limfoma hodgkin.doc

21
Limfoma Hodgkin Insidensi Insidensi penyakit Hodgkin (morbus Hodgkin; MH) kira- kira 3 per 100.000 penderita per tahun. Pada pria insidensinya sedikit lebih tinggi daripada wanita. Perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2. Pada morbus Hodgkin distribusi menurut umur berbentuk bimodal yaitu terdapat dua puncak dalam distribusi frekuensi. Puncak pertama terjadi pada orang dewasa muda antara umur 18 – 35 tahun dan puncak kedua terjadi pada orang diatas umur 50 tahun. Selama dekade terakhir terdapat kenaikan berangsur- angsur kejadian morbus Hodgkin, terutama bentuk nodular sklerotik pada golongan umur lebih muda. Etiologi Patogenesis morbus Hodgkin mungkin kompleks dan masih banyak hal yang kurang jelas dalam bidang ini. Epidemiologi morbus Hodgkin menunjukkan kemungkinan adanya peran infeksi virus yang berlangsung (abnormal) pada umur anak. Misalnya, negara non industri, dimana terjadi pemaparan terhadap virus yang umum terdapat pada umur lebih muda, puncak insidensi pertama morbus Hodgkin juga terjadi jauh lebih dini (antara 5 dan 15 tahun) daripada di negara-negara Barat. Dalam hal pemaparan terhadap virus umum terjadi belakangan, (misalnya pada keluarga kecil, status ekonomi social yang lebih

Upload: adit050289

Post on 27-Oct-2015

51 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Limfoma  Hodgkin.doc

Limfoma Hodgkin

Insidensi

Insidensi penyakit Hodgkin (morbus Hodgkin; MH) kira-kira 3 per 100.000

penderita per tahun. Pada pria insidensinya sedikit lebih tinggi daripada wanita.

Perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2. Pada morbus Hodgkin distribusi menurut

umur berbentuk bimodal yaitu terdapat dua puncak dalam distribusi frekuensi. Puncak

pertama terjadi pada orang dewasa muda antara umur 18 – 35 tahun dan puncak kedua

terjadi pada orang diatas umur 50 tahun. Selama dekade terakhir terdapat kenaikan

berangsur-angsur kejadian morbus Hodgkin, terutama bentuk nodular sklerotik pada

golongan umur lebih muda.

Etiologi

Patogenesis morbus Hodgkin mungkin kompleks dan masih banyak hal yang

kurang jelas dalam bidang ini. Epidemiologi morbus Hodgkin menunjukkan

kemungkinan adanya peran infeksi virus yang berlangsung (abnormal) pada umur anak.

Misalnya, negara non industri, dimana terjadi pemaparan terhadap virus yang umum

terdapat pada umur lebih muda, puncak insidensi pertama morbus Hodgkin juga terjadi

jauh lebih dini (antara 5 dan 15 tahun) daripada di negara-negara Barat. Dalam hal

pemaparan terhadap virus umum terjadi belakangan, (misalnya pada keluarga kecil, status

ekonomi social yang lebih tinggi) insidensi morbus Hodgkin relatif lebih tinggi. Ini dapat

menunjukkan bahwa mengalami infeksi virus tertentu mempunyai efek predisposisi, yang

terutama berlaku kalau infeksinya timbul pada usia lebih belakangan. Ada petunjuk

bahwa virus Epstein-Barr (EBV) mungkin memegang peran pada patogenesis morbus

Hodgkin. Dengan menggunakan teknik biologi molecular pada persentase yang cukup

tinggi kasus morbus Hodgkin (kecuali bentuk kaya limfosit) dapat ditunjukkan adanya

DNA EBV dalam sel Reed-Sternberg. Juga dapat ditunjukkan produksi protein EBV

tertentu. Tetapi, apakah ada hubungan kausal langsung antara infeksi EBV dan terjadinya

morbus Hodgkin, ataukah ada kausa bersama untuk kedua fenomena tanpa hubungan

kausa langsung (misalnya imunodefisiensi relatif) masih belum jelas.

