politik hukum materi muatan peraturan pemerintah

471
POLITIK HUKUM MATERI MUATAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG PERSPEKTIF NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI TESIS OLEH NAMA MAHASISWA : MOHAMMAD AGUS MAULIDI NOMOR INDUK MAHASISWA : 18912023 BKU : HTN/HAN PROGRAM STUDI HUKUM PROGRAM MAGISTER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2021

Upload: khangminh22

Post on 24-Apr-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

POLITIK HUKUM MATERI MUATAN PERATURAN PEMERINTAH

PENGGANTI UNDANG-UNDANG PERSPEKTIF NEGARA HUKUM

DAN DEMOKRASI

TESIS

OLEH

NAMA MAHASISWA : MOHAMMAD AGUS MAULIDI

NOMOR INDUK MAHASISWA : 18912023

BKU : HTN/HAN

PROGRAM STUDI HUKUM PROGRAM MAGISTER

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2021

ii

POLITIK HUKUM MATERI MUATAN PERATURAN PEMERINTAH

PENGGANTI UNDANG-UNDANG PERSPEKTIF NEGARA HUKUM

DAN DEMOKRASI

TESIS

OLEH

NAMA MAHASISWA : MOHAMMAD AGUS MAULIDI

NOMOR INDUK MAHASISWA : 18912023

BKU : HTN/HAN

PROGRAM STUDI HUKUM PROGRAM MAGISTER

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2021

iii

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

iv

POLITIK HUKUM MATERI MUATAN PERATURAN PEMERINTAH

PENGGANTI UNDANG-UNDANG PERSPEKTIF NEGARA HUKUM

DAN DEMOKRASI

Oleh:

NAMA MAHASISWA : MOHAMMAD AGUS MAULIDI, S.H

NOMOR INDUK MAHASISWA : 18912023

BKU : HTN/HAN

Pembimbing

Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. Yogyakarta, 18 November 2021

Angota Penguji I

Dr. Drs. Muntoha, S.H., M.Ag. Yogyakarta, 19 November 2021

Anggota Penguji II

Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H. Yogyakarta, 19 November 2021

Mengetahui,

Ketua Program Studi Hukum Program Magister

Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia

Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D

v

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Menuntut ilmu adalah taqwa. Menyampaikan ilmu adalah ibadah. Mengulang-

ulang ilmu adalah zikir. Mencari ilmu adalah jihad

(Imam Al Ghazali, Ihya‟ Ulumudin)

Diantara ciri orang bodoh adalah menjawab semua pertanyaan, menyampaikan

segala sesuatu yang diketahui, dan menceritakan semua hal yang dilihat.

(Atha‟illah Sakandari, Al-Hikam)

Ilmu itu bagaikan binatang liar, sedangkan tali pengikatnya adalah tulisan

(Imam Asy-Syafi‟i)

Strong minds discuss ideas, average minds discuss events, weak minds discuss

people.

(Socrates)

Karya ini penulis persembahkan kepada:

Ayahanda Drs. Muciono dan Ibunda Rufi

Orang tua tercinta, yang keluasan jasanya tidak akan pernah dapat tergambarkan

dalam tulisan yang serba sempit dan terbatas ini. Semoga tulisan sederhana ini

dapat menyampaikan pesan kasih sayang dan pengabdian penulis

Ridlawati Wahyuningsih, S.Pd., M.A.

Istri tercinta yang dengan penuh ikhlas merelakan waktunya bersama penulis demi

terselesaikannya penelitian ini.

NURUL JADID DAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Almamater yang mempunyai peran penting dalam rekam jejak perjalanan

akademik penulis

vi

POLITIK HUKUM MATERI MUATAN PERATURAN PEMERINTAH

PENGGANTI UNDANG-UNDANG PERSPEKTIF NEGARA HUKUM

DAN DEMOKRASI

Bismillahirrohmanirrohim

Yang bertandatangan di bawah ini, saya:

Nama : Mohammad Agus Maulidi, S.H

Nomor Mahasiswa : 18912023

Adalah benar-benar mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia

yang telah melakukan penulisan Karya Tulis Ilmiah (Tugas Akhir) berupa Tesis

dengan judul:

POLITIK HUKUM MATERI MUATAN PERATURAN PEMERINTAH

PENGGANTI UNDANG-UNDANG PERSPEKTIF NEGARA HUKUM

DAN DEMOKRASI.

Karya ilmiah ini akan saya ajukan kepada Tim Penguji dalam Ujian Pendadaran

yang diselenggarakan oleh Magister Hukum Universitas Islam Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ini saya menyatakan:

1. Bahwa karya tulis ilmiah ini adalah benar-benar hasil karya saya sendiri yang

dalam penyusunan tunduk dan patuh terhadap kaidah, etika dan norma-norma

penulisan sebuah karya ilmiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

2. Bahwa saya menjamin hasil yang dapat dikategorikan sebagai melakukan

perbuatan karya ilmiah ini benar-benar Asli (orisinal), bebas dari unsur-unsur

“penjiplakan karya ilmiah (plagiarisme)”;

3. Bahwa meskipun secara prinsip hak milik atas karya ilmiah ini ada pada saya,

namun demi kepentingan-kepentingan yang bersifat akademik dan

pengembangannya, saya memberikan kewenangan kepada Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan perpustakaan di lingkungan

Universitas Islam Indonesia untuk mempergunakan karya tulis ilmiah ini.

Selanjutnya berkaitan dengan hal di atas (terutama pernyataan butir nomor 1 dan

nomor 2), saya sanggup menerima sanksi baik administratif, akademik, bahkan

sanksi pidana, jika saya terbukti secara kuat dan meyakinkan telah melakukan

perbuatan yang menyimpang dari pernyataan tersebut. Saya juga akan bersifat

vii

kooperatif untuk hadir, menjawab, membuktikan, melakukan terhadap pembelaan

kewajiban saya, di depan “Majelis” atau “Tim” Magister Hukum Universitas

Islam Indonesia yang ditunjuk oleh pimpinan fakultas, apabila tanda-tanda plagiat

disinyalir terjadi pada karya ilmiah saya ini oleh pihak Magister Hukum

Universitas Islam Indonesia.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, dalam kondisi

sehat jasmani dan rohani, secara sadar dan tidak ada tekanan dalam bentuk apapun

dan oleh siapapun.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 5 November 2021

Yang membuat pernyataan

MOHAMMAD AGUS MAULIDI, S.H

viii

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah tentu tidak akan terlupakan untuk senantiasa dipanjatkan

pada Allah SWT, atas karunia terbesar berupa iman dan Islam, sehingga bisa

memanfaatkan nikmat yang oleh Rasulullah SAW. ditegaskan sebagai nikmat

yang sering dilupakan, yaitu sehat dan sempat, sehingga tulisan sederhana yang

berjudul “Politik Hukum Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Perspektif Negara Hukum dan Demokrasi” ini bisa

terselesaikan sebagai salah satu syarat untuk menemukan ujung dari perjalanan di

kampus perjuangan ini. Shalawat dan salam kesejahteraan juga semoga senantiasa

selalu dihadiahkan pada Nabi Muhammad SAW. yang dengan 2 (dua) warisan

besar beliau, berupa Al-Qur‟an dan Hadist, sehingga kita semua terselamatkan

dari rezim yang penuh kegelapan, hingga berada pada suatu zaman dengan cahaya

hidayah-Nya.

Tulisan ini dapat diakhiri tentu tidak lepas dari pihak-pihak yang mendukungnya.

Kata seorang filsuf, “saya tidak akan mampu melihat kepala orang banyak, jika

tidak berdiri di pundak gajah”. Artinya, kalimat-kalimat dalam tulisan ini tidak

akan tersusun jika tidak didukung oleh orang lain. Karena itu, ucapan terima kasih

yang tak terbatas sengaja dialamatkan kepada semua pihak yang mendukung,

terkusus kepada:

1. Orang tua tercinta, Ayahanda Drs. Muciono dan Ibunda Rufi, dengan

kesabaran dan keikhlasannya untuk mendukung diselesaikannya tulisan

ini;

2. Prof. Dr. Ni‟matul Huda, S.H., M.Hum., guru yang selalu menginspirasi

dan memotivasi, telah bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukan

menjalankan amanah ilmiahnya, untuk membimbing penulis hingga

tulisan ini bisa diakhiri;

3. Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H., Dr. Muntoha., S.H., M.Ag., Dr.

Saifuddin, S.H., M.H., Dr. Idul Rishan, S.H., L.LM., beserta bapak dan ibu

ix

dosen Hukum Tata Negara lainnya yang telah banyak memberikan

masukan dan saran atas penulisan ini;

4. Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D, guru yang dengan sabar

mendorong penulis untuk menyegerakan penyelesaian tulisan ini;

5. Dr. Jamaluddin Ghofur, S.H., M.H., guru sekaligus kakak yang telah

banyak memberikan pencerahan atas penulisan karya ini;

6. Guru dan sahabat-sahabat yang tergabung dalam Pusat Studi Hukum

Konstitusi (PSHK FH UII), terkhusus sahabat Yuniar Riza Hakiki (Sekjen

PSHK FH UII), yang bersedia menjadi tumpuan diskusi penulis dalam

penyelesaian tulisan ini; dan Suha Qoriroh, S.H., yang telah bersedia

direpotkan penulis untuk mendapatkan berbagai literatur yang relevan

dengan objek kajian penulis;

7. Ridlawati Wahyuningsih S.Pd., MA., dengan segala perhatian, motivasi,

dan keikhlasannya (untuk berbagi waktu dengan penelitian ini) yang

sungguh sangat berarti.

Akhirnya, sebagai manusia biasa yang tidak dapat menghindar dari segala bentuk

kesalahan, tentu tulisan sederhana ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena

itu, segala bentuk kritik, saran, serta masukan, terutama yang bersifat

membangun, sangat kami tunggu sebagai bahan perbaikan. Semoga penelitian ini

juga tidak hanya berhenti sebagai syarat untuk menyelesaikan perjalanan singkat

di kampus perjuangan ini, namun bisa ditindaklanjuti dalam bentuk karya yang

lebih berarti sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerhati hukum dan konstitusi.

Kemudian, hanya kepada Allah-lah kami mohon perlindungan.

Yogyakarta, 5 November 2021

Mohammad Agus Maulidi

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................. ii

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING .......................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN TUGAS AKHIR ........................................................ iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................ v

HALAMAN ORISINALITAS ................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ............................................................................................... vxii

DAFTAR ISI .............................................................................................................. x

ABSTRAK ................................................................................................................. xiii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 15

C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 16

D. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 16

E. Landasan Teori ............................................................................................... 21

F. Metode Penelitian........................................................................................... 35

G. Kerangka Penelitian ....................................................................................... 51

BAB II : TINJAUAN UMUM ATAS TEORI NEGARA HUKUM,

DEMOKRASI, HUKUM TATA NEGARA DARURAT, DAN POLITIK

HUKUM

A. Teori Negara Hukum...................................................................................... 53

B. Teori Demokrasi............................................................................................. 102

C. Teori Hukum Tata Negara Darurat ................................................................ 144

D. Teori Politik Hukum ...................................................................................... 174

xi

BAB III : PEMAKNAAN KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM

PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-

UNDANG OLEH PRESIDEN PASCA REFORMASI

A. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1998 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

3 Tahun 1998 ................................................................................................. 196

B. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1999 .................................................................................................... 201

C. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2002 ................................................................................................. 207

D. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2004 .................................................................................................... 220

E. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2008 .................................................................................................... 224

F. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2015 ................................................................................................. 233

G. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2013 .................................................................................................... 241

H. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2014 .................................................................................................... 252

I. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2017 .................................................................................................... 259

J. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2020 .................................................................................................... 268

BAB IV : POLITIK HUKUM PENGATURAN MATERI MUATAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG YANG

SESUAI DENGAN PRINSIP NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

A. Perpu dalam Sejarah Konstitusi Indonesia ..................................................... 290

xii

B. Tafsir Konstitusional atas Kewenangan Penetapan Perpu oleh Presiden

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi .................................................. 311

1. Analisis Putusan Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ............... 313

2. Analisis Putusan Nomor 003/PUU-III/2005 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 ............... 315

3. Analisis Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2009 .......................................................................................................... 316

4. Analisis Putusan Nomor 118-119-125-126-127-129-130-135//PUU-

XII/2014 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2014.................................................................. 312

5. Analisis Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2012 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 ............... 322

6. Analisis Putusan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 ............... 325

C. Problematika Pembentukan dan Materi Muatan Perpu .................................. 339

D. Politik Hukum Penetapan dan Materi Muatan Perpu Berdasarkan Negara

Hukum dan Demokrasi .................................................................................. 377

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................... 426

B. Saran .............................................................................................................. 428

DAFTAR PUSTAKA

CURICULUM VITAE

xiii

ABSTRAK

Pemberian kewenangan yang sifatnya overbroad berupa penafsiran atas hal

ikhwal kegentingan yang memaksa untuk meletakkan negara dalam keadaan

darurat dengan hanya mendasarkan pada subyektifitas presiden sebagaimana

termuat dalam Pasal 22 UUD NRI 1945, membuka peluang besar atas

tereduksinya semangat bernegara hukum yang demokratis. Hal tersebut yang

menjadi basis penelitian ini, untuk kemudian dibahas secara limitatif akan dibahas

berdasarkan 2 (dua) rumusan masalah, pertama, bagaimana pemaknaan

kegentingan yang memaksa dalam pembentukan perpu oleh presiden pasca

reformasi; dan kedua, bagaimana politik hukum pengaturan materi muatan perpu

sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokrasi. Penelitian yuridis normatif

dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan

konseptual (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach),

penelitian ini menunjukkan kesimpulan, pertama, pemaknaan kegentingan yang

memaksa memang bergantung pada persepsi masing-masing presiden, namun

dilihat dari bidang pengaturannya, seluruhnya tidak lepas dari bidang ekonomi,

politik, dan hukum. Dari aspek materi muatannya, terdapat pergeseran pemaknaan

dari kegentingan yang memaksa, menjadi hal ikhwal yang mendesak untuk diatur.

Sedangkan aspek latar belakangnya, dimensi politik menjadi aspek yang

mendominasi daripada esensi peristiwa yang terjadi atau akibat yang ditimbulkan.

Kedua, pemaknaan kegentingan yang memaksa yang diwujudkan dalam bentuk

perpu, ke depan, harus benar-benar diletakkan dalam kerangka hukum tata negara

darurat dalam bingkai negara hukum dan demokrasi melalui pembatasan

subyektifitas presiden dengan menormatifkan rambu-rambu pembatasan tersebut;

redesain objektifikasi perpu oleh parlemen dengan peninjauan terhadap materi

muatan yang bertumpu pada legalitas, konstitusionalitas, implementasi dan

legitimasi, serta menormatifkan aspek prosedural objektifikasi; pembatasan masa

keberlakuan perpu dengan mendasarkan pada masa persidangan DPR dan kondisi

objektif kedaruratan negara; serta redesain pengawasan lembaga yudisial melalui

pelibatan Mahkamah Konstitusi.

Kata Kunci: Perpu, Kegentingan yang Memaksa, Hukum Tata Negara Darurat

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Komitmen untuk mencapai negara hukum yang demokratis, atau negara

demokrasi berdasarkan hukum pasca reformasi telah dinormatifkan ke dalam

Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

(UUD NRI 1945) melalui amendemen ketiga. Penyelenggaraan negara diidealkan

berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka, sehingga

absolutisme sebagaimana yang terjadi pada masa orde baru tidak terulang

kembali. Secara filosofis, prinsip negara hukum menurut A.V. Dicey memang

menghendaki salah satunya tidak ada pemerintahan yang sewenang-wenang.1

Demikian pula dengan upaya untuk meneguhkan semangat demokrasi dalam

bingkai negara hukum yang juga telah dituangkan di dalam UUD NRI 1945

dengan menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan

berdasarkan Undang-Undang Dasar. Sebagaimana negara hukum, demokrasi juga

menghendaki agar penyelenggaraan negara tidak didasarkan pada otoritarianisme

dan absolutisme yang mendasarkan pada kehendak satu atau sekelompok orang,

sehingga merugikan rakyat secara luas sebagai pemilik kedaulatan.

Usaha mencapai negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi

berdasarkan hukum secara paripurna ini tampak menjadi ironi ketika Presiden

masih diberikan suatu kewenangan mutlak berupa penetapan Peraturan

1 A.V. Dicey, Introduction to Constitutional Law dalam Bagir Manan dan Susi Dwi

Harijanti, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam Perspektif Ajaran Konstitusi

dan Prinsip Negara Hukum” artikel dalam PJIH Vol. 4, No. 2, Tahun 2017, hlm. 226

2

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) sebagaimana disebutkan secara

eksplisit di dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dalam perspektif negara demokrasi, kewenangan

pembentukan peraturan (legislasi) merupakan domain kekuasaan legislatif. Hal ini

karena lembaga legislatif dalam kerangka demokrasi modern, diidealkan sebagai

perwujudan kedaulatan rakyat.2 Pemberian kewenangan bidang legislasi kepada

presiden secara mutlak yang bahkan tidak melibatkan lembaga legislatif dalam

proses pembentukannya, dalam hal ini adalah pembentukan perpu yang

kedudukan dan materi muatannya sejajar dengan undang-undang, merupakan

penyelenggaraan negara yang hakikatnya menjauhi karakter demokrasi.

Adapun titik singgung kewenangan pembentukan perpu dengan prinsip

negara hukum ini berupa pemberian kewenangan yang terlalu bersifat „open

ended‟ atau „overbroad‟ sehingga membuka peluang yang terlalu lebar untuk

disalahgunakan. Kesimpulan yang dinyatakan oleh John Reynolds, bahwa “the

emergency as a technique of governance and instrument of control, rather than a

purely reactive and temporary response to an isolated crisis”.3 Pernyataan

Reynolds tersebut mendasarkan pada hasil penelitian atas pemberlakuan sejumlah

2 Demokrasi dalam perkembangannya terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu demokrasi

langsung dan demokrasi tidak langsung. Demokrasi langsung menghendaki agar seluruh rakyat

berpartisipasi dalam setiap kebijakan negara, yang dalam negara modern tidak dimungkinkan

dilaksanakan, sehingga demokrasi dilaksanakan secara tidak langsung. Demokrasi tidak langsung

dilaksanakan melalui perwakilan, yaitu rakyat menentukan orang-orang tertentu sebagai wakilnya

untuk duduk di lembaga legislatif (lembaga perwakilan) yang kelak akan memperjuangkan aspirasi

rakyat yang diwakilinya. Karena itu, lembaga legislatif diidealkan merupakan perwujudkan dari

kedaulatan rakyat. Lihat dalam Abu Bakar Ebyhara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Pertama, Ar-

Ruzz Media, Yogyakarta, 2010, hlm. 263 3 John Reynolds, “The Long Shadow of Colonialism: The Origins of the Doctrine of

Emergency In International Human Rights Law” artikel dalam Comparative Research in Law &

Political Economy, Vol. 6, No. 5, Tahun 2010, hlm. 4

3

undang-undang darurat di beberapa daerah jajahan Inggris. Bahwa pemberlakuan

status darurat sangat sedikit esensi daruratnya apabila dibandingkan dengan

keinginan seorang raja untuk tetap mempertahankan kekuasaannya.4

Bagaimanapun, klausul Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 memberikan kuasa tidak

terbatas bagi presiden untuk menggunakan subyektifitasnya dalam menafsirkan

klausul “hal ikhwal kegentingan memaksa” sebagai syarat utama membentuk

perpu, sehingga cenderung berseberangan dengan prinsip konstitusionalisme dan

negara hukum.5

Pemberian kewenangan menetapkan perpu kepada presiden dalam sejarah

ketatanegaraan Indonesia, memang pernah memberikan kontribusi pemecahan

permasalahan hukum. Perpu pernah ditetapkan untuk menangguhkan berlakunya

undang-undang karena ternyata menjelang diberlakukannya undang-undang

dimaksud, seluruh kelengkapan belum siap, sehingga apabila dipaksanakan

berpeluang terjadi kekacauan. Misalnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983

tentang Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang ditangguhkan berlakunya melalui

Perpu Nomor 1 Tahun 1984 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-

Undang tentang Pajak Penambahan Nilai 1984, dan Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ditangguhkan melalui

Perpu Nomor 1 Tahun 1992 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-

4 Muhammad Siddiq, “Kegentingan Memaksa Atau Kepentingan Penguasa: Analisis

Terhadap Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)” artikel dalam

Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum Asy Syir‟ah Vol. 48, No. 1, Juni 2014, hlm. 267 5 Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Peraturan... Op., Cit., hlm. 236

4

Undang Nomor 14 Tahun 1992.6 Kendatipun demikian, tidak dapat dipungkiri

bahwa kewenangan menetapkan perpu oleh presiden ini juga menimbulkan

persoalan hukum dan ketatanegaraan yang cukup serius dalam kacamata negara

hukum dan demokrasi.

Faktanya, pembentukan perpu di bawah subyektifitas presiden sejauh ini,

justru menunjukkan berbagai macam problem hukum dan ketatanegaraan.

Pertama, batasan mengenai hal ikhwal kegentingan memaksa sebagai syarat

penetapan suatu perpu. Mahkamah Konstitusi telah memberikan batasan dan tolok

ukur mengenai “hal ikhwal kegentingan memaksa”, yaitu adanya kebutuhan

mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-

undang; undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi

kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; kekosongan

hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara

prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan

keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.7

Pada praktiknya, rambu-rambu yang ditetapkan oleh Mahkamah

Konstitusi tidak dapat mengendalikan subyektifitas presiden. Sering kali Perpu

yang ditetapkan tidak memenuhi syarat dan kualifikasi kegentingan memaksa.

Salah satu contoh misalnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

6 Ni‟matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap Dinamika

Perubahan UUD 1945, Cetakan Kedua, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 150 7 Lihat dalam Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-

VII/2009 tentang Perkara Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

5

Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perpu

Pilkada), yang dibentuk sebagai respon presiden atas penolakan rakyat yang

dinilai cukup luas terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota karena mendesain mekanisme

pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah;8 serta untuk menjamin pemilihan kepala daerah secara demokratis sesuai

amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yang diterjemahkan sebagai pemilihan

secara langsung oleh rakyat.9

Dasar pertimbangan tersebut, apabila dibenturkan dengan batasan

kegentingan memaksa sebagaimana diterjemahkan oleh Mahkamah konstitusi,

menunjukkan adanya kerancuan yang cukup mendasar. Bentuk kekosongan

hukum misalnya, tidak dapat dibenarkan mengingat Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2014 telah sah dan mengikat. Demikian pula apabila kekosongan hukum

dimaksudkan pada aspek penolakan rakyat yang sedemikian luas, menjadi sangat

tidak rasional mengingat proses legislasi terhadap suatu undang-undang (termasuk

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014) mensyaratkan adanya asas

keterbukaan,10

serta harus memberikan peluang yang begitu lebar terhadap

8 Konsideran huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. 9 Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2014 menyebutkan bahwa kedaulatan rakyat dan demokrasi tersebut perlu ditegaskan dengan

pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat. 10

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019

memuat ketentuan tentang keharusan membentuk peraturan perundang-undangan yang

mendasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik, salah satunya

sebagaimana disebutkan pada huruf g adalah keterbukaan. Makna asas keterbukaan dalam

penjelasan pasal adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari

perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan bersifat

transparan dan terbuka, Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan

6

partisipasi masyarakat.11

Artinya, bentuk penolakan masyarakat seharusnya telah

diketahui sejak tahapan awal proses legislasi, sehingga untuk mengakomodir hal

tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014, dapat dilalui dengan

proses legislasi biasa tanpa harus mengeluarkan Perpu.

Demikian pula pertimbangan untuk menjamin pemilihan kepala daerah

secara demokratis sesuai amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yang

diterjemahkan sebagai pemilihan secara langsung oleh rakyat, menunjukkan

kerancuan pemahaman mengenai demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Konsekuensinya, makna demokrasi dan kedaulatan rakyat, serta amanat Pasal 18

ayat (4) UUD NRI 1945 tereduksi. Sebagai batu ujinya, Mahkamah Konstitusi

sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of constitution) sebelumnya telah

menegaskan dalam beberapa putusannya, bahwa frasa “dipilih secara demokratis”

dalam Pasal 18 ayat (4) dapat dimaknai ke dalam bentuk pemilihan secara

langsung oleh rakyat maupun pemilihan secara tidak langsung oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan

kondisi di setiap daerah yang bersangkutan.12

Namun substansi Perpu Pilkada,

semacam memberikan batasan pemaknaan, bahwa pemilihan secara demokratis

yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan. 11

Lihat dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 12

Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

7

adalah pemilihan langsung oleh rakyat. Ini sekaligus memberikan gambaran

bahwa pada dasarnya, substansi Perpu Pilkada tersebut inkonstitusional karena

mereduksi makna Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, sekaligus menentang putusan

Mahkamah Konstitusi yang telah dikeluarkan sebelumnya.

Kedua, Perpu menganulir prinsip atau asas-asas hukum tertentu. Praktik

pembentukan Perpu hingga saat ini, tidak jarang substansinya justru menabrak

asas-asas hukum tertentu yang berlaku umum, termasuk yang menjiwai semangat

konstitusionalisme dan negara hukum. Pada konteks ini, sebagai contoh dan bukti

konkret dapat dilihat misalnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem

Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)

dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Perpu 1 Tahun

2020). Salah satu materi muatannya menegaskan bahwa segala tindakan termasuk

keputusan yang diambil berdasarkan Perpu tersebut bukan merupakan objek

gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.13

Apabila

ditinjau secara filosofis, selain mencerminkan bentuk absolutisme karena

substansinya memberikan kekebalan hukum, ketentuan yang menutup akses

peradilan administrasi tersebut tentu telah mereduksi semangat bernegara hukum.

Hal ini mengingat bahwa salah satu prinsip negara hukum adalah adanya

13

Lihat dalam Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk

Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka

Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem

Keuangan.

8

peradilan administrasi di samping perlindungan terhadap hak asasi manusia dan

pemisahan kekuasaan.14

Ketiga, Perpu dapat dijadikan alat untuk membentuk undang-undang yang

menyimpangi prosedur legislasi. Sebagai produk hukum yang secara hierarki

sejajar dengan undang-undang,15

dengan materi muatannya sama dengan materi

muatan undang-undang,16

namun prosedur penetapannya tidak melalui alur

pembahasan yang begitu panjang, karena sidang DPR atas perpu hanya sebatas

menyatakan persetujuan ataupun penolakan, maka dapat saja perpu dijadikan alat

pembentukan undang-undang namun tidak melalui prosedur legislasi yang cukup

panjang. Terlebih, prosedur yang jauh lebih singkat tersebut, menjadikan presiden

lebih terhindari dari perselisihan dan ketidaksepemahaan dalam proses

pembahasan di parlemen.

Konteks permasalahan di atas, dapat melihat fakta pembentukan Perpu di

negara lain yang memang sering terjadi. Kecenderungan pembentukan Perpu

memang lebih banyak dan lebih meningkat dalam hal terjadi fenomena divided

14

Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan Pertama, Gama Media,

Yogyakarta, 1999, hlm. 127. Sebagai perbandingan, menurut M.C. Burkens, negara hukum dalam

makna rechstaat didasarkan pada syarat yang terdiri dari asas legalitas, pembagian kekuasaan,

perlindungan hak-hak dasar, dan pengawasan pengadilan. Lihat dalam H.M. Thalhah, Demokrasi

dan Negara Hukum, Cetakan Pertama, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 73. Menurut

Jimly Asshiddiqie, terdapat 12 (dua belas) prinsip pokok sebagai pilar utama yang menyangga

berdirinya negara hukum, salah satunya adalah peradilan tata usaha negara. Lihat dalam Jimly

Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika,

Jakarta, 2015, hlm. 131-132 15

Lihat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2019 16

Lihat dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2019

9

government.17

Hal tersebut terjadi misalnya di Peru, ketika pemerintahan di bawah

presiden Fernando Belaunde dalam rentang waktu 1980-1985, terdapat 667 perpu

yang dibentuk, dan 575 Perpu dibentuk dalam waktu 2 tahun kekuasaan Alberto

Fujimori.18

Hal serupa juga terjadi di Brazil, berdasarkan data yang dihimpun oleh

Gabriel L. Negretto, dalam periode 1988-1998, penerbitan Perpu oleh 5 Presiden

Brazil yaitu Jose Sarney, Fernando Collor de Mello, Itamar Franco, dan Fernando

Henrique Cardoso I mencapai 3415 Perpu.19

Di bawah pemerintahan Fernando

Collor de Mello, tidak kurang dari 36 Perpu yang dibentuk pada 15 hari pertama

menjabat, dan kurang lebih 160 Perpu sepanjang tahun 1990. Tindakan Mello

mengeluarkan Perpu ini karena memang menginginkan menjalankan

pemerintahannya dengan menghindar dari proses di legislatif, karena merasa

kekuasaan yang diberikan oleh konstitusi telah cukup untuk memerintah tanpa

dukungan legislatif, serta menganggap bahwa membangun dukungan di legislatif

hanya akan membatasi otonominya dalam membuat kebijakan.20

Keempat, Perpu dapat dijadikan alat politik oleh presiden. Konteks

permasalahan ini sedikitnya selaras dan mempunyai keterkaitan dengan uraian

sebelumnya terkait relasi presiden dengan lembaga legislatif. Alih-alih menjawab

keadaan darurat, pembentukan Perpu justru menjadi peluang bagi presiden untuk

17

Menurut Fitra Arsil, divided government merupakan keadaan instabilitas dalam sistem

presidensial yang dapat terjadi ketika partai presiden tidak mayoritas di parlemen dan presiden

gagal membentuk koalisi mayoritas yang kohesif. Lihat dalam Fitra Arsil, “Menggagas

Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu: Studi Perbandingan Pengaturan dan

Penggunaan Perppu di Negara-Negara Presidensial” artikel dalam Jurnal Hukum & Pembangunan,

Vol. 48, No. 1, Jauari-Maret Tahun 2018, hlm. 7 18

Gregory Schmidt “Presidential Usurpation of Congressional Preference. The Evolution

of Executive Decree in Peru” dalam Ibid. 19

Gabriel L. Negretto “Government Capacities and Policy Making by Decree in Latin

America: The Cases of Brazil and Argentina” dalam Ibid. 20

Ibid... hlm. 7-8

10

dijadikan alat memimpin dan mengendalikan lembaga legislatif dalam proses

pembentukan peraturan perundang-undangan. Praktik ketatanegaraan di

Indonesia, upaya presiden untuk mengendalikan dan memimpin pembentukan

undang-undang melalui Perpu ini dapat dilihat dari pembentukan Perpu yang

justru menganulir suatu undang-undang atau rancangan undang-undang yang baru

saja disetujui bersama antara DPR dan Presiden. Contoh atas hal ini misalnya

Perpu Nomor 1 Tahun 2014 yang memang sarat dengan aspek politis karena

diterbitkan akibat konstelasi politik yang terjadi pada saat itu. Bahwa Koalisi

Merah Putih yang menguasai parlemen waktu itu, melalui proses legislasi

pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014, berhasil merubah desain

pemilihan kepala daerah dari yang semula dipilih langsung oleh rakyat, berubah

menjadi dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Perpu Nomor 1 Tahun 2014 yang mengembalikan mekanisme pemilihan

langsung, ditetapkan hanya beberapa saat setelah Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2014 diundangkan. Dilihat dari aspek proses pembentukan peraturan

perundang-undangan, hal ini tentu sesuatu yang tidak lazim. Presiden dan DPR

mempunyai posisi yang sama dalam proses legislasi, sehingga baik DPR maupun

presiden, sama-sama mempunyai hak dan wewenang baik untuk menerima atau

menolak suatu rancangan undang-undang. Praktiknya, prerogratif presiden untuk

menolak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentu akan berhadapan dengan

konfigurasi politik di parlemen yang pada saat itu dikuasai oleh Koalisi Merah

Putih. Maka presiden menggunakan hak penetapan Perpu yang mencabut Undang-

11

Undang Nomor 22 Tahun 2014. Tidak heran apabila Perpu ini ditetapkan sesaat

setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 diundangkan.

Kelima, Perpu bertentangan dengan konstitusi. Kedudukan Perpu dalam

hierarki peraturan perundang-undangan adalah sederajat atau sejajar dengan

undang-undang dan berada di bawah UUD NRI 1945. Maka sudah seharusnya

materi muatan perpu tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Praktiknya,

justru tidak jarang perpu yang bertentangan dengan konstitusi, bahkan

berseberangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai tafsir konstitusional

atas UUD NRI 1945. Bukti konkret atas hal ini yaitu Perpu Nomor 1 Tahun 2013

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2014. Perpu yang telah ditetapkan menjadi undang-undang ini

pada akhirnya dinyatakan bertentang dengan konstitusi melalui Putusan Nomor 1-

2/PUU-XII/2014, sehingga materi muatannya dibatalkan secara keseluruhan.

Lebih dari itu, Mahkamah Konstitusi bahkan menyatakan bahwa Perpu tersebut

tidak mencerminkan karakteristik produk hukum berupa perpu karena tidak

mempunyai akibat hukum yang “sontak segera” (prompt immediately) untuk

memecahkan permasalahan hukum, yang dibuktikan dengan fakta bahwa

meskipun telah menjadi undang-undang, Perpu tersebut belum pernah

menghasilkan produk hukum apapun.21

Sebaliknya, dengan adanya perpu tersebut,

21

Lihat dalam Pendapat Mahkamah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-

2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-

Undang.

12

proses penggantian hakim Akil Mochtar yang waktu itu tertangkap tangan oleh

KPK justru sedikit terhambat. Panel ahli tak kunjung terbentuk disebabkan

terkendala materi muatan Perpu. Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi belum

terbentuk, dan jikapun terbentuk, tidak ada masalah mendesak yang harus

diselesaikan sesuai dengan karakter kegentingan memaksa.22

Keenam, problematika pengujian Perpu. Pada prinsipnya, tidak ada

satupun produk hukum yang sempurna dan bebas dari kecacatan, termasuk dalam

hal ini adalah perpu. Dikorelasikan dengan beberapa fakta dan problematika

sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka ruang pengujian perpu mutlak

diperlukan. Landasan yuridis dan praktik yang ada saat ini, menurut Ni‟matul

Huda dengan merujuk pada Pasal 22 UUD NRI 1945, menunjukkan bahwa yang

berwenang untuk melakukan pengujian terhadap perpu adalah Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) melalui mekanisme political review.23

Mekanisme ini tentu bukan

merupakan solusi dan jawaban atas urgensi pengujian perpu dengan beberapa

alasan. DPR merupakan lembaga politik yang keputusannya tentu akan lebih

mempunyai dimensi kesepakatan politik daripada mempertimbangkan aspek

hukum. Terlebih, pengujian di DPR ini juga tidak dilakukan secara mendalam

hingga materi muatannya, karena DPR dalam suatu rapat paripurna hanya

memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perpu.24

Maka tidak heran apabila lahir produk hukum yang tidak mencerminkan karakter

22

Ali Marwan Hsb, “Kegentingan yang Memaksa Dalam Pembentukan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang” artikel dalam Jurnal Legislasi Indonesia Volume 14,

Nomor 1, Maret 2017, hlm. 116 23

Ni‟matul Huda, “Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi” artikel dalam Jurnal

Konstitusi, Volume 7, Nomor 5, Oktober 2010, hlm. 75 24

Lihat dalam Pasal 52 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

13

perpu, namun tetap disetujui menjadi undang-undang. Bahkan materi muatan

perpu yang bertentangan dengan konstitusi, dapat saja disahkan dan disetujui oleh

DPR.25

Alasan lain yang juga sangat penting untuk diperhatikan yaitu bahwa

perpu secara sah berlaku sejak ditetapkan dan baru akan dilakukan obyektivikasi

oleh DPR pada masa sidang berikutnya. Selama menunggu sidang dimaksud,

maka perpu berlaku mengikat layaknya undang-undang dengan norma hukum

baru sebagai konsekuensi yuridisnya. Dapat saja pada masa tunggu tersebut,

norma hukum baru yang lahir justru menimbulkan kerugian konstitusional atau

bertentangan dengan konstitusi. Padahal, mengutip pendapat Mahfud MD, tidak

boleh sedetikpun ada peraturan perundang-undangan yang berpotensi melanggar

konstitusi tanpa bisa diluruskan atau diuji melalui pengujian yudisial.26

Selama ini, pengujian terhadap Perpu melalui lembaga peradilan diajukan

kepada Mahkamah Konstitusi. Melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009,

menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk

melakukan pengujian terhadap perpu. Hal ini memang menimbulkan perdebatan

di antara ahli hukum. Menurut Ni‟matul Huda, Mahkamah Konstitusi tidak

mempunyai kewenangan untuk menguji perpu karena UUD 1945 tidak

25

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 dibatalkan secara keseluruhan

oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai inkonstitusional (bertentangan dengan UUD NRI 1945). 26

Lihat dalam Pendapat Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

14

memberikan kewenangan untuk itu.27

Menurut Hamdan Zoelva sebagaimana

dikutip oleh I Dewa Gede Palguna, rumusan Pasal 24C ayat (1) yang mengatur

mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, merupakan rumusan yang limitatif,

sehingga secara formal, tidak mungkin memberikan tambahan kewenangan

kepada Mahkamah Konstitusi tanpa terlebih dahulu melakukan perubahan

terhadap UUD NRI 1945.28

Penulis berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi

memang seharusnya tidak memiliki kewenangan pengujian perpu. Bahkan pranata

pengujian perpu melalui lembaga peradilan di Indonesia saat ini dapat dikatakan

belum tersedia, mengingat tidak ada satupun ketentuan yang secara expressis

verbis baik dalam UUD NRI 1945 maupun dalam ketentuan perundang-undangan

lain yang memberikan ruang pengujian perpu oleh lembaga peradilan.

Praktik empiris yang menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah

melakukan pengujian terhadap Perpu, kiranya juga masih menyisakan persoalan.

Hal ini karena pengujian oleh Mahkamah Konstitusi saat ini, bergantung pada

adanya orang atau badan hukum yang mengajukan permohonan pengujian. Jadi

meskipun materi muatan perpu inkonstitusional, tidak memenuhi amanat

konstitusi mengenai hal ikhwal kegentingan memaksa, atau bahkan perpu yang

ditetapkan tidak mencerminkan produk hukum berupa perpu, namun tidak ada

27

Ni‟matul Huda, Pengujian... Op., Cit., hlm. 90 28

Wawancara I Dewa Gede Palguna kepada Hamdan Zoelva dalam I Dewa Gede

Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum terhadap

Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta,

2013, hlm. 593-594

15

pihak yang mengajukan pengujian, maka tentu Mahkamah Konstitusi tidak dapat

membatalkan perpu dimaksud.29

Berdasarkan beberapa persoalan di atas, maka sangat jelas diperlukan

adanya pengendalian dan pembatasan yang tegas, serta pengawasan yang

komprehensif terutama oleh lembaga yudisial dalam pembentukan Perpu pada

aspek materi muatan dan konstitusionalitasnya. Pembatasan diperlukan agar dasar

pembentukan perpu yang membuka tafsir begitu lebar bagi presiden tidak

dijadikan dasar yang membenarkan penggunaan kekuasaan secara berlebih-

lebihan (excessive power) atau bahkan pembenaran penyalahgunaan kekuasaan

yang pada akhirnya merugikan hak-hak konstitusional rakyat sebagai pemilik

kedaulatan dalam kerangka demokrasi. Atas dasar hal tersebut maka penelitian ini

penting untuk dilakukan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemaknaan kegentingan yang memaksa dalam

pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang oleh

presiden pasca reformasi?

2. Bagaimana politik hukum pengaturan materi muatan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang sesuai dengan prinsip

negara hukum dan demokrasi?

29

Zairin Harahap, “Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu” artikel

dalam Jurnal Yudisial, Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, hlm. 327

16

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Menganalisis dan mengetahui pemaknaan kegentingan yang memaksa

dalam pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

oleh presiden pasca reformasi.

2. Menganalisis dan merumuskan politik hukum pengaturan materi

muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang sesuai

dengan prinsip negara hukum dan demokrasi.

D. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian dan karya ilmiah yang membahas mengenai

Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Keleluasaan Pembentukan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Pertama, penelitian dengan

judul “Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi” yang ditulis oleh Ni‟matul

Huda. Tulisan ini mengurai tentang kedudukan perpu sebagai undang-undang

darurat (emergency law) dalam peraturan perundang-undangan Indonesia,

substansi atau makna Pasal 22 UUD NRI 1945 terkait syarat dikeluarkannya

perpu dan keterlibatan DPR dalam hal objektivikasi perpu, serta legalitas dan

kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perppu berdasarkan konstitusi.

Dalam tulisan ini, Ni‟matul Huda menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi

yang memperluas kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Perppu,

17

dengan kesimpulan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki wewenang untuk

menguji perpu karena UUD NRI 1945 tidak memberikan kewenangan untuk itu.

Kedua, tulisan oleh Achmad Edi Subiyanto dengan judul “Menguji

Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”. Tulisan ini

mengurai tentang kedudukan Perpu dalam hierarki peraturan perundang-undangan

Indonesia dari perspektif historis, serta landasan kewenangan pengujian Pepru

oleh Mahkamah Konstitusi dengan merujuk pada Putusan Nomor 138/PUU-

VII/2009.

Ketiga, tulisan berjudul “Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi

Muatan Perppu: Studi Perbandingan Pengaturan dan Penggunaan perpu di

Negara-Negara Presidensial” yang ditulis oleh Fitra Arsil. Tulisan ini membahas

tentang perbandingan pengaturan perpu di beberapa negara di Amerika Latin

terdiri dari Brazil dan Argentina, konsep dasar, makna, dan peristilahan perpu di

beberapa negara tersebut, praktik usaha pembatasan pembentukan perpu di Brazil,

prosedur persetujuan perpu di parlemen Argentina. Beberapa fakta yang

ditemukan di Brazil dan Argentina tersebut kemudian dikomparasikan di

Indonesia dalam konteks pembatasan pembentukan perpu.

Keempat, tulisan dengan judul “Menyoal Kewenangan Mahkamah

Konstitusi Menguji Perpu: Kajian Terhadap Enam Putusan Mahkamah

Konstitusi” yang ditulis oleh Zairin Harahap. Tulisan ini mengkritisi tafsir

Mahkamah Konstitusi melalui putusannya yang memperluas kewenangan

Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945 perspektif teori

18

perundang-undangan, teori kewenangan, dan teori pembagian kekuasaan. Muara

tulisan ini yaitu bahwa tafsir Mahkamah Konstitusi yang memperluas

kewenangannya tersebut mempunyai banyak kelemahan dan cenderung

memaksakan diri untuk melakukan pengujian terhadap perpu.

Beberapa penelitian lain terutama dalam bentuk Tesis mengenai pengujian

Perpu pada umumnya mengulas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi

dalam pengujian perpu dengan merujuk pada Putusan Nomor Nomor 138/PUU-

VII/2009. Penelitian yang termasuk pada jenis ini yaitu penelitian oleh Hardyanto

dengan judul ”Judicial Review Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perppu) Oleh Mahkamah Konstitusi”, Tesis yang ditulis oleh Mahyudin Husen

dengan judul “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi”, Tesis yang ditulis oleh Imam Heykal Djajadiningrat dengan judul

“Urgensi dan Landasan Konstitusional Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk

Menguji Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”,

Tesis yang ditulis oleh Syawaluddin Hanafi dengan judul “Dasar Kewenangan

Mahkamah Konstitusi Dalam Judicial Review Terhadap Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang”. Seluruh penelitian tersebut, secara umum membahas

apakah Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menguji perpu,

apakah Mahkamah Konstitusi telah tepat melakukan penafsiran yang berimplikasi

pada perluasan kewenangannya dalam judicial review.

Penelitian lain mengenai pembentukan perpu pada umumnya mengurai

tentang bentuk kegentingan memaksa yang termuat dalam perpu tertentu yang

19

dibenturkan dengan kegentingan memaksa menurut tafsir Mahkamah Konstitusi.

Penelitian dalam jenis ini dilakukan terutama terhadap perpu tertentu yang cukup

mendapat sorotan oleh banyak pihak. Contoh penelitian yang memuat tentang hal

ini adalah Tesis yang ditulis oleh Nanda Irwansyah dengan judul “Kontroversi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017

tentang Organisasi Kemasyarakatan”, tulisan yang disusun oleh Siti Nurhalimah

dengan judul “Menyoal Kegentingan dan Pasal Impunitas Dalam Perppu Corona”,

Tesis yang ditulis oleh Handoyo Prihatanto dengan judul “Politik Hukum

Penggunaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Terkait dengan

Asas Hal Ikhwal Kegentingan yang Memaksa (Analisis terhadap Perpu Nomor 1

Tahun 2007)”. Penelitian terakhir yang disebutkan ini menganalisis hal ikhwal

kegentingan yang memaksa pada Perpu Nomor 1 Tahun 2007 tidak dalam

perspektif kriteria kegentingan memaksa menurut tafsir Mahkamah Konstitusi,

namun melihat interaksi antara pemerintah dan DPR dalam pembahasan dan

persetujuan perpu dimaksud dalam kaitannya dengan kegentingan yang memaksa

pada Perpu Nomor 1 Tahun 2007.

Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian terdahulu yang telah

dilakukan sebagaimana disebutkan di atas yaitu bahwa penelitian ini akan

meninjau keleluasaan yang diberikan kepada presiden untuk menetapkan perpu

berdasarkan Pasal 22 UUD NRI 1945 terhadap pemaknaan kegentingan yang

memaksa sebagai syarat bagi presiden dalam menetapkan perpu. Objek yang akan

dibahas yaitu seluruh perpu yang ditetapkan pasca reformasi dengan analisis

secara mendalam terhadap beberapa perpu yang ditetapkan oleh masing-masing

20

presiden pasca reformasi sebagai sampelnya. Pembahasan dalam lingkup kedua

yaitu hendak merumuskan arah kebijakan pengendalian penetapan perpu di masa

yang akan datang sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokrasi.

Pembahasan yang kedua ini berangkat setidaknya dari 3 (tiga) pijakan dasar, yaitu

pertama, dengan menganalisis latar belakang dimuatnya instrumen hukum darurat

negara dalam konstitusi Indonesia sebagai payung hukum kewenangan presiden

dalam menetapkan perpu untuk mengetahui original intent para perumus

konstitusi. Kedua, menganalisis problematika penetapan dan materi muatan perpu

oleh presiden dengan batu uji UUD NRI 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi

mengenai pengujian perpu atau pengujian undang-undang hasil persetujuan atas

perpu sebagai, asas dan prinsip hukum tertentu, teori-teori atau doktrin hukum

tertentu yang menjadi justifikasi keadaan darurat negara dan kegentingan

memaksa sehingga melegitimasi presiden untuk membentuk perpu. Konteks atau

ruang lingkup pembahasan problematika ini merujuk pada perpu yang dikeluarkan

pasca reformasi dengan menganalisisnya secara spesifik. Ketiga, menganalisis

implikasi beberapa putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian terhadap perpu

atau undang-undang tentang penetapan perpu guna mengetahui rambu-rambu

penetapan konstitusi berdasarkan tafsir konstitusional yang dilakukan Mahkamah

Konstitusi. Terhadap ketiga hal tersebut, akan konstruksikan mengenai desain

pengendalian dan pembatasan konstitusional penetapan perpu dalam kerangka

negara hukum dan demokrasi.

21

E. Landasan Teori

1. Hukum Tata Negara Darurat

Dalam literatur Indonesia, tidak banyak sumber yang menjelaskan

secara khusus mengenai hukum tata negara darurat. Hanya segelintir buku

yang ditulis oleh ahli hukum Indonesia, padahal konsepsi mengenai

hukum tata negara darurat sangat penting. Sedemikian pentingnya,

sehingga Jimly Asshiddiqie menggagas bahwa dalam rumpun ilmu hukum

tata negara hendaknya dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu hukum tata

negara yang berlaku dalam keadaan normal, dan hukum tata negara yang

berlaku dalam keadaan tidak normal (hukum tata negara darurat).30

Menurut Herman Sihombing, hukum tata negara darurat merupakan

hukum tata negara yang berlaku dalam keadaan bahaya atau darurat, yaitu

sebagai rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan

istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat

menghapuskan keadaan darurat atau keadaan bahaya yang mengancam, ke

dalam keadaan biasa menurut peraturan perundang-undangan dan hukum

umum dan biasa.31

Pada umumnya, konstitusi modern akan memuat pengaturan

mengenai keadaan darurat negara, yang bentuknya berupa pendelegasian

kekuasaan kepada presiden atau otoritas konstitusional lainnya untuk

30

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Cetakan Pertama, PT RajaGrafino

Persada, Jakarta, 2007, hlm. 14 31

Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia dalam Dian Kus Pratiwi,

“Implikasi Yuridis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan di

Indonesia” artikel dalam Jurnal PJIH Volume 4, Nomor 2, Tahun 2017, hlm. 285

22

mengeluarkan keputusan, pembatasan akses informasi, dan penangguhan

proses dan hak hukum dalam hal terdapat ancaman yang mendesak.

Tujuan pemberian kewenangan tersebut adalah untuk menyelesaikan

ancaman sehingga sistem hukum dan ketatanegaraan dapat kembali ke

keadaan sebelumnya.32

Hal ini terutama terjadi pada negara-negara yang

berada pada transisi demokrasi, atau negara demokrasi baru, karena

penyelenggaraan negara dalam kondisi darurat sangat mungkin

berlangsung tersendat-sendat atau serba gamang dan tidak terarah.

Bagaimanapun, negara yang baru menerapkan demokrasi,

penyelenggaraan kekuasaan biasanya akan selalu dihadapkan pada 2 (dua)

pilihan ekstrim, yaitu antara tuntutan kebebasan tanpa arah dan kendali di

antara warga negara yang sangat harus akan kebebasan setelah bertahun-

tahun dicekam rasa takut, atau kebutuhan rasional untuk mengadakan

konsolidasi kekuasaan negara meskipun dengan sedikit bahkan dengan

potensi agak mengekang dan membatasi kebebasan.33

Dalam negara yang

tergolong sebagai demokrasi maju, pemberian kekuasaan tertentu secara

konstitusional tidak lagi diperlukan karena dapat saja menghadapi keadaan

darurat melalui undang-undang biasa, atau setidaknya, meskipun

konstitusinya mengatur tentang keadaan darurat, namun kekuasaan

tersebut tidak digunakan.34

32

John Ferejohn and Pasquale Pasquino, “The Law of The Exception: A Typology of

Emergency Powers” artikel dalam International Journal of Constitutional Law, April 2004, hlm.

210 33

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 14 34

John Ferejohn and Pasquale Pasquino, The Law... Op., Cit., 215

23

Pada pokoknya, objek kajian hukum tata negar darurat adalah

negara yang berada dalam keadaan darurat “state of emergency”.35

Karena

keadaan yang tidak berada pada situasi normal dan membutuhkan pranata

hukum lain ini, maka John Ferejohn and Pasquale Pasquino menyebutkan

hal ini sebagai “the law of the execption”.36

keadaan ini, lebih lanjut,

melahirkan konsepsi dualisme hukum atau dualisme konstitusional.

Gagasan bahwa harus ada ketentuan untuk dua sistem hukum, yaitu yang

berlaku dalam keadaan normal untuk melindungi hak dan kebebasan, dan

satu sistem hukum yang sesuai untuk menangani keadaan darurat.37

Pada saat negara berada pada situasi darurat atau tidak normal,

harus ada pemegang kekuasaan yang diberikan wewenang untuk membuat

keputusan tertinggi dengan dapat mengabaikan beberapa prinsip dasar

yang dianut oleh negara tersebut untuk sementara waktu. Tujuannya

adalah untuk mengembalikan negara kepada keadaan normal menurut

Undang-Undang Dasar atau menurut peraturan perundang-undangan yang

normal. Hal penting yang harus diperhatikan yaitu bahwa perlu diatur

terlebih dahulu mengenai syarat-syarat bagaimana keadaan pengecualian

atau keadaan darurat atau tidak normal tersebut dapat dinyatakan ada,

bagaimana pengawasan atas pelaksanaan kekuasaan negara dalam keadaan

darurat itu dilakukan, dan baiamana mengakhiri atau berakhirnya keadaan

35

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 7 36

John Ferejohn and Pasquale Pasquino, The Law... Op., Cit., hlm. 222 37

Ibid... hlm. 234

24

darurat itu sehingga tidak menimbulkan ekses yang tidak dapat diatasi di

kemudian hari.38

Pada konteks Indonesia, konstitusi membagi (membedakan)

keadaan kegentingan yang memaksa dengan keadaan bahaya, meskipun

keduanya sama-sama menunjukkan keadaan darurat negara. Titik tekan

perbedaan keduanya yaitu bahwa keadaan bahaya lebih menekankan pada

aspek strukturnya, sedangkan keadaan kegentingan yang memaksa lebih

menekankan pada aspek isinya.39

Pada konstitusi, perbedaan ini kemudian

dituangkan ke dalam pasal yang berbeda, yaitu Pasa 12 dan Pasal 22 UUD

NRI 1945. Pasal 12 menyebutkan, “Presiden menyatakan keadaan bahaya.

Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-

undang”. Sedangkan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 menyebutkan,

“Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak

menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.

Substansi Pasal 12 dan Pasal 22 UUD NRI 1945 ini berimplikasi

pada derajat ancaman bahaya terhadap negara, sehingga syarat hal ikhwal

kegentingan memaksa tidak boleh disamakan dengan kualifikasi keadaan

bahaya. Menurut Jimly Asshiddiqie, apabila keduanya dianggap identik,

justru akan menimbulkan kesulitan karena perpu hanya hanya boleh

ditetapkan dalam keadaan darurat saja. Keadaan darurat negara yang

38

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 59 39

Muhammadd Syarif Nuh, “Hakekat Keadaan Darurat Negara (State of Emergency)

sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang” artikel dalam

Jurnal Hukum, Volume 18, Nomor 2, April 2011, hlm. 233

25

menjiwai Pasal 12 UUD NRI 1945 tergolong dalam pengertian yang

sempit dan luas, yaitu ancaman bahaya yang dimaksudkan tertuju pada

keselamatan umum, integritas wilayah, atau ancaman terhadap kedaulatan

negara; serta ancaman bahaya itu dapat tertuju kepada keselamatan jiwa,

keselamatan harta benda, ataupun keselamatan lingkungan hidup, baik

dalam lingkup nasional, regional, ataupun lokal tertentu. Adapun

kegentingan memaksa yang menjiwai Pasal 22 UUD NRI 1945 merupakan

keadaan yang tingat ancaman bahayanya tergolong lebih luas lagi, yaitu

ancaman keselamatan yang tertuju kepada suatu ide, prinsip-prinsip, atau

nilai-nilai leluhur tertentu atau yang tertuju kepada sistem administrasi

atau efektivitas bekerjanya fungsi-fungsi internal pemerintahan suatu

negara.40

2. Negara Hukum

Negara hukum, secara umum, menghendaki agar meninggalkan

tipe penyelenggaraan negara yang memerintah berdasarkan kehendak dan

kamauan penguasa semata, menjadi negara yang diperintah oleh hukum

yang telah dibuat dan disediakan sebelumnya sehingga penguasa pun harus

tunduk pada hukum tersebut.41

Jimly Asshiddiqie mempopulerkan prinsip

tersebut dengan kalimat filosofis the rule of law, and not of man.42

Tujuannya adalah untuk menghindari tindakan sewenang-wenang satu atau

40

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 66-67 41

Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Cetakan Kedua,

Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 2 42

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Ketiga, Sinar

Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 57

26

sekelompok orang dengan mengatasnamakan negara. Karena itu, negara

hukum akan selalu mencirikan sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal, yaitu

adanya konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara

penguasa dan rakyat, adanya pembagian kekuasaan negara, adanya

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak kebebasan rakyat.43

Pertama, adanya konstitusi yang mengatur relasi pemerintah

dengan rakyat menunjukkan bahwa pemerintahan dilaksanakan atas dasar

kehendak rakyat, bukan berupa paksaan seperti yang dilaksanakan

pemerintah despotik.44

Karena itu, di beberapa negara, konstitusi bahkan

dianggap sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mengontrol

pemerintahan, yang muncul dari sebuah keyakinan akan pemerintahan

yang dibatasi (limited government).45

Miriam Budiardjo bahkan

menyebutkan bahwa konstitusi dianggap sebagai institusi yang paling

efektif untuk melindungi warga negara melalui konsep rule of law atau

rechtsstaat.46

Konstitusi dengan demikian akan memberikan jaminan

konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan bagi rakyat

tersebut.47

Bagaimanapun, konstitusi yang baik, menurut Aristoteles akan

mengarahkan pada tatanan pemerintahan yang mempunyai tujuan untuk

43

Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Keenam,

Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 82 44

Ridwan, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 2 45

K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Terjemahan oleh Muhammad Hardani,

Cetakan Pertama, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003, hlm. 10-11 46

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan Ketiga Puluh, PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 171 47

Ni‟matul Huda, Hukum... Loc., Cit.

27

mewujudkan kepentingan bersama, yaitu tercapainya tujuan tertinggi

negara berupa a good life.48

Kedua, adanya pembagian kekuasaan negara. Konteks ini pada

prinsipnya adalah untuk membatasi kekuasaan atau menghindari

penumpukan kekuasaan dalam satu tangan yang cenderung berakibat pada

penyalahgunaan kekuasaan. Menjadi karakter alamiah, bahwa setiap

kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi

sewenang-wenang. Lord Acton dengan diktum terkenalnya menyebutkan

“power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.49

Dilihat dari aspek historis, munculnya pembatasan kekuasaan memang

bermula dari penyelenggaraan negara yang fungsi kekuasaan negara

terpusat dan terkonsentrasi pada satu orang yaitu raja atau ratu.50

Kekuasaan raja atau ratu ini berjalan secara turun temurun dan

berlangsung tanpa adanya kontrol yang jelas, sehingga penyelenggaraan

negara sangat bergantung pada kehendak pribadi raja atau ratu. Tentu

menjadi kesalahan yang sangat besar, sebuah kekuasaan yang besar

diberikan kepada satu orang hanya dengan mendasarkan pada moral, niat,

dan sifat-sifat manusia yang menguasainya, tanpa adanya pengaturan dan

pembatasan tertentu.51

Dalam keadaan ini, peluang untuk mengedepankan

kepentingan pribadi di atas kepentingan umum sangat terbuka lebar, yang

48

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cetakan Kelima, Rajawali

Pers, Jakarta, 2013, hlm. 77 49

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi... Op., Cit., hlm. 129 50

Jimly Asshiddiqie, Pengantar... Op., Cit., hlm. 282 51

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam

UUD NRI 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 37

28

pada titik tertentu akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dengan

konsekuensi meniadakan hak-hak dan kebebasan rakyat.52

Usaha untuk melakukan pembatasan kekuasaan negara tersebut

kemudian dilakukan dengan berbagai cara. Dari struktur kelembagaan,

pembatasan kekuasaan dilakukan dengan cara mengadakan pembedaan

dan pemisahan/pembagian kekuasaan negara ke dalam beberapa fungsi

yang berbeda-beda. Pada konteks ini, teori yang dibangun oleh John Locke

yang kemudian dimodivikasi oleh Montesquieu tampak sebagai teori yang

paling banyak membawa pengaruh terhadap pembatasan kekuasaan dalam

negara modern.53

Sebagaimana diketahui, John Locke membagi kekuasaan

negara ke dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan, yaitu cabang kekuasaan

eksekutif, legislatif, dan federatif. Montesquieu yang diilhami oleh John

Lock, juga membagi kekuasaan negara ke dalam 3 (tiga) cabang,

meskipun terdapat perbedaan, yaitu cabang kekuasaan eksekutif, legislatif,

dan yudikatif. Konsep yang dibangun baik oleh John Locke maupun oleh

Montesquieu tersebut, dikenal dengan istilah trias politica.

Ketiga, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat. Dibentuknya

konstitusi serta dilakukannya pembatasan terhadap kekuasaan negara agar

terhindar dari perilaku sewenang-wenang pada akhirnya mempunyai

tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak konstitusional warga

negara.

52

Jimly Asshiddiqie, Pengantar... Loc., Cit. 53

Ibid... hlm. 282

29

Ketiga karakteristik di atas memang lebih cenderung pada konsepsi

negara hukum yang bertumpu pada rechssstaat, meskipun terdapat

kesamaan dengan karakteristik the rule of law, yang oleh A.V. Dicey juga

dicirikan setidaknya dengan 3 (tiga) hal:54

a. Supremasi absolut atau predominasi dari regular law

untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan

meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif atau

discretionary authority yang luas dari pemerintah.

b. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama

dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang

dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak

ada orang yang berada di atas hukum; tidak ada peradilan

administrasi negara;

c. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land,

bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber, tetapi

merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang

dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.

3. Politik Hukum

Politik hukum masuk dalam taksonomi ilmu hukum sejak

diselesaikannya penelitian disertasi oleh Moh. Mahfud MD yang berjudul

Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik

terhadap Karakter Produk Hukum di Indonesia. Secara definitif, menurut

Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan)

resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan

hukum baru maupun dengan penggantian hukum yang lama, dalam rangka

mencapai tujuan negara.55

Abdul Hakim Garuda Nusantara berpendapat

54

Ni‟matul Huda, Hukum... Op., Cit., hlm. 83 55

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Keenam,

Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 1

30

bahwa politik hukum adalah kebijakan hukum (legal policy) yang hendak

diterapkan atau dilaksanakan oleh suatu pemerintahan negara tertentu.56

Menurut Ahsin Tohari, politik hukum adalah kebijakan dasar

penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah

berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk

mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.57

Pandangan lain

mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang

hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu

dalam masyarakat.58

Mochtar Kusumaatmadja59

memandang politik

hukum sebagai kebijakan hukum dan perundang-undangan dalam

pembaharuan hukum dengan instrumen politik hukum dilakukan melalui

undang-undang. Makna dari konsepsi Mochtar Kusumaatmadja yaitu

berkaitan dengan hukum mana yang perlu dibentuk (diperbarui, diubah,

atau diganti) dan hukum mana yang perlu dipertahankan agar secara

bertahap dapat diwujudkan tujuan negara. Sementara Sunaryati Hartono

mengatakan bahwa politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana

dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan

sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum

56

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta,

2010, hlm, 15 57

Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 2004, hlm. 32. 58

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 35 59

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan: Kumpulan

Karya Tulis Prof. Mochtar Kusumaatmadja, dalam Anna Triningsih,”Politik Hukum Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan Dalam Penyelenggaraan Negara” artikel dalam Jurnal Konstitusi,

Volume 13, Nomor 1, Maret 2016, hlm. 126

31

nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.60

Faktor-faktor

yang akan menentukan politik hukum kata Sunaryati Hartono,61

tidak

semata-mata oleh apa yang kita cita-citakan atau tergantung pada

kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoretisi belaka, akan

tetapi ditentukan pula oleh kenyataan serta perkembangan hukum di lain-

lain negara serta perkembangan hukum internasional.

Pengertian legal policy, mencakup proses pembuatan dan

pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana

hukum akan dibangun. Politik hukum memberikan landasan terhadap

proses pembentukan hukum yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi,

kultur serta nilai yang berkembang di masyarakat dengan memperhatikan

kebutuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.62

Terdapat sedikitnya 4 (empat) hal yang harus diperhatikan dalam

hal perumusan kebijakan negara, yang keempatnya merupakan kaidah atau

penuntun politik hukum terutama di ranah legislatif, yaitu:63

pertama,

politik hukum harus tetap menjaga integrasi atau keutuhan bangsa baik

secara ideologi maupun secara teritori. Politik hukum dan kebijakan umum

haruslah menjadi milik dan diterima secara bersama tanpa dirusak oleh

nilai-nilai sektarian. Kedua, politik hukum dan kebijakan umum haruslah

didasarkan pada upaya membangun demokrasi (kedaulatan rakyat) dan

60

C.F.G Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,

Alumni, Bandung, 1991, hlm. 1 61

Ibid, hlm. 23 62

Moh. Mahfud MD, Politik... Op., Cit., hlm. 9 63

Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Cetakan Ketiga,

Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 26-28

32

nomokrasi (negara hukum) sekaligus. Ketiga, politik hukum haruslah

didasarkan pada upaya membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Keempat, politik hukum haruslah didasarkan pada prinsip

toleransi beragama yang berkeadaban.

4. Demokrasi

Demokrasi secara harfiah merupakan gabungan dari 2 (dua) kata

yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos dan kratos atau cratein.

Demos mempunyai makna rakyat dan cratein atau cratos bermakna

kekuasaan atau kedaulatan. Kombinasi dari kedua kata tersebut menjadi

istilah demokrasi, yang berarti kedaulatan berada di tangan rakyat.

Gabungan dari 2 (dua) kata yang berasal dari Yunani tersebut menurut R.

Kranenburg dalam “Inleiding in de vergelijkende staatsrechtwetenschap”

bermakna cara memerintah oleh rakyat.64

M. Durverger di dalam bukunya,

“les Regimes Politiques”, demokrasi itu ialah termasuk cara pemerintahan

dimana golongan yang memerintah dan golongan yang diperintah adalah

sama dan tidak terpisah-pisah. Artinya satu sistem pemerintahan negara,

yang dalam pokoknya, semua orang (rakyat) berhak sama untuk

memerintah dan juga diperintah.65

Terminologi demokrasi yang cukup populer dan banyak digunakan

merujuk pada kalimat Abraham Lincoln melalui kalimat sederhananya

64

Koencoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi dalam Ni‟matul Huda,

Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2005,

hlm. 12 65

Ibid.

33

yaitu government of the people, by the people, for the people. Makna

demokrasi yang digagas oleh Lincoln ini sekaligus menegaskan bahwa

negara yang mendasarkan pada sistem demokrasi sebagai sistem

politiknya, haruslah menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan

tertinggi. Ungkapan lain Abraham Lincoln yang menjadi akar dari

demokrasi yaitu “Karena aku tidak ingin menjadi budak, aku juga tidak

ingin menjadi tuan. Demikianlah demokrasi menurutku. Apapun yang

berbeda dari gagasan ini, sampai pada tingkat yang ekstrem, bukanlah

demokrasi.”66

Jimly Asshiddiqie memperluas makna demokrasi tidak

hanya pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat, namun juga

pemerintahan bersama rakyat.67

Demokrasi sebagai sistem yang

menjadikan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, diselenggarakan

oleh rakyat dan untuk rakyat, dan berusaha terus membuka diri untuk

melibatkan peran dan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara.68

Ada beberapa unsur yang penting untuk diperhatikan, sekaligus

untuk mengetahui apakah sistem demokrasi telah dijalankan di sebuah

negara. Kalimat William Tyler kiranya dapat dijadikan rujukan terhadap

hal ini.69

“I believe in the United States of America as a Government of the

people, by the people, for the people, whose just powers are

derived from the consent of the governed; a democracy in a

66

Richard M. Ketchum, What Is Democracy?, terjemahan oleh Mukhtasar, Cetakan

Pertama, Penerbit Niagara, Yogyakarta, 2004, hlm. 20 67

Jimmly Asshidiqie, Konstitusi..,Op. Cit, hlm 70 68

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 241-242 69

Anonim, “The American‟s Creed” dalam http://www.usflag.org/american.creed.html,

diakses pada tanggal 4 Maret 2021

34

Republic; a sovereign Nation of many sovereign States; a perfect

union, on and inseparable; established upon those principles of

freedom, equality, justice, and humanity for wich American

patriots sacrificed their lives and fortunes. I therefore believe it is

my duty to my Country to love it; to support its Constitution; to

obey its laws; to respect its flag, and to defend it againest all

enemies.”

Kalimat William Tyler tersebut memang menggambarkan

pelaksanaan demokrasi di Amerika Serikat, namun setidaknya

memberikan cerminan, bahwa demokrasi mempunyai sekurang-kurangnya

4 (empat) prinsip dasar, yaitu freedom (kebebasan), equality (persamaan),

justice (keadilan), dan humanity (kemanusiaan). Menurut Afan Gaffar,

beberapa unsur penting dalam negara demokrasi sebagai sebuah gagasan

politik, setidaknya mengandung beberapa hal, yaitu penyelenggaraan

kekuasaan negara yang berasal dari rakyat; adanya pertanggungjawaban

penguasa yang menduduki jabatan publik kepada rakyat; adanya

partisipasi secara langsung maupun tidak langsung sebagai wujud dari

demokrasi itu sendiri; adanya pergantian kekuasaan yang berjalan secara

teratur dan damai; terselenggaranya pemilihan umum untuk menjamin hak

politik setiap warga negara; jaminan perlindungan terhadap kebebasan hak

asasi manusia.70

Henry B. Mayo menegaskan, demokrasi setidaknya didasarkan

pada beberapa nilai fundamental, yaitu: penyelesaian perselisihan dengan

damai dan secara melembaga (institutionalized peacefull sattlement of

conflict); menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu

70

Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Cetakan Kelima, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 15

35

masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a changing society);

penyelenggaraan pergantian kepemimpinan secara teratur (orderly

succesion of rulers); pembatasan pemakaian kekerasan sampai minimum

(minimum of coercion); mengakui serta menganggap wajar adanya

keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dalam

keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku; menjamin

tegaknya keadilan.71

Ulf Sundhaussen menyebutkan tiga syarat demokrasi

untuk suatu sistem politik, yaitu: jaminan atas hak seluruh warganegara

untuk dipilih dan memilih dalam pemilu yang dilaksanakan secara berkala

dan bebas; semua warga negara menikmati kebebasan berorganisasi,

memperoleh informasi, dan beragama; serta dijaminnya hak yang sama di

depan hukum.72

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau normatif

yuridis. Dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif, karena sesuai

dengan makna dan karakteristiknya, yang menurut Soerjono Soekanto

mencakup penelitian terhadap azas-azas hukum; penelitian terhadap

sistematika hukum; penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;

71

H.M. Thalhah, Demokrasi... Op., Cit., hlm. 9 72

Ulf Sundhoussen, Demokrasi dan Kelas Menengah: Refleksi Mengenai Pembangunan

Politik dalam R. Siti Zuhro, dkk., Demokrasi Lokal; Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai

Budaya Politik Lokal, Ombak, Yogyakarta, 2009, hlm 19.

36

penelitian terhadap sejarah hukum; dan penelitian perbandingan hukum.73

Dilihat dari topik dan judul untuk dikomparasikan terhadap karakteristik

penelitian hukum normatif tersebut, yaitu bahwa penelitian ini hendak

menganalisis mengenai materi muatan perpu yang ditinjau dari asas-asas

hukum tertentu, legalitas dan konstitusionalitas perpu untuk melihat

kesesuaian dan pertentangan materi muatannya dengan materi muatan

konstitusi; serta upaya pengendalian materi muatan perpu dengan cara

memperbandingkan doktrin serta praktik yang berkembang di negara-

negara lain.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari

Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), Pendekatan

Konseptual (Conceptual Approach), dan Pendekatan Kasus (Case

Approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk melakukan

analisis dan telaah terhadap beberapa produk hukum, yang secara umum

terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, beberapa perpu yang ditetapkan oleh presiden pasca reformasi, dan

peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pembentukan

perpu. Pendekatan konseptual digunakan untuk menganalisis dan

menjawab persoalan pemaknaan kegentingan memaksa sebagai syarat

dalam membentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang, politik

73

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, UI Press, Jakarta,

1986, hlm. 51

37

hukum pengaturan materi muatan dan konstitusionalitas perpu berdasarkan

pada teori-teori hukum yang relevan berdasarkan penelitian ini.

Pendekatan kasus digunakan untuk mengetahui penerapan norma dan

kaidah hukum melalui putusan pengadilan, yang dalam hal ini digunakan

untuk menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian perpu

atau pengujian undang-undang tentang penetapan perpu.

3. Objek Penelitian

Objek penelitian dalam penulisan ini adalah materi muatan dan

konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang

ditetapkan oleh presiden pasca reformasi hingga penelitian ini disusun.

4. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder

yang terdiri dari bahan hukum primer yaitu aturan hukum yang dibentuk

dan/atau dibuat secara resmi oleh lembaga negara dan/atau badan

pemerintahan yang mempunyai kewenangan;74

bahan hukum sekunder

yaitu informasi yang relevan dengan permasalahan hukum;75

dan bahan

hukum tertier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini secara

umum terdiri dari Konstitusi, Peraturan Pemerintah Pengganti

74

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Konsep, dan Metode, Setara Press, Malang, 2013,

hlm. 67 75

Ibid... hlm. 69

38

Undang-Undang yang ditetapkan pasca reformasi, dan putusan

Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dengan rincian sebagai

berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

2 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan

Pendapat di Muka Umum;

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

3 Tahun 1998 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1998 tentang

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;

5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme;

6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2002 Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12

Oktober 2002;

39

7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

8. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan;

9. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;

10. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi;

11. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota;

12. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

13. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;

40

14. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan;

15. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan

Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi

Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam

Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem

Keuangan;

16. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia;

17. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia;

18. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

19. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan;

41

20. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan;

21. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota;

22. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-I/2003

tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung;

23. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-

I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

24. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003

tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom

Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, Menjadi Undang-

Undang;

42

25. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-

II/2004 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

26. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005

tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan;

27. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006

tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004

tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;

28. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005

tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah;

29. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-VI/2008

tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008

tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;

30. Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 tentang Pengujian

Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004

43

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1985 tentang Mahkamah Agung;

31. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009

tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

32. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PUU-VII/2009

tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia dan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang

Jaring Pengaman Sistem Keuangan;

33. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-

VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan

Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang

Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang

Mengganggu Ketertiban Umum juncto Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai

44

Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai

Undang-Undang;

34. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012

tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

35. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XI/2013

tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

36. Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XI/2013

tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi;

37. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XI/2013

tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi;

45

38. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XI/2013

tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi;

39. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XI/2013

tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi;

40. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-XI/2013

tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi;

41. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013

tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman;

42. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014

tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014

46

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang;

43. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 118-119-125-126-

127-129-130-135/PUU-XII/2014 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota dan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintah Daerah;

44. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XII/2014

tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota;

45. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XV/2017

tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan;

46. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XV/2017

tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

47

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan;

47. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XV/2017

tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan;

48. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XV/2017

tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan;

49. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XV/2017

tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan;

50. Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-

XV/2017 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013

tentang Organisasi Kemasyarakatan;

48

51. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XV/2017

tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan;

52. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XV/2017

tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan;

53. Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-

XVI/2018 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013

tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-

Undang;

54. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-

XVIII/2020 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang

Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem

Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka

49

Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem

Keuangan;

55. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-

XVIII/2020 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang

Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem

Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka

Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem

Keuangan;

56. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-

XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang

Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem

Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka

Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem

Keuangan menjadi Undang-Undang;

50

57. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 44/PUU-

XVIII/2020 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang

Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang;

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, yang terdiri dari hasil penelitian yang serupa atau

sejenis dengan topik penelitian ini, jurnal, buku, dan literatur

sejenis lainnya.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan sekunder yang terdiri dari Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dan ensiklopedia.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara penelusuran

kepustakaan dan penelusuran dalam jaringan untuk mendapatkan dokumen

resmi institusional, jurnal, buku, dan literatur terkait lainnya.

6. Analisis Bahan Hukum

51

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini yaitu

dengan cara studi pustaka dan studi dokumen. Studi pustaka dan studi

dokumen dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan,

putusan pengadilan, dan beberapa literatur terkait untuk kemudian

dijelaskan secara deskriptif kualitatif sehingga memunculkan kesimpulan

sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti.

G. Kerangka Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab yang disusun secara sistematis. Bab

I memuat tentang latar belakang permasalahan yang mengurai tentang adanya

kesenjangan antara yang seyogyanya (das sollen) dan yang senyatanya (das sein)

untuk menunjukkan urgensi dilakukannya penelitian ini; rumusan masalah; tujuan

penelitian; tinjauan pustaka untuk menunjukkan orisinalitas penelitian dengan

meninjau dan membedakan dengan beberapa penelitian terdahulu; kerangka teori;

dan metode penelitian yang digunakan.

Bab II tentang tinjauan umum atas teori negara hukum, demokrasi, hukum

tata negara darurat, dan politik hukum. Pada bab ini mengurai landasan teori yang

digunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan yang telah

dituangkan dalam rumusan masalah.

Bab III tentang pemaknaan kegentingan yang memaksa dalam

pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang oleh presiden pasca

reformasi. Bab ini memuat analisis penulis terhadap rumusan masalah pertama

52

dengan berfokus pada alasan pembentukan dan problematika materi muatan perpu

yang ditetapkan oleh presiden pasca reformasi.

Bab IV tentang politik hukum pengaturan materi muatan peraturan

pemerintah pengganti undang-undang yang sesuai dengan prinsip negara hukum

dan demokrasi. Fokus analisis penulis adalah latar belakang perumusan Pasal 22

UUD NRI 1945 sebagai dasar hukum yang memberikan kewenangan presiden

menetapkan perpu untuk mengetahui original intent para perumus konstitusi

sehingga memunculkan klausul Pasal 22; analisis terhadap putusan Mahkamah

Konstitusi mengenai pengujian terhadap perpu atau undang-undang tentang

pengesahan perpu; problematika perpu dalam penyelenggaraan negara, serta ius

constituendum pengaturan materi muatan perpu sesuai dengan prinsip negara

hukum dan demokrasi.

Bab V tentang penutup, akan menguraikan kesimpulan sebagai jawaban

atas rumusan masalah dengan mendasarkan pada analisis pada bab sebelumnya,

serta saran berupa rekomendasi atas permasalahan yang ada.

53

BAB II

TINJAUAN UMUM ATAS TEORI NEGARA HUKUM, DEMOKRASI,

HUKUM TATA NEGARA DARURAT, DAN POLITIK HUKUM

A. Teori Negara Hukum

Teori negara hukum telah berkembang sejak lama yang pada

perkembangannya dianggap sebagai gagasan bernegara yang paling ideal.76

Negara hukum, sekurang-kurangnya pada tataran normatif yuridis, saat ini sudah

menjadi tipe negara yang umum dimiliki oleh bangsa-bangsa di dunia ini.77

Menurut Abu Daud Busroh, negara modern mempunyai tipe yaitu selain berlaku

asas demokrasi, juga menganut paham negara hukum.78

Budiono

Kusumohamidjojo sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR menyebutkan,79

Pada babak sejarah sekarang adalah sukar untuk membayangkan negara

tidak sebagai negara hukum. Setiap negara yang tidak mau dikucilkan dari

pergaulan masyarakat Internasional menjelang abad XXI paling sedikit

secara formal akan memaklumkan dirinya sebagai negara hukum. Dalam

negara hukum, hukum menjadi aturan permainan untuk mencapai cita-cita

bersama sebagai kesepakatan politik. Hukum juga menjadi aturan

permainan untuk menyelesaikan segala macam perselisihan, termasuk juga

perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi.

Hukum dengan demikian tidak mengabdi kepada kepentingan politik

sektarian dan primordial, melainkan kepada cita-cita politik dalam

kerangka kenegaraan.

Tidak sedikit ahli hukum yang memberikan definisi mengenai negara

hukum. Menurut Krabbe, negara hukum menghendaki bahwa siapapun dalam

76

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya

Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,

Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Kencana, Bogor, 2003, hlm. 2 77

Satjipto Rahardjo, Negara Hukum... Loc., Cit. 78

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Cetakan Kedelapan, Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hlm.

53 79

Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil, Problematika Filsafat Hukum,

dalam Ridwan, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, Cetakan Pertama, FH UII Press,

Yogyakarta, 2014, hlm. 50

54

suatu negara, harus tunduk kepada hukum, termasuk pemerintahnya. Karena itu,

ketika pemerintah termasuk presiden sekalipun, ketika melanggar ketentuan

hukum, maka juga harus menerima konsekuensi hukum dimaksud.80

Muhammad

Yamin,81

memaknai negara hukum sebagai suatu negara yang menjalankan

pemerintahan yang tidak menurut kemauan orang-orang yang memegang

kekuasaan, melainkan menurut aturan tertulis yang dibuat oleh badan-badan

perwakilan rakyat yang terbentuk secara sah berdasarkan asas “the laws and not

man shall govern”. Carl J. Friedrich sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD

berpendapat,82

konsepsi negara hukum bertalian erat dengan konstitusionalisme,

yaitu gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktiva yang

diselenggarakan atas nama rakyat, akan tetapi tunduk pada beberapa pembatasan

yang memberikan jaminan bahwa kekuasaan tidak dapat disalahgunakan oleh

mereka yang mendapatkan tugas untuk memerintah. Hartono Mardjono memaknai

negara hukum, sebagai suatu negara yang seluruh warga negara maupun alat

kelengkapan dan aparat negaranya, tanpa terkecuali dan tanpa adanya

80

Terdapat perbedaan parameter pelanggaran hukum oleh pemerintah di beberapa negara.

Belanda yang termasuk kategori negara hukum rechtstaat, pelanggaran hukum oleh pemerintah

dikenal dengan penyalahgunaan kekuasaan negara (onrechtmatige overheidsdaad) yang

parameternya adalah tindakan pemerintah melawan atau bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan, meskipun tindakan tersebut tidak menimbulkan kerugian terhadap hak

perorangan. Sedangkan di Inggris yang bertumpu pada the rule of law, lebih mengedepankan pada

aspek perlindungan hak dasar warga negara. Lihat dalam Sunaryati Hartono, Apakah The Rule of

Law itu, dalam Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Cetakan Kedua, PT.

Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 14 81

M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Hufron dan Shofyan

Hadi, Ilmu Negara Kontemporer: Telaah Teoritis Asal Mula, Tujuan dan Fungsi Negara, Negara

Hukum dan Negara Demokrasi, Cetakan Pertama, LaksBang Grafika, Yogyakarta, 2016, hlm. 183 82

Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media atas kerja sama

Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, Yogyakarta, 1999, hlm. 129

55

diskriminasi, dalam segala aktivitasnya tunduk pada hukum, sehingga yang

berkuasa penuh di negara tersebut adalah hukum.83

Wirjono Prodjodikoro,84

memaknai negara hukum sebagai suatu negara

yang di dalam wilayahnya, semua penduduk dan semua alat kelengkapan dari

negara, khususnya alat kelengkapan pemerintah dalam tindakannya baik terhadap

warga negara maupun dalam hubungan lainnya tidak boleh sewenang-wenang,

namun harus tunduk dan memperhatikan peraturan-peraturan dan hukum yang

berlaku. Sedangkan Sudargo Gautama, melihat negara hukum bahwa setiap

tindakan negara harus berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan

yang telah diadakan terlebih dahulu, merupakan batas kekuasaan bertindak

negara. Undang-Undang Dasar yang memuat asas-asas hukum dan peraturan-

peraturan hukum harus ditaati, termasuk oleh pemerintah dan badan-badan

pemerintahan.85

Menurut Joeniarto,86

dalam penyelenggaraan negara, tindakan-

tindakan penguasa harus didasarkan pada hukum, bukan didasarkan pada

kekuasaan atau kemauan dari penguasa belaka dengan maksud membatasi

kekuasaan penguasa dan memberikan perlindungan terhadap hak asasi

masyarakat.

83

Hartono Mardjono, Negara Hukum yang Demokratis Sebagai Landasan Membangun

Indonesia Baru, Cetakan Pertama, Yayasan Koridor Pengabdian, Jakarta, 2001, hlm. 7 84

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Cetakan Kedua, Eresco

Jakarta, Bandung, 1981, hlm. 37 85

Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, dalam Yopi Gunawan dan

Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara Hukum Pancasila, Cetakan Pertama,

PT. Refika Aditama, 2015, hlm. 67 86

Joeniarto, Negara Hukum, dalam Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Loc. Cit.

56

D. Mutiara‟s,87

mendefinisikan negara hukum sebagai negara yang

susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang sehingga segala

kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya berdasarkan pada hukum. Daniel S. Lev

memaknai negara hukum dengan sebuah pandangan yang sangat menekankan

pentingnya pemberian jaminan atas hak-hak perseorangan dan pembatasan atas

kekuasaan politik, serta pandangan yang menganggap pengadilan tidak dapat

dikaitkan dengan lembaga lain manapun.88

Setiap ahli mempunyai pandangan yang berbeda tentang makna dan

definisi negara hukum. Hal ini karena negara hukum merupakan produk sejarah

(historische bepaald),89

yang tidak lepas dari ikatan negara, sehingga setiap ahli

mendefinisikannya menyesuaikan dengan zaman dan keadaan ketatanegaraan

pada waktu itu. Pada akhirnya, tidak ada satu definisi tetap dan baku mengenai

negara hukum. Kendatipun demikian, berdasarkan seluruh definisi yang ada

sebagaimana disebutkan di atas, penulis dapat menarik beberapa unsur dari negara

hukum itu, yaitu penyelenggaraan negara berdasarkan atas hukum, pembatasan

kekuasaan, dan adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

Negara hukum sering kali diperlawankan dengan negara kekuasaan

(machstaat) yang cenderung terjebak pada otoritarianisme dan totalitarianisme.

Negara kekuasaan selalu dikonstruksikan sebagai negara yang terbentuk dan

proses menjalankannya didasarkan hanya pada faktor penegakan masyarakat.

87

D. Mutiara‟s, Ilmu Tata Negara Umum, dalam Abdul Mukhtie Fadjar, Sejarah, Elemen,

dan Tipe Negara Hukum, Setara Press, Malang, 2016, hlm. 6 88

Daniel S.Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan,

Cetakan Pertama, LP3ES, Jakarta, 1990, hlm. 393 89

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ketiga,

Gaya Media Pratama, Jakarta, 1995, hlm. 132

57

Tujuan kesejahteraan rakyat hanya bersifat nisbi sehingga tujuan negara bermuara

bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan penguasa itu

sendiri.90

George Orwell melukiskan konsep negara totaliter sebagai berikut,

Penguasa totaliter tidak hanya mau memimpin tanpa gangguan dari bawah,

ia tidak hanya mau memiliki monopoli kekuasaan. Melainkan ia mau

secara aktif menentukan bagaiamana masyarakat hidup atau mati,

bagaimana mereka bangun dan tidur, makan, belajar dan bekerja. Ia juga

mau mengontrol apa yang mereka pikirkan. Dan, siapa yang tidak ikut,

dihancurkan.91

C.J. Friedrich dan Z.K. Brzezinski mencirikan negara totaliter yaitu secara

struktural memiliki sebuah ideologi yang bahkan menyangkut semua bidang yang

wajib dianut oleh semua warga negara, pemusatan kekuasaan dalam satu partai

yang dikemudikan secara sentral, masyarakat ditakut-takuti dengan penghapusan

jaminan hukum, adanya teror dan kesewenang-wenangan dari polisi, monopoli

sarana informasi dan senjata negara, dan sektor ekonomi yang dikendalikan secara

sentral.92

Machiavelli dalam bukunya berjudul The Prince adalah salah satu tokoh

dari gagasan negara kekuasaan ini. Menurutnya, tujuan negara adalah untuk

mencapai ketertiban dan ketenteraman, dan tujuan itu hanya dapat dicapai oleh

pemerintahan seorang raja yang tidak dihalang-halangi oleh apapun.93

Sedangkan

masyarakat dan manusia pada hakikatnya buruk atau jelek, barangkali dengan

menitikberatkan pada egosentrisme yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa

melihat kepentingan orang lain, persis dengan pendapat Thomas Hobbes bahwa

90

Muhammad Junaidi, Ilmu Negara: Sebuah Konstruksi Ideal Negara Hukum, Cetakan

Kedua, Setara Press, Malang, 2016, hlm. 51 91

Hannah Arendt, Asal Usul Totalitarisme dalam Munir Fuady, Teori... Op., Cit., hlm. 37 92

Ibid., hlm. 15 93

Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Op., Cit. hlm. 189

58

manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya (hommo homini lupus).94

Karena itu pemerintahan harus bersikap keras dan menggunakan cara apa saja

untuk mempertahankan diri bahkan kalau dirasa perlu dengan pengingkaran janji-

janji terhadap rakyat.95

The End of Justifies the Mean, bagi Machiavelli, hukum

dan kekuasaan adalah identik. Barang siapa mempunyai kekuasaan, maka ia

mempunyai hukum. Undang-undang hanya kemauan raja yang memegang

kedaulatan absolut.96

Sejalan dengan konsep Machiavelli, adalah Jean Bodin melalui karyanya

Six Livres de la Republiqus. Bahwa negara harus mempunyai kedaulatan, dan

kedaulatan tersebut dipersonifikasikan oleh raja. Ajaran Bodin ini muncul sebagai

respon atas fakta lemahnya negara Perancis akibat banyaknya pertikaian-

pertikaian di dalam negeri, baik antara kaum bangsawan, maupun antara kaum

agamawan. Bodin memandang bahwa perdamaian dan ketertiban yang dapat

menciptakan stabilitas negara akan tercapai ketika pertikaian itu dihapuskan

dengan meletakkan semua kekuasaan pada diri seorang raja.97

Ajaran Machiavelli dan Bodin ini yang kemudian mengilhami Hitler di

Jerman dan Mussollini di Italia. Bagi Hitler, penjajahan dan praktek penguasaan

terhadap negara lain adalah mutlak dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang

benar-benar bersih. Hitler dan Mussollini menjalankan pemerintahan dengan sikap

yang keras, kejam, dan menggunakan cara apa saja untuk mempertahankan

94

Abdul Mukhtie Fadjar, Sejarah... Op., Cit., hlm. 12 95

Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, dalam Muhammad Junaidi, Ilmu Negara... Op.,

Cit., hlm. 52 96

Abdul Mukhtie Fadjar, Sejarah... Op., Cit., hlm. 11 97

Ibid.

59

kekuasaannya.98

Akhirnya, negara dijalankan berdasarkan kekuasaan yang

berkarakter otoriter dan jauh dari semangat negara hukum.

Dalam suatu negara hukum, yang menjadi raja adalah hukum, akan tetapi

dalam suatu negara totaliter, raja adalah hukum, persis dengan kalimat AV. Dicey

yang merujuk pada pengadilan-pengadilan di Inggris, “hukum menduduki tempat

tertinggi, lebih tinggi dari kedudukan raja, terhadapnya raja dan pemerintahannya

harus tunduk, dan tanpa hukum maka tidak ada raja dan tidak ada pula kenyataan

hukum ini”.99

Sebagai lawan dari negara kekuasaan yang cenderung otoriter itu,

sekaligus menjadi titik utama pembedanya, maka prinsip bahkan tujuan negara

hukum menurut Philipus M. Hadjon adalah memberikan tempat yang utama bagi

jaminan perlindungan hak asasi manusia, sedangkan dalam negara yang totaliter,

tidak ada tempat bagi hak asasi manusia.100

Demikian pula pendapat Kusnardi dan

Bintan R. Saragih, bahwa negara hukum adalah suatu negara yang menentukan

cara bagaimana hak asasi manusia dilindungi. Cara lain yang tidak melindungi

hak asasi manusia tidak dapat disebut sebagai negara hukum.101

Disebutkan sebelumnya, bahwa negara hukum merupakan produk sejarah

dengan ikatan kenegaraan. Karena itu, negara hukum mempunyai banyak tipe

98

Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, dalam Muhammad Junaidi, Ilmu Negara... Op.,

Cit., hlm. 52 99

Munir Fuady, Teori... Op., Cit., hlm. 2 100

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi

tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan

Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Cetakan Pertama, PT. Bina Ilmu,

Surabaya, 1987, hlm. 71 101

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 131

60

sesuai dengan waktu dan keadaan suatu negara, sejarah perjalanan sistem

kenegaraan dan sistem demokrasi yang berbeda-beda, tingkat kemajuan dan

kematangan suatu bangsa dalam bernegara dan berdemokrasi, perbedaan bentuk

negara yang menyebabkan pula perbedaan teknis pelaksanaan prinsip-prinsip

negara hukum, perbedaan tingkat kehidupan ekonomi dan kesejahteraan rakyat

suatu negara mengingat pelaksanaan prinsip negara hukum yang juga memerlukan

cost yang sudah tentu akan dibebankan kepada rakyat, perbedaan tingkat

pendidikan masyarakat termasuk pemimpin dan penyelenggara negaranya.102

Apabila negara hukum secara umum dimaknai sebagai genus begrip, maka

sebagai species begripnya setidaknya dalam berbagai literatur terbagi ke dalam 5

(lima) macam, yaitu Nomokrasi Islam, rechtsstaat, rule of law, socialist legality,

dan negara hukum Pancasila.103

Ke depan, bukan tidak mungkin 5 (lima) macam

negara hukum tersebut akan berkembang dan melahirkan jenis negara hukum

lainnya. Namun dalam penelitian ini, uraian akan difokuskan pada kelima tipe

negara tersebut.

