limfoma hodgkin.doc
TRANSCRIPT
Limfoma Hodgkin
Insidensi
Insidensi penyakit Hodgkin (morbus Hodgkin; MH) kira-kira 3 per 100.000
penderita per tahun. Pada pria insidensinya sedikit lebih tinggi daripada wanita.
Perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2. Pada morbus Hodgkin distribusi menurut
umur berbentuk bimodal yaitu terdapat dua puncak dalam distribusi frekuensi. Puncak
pertama terjadi pada orang dewasa muda antara umur 18 – 35 tahun dan puncak kedua
terjadi pada orang diatas umur 50 tahun. Selama dekade terakhir terdapat kenaikan
berangsur-angsur kejadian morbus Hodgkin, terutama bentuk nodular sklerotik pada
golongan umur lebih muda.
Etiologi
Patogenesis morbus Hodgkin mungkin kompleks dan masih banyak hal yang
kurang jelas dalam bidang ini. Epidemiologi morbus Hodgkin menunjukkan
kemungkinan adanya peran infeksi virus yang berlangsung (abnormal) pada umur anak.
Misalnya, negara non industri, dimana terjadi pemaparan terhadap virus yang umum
terdapat pada umur lebih muda, puncak insidensi pertama morbus Hodgkin juga terjadi
jauh lebih dini (antara 5 dan 15 tahun) daripada di negara-negara Barat. Dalam hal
pemaparan terhadap virus umum terjadi belakangan, (misalnya pada keluarga kecil, status
ekonomi social yang lebih tinggi) insidensi morbus Hodgkin relatif lebih tinggi. Ini dapat
menunjukkan bahwa mengalami infeksi virus tertentu mempunyai efek predisposisi, yang
terutama berlaku kalau infeksinya timbul pada usia lebih belakangan. Ada petunjuk
bahwa virus Epstein-Barr (EBV) mungkin memegang peran pada patogenesis morbus
Hodgkin. Dengan menggunakan teknik biologi molecular pada persentase yang cukup
tinggi kasus morbus Hodgkin (kecuali bentuk kaya limfosit) dapat ditunjukkan adanya
DNA EBV dalam sel Reed-Sternberg. Juga dapat ditunjukkan produksi protein EBV
tertentu. Tetapi, apakah ada hubungan kausal langsung antara infeksi EBV dan terjadinya
morbus Hodgkin, ataukah ada kausa bersama untuk kedua fenomena tanpa hubungan
kausa langsung (misalnya imunodefisiensi relatif) masih belum jelas.
Klasifikasi
Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam hal
ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear) dengan
gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem klasifikasi
histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang lalu telah dikembangkan oleh Lukes
dan Butler, masih selalu berlaku sebagai dasar pembagian penyakit Hodgkin.
Dibedakan empat bentuk utama. Bentuk nodular sklerotik (HB-NS) terciri oleh
adanya varian sel Hodgkin, sel lakunar, dalam latar belakang limfosit, granulosit, sel
eosinofil, dan histiositik. Sel Reed-Sternberg tidak sangat sering. Kelenjar limfe sering
mempunyai susunan nodular, dengan di dalamnya terlihat pita-pita jaringan ikat yang
sedikit atau kurang luas yang sklerotik.
Pada bentuk sel campuran (HD-MC) latar belakang juga terdiri dari granulosit,
eosinofil, sel plasma, dan histiosit, tetapi disini banyak terlihat sel Reed-Sternberg.
Diagnosis bentuk miskin limfosit (HD-LD) di negara industri sudah jarang dibuat.
Gambaran ini ternyata sering berdasar atas (sub) tipe morbus Hodgkin atau limfoma non-
Hodgkin. Bentuk kaya limfosit (HD-LP) terciri oleh varian sel Hodgkin yang lain, sel L
dan H dengan latar belakang limfosit kecil dan histiosit reaktif.
Tabel 1. Klasifikasi histopatologik morbus Hodgkin
(Klasifikasi Lukes-Butler dan Rye, 1966)
Tipe utama Sub-tipe FrekuensiBentuk lymphocyte predominance (LP) Nodular
Difus
}5%
Bentuk nodular sclerosis (NS) 70-80%Bentuk Mixed Cellulating (MC) 10-20%Bentuk Lymphocyte Depletion (LD) Reticular
Fibrosis difus
}1%
Gambar 1. Bentuk histopatologik limfoma hodgkin
Mengenai sifat sel Reed-Sternberg masih banyak hal yang belum jelas. Dianggap
dapat merupakan sel T atau sel B yang teraktivasi, yang sedikit banyak dikuatkan oleh
data biologi molecular; hanya pada bentuk kaya limfosit karakter sel B jelas.
