laporan praktek logi bab 1 okeokeokeokeoke.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Pada praktek farmakologi dilakukan terhadap hewan hidup seperti tikus, mencit dan
kelinci. Karena itu hewan coba harus diperlakukan dengan penuh kemanusiaan. Perlakuan
yang tidak wajar terhadap hewan percobaan dapat menimbulkan hasil pengamatan yang
menyimpang. Hewan percobaan sangat besar jasanya dalam merintis pengetahuan dan usaha
–usaha untuk memperbaiki kesehatan manusia. Sampai saat ini hewan coba berperan paada
kemajuan dunia kesehatan.
Dalam praktek farmakologi kita harus mengetahui karakteristik hewan coba, senyawa
yang digunakan dalam percobaan, cara - -cara pemberian obat, dosis yang akan diberikan dan
faktor – faktor lingkungan yang mempengaruhi hasil – hasil praktek percobaan.
1.2. TUJUAN
1. Untuk mengetahui cara – cara pemberian obat
2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi dosis obat
3. Untuk mengetahui efek lokal obat
4. Untuk mengetahui obat – obat yang bekerja terhadap sistem saraf pusat
5. Untuk mengetahui obat – obat yang bekerja terhadap sistem neuroefektor
6. Untuk mengetahui efek obat pada saluran cerna
1.3. METODE
Mengumpulkan data melalui buku dan melalui internet.
Laporan Praktek Farmakologi 1
BAB II
EKSPERIMEN DASAR
II.1 TUJUAN
a. Untuk mengetahui cara – cara pemberian obat
II.2 TINJAUAN PUSTAKA
Mencit ( Mus musculus ) merupakan hewan laboratorium yang paling luas dan paling
banyak digunakan untuk praktikum. Mencit merupakan anggota dari Muridae ( tikus-tikusan)
yang berukuran kecil. Mencit mudah dijumpai di rumah-rumah dan dikenal sebagai hewan
pengganggu karena kebiasaannya menggigiti mebel dan barang-barang kecil lainnya, serta
bersarang di sudut-sudut lemari. Hewan ini diduga sebagaimamalia terbanyak kedua di dunia,
setelah manusia. Mencit sangat mudah menyesuaikan diri dengan perubahan yang dibuat oleh
manusia, bahkan jumlahnya yang hidup liar di hutan barangkali lebih sedikit daripada yang
tinggal di perkotaan. Mencit percobaan (laboratorium) dikembangkan dari mencit, melalui
proses seleksi. Sekarang mencit juga dikembangkan sebagai hewan peliharaan (Amori, 1996).
Pemberian obat pada hewan uji dapat diberikan secara per oral, subkutan, intramuscular,
intravena,dan intraperitonial. ‘Secara per oral dapat dilakukan dengan mencampurkan dengan
makanan, bisa juga dengan menggunakan jarum khusus berukuran khusus 20 dan panjang 5 cm
untuk memasukkan obat langsung pada bagian esophagus hewan uji. jarum ini ujungnya bult dan
berlubang ke samping. Rute sebkutan paling mudah dilakukan pada mencit. Obat-obat dapat
diberikan kepda mencit dengan jarum yang panjangnya 0,5-1,0 cm dan ukuran 22-24 gauge.
Obat bisa disuntikkan di bawah kulit di daerah punggung atau di daerah perut. Kekurangan rute
ini adalah obat harus dapat larut dalam cairan hingga dapat disuntikkan. Rute pemberian obat
secara intramuscular lebih sulit dikarenakan otot mencit sangat kecil, obat bisa disuntikkan ke
otot paha bagian belakang dengan jarum panjang 0,5-1,0 cm dan ukuran 24 gauge. Suntikan
tidak boleh terlalu dalam agar tidak terkena pembuluh darah. Cara interperitonial hampir sama
dengan cara intramuscular, yaitusuntikan dilakukan di daerah abdomen di antara cartilage
xiphoidea dan symphisis pubis (Siswandono, 1995)
Laporan Praktek Farmakologi 2
Factor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan adalah faktor internal
dan faktor eksternal. Adapun faktor internal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan meliputi
variasi biologic (usia dan jenis kelamin) pada usia hewan semakin muda maka semakin cepat
reaksi yang ditimbulkan, ras dan sifat genetik, status kesehatan dan nutrisi, bobot tubuh dan luas
permukaan tubuh. Factor eksternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan meliputi suplai
oksigen, pemeliharaan lingkungan fisologik (keadaan kandang,suasana asing atau baru,
pengalaman hewan dalam pemberian obat, keadaan rangan tempat hidup seperti sush,
kelembaban, ventilasi, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan), pemeliharaan keutuhan
struktur ketika menyiapkan jaringan atau organ untuk percobaan (Adnan, 2013).
II.3 CARA-CARA PEMBERIAN OBAT
Setelah menyelesaikan eksperimen ini mahasiswa eksperimen ini mahasiswa akan :
1. Mengenai tahap–tahap manisfestasi anestesi dan tahap–tahap pemulihan dari anestesi.
2. Sanggup mengaitkan tahap–tahap manifestai anestasi yang diamatidengan struktur fungsi
tertentu di sistem saraf yang dipengaruhi pada tahap tersebut
3. Mampu menganalisa landasan perbedaan anestesi oleh berbagai zat anasetetika.
4. Dapat mengutarakan aplikasi–aplikasi praktis dari berbagai tahap / tingkat manifestasi
anestesi.
5. Dapat mengutarakan berbagai impilikasi praktis dari pra- medikasi.
Rute pemberian obat merupakan salah satu factor yang mempengaruhi efek obat, karena
karateristik lingkungan fisiologis, anatomi dan biokimiawi yang berbeda pada daerah kontak
mula obat dan tubuh. Karateristika ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda, struktur
anatomi dari lingkungan kontak obat tubuh yang berbeda, enzim-enzimdan getah-getah fisiologis
yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan jumlah obat yang dapat
mencapai kerjanya dalam jangka waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian
obat.
Meskipun rute pemberian obat secara oral merupakan cara yang paling lazim, seringkali
rute ini tidak digunakan mengingat hal-hal yang dikemukakan, mengingat kondisi penerimanna
obat, dan didasarkan juga oleh sifat-sifat obat itu sendiri.
Laporan Praktek Farmakologi 3
Rute oral
Prosedur
Tikus dipegang pada tengkuknya, jarum oral yang telah dipasang pada alat suntik berisi obat,
diselipkan dekat langi – langit tikus dan diluncurkan masuk ke esofagus. Larutan diberikan
dengan menekan spuit pendorong sambil badan spuit ditahan agar ujung jarum oral tidak
melukai esofagus. Volume maksimum yang dapat diberikan adalah 5ml/100 gram bobot badan
(bb).
Rute subkutan (Sk)
Hewan percobaan, obat yang diberikan; dosis obat; konsentrasi, seperti pada pemberian rute oral.
alat yang diperlukan : alat suntik 1ml; jarum suntik No. 26,3/4-1 inch
Prosedur
Penyuntikan biasanya dilakukan di bawah kulit tengkuk atau abdomen; seluruh jarum ditusukkan
langsung kebawah kulit dan larutan obat didesak keluar dari alat suntuk.
Rute intravena (IV)
Hewan percobaan, obat yang diberikan, dosis obat, konsentrasi obat, seperti pada pemberian rute
oral.
Prosedur
Tikus dimasukkan kedalam alat khusus yang memungkinkan ekornya keluar sebelum
disuntikkan. Sebaliknya pembukuh balik vena pada ekor didilatasi dengan penghangatan atau
pengolesan memakai pelarut organik seperti aseton atau eter; Bila jarum suntuk tidak masuk ke
vena, terasa ada tahanan, jaringan ikat daerah sekitar penyuntikan terlihat memutih dan bila
Laporan Praktek Farmakologi 4
Hewan percobaan : tikus putih, jantanobat diberikan : Pentotal Na, dosis 35 mg/kg bb, konsentrasi 3,5%
: Ketalaralat diperlukan : Alat suntik 1ml, jarum obat.
Hewan percobaan, obat yang diberikan; dosis obat; konsentrasi, seperti pada pemberian rute oral.alat yang diperlukan : alat suntik 1ml; jarum suntik No. 26,3/4-1 inch
Hewan percobaan, obat yang diberikan, dosis obat, konsentrasi obat, seperti pada pemberian rute oral.Alat yang diperlukan : alat suntik 1ml; jarum suntik N0.27,3/4-1 inch
piston alat suntik ditarik, tidak ada darah yang mengalir masuk kedalamnya. Dalam keadaan
dimana harus dilakukan peyuntikan berulang, penyuntikan dimulai dari bagian distal ekor
Rute intraperitoneal (IP)
Hewan percobaan, obat yang diberikan, dosis obat, konsentrasi obat, seperti pada pemberian rute
oral.
