fenomena hukum waris adat di indonesia antara …

21
M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 1 USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21 FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA KEADILAN HUKUM DAN KEADILAN SOSIAL M. Burhanuddin Ubaidillah STAI Darussalam Nganjuk Email: [email protected] Abstract: Legal justice and social justice as two different concepts form the basis of the development of theoretical law and practical law. The pluralistic fact of customary inheritance law that is not single in Indonesia and is subject to genealogical and territorial alliance, is not written in legislative regulations (unstatutery law), and has been generally believed (taken for granted) in reality is very difficult to integrate. Even now customary law cannot be realized in legal unification and there is still no uniform national regulation in Indonesia due to the clash of cultural, religious and sociological complications. This is where the urgency of the concept of legal justice and social justice develops his theory in improving the law so that the phenomenon of customary inheritance law gets an alternative solution based on the social structure of a pluralistic Indonesian society. PENDAHULUAN Di Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga kini berlaku hukum kewarisan yang masih sangat pluralistik yakni hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Selain itu, pluralistik hukum waris adat yang tidak bersifat tunggal mengikuti persekutuan hukum adat itu sendiri berdasarkan persekutuan genealogis (keturunan) dan persekutuan territorial (persekutuan hukum teritorial). Baik hukum adat maupun hukum Islam secara formil bukan sumber otoritatif hukum nasional. Hukum adat dan hukum Islam dalam kontestasinya hanya dapat menjadi sumber materiil dan persuasif bagi hukum nasional. 1 1 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Nomor 12/PUU-V/2007 tentang UU Perkawinan, Putusan MK Nomor 19/PUU-VI/2008 tentang Kewenangan Peradilan Agama, Jimly Asshiddiqie, Masa Depan Kebhinnekaan dan Konstitusionalisme di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Solusi, Seminar Internasional ICIP, Jakarta, 22 Juli 2008.

Upload: others

Post on 18-Nov-2021

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 1

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA

ANTARA KEADILAN HUKUM DAN KEADILAN SOSIAL

M. Burhanuddin Ubaidillah

STAI Darussalam Nganjuk

Email: [email protected]

Abstract: Legal justice and social justice as two different concepts form the

basis of the development of theoretical law and practical law. The pluralistic

fact of customary inheritance law that is not single in Indonesia and is subject

to genealogical and territorial alliance, is not written in legislative regulations

(unstatutery law), and has been generally believed (taken for granted) in

reality is very difficult to integrate. Even now customary law cannot be

realized in legal unification and there is still no uniform national regulation in

Indonesia due to the clash of cultural, religious and sociological complications.

This is where the urgency of the concept of legal justice and social justice

develops his theory in improving the law so that the phenomenon of

customary inheritance law gets an alternative solution based on the social

structure of a pluralistic Indonesian society.

PENDAHULUAN

Di Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga kini berlaku hukum

kewarisan yang masih sangat pluralistik yakni hukum waris adat, hukum

waris Islam dan hukum waris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Selain itu, pluralistik hukum waris

adat yang tidak bersifat tunggal mengikuti persekutuan hukum adat itu sendiri

berdasarkan persekutuan genealogis (keturunan) dan persekutuan territorial

(persekutuan hukum teritorial). Baik hukum adat maupun hukum Islam

secara formil bukan sumber otoritatif hukum nasional. Hukum adat dan

hukum Islam dalam kontestasinya hanya dapat menjadi sumber materiil dan

persuasif bagi hukum nasional.1

1 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Nomor 12/PUU-V/2007 tentang UU Perkawinan, Putusan MK Nomor 19/PUU-VI/2008 tentang Kewenangan Peradilan Agama, Jimly Asshiddiqie, Masa Depan Kebhinnekaan dan Konstitusionalisme di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Solusi, Seminar Internasional ICIP, Jakarta, 22 Juli 2008.

Page 2: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 2

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

Dalam Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di

Yogyakarta tahun 1975 dirumuskan bahwa hukum Adat adalah hukum

Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik

Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama. 2 Soerojo

Wignjodipoero mengutip pendapat Soepomo mendefinisikan hukum Adat

sebagai sebagai hukum yang tidak tertulis dalam peraturan legislatif

(unstatutery law), meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak

ditetapkan oleh yang berwajib, tetap ditaati dan didukung oleh rakyat

berdasarkan keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan

hukum.3

Berdasarkan fakta di atas, pluralisme hukum adat yang sudah diyakini

secara umum (taken for granted) pada kenyataannya sulit sekali dipadukan.4

Sampai sekarangpun hukum adat masih belum dapat diwujudkan dalam

unifikasi hukum. Oleh karena itu masih belum terdapat keseragaman

pengaturan secara nasional di Indonesia.5 Hal ini bisa difahami karena adanya

benturan komplikasi kultural, keagamaan dan sosiologi.6 Realitas konflik ini

terasa karena tidak ada aturan hukumnya atau diatur tetapi tidak sesuai

dengan realitas yang ada di masyarakat.7

Artikel ini lebih terfokus pada fenomena pluralisme hukum waris adat

di Indonesia terutama persoalan hak-hak kultural masyarakat hukum adat

yang tidak terakomodasi oleh ketentuan hukum nasional dari aspek keadilan

2 Sulaiman B. Taneka, Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Depan (Bandung: E.Esco, 1987), 11. 3 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Gunung Agung, 1985), 14. 4 Agus Sudaryanto,“Sepikul Segendong: Harmonisasi Hukum Adat dan Islam dalam Pewarisan terhadap Anak”, dalam Atik Triratnawati dan Mutiah Amini (editor), Ekspresi Islam dalam Simbol-Simbol Budaya di Indonesia (Yogyakarta: PT. Adicita, 2005), 225. 5 Eman suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), 5. 6 Mochtar Kusuma Atmadja, Pembinaan Hukum dalam rangka Pembangunan Nasional (Bandung: Bina Cipta, 1986), 15. 7 Joeni Arianto Kurniawan, Legal Pluralism in Industrialized Indonesia. A Case Study of Land Conflict between Adat People, the Government, and Corporation Regarding to Industrialization in Middle Java, Saarbrücken ,VDM Verlag Dr. Müller.