Manifestasi klinis
Penyakit ini pada 70% kasus menampakkan diri pada pembesaran kelenjar limfe,
biasanya di leher. Kelenjar ini sering asimtomatik. Jika terjadi di bawah m.
sternocleidomastoideus dapat terjadi pembengkakan difus yang besar di sisi leher yang
bersangkutan. Mediastinum sering terlibat dalam proses dan keluhan-keluhan dapat
timbul dari kelainan di tempat tersebut. Penderita muda umumnya menunjukkan kelenjar
limfe yang keras, teraba seperti karet dan membesar, di daerah leher bawah atau daerah
supraklavikula, atau disertai batuk kering non produktif sekunder akibat limfadenopati
halus.
Gambar 2. Mekanisme pembesaran kelenjar limfe
Keringat malam, turunnya berat badan sekitar 10% atau febris (gejala B) pada 20-
30% kasus merupakan presentasi pertama, terutama pada proses yang lebih luas. Pada
15% kasus disebutkan adanya nyeri pada penggunaan alkohol.
Gejala-gejala pembengkakan kelenjar limfe dengan kadang-kadang febris, dapat
juga terjadi pada infeksi umum seperti toksoplasmosis, mononukleosis infeksiosa atau
infeksi virus lain yang terdapat pada umur itu, atau pada infeksi regional. Pada
pembengkakan kelenjar yang persisten, jika tidak dijumpai inflamasi regional, harus
cepat diadakan biopsi untuk penentuan diagnosis. Pungsi sitologik dapat dikerjakan dulu
untuk orientasi. Biopsi jaringan diperlukan untuk penentuan klasifikasi yang tepat. Jika
ada dugaan ke arah limfoma maligna pada biopsi harus disisihkan material untuk
pemeriksaan imunologik dan kalau perlu pemeriksaan DNA untuk penetapan
monoklonalitas dan untuk menentukan imunofenotipe.
Gambar 3. Pembesaran kelenjar limfe
Diagnosis
Pemeriksaan untuk penentuan stadium meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan fisik diperhatikan kelenjar regional, hepar
dan lien. Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik. Sel Reed
Stenberg yang merupakan bentuk histiosit (makrofag jaringan) ganas adalah temuan khas
pada limfoma Hodgkin. Pemeriksaan rontgen terdiri atas foto toraks dan CT-scan toraks
untuk mencari kalau ada perluasan mediastinal atau pleural. Untuk pemeriksaan perut ada
dua kemungkinan, CT-scan atau limfangiografi. Sebaiknya dimulai dengan CT-scan. Jika
ini negatif, diperlukan limfangiografi, karena kadang-kadang terdapat kelenjar yang
mempunyai struktur abnormal tetapi tidak jelas membesar, sehingga mungkin tidak
terlihat pada CT-scan. Keuntungan limfangiografi di samping itu adalah bahwa
kontrasnya masih tampak 1-2 tahun, sehingga perjalanan penyakit dapat diikuti dengan
foto polos abdomen biasa.
Pengeboran tulang pada umumnya juga harus dikerjakan, dan jelas jika ada
simptom B. Tetapi, dalam hal misalnya stadium I tanpa keluhan arti diagnostiknya hanya
sedikit dan pemeriksaan itu tidak perlu dikerjakan.
Pemeriksaan isotop dengan gallium radioaktif dapat memberi gambaran mengenai
sarang-sarang di tempat lain dalam tubuh yang tidak dapat ditetapkan dengan
pemeriksaan rutin penentuan stadium biasa. Keterandalan pemeriksaan ini masih diteliti.
Jika kelenjar limfe juga meresorbsi gallium, pemeriksaan ini dapat juga digunakan pada
akhir terapi untuk mengetahui apakah ada massa sisa, misalnya di dalam mediastinum,
yang masih mengandung tumor yang aktif. Ini mempunyai arti prognostik.
Laparotomi untuk penetapan stadium dengan splenektomi dalam periode 1970-
1980 sering digunakan untuk kelengkapan pemeriksaan stadium. Ternyata bahwa pada
20-30% kasus terdapat sarang-sarang occult di limpa dan kelenjar limfe. Digunakan
terminology stadium klinik (sebelum laparotomi) dan stadium patologik (sesudah
laparotomi diikuti splenektomi). Kira-kira 20-30% penderita dalam stadium klinik I atau
II ternyata sebenarnya berada dalam stadium III. Sebaliknya 10% penderita dalam
stadium III ternyata sebenarnya berada dalam stadium I atau II.
