwarna hijau gelap bukan karena warna jaringannya, melainkan karena warna cairan empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan hati dan usus dua belas jari melalui saluran empedu. Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu: Membantu pencernaan dan penyerapan lemak Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol. 5

B. PERDARAHAN SALURAN CERNA1. Perdarahan Saluran Cerna Atasa. DefinisiPerdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan saluran makanan proksimal mulai dari esofagus, gaster, duodenum, jejunum proksimal (batas anatomik di ligamentum treitz). Sebagian besar perdarahan saluran cerna bagian atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) yang disebabkan oleh H. Pylori atau penggunaan obat-obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) atau alkohol. Robekan Mallory-Weiss, varises esofagus, dan gastritis merupakan penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang.6

b. EpidemiologiUpper gastrointestinal tract bleeding (UGI bleeding) atau lebih dikenal perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75 % hingga 80 % dari seluruh kasus perdarahan akut saluran cerna. Insidensinya telah menurun, tetapi angka kematian dari perdarahan akut saluran cerna, masih berkisar 3 % hingga 10 %, dan belum ada perubahan selam 50 tahun terakhir. Tidak berubahnya angka kematian ini kemungkinan besar berhubungan dengan bertambahnya usia pasien yang menderita perdarahan saluran cerna serta dengan meningkatnya kondisi comorbid.Peptic ulcers adalah penyebab terbanyak pada pasien perdarahan saluran cerna, terhitung sekitar 40 % dari seluruh kasus.Penyebab lainnya seperti erosi gastric (15 % - 25 % dari kasus), perdarahan varises (5 % - 25 % dari kasus), dan Mallory-Weiss Tear (5 % - 15 % dari kasus). Penggunaan aspirin ataupun NSAIDs memiliki prevalensi sekitar 45 % hingga 60 % dari keseluruhan kasus perdarahan akut.Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di populasi tidak diketahui. Berbeda dengan di negera barat dimana perdarahan karena tukak peptik menempati urutan terbanyak maka di Indonesia perdarahan karena ruptura varises gastroesofagei merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60%, gastritis erosif hemoragika sekitar 25-30%, tukak peptik sekitar 10-15% dan karena sebab lainnya < 5%. Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar 25%, kematian pada penderita ruptur varises bisa mencapai 60% sedangkan kematian pada perdarahan non varises sekitar 9-12%. Sebahagian besar penderita perdarahan SCBA meninggal bukan karena perdarahannya itu sendiri melainkan karena penyakit lain yang ada secara bersamaan seperti penyakit gagal ginjal, stroke, penyakit jantung, penyakit hati kronis, pneumonia dan sepsis. 7Ulkus peptikum yakni ulkus gaster dan duodenum masuk dalam 5 besar penyebab dispepsia. Angka kejadian lebih tinggi pada pria dan usia lanjut. Hal ini dapat dijelaskan oeh karena berbagai penyebab, mulai dari perbedaan definisi perdarahan SCBA, karakteristik populasi, prevalensi obat obatan penyebab ulkus dan Helicobacter pylori. Mortalitas dikaitkan dengan usia lanjut dan adanya komorbiditas berat. Mortalitas juga meningkat dengan perdarahan berulang yang merupakan parameter mayor.Etiologi perdarahan, lebih sering pada perdarahan variseal dan jarang pada lesi mukosal kecil seperti robekan Mallory Weiss. Perdarahan ulkus peptikum merupakan penyebab tersering perdarahan SCBA berkisar 31 67 % dari semua kasus, diikuti oleh gastritis erosif, perdarahan variceal, esofagitis, keganasan dan robekan. Di Indonesia 70 % penyebab perdarahan SCBA adalah karena varises esofagus yang pecah. Namun demikian, diperkirakan oleh karena semakin meningkatnya pelayanan terhadap penyakit hati kronis dan bertambahnya populasi perdarahan oleh karena ulkus peptikum akan meningkat.8Tabel 1. Penyebab tersering perdarahan SCBA pada pasien yang menjalani endoskopi di RSCM selama tahun 2001 2005PenyebabJumlah kasusPersentase

Pecahnya varises esofagus280 kasus33.4 %

Perdarahan ulkus peptikum225 kasus26.9 %

Gastritis erosiva219 kasus26.2 %

Tidak ditemukan38 kasus4.5 %

Lain lain 45 kasus9 %

Total807 kasus100 %

c. Etiologi dan PatofisiologiBanyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yaitu 9:1. Duodenal ulcer 2. Gastric atau duodenal erosions 3. Varices 4. Gastric ulcer 5. Mallory Weiss tear 6. Erosive esophagitis 7. Angioma 8. Arteriovenous malformation 9. Gastrointestinal stromal tumors Secara teoritis lengkap terjadinya penyakit atau kelainan saluran cerna bagian atas disebabkan oleh ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor defensif, dimana faktor agresif meningkat atau faktor defensifnya menurun. Yang dimaksud dengan faktor agresif antara lain asam lambung, pepsin, refluks asam empedu, nikotin, obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan obat kortikosteroid, infeksi Helicobacter pylori dan faktor radikal bebas , khususnya pada pasien lanjut usia. Yang dimaksud dengan faktor defensif yaitu aliran darah mukosa yang baik, sel epitel permukaan mukosa yang utuh, prostaglandin, musin atau mukus yang cukup tebal, sekresi bikarbonat, motilitas yang normal, impermeabilitas mukosa terhadap ion H+ dan regulasi pH intra sel.Penyebab varises esofagus merupakan yang terbanyak di Indonesia, disebabkan oleh penyakit sirosis hati.Sirosis hati di Indonesia masih banyak disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B dan hepatitis C.Varises esofagus adalah vena collateral yang berkembang sebagai hasil dari hipertensi sistemik ataupun hipertensi segmental portal. Saat ini, faktor-faktor terpenting yang bertanggung jawab atas terjadinya perdarahan varises adalah: tekanan portal, ukuran varises, dinding varises dan tegangannya, dan tingkat keparahan penyakit hati.Pada gagal hepar seperti sirosis hepatis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta.Sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam submukosa esophagus dan rektum serta pada dinding abdomen anterior untuk mengalihkan darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar.Dengan meningkatnya tekanan dalam vena ini, maka vena tersebut menjadi mengembang dan membesar (dilatasi) oleh darah dan timbul varises.Varises bisa pecah, mengakibatkan perdarahan gastrointestinal masif.Selanjutnya dapat mengakibatkan kehilangan darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung dan penurunan curah jantung. Jika perdarahan menjadi berlebihan, maka akan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Dalam berespon terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan mekanisme kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi.Mekanisme ini merangsang tanda-tanda dan gejala utama yang terlihat.Jika volume darah tidak digantikan, penurunan perfusi jaringan mengakibatkan disfungsi seluler. Sel-sel akan berubah menjadi metabolisme anaerob dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah akan mengakibatkan/ memberi efek pada seluruh sistem tubuh dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi sistem tersebut akan mengalami kegagalan.10