Page 3: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 3

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

sosial dan keadilan hukum yang berujung pada konflik sosial yang berakar dari

kontradiksi realitas di masyarakat hukum adat dan negara.

PEMBAHASAN

Historitas dan Eksistensi Hukum Waris Adat di Indonesia

Menurut R. Van Dijk, jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan

Indonesia, tiga sistem hukum waris telah berlaku di Indonesia secara bersama

meski titik mulanya tidak bersamaan, yaitu hukum waris adat, hukum waris

Islam dan hukum waris Barat. Dalam sejarah Indonesia, sistem hukum waris

adat menempati fase pertama dibandingkan dengan dua sistem hukum waris

lainnya sebagai konsekwensi logis bahwa hukum adat adalah hukum asli

bangsa Indonesia, berasal dari nenek moyang dan telah melembaga serta

terinternalisasi secara turun-menurun dari satu generasi ke generasi

berikutnya.8

Menurut ahli hukum adat, hukum adat di Indonesia pada hakekatnya

sudah terdapat pada zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam

masyarakat Pra-Hindu merupakan adat-adat Melayu Polinesia. Fase

selanjutnya datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang

mempengaruhi kultur asli hukum adat kehidupan masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, Hukum Adat yang kini hidup adalah hasil akulturasi antara

peraturan-peraturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan yang

dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen.9

Menurut Van Vaollenhoven, akulturasi menjadikan hukum adat

(Inladsrecht) terdiri dari dua macam, yaitu: hukum adat yang tidak ditulis (jus

non scriptum) dan hukum adat yang ditulis (jus scriptum). Fakta sejarah

menunjukkan adanya hukum adat yang ditulis seperti: kitab Civacasana pada

masa Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur Tahun 1000, Kitab Gajah Mada

karya Gajah Mada Patih Majapahit tahun 1331-1364, kitab Adigama karya

8 R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Terjemahan oleh A.Soehardi (Bandung: Vorkink van Hoeve Bandung, 1982), 78. 9 Dewa Ragawisono, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat Indonesia, Diktat Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, 27.

Page 4: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 4

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

Kanaka Patih Majapahit tahun 1413-1430, dan kitab hukum Kutaramanava di

Bali tahun 1350 yang mengatur kehidupan di lingkungan istana. Di sisi lain,

juga terdapat kitab-kitab yang mengatur kehidupan masyarakat antara lain:

Ruhut Parsaoran di Habatohan di tanah Batak, Patik Dohot Uhum ni Halak

Batak di Tapanuli, Undang-Undang Simbur Cahaya di Palembang, Undang-

Undang nan dua puluh di Minangkabau, Amana Gapa bagi orang-orang wajo di

Sulawesi Selatan, Awig-awig yang ditulis dalam daun lontar di Bali.10

Pada abad ke 14 agama Islam masuk ke Indonesia. Terjadi kontak dan

hubungan antara hukum Islam dengan hukum adat serta sinkretisme yang

tumbuh dan berkembang dalam masyarakat mulai dari perkawinan, wakaf,

hibah hingga wilayah warisan. Di Jawa lahir istilah sagendong sapikul dalam

sistem pembagian warisan.11 Di Aceh lahir pepatah hukum ngon adat hantom

cre, lagee zat ngon sipeut (hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat

dicerai-pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan zat

dengan sifat suatu benda). Di Minangkabau lahir pepatah adat dan syara’

sanda menyanda, syara’ mengati adat memakai (adat dan hukum Islam saling

topang menopang, adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri).12 Di

Sulawesi lahir ungkapan adat hula-hulaa to syaraa, syaraa hula-hulaa to adat

(adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi adat).13

10 Munir Salim, “Adat Recht Sebagai Bukti Sejarah dalam Perkembangan Hukum Positif di Indonesia”, dalam Jurnal al-Daulah, Vol. 4 / No. 1 / Juni 2015, 24-25. 11 MB. Hoeker, Adat Law in Modern Indonesia, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978), 97. 12 Hamka, Hubungan Timbal Balik Antara Adat dan Syara’ di dalam Kebudayaan Minangkabau (Panji Masyarakat. Nomor 61/IV/1970), 10 13 A. Gani Abdullah, Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima, 1947-1957, Disertasi IAIN Syarief Hidayatullah, Jakarta:1987, 89.