Laparotomi untuk menetapkan stadium juga menunjukkan keberatan, seperti
morbiditas operasi, mortalitas (1%) dan kenaikan kemungkinan infeksi, terutama sepsis
pneumokokus. Juga dinyatakan bahwa kemungkinan untuk leukemia sekunder menjadi
lebih besar sesudah splenektomi.
Laparotomi dengan splenektomi sebagai penetapan stadium pada waktu ini
sebenarnya sudah tidak dikerjakan lagi. Jika seorang penderita harus menjalani
splenektomi diperlukan vaksinasi pneumokokus.
Tabel 2. Penetapan diagnosis limfoma Hodgkin
Anamnesis Gejala-gejala B
Anamnesis keluarga
Mononukleosis infeksiosa sebelumnya
Pemeriksaan Kelenjar-kelenjar : lokalisasi & besarnya
Pembesaran hepar, limpa
Pemeriksaan THT pada kelenjar leher
Pemeriksaan laboratorium LED, Hb, leukosit, trombosit
Faal hati dan ginjal
SLDH
Pemeriksaan roentgen X-thorax
CT-scan toraks-abdomen
Limfangiogram
Pemeriksaan sumsum tulang Biopsi tulang Yamshidi
Dipertimbangkan/jika indikasi scan ada
Gallium
Scan tulang
Biopsi hepar
Stadium
Untuk pembagian stadium masih selalu digunakan klasifikasi Ann Arbor. Dalam
suatu pertemuan kemudian diadakan beberapa perubahan.
Atas dasar penetapan stadium klinis pada penyakit Hodgkin pada 60% penderita
penyakitnya terbatas pada stadium I atau II. Pada 30% penderita terdapat perluasan
sampai stadium III dan pada 10-15% terdapat pada stadium IV. Ini berbeda dengan
limfoma non-Hodgkin, yang biasanya terdapat pada stadium III-IV.
Gambar 4. Stadium morbus Hodgkin berdasarkan klasifikasi Ann Arbor
Tabel 3. Pembagian stadium morbus Hodgkin
Stadium I Penyakit mengenai satu kelenjar limfe regional yang terletak diatas atau dibawah diafragma (I) atau satu regio ekstralimfatik atau organ (IE)
Stadium II
Penyakit mengenai dua atau lebih daerah kelenjar di satu sisi diafragma (II) atau kelainan ekstralimfatik atau organ terlokalisasi dengan satu atau lebih daerah kelenjar di sisi yang sama diafragma (IIE)
Stadium III
Penyakit mengenai daerah kelenjar di kedua sisi diafragma (III), dengan atau tanpa kelainan ekstralimfatik atau organ (IIIE), lokalisasi limpa (IIIE) atau kedua-duanya (IIIE).
Stadium IV
Penyakit telah menjadi difus / menyebar mengenai satu atau lebih organ atau jaringan ekstralimfatik, seperti sumsum tulang atau hati dengan atau tanpa kelainan kelenjar limfe.
Terapi
Tiap penderita dengan penyakit Hodgkin harus diterapi dengan tujuan kuratif. Ini
juga berlaku untuk penderita dalam stadium III dan IV dan juga untuk penderita dengan
residif sesudah terapi pertama.
Ini berarti bahwa terapi harus cepat dimulai dan bahwa ini tidak boleh dihentikan
atau dikurangi tanpa alasan yang berat. Sebelum mulai terapi harus ada pembicaraan
antara radioterapis dan internis untuk menentukan program terapi.