Gambar 2. Hematemesis melena Penyebab perdarahan non varises yang banyak di Indonesia yaitu gastritis erosif, tukak peptik. Gastritis erosif dan tukak peptik ini berhubungan dengan pemakaian obat anti inflamasi non steroid (OAINS), infeksi Helicobacter pylori dan stres.Penggunaan NSAIDs merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster. Penggunaan obat ini dapat mengganggu proses peresapan mukosa, proses penghancuran mukosa, dan dapat menyebabkan cedera. Sebanyak 30% orang dewasa yang menggunakan NSAIDs mempunyai GI yang kurang baik. Faktor yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak gaster dari penggunaan NSAIDs adalah usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau kombinasi dari NSAIDs, penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang lama, penggunaan disertai antikoagulan, dan severe comorbid illness. Walaupun prevalensi penggunaan NSAIDs pada anak tidak diketahui, tetapi sudah tampak adanya peningkatan, terutama pada anak dengan arthritis kronik yang dirawat dengan NSAIDs. Penggunaan kortikosteroid saja tidak meningkatkan terjadinya tukak gaster, tetapi penggunaan bersama NSAIDs mempunyai potensi untuk menimbulkan tukak gaster.11

Gambar 3. Hubungan NSID dengan tukak lambung

Sindroma Mallory-Weiss adalah sebuah kondisi di mana lapisan mukosa di bagian distal esophagus pada gastroesophageal junction mengalami laserasi yang dapat menyebabkan hematemesis (muntah darah). Laserasi seringkali juga menyebabkan perdarahan arteri submukosa. Perdarahan muncul ketika luka sobekan telah melibatkan esophageal venous atau arterial plexus. Pasien dengan hipertensi portal dapat meningkatkan resiko daripada perdarahan dibandingkan dengan pasien hipertensi non-portal. Sindrom Mallory-Weiss biasanya sekunder terhadap peningkatan mendadak tekanan intraabdominal. Faktor pencetus meliputi muntah, mengedan saat buang air besar, mengangkat beban, batuk, kejangepilepsi, cegukan di bawah anestesi, dada tertekan, traumaabdomen, preparatkolonoskopidan gastroskopi.12

Gambar 4. Mallory Weiss Tear

d. Manifestasi KlinikSaluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami perdarahan. Dari seluruh kasus perdarahan saluran cerna sekitar 80% sumber perdarahannya berasal dari esofagus,gaster dan duodenum.7

Manifestasi klinis pasien dapat berupa : Hematemesis: Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran cerna atas, yang berwarna coklat merah atau coffee ground. Melena: Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran bercampur asam lambung, biasanya mengindikasikan perdarahan saluran cerna bagian atas, atau perdarahan daripada usus-usus ataupun colon bagian kanan dapat juga menjadi sumber lainnya. Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah anemia, sinkope, instabilitas hemodinamikkarena hipovolemik dan gambaran klinis dari komorbid seperti penyakit hati kronis,penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal.7,9

e. DiagnosisSeperti dalam menghadapi pasien-pasien gawat darurat lainnya dimana dalammelaksanakan prosedur diagnosis tidak harus selalu melakukan anamnesis yang sangat cermat dan pemeriksaan fisik yang sangat detil, dalam hal ini yang diutamakan adalahpenanganan A - B C ( Airway Breathing Circulation ) terlebih dahulu. Bila pasiendalam keadaan tidak stabil yang didahulukan adalah resusitasi ABC. Setelah keadaan pasien cukup stabil maka dapat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebihseksama.7a. AnamnesisPada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit hati kronis, riwayatdispepsia,riwayat mengkonsumsi NSAID,obat rematik,alkohol,jamu jamuan,obat untukpenyakit jantung,obat stroke. Kemudian ditanya riwayat penyakit ginjal,riwayat penyakitparu dan adanya perdarahan ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah sebelumterjadinya hematemesis sangat mendukung kemungkinan adanya sindroma Mallory Weiss.Dalam anamnesis yang perlu ditekankan13 :1. Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar 2. Riwayat perdarahan sebelumnya3. Riwayat perdarahan dalam keluarga4. Ada tidaknya perdarahan dibagian tubuh lain5. Penggunaan obat-obatan terutama antiinflamasi nonsteroid dan antikoagulan6. Kebiasaan minum alkohol7. Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronis, demam berdarah, demam tifoid, GGK, DM, hipertensi, alergi obat-obatan8. Riwayat transfusi sebelumnya