Page 2: Limfoma  Hodgkin.doc

Klasifikasi

Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam hal

ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear) dengan

gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem klasifikasi

histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang lalu telah dikembangkan oleh Lukes

dan Butler, masih selalu berlaku sebagai dasar pembagian penyakit Hodgkin.

Dibedakan empat bentuk utama. Bentuk nodular sklerotik (HB-NS) terciri oleh

adanya varian sel Hodgkin, sel lakunar, dalam latar belakang limfosit, granulosit, sel

eosinofil, dan histiositik. Sel Reed-Sternberg tidak sangat sering. Kelenjar limfe sering

mempunyai susunan nodular, dengan di dalamnya terlihat pita-pita jaringan ikat yang

sedikit atau kurang luas yang sklerotik.

Pada bentuk sel campuran (HD-MC) latar belakang juga terdiri dari granulosit,

eosinofil, sel plasma, dan histiosit, tetapi disini banyak terlihat sel Reed-Sternberg.

Diagnosis bentuk miskin limfosit (HD-LD) di negara industri sudah jarang dibuat.

Gambaran ini ternyata sering berdasar atas (sub) tipe morbus Hodgkin atau limfoma non-

Hodgkin. Bentuk kaya limfosit (HD-LP) terciri oleh varian sel Hodgkin yang lain, sel L

dan H dengan latar belakang limfosit kecil dan histiosit reaktif.

Tabel 1. Klasifikasi histopatologik morbus Hodgkin

(Klasifikasi Lukes-Butler dan Rye, 1966)

Tipe utama Sub-tipe FrekuensiBentuk lymphocyte predominance (LP) Nodular

Difus

}5%

Bentuk nodular sclerosis (NS) 70-80%Bentuk Mixed Cellulating (MC) 10-20%Bentuk Lymphocyte Depletion (LD) Reticular

Fibrosis difus

}1%

Page 3: Limfoma  Hodgkin.doc

Gambar 1. Bentuk histopatologik limfoma hodgkin

Mengenai sifat sel Reed-Sternberg masih banyak hal yang belum jelas. Dianggap

dapat merupakan sel T atau sel B yang teraktivasi, yang sedikit banyak dikuatkan oleh

data biologi molecular; hanya pada bentuk kaya limfosit karakter sel B jelas.

Manifestasi klinis

Penyakit ini pada 70% kasus menampakkan diri pada pembesaran kelenjar limfe,

biasanya di leher. Kelenjar ini sering asimtomatik. Jika terjadi di bawah m.

sternocleidomastoideus dapat terjadi pembengkakan difus yang besar di sisi leher yang

bersangkutan. Mediastinum sering terlibat dalam proses dan keluhan-keluhan dapat

timbul dari kelainan di tempat tersebut. Penderita muda umumnya menunjukkan kelenjar

limfe yang keras, teraba seperti karet dan membesar, di daerah leher bawah atau daerah

supraklavikula, atau disertai batuk kering non produktif sekunder akibat limfadenopati

halus.

Gambar 2. Mekanisme pembesaran kelenjar limfe

Page 4: Limfoma  Hodgkin.doc

Keringat malam, turunnya berat badan sekitar 10% atau febris (gejala B) pada 20-

30% kasus merupakan presentasi pertama, terutama pada proses yang lebih luas. Pada

15% kasus disebutkan adanya nyeri pada penggunaan alkohol.

Gejala-gejala pembengkakan kelenjar limfe dengan kadang-kadang febris, dapat

juga terjadi pada infeksi umum seperti toksoplasmosis, mononukleosis infeksiosa atau

infeksi virus lain yang terdapat pada umur itu, atau pada infeksi regional. Pada

pembengkakan kelenjar yang persisten, jika tidak dijumpai inflamasi regional, harus

cepat diadakan biopsi untuk penentuan diagnosis. Pungsi sitologik dapat dikerjakan dulu

untuk orientasi. Biopsi jaringan diperlukan untuk penentuan klasifikasi yang tepat. Jika

ada dugaan ke arah limfoma maligna pada biopsi harus disisihkan material untuk

pemeriksaan imunologik dan kalau perlu pemeriksaan DNA untuk penetapan

monoklonalitas dan untuk menentukan imunofenotipe.

