ahli waris adat

22
BAB I Pendahuluan Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya, diantaranya waris menurut hukum BW, hukum islam, dan adat. Masing-masing hukum tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain. Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual. Sistem waris kolektif yaitu, harta warisan dimiliki secara bersam-sama, dan ahli waris tidak diprbolehkan untuk memiliki secara pribadi. Jika ingin memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada musyawarah dengan ahli waris yang lain. Sistem waris mayorat yaitu, harta waris dimiliki oleh ahli waris yang tertua, dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris yang muda baik perempuan atau laki-lak sampai merka dewasa dan mampu mengurus dirinya saendiri. Sistem waris individual yaitu, harta warisan bisa dimliki secara pribadi oleh ahli waris, dan kepemilikkan mutlak ditangannya. Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara turun-temurun sebelum pewaris meninggal dunia, tergantung dari musyawarah masing-masing pihak. Hal ini sangat berbeda dengan kewarisan hukum BW dan hukum islam yang mana harta warisan harus dibagikan pada saat ahli waris telah telah meninggal dunia. Apabila harta warisan diberikan pada saat

Upload: bunga-mawar

Post on 05-Aug-2015

122 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ahli Waris Adat

  BAB I

Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal

pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya, diantaranya

waris menurut hukum BW, hukum islam, dan adat. Masing-masing hukum tersebut

memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain.

Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual. Sistem

waris kolektif yaitu, harta warisan dimiliki secara bersam-sama, dan ahli waris tidak

diprbolehkan untuk memiliki secara pribadi. Jika ingin memanfaatkan harta waris

tersebut, harus ada musyawarah dengan ahli waris yang lain. Sistem waris mayorat yaitu,

harta waris dimiliki oleh ahli waris yang tertua, dikelola dan dimanfaatkan untuk

kepentingan ahli waris yang muda baik perempuan atau laki-lak sampai merka dewasa

dan mampu mengurus dirinya saendiri. Sistem waris individual yaitu, harta warisan bisa

dimliki secara pribadi oleh ahli waris, dan kepemilikkan mutlak ditangannya.

Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara turun-temurun sebelum

pewaris meninggal dunia, tergantung dari musyawarah masing-masing pihak. Hal ini

sangat berbeda dengan kewarisan hukum BW dan hukum islam yang mana harta warisan

harus dibagikan pada saat ahli waris telah telah meninggal dunia. Apabila harta warisan

diberikan pada saat pewaris belum meninggal dunia, maka itu disebut pemberian biasa

atau dalam hukum islam bias disebut sebagai hibah.

Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat, menimbulkan

akibat yang berbeda pula, maka pada intinya hukum waris harus disesuaikan dengan adat

dan kebudayaan masing-masing daerah dengan kelebihan dan kekurangan yang ada pada

sistem kewarisan tersebut.

Page 2: Ahli Waris Adat

BAB II

Pembahasan

  A.   Pengertian Hukum Waris Adat

Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang

bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan

materiil dan non materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum

lainnya atas lapangan hukum waris atas lapangan hukum waris dapat diwariskan sebagai

berikut:

      1.      Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi

pewarisan tanah.

     2.      Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan

hukum setelah si pelaku meninggal.

      3.      Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh ahli waris.

   4.      Struktur pengelompokkan wangsa/anak, demikan pula bentuk perkawinan turut bentuk

dan isi perkawinan.

    5.      Perbuatan-perbuatan hukum seperti adpsi, perkawinan ambil anak, pemebrian

bekal/modal berumah-tangga kepada pengantin wanita, dapat pila dipandang sebagai

perbuatan dilapangan hukum waris; hukum waris dalam arti luas, yaitu penyelenggaraan,

pemindah tanganan, dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya

Menurut Hilman Hadikusuma, digunakannya istilah hukum waris adat dalam hal

ini dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum watis barat, hukum waris

islam, hukum waris Indonesia, hukum waris nasional, hukum waris Minangkabau, hukum

waris Batak, hukum waris Jawa dan sebagainya. Jadi istilah hukum waris adat atau bisa

disebut hukum adat waris tidak ada bedanya

Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari

bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam

hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam

hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu

Sebagaimana telah dikemukakan diatas hukum waris adat adalah hukum adat

yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang

harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan

Page 3: Ahli Waris Adat

penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat

sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekeyaan dari suatu generasi kepada

keturunannya. Dalam hal ini dapat diperhatikan bagaimana pendapat para ahli hukum

adat dimasa lampau tentang hukum waris adat

Ter Haar menyatakan:

“...het adaterfrecht de rechtsregelen, welke betrekking hebben op het boeinde,

eeuwige proces van doorgeven en overgaan van het materiele en immateriele vermogen

van generatie op generatie.”

