lapkas interna pirngadi 14.docx
TRANSCRIPT
L A P O R A N K A S U S
EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Pembimbing:dr. Yohanes Siahaan
Disusun oleh:
Qarina Hasyala Putri 080100367Dian Primadia Putri 100100013Romulus P Sianipar 100100180Achmad Rifqy Rupawan 100100225
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN
2 0 1 4
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
melimpahkan berkatnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Laporan
Kasus yang berjudul Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ini dengan
lancar dan tanpa halangan yang berarti. Terima kasih juga kami ucapkan kepada
pembimbing kami, dr.Yohanes Siahaan, yang telah bersedia membimbing kami
dalam penyusunan laporan kasus ini.
Pada laporan kasus ini, kami memaparkan tinjauan teoritis dan
penatalaksanaan pada pasien yang menggunakan obat anti tuberkulosis di bangsal
Ruang XIV Wanita penyakit dalam RSU dr.Pirngadi Medan. Adapun tujuan
penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
senior pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis mendapatkan banyak
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis
berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan
kasus ini baik dari segi isi maupun sistematika penulisan karena keterbatasan
kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak untuk menyempurnakan laporan kasus ini. Semoga
laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, November 2014,
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ...................................................................................................... 2
BAB II ISI ...................................................................................................... 3
2.1 Pengobatan TB........................................................................................... 2
2.2 Efek Samping OAT................................................................................... 11
2.2.1 Isonazid............................................................................................. 11
2.2.2 Rifampisin......................................................................................... 12
2.2.3 Pyrazinamide.................................................................................... 13
2.2.4 Ethambuthol...................................................................................... 14
2.2.5 Streptomycin..................................................................................... 17
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 23
3.1 Kesimpulan................................................................................................ 23
3.2 Saran........................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
PPOK adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencakup bronkitis kronis,
bronkiektasis, emfisiema dan asma . PPOK merupakan kondisi irreversible yang
berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara
paru-paru. PPOK merupakan penyebab kematian ke 5 terbesar di Amerika Serikat.
Penyakit ini menyerang lebih dari 25% dari populasi dewasa.
Obstruksi jalan napas yang menyebabkan reduksi aliran udara beragam
tergantung pada penyakit. Pada bronchitis kronik dan bronkiolitis, penumpukan
lendir dan sekresi yang sangat banyak menyumbat jalan napas. Pada emfisema,
obstruksi pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan
dinding alveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara dalam paru-paru. Pada
asma, jalan napas bronchial menyempit dan membatasi jumlah udara yang mengalir
dalam paru-paru. Protocol pengobatan tertentu digunakan dalam semua kelainan ini,
meski patafisiologi dari masing-masing kelainan ini membutuhkan pendekatan
spesifik.
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhulubungan dengan interaksi
genetic dengan lingkungan. Merokok, polusi udara dan pemajanan ditempat kerja
(terhadap batu bara, kapas, padi-padian ) merupakakn factor-faktor risiko penting
yang menunjang pada terjadinya penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang
lebih dari 20-30 tahunan. PPOK juga ditemukan terjadi pada individu yang tidak
mempunyai enzim yang normal mencegah panghancuran jaringan paru oleh enzim
tertentu. PPOK tampak timbul cukup dini dalam kehidupan dan merupakan kelainan
yang mempunyai kemajuan lambat yang timbul bertahun-tahun sebelum awitan
gejala-gejala klinis kerusakan fungsi paru.
PPOK sering menjadi simptomatik selama tahun-tahun usia baya, tetapi
insidennya meningkat sejalan dengan peningkatan usia. meskipun aspek-aspek paru
14
tertentu, seperti kapasitas vital dan volume ekspirasi kuat, menurun sejalan dengan
peningkatan usia, PPOK memperburuk banyak perubahan fisiologi yang berkaitan
dengan penuaan dan mengakibatkan obstruksi jalan napas (dalam bronchitis) dan
kehilangan daya kembang elastic paru (pada emfisema). Karenanya, terdapat
perubahan tambahan dalam rasio ventilasi perkusi pada pasien lansia dengan PPOK.
2.1. Rumusan Masalah
Bagaimana temuan klinis, klasifikasi, diagnosis, serta penatalaksanaan pada pasien
PPOK di RSUP Haji Adam Malik Medan?
2.2. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis terapi PPOK.
2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap kasus terapi
PPOK.
3. Untuk mengetahui gambaran klinis, perjalanan penyakit, penatalaksanaan, dan
tindak lanjut pada pasien dengan PPOK.
2.3. Manfaat Penulisan
Beberapa manfaat yang didapat dari penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang ilmu
penyakit dalam khususnya mengenai terapi PPOK.
2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai
pengenalan, diagnosa, dan terapi PPOK.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
2.2.1. Definisi PPOK
Penggunaan istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronik sesungguhnya kurang
tepat, karena PPOK bukanlah suatu penyakit, melainkan sekumpulan penyakit
(Seaton, 2000). PPOK adalah istilah untuk mendeskripsikan berbagai macam
penyakit paru kronik yang ditandai obstruksi aliran udara sebagai ciri khasnya,
dengan gejala utama sesak nafas, batuk, produksi sputum, dan mengi yang
berkembang progresif (Harding et all, 2004). GOLD (2012) mendefinisikan PPOK
sebagai penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel, biasanya progresif, dan berhubungan dengan abnormalitas
respon inflamasi paru-paru terhadap partikel atau gas berbahaya.
Meskipun PPOK sering dibagi menjadi bronkitis kronis dan emfisema di masa
lalu, sekarang diakui bahwa sebagian besar pasien memiliki unsur-unsur dari kedua
kondisi tersebut. Berikut dijelaskan secara ringkas mengenai kedua unsur dalam
PPOK tersebut.
1. Bronkitis Kronis : batuk dengan produksi sputum yang berlangsung setidaknya 3
bulan dalam setahun selama 2 tahun berturut-turut, terkait dengan hipertrofi kelenjar
lendir, peningkatan jumlah sel goblet pada sentral saluran udara dan fibrosis
peribronkiolus di saluran udara perifer.
2. Emfisema : pembesaran dan kerusakan dinding alveolus tanpa fibrosis yang
siknifikan. Proses perubahan ini tidak sepenuhnya dipahami dan kemungkinan
bersifat multifaktorial (Ali et al, 2010).
16
2.2.2. Epidemiologi PPOK
Sebagai penyebab kematian ke-4 di dunia (WHO, 2000), data prevalensi
PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap negara di seluruh dunia.