Gambar 3. Pembesaran kelenjar limfe

Diagnosis

Pemeriksaan untuk penentuan stadium meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan fisik diperhatikan kelenjar regional, hepar

dan lien. Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik. Sel Reed

Stenberg yang merupakan bentuk histiosit (makrofag jaringan) ganas adalah temuan khas

pada limfoma Hodgkin. Pemeriksaan rontgen terdiri atas foto toraks dan CT-scan toraks

untuk mencari kalau ada perluasan mediastinal atau pleural. Untuk pemeriksaan perut ada

dua kemungkinan, CT-scan atau limfangiografi. Sebaiknya dimulai dengan CT-scan. Jika

Page 5: Limfoma  Hodgkin.doc

ini negatif, diperlukan limfangiografi, karena kadang-kadang terdapat kelenjar yang

mempunyai struktur abnormal tetapi tidak jelas membesar, sehingga mungkin tidak

terlihat pada CT-scan. Keuntungan limfangiografi di samping itu adalah bahwa

kontrasnya masih tampak 1-2 tahun, sehingga perjalanan penyakit dapat diikuti dengan

foto polos abdomen biasa.

Pengeboran tulang pada umumnya juga harus dikerjakan, dan jelas jika ada

simptom B. Tetapi, dalam hal misalnya stadium I tanpa keluhan arti diagnostiknya hanya

sedikit dan pemeriksaan itu tidak perlu dikerjakan.

Pemeriksaan isotop dengan gallium radioaktif dapat memberi gambaran mengenai

sarang-sarang di tempat lain dalam tubuh yang tidak dapat ditetapkan dengan

pemeriksaan rutin penentuan stadium biasa. Keterandalan pemeriksaan ini masih diteliti.

Jika kelenjar limfe juga meresorbsi gallium, pemeriksaan ini dapat juga digunakan pada

akhir terapi untuk mengetahui apakah ada massa sisa, misalnya di dalam mediastinum,

yang masih mengandung tumor yang aktif. Ini mempunyai arti prognostik.

Laparotomi untuk penetapan stadium dengan splenektomi dalam periode 1970-

1980 sering digunakan untuk kelengkapan pemeriksaan stadium. Ternyata bahwa pada

20-30% kasus terdapat sarang-sarang occult di limpa dan kelenjar limfe. Digunakan

terminology stadium klinik (sebelum laparotomi) dan stadium patologik (sesudah

laparotomi diikuti splenektomi). Kira-kira 20-30% penderita dalam stadium klinik I atau

II ternyata sebenarnya berada dalam stadium III. Sebaliknya 10% penderita dalam

stadium III ternyata sebenarnya berada dalam stadium I atau II.

Laparotomi untuk menetapkan stadium juga menunjukkan keberatan, seperti

morbiditas operasi, mortalitas (1%) dan kenaikan kemungkinan infeksi, terutama sepsis

pneumokokus. Juga dinyatakan bahwa kemungkinan untuk leukemia sekunder menjadi

lebih besar sesudah splenektomi.

Laparotomi dengan splenektomi sebagai penetapan stadium pada waktu ini

sebenarnya sudah tidak dikerjakan lagi. Jika seorang penderita harus menjalani

splenektomi diperlukan vaksinasi pneumokokus.

Page 6: Limfoma  Hodgkin.doc

Tabel 2. Penetapan diagnosis limfoma Hodgkin

Anamnesis Gejala-gejala B

Anamnesis keluarga

Mononukleosis infeksiosa sebelumnya

Pemeriksaan Kelenjar-kelenjar : lokalisasi & besarnya

Pembesaran hepar, limpa

Pemeriksaan THT pada kelenjar leher

Pemeriksaan laboratorium LED, Hb, leukosit, trombosit

Faal hati dan ginjal

SLDH

Pemeriksaan roentgen X-thorax

CT-scan toraks-abdomen

Limfangiogram

Pemeriksaan sumsum tulang Biopsi tulang Yamshidi

Dipertimbangkan/jika indikasi scan ada

Gallium

Scan tulang

Biopsi hepar

Stadium

Untuk pembagian stadium masih selalu digunakan klasifikasi Ann Arbor. Dalam

suatu pertemuan kemudian diadakan beberapa perubahan.

