prinsip dasar terapi imunologi - never ending...
TRANSCRIPT
1
Prinsip Dasar Terapi Imunologi
A. Pendahuluan
Dalam 20 tahun terakhir berbagai usaha telah dilakukan untuk mengobati penyakit
kanker dengan cara imunologik. Namun sayang, sampai sekarang cara tersebut belum
memberikan hasil yang efektif, baik yang diberikan secara tunggal atau kombinasi dengan
operasi, kemoterapi, maupun radioterapi. Usaha ini ditujukan untuk memperoleh imunitas
terhadap tumor secara spesifik dengan menggunakan berbagai preparat antigen tumor atau
nonspesifik untuk membantu respons imun terutama makrofag.
Pada penelitian menggunakan hewan percobaan terlihat bahwa respon imun humoral
maupun respon imun seluler terhadap antigen tumor dapat dibangkitkan dan berbagai
mekanisme efektor terbukti dapat membunuh sel tumor in vitro. Rekayasa pada imunologi
berhubungan erat dengan keperluan terapi. Dan sistem imunologi yang dapat digunakan
sebagai pilihan terapi kanker. Rekayasa yang berhubungan dengan sistim imunologi yang
berguna untuk menghadapi sel kanker, antara lain antibodi monoklonal, sitokin termasuk
Lymphokine Activated Killer (LAK) dan Tumor Infiltrating Limphocytes (TILs).
Berdasarkan pada pemahaman mengenai dasar imunologi terhadap kanker maka
dikembangkan berbagai macam imunoterapi dengan berbagai macam mekanismenya yang
diharapkan dapat meningkatkan respon imun tubuh terhadap sel kanker . Interaksi antara
sistem imun dan sel kanker mulai diketahui pada sekitar tahun 1890an.
Dr.William Coley (1862–1936) adaalah seorang ahli bedah tulang yang berasal dari
Amerika, selain itu ia adalah seorang peneliti kanker dan dijuluki bapak kanker imunoterapi.
Coley meneliti kasus sarkoma yang pada seorang pasien bernama Fred Stein, kanker
mengalami perbaikan setelah demam tinggi akibat infeksi erisipelas disebabkan oleh
Streptococcus pyogenes.
Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan untuk mempertahankan
keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
bahan dalam lingkungan hidup. Pertahanan tersebut terdiri atas sistem imun spesifik
(adaptive/acquired) dan non spesifik (natural/innate). Respons imun spesifik bergantung pada
adanya pemaparan benda asing, pengenalan, kemudian reaksi terhadapnya. Sebaliknya,
respons non spesifik terjadi sesudah pemaparan inisial terhadap benda asing. Respons non
spesifik ini tidak bergantung pada pengenalan spesifik. Respons imunologik menjalankan 3
fungsi yaitu pertahanan, homeostasis, dan pengawasan.
2
Fungsi pertama sistem imun adalah pertahanan melawan invasi mikroorganisme. Jika
elemen pertahanan selular berhasil menyebar, maka hospes akan muncul sebagai pemenang
dalam perjuangan melawan mikroorganisme. Akan tetapi, apabila elemen-elemen ini
hiperaktif, tanda-tanda tertentu yang tidak diinginkan seperti alergi, dan hipersensitivitas akan
muncul. Sebaliknya, apabila elemen-elemen ini hipoaktif, kerentanan terhadap infeksi ulang
akan bertambah seperti terlihat pada penyakit defisiensi imun.
Lingkungan kita mengandung banyak sekali mikroba infeksius seperti virus, bakteri,
jamur, protozoa, dan parasit multiselular. Mikroba ini dapat menyebabkan penyakit dan
apabila berkembang secara tidak terkendali dapat membunuh hospesnya. Namun,
kebanyakan infeksi mikroba pada individu normal mempunyai masa hidup yang pendek dan
meninggalkan sedikit kerusakan. Hal ini diakibatkan oleh adanya sistem imun yang melawan
agen infeksius tersebut.
Fungsi kedua, homeostasis memenuhi segala kebutuhan umum dari organisme
multiselular untuk mempertahankan keseragaman jenis sel tertentu. Homeostasis ini
memperlihatkan fungsi degenerasi dan katabolik normal dari isi tubuh dengan pembersihan
elemen-elemen sel yang rusak seperti eritrosit dan leukosit dalam sirkulasi. Elemen-elemen
sel ini mungkin rusak selama perjalanan hidup normal atau sebagai akibat yang merugikan.
Contoh penyimpangan homeostasis adalah penyakit autoimun di mana mekanisme
homeostasis pada penyakit ini terlalu ditingkatkan.
Mekanisme fisiologik imunitas non-spesifik berupa komponen normal tubuh yang
tidak memerlukan induksi oleh paparan mikroba dari luar, meskipun jumlahnya dapat
meningkat akibat infeksi. Mekanisme tersebut tidak menunjukkan spesifitas, dan tidak
tergantung atas pengenalan spesifik bahan asing. Pertahanan tersebut mampu melindungi
tubuh terhadap banyak patogen potensial. Disebut non-spesifik karena tidak ditujukan
terhadap mikroorganisme tertentu, dan memang telah ada dalam tubuh dan siap berfungsi
yang dapat berupa permukaan tubuh dan berbagai komponennya. Sedangkan sistem imun
spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat
memberikan respon.
Fungsi ketiga dari sistem imun masih baru dikenal dan disebut sebagai fungsi
pengawasan diri (surveillance). Fungsi pengawasan ini memonitor pengenalan jenis-jenis sel
abnormal yang secara tetap selalu timbul dalam hidup. Sel-sel mutan ini dapat terjadi
disebabkan oleh pengaruh virus tertentu atau zat-zat kimia. Sistem imun diberi tugas
pengenalan dan pembuangan benda-benda baru yang didapat yang sebagian besar dari tugas
ini terjadi di permukaan sel. Kegagalan mekanisme ini ditetapkan sebagai penyebab utama
3
pekembangan penyakit-penyakit neoplasma. Supaya dapat terjadi fagositosis, partikel bakteri
tersebut harus melekat pada permukaan sel fagosit. Untuk mencapai hal ini maka fagosit
harus bergerak menuju sasaran.
B. Sistem Imun Non Spesifik
Suatu sistem imun terdepan dengan memberikan respons secara langsung terhadap
antigen. Sistem imun ini telah ada dan siap sejak lahir yang terdapat pada permukaan tubuh
dan berbagai komponen dalam tubuh, terbagi atas 4 bagian (Pertahanan fisik dan mekanik,
biokimia, humoral, selular) :
1. Pertahanan fisik dan mekanik
Kulit, selaput lendir, bulu silia saluran nafas, batuk, bersin, yang dapat mencegah
mikroorganisme masuk ke dalam tubuh.
2. Pertahanan biokimia
Keringat dan sekresi sebaseus yang bersifat anti mikroba. Bahan lisozim dalam
keringat, ludah, air mata, air susu yang melindungi tubuh terhadap bakteri. Juga asam
lambung, enzim proteolitik dan empedu dalam usus, pH vagina yang rendah.
3. Pertahanan humoral
a. Komplemen
Berfungsi untuk meningkatkan fagositosis (opsonisasi) dan mempermudah destruksi
sel target dengan aktivitas menghancurkan langsung membran sel, melepaskan bahan
kemotaktik untuk mengarahkan makrofag ke bakteri, mengendap pada permukaan sel target
memudahkan makrofag untuk mengenal (opsonisasi) dan mendestruksi.
b. C Reaktive Protein (CRP)
Yang dibentuk badan saat infeksi yang berguna sebagai opsonin dan dapat
mengaktifkan komplemen.
c. Sitokin
Sitokin merupakan molekul mediator yang mudah larut. Sitokin kadang disebut
monokin bila berasal dari monosit, limfokin berasal dari limfosit, interleukin bila mempunyai
aktivitas dalam leukosit dan interferon dengan aktivitas antiviral.
Cara kerja sitokin melalui reseptor permukaan sel target dan berfungsi secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, dengan sifat lebih satu efek terhadap sel
target (pleiotrofik), autoregulasi (fungsi autokrin), dan terhadap sel yang letaknya jauh
(fungsi parakrin). Secara tidak langsung, dengan sifat menginduksi ekspresi reseptor untuk
4
sitokin lain atau bekerja sama dengan sitokin lain merangsang sel (sinergisme), mencegah
ekspresi reseptor atau produksi sitokin (antagonism),
Fungsi sitokin ini antara lain :
- Aktivasi sel T
- Aktivasi sel B
- Berfungsi dalam inflamasi
- Efek sitotoksisitas : dapat membunuh penyebab infeksi dan sel tumor secara
langsung melalui TNF (Tumor Necrosis Factor) alfa atau tidak langsung melalui sel NK
(Natural Killer)
4. Pertahanan selular
a. Sel fagosit
Salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap antigen, misalnya
bakteri, adalah menghancurkan bakteri yang bersangkutan secara non spesifik dengan proses
fagositosis. Dalam hal ini leukosit yang termasuk fagosit memegang peran penting, khusus
nya makrofag demikian pula neutrofil dan monosit.
C. Sistem Imun Spesifik
Semua vertebra mampu memberikan tanggapan dan menolak benda dan konfigurasi
asing karena memiliki sel-sel khusus yang bertugas untuk mengenali dan membedakan
apakah konfigurasi itu asing atau milik diri sendiri. Sel yang dimaksud adalah sel limfosit.
Konfigurasi asing tadi dinamakan antigen, sedang proses serta fenomena yang menyertainya
dinamakan respon imun. Respon imun spesifik artinya bahwa setiap konfigurasi akan
dihadapi oleh sel atau mediator yang khusus.
1. Pertahanan humoral
Limfosit B berperan dalam imunitas humoral dengan mensintesa dan mensekresi
antibodi. Sel B yang matang dan dapat berespons terhadap antigen ini berasal dari sel pre B
(B Cell Progenitor) dan kemudian berdiffrensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan
sejumlah besar antibodi. Limfosit yang matang setelah berinteraksi dengan antigen, oleh
adanya sinyal rangsangan sel dan sitokin akan berubah menjadi sel yang menghasilkan
antibodi berupa imunoglobulin Ig A, D, E, G, M.
2. Pertahanan seluler
Limfosit T berperan dalam sistem imunitas seluler. Pada orang dewasa sel T dibentuk
dalam sumsum tulang, tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi dalam kelenjar timus. 90-
95% dari semua sel timus mati tinggal 5-10% yang menjadi matang dan meninggalkan timus,
5
sel T belajar mengenal antigen dalam hubungannya dengan jenis Major Histocompatibility
Complex (MHC). Sel T mengenal antigen melalui reseptor antigen permukaan sel, sedangkan
sel B dapat langsung berikatan dengan antigen. Didapati dua subset T yang secara fenotip dan
fungsional berbeda yaitu : Sel T helper (Th) dengan pertanda permukaan CD 4 dan
T sitotoksik (Tc) dengan pertanda pertanda sel CD 8
Sel T CD 4 membantu sel B menghasilkan antibodi dan berinteraksi dengan antigen
yang dipresentasikan oleh APC yang berhubungan dengan molekul MHC kelas II. Sel T CD
8 bersifat sitotoksik (sel yang dapat membunuh target yang membawa antigen) dan mereka
berinteraksi dengan antigen tersebut pada sel target yang berhubungan dengan molekul MHC
klas I. Sel T CD 8 juga mengandung sel Tc yang dapat menghambat fungsi biologis dari
sel B.