Tahun 2000, prevalensi PPOK pada individu berusia di atas 45 tahun di Amerika dan
Eropa berkisar 5-9%. Data penelitian lain menunjukkan prevalensi PPOK bervariasi
dari 7,8%-32,1% di beberapa kota Amerika Latin. Prevalensi PPOK di Asia Pasifik
rata-rata 6,3%, yang terendah 3,5% di Hongkong dan Singapura, dan tertinggi 6,7%
di Vietnam.
Untuk Indonesia, penelitian Regional COPD Working Group (2003) di 12
negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalensi PPOK di Indonesia sebesar
5,6%. Prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan
peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia, pola penyakit infeksi yang menurun
sedangkan penyakit degeneratif meningkat, meningkatnya kebiasaan merokok, dan
polusi udara (Riskesdas, 2010). Dari keseluruhan penyakit yang menjadi penyebab
kematian dominan, PPOK merupakan satu-satunya penyakit dengan laju mortalitas
yang melejit (Fishman, 2008). WHO (2010) meramalkan, PPOK yang saat ini
merupakan penyebab kematian kelima di seluruh dunia diperkirakan pada tahun 2020
akan menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia.
2.2.3. Faktor Risiko PPOK
PPOK terjadi sebagai hasil dari akumulasi paparan berbagai faktor risiko
selama periode waktu tertentu (GOLD, 2013). Faktor risiko PPOK terdiri dari:
Merokok
Menurut Bourke (2003), PPOK disebabkan terutama oleh merokok dan
prevalensi serta mortalitasnya mencerminkan riwayat merokok dalam populasi.
Dalam penelitian di Amerika Serikat, mortalitas pada penderita PPOK yang pernah
merokok rata-rata 24 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang bukan perokok
(Thun, 2013). Merokok mencakup 80% sampai 90% dari risiko PPOK dan karena itu
17
dianggap penyebab utamanya. Perokok pasif juga mengalami peningkatan risiko
(Laurent dan Saphiro, 2006).
Polusi Udara
Partikel-partikel berbahaya di udara dapat memicu respon inflamasi pada paru
dan berkorelasi langsung dengan lama paparan. Pencemaran lingkungan kini diakui
beperan dan persentasenya cukup signifikan dari keseluruhan kasus PPOK di seluruh
dunia (Ali et all, 2010). Partikel-partikel dan gas yang dimaksud mencakup asap
rokok, debu, polutan dalam ruangan (Wilkins et all, 2007), asap dari pembakaran
tidak sempurna, dan abu (Blackler, 2007). Kerusakan jaringan akibat polusi udara
yang terinhalasi bergantung pada derajat paparan dalam jangka waktu tertentu,
komposisi substansi yang terinhalasi, dan kemampuan penjamu (host) untuk
mentoleransi. Sejauh ini polutan yang paling berpengaruh adalah asap rokok,
menjadikan perokok pasif juga mengalami peningkatan risiko (Wilkins et all, 2007).
18
Usia
Saluran nafas perifer pada orang bukan perokok berusia lanjut juga dapat
menunjukkan perubahan patologi yang hampir sama dengan yang dijumpai pada
penderita PPOK (Stockley, 2007).
Faktor Genetik
Hampir semua penderita PPOK memiliki riwayat perokok berat, namun hanya
15% perokok yang akhirnya menderita PPOK, menandakan bahwa faktor-faktor lain
turut berperan, salah satunya faktor genetik (Bourke, 2003). Beberapa gen yang
menunjukkan hubungan peningkatan predisposisi kejadian PPOK ialah AAT (alpha-1
anti-trypsin) atau aPI (alpha-protease inhibitor), AACT (alpha-1-antichymotrypsin),
IL8RA (IL-8 receptor alpha), ACE (angiotensin converting enzyme), TNF (tumour
necrosis factor), dan masih banyak lagi (Harding et all, 2004).
Kasus yang terbukti memiliki hubungan dengan gen AAT hanya 1%, tetapi
individu dengan defisiensi gen ini ternyata terbukti mengalami emfisema onset dini
(Ali et all, 2010). AAT atau aPI adalah protein serum yang diproduksi oleh hati yang
bertanggung jawab untuk menghambat neutrofil elastase, enzim yang dilepaskan sel
PMN untuk mendegradasi elastin pada suatu respon inflamasi (Wilkins et all, 2007).
Jenis Kelamin
Prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, mungkin
dikarenakan lebih banyak laki-laki yang merokok dibandingkan perempuan
(Riskesdas, 2010). Selain itu, lebih banyak laki-laki yang bekerja di luar ruangan
daripada perempuan, menyebabkan paparan polusi udara, apalagi di negara
berkembang, menjadi faktor yang penting.
Status Ekonomi
Prevalensi merokok cenderung meningkat dengan meningkatnya status
ekonomi namun prevalensi lebih tinggi pada masyarakat pedesaan dibandingkan pada
masyarakat perkotaan (Riskesdas, 2010), dikarenakan tingkat pendidikan dan sarana
kesehatan yang lebih baik menjadikan masyarakat perkotaan lebih peduli pada
19
kesehatannya. Di sisi lain, PPOK sendiri lebih banyak dijumpai pada masyarakat
dengan status ekonomi rendah dan pada daerah perkotaan (Bourke, 2003).
Perkembangan Paru
Fungsi paru maksimum yang dicapai pada masa perkembangan paru sejak
usia muda dipengaruhi oleh kecukupan nutrisi saat berada dalam kandungan, paparan
asap rokok dan polusi udara, dan penyakit paru saat kecil (Bourke, 2003).
Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan yang rentan paparan polusi seperti penambang batu
bara, pekerja logam, pabrik kapas, pabrik kertas, dan sebagainya, meningkatkan
risiko PPOK. Kadmium dan silika juga meningkatkan risiko pada perokok (Blacker,
2007).
Infeksi
Peran infeksi virus pada saluran nafas atas dan bawah pada patogenesis PPOK
masih belum dapat dipastikan. Infeksi pada masa kanak-kanak berhubungan dengan
penurunan fungsi paru dan peningkatan masalah pernafasan saat dewasa, yang dapat
berkembang menjadi PPOK. Begitu seseorang menderita PPOK, infeksi berulang
mempercepat penurunan fungsi paru (Blacker, 2007).