Pertama, negara hukum berdasarkan al-Qur‟an dan Sunnah, yang oleh

Muhammad Tahir Azhary dengan mengutip Malcolm H. Kerr,104

diistilahkan

dengan nomorkrasi Islam.105

Istilah ini dipandang relevan untuk membedakan

negara hukum yang dipopulerkan oleh Barat yang berkarakter sekuler termasuk

pemahaman Barat tentang teokrasi, dengan negara hukum dalam konteks Islam.

102

Munir Fuady, Teori... Op., Cit., hlm. 7 103

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 83-84 104

Malcolm H. Kerr, Islamic Reform dalam Ibid. 105

Akar kata nomokrasi adalah Nomos yang bermakna norma, dan Cratos yang bermakna

kekuasaan. Nomokrasi dengan demikian berarti bahwa yang menentukan dalam penyelenggaraan

kekuasaan adalah norma atau hukum. Lihat dalam Fajlurrahman Jurdi, Teori Negara Hukum,

Setara Press, Malang, 2016, hlm. 18

61

Muhammad Tahir Azhary melalui disertasinya telah menganalisis secara spesifik

konsepsi negara hukum dalam konsep hukum Islam berikut juga karakteristiknya.

Menurutnya, negara hukum ditinjau dari aspek hukum Islam merupakan negara

yang mendasarkan pada syari‟at Islam sebagaimana digariskan al-Qur‟an dan

Sunnah. Hukum Islam tidak menentukan secara kaku mengenai bentuk

pemerintahan, namun lebih berfokus pada ketaatan terhadap prinsip umum yang

telah digariskan di dalam al-Qur‟an dan Sunnah. Kebebasan untuk memilih

bentuk pemerintahan sesuai dengan kondisi sosial kemasyarakatan suatu negara

adalah konsekuensi atas hal ini. Negara dengan bentuk pemerintahannya kerajaan,

namun dalam penyelenggaraannya berpegang teguh pada al-Qur‟an dan Sunnah,

maka telah dianggap memenuhi kualifikasi sebagai negara hukum. Sebaliknya,

negara dengan bentuk pemerintahan republik, namun secara faktual menyimpangi

prinsip al-Qur‟an dan Sunnah, maka tidak termasuk tipe negara hukum menurut

Islam.106

Bentuk pemerintahan dan institusi politik di dalamnya, dengan mengutip

pendapat Ibnu Taimiyah, hanyalah sebagai alat untuk menegakkan prinsip

syari‟at.107

Penelitian Muhammad Tahir Azhary tersebut berkesimpulan bahwa negara

hukum dalam perspektif Islam setidaknya mempunyai 9 (sembilan) prinsip, yaitu

kekuasaan sebagai amanah; musyawarah; keadilan; persamaan; pengakuan dan

106

Muhammad Tahir Azhary, Negara... Op., Cit., hlm. 10 107

Ibid., hlm. 12

62

perlindungan terhadap hak asasi manusia; peradilan bebas; perdamaian;

kesejahteraan; dan ketaatan rakyat.108

Kesalahpahaman terhadap nomokrasi Islam ini adalah ketika dipahami

bahwa konsep ini lebih dekat pada “teokrasi”, yaitu kekuasaan berada pada

tuhan.109

Menurut penulis, hal ini cukup wajar mengingat nomokrasi Islam

meletakkan al-Qur‟an dan Sunnah sebagai landasan dasarnya, sedangkan al-

Qur‟an merupakan murni Firman Allah, dan Sunnah merupakan tuntunan

Rasulullah yang merupakan “tindak lanjut” atau pelaksanaan dari al-Qur‟an.

Kesalahpahaman ini telah diklarifikasi oleh Tahir Azhary, bahwa negara hukum

dalam Islam cenderung pada konsep nomokrasi dan bukan teokrasi. Dari

sejarahnya, menurut Tahir Azhary yang mengutip Majid Khadduri, istilah teokrasi

dibuat oleh Flavius Josephus sekitar 37-10 Masehi yang digunakan untuk

memperlihatkan karakteristik dan tipe negara Israel pada permulaan era Kristen.

Ini disetujui oleh J. Welhausen yang kemudian ia gunakan juga sebagai predikat

negara Islam.110

Padahal, melekatkan predikat teokrasi ke dalam karakter negara

Islam adalah tidak cocok dan tidak tepat. Teokrasi lebih cocok dilekatkan kepada

negara yang dipimpin oleh Paus seperti pada abad pertengahan dan Kota Vatikan

yang menjadi suatu “lembaga kekuasaan rohani”.111

Dalam hukum Islam,

persamaan bagi para pemeluknya adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi,

sehingga tidak mungkin ada sekelompok ahli agama yang dapat mengklaim

108

Ibid., hlm. 85-86 109

Ibid. 110

Majid Khadduri, War and Peace dalam Ibid., hlm. 86-87 111

Lembaga kekuasaan rohani dimaknai oleh H.M. Rasjidi sebagai kerajaan Paus di mana

para ahli agama menguasai rakyat jelata, yang dalam konsep Islam hal itu tidak dikenal. Lihat

Rasjidi, “Koreksi Terhadap Nurcholis Madjid tentang Sekularisme” dalam Ibid.

63

bahwa dirinya adalah wakil tuhan dan karenanya harus berkuasa atas masyarakat

dan suatu negara tertentu.112

Kedua, negara hukum dalam makna rechtsstaat, yang ini banyak

diterapkan oleh negara-negara berkarakter Eropa Kontinental yang bertumpu pada

civil law system seperti Belanda dan Jerman. Rechtsstaat diperlawankan dengan

obrigkeitsstaat yang berarti negara didasarkan pada kekuasaan yang sewenang-

wenang. Warga negara dalam konsep rechtsstaat dilekati kebebasan sipil dan

dapat menggunakan mekanisme peradilan untuk mempertahankannya sesuai

dengan hukum.113

Kata “rechtsstaat” menurut Soedirman Kartohadiprojo

sebagaimana dikutip kembali oleh Abdul Mukti Fadjar, pertama kali digunakan

oleh seorang guru besar Jerman Rudolf von Gneist di dalam karyanya das

Engliche Verwaltunngerchte (1857) untuk menggambarkan pemerintahan negara

Inggris.114

B. Arief Sidharta dengan mengacu pada konsep Scheltema, merumuskan

bahwa unsur-unsur negara hukum terdiri dari pertama, pengakuan, penghormatan,

dan perlindungan hak asasi manusia yang berakar dalam penghormatan atas

martabat manusia. Kedua, adanya asas kepastian hukum di dalam masyarakat.

Asas-asas yang berkaitan dengan kepastian hukum ini adalah asas legalitas,

konstitusinalitas, dan supremasi hukum; asas undang-undang menetapkan

berbagai perangkat peraturan tentang cara pemerintah dan pejabatnya melakukan

112

Ibid. 113

A. Ahsin Thohari, Hak Konstitusional Dalam Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit

Erlangga, Jakarta, 2016, hlm. 30 114

Abdul Mukhtie Fadjar, Sejarah... Op., Cit., hlm. 8

64

tindakan pemerintahan; asas non-retroaktif yaitu perundang-undangan sebelum

mengikat, harus terlebih dahulu diundangkan dan diumumkan secara layak; asas

peradilan bebas, impartial, independen, objektif, rasional, adil dan manusiawi;

asas non-liquet yaitu hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan undang-

undang tidak ada atau tidak jelas; hak asasi manusia harus dirumuskan dan

dijamin perlindungannya di dalam Undang-Undang Dasar atau undang-undang.

Ketiga, adanya asas persamaan (similia similibus). Asas ini menghendaki adanya

jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, serta

terseianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga

negara. Keempat, asas demokrasi, yaitu kesempatan yang sama bagi semua rakyat

untuk terlibat dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan

pemerintahan. Kelima, pemerintah mengemban amanat sebagai pelayan

masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan

tujuan negara yang bersangkutan. Dalam hal ini, terkandung asas umum

pemerintahan yang layak, syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang

bermartabat dijamin dan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan,

khususnya dalam konstitusi; pemerintah secara rasional menata setiap

tindakannya, memiliki tujuan yang jelas dan berhasil guna, dan diselenggarakan

secara efektif dan efisien.115

Secara lebih sederhana, menurut M.C. Burkens, ide dasar rechsstaat

didasarkan pada syarat-syarat yang terdiri dari asas legalitas, pembagian

kekuasaan, perlindungan hak-hak dasar, dan pengawasan pengadilan. Asas

115

B. Arief Sidharta, Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum, dalam Hufron dan

Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 197-198

65

legalitas mengandung makna bahwa setiap tindakan pemerintah harus didasarkan

atas peraturan perundang-undangan. Pembagian kekuasaan bermakna bahwa

kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. Pemahaman ini

berangkat dari kekuasaan yang begitu luas akan cenderung sewenang-wenang.

Perlindungan hak-hak dasar merupakan landasan yang membatasai kekuasaan

pembentukan undang-undang, dan pengawasan pengadilan merupakan sarana bagi

rakyat untuk menguji keabsahan tindakan pemerintahan.116

Philipus M. Hadjon membagi konsep negara hukum rechsstaat ini ke

dalam 2 (dua) bagian yaitu konsep klasik yang diistilahkan dengan “klassiek

liberale en democratische rechtsstaat” dan konsep modern yang diistilahkan

dengan “sociale-democratische rechtsstaat”.117

Liberal democratische rechtsstaat, sesuai dengan namanya, model ini

mendasarkan pada prinsip liberal dan demokrasi atau kebebasan dan persamaan

sebagai basis prinsip perlindungan hak asasi manusia. Ciri-cirinya yaitu adanya

undang-undang dasar atau konstitusi tertulis yang menjadi kesepakatan dasar

tentang hubungan penguasa dan rakyat sebagai jaminan kebebasan dan

persamaan; adanya pembagian kekuasaan negara berdasarkan prinsip trias

politica dan check and balances untuk menghindarkan penumpukan kekuasaan

pada satu tangan yang berakibat pada penyalahgunaan kekuasaan; pengakuan dan

perlindungan terhadap hak-hak kebebasan rakyat.118

Sedangkan sociale

rechtsstaat, merupakan perkembangan dari liberal democratische rechtsstaat.

116

H.M. Thalhah, Demokrasi... Op., Cit., hlm. 73 117

Philipus M. Hadjon, Perlindungan... Op., Cit., hlm. 74 118

Ibid., hlm. 76

66

Kebebasan dan persamaan yang semula dalam liberal democratische rechtsstaat

cenderung bersifat formal, dalam konsep sociale rechtsstaat ditafsirkan riil dalam

kehidupan masyarakat, bahwa tidak ada persamaan mutlak antara individu yang

satu dengan yang lain.119

Kepentingan umum sebagai asas hukum publik tidak

lagi diartikan sebagai kepentingan negara sebagai kekuasaan yang menjaga

ketertiban atau kepentingan kaum borjuis, namun kepentingan seluruh rakyat.

Watak undang-undang bertransformasi dari “ratio scripta” menjadi alat hukum

untuk mewujudkan kebijaksanaan.120

Ketiga, negara hukum dalam makna the rule of law, yang banyak

diterapkan di negara Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang

bertumpu pada common law system. Dilihat dari sejarahnya, the rule of law lahir

di Inggris yang dipelopori oleh A.V. Dicey dengan mendasarkan pada 3 (tiga)

tolok ukur, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), persamaan di hadapan

hukum (equality before the law), dan konstitusi yang didasarkan pada hak-hak

perseorangan (the constitution based on individual rights).121

Secara lengkap,

A.V. Dicey mengatakan,

That the rule of law, then wich forms a fundamental principle of the

constitution, has three meanings, or may be regarded from three different

points of view. It means, in the first place, the absolute supremacy or

predominance of regular law; it means, again, equality before the law, or

the equal subjection of all classes to the ordinary law of the land

administered by the orinary law courts; the rule of law, lastly, may be

used as a formula for expressing the fact that with us the law of the

constitution, the rule which in foreign countries naturally form part of

119

Ibid., hlm. 77 120

Ibid, hlm. 78 121

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 90

67

constitutioned code, are not the source but the consequence of the rights of

individuals, as defined and enforced by the courts.122

Berdasarkan pendapat Philipus M. Hadjon,123

dengan berkorelasi pada

kalimat di atas, maka Dicey mengetengahkan 3 (tiga) arti dari the rule of law,

yaitu pertama, supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk

menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-

wenangan, prerogratif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah;

kedua, persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua

golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court,

yang ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, tidak ada

peradilan administrasi negara; ketiga, konstitusi merupakan hasil dari the ordinary

law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan

konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh

peradilan.

Secara substansi, negara hukum dalam konsepsi the rule of law ini

memang tidak menegasikan substansi dari rechtsstaat, bahkan dapat dikatakan

tujuan utamanya adalah sama yaitu melindungi hak-hak dasar warga negara,

memberikan batasan-batasan secara konstitusional terhadap penguasa sehingga

tidak cenderung otoriter yang dapat melanggar hak-hak warga negara dan

menyebabkan tidak terpenuhinya unsur kedilan masyarakat, serta membatasi

pelaksanaan hak dan kebebasan masyarakat yang terlalu liberal untuk menemukan

122

A.V. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Tenth Edition,

English Language Book Society and MacMillan, London, 1959, hlm. 202-203 123

Philipus M. Hadjon, Perlindungan... Op., Cit., hlm. 80

68

unsur ketertiban dan menghindari adanya unsur anarki.124

Dalam bahasa Philipus

M. Hadjon,125

sulitlah saat ini untuk menarik perbedaan yang hakiki dari prinsip

rule of law dan rechtsstaat.

The rule of law dan rechtsstaat hanya mempunyai perbedaan karakteristik

tertentu saja, misalnya latar belakang lahirnya serta aspek operasionalnya. Bila

rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan melawan absolutisme sehingga sifatnya

adalah revolusioner, konsep rule of law berkembang secara evolusioner sehingga

negara hukum diorientasikan untuk tujuan peradilan yang adil.126

Ini kemudian

juga berpengaruh pada aspek operasional keduanya yang berbeda.

Rechtsstaat menjadikan peradilan administrasi sebagai sarana yang

penting sehingga disebut sebagai karakter utamanya, sedangkan the rule of law

tidak terlalu mengedepankan peradilan administrasi karena kepercayaan

masyarakat yang sudah sedemikian tinggi terhadap peradilan umum, sehingga

peradilan umum telah dianggap cukup untuk mengadili semua perkara.127

Singkatnya, rechtsstaat bertumpu pada administratief, sedangkan the rule of law

bertumpu pada judicial. A.W. Bradley menjelaskan, pengadilan dalam tradisi rule

of law mempunyai peran paling penting karena penafsiran-penafsirannya terhadap

124

Munir Fuady, Teori... Op., Cit., hlm. 17 125

Philipus M. Hadjon, Perlindungan... Op., Cit., hlm. 83 126

Muntoha, Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Cetakan Pertama,

Kaukaba Dipantara, Yogyakarta, 2013, hlm. 9 127

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 90

69

peraturan perundang-undangan akan sangat menentukan bagi keputusan-

keputusan yang akan diambil oleh negara.128

Rechtsstaat tidak memberikan kebebasan kepada hakim untuk

merumuskan hukum, sedangkan the rule of law memberikan kebebasan kepada

hakim untuk memutuskan perkara dalam menciptakan keadilan.129

Akibatnya,

dalam tradisi rechtstaat ketika hakim memutus perkara yang menyimpang dari

ketentuan peraturan perundang-undangan, maka hakim akan dianggap melawan

undang-undang, dan menyimpangi prinsip pemisahan kekuasaan karena telah

mengintervensi kewenangan legislatif sebagai pembentuk undang-undang.

Bahkan dalam titik tertentu, hakim yang terlalu melakukan improvisasi melalui

putusannya dapat dituduh telah melakukan kesewenang-wenangan. Berbeda

dengan the rule of law, yang bahkan ketika ada perbedaan antara undang-undang

dan putusan hakim, maka putusan hakim inilah yang diutamakan untuk digunakan

sebagai dasar hukum. Artinya, dalam tradisi the rule of law, peran lembaga

peradilan mempunyai proporsi yang lebih besar.

Keempat, socialist legality yang umumnya diterapkan oleh negara-negara

komunis/sosialis. Karakteristik utamanya adalah adanya propaganda anti agama

dengan doktrin bahwa agama adalah candu bagi rakyat. Paham negara hukum

sosialis tampak berbeda dengan paham negara hukum barat sebagaimana rule of

law atau rechtsstaat. Hukum harus ditempatkan di bawah sosialisme, hak

128

A.W. Bradley “The Sovereignty of Parliament” dalam Jeffrey Jowell dan Dawn

Oliver, The Changing Constitution, dalam A. Ahsin Thohari, Hak Konstitusional... Op., Cit., hlm.

33 129

Moh. Mahfud MD, disampaikan dalam Serial Diskusi Akademik 80 Tahun Bagir

Manan dengan judul ”Peran Putusan Hakim Dalam Pembentukan Hukum Nasional”, 26 Agustus

2021

70

perseorangan dapat disalurkan kepada prinsip sosialisme bahkan meskipun hak

tersebut patut mendapatkan perlindungan.130

Hal ini karena sosialisme menuntut

terbentuknya masyarakat yang didasarkan pada kemerdekaan bagi semua orang

melalui solidaritas dan pengorganisasian sosial,131

yang dalam sejarahnya,

sosialisme memang lahir sebagai kumpulan pemikiran yang menentang

individualisme, untuk kemudian mengedepankan perkara-perkara sosial.132

Socialist legality biasanya mendasarkan pada paham marxist-leninist yang

mengagungkan ekonomi dalam hubungan kemasyarakatan, dengan mengambil

kekuatan mengikat dari politik dan hukum.133

Tradisi negara hukum sosialis

bukan mengutamakan pada peran peraturan perundang-undangan dan

yurisprudensi, namun mengutamakan dasar kebijaksanaan ekonomi dan sosial.

Hukum hanya menjadi instrumen kebijaksanaan dalam bidang ekonomi atau

sosial.134

Karl Marx adalah salah satu tokoh utama dari konsep negara hukum ini,

yang mengatakan bahwa negara merupakan manifestasi dari pertentangan kelas

antara borjuis dan proletar. Negara merupakan puncak kemenangan kaum proletar

atas kaum borjuis. Setelah negara terbentuk, maka yang berkuasa adalah

130

Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum dalam Muhammad Tahir Azhary,

Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 91 131

Thomas Meyer, Sosial-Demokrasi Dalam Teori dan Praktek (Pengalaman Kaum

Sosial-Demokrat Jerman), terjemahan oleh Imam Yudotomo, Center for Social-Democratic

Studies, Yogyakarta, 2003, hlm. 12 132

Anthony Giddens, The Third Way: The Renewal of Social Democracy, terjemahan

oleh Ketut Arya Mahardika, Cetakan Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 3 133

Fajlurrahman Jurdi, Teori... Op., Cit., hlm. 61 134

Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, dalam Ibid.

71

sekelompok kaum proletar yang membawa masyarakat ke arah kehidupan

sosialis-komunis.135

Menurut pendapat penulis, terlepas dari implementasi konsep negara

hukum yang menyesuaikan dengan kondisi dan tipologi masyarakat suatu negara,

konsepsi negara hukum dalam jenis socialist legality ini justru mereduksi prinsip

dasar negara hukum yang banyak berlaku di berbagai negara. Negara yang

dijalankan (dikuasai) oleh elite terlalu mempunyai ruang yang luas dan kendali

negara yang terlalu besar terhadap kehidupan masyarakat, sehingga kebebasan

dan hak asasi manusia justru rawan tereduksi. Tidak heran bila konsep ini

memunculkan banyak kritik termasuk oleh tokoh sosialis-komunis sendiri.

Milovan Djilas misalnya yang mengecam bahwa komunisme yang mendasarkan

pada negara socialist legality tidak lain merupakan alat bagi penguasa untuk

mengeksploitasi dan mendominasi rakyat.136

Max Weber dengan teori

birokrasinya juga menyoroti sosialisme yang sebenarnya merupakan perluasan

otoritas birokrasi ke seluruh rakyat, yang mengakibatkan “kediktatoran birokrat”

dan bukannya kekuasaan kelas buruh.137

Kelima, negara hukum Pancasila. Negara hukum Pancasila ini dalam

banyak literatur, dimunculkan secara tersendiri sebagai jenis negara hukum untuk

menunjukkan jenis negara hukum khas Indonesia. Konsep negara hukum

Indonesia tidak bisa ditentukan secara baku dan tetap berdasarkan salah satu dari

135

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cetakan

Kedua, Prenadamedia Group, Jakarta, 2016, hlm. 233 136

William Ebenstein, Today‟s Isms, dalam Ibid. 137

Seymour Martin Lipset, Political Man: Basis Sosial tentang Politik, terjemahan oleh

Endi Haryono, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 12

72

4 (empat) kriteria jenis negara hukum sebelumnya, namun beberapa unsur dari

beberapa tipe negara hukum di atas, dapat dilihat adanya persamaan dengan

konsep negara hukum Pancasila. Philipus M. Hadjon menyebut, ciri-ciri negara

hukum Pancasila yaitu adanya keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat

berdasarkan asas kerukunan; hubungan fungsional yang proporsional antar

kekuasaan negara; prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan

peradilan sebagai sarana paling akhir; dan keseimbangan antara hak dan

kewajiban.138

Tidak bisa dibenarkan apabila dikatakan bahwa Indonesia merupakan

negara agama dalam artian bahwa penyelenggaraan negara mendasarkan pada

ajaran atau syariat agama tertentu seperti halnya konsepsi teokrasi atau nomokrasi

Islam. Namun ini juga bukan berarti bahwa Indonesia berpaham sekular yang

memisahkan secara tegas antara agama dan negara. Faktanya, tidak sedikit ajaran

dan syariat agama yang justru menjadi sumber hukum positif di Indonesia.

Singkatnya, baik paradigma teokrasi maupun sekularisme, tidak cukup memadai

untuk memahami fenomena konsep negara hukum Indonesia. Relasi agama dan

negara diidealkan untuk sinergis, komplementer, dan saling mengisi tanpa ada

kemenangan atau kekalahan pada masing-masing pihak.139

Karena itu, negara

hukum Indonesia harus diberikan nama sendiri di samping beberapa tipe negara

hukum di atas.

138

Philipus M. Hadjon, Perlindungan... Op., Cit., hlm. 90 139

Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik & Hukum Islam: Reposisi Peradilan Agama

dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, Cetakan Pertama,

Pustaka Pelajar atas kerjasama dengan Pascasarjana IAIN Walisongo, Yogyakarta, 2006, hlm. 34

73

Negara hukum Indonesia yang mendasarkan pada Pancasila, dengan

demikian berpaham ketuhanan yang maha esa sebagaimana disebut dalam Sila

Pertama Pancasila. Bunyi sila pertama dengan konsekuensi monoteisme tersebut

merupakan dasar kerohanian dan dasar moral bangsa Indonesia yang sekaligus

menunjukkan adanya persamaan dengan prinsip Nomokrasi Islam yang berdasar

al-Qur‟an dan Hadist.140

Hal ini berarti juga bahwa yang hanya dapat dipastikan

dari keempat jenis negara hukum sebelumnya yaitu bahwa Indonesia tidak

termasuk golongan socialist legality. Oemar Seno Adji berpendapat bahwa

Indonesia memang benar memberikan jaminan kebebasan beragama, namun hal

ini harus dimaknai secara positif, sehingga tidak untuk dimaknai sebagai

kebolehan untuk paham ateisme atau propaganda anti agama di Indonesia.

Berbeda dengan Amerika Serikat yang memaknai kebebasan beragama termasuk

dalam makna ateisme, atau Uni Soviet (sebelum bubar) yang memaknai

kebebasan beragama dengan memberikan jaminan konstitusional terhadap

propaganda anti agama.141

Memang, Penjelasan UUD NRI 1945 menyebutkan secara eksplisit

klausul “rechtsstaat”,142

namun menurut Tahir Azhary hal itu bukan bermakna

merujuk pada konsepsi sebagaimana negara hukum Barat yang tergolong ke

dalam Eropa Kontinental, melainkan negara hukum dalam konteks Indonesia

dengan bercirikan ada hubungan yang erat antara agama dan negara (bukan negara

sekuler yang secara tegas memisahkan agama dan negara); bertumpu pada spirit

140

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 98 141

Ibid., hlm. 93-94 142

Penjelasan UUD 1945 menyebutkan, “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum

(Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat)”

74

berketuhanan yang maha esa; kebebasan beragama dalam makna yang positif

dengan tetap melarang ateisme dan komunisme; adanya asas kekeluargaan dan

kerukunan.143

Menurut pendapat penulis, klausul rechtsstaat yang ada di dalam

Penjelasan UUD 1945 memang tidak bisa hanya dimaknai bahwa negara hukum

Indonesia berpaham sebagaimana negara negara-negara Eropa Kontinental seperti

Barat, namun klausul tersebut harus dimaknai sebagai penggunaan bahasa asing

(Belanda) yang hendak memperlawankan dengan negara kekuasaan yang dalam

Bahasa Belanda populer dengan machtsstaat. Bagaimanapun, rechtsstaat

(Belanda) dan the rule of law (Inggris) apabila dimaknai dalam Bahasa Indonesia,

sama-sama akan berarti negara hukum. Pilihan mendasarkan pada Bahasa Belanda

tidak terlepas dari aspek historis penjajahan bangsa Indonesia dan proses

perumusan UUD 1945 yang para perumusnya lebih sering dan lebih familiar

dengan klausul tersebut. Bahkan Supomo sebagai arsitektur utama konstitusi,

lebih banyak menggunakan Bahasa Belanda, yang barangkali tidak terlepas dari

latar belakang pendidikannya yang juga ditempuh di Belanda. Pidato pertama

Supomo yang menjelaskan tentang rancangan Undang-Undang Dasar 1945

kiranya dapat menjadi rujukan atas hal ini.

“Kita harus memakai istilah-istilah hukum, juga untuk mengembangkan

bahasa Indonesia. Di Jakarta ada suatu panitia bernama “Hooten Seibi

Iinkai” untuk menetapkan istilah-istilah hukum. Anggota-anggota Panitia

itu diangat oleh P.Y.M. Gunseikan dan saya sendiri menjadi ketua panitia

itu. Maka atas anjuran panitia ini istilah “hukum” itu dipakai sebagai

salinan dari istilah “recht” dalam bahasa Belanda. Artinya hukum itu bisa

tertulis atau tidak tertulis. Jadi segala “recht” yang tertulis dan yang tidak

143

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 97-98

75

tertulis dapat disalin dengan perkataan “hukum” akan tetapi “Undang-

Undang” itu justru hukum yang tertulis”.144

Pidato tersebut menunjukkan bahwa Supomo tidak menggunakan kata

“law” sebagaimana dalam bahasa Inggris untuk mengistilahkan “hukum”, namun

menggunakan kata “recht” yang berasal dari bahasa Belanda.

Dalam kesimpulannya pidato Supomo menegaskan bahwa sistem

pemerintahan yang hendak ditegaskan di dalam rancangan UUD adalah supremasi

hukum. “Aliran pikiran yang meliputi rancangan Undang-Undang Dasar ini

menghendaki supremasi dari hukum, artinya menghendaki negara yang berdasar

atas hukum (Recht), menghendaki satu Rechtsstaat, bukan satu negara yang

berdasar atas kekuasaan (Machtsstaat)”.145

Sedangkan kita ketahui, bahwa

Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi klausul eksplisit

“rechtsstaat” itu dirumuskan oleh Supomo yang kemudian diresmikan menjadi

hukum positif sebagai bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945 oleh Soekarno

melalui dekrit presiden. Uraian di atas dengan demikian menunjukkan bahwa

rechtsstaat dalam penjelasan UUD 1945 merupakan genus begrip yang dapat

diterjemahkan dengan istilah negara hukum dalam Bahasa Indonesia, sedangkan

sepcies begrip-nya adalah Negara Hukum Pancasila.146

Penulis sependapat, bahwa negara hukum Pancasila yang menjadi

karakteristik Indonesia ini merupakan menifestasi dari negara hukum prismatik

144

Saafroedin Bahar, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei

1945-22 Agustus 1945, Edisi Ketiga, Cetakan Pertama, Sekretariat Negara Republik Indonesia,

Jakarta, 1995, hlm. 264 145

Ibid., hlm. 274 146

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 99

76

seperti yang dikonstruksikan oleh Moh. Mahfud MD.147

Konsep prismatik yang

digunakan oleh Mahfud MD ini merujuk pada konsep Fred W. Riggs ketika

mengidentifikasi pilihan kombinatif atas nilai sosial patembayan seperti yang

dikemukakan oleh Hoogvelt.148

Dengan pendekatan sosiologi, Hoogvelt

memandang bahwa ada 2 (dua) nilai sosial yang hidup di masyarakat, yaitu nilai

sosial paguyuban dengan menekankan kepentingan bersama, dan nilai sosial

patembayan yang mengedepankan kepentingan dan kebebasan individu.149

Respon Riggs terhadap konsep Hoogvelt yang menawarkan satu nilai sebagai

jalan tengah yaitu nilai sosial prismatik yang meletakkan dua kelompok nilai oleh

Hoogvelt di atas sebagai landasan untuk membangun hukum yang penjabarannya

dapat disesuaikan dengan tahap perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang

bersangkutan.150

Negara hukum prismatik yang berbeda dengan karakteristik

setiap tipe negara hukum sebagaimana diuraikan sebelumnya, namun tetap

mengadopsi dari setiap unsur yang relevan itulah yang menjadi karakteristik

negara hukum Pancasila.

Mahfud MD menegaskan bawah nilai kepentingan yang menjadi dasar

politik hukum Indonesia, tidak secara ekstrim dan fanatik terhadap aliran

individualisme, juga tidak secara ekstrim berpaham kolektivisme yang sama

sekali menolak individualisme. Namun mengambil nilai dan sisi baik dari kedua

aliran tersebut yaitu dengan pengakuan terhadap kebebasan individu sebagai

147

Moh. Mahfud MD, Membangun... Op., Cit., hlm. 23 148

Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic

Society, dalam Ibid. 149

Ankie M. Hoogvelt, Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, dalam Ibid. 150

Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic

Society, dalam Ibid.

77

bagian dari hak asasi, namun juga meletakkan kepentingan bersama di atas

kepentingan pribadi.151

Demikian pula terhadap bentuk negara hukum, Indonesia

tidak secara letterlijk berpaham rechtsstaat dengan kepastian hukum dan semua

karakteristiknya seperti yang telah dijelaskan di atas, ataupun secara kaku terpaku

pada the rule of law yang mengedepankan peradilan sebagai karakternya.

Indonesia tidak terpaku pada salah satunya, namun memasukkan unsur baik dari

keduanya. Prinsip dan nilai baik dalam rechtsstaat dipadukan dengan karakter

baik dalam the rule of law, sekurang-kurangnya yaitu kepastian hukum yang

berpadu dengan keadilan.152

Bahkan karakter nomokrasi Islam sekalipun, juga

diterapkan di Indonesia dengan mengakui dan menghormati eksistensi ajaran

agama Islam, sekaligus mengadopsi dasar-dasar syariat Islam dalam

penyelenggaraan negara.

Berdasarkan uraian di atas, penulis setuju dengan pendapat Muhammad

Tahir Azhary bahwa negara hukum Indonesia sangat berbeda dengan konsep

socialist legality, namun penulis tidak setuju dengan pendapatnya bahwa

Indonesia tidak identik dengan sistem hukum Eropa Kontinental yang bertumpu

pada rechtsstaat dan sistem hukum pada negara-negara Anglo Saxon yang

bertumpu pada the rule of law.153

Karakteristik rechtsstaat, the rule of law, dan

nomokrasi Islam, dapat ditemui dalam bangunan negara hukum Indonesia, yaitu

negara hukum Pancasila.

151

Ibid., hlm. 24 152

Ibid., hlm. 26 153

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 99

78

Dilihat dari sejarahnya, konsepsi negara hukum sebenarnya secara gagasan

muncul sejak masa Yunani Kuno. Plato pada masa 427 Sebelum Masehi sampai

dengan 347 Sebelum Masehi yang merupakan murid Socrates; dan Aristoteles

yang lahir pada tahun 384 Sebelum Masehi, merupakan tokoh penting dalam

sejarah pemikiran negara hukum, yang karya-karyanya (termasuk dalam hal ini

mengenai negara hukum) sampai saat ini masih menjadi rujukan dalam banyak

literatur.

Pandangan Plato mengenai negara hukum setidaknya dapat dilihat dari 3

(tiga) karyanya, yaitu Politeia (The Republic), Politicos (The Stateman), dan

Nomoi (The Law). Politeia berisi tentang keprihatinan Plato melihat negaranya,

seorang yang serakah dan haus akan harta, sewenang-wenang dan tidak

memerhatikan kepentingan rakyat. Keadaan itu menurut Plato sangat jauh dari

cita-cita dibentuknya negara, yaitu yang memberikan perlindungan, kesejahteraan,

dan keadilan bagi warga negaranya. Berangkat dari ini kemudian Plato menggagas

bahwa negara haruslah dipimpin oleh seorang filsuf karena ia adalah seorang yang

arif, bijaksana, menghargai kesusilaan, berpengetahuan tinggi, sehingga

mengetahui kebaikan yang harus diperjuangan dan keburukan yang harus

dihindarkan.154

Melalui karyanya, Plato menjelaskan bahwa negara yang ideal adalah

negara yang dipimpin oleh seorang raja yang merupakan filsuf yang cerdas.

Hukum digunakan oleh raja untuk mengatur masyarakat yang dipimpinnya.

154

Azhary, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-

Unsurnya, Cetakan Pertama, UI-Press, Jakarta, 1995, hlm. 19

79

Sebaliknya, raja tidak perlu tunduk pada hukum, karena seorang filsuf adalah

orang yang bermoral dan bijaksana sehingga dapat mengendalikan dirinya untuk

menciptakan negara yang ideal. Menurut Plato, negara yang dipimpin oleh filsuf

akan lebih baik dan adil karena seorang filsuf adalah manusia suci yang tidak akan

terjerumus pada kejahatan.155

Penulis sepenuhnya setuju bahwa negara akan ideal apabila dipimpin oleh

seorang filsuf yang bijaksana, suci, dan cerdas. Hanya saja, untuk mendapatkan

seorang raja atau pemimpin negara yang demikian, tentu bukan perkara mudah.

Merupakan sifat alamiah manusia, bahwa di samping kebaikannya, juga terdapat

sisi keburukannya. Karena itu, gagasan Plato di atas, memang terkesan utopis dan

sulit untuk diwujudkan. Terlebih, gagasan awal Plato tersebut meletakkan posisi

raja di atas hukum.

Kesadaran Plato mengenai gagasannya yang terlalu utopis itu, maka

melalui karyanya yang lain yaitu Politeia, Plato mulai memberikan gagasan yang

lebih logis dan realistis meskipun tidak sepenuhnya meninggalkan gagasan

sebelumnya. Gagasannya agar negara dipimpin oleh seorang filsuf tetap

dipertahankan, namun hukum diletakkan sebagai instrumen penting untuk

mengurangi kejahatan. Hukum dibuat oleh pemimpin atau raja sesuai dengan

kebutuhan. Menurut Plato, hukum dibuat bukan semata-mata untuk menciptakan

ketertiban saja, namun juga sebagai obat untuk menyembuhkan kejahatan

manusia.156

Melalui Politeia ini, Plato memang sudah menjadikan hukum sebagai

155

Fajlurrahman Jurdi, Teori... Op., Cit., hlm. 4 156

J.H. Rapar, Filsafat Politik, dalam Ibid., hlm. 5

80

instrumen penyelenggaraan negara, namun otoritas pembuat hukum masih

diberikan kepada raja. Hukum dibentuk oleh raja untuk diberlakukan kepada

rakyatnya. Artinya, kekuasaan dalam kerangka ini masih berada di atas hukum.

Gagasan Plato tentang negara hukum baru muncul secara tegas di dalam karya

selanjutnya yaitu Nomoi. Menurutnya, penyelenggaraan negara yang baik adalah

yang didasarkan pada hukum yang baik.157

Gagasan Plato dilanjutkan oleh Aristoteles sebagai murid Plato melalui

karyanya Politica yang baru ditemukan pada tahun 1891.158

Menurut Aristoteles,

yang memerintah dalam negara bukan manusia, akan tetapi pikiran yang adil dan

kesusilaan yang menentukan baik dan buruknya suatu hukum, sedangkan

penguasa sebenarnya hanya memegang hukum dan keseimbangan saja.159

Suatu

negara yang baik adalah negara yang diperintah oleh konstitusi dan berkedauatan

hukum.160

“Aturan yang konstitusional dalam negara berkaitan secara erat, juga

dengan pertanyaan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia atau

hukum terbaik, selama suatu pemerintahan menurut hukum, oleh sebab itu

supremasi hukum diterima oleh Aristoteles sebagai tanda negara yang baik

dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tak selayaknya”.161

Aristoteles menggagas ada 3 (tiga) bentuk negara yang dianggap baik

dalam penyelenggaraan negara, yaitu monarki, aristokrasi, dan politeia. Monarki

157

Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 20 158

Ibid. 159

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

Cetakan Ketujuh, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,

1988, hlm. 153 160

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan Keempat Belas,

Rajawali Pers, Jakarta, 2018, hlm. 2 161

George Sabine, A History of Political Theory dalam Azhary, Negara... Op., Cit., hlm.

20

81

adalah bentuk yang baik sepanjang dipimpin oleh seorang raja yang bijaksana dan

mempunyai keunggulan melebih semua orang. Hanya saja, tentu sangat sulit

menemukan sosok raja yang demikian.162

Karena itu, Aristoteles berpendapat

bahwa aristokrasi adalah bentuk yang lebih baik, yaitu dengan menyerahkan

pemerintahan kepada segelintir orang aristokrat. Namun hal itu juga sulit untuk

ditemui, sehingga Aristoteles berpendapat bahwa politeia adalah pilihan yang

lebih baik dibandingkan monarki dan aristokrasi. Politeia yang dimaksud

Aristoteles adalah penyelenggaraan negara dengan mendasarkan pada kebebasan

dan persamaan setiap warga negara, serta kekuasaan harus dijalankan secara

bergantian berdasarkan undang-undang. Apabila pemerintahan tidak atas dasar

kuasa undang-undang, maka tidak akan ada konstitusi, sehingga dengan demikian

bukan merupakan politeia.163

Adapun pemerintahan yang berdasarkan konstitusi, menurut Aristoteles,

harus memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu,164

pertama, pemerintahan dilaksanakan

untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum

yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat

secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga,

pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan kehendak rakyat, bukan paksaan

dan tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik.

Beranjak pada masa Romawi Kuno, adalah Cicero yang meneguhkan

konsep negara hukum melalui karyanya berjudul de Legibus. Menurutnya,

162

A. Ahsin Thohari, Hak Konstitusional... Op., Cit., hlm. 21 163

Ibid. 164

Ridwan HR, Hukum Administrasi... Op., Cit., hlm. 2

82

hukumlah yang memerintah, bukan individu atau orang yang kebetulan menjadi

pejabat pemerintah (magistrate). Pejabat pemerintah menurut Cicero berfungsi

untuk memberikan perintah dengan adil sesuai dengan hukum. Dengan demikian,

hukumlah yang memerintah magistrate, dan magistrate yang kemudian

memerintah rakyat.165

Cicero meyakini bahwa negara yang berdasarkan hukumlah

yang akan menjamin kehidupan bebas manusia. “Omnes legume servi sumus ut

liberi esse possimus” (Kita semua harus tunduk kepada hukum jika kita tetap

ingin hidup bebas).166

Negara hukum mendapatkan momentum untuk diadopsi dan diusahakan

untuk diwujudkan secara nyata sebagai dasar penyelenggaraan negara Barat

dimulai sejak abad ke 17 Masehi sebagai bentuk perlawanan terhadap

absolutisme. Raja dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya tanpa ada yang

bisa melarang dan membatasi. Raja Louis bahkan menganggap bahwa negara

adalah miliknya dengan ungkapan “Le etat est moi” (negara adalah saya).167

Absolutisme raja tersebut ironisnya didukung oleh gereja yang turut menikmati

kemewahan dari raja.168

Selain gereja, raja juga memberikan ruang yang begitu

besar bagi kaum borjuis untuk turut memanfaatkan kekuasaan raja. Hal ini karena

raja yang membutuhkan bantuan dana kepada kaum borjuis terutama untuk

membiayai peperangan. Sebagai imbalannya, kaum borjuis dapat mengatur negara

sesuai kepentingannya melalui konspirasi dengan raja. Kesewenang-wenangan

165

A. Ahsin Thohari, Hak Konstitusional... Op., Cit., hlm. 22 166

Munir Fuady, Teori Negara... Op., Cit., hlm. 1 167

Victor Situmorang, Intisari Ilmu Negara, Cetakan Pertama, Bina Aksara, Jakarta,

1987, hlm. 79 168

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah... Op., Cit., hlm. 231

83

raja yang didukung oleh gereja tersebut menimbulkan respon penolakan yang

masif dari para pemikir barat dan rakyat umum, sehingga terjadilah peristiwa yang

dikenal dengan Revolusi Perancis pada 4 Juli 1789. Raja berhasil diturunkan dari

posisinya dan bahkan dihukum mati, agama dan politik kemudian dipisahkan

sama sekali,169

sebagai ekspresi traumatik rakyat terhadap persekongkolan gereja

dan raja.

Tokoh yang terkenal dalam periode ini adalah Rousseau dan John

Locke.170

John Locke dengan teori perjanjian masyarakat atau kontrak sosial

melalui karyanya Treaties of Civil Government menolak kekuasaan penguasa

yang absolut. Kekuasaan penguasa adalah terbatas karena dalam mengadakan

perjanjian dengan seseorang atau sekelompok orang, individu-individu tidak

menyerahkan seluruh hak alamiah mereka. Penguasa yang diberikan tugas dalam

ikatan kenegaraan melalui perjanjian masyarakat harus menghormati hak-hak

tersebut.171

Jadi inti dari teori kontrak sosial adalah usaha untuk mendobrak

pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat, yang mencakup hak

atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty, and

property).172

Tujuan negara tidak lain daripada menjamin hak-hak pribadi setiap

orang, sehingga negara harus menjaga hak-hak warga negara. John Locke

menyebut bahwa hak warga negara lebih kuat daripada negara karena negara tidak

mempunyai kekuasaan untuk mencabut hak-hak manusia. Hak itu bersifat

alamiah, sedangkan hak penguasa dalam negara timbul akibat suatu persetujuan

169

Ibid, hlm. 231. 170

Victor Situmorang, Intisari... Op., Cit., hlm. 80 171

Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu... Op., Cit., hlm. 191 172

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar... Op., Cit., hlm. 111

84

sosial antara warga negara, sehingga tidak mungkin seorang raja sebagai kepala

negara memiliki suatu kekuasaan pribadi atas milik seorang warga negara, seperti

dimiliki oleh pribadi sendiri.173

Asal mula pemikiran John Lock ini adalah komentar terhadap pendapat

Robert Filmer yang dituangkan di dalam karyanya berjudul Observation on

Aristotle‟s Politics, bahwa kebebasan alamiah manusia tidak dapat dibenarkan

tanpa menyangkal penciptaan adam.174

Sebagai nenek moyang manusia, Adam

juga hanya merupakan ciptaan tuhan yang dianggap maha kuasa, sehingga

keturunannya pun, secara alamiah juga dianggap tidak bebas. Menurut Filmer,

raja seperti Adam menerima wewenangnya langsung dari tuhan sehingga tidak

bertanggungjawab terhadap masyarakat atau parlemen.175

Filmer juga

menegaskan bahwa tuntutan manusia terhadap kebebasan hanya akan

menyebabkan penderitaan sepanjang masa. Kejatuhan Adam dari firdaus

disebabkan karena kehendaknya akan kebebasan untuk berbuat sesuai dengan

kehendak hatinya, sehingga menjadi berakibat pada penderitaan karena

penghukuman atas dosa Adam. Kejatuhan Adam ini yang oleh Filmer

disimbolisasikan bahwa tuntutan akan kebebasan berakibat pada penderitaan,

yang apabila tuntutan tersebut masih terus dilanjutkan oleh anak cucunya, maka

penderitaan juga akan ditimpakan kepada mereka.176

Ujung dari pendapat Filmer

173

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Cetakan Ketiga, Kanisius,

Yogyakarta, 1986, hlm. 82 174

John Locke, Two Treaties of Government, dalam A. Ahsin Thohari, Hak

Konstitusional... Op., Cit., hlm. 27 175

Ibid. 176

Ibid.

85

ini yaitu bahwa kekuasaan raja adalah monarki absolut dan bukan merupakan

pemberian dari rakyat.

John Locke menolak konsep Filmer melalui karyanya yang disebutkan di

atas. Menurutnya, doktrin politik kekuasaan Filmer yang dibangun berdasarkan

teks-teks kitab suci itu ironis dan justru bertolak belakang dengan maksud dan

hakikat dari teks kitab suci yang sesungguhnya.177

John Locke dengan konsep

perjanjian masyarakatnya yang sekuler itu menyatakan, bahwa kitab suci tidak

membenarkan kekuasaan tirani dan turun temurun yang berakibat pada

kesewenang-wenangan raja dan merugikan masyarakat. Letak kesalahan konsep

Filmer menurut Locke adalah menyetarakan posisi tiran dengan posisi pengeran

sejati. Maka John Locke membangun paradigma bahwa kekuasaan raja hadir atas

dasar perjanjian masyarakat, dihadirkan untuk melindungi hak-hak rakyat yang

setara, dan karenanya tidak abosolut.178

Hari Chand sebagaimana dikutip kembali oleh Ahsin Thohari

menjelaskan, secara singkat unsur penting pemikiran John Lock dapat

disimpulkan sebagai berikut:179

(1) equality of man. All people are equal and hence no one has any right

to injure another in life, health, liberty or possession;

(2) Self-preservation and preservation of other is in accordance with the

law of nature;

(3) People should be restrained from injuring others;

(4) Nobody has an absolute arbitrary power over himself or over any

other to destroy his own life or take away the life or property of

another;

177

Ibid. 178

Ibid. 179

Hari Chand, Modern Jurisprudence, dalam Ibid.

86

(5) The ruler has no right to remain in power if he fails to protect the

lives, liberty, and property of the people.

Jean Jacques Rousseau yang juga motor penggerak revolusi Perancis

kemudian memperkuat (menyempurnakan) teori John Locke. Melalui karyanya

Du Contract Social yang ditulis 1762, menurut Rousseau manusia secara alamiah

hidup dalam bebas, sederajat, aman, dan bahagia seperti keadaan alam firdaus.

Kesadaran bahwa keadaan alamiah tidak bisa terus dipertahankan karena adanya

ancaman-ancaman, maka beralih pada kehidupan bernegara yang diikat dengan

kontrak sosial. Karena itu, meskipun manusia terlahir merdeka, namun dimana-

mana ia terbelenggu.180

Karena negara dibentuk atas dasar kehendak rakyat melalui perjanjian

masyarakat, maka penguasa atau pemerintah tidak lebih hanya wakil-wakil rakyat.

Ajaran Rousseau ini dapat dilihat dalam Virginia Bill of Rights (Amerika 12 Juni

1776), yang di dalam Pasal disebutkan “That all power is vested in, and

consequently derived from the people” (bahwa segala kekuasaan berkedudukan

dalam tangan rakyat, dan oleh sebab itu maka rakyat itulah sumbernya).181

Ide dan konsep negara hukum secara umum, dapat dikatakan telah mapan

sejak masa Yunani Kuno hingga Revolusi Perancis sebagaimana diuraikan di atas.

Namun dalam tataran praktik, banyak hambatan bahkan penyimpangan-

penyimpangan terhadap semangat negara hukum. Karena itu, perjalanan negara

hukum selalu mengalami perkembangan terhadap unsur, bentuk dan paradigma

180

Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 193 181

Lukman Hakim, “Kerangka Politik Hukum Indonesia” artikel dalam Membangun

Negara Hukum yang Bermartabat, Cetakan Pertama, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 206

87

pelaksanaannya. Tahapan perkembangan dimaksud, akan diuraikan lebih detail

sebagai berikut:

1. Negara Polisi (Polizei Staat)

Hans Nawiasky mengatakan bahwa negara polisi setidaknya dapat

dilihat dari dua hal, yaitu Sicherhheit Polizei yang berfungsi sebagai

penjaga tata tertib dan keamanan, dan Verwaltung Polizei yang berfungsi

sebagai penyelenggara perekonomian warga negaranya.182

Negara polisi

dikenal dengan negara penjaga malam karena tugasnya yang hanya untuk

menyelenggarakan keamanan dan kemakmuran atau perekonomian

masyarakat.

Polizei ini mencakup 2 (dua) arti, yaitu penyelenggara negara

positif (bestuur), dan penyelenggara negara negatif (menolak bahaya yang

mengancam negara/keamanan).183

Karakter tipe negara ini masih

sewenang-wenang dan bersifat monarchie absolut.184

Menurut Muntoha,

negara polisi ini merupakan cikal bakal dari munculnya negara hukum.185

Abu Daud Busroh,186

juga tidak mengategorikan tipe negara ini sebagai

negara hukum. Memang benar, negara polisi mempunyai semangat sallus

publica suprema lex (kepentingan umum harus diutamakan), namun yang

menentukan yang mana yang merupakan kepentingan umum adalah raja,

182

Azhary, Negara... Op., Cit., hlm.. 44 183

Djokosutono, Kuliah Ilmu Negara, Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985,

hlm. 52 184

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 53 185

Muntoha, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 1 186

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara... Loc., Cit.

88

bukan ditentukan oleh yang berkepentingan sendiri, yaitu rakyat banyak.

Sejalan dengan pendapat Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,187

bahwa

negara polisi merupakan negara yang memberlakukan asas rajalah yang

menentukan segala-galanya untuk rakyatnya, tetapi tidak oleh rakyatnya

sendiri (alles voor het volk, maar niet door het volk). Sebuah cara pandang

yang sangat berlawanan dengan pendapat Krabbe, bahwa hukum bukanlah

semata-mata apa yang secara formil diundangkan oleh badan legislatif

suatu negara, hukum bersumberkan perasaan hukum anggota-anggota

masyarakat. Perasaan hukum adalah sumber dan merupakan pencipta

hukum, negara hanya memberi bentuk pada perasaan hukum itu. Hanya

apa yang sesuai dengan perasaan hukum itulah yang benar-benar

merupakan hukum.188

Kekuasaan raja sangat dominan sehingga kebebasan mengeluarkan

pendapat terlebih menyampaikan kritik merupakan sesuatu yang tabu

dalam negara polisi.189

Voltaire sampai dua kali masuk penjara Bastile

pada tahun 1717 dan 1725, dan akhirnya diasingkan dari Perancis. Karya

ilmiah para ilmuan Perancis banyak yang diterbitkan di luar negeri seperti

L‟esprit de Lois oleh Montesquieu yang diterbitkan di London, karya J.J.

187

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 155 188

Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 190. Pendapat Krabbe

tersebut mirip dengan kalimat terkenal Cicero dalam karyanya de Legibus. Menurutnya, hukum

bukanlah sekedar perkara undang-undang belaka atau daftar peraturan melainkan sesuatu yang

tertanam dalam jiwa manusia, sesuatu yang merupakan bagian integral dari pengalaman manusia.

Lihat dalam A. Ahsin Thohari, Hak Konstitusional... Op., Cit., hlm. 22 189

Ni‟matul Huda, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 2-3

89

Rousseau yang juga diterbitkan di London dan Amsterdam, bahkan

Fhilosophie de la Nature dimusnahkan atas perintah raja.190

2. Negara Hukum Liberal

Konsep ini berkembang di Eropa Barat dalam suasana liberalisme

dan individualisme.191

Immanuel Kant melalui bukunya berjudul

Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre adalah pelopor konsep

negara hukum liberal ini. Immanuel Kant menghendaki negara bertugas

untuk menjamin ketertiban dan keamanan rakyat.192

Menurut Kant, negara

hukum mempunyai unsur pokok yaitu adanya perlindungan terhadap hak

asasi manusia, dan adanya pemisahan kekuasaan dalam negara.193

Negara

hukum liberal menghendaki agar antara penguasa dan yang dikuasai

terdapat suatu persetujuan dalam bentuk hukum, serta persetujuan yang

menguasai penguasa. Dengan demikian, negara berstatus pasif yaitu warga

negara tunduk pada peraturan negara, dan penguasa bertindak

mendasarkan pada hukum.194

Peran negara pada fase ini cenderung pasif

karena adanya ikatan hukum.195

Negara hukum liberal bertumpu pada prinsip liberty (vrijheid).

Bahwa kebebasan merupakan “the free self assetion of each limited only

190

Azhary, Negara... Op., Cit., hlm. 35 191

Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 181 192

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 88 193

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 128 194

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 53 195

Deddy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif:

Kekuasaan, Masyarakat, Hukum, dan Agama, Cetakan Kedua, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm.

166

90

by the like liberty of all”. Kehendak bebas hanya dibatasi seperlunya untuk

memberikan jaminan terhadap kehendak bebas individu dan kehendak

bebas orang lain. Semangat liberty ini kemudian melahirkan semangat

“freedom from arbitary and unreasonable exercise of the power and

authority”.196

Dalam tradisi hukum liberal, kaum borjuis mempunyai peran yang

cukup besar. Negara dituntut untuk tidak ikut campur dalam

penyelenggaraan perekonomian masyarakat, dan hanya dikehendaki untuk

menjaga ketertiban dan keamanan. Akibatnya, penyelenggaraan

perekonomian diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar yang

berasaskan persaingan bebas, sehingga yang kuat akan selalu menjadi

pemenang (laise faire, laise passer). Maka jelaslah bahwa kaum

konglomerat yang selalu menjadi penguasa.197

Kritik Utrecht terhadap

negara penjaga malam ini yaitu negara hanya mempunyai tugas primer

untuk melindungi dan menjamin kedudukan ekonomi dari golongan

penguasa (rulling class).198

3. Negara Hukum Formal

Negara hukum formal dapat dikatakan lahir sebagai bentuk

penyempurnaan terhadap kelemahan negara liberal. Friedrich Julius Stahl

melalui karyanya yang berjudul Philosophie des Rechts nach

196

P. De Haan, Th G. Druksteen, R. Fernhout, Bestuursrecht in de Sosiale Rechsstaat,

dalam Fajlurrahman Jurdi, Teori... Op., Cit., hlm. 47 197

Ni‟matul Huda, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 5 198

Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 186

91

Geschichtlicher Ansicht adalah tokoh utama negara hukum formal.199

Stahl

menghendaki bahwa negara hukum harus dicirikan oleh 4 (empat) unsur

yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia; negara

didasarkan pada pemisahan kekuasaan; pemerintahan yang didasarkan

pada undang-undang; dan adanya peradilan administrasi untuk

menyelesaikan kasus perbuatan melawan hukum oleh pemerintah. Karena

kehendak untuk mendasarkan pada undang-undang inilah maka pada

tahapan ini disebut dengan negara hukum formil.200

Negara hukum formil

ini dapat juga dikualifikasikan sebagai negara hukum yang demokratis.201

Negara hukum formal mulai mendapatkan gugatan, tepatnya

menjelang pertengahan abad XX setelah Perang Dunia I karena ternyata

menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi di tengah-tengah

masyarakat.202

Dasar individualisme liberal telah menyebabkan dominasi

pemilik modal di parlemen karena dengan modal kekayaan mereka dapat

merekayasa pemilu untuk mengisi parlemen yang berasal dari golongan

mereka. Konsekuensinya, produk hukum yang dikeluarkan oleh parlemen

adalah produk yang menguntungkan kaum kapitalis.203

Dalam konotasi

negatif, kaum kapitalis akhirnya mendapatkan dasar pembenaran hukum

untuk mendominasi perekonomian negara. Karena telah berlindung di

bawah hukum yang sah, pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa, karena

199

Muhammad Junaidi, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 57 200

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 89 201

Deddy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 166 202

Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 129 203

Ibid.

92

dalam tradisi hukum formal, pemerintah hanya melaksanakan undang-

undang, dan tidak boleh ikut campur urusan warga negara selama

tindakannya berdasarkan pada hukum yang ada.

Negara hukum formal selain menguntungkan kaum borjuis, juga

terlampau individualistis, sehingga asas equality before the law justru

memukul warga negara yang strata sosial ekonominya rendah, sedangkan

dalam hal tertentu negara menitikberatkan pada kepentingan umum

dengan mengurangi kepentingan individu.204

Kelemahan lain dari negara

hukum formal ini yaitu terlalu statis karena berpegang teguh pada aspek

formalitas, sehingga peran negara sangat sempit dan bersifat pasif.205

4. Negara Hukum Materiil

Negara hukum materil ini lahir sebagai ekspresi ketidakpuasan

terhadap negara hukum formal. W. Friedman menyebut, negara hukum

formal tidak lain artinya daripada organized public power atau kekuasaan

umum yang terorganisir, sehingga setiap negara dengan demikian dapat

masuk ke dalam kategori negara hukum, bahkan negara totaliter sekalipun.

Sedangkan dalam makna materiil, negara hukum merupakan rule of just

law yaitu negara yang menegakkan hukum dengan sebenar-benarnya.206

204

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 213 205

S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,

Cetakan Keenam, Liberty, Yogyakarta, 2011, hlm. 44 206

Abdul Mukhtie Fadjar, Sejarah... Op., Cit., hlm. 29

93

Konsep negara hukum materiil ini lahir pada paroh kedua abad

XIX di Eropa Barat.207

Apabila dalam negara hukum formil mensyaratkan

tindakan negara harus berdasarkan undang-undang sesuai dengan asas

legalitas, maka dalam hukum materil, tindakan penguasa dalam keadaan

mendesak dan demi kepentingan warga negara boleh saja menyimpang

dari ketentuan undang-undang sesuai dengan asas oportunitas.208

Demikian pula, jika negara hukum formil dikenal dengan negara hukum

statis, maka negara hukum materiil merupakan negara hukum dinamis,

yaitu negara yang tidak lagi bersifat pasif belaka, namun juga aktif dalam

mengupayakan kesejahteraan warga negaranya.209

Tampaknya sangat

relevan untuk menggambarkan karakter negara hukum materiil ini dengan

pendapat Leon Duguit dan Harold J. Laski, bahwa negara harus dipandang

sebagai suatu lembaga kesejahteraan umum, dan hukum bukan hanya

sebagai serangkaian perintah, tetapi cara penyelenggaraan kesejahteraan

umum itu.210

Relasi negara dan hukum ini digambarkan oleh Mac Iver

dalam bukunya The Modern of State, bahwa negara adalah anak dan orang

tua sekaligus dari hukum (The state is both the child and the parents of

law).211

Negara hukum materiil menampilkan negara yang berperan aktif

untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, dan meninggalkan paradigma

207

S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok... Op., Cit., hlm. 45 208

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 54 209

S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok... Op., Cit., hlm. 45 210

Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 191 211

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas... Op., Cit., hlm. 38

94

negara penjaga malam yang perannya cenderung pasif. Paham aliran

legisme yang menilai bahwa hukum itu sama dengan undang-undang

sehingga tindakan menegakkan hukum berarti menegakkan undang-

undang yang ditetapkan oleh lembaga legislatif, bergeser menjadi paham

bahwa hukum bukan hanya berarti undang-undang secara formal

ditetapkan oleh lembaga legislatif, tetapi yang terpenting adalah nilai

keadilannya.212

Dalam pandangan Gustav Radbruch,213

hukum hanya

berarti sebagai hukum apabila hukum itu merupakan suatu perwujudan

keadilan, atau sekurang-kurangnya merupakan usaha ke arah itu. Hal ini

terlebih melihat fakta pada konteks negara hukum formal, parlemen bukan

merupakan representasi rakyat secara keseluruhan, akan tetapi representasi

kaum borjuis.

Peran aktif negara untuk turut terlibat dalam semua kegiatan warga

negara dengan alasan kepentingan umum berakibat pada bentrokan antara

kepentingan negara dengan kepentingan individu untuk mempertahankan

hak miliknya semakin meningkat.214

Dalam tradisi negara hukum materiil

yang memberikan peran aktif negara pada satu sisi, dan kehendak untuk

tetap membatasi kekuasaan berdasarkan hukum pada sisi yang lain,

menjadikan peranan hukum administrasi negara sangat dominan. Berbeda

dengan tradisi hukum liberal dengan peran negara yang pasif karena hanya

212

Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 132 213

Theo Huijbers, Filsafat... Op., Cit., hlm. 164 214

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 213-214

95

terbatas sebagai negara penjaga malam, maka lapangan hukum

administrasi negara masih sempit.215

Negara hukum materiil ini juga populer disebut dengan negara

hukum modern atau welfare state (negara kesejahteraan), karena perannya

yang juga dituntut untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat seperti

yang telah diuraikan sebelumnya. Dalam literatur, welfare state

merupakan bentuk pencirian baru dari konsep negara hukum yang

mengintegrasikan rechtsstaat oleh Stahl dan the rule of law oleh Dicey,

yang menuntut pemerintah untuk berperan aktif dalam melaksanakan

tugasnya. Ciri-cirinya dirumuskan dari hasil International Comission of

Jurist di Bangkok tahun 1965 yaitu perlindungan konstitusional dengan

makna selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula

menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak

yang dijamin; adanya lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak;

pemilihan umum yang bebas; kebebasan menyatakan pendapat; kebebasan

berserikat, berorganisasi, dan beroposisi; adanya pendidikan

kewargangeraan.216

Karena negara dituntut untuk berperan aktif untuk menciptakan

ketertiban yang adil, maka negara dalam kerangka welfare state juga perlu

untuk diberikan kebebasan bertindak bagi secara lebih luas, yaitu dengan

215

Sjahran Basah, Bahan Kuliah Hukum Administrasi Negara, dalam Ni‟matul Huda,

Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 8 216

Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 131-132

96

memberikan freies ermessen kepada pemerintah.217

Freies ermessen yaitu

kewenangan pemerintah untuk turut campur dalam berbagai kegiatan

masyarakat dengan cara pengaturan, penetapan, dan materiale daad.218

Sejalan dengan pendapat Anthony Giddens, bahwa peran negara pada

konsep negara kesejahteraan (welfare state) cenderung bersifat

intervensionist, yang bermakna bahwa negara selalu akan ambil bagian

dalam setiap gerak dan langkah masyarakat dengan alasan serta tujuan

untuk meningkatkan kesejahteraan umum.219

Implikasi freies ermessen ini adalah memberikan hak prerogatif

kepada pemerintah, yang dalam bidang perundang-undangan memberikan

3 (tiga) kewenangan bagi pemerintah, yaitu kewenangan inisiatif dalam

bentuk membuat peraturan yang sederajat dengan undang-undang tanpa

harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari parlemen dengan

syarat peraturan tersebut dibuat karena keadaan memaksa, yang dalam

konteks Indonesia dikenal dengan kewenangan menetapkan perpu;

kewenangan delegasi dalam bentuk membuat peraturan atas dasar

ketentuan dalam undang-undang; dan droit function dalam bentuk

membuat penafsiran sendiri atas materi peraturan.220

Negara kesejahteraan yang menuntut negara untuk

menyelenggarakan kemakmuran rakyat, dan sepenuhnya mengabdikan diri

217

Ni‟matul Huda, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 7 218

Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit.,, hlm. 131 219

Anthony Giddens, The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial,

Gramedia, Jakarta, 1998, hlm. 100 220

Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 260

97

kepada masyarakat,221

memang mempunyai konsekuensi pada pemberian

kewenangan legislasi kepada pemerintah untuk menyelenggarakan

kepentingan umum. Fungsi legislasi yang hanya dilekatkan pada lembaga

legislatif, sedangkan pemerintah hanya menunggu peraturan dari lembaga

legislatif tersebut, dikhawatirkan penyelenggaraan negara dan pemenuhan

kesejahteraan masyarakat tidak akan berjalan secara efektif dan efisien,

yang tentu berseberangan dengan semangat negara kesejahteraan.222

Terlebih, suatu negara yang bercirikan civil law dengan mengedepankan

kodifikasi hukum melalui hukum tertulis, peraturan perundang-undangan

tidak hanya terdiri dari satu jenis dan satu jenjang, namun lebih beragam

dan berjenjang yang salah satu fungsinya adalah untuk menjelaskan

hukum yang lebih tinggi. Menurut Mahfud MD,223

tingkat pengamalan

dan penganutan welfare state akan berpengaruh pada besaran proporsi hak

prerogatif yang diberikan kepada pemerintah.

Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Muntoha

menyebutkan,224

bahwa ciri-ciri negara kesejahteraan yaitu pertama,

adanya pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politica dipandang tidak

prinsipil lagi. Pertimbangan efisiensi kerja lebih penting daripada

pertimbangan dari aspek politis, sehingga peranan dari organ eksekutif

lebih penting daripada peranan organ legislatif. Kedua, peran negara tidak

221

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 55 222

Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Cetakan

Pertama, FH UII Press, 2009, hlm. 62 223

Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 260 224

Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di

Indonesia, dalam Muntoha, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 7-8

98

terbatas pada menjaga keamanan dan ketertiban saja, akan tetapi aktif

berperan dalam peyelenggaraan kepentingan rakyat di bidang sosial,

ekonomi dan budaya, sehingga perencanaan merupakan alat yang penting.

Ketiga, negara kesejahteraan merupakan negara hukum materil yang

mementingkan keadilan sosial, dan bukan persamaan formil. Keempat, hak

milik tidak lagi dianggap sebagai hak yang mutlak, akan tetapi dipandang

mempunyai fungsi sosial yang berarti ada batasan-batasan dalam

penggunaannya. Kelima, adanya kecenderungan bahwa peranan hukum

publik semakin penting dan semakin mendesak peranan hukum perdata,

disebabkan semakin luasnya peranan negara dalam kehidupan sosial,

ekonomi, dan budaya.

Negara hukum bukan tipe negara sempurna yang bersih dari kelemahan

dan kecacatan. Kelemahan juga pasti akan melekat, sekurang-kurangnya dalam

tataran implementasi, yang tidak jarang akan jauh dari apa yang diidealkan dalam

kerangka teori. Pada tataran ideal, negara hukum mendasarkan penyelenggaraan

negara pada sektor hukum yang dianggap lengkap dan pasti, padahal dalam

praktek, sektor hukum tidak akan mampu mengatur seluruh aspek kehidupan

negara modern secara detail mengingat sedemikian kompleksnya persoalan

manusia.225

Selain itu, konsep negara hukum sangat mempercayai bahwa hukum

yang ditegakkan melalui mesin-mesin hukum itu akan mencapai keadilan. Padahal

dalam banyak hal, keadilan menjadi sangat relatif, sehingga tidak jarang keadilan

hanya menjadi mitos. Akhirnya, hukum dan keadilan hanya menjadi “candu” bagi

225

Munir Fuady, Teori Negara... Op., Cit., hlm. 19

99

masyarakat.226

Postulat terkenal yang muncul sejak masa Latin Kuno yaitu

summum ius, summa iniuria, yang berarti hukum yang sempurna berarti pula

sempurnanya ketidakadilan, atau keadilan tertinggi berarti pula ketidakadilan yang

tertinggi.

Pada tataran praktik, kelemahan negara hukum biasanya terjadi ketika

dihubungkan dengan sub sistem lain, terutama politik dan kekuasaan. Bahwa

benar, dari aspek idealita hukum dan kekuasaan, keduanya merupakan unsur

penting dalam sebuah negara hukum yang harus selalu berinteraksi secara

harmonis dan koheren.227

Kekuasaan diperlukan agar hukum mempunyai otoritas

yang dapat memaksakan keberlakuannya, karena hukum tanpa kekuasaan, hanya

akan tinggal ide-ide saja. Hukum tanpa kekuasaan akan lumpuh, sedangkan

kekuasaan tanpa hukum akan sewenang-wenang.228

Hanya saja tidak jarang

terjadi bahwa kekuasaan justru menunggangi hukum, yang berimplikasi pada

tereduksinya hakikat negara hukum. Tidak heran apabila sering kali hukum tidak

netral dalam artian mendudukkan rakyat secara adil dan sama di hadapan hukum,

namun justru memihak kepada pihak tertentu yang kuat dan mempunyai

kekuasaan.229

Hukum pada akhirnya tidak selalu bekerja objektif, karena pada

kenyataannya hukum sering kali tidak berlandaskan pada kondisi objektif,

melainkan selalu dipengaruhi pada pola pikir, agama, golongan ekonomi,

226

Ibid., hlm. 20 227

Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum dan Kekuasaan, Cetakan Pertama,

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998, hlm. v 228

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 131 229

Munir Fuady, Teori Negara... Op., Cit., hlm. 19

100

kepentingan politik, dan sebagainya.230

Kritik Robert von Mohl terhadap konsep

Immanuel Kant dalam hal ini menjadi sangat rasional. Menurut Mohl, konsep

yang dibangun Immanuel Kant hanya memperhatikan aspek formal hukumnya

semata, tanpa memperhatikan siapa pembuat hukumnya. Padahal, negara totaliter

sekalipun juga diatur oleh hukum hanya saja hukum tersebut dibuat oleh raja yang

berkarakter diktator, sehingga melalui hukum tersebut, alih-alih membatasi

kesewenang-wenangan raja, justru membatasi hak-hak rakyat.231

Sederhananya,

hukum dijadikan alat untuk melegalisasi kepentingan penguasa yang berpotensi

melanggar hak asasi manusia.

Atas kelemahan itu, maka negara hukum membutuhkan suatu penopang

agar tereduksinya hakekat negara hukum dalam relasinya dengan kekuasaan dan

politik, dapat dicegah semaksimal mungkin. Negara hukum dalam konteks

modern harus disandingkan dengan konsep demokrasi. Hal ini untuk memberikan

peran yang luas bagi masyarakat agar pelaksanaan negara hukum tetap konsekuen

sesuai dengan prinsipnya. Bahwa negara hukum haruslah dibangun di atas

prinsip-prinsip demokrasi, mengingat supremasi hukum pada prinsipnya berasal

dari kedaulatan rakyat, sehingga penegakan hukum tidak boleh ditegakkan dengan

mengabaikan prinsip demokrasi. Sebaliknya, penegakan hukum haruslah

berorientasi pada rakyat itu sendiri.232

230

Ibid. 231

Ni‟matul Huda, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 6-7 232

Ni‟matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, Cetakan Pertama,

UII Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 62

101

Salah satu unsur negara hukum adalah asas legalitas, yang menghendaki

agar setiap tindakan pemerintah mendasarkan pada undang-undang. Asas legalitas

ini mempunyai keterkaitan erat dengan demokrasi. Bahwa demokrasi menuntut

agar setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan

persetujuan dan legitimasi dari rakyat melalui wakil-wakilnya, serta sebanyak

mungkin memperhatikan kepentingan rakyat.233

Karena itu, Sjachran Basah

dikutip oleh Ni‟matul Huda menyebutkan bahwa, asas legalitas berarti upaya

mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan

paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar

yang sifat hakikatnya konstitutif.234

Demokrasi tanpa hukum akan kehilangan bentuk, sedangkan hukum tanpa

demokrasi akan kehilangan makna. Demokrasi merupakan cara paling aman untuk

mempertahankan kontrol atas negara hukum.235

Mahfud MD menyebut, jika

demokrasi tidak hidup, maka hukum pun akan semakin sulit memainkan fungsi

kontrolnya atas kekuasaan. Sebaliknya, apabila hukum tidak dapat bekerja efektif

maka demokrasi juga tidak akan bekerja dengan baik.236

Karena itu, cita

membangun negara hukum yang baik, harus juga dibarengi dengan komitmen

membangun demokrasi yang juga baik. Sistem pemerintahan yang berdasarkan

pada hukum merupakan prasyarat bagi suatu demokrasi. Sebaliknya, sistem

233

Ni‟matul Huda, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 20 234

Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara,

dalam Ni‟matul Huda, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 20-21 235

Franz Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, dalam

Ridwan, Diskresi... Op., Cit., hlm. 71 236

Moh. Mahfud MD, Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokratisasi, dalam

Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum... Op., Cit., hlm. 61

102

pemerintahan yang demokratis juga merupakan prasyarat bagi negara hukum.237

Negara hukum dan demokrasi merupakan 2 (dua) hal yang mempunyai hubungan

saling mengisi dan menguatkan satu sama lain. Makanya, muncul istilah negara

hukum yang demokratis, atau negara demokrasi berdasarkan hukum.

B. Teori Demokrasi

Di atas telah disebutkan secara singkat bagaimana relasi negara hukum

dan demokrasi. Bahwa keduanya merupakan konsep yang saling menopang satu

sama lain. Memisahkan satu dari yang lainnya akan mengurangi derajat

kesempurnaan bangunan kedua teori tersebut dalam penyelenggaraan negara.

Tidak terlalu berlebihan bila negara hukum dan demokrasi diibaratkan sebagai

dua sisi dari sekeping uang. Demokrasi tanpa hukum tidak akan terbangun dengan

baik dan bahkan mungkin menimbulkan anarki. Sebaliknya, hukum tanpa sistem

politik yang demokratis hanya akan menjadikan hukum yang elitis dan represif.

Maka bagaimana bentuk dan mekanisme yang diinginkan dari suatu gagasan

tentang demokrasi tentu harus dituangkan dalam aturan hukum, demikian pula

bahwa kepada aturan-aturan hukum itulah setiap konflik dalam berdemokrasi

harus dicarikan rujukannya.238

Korelasi negara hukum dan demokrasi yang sangat

erat inilah yang menjadi justifikasi dan urgensi diuraikannya teori demokrasi pada

penelitian ini.

Demokrasi sebagai sebuah sistem politik-ketatanegaraan memang bukan

sesuatu yang baru. Demokrasi sudah hadir dan hidup dalam masyarakat Yunani

237

Munir Fuady, Teori Negara... Op., Cit., hlm. 15 238

Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 1

103

Kuno. Dalam tata susunan masyarakat Yunani, Athenalah yang mengembangkan

benih demokrasi dengan susunan polisnya. Pada pertengahan abad ke-6 Sebelum

Masehi, tercatat polis Chios di mana masyarakatnya merupakan yang pertama

mempraktekkan kehidupan demokrasi, namun Athena tetap yang lebih dikenal di

antara polis lainnya. Perkembangan demokrasi di Athena ini diyakini telah

menjadi sumber inspirasi bagi pemikiran politik modern. Ide-ide politik tersebut

adalah persamaan kedudukan di antara warga negara, kebebasan, dan

penghormatan atas hukum dan keadilan.239

Demokrasi di Athena dilaksanakan

berdasarkan keterlibatan aktif warga negara dalam proses ketatanegaraan.

Seluruh warga negara bertemu untuk berdebat, memutuskan, dan mengesahkan

hukum. Dalam diskusi yang bebas dan tidak terbatas tersebut, dijamin hak warga

negara yang sama untuk berbicara dalam dewan yang berdaulat. Hak ini dikenal

dengan isegoria.240

Demokrasi yang bersifat langsung pada masa Yunani Kuno dapat

dilaksanakan secara efektif karena Negara Kota (City State) Yunani Kuno

berlangsung dalam kondisi sederhana dengan wilayah yang terbatas pada sebuah

kota dan daerah sekitarnya dan jumlah penduduk yang hanya lebih kurang

300.000 orang dalam satu negara, dan ketentuan-ketentuan demokrasi hanya

berlaku bagi warga negara yang resmi yang merupakan sebagian kecil dari seluruh

penduduk.241

239

Harjono, Transformasi Demokrasi, Cetakan Pertama, Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2009, hlm. 21 240

Ibid., hlm. 23 241

Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang Interaksi

Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 21

104

Ide demokrasi juga dapat ditemukan di dalam karya Aristoteles, Politics

yang ditulis antara 335 dan 323 SM. Menurutnya, asas dasar dari konstitusi

demokratis adalah kebebasan. Setiap demokrasi mempunyai tujuan kebebasan,

memerintah dan kemudian gilirannya diperintah, adalah salah satu elemen dari

kebebasan. Ide demokrasi tentang keadilan adalah persamaan numerik dan bukan

persamaan berdasarkan merit (prestasi).242

Bila melihat Yunani Kuno, demokrasi memang mempunyai kelemahan

yang cukup serius. Selain mempunyai potensi yang sangat besar atas munculnya

anarki, juga tidak bisa dibayangkan bagaimana rumitnya pengambilan keputusan

yang melibatkan banyak orang atau seluruh warga negara, meskipun jumlah

warga negara kala itu tidak sebanyak jumlah warga negara modern seperti

sekarang. Karena itu, baik Aristoteles maupun Plato, tidak memandang bahwa

demokrasi adalah sistem terbaik bagi negara. Menurut Aristoteles, sistem yang

terbaik adalah republik konstitusional, sedangkan menurut Plato adalah monarki

dengan dipimpin oleh seorang filsuf.243

Kritik Plato terhadap demokrasi di Athena bahkan menyebutnya sebagai

kemerosotan kota, kekalahan kota itu dalam perang melawan Sparta, dan

pembusukan moralitas dan kepemimpinan. Demokrasi memberikan ruang bagi

rakyat untuk dapat melakukan apapun yang mereka inginkan, dan berarti pada

saat yang sama tidak ada penghormatan terhadap otoritas dalam keluarga, sekolah

atau tempat lainnya. Pada titik tertentu, menurut Plato, hukum tidak akan

242

Harjono, Transformasi... Op., Cit., hlm. 24 243

Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 177-178

105

dihormati, akan tetapi akan dilihat sebagai serangan terhadap kebebasan rakyat.

Konsekuensinya adalah anarki dan kekacauan.244

Dalam konteks negara modern, pendapat Lee Kuan Yew, mantan perdana

menteri Singapura yang kemudian dikenal “hipotesis Lee”, melihat demokrasi

dengan merujuk pada sejumlah negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan

China, menyebutkan bahwa sistem non-demokrasi lebih bisa menjamin

kesejahteraan ekonomi dibandingkan dengan sistem demokrasi. Namun Lee Kuan

Yew ini melupakan satu hal penting, bahwa tanpa demokrasi, hak-hak sipil tidak

bisa dinikmati secara bebas.

Apabila ditinjau pada praktik lebih spesifik, penerapan demokrasi

langsung terutama pada negara modern terhadap pengambilan keputusan penting

dalam penyelenggaraan negara, pendapat Plato yang akan berimplikasi pada

sebuah kekacauan cukup rasional. Hal ini misalnya sebagaimana yang

diperagakan oleh Wirjono Prodjodikoro atas komentarnya terhadap Swiss yang

menyelenggarakan referendum,245

hampir mirip dengan demokrasi langsung, yaitu

menghitung suara dari warga negara yang dipungut serentak pada suatu waktu

mengenai permasalahan tertentu. Kritik dan bentuk kekecewaan terhadap

penyelenggaraan referendum ini menurut Wirjono Prodjodikoro,246

yaitu saat

244

Arne Naess, Democracy, Ideology, an Objectivity dalam Georg Sorensen, Demokrasi

dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, terjemahan

oleh I. Made Krisna, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 3 245

Ada 2 (dua) jenis penyelenggaraan referendum di Swiss, yaitu referendum yang

sifatnya mutlak dilaksanakan atau referendum obliator, dan referendum fakultatif. Referendum

obligator dilaksanakan terhadap amenemen konstitusi karena dianggap hal paling penting dan

krusial dalam penyelenggaraan negara. Lihat dalam Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas... Op., Cit.,

hlm. 26 246

Ibid., hlm. 26-27

106

diselenggarakannya referendum, setiap warga negara dianggap telah mempunyai

pendapat tetap dan sadar tentang persoalan yang ada, padahal anggapan ini tidak

selalu tepat dan tidak selalu cocok dengan kenyataan yang ada. Justru mengenai

hal-hal yang bersifat penting, pikiran dan perasaan orang biasanya tidak tetap dan

sadar, melainkan cenderung berubah dan mengandung banyak keraguan, oleh

karena hal-hal yang penting tersebut biasanya dipandang dari segala sisi dan

memberi umpan untuk saling berdebat. Sifat keraguan dan berubah ini tidak bisa

diperintahkan untuk berhenti seketika. Hanya proses kelanjutan kemasyarakatan

yang dapat secara lambat laun mengakibatkan perasaan setiap orang menjadi tetap

dan sadar. Ini tentu sangat dilematis, apabila menunggu kesadaran setiap warga

negara, tentu penyelenggaraan negara tidak akan berjalan efektif dan melambat,

akan tetapi bila dilaksanakan seketika, maka keputusan yang diambil adalah

keputusan di bawah keraguan dan ketidakpastian. Maka tidak mengherankan

apabila hasil referendum mungkin sekali pada akhirnya oleh masyarakat sendiri

dirasakan sebagai hal yang ganjil.247

Winston Churchill sebagaimana dikutip oleh Hans Antlov menyebutkan,

demokrasi adalah bentuk yang paling jelek dari pemerintah, kecuali bentuk-

bentuk lain yang pernah diuji-cobakan dari waktu ke waktu. Kendatipun

demokrasi bukan sistem sempurna, lanjut Antlov, jawaban atas

ketidaksempurnaan demokrasi adalah lebih banyak demokrasi, dan tidak

247

Ibid.

107

sebaliknya.248

Sejalan dengan pendapat Mac Iver, what we name democracy is

begining and not an end.249

Menurut James Madison,250

“demokrasi murni” seperti yang dipraktekkan

di Athena yang bersifat langsung itu memang selalu tidak toleran, tidak adil, dan

tidak stabil. Sebaliknya, pemerintahan perwakilan dapat menutupi kelemahan

demokrasi langsung karena pemilihan yang teratur memaksa suatu klarifikasi

terhadap persoalan-persoalan publik, dan wakil-wakil yang terpilih yang bisa

bertahan terhadap proses-proses politik mungkin lebih cakap dan mampu melihat

kepentingan negara yang sesungguhnya.

Kritik James Madison terhadap demokrasi yang dipraktekkan di Athena

cukup rasional, mengingat praktik demokrasi waktu itu hanya bisa dinikmati oleh

kalangan tertentu, sementara yang lainnya yang berstatus budak, pedagang asing,

perempuan, dan anak-anak tidak bisa menikmati demokrasi.251

Dikutip dari Moh.

Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,252

hampir sejalan dengan pendapat James

Madison tersebut, bahwa kedaulatan rakyat yang mutlak (demokrasi absolut) tidak

mungkin ada. Bahkan dalam polis yang dijadikan sebagai contoh pelaksanaan

demokrasi langsung, tidak semua lapisan masyarakat polis ikut memerintah dan

mempunyai hak suara yang sama, dibuktikan dengan 2 (dua) kenyataan, pertama,

248

Hans Antlov dalam pengantar Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca

Soeharto, Cetakan Pertama, Pondok Edukasi, Yogyakarta, 2004, hlm. xii 249

Mac Iver, The Web of Government dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,

Pengantar... Op., Cit., hlm. 132 250

Madison, 1966 dalam David Held, Demokrasi & Tatanan Global: Dari Negara

Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, terjemahan oleh Damanhuri, Cetakan Pertama,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 11 251

A. Ubaedillah, Pancasila, Demokrasi, & Pencegahan Korupsi, Edisi Pertama, Cetakan

Kedua, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, hlm. 87 252

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 128

108

tidak semua rakyat Yunani adalah bebas, karena itu tidak semua rakyat Yunani

punya hak suara yang sama, seperti budak belian sebagaimana yang telah

disebutkan, oleh karena mereka tidak dianggap sebagai manusia yang dapat

melakukan tindakan hukum atau bukan merupakan subyek hukum, bahkan

diperlakukan sebagai objek hukum dan disamakan dengan benda yang dapat

diperjualbelikan. Mereka manusia yang hidup dan bernyawa, tetapi tidak

diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak yang sama dengan yang

lainnya. Kedua, demokrasi di Yunani dilaksanakan melalui ecclesia, tetapi dalam

praktik, tidak semua rakyat Yunani dapat ikut serta. Sebagian besar akan

menyerahkan suaranya kepada orang yang pandai berbicara dan berdiskusi atau

kepada pemimpin-pemimin yang lebih pandai memainkan lidahnya atau yang

disebut “rethorica”. Pemimpin inilah yang akhirnya mengambil keputusan

tentang rakyat yang sebagian besar tidak ikut bicara. Mac Iver juga mengatakan

hal senada. sebenarnya demokrasi langsung di Yunani maupun di Romawi Kuno

yang murni tidak ada, tetapi oligarki yang disamaratakan, di mana suatu kelas

warga kota yang memerintah bersama-sama melakukan hak-hak dan mendapatkan

keuntungan daripada penguasa politik.253

Dengan demokrasi perwakilan, menurut Madison, sistem demokrasi bisa

lebih baik. Kelemahan demokrasi langsung bisa tertutupi. Demokrasi yang semula

dipandang sebagai tempat berkumpulnya seluruh warga negara, bergeser menjadi

hak para warga negara untuk berpartisipasi dalam menentukan keinginan kolektif

253

Mac Iver, The Web of Government dalam Ibid., hlm. 129. Lihat juga Moh. Kusnardi

dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 166

109

melalui saluran wakil-wakilnya yang terpilih.254

Demokrasi perwakilan sekarang

bisa dibanggakan baik sebagai pemerintahan yang bertanggung jawab maupun

sebagai pemerintahan yang bisa dilaksanakan, yang secara potensial stabil untuk

wilayah-wilayah yang besar dan jangka waktu yang lama.255

Demokrasi yang hidup pada masa Yunani itu kemudian hilang dari

kehidupan Dunia Barat ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku bangsa Eropa

Barat dan Benua Eropa memasuki abad pertengahan (600-1400), dengan dicirikan

oleh struktur sosial yang feodal; kehidupan sosial dan spiritualnya dikuasai oleh

paus dan pejabat-pejabat agama, sedangkan kehidupan politiknya ditandai oleh

perebutan kekuasaan di antara para bangsawan.256

Konsep teokrasi, bahwa

kekuasaan berasal dari Tuhan, penguasa merupakan wakil tuhan dan penguasa

merupakan pelaksana kekuasaan tuhan, adalah legitimasi atas kekuasaan raja pada

waktu itu. Sekularisasi merupakan semangat yang melunturkan konsep teokrasi,

bahwa kekuasaan raja dan kaisar dibatasi pada urusan duniawi sehingga raja dan

kaisar tidak lagi berkuasa atas urusan-urusan rohani umat yang universal dan yang

melintasi teritori dan kebangsaan.257

Sekularisasi ini yang kemudian mempertanyakan sumber kekuasaan raja.

Bila seorang Paus sebagai pemimpin agama mendapatkan sumber kekuasaannya

254

Bobbio, dalam David Held, Demokrasi... Op., Cit., hlm. 13 255

Ibid. 256

Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 13 257

Sekularisasi kekuasaan raja disebabkan oleh konflik yurisdiksi raja dan gereja (Paus)

yang berkuasa pada abad ke-13 dan 14. Raja dengan lambang kekuatan nasionalnya melakukan

ekspansi untuk melebarkan kekuasaannya atas wilayah lain bersama seluruh penduduknya yang

sebangsa, sedangkan Paus berusaha menegakkan kekuasaan politik gerejanya atas semuan insan

yang beragama Kristen tanpa membedakan unsur kebangsaan dan wilayah yang didiaminya. Lihat

Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 93

110

dari Tuhan, maka dari mana raja yang memimpin suatu teritori tertentu

memperoleh kekuasaan? Jawaban atas pertanyaan ini yang kemudian

memunculkan diskursus kedaulatan rakyat yang berakar pada konsep perjanjian

masyarakat (contract social). Kekuasaan raja muncul karena perjanjian

masyarakat yang memberikan kekuasaan untuk mengurus urusan duniawi kepada

raja. Maka penduduk yang tadinya dikuasai secara mutlak oleh raja menjadi

berani menyatakan statusnya sebagai warga negara yang melalui suatu kontrak

sosial yang sah dan konstitusional telah memberikan amanat dan mandat untuk

memerintah kepada mereka yang dapat dipercaya menata dan mengelola

kehidupan para warga negara.258

Konsep demokrasi kemudian muncul sebagai

konsekuensi atas ini. Kekuasaan negara bukan lagi berasal dari tuhan (vox Dei)

melainkan dari rakyat (vox populi). Meskipun sering kali keduanya di negara

Barat disetarakan atau yang satu dinisbahkan ke yang lain seperti ungkapan yang

populer vox populi, vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan.259

Berdasarkan ajaran kedaulatan rakyat dan kontrak sosial itu, maka

pemerintah berdaulat dan kedaulatan itu adanya berdasarkan perjanjian

masyarakat dalam rangka untuk melindungi hak-hak rakyat. Tujuan dan tugas

pemerintah dalam demokrasi harus diarahkan kepada terpenuhinya kepentingan

rakyat pada umumnya.260

Bila penguasa tidak menjalankan tugas sebagaimana

258

Ibid., hlm. 95 259

Ibid, hlm. 96 260

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas... Op., Cit., hlm. 29

111

mestinya, maka penguasa dianggap telah melanggar perjanjian dan rakyat dapat

mengambil tindakan seperlunya atas pelanggaran itu.261

Dikutip dari tulisan Moh. Mahfud MD,262

demokrasi kembali muncul

beriringan dengan masa renaissance dan reformasi. Masa renaissance dicirikan

dengan hidupnya kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno, yang

berupa gelombang-gelombang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di Italia

pada abad XIV dan mencapai puncaknya pada abad XV. Dasar dari semangat

renaissance adalah kebebasan berpikir dan bertindak bagi manusia tanpa boleh

ada orang lain yang menguasai atau membatasi dengan ikatan-ikatan.

Perkembangan pengetahuan mempunyai peluang yang begitu lebar. Kebebasan

bagi warga negara yang menjadi ciri demokrasi ini pada saat yang bersamaan,

menurut John Stuart Mill membutuhkan pembatasan ruang lingkup aktivitas

negara.263

Sejarah perkembangan pengaruh kebudayaan Yunani Kuno yang

mendorong renaissance bermula dari Perang Salib, yaitu perang antara penganut

agama Kristen dan Islam yang berlangsung kurang lebih 200 tahun antara 1096-

1291 dalam memperebutkan kota Yerussalem. Korelasi Perang Salib dengan

kemunculan masa Renaissance yaitu adanya kontak ide antara dua pihak yang

berperang.264

Sebagaimana diketahui, pada abad pertengahan, dunia Barat

tenggelam dalam kegelapan karena struktur sosial yang dikuasai oleh gereja dan

261

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 124 262

Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 14-16 263

Georg Sorensen, Demokrasi... Op., Cit., hlm. 9 264

Moh. Mahfud MD, Demokrasi... Op., Cit., hlm. 22

112

politik feodal sehingga mereka tenggelam dalam kebodohan. Adapun dunia Islam

pada waktu itu justru berada pada puncak kejayaan peradabannya karena

perhatiannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Orang-orang islam yang

dipelopori oleh orang Arab waktu itu bukan hanya berhasil mengasimilasikan

pengetahuan Parsi tua dan warisan klasik, namun juga kedua macam kebudayaan

itu disesuaikannya dengan kebutuhan-kebutuhan yang terutama dan dengan alam

pikiran mereka sendiri.265

Philip K. Hitti sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD,

dunia Islam telah memberikan sumbangan besar terhadap Eropa dengan

terjemahan-terjemahannya atas warisan Parsi dan Yunani yang kemudian

disesuaikan dengan watak Arab serta menyeberangkannya ke Eropa melalui Siria,

Spanyol dan Sisilia.266

Dari sudut sejarah kebudayaan, tugas menyeberangkan

ilmu pengetahuan itu tidaklah lebih kecil nilainya dari tugas menciptakan ilmu

pengetahuan yang asli, karena tanpa jasa orang-orang Arab-Islam yang telah

dengan penuh semangat mengembangkan hasil karya Aristoteles, Galenus,

Prolemaois dan menyeberangkannya ke Barat, maka ilmu itu dapat dengan

selamat diwarisi oleh generasi penerus Renaissance di Eropa; tanpa jasa orang

Arab-Islam sangat mungkin warisan pengetahuan tokoh Yunani itu hilang dan

dunia akan tetap miskin, seolah ilmu itu tidak pernah tercipta.267

Dunia Barat

harus diakui mendapatkan ilham untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan

dari tradisi keilmuan Islam, hanya saja, kekeliruan Dunia Barat adalah melupakan

2 (dua) prinsip dasar yang selalu dipegang teguh dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dalam Islam, yaitu pertama, bahwa akal pikiran sebagai sumber

265

Ibid., hlm. 23 266

Philip K. Hitti, The Arab A Short History dalam Ibid. 267

Ibid.