b. Pemeriksaan FisikAdanya stigmata penyakit hati kronik, suhu badan dan perdarahan di tempat lain, tanda-tanda Langkah awal menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan status hemodinamiknya. Pemeriksaan meliputi: Tekanan darah dan nadi posisi baring Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi Ada tidaknya vasokonstriksi perifer ( akral dingin ) Kelayakan nafas Tingkat kesadaran Produksi urin. Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20 % volume intravaskular akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil dengan tanda tanda sebagai berikut: Hipotensi ( tekanan darah < 90/60 mmHg , frekuensi nadi > 100x/menit ) Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik turun > 20 mmHg Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15/menit Akral dingin Kesadaran menurun Anuria atau oliguriaKecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan: hematemesis, hematokezia, darah segar pada aspirasi pipa nasogastrik dengan, hipotensi persisten, 24 jam menghabiskan transfusi darah melebihi 800-1000 mL.13Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan kulit dan mukosa penyakit sistematik. Perlu juga dicari stigmata pasien dengan sirosis hati karena pada pasien sirosis hati dapat disertai gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah atau melenaPemeriksaan fisik lainnya yang penting yaitu masa abdomen, nyeri abdomen, rangsangan peritoneum, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit rematik dll. Pemeriksaan yang tidak boleh dilupakan adalah colok dubur. Warna feses ini mempunyai nilai prognostik.Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Naso Gastric Tube (NGT).Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif, aspirat berwarna merah marun menandakan perdarahan masif sangat mungkin perdarahan arteri.Seperti halnya warna feses maka warna aspirat pun dapat memprediksi mortalitas pasien. Walaupun demikian pada sekitar 30% pasien dengan perdarahan tukak duodeni ditemukan adanya aspirat yang jernih pada NGT.7

c. Pemeriksaan penunjangKelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan13 :1. Elektrokardiagram (terutama pasien berusia > 40 tahun)2. BUN, kreatinin serum3. Elektrolit (Na, K, Cl)4. Pemeriksaan lainnya :

1) EndoskopiDalam prosedur diagnosis ini pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard.Tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi. Prosedur ini tidak perlu dilakukan segera( bukan prosedur emergensi), dapat dilakukan dalam kurun waktu 12 - 24 jam setelah pasien masuk dan keadaan hemodinamik stabil . Tidak ada keuntungan yang nyata bila endoskopi dilakukan dalam keadaan darurat. Dengan pemeriksaan endoskopi ini lebih dari 95% pasien-pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis melena dapat ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya.7Lokasi dan sumber perdarahan Esofagus: Varises, erosi, ulkus, tumor Gaster: Erosi, ulkus, tumor, polip, angiodisplasia, varises, gastropati kongestif Duodenum :Ulkus,erosi,tumor,divertikulitisDi Negara barat tukak peptic berada di urutan pertama penyebab perdarahan SCBA dengan frekuensi sekitar 50%.Walaupun pengelolaan perdarahan SCBA telah banyak berkembang namun mortalitasnya relative tidak berubah. Hal ini dikarenakan bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut dan akibat komorbiditas yang menyertai.13Klasifikasi aktivitas perdarahan tukak peptic menurut Forest : Forrest Ia :Tukak dengan perdarahan aktif dari arteri Forrest Ib :Tukak dengan perdarahan aktif berupa oozing Forrest II : Perdarahan berhenti dan masih terdapat sisa-sisa perdarahan Forrest III : Perdarahan berhenti tanpa sisa perdarahan

Gambar 5. Gambaran endoskopi pada pasien gastric ulcer akibat penggunaan NSAIDs dan test H.Pylori negatif (Vakil, N., 2010)

Gambar 6. Gambaran endoskopi pada pasien duodenal ulcer dengan test H.Pylori positif tetapi tidak ada riwayat penggunaan NSAIDs (Vakil, N., 2010)

Gambar 7. Gambaran endoskopi dari esophageal varices (Shah, V.H., et al., 2010)

Gambar 8. Gambaran endoskopi pada pasien Mallory-Weiss Tear (Savides, T.J., et al., 2010)

2) AngiographyAngiography dapat digunakan untuk mendiagnosa dan menatalaksana perdarahanberat, khususnya ketika penyebab perdarahan tidak dapat ditentukan dengan menggunakan endoskopi atas maupun bawah.7

3) Conventional radiographic imagingConventional radiographic imaging biasanya tidak terlalu dibutuhkan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna tetapi adakalanya dapat memberikan beberapa informasi penting. Misalnya pada CT scan; CT Scan dapat mengidentifikasi adanya lesi massa, seperti tumor intra-abdominal ataupun abnormalitas pada usus yang mungkin dapat menjadi sumber perdarahan.7

Tabel 2. Perbedaan perdarahan SCBA dan SCBB13Perdarahan SCBAPerdarahan SCBB

Manifestasi klinik pada umumnyaHematemesis dan atau melenaHematokezia

Aspirasi nasogatrikBerdarahJernih

Rasio (BUN/kreatinin)Meningkat > 35< 35

Auskultasi UsushiperaktifNormal

PenatalaksanaanStabilisasi Hemodinamik pada Perdarahan Saluran CernaPada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid (misalnya cairan garam fisiologis dengan tetesan cepat dengan menggunakan dua jarum berdiameter besar (minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous pressure); tujuannya memulihkan tanda-tanda vital dan mempertahankan tetap stabil. Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran) kecuali pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim pemeriksaan darah untuk menentukan darah golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit. Adanya kecurigaan diatesis hemoragik pelu ditindaklanjuti dengan melakukan test rumple-leed, pemeriksaan waktu perdarahn, waktu pembekuan, retraksi bekuan darah, PPT dan aPTT.Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual tergantung dengan jumlah darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya perdarahan berlangsung, dan akibat klinik perdarahan tersebut. Pemberian transfusi darah dapa perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut ini :1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter atau lebih 3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin kurang dari 10 gr% atau hematokrit kurang dari 30%4. Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurunPerlu dipahami bahwa nilai hemtokrit untuk memperkirakan jumlah perdarahan kurang akurat bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses hemodilusi dari cairan ekstravaskular selesai 24-72 jam setelah onset perdarahan. Target pencapaian hematokrit setelah transfusi darah tergantung kasusyang dihadapi, untuk usia muda dengan kondisi sehat cukup 20-25%, usia lanjut 30%, sedangkan pada hipertensi portal jangan melebihi 27-28%.13

Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian AtasNon-Endoskopisa. Kumbah lambungSalah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan adalah kumbah lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini diharapkan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti. Kumbah lambung ini sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskopi dan dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah perdarahan. Berdasarkan percobaan hewan, kumbah lambung dengan air es kurang menguntungkan, waktu perdarahan menjadi memanjang,perfusi dinding lambung menurun dan bisa timbul ulserasi pada mukosa lambung.b. Pemberian vitamin KPemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberiaan tersebut tidak merugikan dan relatif murah.c. Vasopressin Vasopressin dapat menghentikan perdarahan SCBA lewat efek vasokonstriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta melihat. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut varises esofagus sejak 1953. Pernah dicobakan pada perdarahan non varises, namun berhentinya perdarahan tidak berbeda dengan plasebo. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresinyang mengandung vasopressin murni dan preparat pituitari gland yang mengandung vasopressin dan oksitosin. Pemberiaan vasopressin dilakukan dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%, diberikan 0,5-1 mg/menit/IV selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3 sampai 6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus 0,1-0,5 U/menit. Vasopressin dapat menimbulkan efek samping serius berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena itu pemberiannya disarankan bersamaan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan sampai maksimal 400mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik di atas 90 mmHg.d. Somatostatin dan analognya (octreotid)Somatostatin dan analognya (octreotid) diketahui dapat menurunkan aliran darah splanknik, khasiatnya lebih selektif dibanding dengan vasopressin. Penggunaan di klinik pada perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun 1978. Somatostatin dapat menghentikan perdarahan akut varises esofagus pada 70-80% kasus, dan dapat pula digunakan pada perdarahan non varises. Dosis pemberian somastatin, diawali dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 12-24 jam atau sampai perdarahan berhenti, octreotid dosis bolus 100 mcg intravena dilanjutkan perinfus 25 mcg/jam selama 8-24 jam atau sampai perdarahan berhenti. e. Obat-obatan golongan antisekresi asamObat-obatan golongan antisekresi asamyang dilaporkan bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak peptik ialah inhibitor proton dosis tinggi. Diawali oleh bolus omeprazole 80 mg/iv kemudian dilanjutkan per infus 8 mg/KGBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada kelompok plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazole hanya 4,2%. Suntikan omeprazole yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa digunakan per infus ialah persediaan esomeprazole dan pantoprazole dengan dosis sama seperti omeprazole. Pada perdarahan SCBA ini antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak peptik kurang bermanfaat.f. Balon tamponadePenggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esofagus dimulai sekitar tahun 1950, paling populer adalah sengstaken blakemore tube (SB-tube) yang mempunyai 3 pipa serta 2 balon masing-masing untuk esofagus dan lambung. Komplikasi pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal ialah pneumonia aspirasi, laserasi sampai perforasi. Pengembangan balon sebaiknya tidak melebihi 24 jam. Pemasangan SB-tube seyogyanya dilakukan oleh tenaga medik yang berpengalaman dan ditidaklanjuti dengan observasi yang ketat.13

EndoskopisTerapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:1) Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe) 2) Noncontact thermal (laser 3). Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol, cyanoacrylate, atau pemakain klip).Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila dilakukan ahli endoskopi yang termapil dna berpengalaman. Endoskopi terapeutik ini dapat diterapkan pada 90% kasus perdarahan SCBA, sedangkan sisanya 10% sisanya tidak dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti darah terlalu banyak sehingga pengamatan terhalang atau letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80% perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan arterial yang bisa berhenti spontan hanya 30%.Terapi endoskopi yang relatif murah dan tanpa banyak peralatan pendukung ialah penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan dengan menggunakan adrenalin 1 : 10000 sebanyak 0,5-1 ml tiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak melebihi 1 ml. Penyuntikan bahan sklerosan sepert alkohol absolut atau polidoklonal umumnya tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak atau perforasi akibat nekrosis jaringan dilokasi penyuntikan. Keberhasilan terapi endoskopi dalam menghentikan perdarahan bisa mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan lainnya perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15-20%.Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena varises esofagus.Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk mengatasi perdarahan varises esofagus.Dengan ligasi varises dapat dihindari efek samping akibat pemakaian sklerosan, lebih sedikit frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan mulai distal mendekati kardia bergerak spiral setiap 1-2 cm. Dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau bila ditemukan tanda baru mengalami perdarahan seperti bekuan yang melekat, bilur-bilur merah, noda hematokistik, vena pada vena. Skleroterapi endoskopi sebagai alternative bila ligasi endoskopi sulit dilakukan karena perdarahan yang massif, terus berlangsung, atau teknik tidak memungkinkan. Sklerosan yang bisa digunakan antarla lain campuran sama banyak polidokanol 3%, NaCl 0,9% dan alkohol absolut. Campuran dibuat sesaat sebelum skleroterapi dikerjakan. Penyuntikan dimulai dari bagian paling distal mendekati kardia dilanjutkan ke proksimal bergerak spiral sampai sejauh 5cm. Pada perdarahan varises lambung dilakukan penyuntikan cyanoacrylate, skleroterapi untuk varises lambung kurang baik.13

Terapi RadiologiTerapi angiografi perlu pertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat berisiko.Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontra indikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS (Trans Jugular Intrahepatic Porto Systemic Shunt). 13PembedahanPembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam bentuk tim multi disipliner pada pengelolaan kasus perdarahan SCBA untuk menentukan waktu yang tepat kapan tindakan bedah baiknya dilakukan. 13

Gambar 9. Penanganan Perdarahan Saluran Cerna14g. PrognosisIdentifikasi letak perdarahan adalah langkah awal yang paling penting dalam pengobatan.Setelah letak perdarahan terlokalisir, pilihan pengobatan dibuat secara langsung dan kuratif. Meskipun metode diagnostik untuk menentukan letak perdarahan yang tepat telah sangat meningkat dalam 3 dekade terakhir, 10-20% dari pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah tidak dapat dibuktikan sumber perdarahannya. Oleh karena itu, masalah yang kompleks ini membutuhkan evaluasi yang sistematis dan teratur untuk mengurangi persentase kasus perdarahan saluran cerna yang tidak terdiagnosis dan tidak terobati.Dalam penatalaksanaan perdarahan SCBA banyak faktor yang berperan terhadap hasil pengobatan. Ada beberapa prediktor buruk dari perdarahan SCBA antara lain, umur diatas 60 tahun, adanya penyakit komorbid lain yang bersamaan, adanya hipotensi atau syok, adanya koagulopati, onset perdarahan yang cepat, kebutuhan transfusi lebih dari 6 unit, perdarahan rekurens dari lesi yang sama. Setelah diobati dan berhenti, perdarahan SCBA dapat berulang lagi atau rekurens. Secara endoskopik ada beberapa gambaran endoskopik yang dapat memprediksi akan terjadinya perdarahan ulang antara lain tukak peptik dengan bekuan darah yang menutupi lesi, adanya visible vessel tak berdarah, perdarahan segar yang masih berlangsung.15