Asma/ Hiperaktivitas Jalan Nafas
Pada suatu penelitian, orang dewasa dengan asma memiliki risiko 12 kali
lebih mungkin menderita PPOK dalam hidupnya dibandingkan mereka yang bukan
penderita asma. Studi lain juga menunjukkan 20% penderita asama mengalami
pembatasan aliran nafas yang ireversibel (GOLD, 2013).
2.2.4. Patogenesis PPOK
PPOK merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor risiko yang telah dibahas
sebelumnya. Pada penderita PPOK proses inflamasi kronis berlangsung berbeda dari
respon normal karena mengalami modifikasi yang diduga bergantung pada faktor
genetik. Inflamasi paru tetap berlangsung meskipun setelah penderita berhenti
merokok dan masih belum diketahui mengapa demikian, walaupun autoantigen dan
20
mikroorganisme mungkin turut berperan (Cosio, 2009, dalam GOLD, 2013). PPOK
umumnya dihubungkan dengan respon inflamasi derajat rendah pada epitel dan
lapisan submukosa pada bagian bronkus sentral (Stockley, 2007).
Berikut ini beberapa mekanisme yang berperan dalam inflamasi pada PPOK menurur
GOLD (2013):
Stres Oksidatif
Pertanda stres oksidatif (hidrogen peroksida, 8-isoprostan) meningkat pada
nafas yang diekshalasi, sputum, dan sirkulasi sistemik penderita PPOK. Saat
eksaserbasi kadar marker stres oksidatif tersebut bahkan lebih tinggi. Spesies oksigen
reaktif berasal dari asap rokok, patikel-partikel lain di udara, sel-sel inflamasi yang
teraktivasi (makrofag dan neutrofil), bahkan dari hasil reduksi antioksidan endogen
pada penderita PPOK sebagai akibat dari berkurangnya faktor transkripsi (Nrf2) yang
meregulasi gen-gen aktioksidan.
Ketidakseimbangan Protease-Antiprotease
Ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease telah lama menjadi pusat
perhatian pada perkembangan emfisema (Ali, 2010). Protease mencerna jaringan ikat
(terutama elastin yang merupakan jaringan ikat utama pada paru) sedangkan
antiprotease melindungi jaringan ikat dari protease. Beberapa protease yang
dilepaskan sel-sel inflamasi dan epitel meningkat pada penderita PPOK dan protease
ini dapat saling berinteraksi satu sama lain.
Sel-sel Inflamasi
Asap rokok dan partikel-partikel berbahaya dalam udara akan memicu
infiltrasi sel-sel inflamasi (makrofag, neutrofil, dan limfosit CD8+ sitotoksik) pada
epitel saluan pernafasan (Stockley, 2007). Bersama dengan neutrofil dan makrofag
sel-sel inflamasi ini akan melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti faktor-α,
IL-8, leukotrien, (Saetta, 1994, dalam Mintz, 2006) dan enzim-enzim yang akan
mempengaruhi sel-sel struktural di jalan nafas, parenkim paru, dan vaskularisasinya.
Respon inflamasi kronis menginduksi kerusakan jaringan parenkim (menyebabkan
emfisema) dan menghalangi mekanisme perbaikan dan pertahanan yang normal
21
(menyebakan fibrosis). Eosinofil tidak dijumpai pada PPOK, kecuali selama
eksaserbasi bronkitis akut, dan intensitas dari respon inflamasi pada emfisema jauh
lebih rendah dari pada asma (Ali et all, 2010).
Mediator-mediator Inflamasi
Sel-sel inflamasi di sirkulasi akan terpanggil oleh faktor kemotaksis,
memperbesar respon inflamasi (sitokin-sitokin proinflamasi), dan memicu perubahan
struktural (oleh faktor-faktor pertumbuhan).
Dalam saluran udara perifer, terjadi deposisi kolagen dan pembentukan
jaringan parut. Di ruang alveolar yang terjadi adalah serabut elastin dan epitel rusak,
apoptosis sel endotel, dan hilangnya dinding alveolar tanpa pembentukan jaringan
parut. Perubahan vaskular paru terlihat jelas pada PPOK yang progresif. Hilangnya
kapiler paru (capillary bed) berkorelasi dengan hilangnya luas permukaan alveolar
pada emfisema. Vasokonstriksi paru mengakibatkan hipoksia, penebalan intima,
hipertrofi otot polos sel, dan pembentukan jaringan ikat yang lebih lanjut memberikan
kontribusi untuk terjadinya hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan (cor
pulmonale).
Gambar 2.1 Skema Patogenesis PPOK (Ali et all, 2010)
22
Stockley (2007) membedakan perubahan patologis pada PPOK menjadi:
1. Gangguan Saluran Pernafasan Sentral
Kelenjar mukus tersebar di sepanjang bronkus sentral, berperan dalam
mekanisme pertahanan imun, letaknya di antara membran epitel dan kartilago.
Pembesaran volume kelenjar mukus 50-100% berkaitan dengan batuk dan produksi
sputum berlebihan, dijumpai pada banyak pasien PPOK namun tidak semua penderita
PPOK mengalaminya. Selain kelenjar mukus, sel-sel goblet penghasil mukus yang
terdapat pada epitel saluran napas pada setiap tingkatan juga dapat mengalami
peningkatan pada penderita PPOK. Metaplasia epitel dan hilangnya silia juga telah
ditemui.
Mengenai apakah proporsi otot polos dan kartilago pada penderita PPOK berubah
belum diketahui dengan jelas.
2. Gangguan Saluran Pernafasan Perifer
Perubahan patologis di bagian perifer pada PPOK cenderung multipel dan
relatif tidak spesifik. Perubahan awal pada perokok muda yang ditemui hanyalah
kumpulan fokal makrofag berpigmen kecoklatan pada bronkiolus proksimal. Pada
pasien yang lebih tua, pada dinding membran bronkiolus sering ditemui inflamasi
derajat rendah (neutrofil, makrofag, dan limfosit tersebar). Perubahan lain meliputi
fibrosis, metaplasia sel skuamosa dan sel goblet, pembesaran otot polos dan agregasi
mukus dalam lumen. Sebagian besar patologi ini mungkin sekali berhubungan
langsung dengan efek toksik dari asap rokok. Dinding bronkiolus pada PPOK juga
menebal karena peningkatan massa epitel, otot polos, dan jaringan ikat. Dinding
saluran napas yang menebal ini menyebabkan volume paru mengecil, sebab saluran
napas perifer memendek dan menyempit saat paru-paru mengempis (Stockley, 2007).