Walaupun fungsi biologis primer dari sel Tc adalah untuk melisis sel yang terinfeksi
virus, sel Tc dapat melisis sel tumor secara langsung. Sel Tc mengenali antigen dengan
molekul MHC klas I pada sel tumor melalui reseptor antigen spesifik sel T, yang akan
menuntun kepada rangkaian peristiwa lisis sel target.
Berbeda dengan kebanyakan fungsi tubuh yang biasanya dibawakan oleh suatu organ
yang solid, maka fungsi kekebalan yang dibawakan oleh sistem imun merupakan suatu
kumpulan sel dan molekul yang tersebar diseluruh tubuh kita, namun bekerja sama satu sama
lain secara terkoordinir, peranan yang jelas terlihat adalah pada proses infeksi, dimana terjadi
invasi mikroba. Selain itu telah dibuktikan pula adanya peranan sistem imun dalam eliminasi
sel tumor. Gangguan sistem imun yang berakibat ketidak-seimbangan respons imun juga
dapat menimbulkan kelainan seperti terlihat pada reaksi hipersensitivitas atau alergi dan
penyakit autoimun.
D. Respon Imun Humoral
Respon imun humoral dilaksanakan oleh sel B dan produknya, yaitu : antibodi, dan
berfungsi dalam pertahanan terhadap mikroba ekstraseluler. Respon ini diawali dengan
diferensiasi limfosit B menjadi sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi
spesifik ke dalam darah. Pada respon humoral juga berlaku respon primer yang membentuk
sel memory. Setiap limfosit diprogramkan untuk memproduksi satu jenis antibodi spesifik
terhadap antigen tertentu (clonal selection). Antibodi ini berikatan dengan antigen
membentuk kompleks antigen-antibodi yang dapat mengaktivasi komplemen. Agar limfosit B
berdiferensiasi dan membentuk antibodi diperlukan peran sel T helper. Makrofag akan
memberikan sinyal ke sel T untuk merangsang sel B membentuk antibodi. Selain oleh sel Th,
6
produksi antibodi juga diatur oleh sel T suppressor, sehingga produksi antibodi seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan.
E. Rekayasa Immunologi Humoral
Rekayasa immunologi pada kanker terbagi dua yaitu aktif dan pasif imunoterapi.
Yang termasuk pasif imunoterapi pemakaian reagen anti tumor yang dibiakkan secara in vitro
seperti antibodi monoklonal atau sitokin. Ada lagi yang disebut dengan adoptive selular
terapi yaitu pemakaian efektor seperti lymphokine activated effector cell ataupun tumor
infiltrating lymphocyte.
Alasan utama pendekatan imunologi pada terapi kanker adalah bahwa terapi kanker
yang saat ini digunakan memakai obat-obatan yang membunuh atau menghambat
pembelahan sel, mempunyai efek yang berat pada sel normal. Sehingga terapi kanker
menyebabkan morbiditas yang tinggi. Sebaliknya respon imun terhadap tumor bersifat
spesifik pada antigen tumor sehingga tidak menyebabkan jejas pada sebagian besar sel
normal. Oleh karenanya imunoterapi merupakan terapi tumor yang spesifik. Imunoterapi
tumor bekerja dengan cara mengaktifkan respon imun host terhadap tumor (imunitas aktif)
atau pemberian antibodi spesifik terhadap tumor atau sel T (imunitas pasif).
Lymphokine Activated Killer Cell
Lymphokine activated killer cells (LAK) diproduksi in vitro dengan jalan
membiakkan sel limfosit dari penderita (atau yang diperoleh dari tumor) dengan IL-2.
Selanjutnya limfosit tersebut diinfuskan kembali kepada penderita.
Mesin elektroforesis digunakan untuk mengeluarkan limfosit dari penderita. Limfosit
ini kemudian dirangsang dengan IL-2, dan ini akan mengubah limfosit menjadi sel LAK,
yang mampu menghancurkan sel kanker tetapi tidak sel normal. Sel LAK ini bersama IL-2
diinfuskan kembali ke badan pasien sehingga akan merangsang sel LAK dalam waktu
singkat. Pengembangan rekayasa genetik IL-2 rekombinan ini memungkinkan penggunaan
secara klinis. Terbukti bahwa pemberian sel LAK bersamaan IL-2 dapat menyebabkan
regresi massa metastase berbagai neoplasma manusia.
Yang menarik adalah peran sel NK yang diaktifkan dengan stimulasi IL-2 dalam
membunuh sel tumor. Sel itu disebut dengan lymphokine activated killer cells (LAK cells)
dapat diperoleh secara in vitro dengan memberikan IL-2 dosis tinggi pada biakan sel limfosit
darah perifer atau sel tumor infiltrating lymphocytes (TIL) yang berasal dari penderita
kanker. Sel-sel yang diaktifkan oleh limfokin ini (LAK cells) menunjukkan peningkatan
7
aktivitas sitotoksis yang sangat jelas. Besar kemungkinan bahwa sel LAK dapat digunakan
dalam imunoterapi.
Tumor Infiltration Lymphocytes
Sebagai alternatif , telah dipertimbangkan penggunaan antigen spesifik autologus
limfosit T untuk menunjukkan target tumor dan menekan toksisitas hospes. Tumor infiltrating
lymphocyte (TIL) secara langsung melawan melanoma telah dipelajari dalam suatu uji klinik
dan menunjukkan kemampuan menentukan lokasi tumor, dan mengkonfirmasi antigen
spesifik TIL dibandingkan dengan LAK.
Beberapa sitokin ini memiliki aktivitas anti tumor pada tumor tertentu. Interferon
(IFN) telah diteliti dapat menghambat proliferasi sel, meningkatkan ekspresi gen dan
merangsang proliferasi dan sitotoksitas dari sel T sitotoksik dan sel NK. Interleukin 2 (IL-2)
merangsang proliferasi dari limfosit T, sel NK. sel limphokine-activated killer" (LAK) dan
tumor infiltrating lymphocytes (TILs), IL-2 digunakan dengan LAK atau dengan TILs.
Adapun efek samping utama penggunaan IL-2 adalah ”capillary-leak syndrome" hasil dari
hipotensi, kehilangan berat badan, edema pulmonum dan edema perifer. Interleukin 4 (IL- 4)
dapat meningkatkan proliferasi limfosit T dan B. Interleukin 12 (IL-12) menunjukkan
aktifitas anti tumor dengan menyebabkan proliferasi limfosit T dan sel NK.
Penelitian klinik yang sudah dilakukan adalah pemberian IL-2 dosis tinggi atau
dengan kombinasi imunoterapi adoptif seluler. Setelah pemberian IL-2 jumlah limfosit T dan
B dan sel NK darah meningkat. Diduga IL-2 bekerja dengan cara menstimulasi proliferasi
dan aktivitas sel NK dan CTLs.
Imunoterapi pasif
Imunoterapi pasif yaitu transfer efektor imun, termasuk tumor-specific sel T dan
antibodi, kepada pasien. Imunisasi pasif pada tumor cepat timbul tetapi efek imunitas yang
ditimbulkannya tidak lama.
Terapi seluler adoptif
Imunoterapi seluler adoptif adalah transfer sel imun yang telah dikultur yang
mempunyai reaktifitas antitumor, kepada host yang mengandung tumor. Sel yang ditransfer
berasal dari limfosit pasien tumor. Salah satu protokol imunoterapi seluler adoptif adalah
pembuatan sel limfokine activated killer (LAK) dengan cara mengeluarkan darah perifer dari
8
tumor pasien, kemudian mengkultur sel-sel tersebut dengan konsentrasi IL-2 yang tinggi, dan
menginjeksi sel LAK kembali ke pasien.
Gambar 1. Terapi seluler adoptif.
Pada terapi ini, limfosit diisolasi dari darah tumor pasien, yang kemudian dikultur dengan
IL-2. Hasil kultur ini kemudian diinfus kembali ke pasien.
Seperti yang telah diketahui, sel LAK berasal dari sel NK. Terapi adoptif dengan sel
LAK autolog dengan kombinasi pemberian obat IL-2, meningkatkan regresi tumor pada
hewan coba. Namun, percobaan terapi sel LAK belum dapat dilakukan pada kasus tumor
yang metastasis, dan efikasi terapi ini sangat bervariasi pada tiap pasien. Variasi ini adalah
dalam hal isolasi tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dari infiltrat sel radang yang terdapat
di dalam dan sekeliling tumor yang diambil dari spesimen hasil reseksi operasi, dan
banyaknya TILs yang tumbuh pada kultur IL-2. Pendekatan ini dilakukan karena TILs dapat
meningkatkan CTLs yang spesifik terhadap tumor dan untuk aktifasi sel NK. Penelitian terapi
dengan memakai TILs pada manusia masih sedang berlangsung.
9
F. Terapi Selular
Granulosit bergranula besar (large granular lymphocyte = LGL), sel-sel NK, dan sel-
sel LAK (lymphokine-activated killer cell) termasuk keluarga efektor non-Major
Histocompatibility Complex yang mengenal dan melisis berbagai tumor. Yang terpenting, sel-
sel karsinoma ovarium baik yang sensitif maupun resisten terhadap kemoterapi, mengalami
lisis yang diperantarai oleh LAK atau diaktivasi oleh makrofag. Namun sayang, sel-sel
efektor yang teraktivasi gagal menentukan lokasi dalam tumor setelah mengalami transfer.
Bahkan, dosis tinggi secara sistemik Ril-2 diperlukan untuk memacu respons antitumor dan
masa hidup yang panjang dari LAK setelah ditransfer menghasilkan toksisitas yang
bermakna. Berdasarkan faktor-faktor tersebut dan kecenderungan kanker ovarium tersisa
dalam kavum peritonium, hanya sedikit pasien dengan kanker ovarium yang menerima LAK
dan IL-2 secara sistemik.
Terapi regional dengan LAK dan rIL-2 merupakan strategi untuk memfokuskan
perhatian terhadap respons antitumor danmenurunkan toksisitas sismik. Farmakokinetik IL-2
yang baik tampak pada pasien-pasien kanker ovarium dengan adanya bukti aktivasi LAK.
Hasil pemberian LAK dan rIL-2 secara intraperitoneal telah dilaporkan pada 20 pasien
kanker ovarium yang refrakter pada 2 pusat penelitian. Toksisitas memberikan hasil yang
hampir sama pada pemberian IL-2 secara sistemik, kecuali rasa sakit akibat iritasi peritoneal,
asites, dan fibrosis peritoneal dengan perlengketan yang membatasi hasil pengobatan.
