budaya hukum waris adat bali

39
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris, salah satunya adalah hukum waris adat. Hukum waris merupakan salah satu dari hukum perdata secara keseluruhandan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. 1 Oleh karena itu, pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan. 1 M. idris Ramulyo: “Suatu Perbandingan antara Ajaran sjafi’I dan Wasiat Wajib wajib diMesir, tentang pembagian Harta Warisan untuk cucu Menurut islam”, Majalah Hukum dan Pembangunan No. 2 Thn XII Maret 1982, Jakarta : FHUI, 1982,hlm.154. 1

Upload: willyam-blasius-siregar

Post on 27-Sep-2015

223 views

Category:

Documents


62 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris, salah satunya adalah hukum waris adat. Hukum waris merupakan salah satu dari hukum perdata secara keseluruhandan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut.[footnoteRef:2]Oleh karena itu, pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan. [2: M. idris Ramulyo: Suatu Perbandingan antara Ajaran sjafiI dan Wasiat Wajib wajib diMesir,tentang pembagian Harta Warisan untuk cucu Menurut islam, Majalah Hukum danPembangunan No. 2 Thn XII Maret 1982, Jakarta : FHUI, 1982,hlm.154.]

Hukum waris adat adalah Hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasa dan pemiliknya dari pewaris kepada waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah Hukum penerusan serta mengoperkan harta kekayaan dari sesuatu genarasi kepada keturunannya. Masyarakat Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini nampak pengaruhnya dalam sistem kewarisan Hukum adat.Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat, menimbulkan akibat yang berbeda pula, maka pada intinya hukum waris harus disesuaikan dengan adat dan kebudayaan masing-masing daerah dengan kelebihan dan kekurangan yang ada pada sistem kewarisan tersebut. Salah satu hukum waris adat yang bisa kita pelajari adalah hukum budaya adat Bali. Masyarakat budaya adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan. Menurut hukum adat bali yang berhak mewaris sebagai ahli waris adalah hanya keturunan laki-laki dari keluarga laki-laki dan anak angkat laki-laki sedangkan anak perempuan tidak berhak mewaris. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik mengangkat sebuah makalah yang berjudul BUDAYA HUKUM WARIS ADAT BALI.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Sistem Pewarisan dalam Hukum Waris Adat dan Kaitannya dengan Hukum Waris Adat Bali ?2. Bagaimana kedudukan para ahli waris dalam budaya waris adat bali?

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Sistem Pewarisan dalam Hukum Waris Adat dan Kaitannya dengan Hukum Waris Adat BaliHukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan oleh pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum ini sesungguhnya adalah hukum penerusan serta mengoperkan harta kekayaan dari sesuatu genarasi kepada keturunannya. Di dalam Hukum adat sendiri tidak mengenal cara-cara pembagian dengan penghitungan tetapi didasarkan atas pertimbangan, mengingat wujud benda dan kebutuhan waris yang bersangkutan.[footnoteRef:3] [3: Erman Suparman, Hukum waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW), PT Refika Aditama, Bandung , 2005. Hlm. 42]

Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.[footnoteRef:4] [4: Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung :Sumur Bandung , 1983, hal. 11]

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya.[footnoteRef:5] [5: H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti ,2003, hal.8]

Hukum Waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya dibedakan dalam dalam tiga corak yaitu :a. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan bapak dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Gayo, Bali, Lampung).

b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan ibu dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor).

c. Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis kedua orangtua, ataumenurut garis dua sisi. Bapak dan ibu dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan,Sulawesi).[footnoteRef:6] [6: Ibid, hlm 23]

Selain itu, Menurut ketentuan Hukum Adat yang berkembang di dalam masyarakat, secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem (pembagianya) hukum waris adat terdiri dari tiga sistem, yaitu:1. Sistem Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalian harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon dan Minahasa.2. Sistem Mayorat, Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak laki-laki termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.3. Sistem Individual, berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat di Jawa dan masyarakat tanah Batak.[footnoteRef:7] Menurut hukum adat Bali yangmenganutsistemkekeluargaanpatrilinealmakayang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahliwaris, sehingga dalam hukum adat di Bali terdapat persyaratan-persyaratan sebagai ahli waris menurut I Gde Pudja adalah : [7: Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal 260]

1. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya anak pewaris sendiri.2. Anak itu harus laki-laki.3. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah yang karena hukum ia berhak menjadi ahli waris misalnya anak angkat.4. Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka kemungkinan adanya penggantian melalui penggantian atas kelompok ahli waris dengan hak keutamaan kepada kelompok dengan hak penggantian lainnya yang memenuhi syarat menurut Hukum Hindu.[footnoteRef:8] [8: I Gde Pudja. Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu Dharma, Cetakan Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departeman Agama INDONESIA, (selanjutnya disingkat I Gde Pudja I) hlm. 42.]