Page 5: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 5

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

Pada masa penjajahan Belanda, sejarah hukum adat terbagi dalam lima

zaman, yaitu: Zaman Daendels,14 Zaman Raffles,15 Zaman Komisi Jenderal,16

Zaman Vanden Bosch, 17 dan Zaman Chr. Baud. 18 Namun demikian, pada

tataran praktek Pemerintah kolonial Belanda dengan asas konkordansi

memberlakukan hukum waris BW pada golongan Eropa yang ada di Indonesia,

orang-orang Timur Asing Tionghoa. Bagi golongan Timur Asing bukan

Tionghoa berlaku hukum mereka sendiri dari negeri asalnya.19

Strategi pembedaan pemakaian hukum dibingkai melalui pasal 131

Indische Staatsregeling sehingga penduduk di Indonesia terbelah-belah secara

yuridis dalam tiga golongan yaitu: golongan Eropa, golongan Timur Asing

(Tionghoa dan non-Tionghoa), dan golongan pribumi. Pada masa penjajahan

Belanda, Negara Indonesia yang kaya akan kemajemukan ragam tradisi dan

budaya termasuk tatanan organisasi sosial yang ada dipaksa tunduk pada

hukum Kolonial Hindia Belanda. Strategi hukum ini sama dengan politik

hukum yaitu legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional

oleh penguasa negara sebagaimana yang diintrodusir Mahfud MD.20

Pasca Kemerdekaan, seluruh wilayah disatukan di bawah satu otoritas

negara yang berstruktur Negara Kesatuan Republik Indonesia. 21 Pluralistik

hukum waris di Indonesia masih terus berlangsung. Di sisi lain, keharusan

konstitusional menuntut terbentuknya hukum nasional dalam rangka mengisi

kevakuman hukum (rechtsvacuum) untuk meneguhkan eksistensi

14 Daendels beranggapan bahwa memang ada hukum yang hidup dalam masyarakat adat tetapi derajatnya lebih rendah dari hukum Eropa. Dengan demikian, hukum Eropa tidak akan mengalami perubahan. 15 Pada Zaman Raffles terbentuk komisi yang bertugas meneliti peraturan-peraturan yang ada dalam masyarakat untuk mengadakan perubahan yang pasti dalam membentuk pemerintahan. Hasil penelitian komisi dijadikan dasar peraturan Regulation for The More Effectual Administration of Justice in The Provincial Court of Java. 16 Pada zaman Komisi Jenderal tidak ada perubahan dalam perkembangan hukum adat dan tidak merusak tatanan yang sudah ada pada zaman Raffles. 17 Pada zaman Vanden Bosch hukum waris dilakukan menurut hukum Islam serta hak atas tanah adalah campuran antara peraturan Bramein dan Islam. 18 Pada zaman Chr. Baud sudah banyak perhatian pada hukum adat tentang melindungi hak-hak ulayat. 19 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 1985), 10-14. 20 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, t.th.), 9. 21 Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1993), 224.

Page 6: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 6

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

kemerdekaannya.22 Berdasarkan UUD 1945 pasal II Aturan Peralihan: “Segala

badan negara dan peraturan yang ada dan masih berlaku, selama belum

diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”, maka ketiga sistem

hukum waris menjadi bagian hukum nasional.

Upaya unifikasi dan kondifikasi hukum waris secara nasional dilakukan

dalam rangka memberikan kepastian hukum dan upaya pembaruan terhadap

hal-hal yang dianggap tidak adil dalam sistem hukum waris yang ada. Menurut

Roscoe Pound, hukum tertulis yang baik adalah hukum yang sesuai dengan

hukum yang hidup dalam masyarakat.23 Rumusan ini menunjukkan kompromi

yang cermat antara hukum tertulis dari proses legislasi nasional sebagai

kepastian hukum dan living law serta wujud penghargaan terhadap

pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi

hukum.24

Ketiga sistem hukum waris di Indonesia mengalami perkembangan dan

proses pelembagaan yang berbeda. Hukum waris adat berkembang melalui

berbagai yurisprudensi (judge made law). Berbeda dengan hukum waris Barat

yang relatif tidak mengalami perubahan sebagaimana pada masa penjajahan.

Demikian pula hukum waris Islam, pelembagaannya ditempuh melalui

legislasi nasional. Hal ini disebabkan adanya masyarakat Indonesia yang

secara sosio-politik mengorganisasikan diri dalam kesatuan hukum yang tidak

didasarkan pada hukum positif negara, melainkan pada hukum adat yang

dikenal dengan istilah persekutuan hukum adat.

Persekutuan hukum adat (adatrechtsgemeenschap) didefinisikan Ter

Haar dengan masyarakat hukum dari golongan masyarakat Indonesia asli

yang terikat dalam satu kesatuan secara lahir dan batin yang bertindak sebagai

satu kesatuan organisasi menurut tingkah laku tertentu. Segala sesuatu dalam

22 Moempoeni Moelatingsih, Materi kuliah Lembaga/Pranata Hukum, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro 2004/2005. 23 Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum (Bandung: Alumni, 1985), 47 24 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Remaja Bandung: Rosdakarya, 1993), 83.

Page 7: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 7

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

kesatuan masyarakat tersebut terjadi dan berlangsung akibat adanya suatu

aturan tertentu yang tiada lain adalah aturan hukum adat.25

Eksistensi Hukum Adat pasca kemerdekaan diakuai secara hukum di

Indonesia. Amandemen ke-dua Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal

18-B ayat 2 menjadi dasar pengakuan hukum adat dalam konstitusi Negara

Indonesia. Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS)

diatur hukum adat dalam Pasal 144 ayat 1 tentang hakim adat dan hakim

agama, Pasal 145 ayat 2 tentang pengadilan adat, dan Pasal 146 ayat 1 tentang

aturan hukum adat yang menjadi dasar hukuman.

Dalam Pasal 104 ayat 1 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS

1950) dijelaskan dasar berlakunya hukum adat. Tap Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara Nomor: II/MPRS/1960 juga memberikan pengakuan

hukum adat, yaitu: a. Asas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan

Haluan Negara dan berlandaskan hukum adat, b. Dalam usaha homogenitas di

bidang hukum supaya diperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat,

c. Dalam penyempurnaan Undang-Undang Hukum Perkawinan dan Waris,

supaya diperhatikan faktor faktor agama, adat, dll.

Dalam penyusunan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) didasarkan pada azas hukum adat dan

mengakui keberadaan hukum adat. Istilah hukum adat yang disebut dalam

Pasal 5 UUPA ini bukanlah hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat

hukum adat secara tradisional, tetapi hukum adat yang sudah dihilangkan sifat

kedaerahannya dan diganti dengan sifat nasional.26

Pluralitas Hukum Waris Adat di Indonesia

Istilah adat berasal dari bahasa Arab dan menjadi bahasa baku di

semua daerah Indonesia. Adat diartikan kebiasaan. Secara sederhana hukum

Adat (Adatrecht) dapat diartikan dengan hukum kebiasaan (customary law)

25 Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), 27. 26 Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia (Jakarta: Regional Initiative on Indigenous Peoples’ Rights and Development UNDP, 2006), 63.

Page 8: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 8

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

sebagaimana konsepsi A. Qodri Azizy atau hukum yang hidup di masyarakat

(living law) yang telah dijadikan sebuah disiplin dan dikategorikan secara

baku. 27 Soerjono Soekanto mendefinisikan hukum Adat dengan kebiasaan-

kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (seinsollen), 28 sedangkan M. M.