113

kebenaran ilmiah bukan merupakan segala-galanya, karena akal pikiran manusia

terbatas dan tak mungkin mampu menjawab segala-galanya sehingga dalam hal

(atau batas tertentu) manusia harus mencari kebenaran bukan melalui akal pikiran

melainkan melalui wahyu dan petunjuk tuhan; kedua, pengembangan ilmu

pengetahuan harus diorientasikan padaupaya membina keselamatan umat

manusia, dan tidak boleh merusak.268

Bagi negara modern saat ini, demokrasi semacam menjadi idola. Hampir

semua negara di dunia saat ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas

fundamental dalam penyelenggaraan negara. Hal ini sebagaimana ditunjukkan

oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950-an yang mengumpulkan lebih dari 100

(seratus) sarjana Barat dan Timur. Hasil studi menyimpulkan bahwa demokrasi

merupakan sistem terbaik dari semua alternatif politik yang ada; demokrasi

merupakan sistem yang mendapat pengakuan sebagai pilihan yang paling tepat

dan ideal untuk semua sistem organisasi politik dan kemasyarakatan modern.269

Penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950 sebagaimana dikutip kembali oleh

Jimly Asshiddiqie,270

dari 83 negara yang diperbandingkannya, 74 negara

konstitusinya secara resmi menganut kedaulatan rakyat. Dalam bahasa yang lebih

dramatis, Francis Fukuyama menggambarkan demokrasi sebagai The End of

History and The Last Man. Bahwa demokrasi (liberal) telah menaklukkan

ideologi-ideologi lain seperti monarki, fasisme, dan komunisme, sehingga

demokrasi (liberal) merupakan “titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia”,

268

Abdurrahman Wahid, Tradisi Keilmuan Dalam Islam, dalam Ibid., hlm. 24 269

Ibid., hlm. 18 270

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi... Op.,Cit., hlm. 116

114

sekaligus merupakan “bentuk final pemerintahan manusia”, sehingga ia bisa

disebut sebagai “akhir sejarah”.271

Demokrasi yang secara substansial menempatkan rakyat sebagai

pemegang kedaulatan diyakini sebagai ajaran yang terakhir dipraktekkan oleh

negara-negara modern, karena dianggap sebagai ajaran yang terbukti paling

mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.272

Demokrasilah yang memberikan

landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan

kesederajatan manusia.273

Samuel P. Huntington menjelaskan,274

isu menuju

demokrasi setidaknya mendasarkan pada 3 (tiga) hal, pertama, demokrasi politik

mempunyai korelasi yang sangat tinggi dengan kebebasan individu. Kebebasan

merupakan keutamaan yang khas dari demokrasi, sehingga kepedulian terhadap

kebebasan sebagai suatu nilai sosial yang tertinggi, akan berbanding lurus dengan

dengan kepedulian terhadap nasib demokrasi. Kedua, negara demokrasi jarang

menggunakan kekerasan dibandingkan dengan negara otoriter. Hal ini karena

negara demokrasi menyediakan saluran-saluran yang telah disetujui untuk

menyatakan perbedaan pendapat dan oposisi di dalam sistem itu. Ketiga,

demokrasi berimplikasi pada hubungan internasional. Samuel Huntington

meyakini bahwa tersebaranya demokrasi di dunia berarti perluasan zona

perdamaian di dunia.

271

Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme

dan Demokrasi Liberal, terjemahan oleh M.H. Amrullah, Cetakan Keempat, Penerbit Qalam,

Yogyakarta, 2016, hlm. 1 272

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Bernegara: Praksis Kenegaraan Bermartabat dan

Demokratis, Cetakan Kedua, Setara Press, Malang, 2016, hlm. 185 273

Ibid... hlm. 186 274

Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, terjemahan oleh Asril

Marjohan, Cetakan Pertama, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995, hlm. 30-31

115

Demokrasi sejak awal perkembangannya sampai sekarang mempunyai

citra kisah keberhasilan. Di bawah alam demokrasi, semakin banyak orang yang

dapat menikmati menjadi warga negara yang mempunyai hak pilih atau dapat

dipilih menjadi pemegang keputusan publik, sementara ketika memegang peran

sebagai pembuat keputusan, mereka mewakili kepentingan dari konstituennya.275

Demokrasi semacam memberikan pancaran legitimasi dalam kehidupan modern:

hukum dan politik terlihat lebih mencapai puncak keabsahannya ketika semua itu

bersifat “demokratis”, meskipun dalam kenyataannya tidak selalu demikian.276

Tidak heran bila demokrasi menjadi idaman semua negara modern. Bahkan

negara yang sebenarnya jauh dari nilai demokrasi, tidak segan mengklaim bahwa

dirinya demokratis.

Hampir setiap negara mencantumkan asas kedaulatan rakyat ini dalam

Undang-Undang Dasarnya, walaupun asas ini hanya merupakan mitos

belaka karena dalam praktik akhirnya orang yang satu dibedakan dari

orang yang lainnya, oleh karena yang satu lebih pandai dari yang lainnya,

lebih kaya, lebih terampil, lebih tinggi keudukannya, lebih banyak

kesempatan, dan sebagainya, sehingga dalam kenyataannya yang berdaulat

dalam negara itu adalah segolongan kecil manusia dalam masyarakat.

Golongan tersebut karena kelebihannya merupakan golongan yang

memerintah “the rulling class” atau juga elite.277

Pemerintahan Uni Soviet, Republik Rakyat Cina dan beberapa negara

kediktatoran komunis seperti Kuba selalu menganggap dirinya sebagai

pemerintahan yang demokratis.278

Pada konteks Indonesia, UUD 1945 yang

meskipun menyatakan dirinya menganut prinsip demokrasi, namun dalam sejarah

panjangnya justru menjauhi semangat demokrasi. Bahkan sekurang-kurangnya

275

Harjono, Transformasi... Op., Cit., hlm. 19 276

David Held, Demokrasi... Op., Cit., hlm. 3 277

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 127 278

Gregorius Sahdan, Jalan Transisi... Op., Cit., hlm. 16

116

hingga masa Orde Baru berakhir, belum pernah menghasilkan satu sistem politik

yang demokratis karena UUD 1945 memang membuka peluang bagi penguasa

untuk melakukan akumulasi kekuasaan.279

Cukup rasional kalimat Wirjono

Prodjodikoro,280

bahwa sejak dahulu sampai sekarang semua pemerintahan tanpa

pengecualian selalu mengaku secara resmi bersifat demokratis dengan alasan

tindakan mereka tentunya disetujui oleh seluruh rakyat, karena selalu dilakukan

untuk kepentingan rakyat banyak.

Klaim demokrasi oleh banyak negara memang wajar terjadi, mengingat

pada tataran operasional, negara yang sama-sama menganut demokrasi tidak serta

merta mempunyai kesamaan implementasi. Menurut Mahfud MD, ketidaksamaan

tersebut bahkan bukan hanya pada aspek pembentukan lembaga-lembaga atau

aparatur demokrasi tetapi juga menyangkut perimbangan porsi yang terbuka bagi

peranan negara maupun bagi peranan rakyat.281

Karena itu, menurut UNESCO

sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo, demokrasi mengandung ambiguitas

karena mempunyai berbagai pengertian, yang sekurang-kurangnya berupa

ketidaktentuan mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk

melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural serta historik yang

279

UUD 1945 yang memuat pasal-pasal yang multi-interpretable yang dalam real politik

tentu interpretasi penguasa yang harus diterima sebagai interpretasi yang benar pada satu sisi, dan

memberikan kekuasaan yang begitu besar pada lembaga eksekutif dengan terlalu percaya pada

semangat dan itikad baik orang yang berkuasa sehingga lebih menggantungkan pada semangat

penyelenggara daripada mengatur pembatasan kekuasaan, adalah celah UUD yang sering

dimanfaatkan untuk membrangus prinsip demokrasi. Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Hukum...

Op., Cit., hlm. 116-117 280

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas... Op., Cit., hlm. 24 281

Moh. Mahfud MD, Demokrasi... Op., Cit.,, hlm. 20

117

mempengaruhi istilah, ide dan praktik demokrasi.282

There is no one-size fits all

democracy but a variety of forms linked by family resemblances.283

Demokrasi pada prakteknya dibawa ke rute yang berbeda-beda sesuai

dengan cara negara merespon rezim sebelumnya. Inggris, Perancis dan Amerika

membawa demokrasi melalui revolusi borjuis yang ditandai dengan kapitalisme

dan demokrasi liberal; Jerman dan Jepang menjelang Perang Dunia II membawa

demokrasi melalui jalan kapitalistik dan revolusioner yang akhirnya berpuncak

pada fasisme; Cina membawa demokrasi melalui rute komunis dengan revolusi

kaum petani yang sampai tahap tertentu didukung oleh kaum buruh.284

Sedemikian diidolakannya demokrasi oleh seluruh negara modern saat ini,

juga harus diakui bahwa demokrasi demokrasi sebagai sebuah sistem, mempunyai

celah dan kecacatan. Demokrasi yang diperlawankan dengan otoritarianisme

sebagaimana telah diuraikan di atas, juga dapat berubah wujud seketika menjadi

otoriter dengan tetap menjadikan rakyat sebagai aktornya. Inilah yang kemudian

sering disebut sebagai diktator atau tirani mayoritas. Kedaulatan rakyat dapat saja

menjadi semu, karena kaum minoritas yang sebenarnya juga pemegang

kedaulatan, tidak diakui hak-haknya. Mayoritas dapat memaksakan kehendaknya

terhadap minoritas, yaitu ketika mayoritas rakyat memutlakkan kehendaknya.285

Demokrasi yang berpegang pada prinsip majority rule dapat mengancam hak-hak

dan kebebasan dasar minoritas dalam suatu negara. Pada saat yang sama,

282

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar... Op., Cit., hlm. 105 283

Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratizatio In Indonesia, Princeton

University Press, United Kingdom, 2000, hlm. 216 284

Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 180 285

Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,

Cetakan Kesembilan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2018, hlm. 374

118

demokrasi yang terlalu dikedepankan tanpa adanya elemen pendukung dan

penopang lain akan berakibat pada fungsi negara yang sangat pasif dan tanpa

kontrol.286

Atas dasar penjelasan di atas, maka adagium Vox Populi Vox Dei adalah

cara pandang yang salah melihat demokrasi, karena dapat saja suara mayoritas itu

terdistorsi, bias, dibeli, dan dimanipulasi oleh sebagian pihak dengan

mengatasnamakan rakyat. Penelitian oleh Eward Aspinal dan Ward Berenschot

mengistilahkan klientelisme politik untuk menggambarkan betapa suara rakyat

dapat dengan mudahnya dibeli oleh segelintir aktor politik. Klientelisme politik

terjadi ketika para pemilih, penggiat kampanye, atau aktor lain menyediakan

dukungan elektoral bagi politisi dengan imbalan berupa bantuan atau manfaat

material. Sebaliknya, para politisi menggunakan metode klientelistik untuk

memenangkan pemilihan umum dengan membagi-bagikan bantuan, barang, atau

uang tunai kepada pemilih. Penelitian yang diberi judul “Democracy for Sale”

tersebut memberikan gambaran bahwa suara rakyat telah menjadi komoditas yang

diperjual belikan, sehingga tidak murni diberikan kepada politisi agar

memperjuangkan kepentingan politiknya.287

Tentu demokrasi yang dihasilkan

pada akhirnya adalah demokrasi semu, karena bukan menggambarkan

kepentingan rakyat yang sesungguhnya.

286

Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,

hlm. 24 287

Edward Aspinall dan Ward Barenschot, Democracy For Sale: Pemilu, Klientelisme,

dan Negara di Indonesia, terjemahan oleh Edisius Riyadi, Cetakan Pertama, Yayasan Pustaka

Obor Indonesia, Jakarta, 2019, hlm. 2

119

Kata dasar demokrasi berasal dari Bahasa Yunani yaitu democratia yang

kemudian diadopsi ke dalam bahasa Perancis yaitu demokratie. Kata demokrasi

masuk dalam perbendaharaan Bahasa Inggris baru sejak abad ke-16.288

Secara

harfiah, demokrasi berasal dari 2 (dua) kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan

kratos atau kratein yang berarti memerintah. Maka secara sederhana, demokrasi

dapat dimaknai sebagai kewenangan atau kedaulatan untuk memerintah berada

pada rakyat. Pemahaman tentang kedaulatan rakyat ini dalam demokrasi modern

(demokrasi tidak langsung) tentu tidak bisa disamakan dengan demokrasi kuno

(demokrasi langsung). Karena itu, Mohammad Hatta, memaknai kedaulatan

rakyat sebagai pemerintahan rakyat yang dilakukan oleh para pemimpin yang

dipercaya oleh rakyat.289

Kalimat filosofis yang disampaikan oleh Abraham Lincoln pada pidato

Gettysburg adalah salah satu yang paling populer dan banyak digunakan untuk

memaknai demokrasi, yaitu government of the people, by the people, for the

people”.290

Secara teoretis, implementasi dari 3 (tiga) prinsip tersebut yaitu

pertama, pemerintahan dari rakyat menghendaki agar suatu pemerintahan yang

sah adalah pemerintahan yang mendapatkan pengakuan dan dukungan mayoritas

dari rakyat melalui mekanisme dan prosedur demokrasi seperti pemilihan umum

sebagai legitimasi politik untuk menjalankan birokrasi. Kedua, pemerintahan oleh

rakyat bermakna bahwa pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya atas nama

288

Harjono, Transformasi... Op., Cit., hlm. 20 289

Mohammad Hatta, Demokrasi Kita: Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan

Kedaulatan Rakyat, Cetakan Keempat, Sega Arsy, Bandung, 2014, hlm. 23-24 290

Kenneth Newton dan Jan W. Van Deth, Perbandingan Sistem Politik: Teori dan

Fakta, terjemahan oleh Imam Muttaqin, Cetakan Pertama, Nusa Media, Bandung, 2016, hlm. 50

120

rakyat, bukan atas dasar dorongan pribadi elite negara atau elite birokrasi. Lebih

luas lagi dalam kriteria kedua ini adalah pemerintah dalam menjalankan

kekuasaanya berada dalam pengawasan rakyat (social control), baik secara

langsung maupun tidak langsung melalui wakilnya di parlemen. Ketiga,

pemerintahan untuk rakyat bermakna bahwa kekuasaan yang diberikan oleh

rakyat kepada pemerintah tersebut harus dilaksanakan untuk kepentingan rakyat

secara umum.291

Bahkan dalam sistem participatory democracy sebagaimana

dikutip Jimly Asshiddiqie,292

dikembangkan juga tambahan bersama rakyat,

sehingga menjadi kekuasaan pemerintahan yang berasal dari rakyat, untuk rakyat,

oleh rakyat, dan bersama rakyat. Makna demokrasi yang demikian kiranya mirip

dengan definisi demokrasi oleh Samuel P. Huntington yang melihat dari 3 (tiga)

pendekatan, yaitu sumber wewenang dari pemerintah, tujuan yang akan dilayani

oleh pemerintah, serta prosedur untuk membentuk suatu pemerintahan.293

Henry B. Mayo memaknai demokrasi sebagai sistem politik yang

menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-

wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala

yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana

terjaminnya kebebasan politik. (A democratic political system is one in wich

public politicies are made on a majority basis, by representatives subject to

effective popular control at periodic elections wich are conducted on the principle

291

A. Ubaedillah, Pancasila... Op., Cit., hlm. 82-83 292

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi... Op., Cit., hlm. 117 293

Samuel P. Huntington, Gelombang... Op., Cit., hlm. 4

121

of political equality and under conditions of political freedom).294

W.A. Bonger

memaknai demokrasi sebaga bentuk pemerintahan dari suatu kesatuan hidup yang

memerintah diri sendiri, di mana sebagian besar anggotanya turut mengambil

bagian baik langsung maupun tidak langsung, adanya jaminan kemerdekaan

rohani dan persamaan di hadapan hukum, dan anggota-anggotanya terliputi oleh

semangatnya.295

Menurut Joseph A. Schumpeter,296

demokrasi merupakan suatu metode

politik, suatu pola bangunan hukum untuk sampai pada keputusan politik di mana

individu-individu mendapatkan kekuasaan untuk memutuskan melalui perjuangan

berlomba guna mendapatkan suarat dari rakyat. Philipp C. Schmitter memaknai

demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah diminta untuk

tanggung jawab atas tindakan-tindakannya di wilayah publik oleh warga negara,

yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan

wakil-wakil mereka yang telah terpilih.297

Demokrasi pada perkembangannya mempunyai pemaknaan yang cukup

kompleks. Pada abad XIX, makna demokrasi kembali mengalami perluasan

mengikuti tradisi Schumpeterian. Bahwa demokrasi berarti proses pengambilan

keputusan kolektif yang penuh melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara

294

Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, dalam Moh. Mahfud MD,

Demokrasi... Op., Cit., hlm. 19 295

W.A. Bonger, Problemen der Domocratie dalam Eddy Purnama, Negara Kedaulatan

Rakyat: AnalisisTerhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-

Negara Lain, Cetakan Pertama, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 42 296

Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim

Indonesia, dalam Ibid. 297

A. Ubaedillah, Pancasila... Op., Cit., hlm. 82

122

bebas, jujur, dan adil dalam rangka memilih kandidat-kandidat yang berhak untuk

memangku jabatan politis.298

Bahwa benar demokrasi merupakan cara untuk mencapai kesejahteraan.

Jadi, demokrasi bukan tujuan.299

Penulis tidak setuju apabila demokrasi hanya

dilihat dari aspek prosedural sebagaimana pendekatan Schumpeterian, namun juga

harus dimaknai secara substansial, yaitu kesesuaian kebijakan negara dengan

kebutuhan rakyat,300

serta kesesuaian cara-cara yang ditempuh untuk memenuhi

kebutuhan rakyat tersebut. Demokrasi yang hanya bertumpu pada aspek

prosedural padahal aspek prosedural itu adalah sesuatu yang lazim dan sebuah

keniscayaan dalam demokrasi perwakilan, di mana segelintir orang dipilih oleh

banyak orang untuk menetapkan kebijakan, bahkan telah menimbulkan kritik

karena dianggap oligarki.301

Terhadap hal ini, penulis setuju dengan konsepsi Dr.

Jitta yang membedakan demokrasi menurut bentuk dan isinya. Ia menyebutkan

method of decision making untuk melihat demokrasi dari segi bentuk dan

pemerintahannya yang dilakukan oleh orang banyak, yang ini merupakan bentuk

dari demokrasi formil. Sedangkan content of decision made melihat demokrasi

dari aspek isinya dan demokrasi itu diselenggarakan untuk kepentingan orang

banyak, yang ini dikualifikasikan sebagai demokrasi materil.302

298

Gregorius Sahdan, Jalan... Op., Cit., hlm. 13 299

Amartya Sen, Democracy as Universal Value, dalam Masdar Hilmy, Jalan Demokrasi

Kita: Etika Politik, Rasionalitas, dan Kesalehan Publik, Intrans Publishing, Malang, 2017, hlm. 20 300

Janedjri M.Gafar, disampaikan pada seminar tentang “Menguji Daya Lenting

Konstitusi di Tengah Turbulensi” diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas

Hukum Universitas Islam Indonesia, 20 Agustus 2021. 301

Jeffrey A. Winters, Oligarki, terjemahan oleh Zia Anshor, Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 2011, hlm. 4 302

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 166-167

123

Letak ketidaksetujuan penulis terhadap konsepsi demokrasi yang hanya

mengedepankan aspek prosedural juga melihat konsepsi yang dibangun oleh

Daniel Ziblat dan Steven Levitsky. Bahwa proses-proses pemilihan pemimpin

yang telah dilakukan secara demokratis dalam arti melibatkan rakyat secara luas,

tidak menjamin bahwa demokrasi telah berjalan secara konsekuen. Demokrasi

dapat saja mati di tangan pemimpin yang dipilih secara demokrastis. Cara-cara

yang dilakukan untuk mematikan demokrasi terjadi secara samar, selangkah demi

selangkah, dilakukan dengan kesan legal-konstitusional, bahkan dikesankan

terpuji seperti melawan korupsi, menjaga integritas pemilu, memperbaiki kualitas

demokrasi, menjaga keamanan nasional, mengatasi keadaan darurat, dan

sebagainya.303

Tidak heran apabila rakyat tidak sadar bahwa sebenarnya

demokrasi telah diberangus sedemikian rupa.

Cara-cara yang dilakukan penguasa yang dihasilkan dari proses demokrasi,

namun justru merusak demokrasi itu sendiri, diibaratkan oleh Daniel Ziblat dan

Steven Levitsky dengan sebuah pertandingan sepak bola. Penguasa akan

menangkap wasit, mengeluarkan beberapa pemain bintang tim lawan, dan

membuat ulang aturan permainan untuk mengamankan keunggulan sendiri dan

merugikan tim lawan.304

Wasit dianalogikan sebagai badan atau lembaga penegak hukum yang

diidealkan dapat berperan netral dalam negara demokrasi guna mencegah,

mengatasi, dan menghukum pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah,

303

Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, How Democracies Die, terjemahan oleh Zia

Anshor, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2019, hlm. 60 304

Ibid.

124

diupayakan untuk dikendalikan sehingga dapat melayani kepentingan penguasa.

Akhirnya, penguasa bebas melanggar hukum, melawan konstitusi, dan mereduksi

hak konstitusional warga negara tanpa harus takut akan masuk pada proses

hukum.305

Mengendalikan lembaga penegak hukum, tidak hanya sebagai perisai

pelindung, namun juga dapat menjadi senjata kuat untuk menyerang lawan dan

melindungi kawan. Cara yang sering digunakan biasanya adalah mengganti

pegawai dan pejabat non partisan, kemudian menggantinya dengan pengikut-

pengikut setianya.306

Penyingkiran pemain bintang lawan diibartkan dengan meminggirkan dan

melumpuhkan aktor-aktor penting oposisi, pemimpin bisnis yang membiayai

oposisi, media-media besar, bahkan tokoh agama yang terpandang di mata

masyarakat, agar tidak lagi berperan dalam pemerintahan. Caranya adalah dengan

membeli mereka, baik dalam bentuk memberikan jabatan, imbalan, sogokan,

mengikat dengan kontrak tertentu, dan sejenisnya.307

Meminggirkan oposisi dan

media dari politik dan pemerintahan, menjadikan penguasa menang tanpa harus

melanggar aturan.308

Untuk mengokohkan kekuasaan, penguasa akan merubah dan mendesain

ulang peraturan. Konstitusi, sistem pemilihan umum, dan aturan-aturan lain

didesain sedemikian rupa agar menguntungkan pemerintah dan merugikan

lawan.309

Lebih kacaunya, semua hal itu dilakukan dengan alasan kepentingan

305

Ibid., hlm. 61 306

Ibid. 307

Ibid., hlm. 64 308

Ibid., hlm. 69 309

Ibid.

125

umum (padahal menguntungkan penguasa), dan prosedur yang digunakan adalah

legal dan konstitusional.310

Konsepsi yang dibangun Ziblat dan Levitsky tersebut, menunjukkan

bahwa semakin terjadi kerancuan batas antara suatu negara yang dapat

dikualifikasikan sebagai negara demokrasi dengan negara yang non demokrasi.

Hampir tidak terlihat bahwa demokrasi sebenarnya telah diberangus di suatu

negara oleh penguasa yang dipilih secara demokratis, dengan proses-proses yang

secara prosedural adalah konstitusional. Dengan demikian, menjadi penting

menganalisis secara lebih mendalam batas-batas antara negara dengan mendasar

pada demokrasi dengan negara yang non demokrasi. Untuk itu, lebih lanjut akan

dibahas mengenai karakteristik demokrasi, unsur-unsur spesifik demokrasi, serta

sistem yang berlawanan dengan demokrasi itu sendiri.311

Pada awalnya, demokrasi dimaknai sebagai bentuk pemerintahan yang

dilawankan dengan bentuk monarki dan aristokrasi.312

Tepatnya pada abad XVIII,

demokrasi dimunculkan sebagai teori dan praktek sebagai alternatif baru untuk

menggeser sistem monarki yang totaliter. Bahwa masyarakat adalah pemilik

310

Ibid. 311

Demokrasi sebagai sistem politik adalah sesuatu yang abstrak. Memperbandingkan

sistem politik lain yang berlawanan dengan demokrasi akan sangat membantu memperdalam

analisis mengenai hakikat demokrasi itu sendiri. Perumpamaan Daniel Ziblat dan Steven Levitsky

yang membahas perihal norma abstrak, juga relevan untuk digunakan pada konteks ini. Bahwa

sesuatu yang abstrak, memang sulit dilihat dan diamati secara spesifik, bahkan cenderung

terabaikan terutama bila berfungsi dengan baik (sekurang-kurangnya aspek umum dan formalnya).

Dalam konteks diskursus demokrasi, ketika aspek formal prosedural masih berjalan, sering kali

mengecoh sehingga menganggap demokrasi masih sehat, padahal secara spesifik jauh dari

kebenaran. Seperti oksigen atau air jernih, demokrasi akan tampak ketika ia sudah tidak berlaku.

Padahal memperbaiki demokrasi yang sudah runtuh, jauh lebih sulit untuk dilakukan daripada

mencegah keruntuhan demokrasi itu sendiri. Maka untuk mengetahui apakah demokrasi masih

berjalan atau tidak, penting untuk melihat bagaimana antitesis dari demokrasi itu sendiri. Lihat

dalam Ibid., hlm. 83 312

Harjono, Transformasi... Op., Cit., hlm. 20

126

negara, karena secara formal suatu negara didirikan (dengan perjanjian)

masyarakat.313

Kusnardi dan Bintan R. Saragih menyebutkan, untuk membedakan

apakah sebuah negara menganut sistem demokrasi atau masih terjebak pada

autokrasi salah satunya dapat dilihat dari konstitusi yang berlaku di suatu negara.

Apakah konstitusi dibuat oleh lembaga yang berwenang dan masih berlaku

sebagai hukum positif serta diterima oleh masyarakat dan pemerintahannya, maka

negara itu bisa digolongkan sebagai negara demokrasi. Akan tetapi apabila

konstitusi yang positif itu tidak pernah dilakukan dalam praktek maka negara

tersebut adalah autokrasi, dan yang paling ekstrim lagi adalah konstitusi yang

berlaku di dalam negara itu adalah konstitusi darurat, maka tidak dapat disangkal

lagi negara tersebut adalah autokrasi.314

Demokrasi sebagai sistem politik, juga sering kali diperlawankan dengan

otoritarianisme. Semua bentuk pemerintahan yang tidak memenuhi syarat sebagai

demokrasi, maka dapat dikualifikasikan sebagai negara otoriter. Huntington

menyebutkan, bahwa sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan, suku-suku

bangsa, negara patrimonial, neopatrimonial, pemerintahan feodal, kerajaan

birokrasi, aristokrasi, oligarki, theokrasi, fasis, dikatorial militer, rezim diktatorial

pribadi, rezim sulstanistik, kekaisaran negara kontinental, dan rezim kediktatoran

satu partai merupakan bentuk-bentuk pemerintahan otoritarian.315

313

Moh. Mahfud MD, Demokrasi.... Op., Cit., hlm. 5 314

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu... Op., Cit., hlm. 193 315

Samuel Huntington, Tertib Politik Dalam Masyarakat yang Sedang Berubah,

Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 222

127

Perbedaan yang tajam antara pemerintahan demokratis dan pemerintahan

otoriter memang soal penyelenggaraan pemilu. Apabila pemilu diselenggarakan

secara terbuka, adil, partisipatif, jujur, maka negara tersebut dapat disebut

demokratis. Jika pemilu dilakukan dengan penuh kecurangan, tidak terbuka,

terbatas hanya kalangan tertentu, dan hanya menjadi arena kompromistis

kepentingan penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya dengan

mengatasnamakan legitimasi rakyat, maka tidak dapat disangkal lagi bawah

negara dimaksud termasuk otoriter. Eric Selbin pernah menggugat kebermaknaan

demokrasi bagi masyarakat Amerika Latin ketika Pemilu tidak berbuah

kesejahteraan warga masyarakat luas, namun hanya menguntungkan segelintir

elit.316

Erik Selbin dengan demikian melihat bahwa demokrasi tidak hanya soal

pemilu, namun juga apa yang dihasilkan dari pemilu itu, yaitu soal kesejahteraan

rakyat.

Ukuran lain setelah pemilu untuk melihat apakah sebuah negara demokrasi

atau otoriter adalah soal perlindungan hak warga negara. Apabila hak-hak warga

negara dilindungi berdasarkan hukum yang ada, maka suatu negara dapat

dikualifikasikan demokratis. Sebaliknya, apabila hak warga negara cenderung

dibatasi secara ketat, hak warga negara dikendalikan secara penuh oleh negara,

maka negara tersebut termasuk negara yang otoriter.

Mekanisme pertanggungjawaban juga menjadi parameter apakah suatu

negara demokrasi atau otoriter. Dalam negara otoriter pada umumnya tidak ada

316

Eric Selbin, Modern Latin American Revolutions dalam Masdar Hilmy, Jalan

Demokrasi... Op., Cit., hlm. 28

128

pertanggungjawaban kekuasaan dan rakyat tidak mempunyai wewenang untuk

membatasi kekuasaan penguasa.317

Sebaliknya, dalam negara demokrasi,

akuntabilitas pemerintah dan mekanisme kontrol masyarakat akan dijamin

berdasarkan hukum. Kenneth Newton dan Jan W. Van Deth318

menyebutkan

bahwa karakteristik pertama demokrasi adalah pengakuan bahwa yang menjadi

perhatian utama bukanlah kekuasaan melainkan perlindungan terhadap hak;

adanya partisipasi aktif warga negara, yang ini dalam demokrasi perwakilan dapat

diwujudkan melalui persetujuan warga negara terhadap wakilnya yang diberikan

mandat; dan adanya pertanggungjawaban.

Ukuran terakhir untuk melihat demokrasi yaitu arah kebijakan

penyelenggaraan negara. Bila penyelenggaraan negara bertumpu pada

kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat secara luas, maka demokrasi telah

berjalan dengan baik. Sebaliknya, bila penyelenggaraan negara hanya

menguntungkan segelintir elite, maka demokrasi belum dilaksanakan secara

konsekuen.

Juan J. Linz dan Alfred Stepan,319

melihat sebuah negara yang mengarah

atau berproses menuju demokrasi (demokratisasi) dapat dilihat dari 2 (dua) tahap,

yaitu transisi dan konsolidasi. Transisi dicirikan oleh 4 (empat) hal, yaitu terdapat

kesepakatan tentang prosedur dan mekanisme penyelenggaraan pemilu yang

demokratis; pemerintahan dipilih langsung oleh rayat dalam sebuah proses pemilu

langsung; pemerintah memiliki otoritas merumuskan kebijakan-kebijakannya; dan

317

Gregorius Sahdan, Jalan... Op., Cit., hlm. 18 318

Kenneth Newton dan Jan W. Van Deth, Perbandingan... Op., Cit., hlm. 49 319

Masdar Hilmy, Jalan Demokrasi... Op., Cit., hlm. 15-16

129

tidak ada pembagian kekuasaan (power sharing) di luar lembaga eksekutif,

legislatif, dan yudikatif. Sedangkan tahap konsolidasi dicirikan oleh 3 (tiga) hal,

yaitu dalam hal perilaku, tidak ada kelompok politik yang berusaha

menggulingkan rezim demokratis melalui kekerasan atau intervensi asing; dalam

hal sikap, opini publik mayoritas rakyat meyakini bahwa perubahan politik harus

dilakukan dalam koridor paramter demokrasi, bahkan dalam kondisi krisis

ekonomi dan politik yang parah sekalipun; dan dalam hal konstitusi, semua

kekuatan pemerintah dan non pemerintah sepakat bahwa konflik politik

diselesaikan melalui prosedur dan institusi hukum dalam kerangka rezim

demokrasi.

Secara universal demokrasi mendasarkan pada prinsip untuk mengakui

kepentingan fundamental setiap individu (a recognition of the fundamental

importance of every individual); menghargai/menghormati persamaan setiap

orang (a respect for the equality of all men); mengakui kekuasaan mayoritas dan

menghargai hak-hak minoritas (a faith in majority rule and minority rights);

menerima kompromi atas kepentingan (an acceptance of the necessity of

compromise); serta menghormati kebebasan individu (an insistence on individual

freedom).320

Seymour Martin Lipset321

mengatakan bahwa ciri utama sebuah negara

menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya yaitu pertama, adanya

kompetisi untuk memperebutkan posisi pemerintahan, dan adanya pemilihan

320

Gregorius Sahdan, Jalan Transisi... Op., Cit., hlm. 23 321

Seymour Martin Lipset, The Encyclopedia of Democracy, dalam Kenneth Newton dan

Jan W. Van Deth, Perbandingan... Op., Cit., hlm. 54

130

umum yang adil dan teratur tanpa menggunakan pemaksaan dan tanpa

mendiskriminasi kelompok manapun. Kedua, adanya partisipasi warga negara

untuk menyeleksi pemimpin mereka dan membuat kebijakan. Ketiga, adanya

kebebasan sipil dan politik untuk memastikan integritas persaingan dan partisipasi

politik.

Menurut Danohoe,322

demokrasi yang universal harus mengandung

beberapa unsur, yaitu the contest of regular free and fair electons (by many

parties) conducted by secret ballot on the basis of universal adult suffrage

(adanya aturan pemilihan umum yang bebas dan jujur oleh beberapa partai yang

diselenggarakan secara rahasia bagi orang dewasa yang mempunyai hak pilih);

there is separation of powers, and independent judiciary and free press (adanya

pemisahan kekuasaan, peradilan yang merdeka dan kebebasan pers); there is

respect for the rule of law (adanya penghormatan terhadap hukum); human rights

and the rights of minorities are respected (adanya penghormatan terhadap hak

asasi manusia dan hak-hak golongan minoritas); an independent, efficient and

accountable civil service exercises prudent management of public resources

(adanya pemerintahan yang mandiri, efisien dan bertanggung jawab dalam

memberikan pelayanan umum).

Robert A. Dahl memberikan 8 (delapan) kriteria bagi negara yang

mendasarkan pada demokrasi, yaitu adanya kebebasan untuk membentuk dan

322

Priyenee Wijesekera dan Dinan Reynold, Parelement and Government in The Next

Millenium dalam In‟amul Mushoffa, dkk. Konsep Memperdalam Demokrasi: Dari Prosedural ke

Substantif Menuju Representasi Politik yang Berkualitas, Intrans Publishing, Malang, 2016, hlm.

24

131

bergabung ke dalam organisasi (freedom to form and join organization); adanya

kebebasan untuk menyatakan pendapat (freedom of expression); adanya hak untuk

memilih (right ro vote); adanya hak untuk dipilih (eligibility for public office);

adanya hak bagi peserta politik untuk berkampanye guna memperoleh dukungan

suara rakyat (the right of political leaders to compete for support and vote);

adanya pilihan terhadap berbagai sumber informasi (alternative sources of

information); adanya pemilihan umum yang bebas dan jujur (free and fair

election); dan adanya lembaga-lembaga yang membuat kebijaksanaan pemerintah

berdasarkan kepada keinginan rakyat (institution for making government polices

depend on vote and other expressions of preference).323

Adapun menurut Henry B. Mayo, beberapa nilai demokrasi yaitu324

penyelesaian perselisihan dengan damai dan secara melembaga (institutionalized

peaceful settlement of conflict); menjamin terselenggaranya perubahan secara

damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in

changing society); penggantian kepemimpinan secara teratur (orderly succesion of

rules); membatasi penggunaan kekerasan sampai minimum (minimum of

coercion); mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity);

menjamin tegaknya keadilan, dengan ditopang oleh lembaga-lembaga untuk itu

adalah pemerintahan yang bertanggungjawab, dewan perwakilan rakyat yang

mewakili golongan dan kepentingan masyarakat yang dipilih melalui pemilihan

umum yang bebas dan rahasia, suatu organisasi partai politik, media massa yang

323

Arend Lijphart, Democracies, Patterns of Majoritarian and Consensus Government in

Twenty-One Countries dalam Eddy Purnama, Negara... Op., Cit., hlm. 48 324

Henry B. Mayo, An Introduction to Democratie Theory, dalam Moh. Kusnardi dan

Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 169-171

132

bebas menyatakan pendapat, dan sistem peradilan yang bebas untuk menjamin

hak asasi manusia dan mempertahankan keadilan.

Semua definisi, unsur, dan prinsip demokrasi yang berbeda-beda menurut

beberapa ahli di atas, titik kesamaannya yaitu memberikan rakyat posisi utama

dalam penyelenggaraan negara yang menjamin hak asasi manusia. Demokrasi

dengan demikian, identik dengan paham kedaulatan rakyat. Dapatlah penulis

katakan bahwa esensi dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat.

Menurut Immanuel Kant mengenai paham kedaulatan rakyat, tujuan

negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan para

warganya. Dalam pengertian kebebasan di sini adalah kebebasan dalam batas-

batas perundang-undangan, sedangkan undang-undang yang berhak membuat

adalah rakyat itu sendiri. Maka kalau begitu undang-undang itu adalah merupakan

penjelmaan daripada kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang

mewakili kekuasaan tertinggi atau berdaulat dalam negara.325

Menurut S.E. Finer

sebagaimana dikutip dalam Bagir Manan, asumsi dasar paham kedaulatan rakyat

setidaknya terdapat 3 (tiga) hal, yaitu pertama, pemerintahan yang berkedaulatan

rakyat adalah pemerintahan yang memiliki kekuasaan terbatas atau dibatasi, yang

ini merupakan salah satu ciri negara hukum demokrasi; kedua, pemerintahan

berkedaulatan rakyat adalah pemerintahan yang mengakui kemajemukan

masyarakat (pluralistik); pemerintahan berkedaulatan rakyat menolak adanya

325

Sodikin, Hukum Pemilu: Pemilu Sebagai Praktik Ketatanegaraan, Gramata

Publishing, Bekasi, 2014, hlm. 14

133

setiap upaya untuk memutlakkan suatu pandangan atau pikiran mengenai

masyarakat dan moral.326

Menurut Amartya Sen, terdapat 3 (tiga) peran substantif demokrasi agar

keberadaannya benar-benar bermakna bagi pengembangan kedirian sebuah

bangsa, yaitu peran intrinsik sebagai penjamin partisipasi politik dan kemerdekaan

dalam kehidupan manusia; peran instrumental sebagai insentif politik dalam

menjamin pemerintah bertanggung jawab dan akuntabel; dan peran konstruktif

dalam pembentukan dan kultivasi nilai serta memahami kebutuhan, hak dan

kewajiban.327

Menurut Moh. Mahfud MD,328

ada 4 (empat) prasyarat minimal bagi

demokrasi yaitu adanya akuntabilitas bagi pejabat atau penguasa terhadap

rakyatnya; adanya supremasi hukum yang mengharuskan hukum menjadi sentral

dan pengaruh dalam setiap penyelenggaraan dan kegiatan kenegaraan; adanya

persamaan perlakuan bagi semua orang di depan hukum dan pemerintahan; dan

adanya akses bagi rakyat atas keputusan-keputusan publik. Mirip dengan pendapat

Kenneth Newton,329

bahwa demokrasi yang maju atau yang telah mengakar

merupakan sistem yang terkonsoliasi dan stabil yang berpijak pada masyarakat

sipil yang maju, hak sipil dan politik yang terjamin, sejumlah institusi otonom

pemerintah yang bertindak di bawah aturan hukum, sistem pemilu yang bebas dan

326

Bagir Manan, “Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi

Menurut UUD 1945” dalam Ibid. 327

Amartya Sen, Democracy as Universal Value, dalam Masdar Hilmy, Jalan

Demokrasi... Op., Cit., hlm. 20 328

Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 119-120 329

Kenneth Newton dan Jan W. Van Deth, Perbandingan... Op., Cit., hlm. 76

134

adil, dan pemerintahan yang kekuasaannya efektif bagi pelaksanaan tugas-

tugasnya.

Demokrasi dalam perjalanannya mengalami banyak perkembangan dengan

ragam model dan derajat keberlakuannya. Ada banyak ahli politik dan hukum

yang mengklasifikasikan sesuai dengan kacamata pengamatannya, seperti Atilio

Boron, Jeff Haness, Andrew Haywood, dan sebagainya.

Jeff Hayness membagi level demokrasi menjadi 3 (tiga) macam.330

Pertama, demokrasi formal. Inti dari demokrasi formal yaitu bahwa aturan dan

ketentuan yang bermakna untuk menentukan perilaku dan kandungan dari

pemilihan umum, sementara pemerintah harus mengaturnya dengan

memperhatikan proses hukum. Demokrasi formal sangat berkaitan dengan ide

tentang pilihan, sehingga pemerintah yang tidak populer dapat tersingkir dalam

pemilihan umum. Ciri dari demokrasi formal menurut Hayness ini yaitu adanya

pemilihan umum yang teratur, bebas, terbuka, dan adil; negara tidak

menggunakan paksaan secara berlebihan terhadap masyarakat; dan adanya

mekanisme hukum yang mengatur pertanggungjawaban negara terhadap

masyarakat.

Kedua, demokrasi permukaan. Demokrasi pada level ini dapat juga disebut

dengan demokrasi semu, tampak seolah menerapkan demokrasi, padahal secara

substansial jauh dari nilai-nilai demokrasi. Penguasa bahkan sebenarnya tidak

menginginkan negara menjadi demokratis karena ingin kekuasaan yang absolut.

330

Jeff Hayness, Democracy and Civil Society in The Third World Politics & New

Political Movement dalam In‟amul Mushoffa, dkk. Konsep... Op., Cit., hlm. 15

135

Pelanggaran terhadap hak asasi manusia lumrah terjadi karena warga yang

melancarkan kritik terhadap pemerintah akan dianggap sebagai pembangkang dan

tidak loyal pada negara. Hayness menyebut bahwa model ini sangat umum di

dunia ketiga pada dekade 70-90 dan beberapa di antaranya berlangsung sampai

awal millenium ketiga.331

Ketiga, demokrasi substantif. Hayness menyebutkan bahwa demokrasi ini

mengintensifkan konsep dengan memasukkan penekanan pada kebebasan dan

diwakilinya kepentingan melalui forum publik yang dipilih. Demokrasi substantif

merupakan pendalaman demokrasi, sehingga warga negara mempunyai akses

yang mudah pada proses pemerintahan dan suara di dalam pengambilan keputusan

secara kolektif. Demokrasi model ini juga memperhatikan kesetaraan dan

keadilan, kebebasan sipil, dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi

manusia.332

Andrew Haywood membagi model demokrasi ke dalam 4 (empat) bagian

dengan pendekatan pada masa perkembangannya.333

Pertama, demokrasi klasik.

Konteks demokrasi yang dimaksud Haywood pada level ini adalah demokrasi

yang dipraktekkan pada zaman Yunani Kuno. Demokrasi yang bersifat langsung

karena seluruh warga negara berpartisipasi dalam penentuan kebijakan, dianggap

sebagai bentuk paling ideal pelaksanaan demokrasi. Kedua, demokrasi

perlindungan (protektif). Kata perlindungan dilekatkan dengan demokrasi karena

praktik demokrasi diidealkan sebagai sebuah sarana, melalui apa warga negara

331

Ibid., hlm. 16-17 332

Ibid. 333

Ibid., hlm. 18-20

136

dapat melindungi diri dari pelanggaran pemerintah. Demokrasi model ini muncul

ketika ide demokrasi kembali menguat pada abad XVII dan XVIII.

Ketiga, demokrasi pengembangan. Demokrasi ini mengarah pada cita-cita

yang lebih radikal ala demokrasi langsung. Model demokrasi ini diyakini

terinspirasi dari Rousseau, bahwa demokrasi bukan hanya berkaitan dengan

kesetaraan politik saja, tetapi juga kesetaraan ekonomi. Dari konsepsi Rousseau

ini kemudian yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan

keputusan berkaitan dengan kebijakan-kebijakan negara yang berdampak pada

nasib mereka. Hal ini dapat dicapai apabila pemerintahan sudah bersifat terbuka,

akuntabel, dan desentralistis.334

Keempat, demokrasi rakyat. Penggunaan istilah demokrasi rakyat ini pada

dasarnya untuk menunjukkan secara luas pada ragam model demokrasi yang telah

dimunculkan oleh ajaran marxis atau yang umumnya dikenal dengan demokrasi

sosial. Ini lahir sebagai bentuk kritik terhadap demokrasi liberal dan menilainya

sebagai perwujuan dari demokrasi borjuis atau kapitalis. Namun secara prinsip,

tertarik pada konsep demokrasi karena implikasi egaliteriannya yang jelas. Dalam

pandangan Marz, demokrasi borjuis akan digantikan oleh sistem demokrasi

proletarian setelah melalui transisi revolusioner.335

Terlepas dari model dan tipe demokrasi di atas, penulis tertarik dengan

sebuah gagasan dari M. Amien Rais sebagaimana dikutip kembali oleh Moh.

334

Ibid., hlm. 19-20 335

Ibid.

137

Mahfud MD,336

bahwa demokrasi agar tidak diembel-embeli dengan kata sifat

seperti yang berkembang saat ini, sebab penyifatan itu selalu digunakan untuk

memanipulasi mekanisme demokrasi itu sendiri sehingga prinsip demokrasi yang

otentik menjadi berkurang atau bahkan hilang. Istilah demokrasi hendaknya

dibiarkan saja dengan satu kata yang otonom yaitu “demokrasi”.

Penulis setuju terhadap pendapat Amien Rais tersebut. Rousseau pernah

menyampaikan kritik terhadap demokrasi perwakilan yang mereduksi makna

demokrasi langsung. “Orang inggris percaya bahwa mereka adalah orang yang

bebas, mereka sangat keliru; mereka bebas hanya pada saat pemilihan anggota

parlemen berlangsung; segera setelah anggota parlemen terpilih, mereka

diperbudak; tidak ada kebebasan”.337

Rakyat yang berdaulat menurut Rousseau

adalah fiksi semata, karena rakyat dapat mewakilkan kepada seorang saja atau

kepada beberapa orang. Kedaulatan pada realitanya sebenarnya tidak terletak lagi

pada rakyat karena oleh rakyat telah dikuasakan kepada seseorang (seperti raja),

atau satu yang nyata-nyata menjalankan kekuasaannya itu.338

Pendapat Rousseau menurut penulis cukup rasional. Akhirnya, negara

otoriter pun dapat saja mengklaim dirinya demokrasi karena kedudukan negara

yang mendapatkan persetujuan rakyat misalnya dengan bukti tidak adanya

penolakan, dan dengan dalih bahwa orientasi utama penyelenggaraan negara oleh

336

Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 52 337

David Held, Model of Democracy dalam Georg Sorensen, Demokrasi... Op., Cit., hlm.

11 338

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 125

138

penguasa adalah kepentingan rakyat. Bukti konkret di Indonesia terhadap hal ini

adalah demokrasi terpimpin yang diberlakukan oleh Soekarno.

Demokrasi terpimpin “lahir” sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal

5 Juli 1959, dan bahkan pada tahun 1965, dikukuhkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Ketetapan Nomor VIII/MPRS/1965.

Berdasarkan ketetapan MPRS tersebut, inti dari pedoman demokrasi terpimpin

adalah apabila musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka musyawarah

mengambil kebijaksanaan dengan menempuh jalan antara lain bahwa persoalan

itu diserahkan kepada pimpinan untuk mengambil kebijaksanaan dengan

memperhatikan pendapat-pendapat yang bertentangan. Jadi substansi dari

demokrasi terpimpin ini adalah ikhwal pengambilan keputusan dalam setiap

musyawarah lembaga-lembaga negara yang apabila musyawarah mufakat tidak

tercapai, sangat terbuka peluang bagi pimpinan untuk mengambil keputusan

sesuai dengan kehendakanya sendiri.339

Konsep ini tentu sangat bertentangan

dengan original intent demokrasi yang muncul seiring dengan semangat

Renaisance dan Reformasi sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahkan

merupakan bentuk kemunduran. Sebuah Kediktatoran yang terselubung di balik

label demokrasi yang dilekati dan diembeli kata “terpimpin”. Dalam bahasa

Adnan Buyung Nasution, demokrasi terpimpin Soekarno merupakan rumusan

politik baru bagi bentuk pemerintahan yang lebih otoriter.340

339

Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Kedua,

Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 99-100 340

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi

Sosio Legal Atas Konstituante 1956-1959, terjemahan oleh Sylvia Tiwon, Cetakan Pertama,

Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995, hlm. 301

139

Masykuri Abdillah yang sejalan dengan pendapat Amien Rais

menyebutkan, bahwa menjamurnya pengertian demokrasi dengan segala model

dan sifatnya yang beragam itu merupakan akibat dari euforia demokrasi yang

diterima oleh hampir seluruh pemerintahan di dunia, bahkan oleh pemerintahan

otoriter sekalipun yang menggunakan kata “demokrasi” untuk mensifati rezim dan

aspirasi mereka.341

Dilihat dari perspektif hukum Islam, prinsip, tujuan, dan hakikat sistem

demokrasi menurut Syafii Maarif sebagaimana dikutip oleh Ni‟matul Huda, maka

sistem tersebut dekat dengan cita-cita politik Qura‟ani yang mengedepankan

konsep syura atau musyawarah. Membahas demokrasi dalam perspektif Islam,

dengan demikian akan merujuk pada istilah syura. Meskipun pada titik tertentu,

terdapat perbedaan antara syura dan demokrasi yang diimplementasikan oleh

negara Barat.342

Namun dalam tulisan ini, penulis hendak menggunakan kata

syura untuk menggambarkan demokrasi dalam perspektif Islam karena kedekatan

makna dan implementasinya. Keengganan seorang penguasa untuk

bermusyawarah dan lebih mengedepankan pendapatnya sendiri, dalam perspektif

Islam menurut Abdul Qadir Abu Faris dikategorikan sebagai bentuk dari sikap

341

Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi: Respons Intelektual Muslim Indonesia

Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Prenadamedia Group,

Jakarta, 2015, hlm. 70 342

Ahmad Syafii Maarif, Islam Politik dan Demokrasi di Indonesia, dalam Ni‟matul

Huda, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 16

140

otoriter, karena cenderung akan memaksakan pendapat dan sikapnya untuk orang

lain.343

Muhammad Natsir berpandangan bahwa Islam adalah demokratis

setidaknya dalam pengertian bahwa Islam menolak istibdad (despotisme),

absolutisme, dan otoritarianisme.344

Sedangkan Moh. Iqbal menganggap bahwa

demokrasi adalah aspek terpenting dalam cita-cita politik Islam.345

Demokrasi

telah ditegakkan sejak masa Nabi Muhammad dengan basis musyawarah yang

landasan hukumnya langsung bersumber pada al-Qur‟an.346

“dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan

melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan

musyawarah antara mereka”. (Asy-Syura ayat 38)

Musyawarah sejak masa Nabi Muhammad tidak pernah ditinggalkan.

Ketika perang Badar Kubro, Nabi Muhammad bahkan lebih dari satu kali

meminta para sahabatnya untuk memberikan pertimbangan tentang strategi

perang, hingga al-Hibab bin al-Mundzir bersuara memberikan pertimbangan

untuk mengubah strategi perang, yang pertimbangan tersebut dilaksanakan oleh

Nabi.347

Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah menjelaskan, “tidak seorangpun

343

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat Sistem Politik Islam: Suatu Telaah

Mendalam tentang Tata Hukum, Keadilan, Ketaatan, Syura, terjemahan oleh Hery Noer Aly dan

Agus Halimy, Cetakan Pertama, Bidang Penerbitan PLP2M, Yogyakarta,1987, hlm. 113 344

Masykuri Abdillah, Islam... Op., Cit., hlm. 73 345

Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan Dalam Islam dalam Ni‟matul Huda,

Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 16 346

Qamaruddin Khan, Tentang Teori Politik Islam, terjemahan oleh Taufik Adnan Amal,

Cetakan Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1987, hlm. 60 347

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat.... Op., Cit., hlm. 101

141

yang lebih banyak melakukan musyawarah dengan para sahabatnya selain

Rasulullah SAW”.348

Masa setelah Nabi Muhammad SAW, yaitu para sahabat-sahabat

Rasulullah juga tidak pernah meninggalkan musyawarah ketika mengambil

keputusan atas permasalahan tertentu. Abu Bakar mengumpulkan para sahabat

Nabi untuk melaksanakan musyawarah tentang berbagai persoalan yang tidak ada

nash-nya di dalam al-Quran dan Hadist; Umar bin Khattab yang bahkan terkait

khalifah yang akan menggantikannya, dimusyawarahkan dengan Abdur Rahman

bin Auf dan beberapa sahabat lainnya.349

Dengan merujuk pada apa yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan

para sahabatnya, para cendekiawan Islam sejak dahulu selalu menekankan arti

penting musyawarah ini. Di dalam kitab al-Adab as-Sulthaniyyah wad-Duwalil

Islamiyyah sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Abu Faris ini bahkan

menyebutkan bahwa kekeliruan dengan musyawarah adalah lebih maslahat

dibandingkan dengan kebenaran yang diambil secara individual dan otoriter.350

Kalimat tersebut telah sangat sesuai dengan Firman Allah dalam al-Quran Surat

Al-Imran ayat 159, yang artinya “Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah

ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.

Azbabun nuzul Surat Al-Imran ayat 159 itu yaitu ketika kaum Muslimin

harus terpukul mundur di dalam peristiwa perang Uhud setelah Nabi Muhammad

348

Bunyamin, “Konsepsi Musyawarah dalam al-Qur‟an: Analisis Fiqh Siyasah terhadap

QS: An-Naml” artikel dalam Jurnal Al-„Adl, Vol. 10, No. 1, Januari 2017, hlm. 37 349

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat... Op., Cit., hlm. 102 350

Ibid., hlm. 103

142

menggunakan strategi perang berdasarkan pendapat mayoritas dan meninggalkan

pendapatnya sendiri. Tidak heran apabila terlintas dalam pikiran kaum Muslimin

bahwa hasil musyawarah yang mengedepankan pendapat mayoritas, akan

berakibat fatal, sedangkan pendapat Nabi Muhammad yang juga sebagai

pemimpin waktu itu ternyata lebih baik daripada pendapat mayoritas. Menampik

persepsi yang demikian, maka turunlah ayat tersebut.351

Amirul Mukiminin Ali bin Abu Thalib menyebutkan bahwa dalam

bermusyawarah setidaknya mempunyai 7 (tujuh) hal penting, yaitu mengambil

kesimpulan yang benar, mencari (bertukar) pendapat, menjaga kekeliruan,

menghindarkan celaan, menciptakan stabilitas emosi, menjaga keterpauan hati,

dan mengikuti „atsar.352

Al-Ahnaf bin Qais pernah ditanya, “Dengan dasar apa

kebenaranmu tampak banyak dan kekeliruanmu tampak sedikit dalam masalah

yang engkau kerjakan dan peristiwa yang engkau kuasai?” Ahnaf bin Qais

menjawab “Dengan cara bermusyawarah bersama orang-orang yang mempunyai

pengalaman dan pemikiran yang terbaik”.353

Beberapa hal yang digariskan oleh

Ali bin Abi Thalib dan Ahnaf bin Qais ini tempak mempunyai kesamaan dengan

karakter demokrasi Barat yang diminati oleh banyak negara sebagaimana

diuraikan di atas, bahwa demokrasi mampu memberikan legitimasi kuat bagi

pemerintah yang karenanya dapat menjaga stabilitas penyelenggaraan negara.

351

Ibid., hlm. 106 352

Ibid., hlm. 107 353

Abu Salim Muhammad bin Thalhah al-Qurasyi an-Nushaibi, al-Aqul Farid lil-Maliki

as-Said, dalam Ibid., hlm. 108

143

Patut menjadi perhatian atas syura ini yaitu tentang prinsip dan

landasannya yang berpangkal pada profesionalitas, kemaslahatan bersama, dan

tidak terjebak semata-mata pada aspek mayoritas sebagaimana di dalam

demokrasi Barat yang akibatnya dapat saja mereduksi bahkan meniadakan

aspirasi, kepentingan, dan hak-hak minoritas.354

Telah disinggung sebelumnya,

suara mayoritas bukan merupakan penentu ideal karena dapat saja suara mayoritas

justru terdistorsi, salah, atau manipulasi segelintir pihak, sehingga dalam hal ini,

menjadi tidak relevan prinsip suara rakyat adalah suara tuhan. Contoh betapa

syura ini dijalankan dan bertumpu pada kemaslahatan dibandingkan pendekatan

mayoritas yaitu ketika Rasulullah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya

mengenai tawanan perang. Abu Bakar dengan karakternya yang murah hati

memberikan saran agar para tawanan dibiarkan kembali ke keluarganya,

sedangkan Umar bin Khattab dengan karakternya yang keras memberikan

pendapat untuk memenggal mereka. Mayoritas sahabat menyetuji pendapat Abu

Bakar sehingga Rasulullah memilih pendapat itu dengan mengampuni sebagian

354

Rousseau memaknai bahwa cermin kedaulatan rakyat adalah keputusan suara

terbanyak (meederheid besluit), yang konsekuensinya yaitu keharusan untuk mengikuti suara

terbanyak. Pendapat Rousseau ini berpijak pada ajaran kedaulatan rakyat yang bertumpu pada dua

macam kehendak rakyat, yaitu kehendak rakyat seluruhnya (Volente de Tous) dan kehendak rakyat

sebagian (Volente Generale). Volente de Tous hanya dipakai satu kali, yaitu ketika negara hendak

dibentuk berdasarkan perjanjian masyarakat, yang setelah itu tidak lagi digunakan, karena

menggunakan volente de tous pada penyelenggaraan negara setelah negara terbentuk, justru akan

menghambat jalannya pemerintahan. Sedangkan Volente Generale digunakan setelah negara

terbentuk, yaitu dengan sistem suara terbanyak, yang ini dipakai oleh negara-negara demokrasi

Barat. Konsep ini dikritik oleh Kusrnardi dan Bintan R. Saragih karena justru terjebak pada

diktator atau tirani mayoritas. Suara terbanyak tidak akan selalu benar, karena suara terbanyak

tidak lagi mempersoalkan kebenaran, tetapi mengejar kemenangan, yang hal ini sering kali

terjebak pada penyelewengan. Lihat dalam Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Ilmu Negara...

Op., Cit., hlm. 124-125. Rousseau juga mengetengahkan bahwa pertimbangan rakyat memang

tidak selalu memiliki kejujuran yang sama, melainkan senantiasa mencari kebaikan diri sendiri.

Lihat dalam Jean Jecques Rousseau, Kontrak Sosial, terjemahan oleh Sumardjo, Erlangga, Jakarta,

1986, hlm. 24

144

tawanan perang dan menerima tebusan dari yang lainnya.355

Pilihan keputusan

Rasulullah tersebut ternyata mendapat “teguran” dari Allah sehingga turun Firman

Qur‟an Surat al-Anfal ayat 68 yang artinya, “kalau sekiranya tidak ada ketetapan

yang terdahulu dari Allah, niscaya kalian ditimpa siksaan yang besar, karena

tebusan yang kalian ambil”. Atas hal itu, Nabi Muhammad kemudian bersabda,

“sekiranya turun adzab dari langit, niscaya tidak akan selamat daripadanya orang-

orang, selain Umar bin Khattab dan Saad bin Muadz. Di dalam riwayat Ibnu

Mardawih, Niscaya Umar akan selamat”.356

Gambaran peristiwa di atas, sekali lagi menegaskan bahwa ukuran syura

tidak hanya bertumpu pada mayoritas, tetapi juga pada aspek kemaslahatan

bersama. Syura dengan demikian menitikberatkan pada proses dan hasil.

Prosesnya yang harus dilalui yaitu dengan musyawarah, sedangkan hasilnya

adalah bertumpu pada kemaslahatan bersama.

C. Teori Hukum Tata Negara Darurat

Menurut Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat merupakan

rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa untuk

dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan keadaan darurat

atau bahaya yang mengancam, dan mengembalikan kehidupan biasa menurut

peraturan perundang-undangan dan hukum umum dan biasa.357

Ancaman tersebut

dapat menyasar pada keselamatan penduduk, mengancam keselamatan dan

355

Mayoritas sahabat Nabi berpendapat agar mengambil tebusan dari para tawanan

adalah riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Ishaq. Lihat dalam Muhammad Abdul Qadir Abu Faris,

Hakikat... Op., Cit., hlm. 118 356

Ibid., hlm. 119 357

Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, Djambatan, Jakarta,

1996, hlm. 1

145

keutuhan negara termasuk integritas wilayah negara, ataupun mengancam prinsip-

prinsip dasar bernegara serta kualitas penyelenggaraan demokrasi dan/atau

keadilan.358

Baik dalam literatur, maupun dalam beberapa konstitusi di beberapa

negara, hukum tata negara darurat ini banyak juga diistilahkan dengan state of

siege, martial law, state of emergency, state of exception, dan sebagainya. State of

siege digunakan di Perancis yang awal mulanya adalah untuk merespon

kekacauan yang diakibatkan oleh Revolusi Perancis waktu itu. Klausul ini

kemudian dikodifikasikan pertama kali melalui dekrit Constituent Assembly pada

tanggal 8 Juli 1791, yang kemudian diadopsi di dalam Pasal 36 Konstitusi

Perancis 1958.359

Karena kesejarahan inilah, maka state of siege atau state of

exception dalam istilah Giorgio Agamben, lahir dari tradisi revolusioner-

demokratis, bukan tradisi absolutis.360

Adapun martial law digunakan oleh Inggris sebagai sebuah sistem yang

dikonstruksikan untuk menjaga ketertiban dan disiplin dalam angkatan bersenjata.

Namun sejak abad keempat belas, pranata hukum ini juga digunakan untuk warga

sipil yang dianggap sebagai pemberontak dan penghianat negara, pencuri,

perampok, dan provokator yang mengancam keamanan dan ketertiban.361

Pada

Perang Dunia Kedua di Inggris, martial law dalam konsepsi hukum darurat negara

digunakan sebagai dasar bagi pemerintah untuk melakukan penahanan terhadap

358

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 31 359

John Reynolds, The Long... Op., Cit., hlm. 5 360

Giorgio Agamben, State of Exception, The University of Chicago Press, Chicago and

London, 2005, hlm. 5 361

J.V. Capua, The Early History of Martial Law in England from the Fourteenth

Century to the Petition of Right, dalam John Reynolds, The Long... Op., Cit., hlm. 6

146

warga sipil (mayoritas adalah pengungsi dari Eropa) tanpa adanya proses

pengadilan yang fair, namun hanya dengan praduga pemerintah dengan alasan

untuk menjaga keamanan nasional karena mereka dianggap sebagai musuh

negara.362

Seperti halnya Inggris, Amerika Serikat juga menggunakan klausul

martial law sebagai instrumen untuk menghadapi keadaan krisis dan darurat yang

mengancam negara. Namun dalam sejarah Amerika Serikat, martial law ini tidak

diatur dan tidak disebutkan di dalam konstitusinya, termasuk juga kekuatan

darurat yang diberikan kepada presiden, tidak ditemui klausul dan pengaturan

eksplisit dalam sejarah konstitusi Amerika Serikat. Martial law ini lahir dalam

trasisi peradilan, karena itu, definisi martial law justru dikembangkan oleh

Supreme Court. “Martial law is the law of military necessity in the actual

presence of war. It is administered by the general of the army, and is in fact his

will. Of necessity it is arbitrary; but it must be obeyed”.363

Pada tataran

implementasi, dalam sejarah Amerika Serikat, martial law memang tidak pernah

diberlakukan pada seluruh wilayah Amerika Serikat secara serentak, namun

pernah diberlakukan di negara-negara bagian, untuk merespon perang saudara dan

perang dunia,364

seperti New Orleans yang ditetapkan berada di bawah darurat

militer oleh Jenderal Andrew Jackson pada tahun 1812, darurat militer di

beberapa wilayah yang ditetapkan oleh Presiden Abraham Lincoln untuk

362

Ibid..., hlm. 21 363

William Feldman, “Theories of Emergency Powers: A Comparative Analysis of

American Martial Law and the French State of Siege” artikel dalam Cornell International Law

Journal, Volume 38, Nomor 3, Tahun 2005, hlm. 1022 364

Ibid.

147

merespon perang saudara, dan darurat militer di Hawai setelah terjadi serangan di

Pearl Harbor.365

Istilah State of Emergency digunakan di Jerman oleh Ernst Wolfgang

Bockenforde untuk menunjukkan bahwa negara sedang dalam keadaan darurat.

Sedangkan state of exception banyak digunakan di beberapa literatur seperti

dalam tulisan Giorgio Agamben untuk menunjukkan bahwa hukum darurat negara

memberlakukan pengecualian atau penyimpangan-penyimpangan tertentu dari

hukum yang berlaku normal.

Merujuk pada definisi dan peristilahan di atas, maka hukum tata negara

darurat mempunyai beberapa unsur, yaitu pertama, adanya ancaman bahaya atau

keadaan darurat yang harus dihadapi dengan upaya yang luar biasa. Ancaman

bahaya ini dikhawatirkan akan mengancam berjalannya pemerintahan atau

mengancam keutuhan negara. Herman Sihombing mengambil contoh dengan

merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1946, yaitu misalnya adanya

serangan, adanya pemberontakan atau kerusuhan, adanya bencana alam, sehingga

dengan beberapa keadaan tersebut presiden dapat menyatakan seluruh atau

sebagian dari daerah negara berada dalam keadaan bahaya atau darurat.366

Kedua,

upaya biasa yang umum dan lazim tidak memadai untuk menanggulangi keadaan

darurat. Terhadap unsur yang kedua ini, penting untuk diperhatikan adanya

keseimbangan antara bahaya yang ada dengan upaya yang luar biasa sehingga

365

Ibid... hlm. 1023 366

Herman Sihombing, Hukum... Op., Cit., hlm. 4

148

kekuasaan tersebut tidak disalahgunakan.367

Ada relevansi yang kuat bahwa upaya

luar biasa yang ditempuh, dengan keadaan darurat yang ada.

Ketiga, kewenangan luar biasa diberikan kepada pemerintah untuk secepat

mungkin mengakhiri bahaya dan mengembalikan pada kehidupan normal.

Kewenangan ini diberikan, karena upaya hukum biasa tidak lagi memungkinkan

untuk mengatasi keadaan darurat. Tidak ada pilihan lain yang dapat digunakan

oleh pemerintah untuk mengatasi keadaan darurat selain menggunakan jalan

tersebut. Kim Lane Scheppele menyebutkan,368

the state of exception-or reason of state, or state of emergency, or etat de

siege-has referred to the situation in which a state is confronted by a

mortal threat and responds by doing things that would never be justifiable

in normal times, given the working principles of that state. The state of

exception uses justifications that only work in extremis, when the state is

facing a challenge so severe that it must violate its own principles to save

itself.

Keempat, hukum tata negara darurat ini bersifat sementara, yaitu berlaku

hanya selama keadaan darurat saja, setelah keadaan darurat berakhir, maka aturan

yang biasa dan normal yang kembali berlaku. Hukum tata negara darurat idealnya

tidak boleh membawa kepada keadaan yang dianggap sebagai sebuah kenormalan

baru (new normal) karena peruntukannya pada kondisi darurat, serta substansinya

yang mengandung berbagai macam penyimpangan dan pengecualian.369

Hukum

tata negara darurat justru diadopsi untuk menghapuskan keadaan bahaya dan

sesegera mungkin mengembalikan negara kepada keadaan normal. Keadaan

367

Ibid. 368

Kim Lane Scheppele, “Law in Time of Emergency: State of Exception and The

Temptations od 9/11” artikel dalam Journal of Constitutional Law, Mei, 2004, hlm. 104 369

Anna Jonsson Cornell and Janne Salminen, “Emergency Laws in Comparative

Constitutional Law – The Case of Sweden and Finland” artikel dalam German Law Journal, Vol.

19, No. 2, 2018, hlm. 220

149

bahaya di bawah pranata hukum darurat tidak boleh berlangsung lama karena

justru menyalahi esensi dari hukum tata negara darurat itu sendiri. Hal ini juga

untuk menjaga keseimbangan antara pranata luar biasa berupa hukum darurat

dengan keadaan bahaya, agar kewenangan luar biasa itu tidak menimbulkan

penyalahgunaan kekuasaan yang besar.370

Anna Jonsson dan Janne Salminen

menjelaskan,371

Resolving emergency situations inherently requires the State to take swift

and extraordinary measures. Taking constitutional democracies as a

starting point, states of emergency signal a temporary need to cast aside

principles like the separation of powers and functions, and checks and

balances. The State can restrict fundamental rights and freedoms and

expand the power of the executive. (Menyelesaikan situasi darurat secara

inheren mengharuskan negara untuk mengambil tindakan cepat dan luar

biasa. Mendasarkan pada demokrasi konstitusional, keadaan darurat

menandakan kebutuhan sementara untuk mengesampingkan prinsip-

prinsip seperti pemisahan kekuasaan dan fungsi, serta checks and balances.

Negara dapat membatasi hak-hak dasar dan kebebasan dan memperluas

kekuasaan eksekutif).

Semakin lama suatu daerah berada pada keadaan darurat di bawah pranata

hukum yang luar biasa itu, maka akan semakin lama terjadi penyimpangan

terhadap hukum dalam keadaan normal. Penyimpangan-penyimpangan lain di

lapangan tentu juga akan muncul.372

Contoh paling terkenal penyimpangan

dengan menggunakan kewenangan hak darurat negara adalah Pemerintahan Nazi

(Hitler) di Jerman. Hitler menggunakan alasan keadaan bahaya atau darurat untuk

menghapuskan konstitusi Weimar 1919 yang dikenal sangat demokratis menjadi

kekuasaan yang sangat otoriter. Pasal 48 yang mengatur mengenai kekuasaan luar

biasa Presiden Weimar Jerman untuk menyatakan keadaan bahaya negara dan

370

Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 146 371

Anna Jonsson Cornell and Janne Salminen, Emergency... Loc., Cit. 372

Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 147

150

Pasal 76 yang mengatur mengenai perubahan konstitusi, merupakan dasar pijakan

Hitler untuk menyalahgunakan kekuasaannya.373

Hitler memanfaatkan pranata

hukum tata negara darurat yang kekuasaan dan kesempatannya sangat luas dan

hampir dapat dikatakan tidak mempunyai batasan, dengan alasan keadaan darurat

untuk menghalalkannya. Padahal secara praktik, bukan justru mengatasi keadaan

darurat dan mengembalikan ke keadaan normal, namun justru mempunyai agenda

menumpuk kekuasaan untuk diri sendiri. Hukum tata negara darurat digunakan

oleh Hitler sebagai instrumen terstruktur dan sistematis untuk melancarkan

kepentingan kekuasaannya.

Bahwa benar Hitler dalam mencapai puncak kekuasaannya dilakukan

secara bertahap dan tampak melalui jalur konstitusional. Instrumen hukum darurat

negara memang tidak secara langsung dan serta merta merubah Konstitusi

Weimar yang demokratis, seketika berubah menjadi konstitusi yang ortodoks dan

elitis. Bahkan perubahan Konstitusi Weimar itu dilakukan dengan cara-cara biasa

sebagaimana digariskan di dalam Pasal 76. Hanya saja, sebelum mencapai itu

semua, terlebih dahulu telah direkayasa secara rapi melalui penggunaan hukum

darurat negara.

Asal mula keruntuhan Konstitusi Weimar dan kemutlakan kekuasaan

Hitler adalah klausul Pasal 48 Konstitusi Weimar yang memberikan kekuasaan

yang luas bagi pemerintah Jerman untuk mengambil langkah-langkah yang

diperlukan dalam pemulihan keamanan dan ketertiban umum, termasuk juga

penangguhan sementara atas hak-hak dasar warga negara. Pasal 48 itu mulai

373

Herman Sihombing, Hukum... Op., Cit., hlm. 5

151

sering digunakan oleh Presiden Paul von Hindenburg antara tahun 1930 sampai

dengan 1932 untuk memerintah dengan dekrit dalam menghadapi oposisi

mayoritas di parlemen.374

Hitler yang diangkat sebagai Reich Chancellor (perdana

menteri) pada 30 Januari 1933 oleh presiden, membujuk Hindenburg untuk

mengamankan pemilihan umum agar mendapatkan dukungan mayoritas parlemen

pada rezim yang baru, dengan memanfaatkan kekuasaan darurat berdasarkan

Pasal 48. Pada tanggal 4 Februari 1933, diberlakukan undang-undang darurat

untuk memberikan perlindungan bagi rakyat Jerman, yang secara substansial,

undang-undang tersebut kemudian digunakan untuk membatasi pers dan melarang

pertemuan oposisi menjelang pemilihan umum yang akan dilangsungkan 5 Maret

1933.375

Undang-undang darurat itu secara normatif dibentuk untuk melindungi

rakyat, namun hakikatnya adalah untuk mendesain penyelenggaraan pemilu agar

mayoritas parlemen dikuasai oleh pemerintah.

Selanjutnya, undang-undang darurat juga digunakan untuk merespon

kebakaran Reichstag pada tanggal 28 Februari 1933 dengan menangguhkan hak-

hak dasar warga negara yang telah dilindungi konstitusi, dengan keberlakuannya

yang tanpa batas waktu tertentu.376

Undang-undang darurat itu juga

memungkinkan Pemerintah Jerman mengesampingkan kekuasaan negara bagian,

hingga keberlakuannya tampak sebagai konstitusi. Karena selama pemerintahan

Nazi tidak pernah dihapuskan, Hitler akhirnya memerintah selama 12 (dua belas)

374

Simon Lavis, The Exception of the Norm in the Third Reich: (Re)reading the Nazi

Constitutional State of Exception, dalam Cosmin Cercel, dkk. (Editor), States of Exception: Law,

History, Theory, Routledge, New York, 2021, hlm. 96 375

Ibid. 376

Ibid... hlm. 97

152

tahun di bawah rezim darurat. Ian Kershaw sebagaimana dikutip oleh Simon

Lavis menyebutkan “this hastily constructed emergency decree amounted to the

charter of the Third Reich”.377

Undang-undang darurat yang ditetapkan pada tanggal 4 Februari dan 28

Februari itu memang belum merubah Konstitusi Weimar, namun keduanya

menjadi pintu gerbang atas perubahan Konstitusi Weimar yang pada akhirnya

menjadi ortodoks itu. Pada 24 Maret 1933, dengan pengesahan undang-undang

tentang pemberdayaan rakyat, mengamandemen Konstitusi Weimar untuk

mengizinkan undang-undang agar dapat disahkan oleh eksekutif tanpa harus

melibatkan legislatif, termasuk juga pengesahan suatu undang-undang yang

menyimpangi konstitusi dalam batas-batas tertentu.378

Perubahan konstitusi ini

memang tidak memanfaatkan Pasal 48 secara langsung sebagai dasar kedaruratan

negara, namun status negara Jerman waktu itu adalah dalam keadaan darurat

berdasarkan undang-undang darurat yang ditetapkan 28 Februari sebelumnya,

yang kemudian secara prosedural mendasarkan pada Pasal 76 sebagai dasar

perubahan formal konstitusi yang membutuhkan dua pertiga mayoritas Reichstag

untuk menyetujui amendemen konstitusi. Namun mayoritas parlemen itu telah

diatur dan diamankan melalui undang-undang darurat sebelumnya yang

ditetapkan pada tanggal 4 Februari 1933.379

377

Ibid. 378

Peter Caldwell, National Socialism and Constitutional Law: Carl Schmitt, Otto

Koellreutter, and the Debate Over the Nature of the Nazi State, dalam Ibid. 379

Ibid.

153

Kekuasaan Hitler kemudian semakin mutlak sejak kematian Hindenburg

dan disahkannya Undang-Undang tentang Kepala Negara Jerman yang

menggabungkan Reich Chancellor (perdana menteri) dan presiden berada pada

satu orang, dan menjadikan Hitler sebagai kanselir Fuhrer (pemimpin absolut),

termasuk panglima tertinggi angkatan bersenjata.380

Konstitusi Weimar yang

terkenal demokratis berakhir, penyelenggaraan negara berbuah absolutisme di

bawah kepemimpinan Hitler, hanya karena Pasal 48 Konstitusi Weimar itu

memberikan kewenangan yang luas dalam merespon keadaan darurat negara yang

kemudian disalahgunakan secara terstruktur dan sistematis.

Pada konteks Indonesia, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang ditetapkan oleh

Soekarno adalah contoh yang hampir mirip. Di bawah Dekrit Presiden 5 Juli 1959

ini, tidak jarang terjadi tindakan-tindakan inkonstitusional yang hanya

mendasarkan pada kehendak sepihak Soekarno dengan dalih keadaan

ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan

bangsa serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang

adil dan makmur.381

Sebagai salah satu contoh, pembaruan susunan (untuk

“pembubaran”) DPR, karena ditolaknya budget yang diajukan oleh Pemerintah.

Ketentuan tersebut melanggar Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yang menetapkan

kalau DPR tidak menyetuji anggaran yang diusulkan oleh Pemerintah, maka

dipakai anggaran tahun sebelumnya, bukan DPR yang dibubarkan.382

380

Ibid 381

Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 149 382

Ibid.

154

Kendatipun sangat rawan disalahgunakan dengan akibat yang sangat fatal

itu, pranata hukum tata negara darurat ini memang penting untuk diadopsi dalam

negara, yang secara normatif yuridis dicantumkan di dalam konstitusi sebagai

dasar konstitusional bagi negara untuk bertindak dalam keadaan darurat.

Machiavelli dengan kalimatnya yang terkenal, menyebutkan,

Now in a well-ordered republic it should never be necessary to resort to

extra-constitutional measures; for although they may for the time be

beneficial, yet the precedent is pernicious, for if the practice is once

established of disregarding the laws for good objects, they will in a little

while be disregarded under that pretext for evil purposes. Thus no

republic will ever be perfect if she has not by law provided for everything,

having a remedy for every emergency, and fixed rules for applying it.383

(saat ini dengan negara yang sudah tertata dengan baik, seharusnya tidak

perlu lagi menggunakan tindakan-tindakan yang sifatnya ekstra-

konstitusional; karena meskipun tindakan-tindakan tersebut mungkin

berguna untuk saat ini, namun preseennya merusak, karena jika ia

dipraktikkan dengan tidak menghormati hukum meskipun untuk tujuan

yang baik, tindakan-tindakan itu juga akan dilecehkan dengan

menggunakan hukum itu sendiri untuk mencapai tujuan yang buruk.

Dengan demikian, tidak ada negara yang akan sempurna apabila tidak

menyediakan segala sesuatu yang berdasarkan hukum, memiliki alat untuk

mengatasi keadaan daruat, dan aturan tetap untuk menerapkannya)

Negara tentu tidak akan berjalan baik-baik saja. Akan ada kejadian-

kejadian yang tidak terduga sebelumnya yang akan menuntut negara melalui

pemerintah untuk bertindak cepat dan luar biasa, yang melampaui batasan-batasan

normatif sebagaimana ditentukan dalam pranata hukum biasa. Membatasi

tindakan pemerintah dengan pranata hukum yang berlaku normal ketika negara

dalam keadaan darurat, hanya akan memperburuk keadaan dan memperbesar

ancaman terhadap keselamatan negara dan warganya. Karena itu, Alexander

Hamilton dalam Federalist Paper menyebutkan, “the circumstances that

383

Kim Lane Scheppele, Law... Op., Cit., hlm. 1005

155

endanger the safety of nations are infinite, and for this reason no constitutional

shackles can wisely be imposed on the power to which the care of it is

committed”.384

Keadaan luar biasa atau keadaan tidak normal yang tidak bisa ditangani

secara efektif dengan instrumen hukum yang ada tersebut, tentu juga tidak dapat

dijadikan alasan bagi negara untuk berhenti melaksanakan tugas dan tanggung

jawabnya. Penyelenggaraan negara sebagai organisasi yang mendapatkan mandat

langsung dari rakyat tetap harus berjalan sebagaimana mestinya. Dalam tendensi

yang negatif, keadaan tidak normal ini, apabila tidak diantisipasi dengan

perangkat hukum positif yang ada, niscaya akan memperlemah organisasi negara

dan pemerintahan yang berimplikasi pada tereduksinya jaminan perlindungan

terhadap hak warga negara. Pada konteks inilah pranata hukum tata negara darurat

harus diadopsi dalam suatu negara. Alexander N. Domrin mengatakan, “It is

obvious that providing for regulation of governmental powers in emergencies is

the best way to protect individual liberty and ensure the swiftest return to

constitutional normalcy”.385

(Pengaturan kekuasaan pemerintah dalam keadaan

darurat negara adalah cara yang terbaik untuk melindungi kebebasan inividu dan

memastikan untuk secara cepat kembali kepada keadaan konstitusional yang

normal).

384

Alexander Hamilton, James Madison, and John Jay, The Federalist Papers, Oxford

University Press, New York, 2008, hlm. 114 385

Alexander N. Domrin, The Limits of Russian Democratisation: Emergency Powers

and States of Emergency, First Published, Routledge, London and New York, 2006, hlm. xii

156

Hukum tata negara darurat memberikan kewenangan yang dikenal dengan

“hak darurat negara”,386

yang berdasarkan kewenangan ini, apabila presiden

menilai bahwa negara sedang berada dalam keadaan darurat, maka dapat

mengambil keputusan yang melanggar atau menyimpangi peraturan yang berlaku,

bahkan ketentuan undang-undang dasar sekalipun untuk mengatasinya.387

Karena

itu, Ernst Wolfgang Bockenforde, seorang hakim konstitusi Jerman menyebutkan,

hakikat hukum tata negara darurat, “nothing less than the dissolution of the

integrity of the constitution based on the rule of law and the abandonment of the

principle of the constitutional state”.388

(tidak kurang dari pembubaran keutuhan

konstitusi berdasarkan supremasi hukum dan ditinggalkannya prinsip negara

hukum). Burns dan Peltason menyebutkan,

Some scholars hold that in emergencies the president has wide powers to

protect the public interest, even at the cost of overriding existing laws.

There seems to be a kind of inherent power in the presidency, vast but

undefined, that an aggressive president can exploit it in times of crisis.

Unfortunately, crisis is now the rule rather than the execption.389

Selain melanggar peraturan yang berlaku, dalam keadaan darurat,

pemenuhan hak asasi manusia juga dapat ditunda jaminan pelaksanaannya. Lord

386

Hak darurat negara merupakan hak yang dimiliki oleh penguasa negara untuk

mengambil tindakan yang tidak mendasarkan atau menyimpang dari peraturan yang ada manakala

negara berada dalam keadaan bahaya demi untuk keselamatan negaranya. Apabila tindakan

tersebut merupakan tindakan hukum maka disebut hukum darurat negara, yang dalam bahasa

belanda, baik hak darurat negara maupun hukum darurat negara disebut dengan Staatsnoodrecht.

Lihat dalam Joeniarto, Selayang Pandang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Indonesia dalam

Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 146 387

Harun Alrasid, “Jabatan Presiden RI Sebuah Tinjauan Hukum Tata Negara” dalam

Ibid., hlm. 143. 388

Shylashri Shankar, “The State of Emergency in India: Bockenforde‟s Model in a Sub-

National Context” artikel dalam German Law Journal, Volume 19, Nomor 2, 2018, hlm. 201 389

Burns, Peltason, and Cronin, Government by The People dalam Ni‟matul Huda,

Politik... Loc., Cit.

157

Pearce sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie mengatakan,390

the flame of

individual right and justice must burn more palely when it is ringed by the more

dramatic light of bombed buildings. (Nyala api hak dan keadilan individual

haruslah terlihat menjadi lebih redup ketika kehidupan kota dilingkari oleh cahaya

terang yang timbul akibat nyala api di atas gedung-gedung yang terbakar karena

dibom oleh musuh). Hal senada juga dikatakan oleh John Reynolds,391

in the

eternal dispute between government and liberty, crisis means more government

and less liberty” (Dalam perselisihan abadi antara pemerintah dan kebebasan,

krisis berarti lebih banyak pemerintahan dan lebih sedikit kebebasan).

Beni Prasad menyebutkan,392

When face to face with dire adversity, government could do anything. The

justification of it all is that abnormal times have ethics of their own,

appaddharma as it is called. It must be clearly understood, that in days of

distress, all the ordinary rules of morality and customs are suspended.

Penyimpangan bahkan bertentangan dengan kelaziman, dalam pranata

hukum tata negara darurat itu dapat dibenarkan dengan alasan adanya bahaya.

Dalam bahasa Beni Prasad di atas, hukum tata negara darurat mempunyai

justifikasi moral dan etis sendiri, yang berbeda dengan moralitas hukum dalam

keadaan normal. Contoh dalam sejarah ketatanegaraan Amerika Serikat yaitu

tindakan inkonstitusional Abraham Lincoln untuk mengatasi perang saudara

antara Selatan dan Utara di Amerika Serikat, dibenarkan dan sah karena tindakan

390

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 157 391

John Reynolds, The Long... Op., Cit., hlm. 2 392

Osgar S. Matompo, “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif

Keadaan Daruat” artikel dalam Jurnal Media Hukum, Vol. 21, No. 1, Juni 2014, hlm. 60

158

tersebut dilakukan untuk memelihara kelangsungan hidup bangsa Amerika

sekaligus memelihara konstitusi.393

Meskipun memang Justice Davis menyatakan pendapat yang berbeda.

Bahwa konstitusi suatu negara dibentuk tidak hanya dalam keadaan normal,

namun juga untuk keadaan yang tidak normal. Secara lebih lengkap, pendapat

Justice Davis dalam perkara Ex Parte Milligan adalah sebagai berikut:394

The constitution of the United States is a law for rulers and people,

equality in war and peace, and covers with the sheild of its protection all

classes of men, at all times, and under all circumstances. No doctrine,

involving more pernicious consequnces, was ever invented by the wit of

men then that any of its provisions can be suspended during any of the

great exigencies of government. Such a doctrine leads directly to anarchy

or despotism, but the theory of necessity on wich it is based is false; for the

government, within the constitution, has all the powers granted to it which

are necessary to preserve its existence, as has been happily proved by the

result of the creat effort to throw off its just authority.

Terhadap dua pendapat di atas penulis setuju bahwa konstitusi digunakan

tidak hanya untuk negara dalam keadaan normal namun juga dalam keadaan

genting atau darurat, dengan catatan konstitusi dimaksud telah memuat aturan

tentang penyelenggaraan negara dalam keadaan darurat (hukum tata negara

darurat). Tetapi selama konstitusi suatu negara tidak mengadopsi pranata darurat

tersebut, sedangkan keadaan kedaruratan terjadi yang memaksa pemerintah untuk

bertindak menyimpangi undang-undang yang ada karena tidak ada pilihan lain,

maka penyimpangan dapat dilakukan. Bagaimanapun, sebagaimana kalimat

Cicero, keselamatan warga negara merupakan hukum tertinggi (salus populi

suprema lex esto), maka konstitusi yang tidak menyediakan pranata hukum

393

Herman Sihombing, Hukum... Op., Cit., hlm. 36 394

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 113

159

darurat untuk menyelamatkan warga negara, maka penyimpangan terhadap

konstitusi tidak dapat terelakkan. Ini sekaligus hendak menunjukkan bahwa

kealpaan pengaturan darurat di dalam konstitusi, akan mereduksi kesakralan

konstitusi sebagai hukum tertinggi, ketika negara dalam keadaan darurat.

John Ferejohn dan Pasquale Pasquino memandang pranata hukum tata

negara darurat sebagai bentuk dari constitutional dualism.395

This is the argument in favor of constitutional dualism: the notion that

there should be provisions for two legal systems, one that operates in

normal circumstances to protect rights and liberties, and another that is

suited to dealing with emergency circumstances.

Terhadap dualisme inipun, Jimly Asshiddiqie dengan mengutip pendapat

Lobel,396

terdapat dua cara pandang yang berbeda, Pertama, konstitusi yang

diperuntukkan untuk negara dalam keadaan normal dan darurat maka ketentuan

mengenai keadaan darurat dan upaya yang dapat dilakukan dalam keadaan darurat

itu sudah seharusnya ditentukan secara eksplisit dalam undang-undang dasar dan

tidak boleh disimpangi. Cara pandang yang demikian disebut oleh Lobel sebagai

cara pandang yang absolutist. Kedua, pandangan relativist, yang memandang

bahwa pelaksanaan konstitusi dalam keadaan darurat pada praktiknya, diperlukan

penafsiran yang tidak kaku sehingga segala sesuatu yang terjadi dalam keadaan

darurat dikemudian hari dapat diatasi dengan menafsirkan apa yang diatur dan apa

yang dimaksud dalam undang-undang dasar untuk bertindak dalam situasi genting

dalam rangka menjaga kepentingan negara yang terancam. Kedua cara pandang

395

John Ferejohn dan Pasquale Pasquino, The Law... Op., Cit., hlm. 234 396

Lobel, Emergency Power and the Decline of Liberalism dalam Jimly Asshiddiqie,

Hukum... Op., Cit., hlm. 113

160

ini, menurut pendapat penulis mempunyai makna implisit bahwa tindakan

pemerintah dalam keadaan daruratpun harus sesuai dengan yang telah digariskan

oleh konstitusi. Tampak relavan dengan pendapat Justice Davis di atas, bahwa

konstitusi hendaknya dibuat untuk mengatasi keadaan normal juga keadaan

darurat.

Di atas telah disebutkan, bahwa hukum tata negara darurat digunakan

ketika tidak ada pilihan hukum lain yang dapat digunakan untuk mengatasi

keadaan darurat negara. Ini sekaligus hendak menegaskan bahwa penggunaan

instrumen ini harus dilakukan dengan sangat berhati-hati dan karenanya harus

diatur secara ketat. Pengaturan secara khusus itu dapat berkaitan dengan syarat-

syaratnya, tata cara pemberlakuannya, syarat dan tata cara mengakhirinya, serta

hal-hal yang dapat dan tidak dapat dilakukan dalam keadaan darurat, perlu diatur

dengan jelas sehingga tidak menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang.397

Secara prosedural, penggunaan kekuasaan darurat perlu terlebih dahulu

dipastikan adanya necessity of self-defence bagi negara untuk bertindak guna

mengatasi bahaya yang mengancam; ancaman tersebut bersifat mendadak

sehingga tidak tersedia waktu untuk mengadakan konsultasi atau pembahasan dan

penentuan kebijakan bersama antara eksekutif dan legislatif; serta tidak ada lagi

alternatif solusi yang lebih baik dan lebih efektif selain dengan cara atau tindakan

yang bersifat extra-ordinary measures tersebut.398

397

Ibid., hlm. 3 398

Ibid., hlm. 294-295

161

Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa secara substansial, pemberlakuan

keadaan darurat harus memenuhi beberapa unsur yaitu,399

adanya keadaan

pengecualian yang bersifat mengancam keamanan negara atau rakyat; adanya

kesetimpalan atau proporsionalitas antara derajat ancaman yang timbul dengan

bentuk upaya yang dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat tersebut; tidak

adanya bentuk-bentuk perlakuan diskriminatif dalam upaya yang dilakukan atau

prosedur-prosedur yang dilakukan dalam keadaan darurat; kesesuaian antara

semua tindakan pengecualian atau penundaan keberlakuan norma yang dilakukan

dengan kewajiban-kewajiban internasional lain yang harus dipenuhi oleh negara.

