pembagian waris adat di kelurahan warujayeng …
TRANSCRIPT
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 80
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
PEMBAGIAN WARIS ADAT DI KELURAHAN WARUJAYENG TANJUNGANOM NGANJUK
DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM
I’lamatul Hamidah Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin Nganjuk
Email: [email protected]
Abstrak
Hukum kewarisan memiliki kedudukan yang tinggi dan amat penting serta memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan berumah-tangga.Oleh karenanya ayat al-Qur’an mengatur hukum kewarisan tersebut dengan jelas dan terperinci. Tulisan hasil dari penelitian lapangan ini akan mengungkap bagaimana masyarakat kelurahan Warujayeng membagi harta warisan serta bagaimana analisis hokum Islam terkait dengan hal tersebut. Hasil penelitian menyebutkan bahwa sistem kewarisan yang digunakan masyarakat Kelurahan Warujayeng pada dasarnya menggunakan hokum adat masyarakat setempat. Hal ini jika ditinjau dari aspek hokum yang berlaku di Indonesia, mengutip apa yang disampaikan oleh Hazairin bisa disebut dengan system individual-bilateral. System ini jika dianalisis dengan menggunakan perspektif hukum Islam dapat tendensikan kepada al-Qur’an surat al-Nisa’ [04] ayat 07, 08 dan ayat 13.
Kata kunci: Waris Adat, Hukum Waris Islam
A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan kitab Allah Swt yang berisi norma-norma
masyarakat yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Norma
tersebut mengandung sistematika dalam suatu totalitas sehingga saling
berhubungan satu dengan yang lainsecara fungsional dalam rangka
mengarahkan manusia kepada pembentukan diri menjadi manusia yang
sempurna.
Hukum kewarisan memiliki kedudukan yang tinggi dan amat
penting serta memiliki pengaruh yang besar.Ayat al-Qur’an mengatur
hukum kewarisan dengan jelas dan terperinci.Hal ini dapat dimengerti
sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang.Selain itu hukum
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 81
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
kewarisan langsung menyangkut harta benda yang apabila tidak
diberikan ketentuan pasti amat mudah menimbulkan sengketa antara
ahli waris.1
Hukum waris Islam di Indonesia adalah hukum waris yang
bersumber kepada al-Qur’an dan al-Hadits, hukum yang berlaku
universal di bumi manapun di dunia ini.2Sedangkan hukum waris adat di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku
pada masyarakat yang bersangkutan. Adakalanya berbentuk patrilineal
murni, patrilineal beralih-alih (alternerend) matrilineal ataupun bilateral
(walaupun sukar ditegaskan dimana berlakunya di Indonesia), ada pula
prinsip unilateral berganda atau (double-unilateral). Semua prinsip-
prinsip tersebut berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun
bagian harta peninggalan yang diwariskan (baik yang materiel maupun
immaterial).3
Hukum kewarisan adat merupakan hukum yang memuat garis-
garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum kewarisan, tentang
harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta
warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada
ahli waris. Hukum kewarisan adat sesungguhnya adalah hukum
penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya.4
Adat masyarakat jawa menganut sistem individual yakni sistem
kewarisan dimana para ahli waris mewarisi secara perorangan.5
Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan adalah apabila
harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan sebagai
“hak milik” yang berarti setiap ahli waris berhak memakai, mengolah,
1 Cristine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata termasuk Asas-asas Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2000), 143. 2Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia(Jakarta: Prenada Media Group, 2011), 79. 3Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), 259. 4Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), 07. 5Soekanto, Hukum Adat, 260.
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 82
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
dan menikmati hasilnya atau juga mentransaksikan, terutama setelah
pewaris wafat.6
Sistem individual ini banyak berlaku dikalangan masyarakat yang
sistem kekerabatannya parental sebagaimana dikalangan masyarakat
adat jawa seperti di kelurahan warujayeng ini atau juga dikalangan
masyarakat adat lainnya seperti masyarakat batak atau juga dikalangan
masyarakat adat yang kuat dipengaruhi hukum Islam seperti dikalangan
masyarakat adat Lampung.
Kelebihan sistem individual antara lain ialah dengan pemilikan
secara pribadi maka ahli waris dapat bebas menguasai dan memiliki
harta warisan bagiannya untukdipergunakan sebagai modal
kehidupannya lebih lanjut tanpa dipengaruhi anggota-anggota kelauarga
yang lain. Ia dapat mentransaksikan bagian warisannya kepada orang
lain untuk dipergunakan menurut kebutuhannya sendiri atau menurut
keluarga tanggungannya. Bagi keluarga-keluarga yang telah maju dimana
rasa kekerabatan sudah mengecil, dimana tempat kediaman anggota
kerabat sudah terpencar-pencar jauh dan tidak begitu terikat lagi
bertempat kediaman di daerah asal, apalagi jika telah melakukan
perkawinan campuran maka sistem individual ini nampak besar
pengaruhnya.