Mediator yang terlibat pada proses fibrosis dan inflamasi peritoneal bersifat multifaktorial,
dan mungkin kesulitan untuk mengatasinya tanpa mengurangi potensial terapinya. Aktivitas
LAK intraperitoneal dapat dipelihara selama durasi pengobatan untuk masing-masing siklus.
Induksi sekunder Interferon-y (IFN-y) cukup untuk mengaktivasi makrofag peritoneal insitu.
Berdasarkan suatu uji random terhadap terapi sistemik, penggunaan sitokin dosis tinggi
cukup menunjukan dukungan terhadap efek antitumor dari LAK dan IL-2. Penelitian lebih
lanjut tentang hal tersebut dibatasi oleh toksisitas dan mahalnya biaya yang diperlukan.
Sebagai alternatif, telah dipertimbangkan penggunaan antigen spesifik autologus
limfosit-T untuk menunjukkan target tumor dan menekan toksisitas hospes. Tumor
infiltrating lymphocyte (TIL) secara langsung melawan melanoma autologus telah dipelajari
dalam suatu uji klinik dan menunjukkan kemampuan menentukan lokasi tumor, dan
mengonfirmasi antigen spesifik TIL dibandingkan dengan LAK. Sedikit informasi yang ada
berkaitan dengan antigen spesifik limfosit dari tumor-tumor selain melanoma seperti kanker
ovarium. Jalur pengklonan dari tumor atau cairan asites kanker ovarium secara umum adalah
CD3+
dengan ekspresi bervariasi CD4 dan CD8. Meskipun beberapa klon menunjukan
10
aktivitas seperti sel NK, sebagian dari klon secara dominan menunjukkan fungsi melisis sel-
sel kanker ovarium autologus dan dapat menghambat dengan antibodi secara langsung
melawan reseptor sel T. jika TIL terkandung dalam tumor solid ovarium dan kemudian
dikultur dengan rIL-2 konsentrasi tinggi (1.000U/mL) mayoritas sel-selnya adalah CD3+
tetapi tanpa aktivitas lisis antitumor secara spesifik. Teknik kultur menggunakan IL-2
konsentrasi lemah dan/atau sensitisasi in vitro dengan tumor autologus atau kerja sama
dengan rTNF-a mungkin menghasilkan kesuksesan dalam menstimuli pertumbuhan sel-sel
efektor antigen spesifik.
G. Imunologi Tumor
Keseimbangan dalam tubuh akan berubah bila suatu sel mengalami tranformasi
maligna. Sel yang mengalami transformasi maligna dapat menimbulkan respons sistim imun.
Karena pada sel-sel tersebut selain terjadi perubahan fenotipik sel normal, juga terjadi
hilangnya komponen antigen permukaan yang tidak ditemukan pada sel normal atau
perubahan lain pada membran sel. Imunitas seluler lebih banyak berperan dibanding imunitas
humoral dalam menghadapi tumor
Di bidang penyakit kanker, khususnya kanker ginekologi, penelitian imunologi
ditunjukan pada upaya diagnosis dan terapi. Teknologi monoklonal telah mengubah
pengertian tentang pengorganisasian dan regulasi respon imun. Pengkloningan gen untuk
reseptor antigen, molekul perekat sel permukaan, dan protein pembawa sinyal telah
menambah pemahaman tentang imunitas pada tingkat selular dan subselular. Perkembangan
yang pesat pada bidang ini telah menimbulkan pemahaman baru tentang heterogenitas sel
yang terlibat pada sistem imun untuk memberikan signal mulai bekerjanya sistem imun dan
faktor-faktor yang mengatur pertumbuhan sel. Sistem imum terlibat dalam kanker, hal ini
bisa dilihat pada beberapa keadaan, misalnya regresi spontan kanker, insidens kanker yang
meningkat pada penderita imunodefisiensi. Salah satu sub bidang dari imunologi adalah
tumor imunologi.
Selama 25 tahun terakhir terjadi perkembangan yang sangat pesat dalam bidang
imunologi. Hal ini ditandai oleh penemuan molekul-molekul yang berperan dalam sistem
imun seperti komplemen, interleukin, reseptor sel, dan gen respons imun yang berhubungan
dengan major histocompatibility complex ( MHC).
11
1. Imunitas Seluler Pada Kanker
Limfosit T
Sebelum ditemukannya antibodi monoklonal, cara yang digunakan untuk
membedakan populasi limfosit T dari limfosit B adalah dengan mereaksikan suspensi limfosit
dengan eritrosit domba, karena sel T dapa membentuk roset dengan eritrosit domba secara
spontan, sifat ini tidak dimiliki oleh sel B. Berkat adanya antibodi monoklonal kemudian
terungkap bahwa molekul pada permukaan sel T yang dapat mengikat eritrosit domba
tersebut terdiri molekul glikoprotein yang berfungsi sebagai reseptor sel T (TCR)
Agar TCR dapat berfungsi, ekspresi TCR selalu harus disertai ekspresi CD3 atau
dalam bentuk kompleks dengan CD3. kalau fungsi TCR adalah mengikat antigen, maka
fungsi CD3 adalah meneruskan sinyal dari membran plasma ke nukleus sehingga sel T
menjadi aktif. Sel T merupakan 65-80% dari jumlah limfosit yang ada dalam sirkulasi.
Maturasi timosit melibatkan beberapa fase dimana sinyal-sinyal yang diberikan oleh faktor
pertumbuhan , molekul adesi dan TCR, dan berbagai faktor nuklear, mengatur proses
pematangan dan diferensiasi dan menentukan sel mana yang akan meninggalkan kelenjar
timus setelah ia matang.
Pada sistem immunitas spesifik seluler, Limposit T sangat berperan. Pada orang
dewasa sel T dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi porliferasi dan diferensiasinya terjadi
dalam kelenjar thymus. Selama proses maturasi di thymus, sel T belajar mengenal antigen
dalam hubungannya dengan jenis Major Histocompatibility Complec (MHC).
Sel T mengenal antigen melalui reseptor antigen permukaan sel, sedang sel B dapat
langsung berikatan dengan antigen. Ada 2 subset T yang secara fenotip dan fungsional
berbeda, yaitu :
1. Sel T helper dengan petanda permukaan CD4
2. Sel T supresor dan T sitotoksik dengan petanda permukaan CD8
Sel T CD4 akan membantu sel B hasilkan antibodi, dan berinteraksi dengan antigen
yang dipresentasikan oleh APC yang berhubungan dengan molekul MHC II. Sel T CD4 juga
berfungsi sebagai sel helper terhadap sel T lain. Sel T CD8 bersifat sitotoksik, maksudnya
sel tersebut dapat membunuh target yang membawa antigen dan merka berinteraksi dengan
antigen tersebut pada sel target yang berhubungan dengan molekul MHC I. Sel T CD 8 juga
mengandung sel T supresor yang dapat menghambat fungsi biologis dari sel B atau sel T
lainnya. Jadi sel T sitotoksik (CD4) mengenali antigen spesifik melalui peran dari MHC kelas
II sedangkan sel T helper (CD8) mengenali antigen melalui peran MHC kelas I.
12
Limfosit B
Sel B adalah sel yang bertanggung jawab atas pembentukan imunoglobulin (Ig) dan
merupakan 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi darah. Sel B masih belum pernah terpapar
terdapat pada sumsum tulang, umumnya menunjukkan respon yang lebih lambat dibanding
dengan sel B yang terdapat pada jaringan limfoid primer. Setelah terdapat rangsangan
antigen, limfosit B akan mengalami perkembangan melalui 2 jalur , yaitu :
1. Berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menbentuk imunoglobulin
2. Membelah lalu kembali dalam keadaan istirahat sebagai sel memori. Dimana sel
memori adalah sel yang mengekspresikan sIg, proliferasinya tergantung pada sel T. Sel
memori ini berperan dalam respon imun sekunder.
Interaksi sel T dan sel B sangat penting untuk pembentukan sel B memori dan ikatan
CD4 pada permukaan sel B merupakan hal yang penting. Untuk mempertahankan sel memori
diperlukan interaksi terus menerus dengan sel CD4. Sebagian besar sel B memori diduga
mengalami class switching dan lebih sensitif terhadap rangsangan antigen. Rangsangan
berikutnya pada sel B akan menimbulkan reaksi anamestik dan menyebabkan sel B
berproliferasi menjadi sel plasma yang mensekresikan imunglobulin spesifik yang sebagian
besar adalah IgG. Sel B memori dapat dapat mengenal antigen dan berinteraksi dengan
afinitas yang tinggi walaupun kadar antigen sangat rendah. Hal ini disebabkan sel B memori
mempunyai sIg yang berfungsi sebagai reseptor spesifik untuk antigen. Dengan proses
endositosis antigen yang ditangkap oleh sIg tersebut masuk ke dalam sitoplasma hanya
dalam waktu beberapa menit dan kemudian diproses menjadi peptida-peptida. Melalui
mekanisme eksositosis fragmen antigen tersebut bersama-sama dengan MHC kelas II
disajikan pada limfosit T, sehingga dengan demikian sel B juga dapat berfungsi sebagai
antigen presenting cell.
Sel NK (Natural Killer)
Sebagian limfosit tidak mempunyai antigen permukaan seperti yang dimiliki oleh
limfosit T maupun limfosit B, karena itu dahulu populasi sel ini disebut dengan null cell,
walaupun kemudian ternyata bahwa sel itu mempunyai reseptor untuk Fc. Sel-sel ini bersifat
non fagositik, non aderen dan secara fenotip berbeda dengan sel T mupun B, yaitu tidak
memiliki CD3/TCR maupun sIg. Untuk membedakannya dengan sel T maupun sel B, sel ini
memiliki penanda permukaan CD16 (yang merupakan reseptor untuk Fc) dan CD 56. Ciri
permukaan CD16 atau CD56, saat ini digunakan untuk memastikan bahwa sel itu adalah
13
sel NK. Sel ini dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa sensitisasi terlebih dahulu
tanpa bergantung pada produk-produk MHC, karena itu disebut dengan NK (natural killer).