Alat yang diperlukan : alat suntik 1ml; jarum suntik N0.27,3/4-1 inch
Prosedur
Tikus dipegang pada tengkuknya sedemikian sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala.
Larutan obat disuntikkan ke dalam abdomen bawah dari tikus disebelah garis midsagital.
Rute intramuskular (IM)
Prosedur
Larutan obat disuntikkan ke dalam otot sekitar gluteuus maximus atau ke dalam otot paha lain
dari kaki belakang. Selalu perlu diperiksa apakah jarum tidak masuk ke dalam vena, dengan
menarik kembali piston alat suntik.
Rute rektal
Laporan Praktek Farmakologi 5
Hewan percobaan, obat yang diberikan, dosis obat, konsentrasi obat, seperti pada pemberian rute oral.Alat yang diperlukan : Alat suntik 1ml; jarum suntik N0.27,3/4-1 inch
Hewan percobaan, obat yang diberikan, dosis obat, konsentrasi obat, seperti pada pemberian rute oral.Alat yang diperlukan : Alat suntik 1ml; jarum suntik N0.26,1/2 inch
Hewan percobaan, obat yang diberikan, dosis obat, konsentrasi obat, seperti pada pemberian rute oral.Alat yang diperlukan : Keteter logam / silikon, alat suntik 1ml
Prosedur
Keteter di basahi lebih dahulu dengan parafin atau gliserin, setelah itu masukkan keteter dalam
rektum tikus, sejauh kira – kira 4 cm dan larutan obat di desak ke luar sehingga masuk ke
rektum.
II.4 ALAT DAN BAHAN
Hewan percobaan : tikus jantan dengan berat badan ± 200 gram
Alat percobaan : spuit 1 cc, jarum suntik, timbangan hewan
Obat yang digunakan : Phenobarbital 50 mg / 1 ml dan Phenobarbital 35 mg / 1 ml (untuk
intravena)
II.5 PERHITUNGAN DOSIS
Oral
Faktor konversi manusia ke tikus : 200 gram = 0,018 mg
0,018 mg x 50 mg = 0,9 mg
Tikus I, berat badan = 220 gram
220 gram / 200 gram x 0,9 mg = 0,99 mg
Volume obat yang disuntikkan = 0,99 mg / 50 mg x 1 ml = 0,0198 ml = 0,02 ml
Tikus II, berat badan = 230 gram
230 gram / 200 gram x 0,9 mg = 1,035 mg
Volume obat yang disuntukkan = 1,035 mg / 50 mg x 1 ml = 0,0207 ml = 0,02 ml
Subcutan
Factor konversi manusia ke tikus = 200 gram = 0,018 mg
0,018 mg x 50 mg = 0,9 mg
Tikus I, berat badan = 200 gram
200 gram / 200 gram x 0,9 mg = 0,9 mg
Volume obat yang disuntikkan = 0,9 mg / 50 mg x 1 ml = 0,018 ml = 0,02 ml
Tikus II, berat badan = 210 gram
210 gram / 200 gram x 0,9 mg = 0,945 mg
Volume yang disuntikkan = 0,945 mg / 50 mg x 1 ml = 0,0189 ml = 0,02 ml
Laporan Praktek Farmakologi 6
Intravena
Phenobarbital 35 mg / 1 ml
Factor konversi manusia ke tikus = 200 gram = 0,018 mg
0,018 mg x 35 mg = 0,63 mg
Tikus I, berat badan = 210 gram
210 g / 200 g x 0,63 mg = 0,662 mg
Volume yang disuntikkan = 0,622 mg / 50 mg x 1 ml = 0,0132 ml = 0,01 ml
Tikus II, berat badan = 230 gram
230 gram / 200 gram x 0,63 mg = 0,724 mg
Volume yang disuntikkan = 0,724 mg / 50 mg x 1 ml = 0,01448 ml = 0,01 ml
II.6 PENGAMATAN
1. Untuk masing – masing rute pemberian obat, catat waktu pemberiannya, catat waktu
pemberiannya, saat timbul dan hilangnya efek masing – masing rute pemberiannya.
2. Efek yang di amati, yaitu berbagai tingkat depresi, seperti di antaranya :
a. Aktifitas spontan dari respon terhadap stimulus pada keadaan normal.
b. Perubahan aktifitas, spontan atau dengan stimulasi ( gerakan tidak terkoordinasi)
c. Tidak ada respon lokomotorik kalau di stimulasi, tetapi righting reflex, masih ada
d. Usaha untuk menegakkan diri tidak berhasil.
e. Diam, tidak bergerak. Usaha untuk menegakkan diri tidak lagi dicoba
3. Buatkan tabel yang memuat hasil – hasil pengamatan saudara. Dari tabel ini dapat dilihat
secara lengkap, apa yang saudara kerjakan dan hasil – hasil percobaan yang di amati.
Laporan Praktek Farmakologi 7
Hewan Obat CP Dosis
Pengamatan ( waktu timbul efek )
Perubahan
aktifitas
RR+ Sedasi Hipnotip Anestesi N
Tikus Phenobarbital Oral I 0,02 ml ± 26 menit - ± 36 menit ± 55' 22" - -
Oral II 0,02 ml ± 14 menit - ± 20 menit ± 1 jam 27' - -
Tikus Phenobarbital SC I 0,02 ml ± 36' 15" - ± 57 menit ± 1 jam 2' - -
SC II 0,02 ml ± 30 menit - ± 45 menit ± 58' 47" - -
Tikus Phenobarbital IV I 0,01 ml ± 22 detik - ± 10 menit ± 15' 10" - -
IV II 0,01 ml ± 25 detik - ± 5 menit ± 10' 20" - -
Tikus Phenobarbital IM I 0,03 ml ± 56menit - ± 45 menit ± 60 menit - -
IM II 0,02 ml ± 5 menit - ± 50 menit ± 1 jam 15' - -
Tikus Phenobarbital Rektal I 0,02 ml ± 10 menit - ± 20 menit ± 25 menit - -
Rektal
II
0,03 ml ± 10 menit - ± 15 menit ± 20 menit - -
Tikus Phenobarbital IP I 0,02 ml ± 5 menit - ± 10 menit ± 20 menit - -
IP II 0,02 ml ± 7 menit - ± 15 menit ± 22 menit - -
IP III 0,02 ml ± 5 menit - ± 10 menit ± 20 menit - -
Laporan Praktek Farmakologi 8
II.7 PEMBAHASAN
1. Cara memegang hewan percobaan sehingga siap diberi sediaan uji
Pada praktikum pemberiaan obat pada hewan uji, pertama kali yang dilakukan
adalah memegang mencit dengan benar. Adapun cara memengang menccit yang benar yaitu itu
dengan mengangkat ujung ekor mencit dengan tangan dan mengeluarkannya dari kandang
kemudian meletakkannya di tempat yang permukaannya kasar (misalnya pada rang kawat pada
penutup kandang), kemudian menjinakkannya dengan cara mengelus-elus bagian tekuk mencit
menggunakan jarin telunjuk. Stress pada mencit ditandai dengan mekarnya rambut pada tubuh
mencit lalu tubuhnya bergetar, mencitpun jadi liar.Kemudian setelah mencit tenang kita menarik
kulit pada bagian tengkuk mencit dengan jari tengah dan ibu jari tangan kiri, dan tangan kanan
memegang ekornya lalu membalikkan tubuh mencit sehingga menghadap ke atas dan menjepit
ekor dengan kelingking dan jari manis tangan kiri. Pada percobaan yang kami lalukan sebanyak
3 dari 4 mencit yang coba kami jinakkan terlihat stress sehingga bertindak liar.