Sedangkan kelemahan dari sistem pewarisan individual ialah
pecahnya harta warisan dan merenggangnya tali kekerabatan yang dapat
berakibat timbulnya hasrat ingin memiliki kebendaan secara pribadi dan
mementingkan diri sendiri. Sistem kewarisan individual dalam
pewarisan dapatmengarah kepadaindividualisme dan materialisme yang
mana hal ini tidak sedikit menyebabkan timbulnya perselisihan-
perselisihan antara anggota pewaris.7
6C. Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar (Bandung: Refika Aditama, 2009), 75. 7 Hadikusuma, Hukum Waris, 25-26.
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 83
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
Masyarakat Kelurahan Warujayeng Kecamatan Tanjunganom
Kabupaten Nganjuk, mempunyai cara tersendiri dalam menyelesaikan
persoalan hukum yang ditimbulkan berkaitan dengan harta seseorang
yang meninggal dunia dengan anggota keluarga yang ditinggalkannya.
Praktik pembagian harta warisan yang berlaku di Kelurahan
Warujayeng adalah dengan cara dibagi sama rata yakni bagian anak laki-
laki dan bagian anak perempuan berimbang sama. Seperti halnya yang
dilaksanakan oleh salah satu Masyarakat Warujayeng yang bernama
Umar bertempat tinggal di Lingkungan Pengkol Kelurahan Warujayeng
Tanjunganom Nganjuk, beliau telah meninggal dunia dengan
meninggalkan empat orang anak laki-laki dan satu anak perempuan,
kelima anak tersebut telah menikah. Warisan yang berwujud tanah
pekarangan seluas 3500 m2 dan 1500 m2 dari Umar dibagi lima. Harta
lain sudah tidak ada karena telah dipakai untuk biaya penguburan dan
selamatan. Pembagian itu sebagai berikut:
1. Anak laki-laki tertua mendapatkan tanah pekarangan seluas 1000 m2.
2. Anak laki-laki kedua mendaptkan tanah pekarangan seluas 1000 m2.
3. Anak laki-laki ketiga mendatkan tanah pekarangan seluas 1000 m2.
4. Anak laki-laki keempat mendapatkan tanah pekarangan tempat orang
tua tinggal seluas 1000 m2.
5. Anak perempuan mendapatkan bagian tanah pekarangan seluas 1000
m2.
Berdasarkan uraian di atas, artikel ini akan mengkaji tentang dua
hal. Pertama adalah terkait praktik pembagian harta warisan di
Kelurahan Warujayeng.Kedua terkait tinjauan hukum Islam terhadap
praktik pembagian harta warisan di Kelurahan Warujayeng.
B. Metode penelitian
Artikel ini termasuk penelitian lapangan (field research), dengan
pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif analitik. Pendekatan
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 84
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
asalahyang digunakan adalah Sosiologis, yaitu suatu pendekatan yang
diupayakan dengan melihat dan memperhatikan keadaan masyarakat
Kelurahan Warujayeng khususnya pada pelaksanaan pembagian
warisnya.Penelitian ini dan bersifat Normatif yaitu pendekatan dengan
menggunakan tolak ukur agama (dalil-dalil al-Qur’an dan hadist serta
kaedah-kaedah fikih dan ushul fikih) sebagai pembenar dan pemberi
norma terhadap masalah yang menjadi bahasan sehingga diperoleh
kesimpulan bahwa sesuatu itu boleh atau selaras atau tidak dengan
ketentuan syari’at.Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan
Warujayeng Kecamatan Tanjunganom Kabupaten Nganjuk.
Sumber data primer dalam penelitian ini merupakan dqata-data
yang diperoleh dari hasil wawancara dengan nara sumber baik dari
pejabat terkait, Kyai, tokoh masyarakat dan warga desa. Adapun sumber
sekunder dalam penelitian ini adalah literature-literatur maupun kajian-
kajian terkait yang mengkaji dan membahas tentang hukum waris Islam
serta hukum waris adat.
Teknik pengumpulan datadalam penelitian ini menggunakan
metode observasi, interview serta dokumentasi.8 Adapun data yang
diperoleh peneliti dalam penelitian ini akan disajikan secara deskriptif
kualitatif. Langkah-langkah dalam analisis data adalah reduksi data (data
reduction), penyajian data (data display) dan conclusion drawing
(verification).
C. Pembahasan
Berdasarkan hasil wawancara dengan para tokoh agama dan
tokoh masyarakat di Kelurahan Warujayeng dapat dikemukakan bahwa
yang dimaksud dengan hukum waris ialah peraturan-peraturan
mengenai proses berpindahnya harta seseorang baik ia masih hidup
maupun telah meninggal untuk diteruskan kepada sanak keluarga atau
keturunannya. 8Djam’anSatori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta,
2009), 148.