Selain tidak dikendalikan oleh MHC, sel ini juga tidak berinteraksi dengan sel sasaran
melalui reseptor sel T (TCR) seperti halnya sel T. Sel NK memegang peran penting dalam
dalam pertahanan alamiah terhadap pertumbuhan sel kanker dan berbagai penyakit infeksi
virus. Sebagian besar sel NK dapat berfungsi sebagai sel yang membunuh sel sasaran yang
terinfeksi virus dan sel sasaran lain yang dilapisi dengan Ig sehingga sel NK berfungsi
sebagai sel sitotoksik yang bergantung pada antibodi (antibody dependent cell mediated
cytotoxicity : ADCC). Lisis sel sasaran oleh sel NK dapat terjadi dalam beberapa menit
setalah terpapar dengan sel sasaran. Mekanisme sitolisis berlangsung dalam 4 tahap, mirip
dengan sel efektor yan lain, yaitu :
1. Pengikatan sel target
2. Aktivasi sel efektor melalui sinyal dan transduksi sinyal
3. Melancarkan serangan pada sel target
4. Pelepasan sel NK dari sel target dan siklus ulangan
Sel Fagosit
Istilah reticulo endothelial system (RES) adalah istilah lama yang merupakan sebutan
kolektif untuk semua sel fagosit yang dapat hidup lama di seluruh jaringan tubuh. Sekarang
sistem tersebut disebut dengan sistem fagosit makrofag. Sebenarnya dalam sistem fagosit
dikenal 2 kelompok sel yaitu sel mononuklear yang diperankan oleh sel makrofag dan sel
polimorfonuklear yang diperankan oleh neutrofil dan eosinofil.
Sel Monosit
Asal fagosit mononuklear adalah sel asal dalam sumsum tulang. Sesudah
berproliferasi dan menjadi matang, sel tersebut masuk ke dalam peredaran darah. Di dalam
sirkulasi sel ini disebut monosit yang berfungsi sebagai sel fagosit
Sel Makrofag
Setelah 24 jam sel monosit akan bermigrasi ke sirkulasi darah ke menuju tempat
tujuan di berbagai jaringan dan disana berdiferensiasi menjadi makrofag. Sebagai contoh
disini adalah sel Kuppfer di liver..
Makrofag memiliki reseptor yang dapat mengenal antigen non self sweperti reseptor
manosa yang mengikat LPS. Menurut fungsinya makrofag dapat dibagi menjadi 2 golongan,
14
ayitu fagosit profesional dan yang satu lagi adalah makrofag yang berfungsi sebagai antigen
presenting cell
Bila fagosit terpapar oleh partikel , maka partikel tersebut akan ditangkap dan ditelan
dengan bantuan membran selnya . opsonin dalam plasma dan cairan jaringan meningkatkan
proses tersebut. Bila partikel sudah ditelan, membran menutup, partikel digerakkan ke
sitoplasma sel dan terbentuk vakuol fagosit dan fagosom. Lisosom adalah kantong dengan
enzim bersatu dengan fagosom membentuk fagolisosom.
Di dalam fagolisosom, bahan yang ditelan tadi dicerna oleh enzim yang terkandung
dalam granul lisosom. Isi granul lisosom adalah penting untuk memecah bahan yang telah
ditelan tadi. Isi granul nmenghancurkan bahan asing terutama melalui enzimnya seperti
enzim hidrolitik. Enzim-enzim tersebut dapat mencerna komponen membran sel bakteri.
Beberapa enzim dapat merusak protein mantel atau envelop membran virus.
Neutrofil
Netrofil merupakan 70% dari jumlah lekosit dalam sirkulasi. Biasanya hanya berada
dalam sirkulasi kurang dari 48 jam sebelum bermigrasi . Butir-butir azurofilik primer
(lisosom) mengandung hidrolase asam , mieoloperoksidase dan neutromidase, sedang butir-
butir sekunder atau spesifik mengandung laktoferin dan lizosim. Neutrofil mempunyai
reseptor untuk fraksi Fc antibodi (Fcγ-R) dan komplemen.
Eosinofil
Eosinofil merupakan 2-5% dari sel darah putih orang sehat tanpa alergi. Seperti
neutrofil, eosinofil juga berfungsi sebagai fagosit . Eosinofil dapat pula dirangsang untuk
degranulasi seperti halnya pada sel mast dan basofil dan melepas mediator. Salah satu dari
mediator tersebut adalah arilsulfatase dan histaminase yang dapat menginaktifkan histamin
sehingga eosinofil pernah dianggap sebagai sel peredam alergi. Mediator-mediator yang
dilepas oleh sel mast/basofil berperan pada reaksi alergi.
Eosinofil mengandung berbagai granul seperti major basic protein (MBP), eosinofilic
cationic protein (ECP) daan eosinofilic peroxidase (EPO) yang bersifat toksisk dan dapat
menghancurkan sel sasaran bila dilepas. Eosinofil dapat mengikat skistosoma yang dilapisi
IgE untuk kemudian melalui degranulasi melepaskan protein yang toksik. Oleh karena itu
eosinofil diduga berperan pada imunitaws parasit. Eosinofil memiliki berbagai reseptor antara
lain untuk IgE dengan afinitas yang lemah seperti halnya dengan sel mast dengan afinitas
yang kuat.
15
2. Terapi Selular
Granulosit bergranula besar (large granular lymphocyte = LGL), sel-sel NK, dan sel-
sel LAK (lymphokine-activated killer cell) termasuk keluarga efektor non-Major
Histocompatibility Complex yang mengenal dan melisis berbagai tumor. Yang terpenting,
sel-sel karsinoma ovarium baik yang sensitif maupun resisten terhadap kemoterapi,
mengalami lisis yang diperantarai oleh LAK atau diaktivasi oleh makrofag. Namun sayang,
sel-sel efektor yang teraktivasi gagal menentukan lokasi dalam tumor setelah mengalami
transfer. Bahkan, dosis tinggi secara sistemik Ril-2 diperlukan untuk memacu respons
antitumor dan masa hidup yang panjang dari LAK setelah ditransfer menghasilkan toksisitas
yang bermakna. Berdasarkan faktor-faktor tersebut dan kecenderungan kanker ovarium
tersisa dalam kavum peritonium, hanya sedikit pasien dengan kanker ovarium yang menerima
LAK dan IL-2 secara sistemik.
Terapi regional dengan LAK dan rIL-2 merupakan strategi untuk memfokuskan
perhatian terhadap respons antitumor danmenurunkan toksisitas sismik. Farmakokinetik IL-2
yang baik tampak pada pasien-pasien kanker ovarium dengan adanya bukti aktivasi LAK.
Hasil pemberian LAK dan rIL-2 secara intraperitoneal telah dilaporkan pada 20 pasien
kanker ovarium yang refrakter pada 2 pusat penelitian. Toksisitas memberikan hasil yang
hampir sama pada pemberian IL-2 secara sistemik, kecuali rasa sakit akibat iritasi peritoneal,
asites, dan fibrosis peritoneal dengan perlengketan yang membatasi hasil pengobatan.
Mediator yang terlibat pada proses fibrosis dan inflamasi peritoneal bersifat multifaktorial,
dan mungkin kesulitan untuk mengatasinya tanpa mengurangi potensial terapinya. Aktivitas
LAK intraperitoneal dapat dipelihara selama durasi pengobatan untuk masing-masing siklus.
Induksi sekunder Interferon-y (IFN-y) cukup untuk mengaktivasi makrofag peritoneal insitu.
Berdasarkan suatu uji random terhadap terapi sistemik, penggunaan sitokin dosis tinggi
cukup menunjukan dukungan terhadap efek antitumor dari LAK dan IL-2. Penelitian lebih
lanjut tentang hal tersebut dibatasi oleh toksisitas dan mahalnya biaya yang diperlukan.
Sebagai alternatif, telah dipertimbangkan penggunaan antigen spesifik autologus
limfosit-T untuk menunjukkan target tumor dan menekan toksisitas hospes. Tumor
infiltrating lymphocyte (TIL) secara langsung melawan melanoma autologus telah dipelajari
dalam suatu uji klinik dan menunjukkan kemampuan menentukan lokasi tumor, dan
mengonfirmasi antigen spesifik TIL dibandingkan dengan LAK. Sedikit informasi yang ada
berkaitan dengan antigen spesifik limfosit dari tumor-tumor selain melanoma seperti kanker
ovarium. Jalur pengklonan dari tumor atau cairan asites kanker ovarium secara umum adalah
CD3+ dengan ekspresi bervariasi CD4 dan CD8. Meskipun beberapa klon menunjukan
16
aktivitas seperti sel NK, sebagian dari klon secara dominan menunjukkan fungsi melisis sel-
sel kanker ovarium autologus dan dapat menghambat dengan antibodi secara langsung
melawan reseptor sel T. jika TIL terkandung dalam tumor solid ovarium dan kemudian
dikultur dengan rIL-2 konsentrasi tinggi (1.000U/mL) mayoritas sel-selnya adalah CD3+
tetapi tanpa aktivitas lisis antitumor secara spesifik. Teknik kultur menggunakan IL-2
konsentrasi lemah dan/atau sensitisasi in vitro dengan tumor autologus atau kerja sama
dengan rTNF-a mungkin menghasilkan kesuksesan dalam menstimuli pertumbuhan sel-sel
efektor antigen spesifik.
3. Antibodi
Imunoglobulin dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat
kontak dengan antigen. Bila darah dibiarkan membeku akan meninggalkan serum yang
mengandung berbagai bahan larut tanpa sel. Bahan larut tersebut adalah molekul antibodi
yang digolongkan dalam protein yang disebut globulin dan sekarang dikenal sebagai
imunglobulin. Dua cirinya yang penting ialah spesifitas dan aktivitas biologik.
Antibodi yang terbentuk secara spesifik ini akan mengikat antigen baru lainnya yang
sejenis. Bila serum protein tersebut dipisahkan dengan cara elektroforesis, maka
imunoglobulin ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin gama, meskipun ada beberapa
imunoglobulin yang juga ditemukan dalam fraksi globulin alfa.
Namun demikian aktivitas biologinya sebagian besar terletak pada komponen
polipeptidanya. Fungsi Ig disamping mengikat antigen, tetapi secara tidak spesifik dapat
mengikat komplemen serta mengikat permukaan mastosit sehingga terjadi pelepasan bahan
histamin.
Sebuah molekul Immunoglobulin monomer terdiri dari 4 rantai polipeptida yang
masing masing diikat melalui ikatan disulfida. Unit dasar ini terdiri atas sepasang rantai
panjang dan rantai pendek polipeptida. Rantai panjang dan rantai pendek terdiri dari
rangkaian asam amino. Rantai panjang disebut rantai H atau heavy chain mempunyai BM dua
kali lipat dari rantai pendek atau rantai L atau Light chain. Penggal penggal rangkaian asam
amino dipisahkan oleh ikatan sulfida intra rantai yang dinamakan domain
Dalam setiap rantai terdapat 2 regio, yaitu regio Variabel (regio V), merupakan ujung
dengan rangkaian asam aminonya tidak tetap (beragam) dan berada dekat gugus NH2,
sedangkan regio Constan (regio C) merupakan daerah dengan rangkaian asam amini yang
tetap dan berada dekat gugus COOH. Pada regio V terjadi iktan antibodi-antigen yang disebut
epitop.
17
Bila molekul immunoglobulin dibubuhi enzim papain, maka molekul tersebut terputus
pada rantai H didepan ikatan disulfida sehingga pecah menjadi 2 Fragmen Fab dan sebuah
Fragmen Fc. Setiap Fragmen Fab masih tetap mampu mengikat antigen sedang fragmen Fc
masih tetap dapat terikat pada reseptor Fc pada permukaan sel.