“...hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana

dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak

berwujud dari generasi ke generasi.”

Dengan demikian hukum waris itu mengandung tiga unsur yaitu adanya harta

peninggalan harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan

adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan

menerima bagiannya

Soepomo menyatakan:

“ Hukum adat waris membuat peraturan-peraturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda barang-barang yang tidak

berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada

turunannya”

Dengan demikian hukum waris iyu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur

cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris

kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku

sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Jadi bukanlah

sebagaimana yang diungkapkan Wirjono:

“...pengertian “warisan” ialah, bahwa warisan itu adalah soal apakah dan

bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang

pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.”

Jadi, warisan menurut Wirjono adalah cara penyelesaian hubungan hukum dalam

masyrakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang

manusia, dimana manusia yang wafat itu meninggalkan harta kekayaan. Istilah warisan

Page 4: Ahli Waris Adat

diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan pada bendanya. Kemudian cara

penyelesaian itu sebagai akbat dari kematian seorang, sedangkan Hilman Hadikusuma

mengartikan warisan itu adalah bendanya dan penyelesaian harta bemda seseorang

kepada warisnya dapat dilaksanakan sebelum ia wafat

Apabila mengartikan waris setelah pewaris wafat memang benar jika masalah

yang dibicarakan dari sudut hukum waris Islam atau hukum waris KUH Perdata, tetapi

jika dilihat dari sudut pandang hukum adat, maka pada kenyataannya sebelum pewaris

wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta kekayaan kepada

ahli waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari pewaris kepada ahli waris

sebelum pewaris wafat (Jawa, lintiran) dapat terjadi dengan cara penunjukkan,

penyerahan kekuasaan atau penyerahan kepemikan atas bendanya oleh pewaris kepada

ahli waris

Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas

Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya

terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila

dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah

kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan kerukunan,

keselarasan dan kedamaian didalam hidup

Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat

kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa: “Hukum waris

adat mempunyai corak sendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan

bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau

bilateral, walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem

kewarisan yang sama

Bangsa Indonesia yang murni alam fikirannya berazas kekeluargaan dimana

kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari sifat-sifat kebendaan dan

mementingkan diri sendiri. Jika pada belakangan ini nampak sudah banyak

kecenderungan adanya keluarga-keluarga yang mementingkan kebendaan dengan

merusak kerukunan hidup kekerabatan atau ketetanggan maka hal itu merupakan suatu

krisis akhlak, antara lain disebabkan pengaruh kebudayaan asing yang menjajah alam

fikiran bangsa Indonesia

Page 5: Ahli Waris Adat

  B.     Sifat Hukum Waris Adat

Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hukum waris Islam atau hukum

waris atau hukum waris barat seperti disebut didalam KUH Perdata, maka nampak

perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara pembagiannya yang

berlainan.

Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat

dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi

menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh

dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris

menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum

waris barat.

Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan

dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak

terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak boleh dimiliki secara perseorangan,

tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini bertentangan dengan pasal 1066 KUH

Perdata alinea pertama yang berbunyi:

“Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan

menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi”

Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat digadai jika keadaan sangat

mendesak berdasarkan persetujuan para tetua adat dan para anggota kerabat

bersangkutan. Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh

waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat diantara para anggota kerabat, agar

tidak melanggar hak ketetanggaan (naastingsrecht) dalam kerukunan kekerabatan.

Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme portie” atau bagian mutlak

sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris

atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPerdata

atau di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’.

Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu

menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam

alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum Islam. Akan tetapi

Page 6: Ahli Waris Adat

jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat

waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta

warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya

  C.    Sistem Keturunan

Masyarakat bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan

kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem

keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak dahulu kala

sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Islam dan Kristen. Sistem keturunan yang

berbeda-beda ini nampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat.

Secara teoritis sistem keturunan itu dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu:

a.       Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana

kedudukan pria lebih menonjol pengaruhya dari kedudukan wanita didalam pewarisan

(Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).

b.      Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana

kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan

(Minang kabau, Enggano, Timor).

c.       Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang

tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak

dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan,

Sulawesi dan lain-lain

  D.    Sistem Kewarisan

Dilihat dari orang yang mendapatkan warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat

tiga macam sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat, dan kewarisan

individual. Di antara ketiga sistem kewarisan tesebut pada kenyataannya ada yang

bersifat campuran.

a.    Sistem Kolektif

Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara

kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi secara perseorangan, maka kewarisan

demikian disebut kewarisan kolektif. Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak