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 85
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
Data tersebut peneliti peroleh dari hasil wawancara dengan
Bapak Hayyun dan Bapak Abdul Basyir, keduanya mengatakan bahwa
yang dimaksud hukum waris adalah aturan yang mengatur tentang
proses berpindahnya harta seseorang yang masih hidup atau sudah
meninggal dunia.9
Menurut Soepomo sebagaimana ditulis oleh Soerjono Soekanto
bahwa hokum adat merupakan peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoper-alihkan barang-barang berupa
benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele
goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada
keturunannya. Proses ini telah mulai dalam waktu orang tua masih
hidup. Proses tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua
meninggal dunia.10
MasyarakatIndonesia yang menganut berbagai macam agama dan
berbagai macam kepercayaan yang berbeda mempunyai bentuk-bentuk
kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda pula.Sistem
keturunan itu sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran
agama Hindu, Islam dan Kristen. Sistem keturunan yang berbeda-beda
ini nampak pengaruhnya dalam sistem kewarisan hukum adat.
Secara teoritis sistem keturunan dapat dibedakan dalam tiga
corak yaitu :
1. Sistem Patrilineal. Yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan wanita di dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias,
Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara dan Irian).
9Wawancara dengan bapak Hayyun dan Bapak Abdul Basyir di Kelurahan Warujayeng pada tanggal 08 Maret 2014. 10 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 259.
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 86
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
2. Sistem Matrilineal. Yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada
kedudukan pria di dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor).
3. Sistem Parental atau Bilateral. Yaitu sistem keturunan yang ditarik
menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu)
dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam
pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi
dan lain-lain).11
Sedangkan menurut sistem waris adat, dikenal adanya tiga
sistem kewarisan yaitu :
1. Sistem kewarisan Individual, yang merupakan sistem kewarisan
dimana para ahli waris mewarisi perorangan (Batak, Jawa, Sulawesi
dan lain-lain).
2. Sistem Kewarisan Kolektif, dimana para ahli waris secara kolektif
(bersama-sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-
bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris (Minangkabau).
3. Sistem Kewarisan Mayorat:
a. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat
pewaris meninggal atau anak laki-laki sulung (atau keturunan laki-
laki) merupakan ahli waris tunggal seperti di Lampung.
b. Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua saat
pewaris meninggal, adalah ahli waris tunggal, misalnya pada
masyarakat di tanah Semendo.12
Di Kelurahan Warujayeng sistem waris yang dipakai adalah
sistem kewarisan individual, dimana harta warisan yang ada dibagi
secara perorangan yakni semua ahli waris mendapat bagian warisan
secara sendiri-sendiri. Hal ini karena masyarakat Kelurahan
Warujayeng menganut sistem keturunan parental atau bilateral yang
11 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 2003), hlm. 23. 12 Soekanto, Hukum Adat, 260.
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 87
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
keturunannya ditarik menurut garis bapak maupun garis ibu dimana
tidak ada yang lebih menonjol antara laki-laki maupun perempuan.
Keterangan tersebut sebagaimana paparan dari salah satu nara
sumber, ia mengatakan:
“Masyarakat Kelurahan Warujayeng dalam hal membagi harta warisan adalah menggunakan sistem perorangan maksudnya semua ahli waris mendapatkan bagian sendiri-sendiri tanpa ada salah satu ahli waris
yang menguasai harta warisan.”13
Apa yang disampaikan oleh nara sumber diatas sana persis
dengan hasil observasi yang peneliti lakukan pada salah satu warga
Kelurahan Warujayeng dimana pada saat itu sedang mengadakan
pembagian harta warisan dalam keluarganya.14
Praktik Pembagian Harta Warisan Masyarakat Kelurahan
Warujayeng.
Praktik pembagian harta warisan di Kelurahan Warujayeng
hampir sama sebagaimana umumnya pewarisan adat di daerah
lain. Gambaran praktik pembagian harta warisan ini tidak terlepas
dari tiga hal pokok yaitu ahli waris yang akan menerima harta
warisan, harta peninggalan yang akan dibagi sebagai warisan dan
ketentuan yang akan diterima oleh ahli waris.
Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu tokoh masyarakat
bernama Ahmad Khobir, iamengatakan bahwa:
“Masyarakat Kelurahan Warujayeng dalam membagi harta gono-gini kepada ahli warisnya adalah dengan menganut cara adat yakni semua ahli warisnya masing-masing mendapatkan bagian yang sama baik laki-laki maupun perempuan, disamping itu juga tidak terlepas dari ahli waris, harta warisan serta ketentuan-ketentuan untuk ahli waris”15
Senada dengan pernyatan di atas,salah satu warga bernama
Abdul Basyir juga mengatakan bahwa:
13Wawancara dengan Bapak Hayyun di Kelurahan Warujayeng pada tanggal 08 Maret 2014. 14Observasi di Kelurahan Warujayeng pada tanggal 10 januari 2014. 15Wawancara dengan Bapak Ahmad Khobir di Kelurahan Warujayeng pada tanggal 09 Maret 2014.