Berdasarkan struktur rantai H, antibodi dibedakan menjadi 5 kelas, yaitu IgG, Ig A,
Ig M, IgD, IgE. Molekul Immunoglobulin mempunyai lebih dari satu fungsi, yang masing
masing dilaksanakan oleh bagian tertentu dari molekul tersebut.
1. Sebagai antibodi mengikat antigen atau epitop penyebab timbulnya respons immun
bersangkutan. Fungsi ini dilakukan pada regio V dari rantai H dan rantai L.
2. Mengikat reseptor pada membran mastosit sehingga timbul degranulasi yang dapat
menimbulkan gejala alergi, juga dapat mengaktifkan komplemen karena dapat
mengikat molekul komponen komplemen, dan juga dapat menembus plasenta.
Semua fungsi ini dilaksanakan oleh bagian molekul Fc.
Mekanisme kerja antibodi dalam rangka mempertahankan tubuh terhadap agen
penyakit, antibodi akan bekerja mematikan aktivitas agen penyebab penyakit melalui
Aglutinasi, Presipitasi, Netralisasi dan Lisis.
Berbagai partikel besar dengan antigen pada permukaan seperti bakteri terikat
bersama sama menjadi satu kelompok, hal ini merupakan mekanisme aglutinasi. Sedangkan
Kompleks Ag-AB demikian besar sehingga tidak larut, membentuk presipitat, mekanisme ini
disebut Presipitasi. Netralisasi adalah antibodi menutupi tempat yang toksik dari agen yang
bersifat antigenik. Sedangkan Lisis adalah antibodi yang menyerang membran sel agen
hingga robek.
4. Antigen
Secara fungsional antigen dapat dibagi menjadi imunogen dan hapten. Imunogen
adalah bahan yang dapat menimbulkan respon imun sedangkan hapten adalah molekul yang
dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada secara langsung tetapi tidak dapat
merangsang pembentukan antibodi secara langsung. Yang dimaksud dengan antigen adalah
bahan yang dapat merangsang respon imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi
yang sudah ada. Hapten merupakan determinan antigen dengan berat molekul yang kecil dan
baru menjadi imunogen bila diikat oleh protein pembawa (carrier) besar. Contoh hapten ialah
berbagai golongan antibiotik dan obat lain dengan berat molekiul yang kecil. Hapten
biasanya dikenal oleh sel B sedangkan carrier oleh sel T.
18
Hapten merupakan determinan antigen dengan berat molekul yang kecil dan baru
menjadi imunogen bila diikat oleh protein pembawa (carrier) besar. Carrier sering digabung
dengan hapten dalam usaha imunisasi. Hapten membentuk epitop pada molekul carrier yang
dikenal sistem imun dan merangsang pembentukan antibodi.
Epitop atau determinan antigen adalah bagian antigen yang dapat menginduksi
pembentukan antibodi dan dapat diikat dengan spesifik oleh bagian dari antibodi atau
reseptor pada limfosit. Yang disebut dengan paratop ialah bagian dari antibodi yang mengikat
epitop.
Menurut kimiawinya antigen dapat dibagi menjadi :
1. Hidrat arang (polisakarida). Hidrat arang pada umumnya bersifat imunogenik.
Glikoprotein yang merupakan bagian permukaan sel banyak mikroorganisme dapat
menimbulkan respon imun terutama pembentukan antibodi. Contoh lain adalah respon
imun yang ditimbulkan golongan darah ABO yang sifat antigen dan spesifitas imunnya
berasal dari polisakarida pada permukaan sel darah merah
2. Lipid. Lipid biasanya tidak imunogenik tetapi menjadi imunogenik bila diikat protein
pembawa (carrier). Lipid dianggap sebagai hapten, contohnya adalah sfingolipid
3. Asam nukleat. Asam nukleat tidak imunogenik, tetapi dapat menjadi imunogenik bila
diikat protein pembawa. DNA dalam bentyuk heliks biasanya tidak imunogenik.
Respon imun terhadap DNA terjadi pada penderita SLE
4. Protein. Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umumnya multideterminan
dan univalen.
Sistem imun bersifat dapat membedakan agen self atau nonself dan hanya
memberikan respon terhadap paparan antigen nonself. Jaringan tumor mengekpresikan
antigen yang dikenali sebagai molekul asing oleh sisten imun individu yang bersangkutan (
host). Jaringan tumor walaupun tumbuh dari jaringan self, tapi komponen selnya telah
mengalami perubahan sehingga berbeda dari jaringan normal dan akan dikenali sistem imun
sebagai nonself.
19
H. Respon imun terhadap tumor
Gambar 2 . Respon imun terhadap sel tumor
Antigen Presenting Cell (APC) memberikan kostimulator yang menghasilkan sinyal
untuk CD8+ sel T sitotoksik untuk mendestruksi sel tumor. APCs juga mengekspresikan
MHC klas II yang mengaktivasi CD4+ sel T helper T (Gambar 5). Setelah sel T sitotoksik
dapat mengenali sel tumor, maka sel T akan mendestruksi sel tumor. Sistem imun seluler
dapat menghancurkan sel tumor secara in vitro. Pada umumnya destruksi sel tumor melalui
mekanisme seluler. Mekanisme seluler pada destruksi tumor adalah melalui destruksi oleh sel
T sitotoksik, dan destruksi oleh sel NK.
1. Konsep tumor antigen
Sel tumor, baik ditransplantasikan atau ditumbuhkan dengan rangsangan, merupakan
benda asing terhadap hospes tempat sel tumor tersebut. Mekanisme-mekanisme imun yang
dapat bekerja melawan sel tumor pada dasarnya sama seperti mekanisme dalam membentuk
respons terhadap benda-benda asing lain. Pemahaman mendasar dalam bidang imunologi
khususnya di bidang kanker ginekologi adalah konsep bahwa secara kimiawi tumor memiliki
antigen pada sel permukaannya yang berbeda baik secara kuantitatif maupun kualitatif
dengan sel-sel normal dari hospes. Protein, lemak dan bermacam karbohidrat dapat disimpan
sebagai tumor terkait antigen (TAA = tumor associated antigen). Beberapa TAA dapat
dikenali sebagai hospes dan dapat memperantarai resistensi transplantasi tumor spesifik untuk
pertumbuhan tumor. Tumor yang tumbuh secara spontan memiliki kemampuan yang jelek
20
untuk mengenal respon imun jika dibandingkan dengan tumor yang diinduksi oleh virus atau
zat kimiawi.
Antigen tumbuh dalam beberapa tumor sebagai akibat perubahan neoplastik dan
spesifik untuk setiap tumor atau kelompok tumor. Antigen ini disebut dengan antigen
transplantasi terkait tumor atau tumor associated transplantation antigen (TATA) atau antigen
terkait tumor atau tumor associated antigen (TAA). Keduanya adalah antigen permukaan sel
dan membangkitkan respons imun spesifik bila disuntikkan pada hospes yang sesuai. Artinya
asal antigen dipengaruhi agen onkogenik. Antigen tersebut ada dibawah pengendalian
genetik. Selama lebih dari dua dekade, antibodi monoklonal dari tikus telah digunakan untuk
mendeteksi TAA yang baru. Reagen monoklonal disekresi dari peranakan sel somatik melalui
fusi jalur dengan sel mieloma. Masing-masing antibodi monoklonal bereaksi dengan
antigenik tunggal pada TAA.
Gambar 3. TSTA (Tumor specific Transplantation Antigen) dan TATA (Tumor
associated Transplantation Antigen)
Awal klasifikasi antigen dibagi berdasarkan gambaran ekspresi (patterns of
expression). Antigen yang diekspresikan oleh sel tumor tetapi tidak oleh sel normal adalah
disebut dengan tumor specific antigen transplantation (TSTA), contohnya adalah ras, bcr-abl.
Antigen tumor yang juga diekspresikan oleh sel normal disebut dengan tumor associated
transplantation antigen (TATA) contohnya adalah tyrosinase dan MAGE-1 (melanoma
antigen).
21
Gambar 4. TATA pada melanoma (tyrosinase antigen dan MAGE-1 antigen)
Antigen Tumor Menurut Sebab
1. Antigen tumor karena bahan kimia atau fisik yang karsinogen, Antigen yang
ditimbulkan bahan kimia dan radiasi punya spesifisitas antigen masing masing.
Tumor yang berasal dari transformasi sel tunggal punya antigen sama, sedangkan
berbagai tumor yang ditimbulkan oleh bahan karsinogen yang sama punya antigen
yang berbeda. Antigen tumor oleh karena kimia dan fisik ini tidak menunjukkan
reaksi silang.
2. Antigen tumor karena Virus, Tumor yang ditimbulkan oleh virus menunjukkan
reaksi silang. Setiap virus mencetuskan ekspresi antigen yang sama dan tidak
bergantung dari asal jaringan. Selama pematangan antigen tersebut tidak
diekspresikan, tetapi akan diekspresikan kembali akibat deregulasi gen penjamu atas
pengaruh virus onkogenik.
3. Antigen Onkofetal, Tumor mengekspresikan dirinya melalui permukaannya, atau
melalui produk yang dilepas kedalam darah dan ditemukan dalam kadar yang rendah
yang tidak ada pada jaringan normal. Contohnya adalah antigen onkofetal seperti
Carcino Embrionic antigen (CEA) pada kanker kolon. CEA diatas 2,5 mg/ml
ditemukan dalam sirkulasi penderita kanker kolon, kanker Pankreas, kanker Paru,
kanker Payudara dan Kanker Lambung. Pada penderita non neoplastik CEA juga
22
ditemukan, misalnya pada Empisema, Kolitis ulseratif, Pankreatitis, perokok atau
peminum alkohol. Alpha feto Protein (AFP) juga merupakan antigen onkofetal yang
ditemukan dalam kadar yang tinggi pada Fetus Normal dan Hepatoma.
I. Terapi Antibodi
Pemanfaatan sistem antigen antibodi untuk perkembangan klinik bergantung pada
beberapa faktor biologis dan fisik. Faktor-faktor itu meliputi densitas antigen, mekanisme
katablisme, spesifisitas tumor, ekspresi antigen yang bersifat heterogen, mekanisme efektor,
dan kemampuan pengikatan. Di samping itu, pemilihan secara aman material untuk uji klinik
memperoleh hambatan secara teknik seperti halnya hambatan dalam metodologi dalam
penelitian-penelitian laboratorium praklinik.