Perubahan-perubahan patologis yang ditemukan pada jalan nafas, parenkim
paru, dan vaskularisasinya ini mengakibatkan udara akan terperangkap dan
pembatasan aliran udara progresif yang menjadi ciri khas PPOK (GOLD, 2013).
23
2.2.5. Gejala Klinis PPOK
Pemahaman akan bagaimana perubahan patologis yang terjadi menimbulkan
gejala-gejala yang dijumpai pada PPOK kini sudah jauh lebih baik (GOLD, 2013).
Gejala utama yang dijumpai pada PPOK adalah sesak nafas dan batuk kronik
berdahak. Gejala awal bersifat episodik dan eksaserbasi akut ditandai dengan
peningkatan produksi sputum dan nanah. Kehadiran mengi tidak penting untuk
diagnosis, dan sputum tidak perlu purulen (Ali et all, 2010).
Pembatasan Aliran Udara & Terperangkapnya Udara
Derajat inflamasi, fibrosis, dan eksudat dalam lumen saluran nafas perifer
berkorelasi dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1/KVP, kemungkinan juga
berhubungan dengan penurunan VEP1 yang cepat, khas pada PPOK. Obstruksi jalan
nafas perifer dan adanya emfisema secara progresif memerangkap udara saat
ekspirasi, menimbulkan hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi, dan
meningkatkan kapasitas residu fungsional, terutama saat latihan/ berolahraga
(hiperinflasi dinamis), menimbulkan sesak nafas dan terbatasnya kapasitas latihan
(GOLD, 2013). Bila obstruksi jalan nafas berat, mungkin terlihat pemakaian oto-otot
pernafasan tambahan. Suatu studi bahkan mendemonstrasikan bahwa eksaserbasi
memperberat kelemahan otot. (Fishman et all, 2008).
Beberapa mekanisme lain yang dianggap berkontribusi pada obstruksi adalah
fibrosis peribronkiolus (obstruksi saluran udara yang lebih kecil) dan edema mukosa
(karena infiltrasi sel-sel inflamasi). Selain itu, semua saluran udara juga menunjukkan
berbagai derajat tonus otot polos yang mungkin juga menjadi faktor dalam obstruksi.
Obstruksi terutama jelas terlihat saat ekspirasi karena volume paru semakin kecil dan
volume napas berkurang (Ali et all, 2010). Emfisema juga menyebabkan hilangnya
elastic recoil saluran nafas perifer, sehingga kolpas saat ekspirasi (Bourke, 2003).
Sesak nafas adalah karena peningkatan aktivitas kemoreseptor yang disebabkan
hipoksia dan hiperkapnia (Booth dan Dudgeon, 2006).
24
Abnormalitas Pertukaran Gas
Gangguan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Secara
garis besar, pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida semakin terganggu seiring
progesivitas penyakit. Ventilasi yang berkurang mungkin karena berkurangnya
ventilatory drive. Obstruksi, hiperinflasi, dan kelemahan otot pernafasan mempersulit
ventilasi dan akhirnya menimbulkan retensi karbon dioksida. Ditambah dengan
vaskularisasi yang menurun, timbullah abnormalitas VA/Q (Rodrigues-Roisin R. et
all, 2009 dalam GOLD, 2013)
Hipersekresi Mukus
Hipersekresi mukus pada PPOK terjadi sebagai akibat dari peningkatan
jumlah sel goblet dan hipertropi kelenjar submukosa pada proksimal jalan nafas
(Seaton et all, 2000) sebagai respon terharap zat iritan (GOLD, 2013). Hipersekresi
lendir bersamaan disfungsi silia menyebabkan batuk kronis produktif yang sering
menjadi tanda awal penyakit ini. Penumpukan lendir dapat berperan dalam
menyebabkan obstruksi jalan nafas, namun ini hanya terjadi saat eksaserbasi akut (Ali
et all, 2010). Sekresi mukus berlebihan pada awalnya diduga berperan penting dalam
perkembangan obstruksi saluran pernapasan pada PPOK (Stockley, 2007). Namun
pada kenyataanya tidak semua penderita PPOK mengalaminya.
Hipertensi Pulmonal
Terjadi disebabkan terutama oleh vasokontriksi pembuluh darah kecil pada
paru karena hipoksia, yang akhirnya menyebabkan perubahan struktural seperti yang
sudah dijelaskan pada bagian patogenesis. Hipertensi pulmonal yang progresif dapat
menyebabkan hipertropi ventrikel kanan dan gagal jantung kanan (cor pulmonal).
Eksaserbasi
Eksaserbasi biasanya dipicu suatu infeksi (bakteri dan atau virus), polutan
lingkungan, ataupun faktor lain yang tidak diektahui. Bila penyebabnya infeksi maka
inflamasi akan meningkat. Saat eksaserbasi terjadi peningkatan hiperinflasi dan udara
yang terperangkap semakin banyak, dengan berkurangnya aliran udara keluar,
memperberat sesak nafas (dispnoe). Kondisi lain yang dapat menyertai (pneumonia,
25
tromboemboli, dan gagal jantung akut) dapat terlihat seperi ataupun memperberat
eksaserbasi PPOK.
Gejala Sistemik
Hiperinflasi dan pembatasan aliran udara secara tidak langsung
mempengaruhi fungsi jantung dan pertukaran gas. Mediator-mediator inflamasi di
sirkulasi mungkin berkontribusi dalam menurunnya massa otot skelet (skeletal
muscle wasting) dan kaheksia (penurunan berat bedan sekunder) yang akan
memperberat komorbiditas seperti penyakit jantung iskemik, gagal jantung,
osteoporosis, anemia normositik, sindroma metabolik, dan depresi (GOLD, 2013).
Penurunan hormon pertumbuhan, testosteron, dan insulin juga berkontribusi
menyebabkan keadaam katabolik (Harding et all, 2004).
Sebagai penyakit yang berkembang progresif, ada peningkatan frekuensi
eksaserbasi, yang meliputi peningkatan batuk, hipoksemia, sputum purulen, dan
dispnoe. Bila penyakit berat, hipoksemia kronis dan hiperkapnia juga dapat terjadi.
Kondisi ini dapat menyebabkan eritrositosis, sakit kepala pagi hari (dari hiperkapnia),
cor pulmonal, edema ekstremitas yang lebih rendah, dan penurunan berat badan
sekunder karen peningkatan beban kerja pernapasan (Ali et all, 2010).