Djojodigoeno mendefinisikan hukum Adat dengan hukum yang tidak

bersumber kepada peraturan-peraturan.29

Konsepsi hukum Adat diciptaan orang Belanda yang bertujuan

mengadu kalangan Islam dengan kalangan nasional 30 melalui propaganda

hukum Adat adalah hukum kaum nasional dan hukum Islam milik asing.

Hukum Adat merupakan sistem hukum non-statutair yang diciptakan oleh

Scnouck Hugronje pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Menurut

penelitian dan temuan Van Vollenhoven, hukum Adat di Indonesia merupakan

rekayasa politik hukum Belanda untuk melaksanakan politik devire et impera

bangsa Indonesia.31

Secara garis besar, pelaksanaan hukum waris adat di Indonesia

dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan dan keturunan, baik melalui jalur ayah

atau ibu. Bentuk kekerabatan ditentukan oleh prinsip keturunan (princeple

decent). Menurut Kuncoroningkrat ada empat prinsip pokok garis keturunan,

yaitu: Prinsip Patrilineal (Patrilineal Decent), Prinsip Matrilineal (Matrilineal

Decent), Prinsip Bilineal (Bilineal Decent), dan Prinsip Bilateral (Bilateral

Decent).32 Berbeda dengan Hazairin yang hanya menyatakan ada tiga prinsip

27 A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum (Yogyakarta: Gama Media. 2002), 110. 28 Soejono Soekamto, Pengantar Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Rajawali. 1993), 37. 29 M. M. Djojodigoeno, Asas–Asas Hukum Adat (Jogyakarta: Yayasan Badan Penerbit GAMA. 1958), 6. 30 M. A. Jaspan, Mencari Hukum Baru: Sinkretisme Hukum di Indonesia yang Membingungkan Dalam Mulyana W. Kusumah (ed) Hukum Politik dan Perubahan Sosial (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. 1988), 240, Amrullah Ahmad, et al, Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Sebuah Kenangan 65 Tahun Bustanul Arifin (Jakarta: Ikaha Jakarta. 1994), 6. 31 Jazumi, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 249. 32 Kuntjaraningkrat, Beberapa Pokok Antropologi (Jakarta: Dian Rakyat, 1992), 135.

Page 9: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 9

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

pokok garis kekerabatan, yaitu: Patrilineal, Matrilineal, dan Parental atau

Bilateral.33

Menurut Hazairin, prinsip belenial (belenial decent) yang diusung

Kuntjaraningkrat tidak dikenal, sehingga dalam masyarakat Indonesia boleh

dikata tidak ada. Bentuk masyarakat dengan hubungan kekerabatan

patrilineal dijumpai dalam masyarakat Batak, Bali, Tanah Gayo, Timor,

Ambon, dan Papua. Bentuk hubungan kekerabatan matrilineal di

Minangkabau. Adapun bentuk masyarakat kekerabatan parental atau bilateral

di Jawa, Kalimantan, Riau, Lombok, dan lain sebagainya.

Dalam sistem hukum waris adat patrilineal seperti pada masyarakat

Batak Karo, hanya anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena anak

perempuan di luar golongan patrilineal.34 Beberapa alasan yang melandasi

sistem hukum waris patrilineal dapat dikatagorikan pada dua, yaitu: pertama,

alasan yang memandang rendah kedudukan perempuan khususnya dalam

masyarakat Batak adalah: Emas kawin (tukor) membuktikan perempuan

dijual; Adat lakonan (levirat) membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh

saudara dari suaminya yang telah meninggal dunia; Perempuan tidak

mendapatkan warisan; dan Perkataan naki-naki menunjukan perempuan

makhluk tipuan dan lain-lain. Kedua, alasan pengaruh budaya masyarakat

patrilineal. Di Batak Karo contohnya dipengaruhi oleh beberapa faktor,

seperti: Silsilah kekeluargaan di dasarkan kepada laki-laki, anak perempuan

tidak dianggap dapat melanjutkan silsilah keturunan keluarga; Dalam rumah

tangga istri bukan kepala keluarga, dan anak-anak menggunakan nama

keluarga atau marga ayah, dan istri digolongkan ke dalam keluarga atau marga

suami; Dalam Adat perempuan tidak dapat mewakili orang tua atau ayahnya,

sebab ia masuk anggota keluarga suaminya; dan Dalam Adat kalimbubu (laki-

laki) dianggap anggota keluarga sebagai orang tua atau ibu.35

33 Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum (Jakarta: Bina Aksara, 1981), 11. 34 Djaja Sembiring Meliala, Hukum Adat Karo dalam rangka Pembentukan Hukum Nasional (Bandung: Tarsito, 1978), 54. 35 Eman Suparman, Inti Sari Hukum Waris Indonesia (Bandung: Armico, 1985), 53-54.

Page 10: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 10

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

Sistem hukum waris adat Matrilineal sudah berlaku sebelum masuknya

ajaran agama Hindu, Islam dan Kristen di Indonesia pada masyarakat

Minangkabau, Enggano dan Timor.36 Menurut Hazairin, selain sistem hukum

waris matrilineal berhubungan dengan sistem kekerabatan juga berhubungan

dengan tiga tahab bentuk hukum perkawinan adat Minangkabau, yaitu:

perkawinan bertandang, perkawinan manetap, dan perkawinan bebas.37 Hal ini

dikuatkan hasil penelitian Amir Syarifuddin yang menyatakan bahwa Adat

Minangkabau mempunyai pengertian tersendiri tentang keluarga dan tata

cara perkawinan, kemudian menimbulkan bentuk atau asas tersendiri dalam

hukum waris.38

Sistem hukum waris adat parental atau bilateral memberikan hak yang

sama antara laki-laki dan perempuan, baik kepada suami dan istri, anak laki-

laki dan anak perempuan termasuk keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga

pihak perempuan. Pada umumnya sistem ini berlaku di pulau Jawa, termasuk

Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Menurut Hazairin, ada tujuh kelompok keutamaan ahli waris parental atau

bilateral. Artinya kelompok pertama diutamakan dari kelompok kedua dan

kelompok kedua diutamakan dari kelompok ketiga dan seterusnya. Tingkatan

kelompok ini mempunyai akibat hukum, bahwa kelompok pertama menutup

kelompok kedua, dan kelompok kedua menutup kelompok ketiga dan

seterusnya sampai kelompok ketujuh.39

Solusi alternatif Fenomena Hukum Waris Adat di Indonesia antara

Keadilan Sosial dan Keadilan Hukum

Secara konseptual, hukum adat adalah hukum masyarakat Indonesia

asli yang tidak bersumber pada peraturan negara,40 terbentuk dari adat dan

36 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), 23. 37 Hazairin, Pergolakan, Penyesuaian Adat kepada Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1952), 15. 38 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Adat Minangkabau (Jakarta: Gunung Agung, 1982), 256. 39 Tujuh Serangkai tentang Hukum (Jakarta: Bina Aksara, 1981), 17. 40 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat (Bandung: Penerbit Alumni, 1979), 3.