2. Cara memberikan obat pada hewan percobaan
a. Oral
Pemberian obat secara oral pada tikus dilakukan dengan alat suntik yang dilengkapi
jarum berujung tumpul sonde oral, dengan cairan obat sebanyak (aquades) 1
ml. Kita menarik kulit pada bagian tengkuk tikus dengan jari tengah dan ibu jari tangan kiri, dan
tangan kanan memegang ekornya lalu membalikkan tubuh tikus sehingga menghadap ke kita dan
menjepit ekor dengan kelingking dan jari manis tangan kiri. Dimana posisi kepala tikus
menengadah dan mulutnya sedikit terbuka, sonde oral (jarum tumpul) ditempatkan pada langit
langit mulut atas tikus kemudian memasukkan perlahan sampai ke esophagus dan cairan obat
dimasukkan. Lakukan percobaan secara duplo.
b. Subkutan
Pemberian obat secara Subkutan yaitu dengan melakukan penyuntikan di bawah kulit
pada daerah tengkuk, dengan terlebih dahulu tengkuk dicubit dengan jempol dan telunjuk.
kemudian bersihkan area kulit yang akan disuntik dengan alcohol 70%. Masukkan cairan obat
sebanyak 0,02 ml dengan menggunakan alat suntik 1 ml secara horisontal dari arah depan
Laporan Praktek Farmakologi 9
menembus kulit. Penyuntikan ini dilakukan dengan cepat untuk menghindari pendarahan yang
terjadi dengan kepala tikus. Lakukan percobaan secara duplo.
c. Intramuscular
Pemberian cairan obat disuntikkan pada paha posterior. Tikus dipegang dengan
cara menyamping. Dimana ibu jari dan telunjuk memegang kepala tikus dengan tangan kiri
kemudian kelingking dan jari manis memegang paha dan perut bagian kiri tikus. Bersihkan area
kulit yang akan disuntik dengan alcohol 70%. Masukkan obat dengan menggunakan alat suntik 1
ml sebanyak 0,03 ml. Dan lakukan percobaan kedua dengan dosis 0,02 ml.
d. Intraperitoneal
Pemberian obat secara intraperitoneal yaitu dengan cara tikus dipegang dan diposisikan
telentang, pada penyuntikan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Jarum disuntikkan dari
abdomen yaitu, pada daerah yang menepi dari garis tengah, agar jarum suntik tidak terkena
kandung kemih dan tidak terlalu tinggi supaya tidak terkena penyuntikan pada hati. Masukkan
obat dengan menggunakan alat suntik 1 ml sebanyak 0,02 ml. Lakukan percobaan sebanyak 3x.
e. Intravena
Pemberian obat secara intravena yaitu dengan cara memasukkan tikus kedalam wadah
penahan tikus dengan ekornya menjulur ke luar. Basuh ekor dengan alcohol 70% lalu suntikkan
obat ke dalam vena (berwarna biru) dengan cara suntik lalu tarik sedikit, jika keluar darah berarti
sudah benar, baru suntikkan seluruh obat dengan dosis 0,01 ml. Lakukan percobaan secara
duplo.
f. Rectal
Pemberian obat melalui rectal dengan cara tikus dipegang erat, lalu angkat ekornya dan
masukkan obat dengan jarum suntik seperti pada penggunaan sonde. Masukkan obat dengan
dosis 0,02 ml dan untuk percobaan kedua 0,03 ml.
Laporan Praktek Farmakologi 10
II.8 KESIMPULAN
Pemberian suatu obat dapat dilakukan dengan berbagai macam, yaitu: oral, IV, IM, IP, subkutan dan rektal.
Pemberian Phenobarbital secara oral memberikan mula kerja cepat, tetapi mempunyai lama kerja yang singkat.
Cara pemberian IM mengalami mula kerja yang paling cepat. Sedangkan seharusnya adalah IV.
Adapun cara pemberian obat terhadap hewan uji dapat dilakukan dengan 4 cara, yaitu:
a. Cara oral yaitu memasukkan obat melalui mulut hingga mencapai esophagus.
b. Cara intramuscular yaitu menyuntikkan obat pada bagian posterior paha.
c. Cara intraperitoneal yaitu menyuntikkan obat pada bagian abdomen.
d. Cara subkutan yaitu menyuntikkan obat pada bagian bawah kulit pada daerah tengkuk
Laporan Praktek Farmakologi 11
BAB III
VARIASI BIOLOGIS
III.1 TUJUAN
Untuk mengetahui pengaruh variasi biologis terhadap dosis obat yang diberikan kepada
hewan percobaan
III.2 TINJAUAN PUSTAKA
Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata yang cocok untuk sebagian
besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini bisa terlalu besar sehingga menimbulkan efek
toksik atau terlalu kecil sehingga tidak efektif. Tanpa adanya kesalahan medikasi,kepatuhan
pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pada pembberian per oral, jumlah obat yang
diserap ditentukan oleh bioavailabilitas obat tersebut,dan bioavailabilitas ditentukan dengan
mutu obat tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat yang
diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor
farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologi yang ditimbulkan oleh kadar obat
disekitar tempat reseptor tersebut.
Untuk kebanyakan obat, keragaman respon pasien terhadap obat terutama disebabkan
oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik,kecepatan
biotransformasi suatu obat menunjukan variasi yang terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan
dalam faktor-faktor farmakodinamik merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman
respon pasien. Variasi dalam berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari
perbedaan individual dalam fisiologi,kondisi,patologi,faktor genetic, interaksi obat dan toleransi.
Ada 4 hal yang dilihat dalam menentukan hewan coba pada variasi biologic, yaitu :
Umur
Bayi atau hewan yang baru lahir memiliki respon yang berbeda dengan hewan yang telah
dewasa. Disebabkan oleh pendewasaan organism. Misalkan tikus, hamster, dan mencit. Hewan
Laporan Praktek Farmakologi 12
tersebut terlahir dengan sawar otak yang secara fungsional tidak matang dan kadar amino tak
lebih rendah dari hewan dewasanya. Indikasi lain untuk membedakan hewan yang lebih muda
dan lebih tua dengan memberikan reserpin pada bayi tikus dan terjadi pengosongan katekolamin
otak, hal tersebut disebabkan oleh dosis reserpin jauh lebih intensif pada hewan muda
dibandingkan dengan hewan yang lebih tua.
Spesies
Pemilihan spesies akan sangat berpengaruh pada tingkat keberhasilan penelitian.
Percobaan dilakukan ada yang menggunakan spesies yang relative kecil dan ada juga spesies
yang karakteristik yang unit yang memberikan keuntungan bagi peneliti obat spesifik. Sebagai
contoh monyet memiliki sistem respirasi dan thoraks yang sama dengan manusia. Setiap hewan
berbeda-beda responnya,disebabkan oleh injeksi SC. Sebagai contoh respon obat pada kelinci
dan tikus. Pada kelinci darahnya yang membuat relative resistensi terhadap blockade atropine
sedangkan pada tikus terjadi reflex muntah.
Strain
Strain hewan yang memiliki aplikasi spesifik didalam peneliti analog penyakit manusia,
termasuk mencit yang gemuk secara genetis yang kurang peka terhadap ambilan diafragmatik
strain mencit secara konsisten lebih rendah dari pada mencit jantan dan setiap strain yang
diwariskan.
Jenis Kelamin
Penelitian untuk menetukan perbedaan aktivitas biologis antara hewan jantan dan betina.
Betina memiliki siklus yang berhubungan dengan ovulasi misalnya siklus estrus begitu juga
dengan sebaliknya , sebagai contoh tikus dianastesi dengan disuntikan oksitoksin. Selama fase
diestrus dan anestrus bersifat vasodilator. Namun pada fase estrusoksitoksin menyebabkan
vasokontriksi dan menyebabkan kenaikan tekanan darah. Pada tikus jantan diketahui memilki
aktivitas enzim yang lebih besar , seperti enzim aminopirin N- demitilasi dan disaat berumur 7
minggu mengalami ulkus lambung yang diinduksi oleh respire lebih nyata dibandingkan dengan
tikus betina pada umur yang sama.
Laporan Praktek Farmakologi 13
Fenobarbital
Fenobarbital merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan
antikonvulsi. Kerjanya , membatasi penjalaran aktivitas rangsang dan menaikkan ambang
rangsang. Indikasi penggunaan fenobarbital ialah terhadap green mal atau berbagai serangan
kortikal lainnya , juga terhadap status epileptikus serta konvulsi fe-bril. Sekalipun khasiatnya
terbatas, karena sifat antikonvulsi berspektrum lebar dan aman, fenobarbital sering cocok untuk
terapi awal seranagan absence , sapsmomioklonik, dan epilepsy akinetik, apalagi mengingat
kemungkinan komplikasi serangan tonik-klonik umum pada ke 3 jenis epilepsi tersebut.
Terhadap epilepsy psikomotor manfaatnya terbatas dan penerapan hams berhati-hati , oleh
karena kemungkinan terjadinya eksaserbasi patit mal. Hal ini terutama hams diingat oleh mereka
yang menggunakan fenobarbital sebagai obat terpilih pada setiap kelainan dengan konvulsi.
III.3 PROSEDUR
Seperti pada pemberian rute intraperitoneal, setelah masing-masing tikus diamati selama
10 menit untuk menilai kelakuan normalnya.
III.4 PENGAMATAN
Setelah penyuntikan obat, masing-masing tikus ditempatkan dalam kadang dan amati
efeknya setelah 45 menit, catat waktu timbul setiap efek.
Sesuai dengan efek yang diamati, masing-masing tikus dikelompokkan sebagai berikut :
- Sangat resisten : tidak ada efek.