Patofisiologi PPOK dikaitkan dengan sirkulasi berbagai mediator yang
berpotensi merugikan, dikombinasikan dengan sering terjadinya hipoksia dan
malnutrisi, berakibat pada proses penyakit sistemik yang ditandai dengan
hipermetabolisme, miopati otot rangka, dan kejiwaan gangguan, bersama dengan
penyakit jantung dan ginjal (Ali et all, 2010).
2.2.6. Diagnosis PPOK
Prevalensi PPOK diduga jauh dari kenyataan akan dampak yang sebenarnya
pada masyarakat. Luputnya diagnosis umum terjadi karena pasien jarang
memeriksakan dirinya hingga fungsi paru sudah sangat menurun dan aktivitasnya
terbatas sehingga mengganggu kehidupan sehari-harinya (Mintz, 2006) ataupun
setelah suatu episode eksaserbasi akut telah terjadi (GOLD, 2013). Hal ini karena
26
cadangan fisiologis sistem pernafasan besar sehingga masih ada kompensasi pada
tahap awal penyakit (Ali et all, 2010).
Diagnosis klinis harus dipertimbangkan pada pasien dengan sesak nafas,
batuk kronis atau batuk berdahak, dan pasien dengan riwayat paparan faktor risiko
(GOLD, 2013). Pemeriksaan juga harus dilakukan pada mereka dengan emfisema
onset dini, pada mereka dengan PPOK tanpa faktor risiko dikenali, dan pada saudara
kandung dari penderita (Ali et all, 2010).
Tabel 2.1 Indikator Kunci dalam Pertimbangan Diagnosa PPOK (GOLD, 2013)Pertimbangkan kemungkinan PPOK dan lakukan pemeriksaan spirometri bila dijumpai
indikator kunci berikut pada individu berusia ≥ 40 tahun.Sesak nafas Progresif, memberat dengan olahraga, persisten Batuk kronik Dapat terjadi intermiten dan dapat pula tidak produktif Produksi sputum kronik Produksi sputum kronik dengan pola apapun dapat
menandakan PPOK Riwayat pajanan faktor risiko Asap rokok, asap dari aktivitas memasak dalam rumah
tangga, mesin pemanas, debu di lingkungan kerja, dan zat-zat kimia.
Adanya riwayat PPOK dalam keluarga
Anamnesis
Dari anamnesis akan diketahui perkembangan dan gejala-gejala yang dijumpai.
Sesak Nafas.
Sesak nafas yang berkembang perlahan (Bourke, 2003) ialah gejala kardinal
PPOK, juga penyebab disablitilas dan keresahan utama (GOLD, 2013). Pasien
biasanya mengeluhkan sesak nafas sebagai kesulitan bernafas, dada terasa berat, air
hunger, atau tergagap saat bernafas, adanya pursed lip breathing (Fishman et all,
2008) karena pasien berusaha mempertahankan patensi jalan nafas (Wilkins et all,
2007).
27
Batuk.
Batuk kronik biasanya dianggap semata-mata akibat merokok dan/atau
paparan polusi. Awalnya batuk hanya kadang-kadang, hingga kemudian berlangsung
setiap hari, bahkan sering sepanjang hari.Batuk kronik dapat berlangsung tanpa
produksi sputum. Pada beberapa kasus, pembatasan aliran udara yang siknifikan
dapat terjadi tanpa adanya batuk.
Tabel 2.2 Diagnosa Banding Batuk KronikIntratorakal : PPOK, asma, kanker paru, tuberkulosis, bronkiektasis, gagal jantung kiri, penyakit paru interstitium, cystic fibrosis, idiopatik Ekstratorakal : rinitis alergi kronik, Upper Airway Cough Syndrome (UACS), refluks gastroesofageal, obat-obatan (mis: ACE Inhibitor)
Produksi Sputum
Produksi sputum umumnya bermula setelah batuk berlangsung selama waktu
tertentu. Produksi sputum pada bronkitis kronis adalah selama ≥ 3 bulan selama dua
tahun berturut-turut (tanpa penyebab lain yang dapat menjelaskannya). Sputum yang
purulen mengindikasikan peningkatan mediator-mediator inflamasi dan
perkembangannya mungkin menandakan onset eksaserbasi. Namun pada penderita
PPOK produksi sputum sulit untuk dievaluasi karena pasien cenderung menelan
sputum dan bukannya mengeluarkannya.
Mengi dan Chest Tightness
Kedua gejala ini tidak spesifik pada PPOK (tidak harus dijumpai) dan
bervariasi dalam keseharian. Mengi terdengar pada laring dan tidak harus disertai
abnormalitas lain saat auskultasi. Mengi dapat terdengar saat inspirasi maupun
ekspirasi, namun biasanya lebih jelas saat inspirasi (Bourke, 2003). Sementara itu
rasa berat di dada biasanya setelah suatu aktivitas fisik yang berat, lokalisasinya tidak
jelas, dan kemungkinan terjadi akibat kontraksi isometrik otot-otot interkostal.
28
Gejala lain
Rasa lelah, penurunan berat badan, dan anoreksia umum dijumpai pada PPOK
yang berat dan sangat berat. Gejala mempengaruhi prognosis dan bisa juga
menandakan adanya penyakit lain (misalnya tuberkulosis, kanker paru).
Pembengkakan lutut dapat merupakan satu-satunya penunjuk simptomatik cor
pulmonal. Adanya depresi dan kerisauan berhubungan dengan peningkatan risiko
eksaserbasi dan status kesehatan yang lebih jelek.
Riwayat Kesehatan
Perlu diketahui mengenai paparan faktor risiko, adakah kebiasaan merokok,
lingkungan kerja, riwayat penyakit terdahulu (asma, alergi, sinusitis, polip nasal,
infeksi paru pada masa kanak-kanak, ataupun penyakit pernafasan lain), riwayat
PPOK dalam keluarga, pola perkembangan gejala, riwayat eksaserbasi, riwayat rawat
inap akibat masalah pernafasan, adanya komorbiditas (penyakit jantung, osteoporosis,
gangguan muskuloskeletal, keganasan), dampak PPOK terhadap kehidupan pasien
(keterbatasan aktivitas, beban ekonomi, efek terhadap rutinitas dalam keluarga,
kecemasan atau depresi, aktivitas seksual), dukungan sosial dan keluarga terhadap
pasien.