Page 11: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 11

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

kebiasaan masyarakat,41 bersumber dari nilai-nilai masyarakat Indonesia asli

yang sebagian besar tidak tertulis akan tetapi memiliki sanksi. 42 Secara

sosiologi hukum, hukum adat adalah hukum dan prilaku yang berlaku di

masyarakat serta gejala sosial yang menjadi penyebab lahirnya hukum di

masyarakat.43

Hukum mempunyai karakteristik yang merujuk pada realitas sosial.

Hal ini disebabkan karena tiga hal, yaitu: Pertama, hukum menghendaki

adanya stabilitas dalam masyarakat, Kedua, hukum sebagai kaedah mengatur

hubungan antar manusia, dan Ketiga, hukum cenderung mementingkan

ketertiban.44 Menurut L. J. Van Apeldoorn, hukum yang mengodifikasi moral,

kebiasaan atau tingkah laku adalah fungsi pasif hukum. Adapun hukum

sebagai alat utama perubahan sosial dikategorikan sebagai fungsi aktif hukum

yang dikenal dengan kontrol sosial.45

Masyarakat Indonesia menganut berbagai macam agama dan

kepercayaan yang berbeda, mempunyai bentuk kekerabatan dengan sistem

keturunan yang berbeda pula. Secara teoritis sistem keturunan dapat

dibedakan dalam tiga corak, yaitu: Pertama, sistem Patrilineal yang ditarik

menurut garis bapak, Kedua, sistem Matrilineal yang ditarik menurut garis ibu,

dan Ketiga, sistem Parental atau Bilateral yang ditarik menurut garis orang

tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu) dimana kedudukan pria dan

wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan.46

Selain itu dikenal pula tiga sistem kewarisan lain, yaitu: Pertama,

sistem kewarisan Individual dimana ahli waris mewarisi secara perorangan,

Kedua, sistem kewarisan kolektif dimana ahli waris secara bersama-sama

41 Moh. Koesnoe, Hukum Adat sebagai Suatu Model Hukum (Bandung: Mandar Maju, 1992), 68-70, Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat (Bandung: Mandar Maju, 1992), 17, Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar (Jakarta: Pradnya Paramita, 1975), 19. 42 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas, 2-7, Moh. Koesnoe, Hukum Adat sebagai, 68-70, 72-73. 43 Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2007), 16. 44 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Prenadamedia Group, 2008), 136. 45 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 58. 46 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat (Bandung: Mandar Maju, 1992), 23.

Page 12: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 12

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi pemilikannya kepada

masing-masing ahli waris, dan Ketiga sistem kewarisan mayorat dimana anak

laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal merupakan ahli waris tunggal

seperti di Lampung dan anak perempuan tertua sebagai ahli waris tunggal

pada masyarakat Semendo.47

Fenomena konflik hukum waris Adat di Indonesia dihadapkan pada

dua alternatif, yaitu: (1) tetap membiarkan hukum waris dalam keberagaman,

jika timbul konflik hukum diserahkan kepada pengadilan, dan (2) melakukan

unifikasi dengan membuat undang-undang baru di bidang kewarisan yang

bersifat nasional. Faktor utamanya adalah beberapa persoalan hak-hak

kultural masyarakat hukum adat tidak terakomodasi secara maksimal oleh

hukum positif di Indonesia yang berakar pada kontradiksi kepentingan antara

masyarakat hukum adat dan negara.48

Ide mempertahankan pluralitas hukum tidak sejalan dengan cita-cita

hukum yang sama untuk semua orang. Argumentasi mempertahankan hukum

dalam keberanekaragam lebih banyak mengandung konsekuensi negatif. Hal

ini juga berarti melestarikan terjadinya konflik hukum antara ketiga sistem

hukum waris di Indonesia yang sudah berlangsung hingga saat ini.49

Beberapa persoalan yang lahir dalam sistem hukum waris adat

patrilineal seperti pada masyarakat Batak Karo, hanya anak laki-laki yang

menjadi ahli waris, 50 baik dengan empat alasan memandang rendah

kedudukan perempuan, maupun pengaruh silsilah kekeluargaan dan Adat

istiadat yang berlaku pada masyarakat Batak Karo51 perlu digaris bawahi dan

47 Soejono Soekamto, Pengantar Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Rajawali. 1993), 260. 48 Joeni Arianto Kurniawan, Legal Pluralism in Industrialized Indonesia. A Case Study of Land Conflict between Adat People, the Government, and Corporation Regarding to Industrialization in Middle Java, Saarbrücken ,VDM Verlag Dr. Müller. 49 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). 50 Djaja Sembiring Meliala, Hukum Adat Karo dalam rangka Pembentukan Hukum Nasional (Bandung: Tarsito, 1978), 54. 51 Eman Suparman, Inti Sari Hukum Waris Indonesia (Bandung: Armico, 1985), 53-54.

Page 13: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 13

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

dikaji secara komprehensif sebagai bahan unifikasi dan kondifikasi hukum

waris adat secara Nasional.

Contoh lain pada tradisi waris masyarakat Sasak Lombok. Sebagian

Masyarakat Sasak Lombok masih menganut tradisi bahwa anak laki-laki tertua

(anak laki-laki sulung) saat pewaris meninggal merupakan ahli waris tunggal.