Oemar Seno Adji sebagaimana dikutip dalam Ni‟matul Huda

menyebutkan karakter menurut Van Dullemen400

untuk dapat mengklasifikasikan

hukum negara darurat sebagai hukum yang sah, yaitu harus memenuhi beberapa

syarat, pertama, harus menjadi nyata, yaitu bahwa kepentingan negara tertinggi

menjadi taruhan dan tergantung dari tindakan yang bersangkutan, apakah negara

ini langsung hidup atau tidak; kedua, bahwa tindakan tersebut memang betul-betul

diperlukan dan tidak cukup suatu tindakan yang kurang daripada itu; ketiga,

tindakan tersebut bersifat sementara; keempat, pada waktu tindakan diambil, DPR

tidak dapat mengadakan sidang secara nyata dan sungguh. Menurut Van

Dullemen, apabila salah satu syarat dari yang empat di atas tidak dipenuhi dalam

keadaan darurat, dan aturan yang dibuat tidak memenuhi syarat itu adalah tidak

399

Ibid., hlm. 158 400

Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum dalam Ni‟matul Huda, Politik...

Op., Cit., hlm. 148

162

sah dan tidak akan diakui keabsahannya, hanyalah yang memenuhi syarat itu yang

dapat diakui dan disahkan selaku hukum tata negara darurat tertulis.401

Baik Herman Sihombing maupun Jimly Asshiddiqie, membagi hukum tata

negara darurat yang diadopsi banyak negara ini ke dalam dua jenis, yaitu hukum

tata negara darurat objektif dan hukum tata negara darurat subjektif. Objektieve

staatsnoodrecht mensyaratkan harus ada terlebih dahulu undang-undang secara

tertulis yang mengatur segala hal baik pernyataan bahaya, akibatnya dalam segala

hal mengenai susunan kekuasaan bahaya itu.402

Secara lebih lengkap, menurut

Herman Sihombing,403

adanya bahaya dan kekuasaan serta aparatur pelaksana

bahaya, akibat-akibatnya, syarat-syaratnya ditentukan lebih dahulu dalam pranata

hukum tata negara darurat tertulis. Adanya bahaya itu sungguh-sungguh ada

dalam arti objektif, atau ancaman bahaya itu menurut pengalaman manusia sehari-

hari pada umumnya ada dan dapat diperkirakan sudah ada dan dekat.

Objektieve staatsnoodrecht ini dipandang sebagai bentuk yang ideal,

karena dapat menjalankan hukum darurat negara secara seimbang dan

proporsional, yaitu upaya yang dilakukan kadarnya sama dengan bahaya yang

mengancam. Hanya saja, kelemahannya yaitu kurang adaptif dengan kebutuhan

dan perkembangan, karena telah terikat dengan aturan tertulis. Dalam perspektif

401

Ibid. 402

Herman Sihombing, Hukum... Op., Cit., hlm. 29 403

Ibid., hlm. 46-47

163

David A. Strauss, hukum yang tertulis memang akan selalu mengalami

ketertinggalan dengan zamannya.404

Adapun hukum tata negara subyektif merupakan hak negara untuk

bertindak dalam keadaan darurat atau bahaya dengan cara menyimpang dari

ketentuan undang-undang yang ada yang berlaku dalam keadaan normal atau

bahkan menyimpang dari undang-undang dasar apabila diperlukan.405

Subjektieve

yaitu tidak mensyaratkan adanya undang-undang secara tertulis terlebih dahulu,

karena diserahkan ke dalam kebijaksanaan pemerintah untuk menyatakan kapan

bahaya terjadi, dalam volume dan tingatan bagaimana, dan upaya apa yang akan

ditempuh untuk mengatasinya.406

Secara lebih detail, hukum tata negara darurat

subjektif menurut Herman Sihombing yaitu,407

kewenangan penguasa negara

untuk menyatakan adanya bahaya meskipun belum/tidak ada aturan tertulis untuk

terlebih dahulu, sehingga memberikan keleluasaan penguasa/pemerintah negara

selaku subyek hukum tata negara darurat. Ada atau tidaknya dengan sungguh-

sungguh bahaya itu, pemerintah (kepala negara) diberikan hak kekuasaan untuk

menyatakan adanya bahaya. Karena keleluasaannya, hukum tata negara subjektif

ini rentan disalahgunakan. Tetapi, untuk membatasi juga sulit, karena

sebagaimana juga diakui oleh Kranenburg,408

cukup kesulitan terhadap

pengukuran tindakan dalam bahaya itu sebab ukurannya tidak jelas.

404

David A. Strauss, The Living Constitution, Oxford University Press, London, 2010,

hlm. 2 405

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 23 406

Herman Sihombing, Hukum... Op., Cit., hlm. 29 407

Ibid., hlm. 46 408

Kranenburg, Grondslagen der Rechtswetenschap dalam Ibid., hlm. 58

164

Selain membagi ke dalam bentuk hukum tata negara darurat subyektif dan

objektif, Jimly Asshiddiqie juga membagi hukum tata negara darurat ke dalam

dua jenis, yaitu de jure dan de facto. Menurutnya,409

hukum tata negara darurat de

jure adalah penggunaan instrumen hukum tata negara darurat ketika negara dalam

keadaan darurat yang didahului dengan proklamasi secara resmi. Sebaliknya,

hukum tata negara darurat de facto adalah tindakan-tindakan darurat yang

dilakukan (dalam bentuk penyimpangan terhadap hukum yang ada) namun tidak

secara resmi diproklamasikan oleh pemerintah bahwa negara sedang berada dalam

keadaan darurat.

Jimly Asshiddiqie dengan merujuk pada pendapat Joan Hartman dan

Fitzpatrick,410

hukum tata negara darurat de facto biasanya muncul dalam salah

satu dari dua hal, yaitu ketika tindakan pengecualian dilakukan tanpa secara

formal memberlakukan keadaan darurat (when exeptional measures are applied

by a government without a state of emergency being formally declared); atau

ketika tindakan pengecualian tetap dilaksanakan meskipun keadaan darurat secara

resmi telah dinyatakan berakhir (when exceptional measures are continued after a

declared state of emergency has been fomally terminated). Menurut Jimly,411

hukum tata negara darurat de facto ini yang seharusnya dihidari oleh setiap negara

hukum, salah satu alasannya yaitu karena menyulitkan sistem pemantauan dunia

terhadap praktik-praktik yang dapat dibenarkan menurut hukum Internasional.412

409

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 30 410

Fitzpatrick, “Human Rights in Crisis” dalam Ibid., hlm. 71 411

Ibid., hlm. 30 412

Ibid., hlm. 71

165

Vinkat Iyer sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, mengemukakan

bahwa terdapat setidaknya 7 (tujuh) bentuk tindakan kekuasaan dalam keadaan

darurat, yaitu:413

pengalihan kekuasaan dari legislatif ke eksekutif, dan/atau

perluasan kekuasaan eksekutif di bidang yang sifatnya legislatif; perluasan

kewenangan mengenai penangkapan dan penahanan dalam rangka penyelidikan

atas tersangka pelaku tindak pidana terorisme atau tindak pidana tertentu yang

bermotif politik lainnya; penggunaan kewenangan penahanan administratif atas

orang yang disangka melakukan perbuatan yang secara luas didefinisikan sebagai

tindakan melawan negara; pembentukan atau penggunaan mekanisme peradilan

khusus dan/atau prosedur beracara yang bersifat khusus untuk menangani perkara

terorisme atau pelaku tindak pidana tertentu lainnya yang bermotif politik;

penggunaan jenis sanksi hukuman yang baru diciptakan yang sifatnya tergolong

sangat keras dan kejam, termasuk pidana mati; pengenaan pembatasan dalam arti

yang luas atas kebebasan sipil warga negara, dan penundaan berlakunya jaminan

konstitusional atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara; pengurangan

yang substansial atas kewenangan peradilan untuk menguji tindakan pemerintah,

termasuk penundaan berlakunya prosedur seperti “habeas corpus” atau “amparo”,

dan pemberian imunitas bagi anggota aparatur penegakan hukum dan penuntutan

atas tindakan yang mereka lakukan dalam keadaan darurat.

Dalam konteks Indonesia, bentuk tindakan kekuasaan untuk mengatasi

keadaan darurat negara ini dengan merujuk pada konsepsi Vinkat Iyer di atas,

adalah pengalihan kekuasaan dari legislatif ke eksekutif, dan/atau perluasan

413

Vinkat Iyer, “States of Emergency: The Indian Experience” dalam Ibid., hlm. 73-74

166

kekuasaan eksekutif di bidang yang sifatnya legislatif. Kekuasaan dimaksud yaitu

kekuasaan legislatif dalam hal membentuk peraturan setingkat undang-undang,

namun proses pembentukannya tidak melibatkan lembaga legislatif, yang dikenal

dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Hal itu yang

tertuang dalam Pasal 12 dan Pasal 22 UUD NRI 1945 sebagai dasar bagi presiden

untuk menetapkan perpu.

Pasal 12 yang menyebutkan klausul “keadaan bahaya” dan Pasal 22 yang

menyebutkan klausul “kegentingan yang memaksa” pada prinsipnya mempunyai

esensi yang sama, yaitu menunjukkan bahwa negara sedang tidak berada pada

keadaan normal. Titik pembedanya adalah derajat ancaman bahaya berikut juga

proses pembentukan hukum daruratnya. Pasal 12 telah memberikan klasifikasi

keadaan bahaya yang ditetapkan dengan undang-undang sehingga ancaman

bahayanya telah terukur dengan jelas, sedangkan Pasal 22 mempunyai derajat

ancaman bahaya yang lebih tinggi dan tidak terduga sehingga penetapan keadaan

darurat oleh Presiden tidak perlu menunggu syarat-syarat dan akibatnya

ditetapkan terlebih dahulu dengan undang-undang, namun secara sepihak dan

tanpa pembahasan dengan DPR dapat menetapkan perpu yang secara hierarkis

memang sejajar dengan undang-undang. Pasal 22 dibentuk untuk mengantisipasi

keadaan darurat yang tidak dapat diprediksi sebelumnya padahal hal itu sangat

mungkin terjadi. Carl Schmitt sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie

mengatakan:414

414

Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty dalam

Ibid., hlm. 85

167

The Precise details of an emergency cannot be anticipated, nor can one

spell out what may take place in such a case, especially when it is truly a

matter of an extreme emergency and of how it is to be eliminated. The

precondition as well as the content of jurisdictional competence in such a

case must would be no jurisdictional competence at all. The most guidance

the constitution can provide is to indicate who can act in such a case.

Praktik selama ini, tidak setiap kali presiden menetapkan perpu berarti

negara berada dalam keadaan bahaya. Keadaan bahaya dapat dianggap sama

dengan hal ikhwal yang membahayakan, atau sebaliknya. Akan tetapi hal ikhwal

keadaan yang memaksa itu tidak selalu membahayakan. Segala sesuatu yang

membahayakan tentu selalu bersifat kegentingan yang memaksa, tetapi segala hal

ikhwal kegentingan yang memaksa tidak selalu membahayakan. Oleh karena itu,

dalam keadaan bahaya menurut Pasal 12, presiden dapat menetapkan perpu kapan

saja diperlukan. Akan tetapi, penetapan perpu oleh presiden tidak selalu harus

berarti ada keadaan bahaya lebih dulu. Artinya, dalam kondisi negara dalam

keadaan nomral sekalipun, selama memenuhi syarat, Presiden dapat menetapkan

suatu Perpu.415

Sebagai instrumen hukum dalam keadaan daruat, kewenangan menetapkan

perpu ini juga merupakan kewenangan yang luar biasa. Melalui kewenangan

menetapkan Perpu, Presiden secara sepihak dapat mencabut suatu undang-undang

yang masih berlaku atau mengatur suatu hal yang seharusnya ditetapkan dengan

undang-undang. Hal ini mengingat bahwa tidak ada jabatan lain yang berwenang

415

Ni‟matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 118

168

menguji apakah betul terdapat gejala darurat atau tidak sehingga penetapan perpu

sangat bergantung pada subyektivitas presiden.416

Dalam sebuah negara yang menganut prinsip demokrasi seperti Indonesia,

kewenangan membentuk peraturan setingkat undang-undang, lazimnya diberikan

kepada lembaga legislatif. Namun untuk mengatasi keadaan darurat, kewenangan

itupun diberikan kepada pemerintah, yang dalam pembentukannya, sama sekali

tidak melibatkan lembaga legislatif. Lembaga legislatif baru berperan ketika perpu

diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan. Proses pembahasannya pun juga

tidak sama dengan undang-undang pada umumnya, karena DPR tidak dapat

menerima perpu dengan perubahan-perubahan terhadap isinya, atau tidak bisa

menolak sebagian saja. Pilihannya, diterima seluruhnya atau ditolak seluruhnya.

Diterimanya perpu itu dengan undang-undang, yang undang-undang ini hanya

sebagai mantel atau baju hukum saja. Menurut Hamid Attamimi, ungkapan Perpu

di dalam UUD 1945 mencerminkan adanya sikap merendah dengan tidak mau

menyebutkan undang-undang oleh karena belum menapatkan persetujuan dari

DPR.417

Sebagai kewenangan yang luar biasa dan menuntut syarat-syarat yang

ketat, dalam literatur Indonesia juga berkembang batasan-batasan penggunaan

perpu, terutama pada konteks Pasal 22 UUD NRI 1945. Meskipun keadaan

darurat bergantung pada subjektifitas presiden, tetapi dalam implementasinya

416

Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 143 417

A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi

Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-IV” dalam Ibid., hlm. 141

169

harus benar-benar dapat terukur supaya tidak menimbulkan kesan adanya

penyelewengan kekuasaan. Keadaan darurat jangan hanya menjadi otoritas diri

seseorang dalam menafsirkannya, tetapi paling tidak harus mendekati senyatanya

dalam keadaan masyarakat.418

Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Ni‟matul Huda,419

klausul “kegentingan yang memaksa” harus menunjukkan dua ciri umum, yaitu

adanya krisis (crisis) dan kemendesakan (emergency). Suatu keadaan krisis

apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak

(a grave and sudden disturbunse), sedangkan kemendesakan (emergency) yaitu

apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan

menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih

dahulu, atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang

wajar apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi

masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan.

Menurut Jimly Asshiddiqie,420

terdapat beberapa syarat materil yang harus

dipenuhi untuk dapat menetapkan perpu, yaitu adanya kebutuhan yang mendesak

untuk bertindak atau reasonable necessity; waktu yang tersedia terbatas (limite

time) atau terapat kegentingan waktu; tidak tersedia alternatif lain atau menurut

penalaran yang wajar, alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi

keadaan, sehingga penetapan perpu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi

keadaan tersebut.

418

Ibid., hlm. 165 419

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan dalam Ibid., hlm. 140-141 420

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 282

170

Ada beberapa hal menurut Herman Sihombing yang penting untuk

diperhatikan sebagai bentuk pembatasan terhadap hukum tata negara darurat,421

yaitu pertama, hukum tata negara darurat tidak boleh melenyapkan atau

bermaksud atau berbuat untuk menghapuskan atau melenyapkan negara yang

bersangkutan. Kedua, hukum tata negara darurat yang dalam implementasinya

adalah memberikan kewenangan yang luas kepada penguasa, semata-mata dalam

rangka menghapuskan keadaan bahaya dan darurat dan mengembalikan keadaan

normal. Karena itu, harus terdapat relevansi antara penggunaan wewenang dengan

penanggulangan keadaan darurat. Ketiga, penetapan ancaman bahaya atau

keadaan darurat hendaknya dilakukan dalam keadaan wajar atau proporsional.

Maksud pada bagian yang terakhir ini yaitu tidak boleh seorang presiden

menyatakan bahaya padahal tidak ada bahaya, atau menyatakan bahaya yang

tingkat tinggi padahal keadaan yang sebenarnya terjadi adalah bahaya tingkat

rendah.

Dalam konteks Islam, hukum darurat negara juga dikenal melalui metode

ijtihad yang pendekatannya berdasarkan asas kemaslahatan sesuai dengan situasi

dan kondisi masyarakat waktu itu. Ijtihad yang dilakukan pada konteks ini tidak

hanya dalam proses membentuk dan menemukan hukum atas suatu hal yang

belum dihukumi dalam al-Qur‟an dan Hadist Nabi, namun juga sebagai proses

pengesampingan atas hukum yang telah ada dan jelas, namun keadaan yang

terjadi berada pada kondisi yang darurat atau bahaya, sehingga dinilai tidak

memungkinkan untuk menerapkan hukum dimaksud. Khalifah Umar bin Khattab

421

Herman Sihombing, Hukum... Op., Cit., hlm. 24

171

pernah memberlakukan penghapusan hukuman potong tangan bagi seorang

pencuri pada musim paceklik.422

Abu Bakar mengambil kebijakan untuk

memerangi umat Islam yang tidak mau membayar zakat, yang ini dilakukan

untuk menjaga agama dan harta terutama dari fitnah yang dapat menyerang

Islam.423

Kendatipun ijtihad diperbolehkan, bahkan dapat dikatakan dianjurkan oleh

Rasulullah SAW. melalui salah satu sabdanya bahwa ”apabila kamu benar, maka

kamu mendapat dua pahala, dan bila salah, mendapat satu pahala”, ijtihad tidak

dapat dilakukan secara sembarangan. Setelah periode sahabat Nabi, ditetapkan

metode-metode khusus dan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam

melakukan ijtihad. Ketentuan yang mengikat kebebasan para mujtahid dan

mempersempit ruang gerak ijtihad itu dilakukan dengan tujuan salah satunya

supaya tidak gegabah terhadap hukum Allah SWT sekaligus sebagai bentuk klaim

ketidakmampuan mereka.424

Bahwa jangan sampai usaha untuk menghilangkan

kemudlaratan, justru berbuah pada kemudlaratan yang lain. Ijtihad yang dilakukan

agar memang benar-benar mempunyai pertimbangan yang jelas dan mendesak

untuk mewujudkan kemaslahatan, atau dalam bahasa lain, hukum Islam akan

statis dan serba sempit ketika ijtihad tidak dilakukan. Ijtihad adalah untuk

menciptakan fleksibilitas dan progresifitas hukum Islam namun tetap dalam

koridor dan batasan-batasan tertentu.

422

Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, Terjemahan Oleh Zainudin Adnan,

Cetakan Pertama, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994, hlm. 4 423

Imam As-Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa, dalam Agus Nurhakim, “Konsep Darurat Dalam

Hukum Ketatanegaraan Islam” artikel dalam Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam,

Volume 8, Nomor 1, Mei 2020, hlm. 240 424

Abdul Wahhab Khallaf, Politik... Op., Cit., hlm. 4

172

Imam Zarkashi memaknai darurat sebagai suatu kondisi mendesak yang

apabila tidak menerjang sesuatu yang diharamkan maka akan menimbulkan

kematian.425

Jalaluddin al Suyuti melihat kedaruratan yaitu sampainya seseorang

pada sebuah batas yang apabila ia tidak mengerjakan sesuatu yang dilarang, maka

ia akan binasa, dan keadaan ini membolehkan seseorang untuk memakan yang

haram.426

Wahbah al Zuhayli memaknai kedaruratan atau darurah sebagai

datangnya bahaya atau kesulitan yang sangat berat kepada manusia yang membuat

dia khawatir akan terjadinya mudlarat atau sesuatu yang menyakitkan jiwa,

anggota tubuh, akal, harta, dan yang bertalian dengannya.427

Dalam keadaan ini

maka berlaku kaidah darurat itu membolehkan sesuatu yang dilarang. Bahwa

benar hukum Islam bertujuan untuk mencapai kemaslahatan, namun yang lebih

utama dari itu adalah menghindari kerusakan.428

Kedaruratan yang mengecualikan hukum tertentu yang berlaku umum dan

dalam keadaan normal menurut Islam juga disebutkan secara jelas di dalam al-

Qur‟an, sumber hukum tertinggi dalam hukum Islam. Surat al-Baqarah ayat 173

dan Surat al-An‟am ayat 119 menyebutkan yang artinya,

Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging

babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain

Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena

425

Al- Zarkashi, Al-Manthur fi Tartib al-Qawa‟id al-Fiqhiyyah, dalam Husnul Khotimah

dan Syarifuddin, “Darurat dan Realisasinya” artikel dalam Jurnal Lisan al-Hal Volume 8, Nomor

2, Desember 2014, hlm. 229 426

Aris, “Efektifitas Fikih Darurah Dalam Menyelesaikan Masalah Hukum

Kontemporer” artikel dalam Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 2, Juli 2011, hlm. 157 427

Wahbah al Zuhayli, Nazariyyah al-Darurah al-Syar‟iyyah: Muqaranah Ma‟a al

Qanun al-Wad‟i, dalam Iin Solikhin, “Konsep Darurah Dalam Hukum Islam” artikel dalam Al

Manahij, Volume 2, Nomor 2, Juli-Desember 2008, hlm. 118 428

Kaidah Ushul Fiqh yang sering digunakan dalam hal konteks ini adalah dar'ul

mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih (menghindari kerusakan harus lebih diutamakan dari

meraih kebaikan)

173

menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa

baginya. (al-Baqarah, 173)

Dan mengapa kamu tidak mau memakan dari apa (daging hewan) yang

(ketika disembelih) disebut nama Allah, padahal Allah telah menjelaskan

kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam

keadaan terpaksa. (al-An‟am, 119)

Batasan-batasan dalam hal apa hukum darurat yang mengesampingkan

hukum umum itu dilakukan, adalah hal yang perlu diperhatikan secara seksama.

Apabila merujuk pada ayat al-Qur‟an yang telah disebutkan di atas, ada klausul

bahwa keterpaksaan itu bukan karena menginginkannya dan tidak melampaui

batas. Dengan demikian, dalam keadaan darurat, seseorang tidak mempunyai

maksud untuk melakukan apa yang telah dilarang, serta melakukannya secara

proporsional sesuai dengan kebutuhan kedaruratan itu.429

Karena itu, dikutip dari

Abdul Aziz Muhammad „Azzam, bahwa apa yang dibolehkan karena keadaan

darurat itu diukur sesuai dengan kadarnya.430

Wahbah al Zuhaili menyebutkan, syarat-syarat yang menjadi batasan

keadaan darurat yaitu bahwa darurat itu ada atau nyata, bukan sesuatu yang

dinanti, spekulatif, dan imajinatif; tidak ada cara lain sesuai syar‟i untuk menolak

bahaya kecuali dengan menggunakan cara yang diharamkan; terpenuhinya „uzur

yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan, yaitu keadaan darurah yang

harus memaksa sekali sehingga betul-betul khawatir akan mengancam jiwa dan

429

Nur Asia Hamzah, “Darurat Membolehkan yang Dilarang” artikel dalam Jurnal

Kajian Islam Kontemporer, Volume 11, Nomor 2, 2020, hlm. 32 430

Agus Nurhakim, “Konsep Darurat Dalam Hukum Ketatanegaraan Islam” artikel dalam

Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam, Volume 8, Nomor 1, Mei 2020, hlm. 239

174

merusak tatanan hidup; keringanan atau pengecualian itu hanya sampai pada batas

kemampuan untuk bertahan, yang artinya tidak dilakukan secara berlebihan.431

D. Teori Politik Hukum

Merumuskan definisi politik hukum dalam sebuah rangkaian yang dapat

memberikan pengertian secara utuh, menurut Moh. Mahfud MD, memang agak

sulit dilakukan. Terlebih ketika merujuk pada terminologi asing, terdapat

kesimpangsiuran apakah politik hukum merupakan terjemahan dari legal policy

atau terjemahan dari politics of law.432

Sebagian ahli hukum menilai bahwa politik

hukum merupakan terjemahan dari legal policy, sebagian yang lain membedakan

antara politik hukum dan legal policy. Dalam literatur Belanda, ada yang

memaknai bahwa politik hukum merupakan terjemahan dari rechtspolitiek seperti

merujuk pada pendapat Bellefroid dan Lemaire, juga ada yang berpendapat bahwa

politik hukum bukan merupakan terjemahan dari rechtspolitiek.433

Karena itu,

sebelum membahas lebih lanjut mengenai teori politik hukum, terlebih dahulu

akan disajikan dalam tulisan ini beberapa pengertian politik hukum yang memang

sudah banyak didefinisikan oleh ahli-ahli hukum terdahulu.

Menurut Mahfud MD, politik hukum berkaitan dengan bagaimana hukum

akan dan seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam politik nasional, serta

bagaimana hukum itu difungsikan.434

Politik hukum merupakan legal policy atau

arah kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan

431

Nur Asia Hamzah, Darurat... Op., Cit., hlm. 33 432

Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama,

Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 29 433

Ibid. 434

Ibid., hlm. 30

175

diberlakukan, baik dengan pembuatan hukum baru atau penggantian hukum lama

dalam rangka mencapai tujuan negara.435

Nomensen Sinamo memaknai politik

hukum sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang

akan, sedang, dan telah berlaku yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di

masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang hendak diwujudkan.436

Sedangkan

menurut Padmo Wahjono, politik hukum merupakan kebijakan dasar yang

menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.437

Lebih

lengkap, Padmo Wahjono menjelaskan, politik hukum merupakan kebijakan

penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan

sesuatu, yaitu yang berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan

penegakan hukum itu sendiri.438

Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan

peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

waktu.439

Politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara

yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang

diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.440

Abdul Hakim Garuda

Nusantara memaknai politik hukum secara harfiah, merupakan kebijakan hukum

435

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum... Op., Cit., hlm. 1 436

Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Ketiga, Permata Aksara,

Jakarta, 2014, hlm. 45 437

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum dalam Ibid., hlm. 46 438

Padmo Wahjono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan dalam Ibid. 439

Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana dalam Moh. Mahfud MD, Membangun... Op.,

Cit., hlm. 14 440

Soedarto, Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum dalam Abdul Manan,

Perbandingan Politik Hukum Islam dan Barat, Cetakan Kedua, Prenadamedia, Jakarta, 2018, hlm.

9

176

yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu

pemerintahan negara tertentu, meliputi pelaksanaan ketentuan hukum yang telah

ada secara konsisten; pembangunan hukum yang bermakna pembaharuan terhadap

yang telah ada karena telah dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum

baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di

masyarakat; penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum; serta

peningkatan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kebijakan.441

Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum merupakan proses

menentukan suatu pilihan mengenai tujuan maupun cara-cara yang hendak dipakai

untuk mencapai tujuan tersebut.442

Ahli hukum Belanda, Bellefroid, memandang politik hukum sebagai

cabang dari ilmu hukum yang menyelidiki perubahan-perubahan apa saja yang

harus diadakan pada hukum yang ada sekarang, supaya dapat memenuhi syarat-

syarat baru dari kehidupan masyarakat.443

Menurut Utrecht,444

politik hukum

berusaha membuat norma-norma yang akan menentukan bagaimana seharusnya

manusia bertindak. Politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa saja

yang seharusnya dilakukan dalam hukum yang sedang berlaku supaya bersesuaian

dengan keadaan dan kenyataan sosial. Politik hukum berusaha menciptakan suatu

ius constituendum (hukum yang akan datang) itu pada hari kemudian berlaku

sebagai ius constitutum (hukum yang sedang berlaku) yang baru.

441

Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional dalam Nomensen Sinamo,

Hukum... Op., Cit., hlm. 49 442

Satjipto Rahardjo, Ilmu... Op., Cit., hlm. 352 443

Bellefroid, Inleiding tot de Rechtswetenschap in Nederlands dalam Abdul Latif dan

Hasbi Ali, Politik Hukum, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 6 444

Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, dalam Abintoro Prakoso, Politik Hukum

Indonesia, Cetakan Kedua, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2019, hlm. 13

177

Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik beberapa sasaran pembicaraan

politik hukum, yaitu berkaitan dengan perumusan hukum yang lebih baik,

memberikan arahan dan pedoman bagi pelaksana baik dalam bentuk pembuat

hukum (legislator), penegak hukum berupa pengadilan, serta pelaksana putusan

pengadilan, dengan berorientasikan pada tercapainya tujuan dan cita-cita bangsa.

Dilihat dari aspek studi politik hukum, pengkajian terhadap hukum tidak

hanya terbatas pada apa yang tertulis dalam teks suatu undang-undang yang

berlaku (hukum positif), namun lebih daripada itu yaitu juga menganalisis faktor,

variabel, dan aspek-aspek lain yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bunyi

teks dalam hukum positif yang ada. William Zevenbergen menyebutkan bahwa

politik hukum hendak menjawab pertanyaan mengenai peraturan-peraturan hukum

mana yang patut untuk dijadikan hukum.445

Adapun menurut Moh. Mahfud

MD,446

cakupan studi mengenai politik terbagi ke dalam 3 (tiga) kelompok.

Pertama, arah resmi tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak

diberlakukan dalam rangka mencapai tujuan negara yang mencakup penggantian

hukum lama dan pembentukan hukum yang baru sama sekali. Kedua, latar

belakang politik dan subsistem kemasyarakatan lainnya di balik lahirnya hukum,

termasuk arah resmi tentang hukum yang akan atau tidak akan diberlakukan.

Ketiga, persoalan-persoalan di sekitar penegakan hukum, terutama implementasi

atas politik hukum yang telah digariskan.

445

Williem Zevenbergen, Formele Encyclopaedie der Rechtswetenschap dalam Abdul

Latif dan Hasbi Ali, Politik... Op., Cit., hlm. 10 446

Moh. Mahfud MD, Politik... Op., Cit., hlm. 4

178

Menurut Satjipto Rahardjo,447

studi tentang politik hukum bermuara

sekurang-kurangnya pada 4 (empat) pertanyaan, yaitu pertama, tujuan apakah

yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada? Tujuan dalam hal ini dapat

berupa satu tujuan besar yang tunggal, bisa juga yang telah dipecah-pecah ke

dalam tujuan yang bersifat spesifik berdasarkan bidangnya seperti ekonomi,

sosial, dan sebagainya. Kedua, cara apa dan yang manakah yang paling baik

dipakai untuk mencapai tujuan tersebut? Pertanyaan kedua ini memberikan

alternatif pilihan misalnya berkaitan dengan hukum yang tertulis atau tidak

tertulis, sistem yang bersifat sentralisasi atau desentralisasi, dan sebagainya.

Ketiga, kapan waktunya hukum itu perlu diubah, dan melalui cara yang

bagaimana perubahan itu dilakukan? Keempat, dapatkah dirumuskan suatu pola

yang mapan yang bisa memutuskan kita dalam proses pemilihan tujuan serta cara-

cara untuk mencapai tujuan tersebut?

Wilayah kerja dan kegiatan politik hukum meliputi pertama, proses

penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh

penyelenggara negara yang berwenang meneruskan politik hukum; kedua, proses

pendekatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi yang tersebut dalam poin

pertama ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh

penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan hukum;

ketiga, fakta-fakta yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum, baik

447

Satjipto Rahardjo, Ilmu... Op., Cit., hlm. 352-353

179

yang akan datang maupun yang sudah ditetapkan; keempat, pelaksanaan dari

peraturan yang merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara.448

Hukum dalam perkembangannya tidak lagi dipandang sebagai suatu hal

yang otonom dan independent, namun senantiasa berada dalam kaitan

interdependence dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan masyarakat. Bahwa

hukum harus senantiasa melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap tujuan-

tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakatnya.449

Pendapat Donald H. Gjerdingen

yang juga sejalan dengan Satjipto Rahardjo menyebutkan, pendapat ahli-ahli

hukum konvensional yang menilai bahwa hukum otonom dari entitas lain yang

bukan hukum sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman karena sudah tidak

sesuai lagi dengan realitas sesungguhnya.450

Pada prakteknya, hukum selalu

mempunyai interaksi dengan entitas lain. Maka kemunculan disiplin politik

hukum adalah untuk mencari jalan atas kebuntuan metodologis dalam memahami

kompleksitas hubungan antara hukum dan entitas lain, terutama politik.451

Secara ilmiah, raison d‟entre munculnya disiplin politik hukum adalah

ekspresi ketidapuasan para ahli hukum terhadap model pembentukan,

pengembangan, dan pelaksanaan hukum yang ada.452

Dalam bahasa yang lebih

dramatis, ketidakpuasan ini mungkin yang disebut oleh Moh. Mahfud MD sebagai

frustasi dan kecewa yang berkepanjangan, karena sebagaimana mengutip kalimat

Von Kirchmann, bahwa bergudang-gudang buku tentang undang-undang yang ada

448

Abdul Manan, Perbandingan... Op., Cit., hlm. 10 449

Satjipto Rahardjo, Ilmu... Op., Cit., hlm. 352 450

Donald H. Gjerdingen, The Future of Legal Scholarship and the Search for a Modern

Theory of Law, dalam Abintoro Prakoso, Politik... Op., Cit., hlm. 3 451

Ibid., hlm. 4 452

Abdul Manan, Perbandingan... Op., Cit., hlm. 8

180

di perpustakaan bisa dibuang sebagai sampah yang tak bernilai ketika ada

keputusan politik di parlemen yang mengubah isi undang-undang tersebut.453

Politik hukum menghendaki arah pembangunan hukum yang berpijak pada

sistem hukum nasional untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara.454

Abdul

Hakim Garuda Nusantara menyebut,455

hukum bagaimanapun seyogiayanya harus

senantiasa mengacu pada cita-cita masyarakat bangsa yaitu tegaknya negara

hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial. Hukum harus dibangun untuk

tujuan mengakhiri tatanan sosial yang tidak adil dan menindas hak asasi manusia.

Pada konteks Indonesia, politik hukum Indonesia sesungguhnya harus

berorientasi pada cita-cita negara hukum yang mendasarkan pada prinsip

demokrasi dan berkeadilan sosial dalam suatu masyarakat bangsa yang bersatu

sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD NRI 1945. Dalam diskursus politik

hukum, posisi hukum ditempatkan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara di

bawah bingkai supremasi hukum. Pada konteks ini, hukum berperan tidak sebagai

alat rekayasa politik (political engineering) sebagaimana yang dikenal dalam

strategi pembangunan hukum yang ortodoks yang difungsikan sebagai instrumen

untuk mendukung kemauan eksekutif atau pemerintah yang sedang berkuasa,

melainkan sebagai sentral pengarah dan pedoman dalam upaya pencapaian tujuan

negara melalui politik hukum nasional.456

453

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,

Cetakan Pertama, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 46 454

Moh. Mahfud MD, Membangun... Op., Cit., hlm. 16 455

Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Cetakan Pertama, Yayasan

Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 20 456

Moh. Mahfud MD, Perdebatan... Op., Cit., hlm. 48

181

Telah disinggung sebelumnya, bahwa politik hukum pada prinsipnya

adalah untuk mengetahui interaksi dan relasi antara hukum dan politik. Barang

kali, hal ini relevan dengan tinjauan politik hukum oleh Mahfud MD yang

penelitiannya memang berfokus pada cakupan studi politik hukum yang kedua

sebagaimana disebutkan di atas, yaitu latar belakang politik di balik lahirnya suatu

produk hukum, dengan asumsi dasar bahwa hukum merupakan produk politik.457

Bahwa politik hukum juga dapat dilihat dari sudut lain, yaitu sebagai kristalisasi

dari kehendak politik yang saling bersaingan dalam pemberlakuan hukum

sehingga latar belakang politik tertentu dapat melahirkan karakter hukum

tertentu.458

Dalam bahasa lain, politik hukum merupakan jawaban atas pertanyaan

tentang mau diapakan hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna

mencapai tujuan negara.459

Hubungan kausalitas antara politik dan hukum memang setidaknya ada 3

(tiga) macam. Pertama, hukum determinan atas politik dengan makna bahwa

kegiatan-kegiatan politik itu diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan

hukum. Kedua, politik determinan atas hukum dalam arti bahwa hukum

merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi

dan bersaingan. Ketiga, hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan

berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang, sehingga kendatipun

hukum merupakan produk keputusan politik, namun begitu hukum berlaku maka

457

Moh. Mahfud MD, Politik... Op., Cit., hlm. 4 458

Moh. Mahfud MD, Membangun... Op., Cit., hlm. 15 459

Ibid., hlm. 16

182

semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan hukum.460

Kecenderungan politik

hukum hendak melihat bahwa hukum merupakan hasil dari suatu proses politik.

Hal ini karena sub-sistem politik dianggap lebih powerful dan memiliki

konsentrasi energi yang lebih besar dibandingkan dengan sistem hukum.

Akibatnya, hukum ketika diperhadapkan dengan politik, maka ia akan berada

pada kedudukan yang lebih lemah. Sub-sistem politik mempunyai tingkat

determinasi yang lebih tinggi daripada sub-sistem hukum, karena hukum

merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak politik yang saling berinteraksi

dan saling bersaingan.461

Mahfud MD dalam hal ini mengutip pendapat K.C.

Wheare, bahwa konstitusi (dalam makna luas mencakup semua peraturan

perundang-undangan) merupakan resultante atau produk kesepakatan politik

sesuai dengan situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada saat dibuat.462

Pandangan bahwa hukum merupakan produk politik ini memberikan

kesimpulan dalam penelitian Mahfud MD tersebut berupa konfigurasi politik yang

demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif, sedangkan

konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang konservatif.463

Parameter yang digunakan untuk menentukan sebuah sistem politik yang

demokratis tersebut ada 3 (tiga) hal, yaitu partai politik dan parlemen kuat, dan

menentukan arah, kebijakan negara, dan program politik nasional sehingga

parlemen dapat benar-benar dipandang sebagai representasi dari rakyat yang

diwakilinya; lembaga eksekutif netral dan melaksanakan keputusan-keputusan

460

Moh. Mahfud MD, Politik... Op., Cit., hlm. 16 461

Ibid., hlm. 20 462

Ibid., hlm. 6 463

Ibid., hlm. 7

183

lembaga perwakilan rakyat dengan menghormatinya sebagai representasi rakyat;

dan lembaga pers yang bebas tanpa sensor dan pembredelan.464

Konfigurasi

politik demokratis yang melahirkan produk hukum responsif ini dicirikan dengan

3 (tiga) hal, yaitu pembuatan hukum dimaksud dilakukan secara partisipatif,

dalam arti menyerap partisipasi kelompok sosial maupun individu-individu di

masyarakat; materi muatannya aspiratif dalam artian menyerap aspirasi rakyat

secara besar-besaran sehingga mengkristalisasikan kehendak-kehendak rakyat

yang saling bersaingan; serta rincian isinya yang bersifat limitatif sehingga

memberikan batasan-batasan bagi pemerintah untuk melakukan penafsiran yang

terlalu didominasi oleh kepentingan politiknya.465

Karakter produk hukum yang

responsif ini dijelaskan oleh Mahfud MD sebagai produk hukum yang

mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.466

Adapun

konfigurasi politik yang otoriter, bercirikan sebaliknya, yaitu partai politik dan

parlemen yang lemah dan di bawah kendali eksekutif; lembaga eksekutif yang

intervensionis; serta pers yang terpasung, diancam sensor dan pemberedelan.467

Karakter produk hukum yang dihasilkan adalah konservatif yang dilihat dengan

indikator pembuatan yang sentralistik-dominatif; muatannya positivis-

instrumentalistik; dan rincian isinya yang open interpretative.468

Produk hukum

konservatif adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elite

464

Ibid., hlm. 12 465

Ibid. 466

Ibid., hlm. 31 467

Ibid., hlm. 7 468

Ibid.

184

politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, dan menjadi alat pelaksana

ideologi dan program negara.469

Kajian spesifik mengenai politik hukum nasional, maka dengan dapat

diketahui bawa arah kebijakan harus berpijak pada cita-cita bangsa, tujuan negara,

cita hukum, dan kaidah penuntun hukum yang dikerjakan di dalam sistem hukum

nasional yang dari aspek materi melahirkan Program Legislasi Nasional.470

Artinya, pembukaan dan pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 merupakan sumber

dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia.471

Pembahasan politik hukum

untuk mencapai tujuan negara dengan suatu sistem hukum nasional, menurut

Moh. Mahfud MD,472

sekurang-kurangnya yaitu tujuan negara atau masyarakat

Indonesia yang diidamkan sebagai orientasi politik hukum, termasuk penggalian

nilai-nilai dasar tujuan negara sebagai pemandu politik hukum; sistem hukum

nasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu serta faktor-faktor yang

mempengaruhinya; perencanaan dan kerangka pikir dalam perumusan kebijakan

hukum; isi hukum nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; dan

pemagaran hukum dengan prolegnas dan judicial review, legislative review, dan

sebagainya.

Penjabaran hukum dalam politik hukum, setiap negara harus berpijak pada

sistem hukum yang dianutnya, yang pada konteks Indonesia yaitu sistem hukum

469

Ibid., hlm. 32 470

Moh. Mahfud MD, Membangun... Op., Cit., hlm. 7 471

Moh. Mahfud MD menjelaskan, selain memuat tujuan, dasar, cita hukum, dan norma

dasar negara Indonesia yang harus menjadi tujuan dan pijakan politik hukum, Pembukaan dan

pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 juga mengandung nilai-nilai khas yang bersumber dari

pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang diwariskan oleh nenek moyang sejak berabad-abad

yang lalu. Lihat dalam Ibid., hlm. 23 472

Ibid., hlm. 16

185

Pancasila. Bahwa sistem hukum Pancasila ini telah memasang rambu-rambu dan

melahirkan kaidah penuntun dalam politik hukum nasional. Kaidah-kaidah

tersebut yang kemudian harus dipedomani dalam pembangunan hukum dan

penyelenggaraan negara.473

Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan selain

mendasarkan pada Pancasila tersebut, juga harus berfungsi dan berpijak pada

prinsip cita hukum (rechtsidee) yaitu melindungi semua unsur bangsa demi

keutuhan (integrasi), sehingga apabila ada hukum yang justru menjadi ancaman

terhadap integrasi bangsa, maka harus dianggap bertentangan dengan tujuan

negara dan cita hukum; mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan

kemasyarakatan; mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum

(nomokrasi), yaitu mencerminkan kepentingan rakyat yang diseleksi dan

ditetapkan bersama seara jujur, adil, dan bebas, serta pelaksanaan seluruh aspek

kehidupan bernegara harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum;

menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup

beragama.474

Hukum sebagai alat yang merupakan bentuk dari upaya menjadikan

hukum sebagai proses pencapaian cita-cita dan tujuan, sehingga pada konteks

politik hukum nasional, menurut Mahfud MD475

harus berpijak pada beberapa

kerangka dasar, yaitu selalu mengarah pada cita-cita bangsa yakni masyarakat

yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila; politik hukum nasional harus

ditujukan untuk mencapai tujuan negara sebagaimana tercantum dalam

473

Moh. Mahfud MD, Perdebatan... Op.,Cit., hlm. 49 474

Bernard L. Tanya, “Judicial Review dan Arah Politik Hukum, Sebuah Perspektif”

dalam Moh. Mahfud MD, Membangun... Op.,Cit., hlm. 18 475

Ibid., hlm. 31

186

pembukaan UUD NRI 1945; politik hukum nasional harus dipandu oleh nilai-nilai

Pancasila sebagai dasar negara yaitu berbasis moral agama, menghargai dan

melindungi hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi, mempersatukan seluruh

unsur bangsa dengan semua ikatan primordialnya, meletakkan kekuasaan di

bawah kekuasaan rakyat, dan membangun keadilan sosial; dan untuk meraih cita

dan mencapai tujuan dengan landasan dan panduan tersebut maka sistem hukum

nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila.476

476

Sistem hukum Pancasila ini dimaknai oleh Mahfud MD sebagai sistem hukum yang

memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan

hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya. Sistem hukum yang demikian itu,

menurut Mahfud MD, minimal mempertemukan beberapa unsur-unsur baik dari tiga sistem nilai

dan meletakkannya dalam hubungan keseimbangan, yaitu keseimbangan antara individualisme dan

kolektivisme; keseimbangan antara rechsstaat dan the rule of law; keseimbangan antara hukum

sebagai alat untuk memajukan dan hukum sebagai cerminan nilai yang hidup di masyarakat; dan

keseimbangan antara negara agama dan negara sekuler atau religiuous nation state. Lihat Ibid.,

hlm. 32

187

BAB III

PEMAKNAAN KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM

PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-

UNDANG OLEH PRESIDEN PASCA REFORMASI

Dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk

menetapkan perpu dapat dilihat dalam Pasal 22 UUD NRI 1945. Ayat (1) dengan

jelas menyebutkan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden

berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.

Klausul pasal ini adalah asli dan autentik rumusan Panitia Perancang Undang-

Undang Dasar yang diketuai oleh Soekarno, dan dibentuk oleh Badan Penyelidik

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Selama UUD 1945 berlaku, pasal

tersebut tidak pernah mengalami perubahan. Hanya pernah tidak berlaku ketika

UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia digantikan secara keseluruhan dengan

Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 (Konstitusi RIS 1949) dan

Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950). Kembalinya UUD

1945 sebagai konstitusi Indonesia setelah UUDS 1950 melalui Dekrit Presiden

Soekarno 5 Juli 1959, juga mengembalikan keberlakuan Pasal 22 mengenai dasar

kewenangan presiden untuk menetapkan perpu.

Semua presiden yang pernah menjabat di Indonesia, dengan demikian,

pernah mempunyai kewenangan menetapkan perpu berdasarkan klausul Pasal 22

UUD NRI 1945 tersebut. Faktanya, semua presiden pernah menggunakan

kewenangan menetapkan perpu. Bahkan pejabat presiden juga pernah

menggunakan instrumen ini. Hasil penelitian Daniel Yusmic Pancastaki F.

188

menunjukkan,477

Soekarno menetapkan perpu sebanyak 143 buah, Assaat yang

kala itu menjadi pejabat presiden, juga menetapkan perpu sebanyak 6 buah,

demikian pula pejabat presiden Djuanda yang menetapkan perpu hingga 24 buah.

Penggunaan instrumen hukum berupa perpu yang terbilang sedikit yaitu Soeharto,

yang dengan masa jabatan presiden hingga 32 tahun, hanya menetapkan perpu 8

buah. Demikian pula dengan presiden yang menjabat pasca reformasi, juga tidak

pernah melewatkan penggunaan instrumen perpu ini sepanjang masa jabatannya.

Fakta ini kemudian memunculkan kesimpulan bagi Daniel Yusmic,478

bahwa

sejak awal kemerdekaan hingga reformasi ini, penggunaan Pasal 22 UUD NRI

1945 tidak ditempatkan sebagai bagian dari hukum tata negara darurat.

Kesimpulan Daniel Yusmic di atas, apabila dilihat dari aspek filosofis-

historis, tampak mempunyai kemiripan dengan pendapat (protes) Bruce Barton,

Anggota Kongres Amerika Serikat.

Any national administration is entitled to one or two emergencies in a

term of six years. But an emergency every six weeks means plain bad

management. Indeed, the excessive recourse to states of emergency in

peacetime, betokens the weakness, or at least inefficiency of a political

system rather than its strength.479

Setiap pemerintahan nasional berhak atas satu atau dua keadaan darurat

dalam jangka waktu 6 (enam) tahun. Namun keadaan darurat yang digunakan

setiap 6 (enam) minggu menunjukkan suatu manajemen yang buruk. Sebenarnya

penggunaan instrumen hukum darurat secara berlebihan pada masa damai,

477

Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, “Rekonstruksi Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Dalam Hukum Tata Negara Darurat”, Makalah disampaikan dalam Kuliah

Umum Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta, 19 September 2020. 478

Ibid. 479

Alexander M. Domrin, The Limits... Op., Cit., hlm. 2

189

menunjukkan kelemahan, atau sekurang-kurangnya inefisiensi sistem politik

daripada kekuatannya. Kritik Bruce Barton ini disampaikan sebagai bentuk respon

terhadap tindakan Presiden Franklin D. Roosevelt yang mendeklarasikan hingga

39 (tiga puluh sembilan) keadaan darurat dalam jangka waktu 6 (enam) tahun,

sebelum terjadi perang.480

Penetapan perpu oleh masing-masing presiden sejak awal kemerdekaan

Indonesia hingga pasca reformasi dengan ragam perspektif tersebut karena

memang secara normatif yuridis, Pasal 22 memberikan subyektifitas yang tinggi

dengan tidak adanya batasan. Sedangkan pada saat yang bersamaan, harus diakui

bahwa peranan manusianya lebih besar dan menonjol dalam kehidupan

ketatanegaraan Indonesia daripada peranan dari hukum tata negaranya.

Konsekuensinya, meskipun dengan hukum yang sama, penafsirannya dan

implikasinya akan berbeda.

Hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai syarat untuk dapat

menetapkan perpu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UUD NRI 1945, pada

praktiknya tidak selalu dimaknai sebagai adanya ancaman dan bahaya yang

langsung berkenaan dengan negara dan rakyat. Pernah ada perpu ditetapkan untuk

menangguhkan keberlakuan suatu undang-undang karena menjelang

dilaksanakan, undang-undang tersebut belum siap. Misalnya Perpu Nomor 1

Tahun 1984 tentang Penangguhan Berlakunya Undang-Undang tentang Pajak

480

Ibid.

190

Pertambahan Nilai 1984 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan.481

Prakteknya, perpu dikeluarkan juga karena adanya krisis di bidang

ekonomi, adanya kekosongan undang-undang yang mendesak untuk diadakan,

atau penangguhan penerapan suatu undang-undang yang akan secara sungguh-

sungguh mengganggu atau menimbulkan keguncangan atas ketertiban umum, atau

melukai rasa keadilan apabila undang-undang dimaksud diterapkan.482

Bila penggunaan perpu pada masa Soeharto relatif sedikit, pasca

reformasi, penetapan perpu dapat dikatakan kembali menjamur. Habibie yang

mempunyai masa jabatan cukup singkat, yaitu 512 hari atau kurang lebih 17 bulan

antara 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999, telah menetapkan 3 (tiga) buah

perpu. Abdurrahman Wahid menjadi presiden dengan waktu sedikit lebih lama

daripada B.J. Habibie (20 Oktober 1999 sampai dengan 23 Juli 2001), juga telah

menetapkan 3 (tiga) buah perpu. Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001 sampai

dengan 20 Oktober 2004) telah menetapkan sebanyak 4 (empat) buah perpu.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 (sepuluh) tahun menjadi

presiden sejak tahun 2004 hingga 2014, telah menetapkan 19 (sembilan belas)

buah perpu. Hingga penelitian ini ditulis, Presiden Joko Widodo yang telah

menjabat selama 7 (tujuh) tahun, telah menetapkan sebanyak 6 (enam) buah

perpu. Secara lebih detail, seluruh perpu yang ditetapkan pasca reformasi akan

dituangkan ke dalam tabel sebagai berikut:

481

Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 150 482

Ibid., hlm. 151

191

Judul Perpu Bidang

Pengaturan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang di Bawah Pemerintahan

Presiden B.J. Habibie

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Hukum

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di

Muka Umum

Politik

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1998 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

Politik

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang di Bawah Pemerintahan

Presiden Abdurrahman Wahid

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan

Pelabuhan Bebas

Ekonomi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan

Pelabuhan Bebas Sabang

Ekonomi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11

Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan

Ekonomi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang di Bawah Pemerintahan

Presiden Megawati Soekarnoputri

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Politik

192

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Pada Peristiwa

Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002

Politik

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan

Ekonomi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah

Hukum

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang di Bawah Pemerintahan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 20004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial

Hukum

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara

Politik

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Politik

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2006 tentang Peruahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwailan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Politik

193

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2006 tentang Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan

Fungsi Pengadilan Perikanan Sebagaimana Dimaksud Dalam

Pasal 71 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan

Hukum

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor Kawasan Perdagangan Bebas dan

Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang

Ekonomi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum Daam

Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah

dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara

Hukum

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinssi Papua

Politik

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Ekonomi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

Ekonomi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan Ekonomi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan

Ekonomi

194

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah

Politik

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji

Hukum

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9

Tahun 1992 tentang Keimigrasian

Hukum

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Hukum

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Hukum

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Politik

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Politik

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang di Bawah Pemerintahan

Presiden Joko Widodo

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Hukum

195

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Hukum

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk

Kepentingan Perpajakan

Ekonomi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan

Politik

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas

Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi

Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional

dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan

Ekonomi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentag

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-

Undang

Politik

Terhadap pembentukan dan materi muatan beberapa perpu pasca

reformasi, akan di analisis lebih lanjut terhadap sebagian perpu yang disebutkan di

atas, dengan mengambil sampel beberapa perpu pada masing-masing periode

kepemimpinan presiden pasca reformasi.

196

1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di

Muka Umum dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1998 tentang Pencabutan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1998

tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

(Perpu Nomor 2 Tahun 1998) ditetapkan sebagai bentuk respon Preisden

B.J. Habibie atas maraknya gelombang demonstrasi di berbagai tempat

yang dinilai tidak terkendali karena diikuti dengan perbuatan-perbuatan

yang sifatnya melawan hukum seperti tindakan pengrusakan, pembakaran

dan penjarahan sehingga menimbulkan perasaan tidak aman pada

masyarakat dan mengancam persatuan dan kesatuan.483

Keadaan tersebut

dianggap mempunyai implikasi yang cukup meluas antara lain

menurunnya kepercayaan luar negeri terhadap pemerintah Indonesia yang

berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi dan menghambat

pembangunan nasional, sedangkan agenda reformasi pembangunan sangat

padat dan harus diselesaikan dalam tempo yang singkat sehingga harus

segera diciptakan suasana kondusif berupa ketertiban, ketenteraman, dan

483

Lihat dalam Konsideran huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

197

keamanan dengan tetap menjunjung prinsip demokrasi.484

Upaya

penyelesaian secara cepat itu dituangkan ke dalam bentuk Perpu Nomor 2

Tahun 1998 ini.

Secara substansial, materi muatan Perpu Nomor 2 Tahun 1998 ini

terbilang cukup umum untuk mengatur perihal menyampaikan pendapat di

muka umum. Materi pengaturan hanya sebatas mengenai hak dan

kewajiban warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum;

bentuk-bentuk penyampaian pendapat; larangan tempat, waktu dan barang

berbahaya dalam menyampaikan pendapat; serta proses administrasi

berupa pemberitahuan, persetujuan, pembatalan, dan pembubaran

penyampaian pendapat oleh kepolisian. Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun

1998 ini alih-alih memberikan pedoman bagi penyampaian pendapat

dalam iklim demokrasi, ternyata justru menimbulkan respon penolakan

yang lebih meluas, sehingga Presiden Habibie menetapkan Perpu Nomor 3

Tahun 1998 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1998.

Memang harus diakui bahwa masa pemerintahan Presiden B.J.

Habibie berada pada masa-masa krisis karena merupakan titik awal

reformasi dan transisi menuju demokrasi. Euforia menyambut demokrasi

yang diekspresikan dengan demonstrasi namun tidak jarang justru

melampaui batas-batas ketertiban dan ketenteraman masyarakat juga tidak

484

Penjelasan Umum Atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

198

bisa dipungkiri. Hanya saja, merespon fakta tersebut dengan

mengkualifikasikan sebagai kegentingan yang memaksa sehingga harus

mengeluarkan produk hukum berupa perpu, menurut penulis adalah bukan

merupakan pilihan yang tepat. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan,

pertama, di dalam pertimbangan perpu disebutkan bahwa demonstrasi

yang marak terjadi diikuti dengan “tindakan-tindakan yang sifatnya

melawan hukum”. Secara implisit, ini menunjukkan bahwa sebenarnya

telah ada perangkat hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang

mengakibatkan terganggungnya ketenteraman dan ketertiban masyarakat,

hanya saja, pada tataran implementasi, perangkat hukum tersebut

barangkali tidak berfungsi secara efisien. Dengan demikian, maka

sebenarnya titik permasalahan utamanya bukan terletak pada kekosongan

hukum, akan tetapi pada aspek pelaksana hukum (struktur hukum),

sehingga menciptakan peraturan yang baru tentu bukan merupakan

langkah yang solutif.

Fakta secara yuridis menunjukkan bahwa tindakan yang disebut

melawan hukum dengan mencontohkan penjarahan, pengrusakan, dan

sejenisnya tersebut juga telah diatur secara lengkap melalui Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana. Penegak hukum untuk melaksanakan ketentuan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu juga telah disediakan

secara lengkap. Dengan demikian, presiden telah mempunyai perangkat

hukum yang lengkap baik dari aspek struktur dalam arti pelaksana hukum,

maupun dari aspek substansi hukum dalam arti dasar peraturannya untuk

199

mengatasi permasalahan penyampaian pendapat di muka umum. Sebagai

perbandingan, keadaan darurat di Inggris yang diistilahkan dengan martial

law, menetukan bahwa keadaan darurat negara tidak perlu diberlakukan

untuk menghadapi unjuk rasa dan pemogokan, karena untuk menghadapi

keadaan tersebut, pemerintah mempunyai banyak alternatif solusi, seperti

pemberian hak dan kesemppatan oleh pemerintah kepada warga negara

untuk menyampaikan aspirasinya melalui cara-cara yang tidak melanggar

hukum.485

Kedua, secara substansial, Perpu Nomor 2 Tahun 1998 juga tidak

memberikan implikasi yang “sontak segera” karena memang materi

muatannya yang sangat umum sebagaimana diuraikan sebelumnya, serta

tidak tergambar kemendesakan apa yang hendak diselesaikan dengan

perpu ini. Substansi pengaturan yang secara spesifik hendak mengatur dan

mengatasi permasalahan yang ada, tidak terlihat di dalam materi muatan

perpu dimaksud.

Akhirnya, tidak adanya unsur kegentingan yang memaksa sehingga

presiden harus menetapkan perpu ini ditegaskan oleh pilihan presiden

untuk mencabut Perpu Nomor 2 Tahun 1998 dengan menerbitkan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1998

tentang Pecabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di

485

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 146

200

Muka Umum (Perpu Nomor 3 Tahun 1998).486

Penetapan Perpu Nomor 3

Tahun 1998 juga merupakan upaya cepat yang ditempuh oleh presiden

untuk mencabut keberlakuan Perpu Nomor 2 Tahun 1998. Perpu tersebut

pencabutan ini ditetapkan atas dasar penolakan dari masyarakat terhadap

Perpu Nomor 2 Tahun 1998 yang dianggap justru memberangus semangat

demokratisasi pasca reformasi.

Penetapan Perpu Nomor 3 Tahun 1998 ini tentu pada akhirnya juga

mengandung persoalan hukum. Bagaimanapun, Perpu Nomor 3 Tahun

1998 bukan dibentuk atas dasar adanya kegentingan yang memaksa,

sebaliknya, dibentuk untuk mencabut perpu yang justru tidak ada hal

ikhwal kegentingan yang memaksa. Hal tersebut tentu tidak sejalan

dengan amanat Pasal 22 UUD NRI 1945 yang mensyaratkan hal ikhwal

kegentingan yang memaksa sebagai dasar pembentukan perpu. Terkait hal

ini, menjadi relevan konsepsi yang diuraikan oleh Bagir Manan,487

bahwa

perpu seharusnya tidak dicabut dengan perpu serupa dengan alasan,

pertama, perpu yang mencabut harus memenuhi syarat hal ikhwal

kegentingan yang memaksa, sedangkan perpu yang ada perlu dicabut

karena tidak ada lagi hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Kedua, perpu

yang dibuat harus diajukan ke DPR, yaitu perpu tentang pencabutan perpu,

sehingga hal ini menjadi tidak praktis.

486

Perpu Nomor 2 Tahun 1998 belum sempat dibahas oleh DPR untuk ditolak atau

disetujui menjadi undang-undang karena Presiden B.J. Habibie terlebih dahulu telah mencabut

melalui Perpu Nomor 3 Tahun 1998. Lihat dalam Nurlaili Rahmawati dan Sigit Nurhadi Nugraha,

Parameter Kegentingan yang Memaksa Dalam Penerbitan Perpu: dalam Tinjauan Fiqh Siyasah,

Cetakan Pertama, Lindan Bestari, Bogor, 2021, hlm. 67 487

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan dalam Ni‟matul Huda, Politik Ketatanegaraan...

Op., Cit., hlm. 142

201

2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Secara normatif yuridis, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

(Perpu Nomor 1 Tahun 1999) dibentuk atas dasar 3 (tiga) pertimbangan,

yaitu pertama, adanya dugaan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia

yang berat di berbagai daerah di Indonesia dalam bentuk pembunuhan

massal, pembunuhan sewenang-wenang dan tidak berdasarkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, penyiksaan,

penghilangan secara paksa, dan diskriminasi yang dilakukan secara

sistematis, sehingga mengakibatkan perasaan tidak aman bagi masyarakat;

kedua, kondisi sebagaimana diuraikan pada bagian pertama tersebut telah

mempunyai akibat dan dampak yang cukup luas baik secara nasional

maupun internasional berupa menurunnya kepercayaan terhadap

Pemerintah Republik Indonesia; ketiga, tuntutan reformasi untuk

menciptakan suasana yang kondusif berupa ketertiban, ketenteraman, dan

keamanan dalam penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan prinsip hak

asasi manusia.488

Secara sosiologis, perpu ini hendak mempercepat pembentukan

pengadilan hak asasi manusia. Percepatan tersebut dilakukan karena

adanya desakan dari Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan

488

Lihat dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

202

Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyoroti dugaan pelanggaran hak asasi

manusia yang berat pada proses jajak pendapat di Timor-Timur pada tahun

1999. Perhatian PBB dilihat dari dibentuknya International Commission of

Inquiry on East Timor (ICIET) untuk melakukan penyelidikan dan

mengumpulkan informasi yang sistematis atas dugaan pelanggaran hak

asasi manusia tersebut.489

Salah satu rekomendasi dari ICIET berdasarkan

hasil temuannya yaitu agar PBB segera membentuk pengadilan hak asasi

manusia bagi para pelaku pelanggar hak asasi manusia yang terjadi sejak

Januari 1999.490

Presiden kemudian menetapkan perpu untuk merespon

perhatian PBB sekaligus dalam rangka menunjukkan keseriusan

penanganan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia kepada dunia

Internasional.491

Secara substansial, Perpu Nomor 1 Tahun 1999 ini mengatur

mengenai perihal pembentukan pengadilan hak asasi manusia untuk

pertama kali yang dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan

daerah hukum meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.492

Kejahatan yang disasar oleh perpu ini adalah pelanggaran

489

Ikaningtyas, “Hybrid Tribunal Sebagai Upaya Penanganan Kasus Kejahatan

Kemanusiaan Berat di Timor Timur Pada Tahun 1999” artikel dalam Jurnal Risalah Hukum, Vol.

8, Nomor 1, Juni 2012, hlm. 14 490

Rudi M. Rizki, “Beberapa Catatan tentang Pengadilan Pidana Internasional Ad Hoc

Untuk Yugoslavia dan Rwanda Serta Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara Dalam

Pelanggaran Berat HAM” artikel dalam Jurnal Hukum Humaniter, Vol. 1, Nomor 2, 2019, hlm.

277 491

Zainal Abidin, “Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia: Regulasi, Penerapan dan

Perkembangannya” Makalah disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara ke XIV, Lembaga

Studi dan Advokasi Masyarakat, Oktober 2010, Jakarta, hlm. 1 492

Lihat dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

203

terhadap hak asasi manusia yang terjadi setelah perpu ini ditetapkan,

sedangkan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum

berlakunya perpu ini tetap diberlakukan ketentuan hukum pidana sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.493

Perpu

ini juga mengatur mengenai rencana kedudukan dan tempat kedudukan

pengadilan hak asasi manusia di setiap kabupaten di seluruh Indonesia;

lingkup kewenangan pengadilan hak asasi manusia; ancaman pidana bagi

pelaku pelanggaran hak asasi manusia; penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan perkara.

Perpu Nomor 1 Tahun 1999 yang ditetapkan pada 8 Oktober 1999

ini kemudian ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada sidang

paripurna yang diselenggarakan bulan Maret 2000 karena dianggap tidak

memenuhi kualifikasi kegentingan yang memaksa sebagaimana

diamanatkan oleh konstitusi.494

Secara substansial, menurut DPR waktu

itu, masih terdapat materi muatan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 1999 yang

menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam konvensi tentang

pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida tahun 1948 dan tidak

sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku universal; serta melihat

pentingnya materi muatan tentang pengadilan hak asasi manusia, maka

sudah seharusnya diatur dalam bentuk undang-undang.495

493

Lihat dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 494

Zainal Abidin, Pengadilan... Op., Cit., hlm. 1 495

Ibid.

204

Atas dasar penolakan DPR terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 1999,

sedangkan pada saat yang bersamaan tekanan PBB atas penyelesaian kasus

pelanggaran hak asasi manusia terus berlanjut, maka kurang dari 2 (dua)

minggu sejak penolakan DPR atas Perpu Nomor 1 Tahun 1999,

pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Hak

Asasi Manusia.496

Rancangan undang-undang itu dibahas dalam jangka

waktu yang cukup singkat, sehingga pada tanggal 23 November 2000,

dengan persetujuan bersama DPR dan Presiden, Rancangan Undang-

Undang ditetapkan dan diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Fakta proses pembentukan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

yang cukup cepat serta dapat mengakomodasi tekanan PBB yang

menginisiatifkan pembentukan pengadilan hak asasi manusia, sekaligus

menahbiskan pendapat DPR atas penolakan Perpu Nomor 1 Tahun 1999.

Bahwa hal ikhwal kegentingan yang memaksa tidak terpenuhi dalam

pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun 1999.

Salah satu materi muatan di dalam Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2000 ini memang mencabut Perpu Nomor 1 Tahun 1999.497

Klausul

pencabutan ini menunjukkan bahwa sejak perpu tersebut ditetapkan dan

diundangkan pada tanggal 8 Oktober 1999, sudah efektif berlaku dan

496

Ibid., hlm. 2 497

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia menyebutkan bahwa dengan berlakunya undang-undang ini, maka Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan

ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

205

dijadikan landasan yuridis atas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat.498

Sama persis dengan

pendapat Mahkamah Konstitusi bahwa perpu sejak disahkan dan sebelum

adanya pendapat dari DPR untuk menolak atau menyetujui, maka perpu

tersebut adalah sah dan berlaku seperti undang-undang dengan segala

akibat hukumnya berupa lahirnya norma hukum baru baik dalam bentuk

status hukum baru, hubungan hukum baru, dan akibat hukum baru.

Anehnya, meskipun telah mendapatkan penolakan dari DPR pada bulan

Maret 2000, Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tidak serta merta menjadikan

perpu dimaksud tidak berlaku karena pencabutannya masih menunggu

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang ternyata baru ditetapkan dan

diundangkan pada tanggal 23 November 2000. Artinya, perpu yang telah

ditolak tersebut masih tetap berlaku meskipun dalam interval waktu yang

tidak terlalu lama (beberapa bulan). Oleh karena itu, dalam Pasal 48

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ditegaskan bahwa penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan pelanggaran hak asasi manusia yang berat

yang sudah atau sedang dilaksanakan berdasarkan Perpu Nomor 1 Tahun

1999 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang

ini. Fakta ini tentu menunjukkan adanya problematika hukum berupa

498

Dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa

Perpu Nomor 1 Tahun 1999 telah dijadikan landasan yuridis atas penyelidikan kasus kejahatan hak

asasi manusia yang berat di Timor Timur oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Lihat dalam

Eva Achjani Zulfa, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perubahan

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pusat

Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian

Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 2012, hlm. 25

206

ketidakjelasan daya ikat keputusan DPR atas penolakannya terhadap

perpu, sekaligus menunjukkan superioritas presiden atas DPR melalui

kewenangannya menetapkan perpu.

Tidak terpenuhinya klausul hal ikhwal kegentingan yang memaksa

dalam penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1999 juga dapat dilihat dari aspek

kekosongan hukum, yang menurut pendapat penulis juga tidak terpenuhi.

Hal ini mengingat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia telah mengatur mengenai pembentukan pengadilan hak

asasi manusia di lingkungan peradilan umum dengan jangka waktu paling

lama 4 (empat) tahun, sehingga sebelum terbentuk, maka kasus-kasus

pelanggaran hak asasi manusia diadili oleh pengadilan yang berwenang.499

Uraian di atas menunjukkan, alih-alih menyelesaikan permasalahan

hukum, justru menimbulkan problematika hukum baru berkaitan dengan

keberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 1999.

499

Lihat dalam Pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia.

207

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada

Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Perpu Nomor 1

Tahun 2002) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom

di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 (Perpu Nomor 2 Tahun 2002) adalah 2

(dua) Perpu yang ditetapkan secara bersamaan karena mempunyai maksud

dan latar belakang pembentukan yang sama. Kedua Perpu tersebut

ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2002, sebagai

bentuk respon Presiden Megawati Soekarnoputri atas terjadinya peristiwa

peledakan Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Presiden Megawati

memandang bahwa peledakan Bom Bali telah menimbulkan dampak

meluas berupa perasaan tidak aman sehingga harus direspon dan ditangani

dengan cepat, sehingga menetapkan perpu dimaksud.

208

Kedua Perpu di atas disetujui oleh DPR dan ditetapkan menjadi

undang-undang, masing-masing dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,

Menjadi Undang-Undang yang ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 4

Maret 2003, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 yang ditetapkan dan diundangkan pada 4 April 2003.

Secara substansial, Perpu Nomor 1 Tahun 2002 mengatur

mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme secara umum, meliputi

lingkup atau yurisdiksi pemberantasan terorisme yang terdiri dari wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau negara lain yang juga

mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan

penuntutan terhadap pelaku tersebut,500

dengan beberapa syarat dan

ketentuan; bentuk dan akibat tindak pidana terorisme; ketentuan pidana

bagi pelaku tindak pidana terorisme; penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan atas tindak pidana terorisme;

kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi; kerjasama internasional; serta

kebijakan untuk memberlakukan surut atas substansi Perpu Nomor 1

Tahun 2002 terhadap kasus tertentu yang penerapannya ditetapkan dengan

500

Lihat dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

209

undang-undang atau perpu tersendiri.501

Substansi pasal yang memberikan

landasan hukum pemberlakuan surut tersebut memang dimaksudkan atas

peristiwa Bom Bali yang terjadi beberapa hari sebelum Perpu Nomor 1

Tahun 2002 ditetapkan. Maka untuk menindaklanjuti ketentuan

pemberlakuan surut tersebut, Presiden juga menetapkan Perpu Nomor 2

Tahun 2002.502

Menurut pendapat penulis, alasan yang mendasari mengapa respon

atas peledakan Bom Bali harus menggunakan 2 (dua) perpu yaitu bahwa

Perpu Nomor 1 Tahun 2002 mengatur lebih komprehensif atas

pemberantasan tindak pidana terorisme sehingga materi muatan tersebut,

apabila merujuk pada bagian konsideran menimbang, maka Perpu Nomor

1 Tahun 2002 dapat digunakan secara konsisten dan berkesinambungan

dalam jangka panjang. Perpu Nomor 2 Tahun 2002 secara khusus adalah

sebagai bentuk penegasan dan kekhususan bahwa peristiwa Bom Bali

yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 juga diberlakukan Perpu

Nomor 1 Tahun 2002.

Alasan Pemerintah merespon peristiwa peledakan Bom Bali

dengan Perpu yaitu adanya perhatian dunia internasional, yang bahkan

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan

Resolusi Nomor 1438 (2002) yang isinya mengutuk sekeras-kerasnya

501

Lihat dalam Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 502

Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme: Kebijakan Formulatif Hukum Pidana Dalam

Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, hlm. 3

210

peledakan Bom Bali sekaligus menyampaikan duka cita dan simpati

terhadap pemerintah Indonesia, rakyat Indonesia, korban dan keluarganya,

sekaligus menyerukan kepada semua negara dengan mendasarkan pada

Resolusi Nomor 1373 (2001) untuk bekerjasama mendukung Pemerintah

Indonesia dalam mengungkap pelaku dan membawanya ke pengadilan.503

Namun untuk memenuhi hal tersebut, Indonesia belum memiliki perangkat

hukum berupa undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme,

padahal peristiwa dimaksud telah terjadi.504

Terorisme tidak hanya

mengakibatkan korban nyawa yang banyak, namun juga mencederai

kedaulatan dan integritas negara, termasuk dalam bidang ekonomi serta

hubungan internasional.505

Pemerintah juga memandang bahwa terorisme

tidak lagi hanya dipandang sebagai kejahatan biasa, namun sudah

dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), dan

bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).506

Atas

dasar hal tersebut, Pemerintah memandang bahwa syarat “hal ikhwal

kegentingan yang memaksa” sebagai syarat ditetapkannya perpu menurut

Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 telah terpenuhi.

503

Lihat dalam Fundamentum Petendi (Keterangan Pemerintah) huruf d dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 504

Lihat dalam Fundamentum Petendi (Keterangan Pemerintah) huruf e dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 505

Lihat dalam Keterangan Pemerintah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 506

Lihat dalam Keterangan Pemerintah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 11

211

Hal yang menjadi sorotan utama terhadap Perpu Nomor 1 Tahun

2002 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 yang keduanya juga telah disetujui

oleh DPR untuk menjadi undang-undang tersebut yaitu mengenai

kebijakan berlaku surut (retroaktif) bagi pelaku Bom Bali. Pemerintah

mendalilkan bahwa kebijakan pemberlakuan surut (retroaktif) di dalam

perpu tersebut yaitu untuk menegakkan keadilan karena peristiwa Bom

Bali telah menimbulkan korban yang tidak sedikit jumlahnya serta

menimbulkan dampak yang cukup meluas di bidang sosial, ekonomi,

politik, dan hubungan internasional; serta tindak pidana terorisme yang

telah digolongkan ke dalam kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary

crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).507

Titik kontroversial kebijakan retroaktif ini karena dinilai

bertentangan dengan asas legalitas yang berlaku dalam hukum pidana

sebagaimana dinormatifkan dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) yang menghendaki tidak boleh seseorang dipidana kecuali

didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada

sebelum tindak pidana dilakukan; serta dinilai melanggar hak asasi

manusia sebagaimana telah dijamin di dalam konstitusi. Terhadap hal ini,

memang di antara beberapa ahli hukum terdapat perbedaan pendapat.

Yudha Bhakti melakukan kompilasi atas pendapat pro dan kontra

penerapan asas retroaktif di antara ahli hukum berikut juga dengan

507

Lihat dalam Fundamentum Petendi (Keterangan Pemerintah) huruf f dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

212

alasannya yang menunjukkan bahwa memang tidak sedikit yang setuju, di

antaranya Yusril Ihza Mahendra yang memang mewakili pemerintah

waktu itu dengan kedudukannya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM

Republik Indonesia; Muladi yang setuju namun hanya pada kasus Bom

Bali saja karena menilai peristiwa tersebut sebagai extra ordinary crime

yang korbannya luar biasa dan berskala internasional;508

Nasrulah dengan

alasan Bom Bali merupakan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran

HAM berat, serta demi kepentingan umum yaitu untuk menghindari

dampak yang lebih meluas di masyarakat;509

J.E. Sahetapy dengan dasar

bahwa terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa;510

Abdul Gani

Abdullah yang pada saat itu juga menjabat sebagai Dirjen Hukum dan

Perundang-Undangan;511

Romli Atmasasmita yang merujuk pada

pembukaan UUD NRI 1945 yaitu untuk menertibkan pedamaian dan

kedamaian dunia;512

serta 4 (empat) hakim Mahkamah Konstitusi yang

terdiri dari Maruarar Siahaan, I Dewa Gede Palguna, H.A.S. Natabaya,

dan Harjono sebagaimana dapat dilihat dalam pendapat berbeda

(dissenting opinion) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-

508

Yudha Bhakti, dkk., Laporan Akhir Tim Kompilasi Bidang Hukum Tentang “Asas

Retroaktif”, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 53 509

Ibid., hlm. 54 510

Ibid. 511

Ibid., hlm. 55 512

Ibid., hlm. 56

213

I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.513

Adapun yang tidak setuju dengan pemberlakuan asas retroaktif di

dalam perpu tersebut di antaranya yaitu Maria Farida Indrati yang menilai

bahwa kebijakan retroaktif tersebut bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1)

UUD NRI 1945 sebagai hukum tertinggi.514

Indriyanto Seno Adji yang

menjunjung tinggi asas legalitas, menegaskan bahwa kondisi darurat

apapun tidak memberikan justifikasi memberlakukan produk hukum untuk

berlaku surut.515

Sedangkan Harun Al Rosid berpendapat bahwa Perpu

Nomor 1 Tahun 2002 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 melanggar prinsip

dalam sistem hukum pidana yang berlaku umum, namun tidak

bertentangan dengan UUD NRI 1945. Bahkan menurut Harun Al Rosid,

perangkat hukum telah tersedia untuk menghukum siapa saja yang

melakukan tindak pidana yang kualifikasinya sama dengan terorisme,

yaitu dengan merujuk pada Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.516

513

Lihat dalam Pendapat yang Berbeda (Dissenting Opinion) dalam dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 514

Lihat dalam Keterangan Ahli Angka 3 oleh Maria Farida Indrati dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 515

Lihat dalam Keterangan Ahli di Luar Sidang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 516

Lihat dalam Keterangan Ahli Angka 1 oleh Maria Farida Indrati dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

214

Terlepas dari perdebatan dan perbedaan pendapat antara ahli

hukum yang memang tinjauannya adalah akademis sebagaimana diuraikan

di atas, yang menarik dari perpu ini adalah hasil pengujian oleh

Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 yang

merupakan pengesahan atas Perpu Nomor 2 Tahun 2002 dengan Putusan

Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari putusan

tersebut dengan korelasinya terhadap penetapan Perpu Nomor 1 Tahun

2002 dan Nomor 2 Tahun 2002 yaitu pertama, Mahkamah Konstitusi

melarang pemberlakuan asas retroaktif atau berlaku surut. Hal ini

tercermin dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada bagian

pertimbangan hukum angka 1 yang menegaskan bahwa,517

Pada dasarnya hukum itu harus berlaku ke depan (prospectively).

Adalah tidak fair, jika seseorang dihukum karena perbuatan yang

pada saat dilakukannya merupakan perbuatan yang sah. Adalah

tidak fair pula jika pada diri seseorang diberlakukan suatu

ketentuan hukum yang lebih berat terhadap suatu perbuatan yang

ketika dilakukannya diancam oleh ketentuan hukum yang lebih

ringan, baik yang berkenaan dengan hukum acara (procedural),

maupun hukum material (substance).

Beberapa pertimbangan lain berupa filosofi orientasi pemidanaan

yang menjadi pijakan Indonesia, menghindari peluang penggunaan asas

retroaktif sebagai sarana balas dendam, menjunjung tinggi peradilan yang

fair dengan memperbandingkan praktik di negara-negara lain, serta untuk

517

Pertimbangan Hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

215

mengukuhkan UUD NRI 1945 sebagai hukum tertinggi, menjadi pijakan

Mahkamah Konstitusi untuk melarang pemberlakuan asas retroaktif.

Kedua, tindak pidana terorisme in casu peristiwa Bom Bali bukan

termasuk extra ordinary crime. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini

merujuk pada Statuta Roma 1998 yang mengkategorikan pelanggaran Hak

Asasi Manusia Berat hanya terbatas pada kejahatan Genosida, kejahatan

terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi; serta Pasal

7 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

yang mengkategorikan pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat hanya

kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Peristiwa Bom Bali

menurut Mahkamah Konstitusi belum dapat dikategorikan sebagai extra

ordinary crime sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma dan Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999, melainkan masih dikategorikan sebagai

kejahatan biasa (ordinary crime) yang kejam, dan masih dapat ditangkal

dengan ketentuan hukum pidana yang ada.518

Ketiga, substansi Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tidak sesuai dengan

kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan. Mahkamah

518

Pertimbangan Hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 44. Terhadap pertimbangan

Mahkamah Konstitusi yang menjadikan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia selain Statuta Roma 1998 sebagai parameter untuk mengkualifikasikan kejahatan

terorisme dalam peristiwa Bom Bali pada putusan ini, menurut pendapat penulis tidak relevan. Hal

ini karena Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangannya melakukan pengujian

undang-undang, seharusnya meletakkan UUD NRI 1945 sebagai parameternya. Uji

konstitusionalitas undang-undang adalah ukuran untuk melihat apakah undang-undang telah sesuai

dengan UUD NRI 1945, bukan untuk melihat kesesuaian antar undang-undang. Namun terlepas

dari ketidaksetujuan penulis, Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah ditetapkan dengan

segala konsekuensi yuridis atas kekuatan mengikatnya.

216

Konstitusi menegaskan bahwa Perpu Nomor 2 Tahun 2002 yang isinya

merupakan pernyataan pemberlakuan suatu kaidah hukum terhadap

peristiwa hukum yang bersifat konkret adalah tidak tepat untuk dituangkan

ke dalam bentuk produk hukum berupa undang-undang, melainkan

seharusnya merupakan material sphere pengadilan dalam menerapkan

suatu kaidah hukum umum dan abstrak. Mahkamah Konstitusi

berpendapat, hal itu justru tidak sesuai dengan prinsip pemisahan

kekuasaan yang implikasinya dapat menjadi preseden buruk.519

Keempat, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Pengesahan Perpu Nomor 2 Tahun

2002 menjadi undang-undang bertentangan dengan UUD NRI 1945.520

Ketentuan dalam Pasal 46 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 sebagaimana telah

ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang menjadi

landasan yuridis pemberlakuan surut tidak disebutkan di dalam amar

putusan karena memang yang diajukan oleh pemohon adalah uji

konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003. Akan tetapi di

dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi menyebutkan521

bahwa

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 telah cukup memenuhi harapan

para justisiabel, namun undang-undang tersebut tidak perlu diberlakukan

519

Pertimbangan Hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 45 520

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhaap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. 521

Pertimbangan Hukum Mahkamah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhaap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 43

217

surut, karena unsur dan jenis kejahatan yang terdapat dalam terorisme

menurut undang-undang dimaksud sebelumnya telah merupakan jenis

kejahatan yang diancam dengan pidana berat.

Terlepas dari kontroversi dan dinamika ditetapkannya putusan

Mahkamah Konstusi karena di antara para ahli hukum menimbulkan pro

dan kontra, bahkan termasuk di antara hakim konstitusi juga tidak

melahirkan suara yang bulat karena 4 (empat) dari 9 (sembilan) hakim

konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion),

putusan Mahkamah Konstitusi yang melahirkan amar putusan demikian

harus diterima sebagai produk hukum konstitusional yang sifat

keberlakuannya adalah final dan mengikat. Perdebatan dan perbedaan

pendapat secara akademik di antara ahli hukum mengenai kebijakan

retroaktif seharusnya telah menemukan titik tengah dan kepastian dengan

putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menjadi hukum positif dengan

segala konsekuensi yuridisnya. Menurut Mahfud MD, terlepas benar atau

salah, putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap itu

mengikat dan karenanya harus diikuti atau dilaksanakan. Hal ini

berlandaskan pada dalil hukmul haakim yarfa‟ul khilaaf, putusan

pemerintah, termasuk di dalamnya adalah putusan hakim, mengakhiri

semua perbedaan, sehingga antara setuju atau tidak setuju, harus

dilaksanakan.522

522

Moh. Mahfud MD, “Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah

Konstitusi”, artikel dalam Jurnal Hukum, Nomor 4, Volume 16, Oktober 2009, hlm. 450

218

Terhadap beberapa bagian substansi putusan Mahkamah Konstitusi

di atas, dikorelasikan dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 dan Perpu

Nomor 2 Tahun 2002, selain substansinya yang bertentangan dengan

konstitusi, ternyata juga berimplikasi pada persoalan hukum yang lain,

yaitu pada aspek akibat hukum ditetapkannya perpu serta aspek

pembentukan perpu itu sendiri. Kebijakan retroaktif sebagaiamana

diadopsi oleh kedua perpu di atas telah melahirkan akibat hukum konkret,

yaitu digunakan sebagai dasar oleh hakim untuk menjatuhkan pidana bagi

pelaku tindak pidana Bom Bali. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar

Nomor 167/Pid.B/2003/PN.Dps dengan vonis pidana mati bagi Amrozi,

mendasarkan pada Pasal 14 jo. Pasal 6 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 jo.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo. Pasal 1 Perpu Nomor 2

Tahun 2002 jo. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 jo. Pasal

55 ayat (1) KUHP.523

Padahal di kemudian hari diketahui bahwa dasar

hukum yang digunakan tersebut ternyata inkonstitusional.524

Pada aspek pembentukan perpu, pertimbangan Mahkamah

Konstitusi sebagaimana diuraikan di atas menginsinuasikan bahwa Perpu

Nomor 1 Tahun 2002 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tidak memenuhi

kualifikasi hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Hal ini dapat dilihat

523

A.A Ngr Jayalantara, “Kajian Terhadap Pengecualian Pemberlakuan Asas

Nonrektroaktif Dalam Kasus Bom Bali I” Tesis Pada Program Pascasarjana Sistem Peradilan

Pidana, Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hlm. 6 524

Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 167/Pid.B/2003/PN.Dps ditetapkan pada

tanggal 7 Agustus 2003, sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003

ditetapkan pada tanggal 23 Juli 2004 namun proses pengajuan uji materil dilakukan sejak tanggal

14 November 2003. Artinya, Putusan Pengadilan Negeri Denpasar dikeluarkan pada saat Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2003 sedang dalam proses uji materil di Mahkamah Konstitusi

219

dari dasar pertimbangan pemerintah untuk menetapkan perpu yang

dibantah oleh Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangan hukumnya,

misalnya kualifikasi tindak pidana terorisme sebagai kejahatan luar biasa

(extra ordinary crime) menurut pemerintah sehingga menuntut

ditetapkannya perpu, sedangkan berdasarkan pertimbangan Mahkamah

Konstitusi, hal itu tidak dibenarkan. Terorisme masih dikualifikasikan

sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang kejam.

Pertimbangan lain dari pemerintah yaitu karena pengaturan tentang

pemberantasan terorisme di Indonesia yang belum lengkap sehingga perlu

menetapkan perpu dengan kebijakan berlaku surut, juga dibantah oleh

Mahkamah Konstitusi dengan menegaskan bahwa unsur dan jenis

kejahatan yang terdapat dalam terorisme menurut undang-undang

dimaksud sebelumnya telah merupakan jenis kejahatan yang diancam

dengan pidana berat. Artinya, untuk merespon peristiwa Bom Bali,

sebenarnya telah ada perangkat hukum yang memadai, tanpa harus

menetapkan perpu. Perihal diperlukan tambahan dan perbaikan sebagai

penyempurnaan atas landasan hukum pemberantasan korupsi, barangkali

memang dibutuhkan melalui prosedur legislasi yang biasa, dan tidak

dalam kapasitas hal ikhwal kegentingan yang memaksa sehingga harus

ditetapkan dengan perpu.

220

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan (Perpu Nomor 1 Tahun 2004) ini dibentuk untuk

menutupi kekurangan di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

karena tidak mengatur mengenai kelangsungan perizinan atau perjanjian

pertambangan yang sudah ada sebelum undang-undang tersebut

ditetapkan, sehingga dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum dalam

berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan terutama bagi investor

yang telah memiliki izin sebelum undang-undang tersebut diberlakukan.

Hal itu dinilai akan berakibat pada posisi pemerintah yang berada pada

keadaan yang sulit untuk mengembangkan iklim investasi.525

Ketidakpastian hukum yang dianggap menghambat pemerintah dalam

penciptaan iklim investasi yang baik untuk memanfaatkan sumber daya

alam sesuai amanat Pasal 33 UUD NRI 1945 ini yang dipersepsikan

pemerintah sebagai hal ikhwal kegentingan yang memaksa.526

Materi muatan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 ini memang terbilang

sangat sederhana karena hanya berisi tambahan 2 (dua) pasal di dalam bab

525

Lihat dalam Konsideran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 526

Keterangan Pemerintah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-

III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

221

penutup Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Materi muatan yang pertama yaitu mengenai penegasan bahwa semua

perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang

telah ada sebelum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 diberlakukan,

dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perizinan dimaksud.

Materi muatan yang kedua yaitu mengenai pemberian landasan yuridis

penetapan keputusan presiden untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana

disebutkan pada bagian pertama. Kebijakan dengan penetapannya dalam

bentuk Keputusan Presiden ini dicantumkan untuk memberikan payung

hukum atas status perizinan yang masih membutuhkan penelitian lebih

lanjut oleh Menteri yang membidangi, baik terhadap jenis maupun jumlah

perizinan.527

Bagian kontroversial dari Perpu Nomor 1 Tahun 2004 ini adalah

implikasi yuridis yang seolah memberikan legitimasi atas penambangan

secara terbuka di kawasan hutan lindung, padahal kegiatan tersebut dinilai

mempunyai dampak lingkungan yang cukup signifikan.528

Penolakan dari

beberapa organisasi kemasyarakatan terutama yang mempunyai perhatian

khusus terhadap lingkungan dan adat ternyata tidak direspon dan

ditindaklanjuti pemerintah maupun DPR. Pada tanggal 13 Agustus 2004,

DPR menyetujui Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang penetapannya dengan

527

Lihat dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan 528

Jamilus, “Kajian Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004” artikel dalam

Jurnal Widya Yustisia, Volume 1, Nomor 2, Januari 2015, hlm. 79

222

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 2004

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan Menjadi Undang-Undang. Terhadap hal tersebut, beberapa

pihak yang tergabung dalam Tim Advokasi Penyelamatan Hutan Lindung

melakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi.

Putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi atas hasil uji

materiil dan formil tersebut yaitu Putusan Nomor 003/PUU-III/2005

menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi memandang pembentukan

Perpu Nomor 1 Tahun 2004 ini tidak memenuhi kualifikasi hal ikhwal

kegentingan yang memaksa berdasarkan kondisi objektif yang ada. Hal ini

dapat dilihat dari pertimbangan Mahkamah Konstiusi pada uji formil

dengan menyebutkan bahwa meskipun dasar “hal ikhwal kegentingan

yang memaksa” siftanya subyektif, pada masa yang akan datang, alasan-

alasan yang menjadi pertimbangan presiden untuk mengeluarkan Perpu

agar lebih didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan negara.

Secara substansial, memang tidak terlihat bahwa perpu ini dibentuk

untuk mengatasi problematika kebangsaan dan penyelenggaraan

pemerintahan yang sangat mendesak dan mengganggu. Materi pengaturan

di dalam perpu ini tampak hanya memuat tentang ketentuan peralihan dan

ketentuan penutup,529

meskipun di dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2004,

529

Lihat dalam Pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 003/PUU-

III/2005 tentang Hak Uji Materiil dan Formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang

223

kedua materi muatan tersebut digabung ke dalam bagian penutup.

Ketentuan Peralihan yang dimaksud Mahkamah Konstitusi atas Perpu

Nomor 1 Tahun 2004 adalah ketentuan transisional untuk melanjutkan

hak-hak hukum yang diperoleh berupa izin atau perjanjian pertambangan

sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

sebagaimana tercantum di dalam Pasal 83A Perpu Nomor 1 Tahun 2004.

Namun ketentuan peralihan tersebut tidak diikuti dengan norma yang

mengatur adanya upaya penyesuaian terhadap peraturan perundang-

undangan yang sedang berlaku, baik berupa syarat maupun prosedurnya.

Padahal ketentuan peralihan pada hakikatnya selain untuk menjaga agar

hubungan hukum atau tindakan hukum yang telah ada sebelum berlakunya

suatu undang-undang namun prosesnya belum selesai, tidak dirugikan

dengan adanya undang-undang yang baru, juga merupakan bentuk upaya

penyesuaian agar kemudian tetap tunduk pada peraturan perundang-

undangan yang ditetapkan kemudian dengan kekuatan mengikatnya.530

Namun ketentuan tersebut justru tidak diatur, sehingga akibat hukum yang

bersifat sontak segera untuk menangani permasalahan negara tidak terlihat

dari Perpu Nomor 1 Tahun 2004 ini. Demikian juga dengan ketentuan

penutup yang hanya memuat tentang penunjukan kepada presiden untuk

dapat memberikan izin melalui keputusan presiden.

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 530

Sri Hariningsih, “Ketentuan Peralihan Dalam Peraturan Perundang-Undangan” artikel

dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6, Nomor 4, Desember 2009, hlm. 597

224

5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan

Alasan pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem

Keuangan (Perpu Nomor 4 Tahun 2008) ini adalah anggapan pemerintah

mengenai adanya ancaman krisis keuangan yang berpotensi

membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional.