Pemeriksaan Fisik
Penemuan pada pemeriksaan fisik dada adalah adanya obstruksi jalan nafas
dan udara yang terperangkap. Penurunan suara nafas pada auskultasi yang disebabkan
emfisema (Wilkins et all, 2007), mengi, dan bunyi jantung terdengar jauh, umum
dijumpai pada pasien PPOK. Jika sangat parah, pasien mungkin menggunakan otot-
otot bantuan respirasi dan mengerutkan bibir untuk meningkatkan efisiensi
pernapasan. Sianosis juga dapat dijumpai (Ali et all, 2010). Tanda-tanda fisik PPOK
biasanya hanya terlihat ketika gangguan fungsi paru sudah berat, dan nilai sensitivitas
dan spesifisitas deteksi melalui pemeriksaan fisik tergolong rendah (GOLD, 2013).
29
Pemeriksaan Tambahan
Foto Polos Toraks
Terlihat gambaran hiperinflasi dengan diafragma yang datar, pemanjangan
siluet jantung, udara retrosternal meningkat dan tampilan hiperlusen. Jika ada, bula
tampak sebagai daerah radiolusen dengan berbagai ukuran dan dikelilingi oleh garis
tipis (Ali et all, 2010). Foto polos toraks juga berguna dalam mengeksklusikan
diagnosa alternatif lain dan menilai adanya komorbiditas (GOLD, 2013).
Tes Fungsi Paru (Spirometri)
Tes fungsi paru diperlukan untuk diagnosis dan penilaian keparahan penyakit.
Diagnosis PPOK membutuhkan nilai perbandingan VEP1 : KVP setelah pemberian
bronkodilator. Rasio <70% menunjukkan hasil positif. VEP1 adalah ukuran tingkat
keparahan obstruksi saluran napas dan nilai normal didasarkan pada usia pasien, ras,
jenis kelamin, tinggi, dan berat badan. (Ali et all, 2010). Penderita PPOK yang
memiliki nilai spirometri yang hampir mirip bisa saja memiliki derajat patologi paru
yang berbeda (Stockley, 2007).
CT (Computed Tomography) Scan Toraks
Hanya dilakukan bila diagnosa PPOK diragukan, membantu dalam diagnosa
banding, dan mampu menentukan komorbiditas lain. Bila ada indikasi untuk
pembedahan (untuk mereduksi volume paru) diperlukan CT scan untuk menilai
distribusi emfisema.
Tes Volume Paru & Kapasitas Difusi
Kapasitas total paru meningkat karena hiperinflasi dan pembatasan aliran
udara. Penilaian dapat dilakuakan dengan pletismografi ataupun pengukuran volume
paru dengan dilusi helium. Kapasitas difusi (DLCO) memberikan informasi mengenai
dampak fungsional emfisema pada PPOK.
Oksimeter dan Analisa Gas Darah Arteri
Pengukuran saturasi oksigen dilaksanakan untuk menilai kebutuhan terapi
oksigen (Wilkins et all, 2007). Semestinya pasien dengan VEP1 <35% dari yang
diprediksikan atau dengan gejala klinis yang sugestif menunjukkan kegagalan
30
pernafasan atau gagal jantung kanan harus diperiksa saturasi oksigennya. Bila saturasi
oksigen perifer < 92%, gas darah arteri harus diperiksa (GOLD, 2013).
Skrining Defisiensi Alfa-1 Antitrpsin
WHO merekomendasikan pasien dengan PPOK berusia < 45 tahun dengan
emfisema lobus bawah menjalani skrining ini. Skrining juga dapat dilakukan pada
anggota keluaga penderita. Konsentrasi serum AAT < 15-20% dari nilai normal
menunjukkan kemungkinan defisiensi homozigot.
Tes Latihan
Penilaian kesulitan latihan harus objektif, dinilai melalui reduksi jarak
tempuh, ataupun di laboratorium menggunakan sepeda atau treadmill.
Penurunan laju aliran ekspirasi maksimal merupakan abnormalitas fisiologis
utama yang dijumpai pada PPOK. Penilaian obstruksi aliran ekspirasi umumnya
menggunakan nilai Volume Ekspirasi Paksa dalam selang waktu satu detik (VEP1)
dan juga rasio VEP terhadap Kapasitas Vital Paksa (KVP) (Stockley, 2007). VEP1
biasanya menurun sekitar 20-30 mL per tahun dengan pertambahan usia (Ali et all,
2010). Kriteria GOLD (2012) untuk diagnosa PPOK disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Klasifikasi Keparahan Pembatasan Aliran Udara pada PPOK (GOLD)(Berdasarkan VEP1 setelah pemberian bronkodilator)
Pada pasien dengan VEP1/KVP <0.70:GOLD 1 Ringan VEP1 ≥ 80% dari yang
diprediksikan GOLD 2 Sedang 50% ≤ VEP1 < 80% dari yang
diprediksikan GOLD 3 Berat 30% ≤ VEP1 < 50% dari yang
diprediksikan GOLD 4 Sangat Berat VEP1 < 30% dari yang
diprediksikan
Panduan GOLD (2013) merekomendasikan penilaian terpadu (combined assessment)
untuk menilai keparahan gejala dan dampaknya dengan mempertimbangkan gejala
dan risiko eksaserbasi (Tabel 2.5 dan Gambar 2.3). Penilaian terpadu ini terutama
31
berfungsi sebagai panduan dalam terapi. Penilaian meliputi penilaian terhadap
beberapa hal:
- Tingkatan gejala
- Tingkatan abnormalitas spirometri
- Risiko eksaserbasi
- Komorbiditas yang menyertai
Tingkatan Gejala
Ada beberapa kuisioner valid yang dapat digunakan untuk menilai gejala pada
pasien PPOK. GOLD (2013) merekomendasikan penilaian dengan kuisioner
Modified British Medical Research Council (mMRC) atau COPD Assessment Test
(CAT). Kuisioner mMRC yang bisa dilihat pada Tabel 2.4 hanya menilai diasbilitas
akibat sesak nafas; sementara kuisioner CAT bisa dilihat pada bagian lampiran
mencakup dampak lebih luas dari PPOK terhadap keseharian penderita.
Tabel 2.4 Modified MRC Dyspnoea Scale0 Sesak nafas hanya bila berolahraga berat 1 Nafas pendek bila terburu-buru di jalan yang menanjak 2 Berjalan lebih lambat dari orang seusia karena sesak nafas ataupun harus berhenti
untuk bernafas saat berjalan dengan kecepatan sendiri 3 Berhenti untuk bernafas setelah berjalan sekitar 100 meter atau setelah beberapa
menit dengan kecepatan sendiri 4 Terlalu sesak untuk keluar dari rumah ataupun sesak nafas saat berpakaian
Tingkatan Abnormalitas Spirometri
Pembatasan aliran udara dinilai melalui pemeriksaan spirometri dan
klasifikasinya disajikan pada Tabel 2.3. Spirometri dilakukan setelah pemberian
bronkodilator inhalasi short-acting untuk meminimalisasi variabilitas.