Sejak kecil, seluruh harta benda baik berupa rumah, ladang dan perabotan

rumah tangga yang diwarisi secara turun temurun sudah diatasnamakan

padanya. Proses pewarisan banyak dilakukan sebelum pewaris wafat walau

proses pewarisan tersebut hanya sebatas pengatas namaan secara lisan,

namun dapat dipastikan barang-barang tersebut sudah diwariskan kepadanya

secara keseluruhan. 52 Anak tertua sebagai pengganti orang tua bukanlah

pemilik harta peninggalan secara perseorangan, ia hanya berkedudukan

sebagai pemegang mandat orang tua yang dibatasi oleh musyawarah keluarga,

kewajiban mengurus anggota keluarga lain yang ditinggalkan, dan

berdasarkan asas tolong menolong oleh bersama untuk bersama.53

Kebaikan sistem waris ini jika Anak tertua penuh tanggung jawab akan

dapat mempertahankan keutuhan dan kerukunan keluarga sampai semua ahli

waris dewasa dan dapat berdiri mengatur rumah tangga sendiri. Sebaliknya

jika anak tertua tidak bertanggung jawab, tidak dapat mengendalikan diri

terhadap warta warisan, pemboros dan lain sebagainya maka cenderung akan

terjadi konflik kepentingan, kesenjangan sosial dan kesenjangan hukum. Jika

pluralitas hukum seperti ini dibiarkan, keberanekaragam lebih banyak

mengandung konsekuensi negatif.

Pada solusi alternatif kedua, jika timbul konflik hukum diserahkan

kepada pengadilan, beberapa persoalan hukum waris adat yang tidak

terakomodasi oleh hukum positif, berujung pada konflik sosial seperti yang

sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia, semuanya bermuara pada

kontradiksi kepentingan antara masyarakat hukum adat dan negara. Realitas

52 Soejono Soekamto, Pengantar Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1993), 260. 53 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), 29-30.

Page 14: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 14

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

ini terasa karena tidak ada aturan hukumnya atau diatur tetapi tidak sesuai

dengan realitas yang ada di masyarakat.54

Contoh kasus di Donggala. Solusi pembagian waris melalui 4 (empat)

tahab. Pertama, musyawarah ahli waris yang dipimpin ahli waris yang

dituakan oleh ahli waris lainnya. Kedua, Musyawarah Dewan Adat dalam

penyelesaian permasalahan yang terdiri dari pemuka adat dan pemuka agama

di satu pihak dan di lain pihak ada pemuka agama yang berfungsi ganda, yaitu

sebagai pemuka agama dan pemuka adat sekaligus. Hal ini dilakukan apabila

para ahli waris gagal melalui musyawarah keluarga. Ketiga dan keempat, jika

gagal pada musyawarah keluarga dan Musyawarah Dewan Adat, maka ahli

waris bisa mengajukan melalui Pengadilan Umum (Negeri), atau melalui

Pengadilan Agama. Para hakim Pengadilan Negeri akan mendamaikan

berdasarkan hukum kewarisan KUHPer, sedangkan Para hakim Pengadilan

Agama akan mendamaikan berdasarkan hukum kewarisan Kompilasi Hukum

Islam (KHI).55

Solusi alternatif ketiga menempuh upaya unifikasi dan kondifikasi

hukum waris adat secara nasional melalui teori Sociological Jurisprudence.

Roscoe Pound menyatakan bahwa hukum tertulis yang baik adalah hukum

yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, 56 menunjukkan

kompromi cermat antara hukum tertulis dari proses legislasi nasional demi

terciptanya kepastian hukum dan living law sebagai wujud penghargaan

terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan

orientasi hukum. Senada dengan Eugen Ehrlich yang menekankan prinsip

pentingnya keseimbangan antara hukum formal dengan hukum yang hidup

dalam mayarakat (the living law).57

54 Joeni Arianto Kurniawan, Legal Pluralism in Industrialized Indonesia. A Case Study of Land Conflict between Adat People, the Government, and Corporation Regarding to Industrialization in Middle Java, Saarbrücken ,VDM Verlag Dr. Müller. 55 Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala (Palu: Yayasan Masyaraakat Indonesia Baru, 1998). 56 Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum (Bandung: Alumni, 1985), 47. 57 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Remaja Bandung: Rosdakarya, 1993), 84

Page 15: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 15

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

Sebagai contoh sistem hukum waris adat Matrilineal seperti pada

masyarakat Minangkabau, Enggano dan Timor. 58 Sistem hukum waris adat

Matrilineal di Minangkabau lahir dari 3 (tiga) bentuk hukum perkawinan adat

Minangkabau, yaitu: perkawinan bertandang, perkawinan manetap, dan

perkawinan bebas.59 Hal ini dikuatkan penelitian Amir Syarifuddin bahwa Adat

Minangkabau mempunyai pengertian tersendiri tentang keluarga dan

perkawinan yang menimbulkan asas tersendiri dalam hukum waris.60

Pendiri adat Minangkabau menurut garis keturunan Ibu adalah Dt.

Perpatih nan Sebatang dan Dt. Ketemanggungan. Pada perjalanannya, sistem

ibu yang berkuasa sudah tidak ada.61 Yang ada adalah kelompok masyarakat

yang menganut prinsip Matirilinial dalam menarik garis keturunan terbatas

pada ibu, dan anak-anaknya yang tinggal dalam satu rumah gadang, di mulai

dari lingkungan kecil (separuik) sampai kepada lingkungan yang lebih besar

(nagari).62

Hukum waris adat Minangkabau berkembang melalui berbagai

yurisprudensi (judge made law). Berawal pada tahun 1285, agama Islam mulai

berkembang besar-besaran di bawah kekuasaan kerajaan Samudra Pasai.63

Falsafah dasar hukum adat Minangkabau mengalami perubahan beberapa

kali. Falsafah awal alam takambang menjadi guru berubah menjadi adat

basandi alue jo patuik, alue jo patuik basandi kabenaran, kabanaran tagak

sandirinyo (adat harus berdasarkan pada alur dan kepatutan, kepatutan

berdasar pada kebenaran, dan kebenaran akan tegak sendirinya). Selanjutnya

58 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), 23. 59 Hazairin, Pergolakan, Penyesuaian Adat kepada Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1952), 15. 60 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Adat Minangkabau (Jakarta: Gunung Agung, 1982), 256. 61 Amir M. S., Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), 22. 62 Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau (Bandung: CV. Remaja Karya, 1988), xv. 63 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Lingkungan Adat Minangkabau (Jakarta: Gunung Agung, 1984), 120.