Apabila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan tanpa ada anak laki-laki maka anak perempuan itu dapat diangkat statusnya sebagai anak laki-laki (sentana rajeg) dengan cara perkawinan ambil laki, sehingga anak perempuan tersebut dapat menjadi sebagai ahli waris dari harta warisan orang tuanya. Anak angkat berdasarkan hukum waris adat di Bali dilakukan bilamana suatu keluarga tidak mempunyai keturunan, sehingga fungsi anak angkat itu sebagai penerus generasi atau keturunan, agar mantap sebagai penerus keturunan dan tidak ada keragu-raguan maka pengangkatan anak ini haruslah diadakan upacara pemerasan dan diumumkan di hadapan masyarakat. Upacara penggangkatan anak ini dimaksudkan untuk melepaskan anak itu dari ikatan atau hubungan dengan orang tua kandungnya dan sekaligus memasukkan anak itu ke dalam keluarga yang mengangkatnya. Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku bersistem patrilineal, yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuanya. Sistem kekeluargaan patrilineal (purusa)[footnoteRef:9] yang dianut oleh orang Bali-Hindu menyebabkan hanya keturunan berstatus kapurusa[footnoteRef:10] dan swadharma[footnoteRef:11] keluarga, baik dalam hubungan dengan parahyangan,[footnoteRef:12] pawongan,[footnoteRef:13] maupun palemaha[footnoteRef:14]. Konsekuensinya, hanya keturunan yang berstatus kapurusa yang memiliki swadikara terhadap harta warisan, sementara keturunan yang berstatus pradana[footnoteRef:15], tidak mungkin dapat meneruskan swadharma[footnoteRef:16], sehingga disamakan dengan ninggal kadaton.[footnoteRef:17] [9: Purusa adalah pihak laki-laki memiliki peran adil yang sangat besar dibandingkan dengan pihakperempuan] [10: Kapurusa adalah keturunan yang dianggap dapat mengurus keluarga] [11: Swadharma adalah keturunan yang dianggap dapat meneruskan tanggung jawab keluarga.] [12: Parahyangan adalah suatu keyakinan kepada Tuhan yang dimiliki oleh adat Bali.] [13: Pawongan adalah suatu interaksi sesama manusia yang dimiliki oleh adat Bali.] [14: Palemahan adalah suatu pelestarian lingkungan alam dan tempat tinggal yang dimiliki adat Bali.] [15: Swadikara adalah suatu hak dan kewajiban terhadap harta warisan.] [16: Pradana adalah pihak perempuan yang dianggap tidak dapat meneruskan harta peninggalanorangtuanya.] [17: Ninggal kadaton dalah orang yang dianggap tidak berhak atas warisan karena mereka tidak dapatlagi melaksanakan tanggung-jawabnya.]

Di Bali, sistem (pembagianya) hukum waris adat yang digunakan adalah, sistem Mayorat yaitu, harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua. Dalam sistem kewarisan mayorat Bali digambarkan bahwa yang mewarisi adalah satu anak saja yaitu anak tertua laki-laki yang berarti hak pakai, hak mengelola dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya.

2.2 Kedudukan Para Ahli Waris dalam Budaya Waris Adat Bali

Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris di tanah Patrilineal terdiri atas :1. Anak Laki-Laki Yaitu , semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewaris seluruh harta kekayaan, baik harta pencaharian maupun harta pusaka. 2. Anak AngkatAnak angkat merupakan ahli waris yang kedudukannya sama dengan anak kandung.3. Ayah dan ibu yang serta saudara kandung si pewarisApabila anak laki-laki maupun anak angkat tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara kandung si pewaris bersama-sama.4. Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu jika semua ahli waris di atas tidak ada.

2.2.1 Kedudukan Anak Laki-Laki dalam Sitem Waris Adat BaliMasyarakat Bali menganut sistem kekerabatan Patrilineal dimana sistem kekerabatan yang ditarik melalui garis keturunan ayah dan dalam hal pewarisan laki-laki lebih diutamakan. Menurut Ter Haar, hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan peninggalan bapaknyadan dapatmelanjutkan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Jika tidak ada anak laki-laki, maka dapatlah seorang anak laki-laki diambil anak, baik oleh si bapak maupun oleh jandanya atas nama dia jikasi bapak meninggal. Sebagai gantinya dapatlah si bapak mengangkat anaknya perempuan menjadi sentana. Anak perempuan itu diberikan hak-hak dan kewajiban sebagaimana seorang anak laki-laki tertua.Disamping itu peranan anak laki-laki sangat penting di Bali, karena seseorang yang telah berumah tangga akan terikat oleh aturan-aturan adat yang berlaku dalam lingkungannya terutamabanjar, sebagai anggota banjar sudah tentu mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan, misalnya gotong royong atau ngayah, apabila ada kegiatan adat seperti upacara ngaben, upacarakarya/odalan di pura. Bagi orang tua yang tidak mempunyai anak laki-laki sangat perlu mengangkat anak laki-laki untuk dapat melaksanakandarma (kewajiban) dari orang tuanya terhadap adat yang berlaku pada lingkungan tempat tinggalnya.