Page 7: Ahli Waris Adat

boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan untuk

memakai, mengusahakan atau mengolah dan menikmati hasilnya (Minangkabau:

“ganggam bauntui”). Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta

peninggalan leluhur yang disebut “harta pusaka”, berupa bidang tanah (pertanian) atau

barang-barang pusaka, seperti tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang

dikuasai oleh Mamak kepala waris dan digunakan oleh para kemenakan secara bersama-

sama. Di Ambon seperti tanah dati yang diurus oleh kepala dati, dan di Minahasa

terhadap tanah “kalakeran” yang dikuasai oleh Tua Unteranak, Haka Umbana atau

Mapontol, yang di masa sekarang sudah boleh ditransaksikan atas persetujuan anggota

kerabat bersama.

b.   Sistem Mayorat

Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak tertua, yang

berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak

tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan

wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem kewarisan tersebut disebut

“kewarisan mayorat”. Di daerah Lampung beradat pepadun seluruh harta peninggalan

dimaksud oleh anak tertua lelaki yang disebut “anak punyimbang” sebagai “mayorat

pria”. Hal yang sama juga berlaku di Irian Jaya, di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten

Jayapura. Sedangkan di daerah Semendo Sumatera Selatan seluruh harta peninggalan

dikuasai oleh anak wanita yang disebut “tunggu tubing” (penunggu harta) yang

didampingi “paying jurai, sebagai “mayorat wanita”.

c.    Sistem Individual

Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan dengan “hak

milik”, yang berarti setiap waris berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya atau

juga mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka kewarisan demikian

disebut “kewarisan individual”. Sistem kewarisan ini yang banyak berlaku di kalangan

masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam hukum waris barat sebagaimana diatur

dalam KUH Perdata (BW) dan dalam Hukum Waris Islam

Page 8: Ahli Waris Adat

- Hukum adat waris erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaandalam masyarakat hukum yang bersangkutan, misalnya Patrilineal,Matrilineal, dan Parental.- Pengoperan warisan dapat terjadi pada masa pemiliknya masih hidup yangdisebut “penghibahan” atau hibah wasiat, dan dapat terjadi setelahpemiliknya meninggal dunia yang disebut warisan.- Dasar pembagian warisan adalah kerukunan dan kebersamaan sertamemperhatikan keadaan istimewa dari tiap ahli waris- Adanya persamaan hak para ahli waris- Harta warisan tidak dapat dipaksakan untuk dibagi para ahli waris.- Pembagian warisan dapat ditunda ataupun yang dibagikan hanya sebagiansaja.- Harta warisan tidak merupakan satu kestuan, tetapi harus dilihat dari sifat,macam asal dan kedudukan hukum dari barang-barang warisan tersebut.3. Sistem Kewarisan AdatTiga Kewarisan Adat yaitu :1. Sistem kewarisan individualHarta peninggalan dapat dibagi-bagikan kepada para ahli waris sepertidalam masyarakat di Jaw   802. Sistem kewarisan kolektif Harta peninggalan itu diwarisi secara bersama-sama para ahli waris,misalnya harta pusaka tidak dilmiliki atau dibagi-bagikan hanya dapatdipakai atau hak pakai.3. Sistem kewarisan mayoratHarta peninggalan diwariskan keseluruhan atau sebagian besar jatuh padasalah satu anak saja.Sistem kewarisan mayorat dibagi dua yaitu :a. mayorat laki-laki yaitu harta peninggalan jatuh kepada anak-anak laki-laki.b. 