Risiko Eksaserbasi
Eksaserbasi diartikan sebagai fase akut yang ditandai perburukan gejala
saluran pernafasan pasien, di luar dari batas normal variasi harian dan membutuhkan
perubahan tatalaksana. Kerentanan eksaserbasi sangat bervariasi antarindividu dan
prediktor terbaik adalah adanya riwayat eksaserbasi sebelumnya.
32
Komorbiditas yang Menyertai
Karena PPOK sering terjadi pada perokok pada usia paruh baya, penderita
biasanya juga memiliki penyakit-penyakit lain yang menyertai, entah sebagai akibat
merokok maupun penuaan. PPOK sendiri juga memiliki banyak efek ekstrapulmonal
(sistemik). Komorbiditas yang sering dijumpai sudah disebutkan pada bagian
anamnesis.
Tabel 2.5 Penilaian PPOK Terpadu (GOLD 2013)Gejalao Ringan (Less) (mMRC 0-1 atau CAT <10) : pasien grup (A) atau (C)o Berat (More) (mMRC 0-1 atau CAT <10) : pasien grup (B) atau (D)
Pembatasan aliran udara o Risiko tendah (GOLD 1 atau 2) : pasien grup (A) atau (B) o Risiko tinggi (GOLD 4 atau 4) : pasien grup (C) atau (D)
Eksaserbasi o Risiko tendah (≤ 1 per tahun) : pasien grup (A) atau (B) o Risiko tinggi (≥ 2 per tahun) : pasien grup (C) atau (D)
2.2.7. Penatalaksanaan PPOK
Objektif penatalaksaan terbagi dua, yakni yang diarahkan kepada gejala
(meringankan dan mengurangi dampak PPOK) dan objektif yang lain difokuskan
pada usaha memperkecil risiko eksaserbasi (GOLD, 2013).
Terapi ditujukan untuk mengurangi resistensi jalan nafas dan mengembalikan
gas darah arteri ke keadaan normal (Fishman et all, 2008). Hingga saat ini, belum ada
terapi yang mampu memodifikasi penurunan fungsi paru (Burge et all, 2000 dalam
GOLD, 2013). Kelas obat-obatan yang umumnya dipakai tertera pada Tabel 2.6.
Pemilihan obat didasarkan pada ketersediaan, biaya, dan respon pasien terhadap
pengobatan. Bila terapi diberikan dalam bentuk inhalasi, teknik pemakaian inhaler
yang benar dan efektivitas pemberian obat perlu diperhatikan.
Tabel 2.6 Formulasi dan Dosis Obat pada Tatalaksana PPOK (GOLD, 2013)
33
Nama Obat Inhaler (mcg) Durasi Kerja Obat (jam) Beta2-Agonis Short-acting Fenoterol 100-200 (MDI) 4-6 Levalbuterol 45-90 (MDI) 6-8 Salbutamol (albuterol) 100, 200 (MDI & DPI) 4-6 Terbutaline 400, 500 (DPI) 4-6 Long-acting Formoterol 4,5-12 (MDI & DPI) 12 Arformoterol 0.0075 mg/ml
(*nebulizer) 12
Indacaterol 75-300 (DPI) 24 Salmeterol 25-50 (MDI & DPI) 12 Tulobuterol 2mg (*transdermal) 24 Antikolinergik Short-acting Ipatropium bromida 20, 40 (MDI) 6-8 Oxitropium bromida 100 (MDI) 7-9 Long-acting Aclidinium bromida 322 (DPI) 12 Glycopyrronium bromida 44 (DPI) 24 Tiotropium 18 (DPI), 5 (SMI) 24 Kombinasi Beta2-Agonis short-acting dan Antikolinergik dalam satu inhaler Fenoterol/Ipratropium 200/80 (MDI) 6-8 Salbutamol/Ipratropium 75/15 (MDI) 6-8 Methylxanthine Aminophylline 200-600 mg (pil) bervariasi, hingga 24 jam Theophylline (SR) 100-600 mg (pil) bervariasi, hingga 24 jam Kortikosteroid Inhalasi Beclomethasone 50-400 (MDI & DPI) Budesonide 100, 200, 400 (DPI) Fluticasone 50-500 (MDI & DPI) Kombinasi Beta2-Agonis long-acting dan kortikosteroid dalam satu inhaler Formoterol/Budesonide 4,5/160 (MDI), 9/320 (DPI) Formoterol/Mometasone 10/200, 10/400 (MDI) Salmeterol/Fluticasone 50/100, 250, 500 (MDI) 25/50, 125, 250
(MDI) Kortikosteroid Sistemik Prednisone 5-60 mg (pil) Methyl-prednisolone 4, 8, 16 mg (pil) Fosfodiesterase-4 Inhibitor
34
Roflumilast 500 mcg (pil) 24 MDI = metered dose inhaler; DPI = dry powder inhaler
Bronkodilator
Bronkodilator merelaksasi otot polos sehingga pada pemakaiannya aliran
udara ekspirasi meningkat, dan nilai VEP1 akan meningkat pula. Karena lebih banyak
udara yang bisa keluar, hiperinflasi dinamis akan berkurang, baik saat istirahat
maupun latihan (O’Donnell D.E., 2006 dalam GOLD, 2013).
1. Beta2-Agonis
Merelaksasi otot polos dengan menstimulasi reseptor adrenergik β2, yang
diikuti peningkatan cAMP, lalu mengantagonis bronkokontriksi.
2. Antikolinergik
Memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek bronkodilator
bertahan lebih lama daripada Beta2-Agonis.
3. Methylxanthine
Kontroversi mengenai efek yang nyata dari derivat xanthine masih
berlangsung hingga saat ini. Methylxanthine yang paling serig digunakan yaitu
teofilin, dapat berperan sebagai inhibitor fosfodiesterase nonselektif.
4. Kortikosteroid
Efek kortikosteroid terhadap inflamasi sistemik dan paru pada penderita
PPOK masih dipertanyakan, pemakaian dibatasi untuk indikasi tertentu.