2.2.2Kedudukan Anak Angkat dalam Sitem Waris Adat Bali

Pengangkatan anak menurut hukum adat Bali dikenal dengan beberapa istilah seperti memeras atau memeras sentana. Kata sentana berarti anak atau keturunan dan kata meras berasal dari kata peras yaitu semacam banten atau sesajen untuk pengakuan atau memasukkan si anak ke keluarga orang tua angkat.Anak angkat berdasarkan hukum waris adat di Bali dilakukan bilamana suatu keluarga tidak mempunyai keturunan, sehingga fungsi anak angkat itu sebagai penerus generasi atau keturunan, agar mantap sebagai penerus keturunan dan tidak ada keragu-raguan maka pengangkatan anak ini haruslah diadakan upacara pemerasan dan diumumkan di hadapan masyarakat.Upacara penggangkatan anak ini dimaksudkan untuk melepaskan anak itu dari ikatan atau hubungan dengan orang tua kandungnya dan sekaligus memasukkan anak itu ke dalam keluarga yang mengangkatnya. Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku bersistem patrilineal, yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuanya. Menurut Hukum Adat Bali proses pengangkatan anak sebagai berikut:1. Dimulai dari musyawarah keluarga kecil (pasutri yang akan mengangkat anak). Kemudian diajukan dengan rembug keluarga yang lebih luas meliputi saudara kandung yang lainya.setelah ada kesepakatan matang, lalu mengadakan pendekatan dengan orang tua atau keluarga yang anaknya yang mau diangkat.2. Setelah semua jalan lancar dilanjutkan dengan pengumuman(pasobyahan) dalam rapat desa atau banjar. Tujuanya, untuk memastikan tidak ada anggota keluarga lainnya dan warga desa atau banjar yang keberatan atas pengangkatan anak yang dimaksud. Oleh karena itu, anak angkat harus diusahakan dari lingkungan keluarga yang terdekat, garis purusa, yang merupakan pasidi karya. Ada tiga golongan pasidikarya yaitu pasidikarya waris (mempunyai hubungan saling waris), pasidikarya sumbah ( pempunyai hubungan salaing menyembah leleuhur), dan pasidikarya idih pakidih ( mempunyai hubungan perkawinan).3. Apabila tidak ada garis dari garis purusa, maka dapat dicari dari keluarga menurut garis pradana (garis ibu). Apa bila tidak ditemuakn pula maka dapat dihusahakan dari keluarga lain dalam satu soroh dan terakhir sama sekali tidak ada pengangkatan anak dapat dilakukan walaupun tidak ada hubungan keluarga (sekama-kama).4. Anak yang diangkat wajib beragama Hindu. Jika yang diangkat seseorng yang bukan umat Hindu, pengangkatan anak itu akan ditolak warga desa karena tujuan pengangkatan anak antara laian untuk meneruskan warisan baik dalam bentuk kewajiaban maupun hak, termasuk berbagai kewajiaban desa adat, terutama dalam hubungan dengan tempat suci (pura).5. Melakukan upacara pemerasan yang disaksiakan keluarga dan perangkat pemimpin desa atau banjar adat. Pengangkatan anak baru dipandang sah sesudah dilakauakan upacara pemerasan. Itulah sebabnya anak angkat itu disebut pula dengan istilah sentana paperasan.6. Selain melakukan upacara pemerasan proses berikutnya adalah pembuatan surat sentana. Walaupun hal ini tidak merupakan syarat bagi sahnya pengangkatan anak, tetapi hal ini penting dilakukan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi pengangkatan anak. Menurut hukum positif pengangkatan anak dilakukan dengan penetapan hakim. Dengan demikian sesudah upacara pemerasan, patut dilanjutkan dengan mengajukan pemohonan penetapan pengangkatan anak kepada Pengadilan Negeri dalam daerah hukum tempat pengangkatan anak itu dilaksanakan.[footnoteRef:18] [18: I Wayan Beni, Waris Adat Bali, Agung Dharma Putra, Tabanan, 1988, hal.58-59.]

Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang boleh melakukan pengangkatan anak dan batas usia bagi orang tua angkat, kecuali minimal 15 tahun. Sedangkan dalam hukum adat Bali tidak ada ketentuan adat yang menentukan batas usia bagi orang tua yang mengangkat anak. Tetapi biasanya suami istri yang tidak mempunyai anak laki-laki.[footnoteRef:19] [19: Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika,2002, hal. 43.]