Penetapan perpu ini dinilai sebagai langkah antisipasi secara yuridis untuk

mencegah krisis dimaksud.531

Secara umum, Perpu Nomor 4 Tahun 2008 mengatur tentang

pencegahan dan penanganan sistem keuangan yang sudah gagal secara

efektif untuk menjalankan peran dan fungsinya dalam perekonomian

nasional. Sasaran pencegahan krisis melalui perpu ini adalah532

tindakan

mengatasi permasalahan bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang

berdampak sistemik;533

bank yang mengalami permasalahan solvabilitas

atau kegagalan pelunasan fasilitas pembiayaan darurat yang berdampak

sistemik; dan lembaga keuangan bukan bank yang mengalami kesulitan

likuiditas dan masalah solvabilitas yang berdampak sistemik. Sedangkan

531

Lihat dalam Konsideran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan 532

Lihat dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan 533

Menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2008, Berdampak sistemik adalah kondisi sulit yang ditimbulkan bank, lembaga keuangan

bukan bank, dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan

kegagalan sejumlah bank lain sehingga mengakibatkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem

keuangan dan perekonomian nasional

225

sasaran penanganan krisis yaitu534

dengan tindakan mengatasi

permasalahan bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan/atau

solvabilitas yang secara individu berdampak sistemik atau bank yang

secara individu tidak berdampak sistemik namun secara bersama-sama

dengan bank lain berdampak sistemik pada kondisi khusus; dan lembaga

keuangan bukan bank yang mengalami permasalahan solvabilitas yang

berdampak sistemik.

Ada 2 (dua) bentuk implikasi yang cukup signifikan atas

ditetapkannya Perpu Nomor 4 Tahun 2008 ini, yaitu pembentukan Komite

Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang berfungsi untuk menetapkan

kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis, dengan segala

kewenangan dan tugasnya;535

serta pemberian imunitas untuk tidak dapat

dihukum atas keputusan atau kebijakan yang diambil dan sejalan dengan

tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud di dalam Perpu Nomor 4

Tahun 2008 ini.

Perpu Nomor 4 Tahun 2008 harus diakui mempunyai banyak

persoalan. Pertimbangan relevansi dengan penelitian ini, maka penulis

hendak membahas dan menganalisis pada aspek hal ikhwal kegentingan

yang memaksa sebagai dasar pembentukan Perpu Nomor 4 Tahun 2008,

materi muatan Perpu Nomor 4 Tahun 2008, dan aspek keberlakuan Perpu

534

Lihat dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan 535

Lihat dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan

226

Nomor 4 Tahun 2008. Berkaitan dengan dasar pembentukan Perpu Nomor

4 Tahun 2008, memang benar telah terjadi krisis ekonomi secara global

yang diyakini berawal dari kolapsnya Lemhans Brothers (bank investasi

papan atas Amerika Serikat) pada tanggal 15 September 2008,536

namun

pembentukan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tersebut faktanya tidak dalam

rangka menanggulangi krisis global yang terjadi. Fajrul Falaakh secara

gamblang bahkan menyebutkan bahwa perpu tersebut tampak diterbitkan

hanya untuk memberikan dana talangan kepada Bank Century yang waktu

itu sedang mengalami permasalahan finansial.537

Memang secara substansial, Perpu Nomor 4 Tahun 2008 yang

memberikan landasan hukum pembentukan KSSK sebagaimana telah

diuraikan di atas, mempunyai implikasi hukum konkret lanjutan berupa

pemberian dana talangan kepada Bank Century sebagai keputusan dari

KSSK yang menilai bahwa Bank Century adalah bank yang berdampak

sistemik. Bank Century diberikan suntikan dana sejumlah 6,7 triliun.538

Pada aspek inilah substansi Perpu Nomor 4 Tahun 2008 menimbulkan

permasalahan serius.

536

Aloysius Soni BL de Rosari (Editor), Centurygate: Mengurai Konspirasi Penguasa-

Pengusaha, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, hlm. x 537

Mohammad Fajrul Falaakh, Involusi Perppu (Bank Century) dalam Aloysius Soni BL

de Rosari (Editor), Centurygate: Mengurai Konspirasi Penguasa-Pengusaha, Kompas Media

Nusantara, Jakarta, 2010, hlm. 115 Sebagai perbandingan, pernyataan Yusuf Kalla yang sejalan

dengan Iman Sugema menyebut bahwa Bank Century terjerembab bukan karena terimbas krisis

global, tetapi karena dijarah habis oleh pengelolanya. Lihat dalam Iman Sugema, Bank Century

dan Akrobat Dalih dalam Aloysius Soni BL de Rosari (Editor), Centurygate: Mengurai

Konspirasi Penguasa-Pengusaha, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, hlm. 135 538

Budiarto Shambazy, Bravo Demokrasi Indonesia, dalam Ibid., hlm. 4

227

“Titik permulaan” permasalahan pemberian dana talangan kepada

Bank Century adalah rapat KSSK pada tanggal 21 November 2008 yang

menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Hanya

dengan mengkualifikasikan bank gagal berdampak sistemik itulah, Perpu

Nomor 4 Tahun 2008 memberikan ruang bagi KSSK untuk dapat

memberikan fasilitas pembiayaan darurat dari Bank Indonesia yang

dijamin pemerintah kepada bank yang kesulitan likuiditas.539

Namun

berdasarkan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan di

antaranya menegaskan, bahwa penentuan Bank Century sebagai bank

gagal berdampak sistemik tidak didasarkan pada data dan informasi yang

lengkap dan mutakhir dari Bank Indonesia terkait dengan kondisi Bank

Century yang sesungguhnya, pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek

kepada Bank Century yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara

mengubah ketentuan dan pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan,

dan fakta adanya praktik-praktik tidak sehat serta pelanggaran yang

dilakukan oleh pengurus bank, pemegang saham, dan pihak-pihak terkait

yang merugikan Bank Century.540

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan

tersebut diperkuat dengan beberapa analisis secara akademik oleh

beberapa ahli.

539

Eko Prasojo, Akuntabilitas Talangan Century, dalam Ibid., hlm. 124 540

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi atas Kasus Bank Century Nomor

64/LHP/XV/11/2009 tertanggal 20 November 2009, terdapat 9 (sembilan) poin temuan Badan

Pemeriksa Keuangan atas kasus Bank Century, dengan 3 (tiga) di antaranya adalah sebagaimana

disebutkan di atas.

228

Tony Prasetiantono menyebutkan bahwa KSSK kurang memiliki

data kuantitatif terukur sehingga kebijakan yang dipilih banyak

mengandung keputusan yang kualitatif, sedangkan data keadaan krisis,

data kuatitatif tidaklah cukup.541

Eddy OS Hiariej542

dengan melihat dari

aspek hukum pidana menyebutkan bahwa kebijakan tersebut hampir dapat

dikatakan masuk pada ranah hukum pidana berdasarkan 3 (tiga) parameter.

Pertama, kebijakan dana talangan 6,7 triliun melanggar peraturan Bank

Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 yang mengatur bahwa fasilitas

pendanaan jangka pendek hanya diberikan kepada bank yang mempunyai

rasio kecukupan modal minimal 8 persen, sedangkan Bank Century waktu

itu adalah 2,35 persen. Namun pada 14 November 2008 Bank Indonesia

mengubah aturan itu yang pada intinya, semula syaratnya 8 persen,

menjadi rasio kecukupan modal positif. Saat dikucurkan, Bank Century

pada 31 Oktober 2008 minus 3,53 persen. Kedua, suatu kebijakan

dijadikan pintu masuk untuk melakukan suatu kejahatan. Dalam hal ini,

apabila memang terbukti bahwa kebijakan pemberian fasilitas pendanaan

jangka pendek dimaksudkan untuk dibagikan kepada pihak tertentu, maka

antara kebijakan dan penyalahgunaan dana Century adalah rangkaian

tindak pidana. Ketiga, adanya moral hazard berupa perubahan Peraturan

Bank Indonesia sebagaimana disebutkan di atas untuk memuluskan

pemberian dana kepada Bank Century. Hal ini juga diperkuat fakta bahwa

pada saat itu ada 3 (tiga) bank yang dinyatakan gagal, namun hanya

541

A Tony Prasetiantono, “Teori Konspirasi” Century dalam Aloysius Soni BL de Rosari

(Editor), Centurygate... Op., Cit., hlm. 169 542

Eddy OS Hiariej, Mengadili Kebijakan dalam Ibid., hlm. 131-132

229

Century yang diberikan fasilitas pendanaan jangka pendek. Pendapat Eddy

OS Hiariej tersebut dapat dikomparasikan dengan adanya putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 21/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST

dan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 67/PID/TPK/2014/PT.DKI

yang menegaskan bahwa perbuatan beberapa terdakwa yang menyetujui

penetapan Bank Century sebagai bank Gagal Berdampak Sistemik yang

mengakibatkan kerugian keuangan negara merupakan tindak pidana

korupsi.

Dilihat dari materi muatannya, suntikan dana kepada Bank Century

yang bermasalah tersebut, menjadi sangat berkontradiksi dan menjadi

sangat ironi dengan pilihan kebijakan untuk memberikan hak imunitas

atau kekebalan hukum di dalam Perpu Nomor 4 Tahun 2008 sebagaimana

disebutkan di dalam Pasal 29. Pada konteks ini, konstruksi Pasal 29 Perpu

Nomor 4 Tahun 2008 yang mengamputasi kontrol yudisial, mereduksi

semangat bernegara hukum, dan mencederai prinsip equality before the

law atau persamaan di hadapan hukum sesuai amanat konstitusi, mendapat

justifikasi berdasarkan peristiwa konkret di atas. Memang terkait Pasal 29

Perpu Nomor 4 Tahun 2008 ini telah diajukan uji materiil ke Mahkamah

Konstitusi, namun berdasarkan Putusan Nomor 145/PUU-VII/2009,

pemohon dinyatakan tidak mempunyai kerugian konstitusional sehingga

tidak mempunyai legal standing. Alasan Mahkamah Konstitusi yaitu

230

bahwa pemohon tetap melaksanakan haknya sebagai warga negara karena

tidak berkaitan langsung dengan ketentuan pasal tersebut.543

Permasalahan lainnya terkait perpu ini, yang juga mempunyai

kaitan erat dengan permasalahan pencairan dana talangan sebagaiamana

diuraikan di atas adalah ketidakpastian hukum terkait dengan keberlakuan

Perpu Nomor 4 Tahun 2008. Terdapat kesimpangsiuran mengenai jangka

waktu keberlakuan Perpu dimaksud, yang setidaknya terbelah menjadi 2

(dua) perspektif. Bagi DPR, yang ini juga diamini oleh Fajrul Falaakh,

Perpu Nomor 4 Tahun 2008 sudah ditolak oleh DPR pada tanggal 18

Desember 2008.544

Bagi Pemerintah, rapat paripurna pada tanggal 18

Desember 2008 bukan merupakan penolakan terhadap perpu karena DPR

tidak secara nyata menolak mengingat sebagian fraksi ada yang menolak,

sebagian lainnya menyatakan menerima, dan sebagian yang lain

menyatakan belum menerima.545

Dengan demikian, maka Pemerintah

beranggapan bahwa Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tetap berlaku pasca rapat

paripurna tanggal 18 Desember 2008. Memang, pada tanggal 24 Desember

2008, Ketua DPR mengirimkan surat kepada Presiden terkait dengan hasil

543

Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PUU-VII/2009 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang juncto Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang

Bank Indonesia, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun

2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, hlm. 29 544

Mohammad Fajrul Falaakh, Involusi... Op., Cit., hlm. 115 545

Hasil Rapat Paripurna 18 Desember 2008 menunjukkan terdapat 4 (empat) fraksi yang

menyetujui Perpu Nomor 4 Tahun 2008 yaitu Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Keadilan

Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Damai Sejahtera; 4 (empat)

fraksi yang lain menolak yaitu Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi

FBR, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa; 2 (dua) fraksi menyatakan belum dapat menerima

yaitu Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi

231

rapat Paripurna 18 Desember 2008, yang isinya tidak ada kata-kata yang

menyebutkan menolak atau menerima Perpu Nomor 4 Tahun 2008, namun

hanya berisi tentang kesepakatan untuk meminta kepada pemerintah agar

segera mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman

Sistem Keuangan sebelum tanggal 19 Januari 2009.546

Merespon surat Ketua DPR, maka pada tanggal 14 Januari 2009,

pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring

Pengaman Sistem Keuangan, yang salah satu klausul di dalamnya

menyebutkan bahwa Perpu Nomor 4 Tahun 2008 dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku pada saat Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem

Keuangan berlaku. Ini sekaligus menegaskan bahwa Pemerintah masih

beranggapan bahwa Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tetap berlaku sampai

dengan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem

Keuangan disetujui menjadi undang-undang.547

Pada tanggal 30 September 2009, dalam Rapat Paripurna DPR,

laporan Komisi XI DPR mengenai Pembahasan Laporan Kemajuan

Pemeriksaan Investigasi Kasus Bank Century menegaskan bahwa Rapat

paripurna DPR pada tanggal 18 Desember 2008, Perpu Nomor 4 Tahun

2008 tidak mendapatkan persetujuan DPR atau ditolak menjadi undang-

undang. Ini kembali menimbulkan ketidakpastian hukum dan penafsiran

berbeda. Satu pihak menyebut bahwa DPR menolak pada tanggal 18

546

Erman Rajagukguk, Kontroversi Masa Berlaku Perppu JPSK, dalam Aloysius Soni

BL de Rosari (Editor), Centurygate... Op., Cit., hlm. 119 547

Ibid.

232

Desember 2008, sedangkan pihak lainnya menyebut bahwa Perpu Nomor

4 Tahun 2008 baru ditolak pada tanggal 30 September 2009 karena pada

waktu itu penolakan terhadap perpu disebutkan dengan jelas.548

Apabila benar Perpu Nomor 4 Tahun 2008 ditolak pada tanggal 18

Desember 2008, sedangkan pasca penolakan tersebut masih ada proses

pencairan dana,549

maka tentu akan terancam tindak pidana korupsi karena

telah melakukan tindakan melawan hukum.550

Merespon permasalahan ini,

ditegaskan oleh Menteri Keuangan bahwa dana talangan Bank Century

didasarkan pada Pasal 39, Pasal 41, dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan, dan tidak

menggunakan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 sebagai dasar.551

Hampir

sejalan dengan pendapat Erman Rajagukguk yang meninjau dari aspek

keberlakuan Perpu Nomor 4 Tahun 2008, bahwa penyertaan modal

Lembaga Penjamin Simpanan sebesar 6,7 triliun tersebut tidak

mendasarkan pada Perpu Nomor 4 Tahun 2008, akan tetapi Lembaga

Penjamin Simpanan menjalankan tugasnya sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2004. Artinya, kendatipun keberlakuan Perpu Nomor 4

Tahun 2008 itu bermasalah dan menimbulkan ketidakpastian hukum,

maka tindakan KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan tetap mempunyai

548

Ibid. 549

Berdasarkan Keputusan Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Nomor

KEP.001/DK/II/2009 tanggal 3 Februari 2009, telah dilakukan penyetoran bailout sebanyak tiga

kali kepada Bank Century sebesar Rp. 1.155.000.000.000, dan Keputusan Dewan Komisioner

Lembaga Penjamin Simpanan Nomor KEP.019/DK/VII/2009 tanggal 21 Juli 2009 dilakukan

penyetoran satu kali sebesar Rp. 630.221.000.000 550

Mohammad Fajrul Falaakh, Involusi... Op., Cit., hlm. 117 551

Ibid.

233

dasar hukum.552

Apabila perspektif ini dapat dibenar demikian, maka

jelaslah bahwa materi muatan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tidak

mempunyai urgensi apapun untuk ditetapkan, terlebih dalam bentuk

produk hukum berupa perpu yang memang diidealkan untuk mengatasi

kegentingan yang memaksa.

Perpu Nomor 4 Tahun 2008 kemudian baru dicabut dengan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2015 tentang Pencabutan Peraturan

Pemerintah Pengganti UU Nomor 4 Tahun 2008, yang diundangkan pada

tanggal 6 Agustus 2015. Keadaan ini menegaskan bahwa keberlakuan

Perpu Nomor 4 Tahun 2008 ini tidak mempunyai kepastian hukum, akan

tetapi ketidakpastian tersebut justru dimanfaatkan untuk tetap

melaksanakan kebijakan Pemerintah.

6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Presiden menilai telah terjadi kekosongan keanggotaan pimpinan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengganggu kinerja KPK

552

Erman Rajagukguk, Kontroversi... Op., Cit., hlm. 121

234

dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, sementara Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yang mengatur mengenai tata cara pengisian kekosongan

keanggotaan pimpinan KPK, dinilai membutuhkan waktu yang cukup

lama yang dikhawatirkan akan mengganggu kinerja KPK.553

Kekosongan

tersebut, apabila tidak diatasi segera, menurut Presiden akan berdampak

pada menurunnya kapasitas Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana

korupsi.554

Secara faktual, memang pada tahun 2009, 3 (tiga) dari 5 (lima)

orang pimpinan KPK sedang diberhentikan sementara dari jabatannya

karena ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian.555

Hal serupa terjadi

pada Tahun 2015. 2 (dua) orang pimpinan KPK diberhentikan sementara,

dan 1 (satu) orang telah habis masa jabatan sebagai pimpinan KPK.556

553

Lihat dalam Konsideran Menimbang huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 554

Lihat dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 555

Antasari Azhar yang menjabat sebagai Ketua KPK ditetapkan sebagai tersangka otak

pembunuhan (intelectual dader) Nasrudin Zulkarnain (Direktur PT. Putra Rajawali Banjara) sejak

tanggal 30 April 2009. Lihat Anonim, “Antasari Azhar Tersangka Otak Pembunuhan Nasrudin”

dalam https://news.detik.com/berita/d-1124907/antasari-azhar-tersangka-otak-pembunuhan-

nasrudin, diakses pada tanggal 7 Agustus 2021. Sedangkan Chandra M. Hamzah dan Bibit S.

Riyanto yang merupakan Pimpinan KPK, pada tanggal 15 September 2009 ditetapkan sebagai

tersangka Penerbitan dan Pencabutan Cegah-Tangkal seseorang pergi ke luar negeri. Lihat

Anonim, “Inilah Alasan Polisi Jadikan Bibit dan Chandra Tersangka” dalam

https://nasional.tempo.co/read/198331/inilah-alasan-polisi-jadikan-bibit-dan-chandra-

tersangka/full&view=ok, diakses pada tanggal 7 Agustus 2021 556

M. Busyro Muqoddas pada tanggal 10 Desember 2014 telah habis masa jabatan.

Abraham Samad pada tanggal 17 Februari 2015 ditetapkan sebagai tersangka pemalsuan dokumen.

Lihat Anonim, “Abraham Sama Resmi Jadi Tersangka” dalam

https://nasional.kompas.com/read/2015/02/17/08590821/Abraham.Samad.Resmi.Jadi.Tersangka.

Diakses pada tanggal 8 Agustus 2021. Sedangkan Bambang Widjojanto pada tanggal 23 Januari

2015 ditetapkan sebagai tersangka kasus pemberian keterangan palsu di Mahkamah Konstitusi.

Lihat Anonim, “Bambang Widjojanto Jadi Tersangka Keterangan Palsu” dalam

https://nasional.tempo.co/read/636976/bambang-widjojanto-jadi-tersangka-keterangan-

palsu/full&view=ok, diakses pada tanggal 8 Agustus 2021

235

Apabila merujuk pada Unang-Undang Nomor 30 Tahun 2002,

maka untuk dapat dilakukan proses pengisian kekosongan karena

pemberhentian sementara tersebut terlebih dahulu harus menunggu

pemberhentian secara tetap, serta tahapan dan proses pengisian yang

dimulai dari pembentukan panitia seleksi oleh presiden hingga penetapan

calon terpilih oleh presiden memerlukan waktu yang cukup lama.557

Artinya, selama status pimpinan KPK tersebut tersangka dan

diberhentikan sementara, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tidak

memberikan ruang untuk dilakukan pengisian jabatan. Atas dasar itu,

maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 menetapkan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perpu Nomor 4 Tahun

2009). Sedangkan pada peristiwa kedua sebagaimana diurai di atas,

Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 menetapkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (Perpu Nomor 1 Tahun 2015).

Materi muatan Perpu Nomor 4 Tahun 2009 memang cukup

sederhana karena hanya berisi 2 (dua) Pasal, yaitu menambahkan Pasal

33A dan Pasal 33B. Pasal 33A mengatur bahwa dalam hal terjadi

557

Proses, mekanisme, dan tahapan pemilihan pimpinan KPK telah diatur secara

terperinci di dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

236

kekosongan pimpinan KPK kurang dari 3 (tiga) orang, maka presiden akan

mengangkat dan menetapkan anggota sementara sejumlah jabatan yang

kosong, yang tugas, wewenang, kewajiban, dan haknya sama dengan

pimpinan KPK.558

Pasal 33B mengatur mengenai masa jabatan, yaitu

bahwa anggota pimpinan KPK yang digantikan karena diberhentikan

sementara diaktifkan kembali karena pemberhentian sementara tidak

berlanjut menjadi pemberhentian tetap. Perpu Nomor 1 Tahun 2015

mempunyai kesamaan baik dari aspek substansi maupun dari aspek

pertimbangan hukum dengan Perpu Nomor 4 Tahun 2009. Kedua Perpu

tersebut telah melahirkan akibat hukum, masing-masing yaitu pada tanggal

6 Oktober 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melantik 3

(tiga) orang pelaksana tugas Pimpinan KPK,559

dan pada tanggal 20

Februari 2015, Presiden Joko Widodo melantik 3 (tiga) orang pelaksana

tugas Pimpinan KPK.560

Merujuk pada ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002, memang disebutkan dengan jelas bahwa pimpinan KPK

terdiri dari 5 (lima) anggota, yang susunannya terdiri dari 1 (satu) orang

Ketua merangkap sebagai Anggota, dan Wakil Ketua terdiri dari 4 (empat)

orang, yang masing-masing juga merangkap sebagai anggota. Seluruh

558

Lihat dalam Pasal 33A Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 559

Anonim, “Presiden Lantik Pelaksana Tugas Pimpinan KPK” dalam

https://www.liputan6.com/news/read/246569/presiden-lantik-pelaksana-tugas-pimpinan-kpk,

diakses pada tanggal 8 Agustus 2021 560

Anonim, “Presiden Lantik Pelaksana Tugas Pimpinan KPK” dalam

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150220_pelantikan_plt_kpk, diakses

pada tanggal 8 Agustus 2021

237

pimpinan KPK tersebut bekerja secara kolektif. Ketentuan yang

menegaskan bahwa pimpinan KPK bekerja secara kolektif inilah yang

sebenarnya cukup memberikan dasar bahwa kendatipun pimpinan KPK

kurang dari 5 (lima) orang, maka tugas dan fungsi pimpinan KPK tetap

dapat dijalankan dengan keputusan yang dihasilkan tetap memenuhi

keabsahan. Hal ini karena keabsahan yang didasarkan pada kolektivitas

tidak melihat pada jumlah yang ada.561

Maka fungsi-fungsi yang melekat

pada pimpinan KPK tetap dapat dijalankan bahkan apabila pimpinan KPK

juga terdiri dari 2 (dua) orang sebagaimana yang terjadi pada tahun 2009

dan 2015. Artinya, pelaksana tugas atau anggota sementara sebagai

pengganti pimpinan KPK yang diberhentikan sementara sama sekali tidak

dibutuhkan, yang ini berarti bahwa urgensi penetapan perpu dimaksud

dengan tujuan semata-mata untuk mengangkat pelaksana tugas sementara

pimpinan KPK tersebut, juga tidak mempunyai urgensi apapun.

Kekhawatiran presiden lainnya yang juga menjadi pertimbangan

dikeluarkannya perpu ini yaitu bahwa kekosongan anggota pimpinan KPK

sebagaimana diuraikan di atas akan menurunkan kinerja KPK, dengan

demikian juga tidak mempunyai landasan yang kuat. Hal ini mengingat

kinerja KPK secara institusi tidak hanya dilaksanakan oleh pimpinan,

namun juga didukung oleh pegawai, penyidik, dan deputi yang

561

Muchamad Ali Safa‟at, “Perpu Plt Pimpinan KPK; Adakah Kegentingan yang

Memaksa” http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/PERPPU-PLT-KPK.pdf diakses pada

tanggal 8 Agustus 2021

238

profesional.562

Hal itu juga telah ditegaskan di dalam Pasal 27 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002. Terlebih, konstruksi hukum Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 meletakkan pimpinan sebagai unsur

pengambil kebijakan dan keputusan yang sifatnya kolektif,563

sedangkan

terkait tugas-tugas yang bersifat teknis dilakukan oleh pegawai KPK,

termasuk juga penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang juga

dilakukan oleh aparat KPK.564

Pengambilan keputusan oleh pimpinan KPK yang dilakukan

apabila kurang dari 3 (tiga) orang pun sudah diantisipasi secara yuridis

melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 2009

tentang Tata Cara Pengambilan Keputusan Pimpinan KPK. Bahwa

pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh kurang dari 3 (tiga) orang

dengan mekanisme rapat atau menggunakan mekanisme lainnya seperti

pemanfaatan teknologi informasi apabila keadaan mendesak, bersifat

operasional, anggota pimpinan berhalangan sementara, anggota pimpinan

diberhentikan sementara, atau anggota pimpinan berhenti atau

diberhentikan.565

Hal itu sepenuhnya disadari oleh presiden dibuktikan

562

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3

Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi, susunan

organisasi KPK terdiri dari Pimpinan, Sekretariat Jenderal, Deputi Bidang Pencegahan, Deputi

Bidang Penindakan, Deputi Bidang Informasi dan Data, Deputi Bidang Pengawasan Internal dan

Pengaduan Masyarakat, Tim Penasihat, dan Sekretariat Pimpinan. Peraturan KPK Nomor 3 Tahun

2018 ini adalah yang berlaku saat ini, menggantikan Peraturan KPK tentang Organisasi dan Tata

Kerjak KPK sebelumnya meliputi Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2015, Peraturan KPK Nomor 3

Tahun 2010, dan Peraturan KPK Nomor 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK. 563

Lihat dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi

Nomor 3 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi 564

Muchamad Ali Safa‟at, Perpu... Loc., Cit. 565

Lihat dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3

Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengambilan Keputusan Pimpinan KPK.

239

dengan uraian penjelasan pemerintah yang juga mengutip ketentuan

tersebut pada perkara pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 di

Mahkamah Konstitusi.566

Kendatipun kedua perpu di atas secara substansial mempunyai

kesamaan, namun “nasib” keduanya berbeda. Perpu Nomor 4 Tahun 2009

ditolak oleh DPR dalam rapat Paripurna pada tanggal 4 Maret 2010, yang

karena penolakan tersebut, perpu dicabut melalui Undang-Undang Nomor

3 Tahun 2010 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Salah satu alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap

Perpu Nomor 4 Tahun 2009 adalah tentang tidak adanya hal ikhwal

kegentingan yang memaksa sehingga perlu menetapkan perpu tersebut.567

Berbeda dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2015 yang disetujui oleh DPR

dengan penetapannya melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Menjadi Undang-Undang. Fakta ini menunjukkan betapa konfigurasi

566

Lihat dalam Penjelasan Pemerintah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

49/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 567

Berdasarkan hasil Rapat Komisi III DPR, dari 9 (sembilan) fraksi yang ada, hanya

Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang menyetujui Perpu Nomor 4

Tahun 2009, sedangkan 7 (tujuh) fraksi yang lain menolak. Lihat dalam Anonim, “DPR Tolak

Perppu Pelaksana Tugas KPK” dalam

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b8d2c6c6f7a3/dpr-tolak-perppu-pelaksana-tugas-

kpk, diakses pada tanggal 8 Agustus 2021

240

partai politik di parlemen dalam relasinya dengan presiden, menentukan

apakah suatu perpu akan diterima atau ditolak.

Menurut pendapat penulis, Perpu Nomor 1 Tahun 2015 memang

tidak seharusnya dibentuk oleh presiden. Pertimbangan hal ikhwal

kegentingan yang memaksa yang tidak terlihat, setidaknya diperkuat

dengan sejarah Perpu Nomor 4 Tahun 2009. Secara faktual, tidak terlihat

ada penurunan yang signifikan terhadap kinerja KPK pada tahun 2009,

bahkan dengan dikeluarkannya perpu justru menimbulkan perdebatan

publik lanjutan. Pada aspek persetujuan DPR yang hasil keputusannya

adalah ditolak oleh DPR, juga pada proses pembahasan yang ternyata tidak

dilaksanakan pada sidang berikut.568

Fakta ini sekaligus memperkuat

bahwa sebenarnya diberhentikannya sementara pimpinan KPK bukan

persoalan kebangsaan yang mencapai pada titik kegentingan yang

memaksa. Terlebih, pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 138/PUU-VII/2009 yang menguji Perpu Nomor 4 Tahun 2009,

telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi beberapa indikator

kegentingan yang memaksa untuk dapat menetapkan perpu, maka sudah

seyogyanya presiden mempunyai batasan-batasan yang lebih jelas

sehingga tidak perlu menetapkan Perpu Nomor 1 Tahun 2015.

568

Perpu Nomor 4 Tahun 2009 dibahas oleh DPR setelah melampuai masa sidang

pertama sejak perpu ini diterbitkan. Perpu diundangkan tanggal 22 September 2009, sedangkan

masa sidang berikutnya oleh DPR dengan anggota baru berdasarkan hasil pemilu 2009 adalah 1

Oktober 2009 sampai 4 Desember 2009, akan tetapi tapi perpu dimaksud tidak dibahas pada masa

itu. Lihat dalam Pendapat Berbeda (dissenting opinion) Moh. Mahfud MD., dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945

241

7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Secara normatif-yuridis, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Perpu

Nomor 1 Tahun 2013) ini dibentuk atas dasar persepsi presiden yang

menilai bahwa kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap hakim

konstitusi menurun sehingga membutuhkan penyelamatan secara cepat

teradap hakim konstitusi, terutama karena menjelang pelaksanaan

pemilihan umum 2014, yang sengketanya akan menjadi ranah Mahkamah

Konstitusi. Apabila tidak segera diselamatkan, menurut presiden, maka

legitimasi akan menjadi ancaman utamanya.569

Secara sosiologis, Perpu Nomor 1 Tahun 2013 ini merupakan

bentuk reaksi presiden terhadap tertangkapnya Ketua Mahkamah

Konstitusi (Akil Mochtar) oleh KPK karena melakukan tindak pidana,

sehingga dalam perspektif presiden telah menimbulkan krisis pada

lembaga Mahkamah Konstitusi. Penetapan Perpu ini dianggap sebagai

langkah presiden untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi.570

569

Lihat dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi 570

Sabrina Asril, ”Langkah Penyelamatan MK, Pemerintah Siapkan Perpu” artikel dalam

https://nasional.kompas.com/read/2013/10/05/1552262/Langkah.Penyelamatan.MK.Pemerintah.Si

apkan.Perpu, diakses pada tanggal 9 Agustus 2021

242

Secara substansial, Perpu Nomor 1 Tahun 2013 ini memuat

setidaknya 4 (empat) hal, yaitu pertama, ketentuan tentang tambahan

syarat untuk menjadi hakim konstitusi. Tambahan dimaksud yaitu

ketentuan untuk tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu

paling singat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim

konstitusi yang dibuktikan dengan surat pernyataan tidak menjadi anggota

partai politik. Syarat tersebut sebelumnya tidak diatur di dalam Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2011.

Kedua, mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi.

Sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011,

hakim konstitusi diajukan oleh masing-masing 3 (tiga) orang oleh

Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh

presiden untuk kemudian ditetapkan dengan keputusan presiden.

Mekanisme seleksi diatur sendiri oleh masing-masing lembaga tersebut.

Berdasarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2013, calon hakim konstitusi sebelum

ditetapkan oleh presiden, terlebih dahulu dilakukan uji kelayakan dan

kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi

Yudisial. Maka berdasaran ketentuan tersebut, penentu hakim konstitusi

yang akan ditetapkan oleh presiden adalah Panel Ahli. Ketiga lembaga

yang berhak mengajukan calon hakim konstitusi, menyampaikan calon

hakim konstitusi kepada Panel Ahli untuk kemudian dilakukan uji

243

kelayakan dan kepatutan. Hasil dari seleksi Panel Ahli itulah yang akan

ditetapkan oleh presiden.

Ketiga, perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi. Perpu

Nomor 1 Tahun 2013 mengamanatkan agar Mahkamah Konstitusi

bersama dengan Komisi Yudisial membentuk Kode Etik dan Pedoman

Perilaku Hakim Konstitusi yang tujuannya adalah sebagai rambu-rambu

agar dalam menjalankan tugasnya, senantiasa menjaga kehormatan dan

perilaku hakim konstitusi. Sebagai pelaksana (penegak) kode etik tersebut,

maka Perpu Nomor 1 Tahun 2013 ini juga mengamanatkan kepada

Mahkamah Konstitusi bersama dengan Komisi Yudisial untuk membentuk

Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang kesekretariatannya

berkedudukan di Komisi Yudisial dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal

Komisi Yudisial.571

Keempat, perluasan kewenangan Komisi Yudisial. Berdasarkan

uraian di atas, maka kewenangan Komisi Yudisial diperluas, yaitu

melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi dan melakukan seleksi

terhadap calon hakim konstitusi. Bahkan sebelum Panel Ahli dan Majelis

Kehormatan Hakim Konstitusi terbentuk, kedua fungsi organ tersebut

dilaksanakan oleh Komisi Yudisial.572

571

Lihat dalam Pasal 27A Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi 572

Lihat dalam Pasal 87B Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi

244

Perpu Nomor 1 Tahun 2013 ini telah disetujui oleh DPR, yang

kemudian ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Menjadi Undang-Undang. Kendatipun mendapatkan persetujuan dari

DPR, ternyata keberadaan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 cukup memantik

respon banyak pihak karena dianggap mempunyai persoalan hukum, baik

dari aspek urgensi pembentukan perpu yang dikorelasikan dengan syarat

hal ikhwal kegentingan yang memaksa, materi muatan perpu yang

dikorelasikan dengan konstitusionalitas, implikasi keberlakuan perpu

dimaksud, dan sebagainya. Upaya hukum terhadap produk hukum tersebut

juga dilakukan dengan mengajukan permohonan pengujian kepada

Mahkamah Konstitusi yang telah diputus dengan Putusan Nomor 1-

2/PUU-XII/2014.

Saldi Isra adalah salah satu ahli hukum yang mempersoalkan syarat

ditetapkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2013 ini. Hak membentuk Perpu

yang merupakan emergency power presiden, ditetapkan setelah

penangkapan ketua Mahkamah Konstitusi atas perbuatan pidana yang

dilakukannya, tampak belum memenuhi syarat hal ikhwal kegentingan

yang memaksa sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 ayat (1) UUD NRI

245

1945.573

Secara faktual, kondisi Mahkamah Konstitusi waktu itu memang

tidak menunjukkan adanya indikasi keadaan abnormal atau keadaan yang

luar biasa dalam penyelenggaraan peradilan konstitusi. Mahkamah

Konstitusi tetap dapat menjalankan kewenangannya sebagaimana

ditentukan oleh Pasal 24C UUD NRI 1945.574

Sejalan dengan pendapat

Jimly Asshiddiqie,575

bahwa tertangkapnya Akil Mochtar yang waktu itu

menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi merupakan persoalan

personal, dan bukan persoalan Mahkamah Konstitusi secara institusional.

Lingkup persoalannya adalah permasalahan dalam pemberantasan korupsi,

bukan persoalan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan

kewenangannya.

H.A.S. Natabaya yang juga melihat dari aspek formil

menyebutkan, bahwa di dalam konsideran Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2014 tidak terlihat bahwa ada keadaan genting dan memaksa yang

menuntut presiden untuk mengeluarkan perpu. Ia menyebutkan dengan

573

Lihat Pendapat Ahli Saldi Isra angka 5 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-

Undang 574

Lihat Pendapat Ahli Jayus angka 1 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-

2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-

Undang 575

Anonim, “Jimly: Perppu yang Akan Dikeluarkan Presiden Bisa Mengebiri MK” dalam

http://news.detik.com/berita/d-2379410/jimly-perppu-yang-akan-dikeluarkan-presiden-bisa-

mengebiri-mk?nd772204topnews diakses pada tanggal 10 Agustus 2021

246

ungkapan “ke atas tak berpucuk, ke bawah tak berakar, di tengah digerek

kumbang”.576

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2013 yang

menguji Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

kiranya dapat menjadi sumber hukum yang mengakhiri perdebatan

mengenai Perpu Nomor 1 Tahun 2013. Putusan ini meninjau baik dari

aspek formil maupun materil termasuk perihal konstitusionalitas Perpu

Nomor 1 Tahun 2013. Meskipun objek yang diajukan permohonan adalah

dalam bentuk undang-undang pengesahan terhadap Perpu Nomor 1 Tahun

2013, namun hakikat penetapan perpu, serta bentuk perpu secara ideal,

juga turut dipertimbangkan di dalam putusan tersebut.

Secara formil, Mahkamah Konstitusi di dalam pertimbangan

hukumnya menyebutkan bahwa konsideran menimbang Perpu Nomor 1

Tahun 2013 tidak mencerminkan adanya kegentingan yang memaksa.

Demikian pula dengan indikator-indikator hal ikhwal kegentingan yang

memaksa sebagaimana telah ditetapkan di dalam Putusan Mahkamah

576

Lihat Pendapat Ahli H.A.S. Natabaya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-

2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-

Undang. H.A.S. Natabaya merupakan salah satu hakim konstitusi yang mengadili perkara

pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutananan. Di dalam putusan tersebut, Mahamah Konstitusi mengarahkan agar hal ikhwal

kegentingan yang memaksa sebagai dasar pembentukan Perpu, dicantumkan di dalam konsideran.

247

Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang juga tidak terpenuhi di dalam

Perpu Nomor 1 Tahun 2013.577

Bahkan Mahkamah Konstitusi juga

melihat dari indikator lain, yaitu akibat hukum dari sebuah perpu yang

seharusnya bersifat promt immediately atau sontak segera untuk

memecahkan permasalahan hukum yang ada. Perpu Nomor 1 Tahun 2013

dinilai tidak mempunyai karakter tersebut dibuktikan bahwa meskipun

perpu tersebut bahkan sudah ditetapkan menjadi undang-undang, perpu

tersebut belum pernah menghasilkan produk hukum apapun. Bahkan

sampai dengan perpu yang telah ditetapkan menjadi undang-undang

tersebut diujikan ke Mahkamah konstitusi, Panel Ahli dan Majelis

Kehormatan Hakim Konstitusi yang menjadi amanat perpu tersebut belum

terbentuk.578

Kendatipun keduanya telah terbentuk, tidak ada

permasalahan genting dan memaksa yang harus diselesaikan segera.

Perekrutan hakim konstitusi untuk menggantikan Akil Mochtar juga belum

dapat dilakukan disebabkan oleh beberapa ketentuan dalam perpu, yang ini

berarti, alih-alih menyelesaikan permasalahan, Perpu Nomor 1 Tahun

577

Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-

Undang, hlm. 120 578

Perpu merupakan pranata hukum luar biasa atau emergency power yang diberikan

kepada presiden untuk sesegera mungkin mengatasi permasalahan bangsa dan negara. Menjadi

suatu ironi, ketika suatu perpu ditetapkan, namun pada tataran implementasi, tidak mempunyai

efek kesegeraan, maka dalam batas penalaran yang wajar, kegentingan yang memaksa tidak benar-

benar terjadi.

248

2013 justru memunculkan permasalahan berupa memperlambat seleksi dan

penggantian hakim konstitusi.579

Sucara substansial, Perpu Nomor 1 Tahun 2013 ini menunjukkan

adanya pertentangan dengan konstitusi dan melawan putusan Mahkamah

Konstitusi yang telah ditetapkan terdahulu. Berkaitan dengan pengawasan

hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor

005/PUU-IV/2006 telah menegaskan bahwa Komisi Yudisial tidak

mempunyai keterkaitan dengan hakim pada Mahkamah Konstitusi. Hakim

konstitusi tidak terkait dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 24B

UUD 1945, melainkan hanya sebatas hakim pada Mahkamah Agung.

Demikian pula dengan kewenangan Komisi Yudisial dalam pembentukan

Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang dinilai bertentangan dengan

Pasal 24B UUD 1945 sebagaimana telah ditafsirkan melalui Putusan

005/PUU-IV/2006. Ketidaksesuaian dengan putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 ini, maka menurut Mahkamah

Konstitusi, materi muatan di dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2013 itu

merupakan bentuk penyelundupan hukum.580

579

Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Menjadi Undang-Undang, hlm. 120 580

Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Menjadi Undang-Undang, hlm. 115

249

Berkaitan dengan pencalonan hakim konstitusi, Mahkamah

Konstitusi memandang bahwa pengajuan calon hakim konstitusi melalui

panel ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial sebagaimana ditentukan

Perpu Nomor 1 Tahun 2013, telah mereduksi kewenangan Mahkamah

Agung, DPR, dan Presiden. Mahkamah Konstitusi menganalogikan

dengan pengajuan Rancangan Undang-Undang oleh Presiden yang terlebih

dahulu harus melalui panel ahli yang dibentuk lembaga negara lain.

Karena itu, Panel Ahli sebagaimana dimaksud di dalam Perpu Nomor 1

Tahun 2013 ini bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3) yang telah

memberikan kewenangan secara atributif kepada 3 (tiga) lembaga

(Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden), dan bertentangan dengan filosofi

yang mendasari hakim konstitusi dipilih oleh lembaga negara yang

berbeda.581

Berkaitan dengan ketentuan penambahan syarat tidak menjadi

anggota partai politik minimal 7 (tujuh) tahun, menurut Mahkamah

Konstitusi,582

ketentuan tersebut merupakan respon atas kasus Akil

Mochtar, yang akarnya berasal dari stigma masyarakat. Mahkamah

Konstitusi menegaskan bahwa membentuk hukum, terutama yang

581

Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Menjadi Undang-Undang 582

Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Menjadi Undang-Undang, hlm. 115

250

membatasi hak konstitusional warga negara (termasuk untuk terlibat dalam

partai politik yg dijamin konstitusi) harus dengan dasar dan landasan yang

valid dan kokoh, bukan atas dasar stigma. Pada konteks ini, Mahkamah

Konstitusi merujuk pada Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003. Dari segi

original inten, menurut Mahkamah Konstitusi, hal itu juga bertentangan

dengan konstitusi, karena pegajuan hakim konstitusi dari DPR sebenarnya

dimaksudkan agar DPR bebas memilih termasuk dari anggota DPR

sepanjang memenuhi syarat, asalkan setelah terpilih, melepaskan

keanggotaannya dari partai politik. Mahkamah Konstitusi juga

menganalisis secara teknis dan detail mengenai keanggotaan partai politik,

misalkan seputar validitas keanggotaan, sasaran larangan berupa anggota

aktif atau simpatisan, siapa yang menyatakan telah berhenti, apakah partai

politik yang dimaksud adalah partai politik di parlemen atau semua jenis

partai politik, kerentanan pemalsuan dokumen keanggotaan, dan

sebagainya. Sehingga hal itu dipandang bertentangan dengan Pasal 24C

ayat (3), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan (3), Pasal 28E ayat (3) UUD

1945, dan tidak mempunyai landasan konstitusional sebagaimana Pasal

28J ayat (2) UUD NRI 1945.

Mahkamah Konstitusi pada akhirnya membatalkan seluruh materi

muatan di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013

karena beberapa materi muatan yang dinilai bertentangan dengan

251

konstitusi di atas, merupakan materi muatan inti atau jantung dari undang-

undang dimaksud.

Selain persoalan konstitusionalitas, melalui Putusan Nomor 1-

2/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi memandang,583

bahwa Perpu

Nomor 1 Tahun 2013 ini juga mengandung permasalahan hukum dan

kerancuan materi muatan, yaitu pertama, ketidakjelasan tentang peraturan

pelaksanaan dari Perpu yang ini tercantum dalam Pasal 87B ayat (2) Perpu

Nomor 1 Tahun 2013. Kedua, jangka waktu pembentukan peraturan

pelaksanaan yaitu selama 3 (tiga) bulan, tetapi sampai dengan 3 bulan dan

bahkan sampai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Perpu Nomor 1 Tahun 2013 diajukan ke Mahkamah Konstitusi, belum ada

peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan. Ketiga, Pasal 87B ayat (3) yang

berkontradiksi dengan ayat (2). Ketentuan dalam ayat (2) mengamanatkan

peraturan yang sifatnya umum, tetapi dalam ayat (3) membuat keputusan

yang sifatnya konkret.

583

Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-

Undang, hlm. 113-115

252

8. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perpu Nomor 1

Tahun 2014) ini dibentuk untuk mengakomodasi penolakan rakyat atas

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah

secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),

yang diklaim penolakannya bersifat luas dan proses pengambilan

keputusannya telah menimbulkan persoalan serta kegentingan yang

memaksa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-

VII/2009.584

Melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2014, presiden memberikan

justifikasi bahwa amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 perihal

pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis perlu

ditegaskan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung

oleh rakyat.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

584

Lihat dalam Konsideran huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

253

tentang Pemerintahan Daerah (Perpu Nomor 2 Tahun 2014) merupakan

tindak lanjut dari Perpu Nomor 1 Tahun 2014 dalam rangka

mengharmonisasikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang di

dalamnya memberikan kewenangan pada DPRD Provinsi untuk memilih

gubernur dan DPRD Kabupaten/Kota untuk memilih bupati/walikota.

Dikeluarkannya Perpu Nomor 2 Tahun 2014 adalah untuk memberikan

kepastian hukum agar tidak terjadi perbedaan pengaturan atau conflict of

norm antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 dan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014.

Secara substansial, Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ini menggeser

mekanisme pemilihan kepala daerah yang semula akan dilaksanakan

secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014, menjadi pemilihan

secara langsung oleh rakyat. Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ini mencabut

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014.585

Materi muatan perpu mengatur

seluruh mekanisme penyelenggaraan tersebut, meliputi penyelenggara

yaitu Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Kabupaten/Kota termasuk

tugas dan kewenangannya, tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilihan

kepala daerah, sumber pendanaan, hingga penyelesaian sengketa hasil

pemilihan kepala daerah. Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ini kemudian

disetujui oleh DPR untuk menjadi undang-undang yang ditetapkan dengan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan

585

Lihat dalam Pasal 205 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

254

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Adapun Perpu Nomor 2 Tahun 2014, secara substansial hanya

memuat 2 (dua) ketentuan, yaitu menghapus ketentuan dalam Pasal 101

ayat (1) huruf d yang memberikan kewenangan bagi DPRD Provinsi untuk

memilih gubernur, dan menghapus Pasal 154 ayat (1) huruf d yang berisi

kewenangan DPRD Kabupaten/Kota untuk memilih bupati/walikota.

Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ini di dalam konsiderannya memang

menyebutkan klausul kegentingan yang memaksa berdasarkan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Bahkan di dalam

penjelasan umumnya, 3 (tiga) indikator kegentingan yang memaksa

berdasarkan putusan tersebut juga disebutkan secara eksplisit. Hanya saja,

tidak dijelaskan atau disebutkan peristiwa atau bentuk kegentingan yang

memaksa sehingga harus menetapkan perpu. Peristiwa konkret yang

disebutkan di dalam konsideran perpu hanya tentang penolakan

masyarakat yang luas. Memang secara faktual, proses pembentukan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 memantik beberapa lembaga

swadaya masyarakat dan mahasiswa untuk melakukan demonstrasi

menolak mekanisme pemilihan kepala daerah tidak langsung melalui

DPRD.586

Namun fakta tersebut belum dapat dikualifikasikan sebagai

peristiwa kegentingan yang memaksa sehingga menggangu jalannya

586

Arie Riswandi, “Koalisi LSM dan Mahasiswa Demo Tolak Pilkada Lewat DPRD”

artikel dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20140924131136-32-4203/koalisi-lsm-dan-

mahasiswa-demo-tolak-pilkada-lewat-dprd diakses pada tanggal 9 Agustus 2021

255

pemerintahan. Merupakan sesuatu yang wajar dalam negara demokrasi,

kebijakan pemerintah memunculkan respon berbeda bahkan penolakan

dari rakyat.

Alasan presiden untuk mengeluarkan perpu dalam rangka

mengakomodasi aspirasi masyarakat yang menolak pemilihan secara tidak

langsung tersebut bahkan dapat dilakukan pada proses legislasi yaitu

dalam tahap pembahasan dan persetujuan rancangan undang-undang.

Dilihat dari kondisi sosiologis, suara penolakan masyarakat yang

disalurkan salah satunya melalui demonstrasi, bahkan telah terjadi sejak

rancangan undang-undang tersebut belum ditetapkan.587

Secara normatif

yuridis, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yang menjadi dasar pedoman

pembentukan peraturan perundang-undangan, mensyaratkan adanya

partisipasi dari masyarakat.588

Pranata yuridis untuk meninjau aspirasi

masyarakat telah tersedia di dalam undang-undang tersebut. Dengan

demikian, aspirasi masyarakat terhadap pembentukan Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2014 ini sangat prediktif dan seharunya telah diketahui

587

Lingkaran Survei Indonesia juga telah merilis hasil survei terakhirnya sebelum

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 ditetapkan yang menunjukkan bahwa mayoritas

responden mendorong presiden untuk menarik diri sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2014 yang pada saat itu masih dalam bentuk rancangan undang-undang, tidak ditetapkan menjadi

undang-undang. Lihat dalam Anonim, “Survei LSI: 74 Persen Publik Ingin Presiden SBY Tarik

RUU Pilkada” artikel dalam

https://nasional.kompas.com/read/2014/09/18/15145881/Survei.LSI.74.Persen.Publik.Ingin.Presid

en.SBY.Tarik.RUU.Pilkada, diakses pada tanggal 9 Agustus 2021 588

Lihat dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2019

256

dan dijadikan pertimbangan pada proses pembahasan hingga persetujuan.

Dengan demikian apabila presiden memang benar hendak mengakomodasi

aspirasi masyarakat yang menolak pemilihan secara tidak langsung, maka

hal tersebut dapat dilakukan dengan menolak rancangan undang-undang

tersebut untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Bagaimanapun, UUD

NRI 1945 meletakkan presiden dan DPR setara dalam setiap tahapan

pembentukan peraturan perundang-undangan.

Aspek kekosongan hukum sehingga memerlukan solusi berupa

pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ini juga tidak dapat diterima

sebagai alasan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 telah ditetapkan

pada tanggal 30 September 2014 dan diundangkan pada tanggal 2 Oktober

2014. Sedangkan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ditetapkan dan diundangkan

pada tanggal 2 Oktober 2014. Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2014 hanya berlaku beberapa jam untuk kemudian

dicabut kembali melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2014, sekaligus

menunjukkan bahwa pada saat perpu tersebut ditetapkan dan diundangkan,

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah telah mempunyai dasar hukum,

sehingga tidak tepat apabila disebut sebagai kekosongan hukum. Alih-alih

untuk mengatasi peristiwa genting dan memaksa serta mengisi kekosongan

hukum, pembentukan perpu untuk menganulir undang-undang yang baru

berlaku dalam hitungan jam ini justru menunjukkan inkonsistensi dan

penyimpangan presiden dalam proses legislasi.

257

Pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ini juga memunculkan

kesan bahwa presiden hendak memposisikan diri di atas DPR dalam

proses legislasi dengan menggunakan pranata hukum perpu sebagai alat

politiknya. Memang tidak dapat dicarikan pembenaran secara teoretis,

namun dalam batas penalaran yang wajar, perpu yang sifat keberlakuannya

sementara untuk menanggulangi keadaan krisis, secara rasional akan

memuat pengaturan yang juga sederhana karena disusun dalam keadaan

mendesak dan waktu yang terbatas. Namun materi muatan Perpu Nomor 1

Tahun 2014 ini memuat pengaturan hingga 206 (dua ratus enam) pasal

yang ditetapkan dan diundangkan beberapa jam setelah Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2014 diundangkan. Ini menunjukkan bahwa Perpu

Nomor 1 Tahun 2014 memang disiapkan dalam waktu yang cukup lama

dan sangat mungkin ketika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 masih

dalam bentuk rancangan undang-undang.

Pertimbangan lain yang menjiwai substansi Perpu Nomor 1 Tahun

2014 tersebut yaitu berkaitan dengan upaya untuk menjamin pemilihan

kepala daerah secara demokratis sesuai amanat Pasal 18 ayat (4) UUD

NRI 1945 yang diterjemahkan sebagai pemilihan secara langsung oleh

rakyat, menunjukkan kerancuan pemahaman mengenai demokrasi dan

kedaulatan rakyat. Konsekuensinya, makna demokrasi dan kedaulatan

rakyat, serta amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 tereduksi. Sebagai

batu ujinya, Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi (the sole

interpreter of constitution) sebelumnya telah menegaskan dalam beberapa

258

putusannya, bahwa frasa “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat

(4) dapat dimaknai ke dalam bentuk pemilihan secara langsung oleh rakyat

maupun pemilihan secara tidak langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan kondisi di

setiap daerah yang bersangkutan. Maka penentuan bentuk pemilihan

kepala daerah dikualifikasikan sebagai open legal policy.589

Namun

substansi Perpu Nomor 1 Tahun 2014, semacam memberikan batasan

pemaknaan, bahwa pemilihan secara demokratis adalah pemilihan

langsung oleh rakyat. Ini sekaligus memberikan gambaran bahwa pada

dasarnya, substansi Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tersebut mereduksi makna

Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, sekaligus menentang putusan

Mahkamah Konstitusi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Seluruh problematika yang ada pada Perpu Nomor 1 Tahun 2014,

dengan demikian juga secara mutatis mutandis melekat pada Perpu Nomor

2 Tahun 2014 karena kedua perpu tersebut ditetapkan sebagai satu

rangkaian persoalan yang sama. Meskipun memang secara formil, Perpu

Nomor 2 Tahun 2014 tidak menyinggung apapun yang menjadi dasar

kegentingan yang memaksa sehingga presiden merasa perlu menetapkan

perpu.

589

Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

259

9. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan

Di dalam konsideran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perpu Nomor

2 Tahun 2017) disebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013

tentang Organisasi Kemasyarakatan mempunyai celah kekosongan hukum

karena dianggap belum mengatur secara komprehensif tentang organisasi

kemasyarakatan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945

dan belum mengatur tentang asas contrarius actus yang berimplikasi pada

tidak efektifnya penerapan sanksi terhadap organisasi kemasyarakatan

yang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham

yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945.590

Celah yang

ada pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 itu menjadikan undang-

undang tersebut tidak akomodatif terhadap organisasi kemasyarakatan

yang menurut pemerintah telah secara faktual terbukti melaksanakan

kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945, serta

590

Lihat Konsideran huruf c dan huruf e Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013

tentang Organisasi Kemasyarakatan.

260

kegiatannya tidak sejalan dengan asas organisasi kemasyarakatan

sebagaimana yang terdaftar dan telah disahkan oleh pemerintah.591

Secara sosiologis, pemerintah mendalilkan bahwa perkambangan

organisasi kemasyarakatan saat ini begitu pesat dan tidak hanya bergerak

dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan, namun juga masuk pada ranah

ideologi, politik, budaya, agama, bahkan pertahanan dan keamanan, dan

berbagai aspek lain. Namun perkembangan yang pesat itu, tidak diimbangi

dengan pengaturan yang komprehensif, sehingga berakibat pada sering

munculnya masalah dari aspek legalitas, akuntabilitas, pelayanan,

pemberdayaan, hingga masalah dalam penegakan hukum. Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2013 juga masih memberikan definisi yang terbatas

mengenai ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yaitu

hanya pada atheism, komunisme/marxisme-leninisme. Demikian juga

dengan prosedur pengenaan sanksi bagi organisasi kemasyarakatan yang

melanggar Pancasila dan UUD 1945 yang dipandang kurang efektif dan

efisien karena membutuhkan waktu yang cukup panjang. Keadaan ini yang

dipandang oleh pemerintah sebagai keadaan yang mendesak, kekosongan

hukum, dan tidak bisa dengan cara biasa sehingga diterbitkan Perpu

Nomor 2 Tahun 2017.592

591

Lihat Konsideran huruf d Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan. 592

Lihat Penjelasan Pemerintah atas Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2017 dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XV/2017 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, hlm. 48-49

261

Substansi Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini di antaranya yaitu

mendefinisikan ulang organisasi kemasyarakatan dengan penegasannya

berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagaimana disebutkan di

dalam ketentuan umum; menambah sanksi pidana bagi organisasi

kemasyarakatan atas pelanggaran tertentu dari yang semula hanya sanksi

administratif berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013.

Sedangkan sanksi administratif dalam bentuk peringatan tertulis yang

semula diberikan sebanyak 3 (tiga) kali dengan masing-masing tahapan

berlaku dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari,593

diubah menjadi 1

(satu) kali peringatan tertulis dengan jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak

tanggal peringatan diterbitkan.594

Seluruh ketentuan di dalam Pasal 63

hingga Pasal 80 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dihapus, yang

secara substansial mengatur mengenai kewajiban pemerintah untuk

meminta pertimbangan hukum kepada Mahkamah Agung, dan Pemerintah

Daerah untuk meminta pertimbangan kepada DPRD, Kepala Kejaksaan,

dan Kepala kepolisian, dalam hal penjatuhan sanksi penghentian

sementara kegiatan organisasi kemasyarakatan yang lingkupnya nasional;

kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk meminta

pertimbangan hukum kepada Mahkamah Agung sebelum menjatuhkan

sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar bagi organisasi

kemasyarakatan yang tidak berbadan hukum; pencabutan status badan

593

Lihat dalam Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013

tentang Organisasi Kemasyarakatan 594

Lihat dalam Pasal 62 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan

262

hukum yang dilakukan setelah mendapatkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang pembubaran organisasi

kemasyarakatan berbadan hukum berikut mekanismenya.

Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini memberikan ruang subyektifitas

bagi pemerintah untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan yang

dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945. Ukuran

untuk menetapkan sebuah organisasi kemasyarakatan tidak lagi

berdasarkan putusan pengadilan, namun berdasarkan persepsi pemerintah

sendiri. Jenis sanksi yang diatur di dalam Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini

juga tampak lebih represif daripada sanksi yang mendasarkan pada

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 sebelumnya yang cenderung lebih

persuasif.

Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini disetujui oleh DPR untuk

ditetapkan menjadi undang-undang yang penetapannya berdasarkan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang.

Pada uraian sebelumnya dijelaskan bahwa salah satu indikator

yang digunakan Mahkamah Konstitusi untuk melihat kegentingan yang

memaksa adalah sifat sontak segera perpu, karena dengan demikian akan

terlihat bahwa suatu perpu memang benar-benar mendesak untuk

263

ditetapkan dalam rangka sesegera mungkin mengatasi permasalahan yang

ada. Sampai dengan satu minggu setelah ditetapkannya Perpu Nomor 2

Tahun 2017 ini, belum ada organisasi kemasyarakatan yang dibubarkan

berdasarkan perpu tersebut, sehingga dasar hal ikhwal kegentingan yang

memaksa sehingga Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini ditetapkan, juga

dipertanyakan oleh ahli hukum Yusril Ihza Mahendra.595

Padahal, di dalam

konsideran Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini secara tegas menyebutkan

bahwa terdapat organisasi kemasyarakatan yang dalam kegiatannya tidak

sejalan dengan asas organisasi kemasyarakatan berdasarkan anggaran

dasarnya yang terdaftar dan telah disahkan oleh pemerintah, dan bahkan

secara faktual telah terbukti ada organisasi kemasyarakatan yang dalam

kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945.

Meskipun untuk disebutkan telah terbukti bertentangan dengan Pancasila

dan UUD NRI 1945 tersebut masih menjadi subyektivitas atau anggapan

sepihak pemerintah. Fakta tersebut pada akhirnya menegaskan bahwa hal

ikhwal kegentingan yang memaksa tidak benar-benar nyata sehingga

membutuhkan instrumen hukum berupa perpu.

Aspek kekosongan hukum, apabila memang benar secara faktual

telah ada organisasi kemasyarakatan yang bertentangan dengan Pancasila

dan UUD NRI 1945, juga tidak dapat dibenarkan karena Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2013 yang secara substansial juga telah mengatur

595

Anonim, “Yusril Ihza Mempertanyakan Kegentingan Perpu Ormas” artikel dalam

https://nasional.tempo.co/read/892459/yusril-ihza-mempertanyakan-kegentingan-perpu-ormas-

karena/full&view=ok diakses pada tanggal 10 Agustus 2021

264

mekanisme pemberian sanksi secara lengkap, secara yuridis masih berlaku

mengikat. Artinya, pemerintah masih dapat merespon organisasi terlarang

berdasarkan undang-undang tersebut. Demikian pula untuk dikatakan

bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tidak lagi memadai untuk

merespon permasalahan (tidak efektif), belum terbukti secara nyata,

karena sampai dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ditetapkan, belum ada

langkah hukum yang diambil oleh pemerintah berdasarkan Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2013.

Secara empiris, sebagaimana diakui pemerintah bahwa dasar

dikeluarkannya perpu ini adalah adanya kegiatan organisasi masyarakat

yang sudah terang-terangan, jelas dan tegas melakukan tindakan yang

sifatnya mengubah ideologi Pancasila dengan sistem khilafah.596

Padahal,

pada saat dikeluarkannya perpu ini, tidak ada bentuk kedaruratan yang

sampai mengganggu jalannya pemerintahan berdasarkan UUD NRI 1945

dan Pancasila, ataupun kegiatan organisasi kemasyarakatan yang

kegiatannya secara nyata dan masif merongrong keberadaan negara.

Negara masih dalam keadaan kondusif untuk menjalankan seluruh agenda

ketatanegaraan. Karena itu, terlepas dari aspek substansi perpu, menurut

596

Lihat Penjelasan Pemerintah atas Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2017 dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XV/2017 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, hlm. 49

265

Hamdan Zoelva,597

dan Jimly Asshiddiqie,598

Perpu Nomor 2 Tahun 2017

ini tidak memenuhi kualifikasi hal ikhwal kegentingan yang memaksa.

Secara substansial, Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini juga menjadi

sorotan karena meniadakan peran peradilan dalam proses pembubaran

organisasi masyarakat. Melalui perpu ini, pemerintah dapat serta merta

membubarkan organisasi masyarakat yang menurut pemerintah

bertentangan dengan perpu ini, dengan proses penjatuhan sanksi

pembubaran tersebut yang juga dipercepat. Implikasi ini menurut penulis

merupakan bentuk kemunduran semangat bernegara hukum.

Secara teoretis, sebagaimana telah diuraikan pada bagian

sebelumnya, baik Friedrich Julius Stahl yang memaknai negara hukum

pada konsep rechstaat, maupun A.V. Dicey dalam kerangka rule of law,

sama-sama menghendaki bahwa salah satu unsur negara hukum adalah

adanya peradilan tata usaha negara dan due process of law. Hal ini pada

konteks Indonesia kemudian juga dipertegas oleh Putusan Mahkamah

Konstitusi dalam Putusan Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang

Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Mengganggu

Ketertiban Umum juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang

597

Anonim “Eks Ketua MK: Perpu Ormas Tak Penuhi Syarat Dikeluarkannya Perpu”

artikel dalam https://nasional.tempo.co/read/892326/eks-ketua-mk-perpu-ormas-tak-penuhi-syarat-

dikeluarkannya-perpu/full&view=ok diakses pada tanggal 10 Agustus 2021 598

Anonim, “Penyebab Jimly Asshiddiqie Tak Setuju Penerbitan Perppu Ormas” artikel

dalam https://nasional.tempo.co/read/891232/penyebab-jimly-asshiddiqie-tak-setuju-penerbitan-

perppu-ormas/full&view=ok diakses pada tanggal 10 Agustus 2021

266

Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Bahwa due process of law merupakan prosedur

yang mutlak apabila ada suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai

perbuatan melawan hukum. Tindakan pembatasan terhadap hak asasi

manusia tanpa melalui proses peradilan, menurut Mahkamah Konstitusi

merupakan bentuk dari eksekusi tanpa peradilan (extra judicial execution)

yang jauh dari prinsip negara hukum dan lebih dekat dengan karakter

negara kekuasaan. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini mencontohkan

pada proses pembubaran partai politik yang dahulu dapat serta merta

dilakukan oleh pemerintah tanpa ada putusan pengadilan terlebih dahulu,

atau peristiwa penjatuhan Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman

Wahid yang dijatuhkan dari jabatannya tanpa melalui proses peradilan.

Menurut Mahkamah Konstitusi, beberapa contoh tersebut menggambarkan

negara lebih dekat dengan karakter kekuasaan daripada negara hukum.599

Apa yang dicontohkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut kiranya

juga mirip dengan proses pembubaran organisasi kemasyarakatan ini, yang

dengan meniadakan peran peradilan sebelum penjatuhan sanksi, akan

mengembalikan paham kekuasaan di atas hukum sebagaimana yang terjadi

sebelum reformasi. Konsekuensi paling rasionalnya pendekatan kekuasaan

599

Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang

Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Mengganggu Ketertiban Umum juncto

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan

Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang.

267

di atas hukum dalam pembubaran organisasi kemasyarakatan ini, yaitu

Pancasila dan UUD NRI 1945 akan menjadi tafsir tunggal pemerintah,

sehingga segala jenis organisasi kemasyarakatan yang mempunyai

pemahaman yang berbeda dengan pemerintah atas Pancasila dan UUD

NRI 1945, dapat serta merta dibubarkan. Penulis sependapat dengan Susi

Dwi Harijanti bahwa Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini justru meniadakan

jaminan procedural fairness yang menjadi salah satu elemen penting

dalam ajaran negara hukum.600

Memang benar, upaya melalui pengadilan masih dapat dilakukan

dengan dibukanya peluang untuk melakukan pengujian kepada peradilan

tata usaha negara atas keputusan pemerintah yang melakukan pembubaran

organisasi kemasyarakatan, namun mekanisme tersebut tidak bisa

mencegah dan mengontrol subyektivitas pemerintah dalam proses

pembubaran yang dilakukan secara sepihak, sehingga sebelum ada gugatan

dan sebelum diputus oleh hakim dengan kekuatan hukum tetap, maka

keputusan pemerintah atas pembubaran itulah yang berlaku, yang dengan

keberlakuannya itu, hak konstitusional warga negara untuk berserikat telah

dibatasi.601

600

Susi Dwi Harijanti, “Perppu Sebagai Extra Ordinary Rules: Makna dan Limitasi”

artikel disampaikan dalam diskusi publik “Membedah Makna „Kegentingan Memaksa‟ dalam

Perppu”, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Atmajaya dengan APHTN-HAN DKI Jakarta, 8

Agustus 2017, hlm. 87 601

M. Beni Kurniawan, “Konstitusionalitas Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas

Ditinjau dari UUD 1945” artikel dalam Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 3, September 2018,

hlm. 469

268

10. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas

Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Disease (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi

Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau

Stabilitas Sistem Keuangan

Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini ditetapkan oleh presiden untuk

merespon pandemi Covid-19 yang membawa dampak selain terhadap

kesehatan masyarakat, juga kepada perekonomian nasional berupa

perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, menurunnya penerimaan

negara, stabilitas sistem keuangan, dan memburuknya sistem keuangan

yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik.

Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini merupakan instrumen hukum yang

dibentuk sebagai upaya penyelamatan kesehatan dan perekonomian

nasional pada aspek belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial, dan

pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat

yang terdampak.602

Pemerintah memandang bahwa dampak sebagaimana

diuraikan di atas menuntut upaya yang luar biasa untuk menyelamatkan

perekonomian nasional dan menjaga stabilitas sistem keuangan, sehingga

Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini penting untuk ditetapkan.

602

Lihat dalam Konsideran huruf b Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk

Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi

Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan

269

Secara substansi, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 lebih berfokus pada

pengaturan tentang penyelamatan perekonomian dan keuangan negara

sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Pasal 1 Perpu Nomor 1 Tahun 2020

ditegaskan tentang perlunya menetapkan kebijakan keuangan negara dan

kebijakan stabilitas sistem keuangan, baik dalam penanganan pandemi

Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang

membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem

keuangan, dengan ruang lingkup kebijakan pendapatan negara termasuk

kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk

kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, serta

kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang

membahayakan perekonomian nasional.603

Ruang lingkup pengaturan

dalam kebijakan keuangan negara meliputi penganggaran dan pembiayaan;

kebijakan keuangan daerah yang memberikan kewenangan kepada

pemerintah daerah untuk melakukan refocusing anggaran, perubahan

alokasi dan penggunaan APBD; kebijakan di bidang perpajakan baik

dalam bentuk penyesuaian tarif pajak, perpajakan dalam perdagangan

melalui sistem elektronik, perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan

pemenuhan kewajiban perpajakan, dan pemberian kewenangan kepada

menteri keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa

pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi

603

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020

tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi

Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang

Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan

270

darurat dan pemulihan ekonomi; pelaksanaan program pemulihan ekonomi

nasional yang sasarannya adalah peningkatan kemampuan ekonomi para

pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan dalam menjalankan

usahanya melalui penyertaan modal negara, penempatan dana dan/atau

investasi pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan berdasarkan skema

tertentu; dan pelaksanaan kebijakan keuangan negara yang

mengamanatkan pengaturannya berdasarkan peraturan presiden.

Semua bentuk kebijakan dan mekanisme penyelamatan

perekonomian dan keuangan negara sebagaimana diuraikan di atas,

melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini, pejabat yang melaksanakan

substansi perpu diberikan imunitas hukum atau kekebalan hukum. Pasal 27

ayat (1) telah mengkualifikasikan sejak awal bahwa biaya yang

dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam

melaksanakan kebijakan yang termuat dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020

merupakan biaya ekonomi yang dikeluarkan untuk penyelamatan

perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara,

sedangkan ayat (2) dan ayat (3) secara tegas menyebutkan bahwa Anggota

dan Sekretaris KSSK, Anggota Sekretariat KSSK, pejabat atau pegawai

Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan,

Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya yang melaksanakan

substansi Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini tidak dapat dituntut baik secara

pidana, maupun perdata jika dalam melaksanakan tugas berdasarkan itikad

baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta

271

segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasakan Perpu

Nomor 1 Tahun 2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat

diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini disetujui oleh DPR untuk menjadi

undang-undang yang penetapannya melalui Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan

Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman

yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem

Keuangan Menjadi Undang-Undang.

Memang benar bahwa pandemi Covid-19 telah membawa dampak

yang sedimikian siginfikan terhadap seluruh aspek kehidupan, tidak

terkecuali aspek ekonomi. Kehidupan dan interaksi sosial berubah,

penyelenggaraan negara dan pemerintahan terganggu bahkan tidak

berjalan sehingga menghambat akses publik untuk mendapatkan

pelayanan,604

merosotnya aspek ekonomi,605

dan yang terutama adalah

604

Tidak sedikit kantor pemerintahan yang melaksanakan pelayanan masyarakat ditutup

setelah beberapa pegawainya dinyatakan positif Covid-19. Beberapa di antaranya misalnya Kantor

Bupati Lebak tutup pada 22 Februari 2021 sampai dengan 25 Februari 2021, dalam Anonim,

“Kantor Bupati Lebak Ditutup Setelah 25 Pegawai Positif Covid-19” artikel dalam

https://nasional.tempo.co/read/1435501/kantor-bupati-lebak-ditutup-setelah-25-pegawai-positif-

covid-19/full&view=ok diakses pada tanggal 21 Agustus 2021. Kantor Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil Kabupaten Kulon Progo tidak menerima pelayanan pada tanggal 16 November

2020 sampai dengan 18 November 2020, Lihat dalam Anonim, “Kantor Disdukcapil Kulon Progo

Tutup Setelah Seorang Pegawai Positif Covid” artikel dalam

https://regional.kompas.com/read/2020/11/16/11344881/kantor-disdukcapil-kulon-progo-tutup-

setelah-seorang-pegawai-positif-covid, diakses pada tanggal 21 Agustus 2021.

272

aspek kesehatan yang sangat erat kaitannya dengan hak atas hidup. Uraian

ini hendak menunjukkan bahwa memang benar terdapat peristiwa darurat

yang menurut penulis telah memenuhi keadaan hal ikhwal kegentingan

yang memaksa dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini terutama

berkaitan dengan jaminan pemenuhan dan perlindungan hak warga negara

yang telah tereduksi baik hak untuk mendapatkan pelayanan publik, dan

terlebih hak untuk hidup. Namun instrumen hukum dalam bentuk perpu

yang ditetapkan oleh presiden cenderung hanya berfokus pada antisipasi

penanganan permasalahan ekonomi dan tidak memberikan pengaturan

darurat terhadap pemenuhan hak asasi manusia dalam berbagai bidang

yang tereduksi sebagai akibat dari pandemi Covid-19.

Aspek keberfungsian institusi pemerintahan, seharusnya juga

diberikan landasan yuridis dalam kerangka hukum darurat negara agar

keberlangsungan agenda ketatanegaraan di tengah pandemi Covid-19 tetap

terjamin. Fakta konkret tidak berfungsinya secara maksimal lembaga

tinggi negara yang berkorelasi langsung dengan Perpu Nomor 1 Tahun

2020 ini bahkan secara nyata terjadi. DPR dalam menjalankan fungsinya

berupa persetujuan terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi undang-

undang ini, tidak bisa dijalankan sebagaimana mestinya, yaitu persidangan

yang dilakukan secara virtual. Keadaan ini mendapatkan sorotan dari

605

Sampai dengan Agustus 2020, setidaknya terdapat 12 (dua belas) negara yang

mengalami resesi akibat pandemi Covid-19 yaitu Inggris, Malaysia, Polandia, Amerika Serikat,

Jerman, Prancis, Italia, Korea Selatan, Jepang, Hong Kong, Singapura, dan Filipina. Lihat dalam

Fika Nurul Ulya, "Sudah 12 Negara yang Kini Alami Resesi", artikel

dalam https://money.kompas.com/read/2020/08/17/104459826/sudah-12-negara-yang-kini-alami-

resesi?page=all#page2 diakses pada tanggal 21 Agustus 2021

273

banyak pihak, karena dikhawatirkan mereduksi semangat kedaulatan

rakyat disebabkan tidak dihadirinya sidang DPR secara konkret oleh

anggota. Mahkamah Konstitusi khusus mengenai persidangan virtual ini

memang telah memberikan putusan bahwa persidangan secara virtual itu

adalah sah dan konstitusional. Salah satu alasan Mahkamah Konstitusi

yaitu karena kerja dan fungsi DPR tetap harus berjalan meskipun dalam

masa pandemi, sehingga untuk melancarkan fungsi itu, maka cara-cara

baru yang memanfaatkan kecanggihan teknologi termasuk dalam hal ini

adalah persidangan secara virtual, harus ditoleransi meskipun memang

berpotensi menimbulkan masalah.606

Penulis dalam hal ini setuju dengan pendapat Mahkamah

Konstitusi, bahwa cara-cara baru dan mengesampingkan cara

konvensional untuk melaksanakan fungsinya dalam keadaan kedaruratan

perlu ditempuh. Namun mengakomodasi cara baru itu seharusnya juga

menjadi perhatian pemerintah dalam keadaan darurat. Bahwa ketentuan itu

harus mempunyai landasan hukum setingkat undang-undang yang dalam

hal ini adalah perpu, karena mekanisme baru itu mempunyai titik singgung

langsung dengan prinsip yang dianut konstitusi, yaitu kedaulatan rakyat.

Sayangnya, dasar pengaturan itu kemudian hanya termuat dalam Peraturan

DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang bahkan Mahkamah

606

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalan Putusan Nomor

37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan

Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang

274

Konstitusi pun pada akhirnya mengacu pada peraturan ini. Fakta ini

dikorelasikan dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menunjukkan bahwa

antara keadaan kedaruratan dengan penggunaan perpu sebagai instrumen

hukum darurat, tidak digunakan secara maksimal, tepat sasaran, atau tidak

komprehensif melainkan hanya parsial.

Secara umum dilihat dari aspek penggunaan instrumen perpu dan

implementasi konsep hukum tata negara darurat dalam merespon pandemi

Covid-19, justru tampak terjadi anomali. Dilihat secara spesifik

penggunaan hukum darurat negara,607

Pandemi Covid-19 ini tidak

diletakkan sebagai keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12

ataupun Pasal 22 UUD NRI 1945 oleh presiden. Hal ini melihat produk

hukum yang ditetapkan oleh presiden yaitu Keputusan Presiden Nomor 11

Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat

Corona Virus Disease 2019, dengan mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UUD

NRI 1945 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang

Kekarantinaan Kesehatan. Dengan demikian, Presiden tidak merujuk pada

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang

merupakan turunan dari Pasal 12 UUD NRI 1945, juga tidak mengacu

pada Pasal 22 UUD NRI 1945.608

Apabila respon terhadap Pandemi

607

Victor Imanuel W. Nalle, “Kritik Terhadap Perppu di Masa Pandemi: Pembatasan Hak

Tanpa Kedaruratan” artikel dalam Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 33, No. 1, Tahun 2021, hlm. 81-82 608

Ada beberapa peraturan dalam bentuk undang-undang di Indonesia yang secara

substansial memiliki konsep kedaruratan dengan menyebutkan atau menggunakan klausul darurat

secara langsung. Beberapa undang-undang tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007

tentang Penanggulangan Bencana; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan

Konflik Sosial; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan; dan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem

275

Covid-19 itu tidak diletakkan di bawah Pasal 12 dan Pasal 22 UUD NRI

1945 sebagai bentuk hukum darurat negara, maka Presiden seharusnya

tidak boleh melakukan penyimpangan dan penangguhan atas hukum dan

hak asasi manusia, karena Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 hanya

memberikan ruang untuk melakukan pembatasan hak individu hanya

dalam konteks kesehatan untuk mencegah persebaran penyakit. Pranata

hukum yang berlaku, dengan demikian, adalah sistem hukum normal,

bukan hukum darurat negara. Artinya, Keppres Nomor 11 Tahun 2020 itu

tidak bisa dijadikan dasar kedaruratan untuk menjustifikasi pembatasan

hak di luar konteks penanggulangan pandemi dari aspek kesehatan. Hal ini

pada akhirnya tentu berkontradiksi dengan substansi Perpu Nomor 1

Tahun 2020, yang meletakkan Pandemi Covid-19 sebagai keadaan darurat

negara dengan penyimpangan terhadap pranata hukum yang ada dengan

memberikan hak imunitas untuk tidak dapat digugat melalui peradilan tata

usaha negara.609

Secara substansial, yang menjadi titik kontroversial dari Perpu

Nomor 1 Tahun 2020 ini adalah pemberian imunitas yang termuat dalam

Keuangan. Persoalannya, keempat undang-undang di atas tidak merujuk pada Pasal 12 UU NRI

1945 sebagaimana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Konsekuensi

yuridisnya, maka keempat undang-undang di atas tidak menyebabkan berlakunya hukum darurat,

namun sistem hukum yang berlaku adalah tetap sistem hukum normal. Lihat dalam Fitra Arsil dan

Qurrata Ayuni, “Model Pengaturan Kedaruratan dan Pilihan Kedaruratan Indonesia dalam

Menghadapi Pandemi Covid-19” artikel dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 50, No. 2,

Tahun 2020, hlm. 432. Bandingkan dengan Herlambang Perdana Wiratraman, “Does Indonesian

Covid-19 Emergency Law Secure Rule of Law and Human Rights?” artikel dalam Journal of

Southeast Asian Human Rights, Volume 4, Nomor 1, 2020, hlm. 306 609

Victor Imanuel W.Nalle, Kritik... Op., Cit., hlm. 83

276

Pasal 27. Selengkapnya, ketentuan dalam Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun

2020 berbunyi sebagai berikut:

(1). Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau

lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan

kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di

bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk

kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan

pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan

program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian

dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian

dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

(2). Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretaris

KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan,

Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga

Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan

dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara

perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas

didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(3). Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil

berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat

diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

Dilihat dari pespektif negara hukum, pemberian imuntas semacam

itu tentu mengandung permasalahan. Menyerahkan kebijaksanaan dan

kekuasaan kepada seseorang tanpa adanya kontrol hukum yang jelas dalam

penyelenggaraan negara modern tentu bukan merupakan pilihan yang

tepat. Adagium sebagaimana dipopulerkan oleh Lord Acton bahwa

“power tends to corrupt, absolute power corrupt abosolutely” merupakan

dasar filosofis yang kuat mengapa kekuasaan yang diberikan kepada

seseorang harus dibatasi.

277

Memang Pasal 27 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2020

menyebutkan (mensyaratkan) klausul “itikad baik” dan “sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan” untuk tidak dapat dituntut secara perdata

ataupun pidana. Apabila ini dimaknai dengan tidak dapat dijatuhi

hukuman setelah melalui proses hukum di pengadilan, maka tentu

ketentuan Pasal 27 ayat (2) ini merupakan pengaturan yang tidak

mempunyai urgensi dan arti penting apapun. Bagaimanapun, baik dalam

hukum pidana maupun hukum perdata, tindakan pemerintah yang telah

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilaksanakan

dengan itikad baik, memang tidak akan dapat dijatuhi hukuman tertentu.

Namun apabila ketentuan Pasal 27 ayat (2) tersebut dimaknai sebagai

dasar bahwa kebijakan pemerintah dimaksud tidak dapat diajukan ke

pengadilan sebagai objek permasalahan pidana maupun perdata, maka

jelaslah bahwa ketentuan itu memberikan imunitas absolut kepada

pelaksana kebijakan, karena “itikad baik” sekalipun tidak bisa

mendasarkan pada penilaian subyektif dan hanya dapat ditafsirkan sepihak

oleh pengambil kebijakan.

Uraian di atas kemudian juga diperkuat dengan ketentuan Pasal 27

ayat (3) yang juga menegaskan bahwa kebijakan yang diambil tidak bisa

dijadikan objek gugatan peradilan tata usaha negara. Kewenangan absolut

tanpa adanya kontrol pengadilan tentu merupakan bentuk perlawanan

terhadap semangat bernegara hukum. Mengutip pendapat Mahfud MD,

bahwa salah satu prinsip negara hukum adalah adanya pradilan

278

administrasi di samping perlindungan terhadap hak asasi manusia dan

pemisahan kekuasaan.610

Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang sudah ditetapkan menjadi

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 ini akhirnya diajukan ke

Mahkamah Konstitusi untuk diujikan.611

Salah satu yang menjadi objek

permohonan adalah ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

sebagaimana diuraikan di atas, yang secara formil menurut pemohon,

ketentuan tersebut melegitimasi penyelewengan pengelolaan keuangan

negara dan membebaskan penyelenggara negara dari jeratan pasal tindak

pidana korupsi karena pengelolaan keuangan negara yang didasarkan pada

perpu tersebut tidak dianggap sebagai kerugian keuangan negara; serta

menutup kemungkinan bagi warga negara untuk menggugat kebijakan atas

perpu tersebut ke peradilan tata usaha negara. Terhadap permohonan ini,

Mahkamah Konstitusi memperjelas bahwa terdapat 3 (tiga) persoalan

konstitusionalitas yang diajukan pengujian terkait Pasal 27, yaitu ayat (1)

pada klausul “bukan merupakan kerugian keuangan negara”, ayat (2)

dalam klausul ”tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana

jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, serta ayat (3) dalam

610

Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 127. 611

Ketika dalam status hukum berupa perpu, permohonan pengujian ke Mahkamah

Konstitusi telah dilakukan yang kemudian diputus dengan Putusan Nomor 23/PUU-XVIII/2020

dan Putusan Nomor 24/PUU-XVIII/2020. Kedua putusan tersebut tidak diterima karena

kehilangan objek yang disebabkan oleh ditetapkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Pasca ditetapkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, beberapa pihak juga mengajukan permohonan pengujian

kepada Mahkamah Konstitusi, yang pendapat Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2020 itu dapat dilihat dalam Putusan Nomor 37/PUU-XVIII/2020.

279

klausul bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada

peradilan tata usaha negara.

Menurut Mahkamah Konstitusi, antara materi mauatan dalam ayat

(1) dan ayat (2) itu mempunyai hubungan satu sama lain. Pasal 27 ayat (2)

sebenarnya membuka peluang bagi pejabat untuk dituntut yaitu apabila

kebijakan yang diambil dilakukan tidak dengan itikad baik, juga

bertetangan dengan peraturan perundang-undangan. Namun peluang itu

kemudian ditutup dengan klausul dalam ayat (1) yang menyebut bukan

kerugian negara. Padahal untuk dapat dituntut, syarat yang harus dipenuhi

yaitu karena dilakukan tidak dengan itikad baik yang kemudian

menimbulkan kerugian negara. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini

mengkorelasikan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menentukan unsur

esensial yang harus dipenuhi dalam membuktikan terjadinya tindak pidana

korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian

negara. Konsekuensinya dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) ini,

meskipun dilakukan tidak dengan itikad baik dan tidak sesuai perundang-

undangan, tetapi tidak ada kerugian negara (karena telah dikunci di dalam

ketentuan ayat (1) yang menegaskan dengan klausul ”bukan merupakan

kerugian keuangan negara”) maka peluang untuk dituntut berdasarkan ayat

(2) menjadi tertutup. Dengan demikian, ketentuan dalam ayat (2) benar-

benar tidak bisa dikenakan kepada siapapun yang melakukan

280

penyalahgunaan kewenangan dengan mendasarkan pada perpu ini,

meskipun penyalahgunaan kewenangan tersebut benar-benar didasarkan

pada itikad tidak baik dan tidak sesuai peraturan perundang-undangan.612

Karena itu, menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 27 ini berpotensi

memberikan hak imunitas yang pada akhirnya berpotensi menyebabkan

impunitas dalam penegakan hukum. Hal ini karena munculnya klausul

“bukan merupakan kerugian negara” tetapi tidak dibarengi klausul

“dengan itikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan” sebagai

prasyaratnya, akan menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum

sehingga hal itu bertentangan dengan due process of law untuk

mendapatkan perlindungan yang sama (equal protection). Akhirnya,

pembedaan itu mengingkari hak semua orang, oleh karena suatu undang-

undang yang meniadakan hak bagi beberapa orang untuk dikecualikan

tetapi memberikan hak demikian kepada orang lain tanpa pengecualian

maka keadaan demikian dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap

equal protection.613

Terhadap beberapa pertimbangan di atas, maka Mahkamah

Konstitusi memutuskan Pasal 27 ayat (1) inkonstitusional bersyarat.614

612

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalan Putusan Nomor

37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan

Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang 613

Ibid. 614

Inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) muncul sebagai bentuk

putusan dalam perkembangan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Putusan

inkonstitusional bersyarat ini muncul disebabkan karena jika Mahkamah Konstitusi hanya

281

Bahwa ketentuan itu harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa

“bukan merupakan kerugian negara” tidak dimaknai “bukan merupakan

kerugian negara sepanjang tidak dilakukan dengan itikad baik dan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan”. Karena ayat (1) telah dinyatakan

inkonstitusional bersyarat dengan pemaknaan yang demikian, maka

menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan dalam ayat (2) tidak lagi

menimbulkan masalah, karena sudah bisa dikenakan terhadap semua

subyek hukum yang mengambil kebijakan tidak dengan itikad baik dan

tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut pendapat penulis, klausul dalam ayat (1) itu telah secara

nyata inkonstitusional karena memang bunyi pasal tersebut telah jelas

tidak menyebutkan secara ekspressis verbis syarat itikad baik dan sesuai

ketentuan perundang-undangan. Bunyi pasal yang ada juga tidak

menimbulkan multi tafsir, sehingga dengan demikian, Mahkamah

Konstitusi seharusnya tidak perlu memberikan pemaknaan yang

sebenarnya justru merubah klausul pasal yang sudah jelas itu. Karakter

putusan dalam bentuk konstitusional bersyarat atau inkonstitusional

bersyarat sebaiknya hanya digunakan terhadap klausul pasal yang

berdasarkan pada amar putusan yang dianut dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu permohonan tidak dapat diterima, permohonan

dikabulkan, dan permohonan ditolak, maka akan sulit untuk menguji suatu undang-undang yang

ternyata sering kali mempunyai sifat yang dirumuskan terlalu umum, padahal dalam rumusan yang

sifatnya umum tersebut belum diketahui apakah pelaksanaannya akan bertentangan dengan

konstitusi atau tidak. Dengan demikian, karakter putusan yang inkonstitusional bersyarat ini

ditujukan untuk memperjelas norma hukum yang membuka peluang penafsiran beragam karena

sifatnya yang umum. Lihat dalam Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Cetakan

Pertama, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm. 143-

144

282

multitafsir, sedangkan terhadap klausul pasal yang sudah jelas, apabila

telah secara nyata bertentangan dengan UUD NRI 1945, maka seharusnya

langsung diputuskan inkonstitusional. Hal ini penting agar Mahkamah

Konstitusi tidak terlalu jauh melampaui kewenangannya dan justru masuk

pada ranah kewenangan lembaga legislatif untuk membentuk norma

hukum.

Berkaitan dengan Pasal 27 ayat (3), menurut Mahkamah Konstitusi

hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan tidak sama di

hadapan hukum sepanjang frasa “bukan merupakan objek gugatan yang

dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”, tidak dimaknai

“bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan

tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi

Covid serta dilakukan dengan itikad baik dan sesuai peraturan perundang-

undangan”. Artinya, selama tindakan itu dilakukan untuk pandemi covid,

maka tidak bisa diajukan gugatan ke peradilan tata usaha negara.

Mahkamah Konstitusi dalam hal ini merujuk pada Pasal 49 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan

yang disengketakan itu dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya,

keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan,

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta dalam

keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan

283

perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan sebelumnya, Mahkamah

Konstitusi telah menilai bahwa pandemi Covid-19 ini merupakan keadaan

yang telah memenuhi kegentingan memaksa.

Berkaitan dengan putusan inkonstitusional bersyarat terhadap

ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) ini, penulis sependapat dengan putusan

Mahkamah Konstitusi. Hal ini karena memang ketentuan dalam ayat (3)

menimbulkan ketidakjelasan dan mutlitafsir. Ketentuan tersebut seolah

diberlakukan terhadap semua kebijakan berdasarkan perpu, padahal

hakikat perpu ini dikeluarkan adalah untuk menangani dampak pandemi

Covid-19. Karena itu, kebijakan yang diambil berdasarkan perpu, namun

tidak secara spesifik diperuntukkan kepada penanganan pandemi Covid-

19, maka tetap dapat dijadikan objek gugatan yang dapat diajukan kepada

peradilan tata usaha negara. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini justru

memperjelas dan memberikan kepastian hukum atas ketentuan dalam

Pasal 27 ayat (3) Perpu Nomor 1 Tahun 2020.

Uraian di atas menunjukkan, bahwa pemaknaan presiden terhadap hal

ikhwal kegentingan yang memaksa apabila dilihat dari klasifikasi bidang

pengaturannya, maka tidak terlepas dari aspek politik, ekonomi, dan hukum.

Pemaknaan presiden atas kegentingan yang memaksa melingkupi 3 (tiga) bidang

di atas. Sedangkan apabila dilihat dari aspek materi muatannya sebagaimana

analisis di atas, maka tampak terdapat pergeseran dari “hal ikhwal kegentingan

yang memaksa” menjadi “hal ikhwal yang mendesak untuk diatur”. Dengan

demikian, kecenderungan pemaknaan hal ikhwal kegentingan yang memaksa

284

hanya berdasarkan pada aspek kemendesakan waktu. Paradigma yang digunakan

lebih mirip dengan pengaturan keadaan darurat pada rezim Pasal 139 Konstitusi

RIS 1949 dan Pasal 96 UUDS 1950 yang memang lebih menekankan dari aspek

kemendesakan waktu. Apabila dilihat dari aspek faktor latar belakang yang

mempengaruhinya, pemaknaan kegentingan yang memaksa cenderung

mempunyai dimensi politis yang kuat sebagai ukuran utamanya. Ukuran

pemaknaan kegentingan yang memaksa dengan mendasarkan pada analisis di atas,

bukan terletak pada akibat yang ditimbulkan dari suatu peristiwa luar biasa

dengan korban yang masif atau berdampak pada kebuntuan penyelenggaraan

negara; serta bukan terletak pada peristiwa luar biasa yang terjadi secara

terstruktur dan sistematis, atau tidak terduga sehingga tidak terakomodasi oleh

peraturan perundang-undangan yang ada, melainkan peristiwa yang mempunyai

titik singgung terhadap aspek politik. Dominasi aspek politik yang

melatarbelakangi penetapan perpu ini dapat dilihat dari 2 (dua) karakteristik, yaitu

perpu dibentuk untuk melancarkan agenda politik pemerintah, atau

menyelamatkan citra politik pemerintah atas terjadinya suatu peristiwa tertentu.