Tabel 4. Pilihan terapi pertama pada morbus Hodgkin
Terapi pertama
Stadium I – II - Terapi standar: radiasi lapangan mantel dan radiasi kelenjar paraaorta dan limpa; kadang-kadang hanya lapangan mantel saja
- Jika ada faktor resiko, kemoterapi dilanjutkan dengan radioterapi
- Dalam penelitian, kemoterapi terbatas dengan “involved field radiation”
Stadium IIIA Kemoterapi ditambah dengan radioterapi
Stadium IIIB – IV
Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi
1. Stadium klinik I dan II
Terapi standar dalam stadium I dan II adalah radioterapi. Untuk lokalisasi di
atas diafragma ini terdiri atas radiasi lapangan mantel, diikuti dengan radiasi daerah
paraaortal dan limpa, yang terakhir ini karena kemungkinan 20-30% dalam daerah
ini, seperti ternyata dari hasil laparotomi penetapan stadium. Terapi demikian itu
berlangsung 4 minggu untuk daerah mantel dan sesudah periode istirahat 3-4
minggu, 4 minggu untuk daerah kelenjar limfe paraaortal dan limpa. Dengan terapi
ini ketahanan hidup bebas penyakit yang berlangsung lama adalah kira-kira 75%,
ketahanan hidup total kira-kira 90%. Ini dengan titik tolak bahwa periode bebas
penyakit 5-7 tahun berarti penyembuhan. Residif terutama terjadi pada tahun-tahun
pertama sesudah terapi.
Jika lokasi kelainannya di bawah diafragma, dalam stadium I atau II
diberikan penyinaran Y terbalik, dengan menyinari kelenjar limfe paraaortal, limpa,
kelenjar iliakal dan kelenjar inguinal. Pada radiasi ini ovarium terdapat dalam
lapangan penyinaran. Karena itu dipertimbangkan pada wanita muda untuk
menempatkan ovarium di luar lapangan penyinaran. Jika kelainan di perut sangat
voluminous, maka dipilih kemoterapi dalam kombinasi dengan radioterapi.
Ada beberapa perkecualian terhadap garis pedoman standar ini. Dalam hal-
hal tertentu hanya dapat dipertimbangkan penyinaran lapangan mantel, misalnya
pada stadium I terbatas pada wanita-wanita, dengan lokasi tinggi di leher.
Pengalaman menunjukkan bahwa lokasi occult di dalam perut, jadi residif disitu,
jarang terdapat. Ada 3 golongan penderita dalam stadium klinik I dan II yang
untuknya radioterapi saja tidak memberi hasil yang optimal. Kelompok pertama
terdiri atas penderita yang mempunyai mediastinum sangat lebar (lebar mediastinum
misalnya > 1/3 diameter toraks, diukur setinggi vertebra torakal 5-6). Penderita ini
sering mendapat residif di paru atau dalam mediastinum jika hanya diberikan
radioterapi saja. Dalam hal ini lebih dipilih kombinasi kemoterapi dan radioterapi.
Golongan kedua terdiri atas penderita yang meskipun dalam stadium II
mempunyai berbagai lokalisasi kelenjar limfe, misalnya bilateral di leher,
mediastinum atau aksila. Pengalaman menunjukkan bahwa pada penderita yang
diberikan radiasi saja sering (40-50%) timbul residif, juga kalau perut atas ikut diberi
sinar. Juga laju endap darah yang tinggi atau umur lebih dari 50 tahun tampaknya
memperbesar kemungkinan residif.
Golongan ketiga terdiri atas wanita muda. Ada laporan bahwa penyinaran
lapangan mantel yang diberikan pada wanita antara 15-25 tahun, sesudah 10-15
tahun memberikan kemungkinan karsinoma payudara yang meningkat. Ini menjadi
alasan bagi kelompok ini untuk di terapi dengan kemoterapi dalam kombinasi
dengan penyinaran terbatas, dengan sebagian besar menghindari payudara.
Jadi, penderita dalam stadium I atau II dengan faktor resiko ini secara inisial
harus diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan penyinaran. Tahun-tahun akhir ini
pada umumnya ada tendensi untuk juga stadium I dan II penderita tanpa faktor resiko
tambahan diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan radiasi. Alasan untuk ini adalah
bahwa misalnya sebagai akibat penyinaran lapangan mantel sesudah 10-15 tahun,
juga terdapat kenaikan kemungkinan timbul masalah kardial.
Dalam hal ini dipilih kombinasi kemoterapi, dengan efek samping relatif
sedikit, dan radioterapi terbatas pada daerah yang terkena. Sementara sebaiknya
kombinasi ini tidak digunakan dahulu di luar penelitian.
Gambar 5. Jenis-jenis radioterapi
1. Stadium IIIA
Jika dalam stadium III perluasannya hanya terbatas, radiasi memang
mungkin, misalnya dalam situasi klinis stadium klinik II pada laparotomi terdapat
perluasan terbatas di limpa atau perut atas. Penyinaran harus terdiri dari radiasi
lapangan mantel dan radiasi Y terbalik (radiasi “total node”). Pada stadium klinik III
lebih dipilih penanganan dengan kemoterapi. Penderita ini diterapi sebagai pasien
dalam stadium IIIB – IV.