- Resisten : tikus tidak tidur, tetapi mengalami ataksia.
- Efek sesuai : tidak tidur, tetapi tegak kalau diberi rangsangan nyeri.
- Peka : tidur, tidak tegak meskipun diberi rangsang nyeri.
- Sangat peka : mati.
Hewan : tikus putih, jantan, usia dua bulan ,bobot badan berkisar 150-155 gram, tiga ekor
Obat yang diberikan : Fenobarbital (35 mg/kg BB)
Pengamatan ( waktu timbul efek )
Laporan Praktek Farmakologi 14
Hewan Obat CP DosisPerubahan
aktifitas
RR+ Sedasi Hipnotip Anestesi N
Tikus Phenobarbital IP I 0,02 ml ± 5 menit - ± 10 menit ± 20 menit - -
IP II 0,02 ml ± 7 menit - ± 15 menit ± 22 menit - -
IP III 0,02 ml ± 5 menit - ± 10 menit ± 20 menit - -
III.5 PEMBAHASAN
Pada percobaan variasi biologic, dilakukan menggunakan tikus jantan kira-kira berusia
dua bulan. Obat yang digunakan adalah Fenobarbital dengan dosis 35 mg/kg BB melalui rute
inteperitonial. Fenobarbital merupakan golongan obat hipnotik sedative yang mempengaruhi
syaraf pusat.
Berdasarkan hasil percobaan, terdapat perbedaan efek farmakologi pada beberapa tikus
yang diberikan obat dengan dosis yang sama. Pada tikus I memberikan efek yang sesuai karena
tikus yang sebelum diberi obat aktif tetapi setelah 5 menit pemberian obat terjadi perubahan
aktivitas. Pada tikus II memberikan efek sedative pada menit ke 15. Dan efek hipnotik pada
ketiga tikus terjadi rata-rata pada menit ke 20.
Variasi biologi menyatakan perbedaan besarnya respon diantara individu berbeda dalam
suatu populasi yang diberi obat dengan dosis sama. Efek obat pada individu yang berlainan tidak
pernah sama, demikian juga efek obat yang diberikan pada individu yang sama pada waktu yang
berlainan. Variasi biologi juga menunjukan bahwa untuk mendapatkan suatu intensitas efek yang
sama pada individu-individu yang berlainan , diperlukan dosis obat yang berbeda-beda.
Variasi biologi akan memberikan efek farmakologi yang berbeda kepada dua atau lebih
individu berbeda dengan usia , jenis kelamin , dan bobot badan yang sama akan berbeda dari satu
individu dengan individu lainnya. Hal ini karena setiap individu memiliki karakteristik yang
berbeda dengan individu lainnya. Perbedaan ini pula yang menyebabkan perbedaan pada respon
Laporan Praktek Farmakologi 15
terhadap suatu obat dengan dosis tertentu. Perbedaan tersebut disebabkan karena metabolisme
obat, jumlah reseptor obat yang ada pada tubuh pengguna, jumlah enzim yang dimiliki pengguna
,keadaan emosi , dan perbedaan jenis makanan yang dikonsumsi serta banyak hal lainnya
berbeda pada setiap individu.
III.6 KESIMPULAN
Terdapat perbedaan efek farmakologi yang dipengaruhi oleh variasi biologi terhadap
dosis obat dengan jumlah sama yang diberikan kepada beberapa tikus.
Tikus jantan mengalami efek kerja obat lebih cepat disbanding tikus betina , tetapi efek
lebih hebat ditunjukan pada tikus betina.
BAB IV
Laporan Praktek Farmakologi 16
TOLERANSI YANG DIPEROLEH
IV.1 TUJUAN
Adapun tujuan kami membahas toleransi untuk mengetahui pengertian toleransi, jenis-
jenis toleransi, mekanisme toleransi dan jenis obat yang dapat menimbulkan toleransi.
IV.2 TINJAUAN PUSTAKA
Toleransi obat adalah pemberian ulang suatu obat untuk memperoleh efek yang sama, dosis
harus ditingkatkan karena terjadinya penurunan perangkat reseptor, dimana dosis obat harus
menerus untuk mencapai efek terapeutik yang sama. Toleransi dapat menyebabkan efek obat
dalam tubuh berkurang dan untuk mendapatkan efek yang seragam, maka hal ini akan berbahaya
bagi tubuh. Hal ini dikarenakan semakin lama dosis obat akan mendekati dosis toksiknya yang
dapat membahayakan dan menyebabkan kematian.
Jenis-jenis Toleransi
Macam-macam toleransi obat:
1. Toleransi primer (bawaan), terdapat pada sebagian orang dan binatang tertentu, misalnya
kelinci sangat toleran untuk antropin.
2. Toleransi sekunder, yang bisa timbul setelah menggunakan suatu obat selama beberapa
waktu.
3. Toleransi silang. Toleransi terhadap obat tertentu yang disebabkan pemberian obat lain
yang berbeda, tetapi miri[ struktur dan efek farmakologinya. Dapat terjadi antara zat-zat
dengan struktur kimia serupa (fenobarbital dan butobarbital) atau kadang-kadang antara
zat-zat yang berlainan misalnya alcohol dan barbital.
4. Toleransi farmakodinamik. Toleransi yang terjadi dengan adaptasi tubuh terhadap obat
yang diberikan secara terus menerus. Misalnya pada pemberian fenilbutazon secara rutin,
tubuh memproduksi enzim lebih banyak sehingga biotransformasi fenilbutazon pada
pemberian berikutnya lebih cepat.
Laporan Praktek Farmakologi 17
5. Toleransi akut, terjadi dalam waktu yang singkat. Misalnya penggunaan morfin yang
berulang pada waktu singkat akan cepat menyebabkan toleransi.
6. Toleransi berlawanan. Tipe toleransi yang malah meningkatkan efek obat pada
pemberian berulang. Misalnya efek amfetamin pada peningkatan aktivitas motorik.
7. Toleransi alami. Toleransi yang terjadi pada pertama kali pemberian obat.
Mekanisme Toleransi
1. Fenilbutazon: dapat menyebabkan toleransi karena dapat menginduksi enzim
biotransformasinya.
2. Fenobarbital: sama seperti fenilbutazon, tetapi efek toleransinya lebih lambat untuk
muncul.
3. Morfin: kasus ketergantungan morfin sering muncul karena pemakaian terus-menerus.
Selain karena induksi enzim, toleransi morfin juga dapat disebabkan karena efek
psikologis yang menuntut tubuh untuk mengonsumsi morfin dalam jumlah yang lebih
besar.
Obat Yang Dapat Menimbulkan Toleransi
Fenilbutazon dan fenobarbital natrium
IV.3 PROSEDUR
Tikus pertama disuntik sekali sehari dengan phenobarbital sebanyak 0,02 ml. Amati
selama 15 menit.
Tikus kedua disuntik sekali sehari dengan phenobarbital sebanyak 0,02 ml. Amati selama
15 menit.
Tikus ketiga disuntik dengan Nacl sebanyak 0,02 ml. Amati selama 15 menit.
Dilakukan selama 3 hari.