Bahwa peristiwa yang menarik perhatian publik, baik warga negara secara umum

maupun dunia internasional, yang berpotensi menurunkan kewibawaan dan citra

politik pemerintah, serta berpotensi mengurangi kepercayaan publik kepada

penguasa, cenderung lebih dianggap sebagai keadaan genting yang memaksa yang

mendorong penggunaan instrumen hukum darurat negara, daripada suatu

peristiwa yang mengakibatkan korban meluas dan masif.

285

BAB IV

POLITIK HUKUM PENGATURAN MATERI MUATAN PERATURAN

PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG YANG SESUAI

DENGAN PRINSIP NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

Muara pembahasan pada bagian ini adalah arah kebijakan (ius

constituendum) pengendalian materi muatan perpu di masa yang depan. Bahwa

perpu tidak boleh digunakan oleh presiden untuk hal-hal lain selain untuk

mengatasi keadaan darurat negara agar segera kembali ke dalam keadaan normal.

Selain itu, penetapan perpu selama ini memang tidak pernah dipersoalkan pada

aspek legalitas, karena presiden diberikan kewenangan secara konstitusional

langsung dari UUD NRI 1945. Namun karena kewenangan tersebut terlampau

luas berdasarkan suyektifitas dan tanpa adanya batasan-batasan tertentu, maka

setiap penetapan perpu selalu menimbulkan kontroversi. Mahfud MD dalam

tulisannya di harian Kompas berjudul “Tak Ada Perppu yang Tak Kontroversial”,

menjelaskan bahwa sasaran dan sumber utama pemancing kontroversi adalah

klausul “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagai syarat penetapan

perpu.615

Menurutnya, aliran kontroversial tersebut sekurang-kurangnya terbagi ke

dalam 2 (dua) kelompok, yaitu mereka yang mempersoalkan kesesuaian antara

perpu dan konstiusi (konstitusionalitas perpu) dalam rangka menjaga orisinalitas

UUD NRI 1945; serta mereka yang tidak mempersoalkan hubungan hierarkis dan

konsistensi perpu dengan konstitusi, akan tetapi karena mempunyai pandangan

615

Moh. Mahfud MD, “Tak Ada Perppu yang Tak Kontroversial” artikel dalam Harian

Kompas, 27 April 2020

286

politik yang berbeda dengan isi perpu atas dasar perbedaan pilihan politik

hukum.616

Bahwa benar rekam sejarah penetapan perpu (sekurang-kurangnya adalah

pasca reformasi) selalu memunculkan kontroversi di antara beberapa pihak.

Namun hal itu tidak bisa dianggap sesuatu yang biasa. Kontroversi biasanya akan

bersinggungan dengan aspek legitimasi. Semakin tinggi kontroversi, dalam hal ini

adalah penetapan suatu perpu, maka akan semakin rendah legitimasi terhadap

perpu tersebut. Dalam sebuah negara demokrasi yang berdasarkan hukum,

persoalan legitimasi juga harus diletakkan sebagai hal yang utama di samping

aspek legalitas. Hal ini karena persoalan legitimasi akan bersinggungan dengan

kewibawaan presiden yang menjalan kekuasaan negara dengan mendapatkan

mandat langsung dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Kewibawan akan

menjadi objek yang dipertaruhkan dalam setiap penggunaan kekuasaan darurat,

sedangkan kewibawaan ini dilihat dari kacamata masyarakat akan berhubungan

erat dengan tingkat kepercayaan publik terhadap presiden. Bahwa tidak menutup

kemungkinan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam konteks

penggunaan hukum darurat negara akan menurun.

Perihal kewibawaan dan kepercayaan masyarakat dalam konteks hukum

darurat negara tentu tidak bisa dipandang sebagai permasalahan yang sederhana.

Moh. Mahfud MD dalam suatu forum seminar menjelaskan, bahwa pemerintah

harus menghindari tindakan-tindakan yang bersifat disorientasi karena akan

berakibat pada menurunnya kepercayaan masyarakat (distrust). Sedangkan

616

Ibid.

287

distrust akan berimplikasi pada ketidakpatuhan rakyat pada pemerintah

(disobidience). Pemerintah yang disorientasi dan rakyat yang terlanjur

disobidience akan berujung pada disintegrasi. Pada konteks penetapan perpu,

pemerintah yang disorientasi dapat dipersepsikan dengan penggunaan instrumen

perpu yang tidak proporsional dan tidak dalam hal ikhwal kegentingan yang

memaksa sebagaimana diidealkan. Tidak dapat dibayangkan apabila keadaan

darurat benar-benar terjadi, sedangkan rakyat menolak penggunaan instrumen

darurat itu karena latar belakang traumatis yang berujung pada ketidakpercayaan.

Hal ini pernah terjadi di Amerika Serikat, ketika New Orleans kebanjiran akibat

Badai Katrina pada akhir musimpanas 2005, usulan untuk memanfaatkan tentara

dalam membantu menjaga hukum dan ketertiban mendapatkan respon berupa

keberatan dan penolakan atas dasar kekhawatiran dan traumatik lama akan

intervensi militer dalam keadaan krisis domestik.617

Berdasarkan uraian di atas, pengendalian presiden dalam menetapkan

perpu, pada satu sisi adalah untuk mencegah presiden dari kesewenang-wenangan

yang dapat merugikan hak konstitusional warga negara, sedangkan pada sisi yang

lain adalah untuk mendorong presiden agar mendapatkan legitimasi yang kuat dari

rakyat ketika menggunakan kewenangan menetapkan perpu sehingga dapat

berjalan efektif untuk mengatasi keadaan darurat dalam rangka melindungi hak-

hak warga negara. Thomas A. Wartowski sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali

menyebutkan, agar dapat efektif, suatu hukum harus mendapatkan dukungan dari

rakyat, dan untuk mendapatkan dukungan itu, hukum harus dapat dilaksanakan

617

Richard A. Posner, Not a Suicide Pact: The Constitution in a Time of National

Emergency, Oxford University Press, New York, 2006, hlm. 3

288

dengan baik, dipahami dengan baik, dan konsisten dengan nilai-nilai

komunitasnya.618

Membatasi kekuasaan pemerintah, termasuk dalam hal ini adalah dalam

penetapan perpu, pada hakikatnya tidak hanya dalam rangka mencegah

kesewenang-wenangan, namun lebih daripada itu pembatasan kekuasaan

penguasa secara filosofis juga untuk mempermudah penguasa untuk

melaksanakan kekuasaannya. Apabila dilihat dari aspek historis, tulisan Soehino

terkait dengan kekuasaan mutlak raja-raja Djenggis Khan dan Tamarlan menjadi

sangat relevan terhadap hal ini. Bahwa betapapun mutlaknya kekuasaan mereka,

namun dalam jarak kira-kira 40 kilometer saja dari tempat mereka bertahta,

kekuasaannya sudah tidak terasa lagi. Bahkan di dalam Ibukota kerajaannya

sekalipun, apabila sifat kesewenangan raja melebihi dari kesanggupan rakyat

untuk menanggungnya, raja-raja seperti Djenggis Khan dan Tamarlan akan selalu

terancam dengan timbulnya pemberontakan-pemberontakan yang sukar dilawan

dengan kekuatan-kekuatan pedang dan tombak laskar-laskarnya.619

Fakta historis

ini kiranya cukup untuk menjadi uraian penjelasan atas kalimat filosofis Thomas

Jefferson, “when injustice become law, resistance become duty”, atau dalam

kalimat lain, dapat ditransformasi menjadi “when tyranny become law, rebellion

become duty”.

618

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Cetakan Keenam,

Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, hlm. 479 619

Soehino, Ilmu Negara, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Liberty, Yogyakarta, 1996,

hlm. 268

289

Memang benar, perkembangan teknologi sangat pesat yang memberikan

kemudahan bagi penguasa untuk melakukan pengawasan secara ketat terhadap

pelaksanaan kekuasaan, namun kompleksitas dan bentuk penolakan juga

berkembang sedemikian canggihnya. Dalam konteks penetapan perpu, tidak

adanya batasan secara konstitusional yang mengendalikan presiden ternyata

berimplikasi timbulnya problematika materi muatan sebagaimana telah diuraikan

sebelumnya, sedikit banyak justru akan mempersulit presiden untuk melaksanakan

substansi perpu tersebut. Penolakan dari masyarakat, baik yang diwujudkan ke

dalam bentuk demonstrasi atau melalui jalur judicial review ke Mahkamah

Konstitusi, adanya resistensi dari lembaga negara lain, merupakan bentuk

kesulitan tersendiri. Pada titik yang lebih ekstrim, alih-alih menyelesaikan

masalah, instrumen perpu yang terlalu melampaui batas penalaran yang wajar

dengan penolakan masyarakat yang sedemikian masif, dapat saja menimbulkan

permasalahan yang lebih kompleks.

Ada 3 (tiga) hal yang menjadi pijakan dimunculkannya gagasan politik

hukum pengaturan materi muatan perpu yang sesuai dengan prinsip negara hukum

dan demokrasi dalam penelitian ini. Pertama, tinjauan historis dimunculkannya

kewenangan presiden dalam menetapkan perpu di dalam konstitusi. Ini untuk

mengetahui apa yang melatarbelakangi sekaligus menjadi tujuan dan sasaran para

perumus konstitusi sehingga memunculkan klausul Pasal 22 UUD NRI 1945.

Analisis ini penting untuk mengembalikan praktik penetapan perpu yang sesuai

dengan original intent dimuatnya landasan yuridis tersebut. Kedua, tinjauan

terhadap putusan Mahkamah Konstitusi sebagai pelindung konstitusi (the

290

guradian of constituion) yang menguji konstitusionalitas perpu. Hal ini karena

Mahkamah Konstitusi pada perkembangannya juga mempunyai pengaruh besar

terhadap politik hukum nasional yang sesuai dengan apa yang telah digariskan

oleh konstitusi. Ketiga, tinjauan terhadap problematika pembentukan dan materi

muatan perpu dengan merujuk pada analisis yang telah diuraikan sebelumnya,

sehingga memunculkan gagasan untuk menghindari permasalahan yang sama di

akan datang.

A. Perpu Dalam Sejarah Konstitusi Indonesia

Gustav Rardbruch dalam karyanya berjudul Outline of Legal Philosophy

mengatakan, hukum merupakan ciptaan manusia, dan sebagai setiap ciptaan

makhluk, hanya dimengerti dengan citanya.620

Dalam bahasa yang lebih dramatis,

Gothe menyebutkan orang yang melarikan diri dari cita, akhirnya tidak akan

mendapatkan pengertian.621

Spesifik berkaitan dengan konstitusi, disebutkan

bahwa konstitusi dimanapun tidak akan dapat dimengerti secara mendalam

apabila hanya dibaca teksnya saja. Diperlukan pembacaan lebih dalam terhadap

sejarah terjadinya teks itu, mengapa teks itu muncul, dalam keadaan dan suasana

yang seperti apa teks itu dibuat, aliran apa yang menjadi dasar perumusan teks itu,

serta harapan dan tujuan apa yang akan dicapai dengan rumusan tersebut.622

Sejarah perumusan teks inilah yang akan dijelaskan dalam bagian ini.

Lahirnya ketentuan dalam Pasal 22 UUD 1945 memang tidak terlepas dari

peran besar Soepomo. Pada tanggal 11 Juli 1945, sidang lanjutan Badan

620 Gustav Radbruch, Outline of Legal Philosophy, dalam Abdul Mukhtie Fadjar,

Sejarah... Op., Cit., hlm. 7 621

Ibid., hlm. 8 622

Saafroedin Bahar, Risalah... Op., Cit., hlm. 264

291

Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diketuai oleh KRT.

Radjiman Wedyodiningrat membentuk panitia perancang Undang-Undang Dasar

(UUD). Panitia tersebut beranggotakan 19 (sembilan belas) orang yaitu Soekarno

sebagai ketua, A.A. Maramis, R. Oto Iskandardinata, B.P.H. Purbojo, Agoes

Salim, Soebardjo, Soepomo, Maria Ulfah Santoso, KH. A. Wachid Hasjim,

Parada Harahap, Latuharhary, Soesanto Tirtoprodjo, R.M. Sartono, KRMT.

Wongsonegoro, KRMTH. Wurjaningrat, R.P. Singgih, Tan Eng Hoa, P.A. Husein

Djajadiningrat, dan Soekiman.

Muhammad Yamin yang juga dikenal sebagai ahli konstitusi, tidak

ditempatkan pada tim penyusun UUD, tetapi justru ditempatkan ke dalam tim

pengkaji urusan keuangan dan perekonomian. Soekarno yang mengerti

kemampuan Muhammad Yamin di bidang konstitusi sudah memohonkan agar ia

ditempatkan sebagai salah satu anggota timnya, namun ditolak oleh Radjiman

Wedyodiningrat, demikian pula dengan Yamin yang akhirnya juga menolak untuk

menjadi bagian dalam tim pengkaji urusan keuangan dan perekonomian.623

Maka

dengan demikian, Soepomo lah yang akhirnya menjadi arsitektur utama konstitusi

Indonesia. Bahkan sepanjang sidang BPUPKI dan PPKI sampai dengan

disahkannya UUD 1945, Soepomo yang dominan memberikan penjelasan dan

paling banyak menjawab pertanyaan dari anggota sidang terhadap naskah

konstitusi.624

623

Ibid., hlm. 204-205 624

Pada tanggal 15 Juli 1945, sidang BPUPKI dengan pembahasan Rancangan Undang-

Undang Dasar, diketuai oleh KRT. Radjiman Wedyodiningrat, setelah mendengar penjelasan dari

Soekarno sebagai Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Radjiman menolak untuk

292

Panitia pembentuk UUD ini kemudian bersidang untuk pertama kalinya

pada tanggal 11 Juli 1945. Pembahasan sidang untuk pertama kalinya ini masih

bersifat umum terkait dengan bentuk negara dan pembukaan UUD. Tidak ada

keputusan konkret tentang UUD yang dihasilkan dari sidang ini, sehingga

Soekarno sebagai ketua panitia mengambil keputusan untuk membentuk tim kecil

perancang hukum dasar dengan menunjuk Soepomo sebagai ketua dan

beranggotakan Wongsonagoro, Soebarjo, Maramis, Soekiman, dan Agus Salim.

Tim tersebut diberi waktu 2 (dua) hari untuk merumuskan UUD.625

Sidang selanjutnya dilaksanakan pada tanggal 13 Juli 1945, yang telah

diuraikan oleh Soepomo rancangan UUD terdiri dari 42 Pasal.626

Rancangan

pertama UUD 1945 ini telah memuat pengaturan tentang keadaan darurat negara

dan wewenang presiden menetapkan perpu. Ketentuan dalam Pasal 10

menyebutkan, “Presiden menyatakan “Staat van beleg”. Syarat-syarat dan akibat

“Staat van beleg” ditetapkan dengan undang-undang”. Sedangkan kewenangan

presiden menetapan perpu termuat dalam Pasal 23 dengan klausul sebagai berikut:

(1). Dalam hal-ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak

menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-

undang.

(2). Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

membahas rancangan Undang-Undang Dasar sebelum adanya penjelasan tentang pasal-pasal yang

ada dari Supomo. Lihat dalam Ibid., hlm. 263 625

Ibid., hlm. 222 626

Soekarno menyebutkan bahwa rancangan awal Undang-Undang Dasar terdiri dari 42

pasal karena memang secara eksplisit tertulis Undang-Undang Dasar tersebut sampai dengan Pasal

42. Supomo menyebutkan rancangan Undang-Undang Dasar memuat 35 pasal, karena hanya

sejumlah itu materi muatan yang mengatur tentang penyelenggaraan Negara Republik Indonesia,

sedangkan sisanya hanya pengaturan tentang ketentuan peralihan dan peraturan tambahan. Ibid.,

hlm. 268

293

(3). Jika persetujuan tidak terdapat, Peraturan Pemerintah itu harus

dicabut.

Terhadap rancangan UUD tersebut, Soekarno membentuk “Panitia

Penghalus Bahasa” yang terdiri dari Djajadiningrat, Agus Salim, dan Soepomo.627

Sidang 16 Juli 1945, Soepomo kemudian merubah sistematika dan redaksional

rancangan UUD berdasarkan masukan dari beberapa anggota panitia. Bab tentang

Dewan Perwakilan Rakyat yang di dalamnya termasuk juga pengaturan tentang

dasar kewenangan presiden menetapkan perpu, terdiri dari Pasal 19, Pasal 20,

Pasal 21, dan Pasal 22.628

Sidang pertama untuk membahas pasal-pasal di dalam rancangan UUD ini

dilaksanakan pada tanggal 15 Juli 1945. Soekarno sebagai Ketua Panitia

Perancang UUD telah mengawali penjelasan terhadap rancangan dimaksud, hanya

saja penjelasannya bersifat umum tentang dasar falsafah, kemudian meminta

Soepomo untuk melanjutkan penjelasan secara terperinci. Demikian juga dengan

KRT. Radjiman Wedyodiningrat yang tidak akan memulai pembahasan sebelum

adanya penjelasan pasal-pasal di dalam rancangan UUD oleh Soepomo. Pidato

Soepomo yang menjelaskan rancangan Undang-Undang Dasar tersebut, dengan

waktu yang sangat terbatas dan terburu-buru untuk selekas mungkin mencapai

kemerdekaan Indonesia, ternyata tidak menjelaskan semua pasal, karena menilai

bahwa beberapa pasal sudah dapat dimengerti dengan sendirinya.629

Ketentuan

mengenai bunyi pasal yang memberikan kewenangan presiden untuk membentuk

627

Ibid., hlm. 226 628

Ibid., hlm. 358 629

Ibid., hlm. 265

294

perpu termasuk pasal yang sama sekali tidak dijelaskan dalam pidato Soepomo

ini.

Memang sempat ada usulan dari Sukardjo Wirjopranoto untuk membahas

pasal demi pasal, hanya saja karena keadaan yang serba terbatas, ketua KRT.

Radjiman Wedyodiningrat menolak hal itu dan menetapkan agar pembahasan

hanya terkait dengan pasal-pasal yang tidak disetujui berikut dengan alasannya.630

Keputusan ini menjadikan ketentuan pasal yang memuat dasar pembentukan

perpu, sampai dengan akhir pembahasan rancangan UUD 1945 oleh BPUPKI

tanggal 16 Juli 1945, sama sekali tidak dibahas karena memang tidak ada

pertanyaan ataupun penolakan dari seluruh anggota BPUPKI.

Pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang

dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 1945 diketuai oleh Soekarno, rancangan

UUD kembali dibahas untuk disahkan. Soekarno bahkan membacakan pasal demi

pasal untuk meminta persetujuan, dengan diiringi oleh Soepomo yang

memberikan penjelasan dalam hal terdapat bunyi pasal yang dipertanyakan oleh

anggota sidang. Namun ketentuan Pasal 12 dan Pasal 22 yang menjadi dasar

wewenang presiden menetapkan perpu, tidak mendapatkan respon berupa

pertanyaan ataupun sanggahan dari anggota sidang. Seluruhnya langsung

menyetujui bunyi pasal tersebut. Pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD 1945

disahkan menjadi konstitusi, yang di dalamnya sudah mengatur tentang

kewenangan presiden untuk menetapkan perpu.

630

Ibid., hlm. 290

295

Uraian di atas dengan demikian menggambarkan bahwa tidak ditemui

alasan mengapa muncul klausul Pasal 22 dalam UUD 1945. Menurut pembacaan

Bagir Manan, kemungkinan pencantuman Pasal 22 ini karena pembentuk UUD

1945 terpengaruh oleh ketentuan yang terdapat dalam Pasal 93 Indische

Staatsregeling (IS, peraturan ketatanegaraan pada masa Hindia Belanda) yang

memuat klausul “dringende omstadigheden” untuk menunjuk pada adanya

keadaan yang mendesak.631

RM A.B. Kusuma dalam “Rencana Permulaan dari Undang-Undang Dasar

Negeri Indonesia” yang kemudian dimuat dalam bukunya sebagaimana dikutip

oleh Susi Dwi Harijanti menyebutkan,632

“Jika ada keperluan mendesak untuk menjaga keselamatan umum atau

mencegah kekacauan umum dan jika Dewan Perwakilan Rakyat tidak

bersidang, Kepala Negeri yang membuat aturan-aturan Pemerintah sebagai

gantinya undang-undang. Aturan-aturan Pemerintah semacam itu harus

diserahkan sebelum waktu persidangan yang berikut dari Dewan

Perwakilan Rakyat, jika Badan ini tidak menyetujui aturan-aturan itu,

maka Pemerintah harus menerangkan, bahwa aturan-aturan tadi tidak

berlaku untuk waktu yang akan datang”

UUD 1945 yang memang diniatkan untuk digunakan sementara waktu

karena pembentukannya dilakukan secara terburu-buru dan dalam keadaan negara

yang tidak stabil, berlaku sampai dengan tahun 1949 karena digantikan dengan

Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 (Konstitusi RIS 1949) sebagai

salah satu hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 23 Agustus

1949 sampai dengan 2 November 1949. Konferensi ini melahirkan 3 (tiga)

631

Bagir Manan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dalam Susi Dwi

Harijanti, Perppu... Op., Cit., hlm. 82 632

R.M. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, dalam Ibid... hlm. 83

296

persetujuan, yaitu mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat; penyerahan

kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat; dan didirikan uni antara Republik

Indonesia Serikat dan kerjaan Belanda. Rancangan UUD RIS 1949 dibuat pada

konferesi tersebut oleh delegasi Republik Indonesia dan Bijeenkomst voor Federal

Overleg.633

Konstitusi RIS terdiri dari Mukaddimah, 197 Pasal, dan lampiran pokok-

pokok penyelenggaraan pemerintahan yang dibebankan kepada Republik

Indonesia Serikat.634

Konstitusi RIS 1949 mulai diberlakukan pada tanggal 27

Dsember 1949 yang sebelumnya telah disetujui oleh Komite Nasional Pusat

sebagai badan perwakilan rakyat Indonesia pada tanggal 14 Desember 1949.635

Konstitusi RIS 1949 inipun dibentuk untuk sementara waktu (Pasal 186), karena

di dalamnya disebutkan bahwa Majelis Konstituante akan dibentuk untuk

membuat konstitusi federal yang bersifat tetap.636

Keadaan darurat negara juga diatur di dalam Konstitusi RIS 1949 dengan

instrumen hukum yang disebut sebagai undang-undang darurat. Pasal 139

Konstitusi RIS 1949 menyebutkan,

(1). Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung-jawab sendiri

menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal

633

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 93 634

Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Buku I: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD

1945, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Sekretariat Jenderal dan Kepanteraan Mahkamah Konstitusi,

Jakarta, 2010, hlm. 48 635

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Loc., Cit. 636

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah

Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Cetakan Pertama, Gema Insani Press,

Jakarta, 1996, hlm. 74

297

penyelenggaraan-pemerintahan federal yang karena keadaan-

keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segara.

(2). Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa undang-

undang federal; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan

dalam pasal yang berikut.

Proses pengesahan menjadi undang-undang, dan proses pengajuan kepada

DPR atas undang-undang darurat yang ditetapkan presiden, diatur di dalam Pasal

140, sebagai berikut:

(1). Peraturan-aturan yang termaktub dalam undang-undang darurat,

segera sesudah ditetapkan, disampaikan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat yang merundingkan peraturan itu menurut yang ditentukan

tentang merundingkan usul undang-undang Pemerintah.

(2). Jika suatu peraturan yang dimaksud dalam ayat yang lalu, waktu

dirundingkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, ditolak

oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka peraturan itu tidak berlaku

lagi karena hukum.

(3). Jika undang-undang darurat yang menurut ayat yang lalu tidak

berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat yang timbul dari

peraturannya – baik yang dapat dibetulkan maupun yang tidak –

maka undang-undang federal mengadakan tindakan-tindakan yang

perlu tentang itu.

(4). Jika peraturan yang termaktub dalam undang-undang darurat itu

diubah dan ditetapkan sebagai undang-undang federal, maka akibat-

akibat perubahannya diatur pula sesuai dengan yang ditetapkan

dalam ayat yang lalu.

Bila diperhatikan, terutama dalam klausul ayat (2) Pasal 140 di atas,

terhadap undang-undang darurat yang ditolak oleh DPR, maka dengan demikian

dinyatakan tidak berlaku lagi karena hukum, sehingga tidak membutuhkan

mekanisme pencabutan. Berbeda Pasal 22 UUD 1945, yang apabila ditolak oleh

DPR, maka presiden harus mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR

mengenai pencabutan perpu. Ketentuan dalam Pasal 140 Konstitusi RIS 1949 ini

dengan demikian lebih praktis dan sederhana daripada ketentuan Pasal 22 UUD

1945 dalam hal pencabutan perpu yang tidak disetujui oleh DPR.

298

Sebagaimana diketahui, Konstitusi RIS 1949 berlaku dalam

ketatanegaraan Indonesia yang bersistem federal. Keadaan ini kemudian

memunculkan desakan untuk kembali ke negara kesatuan, yang semakin menguat

di beberapa negara bagian. Negara bagian Jawa Timur mengawali usulan

penyerahan tugas pemerintahannya kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat

yang diikuti dengan negara bagian lainnya. Usaha negara bagian itu juga

didukung dengan adanya mosi integral di parlemen RIS yang dipelopori oleh

Moh. Natsir yang mendesak agar Indonesia kembali ke negara kesatuan.637

Hambatan utama tentu dasar konstitusionalitas, karena konstitusi yang berlaku

saat itu masih Konstitusi RIS 1949.

Karena itu, Konstitusi RIS 1949 kemudian digantikan dengan Undang-

Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang tertuang dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Serikat Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan

Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar

Sementara Republik Indonesia, ditandatangani oleh Presiden Soekarno, Perdana

Menteri Moh. Hatta, dan Menteri Kehakiman Soepomo pada tanggal 15 Agustus

1950.638

Peralihan dari negara serikat ke negara kesatuan itu membutuhkan

Undang-Undang Dasar baru, sehingga dibentuk panitia bersama untuk menyusun

Undang-Undang Dasar yang kemudian disahkan pada tanggal 12 Agustus 1950

oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat, serta

637

Tim Penyusun, Naskah... Op., Cit., hlm. 50 638

Ibid., hlm. 53

299

Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950, dan berlakulah

UUDS itu pada tanggal 17 Agustus 1950.639

Disebut UUD Sementara karena

Pasal 134 mengamanatkan agar konstituante bersama pemerintah menyusun

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-

Undang Dasar Sementara tersebut.640

Secara substansi, Konstitusi RIS 1949 dan

UUDS 1950 hampir sama. Perbedaannya hanya berkaitan dengan bentuk negara

federasi yang berubah menjadi negara kesatuan berikut implikasinya, serta adanya

penetapan badan Konstituante untuk menyusun UUD baru. Karena itu, berkaitan

pengaturan negara darurat, klausul pasal di dalam Pasal 96 dan Pasal 97 UUDS

1950, sama persis dengan Konstitusi RIS 1949.

Soepomo sebagaimana dikutip oleh Susi Dwi Harijanti,641

memberikan

catatan atas ketentuan dalam Pasal 96 ayat (1) UUDS 1950.

Menurut teks dari Pasal 96 ayat (1), maka pembentukan undang-

undang darurat hanya diperbolehkan untuk mengatur hal-hal

penyelenggaraan pemerintahan, jadi tidak boleh digunakan untuk

mengatur hal yang bukan bersifat penyelenggaraan pemerintahan.

Akan tetapi hal penyelenggaraan pemerintahan adalah sangat luas,

yaitu segala yang masuk dalam definisi, yang dimuat dalam Pasal 82,

sehingga di dalam praktek tidak akan mudah menunjuk suatu hal di

luar lingkungan Pasal 82 tersebut.

Secara umum, baik undang-undang darurat maupun perpu dimuat di dalam

konstitusi Indonesia adalah untuk mengantisipasi keadaan negara yang tidak

normal atau darurat, yang membutuhkan pengaturan setingkat undang-undang,

639

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 95-95 640

Ibid., hlm. 95 641

Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang dalam Perspektif Ajaran Konstitusi dan Prinsip Negara Hukum” artikel dalam Jurnal

PJIH, Vol. 4, No. 2, Tahun 2017, hlm. 239

300

namun keadaan tidak memungkinkan untuk membentuk undang-undang secara

normal. Makanya undang-undang darurat di dalam Konstitusi RIS 1949 dan

UUDS 1950, serta perpu di dalam UUD NRI 1945 tidak menggunakan huruf

besar, tetapi huruf kecil, yang dimaksudkan bahwa itu adalah sifat, bukan nama

yang ditentukan secara baku, meskipun pada akhirnya, perpu itu digunakan

sebagai nomenklatur tetap dalam menerbitkan suatu produk hukum yang sifatnya

untuk menanggulangi keadaan memaksa.

Secara spesifik, terdapat perbedaan antara perpu dan undang-undang

darurat, yaitu, pertama, dilihat dari aspek alasan pembentukannya, menurut Ali

Safa‟at, undang-undang darurat di dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950

cenderung bermakna kondisi tertentu yang mendesak untuk diatur. Makna

kegentingan pada konteks ini adalah desakan keterbatasan waktu. Cirinya yaitu

klausul “keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segara” di dalam Pasal 139

ayat (1) Konstitusi RIS 1949 dan Pasal 96 UUDS 1950.642

Sedangkan Perpu

dengan klausul “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” di dalam Pasal 22 ayat

(1) UUD 1945, mengikuti tafsir Mahkamah Konstitusi, tidak hanya keterbatasan

waktu, namun adanya peristiwa yang darurat, serta adanya kekosongan hukum

dalam bentuk undang-undang atau undang-undang tidak memadai. Artinya, syarat

“hal ikhwal kegentingan yang memaksa” lebih beragam. Klausul pasal di dalam

Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 lebih sempit dan batasan yang konkret,

sedangkan dalam UUD 1945 cukup luas. UUD 1945 meniatkan perpu untuk

menanggulangi kegentingan yang memaksa, yang menurut hukum yang ada tidak

642

Muchamad Ali Safa‟at, Perpu... Loc., Cit.

301

bisa ditanggulangi baik karena hukum yang tidak mewadahi atau tidak lengkap

sehingga ada kekosongan, atau hukumnya tidak sesuai dengan tuntutan yang

memaksa itu, karena itu, perpu di UUD NRI 1945 dapat menyimpangi undang-

undang. Berbeda dengan Pasal 139 Konstitusi RIS dan Pasal 96 UUDS 1950 yang

lebih dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum,643

dengan klausul yang

jelas yaitu “perlu diatur segera”.

Kedua, berkaitan dengan otoritas yang mempunyai kewenangan untuk

menetapkan perpu atau undang-undang darurat. Kewenangan menetapkan perpu

diserahkan kepada presiden, sedangkan undang-undang darurat diserahkan kepada

pemerintah. Hal ini karena perbedaan sistem pemerintahan, bahwa UUD 1945

menganut sistem presidensial, sedangkan Konstitusi RIS dan UUDS masih

menganut sistem parlementer.644

Konstituante yang dihasilkan dari Pemilu 1955 yang kemudian diresmikan

di Bandung pada tanggal 10 November 1956, setelah melaksanakan sidang kurang

lebih dua setengah tahun, belum juga menyelesaikan tugasnya untuk membuat

Undang-Undang Dasar tetap untuk menggantikan UUDS 1950 karena tidak

pernah mencapai kuorum 2/3 (dua per tiga).645

Kondisi sosial-politik menjadi

semakin tidak menentu dan cukup mengkhawatirkan untuk terjadi perpecahan.

Pada tanggal 2 Juli 1959, Soekarno kemudian secara resmi memberi tahu kabinet

bahwa ia akan mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945. Tiga hari kemudian,

643

Ibid. 644

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, dalam Chrisdianto Eko Purnomo, “Dasar

Konstitusional Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dan Batasan

Pengaturannya” artikel dalam Jurnal Hukum Jatiswara, 2017, hlm. 230 645

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 96

302

pada tanggal 5 Juli 1959, Dekrit Presiden tersebut dibacakan oleh Soekarno dan

disiarkan oleh radio ke seluruh tanah air, yang substansinya adalah membubarkan

Konstituante, tidak berlakunya lagi UUDS 1950, memberlakukan kembali UUD

1945, dan pembentukan MPR Sementara dan DPR Sementara.646

Secara lebih terperinci, Dekrit Presiden yang dimuat dalam Keputusan

Presiden Nomor 150 Tahun 1959 tersebut dikeluarkan dengan alasan bahwa

anjuran Presiden dan pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang

disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan amanat Presiden pada 22

April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana

ditentukan dalam UUDS 1950; bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian

terbesar Anggota-Anggota Sidang Pembuat UUD untuk tidak menghadiri lagi

sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan

oleh rakyat Indonesia; bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan

ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan

bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang

adil dan makmur; bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan

didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya

jalan untuk menyelamatkan negara probkalamasi; bahwa kami berkeyakinan

bahwa Piagam jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah

merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.647

646

Sri Soemantri, Pemikiran yang Melatarbelakangi Kembali Ke UUD 1945, dalam

Martin H. Hutabarat, dkk, Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analitis Dekrit Presiden dan

Otonomi Daerah, Cetakan Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 27 647

Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Keenam,

Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 140

303

Mohammad Yamin berpendapat bahwa dekrit presiden itu merupakan

bentuk dari hukum darurat yang diakui baik dalam hukum nasional maupun

hukum internasional, yang secara lengkap pandangannya adalah sebagai

berikut:648

Dalam hal-hal yang tidak biasa, jaitu sekiranya peraturan-peraturan

yang ditetapkan untuk keadaan biasa djikalau didjalankan mungkin

membahajakan negara, maka diperbolehkan dalam hal jang

sedemikian oleh hukum internasional untuk mendjalankan tindakan

istimewa karena terpaksa. Keadaan yang tidak biasa itu dinamai

keadaan darurat; dalam bahasa Inggris emergency dan dalam bahasa

Djerman not atau dalam bahasa latin necessaria.

Maka permakluman Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi tanggal 5

Djuli 1959 itu berlangsung dengan mempergunakan ketentuan-

ketentuan jang bersumber kepada hukum kenegaraan jang damai

dalam bahasa Djerman “Das Notrecht des Staates atau Das Staats-

notrech”.

Apakah suasana darurat kenegaraan itu sesungguhnja ada dalam

Republik Indonesia, maka hal jang sedemikian semata-mata ialah

hasil dari pemandangan atau tindjauan politik dari pimpinan negara.

Djokosutono sebagaimana dikutip oleh Yusril Ihza Mahendra

menyebutkan bahwa dekrit presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945

adalah sah sebagai konsekuensi doktrin staatsnoodrechts dan noodstaatsrechts.649

Pendapat tersebut menurut Yusril tidak mendapatkan pembenaran karena

perlengkapan negara waktu masih utuh dan dapat berjalan secara normal.650

Menurut Ni‟matul Huda,651

semuanya dikesankan sedemikian mencekam

sehingga disimpulkan sebagai keadaan ketatanegaraan yang membahayakan

648

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, dalam Tim

Penyusun, Naskah... Op., Cit., hlm. 61-62 649

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah

Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Cetakan Pertama, Gema Insani Press,

Jakarta, 1996, hlm. 82 650

Ibid., hlm. 83 651

Ni‟matul Huda, Hukum... Op., Cit., hlm. 140

304

persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta merintangi

pembangunan semesta, karenanya dekrit dikeluarkan untuk menyelamatkan

negara. Wirjono Prodjodikoro,652

yang saat itu sebagai Ketua Mahkamah Agung

juga berpendapat bahwa dekrit yang dikeluarkan oleh presiden tersebut

mendasarkan pada staatsnoodrecht, yaitu dalam keadaan tertentu dapat

menyimpang dari peraturan ketatanegaraan yang ada dan Presiden menganggap

keadaan yang memaksa itu ada.

Memang pada 22 April 1959, presiden memberikan amanat kepada

Konstituante tentang anjuran kepala negara dan pemerintah untuk kembali kepada

UUD 1945 tanpa melalui proses amendemen, dengan alasan pertama, negara

dalam keadaan genting, dan UUD 1945 dapat menjadi jalan keluar atas

kegentingan tersebut; kedua, makna simbolik UUD 1945 yang sangat besar yaitu

sebagai UUD yang berakar pada kebudayaan Indonesia dan merupakan

perwujudkan ideologi Indonesia yang sebenarnya; ketiga, struktur organisasi

negara berdasarkan UUD 1945 akan memperlancar jalannya pemerintahan secara

efektif; keempat, kembali kepada UUD 1945 adalah sesuai dengan hukum yang

berlaku.653

Dekrit presiden yang dianggap oleh Logeman sebagai revolusi hukum ini,

telah mencabut UUDS 1950 dan memberlakukan kembali UUD 1945.

Berdasarkan Dekrit itu, Penjelasan UUD 1945 juga diberlakukan sebagai bagian

652

Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia dalam Tim

Penyusun, Naskah... Op., Cit., hlm. 61 653

Ibid., hlm. 58

305

dari UUD. Maka terhadap kewenangan presiden menetapkan perpu yang kembali

mendasarkan pada Pasal 22 UUD 1945, mempunyai penjelasan yang berbunyi,

“Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai

ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat

dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa

pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat”.

Terhadap Penjelasan UUD 1945 ini, memang tidak dibahas pada masa

sidang BPUPKI dan PPKI, juga tidak disahkan bersamaan dengan UUD 1945

pada tanggal 18 Agustus 1945. Penjelasan baru muncul sekitar 1 (satu) tahun

kemudian, yaitu setelah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia

Tahun ke II Nomor 7 tanggal 15 Februari 1946.654

Pembukaan dan Batang Tubuh

UUD 1945 dimuat di halaman 45 sampai dengan 48, sedangkan Penjelasan UUD

1945 dimuat pada halaman 51 sampai dengan 56, dengan diawali kalimat “untuk

memberikan kesempatan lebih luas lagi kepada umum mengenai isi Undang-

Undang Dasar Pemerintah yang semulanya di bawah ini kita sajikan penjelasan

selengkapnya”.655

Isi penjelasan itu diyakini dibuat oleh Supomo, berdasarkan

kesimpulan Panitia Ad Hoc II BP MPRS 1967 yang setelah berbicara dengan

tokoh-tokoh nasional seperti A.G. Pringgodigdo, Maria Ulfah, Achmad Subardjo,

Ijos Wariaatmadja, Soekiman, KH. Abdul Kahar Mudzakir, Abikusno, Roeslan

Wongsokoesoemo, Iwa Koesoemasoemantri, dan perguruan tinggi di Indonesia

berkesimpulan:656

654

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 98 655

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni‟matul Huda, Teori Hukum dan Konstitusi,

Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 117 656

Nugroho Notosusanto, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, dalam Ibid., hlm.

118

306

“Pada saat ditetapkan UUD 1945 belum ada penjelasannya. Adapun

penjelasan yang disiarkan dalam Berita RI Tahun II No. 7, bukanlah

hasil karya Panitia Hukum Dasar, melainkan dibuat oleh alm. Prof.

Dr. Soepomo pribadi dan isinya sesuai dengan penjelasan beliau pada

rapat besar Badan Penyelidik tanggal 5 Juli 1945”

Penjelasan UUD ini memang menimbulkan kontroversi. Pertama,

pendapat bahwa UUD itu terdiri dari pembukaan dan batang tubuh saja,

sedangkan penjelasan bukan bagian resmi dari UUD. Kedua, UUD itu terdiri dari

pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan.657

Namun perdebatan tersebut diakhiri

dengan kejelasan kedudukan penjelasan UUD 1945 berdasarkan Dekrit. Melalui

Dekrit 5 Juli 1959, penjelasan UUD 1945 tersebut dimuat bersama-sama dengan

Pembukaan dan Batang Tubuh pada Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959.

Dengan demikian, Penjelasan UUD 1945 merupakan bagian resmi dan tak

terpisahkan dari UUD 1945.658

Sejak diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dekrit presiden, UUD

1945 tersebut yang berlaku sebagai konstitusi Indonesia hingga saat ini. Pasal 22

adalah dasar kewenangan bagi presiden untuk menetapkan perpu dalam rangka

menanggulangi keadaan darurat negara. Hanya saja, pada tahun 1999 hingga

2002, dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan UUD 1945 ini

merupakan konsekuensi logis atas gerakan reformasi yang muncul sebagai bentuk

traumatis atas semangat penyelenggaraan negara pada masa orde baru. Perubahan

tersebut tidak menghilangkan naskah UUD 1945, karena perubahan disepakati

untuk dilakukan secara adendum. Karena itu, meskipun perubahan itu dilakukan

selama 4 (empat) tahap sejak 1999 hingga berakhir pada tahun 2002, tidak

657

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 98 658

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni‟matul Huda, Teori... Op., Cit., hlm. 120

307

kemudian menjadikan UUD 1945 berubah menjadi UUD 2002. Meskipun

memang, merujuk pada pendapat Saldi Isra,659

perubahan yang dilakukan dari

tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 itu sebenarnya telah melahirkan konstitusi

baru karena materi muatannya baik secara kuantitatif maupun kualitatif, telah

terjadi perubahan yang sangat signifikan. Mempertahankan nama konstitusi

Indonesia dengan sebutan UUD 1945 melalui mekanisme adendum itu,

menurutnya lebih dapat dikatakan sebagai alasan politis-simbolis.

Perubahan UUD 1945 yang semula menjadi salah satu tuntutan mahasiswa

yang melakukan demonstrasi itu juga didukung oleh praktisi hukum, pejabat

publik, dan akademisi atau ahli hukum untuk dilakukan amendemen.660

Berkaitan

dengan perpu sebagai bagian dari UUD 1945, juga tidak lepas dari pembahasan

perubahan ini. Todung Mulya Lubis dari kalangan praktisi hukum menyuarakan

agar diadopsi mekanisme judicial review di Mahkamah Agung agar pembentukan

undang-undang dan perpu lebih berhati-hati.661

M.H Buang dari kalangan pejabat

publik yang pada saat itu sebagai Wakil Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan

MPR juga menyuarakan agar Pasal 22 yang memuat dasar kewenangan presiden

membentuk perpu harus diubah dan diperinci secara lebih jelas agar tidak mudah

ditafsirkan sesuai dengan kepentingannya. Menurutnya, kewenangan menetapkan

659

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Rajawali

Pers, Depok, 2018, hlm. 142-143 660

Harun Alrasid adalah salah satu ahli hukum yang mengemukakan urgensi

dilakukannya perubahan UUD. Lihat dalam Tim Penyusun, Naskah... Op., Cit., hlm. 84 661

Todung Mulya Lubis, “Masa Depan Kebebasan Berserikat” dalam Ibid., hlm. 93

308

perpu seperti dalam Pasal 22 yaitu tanpa mendapatkan persetujuan terlebih dahulu

dari DPR menunjukkan bahwa presiden lebih kuat daripada DPR.662

Pada rapat PAH III BP MPR ketiga 9 Oktober 1999 dalam pembahasan

bab terkait DPR, Fraksi Partai Golkar yang diwakili oleh Andi Mattalatta

mengusulkan bila suatu perpu ditolak oleh DPR, maka pencabutan itu dilakukan

dengan tenggang waktu yang tidak lebih dari satu bulan.663

Dalam pembahasan

PAH III BP MPR keenam pada tanggal 12 Oktober 1999, Andi Mattalatta

kembali menyoal tentang perpu, yaitu berkaitan dengan urgensi pemberian

kewenangan perpu kepada presiden sedangkan kekuasaan perundang-undangan

beralih ke DPR. Menanggapi hal tersebut, Harun Alrasid memberikan pandangan

sebagai berikut:664

Perpu itu hapus itu, tidak boleh itu, warisan penjajah itu. Itu

wewenang gubernur jenderal itu dulu, sesudah kita merdeka tidak

boleh. Clinton tidak punya wewenang bikin peraturan sederajat

dengan undang-undang.

Nah, inilah kita harus sadari. Jangan kita membawa semua aturan dari

Indische staats Regeling itu. Gubernur jenderal memang berwenang

melakukan nood ordonantie yang sama. Tapi kalau kita sudah

merdeka, itu kuasa perundangan itu 100% di Wakil Rakyat. Masak

Presiden berwenang bikin peraturan nanti mencabut segala undang-

undang. Sudah capek-capek dibuat oleh DPR. Dihapuskan perpu itu

dari khasanah Undang-Undang Dasar yang akan datang itu. Presiden

Amerika nggak punya itu, bikin peraturan yang sederajat dengan Act

of Congress. Bisa marah rakyat demokratis itu.

662

Ibid., hlm. 96 663

Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Buku III: Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid II,

Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,

Jakarta, 2010, hlm. 707 664

Ibid., hlm. 794

309

Rapat ke-7 PAH III BP MPR, 13 Oktober 1999 dengan agenda dengar

pendapat pakar, Sri Soemantri Martosoewignjo menjelaskan terkait kewenangan

menetapkan perpu sebagai berikut:665

“Di dalam berbagai konstitusi ini saya pelajari, bahwa suatu ketika

terjadi situasi yang harus diatur di dalam peraturan yang sederajat

dengan undang-undang. Kalau umpamanya itu akan dilakukan oleh

melalui undang undang, prosesnya itu akan lama. Jadi, saya masih

tetap berpendapat bahwa perlu ada kewenangan yang diberikan oleh

Presiden, di dalam keadaan darurat, di dalam hal ihwal kegentingan

yang memaksa ini, Presiden diberi wewenang untuk mengeluarkan

peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Akan tetapi,

untuk mencegah jangan sampai dengan perpu ini Presiden lalu

bertindak, apa namanya, di luar batas kekuasaannya, ada escape

clausule yang mengatakan peraturan pemerintah sebagai pengganti

undang-undang itu, disampaikan kepada DPR, di dalam sidang yang

berikut. Itu apa istilah yang dipergunakan? Tapi perlu dalam waktu

yang singkat, perpu itu disampaikan pada DPR untuk dijadikan

undang-undang, atau bahkan ditolak. Ini tergantung dari Dewan

Perwakilan Rakyat itu sendiri.”

Pada perubahan tahap kedua, 6 Desember 1999 dengan agenda

mendengarkan pandangan fraksi di MPR, Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah

(F-PDU) yang merupakan gabungan dari anggota MPR asal Partai Nahdlatul

Ummah yang diwakili oleh Asnawi Latief menyampaikan usul agar kekuasaan

presiden menetapkan perpu dihapuskan dari sistem perundang-undangan nasional,

karena tafsir atas kegentingan sangat sulit, sedangkan keadaan bahaya telah diatur

dengan undang-undang.666

Usulan yang sama juga disampaikan oleh Hamdan

Zoelva pada rapat PAH I BP MPR 30 Mei 2000. Menurutnya, perpu yang

ditetapkan saat ini digunakan tidak pada tempatnya, namun hanya digunakan

665

Tim Penyusun, Naskah... Op., Cit., hlm. 228 666

Ibid., hlm. 264

310

untuk mencari alasan agar proses lebih cepat, padahal bisa menggunakan undang-

undang biasa.667

Fraksi Partai Golkar sebagaimana disampaikan oleh Theo L. Sambuaga

juga menyuarakan agar perpu dihapuskan.668

Pada rapat PAH I BP MPR kedua

puluh, 24 Februari 2000, muncul gagasan untuk membatasi materi muatan dan

keberlakuan perpu agar pemerintah tidak dengan mudah mengeluarkan perpu.

Disampaikan oleh Ali Hardi Kiademak dari Fraksi Partai Persatuan

Pembangunan.669

Demikian pula pembahasan pada tanggal 30 Mei 2000, Fraksi

TNI/Polri yang diwakili oleh Hendy Tjaswadi juga mengusulkan terkait perpu

agar klausul “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” perlu diperjelas sehingga

tidak ditafsirkan secara sepihak oleh pemerintah yang dalam keadaan tidak

genting sekalipun bisa dimanfaatkan oleh pemerintah.670

Fraksi Partai Demokrasi

Kasih Bangsa memandang perpu masih penting untuk diadopsi untuk

mengantisipasi keadaan-keadaan yang genting dan mendesak, hanya saja perlu

pembatasan agar tidak disalahgunakan, misalnya melalui konsultasi kepada

pimpinan DPR atau DPD sebagai penyeimbang.671

Zain Badjeber dari F-PPP juga

mengusulkan agar pembatasan penggunaan perpu dilakukan dengan cara

pembatasan oleh kekuasaan lain dengan prosedur yang lebih sederhana.672

Kendatipun telah dibahas dalam proses amendemen konstitusi itu, ternyata

klausul Pasal 22 UUD NRI 1945 tidak sampai dilakukan perubahan. Karena itu,

667

Tim Penyusun, Naskah... Op., Cit., hlm. 986 668

Ibid., hlm. 956 669

Ibid., hlm. 913 670

Ibid., hlm. 922 671

Ibid., hlm. 947-948 672

Ibid., hlm. 990

311

bunyi Pasal 22 UUD NRI 1945 itu masih otentik rumusan Soepomo dan tim

perumus Undang-Undang Dasar 1945 pada sidang BPUPKI. Hanya saja,

penjelasan Pasal 22 tidak lagi diberlakukan sebagai konsekuensi dari amendemen

konstitusi pada tahun 2002 yang tidak memberlakukan Penjelasan UUD NRI

1945.

B. Tafsir Konstitusional atas Kewenangan Penetapan Perpu oleh

Presiden Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi

Di atas telah disinggung, bahwa diskursus mengenai politik hukum saat

ini, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Mahkamah Konstitusi. Hal ini

setidaknya berangkat atas dasar 2 hal. Pertama, Mahkamah Konstitusi merupakan

satu-satunya lembaga negara yang diberikan kewenangan secara konstitusional

untuk menafsirkan konstitusi. Keberadaannya dengan demikian disebut sebagai

the guardian of constitution. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang

menjadi penjaga orisinalitas konstitusi agar diterapkan secara konsekuen melalui

segala kewenangannya. Maka dalam konteks ini, peran Mahkamah Konstitusi

dalam diskursus politik hukum adalah untuk menjaga agar pembentukan hukum

berupa undang-undang tetap berada pada rel konstitusi. Bagaimanapun, ukuran

konstitusionalitas bukan menjadi satu-satunya ukuran dalam pembentukan hukum

di parlemen. Bahkan undang-undang sebagai produk hukum akan mempunyai

watak yang sangat bergantung pada konfigurasi politik yang melahirkannya.673

Kepentingan menjadi dominan, dan pengingkaran terhadap konstitusi sangat

terbuka lebar.

673

Moh. Mahfud MD, Politik... Op., Cit., hlm. 348

312

Kedua, merupakan bagian integral dari hal pertama tadi, Mahkamah

Konstitusi turut memainkan peran untuk mengarahkan politik hukum

pembentukan undang-undang di parlemen. Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 menyebutkan, materi

muatan yang diatur dengan undang-undang, salah satunya berisi tentang tindak

lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi.674

Demikian pula dengan sifat putusan

Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat, secara ideal (das sollen),675

harus

dipatuhi dan dijadikan rambu-rambu dalam pembentukan undang-undang

termasuk dalam hal ini adalah perpu yang kedudukannya sejajar dengan undang-

undang. Melawan putusan Mahkamah Konstitusi merupakan bentuk perlawanan

terhadap konstitusi karena putusan Mahkamah Konstitusi merupakan tafsir

konstitusional atas konstitusi. Pada aspek yang lebih filosofis, perlawanan

terhadap konstitusi merupakan penghianatan terhadap prinsip negara hukum.

Berdasarkan dua hal di atas, maka mengetahui perspektif Mahkamah

Konstitusi atas perpu akan membantu bagaimana seharusnya pembentukan dan

arah materi muatan pembentukan perpu dalam kerangka negara hukum dan

demokrasi. Mengetahui pandangan Mahkamah konstitusi terhadap perpu ini

dilakukan dengan cara menganalisis beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang

menguji perpu atau undang-undang tentang penetapan perpu.

674

Lihat dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2019 675

Disebutkan das sollen, karena pada prakteknya, tidak sedikit putusan Mahkamah

Konstitusi yang tidak dilaksanakan. Pada konteks pembentukan perpu, hal ini akan dibahas pada

bagian tersendiri dalam penelitian ini.

313

Selama ini, perspektif Mahkamah Konstitusi terhadap perpu dan tafsir atas

Pasal 22 UUD NRI 1945 selalu diarahkan pada Putusan Nomor 138/PUU-

VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini wajar,

mengingat putusan tersebut yang menjadi landmark decision bahwa Mahkamah

Konstitusi berwenang menguji perpu. Namun, pandangan Mahkamah Konstitusi

atas perpu tidak hanya berpangku pada putusan tersebut. Ada beberapa putusan

lain yang dapat dijadikan rujukan bagaimana seharusnya perpu itu dibentuk sesuai

dengan yang diidealkan konstitusi.

1. Putusan Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

Putusan Nomor 013/PUU-I/2003 yang menguji Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom

Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang, telah

memberikan batasan bahwa pembentukan suatu peraturan, termasuk dalam

hal ini adalah perpu, karena objek pengujiannya adalah undang-undang

penetapan perpu, tidak boleh menegasikan konstitusi. Negara tidak boleh

314

menegasikan konstitusi, apabila hal itu terjadi maka niscaya konstitusi

telah menyayat-nyayat dagingnya sendiri.676

Melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan agar

materi muatan perpu sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan

agar tetap tertib sesuai dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-

undangan dan sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan. Hal ini

merupakan bentuk respon Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2003 yang berasal dari Perpu Nomor 2 Tahun 2002

memuat kaidah hukum berupa peristiwa hukum yang bersifat konkret. Hal

itu menurut Mahkamah Konstitusi tidak tepat dan tidak dapat dibenarkan

untuk dituangkan ke dalam bentuk produk hukum berupa undang-undang,

melainkan seharusnya merupakan material sphere pengadilan dalam

menerapkan suatu kaidah hukum umum dan abstrak. Menurut Mahkamah

Konstitusi, hal itu mencederai semangat pemisahan kekuasaan

sebagaimana dianut oleh UUD NRI 1945 karena telah melakukan sesuatu

yang merupakan ranah kekuasaan kehakiman.677

676

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Putusan

Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12

Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang. 677

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Putusan

Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12

Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang

315

Putusan ini juga memberikan pandangan kepada pemerintah dalam

penetapan perpu agar tidak dijadikan sebagai pilihan utama untuk

merespon persoalan hukum ketika perangkat hukum yang ada masih dapat

digunakan. Mahkamah Konstitusi menegaskan, bahwa penindakan

terhadap setiap kejahatan haruslah dilakukan dengan menegakkan hukum

(law enforcement) berdasarkan keadilan dan kepastian, bukan dengan cara

membuat norma hukum baru baik melalui pembentukan perpu maupun

undang-undang baru. Terlebih bila ternyata kebijakan legislasi yang

demikian didasarkan pada pertimbangan yang sifatnya politis. Akibatnya,

tidak akan pernah ada hukum yang ditegakkan karena hukum yang

tersedia akan selalu dirasa tidak mencukupi.678

2. Putusan Nomor 003/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan

Pada putusan ini, Mahkamah Konstitusi memang menyebutkan

bahwa hal ikhwal kegentingan yang memaksa dan penetapan perpu di

dalam Pasal 22 UUD NRI memang merupakan subyektifitas presiden.

Namun ke depan, meskipun hal ikhwal kegentingan yang memaksa ini

678

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Putusan

Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12

Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang

316

merupakan subyektifitas presiden, tetapi hendaknya lebih didasarkan pada

kondisi objektif bangsa dan negara yang “tercermin” dalam konsideran

perpu. syarat “kegentingan yang memaksa” ini memang harus diupayakan

seobjektif mungkin karena pembentukan peraturan setingkat undang-

undang dalam negara demokrasi dibentuk lembaga legislatif (DPR) dan

presiden. Kegentingan yang memaksa memberikan pengecualian yang

menyimpangi semangat berdemokrasi, karena itu, pertimbangan

kegentingan yang memaksa harus seobjektif mungkin. Namun Mahkamah

Konstitusi di dalam putusan ini belum memberikan kriteria bagaimana

kondisi objektif dimaksud, hanya mensyaratkan agar kondisi objektif itu

dituangkan ke dalam konsideran perpu.

3. Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Mahkamah Konstitusi melalui putusan ini menyinggung soal

kedudukan dan materi muatan perpu. Bahwa perpu di dalam Pasal 22

UUD NRI 1945 diatur di bab tentang DPR yang memegang kekuasaan

membentuk undang-undang. Maka materi perpu adalah materi yang

menurut UUD NRI 1945 harus diatur dengan undang-undang, bukan

dengan peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat

317

(2) yang memang ditujukan untuk melaksanakan undang-undang.679

Namun meskipun berada pada bab tentang DPR, kewenangan membentuk

perpu diberikan kepada presiden, dan tidak kepada DPR karena berkaitan

dengan keterbatasan waktu dan kemendesakan. Pengambilan keputusan di

DPR sebagai lembaga perwakilan berada di tangan anggota, sehingga

untuk mengambil keputusan dimaksud, harus melalui rapat-rapat tertentu.

Kebutuhan mengisi kekosongan hukum dalam mengatasi keadaan yang

mendesak menjadi tidak terpenuhi.680

Materi muatan yang sejajar dengan undang-undang itu, maka sejak

awal, Mahkamah Konstitusi menghendaki agar perpu tidak bertentangan

dengan konstitusi. Melalui putusan ini, yang memberikan kewenangan

bagi Mahkamah Konstitusi untuk menguji perpu, sekaligus menahbiskan

bahwa perpu tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Alasan

Mahkamah Konstitusi itu karena perpu melahirkan norma hukum baru,

dan sebagai norma hukum baru akan menimbulkan status hukum baru,

hubungan hukum baru, dan akibat hukum baru. Norma hukum baru

tersebut berlaku sejak perpu disahkan, dan bergantung pada persetujuan

atau penolakan DPR. Tetapi sebelum disetujui atau ditolak oleh DPR,

perpu sah berlaku sebagaimana undang-undang dengan segala akibat

679

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor

138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 680

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor

138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

318

hukumnya.681

Mahfud MD dalam concuring opinion menegaskan “tidak

boleh satu detikpun ada peraturan perundang-undangan yang berpotensi

melanggar konstitusi tanpa bisa diluruskan atau diuji melalui pengujian

yudisial”.682

Putusan 138/PUU-VII/2009 ini mengawali putusan-putusan

berikutnya yang menguji perpu. Putusan 145/PUU-VII/2009 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia dan Perpu Nomor 4 Tahun 2008, Mahkamah

Konstitusi menegaskan kembali mempunyai kewenangan menguji perpu

dengan syarat hal ikhwal kegentingan memaksa dengan merujuk pada

Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Demikian juga pada Putusan Nomor

80/PUU-XI/2013 yang menguji Perpu Nomor 1 Tahun 2013; Putusan

Nomor 91/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Perpu Nomor 1 Tahun 2013;

serta Putusan Nomor 38/PUU-XV/2017 tentang Pengujian Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan.

681

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor

138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 682

Lihat dalam Pendapat Berbeda (concuring opinion) Moh. Mahfud MD pada Putusan

Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

319

Mahkamah Konstitusi melalui putusan ini kemudian menetapkan

syarat hal ikhwal kegentingan yang memaksa untuk menetapkan perpu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 sebagai berikut:

(1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk

menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan

undang-undang;

(2) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga

terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada undang-undang

tetapi tidak memadai;

(3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara

membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan

memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang

mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.683

Hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud di

dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 ini, menurut Mahkamah Konstitusi tidak

dimaknai sebatas hanya adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 12 UUD NRI 1945. Bahwa benar keadaan bahaya di dalam

Pasal 12 UUD NRI 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan

undang-undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun

keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan

timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal

22 UUD NRI 1945.684

683

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor

138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 684

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor

138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

320

Keadaan berupa kebutuhan mendesak, menurut Andi Irman Putra

Sidin sesungguhnya secara konstitusional bisa dideteksi, misalnya berupa

fungsi pemerintahan yang mengalami kelumpuhan atau setidaknya dalam

rasio yang wajar akan mengalami kelumpuhan dan tidak ada lembaga

pemerintahan yang mampu mensubstitusikan karena memang tidak

mempunyai payung hukum untuk itu, sehingga pemerintah tidak dapat

memenuhi tanggungjawabnya dalam memenuhi hak asasi manusia.685

Adapun pembentukan undang-undang melalui proses yang normal dimulai

dari tahap pengajuan rancangan undang-undang kepada DPR, sampai

dengan pengundangan, menurut Mahkamah Konstitusi memerlukan waktu

yang cukup lama karena akan terbentur dengan mekanisme administratif

yang formal-prosedural dengan proses pengambilan keputusannya yang

sepenuhnya berada di tangan anggota, sehingga keadaan yang mendesak

tidak akan teratasi.

685

Lihat dalam Pendapat Ahli dalam Putusan Nomor 127/PUU-XII/2014 tentang

Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintah Daerah

321

4. Putusan Nomor 118-119-125-126-127-129-130-135/PUU-

XII/2014 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pengujian Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintah Daerah

Dengan merujuk pada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009,

Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali bahwa Mahkamah Konstitusi

berwenang menguji perpu. Putusan ini dapat dikatakan tidak seperti

putusan Mahkamah Konstitusi yang lain. Mahkamah Konstitusi biasanya

ketika menyebutkan bahwa pengujian telah kehilangan objek, maka pokok

permohonan tidak akan dipertimbangkan lagi. Tetapi pada putusan ini

Mahkamah Konstitusi justru memberikan telaahan tentang makna dan

hakikat produk hukum berupa perpu menurut UUD NRI 1945.686

Menurut Mahkamah Konstitusi, perpu memang hak istimewa yang

sepenuhnya diserahkan pada subyektivitas presiden, tetapi harus ada dasar

obyektivitasnya agar tidak terdapat unsur penyalagunaan wewenang dan

kekuasaan. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini merujuk pada ketentuan

dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang syarat-syarat hal ikhwal

686

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 118-

119-125-126-127-129-130-135/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan

Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

322

kegentingan yang memaksa sebagaimana telah disebut di atas. Perpu

dibutuhkan oleh penyelenggara negara agar negara dapat berjalan dengan

baik guna mengatasi permasalahan yang sewaktu-waktu muncul, dan

untuk itu diperlukan langkah dan solusi yang segera dapat dilaksanakan

untuk mengatasi keadaan yang genting dan memaksa dan perlu

diselesaikan seketika itu juga. Perpu bukan merupakan alat kekuasaan

politik, yang dalam hal ini perpu merupakan “escape clause” kepada

presiden sebagai pemegang hak subyektif.687

5. Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Dalam putusan 1-2/PUU-XII/2014 ini, Mahkamah Konstitusi juga

mengacu pada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 terkait dengan syarat

dan kriteria hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Tampak sedikit aneh,

karena objek pengujian yang diajukan oleh pemohon adalah Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun

2013. Namun Mahkamah Konstitusi justru meninjau Perpu Nomor 1

Tahun 2013 baik dari aspek pembentukan maupun materi muatan ketika

687

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 118-

119-125-126-127-129-130-135/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan

Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

323

perpu tersebut masih berlaku. Padahal ketika perpu telah ditetapkan

menjadi undang-undang, keberlakuannya telah berakhir. Itulah mengapa

ketika perpu ditetapkan menjadi undang-undang, sedangkan pada saat

yang sama diajukan ke Mahkamah Konstitusi, maka objek permohonan

menjadi hilang (kehilangan objek).

Secara eksplisit Mahkamah Konstitusi menyebutkan, bahwa

meskipun kegentingan yang memaksa menjadi kewenangan presiden

untuk menafsirkannya, namun subyektifitas tersebut harus ada dasar

obyektifitasnya. Dasar obyektifitas dengan merujuk pada kriteria

kegentingan yang memaksa berdasarkan putusan 138/PUU-VII/2009 itu,

menurut Mahkamah Konstitusi merupakan syarat konstitusionalitas yang

menunjukkan indikasi adanya kegentingan yang memaksa dalam

pembentukan perpu.688

Sedangkan kegentingan yang memaksa merupakan

syarat yang ditetapkan oleh konstitusi dan karenanya mengikat, sehingga

tanpa ada kegentingan memaksa, presiden menjadi tidak berwenang untuk

membuat perpu.689

Secara tegas Mahkamah Konstitusi menyebutkan

bahwa kegentingan yang memaksa sebagaimana disyaratkan oleh UUD

NRI 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009

tidak terpenuhi dalam penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013.

688

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-

2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 689

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-

2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

324

“Ketidakberwenangan” presiden dalam menetapkan perpu ini

dikutip kembali di dalam Putusan Nomor 118-119-125-126-127-129-130-

135/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota dan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Secara

teoretis, ikhwal kewenangan menetapkan perpu di atas, disinggung oleh

W. Riawan Tjandra. Bahwa secara a contrario presiden tidak dapat

menggunakan haknya dalam membentuk perpu selama tidak ada hal

ikhwal kegentingan yang memaksa. Perpu yang ditetapkan di luar

kegentingan yang memaksa maka akan batal demi hukum (null and void),

karena melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa adanya wewenang.690

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014

ini memberikan kriteria baru untuk melihat urgensi penetapan perpu.

Kriteria tersebut dilihat dari pasca penetapan perpu, yaitu prompt

immediately atau sontak segera untuk memecahkan permasalahan

hukum.691

Karena objek pengujian Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 ini

adalah Undang-Undang tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013,

690

Lihat dalam Pendapat Ahli pada Putusan MK Nomor 80/PUU-XI/2013 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 691

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-

2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

325

maka Mahkamah Konstitusi menganalisis aspek sontak segera itu terhadap

Perpu Nomor 1 Tahun 2013. Bahwa perpu tersebut, meskipun telah

menjadi undang-undang, belum pernah menghasilkan produk hukum

apapun.692

Menurut pendapat penulis, hal yang juga diperjelas mengenai

penetapan perpu melalui Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 ini adalah

klausul kegentingan yang memaksa untuk disebutkan di dalam konsideran

perpu. Hal ini sebelumnya disebutkan di dalam Putusan Nomor 003/PUU-

III/2005 sebagaimana diuraikan di atas. Bahwa hal ikhwal kegentingan

yang memaksa hendaknya tercermin di dalam konsideran perpu. Di dalam

Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, dengan melihat Perpu Nomor 1 Tahun

2013, konsideran (menimbang) perpu tersebut tidak mencerminkan adanya

kesegeraan, yaitu apa yang hanya dapat diatasi secara segera.693

6. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020

tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan

Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan

Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) dan/atau

692

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-

2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 693

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-

2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

326

Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan

menjadi Undang-Undang

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2020 yang berasal dari Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini

memberikan cara pandang baru tidak hanya secara khusus tentang hakikat

penetapan dan pemberlakuan perpu, namun lebih umum berkaitan dengan

pemberlakuan hukum darurat negara. Putusan ini menurut pendapat

penulis bertumpu pada judicial activism Mahkamah Konstitusi yang

menciptakan progresifitas putusan terutama dalam hal pemberlakuan perpu

dalam kerangka hukum tata negara darurat. Ada beberapa hal esensial

yang dapat ditarik dari putusan Mahkamah Konstitusi ini. Pertama,

Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan bahwa materi muatan perpu

tidak boleh menyimpangi konstitusi. Ketentuan ini dapat dilihat dari

pendirian Mahkamah Konstitusi terhadap materi muatan Pasal 27 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang dinilai inkonstitusional kecuali

dimaknai sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (inkonstitusional

bersyarat).

Kedua, batasan waktu keberlakuan suatu keadaan darurat negara.

Hal ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2020 yang dimohonkan oleh pemohon untuk diuji, yaitu

berkaitan dengan tidak adanya batas waktu berakhirnya keberlakuan

undang-undang ini sehingga oleh pemohon secara formil dianggap tidak

327

mempunyai kepastian hukum yang berpotensi melahirkan pemerintahan

yang sewenang-wenang dan tidak akuntabel dalam pengelolaan keuangan

negara untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan yang difokuskan untuk

penanganan Covid-19. Secara materiil, ketentuan Pasal 29 yang tidak

memberikan batasan waktu itu dianggap bertentangan dengan prinsip

negara hukum dan prinsip jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil karena pasal tersebut sebagai ketentuan penutup tidak

memberikan jangka waktu keberlakuannya kendatipun telah diterbitkan

untuk menyelesaikan persoalan di masa darurat kesehatan masyarakat.

Padahal the nature of emergency law ditujukan untuk menyelesaikan

persoalan krisis yang telah nyata terjadi di depan mata, supaya kembali ke

keadaan normal. Tidak mungkin negara terus menerus mempertahankan

undang-undang tersebut yang hendak menyelesaikan masalah krisis akibat

pandemi Covid-19 dan juga terus mempertahankan status kedaruratan

kesehatan masyarakat.694

Terhadap permohonan batasan waktu ini, Mahkamah Konstitusi

kemudian menghendaki agar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang

berasal dari Perpu Nomor 1 Tahun 2020 itu harus diberikan batasan waktu

keberlakuannya agar terhadap penggunaan keuangan negara dilakukan

694

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalan Putusan Nomor

37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan

Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang

328

kontrol yang kuat.695

Selain itu, batas waktu keberlakuan ini menurut

Mahkamah Konstitusi juga berkaitan dengan batas waktu status

keberlakuan keadaan darurat dan kegentingan yang memaksa, serta

substansi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang menganulir

beberapa norma undang-undang yang lain. Secara eksplisit Mahkamah

Konstitusi dalam putusan ini menginventarisir beberapa ketentuan norma

yang telah dianulir oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 ini,

yaitu:696

1. Pasal 11 ayat (2), Pasal 17B ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal

26 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6

Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang;

2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah beberapa kali

diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomot 2 Tahun 2008 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang

Bank Indonesia menjadi Undang-Undang;

3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5),

Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan

695

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalan Putusan Nomor

37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan

Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang 696

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalan Putusan Nomor

37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan

Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang

329

Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2003 tentang Keuangan Negara;

4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara;

5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004

tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-

Undang;

6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83,

dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah;

7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan;

8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya, Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;

9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah

beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah;

10. Pasal 177 huruf c angka 2, Pasal 180 ayat (6), Pasal 182

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan

Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah;

11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan krisis

Sistem Keuangan; dan

12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara Tahun 2020.

Mahkamah Konstitusi tidak mempersalahkan adanya

penyimpangan terhadap beberapa norma yang termuat dalam beberapa

330

undang-undang yang lain, namun mengarahkan agar seluruh norma yang

dianulir karena keadaan darurat itu, tidak boleh diakhiri keberlakuannya

secara permanen, dan kembali diberlakukan ketika keadaan normal dengan

mengakhiri keberlakuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Dengan

demikian, harus ada batasan yang jelas kapan situasi darurat berakhir,

dalam hal ini adalah Pandemi Covid-19. Secara konseptual, Mahkamah

Konstitusi berpendapat bahwa state of emergency dan law in time of crisis

harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan

sebagai upaya untuk menegaskan kepada masyarakat bahwa keadaan

darurat akan ada ujungnya sehingga akan ada kepastian hukum.697

Secara lebih konkret, Mahkamah Konstitusi menentukan batas

keberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah ditetapkan menjadi

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 itu adalah ketika pandemi Covid-

19 berakhir atau ketika telah beralih menjadi endemi. Produk hukum

tersebut dengan demikian tidak berlaku lagi, karena memang tujuan

dibentuknya adalah untuk menanggulangi dan mengantisipasi dampak

pandemi. Dalam hal ternyata status pandemi berkepanjangan, maka

Mahkamah Konstitusi menentukan undang-undang tersebut berlaku paling

lama hingga akhir tahun kedua sejak Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2020 diundangkan, sedangkan apabila pandemi masih berlangsung setelah

697

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalan Putusan Nomor

37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan

Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang

331

itu, maka sebelum memasuki tahun ketiga, berkaitan dengan

pengalokasian anggaran untuk penanganan Covid-19 harus mendapat

persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.

Meskipun memang persoalan keberlakuan suatu undang-undang

yang disebutkan Mahkamah Konstitusi ini adalah dimaksudkan untuk

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, namun secara esensial yang dapat

disarikan dari pendapat ini yaitu bahwa keadaan darurat tidak boleh

dibiarkan secara berkepanjangan tanpa adanya kepastian kapan akan

berakhir. Penetapan perpu menjadi undang-undang bukan berarti bahwa

keadaan darurat telah berakhir, juga bukan berarti bahwa materi muatan

undang-undang yang berasal dari perpu tersebut yang mengesampingkan

beberapa undang-undang lain, dianggap kewajaran. Bagaimanapun perpu

dibentuk khusus untuk mengatasi keadaan darurat atau hal ikhwal

kegentingan yang memaksa, sehingga apabila kedaruratan itu berakhir,

maka perpu yang dibentuk untuk mengatasi kedaruratan dimaksud juga

harus berakhir. Demikian pula, undang-undang yang berlaku normal yang

telah dikesampingkan oleh perpu karena kedaruratan itu, harus kembali

diberlakukan. Perpu yang tidak dibatasi waktu keberlakuannya, yang telah

menganulir undang-undang lain itu, maka tentu akan mengakibatkan

norma dalam undang-undang yang dianulir itu hilang keberlakuannya

secara permanen, bahkan ketika keadaan telah kembali normal.

Konsekuensinya, maka perpu akan mengarahkan kehidupan

332

ketatanegaraan pada kenormalan baru, yang ini tidak sesuai dengan esensi

hukum tata negara darurat.

Ketiga, perpu tidak boleh menganulir asas-asas hukum. Pendapat

Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan Pasal 29 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2020 secara eksplisit menyebutkan, bahwa perpu harus

tetap memenuhi kepastian hukum dalam pemberlakuannya, karena

meskipun perpu mempunyai karakteristik khusus, bukan berarti bahwa

substansi undang-undang yang berasal dari perpu dapat mengabaikan

prinsip demokrasi dan negara hukum.698

Demikian pula pendapat

Mahkamah Konstitusi yang menguji konstitusionalitas Pasal 27 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2020, dengan merujuk pada prinsip due process

of law dan kepastian hukum dalam proses penegakan hukum. Mahkamah

Konstitusi dengan putusan inkonstitusional bersyarat itu menganulir hak

imunitas yang menyebabkan impunitas dalam penegakan hukum.

Keempat, Mahkamah Konstitusi menganalisis kriteria kegentingan

yang memaksa yang ditetapkan dalam Putusan Mahakamah Konstitusi

Nomor 138/PUU-VII/2009 dengan melihat penjelasan Perpu Nomor 1

Tahun 2020. Menurut pendapat penulis, putusan ini dapat memberikan

gambaran bahwa salah satu bagian yang dapat dilihat aspek kegentingan

yang memaksa dari suatu perpu adalah bagian penjelasan. Namun pada

698

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalan Putusan Nomor

37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan

Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang

333

konteks ini, Mahkamah Konstitusi hanya melakukan peninjauan, tidak

dalam konteks mengarahkan agar kegentingan yang memaksa harus

termuat dalam penjelasan. Berbeda dengan putusan terdahulu, yang

mengharuskan hal ikhwal kegentingan yang memaksa itu harus tergambar

dalam konsideran perpu.

Berdasarkan uraian di atas, apabila dikompilasikan, maka terdapat

beberapa syarat-syarat kegentingan yang memaksa, syarat kewenangan

pembentukan perpu, dan syarat materi muatan perpu, sehingga seharusnya

presiden sudah terikat dan subyektifitas tidak berlaku mutlak. Apa yang telah

ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan perpu tersebut dapat

dibagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu aspek materiil dan formil. Secara materiil,

perpu dibentuk tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945, sesuai dengan

prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang dianut oleh konstitusi seperti

pemisahan kekuasaan, tertib kaidah peraturan perundang-undangan baik dari

aspek pembentukan maupun materi muatannya, serta materi muatan yang lingkup

pengaturannya adalah sederajat dengan undang-undang.

Pada aspek formil, Mahkamah Konstitusi mengarahkan agar hal ikhwal

kegentingan yang memaksa harus memenuhi kriteria tertentu yaitu adanya

keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara

cepat berdasarkan undang-undang; undang-undang yang dibutuhkan tersebut

belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada undang-undang

tetapi tidak memadai; dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan

cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan

334

waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu

kepastian untuk diselesaikan. Kriteria tersebut adalah bersifat kumulatif yang

harus dipandang sebagai “syarat konstitusionalitas” dan syarat “wewenang” dalam

penetapan perpu. Hal ikhwal kegentingan yang memaksa, termasuk ikhwal

kemendesakan dan kesegeraan yang mendorong ditetapkannya perpu disebutkan

di dalam konsideran menimbang perpu dimaksud.

Selain aspek formil dan materiil sebagai disebut di atas, menurut pendapat

penulis, Mahkamah Konstitusi juga menetapkan 1 (satu) larangan dan 1 (satu)

parameter atau tolok ukur pasca keberlakuan. Larangan tersebut yaitu bahwa

perpu tidak boleh diletakkan sebagai instrumen yang dapat dijadikan alat politik

oleh presiden. Sedangkan parameter yang ditetapkan yaitu prompt immediately

atau “sontak segera”. Sontak segera ini, menurut penulis tidak dapat

dikualifikasikan sebagai syarat formil, mengingat hal itu hanya dapat diketahui

pasca perpu ditetapkan dan berlaku secara sah, bukan sebelum diberlakukan.

Karena itu, sontak segera ini seharusnya menjadi alat ukur bagi DPR ketika suatu

perpu diajukan kepada DPR untuk dimintakan persetujuan.

Seluruh syarat tersebut, pada akhirnya tergambar bahwa Mahkamah

Konstitusi menghendaki bahwa seharusnya perpu menjadi senjata pamungkas

ketika tidak ada senjata lain (instrumen hukum lain) yang menurut penalaran yang

wajar, tidak memungkinkan untuk mengatasi kegentingan yang memaksa; serta

keadaan darurat tersebut harus tetap berada dalam bingkai kepastian hukum

dengan memberikan batasan yang jelas kapan suatu keadaan darurat akan berakhir

yang juga harus diikuti dengan berakhirnya keberlakuan perpu.

335

Seluruh kiteria esensial penetapan suatu perpu di dalam putusan

Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, ternyata tidak menjadi

tolok ukur atau parameter tetap yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi ketika

melakukan pengujian terhadap perpu yang ditetapkan setelah putusan Mahkamah

Konstitusi itu ditetapkan. Kecenderungan Mahkamah Konstitusi sebagaimana

tergambar di atas, ketika melakukan pengujian yang substansinya mengarah pada

hakikat perpu, selalu memunculkan kriteria baru tentang bagaimana seharusnya

perpu itu digunakan oleh presiden. Berdasarkan analisis penulis terhadap seluruh

putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji perpu atau undang-undang tentang

penetapan perpu, ditemukan 2 (dua) fakta yang cukup menarik. Pertama, seluruh

putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji perpu pasca Putusan Nomor

138/PUU-VII/2009, selalu merujuk dan mengutip kriteria hal ikhwal kegentingan

yang memaksa sebagaimana ditentukan pertama kali di dalam Putusan 138/PUU-

VII/2009 berikut juga pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan

keberwenangannya dalam menguji perpu, hanya saja rujukan dan kutipan tersebut

termuat dalam bagian pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi pada bagian

“Kewenangan Mahkamah”. Ini menunjukkan bahwa kutipan dan rujukan pada

putusan sebelumnya tersebut digunakan hanya untuk menunjukkan bahwa

Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian perpu

dimaksud. Seluruh kriteria yang telah termuat dalam beberapa Putusan Mahkamah

Konstitusi sebelumnya, tidak dijadikan ukuran untuk menilai substansi perpu.

Contoh terhadap hal ini yaitu Putusan Nomor 38/PUU-XV/2017, Putusan Nomor

39/PUU-XV/2017, Putusan Nomor 41/PUU-XV/2017, dan beberapa putusan

336

lainnya. Salah satu alasan mengapa kriteria tersebut tidak digunakan untuk

meninjau materi muatan perpu ketika Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian

terhadap perpu yaitu karena ternyata pengujian perpu di Mahkamah Konstitusi

selalu kandas dengan 2 (dua) hal, yaitu pemohon tidak mempunyai legal standing,

dan permohonan kehilangan objek karena perpu yang diujikan telah ditetapkan

menjadi undang-undang berdasarkan persetujuan DPR. Pemohon yang tidak

mempunyai legal standing dan permohonan kehilangan objek menjadikan pokok

permohonan, yaitu berkaitan dengan materi muatan suatu perpu yang diujikan,

oleh Mahkamah Konstitusi dianggap tidak perlu dipertimbangkan atau tidak

dipertimbangkan lebih lanjut.

Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi yang meninjau suatu perpu dengan

mendasarkan pada putusan terdahulu serta kriteria yang mempunyai kemiripan

dengan putusan terdahulu. Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud yaitu Putusan

Nomor 1-2/PUU-XII/2013, Putusan Nomor 118-119-125-126-127-129-130-

135/PUU-XII/2014, dan Putusan Nomor 37/PUU-XVIII/2020. Putusan Nomor 1-

2/PUU-XII/2013 ini dalam salah satu pertimbangannya secara expressis verbis

merujuk pada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang 3 (tiga) kriteria hal

ikhwal kegentingan yang memaksa yang harus dipenuhi dalam penetapan perpu,

hanya saja tidak ditinjau secara spesifik apakah 3 (tiga) kriteria tersebut telah

terpenuhi dalam penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013. Kriteria tersebut hanya

disebutkan di dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi agar dasar

objektifitas presiden dalam penetapan perpu mengacu pada ketiga kriteria itu.

337

Parameter lain yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan

Nomor 1-2/PUU-XII/2013 yang mempunyai kemiripan dengan putusan terdahulu

adalah konsideran perpu yang tidak menggambarkan adanya hal ikhwal

kegentingan yang memaksa. Sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam Putusan

Nomor 003/PUU-III/2005, Mahkamah Konstitusi telah menyebutkan agar

kegentingan yang memaksa itu harus tergambar dalam konsideran perpu. Penulis

menggunakan kalimat “kemiripan dengan putusan terdahulu” dalam hal

penggunaan tolok ukur ini, dan tidak menggunakan kata “merujuk” sebagaimana

penggunaan tolok ukur kriteria hal ikhwal kegentingan yang memaksa seperti

telah diuraikan sebelumnya. Hal ini karena memang penggunaan tolok ukur formil

berupa konsideran yang tidak memuat klausul kegentingan yang memaksa dalam

Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2013 itu, tidak secara expressis verbis mengacu

pada Putusan Nomor 003/PUU-III/2005.

Adapun Putusan Nomor 118-119-125-126-127-129-130-135/PUU-

XII/2014 ini meninjau suatu perpu dengan menggunakan tolok ukur berdasarkan 2

(dua) putusan terdahulu, yaitu Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 berkaitan

dengan kriteria hal ikhwal kegentingan yang memaksa, serta Putusan Nomor 1-

2/PUU-XII/2013 berkaitan dengan tolok ukur promt immediately atau sontak

segara, yang keduanya disebutkan secara expressis verbis di dalam pertimbangan

hukum Mahkamah Konstitusi. Meskipun memang kedua tolok ukur tersebut tidak

digunakan untuk menganalisis secara spesifik apakah perpu yang dimohonkan

untuk diujikan itu telah memenuhi keduanya.

338

Putusan Mahkamah Konstitusi yang juga merujuk pada putusan terdahulu

yaitu Putusan Nomor 37/PUU-XVIII/2020. Pada putusan ini, Mahkamah

Konstitusi secara eksplisit merujuk pada kriteria kegentingan yang memaksa

sebagaimana dimaksud dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, yang

meskipun tidak secara rinci menganalisis setiap kriteria dari ketiga kriteria yang

ada terhadap materi muatan perpu, namun Mahkamah Konstitusi

mengkomprasikan ketiga kriteria itu dengan penjelasan perpu. Mahkamah

Konstitusi menilai bahwa Perpu Nomor 1 Tahun 2020 itu telah memenuhi

kualifikasi hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Bahkan dalam putusan ini,

Mahkamah Konstitusi melakukan peninjauan apakah keadaan darurat telah benar-

benar terjadi.

Selain ketiga putusan di atas, Mahkamah Konstitusi dalam melakukan

pengujian terhadap perpu, tidak pernah menggunakan putusan terdahulu sebagai

rujukan untuk menilai suatu perpu. Meskipun memang Putusan Nomor 1-2/PUU-

XII/2013 dan Putusan Nomor 118-119-125-126-127-129-130-135/PUU-XII/2014

ini sama-sama menunjukkan keanehan. Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2013

meninjau Perpu Nomor 1 Tahun 2013 dalam kapasitas sebagai perpu yang

dibentuk berdasarkan Pasal 22, meskipun permohonan pemohon dalam Putusan

Nomor 1-2/PUU-XII/2013 adalah undang-undang penetapan perpu tersebut, yaitu

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014. Padahal dalam putusan Mahkamah

Konstitusi yang lain, suatu perpu yang telah ditetapkan menjadi undang-undang,

maka pengujian tersebut telah kehilangan objek karena perpu yang telah disahkan

itu hakikatnya telah tidak ada. Menjadi aneh ketika Mahkamah Konstitusi

339

meninjau sesuatu yang telah tidak ada, dan bukan merupakan objek permohonan

yang dimohonkan. Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2013 ini mirip dengan Putusan

Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang juga meninjau Perpu Nomor 1 Tahun 2020,

padahal perpu tersebut telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2020, yang undang-undang tersebut menjadi objek yang diajukan permohonan

kepada Mahkamah Konstitusi. Sedangkan pada Putusan Nomor 118-119-125-126-

127-129-130-135/PUU-XII/2014, memang produk hukum yang diajukan adalah

perpu, namun perpu yang dimohonkan tersebut telah ditetapkan menjadi undang-

undang. Konklusi pada Putusan Mahkamah Konstitusi itupun menyebutkan

bahwa permohonan pemohon kehilangan objek sehingga amar putusannya adalah

tidak dapat diterima. Namun terhadap permohonan yang kehilangan objek

tersebut, Mahkamah Konstitusi tetap mempertimbangkan pokok permohonan

yang di antaranya juga berkaitan dengan hakikat perpu itu sendiri. Berbeda

dengan putusan yang lain, yang apabila pemohon kehilangan objek, maka pokok

permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

C. Problematika Pembentukan dan Materi Muatan Perpu

Berdasarkan analisis yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya

terhadap penetapan perpu oleh masing-masing presiden pasca reformasi, maka

pada bagian ini akan ditarik permasalahan-permasalahan yang ada. Berdasarkan

pemasalahan yang terjadi tersebut, akan dirumuskan gagasan dalam kerangka ius

constituendum mengenai pengendalian penetapan perpu oleh presiden di masa

yang akan datang dalam bingkai konstitusi.

340

Pertama, perpu menganulir asas dan prinsip hukum tertentu yang berlaku

umum. Uraian analisis di atas telah menggambarkan bahwa beberapa perpu yang

ditetapkan oleh presiden justru menabrak asas-asas hukum tertentu yang berlaku

umum. Perpu Nomor 1 Tahun 2002 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 telah

memberlakukan asas retroaktif (kebijakan berlaku surut) yang justru

berseberangan dengan semangat keadilan dan kepastian hukum. Demikian pula

dengan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 dan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang

memberikan kekebalan hukum bagi penyelenggara negara.

Penyimpangan terhadap asas-asas hukum dalam sebuah negara yang

berkomitmen untuk mencapai negara hukum, tentu merupakan masalah yang

serius. Hal ini karena kedudukan dan arti penting asas hukum itu sendiri, yang

meskipun tidak tertuang dalam hukum tertulis, namun seharusnya tetap dipegang

teguh dalam penyelenggaraan negara. Asas hukum merupakan akar dari setiap

aturan hukum. Asas hukum menurut Arief Sidharta, mempunyai sekurang-

kuranggnya 2 (dua) fungsi, yaitu sebagai norma kritis untuk menilai kualitas dari

aturan hukum yang seharusnya merupakan penjabaran dari nilai tersebut, serta

sebagai sarana bantu pada waktu menginterpretasi aturan yang bersangkutan,

yaitu untuk menetapkan ruang lingkup wilayah penerapan ketentuan undang-

undang yang bersangkutan.699

Menurut Paul Scholten,700

asas hukum merupakan

kaidah yang paling umum yang mempunyai muatan etik, yang dapat dirumuskan

699

B. Arief Sidharta, Asas, Kaidah, dan Sistem Hukum Dalam Praktek, dalam Yopi

Gunawan dan Kristian, Perkembangan... Op., Cit., hlm. 78 700

Ibid.

341

dalam tata hukum atau berada di luar tata hukum, yang mewujudkan kaidah

penilaian fundamental dalam suatu sistem hukum. Bruggink menyebut,701

...bahwa asas hukum berfungsi baik di dalam maupun di belakang sistem

hukum positif. Asas hukum itu dapat berfungsi demikian karena berisi

ukuran nilai. Sebagai kaidah penilaian, asas hukum itu mewujudkan

kaidah hukum tertinggi dari suatu sistem hukum positif. Itu sebabnya asas-

asas hukum itu adalah fondasi dari sistem tersebut... Demikian asas hukum

mengemban fungsi ganda: sebagai fondasi dari sistem hukum positif dan

sebagai batu-uji kritis terhadap sistem hukum positif..

van Eikema Hommes sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo

menyebutkan,702

asas hukum merupakan dasar-dasar umum atau petunjuk bagi

hukum yang berlaku, sehingga pembentukan hukum praktis perlu berorientasi

pada asas-asas hukum tersebut. Asas hukum merupakan dasar atau petunjuk arah

dalam pembentukan hukum positif. Asas hukum diposisikan sebagai latar

belakang peraturan konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem

hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.

Asas hukum pada akhirnya memberikan dimensi etis pada hukum itu sendiri.703

Penyimpangan terhadap asas hukum, termasuk dalam materi muatan perpu,

dengan demikian akan mereduksi dimensi etis perpu tersebut, yang ini tentu tidak

lazim dalam sebuah negara hukum.

Kedua, perpu menjadi instrumen hukum untuk menghindari proses

legislasi yang panjang di parlemen. Perpu dapat ditetapkan kapan saja oleh

presiden tanpa harus minta persetujuan dari siapapun, dan seketika itu pula secara

701

J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, dalam Lukman Hakim, “Kerangka Politik

Hukum Indonesia” dalam Membangun Negara Hukum yang Bermartabat, Cetakan Pertama,

Setara Press, Malang, 2013, hlm. 194-195 702

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Cetakan Keenam,

Liberty, Yogyakarta, 2009, hlm. 5 703

Ibid., hlm. 8

342

sah telah berlaku dengan segala konsekuensi hukumnya. Bahkan ketika perpu

diajukan ke DPR untuk dimintai persetujuan, prosedur pembahasannya tidak

panjang, karena sidang DPR atas perpu tersebut hanya sebatas menerima atau

menolak tanpa membahas materi muatannya. Selain lebih cepat, maka presiden

akan terhindari dari perselisihan dan ketidaksepahaman dengan DPR. Susi Dwi

Harijanti mengistilahkan keadaan ini sebagai constitutional amputation terhadap

prosedur dan substansi demokrasi dalam pembentukan undang-undang.704

Bahwa

dalam sebuah negara demokrasi, kewenangan membentuk produk undang-undang

adalah lembaga legislatif yang merupakan manifestasi kedaulatan rakyat. Proses

pembentukannya juga harus melalui pembahasan substansial untuk

mengakomodasi aspirasi rakyat. Namun keduanya disimpangi oleh instrumen

hukum berupa perpu, yang kedudukannya setara dengan undang-undang.