Page 16: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 16

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

falsafah ini juga berubah menjadi adat besandi syara', syara' besandi adat (adat

berdasarkan agama, agama berdasarkan adat).

Pada tahun 1803, penyesuaian hukum adat dengan agama Islam

dilakukan ulama-ulama muda dari gologan ahli sunnah menentang ulama

golongan syi'ah yang dianggap tidak mampu membersihkan kebiasaan-

kebiasaan yang melanggar agama. Puncaknya pada perang Paderi tahun 1821-

1838 yang mengganti falsafah adat dari adat basandi syara', syara' basandi

adat menjadi Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah yang digunakan

masyarakat Minangkabau sebagai dasar hukum sampai saat ini.64

Pada tanggal 2-4 Mei 1952 diadakan pertemuan dari seluruh utusan

yang mewakili lapisan masyarakat adat Minangkabau menghasilkan dua

keputusan di Bukittinggi sebagai berikut: harta pusaka tinggi, yaitu harta yang

diperoleh secara turun temurun, diwariskan berdasarkan adat (hukum Adat),

dan harta pencaharian yang menurut adat bernama harta pusaka rendah

diturunkan menurut syara' (hukum Islam).65

Amir Syarifuddin menyatakan bahwa kesepakatan seluruh utusan yang

mewakili lapisan masyarakat adat Minangkabau di tempatkan sebagai adat

yang diadatkan, menduduki kedudukan tertinggi dalam tingkatan adat

Minangkabau, karena sifat adat yang diadatkan hanya berlaku untuk satu

nagari, maka adat yang diadatkan tidak dapat dipaksakan terhadap nagari

lain. 66 Dengan demikian, keputusan orang empat jinih dianggap sebagai

peraturan adat sebana adat (adat sebenarnya adat) yang menduduki tempat

tertinggi dalam tingkatan adat untuk seluruh masyarakat Minangkabau

sebagai realisasi diterimanya falsafah adat besandi syara', syara' besandi

kitabullah.

Keputusan orang empat jinih diperkuat dengan keputusan Mahkamah

Agung tanggal 12 Februari 1969 No. 39/K/sip/l968. Dengan adanya

64 Iskandar Kemal, Beberapa Studi Tentang Minangkabau: Kumpulan Karangan (Padang: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Universitas Andalas, 1971), 9. 65 Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi (Jakarta: Firma Tekad, 1963), 7. 66 Amir M. S., Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan, 76-77, Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan, 289.

Page 17: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 17

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

keputusan Mahkamah Agung yang memperkuat keputusan orang empat jinih

ini terjadilah evolusi dalam hukum waris Minangkabau dimana terjadi

dualisme sistem kewarisannya. Pertama, menggunakan sistem kewarisan

kolektif Matrilinial untuk Harta pusaka tinggi dan kedua, menggunakan sistem

kewarisan individual bilateral untuk harta pusaka rendah. 67 Dalam hal ini

Snouck Horgronje mengatakan bahwa hukum adat tidak kaku dan bisa di ubah

menurut keadaan (een vlottend, kneedbar, lokaal in allerlei details loopend

recht).68

Berdasarkan kajian fenomena di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

hukum adat dapat menjadi hukum dalam masyarakat muslim jika hukum adat

tidak bertentangan dengan hukum Islam berdasarkan teori receptio a

contrario yang dikembangkan oleh Hazairin, Sajuti Talib, Mohammad Daud Ali,

Bismar Siregar, M. Tahir Azhary, dan tokoh lainnya. Dalam hukum waris adat

masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah diberlakukan langgai molemba mobine

manggala (anak laki-laki memikul dan anak perempuan menggendong).

Dalam hukum waris adat Jawa diberlakukan sagendong sapikul.69

Selain itu dalam hukum waris adat dapat menerima (meresepsi)

hukum Islam secara menyeluruh berdasarkan teori receptio in complexu

sebagaimana Wilayah Kerajaan Bone dan Gowa, Sulawesi Selatan

menggunakan Kitab Mugharrar. Kitab Sabil al-Muhtadin karya Syekh Arsyad

al-Banjari dijadikan pegangan dalam Kesultanan Banjar kemudian diikuti oleh

Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.70

PENUTUP

67 Iskandar Kemal, Beberapa Studi Tentang Minangkabau: Kumpulan Karangan (Padang: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Universitas Andalas, 1971), 155. 68 Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981), 67. 69 Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 83. 70 Mohammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1991), 71.

Page 18: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 18

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis dalam peraturan legislatif

(unstatutery law), meliputi peraturan-peraturan hidup, ditaati dan didukung

oleh rakyat berdasarkan keyakinan karena Hukum Adat mempunyai kekuatan

hukum. Sampai sekarangpun hukum adat masih belum dapat diwujudkan

dalam unifikasi dan kodifikasi hukum. Hal ini disebabkan adanya benturan

komplikasi kultural, keagamaan dan sosiologi.

Secara garis besar, pelaksanaan hukum waris adat di Indonesia ada

empat prinsip pokok, yaitu: Prinsip Patrilinel, Prinsip Matrilineal, Prinsip

Bilineal, dan Prinsip Bilateral (Bilateral Decent). Bentuk patrilineal dijumpai

dalam masyarakat Batak, Bali, Tanah Gayo, Timor, Ambon, dan Papua. Bentuk

matrilineal di Minangkabau. Adapun bentuk parental atau bilateral di Jawa,

Kalimantan, Riau, Lombok, dan lain sebagainya.