Banyak sekali jumlah dan variasi antibodi monoklonal yang secara langsung melawan
antigen terkait dengan kanker ovarium telah dikembangkan. Antibodi-antibodi ini dikenal
unik atau bagian dari petanda diferensiasi epitelial, komponen-komponen darah, musin,
reseptor onkogen terkait faktor pertumbuhan, atau protein intraseluler. Pada kebanyakan
kasus, antigen terkait tumor (TAA) mengambil bagian dalam reaksi dengan jaringan hospes
normal dan tidak secara nyata bersifat spesifik terhadap tumor tertentu. Dengan kata lain,
antibodi autologus pada pasien dengan kanker ovarium sering bereaksi dengan antigen pada
jaringan normal. Sebagai contoh, pasien-pasien kanker ovarium dengan degenerasi serebelar
paraneoplastik menghasilkan antibodi serum antisel Purkinje juga bereaksi dengan antigen
saraf yang diekspresikan oleh tumor avarium.
Efek antitumor secara langsung dari antibodi sapi yang tidak terkonjugasisangat
jarang. Terkadang reagen menimbulkan efek melalui transduksi sinyal transmembran atau
melalui blokade faktor pertumbuhan. Akan tetapi, reseptor faktor pertumbuhan terlihat pada
rentang yang lebar dari jaringan hospes yang normal, dan untuk suksesnya mencapai target
memerlukan metode untuk mengoptimalkan pertahanan tumor secara selektif. Pada keadaan
ini, perbedaan secara kuantitatif pada ekspresi antigen, kinetik reseptor, transduksi sinyal,
atau kombinasi strategi yang digunakan untuk mencapai target dengan reagen multipel
memungkinkan pengembangan reagen yang berhasil guna.
Keterbatasan aktivitas antibodi yang tidak terkonjugasi menyebabkan sebagian besar
uji-uji klinik dalam bidang terapi kanker memfokuskan diri pada antibodi yang terkonjugasi
dengan radionuklida, toksin, dan obat-obat sitotoksik. Berbagai gambaran seperti internalisasi
antigen, degradasi lisosom, penyebaran, dan heterogenitas ekspresi mempengaruhi pilihan
antibodi terkonjugasi dan antibodi spesifik. Sebagai contoh, beberapa obat dan toksin
23
terkonjugasi memerlukan internalisasi dan hidrolisa asam untuk memperantarai toksisitas
selular. Secara umum, reagen-reagen ini bersifat toksik hanya terhadap sel yang
mengekspresikan dan mengalami internalisasi antigen target. Sebaliknya, internalisasi
beberapa radiokonjugasi berkaitan dengan penurunan kemanjuran dan peningkatan toksisitas
hospes akibat katabolisme intraseluler.
Heterogenitas ekspresi antigen sering tampak di antara gambaran histologis yang
berbeda dan pada pasien-pasien secara individu, tetapi dapat muncul pada pasien yang sama
sepanjang waktu, di antara lokasi tumor yang berbeda dalam satu pasien pada satu lokasi, di
antara sel-sel yang berbeda dalam satu tumor, dan di antara keturunan sel-sel antigen negatif
dan antigen positif sepanjang waktu. Untuk alasan ini, heterogenitas dapat menentukan batas
kemaknaan pada suatu uji klinik. Penggunaan antibodi secara kombinasi dapat
mengompensasi heterogenitas ekspresi antigen yang tampak di antara individu dengan kanker
ovarium. Pengembangan antibodi spesifik mungkin dapat menemukan aplikasinya dalam
pencitraan atau diagnosis.
Antibodi monoklonal yang spesifik terhadap tumor berguna dalam imunoterapi
spesifik. Kemampuan antibodi sebagai ”peluru magic” menarik minat peneliti sejak lama dan
masih merupakan bidang penelitian yang aktif. Antitumor antibodi menghancurkan tumor
melalui mekanisme efektor yang sama dengan yang dipakai untuk menghancurkan mikroba,
termasuk proses opsonisasi, fagositosis dan aktifasi sistem komplemen. Antibodi monoklonal
spesifik untuk produk onkogen Her-2/Neu, yang terekspresi dalam kadar tinggi pada
beberapa tumor, terbukti berhasil dalam terapi pasien kanker payudara dan sekarang telah
disahkan dalam pemakaian klinik. Anti-Her-2/Neu antibodi berhubungan dengan fungsi
sinyalisasi pertumbuhan pada molekul Her-2/Neu. Salah satu masalah dalam pemakaian
antitumor antibodi adalah hilangnya varian antigen dari sel tumor, dimana sel tumor tidak
lagi mengekspresikan antigen yang dikenali oleh antibodi. Untuk menghindari hal ini, dapat
dipakai campuran dari beberapa antibodi spesifik untuk bermacam-macam antigen yang
diekspresikan oleh tumor yang sama.
Kohler dkk (1977), memperlihatkan kemungkinan dapat dilakukan stimulasi
hibridisasi antara sel ganas plasma yang dapat hidup di dalam kultur kontinyu dan sel
limfoid. Sel hibrid tersebut dapat tumbuh pada kultur dan menghasilkan antibodi dengan
spesifisitas tertentu yang dapat diseleksi melalui kloning. Tehnik dasar untuk menghasilkan
antibodi monoklonal diperlihatkan pada gambar dibawah. Sel-sel dari limpa tikus yang telah
diimunisasi oleh antigen asing ditempatkan pada kultur berisi sel mieloma yang tumbuh
kontinyu dengan adanya glikol polietilen yang merangsang sel bergabung/fusi. Sel mieloma
24
yang digunakan pada eksperimen ini adalah mutan yang tidak dapat mensekresi imunoglobin
dan setelah diseleksi di dalam medium yang berisi Hiposantin, Aminopterin, dan Timidin
(medium HAT). Sel-sel limpa normal tidak dapat tumbuh pada kultur, hanya sel-sel hibrid,
hasil dari fusi yang dapat tumbuh pada media HAT, sejak kehilangan enzim melalui fusi sel
limfoid limfa. Setelah seleksi pada media HAT, sel hibrid adalah klon melalui penempatan
sel individu ke dalam kultur jaringan. Antibodi disekresi oleh masing-masing klon (dikenal
sebagai "hybridoma”) yang mempunyai produk spesifik.
Gambar 5. Produksi Monoklonal Antibodi
Beberapa antibodi dapat dibuat dari sel Rodent merupakan suatu masalah jika mereka
digunakan untuk pengobatan kanker pada manusia, karena mereka dapat dikenal sebagai
protein asing dan akan meningkatkan respon imun yang dapat menghilangkan aktivitasnya.
dengan cepat dinetralisir atau menyebabkan reaksi anafilaksis. Respon ini disebabkan oleh
25
"Human Antimouse Antibodi" (HAMA). Kekuatan dari reaksi ini dapat diturunkan atau
dieliminasi dengan menggunakan antibodi monoklonal manusia dan jika penderita yang
mempunyai sel-sel limfoid digunakan sebagai pasangan fusi, monoklonal kultur "hibrydoma”
yang stabil melalui fusi dari limfoid manusia dan sel mieloma tikus telah melalui kehilangan
kromosom manusia yang efektif dari sel hibrid, konsekuensinya kegagalan dalam mensekresi
antibodi. Masalah ini juga didapatkan dengan upaya melakukan fusi sel limfoid manusia
dengan sel myeloma manusia.
Antibodi monoklonal juga dapat meningkatkan aktivitas antitumor melalui "blocking"
pada reseptor yang menginduksi proliferasi. Antibodi monoklonal mengenal permukaan
determinan sel kanker manusia yang terekspresi. Sejumlah faktor yang membatasi efektifitas
terapi antibodi monoklonal.
Faktor yang mempengaruhi efektifitas antibodi monoklonal
a. Antigenic Cross-Reactivity
Oleh karena banyak antigen tumor tidak bersifat “tumor-specific", antibodi
monoklonal mungkin bereaksi dengan beberapa jaringan normal. Hal penting ialah toksisitas
muncul karena reaktivasi silang, sebagai contoh walaupun antigen diekspresikan hanya pada
limfosit B atau T. Konsekuensi pengobatan limfoma dengan menggunakan antibodi
monoklonal adalah limfopenia dengan imunosupresi.
b. Penetrasi tumor
Efektifitas imunoterapi dengan antibodi monoklonal tergantung dari kemampuan
antibodi monoklonal untuk mencapai sel tumor. Suntikan antibodi anti tumor, dapat
menyebabkan ikatan antibodi sel tumor. Hal ini berhubungan dengan ekspresi dari target
antibodi dan juga faktor fisik seperti aliran darah yang ireguler dan penetrasi yang lambat dari
antibodi yang besar serta pembuluh darah tumor, sering dikacaukan oleh peningkatan tekanan
intersisial tumor.
c. Respon imun dari antibodi tikus
Penyebabnya adalah antibodi monoklonal dari murin atau rat sistem imun manusia
dapat mengenal mereka sebagai protein asing. Pengobatannya adalah membuat "Human
Antimouse Antibodies” (HAMA). Respon imun dapat langsung pada regio konstan atau
variabel dari antibodi, terdapat efek netralisasi.
d. Defek dari sistem imun host
Aktifitas terapi dari antibodi monoklonal tergantung dari aktivitas sistim imun host,
baik komplemen atau reseptor Fc menghasilkan sel efektor yang berfungsi dalam melisiskan
26
sel tumor, sistem imun pada pasien dengan kanker mungkin tidak sempuma, kanker
menghasilkan imunosupresi melalui berbagai mekanisme, tambahan beberapa terapi kanker
seperti kombinasi kemoterapi dan radiasi. Terapi ini juga bersifat imunosupresif dan
mengurangi efektifitas antibodi monoclonal.
Peningkatkan efektifitas antibodi monoklonal
1. Chimeric atau antibodi monoklonal manusia, antibodi monoklonal tikus kurang
efektif jika dibandingkan dari antibodi monoklonal manusia dalam berinteraksi
dengan sel efektor manusia dan komplemen manusia, selain itu antibodi monoklonal
tikus dapat merangsang respon HAMA. Berdasarkan hal ini antibodi monoklonal
direkayasa genetik sehingga antibodi "chimeric" atau menjadi mirip dengan manusia,
berisi hanya regio variabel murin yang dikenal antigen tumor.
2. Radiolabeled antibodi monoklonal: Radoisotop yang ditempelkan pada antibodi
monoklonal dibuat menjadi target radiasi sel kanker. Pasangan antibodi yang dipakai
umumnya menggunakan "radio isotop long range H emitting” seperti B yodium 131
(131J), dan remium 186 (186 Re) dengan pendekatan ini masalah penetrasi tumor
dapat digunakan ikatan sel tumor dapat di atasi. Studi pada hewan memperlihatkan
dosis radiasi dengan menggunakan "radiolabeled" spesifik lebih efektif dibanding
dengan antibodi monoklonal nonspesifik. Antibodi monoklonal “radiolabeled" dapat
menginduksi regresi dari beberapa keganasan hematologik.