Amati ketiga tikus tersebut setelah hari ketiga, apakah toleransi terhadap phenobarbital
atau tidak
Laporan Praktek Farmakologi 18
IV.4 PERHITUNGAN DOSIS
Faktor konversi manusia ke tikus : 200 gram = 0,018 mg
0,018 mg x 50 mg = 0,9 mg
Tikus I, berat badan = 230 gram
230 gram / 200 gram x 0,9 mg = 1,035 mg
Volume obat yang disuntikkan = 1,035 mg / 50 mg x 1 ml = 0,0209 ml = 0,02 ml
Tikus II, berat badan = 210 gram
210 gram / 200 gram x 0,9 mg = 0,945 mg
Volume obat yang disuntukkan = 0,945 mg / 50 mg x 1 ml = 0,0189 ml = 0,02 ml
Tikus II, berat badan = 206 gram
206 gram / 200 gram x 0,9 mg = 0,9 mg
Volume obat yang disuntukkan = 0,9 mg / 50 mg x 1 ml = 0,018 ml = 0,02 ml
IV.4 PENGAMATAN
Hari 1
Hewan Obat CP Dosis
Pengamatan ( waktu timbul efek )
Parubahan
aktifitas
RR+ Sedasi Hipnotip Anestesi N
Tikus I Phenobarbital IM 0,02 ml ± 15 menit - ± 65 menit - - -
Tikus II Phenobarbital IM 0,02 ml ± 15 menit - ± 55 menit - - -
Tikus III NaCL IM 0,02 ml ± 15 menit - - - - -
Laporan Praktek Farmakologi 19
Hari 2
Hewan Obat CP Dosis
Pengamatan ( waktu timbul efek )
Parubahan
aktifitas
RR+ Sedasi Hipnotip Anestesi N
Tikus I Phenobarbital IM 0,02 ml ± 15 menit - ± 65 menit - - -
Tikus II Phenobarbital IM 0,02 ml ± 15 menit - ± 55 menit - - -
Tikus III NaCL IM 0,02 ml ± 15 menit - - - - -
Hari 3
Hewan Obat CP Dosis
Pengamatan ( waktu timbul efek )
Parubahan
aktifitas
RR+ Sedasi Hipnotip Anestesi N
Tikus I Phenobarbital IM 0,02 ml ± 10 menit - ± 43 menit - - -
Tikus II Phenobarbital IM 0,02 ml ± 5 menit - ± 42 menit - - -
Tikus III NaCL IM 0,02 ml - - - - - -
Hari 1-3
Tikus 1 diberikan phenobarbital dengan dosis 0,02 ml dari larutan stok 1mg/ml
Tikus 2 diberikan phenobarbital dengan dosis yang sama seperti pada tikus 1
Tikus 3 dijadikan blanko yang diberikan NaCl
Penentuan aktivitas tikus dilakukan dengan meletakkan tikus di meja dan dilihat perilaku
serta tingkat keingintahuan dari tikus
Laporan Praktek Farmakologi 20
IV.5 PEMBAHASAN
Efek suatu obat terhadap individu tertentu ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya
faktor usia, status fungsional dan struktural individu, jenis kelamin, bobot tubuh, luas permukaan
tubuh, status kejiwaan dan kondisi saluran pencernaan. Pada kebanyakan kasus, meskipun
faktor-faktor internal antara individu cukup mirip, tetapi efek obat yang dihasilkan masih bisa
berbeda secara kuantitatif. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor eksternal seperti
adanya variasi bologik, toleransi, dan antagonisme obat. Pada percobaan ini, diamati toleransi
tikus terhadap obat yang bersifat sedative.
Toleransi merupakan suatu keadaan dimana seseorang akan merasakan efek yang terus
berkurang pada dosis yang sama dan untuk mempertahankan efek yang diinginkan, diperlukan
peningkatan dosis. Beberapa teori mekanisme toleransi diantaranya adalah adanya adaptasi
lingkungan biologis pada tempat kerja obat. Toleransi dapat diatasi dengan modifikasi dosis
yaitu menurunkan dosis secara bertahap agar efek penurunan dosisnya tidak begitu terasa.
Dari percobaan yang dilakukan, terlihat terjadi penurunan efek sedasi yang ditimbulkan
oleh obat setelah pemberian obat secara rutin dalam tiga hari. Hal ini disebabkan karena dalam
tubuh tikus telah tejadi mekanisme yang dapat menyebabkan toleransi ini. Untuk obat
fenobarbital dan NaCl, terjadi induksi enzim pada saat obat diberikan secara rutin setiap hari
sehingga dengan induksi enzim ini, pada pemberian berikutnya obat akan lebih cepat
termetabolisme menjadi bentuk tidak aktif karena jumlah enzim lebih banyak setelah pemberian
sebelumnya.
Tikus 1 mengalami toleransi terhadap obat tersebut pada hari ketiga, tikus tidak
mengalami efek, dimana sebelum diberikan Phenobarbital tikus bertindak aktif, dan setelah
pemberian Phenobarbital tetap aktif. Tikus 2 mengalami toleransi terhadap obat pada hari ketiga,
tikus tidak mengalami efek, dimana sebelum diberikan Phenobarbital tikus bertindak aktif dan
setelah pemberian Phenobarbital tetap aktif. Terjadi perbedaan antara tikus 1 dan 2, sedangkan
dosis yang disuntikan sama. Ini karena adanya faktor internal yang menyebabkan efek yang
timbul dari tiap tikus itu berbeda. Tikus 3 berfungsi sebagai blanko untuk mengetahui efek apa
yang dapat disebabkan lingkungan terhadap tikus yang berhubungan dengan pengaruh tingkah
lakunya.
Laporan Praktek Farmakologi 21
IV.6 KESIMPULAN
Implikasi klinik dari toleransi:
Toleransi dapat menyebabkan efek obat dalam tubuh berkurang ,dan untuk mendapatkan efek
yang sama, dosis obat harus ditingkatkan.
Dengan terus meningkatnya dosis untuk mendapatkan efek yang seragam, maka hal ini akan
berbahaya bagi tubuh. Hal ini dikarenakan semakin lama dosis obat akan mendekati dosis
toksiknya yang dapat membahaya kan dan menyebabkan kematian.
Percobaan kali ini bertujuan untuk mempelajari toleransi obat tersebut,
Phenobarbital dapat menyebabkan toleransi
Tikus 1 dan 2 mengalami toleransi pada hari ke tiga
Tikus 2 mengalami toleransi lebih cepat dari tikus 1
Tikus 3 hanya sebagai blanko atau pembanding
Pemberian Phenobarbital pada hewan uji dapat menyebabkan hewan uji tersebut tidur, bangun
dan tidur kembali. Hal ini Phenobarbital memiliki efek redistribusi.
Dari percobaan yang dilakukan, terlihat terjadi penurunan efek sedasi yang ditimbulkan oleh
obat setelah pemberian obat secara rutin dalam tiga hari. Hal ini disebabkan karena dalam tubuh
tikus telah tejadi mekanisme yang dapat menyebabkan toleransi ini.
Untuk obat fenobarbital dan NaCl, terjadi induksi enzim pada saat obat diberikan secara rutin
setiap hari sehingga dengan induksi enzim ini, pada pemberian berikutnya obat akan lebih cepat
termetabolisme menjadi bentuk tidak aktif karena jumlah enzim lebih banyak setelah pemberian
sebelumnya.
Laporan Praktek Farmakologi 22
BAB V
VARIASI KELAMIN
IV.1 TUJUAN
Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis kelamin terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan.
IV.2 TINJAUAN PUSTAKA
Kepekaan yang meningkat terhadap aktivitas farmakologi dan toksisitas obat-obat telah
dilaporkan pada penderita yang sangat muda dan yang tua sekalidibandingkan dengan penderita
yang dewasa muda. Walaupun ini mencerminkan adanya perbedaan dalam absorpsi obat,
distribusi dan eliminasi obat ,perbedaan-perbedaan dalam metabolisme obat tidak bisa
disingkirkan, suatu kemungkinan yang didukung oleh studi-studi pada manusia yang
menunjukkan bahwa obat-obat metabolisme dengan lebih lambat bisa disebabkan oleh
kurangnya metabolic atau kurangnya persediaan kofaktor endogen yang diperlukan.
Kecenderungan yang serupa telah dilihat pada manusia, tetapi bukti-bukti yang pasti harus
didapatkan .
Variasi- variasi metabolisme obat yang tergantung pada jenis kelamin telah dikenal baik
pada hewan tikus tetapi tidak ditemukan pada binatang pengerat lainnya. Tikus –tikus jantan
muda dewasa menunjukan metabolisme obat yang jauh lebih cepat daripada tikus-tikus betina
muda dewasa atau tikus jantan pubertas.
Perbedaan ini disebabkan oleh hormon androgenik.
Jenis kelamin dan persentase lemak tubuh pada wanita cenderung memiliki persentase
dari lemak tubuh yang lebih tinggi dan memiliki persentase cairan tubuh yang lebih rendah dari
pada pria pada berat badan yang sama. Konsekuensinya , wanita cenderung merasakan efek obat
yang lebih hebat dibandingkan pria karena obat akan terlarut dalam jumlah volume cairan tubuh
yang relative kecil.
Wanita juga memiliki kandungan lemak yang lebih banyak daripada pria. Obat-obat yang
larut dalam lemak akan secara lebih luas terdistribusi dan dapat menghasilkan durasi kerja yang
Laporan Praktek Farmakologi 23
lebih lama. Konsep yang sama ini juga dapat diaplikasikan pada perbedaan komposisi lemak
tubuh antara anggota yang memiliki jenis kelaminyang sama.
Wanita lebih sensitif terhadap obat-obat tertentu dibandingkan pria dan dalam beberapa
hal perbedaan ini dianggap cukup memerlukan pengurangan dosis obat. Selama kehamilan perlu
berhati-hati dalam menggunakan obat-obatan yang mungkin mempengaruhi janin seperti obat-
obat narkotika,analgetik atau alcohol.
IV.3 PROSEDUR
Sebelum disuntik , masing-masing mencit diamati selama 10 menit kelakuan normalnya.
Setelah obat disuntikkan , masing-masing mencit ditempatkan kembali ke dalam toples-toples
kaca untuk pengamatan.