Apabila merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi, memang benar

bahwa instrumen perpu diharapkan mempersingkat proses legislasi, karena proses

yang normal dimulai dari tahap pengajuan rancangan undang-undang kepada

DPR, sampai dengan pengundangan memerlukan waktu yang cukup lama karena

akan terbentur dengan mekanisme administratif yang formal-prosedural. Namun

untuk itu harus dipenuhi terlebih dahulu syarat yang lain, yaitu adanya kebutuhan

yang mendesak sekaligus adanya kekosongan hukum atau hukum yang ada tidak

memadai. Praktiknya, tidak adanya permasalahan yang mendesak juga tidak

adanya kekosongan hukum, sering kali perpu tetap digunakan untuk menghindari

proses legislasi yang panjang melalui parlemen. Seluruh perpu yang telah

704

Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Peraturan... Op., Cit., hlm. 236

343

dianalisis di atas menunjukkan tidak adanya kegentingan yang memaksa, yang ini

akan diulas lebih lanjut pada bagian lain dalam penelitian ini.

Sebagai sebuah perbandingan, penetapan perpu di negara lain dalam

rangka menghindari prosedur legislasi ini memang banyak terjadi. Kecenderungan

penetapan perpu lebih banyak dan lebih meningkat dalam hal terjadi fenomena

divided government.705

Hal tersebut terjadi misalnya di Peru, ketika pemerintahan

di bawah presiden Fernando Belaunde dalam rentang waktu 1980-1985, terdapat

667 perpu yang dibentuk, dan 575 perpu dibentuk dalam waktu 2 tahun kekuasaan

Alberto Fujimori.706

Hal serupa juga terjadi di Brazil, berdasarkan data yang

dihimpun oleh Gabriel L. Negretto, dalam periode 1988-1998, penerbitan perpu

oleh 5 Presiden Brazil yaitu Jose Sarney, Fernando Collor de Mello, Itamar

Franco, dan Fernando Henrique Cardoso I mencapai 3415 Perpu.707

Di bawah

pemerintahan Fernando Collor de Mello, tidak kurang dari 36 perpu yang

dibentuk pada 15 hari pertama menjabat, dan kurang lebih 160 perpu sepanjang

tahun 1990. Tindakan Mello mengeluarkan perpu ini karena memang

menginginkan menjalankan pemerintahannya dengan menghindar dari proses di

lembaga legislatif, karena merasa kekuasaan yang diberikan oleh konstitusi telah

cukup untuk memerintah tanpa dukungan lembaga legislatif, serta menganggap

705

Menurut Fitra Arsil, divided government merupakan keadaan instabilitas dalam sistem

presidensial yang dapat terjadi ketika partai presiden tidak mayoritas di parlemen dan presiden

gagal membentuk koalisi mayoritas yang kohesif. Lihat dalam Fitra Arsil, Menggagas... Op., Cit.,

hlm. 7 706

Gregory Schmidt “Presidential Usurpation of Congressional Preference. The Evolution

of Executive Decree in Peru” dalam Ibid. 707

Gabriel L. Negretto “Government Capacities and Policy Making by Decree in Latin

America: The Cases of Brazil and Argentina” dalam Ibid.

344

bahwa membangun dukungan di lembaga legislatif hanya akan membatasi

otonominya dalam membuat kebijakan.708

Kondisi di atas, menurut Carlos Periera, Timothy J. Power, dan Lucio

Renno709

merupakan bentuk wujud dari teori unilateralisme dalam pembentukan

perpu. Bahwa tindakan presiden menerbitkan perpu dilakukan dengan tujuan

membuat kebijakan namun menghindar dari proses pembahasan di parlemen. Hal

ini lebih sering terjadi ketika presiden mendapat dukungan minoritas di parlemen.

Jadi semakin rendah dukungan parlemen terhadap presiden, semakin meningkat

perpu yang akan ditetapkan oleh presiden.

Apabila dikontekstualisasikan ke dalam fakta penetapan perpu di

Indonesia, analisis yang dituangkan oleh Fitra Arsil di atas juga tampak adanya

kemiripan. Pasca reformasi yang memberikan peluang besar bagi banyak partai

politik untuk duduk di parlemen yang tidak semuanya berada pada kubu yang

sama dengan presiden, pembentukan perpu relatif lebih tinggi. Telah disebutkan

di atas, Presiden B.J. Habibie yang mempunyai masa jabatan cukup singkat, yaitu

512 hari atau kurang lebih 17 bulan antara 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999,

telah menetapkan 3 (tiga) buah perpu. Abdurrahman Wahid menjadi presiden

dengan waktu sedikit lebih lama dari Habibie (20 Oktober 1999 sampai dengan 23

Juli 2001), juga telah menetapkan 3 (tiga) buah perpu. Megawati Soekarnoputri

(23 Juli 2001 sampai dengan 20 Oktober 2004) telah menetapkan sebanyak 4

(empat) buah perpu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 (sepuluh)

708

Ibid... hlm. 7-8 709

Carlos Periera, Timothy J. Power, dan Lucio Renno, “Under What Condition Do

Presidents Resort to Decree Power? Theory and Evidence from the Brazilian Case” dalam Ibid.

345

tahun menjadi presiden sejak tahun 2004 hingga 2014, telah menetapkan 19

(sembilan belas) buah perpu. Hingga penelitian ini ditulis, Presiden Joko Widodo

yang telah menjabat selama 7 (tujuh) tahun, telah menetapkan sebanyak 6 (enam)

buah perpu.

Jumlah perpu yang ditetapkan terbilang cukup tinggi, terlebih

dibandingkan dengan jumlah perpu yang ditetapkan oleh Soeharto dengan hanya 8

buah perpu selama 32 tahun atau 7 periode berkuasa, dengan kekuasaan yang

otoriter. instrumen perpu memang tidak terlalu dibutuhkan, karena penguasa

sumber daya politik utama dan terbesar berada pada tangan presiden. Inilah yang

terjadi pada rezim orde baru di bawah kepemimpinan diktator Soeharto itu. Baik

menurut konstitusi maupun berdasarkan praktiknya, Soeharto memegang

kekuasaan terbesar, yang menurut Mahfud MD dikarenakan,710

pertama, presiden

adalah separuh dari anggota legislatif, sehingga kekuatan politik seorang presiden

sama dengan kekuatan politik seluruh anggota DPR. Kedua, Presiden Soeharto

merupakan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, yang merupakan fraksi terbesar

baik di DPR maupun di DPRD. Dalam struktur organisasi Partai Golkar, posisi

Dewan Pembina mempunyai kedudukan yang sangat menentukan sehingga

apapun yang datang dari Dewan Pembina akan mudah dicerna dan dijadikan

kebijakan Partai Golkar. Ketiga, presiden merupakan Panglima Tertinggi ABRI,

yang juga merupakan salah satu kekuatan politik dominan di Indonesia pada

waktu itu. Keempat, presiden menguasai anggaran negara. Kelima, presiden dapat

mengendalikan utusan daerah di MPR melalui Menteri Dalam Negeri. Pada

710

Moh. Mahfud MD, “Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokratisasi” artikel

dalam Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum... Op., Cit., hlm. 63-64

346

bagian terakhir ini, memang waktu itu konstitusi menghendaki agar presiden harus

bertanggung jawab kepada MPR, tetapi pada praktiknya, anggota-anggota MPR

itu direkrut dari kalangan eksekutif yang merupakan pembantu presiden, sehingga

menjadi sulit terjadi proses pertanggungjawaban dan penilaian secara fair atas

laporan presiden. Denny Indrayana menyebutkan,711

lembaga yudisial sekalipun

juga berada di bawah kontrol lembaga eksekutif (Soeharto) melalui birokrasinya,

dengan salah satu cirinya yaitu presiden mengangkat dan memberhentikan hakim

tanpa adanya persetujuan dari lembaga legislatif.

Dengan kekuasaan yang sedemikian besar, maka presiden menguasai

hampir seluruh spektrum politik, sehingga kunci akhir keputusan politik nasional

bukan bergantung pada DPR atau MPR, melainkan pada presiden. DPR atau MPR

hanya berfungsi sebagai “rubber stamp”, yaitu hanya melegitimasi dan membuat

justifikasi atas keinginan-keinginan politik presiden.712

Karena itu, instrumen

perpu tidak banyak digunakan. Prosedur legislasi biasa untuk membentuk suatu

undang-undang, telah berada di bawah kendali presiden yang sudah pasti

mendapatkan legitimasi di DPR.

Ketiga, perpu dibentuk bukan atas dasar kegentingan yang memaksa,

melainkan atas dasar ketergesaan presiden merespon permasalahan. Ketergesaan

presiden itu kemudian dituangkan dalam bentuk mempercepat pembentukan

peraturan yang setingkat undang-undang dengan memanfaatkan kewenangan

menetapkan perpu. Hal ini tentu menyimpangi original intent Pasal 22 UUD NRI

711

Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Cetakan

Kedua, Mizan, Bandung, 2007, hlm. 147 712

Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum... Loc., Cit.

347

1945 yang dimuat dalam rangka untuk mengatasi keadaan darurat negara. Perpu

dibentuk merespon permasalahan atas dasar ketergesaan presiden, namun justru

tidak menyelesaikan permasalahan yang ada, karena memang akar permasalahan

bukan terletak pada substansi hukum.

Analisis yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa hampir semua

perpu yang ditetapkan pasca reformasi tidak memenuhi kualifikasi kegentingan

yang memaksa. Tidak jarang bahkan perpu dibentuk, padahal sudah ada perangkat

aturan dalam bentuk undang-undang yang dapat digunakan untuk merespon

permasalahan yang ada. Perpu Nomor 2 Tahun 1998 yang dibentuk untuk

mengantisipasi tindakan melawan hukum dalam demonstrasi, padahal ikhwal

tindakan melawan hukum telah mempunyai dasar pengaturan yang lengkap. Perpu

Nomor 1 Tahun 1999 yang mengatur tentang pengadilan hak asasi manusia,

padahal Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 telah secara jelas

mengamanatkan pembentukan pengadilan hak asasi manusia, yang sebelum

terbentuk, kewenangan itu diberikan kepada pengadilan yang berwenang. Perpu

Nomor 1 Tahun 2002 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 dengan dasar terorisme

sebagai extra ordinary crime yang membutuhkan peraturan setingkat undang-

undang namun peraturan dimaksud belum ada, padahal setelah dilakukan

pengujian oleh Mahkamah Konstitusi, terorisme terkhusus peledakan Bom Bali

adalah kejahatan biasa yang kejam, yang sudah ada aturannya. Perpu Nomor 1

Tahun 2004 yang hanya memuat ketentuan peralihan dan ketentuan penutup

(ketentuan transisional), Perpu Nomor 4 Tahun 2009 dan Perpu Nomor 1 Tahun

2015 dibentuk merespon pimpinan KPK aktif yang hanya 2 (dua) orang, padahal

348

KPK tetap berjalan dengan baik dalam melaksanakan fungsinya, Perpu Nomor 1

Tahun 2013 yang merespon tertangkapnya Akil Mochtar, padahal Mahkamah

Konstitusi tetap berjalan dengan baik, karena persoalan dimaksud adalah

persoalan individu, bukan institusi Mahkamah Konstitusi. Seluruh contoh-contoh

tersebut menunjukkan bahwa perpu dibentuk bukan atas dasar keadaan objektif

kegentingan yang memaksa, sehingga jauh dari apa yang diidealkan di dalam

Pasal 22 UUD NRI 1945. Perpu cenderung digunakan sebagai cara instan

presiden merespon permasalahan yang mendapat perhatian publik meskipun telah

mempunyai dasar pengaturan yang lengkap, dan meskipun penetapan perpu bukan

merupakan solusi atas permasalahan yang ada.

Keempat, materi muatan perpu menyalahi kaidah peraturan perundang-

undangan. Perpu merupakan produk hukum dalam bentuk peraturan yang

seharusnya memuat hal-hal umum dan abstrak. Dalam sejarahnya perpu justru

memuat hal yang bersifat konkret yang biasanya hal ini merupakan bentuk hukum

berupa keputusan. Hal ini dalam sejarahnya merupakan kritik Mahkamah

Konstitusi terhadap Perpu Nomor 2 Tahun 2002 sebagaimana telah ditetapkan

menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003. Hal itu

menurut Mahkamah Konstitusi tidak tepat dan tidak dapat dibenarkan untuk

dituangkan ke dalam bentuk produk hukum berupa undang-undang, melainkan

seharusnya merupakan material sphere pengadilan dalam menerapkan suatu

kaidah hukum umum dan abstrak. Menurut Mahkamah Konstitusi, hal itu

mencederai semangat pemisahan kekuasaan sebagaimana dianut oleh UUD NRI

1945 karena telah melakukan sesuatu yang merupakan ranah kekuasaan

349

kehakiman. Ini berarti bahwa penetapan perpu justru masuk pada ranah

kewenangan kekuasaan kehakiman.

Kelima, perpu menjadi alat politik (political instrument) bagi presiden

untuk memimpin dan mengendalikan legislatif. Padahal mengedepankan aspek

pencapaian tujuan politik dalam pembentukan hukum, maka syarat yang mendasar

dalam pembentukan dan isi hukum, seperti dalam hal ini adalah „legal

reasonableness‟ dan pembatasan-pembatasan tertentu, akan diterobos dan

dikesampingkan.713

Alih-alih mengatasi dan menyelesaikan hal ikhwal

kegentingan yang memaksa, penetapan perpu dalam sejarahnya pernah digunakan

oleh presiden sebagai alat politik untuk memimpin dan mengendalikan lembaga

legislatif dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Konsepsi yang dibangun oleh Argelina Cheibub Figuerido dan Fernando

Limongi berdasarkan hasil penelitiannya terhadap fenomena sistem pemerintahan

presidensial di Brazil sebagaimana dikutip oleh Fitra Arsil, dapat dijadikan

rujukan atas hal ini.714

Bahwa kondisi yang terjadi pada sistem parlementer juga

terjadi pada sistem presidensial, yaitu pengendalian eksekutif terhadap legislatif,

dalam bentuk inisiatif eksekutif membuat kebijakan dan legislatif tinggal

menerima atau menolak proposal kebijakan yang telah diajukan eksekutif.

Ternyata dalam sistem presidensial juga dapat terjadi hal yang sama, yaitu dengan

kekuasaan presiden di bidang legislatif menjadikan presiden sebagai pihak

pembuat insiatif kebijakan bahkan pengendali lembaga legislatif.

713

Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Peraturan... Op., Cit., hlm. 233 714

Argelina Cheibub Figuerido dan Fernando Limongi, “Presidential Power, Legislative

Organization, and Party Behavior in Brazil” dalam Fitra Arsil, Menggagas... Op., Cit., hlm. 9

350

Dalam konteks Indonesia, upaya presiden untuk mengendalikan dan

memimpin pembentukan suatu undang-undang melalui perpu ini dapat dilihat dari

pembentukan perpu yang justru menganulir suatu undang-undang atau rancangan

undang-undang yang baru saja disetujui bersama antara DPR dan Presiden.

Contoh atas hal ini misalnya Perpu Nomor 1 Tahun 2014. Perpu yang kualifikasi

kegentingan memaksanya cukup menimbulkan tanda tanya sebagaimana telah

diuraikan pada bagian sebelumnya, memang sarat dengan aspek politis karena

diterbitkan akibat konstelasi politik yang terjadi pada saat itu. Bahwa Koalisi

Merah Putih yang menguasai parlemen waktu itu, melalui proses legislasi

pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014, berhasil merubah desain

pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dari yang semula dipilih langsung oleh

rakyat, berubah menjadi dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Perpu Nomor 1 Tahun 2014 kemudian mengembalikan mekanisme

pemilihan langsung, yang ditetapkan hanya beberapa jam setelah Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2014 diundangkan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014

ditetapkan pada tanggal 30 September 2014 dan diundangkan pada tanggal 2

Oktober 2014, sedangkan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ditetapkan dan

diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014. Alasan utamanya yaitu untuk

mengakomodir hak rakyat atas penolakan terhadap Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2014, padahal seharusnya hal itu sudah diketahui dan dilakukan sejak

proses legislasi yaitu dalam tahap pembahasan dan persetujuan rancangan undang-

undang. Terlebih Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mensyaratkan

351

partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.715

Dilihat dari kondisi sosiologis, suara penolakan masyarakat yang disalurkan salah

satunya melalui demonstrasi, bahkan telah terjadi sejak rancangan undang-undang

tersebut belum ditetapkan.716

Dilihat dari aspek proses pembentukan peraturan perundang-undangan, hal

ini tentu sesuatu yang tidak lazim. Presiden dan DPR mempunyai posisi yang

sama dalam proses legislasi, sehingga baik DPR maupun presiden, sama-sama

mempunyai hak dan wewenang baik untuk menerima atau menolak suatu

rancangan undang-undang, termasuk dengan alasan untuk mengakomodasi

aspirasi rakyat. Hanya saja memang secara politis, prerogratif presiden untuk

menolak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentu akan berhadapan dengan

konfigurasi politik di parlemen yang pada saat itu dikuasai oleh Koalisi Merah

Putih. Maka presiden menggunakan hak penetapan perpu yang mencabut Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2014. Tidak heran apabila perpu ini ditetapkan sesaat

setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 diundangkan.

Dilihat dari aspek demokrasi, fakta di atas tentu merupakan permasalahan

yang serius. Terlepas dari sikap kita atas penilaian kinerja dan citra anggota DPR,

secara kelembagaan, DPR merupakan lembaga dan organ konstitusional yang

715

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan telah diatur

dalam bab tersendiri, yaitu Bab XI Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan 716

Lingkaran Survei Indonesia juga telah merilis hasil survei terakhirnya sebelum

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 ditetapkan yang menunjukkan bahwa mayoritas

responden mendorong presiden untuk menarik diri sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2014 yang pada saat itu masih dalam bentuk rancangan undang-undang, tidak ditetapkan menjadi

undang-undang. Lihat dalam Anonim, “Survei LSI: 74 Persen Publik Ingin Presiden SBY Tarik

RUU Pilkada” artikel dalam

https://nasional.kompas.com/read/2014/09/18/15145881/Survei.LSI.74.Persen.Publik.Ingin.Presid

en.SBY.Tarik.RUU.Pilkada, diakses pada tanggal 9 Agustus 2021

352

disebutkan langsung di dalam konstitusi dengan fungsi membentuk undang-

undang, dan fungsi sebagai pemegang daulat rakyat. Menghapus undang-undang

yang sudah disepakati bersama antara presiden dan DPR sebagai pemegang daulat

rakyat melalui perpu, merupakan bentuk perlawanan terhadap rakyat yang

diwakili oleh wakil-wakilnya di lembaga DPR. Presiden dalam hal ini tampak

hendak memimpin dan berada di atas legislatif dengan menjadikan wewenang

menetapkan perpu sebagai alatnya.

Dalam perspektif hukum tata negara darurat, terhadap suatu hal yang

sudah ada pengaturannya dalam suatu undang-undang, namun undang-undang

dimaksud tidak dapat dijalankan sehingga dinilai penting untuk menetapkan

perpu, setidaknya indikatornya adalah pertama, jika ketentuan tersebut dijalankan

justru keselamatan negara pada saat itu akan terancam. Kedua, ketentuan

dimaksud tidak cukup memberikan landasan hukum kepada pemerintah untuk

menjamin keselamatan negara.717

Faktanya, kedua tolok ukur ini tidak ada di

dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2014 yang menegasikan Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2014.

Keenam, persoalan konstitusionalitas. Selama ini, memang belum pernah

Mahkamah Konstitusi memutus perkara pengujian perpu yang menyatakan bahwa

suatu perpu bertentangan dengan konstitusi. Namun Mahkamah Konstitusi pernah

memutus undang-undang yang berasal dari perpu, sebagai undang-undang yang

bertentangan dengan konstitusi, yang ini berarti materi muatan perpu dimaksud

adalah inkonstitusional. Sekurang-kurangnya ada 2 (dua) putusan Mahkamah

717

Muchamad Ali Safa‟at, Perpu... Loc., Cit.

353

Konstitusi atas hal ini, yaitu Putusan Nomor 013/PUU-I/2003 yang menyatakan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 yang berasal dari Perpu Nomor 2 Tahun

2002 bertentangan dengan konstitusi, serta Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014

yang menyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 yang berasal dari Perpu

Nomor 1 Tahun 2013 bertentangan dengan konstitusi.

Dalam konsep stufenbau theory sebagaimana digagas oleh Hans Kelsen,718

peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih

tinggi. Sedangkan diketahui bahwa kedudukan perpu adalah sejajar dengan

undang-undang dan berada di bawah UUD NRI 1945. Hal ini disebutkan jelas di

dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan demikian, maka materi

muatan perpu tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Ketujuh, kekuasaan mutlak tanpa pengawasan dan problem objektifikasi

oleh DPR. Pasal 22 UUD NRI 1945 apabila merujuk pada konsepsi Cora Hoexter

sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie,719

memang dikategorikan sebagai

objective wording. Artinya, hak presiden untuk menentukan kapan dan dalam

keadaan seperti apa kondisi yang disebut sebagai hal ikhwal kegentingan

memaksa, tidak meniadakan hak DPR untuk mengontrol penetapan perpu.

Penentuan kegentingan memaksa, menurut Hoexter, tidak semata-mata tergantung

kepada kehendak subyektif presiden, namun tergantung pula kepada lembaga

718

Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan oleh Raisul

Muttaqien, Cetakan Kesepuluh, Nusa Media, Bandung, 2015, hlm. 179 719

Cora Hoexter, “Emergency Law” dalam Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm.

12-13

354

legislatif. Dalam hal DPR menyatakan persetujuannya, barulah perpu diakui

berlaku sebagai undang-undang. Sebaliknya, apabila DPR menolak, maka perpu

harus dicabut.

Hal yang harus menjadi perhatian yaitu kendatipun Pasal 22 UUD NRI

1945 dikualifikasikan sebagai objective wording, yaitu dari sudut pandang

kekuasaan presiden, hak untuk menetapkan perpu atas dasar penilaian presiden

sendiri yang bersifat sepihak terkait adanya hal ikhwal kegentingan yang

memaksa, dapat dikatakan bersifat subyektif. Perpu ketika ditetapkan oleh

presiden, penentuan adanya hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai

prasyarat dapat dikatakan semata-mata didasarkan atas penilaian yang bersifat

subyektif, yaitu hanya berdasarkan pada subyektivitas kekuasaan presiden sendiri.

Penilaian baru menjadi obyektif setelah hal itu dibenarkan oleh DPR.720

Persoalannya yaitu perpu yang masih berada di bawah subyektivitas presiden, dan

belum diobyektivikasi oleh DPR tersebut, tetap sah berlaku sebagai hukum positif

dengan kekuatan mengikatnya sama seperti undang-undang. Artinya, ada interval

waktu antara penetapan hingga masa persidangan DPR (baik untuk menerima atau

menolak), untuk memberlakukan subyektifitas presiden semata dalam suatu

perpu. Padahal, Pperpu meskipun masih bersifat sementara karena belum

diobyektivikasi tersebut, karena keberlakuannya, menimbulkan norma hukum

720

Ibid... hlm. 13

355

baru, dan sebagai norma hukum baru, akan dapat menimbulkan status hukum

baru, hubungan hukum baru, dan akibat hukum baru.721

Pasal 22 UUD NRI 1945 menurut Ni‟matul Huda memberikan ruang

pengujian perpu yang dilakukan oleh DPR melalui mekanisme political review.722

Ini merupakan bentuk objektifikasi perpu tersebut oleh DPR yang akan

menentukan apakah diterima untuk dijadikan undang-undang atau ditolak

kemudian dicabut. Namun proses objektifikasi oleh DPR ini juga masih

menyisakan banyak permasalahan. Objektifikasi di DPR ini tidak dilakukan

secara mendalam hingga pada materi muatan suatu perpu, karena DPR dalam

suatu rapat paripurna pembahasan perpu, hanya memberikan persetujuan atau

tidak memberikan persetujuan terhadap perpu, tanpa membahas materi

muatannya.723

DPR merupakan lembaga politik yang keputusannya lebih

mengedepankan rasionalitas politik daripada aspek hukum. Aspek

konstitusionalitas pada konteks ini tentu tidak menjadi ukuran utama atau

sekurang-kurangnya tidak menjadi ukuran satu-satunya dalam memberikan

persetujuan atau penolakan terhadap perpu. Rasionalitas politik cenderung akan

mengabaikan substansi dan rasionalitas konstitusi. Mahkamah Konstitusi juga

telah memperingatkan bahwa pengambilan keputusan di DPR mendasarkan pada

mekanisme politik yang berbasis pada mayoritas, sehingga suatu perpu yang

721

Achmad Edi Subiyanto, “Menguji Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang” artikel dalam Lex Jurnalica Volume 11, Nomor 1, April 2014, hlm. 9 722

Ni‟matul Huda, Pengujian... Op., Cit., hlm. 75 723

Lihat dalam Pasal 52 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

356

diterima secara musyawarah atau aklamasi sekalipun, belum bisa serta merta

dijamin konstitusionalitasnya, selain memang baik DPR maupun presiden tidak

diberikan wewenang untuk menyatakan suatu undang-undang bertentangan atau

tidak dengan UUD NRI 1945.724

Perpu Nomor 1 Tahun 2013 dan Perpu Nomor 2

Tahun 2002 sebagaimana telah disinggung di atas, adalah bukti bahwa meskipun

materi muatannya bertentangan dengan konstitusi, namun mendapat persetujuan

dari DPR.

Persetujuan atau penolakan terhadap perpu oleh DPR pada akhirnya akan

bergantung pada konfigurasi partai politik di parlemen. Apabila mayoritas partai

politik di parlemen adalah pendukung presiden, maka perpu cenderung akan

disetujui dan disahkan menjadi undang-undang. DPR pada konteks ini tentu

tampak hanya berfungsi sebagai “rubber stamp” yang memberikan legitimasi atas

perpu yang ditetapkan presiden. Di atas telah diberikan contoh bagaimana Perpu

Nomor 4 Tahun 2009 ditolak oleh DPR, dan Perpu Nomor 1 Tahun 2015 disetujui

menjadi undang-undang. Padahal kedua perpu tersebut mempunyai kesamaan,

baik dari aspek substansi maupun dari aspek permasahalan yang direspon, namun

keputusan politik DPR atas keduanya justru berbeda.

Persoalan lain pada aspek objektifikasi perpu oleh DPR adalah berkaitan

dengan waktu. Pasal 22 ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa perpu harus

mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Klausul

724

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-

2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

357

“persidangan yang berikut” seharusnya dimaknai sebagai batas maksimum, yaitu

bahwa perpu dibahas oleh DPR pada sidang pertama setelah perpu ditetapkan. Hal

ini karena berkaitan dengan sifat kesementaraan perpu sebagai undang-undang

darurat. Pada praktiknya, DPR dapat saja menunda atau mengulur-ulur waktu

untuk membahas perpu dengan berbagai macam alasan, padahal substansinya

dapat saja bertentangan dengan konstitusi, dan akibat hukum juga telah

ditimbulkan.

Persoalan terakhir dalam hal objektifikasi perpu adalah ikhwal ketegasan

DPR dalam persetujuan dan penolakan terhadap perpu. Persidangan berikut yang

dimaksudkan dalam Pasal 22 ayat (2) NRI 1945 seharusnya telah berisi keputusan

dan ketegasan apakah perpu akan diterima atau ditolak. Dalam hal perpu disetujui

oleh DPR, maka perpu ditetapkan menjadi undang-undang. Sedangkan apabila

perpu tidak disetujui, maka perpu harus dicabut untuk kemudian presiden

mengajukan rancangan undang-undang yang selain tentang pencabutan perpu,

juga berkaitan dengan pengaturan mengenai implikasi keberlakuan perpu terhadap

hak-hak warga negara. Akan tetapi pada praktiknya, terdapat perpu yang tidak

disetujui oleh DPR akan tetapi tetap diberlakukan yaitu Perpu Nomor 1 Tahun

1999. Demikian pula terdapat perpu yang tidak jelas apakah ditolak atau disetujui

oleh DPR sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, yaitu Perpu Nomor 4

Tahun 2009. DPR menilai perpu dimaksud ditolak, namun pemerintah menilai

perpu masih belum jelas ditolak sehingga masih digunakan sebagai dasar hukum.

Pada akhirnya, persoalan ini menunjukkan lemahnya daya ikat keputusan DPR

atas suatu perpu.

358

Saldi Isra menyebutkan,725

kedudukan perpu selalu menimbulkan

perdebatan, yang di antaranya disebabkan oleh proses politik di DPR yang kadang

menimbulkan kontroversi sehingga sangat diperlukan ketegasan dari DPR apakah

akan menyetuji atau menolak. Kadangkala pengesahan perpu di DPR menjadi

ajang tawar menawar pemerintah dengan DPR sehingga perdebatan dari substansi

hukum tidak penting. Demikian pula proses pengajuan rancangan undang-undang

baik rancangan undang-undang untuk pengesahan maupun pencabutan perpu

karena tidak disetujui, yang kadangkala berlangsung lama akibat dari dinamika di

DPR yang sangat tidak menentu.

Kedelapan, problematika pengujian perpu di Mahkamah Konstitusi.

Memang benar, penerapan nilai-nilai konstitusi terhadap pembentukan dan materi

muatan suatu undang-undang, termasuk dalam hal ini perpu, dapat dijamin secara

efektif apabila ada organ lain selain eksekutif dan legislatif yang diberikan mandat

konstitusional untuk menguji apakah suatu peraturan perundang-undangan telah

sesuai dengan konstitusi.726

Perpu yang menjadi domain subyektifitas eksekutif,

kemudian diobyektifikasi oleh legislatif dalam persidangan berikut yang ternyata

peran legislatif juga sarat dengan muatan politis mempunyai berbagai macam

problematikanya sebagaimana dijelaskan di atas. Peran yudikatif, dalam hal ini

Mahkamah Konstitusi memang sangat dibutuhkan. Hanya saja, cara-cara yang

725

Saldi Isra, dkk, “Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah

Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif)” Hasil Penelitian Kerjasama

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum

Universitas Andalas, Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2010,

hlm. 165 726

Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional

Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Cetakan Pertama, Pradnya Paramita,

Jakarta, 2006, hlm. 76

359

ditempuh harus dengan cara konstitusional, dan tidak menyimpang dari apa yang

sudah digariskan oleh konstitusi.

Praktik pengujian perpu oleh Mahkamah Konstitusi yang dilakukan saat

ini, menurut pendapat penulis telah menyimpang dari amanat konstitusi. Pasal

24C UUD NRI 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi

hanya sebatas menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus

sengketa perselisihan hasil pemilihan umum, memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi, dan memutus

pembubaran partai politik. Tidak ada klausul perpu di dalam Pasal 24C UU NRI

1945 tersebut. Menurut Hamdan Zoelva sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede

Palguna, rumusan Pasal 24C ayat (1) yang mengatur mengenai kewenangan

Mahkamah Konstitusi, merupakan rumusan yang limitatif, sehingga secara

formal, tidak mungkin memberikan tambahan kewenangan kepada Mahkamah

Konstitusi tanpa terlebih dahulu melakukan perubahan terhadap UUD NRI

1945.727

Namun dengan kewenangan konstitusionalnya dalam menafsirkan

konstitusi, Mahkamah Konstitusi kemudian memperluas kewenangan yang juga

termasuk menguji perpu sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 138/PUU-

VII/2009, melampaui apa yang telah ditetapkan konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi di atas secara akademis akan memunculkan

perdebatan antara kepastian hukum yang bertumpu pada tekstual atau progresifitas

Mahkamah Konstitusi yang bertumpu pada kontekstual; antara terobosan hukum

untuk menjaga orisinalitas konstitusi atau justru terabasan hukum karena

727

I Dewa Gede Palguna, Pengaduan... Op., Cit., hlm. 593-594

360

melakukan rule breaking; serta antara judicial restraint atau judicial activism.

Namun hal yang harus diperhatikan, Satyabrata Sinha menjelaskan, judicial

activism terkadang merupakan manifestasi dari judicial creativity, karena mampu

menemukan keadilan yang terpasung di dalam bunyi pasal-pasal dalam suatu

perundang-undangan, namun di sisi lain, judicial activism justru menampakkan

dirinya sebagai judicial terrorism karena putusan yang dihasilkan justru jauh dari

apa yang diharapkan.728

Terhadap perluasan kewenangan Mahkamah Konstitusi

dalam menguji perpu melalui putusannya dengan tujuan menjaga orisinalitas

konstitusi tersebut, menurut pendapat penulis justru mencederai dan menyayat

konstitusi itu sendiri. Alfred M. Scott sebabagaimana dikutip oleh Bagir Manan

menyebutkan,729

hakim yang menyimpang dan menolak mengikuti hukum yang ada, dan

melakukan improvisasi serta menetapkan hukum menurut kemauannya

sendiri adalah perampasan kekuasaan yang secara hukum bukan

kekuasaannya, dia adalah seorang tirani yang menjalankan kediktatoran

yudisial, dan sadar atau tidak (hakim tersebut) mengubah tatanan

bernegara dari pemerintahan berdasarkan hukum menjadi pemerintahan

oleh orang perorangan dan pemerintahan oleh orang perorangan sama

dengan kediktatoran.

Hal senada dikatakan oleh Franklin D. Roosevelt, ketika Hakim Agung

Amerika Serikat melampaui kewenangannya dan tampak mengambil hak lembaga

legislatif sebagai cabang kekuasaan yang berwenang merubah konstitusi.

The court has improperly set itself up as a third house of the Congress a

super legislature,...reading into the Constitution words and implications

which are not there, and which were never intendeed to be there... We

must take action to save the Constitution from the Court and the Court

728

Saldi Isra, dkk., Perkembangan... Op., Cit., hlm. 10 729

Alfred M. Scott, Supreme Court v Constitution dalam Bagir Manan, “Judicial

Precedent dan Stare Decicis (Sebagai Pengenalan)” artikel dalam Varia Peradilan Vol. 30, Edisi

Nomor 347, Oktober 2014, hlm. 17

361

from itself...We want a Supreme Court which will do justice under the

Constitution and not over it (Pengadilan...telah secara salah menempatkan

dirinya sendiri sebagai kamar ketiga dari Congress-sebuah legislatif super,

.. menyebutkan kata dan implikasinya yang sebenarnya tidak terdapat

dalam konstitusi, dan memang tidak pernah dimaksudkan untuk berada di

dalam konstitusi... Kita harus mengambil langkah-langkah untuk

menyelamatkan konstitusi dari pengadilan, dan menyelamatkan pengadilan

dari dirinya sendiri... Kita ingin agar Mahkamah Agung menjalankan

keadilan di bawah konstitusi, bukan diatasnya).730

Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperluas kewenangannya sendiri

itu pada praktiknya justru menunjukkan inkonsistensi dengan putusan Mahkamah

Konstitusi sebelumnya. Dalam Putusan Nomor 004/PUU-I/2003, Mahkamah

Konstitusi telah menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 24C merupakan dasar

kompetensi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus

perkara yang diajukan kepadanya, dengan sifatnya yang limitatif dalam arti hanya

apa yang disebut di dalam pasal itulah yang menjadi kewenangan Mahkamah

Konstitusi. Kewenangan itu tidak dapat ditambah atau dikurangi kecuali dengan

cara merubah UUD NRI 1945 melalui prosedur sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 37 UUD NRI 1945.731

Pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian

dijadikan pertimbangan kembali dalam Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014.

Selain merujuk pada Putusan Nomor 004/PUU-I/2003, Putusan Nomor 1-2/PUU-

XII/2014 bahkan juga mempertegas yang kemudian dirujuk kembali oleh Putusan

Nomor 97/PUU-XI/2013,

Selain itu, dalam rangka menjaga sistem ketatanegaraan yang menyangkut

hubungan antar lembaga negara yang diatur oleh UUD 1945 sebagai

hukum tertinggi, Mahkamah harus menggunakan pendekatan yang rigid

730

Munir Fuady, Teori... Op., Cit., hlm. 15 731

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor

004/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung.

362

sejauh UUD 1945 telah mengatur secara jelas kewenangan atributif

masing-masing lembaga tersebut. Dalam hal Mahkamah tepaksa harus

melakukan penafsiran atas ketentuan yang mengatur sebuah lembaga

negara maka Mahkamah harus menerapkan penafsiran original intent,

tekstual, dan gramatikal yang komprehensif yang tidak boleh menyimpang

dari apa yang telah secara jelas tersurat dalam UUD 1945 termasuk juga

ketentuan tentang kewenangan lembaga negara yang ditetapkan oleh UUD

1945. Apabila Mahkamah tidak membatasi dirinya dengan penafsiran

secara rigid tetapi secara sangat bebas terhadap ketentuan yang mengatur

lembaga negara dalam UUD 1945, sama artinya Mahkamah telah

membiarkan pembentuk Undang-Undang untuk mengambil peran

pembentuk UUD 1945, dan akan menjadi sangat rawan terjadi

penyalahgunaan kekuasaan mana kala presiden didukung oleh kekuatan

mayoritas DPR, atau bahkan Mahkamah sendiri mengambil yang

mengambil alih fungsi pembentuk UUD 1945 untuk mengubah UUD 1945

melalui putusannya732

Dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi

menegaskan bahwa penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusi hanya

terhadap ketentuan yang menimbulkan multitafsir. Apabila memang diperlukan

untuk menafsirkan, karena memang Mahkamah Konstitusi diberikan otoritas

penafsir konstitusi, maka penafsiran tersebut harus diletakkan dalam kerangka

menjaga dan menegakkan UUD 1945 dengan tidak mengubah UUD 1945 itu

sendiri. Dalam pendapat tersebut, Mahkamah Konstitusi mencontohkan

penafsirannya atas kewenangan lembaga negara yaitu Putusan Nomor 92/PUU-

X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mengembalikan kewenangan

732

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor

97/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pertimbangan Hukum

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi

363

DPD sesuai UUD 1945; Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan

Wakil Presiden perihal calon presiden independen; Putusan Nomor 005/PUU-

IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang

Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman perihal kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim.

Apabila melihat Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi

dalam pertimbangan hukumnya juga dengan jelas mengatakan,733

setiap lembaga negara sudah seharusnya membatasi dirinya masing-

masing untuk tidak mengerjakan pekerjaan yang bukan menjadi tugas

pokoknya, kecuali apabila hal itu dimaksudkan hanya sebagai pendukung.

Uraian di atas menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi sendiri tidak

konsisten dengan cara pandangnya terhadap penafsiran konstitusi. Padahal

putusannya bersifat final dan mengikat yang tidak hanya bagi yang berperkara,

namun juga terhadap seluruh pihak, tidak terkecuali Mahkamah Konstitusi

sendiri.734

Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat itu haruslah

konsisten satu sama lain untuk menciptakan kepastian hukum dalam memberikan

pedoman bagi pencari keadilan. Lon Fuller dalam The Morality of Law

733

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor

005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi

Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman 734

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes, yaitu akibat hukum suatu putusan

tidak hanya mengikat bagi pihak yang berperkara, namun mengikat bagi semua pihak. Lihat dalam

Maruarar Siahaan, “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum Konstitusi”, artikel

dalam Jurnal Hukum Nomor 3, Volume 16, Juli 2009, hlm. 359. Menurut Jimly Asshiddiqie,

Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam konteks pengujian undang-undang, tidak bersifat

contentius atau adversarial yang berkenaan dengan pihak-pihak yang saling bertabrakan

kepentingan satu sama lain seperti dalam perkara perdata atau tata usaha negara, akan tetapi

menyangkut kepentingan kolektif semua orang dalam kehidupan bersama sebagai bangsa. Jimly

Asshiddiqie, “Pengantar” dalam Achmad Edi Subiyanto, Yurisprudensi Hukum Acara Dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi, Setara Press, Malang, 2014, hlm. ix

364

menyebutkan bahwa sistem hukum dalam sebuah negara hukum harus memenuhi

beberapa karakter, yaitu hukum harus ditaati oleh semua orang, termasuk oleh

penguasa negara; hukum harus dipublikasikan; hukum harus belaku ke depan,

bukan berlaku surut; kaidah hukum harus ditulis secara jelas, sehingga dapat

diketahui dan diterapkan secara tepat dan benar; hukum harus menghindari dari

kontradiksi-kotradiksi; hukum tidak boleh mewajibkan sesuatu yang tidak

mungkin dapat dipenuhi; hukum harus bersifat konstan sehingga dapat tercipta

kepastian hukum, meskipun tetap memungkinkan untuk diubah dalam rangka

mengakomodasi situasi politik dan sosial yang berubah; tindakan aparat penegak

hukum harus konsisten dengan dengan hukum yang berlaku.735

Putusan yang saling menegasikan satu sama lain dikhawatirkan akan

memunculkan paham sebagaimana disebutkan Achmad Ali, law makers should

not be lawbreakers (pembuat hukum, seharusnya tidak menjadi pelanggar

hukum).736

Dikontekskan dengan persoalan ini, Mahkamah Konstitusi sebagai

penjaga konstitusi, seharusnya tidak mencederai original intent konstitusi itu

sendiri, serta Mahkamah Konstitusi yang telah menetapkan putusan sebelumnya

sesuai dengan spiritnya, tidak dicederai dengan putusan yang dikeluarkan

setelahnya dengan spirit yang berbeda. Bagaimanapun, dalam logika perundang-

undangan, memang benar bahwa peraturan yang baru menegasikan peraturan

yang lama sesuai dengan kaidah lex posteriori derogat legi priori (hukum yang

baru mengesampingkan hukum yang lama), namun dalam logika peradilan,

735

Munir Fuady, Teori... Op., Cit., hlm. 9 736

Achmad Ali, Menguak... Op., Cit., hlm. 359

365

putusan yang lama menjadi pedoman atau bahkan yurisprudensi terhadap putusan-

putusan yang baru.

Pada akhirnya, putusan Mahkamah Konstitusi yang keluar dari apa yang

digariskan oleh konstitusi, dan menimbulkan persoalan konsistensi antar putusan

itu, memunculkan banyak respon kritik dari banyak kalangan. Padahal Putusan

Mahkamah Konstitusi yang terlalu sering dikritisi tentu dari aspek moralitas akan

menurunkan kewibawaannya termasuk kewibawaan lembaga peradilannya

(institusinya). Menurunnya kewibawaan Mahkamah Konstitusi sangat mungkin

akan menurunkan kepatuhan masyarakat sekaligus memunculkan resistensi

terhadap putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Justice Rose E. Bird, Ketua

Mahkamah Agung Negara Bagian California menyebutkan, “If our courts lose

their authority and their rulings are no longer respected, there will be no one left

to resolve the divisive issue that can rip the social facic apart. The court are a

safety wanve without which no democratic society can survise”.737

Terlepas ketidaksetujuan penulis atas perluasan kewenangan Mahkamah

Konstitusi untuk menguji perpu melalui putusannya tersebut, sepenuhnya penulis

sadari bahwa hal itu sama sekali tidak mempengaruhi keabsahan dan daya ikat

putusan tersebut. Asas hukum menegaskan res judicata proveri tate habetur,

setiap putusan hakim adalah sah dan mengikat, kecuali apabila dibatalkan oleh

putusan yang lebih tinggi.738

Dengan demikian, betapapun bentuk putusan

737

Ibid., hlm. 482 738

Ibid., hlm. 480. Sudikno Mertokusumo terkait dengan asas di atas menegaskan,

bahkan apabila diajukan saksi palsu dan hakim memutus suatu perkara berdasarkan saksi palsu

tersebut, maka jelas putusannya tidak berdasarkan kesaksian dan fakta yang sebenarnya, namun

putusan tersebut tetap harus dianggap benar, sampai memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau

366

pengadilan itu meragukan bahkan dipandang tidak adil sekalipun, ketaatan tetap

harus diutamakan, karena hal demikian yang merupakan esensi dan prasyarat

utama kesepakatan bernegara yang berdasarkan hukum.739

Pada konteks ini,

putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan berwenang menguji perpu harus

dipandang berlaku mengikat. Persoalan selanjutnya yaitu perihal kelemahan atau

implikasi dan problematika lanjutan yang dilahirkannya.

Salah satu alasan utama bagi Mahkamah Konstitusi untuk menguji perpu

adalah untuk menjamin bahwa tidak ada produk hukum termasuk perpu yang

bertentangan dengan konstitusi. Padahal perpu sejak ditetapkan telah mempunyai

akibat hukum. Dalam concuring opinionnya, Mahfud MD menegaskan bahwa

“tidak boleh satu detik pun ada peraturan perundang-undangan yang berpotensi

melanggar konstitusi tanpa bisa diluruskan atau diuji melalui pengujian

yudisial”.740

Hal yang perlu diingat, Mahkamah Konstitusi tidak bisa serta merta

melakukan pengujian terhadap perpu yang baru ditetapkan oleh presiden,

sebetapapun inkonstitusionalnya perpu dimaksud.

Mahkamah Konstitusi harus menunggu adanya permohonan pengujian

terlebih dahulu dari warga negara. Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan

sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017

diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi. Lihat dalam Sudikno Mertokusumo, Penemuan...

Op., Cit., hlm. 9 739

Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Cetakan Pertama, Genta

Publishing, Yogyakarta, 2014, hlm. 4 740

Lihat dalam Pendapat Berbeda (concuring opinion) Moh. Mahfud MD dalam Putusan

Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

367

sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor register perkara 9/PUU-

XVI/2018, namun karena pemohon menarik kembali permohonan, maka melalui

Ketetapan Nomor 9/PUU-XVI/2018, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa

perkara tersebut dinyatakan telah ditarik kembali, sekaligus para pemohon tidak

dapat mengajukan kembali permohonan tersebut. Mahkamah Konstitusi akhirnya

tidak bisa mengadili dan menguji konstitusionalitas perpu yang telah ditetapkan

dengan undang-undang tersebut. Perpu Nomor 1 Tahun 2013 juga diajukan untuk

diuji oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi pemohon kemudian menarik permohonan

pengujian, sehingga dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-

XI/2013 permohonan pengujian tidak dilanjutkan.

Kendatipun telah ada yang mengajukan permohonan kepada Mahkamah

Konstitusi, tidak serta merta Mahkamah Konstitusi dapat memeriksa materi

muatan perpu. Pengujian di Mahkamah Konstitusi menetapkan syarat yang cukup

ketat, yaitu tidak hanya sebatas menunjukkan adanya pertentangan antara undang-

undang dengan UUD NRI 1945, namun juga harus dapat menunjukkan kerugian

konstitusional pemohon.741

Mahkamah Konstitusi dalam hal ini memang

741

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 menjelaskan bahwa syarat-syarat kerugian konstitusional yang

dimaksud yaitu adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan UUD

NRI 1945; hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan

dengan berlakunya suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian; kerugian hak dan/atau

kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual setidak-tidaknya potensial

yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; adanya hubungan sebab akibat

antara kerugian dimaksud dengan undang-undang yang dilakukan pengujian; dan adanya

kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau

kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi. Mahkamah

Konstitusi sendiri mengakui bahwa syarat legal standing untuk mengajukan pengujian materiil itu

cukup ketat, sehingga syarat tersebut kemudian dikecualikan terhadap syarat legal standing dalam

pengajuan pengujian secara formil, yaitu pemohon mempunyai hubungan pertautan secara

langsung dengan undang-undang yang dimohonkan untuk uji formil. Pengecualian tersebut

dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi karena khawatir akan menyebabkan sama sekali tertutup

368

memadukan antara semangat melindungi orisinalitas konstitusi dengan

mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan di bawahnya, sekaligus

jaminan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara. Konsekuensinya,

kedua dasar tersebut harus tercermin dalam setiap permohonan. Dalam hal

pemohon tidak dapat membuktikan kerugian konstitusional, maka Mahkamah

Konstitusi akan menyatakan pemohon tidak mempunyai legal standing, yang

dengan demikian permohonan tidak diterima, dan pokok permohonan tidak lagi

diperhatikan. Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 yang menjadi landmark

decision inipun bahkan berakhir dengan permohonan tidak dapat diterima karena

pemohon dianggap tidak mempunyai legal standing.

Hal serupa juga terjadi pada Perpu Nomor 4 Tahun 2009. Mahfud MD

dalam concuring opinion juga menyoroti permasalahan ketidakjelasan penolakan

perpu tersebut. Meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit nomenklatur Perpu

Nomor 4 Tahun 2009, akan tetapi dalam uraiannya secara jelas dapat dibaca

bahwa Perpu Nomor 4 Tahun 2009 inilah yang dimaksud Mahfud MD dalam

pertimbangan angka 2 concuring opinionnya yang mendorong diberikannya

wewenang bagi Mahkamah Konstitusi untuk menguji perpu.742

Namun faktanya,

kemungkinannya bagi anggota masyarakat atau subyek hukum untuk mengajukan pengujian

secara formil. Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor

27/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung 742

Lihat dalam pendapat berbeda Moh. Mahfud MD dalam Putusan Nomor 138/PUU-

VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

369

ketika Perpu Nomor 4 Tahun 2009 diajukan ke Mahkamah Konstitusi, putusan

yang dikeluarkan adalah tidak dapat diterima karena terkendala legal standing.743

Selain permasalahan legal standing, pengujian perpu di Mahkamah

Konstitusi juga sering kali kehilangan objek. Hal ini karena perpu yang

dimohonkan untuk diuji, dalam proses pengujiannya oleh Mahkamah Konstitusi,

perpu dimaksud kemudian disetujui oleh DPR dan ditetapkan menjadi undang-

undang. Dengan demikian perpu tersebut oleh Mahkamah Konstitusi dianggap

sudah tidak ada lagi secara hukum. Karena telah kehilangan objek, maka

meskipun Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan dan pemohon

mempunyai legal standing, maka pokok permohonan pemohon tetap tidak

dipertimbangkan. Amar putusan yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi adalah

permohonan tidak dapat diterima. Perpu Nomor 1 Tahun 2013 yang pada akhirnya

dinyatakan inkonstitusional dan dibatalkan secara keseluruhan oleh Mahkamah

Konstitusi itu, juga sempat tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi dengan

Putusan Nomor 91/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 92/PUU-XI/2013, Putusan

Nomor 93/PUU-XI/2013, dan Putusan Nomor 94/PUU-XI/2013, karena Perpu

Nomor 1 Tahun 2013 telah disetujui oleh DPR menjadi undang-undang sehingga

permohonan kehilangan objek. Beruntungnya ketika telah ditetapkan menjadi

undang-undang, ada pihak yang mengajukan permohonan pengujian kembali ke

Mahkamah Konstitusi yang kemudian diputus dengan Putusan Nomor 1-2/2014-

XII/2014. Tidak bisa dibayangkan apabila ternyata setelah ditetapkan menjadi

undang-undang, Perpu Nomor 1 Tahun 2013 itu tidak ada yang mengajukan lagi

743

Lihat dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PUU-VII/2009 tentang

Pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

370

untuk diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Tujuan Mahkamah Konstitusi untuk

menjaga konstitusi dari penyimpangan perpu dengan cara merubah konstitusi

melalui tafsirnya itu, tentu akan sia-sia.

Praktik yang terjadi saat ini, pengujian perpu di Mahkamah Konstitusi

selalu kandas karena 2 (dua) hal di atas, yaitu permasalahan legal standing dan

kehilangan objek. Secara lebih lengkap sejarah pengujian perpu di Mahkamah

Konstitusi, akan disajikan dalam tabel berikut:

Nomor Putusan Objek Permohonan Amar Putusan Dasar

Pertimbangan

138/PUU-

VII/2009

Perpu Nomor 4 Tahun

2009 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi

Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Tidak dapat

diterima

Tidak memiliki

kedudukan

hukum

145/PUU-

VII/2009

Perpu Nomor 4 Tahun

2008 tentang Jaring

Pengaman Sistem

Keuangan

Tidak dapat

diterima

Tidak memiliki

kedudukan

hukum

91/PUU-XI/2013 Perpu Nomor 1 Tahun

2013 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah

Konstitusi

Tidak dapat

diterima

Permohonan

kehilangan

objek

92/PUU-XI/2013

93/PUU-XI/2013

94/PUU-XI/2013

118-119-125- Perpu Nomor 1 Tahun Tidak dapat Permohonan

371

126-127-129-

130-135/PUU-

XII/2014

2014 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan

Walikota, dan Perpu

Nomor 2 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah

diterima kehilangan

objek

128/PUU-

XII/2014

Perpu Nomor 1 Tahun

2014 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan

Walikota

Gugur

Pemohon tidak

bersungguh-

sungguh

38/PUU-

XV/2017

Perpu Nomor 2 Tahun

2017 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2013

tentang Organisasi

Kemasyarakatan

Tidak dapat

diterima

Permohonan

kehilangan

objek

39/PUU-

XV/2017

41/PUU-

XV/2017

48/PUU-

XV/2017

49/PUU-

XV/2017

50/PUU-

XV/2017

Perpu Nomor 2 Tahun

2017 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2013

tentang Organisasi

Kemasyarakatan

Mengabulkan

pencabutan

permohonan

oleh pemohon

Permohonan

kehilangan

objek

52/PUU-

XV/2017

Perpu Nomor 2 Tahun

2017 tentang Perubahan

Tidak dapat

diterima

Permohonan

kehilangan

372

58/PUU-

XV/2017

Atas Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2013

tentang Organisasi

Kemasyarakatan

objek

23/PUU-

XVIII/2020

Perpu Nomor 1 Tahun

2020 tentang Kebijakan

Keuangan Negara dan

Stabilitas Sistem

Keuangan untuk

Penanganan Pandemi

Corona Virus Desease

2019 (Covid-19) dan/atau

Dalam Rangka

Menghadapi Ancaman

yang Membahayakan

Perekonomian Nasional

dan/atau Stabilitas Sistem

Keuangan

Tidak dapat

diterima

Permohonan

kehilangan

objek 24/PUU-

XVIII/2020

44/PUU-

XVIII/2020

Perpu Nomor 2 Tahun

2020 tentang Perubahan

Ketiga Atas Undang-

Undang Nomor 1 Tahun

2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun

2014 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan

Walikota menjadi

Undang-Undang

Mengabulkan

pencabutan

permohonan

oleh pemohon

Permohonan

kehilangan

objek

373

Permasalahan paling serius dalam konteks pengujian perpu di Mahkamah

Konstitusi ini adalah kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam

konteks permasalahan pengabaian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ini,

setidaknya terbagi ke dalam 2 (dua) garis besar, yaitu perpu yang memang secara

materi muatan bertentangan dengan salah satu putusan Mahkamah Konstitusi,

serta perpu yang memang dalam pembentukannya tidak memenuhi rambu-rambu

dan kriteria kegentingan memaksa yang telah ditetapkan oleh Mahkamah

Konstitusi. Terhadap permasalahan yang pertama, dapat diambil contoh yaitu

Perpu Nomor 1 Tahun 2014 dan Perpu Nomor 1 Tahun 2013.

Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tersebut yaitu berkaitan dengan upaya untuk

menjamin pemilihan kepala daerah secara demokratis sesuai amanat Pasal 18 ayat

(4) UUD NRI 1945 yang diterjemahkan sebagai pemilihan secara langsung oleh

rakyat. Tafsir yang demikian menunjukkan kerancuan pemahaman mengenai

demokrasi dan kedaulatan rakyat. Konsekuensinya, makna demokrasi dan

kedaulatan rakyat, serta amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 tereduksi.

Sebagai batu ujinya, Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi (the sole

interpreter of constitution) sebelumnya telah menegaskan dalam beberapa

putusannya, yaitu Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 dan Putusan Nomor 072-

073/PUU-II/2004 bahwa frasa “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4)

dapat dimaknai ke dalam bentuk pemilihan secara langsung oleh rakyat maupun

pemilihan secara tidak langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan kondisi di setiap daerah

yang bersangkutan. Maka penentuan bentuk pemilihan kepala daerah

374

dikualifikasikan sebagai open legal policy.744

Namun substansi Perpu Nomor 1

Tahun 2014, semacam memberikan batasan pemaknaan, bahwa pemilihan secara

demokratis adalah pemilihan langsung oleh rakyat. Ini sekaligus memberikan

gambaran bahwa pada dasarnya, substansi Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tersebut

mereduksi makna Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, sekaligus menentang putusan

Mahkamah Konstitusi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Adapun Perpu Nomor 1 Tahun 2013 yang memperluas kewenangan

Komisi Yudisial merupakan bentuk perlawanan terhadap Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang telah menegaskan bahwa Komisi

Yudisial tidak ada sangkut pautnya dengan hakim pada Mahkamah Konstitusi.

Hakim Konstitusi tidak terkait dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 24B

UUD 1945. Karena itu Mahkamah Konstitusi memandang itu adalah

penyelundupan hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-

I/2003 memutuskan suatu undang-undang yang dibuat berdasarkan stigma yaitu

larangan bagi seorang warga negara untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, dan

DPRD Provinsi/Kabupaten Kota yang terlibat tidak langsung dalam peristiwa

G30S/PKI. Pada pertimbangannya melarang untuk melakukan hukuman politik

berdasarkan stigma, dan harus mendasarkan pada putusan pengadilan yang

mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Putusan tersebut, menurut Mahkamah

Konstitusi, harusnya juga berlaku pada kasus Pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun

744

Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

375

2013 yang merespon penangkapan Akil Mochtar ini, yaitu tidak membuat aturan

baik kepada anggota parpol, anggota DPR, maupun kelompok atau golongan

masyarakat lainnya untuk mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi hakim

konstitusi.745

Kalimat Mahkamah Konstitusi tersebut juga menginsinuasikan

bahwa pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tidak memperhatikan amanat

putusan Mahkamah Konstitusi.

Permasalahan kedua dalam konteks pengabaian terhadap putusan

Mahkamah Konstitusi ini adalah penetapan perpu yang tidak mematuhi kriteria

kegentingan memaksa sebagaimana ditetapkan putusan Mahkamah Konstitusi.

Analisis yang telah diuraikan sebelumnya dengan jelas menunjukkan bahwa perpu

yang ditetapkan pasca Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 juga tidak memenuhi

kriteria kegentingan yang memaksa. Apabila ditinjau lebih mendalam, hal ini

tentu menjadi masalah yang serius. Perpu yang melawan Putusan Mahkamah

Konstitusi padahal putusan tersebut merupakan tafsir konstitusional atas

konstitusi, maka dapat dikatakan presiden telah melawan konstitusi.746

Demikian

pula, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa 3 kriteria itu adalah syarat

745

Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-

2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 746

Putusan Mahkamah Konstitusi menurut penulis tidak bisa didudukkan sejajar dengan

undang-undang atau perpu, namun harus dimaknai sebagai bagian dari konstitusi, yang

kedudukannya di atas undang-undang atau perpu. Hal ini karena isi putusan Mahkamah Konstitusi

adalah tafsir yang secara resmi dan konstitusional atas konstitusi itu sendiri. Karena itu, menurut

pendapat penulis, tafsir konstitusi ini hampir mirip dengan penjelasan atas konstitusi, karena tidak

mungkin tafsir akan lebih tinggi dan lebih diutamakan daripada teks yang ditafsirkan. Hanya saja

yang pasti dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi tidak bisa disejajarkan dengan undang-

undang. Sejalan dengan pendapat Yusril Ihza Mahendra, bahwa apabila ada yang berdalih Putusan

Mahkamah Konstitusi setara dengan undang-undang, maka DPR dan presiden juga akan bisa

mencabut putusan Mahkamah Konstitusi. Lihat dalam Nur Rohim, “Kontroversi Pembentukan

Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi Dalam Ranah Kegentingan yang

Memaksa” artikel dalam Jurnal Cita Hukum, Vol. II, No. 1, Juni 2014, hlm. 130

376

konstitusionalitas dan sumber wewenang. Artinya, apabila syarat itu tidak

terpenuhi, dapatlah diartikan bahwa perpu itu tidak konstitusional dan suatu perpu

dibentuk tidak atas dasar kewenangan. Karenanya, perpu dimaksud seharusnya

tidak dapat dianggap sah berlaku.747

Hal yang belum pernah terjadi, namun juga sangat potensial untuk terjadi

yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi akhirnya dapat saja tidak bersifat final. DPR

dan presiden dapat saja merasa tidak terikat dengan putusan Mahkamah Konstitusi

itu. Bukan sesuatu yang tidak mungkin DPR dan Presiden tetap membahas perpu

dengan dalih bahwa otoritas yang berwenang untuk menyetuji atau menolak suatu

perpu, berdasarkan bunyi konstitusi adalah DPR, dalam artian DPR merasa

kewenangan dan kewajibannya diamanatkan langsung oleh konstitusi. Dengan

kewenangan yang jelas disebutkan dalam konstitusi sedangkan Mahkamah

Konstitusi tidak diamanatkan langsung oleh konstitusi, maka dapat saja DPR

mempunyai kesimpulan yang justru berbeda dengan perspektif Mahkamah

Konstitusi.748

Sedangkan apabila ternyata Mahkamah Konstitusi memutus bahwa

suatu perpu dibatalkan karena bertentangan dengan konstitusi, kemudian DPR

mematuhi putusan tersebut, maka secara otomatis DPR akan kehilangan

kewenangannya untuk memberikan persetujuan terhadap perpu. DPR tentu tidak

bisa menggunakan haknya yang diberikan oleh konstitusi itu karena telah

didahului Mahkamah Konstitusi.749

747

Ibnu Sina Chandranegara, “Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan

Konstitusional Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK No.138/PUU-VII/2009” artikel

dalam Jurnal Yudisial, Vol. 5, No. 1, April 2012, hlm. 12 748

Ibid. 749

Nur Rohim, Kontroversi... Op., Cit., hlm. 130

377

Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa instrumen perpu menjadikan

presiden mempunyai kekuasaan mutlak yang mengatasi lembaga legislatif,

lembaga eksekutif, bahkan konstitusi itu sendiri. Apabila uraian sebelumnya

menunjukkan presiden memposisikan diri di atas lembaga legislatif melalui

penyimpangan prosedur legislasi dan menggunakan perpu sebagai alat politik,

maka permasalahan yang terakhir menunjukkan, presiden justru memposisikan

diri di atas lembaga yudikatif dengan juga menggunakan pranata hukum perpu.

D. Politik Hukum Penetapan dan Materi Muatan Perpu Berdasarkan

Negara Hukum dan Demokrasi

Uraian-uraian sebelumnya menunjukkan bahwa penetapan perpu oleh

presiden mengandung banyak permasalahan. Kendaitpun demikian, pemberian

kewenangan untuk menetapkan perpu dalam sebuah negara hukum yang

demokratis tetap penting dan diperlukan. Hal ini karena dalam negara hukum

yang demokratis, pemerintah akan selalu diberikan batasan-batasan agar tidak

merugikan hak konstitusional warga negara. Namun di sisi yang lain, negara

manapun tidak akan selalu berjalan dengan normal dan baik-baik saja. Ke depan,

Bruce Ackerman memprediksi, serangan-serangan teroris akan sering terjadi

dengan konsekuensi berbagai macam bentuk kehancuran yang tidak akan terduga

sebelumnya.750

Hal serupa juga dikatakan oleh Richard Posner sebagai berikut,

750

Fokus bahasan Bruce Ackerman ini memang menekankan pada aspek terorisme

sebagai keadaan darurat negara, karena objek kajiannya pada peristiwa peledakan Bom 11

September 2001 di Amerika Serikat, yang ke depan, aksi terorisme itu juga diprediksi akan sering

terjadi. Bruce Ackerman, “The Emergency Constitution” artikel dalam The Yale Law Journal, Vol.

113, 2004, hlm. 1029

378

Now, in the early years of the twenty first century, the nation faces the

intertwined menaces of global terrorism and proliferation of weapons of

mass destruction. A city can be destroyed by an atomic bomb the size of a

melon, which if coated with lead would be undetectable. Large stretches of

a city can be rendered uninhabitable, perhaps for decades, merely by the

explosion of a conventional bomb that has been coated with radioactive

material. Smallpox virus bioengineered to make it even more toxic and

vaccines ineffectual, than aerosolized and sprayed in a major airport,

might kill millions of people.751

Alexander N. Domrin secara gamblang menyebutkan,752

“No country in the world, whatever its sociopolitical system or level of

economic development, is safe from periodically emerging critical

situations, tensions, contingencies, crises, conflicts, disturbances, unrest,

natural disasters and calamities, technological and ecological

catastrophes”.

Tidak ada negara di dunia, apapun sistem sosial politik atau tingkat

perkembangan ekonominya, yang aman dari situasi kritis yang muncul secara

berkala, ketegangan, kontinjensi, krisis, konflik, gangguan, kerusuhan, bencana

alam, bencana teknologi dan ekologi. Negara dalam keadaan tidak normal itu,

apabila tetap berpaku pada kerangka penyelenggaraan negara yang normal, justru

akan mengancam dan merugikan negara dan warganya. Seperti yang disebutkan

oleh Marshall, “history teaches that grave threats to liberty often come in times of

urgency, when constitutional rights seem too extravagant to endure”.753

Karena

itu, akan ada titik tertentu penyelenggaraan negara menyimpang dari keadaan

yang biasanya sehingga sistem norma hukum yang ada, yang memang dibentuk

dan diperuntukkan bagi keadaan yang normal, tidak dapat diharapkan efektif

untuk digunakan dalam rangka mencapai tujuan hukum berupa keadilan,

751

Richard A. Posner, Not a Suicide... Op., Cit., hlm. 2 752

Alexander N. Domrin, The Limits... Op., Cit., hlm. 1 753

Ibid.

379

kepastian, dan kemanfaatan.754

Kedaan tidak normal dan adanya kegentingan yang

memaksa sehingga dapat mengancam negara dan warganya, pada konteks

Indonesia sering kali terjadi. Agresi Militer II pada Desember 1948, presiden,

wakil presiden, sebagian besar menteri ditawan oleh tentara Belanda. Negara

berada pada ancaman yang besar, hingga presiden mengirimkan mandat kepada

Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintah Darurat

Republik Indonesia, dan beruntungnya Sjafruddin berhasil melaksanakan mandat

tersebut sehingga eksistensi pemerintah Indonesia tetap diakui.755

Selain peristiwa

ancaman dari negara lain, juga tidak sedikit peristiwa berupa bencana alam dan

peristiwa sosial dan politik dalam negeri yang juga sewaktu-waktu dapat muncul

tanpa diperhitungkan sebelumnya yang dapat mengancam keselamatan negara dan

warganya, atau sekurang-kurangnya mengganggu jalannya pemerintahan dan

melemahkan negara dalam pemenuhan hak asasi manusia.

Berdasarkan uraian di atas, perpu dengan demikian dibutuhkan karena

diharapkan menjadi instrumen hukum yang dikeluarkan untuk mengamankan rute

kembali ke keadaan normal dengan cara yang konstitusional.756

Perpu sebagai

instrumen hukum darurat seharusnya dibentuk untuk meyakinkan publik bahwa

keadaan luar biasa dengan segala ancamannya itu masih dapat dikendalikan oleh

pemerintah, sekaligus merupakan bentuk antisipasi yang efektif bagi pemerintah

untuk mencegah bahaya yang lebih besar yang ditimbulkan oleh peristiwa

754

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 2 755

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika... Op., Cit., hlm. 83 756

Andras Jakab, “German Constitutional Law and Doctrine on State of Emergency –

Paradigms and Dilemmas of a Traditional (Continental) Discourse” artikel dalam German Law

Journal Vol. 07, No. 5, 2005, hlm. 454

380

tesrsebut.757

Perpu karena itu, hakikatnya adalah untuk menyelamatkan atau

sekurang-kurangnya menghindari ancaman atas tereduksinya prinsip demokrasi,

cita negara hukum, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, bukan justru

sebaliknya. Bagir Manan memandang Perpu sebagai “the necessary evil”, yaitu

sesuatu yang semestinya dijauhi, tetapi terpaksa harus ditempuh sebagai upaya

membentuk hukum yang tidak semestinya.758

Thomas Jefferson pernah membuat surat untuk John B. Colvin pada 20

September 1810. Penggalan surat tersebut berbunyi sebagai berikut:759

A strict observance of the written laws is doubtless one of the high duties

of a good citizen, but it is not the highest. The law of necessity, of self-

preservation, of saving our country when in danger, are higher obligation.

To lose our country by a scrupulous adherence to written law, would be to

lose the law itself, with life, liberty, property and those who are enjoying

them with us; thus absurdly sacrifising the end to the means (kepatuhan

yang ketat terhadap hukum tertulis tidak diragukan lagi, merupakan salah

satu kewajiban yang penting bagi warga negara yang baik, tetapi bukan

merupakan yang terpenting. prinsip kebutuhan untuk menyelamatkan

negara dari ancaman bahaya mengandung nilai kewajiban yang lebih

tinggi. Kehilangan negara hanya karena keharusan tunduk pada aturan-

aturan tertulis yang kaku merupakan kehilangan akan hukum itu sendiri

bersama kehidupan, kebebasan, hak milik, dan mereka yang menikmatinya

bersama kita. Dengan kata lain, kita secara absurd mengorbankan tujuan

karena mementingkan cara.

Merujuk pada kalimat Jefferson di atas, dapat dimaknai bahwa

keselamatan negara dan warganya adalah tujuan, sedangkan penggunaan hukum,

termasuk tertib hukum, adalah caranya. Cara-cara yang normal harus ditetapkan

agar dalam proses mencapai tujuan, tidak melenceng dari cara yang tidak

757

Bruce Ackerman, The Emergency... Op., Cit., hlm. 1031 758

Fitra Arsil, Menggagas... Op., Cit., hlm. 3 759

William J. Quirk, “Pengantar” dalam Clinton Rossiter, Constitutional Dictatorship:

Crisis Government in the Modern Democracies, Princeton University Press, Princeton, 1948, hlm.

ix

381

dibenarkan yang justru menghalangi tercapainya tujuan. Sebaliknya, cara-cara

yang abnormal juga harus disediakan sebagai antisipasi apabila dalam proses

mencapai tujuan justru terjadi keadaan-keadaan yang secara tiba-tiba keluar dari

kebiasaan normal atau darurat. Tidak akan pernah ada keadilan apabila keadan

tidak normal justru diberlakukan hukum secara normal, demikian juga sebaliknya,

tidak akan tercipta keadilan apabila dalam keadaan normal justru diberlakukan

hukum darurat. Menjadi berbahaya apabila hukum positif suatu negara tidak

mengantisipasi keadaan darurat, karena akan memperlemah kemampuan negara

untuk bertindak sebagaimana mestinya dalam mencapai tujuan.760

Apabila itu

terjadi, menurut Jimly Asshiddiqie,761

setidaknya terdapat 2 (dua) kemungkinan

yang akan muncul sebagai “syndroma disfunctie” yaitu organ negara dan

pemerintahan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, atau penguasa negara

berubah menjadi tirani atau “dictator by accident” yang memanfaatkan keadaan

tidak biasa tersebut untuk kepentingannya sendiri atau untuk memperkokoh dan

melanggengkan kekuasaannya sendiri.

Dilihat dari perspektif konstitusi, Clinton Rossiter menegaskan,762

A

constitution which fails to provide for whatever emergency action may become

necessary to defend the state is simply defective (Sebuah konstitusi yang gagal

menyediakan tindakan darurat untuk mengantisipasi kejadian apapun yang

mungkin diperlukan untuk membela negara adalah cacat belaka). Bentuk

760

Ni‟matul Huda mengibaratkan negara sebagai alat dipersamakan dengan bahtera.

Maka negara adalah bahtera yang mengangkut para penumpangnya menuju ke pelabuhan

kesejahteraan. Lihat dalam Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, Edisi Pertama, Cetakan Keenam,

Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 53 761

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 4 762

Clinton Rossiter, Constitutional... Op., Cit., hlm. 301

382

kecacatan itu barangkali dapat dikorelasikan dengan pendapat Shylashri

Shankar,763

bahwa konstitusi yang tidak memuat ketentuan hukum darurat negara

akan berakibat pada runtuhnya semangat bernegara yang berdasarkan hukum dan

konstitusi, yang tentu akan menghasilkan negara kekuasaan tanpa hukum.

Konstitusi akan kehilangan maknanya karena tidak bisa menjawab kebutuhan

negara dan warganya terutama dalam keadaan darurat. Dalam bahasa Richard A.

Posner mengatakan,764

a constitution that will not bend will break. Fitra Arsil

memaknai kalimat Posner tersebut sebagai pentingnya kelenturan suatu konstitusi

negara dalam menghadapi berbagai macam situasi, termasuk keadaan tidak

normal.765

Memang benar, praktik di negara lain, terutama di Amerika Serikat,

konstitusinya dalam sejarah tidak memuat ketentuan mengenai keadaan darurat

negara, termasuk kekuatan darurat bagi presiden untuk menghadapi ancaman luar

biasa. Penggunaan hukum darurat negara di Amerika Serikat lahir dalam tradisi

peradilan dengan istilah martial law sebagaimana diuraikan sebelumnya. Namun

ternyata, tradisi yang demikian justru tidak maksimal dalam menghadapi

kedaruratan, yang barangkali sesuai dengan kalimat Rossiter di atas, adalah

sebuah kecacatan. Penelitian William Feldman yang memperbandingkan state of

siege di Perancis dan martial law di Amerika Serikat sangat relevan untuk

membuktikan kecacatan ini. Menurutnya,766

state of siege di Perancis yang

memang telah dinormatifkan di dalam konstitusinya itu, dengan selalu dilakukan

763

Shylashri Shankar, The State... Op., Cit., hlm. 201 764

Richard A. Posner, Not a Suicide... Op., Cit., hlm. 1 765

Fitra Arsil dan Qurrata Ayuni, Model... Op., Cit., hlm. 424 766

William Feldman, Theories... Loc., Cit.

383

perubahan dan perbaikan agar tidak disalahgunakan oleh penguasa, ternyata lebih

baik dan lebih siap menghadapi keadaan darurat daripada martial law di Amerika

Serikat. Ukurannya yaitu kemampuan adaptifnya untuk mencapai keseimbangan

yang efektif antara melindungi bangsa dari keadaan krisis dengan tidak

mengorbankan terlalu besar hak-hak dasar warga negara serta nilai dasar falsafah

bangsanya. Sedangkan di Amerika Serikat, sering kali terjadi kegamangan dalam

merespon keadaan darurat negara, serta pilihan kebijakan yang pada akhirnya

diambil untuk menghindari ancaman, tidak jarang berdampak siginifikan terhadap

tereduksinya hak warga negara.

Dikutip dari tulisan Kim Lane Scheppele,767

yang menguraikan bagaimana

respon Pemerintah Amerika Serikat atas keadaan darurat sering kali berlebihan

dan salah sasaran. Bahwa disebabkan tidak adanya pengaturan yang dapat

dijadikan pedoman dan rambu-rambu dalam menghadapi krisis di dalam

Konstitusi Amerika Serikat, Presiden Bush pasca peledakan bom di World Trade

Center tanggal 9 September 2001 itu justru kembali kepada kebiasaan lama

seperti menghadapi perang dingin, meskipun situasi dan ancamannya berbeda.

Pemerintahan Bush yang selalu mengedepankan pendekatan militer dalam

menghadapi krisis dengan menggunakan kekuasaan panglima tertinggi yang

dijalankan presiden, akhirnya berdampak signifikan atas tereduksinya semangat

pemisahan kekuasaan dan jaminan perlindungan hak individu. Bahkan terhadap

kebijakan internasional, Bush bertindak seolah-olah tragedi 9 September 2001

menciptakan dasar tidak hanya kadaan darurat nasional, namun juga darurat

767

Kim Lane Scheppele, Law... Op., Cit., hlm. 1003

384

internasional yang mengharuskan negara lain untuk membuat pengecualian

terhadap hukum internasional dan mendesak negara-negara sekutunya untuk

mengkompromikan komitmen konstitusional dalam menghadapi ancaman baru.

Suatu respon yang terlalu berlebihan, dan keluar dari original intent hukum

darurat negara yaitu respon cepat dengan mengesampingkan tatanan normal

dengan diikuti normalisasi progresif. Diuraikan juga oleh David Cole bagaimana

kebijakan pasca peristiwa 11 September 2001 itu justru memunculkan kebijakan

yang salah sasaran dan terlalu represif sehingga berimplikasi pada pelanggaran

hak asasi manusia.768

Jaksa Agung John Ashcroft mengumumkan suatu kampanye

penahanan preventif secara agresif. Ia akan menggunakan seluruh instrumen

hukum, termasuk undang-undang keimigrasian untuk menangkap siapapun yang

diduga teroris dengan alasan untuk mencegah adanya serangan lanjutan yang

serupa. Sampai dengan Januari 2004, pemerintah telah melakukan penahanan

kepada lebih dari 5000 warga negara asing dengan alasan tindakan anti

terorisme.769

Sayangnya, seluruh tindakan tersebut tidak berhasil. Hal serupa juga

terjadi sebelumnya, yaitu pada tahun 1919, setelah terjadi peledakan bom yang

hampir secara bersamaan di 8 (delapan) kota berbeda di seluruh Amerika Serikat,

Departemen Kehakiman menangkap ribuan warga negara asing di suatu tempat

yang sekarang dikenal sebagai Serangan Palmer.770

Sebuah anomali, tindakan

represif dan memberangus hak asasi manusia, namun tidak mempunyai relevansi

terhadap penanganan kedaruratan. Karena itu, dalam konteks Indonesia, perpu

768

David Cole, “The Priority of Morality: The Emergency Constitution‟s Blind Spot”

artikel dalam The Yale Law Journal, Volume 113, Tahun 2004, hlm. 1753 769

David Cole, Enemy Aliens: Double Standards and Constitutional Freedoms in The

War on Terrorism, dalam ibid. 770

Ibid... hlm. 1754

385

merupakan bentuk hukum yang diberikan kepada presiden agar dapat merespon

dan mengatasi keadaan darurat namun tetap dalam batas konstitusional, sehingga

keutuhan konstitusi dan semangat bernegara hukum tetap terjaga kendatipun

dalam keadaan genting.

Perpu sebagai instrumen hukum yang disediakan untuk mengatasi keadaan

darurat, mempunyai kedudukan istimewa. Dalam negara demokrasi, materi

muatan setingkat undang-undang harusnya dibentuk bersama DPR sebagai wakil

rakyat. Berbeda dengan perpu yang merupakan norma hukum dengan

penetapannya melalui mekanisme peraturan pemerintah, namun sifat

keberlakuannya dalam bentuk atau sejajar dengan undang-undang.771

Perpu

merupakan peraturan pemerintah yang menggantikan kedudukan undang-undang,

sehingga materi muatannya sama dengan materi muatan undang-undang.772

Materi muatan perpu juga dapat menggeser materi muatan suatu undang-undang

apabila keadaan darurat menghendaki itu. Penyimpangan-penyimpangan itu

ditoleransi karena dalam keadaan darurat, yang diutamakan adalah keselamatan

negara dan warganya. Dalam hal ini, berlaku adagium yang disebutkan oleh

Cicero, salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum yang

tertinggi).

Tuntutan keadaan untuk memberikan kewenangan pembentukan perpu,

dengan proses dan materi muatan yang istimewa itu, menjadikan perpu ini

merupakan istrumen hukum yang bermuka dua. Giorgio Agamben menyebutkan

771

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi

Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 131 772

Ibid.

386

keadaan ini sebagai keadaan negara dalam ambang ketidakpastian antara

demokrasi dan otoritarianisme atau absolutisme,773

atau dalam perspektif negara

hukum, merupakan ketidakpastian antara negara hukum dan negara kekuasaan.

Perpu sebagai Kekuasaan prerogratif presiden di bidang legislasi, dipandang

sebagai undemocratic and potentially dangerous karena tidak memerlukan suatu

dasar undang-undang.774

Padahal sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa

original intent pemberian kewenangan pembentukan perpu adalah untuk

menghindari tereduksinya semangat demokrasi dan negara hukum, tetapi pada

saat yang bersamaan, perpu sangat membuka peluang bagi lahirnya

otoritarianisme dengan substansi yang justru berseberangan dengan cita negara

hukum dan prinsip demokrasi. Hal ini karena batasan otoritarianisme dalam

keadaan darurat dengan menggunakan istrumen hukum berupa perpu itu menjadi

sangat tidak jelas dan penuh dengan kerancuan. Satu sisi ia berbentuk

kediktatoran, namun kedikatoran itu dijamin secara konstitusional yang justru

diperuntukkan menyelamatkan demokrasi dan negara hukum.

Konsepsi Clinton Rossiter mengenai Constitutional Dictatorship dapat

digunakan untuk melihat paham di atas. Constitutional dictatorship terjadi ketika

presiden dapat bertindak secara diktator karena diberikan landasan konstitusional

atas tindakan tersebut. Secara tegas, Rossiter menyebutkan bahwa “No form of

government can survive that excludes dictatorship when the life of the nation is a

stak”775

(tidak ada bentuk pemerintahan yang dapat bertahan tanpa kediktatoran

773

Giorgio Agamben, State... Op., Cit., hlm. 3 774

Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 109 775

Clinton Rossiter, Constitutional... Op., Cit., hlm. xix

387

ketika kehidupan bangsa sedang dipertaruhkan). Tindakan diktator itu memang

menyimpang secara sementara dari prinsip demokrasi, tetapi tujuannya adalah

menyelamatkan demokrasi dan negara secara permanen sehingga kediktatoran itu

perlu diberikan secara konstitusional. Dalam hal ini, Rossiter mengutip kalimat

Abraham Lincoln, “Often a limb must be amputated to save a life, but a life is

never wisely given to save a limb”776

(sering kali anggota tubuh harus diamputasi

untuk menyelamatkan nyawa, tetapi nyawa tidak pernah secara bijaksana

diberikan untuk menyelamatkan satu bagian anggota tubuh). Karakteristik dari

constitutional dictatorship salah satunya yaitu adanya pendelegasian kekuasaan

membentuk undang-undang (the delegation of legislative power) kepada presiden

secara sementara atas dasar kondisi yang mendesak, karena ketidakmampuan atau

ketidakstabilan lembaga legislatif dalam pembentukan undang-undang seperti

biasanya.777

Constitusional dictatorship itu prakteknya, pernah digunakan secara

konsekuen untuk menyelamatkan negara oleh Abraham Lincoln. Di Amerika

Serikat, kekuasaan presiden meskipun telah dikekang oleh konstitusi dan

kesulitan-kesulitan dari bekerja dengan lembaga-lembaga yang terkoordinasi

dengannya, presiden masih punya cara untuk menyiasatinya dengan kekuasaan

prerogatif, yaitu melalui tafsir mereka sendiri atas konstitusi.778

Memang dalam

sejarah Amerika, kekuasaan prerogatif presiden ini memberikan banyak kontribusi

atas penyelesaian persoalan yang cukup penting. George Washington secara

776

J.G. Nicolay and John Hay, Complete Works of Abraham Lincoln dalam Ibid., hlm. 11 777

Ibid., hlm. 9-10 778

Ni‟matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Kedua, FH UII Press,

Yogyakarta, 2004, hlm. 105

388

sepihak mengumumkan netralitas dalam konflik Inggris-Perancis pada awal 1970-

an, padahal konstitusi tidak memberikan kewenangan untuk itu. Thomas Jefferson

pada tahun 1803 membeli wilayah Lousiana dari Perancis padahal tidak ada satu

kata pun di dalam konstitusi yang merinci kekuasaan pemerintah nasional untuk

mendapatkan wilayah. Abraham Lincoln juga menggunakan kekuasaan prerogatif

yang cukup besar (sehingga oleh Clinton Rossiter disebut sebagai “kediktatoran

konstitusional”) karena terkadang Lincoln melampaui batas hukum dan konstitusi

pada saat krisis nasional. Franklin Roosevelt juga memanfaatkan kekuasaan

prerogatif sebelum Amerika Serikat menghadapi Perang Dunia II, yaitu dengan

membuat kesepakatan antar pemerintah dengan Inggris Raya untuk menukar

kapal-kapal perusak lama bagi pangkalan angkatan laut, sebuah manuver yang

sangat menolong konvoi Inggris melintasi Atlantik Utara dengan peralatan

perang. Kesepakatan antar pemerintah tidak memerlukan persetujuan dua pertiga

senat, inilah mengapa Roosevelt menggunakan bentuk kesepakatan saat memakai

prerogratifnya sendiri.779

Namun di sisi lain, kediktatoran konstitusional atas dasar kegentingan itu

tidak jarang justru bersenjangan dengan original intentnya, yaitu berakibat pada

matinya demokrasi dan negara hukum dan tereduksinya jaminan hak-hak warga

negara. Tulisan Steven Levitsky dan Daniel Ziblat tentang How Democracies Die,

telah mengurai banyak contoh mengenai hal itu. Bahwa banyak pemimpin yang

bahkan dipilih secara demokratis, justru menjadi otoriter dengan memanfaatkan

keadaan krisis, baik krisis ekonomi, bencana alam, atau ancaman pertahanan dan

779

Richard M. Pious, “Kekuasaan Kepresidenan” dalam Ibid., hlm. 106

389

keamanan. Dalam bahasa yang dramatis, Steven Levitsky dan Daniel Ziblat

menyebutkan bahwa krisis memang sukar untuk diprediksi, tetapi konsekuensi

politiknya sama sekali tidak,780

bahkan sangat terencana dan tersusun dengan rapi

dan sistematis.

Dalam sejarah di beberapa negara, tidak sedikit para penguasa yang

memanfaatkan keadaan krisis untuk melanggengkan kekuasaannya. Prosesnya

terjadi hampir tidak dapat dibaca karena terjadi secara perlahan dan samar, bahkan

sangat mungkin diawali dengan ketidaksengajaan. Setiap kali ada peristiwa luar

biasa yang menimbulkan keresahan publik dan mengancam ketertiban dan

keamanan, maka pemerintah akan membuat suatu undang-undang yang

karakternya represif, untuk menjanjikan keamanan yang lebih. Di kemudian hari,

bila terjadi kembali peristiwa luar biasa dan ekstrim dan cukup mencekam, maka

peraturan yang lebih represif lagi akan dirumuskan. Demikian seterusnya, yang

apabila dibiarkan maka akan sampai pada titik kebebasan, demokrasi, negara

hukum, dan perlindungan hak asasi manusia, akan berakhir.781

Meskipun dalam

banyak peristiwa lain yang telah terjadi, keadaan darurat yang berujung pada

kediktatoran dilakukan secara jelas dan terang, dan bahkan juga tidak jarang

kedaruratan justru direkayasa dan diciptakan oleh penguasa untuk melancarkan

niat kediktatorannya.

780

Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, How Democracies... Op., Cit., hlm. 74 781

Bruce Ackerman, The Emergency... Op., Cit., hlm. 1030. Sebagai perbandingan,

tindakan represif yang dilakukan pemerintah pasca peristiwa 9 September 2001, sebagaimana

diuraikan oleh Kim Lane Scheppele, dipandang oleh negara-negara sekutu bukan merupakan

penangguhan hukum, tetapi justru menjadi momentum memperkuat hukum. Lihat dalam Kim

Lane Scheppele, Law... Op., Cit., hlm. 1004

390

Di India pada tahun 1957, pemberlakuan keadaan darurat diikuti dengan

kekacauan hukum bahkan dilakukan perubahan konstitusi untuk membenarkan

tindakan pemerintah yang menyebabkan pelanggaran serius terhadap hak-hak

fundamental warga negara.782

Indira Gandhi menangkap dan menahan ribuan

orang sipil, menerapkan kebijakan sensor yang ketat dan langkah pemberedelan

terhadap pers, mengintimidasi lembaga peradilan, dan tindakan-tindakan otoriter

lainnya yang berseberangan dengan semangat demokrasi.783

Ferdinand Marcos di Filipina tidak mau turun dari kekuasaannya

sebagaimana diharuskan oleh konstitusi padahal periode keduanya tersebut

berakhir pada tahun 1973, dengan membuat rencana memberlakukan hukum

perang dan merubah konstitusi. Kesempatan untuk melancarkan rencana tersebut

mendapatkan momentumnya pada tahun 1972 ketika terjadi serangkaian bom

misterius di Manila, dan setelah adanya upaya pembunuhan terhadap Menteri

Pertahanan Juan Ponce Enrile.784

Krisis ini disebut sebagai bentuk rekayasa untuk

mencari pembenaran atas rencana Marcos mengakali batas dua masa jabatan

kepresidenan menurut konstitusi, dengan dalih tindakan darurat yang

memanfaatkan histeria masyarakat menggunakan isu ancaman komunis. Dugaan

rekayasa tersebut berdasarkan hasil intelijen Amerika Serikat yang menyebut

bahwa hal tersebut merupakan ulah orang-orang pemerintahan, serta pengakuan

Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrile.785

Sebuah fakta dan bukati konkret bahwa

782

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 140 783

Ibid. 784

Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, How Democracies... Op., Cit., hlm. 74 785

Ibid..., hlm. 76

391

kedaruratan dapat direkayasa untuk melegalkan tindakan darurat namun dalam

rangka melanggengkan kepentingan kekuasaan pribadi.

Adolf Hitler memanfaatkan kebakaran Reichstag 27 Februari 1933 untuk

memberlakukan keadaan darurat yang menghapuskan kebebasan sipil yang

kemudian menghancurkan segala perlawanan dan mengkonsolidasikan kekuasaan

Nazi sampai akhir Perang Dunia II.786

Bahkan hingga saat ini, perihal siapa yang

melakukan pembakaran itu, masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli

sejarah. Artinya, belum jelas apakah peristiwa tersebut adalah kecelakaan, atau

justru disengaja untuk memunculkan kesan negara dalam keadaan darurat dan di

bawah ancaman serius.

Dalam keadaan krisis, dorongan untuk bertindak otoriter tidak hanya lahir

dari naluri penguasa, namun juga didorong oleh rakyat. Hal ini wajar terjadi,

karena peristiwa yang mempunyai ancaman dan berakibat pada ketakutan rakyat

secara luas pada satu sisi, dengan otoritas negara yang dianggap mampu secara

efektif untuk mengatasi ancaman dengan segala kekuasaan dan prangkatnya pada

sisi yang lain, menjadikan harapan rakyat pada negara semakin besar. Tindakan

negara yang menyimpang sekalipun, namun tampak dilakukan untuk mengatasi

ancaman, tentu akan mendapatkan dukungan besar dari rakyat. Secara a contrario

Bruce Ackerman menyebutkan,787

no democratic government can maintain

popular support without acting effectively to calm panic and to prevent a second

terrorist strike. (tidak ada pemerintahan demokratis yang dapat mempertahankan

786

Ibid. 787

Bruce Ackerman, The Emergency... Op., Cit., hlm. 1030

392

dukungan rakyat tanpa bertindak secara efektif untuk menenangkan kepanikan

dan untuk mencegah serangan teroris lanjutan).

George H.W. Bush, Presiden Amerika Serikat, seketika mendapatkan

dukungan dan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat mencapai yang mencapai

mencapai 89 persen setelah Perang Teluk Persia 1991. George W. Bush mendapat

kenaikan angka dukungan yang cukup drastis dari angka 53 persen menjadi 90

persen setelah tragedi peledakan bom 11 September 2001. Tragedi tersebut

bahkan mendorong 55 persen rakyat Amerika Serikat untuk percaya bahwa

kebebasan sipil perlu dibatasi untuk melawan terorisme.788

Vladimir Putin

mendapatkan dukungan besar dari rakyat atas serangan terhadap oposisi, setelah

tragedi bom di Moskwa pada September 1999 yang membunuh hampir tiga ratus

orang. Putin menanggapinya dengan mengobarkan perang di Chechnya dan

melakukan penindakan berskala besar.789

Pengusiran dan penahanan orang-orang

Jepang-Amerika oleh Roosevelt juga mendapatkan dukungan mayoritas

masyarakat setelah terjadi serangan ke Pearl Harbor.790

Keadaan krisis yang mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan

menopang semangat otoritarianisme, yang dalam keadaan tertentu bahkan

mendapat dukungan dari rakyat itu, semakin sempurna dengan dibekali instrumen

hukum berupa perpu. Maka perpu, akan menjadi cara konstitusional untuk

melancarkan spirit kedikatorannya. Perpu menjadi jalan konstitusional yang

merongrong semangat berdemokrasi dan penyelenggaraan negara berdasarkan

788

Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, How Democracies... Op., Cit., hlm. 75 789

Ibid., hlm. 77 790

Ibid., hlm. 75

393

atas hukum sekaligus mengokohkan semangat otoritarianisme dengan citra seolah

hendak menyelamatkan demokrasi itu sendiri. Pemberian kewenangan perpu,

naluri alamiah kekuasaan yang cenderung otoriter, dan dukungan rakyat untuk

bertindak otoriter karena keadaan krisis, adalah kombinasi sempurna untuk

membunuh demokrasi, sekaligus memberikan jalan yang lapang tanpa hambatan

untuk mengalihkan semangat penyelenggaraan negara berdasarkan hukum,

menjadi negara berdasarkan kekuasaan. Padahal pada saat yang bersamaan, bukan

sesuatu yang mustahil, krisis itu justru diciptakan dan direkayasa oleh penguasa.