Atas dasar penetapan stadium klinis pada penyakit Hodgkin pada 60% penderita

penyakitnya terbatas pada stadium I atau II. Pada 30% penderita terdapat perluasan

sampai stadium III dan pada 10-15% terdapat pada stadium IV. Ini berbeda dengan

limfoma non-Hodgkin, yang biasanya terdapat pada stadium III-IV.

Page 7: Limfoma  Hodgkin.doc

Gambar 4. Stadium morbus Hodgkin berdasarkan klasifikasi Ann Arbor

Tabel 3. Pembagian stadium morbus Hodgkin

Stadium I Penyakit mengenai satu kelenjar limfe regional yang terletak diatas atau dibawah diafragma (I) atau satu regio ekstralimfatik atau organ (IE)

Stadium II

Penyakit mengenai dua atau lebih daerah kelenjar di satu sisi diafragma (II) atau kelainan ekstralimfatik atau organ terlokalisasi dengan satu atau lebih daerah kelenjar di sisi yang sama diafragma (IIE)

Stadium III

Penyakit mengenai daerah kelenjar di kedua sisi diafragma (III), dengan atau tanpa kelainan ekstralimfatik atau organ (IIIE), lokalisasi limpa (IIIE) atau kedua-duanya (IIIE).

Stadium IV

Penyakit telah menjadi difus / menyebar mengenai satu atau lebih organ atau jaringan ekstralimfatik, seperti sumsum tulang atau hati dengan atau tanpa kelainan kelenjar limfe.

Terapi

Tiap penderita dengan penyakit Hodgkin harus diterapi dengan tujuan kuratif. Ini

juga berlaku untuk penderita dalam stadium III dan IV dan juga untuk penderita dengan

residif sesudah terapi pertama.

Ini berarti bahwa terapi harus cepat dimulai dan bahwa ini tidak boleh dihentikan

atau dikurangi tanpa alasan yang berat. Sebelum mulai terapi harus ada pembicaraan

antara radioterapis dan internis untuk menentukan program terapi.

Tabel 4. Pilihan terapi pertama pada morbus Hodgkin

Terapi pertama

Stadium I – II - Terapi standar: radiasi lapangan mantel dan radiasi kelenjar paraaorta dan limpa; kadang-kadang hanya lapangan mantel saja

Page 8: Limfoma  Hodgkin.doc

- Jika ada faktor resiko, kemoterapi dilanjutkan dengan radioterapi

- Dalam penelitian, kemoterapi terbatas dengan “involved field radiation”

Stadium IIIA Kemoterapi ditambah dengan radioterapi

Stadium IIIB – IV

Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi

1. Stadium klinik I dan II

Terapi standar dalam stadium I dan II adalah radioterapi. Untuk lokalisasi di

atas diafragma ini terdiri atas radiasi lapangan mantel, diikuti dengan radiasi daerah

paraaortal dan limpa, yang terakhir ini karena kemungkinan 20-30% dalam daerah

ini, seperti ternyata dari hasil laparotomi penetapan stadium. Terapi demikian itu

berlangsung 4 minggu untuk daerah mantel dan sesudah periode istirahat 3-4

minggu, 4 minggu untuk daerah kelenjar limfe paraaortal dan limpa. Dengan terapi

ini ketahanan hidup bebas penyakit yang berlangsung lama adalah kira-kira 75%,

ketahanan hidup total kira-kira 90%. Ini dengan titik tolak bahwa periode bebas

penyakit 5-7 tahun berarti penyembuhan. Residif terutama terjadi pada tahun-tahun

pertama sesudah terapi.

Jika lokasi kelainannya di bawah diafragma, dalam stadium I atau II

diberikan penyinaran Y terbalik, dengan menyinari kelenjar limfe paraaortal, limpa,

kelenjar iliakal dan kelenjar inguinal. Pada radiasi ini ovarium terdapat dalam

lapangan penyinaran. Karena itu dipertimbangkan pada wanita muda untuk

menempatkan ovarium di luar lapangan penyinaran. Jika kelainan di perut sangat

voluminous, maka dipilih kemoterapi dalam kombinasi dengan radioterapi.