2. Perdarahan Saluran Cerna BawahPerdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB) dapat didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi atau bersumber pada saluran cerna di bagian distal dari ligamentum Treitz. Jadi dapat berasal dari usus kecil dan usus besar. Pada umumnya perdarahan ini (sekitar 85%) ditandai dengan keluarnya darah segar per anum/per rektal yang bersifat akut, transient, berhenti sendiri, dan tidak mempengaruhi hemodinamika. Gambaran KlinisPerdarahan SCBB dapat bermanifestasi dalam bentuk hematoskezia, maroon stool, melena, atau perdarahan tersamar.Hematoskezia adalah: Darah segar yang keluar lewat anus/rektum. Hal ini merupakan manifestasi klinis perdarahan SCBB yang paling sering. Sumber perdarahan pada umumnya berasal dari anus, rektum, atau kolon bagian kiri (sigmoid atau kolon descendens), tetapi juga dapat berasal dari usus kecil atau saluran cerna bagian atas (SCBA) bila perdarahan tersebut berlangsung masif (sehingga sebagian volume darah tidak sempat kontak dengan asam lambung) dan masa transit usus yang cepat.

Maroon stool: Darah yang berwarna merah hati (kadang bercampur dengan melena) yang biasanya berasal dari perdarahan di kolon bagian kanan (ileo-caecal) atau juga dapat dari SCBA/usus kecil bila waktu transit usus cepat.

Melena Buang air besar atau feses yang berwarna hitam seperti kopi (bubuk kopi) atau seperti ter (aspal), berbau busuk dan hal ini disebabkan perubahan hemoglobin menjadi hematin.Perubahan ini dapat terjadi akibat kontak hemoglobin dengan asam lambung (khas pada perdarahan SCBA) atau akibat degradasi darah oleh bakteri usus. Misalnya pada perdarahan yang bersumber di kolon bagian kanan yang disertai waktu transit usus yang lambat. Perdarahan SCBB akan tersamar bila jumlah darah sedikit sehingga tidak mengubah warna feses yang keluar.Gambaran klinis lainnya akan sesuai dengan penyebab perdarahan (misalnya pada tumor rektum, teraba massa pada pemeriksaan colok dubur) dan dampak hemodinamik yang terjadi akibat perdarahan tersebut (misalnya anemia atau adanya renjatan).Sebagian besar perdarahan SCBB (lebih kurang 85%) berlangsung akut, berhenti spontan, dan tidak menimbulkan gangguan hemodinamik.

Perdarahan SCBB diklasifikasikan sebagai perdarahan akut dan berat bila:a. Telah menimbulkan keadaan hipotensi ortostatik atau renjatanb. terdapat penurunan hematokrit minimal 8-10% setelah resusitasi volume intravaskular dengan cairan kristaloid atau plasma expander, danc. terdapat faktor risiko seperti pada usia lanjut atau terdapat penyulit lainnya yang bermakna.

b. PenyebabLokasi lesi sumber perdarahan pada kasus dengan hematoskezia (sebagai tanda yang paling umum untuk SCBB): 74% berada di kolon, 11% berasal dari SCBA, 9% usus kecil, dan 6% tidak diketahui sumbernya.Perdarahan akut dan hebat pada umumnya disebabkan oleh angiodisplasia dan divertikulosis. Sedangkan yang kronik intermiten disebabkan oleh hemoroid dan keganasan kolon. Etiologi perdarahan SCBB yang harus dipertimbangkan dan cukup sering dihadapi di Indonesia adalah perdarahan di usus kecil pada demam tifoid.

c. Initial AssessmentTiap kasus perdarahan saluran cerna, walaupun tampaknya darah yang keluar berdasarkan anamnesis sedikit, harus diperhatikan diperlakukan secara cermat, cepat, dan tepat pada waktu awal pemeriksaan. Sebab rongga/lumen saluran cerna dapat menampung darah cukup banyak sebelum bermanifestasi sebagai hematoskezia, sehingga dapat mengecohkan kita sehingga pasien dapat segera masuk ke dalam keadaan gangguan hemodinamik. Pada initial assessment ini (sesuai dengan Airway Breathing Circulation-nya bidang emergensi) kita sudah harus segera mendapatkan gambaran apakah kasus perdarahan ini sudah terdapat atau potensial terjadi gangguan hemodinamik, perlu tidaknya tata laksana emergensi atau dapat ditangani secara elektif (terencana). Dan akurasi penilaian ini sangat mempengaruhi prognosis kasus perdarahan pada umumnya dan khususnya perdarahan saluran cerna (atas atau bawah).

d. Riwayat PenyakitNilai dalam anamnesis apakah perdarahan/darah tersebut bercampur dengan feses (seperti terjadi pada kolitis atau lesi di proksimal rektum) atau terpisah/menetes (terduga hemoroid), pemakaian antikoagulan, atau terdapat gejala sistemik lainnya seperti demam lama (tifoid, kolitis infeksi), menurunnya berat badan (kanker), perubahan pola defekasi (kanker), tanpa rasa sakit (hemoroid intema, angiodisplasia), nyeri perut (kolitis infeksi, iskemia mesenterial), tenesmus ani (fisura, disentri). Apakah kejadian ini bersifat akut, pertama kali atau berulang, atau kronik, akan membantu ke arah dugaan penyebab atau sumber perdarahan.