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 88
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
“Di Kelurahan Warujayeng ada keluarga yang terdiri dari tiga bersaudara yang membagi harta warisan dengan harta warisan berwujud tanah pekarangan seluas 1000 m2 dan 2000 m2 dengan masing-masing ahli waris mendapat bagian tanah pekarangan seluas 1000 m2.”16
Secara umum praktik pembagian harta warisan di Kelurahan
Warujayeng dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Pembagian harta warisan terjadi pada saat pewaris masih
hidup yang selanjutnya disebut dengan hibah. Hal ini biasanya
berkenaan dengan harta berupa rumah yang meliputi
pekarangan dan seluruh isinya atau tanah. Jika dalam sebuah
keluarga lahir seorang anak laki-laki atau perempuan saja
maka secara otomatis harta tersebut secara turun temurun
akan menjadi haknya walaupun hanya sebatas
pengatasnamaan saja walaupun sudah dapat dipastikan
nantinya akan jatuh kepada anak tersebut. Akan tetapi jika
dalam sebuah keluarga lahir dua orang anak atau lebih baik
laki-laki atau perempuan maka harta tersebut akan dibagi rata.
b. Pembagian harta warisan terjadi pada saat orang tua sudah
meninggal dunia atau bisa juga orang tua sudah berumur lanjut
dan anak tertua sudah dianggap mampu untuk memimpin dan
mengatur pembagian harta warisan dengan bermusyawarah
dengan adik-adiknya.
Data tersebut penulis peroleh dari hasil wawancara dengan
nara sumber, ia mengatakan bahwa:
“Di Kelurahan Warujayeng praktik pembagian harta warisan yang berlaku ada dua yaitu tejadi ketika pewaris masih hidup dengan tujuan supaya nantinya tidak terjadi pertengkaran dan terjadi ketika pewaris sudah meninggal dunia, yang kedua inilah yang mayoritas terjadi”17
16Wawancara dengan Bapak Abdul Basyir di Kelurahan Warujayeng pada tanggal 07 Maret 2014. 17Wawancara dengan Bapak Hayyun di Kelurahan Warujayeng pada tanggal 08 Maret 2014.
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 89
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
Faktor yang menjadi pendukung terlaksananya pembagian
harta warisan di Kelurahan Warujayeng dengan secara adat adalah
dikarenakan adanya kerukunan dan persetujuan antara semua ahli
waris.
Mayoritas warga Kelurahan warujayeng tidak
mempermasalahkan pembagian warisan dengan cara adat. Bahkan
mereka lebih memilih system ini jika dibandingkan dengan hokum
waris Islam. Hal ini diungkap oleh nara sumber, ia mengatakan
bahwa:
“Kerukunan keluarga adalah merupakan faktor terjadinya pembagian harta warisan secara adat yakni semua ahli waris mendapatkan bagian yang sama, serta ahli waris juga lebih setuju jika harta tersebut dibagi sama rata....”18
Hal tersebut juga sesuai dengan ungkapan Ahmad Khobir,
iamengatakan bahwa:
“Jika dalam sebuah keluarga tejalin kerukunan yang kuat maka semua masalahpun akan terpecahkan karena semua keluarga setuju. Begitu juga dengan masalah pembagian harta warisan di Kelurahan Warujayeng yang mengedepankan kerukunan antar keluarga....”19
Waktu Pembagian Harta Warisan
Pada umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktu
harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan
pembagianharta warisan. Demikian pula kebiasaan yang terjadi di
lingkungan Warujayeng.Waktu pembagian harta warisan tidak
tertentu.Masing-masing warga memiliki kebijakan masing-masing
disesuaikan dengan kondisi mereka.Ada kalanya dilaksanakan
setelah selamatan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari atau
bahkan ada yang pasca seribu hari setelah pewaris wafat.
18Wawancara dengan Bapak Hayyun di Kelurahan Warujayeng pada tanggal 08 Maret 2014. 19Wawancara dengan Bapak Ahmad Khobir di Kelurahan Warujayeng pada tanggal 09 Maret 2014.
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 90
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
Hal tersebut diungkap oleh Ahmad Khobir,iamengatakan
bahwa:
“Di masyarakat Kelurahan Warujayeng dalam hal membagi harta warisan mereka berbeda-beda adakalanya dilaksanakan setelah 7 hari, 40 hari, 100 hari atau 1000 hari setelah pewaris meninggal dunia”.20
Waktu pembagian harta warisan yang berlaku di Kelurahan
Warujayeng beraneka ragam, ada yang dilaksanakan setelah tujuh
hari setelah kematian, empat puluh hari setelah kematian, seratus
hari setelah kematian, bahkan ada yang seribu hari setelah
kematian karena pada waktu-waktu tersebut ahli waris berkumpul.
Akan tetapi mayoritas yang berlaku adalah dilaksanakan pada
setelah seribu hari setelah kematian.
Harta warisan adalahsegala harta benda yang ditinggalkan
oleh si mayit dan harta tersebut akan beralih kepada orang lain
(dalam hal ini disebut sebagai ahli warisnya) setelah harta tersebut
disisihkan dari segala hal yang menyangkutsi mayit seperti biaya
pemakamannya, hutang piutangnya dan lain sebagainya.