2. Stadium IIIB – IV
Penderita dalam stadium ini diterapi dengan kemoterapi (Longo, 1990).
Skema MOPP yang telah lama sebagai pilihan pertama tampaknya digeser oleh
skema MOPP/ABV. Dalam hal ini pada hari ke-1 dan ke-8 dapat diberikan berbagai
obat. Dari penelitian ternyata bahwa dengan pilihan ini kemungkinan penyembuhan
lebih besar daripada dengan MOPP saja. Persentase remisi komplit adalah 80%,
dengan 60% kemungkinan penyembuhan.
Sesudah periode istirahat biasanya 2 minggu seri berikutnya diberikan,
dengan kadang-kadang mengatur kembali dosisnya atas dasar jumlah leukosit dan
trombosit. Mengenai lamanya terapi berlaku aturan bahwa diberikan terapi sampai
tercapai remisi komplit, diteruskan dengan 2 terapi konsolidasi. Jika cepat terjadi
remisi ini berarti 6 seri, jika tidak, menjadi 8 seri. Lebih lama dari ini tidak ada
artinya.
Pertanyaannya adalah apakah ada artinya bila pada kemoterapi diberikan
penyinaran tambahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Ini tidak
seluruhnya jelas. Kemungkinan residif lokal di daerah yang disinar dapat diperkecil,
tetapi belum jelas dibuktikan bahwa kemungkinan kurasi menjadi lebih baik.
Pada penderita yang lebih tua juga digunakan skema ChlVPP, yang pada
umumnya lebih baik ditoleransi. Mengenai efek samping kemoterapi disamping efek
akut yang terjadi (misalnya nausea, vomitus, depresi sumsum tulang, dan kerontokan
rambut), juga harus diperhatikan efek samping yang timbul kemudian. Pada terapi
MOPP pada laki-laki terjadi sterilitas yang menetap dalam persentase yang tinggi.
Sebaiknya sebelum mulai terapi harus dibicarakan dengan penderita resiko
infertilitas dan kemungkinan pembekuan spermanya. Meskipun pada terapi
MOPP/ABV resikonya lebih kecil, disini juga harus dilakukan pembekuan sperma.
Pada wanita harus diperhatikan kemungkinan amenorrhea jika mereka lebih tua
daripada 25-30 tahun. Pada wanita lebih muda kemungkinan cukup besar bahwa
siklus dan fertilitasnya tetap utuh.
Tampaknya lebih mungkin bahwa pada laki-laki maupun wanita fertilitas
lebih dapat dipertahankan pada terapi ABVD.
Selanjutnya ada resiko terjadinya tumor kedua seperti leukemia sekunder dan
limfoma non-Hodgkin (Van Leeuwen, 1994). Kemoterapi memegang peran dalam
hal ini. Terapi MOPP terkenal tidak baik dalam hal terjadinya leukemia sekunder.
Kemungkinannya adalah 5% sesudah 10 tahun. Nitrogen mustard, suatu zat pengalkil
tampaknya merupakan penyebab terbesar. Ini juga menjadi alasan bahwa akhir-akhir
ini lebih disukai skema-skema dengan mengurangi obat pengalkil atau sama sekali
tidak, seperti MOPP/ABV atau ABVD.
Tabel 5. Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada morbus Hodgkin
Dosis (mg/m2)
Hari ke-
1 5 8 15
MOPPNitrogen mustardVinkristinProcarbazinePrednisone
6
1,4
100
25
i.v.
i.v.
p.o.
p.o.
+ +
+ +
—————————
—————————
ChlVPPChlorambusilVinblastinProcarbazinePrednisone
6
6
100
25
p.o.
i.v.
p.o.
p.o.
—————————
+ +
—————————
—————————
ABVDAdriamisinBleomisinVinblastin
25
10
i.v.
i.v.
+ +
+ +
DTIC6
250
i.v.
i.v.
+ +
+ +MOPP/ABV
Nitrogen mustardVinkristinProcarbazinePrednisoneAdriamisinVinblastinBleomisin
6
1,4
100
40
35
6
10
i.v.
i.v.
p.o.
p.o.
i.v.
i.v.
i.v.
+
+
——————
—————————
+
+
+CEP
CCNUEtoposidprednimustin
80
100
80
p.o.
p.o.
p.o.