e. Pemeriksaan FisisSegera nilai tanda vital, terutama ada tidaknya renjatan atau hipotensi postural (Tilt test). Jangan lupa colok dubur untuk menilai sifat darah yang keluar dan ada tidaknya kelainan pada anus (hemoroid interna, tumor rektum). Pemeriksaan fisis abdomen untuk menilai ada tidaknya rasa nyeri tekan (iskemia mesenterial), rangsang peritoneal (divertikulitis), massa intraabdomen (tumor kolon, amuboma, penyakit Crohn). Pemeriksaan sistemik lainnya: adanya artritis (inflammatory bowel disease), demam (kolitis infeksi), gizi buruk (kanker), penyakit jantung koroner (kolitis iskemia).

f. LaboratoriumSegera harus dinilai adalah kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, dan kalau sarana lengkap waktu protrombin. Laboratorium lain sesuai indikasi. Penilaian hasil laboratorium harus disesuaikan dengan keadaan klinis yang ada. Penilaian kadar hemoglobin dan hematokrit, misalnya pada perdarahan akut dan masif, akan berdampak pada kebijakan pilihan jenis darah yang akan diberikan pada proses resusitasi.

g. Pemeriksaan Penunjang DiagnostikPemeriksaan ini sangat tergantung pada keadaan klinis pasien waktu masuk rumah sakit, penyebab atau lesi sumber perdarahan, perjalanan penyakit pasien dan tidak kalah pentingnya adalah sarana diagnostik penunjang yang tersedia. Secara teori, modalitas sarana pemeriksaan anoskopi, sigmoidoskopi, kolonoskopi, enteroskopi, barium enema (colon in loop), angiografi/artereriografi, blood flow scintigraphy, dan operasi laparatomi eksplorasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi lesi sumber perdarahan dan diagnosis penyakitnya. Tidak jarang modalitas diagnostik ini dapat dipakai sekaligus untuk terapi (endoskopi terapeutik, embolisasi pada waktu arteriografi). Masing-masing modalitas diagnostik ini mempunyai kelebihan dan kekurangan dibandingkan modalitas lainnya. Misalnya pada perdarahan yang berlangsung masif, peran kolonoskopi akan terhambat oleh sulitnya memperoleh lapang pandang yang akurat untuk menilai di mana dan apa sumber perdarahannya. Sedangkan arteriografi lebih mudah untuk mendapatkan lokasi sumber perdarahan (kalau perlu sekaligus terapinya). Mulai dari diagnostik (terlebih lagi pada waktu terapi) sudah diperlukan kerja sama tim (internis, internis konsultan gastroenterologi, ahli bedah, radiologis, radiologis interventional, dan anestesi) yang optimal sehingga langkah diagnostik (dan terapi) dapat selaras untuk kepentingan pengobatan pasien seutuhnya. Pada keadaan tidak adanya gangguan hemodinamik atau keadaan yang masih memungkinkan kita merencanakan langkah diagnostik yang berencana (elektif), eksplorasi diagnostik sumber perdarahan relatif tidak menimbulkan permasalahan. Tetapi bila keadaan pasien tidak stabil, adanya gangguan hemodinamik, diperlukannya segera pilihan terapi, permasalahan algoritme diagnostik (juga berdampak pada algoritme terapi tidak jarang muncul dan terjadi perbedaan persepsi antara disiplin terkait.Pemeriksaan penunjang ini akan berbeda pelaksanaannya dan akan berbeda hasil yang diharapkan dicapai bila menghadapi kasus akut/emergensi atau kasus kronik/elektif. Pada makalah ini akan lebih ditekankan pada prosedur diagnostik dan terapi pada kasus yang akut dan bersifat emergensi.Anoskopi/RektoskopiPada umumnya dapat segera mengetahui sumber perdarahan tersebut bila berasal dari perdarahan hemoroid interna atau adanya tumor rektum. Dapat dikerjakan tanpa persiapan yang optimal.

SigmoidoskopiPerdarahan dari sigmoid (misalnya tumor sigmoid) masih mungkin dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ini dengan hanya persiapan laksan enema (YAL) atau klisma, mengingat darah dalam lumen usus itu sendiri sudah bersifat laksan.

KolonoskopiPada keadaan yang bersifat elektif dengan persiapan yang optimal, pemeriksaan ini dapat dengan relatif mudah mengidentifikasi sumber perdarahan di seluruh bagian kolon sampai ileum terminal. Tetapi pada keadaan perdarahan aktif, lumen usus penuh darah (terutama bekuan darah), maka lapang pandang kolonoskop akan terhambat. Diperlukan usaha yang berat untuk membersihkan lumen kolon secara kolonoskopi. Sering sekali lumen skop tersumbat total sehingga pemeriksaan harus dihentikan. Tidak jarang hanya dapat menyumbangkan informasi adanya demarkasi atau batas antara lumen kolon yang bersih dari darah dan diambil kesimpulan bahwa letak sumber perdarahan di distal demarkasi tersebut

Push EnteroskopiPemeriksaan ini dilakukan melalui SCBA dan melewati ligamentum Treitz serta dapat mengidentifikasi perdarahan pada usus kecil. Sarana ini masih sangat jarang di Indonesia.

Barium Enema (colon in loop)Pada keadaan perdarahan akut dan emergensi, pemeriksaan ini tidak mempunyai peran. Bahkan kontras yang ada akan memperlambat rencana pemeriksaan kolonoskopi (kontras barium potensial dapat menyumbat saluran pada skop) atau skintigrafi (kontras barium akan mengacaukan interpretasi) bila diperlukan. Serta tidak ada tambahan manfaat terapeutik. Tetapi pada keadaan yang elektif, pemeriksaan ini mampu mengidentifikasi berbagai lesi yang dapat diprakirakan sebagai sumber perdarahan (tidak dapat menentukan sumber perdarahan).

Angiografi/Arteriografi Injeksi zat kontras lewat kanul yang dimasukkan melalui arteri femoralis dan arteri mesenterika superior atau inferior, memungkinkan visualisasi lokasi sumber perdarahan. Dengan teknik ini biasanya perdarahan arterial dapat terdeteksi bila lebih dari 0,5 ml per menit. Arteriografi dapat dilanjutkan dengan embolisasi terapeutik pada pembuluh darah yang menjadi sumber perdarahan.