Ungkapan tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
nara sumber yang mengatakan bahwa:
“Harta warisan adalah semua harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris yang akan beralih kepemilikannya kepada ahli waris setelah disisihkan untuk kebutuhan si mayit dan segala tanggungan si mayit meliputi hutang piutang, wasiat dan sebagainya.”21
Menurut informasi yang didapat penulis dari nara sumber
dikatakan bahwa di Kelurahan Warujayeng Tanjunganom Nganjuk
jika ada orang meninggal maka yang menjadi ahli waris adalah
anak-anaknya saja akan tetapi jika sang anak sudah meninggal
maka yang menjadi ahli waris adalah cucu pewaris saja dan jika
20Wawancara dengan Bapak Ahmad Khobir di Kelurahan Warujayeng pada tanggal 09 Maret 2014. 21Wawancara dengan Bapak Hayyun di Kelurahan Warujayeng pada tanggal 08 Maret 2014.
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 91
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
pewaris tidak mempunyai anak maka yang menjadi ahli waris
adalah saudara pewaris.
Ungkapan tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh
Ahmad Khobir, ia mengatakan:
“Di daerah ini (warujayeng) yang berhak menjadi ahli waris adalah anak si pewaris kecuali jika anak si pewaris sudah meninggal dunia terlebih dahulu atau memang dia tidak punya anak maka cucunya atau saudaranya yang berhak menjadi ahli
waris”.22
Sedangkan mengenai bagian masing-masing ahli waris,
Kyai Hayyun yakni nara sumber sekaligus tokoh agama Kelurahan
Warujayeng mengatakan bahwa:
“Setiap ahli waris mendapatkan bagian yang sama yakni tidak memandang laki-laki atau perempuan, itulah yang berlaku di Kelurahan Warujayeng....”23
Bagian masing-masing ahli waris dari harta warisan yang
berlaku di Kelurahan Warujayeng adalah 1:1 yakni masing-masing
ahli waris mendapatkan bagian yang sama, tidak ada yang
mendapatkan bagian yang banyak ataupun sedikit. Seperti halnya
yang dilakukan oleh salah satu masyarakat Warujayeng yang orang
tuanya meninggal dunia dengan meninggalkan 3 orang anak, 1
perempuan dan 2 laki-laki, harta warisan berwujud tanah seluas
4,5 Ha dibagi tiga dengan masing-masing ahli waris mendapatkan
bagian 1,5 Ha.
Data tersebut juga sesuai dengan hasil oservasi yang peneliti
lakukan ketika salah satu masyarakat Kelurahan Warujayeng
sedang membagi bagian masing-masing ahli waris dari harta
warisan.24
Analisis
22Wawancara dengan Bapak Ahmad Khobir di Kelurahan Warujayeng pada tanggal 09 Maret 2014. 23Wawancara dengan Bapak Hayyun di Kelurahan Warujayeng pada tanggal 08 Maret 2014. 24Observasi di Kelurahan Warujayeng pada tanggal 20 Januari 2014.
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 92
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
Berdasarkan data-data yang diperoleh dari hasil observasi
serta ditinjau dari aspek hukum Islam terhadap pembagian waris
adat di Kelurahan Warujayeng Tanjunganom Nganjuk maka dapat
dianalisa sebagai berikut ini:
1. Praktik Pembagian Harta Warisan di Kelurahan Warujayeng
Sistem waris yang berlaku di Kelurahan Warujayeng
Tanjunganom Nganjuk adalah sistem waris individual yakni
harta warisan dibagi secara perorangan, maksudnya semua ahli
waris mendapatkan harta warisan secara sendiri-sendiri tanpa
ada yang menguasai.Hal ini karena sistem keturunan yang dianut
adalah sistem keturunan parental atau bilateral yang
keturunannya ditarik menurut garis bapak maupun garis ibu
dimana tidak ada yang lebih menonjol antara laki-laki maupun
perempuan.
Praktik pembagian harta warisan di Kelurahan Warujayeng
hampir sama sebagaimana umumnya pewarisan adat di daerah
lain yakni pembagian harta warisan terjadi pada saat pewaris
masih hidup dan terjadi pada saat pewaris sudah meninggal
dunia. Akan tetapi mayoritas pembagian harta warisan di
Kelurahan Warujayeng yang terjadi adalah setelah pewaris
meninggal dunia. Hal tersebut juga tidak terlepas dari tiga hal
yaitu ahli waris yang akan menerima warisan, harta peninggalan
yang akan dibagi sebagai harta warisan dan ketentuan-
ketentuan yang akan diterima oleh ahli waris.