Pengangkatan anak pada Suku Bali yang bersifat kekeluargaan kebapaan (patrilineal) memasukkan anak itu ke dalam keluarga orang tua angkatnya dan berkedudukan sebagai anak kandung. Soeripto, menjelaskan bahwa setiap keluarga Hindu Bali mempunyai harta / kekayaan keluarga yang berupa harta benda yang mempunyai nilainilai magis religius yaitu yang ada hubungannya dengan keagamaan / upacara-upacara keagamaan dan harta kekayaan yang tidak mempunyai nilai-nilai magis religius. Selanjutnya disebutkan harta yang tidak mempunyai nilai magis religius antara lain :- harta akas kaya- Harta jiwa dana- Harta tetatadan- Harta druwe gabro[footnoteRef:20] [20: Soeripto, Beberapa Bab tentang Hukum Adat Bali, Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember,Jember 1973, hal.92.]

Adapun pengertian dari harta akas kaya adalah harta yang diperoleh oleh masing-masing dari suami-isteri atas cucuran keringat sendiri sebelum masuk jenjang perkawinan. Pengertian dari harta jiwa dana adalah pemberian secara iklas oleh orang tua kepada anak-anaknya baik laki-laki maupun wanita selama masih kumpul dengan pewaris sebelum masuk perkawinan. Pemberian dari tetatadan adalah pemberian kepada anak-anak wanita pada waktu perkawinannya (kawin keluar) dilangsungkan, sedangkan barang druwe gabro adalah harta yang diperoleh suami isteri dengan cucuran keringat bersama. Dari penjelasan ini dapat penulis simpulkan bahwa kesemuannya itu adalah harta benda / kekayaan yang diperoleh sebelum masuk jenjang perkawinan, sedangkan harta druwe gabro adalah harta yang diperoleh dalam suatu perkawinan (suami isteri).Dengan adanya macam-macam barang dari keluarga sebagaimana tersebut di atas hak-hak anak angkat terhadap harta keluarga orang tua angkatnya, adalah sebagai ahli waris orang tuan angkatnya. Dari kalangan para sarjana hukum adat waris yang berlaku pada suku Bali anak angkat adalah ahli waris harta benda keluarga seperti harta akas kaya, harta jiwa harta tetatadan, dan harta Druwe gabro dari orang tua angkatnya.[footnoteRef:21] Bahwa kedudukan anak angkat di dalam pewarisan menurut hukum adat Bali adalah sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Keadaan ini tidak berubah apabila setelah diadakan pengangkatan anak dilahirkan anak kandung. Setelah mengangkat anak mereka mempunyai anak kandung, maka anak angkat tetap sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Apabila kalau si anak kandung yang dilahirkan perempuan dan melakukan perkawinan jujur / keluar, maka si anak angkat akan menjadi ahli waris tunggal. [21: Ibid, hal. 93]

Kedudukan anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma dalam bukunya Hukum Kekerabatan Adat dinyatakan bahwa:[footnoteRef:22] Selain pengurusan dan perwalian anak dimaksud bagi keluarga-keluarga yang mempunyai anak, apalagi tidak mempunyai anak dapat melakukan adopsi, yaitu pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak, pengangkatan anak dimaksud tidak memutuskan hubungn darah antara anak dan orang tua kandungnya berdasarkan hukum berlaku bagi anak yang bersangkutan. [22: Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Anak, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1987, hal. 114]

Pengangkatan anak atau pemerasan anak oleh orang tua angkatnya, telah memutuskan hak dan kewajiban si anak terhadap orang tua kandungnya, karena hak dan kewajiban telah beralih kepada orang tua angkat sepenuhnya, termasuk mengurus diri pribadi pengangkat beserta harta kekayaan yang dimilikinya. Terhadap harta kekayaan yang bersifat pribadi yang dimiliki oleh orang tua kandung, si anak tidaklah berhak lagi untuk menikmatinya, karena ia telah melepaskan diri dari tanggung jawab terhdap orang tua kandungnya. Dengan pengangkatan anak orang lain tersebut oleh orang tua angkatnya hubungan orang tua angkat dengan anak angkat seperti terjadi di Bali yaitu hubungan sejati orang tua kandung dengan anak kandungnya. Si anak menjadi ahli waris orang tua angkatnya dan hubungan kewarisan dengan orang tua kandungnya menjadi putus.[footnoteRef:23] Jadi kedudukan anak angkat itu menurut kekeluargaan di Bali adalah sama dengan kedudukan anak kandung. Anak angkat tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anak dari orang tua. [23: B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibatnya di Kemudian Hari, CV. Rajawali, Jakarta, 1983, hal 47]