Blood Flow Scintigraphy (Nuclear Scintigraphy) Darah pasien diambil dan dilabel dengan zat radioaktif (99m.technitium), kemudian dimasukkan kembali ke dalam tubuh. Darah yang berlabel tersebut akan bersirkulasi dan keluar pada daerah/lokasi lesi. Tehnik ini dilaporkan dapat mendeteksi perdarahan yang relatif sedikit (0,1 ml per menit). Scanning diambil pada jam 1 dan 4 setelah injeksi darah berlabel serta 24 jam setelah itu atau sesuai dengan prakiraan terjadinya perdarahan. Sehingga dapat mendeteksi perdarahan yang bersifat intermiten dengan cara mengambil scanning pada jam-jam tertentu.

Operasi Laparatomi EksplorasiTentunya proses operasi secara langsung dapat mengidentifikasi sumber perdarahan. Tetapi masalahnya adalah kapan tindakan ini akan dilakukan sebagai modalitas diagnostik sekaligus terapeutik, bagaimana pertimbangan toleransi operasi bagi pasien dan sejauh mana kemudahan untuk mengidentifikasi sumber perdarahan durante operasi. Secara nyata dalam praktek penatalaksanaannya di rumah sakit, hal ini sering menimbulkan kontroversi. Keadaan ini membutuhkan koordinasi multidisiplin yang terkait. Pada dasarnya laparatomi eksplorasi diindikasikan bila perdarahan hebat yang tidak dapat diatasi secara konservatif. Perdarahan berulang pada keadaan yang sudah teridentifikasi sumber perdarahan pada pemeriksaan kolonoskopi, arteriografi, atau scanning, juga tidak memerlukan intervensi operasi. Risiko operasi akan menurun bila pada operasi tersebut dapat dilakukan identifikasi sumber perdarahan per kolonoskopik, baik sebelum maupun durante operasi.

h. Tata LaksanaPenatalaksanaan perdarahan SCBB tentunya akan bervariasi tergantung pada penyebab atau lesi sumber perdarahan, dampak hemodinamik yang telah terjadi pada waktu masuk rumah sakit, pola perdarahan yang bersifat akut atau telah berlangsung lama/kronik. Algoritme tata laksana perdarahan SCBB dalam makalah ini, merupakan hasil konsensus dalam beberapa tahapan pertemuan sidang organisasi profesi Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.

Terapi pada Keadaan AkutResusitasiPada prinsipnya proses resusitasi sama dengan perdarahan SCBA atau perdarahan akut lainnya, yaitu koreksi defisit volume intravaskular dan stabilisasi hemodinamik. Pemasangan jalur intravena pada pembuluh besar harus dikerjakan (bukan pada pembuluh vena kecil walaupun diduga perdarahan sedikit). Pada awalnya larutan fisiologis NaCI dapat dipakai untuk mencukupi defisit volume intravaskular.Bila jelas hemodinamik terganggu dan belum ada darah, plasma ekspander dapat dipakai untuk keperluan ini. Kadar Hb dan Ht dapat dipakai untuk parameter kebutuhan transfusi darah dan biasanya transfusi dengan target Hb 10-11 g/dl atau sesuai dengan kondisi sistemik pasien (umur, toleransi kardiovaskular, dan lain-lain). Dapat dipakai whole blood bila masih diperhitungkan perlunya resusitasi volume intravaskular atau red packed cell bila hanya tinggal perlu menaikkan kadar hemoglobin. Bila terdapat defisiensi faktor pembekuan. Kombinasi red packed cell dan fresh frozen plasma dapat menjadi pilihan pertama pada proses resusitasi. Bila terdapat proses gangguan faktor koagulasi lainnya, tentunya harus dikoreksi sesuai kebutuhan.Bila masih diduga adanya perdarahan yang masif berasal dari SCBA, maka pemasangan NGT untuk proses diagnostik harus dipertimbangkan. Aspirat NGT yang jernih, belum menyingkirkan perdarahan bukan berasal dari SCBA.

MedikamentosaPada keadaan perdarahan akut, adanya gangguan hemodinamik, belum diketahui sumber perdarahan, tidak ada studi yang dapat memperlihatkan manfaat yang bermakna dari obat-obatan untuk keadaan ini. Kecuali telah diketahui, misalnya perdarahan akibat pemberian antikoagulan atau pada kasus yang telah diketahui adanya koagulopati. Obat-obat hemostatika yang banyak dikenal dan beredar luas, dapat disepakati saja dipakai (bila jelas tidak ada kontra indikasi pada tahap ini dengan mempertimbangkan cost-effective). Demikian pula obat yang tergolong vasoaktif seperti vasopresin, somatostatin, dan okreotid.

Endoskopi TerapeutikPada keadaan di mana endoskopi mendapat peluang (keadaan dalam lumen kolon cukup bersih) dalam segi identifikasi lesi sumber perdarahan, teknik ini sekaligus dapat dipakai sebagai modalitas terapeutik (bila fasilitas tersedia). Kauterisasi pada lesi angiodisplasia atau tumor kolon, akan mengurangi derajat atau menghentikan proses perdarahan. Polipektomi pada polip kolon yang berdarah dapat bersifat kuratif.

Radiologi IntervensionalDengan teridentifikasinya lokasi perdarahan, durante tindakan dapat diberikan injeksi intraarterial vasopresin yang dilaporkan dapat mengontrol perdarahan pada sebagian besar kasus perdarahan divertikel dan angiodisplasia. Hanya harus diwaspadai efek vasokonstriksi obat tersebut pada sirkulasi tubuh yang lain, terutama sirkulasi koroner jantung. Alternatif lain dari prosedur ini adalah tindakan embolisasi pada pembuluh darah yang menjadi sumber perdarahan teridentifikasi tersebut. Harus diwaspadai kemungkinan terjadinya infark segmen usus terkait akibat prosedur embolisasi tersebut.

SurgikalPada prinsipnya operasi dapat bersifat emergensi tanpa didahului identifikasi sumber perdarahan atau elektif setelah sumber perdarahan teridentifikasi. Tentunya hal ini mempunyai dampak risiko yang berbeda. Operasi emergensi mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi bila dilakukan pada keadaan yang tidak stabil. Kombinasi antara kolonoskopi pre dan durante operasi diharapkan dapat mengurangi waktu operasi yang dibutuhkan.