IV.4 PENGAMATAN
1) Untuk tiap tikus dicatat saat pemberian obat, saat mula muncul berbagai efek,tipe-tipe
efek yang muncul ,lama berlangsung efek.
2) Buatkan table dari hasil-hasil eksperimen , sehingga jelas apa yang dikerjakan dan
hasilnya.
Hewan Obat CP Dosis
Pengamatan ( waktu timbul efek )
Parubahan
aktifitas
RR+ Sedasi Hipnotip Anestesi N
Tikus
Jantan I
Phenobarbital IM 0,2 ml ± 12 menit - ± 17 menit ± 30 menit - -
Tikus
Jantan II
Phenobarbital IM 0,2 ml ± 6 menit - ± 15 menit ± 30 menit - -
Tikus
Jantan III
Phenobarbital IM 0,3 ml ± 5 menit - ± 10 menit ± 30 menit - -
Laporan Praktek Farmakologi 24
Tikus
Betina I
Phenobarbital IM 0,1 ml ± 10 menit - ± 15 menit ± 30 menit - -
Tikus
Betina II
Phenobarbital IM 0,1 ml ± 15 menit - ± 20 menit ± 30 menit - -
Tikus
Betina III
Phenobarbital IM 0,3 ml ± 9 menit - ± 16 menit ± 30 menit - -
IV.5 PEMBAHASAN
Pada percobaan variasi kelamin ,menggunakan 6 tikus, 3 tikus jantan dan 3 tikus betina.
Tikus-tikus tersebut diberi obat Phenobarbital dengan dosis berbeda-beda (tergantung berat
badan tikus) melalui rute IP . Phenobarbital merupakan obat golongan obat hipnotik/sedatif yang
mempengaruhi syaraf pusat.
Perbedaan efek farmakologi pada tikus jantan dan betina dipengaruhi oleh variasi-variasi
metabolisme. Tkus-tikus jantan muda dewasa menunjukan metabolisme obat yang jauh lebih
cepat dibandingkan daripada tikus-tikus betina muda dewasa atau jantan pubertas. Perbedaan ini
disebabkan oleh hormon androgenik.
Berdasarkan percobaan , diperoleh tikus jantan cenderung mengalami efek obat lebih awal
dibandingkan tikus betina. Efek hipnotip hampir semua tikus jantan dan betina mengalaminya
pada menit ke 30.
IV.6 KESIMPULAN
Menurut literature , pada mencit betina atau wanita cenderung memilki persentase lemak
tubuh yang lebih tinggi dan memilki persentase cairan tubuh yang lebih rendah daripada mencit
jantan atau pria pada berat badan yang sama.
Oleh karena itu , mencit betina cenderung merasakan efek obat yang lebih hebat dibandingkan
mencit jantan , mencit betina juga memilki kandungan lemak lebih banyak dari mencit jantan.
Obat-obat yang larut dalam lemak akan secara lebih luas terdistribusi dan dapat menghasilkan
durasi kerja yang lebih lama.
Laporan Praktek Farmakologi 25
Konsepnya yang sama ini juga dapat diaplikasikan pada perbedaan komposisi lemak tubuh
antara anggota yang memilki jenis kelamin yang sama.
Jenis kelamin dapat mengakibatkan perbedaan – perbedaan efek farmakologi obat yang
ditimbulkan. Pada percobaan kali ini pemberian obat pada tikus jantan dan betina, lebih cepat
mengalami efek sedasinya adalah tikus jantan.
Hal ini karena struktur dan kimia tikus jantan dan betina berbeda. Selain itu juga dikarenakan
perbedaan dosis pemberian obat pada tikus jantan dan tikus betina memungkinkan terjadinya
perbedaan efek kerja obat.
Laporan Praktek Farmakologi 26
BAB VI
DOSIS DAN RESPON OBAT
VI.1 TUJUAN
Memperoleh gambaran bagaimana rancangan eksperimen untuk memperoleh DE50 dan DL50
VI.2 PRINSIP
Jika dosis meningkat maka intensitas efek obat pada makhluk hidup juga meningkat. Jika
dosis berlebih maka akan menyebabkan over dosis bahkan kematian karena rentang indeks
terapinya terlalu rendah sehingga menimbulkan efek toksik. Jika dosis kurang maka tidak akan
menimbulkan efek teurapeutik.
VI.3 TINJAUAN PUSTAKA
Dasar-dasar Kerja Obat
Dalam farmakologi, dasar-dasar kerja obat diuraikan dalam dua fase yaitu fase
farmakokinetik dan fase farmakodinamik. Dalam terapi obat, obat yang masuk dalam tubuh
melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk
sampai ke tempat kerja (reseptor) dan menimbulkan efek , kemudian dengan atau tanpa
biotransformasi (metabolisme) lalu di ekskresi kan dari tubuh. proses tersebut dinyatakan sebagai
proses farmakokinetik. Farmakodinamik, menguraikan mengenai interaksi obat dengan reseptor
obat; fase ini berperan dalam efek biologik obat pada tubuh .
Absorpsi
Jumlah obat yang dapat diabsorbsi oleh tubuh, dinyatakan dengan bioavailalabilitas
obat. Tingginya nilai bioavailabilitas obat tergantung pada banyak factor, yang menentu -kan
bagaimana molekul obat melewati barier saluran gastrointestinal dan berhasil memasuki
pembuluh darah dan diangkut sampai ke reseptornya.
Faktor-faktor tersebut antara lain :
1. cara preparasi dan bentuk sediaan
2. ukuran molekul
Laporan Praktek Farmakologi 27
3. kelarutan molekul dalam lipid : yang lebih mudah larut dalam lipid, bioavailabilitasnya
lebih tinggi
4. kelarutan dalam air dan lipid : yang larut dalam keduanya, bioavailabilitasnya sangat
baik; yang larut hanya dalam air, bioavailabilitasnya rendah karena molekul mudah
terdisosiasi.
5. transport aktif
6. interaksi dengan makanan
7. stabilitas di dalam usus
8. pengosongan lambung
9. adanya metabolisme dalam usus dan di dalam hati
10. factor individu pasien itu sendiri dan faktor keadaan patologik dari pasien
Beberapa faktor yang penting dibahas dibawah ini :
1. Obat harus menembus sawar (barrier) sel di berbagai jaringan (transport lintas membran ,
dan sebagian kecil ada yang melewati celah antar sel atau melintasi endotel kapiler)
2. Membran sel
3. Cara transport obat melintasi membran ( semipermiabel ), dapat melalui:
a. Difusi pasif ( dari sisi yang kadarnya tinggi ke sisi yang kadarnya rendah
b. Transport aktif ( Bersifat selektif , melibatkan energi dan komponen-komponen
membrane sel)
c. Pinositosis yaitu cara transport dengan membentuk vesikel, misalnya makromolekul
protein
d. Difusi terfasilitasi
Cara Pemberian Obat
a. Cara pemberian obat per oral :
Cara ini paling umum dilakukan karena mudah, aman dan murah. Namun untuk obat yang
diberikan melalui oral, ada tiga faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas:
1. Faktor obatnya sendiri (larut dalam lipid, air atau keduanya.
2. Faktor penderita ( keadaan patologik organ-organ pencernaan dan metabolisme )
Laporan Praktek Farmakologi 28
3. Interaksi dalam absorpsi di saluran cerna. (interksi dengan makanan) sebagai tugas
mandiri
b. Cara pemberian obat melalui suntikan :
Keuntungan pemberian obat secara parenteral dibandingkan per oral, yaitu :
1. Efeknya timbul lebih cepat dan teratur
2. Dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar atau muntah-muntah.
3. Sangat berguna dalam keadaan darurat
Kelemahan cara pemberian obat melalui suntikan :
1. Dibutuhkan cara aseptis
2. Menyebabkan rasa nyeri
3. Kemungkinan terjadi penularan penyakit lewat suntikan
4. Tidak bisa dilakukan sendiri oleh penderita
5. Tidak ekonomis
c. Pemberian Obat Melalui Paru-paru :
Cara ini disebut cara inhalasi, hanya dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau cairan
yang mudah menguap, misalnya anestetik umum dan obat dalam bentuk aerosol. Absorpsi
melalui epitel paru dan mukosa saluran napas .
Distribusi
Distribusi obat terjadi melalui dua fase berdasarkan penyebaran-nya, yaitu:
1. Distribusi fase pertama : yaitu ke organ-organ yang perfusinya sangat baik ( jantung, hati,
ginjal dan otak ), terjadi segera setelah penyerapan, selanjutnya.