Ada beberapa perkecualian terhadap garis pedoman standar ini. Dalam hal-

hal tertentu hanya dapat dipertimbangkan penyinaran lapangan mantel, misalnya

pada stadium I terbatas pada wanita-wanita, dengan lokasi tinggi di leher.

Pengalaman menunjukkan bahwa lokasi occult di dalam perut, jadi residif disitu,

jarang terdapat. Ada 3 golongan penderita dalam stadium klinik I dan II yang

untuknya radioterapi saja tidak memberi hasil yang optimal. Kelompok pertama

terdiri atas penderita yang mempunyai mediastinum sangat lebar (lebar mediastinum

misalnya > 1/3 diameter toraks, diukur setinggi vertebra torakal 5-6). Penderita ini

Page 9: Limfoma  Hodgkin.doc

sering mendapat residif di paru atau dalam mediastinum jika hanya diberikan

radioterapi saja. Dalam hal ini lebih dipilih kombinasi kemoterapi dan radioterapi.

Golongan kedua terdiri atas penderita yang meskipun dalam stadium II

mempunyai berbagai lokalisasi kelenjar limfe, misalnya bilateral di leher,

mediastinum atau aksila. Pengalaman menunjukkan bahwa pada penderita yang

diberikan radiasi saja sering (40-50%) timbul residif, juga kalau perut atas ikut diberi

sinar. Juga laju endap darah yang tinggi atau umur lebih dari 50 tahun tampaknya

memperbesar kemungkinan residif.

Golongan ketiga terdiri atas wanita muda. Ada laporan bahwa penyinaran

lapangan mantel yang diberikan pada wanita antara 15-25 tahun, sesudah 10-15

tahun memberikan kemungkinan karsinoma payudara yang meningkat. Ini menjadi

alasan bagi kelompok ini untuk di terapi dengan kemoterapi dalam kombinasi

dengan penyinaran terbatas, dengan sebagian besar menghindari payudara.

Jadi, penderita dalam stadium I atau II dengan faktor resiko ini secara inisial

harus diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan penyinaran. Tahun-tahun akhir ini

pada umumnya ada tendensi untuk juga stadium I dan II penderita tanpa faktor resiko

tambahan diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan radiasi. Alasan untuk ini adalah

bahwa misalnya sebagai akibat penyinaran lapangan mantel sesudah 10-15 tahun,

juga terdapat kenaikan kemungkinan timbul masalah kardial.

Dalam hal ini dipilih kombinasi kemoterapi, dengan efek samping relatif

sedikit, dan radioterapi terbatas pada daerah yang terkena. Sementara sebaiknya

kombinasi ini tidak digunakan dahulu di luar penelitian.

Gambar 5. Jenis-jenis radioterapi

1. Stadium IIIA

Jika dalam stadium III perluasannya hanya terbatas, radiasi memang

mungkin, misalnya dalam situasi klinis stadium klinik II pada laparotomi terdapat

Page 10: Limfoma  Hodgkin.doc

perluasan terbatas di limpa atau perut atas. Penyinaran harus terdiri dari radiasi

lapangan mantel dan radiasi Y terbalik (radiasi “total node”). Pada stadium klinik III

lebih dipilih penanganan dengan kemoterapi. Penderita ini diterapi sebagai pasien

dalam stadium IIIB – IV.

2. Stadium IIIB – IV

Penderita dalam stadium ini diterapi dengan kemoterapi (Longo, 1990).

Skema MOPP yang telah lama sebagai pilihan pertama tampaknya digeser oleh

skema MOPP/ABV. Dalam hal ini pada hari ke-1 dan ke-8 dapat diberikan berbagai

obat. Dari penelitian ternyata bahwa dengan pilihan ini kemungkinan penyembuhan

lebih besar daripada dengan MOPP saja. Persentase remisi komplit adalah 80%,

dengan 60% kemungkinan penyembuhan.