Page 9: Ahli Waris Adat

Mayorat perempuan yaitu harta peninggalan jatuh pada anak perempuan tertua.Tidak semua harta peninggalan dapat diwariskan/ dibagi-bagikan kepada ahliwaris, alasan-alasan harta peninggalan tidak dapat dibagi, yaitu :1. karena sifatnya seperti barang-barang milik bersama/ milik kerabat.2. karena kedudukan hukumnya seperti barang kramat, kasepuhan, tanahbengkok, tanah kasikepan.3. karena pembagian warisan ditunda, misalnya adanya anak-anak yangbelum dewasa.4. karena belum bebas dari kekuasaan dari persekutuan seperti tanah milik desa.5. karena hanya diwariskan pada satu golongan saja seperti system kewarisanmayorat   814. Penghibahan atau PewarisanDasar pemberian hibah adalah sebagai koreksi terhadap hukum adat dan untuk memberikan kepastian hukum.Hibah ada dua macam yaitu :a. Hibah biasa yaitu pemberian harta kekayaan pada waktu pewaris masihhidup.b. Hibah Wasiat yaitu pelaksanaannya setelah pewaris meninggal dunia hartatersebut baru diberikan.Keputusan Mahkamah Agung tanggal 23 agustus 1960 Reg. No. 225K/Sip/1960 menetapkan syarat-syarat hibah yaitu :a. Hibah tidak memerlukan persetujuan ahli warisb. Hibah tidak menyebabkan ahli waris yang lain menjadi kehilangan hak atas harta kekayaan tersebut.5. Para ahli warisYang menjadi ahli waris yang terpenting adalah anak kandung sendiri. Denganadanya anak kandung ini maka anggota keluarga yang lain menjadi tertutupuntuk menjadi ahli waris.Mengenai pembagiannya menurut Keputusan Mahkamah Agung tanggal 1Nopember 1961 Reg. No. 179 K/Sip/61 anak perempuan dan anak laki-lakidari seorang peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam artibahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan.Hukum adat waris iini sangat dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan yangbersifat susunan unilateral yaitu matrilineal dan patrilineal.Di daearah Minangkabau yang menganut system matiarchaat, maka apabilasuaminya meninggal, maka anak-anak tidak merupakan ahli waris dari hartapencahariannya, sebab anak-anak itu merupakan warga anggota famili ibunyasedangkan bapaknya tidak, sehingga harta pencahariannya jatuh pada sausara-saudara sekandungnya.Di Bali, hanya

Page 10: Ahli Waris Adat

anak laki-laki tertua yang menguasai seluruh warisan, dengansuatu kewajiban memelihara adik-adiknya serta mengawinkan mereka.Di Pulau Savu yang bersifat parental harta peninggalan ibu diwarisi oleh anak-anak perempuan dan harta peninggalan bapak diwarisi anak laki-laki.Beberapa Yurisprudensi tentang adat waris :1. Keputusan M..A. tanggal 18 Amret 1959 Reg. No. 391/K/SIP/1959mengatakan :Hak untuk mengisi/ penggantian kedudukan ahli waris yang telah lebihdahulu meninggal dunia dari pada yang meninggalkan warisan adalah adapada keturunan dalam garis menurun.Jadi cucu-cucu adalah ahli waris dari bapaknya.2. Keputusan M.A. tanggal 10 Nopember 1959 Reg. No. 141/K/SIP/1959mengatakan :Penggatian waris dalam garis keturunan ke atas juga mungkin ditinjau darirasa keadilan.Pada dasarnya penggantian waris harus ditinjau pada rasa keadilanmasyarakat dan berhubungan dengan kewajiban untuk memelihara orangtua dan sebaliknyDidalam masyarakat adat dikenal juga apa yang disebut dengan :1. anak angkat2. anak tiri3. anak di luar kawin4. kedudukan janda5. kedudukan duda1. Anak Angkat :Kedudukan hukum anak angkat di lingkngan hukum adat di beberapadaerah tidak samaDi Bali perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum yangmelepaskan hak anak dari pertalian orang tua kandungnya, sehingga anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dengan tujuanuntuk melanjutkan keturunannya.Di Jawa perbuatan mengangkat anak hanyalah memasukkan anak itukekehidupan rumah tangganya saja, sehingga anak tersebut hanya menjadianggota rumah tangga orang tua yang mengangkatnya, dan tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak itu dengan orang tuakandungnya. Jadi bukan untuk melanjutkan keturunan seperti di Bali.Putusan Raad Justitie tanggal 24 Mei 1940 mengatakan anak angkatberhak atas barang-barang gono gini orang tua angkatnya. Sedangkanbarang-barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya, (Putusan M.A. tanggal 18 Maret 1959 Reg. No. 37K/SIP/1959Anak TiriAnak tiri yang hidup bersama dengan ibu kandungnya dan bapak tirinyaatau sebaliknya adalah warga serumah tangga pula.Terhadap Bapak atau ibu kandungnya anak itu adalah ahli waris, tetapiterhadap bapak atau ibu tirinya anak itu bukanlah ahli waris melainkanhanya warga serumah tangga saja..Hidup bersama dalam suatu rumah tangga

Page 11: Ahli Waris Adat

membawa hak-hak dankewajiban-kewajiban antara satu dengan yang lainnya.Kadang-kadang begitu eratnya hubungan antara anggota rumah tangga,sehingga anak tiri mendapat hak hibah dari bapak tirinya, bahkan anak tiriberhak atas penghasilan dari bagian harta peninggalan bapak tirinyademikian sebaliknya.3. Anak yang lahir diluar Perkawianan:Anak yang lahir diluar perkawinan hanya menjadi ahli waris dari ibunya.4. Kedudukan Janda ;Didalam hukum adat kedudukan janda didalam masyarakat di Indonesiaadalah tidak sama sesuai dengan sifat dan system kekelurgaan.Sifat kekelurgaan Matriachaat : harta warisan suaminya yang meninggaldunia kembali kekeluarga suaminya atau saudara kandungnya.Di Daerah Tapanuli dan Batak :a. Isteri dapat mewarisi harta peninggalan suaminya