2.2.3 Kedudukan Anak Perempuan dalam Sitem Waris Adat Bali

Berkenaan dengan pembagian warisan pada adat Bali, Tidak ada satu kesatuan aturan tentang pembagian warisan, menurut hukum adat Bali. Secara umum, warisan semua dikuasai anak laki-laki pertama atau terakhir, kemudian dimiliki dengan bukti sertifikat hak milik, terus dipindah-tangankan sesuka hatinya. Ada juga keluarga yang membagi habis warisan di antara saudara-saudaranya atau tetap mempertahankannya sebagai milik bersama (duwe tengah). Umumnya anak perempuan dianggap tidak berhak atas warisan, entah dia ninggal kedaton atau tidak. Walaupun anak perempuan bukanlah ahli waris,akan tetapi ia berhak atas bagian dari harta warisan selama tidak putus hak nya.Kehilangan hak menikmati dari harta warisan itu terjadi apabila anak peremuan kawin keluar.Jadi,jika kemudian anak perempuan kawin keluar,bagiann yang dinikmati itu harus diserahkan kembali kepada keluarganya dan harta warisan ini tidak boleh dibawa serta ke perkawinan.Anak perempuan bukan ahli waris, tetapi mendapat bagian dari warisan ketika diadakan pembagian.Tetapi perempuan juga dapat menjadi ahli waris yang disebut sebagai sentana rajeg, dimana wanita tersebut didudukkan sebagai lakilaki melalui upacara nyentana. Nyentana atau nyeburin adalah istilah dalamperkawinanadat di Bali dimana mempelai laki-laki tinggal di rumah asal mempelai perempuan dan statusnya sebagai status mempelai perempuan dirumah istrinya.

2.2.4 Kedudukan Janda dalam Sitem Waris Adat Bali

Secara umum menurut ketentuan hukum waris adat bahwa untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan dua garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian. Garis pokok keutamaan merupakan suatu garis hukum yang menentukan urutan keutamaan di antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris, dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan yaitu yang pertama adalah keturunan pewaris (anak-anak pewaris), yang kedua orang tua pewaris, yang ketiga saudara pewaris beserta keturunannya dan yang ke empat kakek nenek pewaris. Adapun garis pokok penggantian merupakan garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapakah di antara orang di dalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris, adalah :1. Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris ;2. Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris .Korelasi dengan sistem garis keturunan adalah positif, oleh karena dalam hal ini garis pokok keutamaan mapun garis pokok penggantian menjadi variabel tidak bebas (independen variabel). Dengan mencermati dari urutan keutamaan di antara golongan-golongan keluarga pewaris maupun dari garis pokok penggantian, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan janda tersebut tidak termasuk dalam dua jenis garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian. Dengan demikian janda (isteri pewaris ) tidak termasuk kelompok ahli waris sehingga tidak mendapat bagian dari harta peninggalan suaminya.Demikian ini sejalan dengan apa yang diemukakan oleh Soekanto mengenai kedudukan janda . Soekanto menyatakan bahwa janda tidak mendapat bagian dari harta peninggalan suaminya sebagai waris, tapi berhak menarik penghasilan dari harta tersebut, jika perlu seumur hidup. Untuk nafkahnya janda itu dapat pula diberi bagian sekaligus dari harta peninggalan suaminya. Untuk nafkah ini terutama disediakan barang gono-gini. Jika barang-barang ini mencukupi untuk nafkah, maka waris dapat menuntut supaya barang-barang asal dari peninggal harta diterimakan kepada mereka. Jika barang gono gini tidak mencukupi untuk nafkah, maka asal dari suami dapat dipakai untuk keperluan itu. Harta peninggalan boleh dibagi-bagi adil saja janda terpelihara dalam hidupnya, misalnya janda sudah dapat pewarisan (pada masa masih hidup suaminya) atau nafkah dijamin oleh beberapa waris. Jika janda nikah lagi, ia keluar dari rumah tangga suami pertama dan ia masuk dalam rumah tangga baru, dalam hal demikian barang-barang gono-gini dapat dibagi-bagi anatara janda yang kawin lagi dengan ahli waris suami yang telah meninggal dunia.Menurut Ter Haar dalam (R. Soepomo, 1996 : 95) menyatakan bahwa pangkal pikiran hukum adat ialah bahwa isteri sebagai orang luar tidak mempunyai hak sebagai waris, akan tetapi sebagai isteri, ia berhak mendapat nafkah dari harta peninggalan, selama ia memerlukannya. Di Minangkabau misalnya, yang sistem familinya berdasar turunan dari pihak ibu (moederrechtelijk), isteri tidak memerlukan nafkah dari harta peninggalan suaminya.Dari kedua pendapat tersebut di atas jika ditarik garis hukumnya tiadalah bedanya, karena garis hukumnya menyatakan bahwa janda bukan ahli waris (almarhum) suaminya. Sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut :1. Janda berhak akan jaminan nafkah seumur hidupnya, baik dari barang gono gini mapun dari hasil barang asal suami, jangan sampai terlantar selanjutnya sesudah suaminya meninggal dunia ;2. Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya, untuk menarik penghasilan dari barang-barang itu, lebih-lebih jika mempunyai anak. Harta itu tetap merupakan kesatuan di bawah asuhan yang tidak dibagi-bagi ;3. Janda berhak menahan barang asal suaminya, jikalau dan sekedar harta selama barang asal itu sungguh-sungguh diperlukan olehnya, untuk keperluan nafkahnya ;4. Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar bagian anak di dalam keadaan terpaksa diadakan pembagian dengan anak, misalnya janda kawin lagi. Anak minta sebagian untuk modal berusaha dan sebagainya. (Bushar Muhammad dalam Soerjono, Yusuf Usman, 1985 : 21).[footnoteRef:24] [24: Haar, B. Ter Asar asas dan susunan Hukum adat. Pradya Paramita, 1980]