Tiga solusi alternatif fenomena konflik hukum waris Adat yang

ditawarkan perlu dikaji kembali secara komprehensif. Pertama, ide

mempertahankan pluralitas hukum tidak sejalan dengan keadilan hukum

untuk semua orang. Mempertahankan hukum dalam keberanekaragam lebih

banyak mengandung konsekuensi negatif yang berarti melestarikan

terjadinya konflik hukum antara ketiga sistem hukum waris di Indonesia.

Kedua, penyelesaian konflik pada Pengadilan Negeri atau Pengadilan agama

menunjukkan persoalan hukum waris adat tidak terakomodasi sepenuhnya

oleh hukum positif. Ketiga, upaya unifikasi dan kondifikasi hukum waris adat

secara nasional melalui Sociological Jurisprudence, karena hukum tertulis yang

baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat,

menunjukkan kompromi cermat antara hukum tertulis dari proses legislasi

nasional dalam dalam menciptakan kepastian hukum serta keseimbangan

antara hukum formal dengan hukum yang hidup dalam mayarakat (the living

law).

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud, Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan

Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1991.

Page 19: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 19

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

Ali, Zainuddin, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,

Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

............, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala, Palu:

Yayasan Masyaraakat Indonesia Baru, 1998.

Amir M. S., Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Jakarta:

PT. Mutiara Sumber Widya, 2001.

Amran, Rusli, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta: Penerbit Sinar

Harapan, 1981.

Amrullah Ahmad, et al, Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan

Hukum Nasional di Indonesia, Sebuah Kenangan 65 Tahun Bustanul

Arifin, Jakarta: Ikaha Jakarta. 1994.

Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah,

Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Asshiddiqie, Jimly, Masa Depan Kebhinnekaan dan Konstitusionalisme di

Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Solusi, Seminar Internasional ICIP,

Jakarta, 22 Juli 2008.

Atmadja, Mochtar Kusuma, Pembinaan Hukum dalam rangka Pembangunan

Nasional, Bandung: Bina Cipta, 1986.

Azizy, A. Qodri, Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi antara Hukum Islam

dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002.

Bushar, Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar, Jakarta:

Pradnya Paramita, 1975.

Djojodigoeno, M. M., Asas-Asas Hukum Adat, Jogyakarta: Yayasan Badan

Penerbit GAMA, 1958.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.

............, Pengantar Ilmu Hukum Adat, Bandung: Mandar Maju, 1992.

Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Firma Tekad, 1963.

............, Hubungan Timbal Balik Antara Adat dan Syara’ di dalam Kebudayaan

Minangkabau, Panji Masyarakat, Nomor 61/IV/1970.

Hazairin, Pergolakan, Penyesuaian Adat kepada Hukum Islam, Jakarta: Bulan

Bintang, 1952.

............, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Jakarta: Bina Aksara, 1981.

Page 20: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 20

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

Hoeker, MB., Adat Law in Modern Indonesia, Kuala Lumpur: Oxford University

Press, 1978.

Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di

Minangkabau, Bandung: CV. Remaja Karya, 1988.

Jaspan, M. A., Mencari Hukum Baru: Sinkretisme Hukum di Indonesia yang

Membingungkan Dalam Mulyana W. Kusumah (ed) Hukum Politik dan

Perubahan Sosial, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum

Indonesia. 1988.

Jazumi, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

Kemal, Iskandar, Beberapa Studi Tentang Minangkabau: Kumpulan Karangan,

Padang: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Universitas Andalas, 1971.

Kharlie, Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,

2013.

Koesnoe, Moh., Hukum Adat sebagai Suatu Model Hukum, Bandung: Mandar

Maju, 1992.

Kuntjaraningkrat, Beberapa Pokok Antropologi, Jakarta: Dian Rakyat, 1992.

Kurniawan, Joeni Arianto, Legal Pluralism in Industrialized Indonesia. A Case

Study of Land Conflict between Adat People, the Government, and

Corporation Regarding to Industrialization in Middle Java, Saarbrücken

,VDM Verlag Dr. Müller.

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung:

Rosdakarya, 1993.

Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung: Alumni, 1985.

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,

t.th.).

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Prenadamedia

Group, 2008.

Meliala, Djaja Sembiring, Hukum Adat Karo dalam rangka Pembentukan Hukum

Nasional, Bandung: Tarsito, 1978.

Saebani, Beni Ahmad, Sosiologi Hukum, Bandung: Cv Pustaka Setia, 2007.

Salim, Munir, “Adat Recht Sebagai Bukti Sejarah dalam Perkembangan Hukum

Positif di Indonesia”, dalam Jurnal al-Daulah, Vol. 4 / No. 1 / Juni 2015,

24-25.

Page 21: FENOMENA HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ANTARA …

M. Burhanudin Ubaidillah, Fenomena Hukum Waris Adat…….. 21

USRATUNÂ Vol. 3, No. 2, Juni 2020 | 1-21

Simarmata, Rikardo, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di

Indonesia, Jakarta: Regional Initiative on Indigenous Peoples’ Rights

and Development UNDP, 2006.

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1993.

Soekamto, Soejono, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali. 1993.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1985.

Sudaryanto, Agus, “Sepikul Segendong: Harmonisasi Hukum Adat dan Islam

dalam Pewarisan terhadap Anak”, dalam Atik Triratnawati dan Mutiah

Amini (editor), Ekspresi Islam dalam Simbol-Simbol Budaya di Indonesia,

Yogyakarta: PT. Adicita, 2005.

Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan

BW, Bandung: PT Refika Aditama, 2005.

............, Inti Sari Hukum Waris Indonesia, Bandung: Armico, 1985.

Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Lingkungan Adat

Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984.

Taneka, Sulaiman B., Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa

Depan, Bandung: E.Esco, 1987.

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita,

1979), 27.

Van Dijk, R., Pengantar Hukum Adat Indonesia, Terjemahan oleh A.Soehardi

(Bandung: Vorkink van Hoeve Bandung, 1982).

Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta:

Gunung Agung, 1985.