Menurut para nara sumber, pembagian harta warisan
secara adat bagi warga Kelurahan Warujayeng merupakan solusi
yang terbaik karena jika kewarisan dilaksanakan dengan cara
Islam maka akan terjadi pertengkaran antar keluarga. Adapun
yang menjadi penghalang masyarakat Kelurahan Warujayeng
tidak melaksanakan pembagian harta warisan dengan cara Islam
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 93
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
adalah karena adanya salah satu keluarga yang tidak setuju
dengan alasan ketidak adilan. Sedangkan yang menjadi faktor
pendukung terjadinya pembagian warisan secara adat adalah
karena adanyakerukunan dan persetujuan antara keluarga.
Perihal pelaksanaan pembagian harta warisan yang
berlaku di Kelurahan Warujayeng adalah beragam, masing-
masing keluarga tidak sama. Namun mayoritas dilaksanakan
setelah tujuh hari setelah kematian, empat puluh hari setelah
kematian, seratus hari setelah kematian dan seribu hari setelah
kematian.Akan tetapi mayoritas yang berlaku adalah
dilaksanakan pada setelah seribu hari setelah kematian karena
pada waktu-waktu tersebut ahli waris berkumpul.
Ahli waris yang berhak mendapatkan harta warisan adalah
yang menjadi keturunan (anak) dari pewaris saja akan tetapi jika
anak meninggal dunia maka yang menjadi ahli warisnya adalah
cucu dan jika pewaris tidak mempunyai anak maka yang menjadi
ahli waris adalah saudara pewaris. Adapun bagian masing-
masing ahli waris dari harta warisan adalah 1:1 yakni masing-
masing ahli waris mendapatkan bagian yang sama yakni tidak
ada yang mendapatkan bagian yang lebih banyak ataupun lebih
sedikit.
2. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembagian Harta Warisan di
Kelurahan Warujayeng
Sistem kewarisan yang digunakan masyarakat Kelurahan
Warujayeng pada dasarnya menggunakan hokum adat
masyarakat setempat. Hal ini jika ditinjau dari aspek hokum
yang berlaku di Indonesia, mengutip apa yang disampaikan oleh
Hazairin bisa disebut dengan system individual-bilateral. System
ini jika dianalisis dengan menggunakan perspektif hukum Islam
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 94
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
dapat tendensikan kepada al-Qur’an surat al-Nisa’ [04] ayat 07,
08 dan ayat 13.
Pewarisan adat dengan sistem individual atau
perseorangan adalah sistem pewarisan dimana setiap ahli waris
mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai atau dan
memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing.
Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-
masing ahli waris dapat memiliki bagian harta warisannya untuk
diusahakan, dinikmati atau dilihkan (dijual) kepada sesema ahli
waris ataupun orang lain.System inilah yang dianut dan
dilaksanakan oleh masyarakat Kelurahan Warujayeng.
Mereka berkeyakinan dengan menggunakan system itu
ahli waris dapat bebas menguasai dan memiliki harta warisan
bagiannya untuk dipergunakan sebagai modal kehidupannya
lebih lanjut tanpa dipengaruhi anggota-anggota keluarga yang
lain walaupun kelemahan dari sistem pewarisan individual ini
adalah ialah pecahnya harta warisan dan merenggangnya tali
kekerabatan yang dapat berakibat timbulnya hasrat ingin
memiliki kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri
sendiri yang akhirnya dapat menimbulkan perselisihan antara
sanak saudara.
Mereka juga berkeyakinan bahwa sistem kewarisan
individual yang dikenal dalam hukum Islam pada dasarnya
sejalan dengan pembawaan fitrah manusia.Sistem ini berprinsip
bahwa matinya si pewaris maka dengan sendirinya hak milik
atas harta-hartanya berpindah kepada ahli waris-ahli
warisnya.Sistem ini menghendaki bahwa pada saat matinya si
pewaris itu telah dapat diketahui dengan pasti siapa ahli waris-
ahli warisnya.
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 95
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
Ungkapan “Segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris
secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnnya”,dalam
pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dan harta
peninggalan. Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan
oleh si mayit atau dalam arti apa saja yang ada pada seseorang
saat kematiannya sedangkan harta warisan ialah harta
peninggalan yang secara hukum syara’ berhak diterima oleh ahli
waris.25
Sedangkan menurut masyarakat Kelurahan Warujayeng
bahwa harta warisan adalah segala harta benda yang
ditinggalkan karena matinya seseorang akan beralih kepada
orang lain yang dalam hal ini disebut sebagai ahli warisnya
setelah harta itu disisihkan segala yang menyangkut dengan si
mayit seperti segala biaya pemakamannya, hutang piutang dan
sebagainya. Dalam hukum kewarisan Islam hal seperti ini
dikenal dengan hak-hak yang berhubungan dengan harta
peninggalan.
Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan ini
terbagi dua yaitu:
a) Hak-hak yang berkaitan dengan orang lain semasa hidupnya
yaitu: hak-hak yang ada keterkaitannya dengan harta benda
yang ditinggalkan mayit (hak kebendaan) seperti seorang
penjual untuk menyerahkan barang yang dijual, hak penerima
gadai terhadap barang gadaian.
b) Hak-hak yang tidak ada kaitan dengan hak orang lain (hak
mayat) ada empat yaitu: pengurusan mayat, membayar
hutang, melaksanakan wasiat kemudian hak waris.26
25 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2004), 206. 26M. Athoillah, Fiqh Waris, Metode Pembagian Waris Praktis (Bandung: Yrama Widya, 2013),29-30.