2.2.5 Kedudukan Orang Tua dan Saudara Kandung dalam Sitem Waris Adat BaliSalah satu prinsip azas umum dikemukakan bahwa jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka. Kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun, maka warisan itu jatuh pada ayah, nenek dan seterusnya keatas. Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara si peninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh.Dalam hal pembagian ahli waris adat Bali apabila pewaris tidak memiliki anak laki-laki yang sah atau anak angkat laki-laki yang sah ahli waris dapat saja siapapun yang mempunyai hubungan darah dan juga merupakan satu klen. Dengan demikian walaupun seseorang mempunyai hubungan darah dengan pewaris tapi belum tentu dapat menjadi ahli waris, jika ternyata tidak satu klen. Klen adalah kelompok orang dimana orang-orang didalam kelompok itu mempunyai ikatan keluarga/darah, melalui penghubung perampuan atau penghubung laki-laki.[footnoteRef:25] [25: http://www.academia.edu/6489182/Rangkuman_Hukum_Keluarga_dan_Waris_Adat]

2.2.6 Kedudukan Ahli Waris yang Beralih Agama dalam Sitem Waris Adat Bali

Perkawinan yang beda agama akan menimbulkan dampak pada hukum waris bali yang istilah dalam hukum adat bali dinamakan Ngerajeg Dalam atau Nyentana.[footnoteRef:26] Menurut hukum adat Bali yang berpindah agama merupakan salah satu factor yang dapat memyebabkan seorang ahli waris dapat kehilangan hak waris mereka, hal ini dikarenakan mereka ahli waris yang berpindah agama dianggap tidak melaksanakan kewajiban yang semula dilakukan oleh pewaris dalam hal ini bersangkutan dengan adanya tetap menjaga agama yang dianut mereka. Selain kehilangan hak waris, mereka yang berpindah agama juga akan kehilangan hubungan-hubungan kekeluargaan dan masyarakat hindu lainya. Hukum waris seperti ini juga berlaku pada desa Tenganan. Sedangkan pada desa Pekraman Panjar peralihan agama memang membuat sesorang kehilangan hak waris namun dalam kenyataannya terdapat pengecualian dalam desa Pekraman Panjar ini pewarisan yang beralih agama. Dimana ahli waris yang beralih agama tetap mendapatkan harta warisan pusaka orag tuannya. Hal tersebut disebabkan rasa belas kasihan dan sayang orang tua (Pewaris) Kepada anaknya (Ahli Waris). Dalam hal warisan ini yang dapat diberikann hanyalah harta yang bersifat penghasilan yang dicari sendiri oleh orang tuannya selama perkawinan, bukan harta warisan turun temurun atau harta warisan diluar perkawinan. [26: Sumber : http://stitidharma.org/perkawinan-beda-agama/]

Ditinjau dari Hukum Adat Waris Bali sendiri seorang yang berpindah agama Hindu ke agama yang lain tidak dapat mewaris. Dimana masyarakat desa Tenganan menganggap segala sesuatu yang menyimpang dari adat kebiasaan yang berlaku dan diunjung tinggi suatu hal yang dipatuhi, sehingga apabila ada penyimpangan sekecil apapun itu dianggap akan menimbulkan kegoncangan dan akan berdampak buruk bagi masyarakat adat yang ada. Desa Tenganan yang menganut system kekerabatan patriliniar ini, menujukkan bahwa seorang yang berpindah agama tidak ada lagi hubungan masalah penerusan keturunan ( silsilah keluarga ). Namun juga tidak dapat dipungkiri masih adanya hubungan secara biologis atau hubungan darah, oleh karena itu hubungan seorang anak yang berpindah agama dengan orang tuanya hanyalah sebatas melaksanakan kewajiban moral saja.Terputus dari hubungan hukum seorang anak yang berpindah agama dengan orang tuanya, berpindah agama juga akan berdampak pula pada hubungan dimana tempat tinggalnya atau masyarakat adat Tenganan. Setelah seseorang berpindah agama pada umumnya desa atau banjar adat tidak memperbolahkan mereka mengikuti organisasi dalam suatu desa, mereka juga akan dikeluarkan dari desa tersebut dan disarankan untuk tinggal diluar dari desa tersebut. Seorang yang berpindah agama juga tidak diperbolehkan menggunakan fasilitas adat yaitu menyangkut tempat kuburan, karena mereka menganggap fasilitas desa berupa kuburan hanya diperuntukan bagi mereka masyarakat adat Tenganan khususnya beragama Hindu. Hal ini mencerminkan bahawa seseorang yang berpindah agama sudah terlepas dari hubungan desa adat dan masyarakatnya.Dilihat dari hukum waris adat bali berlih agama sebenarnya tidak mendapatkan hak waris, karna sudah dianggap putus hubungan dengan keluarganya , dan tidak dapat lahi melaksanakan kewajiban-kewajibannya , tetapi apabila ditinjau dari hukum perdata ahli waris tetap mendapatkan warisan karena itu merupakan haknya. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Erman Suparman Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan dan juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus keatas maupun kesamping[footnoteRef:27] [27: Op.Cit. Erman Suparman.Hal. 30]