5. Fosfodiesterase-4 Inhibitor
Cara kerja dasar obat ini adalah menekan inflamasi dengan menginhibisi
degrdasi cAMP intraselular.
Tabel 2.7 Tatalaksana Awal pada PPOKGrup Pasien Pilihan Pertama Pilihan Alternatif Terapi lain
A Antikolinergik short-acting prn
atau
Antikolinergik long-acting atau
Beta2 agonis long-
Teofilin
35
Beta2 agonisshort-acting prn
actingatau
Beta2 agonis short-acting dan Antikolinergik short-acting
B Antikolinergik long-acting
atauBeta2 agonislong-acting
Antikolinergik long-acting
danBeta2 agonis long-
acting
Beta2 agonisshort-acting
dan/atau Antikolinergik short-acting
TeofilinC Kortikosteroid
inhalasi +Antikolinergik
long-actingatau
Beta2 agonislong-acting
Antikolinergik long-acting dan
Beta2 agonis long-actingatau
Antikolinergik long-acting dan
fosfodiesterase-4 inhibitor
atauBeta2 agonis long-
acting dan fosfodiesterase-4
inhibitor
Beta2 agonisshort-acting
dan/atau Antikolinergik short-acting
Teofilin
D Kortikosteroid inhalasi +
Antikolinergik long-actingdan/ atau
Beta2 agonislong-acting
Kortikosteroid inhalasi +
Antikolinergik long-acting
dan Beta2 agonis long-acting
atauKortikosteroid
inhalasi +Beta2 agonis long-
acting dan fosfodiesterase-4
inhibitoratau
Antikolinergik long-acting dan
KarbosisteinBeta2 agonisshort-acting
dan/atau Antikolinergik short-acting
Teofilin
36
Beta2 agonis long-actingatau
Antikolinergik long-acting dan
fosfodiesterase-4 inhibitor
Terapi Non Farmakologis
Rehabilitasi
Tujuan utama rehabilitasi paru adalah untuk mengurangi gejala, meningkatkan
kualitas hidup, dan meningkatkan partisipasi fisik dan emosi dalam kehidupan sehari-
hari (Ries A.L. et all, 2007 dalam GOLD, 2013). Rehabilitasi meliputi program
olahraga, edukasi agar berhenti merokok, pengetahuan dasar mengenai PPOK, cara
pemakaian obat, strategi mengurangi sesak nafas, pemilihan keputusan saat
eksaserbasi, dan anjuran-anjuran lain.
2.2.8. Komplikasi PPOK
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal
napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal
napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan
PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan
purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang
berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi
berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah,
ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai
oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan
(PDPI, 2003).
37
BAB IV
KESIMPULAN
COPD atau yang lebih dikenal dengan PPOK merupakan suatu kumpulan
penyakit paru yang menyebabkan obstruksi jalan napas, termasuk bronchitis,
emfisema, bronkietaksis dan asma. PPOK paling sering diakibatkan dari iritasi oleh
iritan kimia (industri dan tembakau), polusi udara, atau infeksi saluran pernapasan
kambuh. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya merokok, polusi,
infeksi saluran napas dan bersifat genetik yaitu defisiensi -1 antitripsin. Tanda dan
gejala dari PPOK antara lain batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin,
batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak,
dispnea, nafas pendek dan cepat (Takipnea). Penatalaksanaan pasien PPOK diberikan
terapi sesuai dengan gejala yang dialami misalnya terapi oksigen. Dan asuhan
keperawatan dimulai dari mengkaji keadaan fisik, memperoleh data subjektif dan
objektif dari pasien, kemudian menetukan diagnose berdasarkan dari data-data yang
telah diperoleh yaitu bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal dan kental dan kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen berkurang. (obstruksi
jalan napas oleh sekret, spasme bronkus), kemudian melakukan intervensi sampai
dengan evaluasi.
38
DAFTAR PUSTAKA
Ali, J., Summer, W.R., dan Levitzky, M.G. 2010. Pulmonary Pathophysiology. Edisi
III. USA : McGraw-Hill, 91-97.
Badan Pusat Statistik, 2010. Sensus Penduduk 2010. Available from:
http://sp2010.bps.go.id/ [Accessed 11 November 2014].
Blackler, L., Jones, C., dan Mooney, C. 2006. Managing Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. Edisi I. USA : John Wiley & Sons Ltd, 1-3.
Booth, S. dan Dudgeon, D. 2006. Dyspnoea in Advanced Disease. New York :
Oxford University Press, 58.
Bourke, S.J., 2003. Lecture Notes on Respiratory Medicine. Edisi VI. UK : Blackwell
Publishing, 8-9, 98, 111.
Fishman, A.P., Elias, J.A., Fishman, J.A., Grippi, M.A., Senior, R.M., dan Pack, A.I.,
2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. Edisi IV. USA :
McGraw-Hill, 78, 390, 394, 398, 707-711, 751-752.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2013. Global Strategy for
The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease.
Harding, R., Pinkerton, K.E., dan Plopper, C.G. 2004. The Lung: Development, Aging
and the Environment. UK: Elsevier, Academic Press, 381, 382.
Laurent, G.J. dan Saphiro, S.D. 2006. Encyclopedia of Respiratory Medicine. UK:
Elsevier, Academic Press, 171, 430, 434.
Mintz, M.L., 2006. Disorders of The Respiratory Tract: Common Challenges in
Primary Care. Totowa, New Jersey: Humana Press, 189-192.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik :
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.
Seaton, A., Seaton, D., dan Leitch, A.G. 2000. Crofton and Douglas’s Respiratory
Diseases. Edisi V. UK : Blackwell Science Ltd., 619-625.
39
Stockley, R.A., Rennard, S.I., Rabe, K., dan Celli, B. 2007. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. Edisi I. UK : Blackwell Publishing, 4-6.
Thun, M.J, Carter, B.D., Feskanich, D., Freedman, N.D., Prentice, R., Lopez, A.D., et
all, 2013. 50-Year Trends in Smoking-Related Mortality in the United States.
The New England Journal of Medicine. 368;4 : 351-360.
Wilkins, R.L., Dexter, J.R., dan Gold, P.M. 2007. Respiratory Disease : A Case Study
Approach to Patient Care. Edisi III. Philadelphia : F.A. Davis Company, 19,
68-71.
World Health Report. Geneva : World Health Organization, 2000. Available from
URL : http://www.who.int/whr/2000/en/statistics.htm [Accessed 11
November 2014].
40