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 96
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
Kebiasaan yang terjadi di dalam masyarakat Kelurahan
Warujayeng sebelum harta peninggalan itu siap untuk dibagi-
bagi kepada ahli waris terlebih dahulu disisihkan digunakan
untuk segala hal yang berhubungan dengan si mayit, berupa hak
dan kewajibannya dari harta peninggalan itu. Hal inijika
dianalisis maka sesuai dengan firman Allah:
27.نِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةِ يوُْصِيْ بِهَا أوَْديَْ
“…..(pembagian-pembagian tersebut diatas) setelah (dipenuhi)
wasiat yang dibuatnya atau (dan telah dibayar) hutangnya”.
Adat atau kebiasaanmengenai pembagian harta warisan
di lingkungan Kelurahan Warujayeng jika ditinjau dari perspektif
teori pembuatan hokum Islam (Ushul Fiqh) maka bias
dimasukkan dalam terma‘Urf yaitu apa yang dikenal oleh
manusia dan menjadi tradisinya baik berupa ucapan, perbuatan
atau pantangan-pantangan.28
Adat yang benar (shahih) harus diperhatikan dalam
pembentukan hukum syara’ dan putusan perkara serta harus
dipelihara keberadaanya karena sudah diketahui bersama dan
dibiasakan oleh manusia.Hal ini tentu menjadi kebutuhan
mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya.Adat yang benar
juga dianggap sebagai syariat yang dikuatkan sebagai hukum.29
Sedangkan terhadap kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam maka secara normatif terlarang dan dianggap salah karena
tidak sesuai dengan dalil-dalil atau nash yang secara jelas telah
ditentukan dalam Islam.
Kendati demikian apa yang telah menjadi kebiasaan
masyarakat Kelurahan Warujayeng mengenai pembagian harta
27al-Qur’an, 4:11.
28 Abdul Wahhab khallaf, Ilmu Ushul Fikih(tt: Haramain, 2004), 89. 29Khallaf, Ilmu Ushul, 89-90.
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 97
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
warisan,menurut analisis penulis, dengan menggunakan hokum
adat,begitu pula dengan menggunakan pendekatan sosiologis
dan ‘urf maka pembagian waris ala masyarakat Kelurahan
Warujayeng dapatdikategorikan sebagai ‘Urf Shahih. Tidak hanya
itu, dengan mempertimbangkan kemaslahatan-kemaslahatan
yang ada manakala menggunakan hokum waris adat maka
system pembagian waris tersebut juga bias disebut “sesuai”
dengan dengan tujuan-tujuan umum syari’ah (Maqhasid al-
Syari’ah).Hal ini secara otomastis meniscayakan “kebolehan”
menggunakan hokum adat sebagai media pembagian warisan.
Melihat keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa apa
yang berlaku di Kelurahan Warujayeng dalam hal pembagian
harta warisan bila ditinjaudari sudut hukum Islam maka bisa
dibenarkan dan serta-merta tidak bertentangan dalil sharih.
Di lain sisi, jika diamati secara seksama maka terjadi hal
yang ironi pada masyarakat Kelurahan Warujayeng. Satu sisi
mereka hampir 100 persen muslim taat namun di sisi yang lain
mereka enggan menggunakan syariat Islam sebagai acuan dalam
membagi warisan. Hal ini tentu butuh penelitian yang mendalam
guna menguak fenomena kontradiktif yang mana tidak bijak
manakala memvonis salah satu fihak atau salah factor sebagai
dalang kondisi tersebut.
Apa yang dilakukan oleh warga Kelurahan Warujayeng
pada dasarnya duga dapat legitimasi dari Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 183 yang menyebutkan bahwa “Para ahli waris
dapat bersepakat, melakukan perdamaian dalam pembagian
harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”.30
Cara perdamaian atau musyawarah merupakan jalan pintas
untuk membagi harta warisan bila satu sama lain saling rela dan
30 Kompilasi Hukum Islam Pasal 183 (Bandar Lampung: Gunung Pesagi, 1996), 76.
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 98
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
sepakat dengan bagian yang telah ditentukan bersama, dalam
ilmu fara’id hal ini disebut dengan tashaluh(perdamaian).