2.2.7 Pembagian Warisan Adat Bali Jika Pewaris Memiliki Istri Lebih dari Satu (poligami)

Masyarakat bali melakukan poligami atas dasar kesenangan mereka untuk memperoleh isteri lebih dari satu, karena apabila seseorang bisa melakukan poligini di dalam komunitas nya maka ia akan bangga karena dapat melakukan hal itu.Masalah waris, dalam sistem patrilineal, karena yang dianggap berharga adalah hubungan seorang laki-laki dengan anak laki-laki dari istrinya, maka akses perempuan kepada harta waris tergantung pada kemampuannya memelihara anak laki-lakinya tersebut bagi kepentingan kekerabatan. Artinya, meskipun perempuan mempunyai hubungan dalam sistem kekerabatan patrilineal, namun terdapat aturan-aturan mengenai masalah perkawinan, rumah tinggal, keturunan dan pewarisan. Pembatasan perempuan untuk menguasai dan mengontrol hak milik melalui legitimasi kekerabatan dan adat inilah yang telah menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial ekonomi menurut jender yang semakin tajam .Dalam perkawinan poligami memang ahli waris dari istri pertama yang paling berhak menduduki atau mewarisi harta peninggalan dari pewaris dan sekaligus sebagai pengganti tahta kerajaan tersebut. sedangkan ahli waris dari istri kedua hanya sebagai ahli waris bila ahli waris dari istri pertama tidak ada, baru ahli waris dari istri kedua yang mewarisi harta warisan, begitu seterusnya. Tetapi dalam hal ini ahli waris dari istri pertama yang berhak mewarisi harta warisan serta memenuh tahta kerajaan.Pembagian warisan dalam masyarakat adat Hindu Bali , apabila dalam status perkawinan poligami dapat dilakukan dengan dua cara , yaitu :a. dengan cara membagi anak sullung lebih banyak dan anak perempuan mendapatkan jumlah yang lebih sedikit dari anak laki-laki.b. kedua pembagian yang sama rata antara para ahli waris satu golongan tersebut.

2.2.8 Ninggal Kepatutan/Ninggal Kedaton dalam Sitem Waris Adat Bali

Ninggal Kepatutan dalah orang yang dianggap tidak berhak atas warisan karena mereka tidak dapat lagi melaksanakan tanggung-jawabnya. Menurut hukum adat Bali, bukan hanya perempuan yang dianggap tidak berhak atas warisan, melainkan mereka yang ninggal kedaton, atau nilar kedaton, ninggal kapatutan, ngutang kapatutan, ngutang kawitan, ngutang sesana atau swadharma. Mereka yang dianggap ninggal kedaton, yaitu :1. orang yang tidak lagi memeluk agama Hindu,2. dipecat kedudukannya sebagai anak oleh orangtuanya (pegat mapianak),3. meninggalkan rumah atau minggat (ngumbang), tanpa alasan yang jelas,4. perempuan yang kawin biasa, 5. laki-laki yang kawin nyentana atau kawin nyeburin. 6. diangkat anak oleh keluarga lain, 7. secara sukarela melepaskan ikatan kekerabatan dengan keluarganya serta menyerahkan diri kepada keluarga lain (maid yang raga).

Orang yang ninggal kedaton dianggap tidak berhak atas warisan karena mereka tidak lagi dapat melaksanakan tanggung-jawabnya (swadharma) sebagai penerus keturunan. anak yang ninggal kedaton penuh tidak berhak atas warisan, tetapi dapat diberi bekal (jiwa dana)oleh orangtuanya dari harta guna kayatanpa merugikan ahli waris.