3. Imunotoksin. Konjugasi suatu toksin pada antibodi monoclonal dapat untuk
mempersiapkan sistim imun berfungsi untuk mematikan sel. tetapi masalah target
pada masing-masing dan setiap sel tumor masih ada. Walaupun beberapa molekul
toksin dibutuhkan dalam mematikan sel, tidak adanya ekspresi pada sel kanker dapat
tercegahnya proses ini. Terdapat tiga molekul toksin yang sedang diteliti yaitu ricin,
eksotoksin pseudomonas dan toksin diphtheria. Eksotoksin pseudomonas adalah
protein rantai tunggal yang menghambat sintesis protein irreversibel, berikatan
dengan glikoprotein permukaan sel dengan berat molekul tinggi. Saat ini toksin
dimodifikasi melalui rekayasa yang menghilangkan regio molekul yang berikatan
dengan jaringan hati dan berikatan dengan antibodi monoklonal lain. Toksin juga
dapat berikatan dengan reseptor growth factor melalui rekayasa genetik rekombinan.
Ricin adalah glikoprotein 65kDa yang berisi sub unit A dan B. Sub unit A membunuh
sel melalui inaktivasi ribosom, jika subunit B bertanggungjawab tehadap ikatan sel
nonspesifik. Toksin diphtheri adalah polipeptida rantai tunggal yarg menghambat
27
sintesis protein selular. toksin diphtheri dengan ikatan sel ditempatkan IL-2 yang telah
diuji pada penderita keganasan sel T refrakter yang terekspresi pada reseptor IL-2,
toksisitas termasuk domain dan peningkatan transmin hepar tetapi respon pengobatan
dapat dilihat. Strategi untuk menghindari toksisitas dan imunotoksin yaitu melalui
pembelahan sel kanker dari sumsum tulang untuk transplantasi autologus
4. Peningkatan fungsi efektor sitokin. Studi hewan memperlihatkan pemberian sitokin
seperti, IL-2 atau GM-CSF dapat meningkatkan efektifitas terapi antibodi
monoklonal. Peningkatan jumlah dan aktivitas sitokin ini tergantung dari reseptor Fc
sel efektor dan peningkatan kemampuan antibodi sitotoksin seluler dependen. Sebagai
conton terapi anti idiotipe monoklonal meningkat pada penderita limfoma folikular
melalui terapi konkomitan dengan interferon.
Antibodi monoklonal mempunyai peran penting dalam perkembangan tumour marker
seperti OC125 yang reaktif terhadap molekul yang diproduksi oleh sel kanker ovarium yaitu
Ca-125, sehingga dapat diukur kadar Ca-125 dan digunakan di dalam monitoring pengobatan
kanker ovarium. Antibodi monoklonaldapat mengaktivasi respon anti tumor melalui beberapa
cara :
• Aktivasi komplemen dan lisis sel tumor
• Menginduksi efek anti proliferasi
• Meningkatkan aktivitas sel fagosit
• Melalui media ADCC
Berbagai macam strategi pengobatan beradasarkan antibodi monoklonal tengah diuji
coba sebagai pengobatan ajuvan tumor/kanker. Beberapa diantaranya adalah :
1. Antibodi Monoklonal Anti-HER2
Diketehaui bahwa HER-2/neu merupakan suatu onkogen yang berperan penting di
dalam patogenesis kanker payudara. Oleh karena terjadi overekspresi onkogen tersebut pada
banyak kanker, sedangkan HER-2/neu antigen sendiri merupakan protein tirosin kinase
transmembran yang homolog dengan reseptor epidermal growth factor (EGF), maka onkogen
tersebut merupakan salah satu target sasaran pengobatan immnunoterapi pada tumor.
Penelitian menunjukkan bahwa antibodi monoklonal terhadap HER2/neu dapat
meningkatkan responsitivitas sel tumor terhadap TNF dan pemberian cisplatin serta
menghambat repair DNA setelah pemberian cisplatin pada tumor payudara dan kanker
ovarium. Antibodi monoklonal anti HER-2/neu, khususnya humanized monoclonal antibody
28
Herceptin (Genentech, South San Francisco, CA) telah diuji coba pada beberapa uji klinis
dan hasilnya menunjukkan bahwa anti HER-2/neu tersebut efektif sebagai terapi ajuvant
untuk kanker payudara dan kanker ovarium
The gyncological Oncology Group (GOG) sedang melakukan uji klinis fase I/II terhadap
Herceptin pada kanker ovarium. Di antara penderita penderita kanker ovarium rekuren,
ternyata overekspresi HER-2/neu hanya kurang dari 12% dan pada penelitian terhadap 41
penderita menunjukkan overeall response rate hanya sebesar 10%. Sekarang masih sedang
diuji coba pemberian Herceptin tersebut dikombinas dengan pemberian kemoterapi dari
golongan taxane dan platinum.
2. Antibodi Monoklonal Anti CA 125
Bentuk pendekatan inovatif terapi imunologi pada kanker adalah pemberian antibodi
monoklonal dengan target sasaran tumour-specific antigen yang bersirkulasi di dalam darah
,selain terhadap antigen tumor itu sendiri. Oregovomab, suatu antibodi monoklonal murin
terhadap CA 125 (dimana pada hampir 90% pasien kanker ovarium stadium lanjut terjadi
overekspresi dari Ca 125) yang mampu berikatan dengan Ca 125 di dalam sirkulasi dan
kemudian membentuk kompleks imun (antibodi-antigen kompleks) yang akan dikenali
sebagai benda asing oleh karena mengandung antibodi murin. Selanjutnya kompleksa imun
tersebut akan „dimakan‟ oleh APC dan kemudian antigen Ca 125 tersebut dipresentasikan
kepada sel T yang merupakan sel efektor pada respon imun spesifik terhadap kanker.
J. Interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral
Salah satu interaksi antara respon imun seluler dengan humoral adalah interaksi yang
disebut dengan dengan antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Istilah ini
diberikan karena sitolisis baru terjadi bila ada bantuan antibodi. Dalam hal ini antibodi
berfungsi melapisi antigen sasaran (opsonisasi), sehingga sel NK (natural killer cell) yang
mempunyai reseptor fragmen Fc antibodi tersebutdapat melekat pada sel atau antigen sasaran.
Pengikatan sel NK melalui reseptornya pada kompleks antigen-antibodi mengakibatkan sel
NK dapat menghancurkan sel target. Penghancuran sel target itu terjadi melalui pelepasan
berbagai enzim dan sitokin langsung pada sel target. Dalam mengenali antigen secara
spesifik, ada 3 macam molekul pengikat antigen (antigen binding molecules) yang terlibat,
yaitu Reseptor antigen pada permukaan sel B (imunoglobulin permukaan, sIg), Reseptor
antigen pada permukaan sel T (TCR), dan Molekul major histocampatibility complex (MHC)
kelas I dan II
29
K. Terapi Sitokin
Interleukin 2
Interleukin-2 juga merupakan salah satu modalitas imunoterapi, pada penelitian awal
menunjukkan bahawa IL-2 yang diberikan secara intravena pada penderita melanoma,
kanker kolon dan kanker ovarium mampu merangsang proses linfositosis, meningkatkan
reseptor IL-2 dan mengaktivasi LAK cells dan meningkatkan potensi sel NK. Selain itu IL-2
juga dapat diberikan secara intraperitoneal dengan harapan lebih meningkatkan paparan
intraperitoneal terhadap IL-2. Penelitian menunjukkan bahwa IL-2 yang diberikan secara
intraperitoneal ternyata mempunyai konsentrasi 100 kali lebih tinggi di cavum peritonei
dibanding pemberian secara sistemik. Toksisitas pemberian IL-2 adalah : demam, fatigue,
mialgia, diare dan mual. Saat ini sedang dilakukan beberapa penelitian yang mengkombinasi
pemberian IL-2 dengan modalitas pengobatan yang lain, salah satunya adalah pemberian
kombinasi IL-2, G-CSF dan EPO.
Terapi Sel Dendritik
Sel kanker dapat tumbuh dan berkembang karena sitem imun tidak memberikan
sinyal yang kuat untuk membunuh dan menghancurkan sel tumor. Pada beberap kasus, sel
kanker dapat melakukan down-regulasi respon imun oleh karena sel kanker mengeluarkan
beberapa sitokin dan molekul yang menghambat respon imun.. Sel dendritik adala sel APC
yang berperan penting dalam menginduksi sel T, baik sel T sitotoksik maupun sel T helper.
Terdapat 2 tantangan di dalam pemberian sel dendritik tersebut, yaitu : identifikasi tumour-
specific antigen dan induksi respon imun yang efektif terhadap antigen tersebut.
Vaksin
Human papilloma virus risiko tinggi mempunyai kaitan yang erat dengan
karsinogenesis kanker serviks. Hampir 100% kanker serviks mengandung DNA viruis HPV.
Dengan latar belakang ini maka diharapkan dapat dibuat suatu vaksin terhada HPV.
Pendekatan pengembangan vaksin HPV tersebut bertujuan untuk profilaksis ataupun
terapeutik. Vaksinasi HPV yang bersifat profliaktik bertujuan untuk membangkitan antibodi
di epitel genital terhadap protein HPV L1 dan L2, oleh karena kedua protein tersebut
berperan penting di dalam proses masuknya virus ke dalam sel epitel. Tantangan yang timbul
pada vaksin terhadap L1 dan L2 adalah kenyataan bahwa sel keratinosit yang mengalami
transformasi akibat HPV ternyata tidak lagi mengekspresikan protein L1 dan L2, namun
mengeekpresikan protein HPV yang lain, yaitu : E6 dan E7 sehingga diharapkan peran
imunoterapi untuk membangkitan sel T yang rekatif terhadap E6 dan E7 tersebut.
30
Kekurangan vaksin HPV di dalam mengatasi kanker serviks adalah terbatasnya
kemampuan vaksin tersebut hanya pada satu jenis HPV, padahal seperti telah diketahui,
terdapat banyak jenis HPV yang terlibat di dalam proses karsinogenesis kanker serviks.
Penelitian awal diarahkan kepada vaksin terhadap HPV 16 oleh karena dari penelitian
epidemiologi dianggap incidence infeksi HPV jenis ini termasuk tinggi. Sehingga
pengembangan vaksin HPV masih berjalan sampai sekarang, dan diarahkan untuk
memperoleh data epidemiologis yang akurat untuk menentukan jenis HPV yang terlibat
sebelum dapat dibuat vaksin yang efektif.
L. Vaksinasi memakai sel tumor dan antigen tumor
Imunisasi penderita tumor dengan sel tumor yang mati atau antigen tumor dapat
menyebabkan peningkatan respon imun terhadap tumor. Identifikasi peptida yang dikenali
oleh tumor-spesifik CTLs dan kloning gen yang mengkode tumor-spesifik antigen yang
dikenali oleh CTLs menghasilkan banyak kandidat untuk pembuatan vaksin tumor.
Pendekatan vaksin yang mula-mula dilakukan yang sampai saat ini masih dicoba adalah
imunisasi dengan memakai antigen tumor yang telah dimurnikan ditambah ajuvan. Kemudian
dilakukan imunisasi dengan memakai profesional APCs seperti sel dendritik yang dimurnikan
dari pasien dan diinkubasi dengan antigen tumor atau ditransfeksi dengan gen yang
mengkode antigen ini, dan dengan injeksi plasmid yang mengandung cDNA yang mengkode
antigen tumor (vaksin DNA).