+
———
———Keterangan : + dosis sekali
— diminum tiap hari berkelanjutan
Penanganan residif
Jika penderita hanya disinar pada terapi pertama dan kemudian mengalami residif,
maka dia harus ditangani dengan kemoterapi. Hasil-hasilnya dapat disamakan dengan
penderita yang dalam instansi pertama ditangani dengan kemoterapi. Pada residif sesudah
kemoterapi dengan atau tanpa radioterapi, kebijaksanaan ditentukan oleh interval akhir
terapi sebelumnya dan residifnya.
Prognosis penderita dengan residif selama atau segera sesudah (kurang dari 1
tahun) akhir kemoterapi pertama adalah buruk. Terapi dengan skema lain yang disebut
skema non cross resistant, ditambah dengan radiasi jika memungkinkan, memberi 20%
kemungkinan ketahanan hidup lebih lama pada residif dini. Jika penderita diterapi dengan
MOPP/ABV dan selama atau segera sesudah itu mendapat residif, akan lebih sukar lagi
untuk menemukan terapi lini kedua, karena hampir semua obat yang aktif telah terpakai
dalam skema ini.
Jika residif timbul belakangan ternyata dengan kemoterapi yang sama atau dengan
alternatif yang non cross resistant, ditambah dengan radioterapi jika masih
memungkinkan, dapat dicapai remisi jangka panjang pada 30-40% penderita.
Baik untuk residif dini maupun jangka setengah panjang sedang diadakan
penelitian mengenai nilai kemoterapi dosis tinggi dengan reinfusi sumsum tulang autolog
(ABMT). Prinsipnya adalah diambil sumsum tulang dan dibekukan. Kemudian penderita
diberi kemoterapi yang biasa dipakai untuk mencapai remisi sebaik mungkin, kemudian
diadakan intensifikasi dengan kemoterapi dosis tinggi, dengan reinfusi sumsum tulang
yang tersimpan untuk memperpendek periode pansitopenia. Tahun-tahun terakhir didapat
banyak pengalaman dalam hal ini. Sedang diadakan penelitian acak untuk menunjukkan
golongan penderita mana yang dengan prosedur demikian itu mendapat kenaikan
kemungkinan kesembuhan dibanding dengan terapi standar.
Perkembangan yang lebih baru sebagai pengganti sumsum tulang adalah sel induk
perifer (PSC) dipanen dari darah dan dikembalikan pada penderita. Sel-sel induk ini
dapat dimobilisasi dengan satu kuur kemoterapi dengan memberikan G-CSF
(Granulocyte stimulating factor). Efek tindakan ini adalah bahwa sesudah penurunan
singkat jumlah sel darah putih dalam darah perifer, jumlah itu meningkat lagi dengan
penambahan sel muda (diantaranya sel induk dengan CD34-positif). Ini melalui
leukoferesis dapat dikumpulkan dan dibekukan. Jika kemudian sel induk itu diberi dosis
tinggi kemoterapi dan diinfuskan, dengan cepat akan terjadi perbaikan nilai darah perifer
lagi. Perbaikan ini umumnya lebih cepat daripada jika sumsum tulang yang dikembalikan
(Richel, 1993).
Tabel 6. Pilihan terapi residif pada morbus Hodgkin
Terapi residif
Sesudah radioterapi
Kemoterapi, seperti pada penderita yang tidak diterapi sesudah kemoterapi
Interval pendek Kemoterapi lain dengan obat-obat yang tidak dipakai sebelumnya, dengan radioterapi dalam penelitian;
kemoterapi dosis tinggi dengan ABMT atau PSCT
Interval panjang Kemoterapi sama atau lain, jika mungkin dengan radioterapi dalam penelitian kemoterapi dosis tinggi dengan ABMT atau PSCT
Pada residif yang timbul sesudah waktu lama, artinya lebih lama daripada 5-7
tahun sesudah akhir kemoterapi pertama, pada umumnya diusahakan dengan kemoterapi
yang sama, atau variannya, dengan tambahan radioterapi untuk menginduksi remisi
kedua. Ini dapat berhasil pada residif lambat. Dalam hal ini orang tidak akan tergesa-gesa
memberikan dosis tinggi kemoterapi diteruskan dengan ABMT. Tindakan ini baru akan
dilakukan pada residif kedua. Skema yang dipakai pada residif lambat atau pada situasi
paliatif adalah skema CEP yang diberikan per oral.
Posted On: January 3rd, 2010Posted In: Ilmu BedahTags: Hodgkin, Imunitas, limfoma, reed-sternberg