Sesudah periode istirahat biasanya 2 minggu seri berikutnya diberikan,

dengan kadang-kadang mengatur kembali dosisnya atas dasar jumlah leukosit dan

trombosit. Mengenai lamanya terapi berlaku aturan bahwa diberikan terapi sampai

tercapai remisi komplit, diteruskan dengan 2 terapi konsolidasi. Jika cepat terjadi

remisi ini berarti 6 seri, jika tidak, menjadi 8 seri. Lebih lama dari ini tidak ada

artinya.

Pertanyaannya adalah apakah ada artinya bila pada kemoterapi diberikan

penyinaran tambahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Ini tidak

seluruhnya jelas. Kemungkinan residif lokal di daerah yang disinar dapat diperkecil,

tetapi belum jelas dibuktikan bahwa kemungkinan kurasi menjadi lebih baik.

Pada penderita yang lebih tua juga digunakan skema ChlVPP, yang pada

umumnya lebih baik ditoleransi. Mengenai efek samping kemoterapi disamping efek

akut yang terjadi (misalnya nausea, vomitus, depresi sumsum tulang, dan kerontokan

rambut), juga harus diperhatikan efek samping yang timbul kemudian. Pada terapi

MOPP pada laki-laki terjadi sterilitas yang menetap dalam persentase yang tinggi.

Sebaiknya sebelum mulai terapi harus dibicarakan dengan penderita resiko

infertilitas dan kemungkinan pembekuan spermanya. Meskipun pada terapi

MOPP/ABV resikonya lebih kecil, disini juga harus dilakukan pembekuan sperma.

Pada wanita harus diperhatikan kemungkinan amenorrhea jika mereka lebih tua

Page 11: Limfoma  Hodgkin.doc

daripada 25-30 tahun. Pada wanita lebih muda kemungkinan cukup besar bahwa

siklus dan fertilitasnya tetap utuh.

Tampaknya lebih mungkin bahwa pada laki-laki maupun wanita fertilitas

lebih dapat dipertahankan pada terapi ABVD.

Selanjutnya ada resiko terjadinya tumor kedua seperti leukemia sekunder dan

limfoma non-Hodgkin (Van Leeuwen, 1994). Kemoterapi memegang peran dalam

hal ini. Terapi MOPP terkenal tidak baik dalam hal terjadinya leukemia sekunder.

Kemungkinannya adalah 5% sesudah 10 tahun. Nitrogen mustard, suatu zat pengalkil

tampaknya merupakan penyebab terbesar. Ini juga menjadi alasan bahwa akhir-akhir

ini lebih disukai skema-skema dengan mengurangi obat pengalkil atau sama sekali

tidak, seperti MOPP/ABV atau ABVD.

Tabel 5. Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada morbus Hodgkin

Dosis (mg/m2)

Hari ke-

1 5 8 15

MOPPNitrogen mustardVinkristinProcarbazinePrednisone

6

1,4

100

25

i.v.

i.v.

p.o.

p.o.

+ +

+ +

—————————

—————————

ChlVPPChlorambusilVinblastinProcarbazinePrednisone

6

6

100

25

p.o.

i.v.

p.o.

p.o.

—————————

+ +

—————————

—————————

ABVDAdriamisinBleomisinVinblastin

25

10

i.v.

i.v.

+ +

+ +

Page 12: Limfoma  Hodgkin.doc

DTIC6

250

i.v.

i.v.

+ +

+ +MOPP/ABV

Nitrogen mustardVinkristinProcarbazinePrednisoneAdriamisinVinblastinBleomisin

6

1,4

100

40

35

6

10

i.v.

i.v.

p.o.

p.o.

i.v.

i.v.

i.v.

+

+

——————

—————————

+

+

+CEP

CCNUEtoposidprednimustin

80

100

80

p.o.

p.o.

p.o.

+

———

———Keterangan : + dosis sekali

— diminum tiap hari berkelanjutan

Penanganan residif

Jika penderita hanya disinar pada terapi pertama dan kemudian mengalami residif,

maka dia harus ditangani dengan kemoterapi. Hasil-hasilnya dapat disamakan dengan

penderita yang dalam instansi pertama ditangani dengan kemoterapi. Pada residif sesudah

kemoterapi dengan atau tanpa radioterapi, kebijaksanaan ditentukan oleh interval akhir

terapi sebelumnya dan residifnya.