Tashâluhdalam pembagian harta warisan merupakan
salah satu upaya dalam rangka menjaga kemaslahatan
umum.Lebih khusus lagi terhadap keutuhan kerukunan
hubungan persaudaraan dalam sebuah keluarga.Tashâluh
seperti ini diperbolehkan, selama tashâluh tersebut tidak
bertentangan dengan syara’. Pembagian harta warisan dengan
tashaluh ini, dilakukan setelah masing-masing ahli waris
mengetahui bagiannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan
pembagian harta waris menurut Hukum Islam.31
Dengan demikian hal ini selaras dengan cara yang
ditempuh masyarakat Kelurahan Warujayeng yaitu dengan cara
musyawarah dan merelakan bagian yang diterima sesuai dengan
kesepakatan bersama. Dalam kaedah fikih disebutkan
32الرضاء سيد ا لاحكام
“Kerelaan merupakan pemimpin hukum”
Kaedah tersebut sesuai dengan prinsip tashâluh yaitu
kerelaan dalam menerima bagian harta warisan. Praktik
tashaluh dalam pembagian harta warisan, pada dasarnya
merupakan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan nash.
Namun demikian hal tersebut dapat dibenarkan jika tetap sesuai
dengan kerangka tujuan pembentukan hukum Islam yaitu
tercapainya kemaslahatan umat.
31http: //www.google.co.id/#q=pengertian+tashaluh. Diakses pada tanggal 15 maret 2014. 32 Al-Iman Jalaluddin As-Suyuti, Al-Asybah wa al-Naza’ir (ttp: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt), 74. Tetapi kaidah ini tidak berlaku bagi perbuatan yang mendatangkan mafsadat, misalnya sepasang muda-mudi saling rela untuk berbuat zina.Hal ini diharamkan. Lihat surat An-Nur (24): 3.
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 99
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
Mereka bermusyawarah tidak ada pihak yang merasa
haknya diambil atau dirugikan dan juga tidak terdapat unsur
memakan harta orang lain secara bathil atau tidak hak.
Memakan harta bathil itu dapat kita pahami sebagai memakan
harta atau menggunakan hak orang lain yang tidak
merelakannya. Dengan begitu, batas antara memakan harta
orang lain secara hak dan memakan harta orang secara bathil
terletak pada kerelaan yang punya hak.Bila yang punya hak
merelakannya maka tindakan tersebut adalah benar dan
terhindar dari memakan hak orang lain secara bathil sebagaiman
yang dilarang dalam al-Qur'an surat al-NIsa’ [4] ayat 29 dan
surat al-Baqarah [2] ayat 188.
Dari peparan di atas dapat disimpulkan bahwa
penyelesaian pembagian harta warisan di Kelurahan
Warujayeng mengutamakan rasa saling rela dan saling
menerima dari para ahli.Apa yang dilakukan mereka pada
hakekatnya tidak bertentangan dengan hukum Islam dan ini
terlepas dari memakan harta dengan jalan yang tidak haq
sebagaimana yang dilarang dalam al-Qur’an.
D. Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis di atas maka
kesimpulan dari artikel ini mencakup dua hal.Pertama adalah
praktik pembagian harta warisan di Kelurahan Warujayeng
menggunakan system hokum adat. Hal ini jika ditinjau dari aspek
hokum yang berlaku di Indonesia, mengutip apa yang disampaikan
oleh Hazairin bisa disebut dengan system individual-bilateral.
System ini jika dianalisis dengan menggunakan perspektif hukum
Islam dapat tendensikan kepada al-Qur’an surat al-Nisa’ [04] ayat
07, 08 dan ayat 13. Kedua, jika ditinjau dari perspektif
I’lamatul Hamidah, Pembagian Waris Adat di Kelurahan Warujayeng ……… 100
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 80-100
pembentukan hokum Islam (Ushul Fiqh) pembagian warisan yang
dilakukan oleh warga Kelurahan Warujayeng juga dapat
dibenarkan karena hal tersebut bias dikategorikan sebagai ‘Urf
shahih karena tidak bertentangan langsung dengan nash serta
selaras dengan maksud-maksud sysariah (Maqasid al-Syariah).
Bibliografi
Ash-Shiddieqy,Tengku Muhammad Hasbi. Fiqh Mawaris. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Athoillah, M. Fiqh Waris (Metode Pembagian Waris Praktis). Bandung: Yrama Widya, 2013.
al-Suyuti, al-Iman Jalaluddin. al-Asybah wa al-Naza’ir. ttp: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt.
Habiburrahman.Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2011.
Hadikusuma, Hilman.Hukum Waris Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
http: //www.google.co.id/#q=pengertian+tashaluh. Diakses pada tanggal 15 maret 2014.
Kansil, Cristine S.T. Modul Hukum Perdata termasuk Asas-asas Hukum Perdata.Jakarta: Pradnya Paramita, 2000.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih. tt: Haramain, 2004.
Penyusun, Tim. Kompilasi Hukum Islam. Bandar Lampung: Gunung Pesagi, 1996.
Satori, Djam’an. Komariah, Aan. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2009.
Soekanto, Soerjono.Hukum Adat Indonesia.Jakarta: Rajawali Pers, 2002.
_________. Hukum Adat Indonesia.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
Syarifudin, Amir. Hukum Kewarisan Islam.Jakarta: Kencana, 2004.
Wulansari, C. Dewi. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar.Bandung: Refika Aditama, 2009.