2. Distribusi fase kedua : yaitu ke organ-organ yang perfusinya tidak begitu baik ( otot,
visera, kulit, dan jaringan lemak )
Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membrane sel dan terdistribusi ke
dalam sel, obat yang tidak larut dalam lemak sulit menembus membrane sel sehingga
distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi terbatasi oleh ikatan obat pada
Laporan Praktek Farmakologi 29
protein plasma dan hanya obat bebas yang dapat berdifusi kedalam sel dan mencapai
keseimbangan.
Farmakodinamik
Cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme
kerjanya disebut farmakodinamik.
Mekanisme kerja obat yaitu :
1. Obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal ( fisiologi ) tubuh
2. Obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah
ada ( ini tidak berlaku bagi terapi gen )
Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk :
1. Meneliti efek utama obat
2. mengetahui interaksi obat dengan sel
3. Mengetahui respon khas yang terjadi
Interaksi Obat Dengan Biopolimer
Semua molekul obat yang masuk dalam tubuh, kemungkinan besar berikatan dengan
konstituen jaringan atau biopolimer seperti protein, lemak, asan nukleat, mukopolisakarida,
enzim biotransformasi dan reseptor. Pengikatan obat oleh biopolimer dipengaruhi oleh bentuk
konformasi molekul obat dan pengaturan ruang dari gugus-gugus fungsional senyawa obat.
Interaksi obat dapat berupa:
(1) Interaksi tidak khas dan ;
(2) Interaksi khas.
Interaksi tidak khas adalah interaksi yang hasilnya tidak menghasilkan efek yang
berlangsung lama dan tidak menyebabkan perubahan struktur molekul obat maupun biopolimer.
Interaksi ini bersifat reversibel (terpulihkan) dan tidak menghasilkan respons biologis.
Contohnya : Interaksi obat yang hanya merubah lingkungan fisika-kimia dari struktur badan
(protein jaringan, asam nukleat, mukopolisakarida, air dan lemak), misalnya : anestetik umum
merubah struktur air didalam otak; diuretik osmotik merubah tekanan osmotik dalam ginjal.
Laporan Praktek Farmakologi 30
Interaksi khas adalah interaksi yang menyebabkan perubahan struktur makromolekul
reseptor sehingga timbul rangsangan perubahan fungsi fisiologis normal yang dapat diamati
sebagai respons biologis. Interaksi dengan reseptor dan interaksi dengan enzim biotransformasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi aksi obat : berat badan, umur, jenis kelamin, kondisi patologik
pasien, genetik ( Idiosinkrasi)
Cara pemberian obat :
a. Yang memberikan efek sistemik : oral; sublingual; bukal; parenteral; implantasi
subkutan; rektal;
b. Yang memberikan efek lokal : inhalasi; topikal ( pada kulit ) : salep, krim , lotion ; obat-
obat pada mukosa : tetes mata, tetes telinga
VI.4 BAHAN DAN ALAT
Hewan percobaan : mencit jantan, bobot badan rata – rata 18 – 22 gram
Alat yang digunakan : alat suntik 1ml ; jarum suntik ; timbang hewan
Obat yang digunakan : Phenobarbital 50 mg / 1 ml
VI.5 PROSEDUR
Pada percobaan ini dipakai 6 mencit. Tandai masing – masing mencit hingga mudah dikenali.
Dosis yang digunakan lazimnya meningkat dengan factor perkalian 2 (untuk obat tertentu dapat
dengan factor perkalian yang berbeda). Dosis yang diberikan sebagai berikut.
HEWAN DOSIS (mg/kg)
Mencit I 0,01 ml
Mencit II 0,03 ml
Mencit III 0,05 ml
Mencit IV 0,1 ml
Mencit V 0,2 ml
Mencit VI 0,2 ml
Laporan Praktek Farmakologi 31
VI.6 HASIL PENGAMATAN
Hewan Obat CP Dosis
Pengamatan ( waktu timbul efek )
Parubahan
aktifitas
RR+ Sedasi Hipnotip Anestesi N
Mencit I Phenobarbital IM 0,01 ml ± 11 menit - ± 16 menit - - -
Mencit II Phenobarbital IM 0,03 ml ± 10 menit - ± 15 menit - - -
Mencit III Phenobarbital IM 0,05 ml ± 7 menit - ± 19 menit - - -
Mencit IV Phenobarbital IM 0,1 ml ± 12 menit - ± 18 menit - - -
Mnecit V Phenobarbital IM 0,2 ml ± 9 menit - ± 17 menit - - -
Mencit VI Phenobarbital IM 0,2 ml ±9 menit - ± 15 menit - - -
VI.7 PEMBAHASAN
Dilakukan pemberian secara intraperitorial yaitu obat yang diinjeksikan melaui rongga
perut. Dengan pemberian secara intraperitorial ini diharapkan efek yang cukup cepat, kerena
dalam rongga perut terdapat banyak pembuluh darah, sehingga obat yang diinjeksikan akan
menembus membrane pembuluh darah dan masuk ke pembuluh darah. Hewan uji diamati apakah
timbul efek atau tidak. Timbulnya efek ditandai dengan hilangnya reflek balik badan. Dipilih
obat phenobarbital karena bersifat sedative sehingga efek dapat diamati.
Pada mencit 3, timbul efek dengan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan hewan
uji lainnya, bukan karena dosis tetapi berat badan hewan uji pun berpengaruh . Dan karena
jumlah obat melebihi jumlah reseptor sehingga kadar obat yang tidak berikatan dengan reseptor/
kadar obat bebas di darah meningkat sehingga menimbulkan toksis. Pada dosis kecil sangat lama
untuk menimbulkan efek karena jumlah reseptor yang ada lebih banyak dari jumlah obat
sehingga efek tidak timbul. Dari data pengamatan yang tidur atau menerima efek di semua
mencit berbeda. Hal ini disebabkan karena kadar biologis dan ketahanan mencit berbeda- beda
Laporan Praktek Farmakologi 32
terhadap obat dengan dosis pemberian yang sama. Pada percobaan phenobarbital yang diberikan
tidak mengalami induksi enzim karena hanya sekali diberikan atau tidak berulang- ulang.
VI.8 KESIMPULAN
Pada praktek dosis dan respon obat dilakukan dengan cara pemberian intraperitorial yaitu
diinjeksi melalui rongga perut sehingga diharapkan efek yang cukup cepat, kerena dalam
rongga perut terdapat banyak pembuluh darah, sehingga obat yang diinjeksikan akan
menembus membrane pembuluh darah dan masuk ke pembuluh darah.
Pemberian dosis yang berbeda dapat memberikan efek yang berbeda dan waktu mencapai
efek pada mencit berbeda.
Laporan Praktek Farmakologi 33
PERTANYAAN
RUTE PEMBERIAN OBAT
PERTANYAAN
1. Cobalah jelaskan secara lebih spesifik dengan contoh – contoh mengenai karakteristika
lingkungan fisiologis, anatomis dan biokimiawi yang berada pada daerah kontak obat dan
tubuh.
o Hubungan kecepatan efek timbul pada berbagai CP dengan jumlah dan kecepatan
suplai darah, lokasi pemberian ( struktur anatomi ), adanya enzim – enzim dan
getah – getah fisiologis yang mempengaruhi obat ?
Jawab: Hubungkan kecepatan efek timbul pada berbagai CP dengan jumlah
kecepatan suplai darah, lokasi pemberian (struktur anatomi), adanya enzim – enzim
dan getah – getah fisiologis yang mempengaruhi obat?
o Jelaskan lebih terperinci pengaruh kondisi – kondisi pasien sehubungan dengan
pemilihan rute pemerian obat ?
Jawab
Jumlah suplai darah yang berbeda
Dengan adanya suplai darah yang berbeda maka mengakibatkan perbedaan kecepatan
distribusi. Semakin banyak suplai darah dalam individu maka semakin banyak obat yang
didistribusikan.
Struktur anatomi yang berbeda
Contoh : absorpsi obat diusus halus lebih cepat daripada dilambung karena permukaan
epitel usus halus jauh lebih luas dibandingkkan dnegan epitel lambung.
Akibatnya : efek obat lebih cepat bila bat diabsorpsi di usus halus daripada obat yang
diabsorpsi di lambung.
Enzim – enzim dan getah – getah fisiologis yang berbeda
Laporan Praktek Farmakologi 34
Contoh : enzim – enzim dari saluran cerna dan enzim – enzim dalam hati
Akibatnya : semakin baik fungsi enzim maka jumlah obat yang mencapai sirkulasi
sistemik semakin banyak.
Lain – lain
Contoh : pada pH saluran cerna , fungsi empedu
Akibatnya : semakin baik fungsi empedu maka kecepatan disintegrasi dan disolusi obat
semakin cepat.
2. Berikan beberapa contoh dimana sifat dan bentuk fisika kimia obat menentukan cara
pemberiannya ?