KESIMPULAN

Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan oleh pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum ini sesungguhnya adalah hukum penerusan serta mengoperkan harta kekayaan dari sesuatu genarasi kepada keturunannya. Di dalam Hukum adat sendiri tidak mengenal cara-cara pembagian dengan penghitungan tetapi didasarkan atas pertimbangan, mengingat wujud benda dan kebutuhan waris yang bersangkutan. Menurut hukum adat Bali yangmenganutsistemkekeluargaanpatrilinealmakayang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahliwarisKedudukan anak angkat itu menurut kekeluargaan di Bali adalah sama dengan kedudukan anak kandung. Anak angkat tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anak dari orang tua.Anak perempuan bukan ahli waris tetapi mendapat bagian dari warisan ketika diadakan pembagian.Tetapi perempuan juga dapat menjadi ahli waris yang disebut sebagai sentana rajeg, dimana wanita tersebut didudukkan sebagai lakilaki melalui upacara nyentana.Janda tidak mendapat bagian dari harta peninggalan suaminya sebagai waris, tapi berhak menarik penghasilan dari harta tersebut, jika perlu seumur hidup. Untuk nafkahnya janda itu dapat pula diberi bagian sekaligus dari harta peninggalan suaminya.Dalam hal pembagian ahli waris adat Bali apabila pewaris tidak memiliki anak laki-laki yang sah atau anak angkat laki-laki yang sah ahli waris dapat saja siapapun yang mempunyai hubungan darah dan juga merupakan satu klen.Menurut hukum adat Bali, bukan hanya perempuan yang dianggap tidak berhak atas warisan, melainkan mereka yang ninggal kedaton, atau nilar kedaton, ninggal kapatutan, ngutang kapatutan, ngutang kawitan, ngutang sesana atau swadharma. Ninggal Kepatutan dalah orang yang dianggap tidak berhak atas warisan karena mereka tidak dapat lagi melaksanakan tanggung-jawabnya.Dilihat dari hukum waris adat bali beralih agama sebenarnya tidak mendapatkan hak waris, karna sudah dianggap putus hubungan dengan keluarganya , dan tidak dapat lagi melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Beni ,I Wayan. 1988.Warisan adat Bali, Tabanan:Agung Dharma Putra

Haar, B. Ter.1980.Asar asas dan susunan Hukum adat.Jakarta:Pradya Paramita.

Hadikusuma,Hilman.1987. Hukum Kekerabatan Anak, Jakarta :PT. Citra Aditya Bakti

Hadikusuma, Hilman.2003.Hukum Waris Adat, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti Panetje,I Gede.1986.Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali,Cetakan I,Denpasar:Kayumas

Pudja,I Gde. Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu Dharma, Cetakan Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departeman Agama INDONESIA

Prodjodikoro,Wirjono.1983. Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung :Sumur Bandung

Ramulyo,M. idris.1982.Suatu Perbandingan antara Ajaran sjafiI dan Wasiat Wajib wajib diMesir,tentang pembagian Harta Warisan untuk cucu Menurut islam.Jakarta : FHUI

Soekanto, Soerjono.2012.Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Soeripto.1973.Beberapa Bab tentang Hukum Adat Bali, Jember:Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember

Suparman,Erman.2005.Hukum waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW).Bandung:PT Refika Aditama

Tafal, B. Bastian 1983.Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibatnya di Kemudian Hari. Jakarta :CV. Rajawali

Zaini ,Muderis.2002.Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum,Jakarta: Sinar Grafika

Website :

http://www.academia.edu/6489182/Rangkuman_Hukum_Keluarga_dan_Waris_Adat

http://stitidharma.org/perkawinan-beda-agama/

HALAMAN PENGESAHAN

1. M. ILMI ARRAFI 1212011180Hukum waris secara umum dan kaitannya dengan Hukum waris adat BaliTtd

.

2. SHELLY MALINDA AZWAR 1212011320Ninggal Kepatutan/Ninggal kadatonTtd

3. SONYA PUTRI OKTAVIA SARNO 1212011329Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Waris Adat BaliTtd

.

4. WILLYAM BLASIUS SIREGAR 1212011359Kedudukan Ahli Waris yang Beralih Agama dalam Sitem Waris Adat BaliTtd

.

5. YAPITER MARPI 1212011360Kedudukan Anak Perempuan Dalam Waris adat BaliTtd

.6.YASINTA ERISKA 1212011361Kedudukan Orang Tua dan Saudara Kandung dalam Sitem Waris Adat BaliTtd

.7. YOGA PRATAMA 1212011363Pembagian Warisan Adat Bali Jika Pewaris Memiliki Istri Lebih dari Satu (poligami)Ttd

.8. YONEFKI 1212011364Kedudukan Janda Dalam Waris Adat BaliTtd

9.YUDHA AGUNG PRATAMA 1212011367Kedudukan Anak Laki-Laki Dalam Waris Adat BaliTtd

1

25