Prognosis penderita dengan residif selama atau segera sesudah (kurang dari 1

tahun) akhir kemoterapi pertama adalah buruk. Terapi dengan skema lain yang disebut

skema non cross resistant, ditambah dengan radiasi jika memungkinkan, memberi 20%

kemungkinan ketahanan hidup lebih lama pada residif dini. Jika penderita diterapi dengan

MOPP/ABV dan selama atau segera sesudah itu mendapat residif, akan lebih sukar lagi

Page 13: Limfoma  Hodgkin.doc

untuk menemukan terapi lini kedua, karena hampir semua obat yang aktif telah terpakai

dalam skema ini.

Jika residif timbul belakangan ternyata dengan kemoterapi yang sama atau dengan

alternatif yang non cross resistant, ditambah dengan radioterapi jika masih

memungkinkan, dapat dicapai remisi jangka panjang pada 30-40% penderita.

Baik untuk residif dini maupun jangka setengah panjang sedang diadakan

penelitian mengenai nilai kemoterapi dosis tinggi dengan reinfusi sumsum tulang autolog

(ABMT). Prinsipnya adalah diambil sumsum tulang dan dibekukan. Kemudian penderita

diberi kemoterapi yang biasa dipakai untuk mencapai remisi sebaik mungkin, kemudian

diadakan intensifikasi dengan kemoterapi dosis tinggi, dengan reinfusi sumsum tulang

yang tersimpan untuk memperpendek periode pansitopenia. Tahun-tahun terakhir didapat

banyak pengalaman dalam hal ini. Sedang diadakan penelitian acak untuk menunjukkan

golongan penderita mana yang dengan prosedur demikian itu mendapat kenaikan

kemungkinan kesembuhan dibanding dengan terapi standar.

Perkembangan yang lebih baru sebagai pengganti sumsum tulang adalah sel induk

perifer (PSC) dipanen dari darah dan dikembalikan pada penderita. Sel-sel induk ini

dapat dimobilisasi dengan satu kuur kemoterapi dengan memberikan G-CSF

(Granulocyte stimulating factor). Efek tindakan ini adalah bahwa sesudah penurunan

singkat jumlah sel darah putih dalam darah perifer, jumlah itu meningkat lagi dengan

penambahan sel muda (diantaranya sel induk dengan CD34-positif). Ini melalui

leukoferesis dapat dikumpulkan dan dibekukan. Jika kemudian sel induk itu diberi dosis

tinggi kemoterapi dan diinfuskan, dengan cepat akan terjadi perbaikan nilai darah perifer

lagi. Perbaikan ini umumnya lebih cepat daripada jika sumsum tulang yang dikembalikan

(Richel, 1993).

Tabel 6. Pilihan terapi residif pada morbus Hodgkin

Terapi residif

Sesudah radioterapi

Kemoterapi, seperti pada penderita yang tidak diterapi sesudah kemoterapi

Interval pendek Kemoterapi lain dengan obat-obat yang tidak dipakai sebelumnya, dengan radioterapi dalam penelitian;

Page 14: Limfoma  Hodgkin.doc

kemoterapi dosis tinggi dengan ABMT atau PSCT

Interval panjang Kemoterapi sama atau lain, jika mungkin dengan radioterapi dalam penelitian kemoterapi dosis tinggi dengan ABMT atau PSCT

Pada residif yang timbul sesudah waktu lama, artinya lebih lama daripada 5-7

tahun sesudah akhir kemoterapi pertama, pada umumnya diusahakan dengan kemoterapi

yang sama, atau variannya, dengan tambahan radioterapi untuk menginduksi remisi

kedua. Ini dapat berhasil pada residif lambat. Dalam hal ini orang tidak akan tergesa-gesa

memberikan dosis tinggi kemoterapi diteruskan dengan ABMT. Tindakan ini baru akan

dilakukan pada residif kedua. Skema yang dipakai pada residif lambat atau pada situasi

paliatif adalah skema CEP yang diberikan per oral.

Posted On: January 3rd, 2010Posted In: Ilmu BedahTags: Hodgkin, Imunitas, limfoma, reed-sternberg