Ahli Waris Dalam Hukum Adat

Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan akan menyerahkan harta warisan atau harta peninggalan kepada ahli waris / waris baik berupa harta budel / harta pusaka baik melalui pernyataan-pernyataan yang dituangkan dalam surat wasiat / testamen maupun secara lisan. harta peninggalan disini tidak hanya berupa harta benda, seperti uang dan barang maupun utang piutang atau yang bagi dalam harta yang berwujud dan harta yang tak berwujud. Warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris / waris baik yang dituangkan melalui surat wasiat / testamen yang memuat pernyataan-pernyataan dari pewaris tentang bagaimana cara meneruskan, pengurus, mengolah,  harta peninggalan / harta warisan sehingga tetap terjaga dan tidak jatuh ketangan orang yang tidak berhak.Ahli waris adalah orang yang menerima harta warisan atau harta peninggalan dari pewaris.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan / harta warisan dapat diteruskan kepada waris dari suatu generasi kegenerasi berikutnya.hukum adat waris disini dapat dibagi atas tiga bagian yakni :

1. hukum adat ketatanegaraan, yakni hukum adat yang mengatur tentang tata cara susunan masyarakat adat, bentuk-bentuk masyarakat / persekutuan hukum adat, alat-alat perlengkapan desa, susunan jabatan dan juga majelis kerapatan desa dan harta kekayaan desa.

2. Hukum adat kewargaan.3. Hukum adat delik.

Page 12: Ahli Waris Adat

Dalam hal kewarisan juga sangat erat kaitannya dengan perkawinan, jenis perkawinan adat disini dapat ditandai dengan pemberian uang jujur oleh pihak laki-laki kepada perempuan dengan tujuan sebagai pengganti pelepasan pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Dimana uang jujur merupakan kewajiban adat ketika dilakukan pelamaran, berbeda dengan mas kawin yang merupakan kewajiban agama saat dilakukan pernikahan.jika kita berbicara mengenai Hukum adat waris dapat meliputi beberapa pokok pembahasan yakni :

sistem kewarisan harta warisan pewaris dan waris pewarisan

Sistem Kewarisan dalam hukum adat waris dapat dibagi lagi menjadi tiga yaitu :1. Sistem Kolektif yaitu harta peninggalan tidak dibagi-bagi kepada ahli waris tetapi

semua dapat menikmati hasilnya yang merupakan harta budel / harta pustaka dimana semua para waris dapat menikmati namun pengurusnya ditunjuk satu orang dan tidak ada yang boleh memiliki secara pribadi.

2. Sistem mayorat yaitu harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi diserahkan kepada anak tertua untuk mengolah dan memberikan hasil-hasilnya kepada waris lainnya, misalnya kepada adik-adiknya.

3. Sistem individual yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi kepada para waris dan dapat menjadi hak milik pribadi sehingga dapat melakukan transaksi apapun terhadap harta warisan tersebut, sistem individual ini terdapat dalam BW atau hukum perdata dan KHI (kompilasi hukum islam).

Dalam hal perekonomian juga dikenal istilah Hukum adat perekonomian yakni aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana hubungan-hubungan hukum yang berlaku dalam masyarakat dikalangan rakyat jelata terutama di pedesaan dalam usaha mereka memenuhi kebutuhan hidup dalam perekonomiannya.

Page 13: Ahli Waris Adat

BAB III

Penutup

Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari

bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam

hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam

hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.

Ter Haar menyatakan:

“...hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana

dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak

berwujud dari generasi ke generasi”

Dengan demikian hukum waris itu mengandung tiga unsur yaitu adanya harta

peninggalan harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan

adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan

menerima bagiannya.

Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat

dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi

menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh

dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris

menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum

waris barat.

Sisitem hukum waris adat:

1.      Sistem mayorat

2.      Sistem kolektif

3.      Sistem idividual

Sistem keturunan menurut hukum adat:

1.      Sistem patrilineal

2.      Sitem matrilineal

3.      Sistem bilateral/parental

Page 14: Ahli Waris Adat

Daftar Pustaka

Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 1981

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: P.T Citra Aditya Bakti, 1993

Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju,

2003

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1983

Beberapa hal penting dalam Hukum Adat Waris :