Hemoroid InternaPenyebab tersering perdarahan SCBB, biasanya ringan, tidak mempengaruhi hemodinamik dan dapat berhenti spontan. Perdarahan biasanya terjadi setelah defekasi, menetes, darah terpisah dari feses. Harus dibedakan dengan tumor atau polip rektum karena tata laksananya sangat berbeda. Terapi konservatif, terapi sklerosing/ligasi, atau surgikal dapat dikerjakan sesuai indikasi yang dikaitkan dengan derajat hemoroidnya. Derajat IV atau adanya trombus memerlukan peran surgikal.

Angioma/Angiodisplasia kolonLokasi terutama di daerah kolon kanan atau sekum, biasanya bersifat multipel. Bila dapat diidentifikasi pada waktu perdarahan, tindakan kauterisasi perendoskopik dapat menghentikan perdarahan pada sebagian kasus. Di samping itu alternatif lain berupa embolisasi selektif waktu dilakukan angiografi. Vasopresin intraarterial dilaporkan cukup bermanfaat dalam menghentikan perdarahan.Divertikulosis KolonBiasanya perdarahan tanpa rasa nyeri, merah segar atau maroon stool, sering bersumber dari kolon bagian kanan. Pada umumnya spontan berhenti dan tidak ada terapi medikamentosa yang spesifik pada sebagian besar kasus. Kekerapan semakin meningkat sesuai umur.

Divertikulum MeckelBiasanya teridentifikasi dengan teknik pemeriksaan skintigrafi. Terapi surgikal merupakan pilihan pertama.

Tumor KolonPerdarahan biasanya sedikit, bercampur feses, bersifat kronik. Jarang menimbulkan permasalahan diagnostik dan terapeutik emergensi.

Kolitis IskemikHarus dipertimbangkan sebagai penyebab hematoskezia, terutama pada usia lanjut atau terdapat gangguan koagulasi atau trombosis. Pada umumnya bermanifestasi bersamaan dengan nyeri perut, terutama setelah makan. Terapi pilihan sesuai dengan penyakit dasarnya.

Kolitis RadiasiAdanya riwayat radiasi (terutama radiasi internal pada karsinoma serviks), harus dipertimbangkan adanya perdarahan SCBB akibat proktitis radiasi. Pengobatannya masih mengecewakan. Steroid dan sukralfat enema dapat dipakai dengan hasil yang bervariasi.

Inflammatory Bowel DiseaseSecara medikal diusahakan dengan 5-ASA dan steroid. Bila perdarahan hebat dapat dilakukan operasi kolektomi.Kolitis InfeksiHematoskezia terjadi bersamaan dengan klinis tanda infeksi SCBB, seperti diare dan nyeri perut. Pengobatannya baku sesuai dengan penyebab dasar. Jarang perdarahan ini menimbulkan gangguan hemodinamik.

BAB IIIKESIMPULAN

A. SIMPULANIdentifikasi letak perdarahan adalah langkah awal yang paling penting dalam pengobatan.Setelah letak perdarahan terlokalisir, pilihan pengobatan dibuat secara langsung dan kuratif. Meskipun metode diagnostik untuk menentukan letak perdarahan yang tepat telah sangat meningkat dalam 3 dekade terakhir, 10-20% dari pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah tidak dapat dibuktikan sumber perdarahannya. Oleh karena itu, masalah yang kompleks ini membutuhkan evaluasi yang sistematis dan teratur untuk mengurangi persentase kasus perdarahan saluran cerna yang tidak terdiagnosis dan tidak terobati.

B. SARANSebaiknya sebagai tenaga kesehatan, terutama dokter layanan primer yang akan menjadi lini pertama pelayanan kesehatan, memiliki pengetahuan, kemampuan dalam pemanfaatan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologis guna membantu menegakkan diagnosis dan memberikan penanganan yang optimal bagi pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Makanan Diet Sehat, sistem pencernaan manusia. Available from: http://makanandietsehat.com/sistem-pencernaan-manusia/.( Accessed 7Mei 2014)2. Sherwood, L. 2011.Fisiologi Manusiadari Sel ke Sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC3. Faradillah, Firman, dan Anita. 2009. Gastro Intestinal Track Anatomical Aspect.Surakarta : Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.4. Price S. Wilson L.2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed 6. Vol 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 5. Guyton, AC dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed: ke-9. Jakarta: EGC6. Dubey, S., 2008. Perdarahan Gastrointestinal Atas. Dalam: Greenberg, M.I., et al. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Greenberg Vol 1. Jakarta: Penerbit Erlangga7. Djumhana A;Hadi S;Abdurachman SA;Wijojo J;Saketi R: Upper GI bleeding in Hasan8. Holster IL, Kuipers EJ. Management of acute nonvariceal upper gastrointestinal bleeding: current policies and future perspectives. World J Gastroenteral. 2012; 18:1207-79. Porter, R.S., et al., 2008. The Merck Manual of Patient Symptoms. USA: Merck Research Laboratories10. de Franchis R. Evolving Consensus in Portal Hypertension Report of the Baveno IV Consensus Workshop on methodology of diagnosis and therapy in portal hypertension -Special report. J Hepatology 2005;43:167-17611. Anand, B.S., Katz, J., 2011. Peptic Ulcer Disease, Medscape Reference, Professor. Department of Internal Medicine, Division of Gastroenterology, Baylor College of Medicine. Available from:http://emedicine.medscape.com/ ( Accessed 23 April 2011) 12. Jutabha, R., et al. 2003. Acute Upper Gastrointestinal Bleeding. Dalam: Friedman, S.L., et al. Current Diagnosis & Treatment in Gastroenterology 2 ed. USA: McGraw-Hill Companies, 53 67. 13. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S. 2007. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia14. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Available From :http://www.dokterbedahherryyudha.com/. (Accesed 29 Juni 2009)15. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Available Form :http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/viewFile/75/78. (Accesed September 2013)