Jawab :
Pada penderita yang tidak sadar atau muntah – muntah diberikan obat secara
suntikan (i.v, i.p, i.m, sc)
Pada ppenderita setengah sadar / pingsan diberikan obat secara oral
Pada penderita yang kondisinya sadar diberikan obat secara oral
Untuk memperoleh efek local diberikan obat secara topical.
3. Sebutkan implikasi praktis pada rute pemberian obat seperti menentukan dosis obat jika
dipilih rute pemberian tertentu?
Jawab:
Pemberian secara oral adalah obat – obatan yang tidak rusak oleh asam lambung
atau empedu
Pemberian secara subcutan jika diinginkan efeknya bertahan lama.
TOLERANSI YANG DIPEROLEH
Laporan Praktek Farmakologi 35
PERTANYAAN
1. Kemukakan tiga contoh obat yang menimbulkan toleransi untuk pemberian berulangnya dan
berikan mekanisme terjadinya toleransi masing-masing obat tersebut.
2. Jenis toleransi apalagi yang dikenal dan bagaimana mekanismenya? Sebutkan juga contoh-
contohnya.
3. Bagaimana implikasi klinik dari toleransi yang diperoleh?
JAWABAN:
1. Fenilbutazon: dapat menyebabkan toleransi karena dapat menginduksi enzim
biotransformasinya.
Fenobarbital: sama seperti fenilbutazon, tetapi efek toleransinya lebih lambat untuk
muncul.
Morfin: kasus ketergantungan morfin sering muncul karena pemakaian terus-menerus.
Selain karena induksi enzim, toleransi morfin juga dapat disebabkan karena efek psikologis
yang menuntut tubuh untuk mengonsumsi morfin dalam jumlah yang lebih besar.
2. Toleransi primer (bawaan), terdapat pada sebagian orang dan binatang tertentu, misalnya
kelinci sangat toleran untuk antropin
Toleransi berlawanan. Tipe toleransi yang malah meningkatkan efek obat pada pemberian
berulang. Misalnya efek amfetamin pada peningkatan aktivitas motorik
Toleransi sekunder, yang bisa timbul setelah menggunakan suatu obat selama beberapa
waktu
3. Toleransi dapat menyebabkan efek obatdalam tubuh berkurang dan untuk mendapatkan efek
yang sama,dosis obat harus di tingkatkan. Dengan terus meningkatnya dosis untuk
mmendapatkan efek yang seragam, maka hal ini akan berbahaya bagi tubuh. Hal ini
dikarenakan semakin lama dosis obat akan mendekatidosis toksisnya yang dapat
membahayakan dan menyebabkan kematian.
VARIASI BIOLOGIS
1. Bagaimanakah dalam praktek pengobatan variasi biologik ini turut diperhatikan?
Laporan Praktek Farmakologi 36
Jawab: respon individu – individu terhadap suatu obat bisa sangat bervariasi, seorang
individu dapat memberikan respon yang sangat berlainan terhadap obat yang sama pada
waktu yang berbeda selama proses pengobatan. Dalam pengobatan variasi biologic harus
diperhatikan efek farmakologi pada tikus dan besarnya respon diantara individu berbeda
populasi yang diberi obat dengan dosis yang sama.
VARIASI KELAMIN
1. Bagaiaman implikasi klinik dari toleransi yang diperoleh?
Jawab: adanya penurunan fungsi organ secara gradual yang dimulai pada awal usia
pertengahan. Proses menua bukanlah suatu urutan perubahan biologik yang sederhana.
Penuaan merupakan kehilangan; kehilangan peran sosial (pensiun), kehilangan
penghasilan, kehilangan teman dan kerabat (meninggal atau imobilitas).
Penuaan juga merupakan rasa takut; takut untuk keamanan financial dan takut
ketergantungan.
Penyakit pada warga usia lanjut umumnya sangat kompleks, yang paling penting
gangguan yang diakibatkan tidak hanya pada fisik saja, tetapi juga mempengaruhi factor
psikis, sosio – ekonomi dan secara keseluruhan mempengaruhi kemampuan fungsional.
DOSIS DAN RESPON OBAT
PERTANYAAN
1. Bagaimana menghitung indeks terapi suatu obat?
Jawab: Indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam pernyataan berikut :
Indeks terapi = TD50 atau CD50 ED50 ED50
2. Berikan diskusi konsep indeks terapi dari segi efektifitas dan keamanan pemakaian obat
Jawab: Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek toksik
pada seorang pun pasien, oleh karena itu
TD1 1 ED99
Laporan Praktek Farmakologi 37
Suatu ukuran obat, obat yang memiliki indeks terapi tinggi lebih aman dari pada obat
yang memiliki indeks terapi lebih rendah
TD50 : Dosis yang toksik pada toksik 50% hewan yang menerima dosis tersebut, kematiaan
merupakan toksisitas terakhir.
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis
yang diberi dibawah titik ambang (subliminsal dosis), maka tidak akan didapatkan efek. Respon
tergantung pada efek alami yang diukur. Kenaikan dosis mungkin akan meningkatkan efek pada
intensitas tersebut. Seperti obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat
penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range) temperature badan dan tekanan darah dapat
diukur.
Hubungan dosis efek mungkin berbeda-beda tergantung pada sensitivitas indivdu yang
sedang menggunakan obat tersebut. Sebagai contoh untuk mendapatkan efek yang sama
kemungkina dibitihkan dosis yang berbeda pada individu yang berbeda. Variasi individu dalam
sensitifitas secara khusus mempunyai efek “semua atau tak satupun” sama.
Hubungan frekuensi dosis dihasilkan dari perbedaan sensitifitas pada individu sebagai
suatu rumusan yang ditunjukan pada suatu log distribusi normal. Jika frekuensi kumulatif (total
jumlah binatang yang memberikan respon pada dosis pemberian) diplotkan dalam logaritma
maka akan menjadi bentuk kurva sigmoid. Pembengkokan titik pada kurva berada pada keadaan
dosis satu-separuh kelompok dosis yang sudah memberikan respon. Range dosis meliputi
hubungan dosis-frekuensi memcerminkan variasi sensitivitas pada individi terhadap suatu obat.
Evaluasi hubungan dosis efek di dalam sekelompok subyek manusia dapat ditemukan
karena terdapat perbedaan sensitivitas pada individu-individu yang berbeda. Untuk menentukan
variasi biologis, pengukauran telah membawa pada suatu sampel yang representative dan
didapatkan rata-ratanya. Ini akan memungkinkan dosis terapi akan menjadi sesuai pada
kebanyakan pasien.
Indeks teraupetik merupakan suatu ukuran keamanan obat karena nilai yang besar
menunjukkan bahwa terdapa suatu batas yang luas / lebar diantara dosis-dosis yang toksik.
3. Diskusikan implikasi terapi suatu obat dengan kurva dosis respon yang terjal dan yang datar
Laporan Praktek Farmakologi 38
Jawab:
4. Sebutkan beberapa pendekatan untuk memperbesar ketelitian eksperimen ini, khususnya
untuk DE50 dan DL50
Jawab: Untuk menyatakan toksisitas akut sesuatu obat, umumnya dipakai ukuran LD50
(medium lethal dose 50) yaitu suatu dosis yang dapat membunuh 50% dari sekelompok
binatang percobaan. Demikian juga sebagai ukuran dosis efektif (dosis terapi) yang umum
digunakan sebagai ukuran ialah ED 50 (median effective dose), yaitu dosis yang memberikan
efek tertentu pada 50% dari sekelompok binatang percobaan.
Indeks terapi adalah rasio antara dosis toksik dan dosis efektif atau menggambarkan
keamanan relatif sebuah obat pada penggunaan biasa. Diperkirakan sebagai rasio LD50
(Dosis Lethal pada 50% kosis) terhadap ED50 (Dosis efektif pada 50% kasus). Sedangkan
jendela terapeutik adalah kisaran konsentrasi plasma suatu obat yang akan menghasilkan
respon atau jarak antara MEC dan MTC. Untuk mengetahiu indeks terapi suatu obat dengan
memberikan tingkatan dosis/ dosis yang berbeda pada hewan uji.
DAFTAR PUSTAKA
Laporan Praktek Farmakologi 39
1. Katzung E. Bertram, Farmakologi Dasar dan Klinik, Buku 1, Salemba Medika, 2001
2. Mustcher, Ernst, Med, Dr. Nat Per.1991.Dinamika Obat.ITB : Bandung
3. Mardjono, Mahar, 2007, Farmakologi dan Terapi, Jakarta; Universitas Indonesia Press.
4. Mycek, Mary J, 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2, Widya Medika, Jakarta.
5. Siswandono, Soekardjo, 1995, Kimia Medisinal, Surabaya; Airlangga University Press.
Laporan Praktek Farmakologi 40