Vaksin yang berbasis sel dan DNA adalah cara yang terbaik untuk menginduksi
respon CTL karena antigen yang dikode disintesis dalam sitoplasma dan memasuki jalur
MHC klas I pada antigen presentasi. Keterbatasan terapi tumor dengan vaksin adalah bahwa
vaksin ini harus dapat bersifat terapeutik dan bukan hanya preventif, dan sering sulit untuk
menginduksi respon imun yang kuat untuk mengeradikasi semua sel pada tumor.
Perkembangan tumor yang diinduksi oleh virus dapat dihambat dengan vaksinasi
preventif yang memakai antigen virus atau virus hidup yang dilemahkan. Pada manusia
program vaksinasi terhadap virus hepatitis B (HBV) dapat menurunkan insidens karsinoma
hepatoseluler yaitu kanker hepar. Kanker serviks merupakan kanker yang penting untuk
pengembangan vaksin karena ekspresi antigen yang khas dari etiologi primernya yaitu human
papiloma virus (HPV). Vaksinasi HPV untuk mencegah karsinoma serviks merupakan jenis
rekombinan vaksin, artinya menggunakan partikel virus yaitu gen virus HPV yang
digabungkan dengan gen yeast.
31
Vaksin Kanker
Telah diketahui bahwa sistem imun vertebrata dapat membedakan dirinya dan benda
asing, dimana sistem imun dapat mengenali tumor sebagai benda asing. Penelitian imunologi
tumor memerlukan model hewan yang mungkin saja tidak relevan dengan kanker pada
manusia. Saat ini kita telah mengetahui bahwa antigen yang berhubungan dengan tumor
(tumor associated antigen) memang ada dan kita dapat mengembangkan vaksin kanker
melalui pengenalan terhadap protein ini pada sistem imun.
Dalam beberapa tahun terakhir banyak perusahaan biotek mengembangkan strategi
pembuatan vaksin untuk melawan melanoma dan berbagai kanker lainnya. Strategi ini
mempunyai 1 kesamaan yaitu menginduksi cell-mediated response terhadap tumor associated
antigen. Antigen yang dipakai untuk membuat vaksin berasal dari tumor pasien atau tumor
cell-lines. Caranya adalah tumor dibiopsi atau dioperasi, dikultur dan dipakai sebagai
imunogen.
Pemakaian tumor yang telah diketahui sebagai sumber imunogen lebih praktis dan
relatif murah. Sampel dari berbagai tumor ditumbuhkan dalam media kultur kemudian
proteinnya diekstraksi sebagai sumber imunogen bagi banyak pasien. Selain lebih murah,
strategi ini juga dapat menentukan imunogenisitas antigen tumor yang tumbuh pada sel
kultur. Beberapa tumor dapat mengekspresikan kadar tumor-associated antigen yang tinggi
dan lebih bersifat imunogenik dari lainnya. Selain itu, sel tumor ini mengekspreikan MHC
klas I yang dipresentasikan oleh sebagian besar populasi sel tumor, yang berarti antigen
intrasel akan dipresentasikan dengan baik. Sel kemudian diradiasi sehingga sel tersebut tidak
membelah dan dipakai untuk imunisasi. Pendekatan cara ini sekarang dipakai sebagai standar
pembuatan imunogen karena juga biayanya lebih murah.
Presentasi antigen merupakan hal yang sangat penting dalam strategi imunisasi dan
salah satu cara meningkatkan imunisasi melawan antigen tumor adalah memanipulasi
presentasi antigen. Antigen-presenting cell seperti sel dendritik merupakan kandidat yang
sangat bagus dipakai dalam protokol vaksinasi. Dendreon adalah perusahaan yang pertama
kali mengisolasi prekursor sel dendritik dari darah pasien, lalu memasukkan imunogen ke
dalam sel dendritik dan memasukkan kembali sel dendritik yang mengandung antigen ke
aliran darah pasien kanker. Perusahaan ini juga mengidentifikasi tumor-associated antigen
yang mencegah berbagai kanker. Jadi, terapi dengan sel dendritik dapat dipakai untuk
berbagai jenis tumor.
32
Variasi cara vaksinasi juga dilakukan oleh Genzyme Molecular Oncology.
Pendekatannya juga memakai sel dendritik, namun tidak memakai antigen yang telah
diketahui. Mereka membuat fusi sel dendritik pasien memakai polietilen glikol, dengan sel
tumor yang telah diinaktifasi yang diambil dari pasien yang sama. Keuntungan dari cara ini
adalah bahwa sel hibrid yang dihasilkan mempunyai antigen presenting bagi sel dendritik dan
juga mengandung antigen dari sel tumor pasien. Sel dendritik kemudian akan memproses
antigen tumor ini dan antigen tersebut akan dipresentasikan pada sistem imun pasien.
Cara lain namun cukup menjanjikan hasilnya adalah pendekatan yang berdasarkan
pemahaman yang sejak lama, yaitu sel tumor yang bersifat imunogenik. Hewan coba yang
diinjeksi dengan sel tumor yang telah mati, tidak akan menderita tumor apabila dimasukkan
dalam jaringan hidup. Pada saat dasar pengetahuan ini dieksplorasi, ditemukan bahwa heat-
shock protein (HSPs) berperan penting dalam sistem imun. HSPs membawa peptide
imunogenik, sehingga bekerja sebagai molekul chaperon. HSPs melekat pada CD91, yaitu
reseptor yang terdapat pada APCs seperti sel dendritik dan makrofag. Pada skenario ini,
kompleks HSP/peptida dari sel tumor melekat pada CD91 di APCs yang kemudian
diinternalisasi. HSP/peptida ini dipresentasikan kembali sebagai kompleks peptide/MHC klas
I pada APC, dan menyebabkan respon sel T CD8+. Hal ini cukup menarik karena antigen
eksogen biasanya dipresentasikan oleh molekul MHC klas II. Namun, penelitian lain
menunjukkan bahwa HSPs yang diisolasi dari jaringan tumor merupakan induser yang kuat
bagi tumor-specific CTLs.
Mekanisme perlekatan kompleks HSP/antigen pada CD91, dan dibawa ke MHC klas I
masih belum banyak diketahui. Namun telah jelas bahwa komples HSP/antigen apabila
dipresentasikan pada APCs menyebabkan aktifasi sel T CD8+. Terdapat berbagai pendekatan
dalam sistem imun dalam merespon antigen tumor. Dalam dekade terakhir banyak
perusahaan bioteknologi yang mengembangkan vaksin kanker, dan uji klinik fase II atau fase
III memberikan optimisme dalam bidang ini pada penelitian klinik.
Augmentasi imunitas host terhadap tumor dengan sitokin dan ko- stimulator
Peningkatan imunogenisitas sel tumor dengan cara transfeksi gen ko-stimulator atau
gen sitokin. Sel tumor yang tidak adekuat menstimulir sel T apabila ditrasnplantasikan pada
hewan coba, tidak akan ditolak dan akan bertumbuh menjadi tumor. Transfeksi sel tumor ini
dengan gen yang mengkode ko-stimulator atau sitokin dapat meningkatkan imunogenisitas
tumor, T-cell mediated rejection, sehingga tidak ada pertumbuhan tumor. Pada beberapa
33
penelitian, paparan sel tumor yang sudah dimodifikasi ini menginduksi imunitas dari sel
tumor yang tidak ditransfeksi.
Imunitas seluler terhadap tumor dapat ditingkatkan dengan mengekspresikan ko
stimulator dan sitokin pada sel tumor yang akan menstimulasi proliferasi dan diferensiasi
limfosit T dan sel NK. Sel tumor dapat menginduksi respon imun yang lemah karena sel
tumor tersebut tidak mempunyai ko-stimulator dan biasanya tidak mengekspresikan molekul
MHC klas II sehingga tidak terjadi aktivasi sel T helper.
Terdapat 2 pendekatan untuk membangkitkan respon imun host terhadap tumor yaitu
memberikan ko stimulasi secara artifisial pada tumor-spesifik sel T, dan pemberian sitokin
eksogen yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktivasi sel T, sehingga menggantikan
fungsi sel T helper. Efikasi dalam meningkatkan ko stimulasi sel T dalam imunoterapi anti
tumor diperlihatkan pada percobaan hewan dimana sel tumor ditransfeksi dengan gen yang
mengkode molekul B7 ko stimulator. Sel tumor yang mengekspresikan B7 ini kemudian
menginduksi imunitas yang melawan sel tumor.
Keberhasilan model tumor eksprimental ini menyebabkan percobaan terapi dengan
memakai sampel tumor pasien in vitro, dimana sel tumor ini ditransfeksi dengan gen ko
stimulator, diradiasi, dan dimasukkan kembali ke pasien. Pendekatan ini berhasil meskipun
jika antigen imunogenik yang terekspresi pada tumor tidak diketahui.
Sitokin dapat dipakai untuk meningkatkan respon imun adaptif dan innate terhadap
tumor. Caranya adalah sel tumor ditransfeksi dengan gen sitokin untuk melokalisir efek
sitokin di tempat yang diperlukan. Contohnya apabila tumor ditransfeksi dengan gen IL-2,
IL-4, atau GM-CSF (Granulocyte-Macrophage-Colony Stimulating Factor), diinjeksikan
pada hewan coba, maka tumor akan ditolak atau mulai berkembang dan kemudian mengecil.
Pada beberapa kasus terdapat akumulasi infiltrat sel radang yang padat di sekelliling tumor
yang mensekresi sitokin. Pada penelitian juga ditemukan bahwa injeksi tumor yang
mensekresi sitokin menginduksi imunitas yang dimediasi oleh sel T yang kemudian melawan
sel tumor. Jadi produksi lokal dari sitokin dapat meningkatkan respon sel T terhadap antigen
tumor.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. DiSaia P, Creasman WT. Tumor Imunology, Host Defense Mechanism and Biologic
therapy dalam Clinical Gynecology Oncology, Mosby, Philadelphia,2007:593-607
2. Suwiyoga K. Imunologi Tumor. Dalam : Aziz MF, Andrijono, Saifuddin AB (Eds).
Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta, 2006, hal : 79-92.
3. Mader. The Lymphatic System And Body Defenses. In : Understanding Human
Anatomy and Physiology. 5th Ed. McGraw-Hill. 2004. p 254-266.
4. Van de Graff. Circulatory system. In : Human Anatomy, 6th ed, The McGraw-
Hill,2001, p 582-587.
5. Silbernagl S, Dispopoulos A. Immune system. In : Color atlas of physiology, 6th ed.,
p 94-102, Thieme. New York, 2009
6. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Immunity to tumors. In : Cellular and Molecular
Immunology, 6th ed., Saunders. 2007, p 397-417.