John Reynolds mengingatkan,791

The more extreme the perceived exigency, the

greater the temptations to disregard constitutional structures and expand

executive power, at the expense of civil liberties and accountability. (Semakin

ekstrem urgensi yang dirasakan, semakin besar godaan untuk mengabaikan

struktur konstitusional dan memperluas kekuasaan eksekutif, dengan

mengorbankan akuntabilitas dan kebebasan sipil).

Uraian di atas memberikan ketegasan bahwa perpu yang diidealkan untuk

mengatasi keadaan darurat itu mengandung unsur kediktatoran. Maka yang

menjadi fokus lebih lanjut adalah penggunaan kewenangan yang diktator itu.

Dalam konteks negara hukum dan demokrasi tentu hal itu harus digunakan untuk

melindungi rakyat dan bukan justru untuk melancarkan kepentingan pribadi,

mengatasi kegentingan yang memaksa, bukan justru melancarkan kepentingan

penguasa. Maka untuk mendorong hal itu, kewenangan menetapkan perpu harus

diatur secara konstitusional dan proporsional. Konstitusional berarti bahwa

791

John Reynolds, The Long... Op., Cit., hlm. 2

394

penggunaan perpu harus tetap sesuai dengan kerangka negara hukum,

proporsional berarti bahwa penggunaan perpu harus diatur dan ditentukan

sedemikian rupa agar sesuai dengan peruntukannya. Mengantisipasi keadaan

krisis dan bahaya yang mengancam negara dengan memberikan instrumen perpu

adalah penting, namun tidak kalah pentingnya adalah mengantisipasi

penyalahgunaan kekuasaan negara yang dilakukan secara kontitusional melalui

perpu. Keduanya sama-sama mempunyai titik singgung yang satu, yaitu

melindungi hak-hak masyarakat dan keutuhan negara. Secara a contrario,

keduanya sama-sama mempunyai resiko dan ancaman bahaya bagi hak

konstitusional warga negara.

Penggunaan perpu di Indonesia dengan segala permasalahan yang

diuraikan sebelumnya, tampak terdapat penyimpangan dari original intent dan

idealitas penggunaan instrumen darurat. Ke depan, tentu diperlukan pengendalian

dan pembatasan tertentu sebagai bentuk perbaikan atas kelemahan yang terjadi

saat ini. Dalam penelitian ini, berkaca pada permasalahan yang terjadi dan

original intent pemberian kewenangan perpu, maka upaya pengendalian itu dapat

dilakukan dengan 4 (empat) hal, yaitu pembatasan subyektifitas presiden,

pembatasan waktu keberlakuan perpu, redesain objektifikasi DPR, dan

mekanisme kontrol yudisial.

Pertama, pembatasan subyektifitas presiden dalam menetapkan perpu.

Ni‟matul Huda792

berpendapat, agar penetapan perpu yang bergantung

sepenuhnya kepada suyektifitas presiden itu tidak disalahgunakan, maka perlu

792

Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 151

395

adanya penentuan lingkup atau kriteria objektif tentang kegentingan memaksa dan

mengkonsultasikan materi Perpu dengan DPR sebelum perpu ditetapkan. Hal ini

dimaksudkan supaya presiden mendapat pertimbangan yang matang dari pihak

lain sebelum menetapkan perpu. Bagir Manan menyebutkan bahwa perpu itu

mengandung unsur kedikatoran sehingga harus diberikan batasan lain selain

batasan hal ikhwal kegentingan yang memaksa.793

Sedangkan menurut Jimly

Asshiddiqie,794

wewenang presiden biasanya disebutkan secara rinci dan tegas di

dalam Undang-Undang Dasar guna membatasi kekuasaannya, sehingga presiden

tidak bertindak sewenang-wenang.

Seluruh pendapat di atas menggambarkan bahwa kewenangan presiden

menetapkan perpu saat ini cenderung luas dan tanpa ada batasan yang ketat. Hal

itulah yang selama ini menjadi alasan utama munculnya ragam kontroversi dan

permasalahan sebagaimana dijelaskan di atas. Menurut Fajrul Falaakh

sebagaimana dikutip oleh Ni‟matul Huda,795

Perpu termasuk rezim regulasi

mendesak dan dimaksudkan untuk mengatasi keselamatan negara. Namun Perpu

menjadi bentuk decretismo (governing by decree), bahkan sekedar

instrumentalisasi hukum dan kekuasaan oleh kepentingan tertentu kalau

kegentingan yang memaksa penerbitannya tidak sesuai dengan kondisi sosiologis.

Pengaturan perpu mengandung ketidakpastian yang tinggi, ditundukkan kepada

793

Ada 2 (dua) hal yang setidaknya bisa menjadi tambahan batasan pembentukan perpu

oleh presiden menurut Bagir Manan, yaitu perpu hanya mengatur mengenai hal-hal di bidang

administrasi negara (bidang pemerintahan), bukan mengenai masalah ketatanegaraan atau

menyangkut alat kelengkapan negara di luar administrasi negara; serta hanya dibuat apabila DPR

sedang tidak bersidang (reses). Lihat dalam Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945

Baru, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 44 794

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi... Op., Cit., hlm. 182 795

Mohammad Fajrul Falaakh, Involusi... Op., Cit., hlm. 115

396

semangat birokrasi, dan rentan ditafsirkan hanya menurut kepentingan pemerintah

tanpa persetujuan DPR.

Memang, klausul Pasal 22 UUD NRI 1945 hanya memberikan batasan

berupa kegentingan yang memaksa tanpa ada perincian lebih lanjut. Perspektif

kegentingan yang memaksa itu diserahkan sepenuhnya kepada presiden. Secara

substansial, menurut Ni‟matul Huda,796

materi muatan dalam Pasal 22 UUD NRI

1945 ini mengisyaratkan bahwa dalam hal keadaannya lebih genting dan sangat

terpaksa dan memaksa, tanpa menunggu adanya syarat-syarat yang ditentukan

terlebih dahulu oleh dan dalam suatu undang-undang, serta bagaimana akibat-

akibat yang tidak sempat ditunggu dan ditetapkan dalam suatu undang-undang,

presiden berhak menetapkan perpu sekaligus menyatakan suatu keadaan bahaya

dan darurat.

Klausul Pasal 22 UUD NRI 1945 ini memang terlalu bersifat umum,

padahal sesuatu yang umum sifatnya selalu membuka kemungkinan

penyimpangan-penyimpangan.797

Sejalan dengan pendapat Steven Levitsky dan

Daniel Ziblat, bahwa bila kekuasaan konstitusional bisa ditafsirkan bermacam-

macam, maka kekuasaan itu bisa digunakan dengan cara-cara yang tak terduga

oleh para penciptanya.798

Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti melihat bahwa

Pasal 22 UUD NRI 1945 ini terlalu open ended atau overbroad sehingga

memberikan peluang yang terlalu lebar dan tidak mempunyai ukuran kepastian,

dan karenanya sangat berpeluang untuk dijadikan dasar yang membenarkan

796

Ni‟matul Huda, Pengujian... Op., Cit., hlm. 75 797

Sudikno Mertokusumo, Penemuan... Op., Cit., hlm. 8 798

Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, How Democracies... Op., Cit., hlm. 81

397

penggunaan kekuasaan yang berlebihan (excessive powers), bahkan pembenaran

penyalahgunaan kekuasaan (misuse of powers).799

Berkaca dari hal itu, menurut

Susi Dwi Harijanti, dari sudut ilmu tentang kaidah, rumusan-rumusan yang terlalu

terbuka atau terlalu lebar, tidak memenuhi syarat sebagai kaidah, bahkan dapat

dikatakan bukan hukum.800

Pasal 22 UUD NRI 1945 yang memberikan kewenangan begitu luas dan

subyektif itu pada implementasinya mempercayakan kebijakan dan kebijaksanaan

presiden untuk menetapkan perpu. Padahal, sebagaimana disebutkan oleh

Dicey,801

dimanapun ada ruang kebijaksanaan, maka disitu ada ruang untuk

sewenang-wenang.

“Wherever there is discretion, there is room for arbitrariness. An arbitrary

decision may be defined as one based upon improper criteria which do not

relate in any rational way to the relevant goal. Thus 'the paradigm

arbitrary decision', Jowell points out, 'is one based upon particularistic

criteria such as friendship, or ascriptive criteria such as race, or upon

caprice, whim, or prejudice”.802

Memang benar, teks suatu peraturan perundang-undangan bukan

merupakan satu-satunya penentu terjadinya tindakan kesewenang-wenangan. Hal

yang paling menentukan di balik teks itu justru adalah pelaksana. Pendapat

Soepomo tentang konstitusi yang kekeluargaan dan menolak individualisme

barangkali dapat menjadi komparasi terhadap hal ini.

799

Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Peraturan... Op., Cit., hlm. 223 800

Ibid., hlm. 225 801

A.V. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Tenth Edition,

English Language Book Society and MacMillan, London, 1959, hlm. 147 802

Dikutip kembali dalam Putusan Nomor 92/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Perpu

Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi

398

“Meskipun kita membikin UUD yang menurut kata-katanya bersifat

kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para

pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, UUD tadi tentu tidak

ada artinya dalam praktek. Sebaliknya meskipun UUD itu tidak sempurna,

akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahannya baik,

UUD ini tentu tidak akan merintangi jalannya negara.”803

Hanya saja, ketika teks suatu peraturan begitu terbuka dan memberikan

ruang penafsiran sebesar-besarnya kepada pelaksana teks, maka potensi

penyalahgunaan kekuasaan semakin terbuka. Terlebih, dalam penyelenggaraan

negara modern tidak bisa mempercayakan kebijaksanaan semata-mata kepada satu

orang atau satu figur tertentu. Moralitas kekuasaan tidak boleh hanya

digantungkan pada niat, dan dipercayakan pada kebijaksanaan pemegang kuasa.

Betapapun baiknya penguasa, tidak boleh diberikan tanpa batasan-batasan tertentu

yang diatur secara konstitusional.804

Oleh karena itu, baik teks maupun pelaksana,

keduanya harus saling dibangun agar saling mengendalikan satu sama lain.

Soerjono Soekanto menyebutkan,

persoalan lain yang mungkin timbul di dalam undang-undang adalah

ketidakjelasan di dalam kata-kata yang dipergunakan di dalam perumusan

pasal-pasal tertentu. Kemungkinan hal itu disebabkan karena penggunaan

kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali, atau karena soal

terjemahan dari bahasa asing (Belanda) yang kurang tepat.805

Secara ideal, sebuah teks hukum memang harus mempunyai rumusan yang

jelas dan menutup peluang atas interpretasi yang terlalu subyektif. Terhadap

kejelasan rumusan ini, Montesquieu sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo

menjelaskan,806

pertama, gaya penuturannya yang padat dan sederhana. Ini

803

Saafroedin Bahar, Risalah... Op., Cit., hlm. 269 804

Jimly Asshiddiqie, Format... Op., Cit., hlm. 37 805

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan

Kesebelas, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 16 806

Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum... Op., Cit., hlm. 94-95

399

bermakna bahwa pengutaraan dengan menggunakan ungkapan kebesaran

(grandiose) dan retorik hanya mubadzir dan menyesatkan. Pilihan istlah

hendaknya mutlak dan tidak nisbi sehingga membuka sedikit kemunginan bagi

perbedaan interpretasi dan pendapat individual. Kedua, peraturan hendaknya

membatasi diri pada hal-hal yang nyata dan aktual dengan menghindari hal-hal

yang bersifat metaforis dan hipotetis. Konteks karakteristik pertama dan kedua ini

berhubungan dengan aspek gramatikal dan penggunaan bahasa. Secara a

contrario faktor penggunaan bahasa dalam bernegara hukum dapat saja

menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga negara yang berdasarkan hukum,

masih membuka peluang bagi penafsiran yang bermacam-macam yang mungkin

hanya menguntungkan penguasa saja.807

Ketiga, peraturan hendaknya jangan terlampau tinggi karena ia ditujukan

untuk orang-orang dengan standar kecerdasan rata-rata. Ini karena peraturan

bukan merupakan latihan penggunaan logika, melainkan hanya penalaran

sederhana yang bisa dilakukan oleh orang biasa. Keempat, masalah pokoknya

hendaknya tidak dikacaukan dengan kekecualian, pembatasan atau modifikasi,

kecuali dalam hal yang sangat diperlukan. Kelima, peraturan tidak boleh

mengandung argumentasi. Menjadi bahaya untuk memberikan alasan terperinci

bagi suatu peraturan, oleh karena yang demikian hanya akan membuka pintu

untuk pertentangan pendapat. Pepatah hukum yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo

sangat relevan atas hal ini, yaitu maksim expressum facit cassare tacitum, bahwa

kata-kata yang dicantumkan secara tegas mengakhiri pencarian mengenai maksud

807

Munir Fuady, Teori... Op., Cit., hlm. 19

400

dari suatu perundang-undangan.808

Keenam, peraturan harus dipertimbangan

dengan penuh kematangan dan mempunyai kegunaan praktis dan jangan

hendaknya mengguncangkan hal-hal yang elementer dalam penaralan dan

keadilan serta lanature des choses. Peraturan yang lemah, yang tidak perlu dan

tidak adil akan menyebabkan orang tidak menghormati perundang-undangan dan

menghancurkan otoritas negara.

Sebagai lawan dari konsepsi di atas, Satjipto Rahardjo yang merujuk pada

tradisi Inggris, menolak cacat logis perumusan suatu peraturan perundang-

undangan dengan bentuknya yaitu,809

pertama, kemenduaan (ambiguity) semantik

yang disebabkan oleh perumusan secara open texture. Bahwa kata-kata yang

dirumuskan sedemikian umum sehingga menimbulkan kemenduaan dalam

penerapannya. Berbeda dengan kemenduaan yang demikian itu adalah perumusan

secara terperinci. Kedua, kemenduaan sintaktik yang disebabkan oleh penggunaan

kata “atau”, “dan”, “semua”, dan sebagainya. Ketiga, kemenduaan yang terjadi

karena maksud yang ingin dinyatakan oleh pembuat undang-undang sendiri tidak

jelas. Pembuat undang-undang belum mempunyai konsep atau gambaran yang

jelas tentang hal yang hendak diaturnya.

Pada konteks landasan penetapan perpu, kejelasan rumusan itu memang

penting tetapi sulit untuk diakomodir di dalam konstitusi, mengingat idealitas

materi muatan konstitusi adalah hal yang bersifat mendasar dan fundamental.

Tidak semua permasalahan yang penting dapat dimuat di dalam konstitusi, namun

808

Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum... Op., Cit., hlm. 97 809

Ibid., hlm. 98

401

hanya yang bersifat pokok, dasar, atau bahkan asas-asasnya saja. Tidak semua hal

yang penting merupakan hal yang pokok atau mendasar, sehingga tidak semua hal

yang dianggap penting dapat dimuat di dalam undang-undang dasar.810

Maka

alternatif yang cukup rasional dalam hal ini adalah dengan mengatur lebih rinci

landasan wewenang menetapkan perpu di dalam undang-undang dengan

menjabarkan Pasal 22 UUD NRI 1945, yang dapat dituangkan dalam Undang-

Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Pada bagian ini, ada 2 (dua) hal yang perlu dirinci lebih detail untuk

membatasi subyektifitas presiden, yaitu kriteria kegentingan yang memaksa, serta

larangan yang tidak boleh dilampaui oleh presiden dalam menetapkan perpu.

Terkait dengan hal-hal yang perlu dihindari dalam penetapan perpu, merujuk pada

pendapat Bagir Manan, yaitu tidak mengatur mengenai hal-hal yang diatur di

dalam Undang-Undang Dasar atau Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

tidak mengatur mengenai keberadaan dan tugas wewenang lembaga negara, dan

tidak boleh ada perpu yang menunda dan menghapuskan kewenangan lembaga

negara; hanya boleh mengatur mengenai ketentuan undang-undang yang berkaitan

dengan penyelenggaraan pemerintahan.811

Perpu juga tidak boleh bertentangan

810

Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Dasar hanya memuat hal-hal pokok

yang sifatnya garis besar saja, yaitu agar tetap mengakomodasi perkembangan zaman yang

cenderung mengalami perubahan secara cepat, sedangkan perubahan konstitusi membutuhkan

waktu yang lama; menghindari terlalu seringnya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar yang

mengakibatkan menurunnya kewibawaan Undang-Undang Dasar itu sendiri. Lihat dalam Jimly

Asshiddiqie, Pengantar... Op., Cit., hlm. 112 811

Bagir Manan dan Kuntana Bagnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,

Alumni, Bandung, 1997, hlm. 151

402

dengan konstitusi. Bahkan, konstitusi pada masa keadaan darurat tidak boleh

diubah.812

Adapun kriteria kegentingan yang memaksa, secara umum tentu rujukan

utamanya adalah tafsir Mahkamah Konstitusi yang menetapkan 3 (tiga) kriteria

melalui putusannya, yaitu:

(1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan

masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;

(2) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi

kekosongan hukum, atau sudah ada undang-undang tetapi tidak

memadai;

(3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara

membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan

memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang

mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Menurut pendapat penulis, ketentuan tersebut masih terlalu umum dan

masih memberikan ruang subyektifitas yang dominan bagi presiden. Hal ini

misalnya klausul kebutuhan mendesak sebagai dasar pertama itu masih terlalu

terbuka. Oleh karena itu, perlu ditentukan definisi dan ketentuan lebih konkret

yang diturunkan dari 3 (tiga) makna tersebut. Menurut pendapat penulis, penting

untuk turut memperhatikan dan merujuk pada European Convention of Human

Rights and Fundamental Freedoms dan International Covenant on Civil and

Political Rights. Bahwa suatu negara harus memperhatikan prinsip-prinsip dalam

keadaan daruat, yaitu temporality atau bersifat sementara, yang merujuk pada

keadaan luar biasa dari pernyataan keadaan darurat; exceptional threat, yaitu

harus ada ancaman yang nyata, berlangsung, atau setidaknya dekat sekali faktor

resikonya yang membahayakan masyarakat; declaration, yaitu adanya pernyataan

812

John Ferejohn dan Pasquale Pasquino, The Law... Op., Cit., hlm. 212

403

dan deklarasi secara resmi pemerintah kepada publik; communication, yaitu

adanya komunikasi berupa pemberitahuan kepada organisasi atau badan yang

melaksanakan fungsi pengawasan terhadap tindakan yang akan diambil;

proportionality, yaitu adanya kesepadanan yang dapat ditunjukkan bahwa

tindakan-tindakan yang diambil dalam keadaan darurat harus sebanding dengan

ancaman yang mendatangi; legality, yaitu bahwa tindakan yang diambil dalam

keadaan darurat harus mempunyai dasar hukum dan tetap berada dalam koridor

hukum; intangibility, yang ini merujuk pada hak-hak asasi manusia yang tidak

boleh dihilangkan meskipun dalam keadaan darurat.813

Kriteria berdasarkan konvensi tersebut, ancaman dan kebutuhan mendesak

itu harus telah secara nyata, berlangsung, atau setidaknya dekat sekali faktor

resikonya yang membahayakan masyarakat. Ketentuan ini mirip dengan konsepsi

kedaruratan dalam Islam. Bahwa penggunaan mekanisme darurat harus dipenuhi

unsur bahwa kedaruratan itu telah nyata, bukan berdasarkan praduga dan

prasangka semata. Ukuran untuk melihat bahwa keadaan tersebut telah terjadi

secara nyata yaitu ketika ditemukan tidak berfungsinya suatu organ pemerintahan

dan perlunya pembatasan terhadap hak asasi manusia yang dengan pembatasan

tersebut maka penyelenggaraan negara akan lebih menjamin keselamatan yang

lebih besar.

813

The Centre‟s Security Sector Reform Working Group, State of Emergency, dalam

Surya Oktaviandra, “Analisis Aspek Legalitas, Proporsionalitas dan Konstitusionalitas Ketentuan

Imunitas Pidana Bagi Pejabat Pemerintah Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020” artikel

dalam Majalah Hukum Nasional, Volume 50 Nomor 2, Tahun 2020, hlm. 188-189

404

Hal yang juga menarik dan sebagian relevan untuk diadopsi sebagai

pembatasan penetapan perpu oleh presiden di Indonesia adalah konsepsi yang

digagas oleh Ernst Wolfgang Bockenford. Menurutnya, ada 4 (empat) aspek yang

harus dipegang dalam pemberlakuan peraturan darurat.814

Aspek pertama yaitu

adanya pembedaan secara tegas antara keadaan normal dan keadaan darurat

dengan titik tekan perbedaan pada aspek prosedural dan substansial. Secara

prosedural, keadaan darurat harus dibatasi secara resmi melalui undang-undang

untuk menghindari tereduksinya semangat bernegara hukum disebabkan keadaan

darurat. Sedangkan secara substansial, Bockenforde menggagas bahwa keadaan

darurat tidak boleh secara terus menerus ditetapkan dan berdasarkan subyektifitas,

namun harus mendasarkan pada ukuran yang objektif dan pasti. Ukuran agar

sedapat mungkin objektif dan pasti atau nyata tersebut didasarkan pada 3 (tiga)

karakteristik, yaitu berorientasi pada tujuan, jangka waktu yang terbatas atau

bersifat sementara, dan meskipun dapat ditegakkan secara baik, tetapi tidak

diberikan kualitas hukum.815

Berorientasi pada tujuan ini penting untuk

diperhatikan dan ditekankan untuk membuktikan secara benar bahwa keadaan

darurat memang terjadi, dengan menetapkan target dan tujuan tertentu yang

hendak dicapai dengan pemberlakuan hukum darurat dimaksud. Bahwa tujuan

tersebut adalah untuk mengatasi keadaan yang melatarbelakangi dibentuknya

suatu hukum darurat. Konsekuensinya, apabila tujuan telah tecapai, maka

pemberlakuan hukum darurat harus berakhir, yang ini berkorelasi dengan sifat dan

hakikat kesementaraan hukum tata negara darurat.

814

Shylashri Shankar, The State... Op., Cit., hlm. 202 815

Ibid.

405

Paradigma berorientasi pada tujuan ini penting untuk diadopsi dalam

pranata pembentukan perpu di Indonesia. Selama ini, selain pemaknaan

kegentingan yang memaksa sebagai syarat ditetapkannya perpu menjadi ranah

subyektif presiden, ketika perpu ditetapkan, respon publik atas perpu cenderung

menimbulkan perdebatan apakah perpu dimaksud telah memenuhi kegentingan

yang memaksa dengan berfokus pada alasan dan latar belakang. Akhirnya,

pemaknaan kegentingan yang memaksa tetap menjadi sesuatu yang tidak jelas dan

bergantung pada persepsi masing-masing. Dalam keadaan demikian, tentu

pemerintah yang akan diuntungkan karena perpu ketika diundangkan, maka sejak

saat itu telah secara sah mempunyai akibat hukum. Tentu akan berbeda apabila

selain menegaskan latar belakang hal ikhwal kegentingan yang memaksa, juga

memperjelas tujuan yang hendak dicapai atas keberlakuan suatu perpu.

Kegentingan yang memaksa tentu akan lebih tampak dan cenderung lebih objektif

karena harus memunculkan hubungan kausalitas antara tujuan yang akan dicapai

dengan latar belakang dibentuknya perpu untuk mengatasi kegentingan yang

memaksa yang sedang terjadi.

Aspek kedua menurut gagasan Bockenforde yaitu antara otoritas yang

menyatakan keadaan darurat dengan otoritas yang memegang kekuasaan darurat

harus berbeda dan terpisah. Alasan Bockenforde pada aspek yang kedua ini adalah

untuk menghindari aspek pertimbangan politis apabila penentu keadaan darurat

adalah organ yang sama dengan pelaksanananya. Kekhawatiran Bockenforde

tertuju bahwa keadaan darurat justru berpeluang untuk direkayasa dalam rangka

menguntungkan kepentingan politiknya sendiri. Maka Bockenforde mengusulkan

406

bahwa kewenangan deklaratif untuk menyatakan keadaan darurat diserahkan

kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai perwakilan rakyat dalam

kerangka negara demokrasi. Tujuannya yaitu agar pelaksana kekuasaan darurat

(presiden) fokus terhadap tindakan penyelamatan; serta agar keadaan darurat

menjadi tanggung jawab bersama baik presiden maupun DPR.816

Menurut

pendapat penulis, aspek kedua gagasan Bockenforde ini tidak relevan untuk

diterapkan mengingat DPR yang juga sarat dengan kepentingan politik, serta tidak

mencerminkan unsur kesegeraan karena mekanisme pengambilan keputusan yang

diserahkan kepada anggota padahal keadaan bahaya memerlukan keputusan cepat.

Hal ini seperti yang telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui

putusannya. Alasan dan tujuan Bockenforde pada bagian ini adalah baik dan ideal

dalam rangka menjaga semangat demokrasi dan mencegah unsur politis dalam

penanganan keadaan darurat oleh lembaga eksekutif atau presiden, namun sulit

pada tataran implementasi yang membutuhkan kesegeraan.

Aspek ketiga yaitu adanya pertanggungjawaban dan pengawasan terhadap

pemegang kekuasaan darurat (presiden). Aspek ini dimaksudkan bahwa harus ada

sanksi yang tegas kepada presiden ketika terjadi kesalahan atau penyalahgunaan

dalam keadaan darurat.817

Pada konteks Indonesia, hingga saat ini tidak ada

konsekuensi yuridis tertentu bagi presiden dalam penetapan perpu. Untuk

kemudian digagas agar diterapkan, desain konstitusional juga cukup rumit untuk

memberikan sanksi kepada presiden atas penetapan perpu.

816

Ibid... hlm. 203 817

Ibid... hlm. 204

407

Aspek terakhir menurut Bockenforde adalah prasyarat dan keberadaan

hukum darurat negara harus diatur sehingga siapapun yang mengambil keputusan

harus benar-benar memastikan bahwa keputusan tersebut diambil atas dasar

keadaan yang paling ekstrem, bukan hanya keadaan yang sulit. Bockenforde

dalam aspek ini memang tidak memberikan contoh konkret mengenai bagaimana

keadaan ekstrem dan keadaan sulit itu karena kesulitan untuk membedakan antara

keduanya.818

Pada konteks Indonesia, hal ini sebagaimana telah diuraikan

sebelumnya bahwa perpu harus diletakkan sebagai upaya paling akhir ketika

pranata hukum yang lain tidak lagi menyediakan solusi atas situasi yang ekstrem

tersebut.

Secara normatif-yuridis, membedakan situasi sulit dan ekstrem itu,

menurut pendapat penulis sudah dapat diukur berdasarkan prasyarat ditetapkannya

perpu. Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 telah mensyaratkan 2 (dua) klausul yang

sifatnya kumulatif, yaitu adanya “kegentingan” yang sifatnya “memaksa”. Klausul

yang demikian juga dikenal di negara lain, seperti Brazil dengan frasa “relevance

and urgency” dan Argentina dengan frasa “necessity and urgency”. Relevance dan

necessity dapat dimaknai sebagai adanya kebutuhan karena adanya suatu peristiwa

atau kondisi mendesak yang membutuhkan pengaturan, sedangkan urgency

bermakna pada keterbatasan waktu untuk melalui proses legislasi biasa di

parlemen.819

Istilah itu dapat dipersamakan dengan hal ikhwal kegentingan yang

memaksa sebagaimana disebutkan di dalam UUD NRI 1945. Kegentingan

sekaligus memaksa itu mencerminkan keadaan ekstrem, sedangkan kegentingan

818

Ibid. 819

Fitra Arsil dan Qurrata Ayuni, Model... Op., Cit., hlm. 431

408

yang tidak memaksa, atau ketidakgentingan tetapi memaksa, dapat dikategorikan

ke dalam situasi yang sulit. Hal itu dapat digambarkan dalam bagan sebagai

berikut:

Genting

Necessity

Relevance

Memaksa

Urgency

Tidak Genting

Tidak Memaksa

Adapun makna kegentingan itu sendiri juga harus memuat 2 (dua) syarat,

yaitu adanya permasalahan luar biasa, sedangkan permasalahan tersebut tidak

mempunyai landasan hukum, atau landasan hukum yang ada tidak cukup untuk

menangani permasalahan luar biasa itu. Adanya permasalahan tetapi sudah

mempunyai landasan pengaturan yang lengkap, meskipun permasalahan tersebut

membutuhkan tindakan cepat, tidak bisa dimaknai sebagai bentuk kegentingan.

Dengan demikian, bila dikorelasikan dengan 3 (tiga) kriteria yang ditetapkan oleh

Mahkamah Konstitusi, maka kegentingan ini merupakan manifestasi dari kriteria

angka pertama dan kedua, sedangkan klausul memaksa adalah bentuk dari kriteria

angka tiga. Seluruhnya bersifat kumulatif yang apabila telah terpenuhi, maka

keadaan dapat dikualifikasikan sebagai kondisi ekstrem.

Kedua, redesain objektifikasi perpu di parlemen. Praktik yang terjadi saat

ini, objektifikasi perpu oleh DPR hanya berupa memberikan persetujuan atau

409

tidak memberikan persetujuan terhadap perpu yang ditetapkan oleh presiden.820

Pembahasan di DPR tidak sampai pada aspek substansi perpu. Mekanisme yang

demikian hanya akan menjadikan DPR sebagai alat legitimasi atau rubber stampt

atas perpu yang telah ditetapkan.

Keadaan di atas, penting untuk didesain ulang dengan memberikan DPR

kesempatan untuk meninjau substansi perpu. Tinjauan tersebut harus ditekankan

pada aspek legalitas, konstitusionalitas, implementasi, serta legitimasi perpu.

Aspek legalitas dilihat dari kriteria kegentingan yang memaksa sesuai dengan

batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kriteria

tersebut, memang layak dikualifikasikan sebagai dasar legalitas, karena sesuai

dengan putusan Mahkamah Konstitusi, bahwa presiden hanya mempunyai

kewenangan untuk menetapkan suatu perpu apabila terjadi kegentingan yang

memaksa. Tanpa terpenuhinya syarat tersebut, maka presiden tidak berwenang

menetapkan perpu. Aspek konstitusionalitas berkaitan dengan hal-hal apa saja

yang tidak seharusnya dimuat di dalam suatu perpu karena bertentangan dengan

UUD NRI 1945, bertentangan dengan asas-asas hukum dan peraturan perundang-

undangan, serta bertentangan dengan dasar falsafah negara. Adapun aspek

implementasi dapat diukur dari ketercapaian sasaran dan tujuan ditetapkannya

perpu sesuai dengan usulan penulis yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya,

bahwa paradigma pembentukan suatu perpu harus berorientasi pada tujuan; serta

efek lanjutan dari penetapan suatu perpu berupa promt immediately atau sontak

820

Lihat dalam Pasal 52 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2019.

410

segera. Aspek legitimasi berkaitan dengan aspirasi publik terhadap suatu perpu

sesuai dengan karangka demokrasi. Pada aspek ini, maka proses pembahasan

suatu perpu tersebut harus dilakukan secara terbuka selayaknya pembahasan

rancangan undang-undang dengan tetap mengakomodasi partisipasi publik.

Pembahasan secara terbuka dan masuk dalam ranah substansi perpu,

memang bukan berarti akan menghilangkan unsur politis DPR dalam hal

menyetujui perpu seperti yang telah diuraikan di atas. Akan tetapi pembahasan

yang demikian setidaknya akan mengurangi kadar subyektifitas DPR yang

mengandung unsur politis, dan diharapkan akan lebih mengedepankan objektifitas

dalam menyetujui perpu. Hal ini karena dalam kerangka demokrasi, publik dapat

melakukan kontrol dan menilai terhadap proses legislasi selayaknya dalam

pembentukan undang-undang. Berbeda dengan peran DPR yang serta merta

langsung memberikan persetujuan atau penolakan, yang mungkin saja juga

mendasarkan pada kriteria kegentingan memaksa, namun penentuannya tidak

terbuka dan tidak dapat diawasi dan dinilai oleh publik. Bagaimanapun, dalam

negara demokrasi, penilaian publik terhadap lembaga negara terutama dalam hal

ini adalah parlemen, memainkan peran yang sangat vital. Wacana yang diusulkan

oleh politisi di DPR atau bahkan institusi atau cabang kekuasaan lainnya tidak

akan berkembang sedemikian luas jika tidak berhasil memperoleh dukungan

publik. Hal ini karena dalam sistem demokrasi yang relatif baik, politisi akan

sangat membutuhkan dukungan dari publik untuk tetap bisa eksis dalam poros

kekuasaannya. Relevan apabila dianalogikan dengan kalimat George Vanberg,

411

“the fear of such public backlash can be forceful inducement to implement judicial

decision faithfully”.821

Selain aspek pembahasan, hal yang juga perlu diatur secara rigid mengenai

proses objektifikasi di DPR adalah berkaitan dengan prosedur. Hal ini untuk

memberikan kepastian hukum mengenai respon DPR terhadap perpu sehingga

terdapat kejelasan tentang keberlakuannya. Bahwa pembahasan hingga

persetujuan perpu dilakukan oleh DPR dalam satu kali sidang, yaitu pada masa

sidang berikut, dengan keputusan yang tegas apakah perpu akan disahkan menjadi

undang-undang atau ditolak. Hal ini untuk menghindari kerancuan seperti yang

pernah terjadi pada Perpu Nomor 4 Tahun 2009 karena tidak jelas apakah diterima

atau ditolak, serta menghindari ketidakpastian hukum bahwa perpu yang sudah

ditolak tetap diberlakukan.

Ketiga, pembatasan masa berlaku perpu. Hal ini berkaitan dengan sifat

kesementaraan perpu yang secara ideal diperuntukkan pada negara dalam keadaan

darurat, serta karena substansi perpu yang berpotensi mengandung penyimpangan

tertentu. Bagaimanapun, semakin lama suatu rezim darurat berlangsung, maka

akan semakin kurang efektif tindakan kedaruratan tersebut.822

Padahal, pada saat

yang bersamaan, rezim darurat atau keadaan pengecualian, menurut Giorgio

Agamben, mempunyai ciri esensial selain adanya penyimpangan terhadap prinsip

hukum dan pemisahan kekuasaan adalah kecenderungannya untuk menjadi

821

George Vanberg, The Politics of Constitutional Review in Germany, Cambidge

University Press, New York, 2005, hlm. 20 822

Alexander N. Domrin, The Limits... Op., Cit., hlm. x

412

praktik pemerintahan yang berkelanjutan.823

Mirip dengan pendapat Bruce

Ackerman,824

“unless careful precautions are taken, emergency measures have a

habit of continuing well beyond their time of necessity”. (kecuali tindakan

pencegahan hati-hati diambil, tindakan darurat mempunyai kebiasaan untuk

melanjutkan jauh melampaui waktu kebutuhannya). Tanpa adanya pembatasan

waktu, maka keadaan darurat yang mengecualikan hukum, akan dipersepsikan

bahwa keadaan darurat terjadi secara terus menerus, padahal sangat mungkin

esensi kedaruratannya telah hilang, namun payung hukum kedaruratannya masih

terus diberlakukan. Akibatnya, penangguhan hukum dan hak asasi manusia akan

dianggap sebagai sebuah kewajaran. Ini yang disebut oleh Giorgio Agamben

sebagai normalisasi keadaan darurat, yaitu penyusupan logika keadaan darurat

dalam negara demokrasi.825

Relevan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 1-2/PUU-XII/2013 yang menguji Perpu Nomor 1 Tahun 2013 dengan

substansi yang menegasikan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya,

disebutkan oleh Mahkamah Konstitusi hal itu merupakan bentuk penyelundupan

hukum. Karena itu, adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal memberikan

kekuasaan yang sedemikian besar dalam waktu yang cukup lama, sehingga yang

menjadi problem atas keadaan darurat pada akhirnya tidak hanya lemahnya negara

dalam waktu yang terbatas, namun juga karena terlalu kuatnya negara dalam

waktu yang lama. Our constitutional problem is not that the government will be

823

Giorgio Agamben, State... Op., Cit., hlm. 7 824

Bruce Ackerman, The Emergency... Op., Cit., hlm. 1030 825

Giorgio Agamben, State of Exception, dalam Victor Imanuel W. Nalle, Kritik... Op.,

Cit., hlm. 84

413

too weak in the short run, but that it will be too strong in the long run, demikian

yang disebutkan oleh Bruce Ackerman.826

Di beberapa negara, pemberlakuan keadaan darurat selalu dibatasi dengan

waktu tertentu. Di India, menurut konstitusi Pasal 352, keadaan darurat berakhir

dalam waktu 2 (dua) bulan, kecuali apabila sebelum habis masanya, keadaan

darurat itu mendapatkan persetujuan kedua kamar parlemen sebagaimana

mestinya. Australia menentukan, masa berlaku peraturan yang dibuat dalam

keadaan darurat akan berakhir dengan sendirinya apabila dalam waktu tujuh hari

parlemen tidak atau belum memberikan persetujuan.827

Sedangkan di Perancis,

keadaan darurat dinyatakan melalui dekrit yang ditetapkan oleh kabinet berlaku

terbatas hanya 12 hari, dan hanya parlemen yang berwenang memperpanjang

keadaan darurat lebih dari 12 hari.828

Di Polandia dengan persetujuan Council of

Ministers, Presiden dapat menyatakan keadaan darurat untuk jangka waktu yang

tidak lebih dari 90 (sembilan puluh) hari, yang dapat diperpanjang selama 60

(enam puluh) hari dengan persetujuan mayoritas parlemen.829

Ekuador berdasarkan ketentuan konstitusi Pasal 164 juga memberikan

kewenangan kepada presiden untuk menetapkan keadaan darurat, yang dengan

kewenangan tersebut presiden dapat membatasi hak-hak warga negara serta

menangguhkan suatu aturan hukum. Hanya saja penangguhan itu diberikan

826

Bruce Ackerman, The Emergency... Op., Cit., hlm. 1040 827

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 152 828

Pasal 36 Konstitusi Republik Kelima 1958 berbunyi “A state of emergency (martial

law) shall be declared in the Cabinet (Council of Minister) Only Parliament can authorise a

prolongation beyond a period of twelve days”. Lihat dalam Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti,

Peraturan... Op., Cit., hlm. 227 829

Bruce Ackerman, The Emergency... Op., Cit., hlm. 1054

414

batasan waktu yaitu maksimum 60 hari dan dapat diperpanjang hingga 30 hari.830

Di Inggris, batasan keberlakuan keadaan darurat juga ditentukan dengan jelas.

Pada kasus Pandemi Covid-19 misalnya, dengan menetapkan Coronavirus Act

2020 yang disahkan pada tanggal 25 Maret 2020, ditetapkan berakhir pada tanggal

25 Maret 2022, dengan peninjauan oleh parlemen (legislative review) setiap enam

bulan.831

Lebih jauh apabila merujuk pada aspek historis, Pemerintahan Romawi

Kuno telah menggunakan pembatasan waktu untuk menunjuk seorang “diktator”

dalam mengatasi keadaan darurat itu sampai 6 bulan.832

Seorang diktator tersebut

menangguhkan proses hukum hingga mengerahkan pasukan militer untuk

menyelamatkan negara dari ancaman invasi dan pemberontakan.833

Pada konteks Indonesia, masa keberlakuan perpu sebenarnya telah

dibatasi, namun tidak disebutkan secara eksplisit interval waktunya. Pasal 22 ayat

(2) menentukan perpu harus mendapatkan persetujuan DPR pada sidang

berikutnya. Menurut Bagir Manan, klausul tersebut selain untuk mengubah status

hukum perpu apakah ditolak atau disetujui sehingga menjadi undang-undang, juga

merupakan batasan waktu pemberlakuan perpu yang paling lama adalah sampai

masa persidangan DPR berikutnya.834

Jimly Asshiddiqie menafsirkan,835

perpu

adalah satu-satunya peraturan yang dikeluarkan presiden yang sifatnya mandiri

dalam artian tidak untuk melaksanakan perintah undang-undang yang dapat

berlaku selama-lamanya 1 (satu) tahun. Untuk selanjutnya, perpu tersebut harus

830

Victor Imanuel W. Nalle, Kritik... Op., Cit., hlm. 74 831

Ibid... hlm. 77 832

Ferejohn dan Pasquale Pasquino, The Law... Op., Cit., hlm. 212 833

Ibid. 834

Bagir Manan, DPR... Op., Cit., hlm. 44 835

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi... Op., Cit., hlm. 283

415

diajukan untuk mendapat persetujuan DPR. Artinya dalam 1 tahun itu sudah harus

mendapatkan persetujuan dari DPR. Namun praktik yang terjadi, masih terdapat

perpu yang dibahas melampaui masa sidang pertama setelah perpu ditetapkan,

padahal perpu dimaksud mempunyai akibat hukum yang sangat mungkin

melanggar hak-hak warga negara dan bertentangan dengan UUD NRI 1945

karena dalih kedaruratannya.

Menurut pendapat penulis, ketentuan mengenai batas waktu keberlakuan

perpu ini harus dinyatakan secara expressis verbis dalam peraturan perundang-

undangan. Batasan tersebut tidak secara rigid berdasarkan jangka waktu tertentu.

Namun berdasarkan pada proses pengajuan dan persetujuan DPR. Bahwa perpu

harus dianggap telah tidak berlaku demi hukum apabila pembahasan dan

persetujuan DPR telah melampaui sidang berikut. Hal ini dapat dianalogikan

dengan proses pengesahan suatu undang-undang, yang apabila tidak

ditandatangani oleh presiden dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak disetujui,

maka undang-undang tersebut secara otomatis menjadi undang-undang dan wajib

di undangkan. Secara a contrario, perpu yang tidak dibahas untuk mendapat

persetujuan oleh DPR pada sidang pertama, secara otomatis dianggap tidak

berlaku lagi.

Perpu yang tidak dibahas oleh DPR pada sidang pertama secara tidak

langsung menunjukkan bahwa perpu tersebut tidak memenuhi kualifikasi

kegentingan yang memaksa. DPR dapat berfungsi dengan baik untuk menjalankan

proses legislasi, namun proses tersebut adalah undang-undang selain perpu,

menunjukkan tidak adanya persoalan yang mengancam negara. Meskipun dalam

416

hal ini, tidak dibahasnya perpu oleh DPR pada sidang berikut juga dapat

disebabkan oleh tidak diajukannya perpu oleh presiden kepada DPR. Namun

setidaknya, hal itu sudah memberikan gambaran bahwa urgensi perpu telah

direduksi dengan pengabaian oleh DPR pada sidang berikut. Padahal secara

bersamaan, perpu mempunyai karakteristik kesementaraan.

Konteks di atas kiranya dapat diperbandingkan dengan tradisi di Amerika

Serikat.

Martial law can never be applied to citizens in states which have upheld

the authority of the government, and where the courts are open and their

process unobstructed... No usage of war could sanction a military trial in

such a state for any offence whatever of a citizen in civil life.836

Kalimat di atas disebutkan oleh pengadilan sebagai respon atas kasus

penangkapan Lambdin Milligan pada tahun 1864 di Indiana, sedangkan wilayah

tersebut ditetapkan berada di bawah darurat militer. Milligan ditangkap atas dasar

kekuasaan darurat sehingga tidak sesuai dengan prosedur biasanya. Milligan

kemudian diadili oleh military commission (pengadilan yang dibentuk untuk

mengadil orang-orang tertentu dalam perkara tertentu) padahal pada saat yang

bersamaan pengadilan sipil masih tetap berfungsi. Mahkamah Agung kemudian

memutuskan bahwa military commission tidak mempunyai kompetensi untuk

mengadili Milligan karena pengadilan sipil tetap berfungsi, dan karenanya

Mahkamah Agung menentukan karena pengadilan itu tetap berfungsi

sebagaimana mestinya, maka keadaan darurat tidak bisa diberlakukan.837

Pengadilan militer dapat dibentuk atau difungsikan ketika pengadilan sipil tidak

836

William Feldman, Theories... Op., Cit., hlm. 1033 837

Ibid.

417

sama sekali dapat berfungsi untuk menangani perkara, yang ketidakberfungsian

itu berkaitan dengan sifat kedaruratan itu sendiri.838

Perkara Milligan yang kemudian memunculkan kriteria kedaruratan itu

memang berkaitan dengan institusi peradilan. Selain karena kasus yang muncul

adalah berkaitan dengan proses penangkapan hingga penanganan oleh pengadilan

khusus, perkembangan hukum darurat negara di Amerika Serikat itu memang

banyak dikembangkan oleh lembaga peradilan. Hal yang kemudian relevan untuk

diperbandingkan antara kasus Milligan dengan usulan penulis dalam hal ini adalah

esensi dari kriteria kedaruratan yang dapat dilihat dari aspek keberfungsian suatu

lembaga. Bahwa keadaan daruat tidak bisa ditetapkan apabila suatu lembaga

masih berfungsi sebagaimana mestinya. Apabila pada konteks Amerika Serikat

tersebut terlihat bahwa lembaga peradilan masih berfungsi sehingga status

kedaruratan tidak bisa diberlakukan, maka pada konteks Indonesia yang

berhubungan dengan gagasan penulis pada bagian ini, dapatlah disebutkan bahwa

hal ikhwal kegentingan yang memaksa tidak benar-benar terjadi apabila ternyata

DPR dapat melaksanakan fungsinya dengan baik padahal suatu perpu ditetapkan

dan sedang berlaku sebagai hukum positif. Dikorelasikan dengan aspek

sebelumnya, ketiadaan kegentingan yang memaksa, maka legalitas suatu perpu

menjadi hilang sehingga keberlakuannya harus diakhiri.

Memang cukup rumit bagaimana perpu akan diangap tidak berlaku.

Mengingat dalam hukum perundang-undangan, suatu peraturan hanya bisa dicabut

dengan peraturan yang sederajat. Perpu dengan demikian hanya dapat dicabut

838

Ibid... hlm. 1037

418

dengan perpu atau undang-undang yang kedudukannya sederajat dengan perpu.

Namun ketika pemerintah tidak mengajukan rancangan undang-undang

pencabutan perpu karena memang tidak dibahas oleh DPR, terdapat beberapa

pilihan sebagaimana dikutip dari pendapat Bagir Manan, yaitu839

pada saat DPR

menolak mengesahkan, perpu dianggap secara hukum tidak berlaku lagi; DPR

segera mengajukan rancangan undang-undang pencabutan tanpa menunggu

inisiatif dari pemerintah; atau apabila pemerintah dalam jangka waktu tertentu

tidak mengajukan rancangan undang-undang pencabutan, maka perpu tidak

berlaku lagi. Apabila pemerintah telah mengajukan kepada DPR, namun DPR

tidak membahas pada sidang berikut, maka perpu dianggap tidak berlaku lagi

demi hukum. Bagir Manan mengatakan, wewenang presiden menetapkan suatu

perpu merupakan wewenang conditional, yang artinya harus ada hal ikhwal

kegentingan yang memaksa terlebih dahulu untuk dapat melaksanakan wewenang

tersebut. Tanpa ada hal ikhwal kegentingan yang memaksa, penetapan perpu

adalah batal demi hukum karena tidak berwenang dan bertentangan dengan UUD

NRI 1945.840

Uraian di atas berkaitan dengan batas keberlakuan perpu yang melampaui

masa sidang pertama DPR karena suatu perpu tidak dibahas sehingga diasumsikan

telah kehilangan esensi kedaruratannya. Selanjutnya apakah suatu perpu yang

kemudian telah disetujui oleh DPR dan ditetapkan menjadi undang-undang,

kemudian serta merta bahwa perpu tersebut berlaku layaknya suatu undang-

undang yang lain? Praktik yang selama ini terjadi, memang menunjukkan bahwa

839

Bagir Manan, DPR... Op., Cit., hlm. 46 840

Ibid., hlm. 43

419

perpu yang telah ditetapkan menjadi undang-undang akan diperlakukan

selayaknya undang-undang lain. Menurut pendapat penulis, hal ini perlu didesain

ulang. Menjadikan perpu yang hakikatnya adalah sebuah instrumen hukum

darurat, sebagai hukum yang berlaku normal menunjukkan bahwa perpu tersebut

telah membawa pada keadaan kenormalan baru dengan cara menyusupkan logika

darurat seperti yang disebut Agamben di atas. Karena itu, meskipun telah

ditetapkan menjadi undang-undang dan mendapat persetujuan dari DPR, suatu

keberlakuan perpu tetap harus dilakukan pembatasan masa keberlakuannya. Masa

keberlakuan ini harus dikaitkan dengan kondisi objektif kedaruratan itu sendiri.

Bahwa ketika keadaan darurat yang melatarbelakangi pembentukan perpu itu telah

berakhir, maka perpu tersebut juga harus diakhiri masa keberlakuannya.

Dengan demikian, fungsi objektifikasi DPR terhadap perpu (dalam hal ini

diasumsikan bahwa objektifikasi DPR berupa persetujuan) tidak boleh dipahami

bahwa keadaan darurat telah berakhir akan tetapi perpu yang dibentuk tetap

diberlakukan karena telah menjadi undang-undang. Namun justru harus dipahami

bahwa persetujuan DPR tersebut adalah bentuk legitimasi dan legalitas bagi

presiden bahwa memang benar telah terjadi keadaan darurat yang membolehkan

presiden untuk menggunakan instrumen perpu dalam rangka mengatasi keadaan

darurat itu. Dengan demikian, persetujuan DPR itu berisi setidaknya 3 (tiga) hal,

yaitu bahwa benar telah terjadi keadaan darurat; bahwa benar presiden telah

mempunyai wewenang untuk menggunakan perpu dengan segala konsekuensi

yuridis namun tetap dalam koridor konstitusi; serta batasan keberlakuan perpu

yang disetujui bersama oleh DPR dan Presiden dengan mendasarkan pada

420

perhitungan objektif atas berakhirnya keadaan darurat. Dalam hal ternyata kondisi

kedaruratan itu tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya, maka batasan waktu

keberlakuan suatu undang-undang yang berasal dari perpu itu tetap harus

ditetapkan, sehingga apabila telah sampai pada batasan tersebut, namun ternyata

keadaan darurat belum berakhir, maka harus ada persetujuan kembali antara

presiden dan DPR untuk memperpanjang keberlakuan undang-undang yang

berasal dari perpu tersebut.

Uraian di atas, dengan demikian semakin menahbiskan dua usulan penulis

sebelumnya. Bahwa perpu dibentuk benar-benar untuk mengatasi keadaan darurat

sehingga penggunaannya berorientasi pada tujuan dengan menunjukkan adanya

hubungan kausalitas antara keadaan darurat dengan penetapan perpu, serta

memberikan ruang bagi DPR untuk turut mengawasi atas penggunaan perpu yang

merupakan instrumen hukum darurat. DPR dengan demikian juga diberikan ruang

agar turut bertanggung jawab berdasarkan kondisi objektif atas keadaan darurat

negara.

Keempat, redesain pengawasan oleh lembaga yudisial mengenai

konstitusionalitas materi muatan perpu. Melibatkan lembaga negara dari cabang

kekuasaan yudikatif adalah penting mengingat kebenaran hukum tidak dapat

dimonopoli atas nama otoritas para pembuatnya, seperti pada aliran positivisme,

melainan kepada asalnya yang otentik.841

Isi suatu peraturan juga tidak selalu

terang benderang dan cara pelaksanaannya oleh pemerintah tidak selalu

841

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,

Cetakan Pertama, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 14

421

memuaskan masyarakat.842

arena itu, sampai saat ini pengujian konstitusional

dianggap sebagai strategi mutakhir untuk melindungi dan mencegah terjadinya

kontraksi nilai-nilai konstitusi dari anasir-anasir politis,843

termasuk dalam hal ini

adalah perpu yang menjadi ranah wewenang subyektif presiden.

Lembaga yudikatif yang dapat berperan dalam hal ini adalah Mahkamah

Konstitusi. Hal ini karena Mahkamah Konstitusi yang berperan secara

konstitusional sebagai the guardian of constitution, sehingga harus terus berdiri

setegak-tegaknya dalam mengawal hukum dasar sebagai hukum tertinggi agar

tidak diselewengkan hanya karena negara berada dalam keadaan darurat yang

bersifat sementara.844

Bagaimanapun, “staatsnoodrecht” menurut Kranenburg

sebagaimana dikutip oleh Herman Sihombing,845

merupakan senjata yang sangat

berbahaya terhadap konstitusi, karena posisinyanya yang istimewa sehingga

berpeluang menegasikan konstitusi. Bahkan apabila dilihat dari kacamata politik

hukum sebagaimana dikonstruksikan oleh Mahfud MD,846

tidak terbantahkan lagi

bahwa perpu merupakan produk hukum yang cenderung ortodoks, dengan cirinya

yaitu pembuatan yang sentralistik-dominatif (dibentuk secara sepihak oleh

presiden dengan dasar hal ikhwal kegentingan yang memaksa dengan penafsiran

yang sangat subyektif), muatannya positifis-instrumentalistik (digunakan untuk

memberikan payung hukum bagi presiden untuk bertindak di bawah kekuasaan

darurat), dan rinciannya yang open interpretative, sehingga karenanya sangat

842

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas... Op., Cit., hlm. 89 843

Ahmad Syahrizal, Peradilan... Op., Cit., hlm. 4 844

Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 265 845

Herman Sihombing, Hukum... Op., Cit., hlm. 87 846

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum.... Op., Cit., hlm. 7

422

terbuka peluang untuk berlawanan dengan amanat yang ditentukan oleh

konstitusi.

Peran Mahkamah Konstitusi yang menjadi gagasan pada penelitian ini

dengan melakukan peninjauan terhadap rencana penetapan perpu. Peninjauan

tersebut secara otomatis dilakukan tanpa adanya permohonan terlebih dahulu dari

warga negara. Mekanisme yang dapat dilakukan yaitu bahwa sebelum

menetapkan perpu, presiden terlebih dahulu mengajukan permohonan penilaian

kepada Mahkamah Konstitusi mengenai kualifikasi keadaan kegentingan yang

memaksa. Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan penilaian apakah

keadaan yang dimaksud telah memenuhi kriteria sebagaimana disyaratkan oleh

konstitusi, sehingga dengan demikian presiden telah berwenang untuk

menetapkan perpu. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini tidak meninjau materi

muatan perpu agar tidak terjadi kerancuan apabila ketika diberlakukan, ternyata

ada permohonan pengujian materiil terhadap perpu dimaksud. Dalam konteks ini,

Mahkamah Konstitusi berperan untuk memastikan bahwa kegentingan yang

memaksa memang benar-benar terjadi.

Dalam hal ternyata Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kegentingan

yang memaksa telah terpenuhi, maka presiden dapat menetapkan perpu yang

diperuntukkan secara spesifik untuk mengatasi kegentingan yang memaksa

dimaksud. Ketika perpu itu diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan,

maka DPR tidak perlu terikat dengan penilaian Mahkamah Konstitusi, karena

untuk menentukan apakah kegentingan itu akan diatasi dengan perpu, adalah

pilihan politik antara presiden dan DPR. Mekanisme ini menutup kemungkinan

423

adanya permohonan uji materil terhadap perpu yang berkaitan dengan syarat

kegentingan yang memaksa. Pengujian yang akan muncul dengan demikian hanya

mempersoalkan aspek materiil yaitu ikhwal kerugian konstitusional dan

pertentangan dengan UUD NRI 1945.

Alternatif yang kedua yaitu Mahkamah Konstitusi melakukan judicial

preview atas suatu perpu yang ditetapkan oleh presiden. Preview yang dilakukan

oleh Mahkamah Konstitusi ini adalah berkaitan dengan kualifikasi kegentingan

yang memaksa, karena hal ini berkaitan dengan keabsahan perpu yang dibentuk

berdasarkan wewenang presiden; serta kesesuaian dengan UUD NRI 1945, yang

ini berkaitan dengan konstitusionalitas.

Dalam hal ternyata menurut Mahkamah Konstitusi perpu itu bertentangan

dengan UUD NRI 1945, maka perpu tersebut harus dinyatakan inkonstitusional

dan karenanya tidak berlaku lagi. Namun apabila perpu itu dinyatakan

konstitusional, maka perpu dinyatakan tetap berlaku sampai dengan mendapatkan

persetujuan dari DPR dalam sidang yang berikut. DPR dalam hal ini tentu juga

tidak terikat dengan putusan Mahkamah Konstitusi, karena untuk menyetujui

ataupun menolak perpu, tidak lagi mempersoalkan tentang konstitusionalitas, akan

tetapi persoalan pilihan politik hukum yang hendak dipilih dalam rangka

mengatasi keadaan darurat.

Pada praktiknya, Mahkamah Konstitusi ternyata pernah menilai apakah

suatu perpu telah memenuhi keadaan hal ikhwal kegentingan yang memaksa

sehingga presiden memang tepat dan berwenang untuk menetapkan perpu sesuai

424

dengan amanat Pasal 22 UUD NRI 1945. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang meskipun objek

pengujiannya adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang berasal dari

Perpu Nomor 1 Tahun 2020, Mahkamah Konstitusi juga menilai apakah perpu

tersebut telah memenuhi kualifikasi hal ikhwal kegentingan yang memaksa.

Bahkan lebih jauh daripada itu, Mahkamah Konstitusi justru menilai apakah hal

ikhwal kegentingan yang memaksa, atau keadaan darurat di Indonesia memang

benar-benar terjadi dan memang membutuhkan tindakan darurat.

Perdebatan yang mungkin muncul yaitu tentang kewenangan Mahkamah

Konstitusi untuk melakukan review atas perpu atau undang-undang tentang

penetapan perpu. Hal ini karena memang model peninjauan atas suatu peraturan

perundang-undangan memang terbagi atas 2 (dua) jenis yang selama ini tidak bisa

dikombinasikan, yaitu judicial preview dan judicial review. Mengadopsi keduanya

sekaligus memang akan menimbulkan kerancuan, karena Mahkamah Konstitusi

pada proses judicial review, sangat mungkin menegasikan putusan yang dilakukan

ketika dalam proses judicial preview.

Menurut pendapat penulis, judicial review ini masih memungkinkan untuk

dilakukan. Namun permohonannya hanya berkaitan dengan kerugian

konstitusional pemohon. Artinya, syarat untuk mempunyai legal standing, maka

pemohon harus membuktikan bahwa telah terjadi kerugian konstitusional yang

nyata atas keberlakuan suatu perpu. Berbeda dengan permohonan pada umumnya,

yang mensyaratkan 2 (dua) parameter sekaligus, yaitu pemohon harus

menunjukkan adanya kerugian konstitusional, sekaligus harus menunjukkan

425

pertentangan suatu undang-undang dengan UUD NRI 1945. Syarat untuk

menunjukkan pertentangan perpu dengan UUD NRI 1945 dalam hal ini tidak lagi

diharuskan karena Mahkamah Konstitusi telah melakukan preview atas kesesuaian

perpu dengan UUD NRI 1945 ketika baru ditetapkan oleh presiden.

426

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Merujuk pada beberapa uraian di atas, maka penelitian ini menghasilkan

kesimpulan sebagai berikut:

1. Perpu yang diidealkan sebagai instrumen hukum untuk mengatasi

hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai karakter kedaruratan

negara, dengan memberikan ruang subyektifitas yang luas bagi

presiden untuk memaknainya, berimplikasi pada pemaknaan yang

baragam bergantung pada persepsi masing-masing presiden. Dilihat

dari aspek bidang pengaturannya, pemaknaan kegentingan yang

memaksa pasca reformasi memang tidak lepas dari bidang ekonomi,

politik, dan hukum. Apabila dilihat dari aspek materi muatannya,

terdapat pergeseran pemaknaan dari kegentingan yang memaksa,

menjadi hal ikhwal yang mendesak untuk diatur dengan titik tekan

pada aspek kemendesakan waktu. Sedangkan apabila dilihat dari

aspek latar belakang yang mempengaruhi pemaknaan kegentingan

yang memaksa, maka cenderung mempunyai dimensi politik yang

kuat dibandingkan dengan esensi peristiwa yang terjadi atau akibat

yang ditimbulkan. Karakter aspek politik yang mendorong penetapan

perpu adalah untuk melancarkan agenda politik pemerintah, serta

upaya melindungi kewibawaan politik pemerintah atas suatu

427

peristiwa yang mendapatkan sorotan luas. Konsekuensi dari seluruh

hal itu menunjukkan bahwa perpu tidak pernah diletakkan dalam

kerangka hukum tata negara darurat.

2. Perpu yang dibutuhkan untuk mengantisipasi berbagai macam

ancaman yang tidak terduga dalam perjalanan negara Indonesia ke

depan, harus benar-benar diletakkan dalam kerangka hukum tata

negara darurat dalam bingkai negara hukum dan demokrasi. Original

intent dimuatnya landasan penetapan perpu di dalam UUD 1945,

ragam problematika penetapan dan materi muatan, serta implikasi

putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan tafsir

konstitusional atas hakikat perpu, merupakan pijakan dasar politik

hukum pengendalian penetapan perpu oleh presiden ke depan, yaitu

pembatasan subyektifitas presiden dalam menafsirkan hal ikhwal

kegentingan yang memaksa dengan menormatifkan rambu-rambu

kriteria kegentingan memaksa dan larangan yang tidak boleh

dilakukan oleh presiden dalam penetapan perpu; redesain

objektifikasi perpu di parlemen dengan peninjauan terhadap materi

muatan perpu yang bertumpu pada legalitas, konstitusionalitas,

implementasi, legitimasi, dan menormatifkan secara baku prosedur

persetujuan dan penolakan terhadap perpu; pembatasan keberlakuan

perpu dengan tolok ukur masa persidangan DPR dan keadaan

kedaruratan negara; serta redesain pengawasan lembaga yudisial

dengan melibatkan Mahkamah Konstitusi.

428

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran atau rekomendasi yang dapat

dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Amendemen Konstitusi untuk memperluas kewenangan Mahkamah

Konstitusi dalam keterlibatannya terhadap pengawasan yudisial atas

penetapan perpu dan mempertegas pembatasan terhadap masa

keberlakuan perpu, serta menormatifkan batasan-batasan

subyektifitas presiden dan proses obyektifikasi yang dimuat secara

expressis verbis di dalam suatu undang-undang yang mengatur

mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, adalah hal

yang mutlak diperlukan dan tidak terelakkan lagi.

2. Pada aspek implementasi, MPR agar melakukan amendemen

konstitusi dengan menambah kewenangan Mahkamah Konstitusi

untuk dapat melakukan kontrol yudisial melalui pranata judicial

preview atas penetapan suatu perpu, serta mempertegas batasan

waktu keberlakuan perpu di dalam konstitusi.

3. DPR sebagai pemegang kekuasaan legislasi agar melakukan

perubahan atas Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan dengan memasukkan materi muatan tentang

batasan-batasan subyektifitas presiden dalam menetapkan perpu,

serta pengaturan tentang proses objektifikasi perpu oleh DPR yang

bertumpu pada aspek legalitas, konstitusionalitas, implementasi, dan

legitimasi, yang seluruhnya diatur secara rinci di dalam Undang-

429

Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

sehingga terdapat batasan yang berbasiskan kepastian hukum.

4. Presiden sebagai pemegang kuasa penetapan perpu hendaknya

mengikatkan diri terhadap peraturan perundang-undangan dan

putusan pengadilan untuk tidak menggunakan perpu sebagai pilihan

utama dalam merespon persoalan negara, namun menjadikannya

sebagai alternatif paling akhir ketika upaya lain tidak dapat

digunakan untuk mengatasi permasalahan yang bersifat ekstrem

berupa hal ikhwal kegentingan yang memaksa.

430

DAFTAR PUSTAKA

Buku

A. Ahsin Thohari, Hak Konstitusional Dalam Hukum Tata Negara Indonesia,

Penerbit Erlangga, Jakarta, 2016.

A. Ubaedillah, Pancasila, Demokrasi, & Pencegahan Korupsi, Edisi Pertama,

Cetakan Kedua, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015.

A.V. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Tenth

Edition, English Language Book Society and MacMillan, London, 1959.

Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Cetakan Pertama,

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988.

Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta,

2014.

Abdul Manan, Perbandingan Politik Hukum Islam dan Barat, Cetakan Kedua,

Prenadamedia, Jakarta, 2018.

Abdul Mukhtie Fadjar, Sejarah, Elemen, dan Tipe Negara Hukum, Setara Press,

Malang, 2016.

Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, Terjemahan Oleh Zainudin Adnan,

Cetakan Pertama, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994.

Abintoro Prakoso, Politik Hukum Indonesia, Cetakan Kedua, Laksbang Grafika,

Yogyakarta, 2019.

Abu Bakar Ebyhara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Pertama, Ar-Ruzz Media,

Yogyakarta, 2010.

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Cetakan Kedelapan, Bumi Aksara, Jakarta, 2011.

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang

(Legisprudence), Cetakan Keenam, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015.

Achmad Edi Subiyanto, Yurisprudensi Hukum Acara Dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi, Setara Press, Malang, 2014.

Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik & Hukum Islam: Reposisi Peradilan

Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang

431

Sesungguhnya, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar atas kerjasama dengan

Pascasarjana IAIN Walisongo, Yogyakarta, 2006.

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:

Studi Sosio Legal Atas Konstituante 1956-1959, terjemahan oleh Sylvia

Tiwon, Cetakan Pertama, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995.

Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Cetakan Kelima,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi

Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif,

Cetakan Pertama, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006.

Alexander Hamilton, James Madison, and John Jay, The Federalist Papers,

Oxford University Press, New York, 2008.

Alexander N. Domrin, The Limits of Russian Democratisation: Emergency

Powers and States of Emergency, First Published, Routledge, London

and New York, 2006.

Aloysius Soni BL de Rosari (Editor), Centurygate: Mengurai Konspirasi

Penguasa-Pengusaha, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010.

Anthony Giddens, The Third Way: The Renewal of Social Democracy, terjemahan

oleh Ketut Arya Mahardika, Cetakan Ketiga, Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 2000.

Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme: Kebijakan Formulatif Hukum Pidana

Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha

Ilmu, Yogyakarta, 2012.

Azhary, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-

Unsurnya, Cetakan Pertama, UI-Press, Jakarta, 1995.

Bagir Manan dan Kuntana Bagnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara

Indonesia, Alumni, Bandung, 1997.

Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Cetakan Pertama,

FH UII Press, Yogyakarta, 2003.

C.F.G Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,

Alumni, Bandung, 1991.

432

Clinton Rossiter, Constitutional Dictatorship: Crisis Government in the Modern

Democracies, Princeton University Press, Princeton, 1948.

Cosmin Cercel, dkk. (Editor), States of Exception: Law, History, Theory,

Routledge, New York, 2021.

Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum dan Kekuasaan, Cetakan Pertama,

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998.

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni‟matul Huda, Teori Hukum dan Konstitusi,

Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999.

Daniel S.Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan,

Cetakan Pertama, LP3ES, Jakarta, 1990.

David A. Strauss, The Living Constitution, Oxford University Press, London,

2010.

David Held, Demokrasi & Tatanan Global: Dari Negara Modern hingga

Pemerintahan Kosmopolitan, terjemahan oleh Damanhuri, Cetakan

Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.

Deddy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara Dalam Multi

Perspektif: Kekuasaan, Masyarakat, Hukum, dan Agama, Cetakan

Kedua, Pustaka Setia, Bandung, 2007.

Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran,

Cetakan Kedua, Mizan, Bandung, 2007.

Djokosutono, Kuliah Ilmu Negara, Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta,

1985.

Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat: AnalisisTerhadap Sistem

Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara

Lain, Cetakan Pertama, Nusamedia, Bandung, 2007.

Edward Aspinall dan Ward Barenschot, Democracy For Sale: Pemilu,

Klientelisme, dan Negara di Indonesia, terjemahan oleh Edisius Riyadi,

Cetakan Pertama, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2019.

Eva Achjani Zulfa, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-

Undang Perubahan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pusat Perencanaan Pembangunan

433

Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian

Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 2012.

Fajlurrahman Jurdi, Teori Negara Hukum, Setara Press, Malang, 2016.

Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man: Kemenangan

Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, terjemahan oleh M.H. Amrullah,

Cetakan Keempat, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2016.

Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,

Cetakan Kesembilan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2018.

Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam

Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, terjemahan oleh I. Made Krisna,

Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.

George Vanberg, The Politics of Constitutional Review in Germany, Cambidge

University Press, New York, 2005.

Giorgio Agamben, State of Exception, The University of Chicago Press, Chicago

and London, 2005.

Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Cetakan Pertama,

Pondok Edukasi, Yogyakarta, 2004.

H.M. Thalhah, Demokrasi dan Negara Hukum, Cetakan Pertama, Kreasi Total

Media, Yogyakarta, 2008.

Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan oleh Raisul

Muttaqien, Cetakan Kesepuluh, Nusa Media, Bandung, 2015.

Harjono, Transformasi Demokrasi, Cetakan Pertama, Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2009.

Hartono Mardjono, Negara Hukum yang Demokratis Sebagai Landasan

Membangun Indonesia Baru, Cetakan Pertama, Yayasan Koridor

Pengabdian, Jakarta, 2001.

Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, Djambatan,

Jakarta, 1996.

434

Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara Kontemporer: Telaah Teoritis Asal Mula,

Tujuan dan Fungsi Negara, Negara Hukum dan Negara Demokrasi,

Cetakan Pertama, LaksBang Grafika, Yogyakarta, 2016.

I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint):

Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga

Negara, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.

Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.

In‟amul Mushoffa, dkk. Konsep Memperdalam Demokrasi: Dari Prosedural ke

Substantif Menuju Representasi Politik yang Berkualitas, Intrans

Publishing, Malang, 2016.

Jean Jecques Rousseau, Kontrak Sosial, terjemahan oleh Sumardjo, Erlangga,

Jakarta, 1986.

Jeffrey A. Winters, Oligarki, terjemahan oleh Zia Anshor, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 2011.

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan

dalam UUD NRI 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005.

_____________, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan

Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2015.

_____________, Hukum Tata Negara Darurat, Cetakan Pertama, PT RajaGrafino

Persada, Jakarta, 2007.

_____________, Konstitusi Bernegara: Praksis Kenegaraan Bermartabat dan

Demokratis, Cetakan Kedua, Setara Press, Malang, 2016.

_____________, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Ketiga,

Sinar Grafika, Jakarta, 2014.

_____________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cetakan Kelima, Rajawali

Pers, Jakarta, 2013.

K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Terjemahan oleh Muhammad

Hardani, Cetakan Pertama, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003.

435

Kenneth Newton dan Jan W. Van Deth, Perbandingan Sistem Politik: Teori dan

Fakta, terjemahan oleh Imam Muttaqin, Cetakan Pertama, Nusa Media,

Bandung, 2016.

Lukman Hakim, “Kerangka Politik Hukum Indonesia” dalam Membangun

Negara Hukum yang Bermartabat, Cetakan Pertama, Setara Press,

Malang, 2013.

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan

Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2007.

Martin H. Hutabarat, dkk, Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analitis Dekrit

Presiden dan Otonomi Daerah, Cetakan Pertama, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, 1996.

Masdar Hilmy, Jalan Demokrasi Kita: Etika Politik, Rasionalitas, dan Kesalehan

Publik, Intrans Publishing, Malang, 2017.

Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi: Respons Intelektual Muslim Indonesia

Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Edisi Revisi, Cetakan Pertama,

Prenadamedia Group, Jakarta, 2015.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan Ketiga Puluh, PT.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ketiga,

Gaya Media Pratama, Jakarta, 1995.

Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan

Kedua, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2001.

______________, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang

Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Cetakan Pertama,

Liberty, Yogyakarta, 1993.

______________, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan Pertama, Gama

Media, Yogyakarta, 1999.

______________, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Cetakan Ketiga,

Rajawali Pers, Jakarta, 2012.

______________, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers,

Jakarta, 2010.

436

______________, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen

Konstitusi, Cetakan Pertama, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2007.

______________, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama,

Gama Media, Yogyakarta, 1999.

______________, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Keenam,

Rajawali Pers, Jakarta, 2014.

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

Cetakan Ketujuh, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Jakarta, 1988.

Mohammad Hatta, Demokrasi Kita: Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan

Kedaulatan Rakyat, Cetakan Keempat, Sega Arsy, Bandung, 2014.

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat Sistem Politik Islam: Suatu Telaah

Mendalam tentang Tata Hukum, Keadilan, Ketaatan, Syura, terjemahan

oleh Hery Noer Aly dan Agus Halimy, Cetakan Pertama, Bidang

Penerbitan PLP2M, Yogyakarta,1987.

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cetakan

Kedua, Prenadamedia Group, Jakarta, 2016.

Muhammad Junaidi, Ilmu Negara: Sebuah Konstruksi Ideal Negara Hukum,

Cetakan Kedua, Setara Press, Malang, 2016.

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-

Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada

Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Edisi Kedua, Cetakan Pertama,

Kencana, Bogor, 2003.

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Cetakan Kedua, PT.

Refika Aditama, Bandung, 2011.

Muntoha, Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Cetakan

Pertama, Kaukaba Dipantara, Yogyakarta, 2013.

Ni‟matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2011.

____________, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Keenam,

Rajawali Pers, Jakarta, 2012.

437

____________, Ilmu Negara, Edisi Pertama, Cetakan Keenam, Rajawali Pers,

Jakarta, 2014.

____________, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, Cetakan

Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2007.

____________, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, Cetakan

Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2005.

____________, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Kedua, FH UII Press,

Yogyakarta, 2004.

____________, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap Dinamika

Perubahan UUD 1945, Cetakan Kedua, FH UII Press, Yogyakarta, 2004.

Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Ketiga, Permata

Aksara, Jakarta, 2014.

Nurlaili Rahmawati dan Sigit Nurhadi Nugraha, Parameter Kegentingan yang

Memaksa Dalam Penerbitan Perpu: dalam Tinjauan Fiqh Siyasah,

Cetakan Pertama, Lindan Bestari, Bogor, 2021.

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi

tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam

Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi

Negara, Cetakan Pertama, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987.

Qamaruddin Khan, Tentang Teori Politik Islam, terjemahan oleh Taufik Adnan

Amal, Cetakan Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1987.

R. Siti Zuhro, dkk., Demokrasi Lokal; Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai

Budaya Politik Lokal, Ombak, Yogyakarta, 2009.

Richard A. Posner, Not a Suicide Pact: The Constitution in a Time of National

Emergency, Oxford University Press, New York, 2006.

Richard M. Ketchum, What Is Democracy?, terjemahan oleh Mukhtasar, Cetakan

Pertama, Penerbit Niagara, Yogyakarta, 2004.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan Keempat Belas,

Rajawali Pers, Jakarta, 2018.

__________, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, Cetakan Pertama, FH UII

Press, Yogyakarta, 2014.

438

____________, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi,

Cetakan Pertama, FH UII Press, 2009.

Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratizatio In Indonesia,

Princeton University Press, United Kingdom, 2000.

S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,

Cetakan Keenam, Liberty, Yogyakarta, 2011.

Saafroedin Bahar, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Edisi Ketiga, Cetakan

Pertama, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1995.

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Rajawali

Pers, Depok, 2018.

Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, terjemahan oleh Asril

Marjohan, Cetakan Pertama, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995.

______________, Tertib Politik Dalam Masyarakat yang Sedang Berubah,

Rajawali, Jakarta, 1983.

Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Cetakan

Kedua, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.

____________, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,

Cetakan Pertama, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

____________, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Seymour Martin Lipset, Political Man: Basis Sosial tentang Politik, terjemahan

oleh Endi Haryono, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.

Sodikin, Hukum Pemilu: Pemilu Sebagai Praktik Ketatanegaraan, Gramata

Publishing, Bekasi, 2014.

Soehino, Ilmu Negara, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Liberty, Yogyakarta,

1996.

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Cetakan Kesebelas, Rajawali Pers, Jakarta, 2012.

______________, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, UI Press,

Jakarta, 1986.

439

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Konsep, dan Metode, Setara Press, Malang,

2013.

Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, How Democracies Die, terjemahan oleh Zia

Anshor, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2019.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Cetakan Keenam,

Liberty, Yogyakarta, 2009.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Cetakan Ketiga,

Kanisius, Yogyakarta, 1986.

Thomas Meyer, Sosial-Demokrasi Dalam Teori dan Praktek (Pengalaman Kaum

Sosial-Demokrat Jerman), terjemahan oleh Imam Yudotomo, Center for

Social-Democratic Studies, Yogyakarta, 2003.

Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama,

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta,

2010.

Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Buku I: Latar Belakang, Proses, dan

Hasil Perubahan UUD 1945, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Sekretariat

Jenderal dan Kepanteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010.

_____________, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku III: Lembaga

Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid II, Edisi Revisi, Cetakan Kedua,

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta,

2010.

Victor Situmorang, Intisari Ilmu Negara, Cetakan Pertama, Bina Aksara, Jakarta,

1987.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Cetakan Kedua,

Eresco Jakarta, Bandung, 1981.

Yopi Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara

Hukum Pancasila, Cetakan Pertama, PT. Refika Aditama, 2015.

Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Cetakan Pertama,

Genta Publishing, Yogyakarta, 2014.

440

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual

Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Cetakan

Pertama, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.

Jurnal dan Hasil Penelitian

A.A Ngr Jayalantara, “Kajian Terhadap Pengecualian Pemberlakuan Asas

Nonrektroaktif Dalam Kasus Bom Bali I” Tesis Pada Program

Pascasarjana Sistem Peradilan Pidana, Universitas Indonesia, Jakarta,

2012.

Achmad Edi Subiyanto, “Menguji Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang” artikel dalam Lex Jurnalica Volume 11,

Nomor 1, April 2014.

Agus Nurhakim, “Konsep Darurat Dalam Hukum Ketatanegaraan Islam” artikel

dalam Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam, Volume 8, Nomor

1, Mei 2020.

Ali Marwan Hsb, “Kegentingan yang Memaksa Dalam Pembentukan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang” artikel dalam Jurnal Legislasi

Indonesia Volume 14, Nomor 1, Maret 2017.

Andras Jakab, “German Constitutional Law and Doctrine on State of Emergency

– Paradigms and Dilemmas of a Traditional (Continental) Discourse”

artikel dalam German Law Journal Vol. 07, No. 5, 2005.

Anna Jonsson Cornell and Janne Salminen, “Emergency Laws in Comparative

Constitutional Law – The Case of Sweden and Finland” artikel dalam

German Law Journal, Vol. 19, No. 2, 2018.

Anna Triningsih,”Politik Hukum Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

Dalam Penyelenggaraan Negara” artikel dalam Jurnal Konstitusi,

Volume 13, Nomor 1, Maret 2016.

Aris, “Efektifitas Fikih Darurah Dalam Menyelesaikan Masalah Hukum

Kontemporer” artikel dalam Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 2,

Juli 2011.

441

Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang dalam Perspektif Ajaran Konstitusi dan Prinsip Negara Hukum”

artikel dalam Jurnal PJIH, Vol. 4, No. 2, Tahun 2017.

Bagir Manan, “Judicial Precedent dan Stare Decicis (Sebagai Pengenalan)” artikel

dalam Varia Peradilan Vol. 30, Edisi Nomor 347, Oktober 2014.

Bruce Ackerman, “The Emergency Constitution” artikel dalam The Yale Law

Journal, Vol. 113, 2004.

Bunyamin, “Konsepsi Musyawarah dalam al-Qur‟an: Analisis Fiqh Siyasah

terhadap QS: An-Naml” artikel dalam Jurnal Al-„Adl, Vol. 10, No. 1,

Januari 2017.

Chrisdianto Eko Purnomo, “Dasar Konstitusional Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang dan Batasan Pengaturannya” artikel dalam

Jurnal Hukum Jatiswara, 2017.

David Cole, “The Priority of Morality: The Emergency Constitution‟s Blind Spot”

artikel dalam The Yale Law Journal, Volume 113, Tahun 2004.

Dian Kus Pratiwi, “Implikasi Yuridis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia”

artikel dalam Jurnal PJIH Volume 4, Nomor 2, Tahun 2017.

Fitra Arsil dan Qurrata Ayuni, “Model Pengaturan Kedaruratan dan Pilihan

Kedaruratan Indonesia dalam Menghadapi Pandemi Covid-19” artikel

dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 50, No. 2, Tahun 2020.

Fitra Arsil, “Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu:

Studi Perbandingan Pengaturan dan Penggunaan Perppu di Negara-

Negara Presidensial” artikel dalam Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol.

48, No. 1, Jauari-Maret Tahun 2018.

Herlambang Perdana Wiratraman, “Does Indonesian Covid-19 Emergency Law

Secure Rule of Law and Human Rights?” artikel dalam Journal of

Southeast Asian Human Rights, Volume 4, Nomor 1, 2020.

Husnul Khotimah dan Syarifuddin, “Darurat dan Realisasinya” artikel dalam

Jurnal Lisan al-Hal Volume 8, Nomor 2, Desember 2014.

442

Ibnu Sina Chandranegara, “Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan

Konstitusional Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK

No.138/PUU-VII/2009” artikel dalam Jurnal Yudisial, Vol. 5, No. 1,

April 2012.

Iin Solikhin, “Konsep Darurah Dalam Hukum Islam” artikel dalam Al Manahij,

Volume 2, Nomor 2, Juli-Desember 2008.

Ikaningtyas, “Hybrid Tribunal Sebagai Upaya Penanganan Kasus Kejahatan

Kemanusiaan Berat di Timor Timur Pada Tahun 1999” artikel dalam

Jurnal Risalah Hukum, Vol. 8, Nomor 1, Juni 2012.

Jamilus, “Kajian Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2004” artikel dalam Jurnal Widya Yustisia, Volume 1, Nomor 2,

Januari 2015.

John Ferejohn and Pasquale Pasquino, “The Law of The Exception: A Typology of

Emergency Powers” artikel dalam International Journal of

Constitutional Law, April 2004.

John Reynolds, “The Long Shadow of Colonialism: The Origins of the Doctrine of

Emergency In International Human Rights Law” artikel dalam

Comparative Research in Law & Political Economy, Vol. 6, No. 5,

Tahun 2010.

Kim Lane Scheppele, “Law in Time of Emergency: State of Exception and The

Temptations od 9/11” artikel dalam Journal of Constitutional Law, Mei,

2004.

M. Beni Kurniawan, “Konstitusionalitas Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang

Ormas Ditinjau dari UUD 1945” artikel dalam Jurnal Konstitusi, Volume

15, Nomor 3, September 2018.

Maruarar Siahaan, “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum

Konstitusi”, artikel dalam Jurnal Hukum Nomor 3, Volume 16, Juli

2009.

443

Moh. Mahfud MD, “Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah

Konstitusi”, artikel dalam Jurnal Hukum, Nomor 4, Volume 16, Oktober

2009.

Moh. Mahfud MD, “Tak Ada Perppu yang Tak Kontroversial” artikel dalam

Harian Kompas, 27 April 2020

Muchamad Ali Safa‟at, “Perpu Plt Pimpinan KPK; Adakah Kegentingan yang

Memaksa” http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/PERPPU-PLT-

KPK.pdf diakses pada tanggal 8 Agustus 2021

Muhammad Siddiq, “Kegentingan Memaksa Atau Kepentingan Penguasa:

Analisis Terhadap Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Perppu)” artikel dalam Jurnal Ilmu Syari‟ah dan

Hukum Asy Syir‟ah Vol. 48, No. 1, Juni 2014.

Muhammadd Syarif Nuh, “Hakekat Keadaan Darurat Negara (State of

Emergency) sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang” artikel dalam Jurnal Hukum, Volume 18, Nomor 2,

April 2011.

Ni‟matul Huda, “Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi” artikel dalam

Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 5, Oktober 2010.

Nur Asia Hamzah, “Darurat Membolehkan yang Dilarang” artikel dalam Jurnal

Kajian Islam Kontemporer, Volume 11, Nomor 2, 2020.

Nur Rohim, “Kontroversi Pembentukan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang

Mahkamah Konstitusi Dalam Ranah Kegentingan yang Memaksa” artikel

dalam Jurnal Cita Hukum, Vol. II, No. 1, Juni 2014.

Osgar S. Matompo, “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif

Keadaan Daruat” artikel dalam Jurnal Media Hukum, Vol. 21, No. 1,

Juni 2014.

Rudi M. Rizki, “Beberapa Catatan tentang Pengadilan Pidana Internasional Ad

Hoc Untuk Yugoslavia dan Rwanda Serta Penerapan Prinsip Tanggung

Jawab Negara Dalam Pelanggaran Berat HAM” artikel dalam Jurnal

Hukum Humaniter, Vol. 1, Nomor 2, 2019.

444

Saldi Isra, dkk, “Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah

Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif)” Hasil

Penelitian Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan

Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas,

Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang,

2010.

Shylashri Shankar, “The State of Emergency in India: Bockenforde‟s Model in a

Sub-National Context” artikel dalam German Law Journal, Volume 19,

Nomor 2, 2018.

Sri Hariningsih, “Ketentuan Peralihan Dalam Peraturan Perundang-Undangan”

artikel dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6, Nomor 4, Desember

2009.

Surya Oktaviandra, “Analisis Aspek Legalitas, Proporsionalitas dan

Konstitusionalitas Ketentuan Imunitas Pidana Bagi Pejabat Pemerintah

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020” artikel dalam Majalah

Hukum Nasional, Volume 50 Nomor 2, Tahun 2020.

Susi Dwi Harijanti, “Perppu Sebagai Extra Ordinary Rules: Makna dan Limitasi”

artikel disampaikan dalam diskusi publik “Membedah Makna

„Kegentingan Memaksa‟ dalam Perppu”, Kerjasama Fakultas Hukum

Universitas Atmajaya dengan APHTN-HAN DKI Jakarta, 8 Agustus

2017.

Victor Imanuel W. Nalle, “Kritik Terhadap Perppu di Masa Pandemi: Pembatasan

Hak Tanpa Kedaruratan” artikel dalam Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 33,

No. 1, Tahun 2021.

William Feldman, “Theories of Emergency Powers: A Comparative Analysis of

American Martial Law and the French State of Siege” artikel dalam

Cornell International Law Journal, Volume 38, Nomor 3, Tahun 2005.

Yudha Bhakti, dkk., Laporan Akhir Tim Kompilasi Bidang Hukum Tentang “Asas

Retroaktif”, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan

Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik

Indonesia, Jakarta, 2006.

445

Zairin Harahap, “Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu”

artikel dalam Jurnal Yudisial, Volume 7, Nomor 3, Desember 2014.

Makalah

Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, “Rekonstruksi Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Dalam Hukum Tata Negara Darurat”, Makalah

disampaikan dalam Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas

Jayabaya, Jakarta, 19 September 2020.

Zainal Abidin, “Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia: Regulasi, Penerapan

dan Perkembangannya” Makalah disampaikan pada Kursus HAM untuk

Pengacara ke XIV, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Oktober

2010, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1998 tentang

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1998 tentang

Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka

Umum

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2002 Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober

2002

446

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang

Jaring Pengaman Sistem Keuangan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang

Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk

Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau

Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

447

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota

Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara

Pengambilan Keputusan Pimpinan KPK.

Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 2018 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi

Putusan Peradilan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-I/2003 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada

Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, Menjadi

Undang-Undang

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan

448

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-VI/2008 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Presiden dan Wakil Presiden

Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Formil Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1985 tentang Mahkamah Agung

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PUU-VII/2009 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang

Bank Indonesia dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia dan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang

Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Mengganggu

Ketertiban Umum juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang

449

Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai

Undang-Undang

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XI/2013 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XI/2013 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XI/2013 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XI/2013 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XI/2013 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-XI/2013 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi

450

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 118-119-125-126-127-129-130-135/PUU-

XII/2014 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota dan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XII/2014 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XV/2017 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XV/2017 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XV/2017 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan

451

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XV/2017 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XV/2017 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan

Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XV/2017 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XV/2017 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XV/2017 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan

Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XVI/2018 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020

tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan

untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19)

dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan

452

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020

tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan

untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19)

dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang

Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk

Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) dan/atau

Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi

Undang-Undang

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 44/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020

tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

menjadi Undang-Undang

Sumber Website

Anonim “Eks Ketua MK: Perpu Ormas Tak Penuhi Syarat Dikeluarkannya Perpu”

artikel dalam https://nasional.tempo.co/read/892326/eks-ketua-mk-perpu-

ormas-tak-penuhi-syarat-dikeluarkannya-perpu/full&view=ok diakses

pada tanggal 10 Agustus 2021

Anonim, “Abraham Sama Resmi Jadi Tersangka” dalam

https://nasional.kompas.com/read/2015/02/17/08590821/Abraham.Samad

.Resmi.Jadi.Tersangka. Diakses pada tanggal 8 Agustus 2021.

453

Anonim, “Antasari Azhar Tersangka Otak Pembunuhan Nasrudin” dalam

https://news.detik.com/berita/d-1124907/antasari-azhar-tersangka-otak-

pembunuhan-nasrudin, diakses pada tanggal 7 Agustus 2021.

Anonim, “Bambang Widjojanto Jadi Tersangka Keterangan Palsu” dalam

https://nasional.tempo.co/read/636976/bambang-widjojanto-jadi-

tersangka-keterangan-palsu/full&view=ok, diakses pada tanggal 8

Agustus 2021

Anonim, “DPR Tolak Perppu Pelaksana Tugas KPK” dalam

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b8d2c6c6f7a3/dpr-tolak-

perppu-pelaksana-tugas-kpk, diakses pada tanggal 8 Agustus 2021

Anonim, “Inilah Alasan Polisi Jadikan Bibit dan Chandra Tersangka” dalam

https://nasional.tempo.co/read/198331/inilah-alasan-polisi-jadikan-bibit-

dan-chandra-tersangka/full&view=ok, diakses pada tanggal 7 Agustus

2021

Anonim, “Jimly: Perppu yang Akan Dikeluarkan Presiden Bisa Mengebiri MK”

dalam http://news.detik.com/berita/d-2379410/jimly-perppu-yang-akan-

dikeluarkan-presiden-bisa-mengebiri-mk?nd772204topnews diakses pada

tanggal 10 Agustus 2021

Anonim, “Kantor Bupati Lebak Ditutup Setelah 25 Pegawai Positif Covid-19”

artikel dalam https://nasional.tempo.co/read/1435501/kantor-bupati-

lebak-ditutup-setelah-25-pegawai-positif-covid-19/full&view=ok diakses

pada tanggal 21 Agustus 2021.

Anonim, “Kantor Disdukcapil Kulon Progo Tutup Setelah Seorang Pegawai

Positif Covid” artikel dalam

https://regional.kompas.com/read/2020/11/16/11344881/kantor-

disdukcapil-kulon-progo-tutup-setelah-seorang-pegawai-positif-covid,

diakses pada tanggal 21 Agustus 2021.

Anonim, “Penyebab Jimly Asshiddiqie Tak Setuju Penerbitan Perppu Ormas”

artikel dalam https://nasional.tempo.co/read/891232/penyebab-jimly-

asshiddiqie-tak-setuju-penerbitan-perppu-ormas/full&view=ok diakses

pada tanggal 10 Agustus 2021

454

Anonim, “Presiden Lantik Pelaksana Tugas Pimpinan KPK” dalam

https://www.liputan6.com/news/read/246569/presiden-lantik-pelaksana-

tugas-pimpinan-kpk, diakses pada tanggal 8 Agustus 2021

Anonim, “Presiden Lantik Pelaksana Tugas Pimpinan KPK” dalam

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150220_pelant

ikan_plt_kpk, diakses pada tanggal 8 Agustus 2021

Anonim, “Survei LSI: 74 Persen Publik Ingin Presiden SBY Tarik RUU Pilkada”

artikel dalam

https://nasional.kompas.com/read/2014/09/18/15145881/Survei.LSI.74.P

ersen.Publik.Ingin.Presiden.SBY.Tarik.RUU.Pilkada, diakses pada

tanggal 9 Agustus 2021

Anonim, “Survei LSI: 74 Persen Publik Ingin Presiden SBY Tarik RUU Pilkada”

artikel dalam

https://nasional.kompas.com/read/2014/09/18/15145881/Survei.LSI.74.P

ersen.Publik.Ingin.Presiden.SBY.Tarik.RUU.Pilkada, diakses pada

tanggal 9 Agustus 2021

Anonim, “The American‟s Creed” dalam

http://www.usflag.org/american.creed.html, diakses pada tanggal 4 Maret

2021

Anonim, “Yusril Ihza Mempertanyakan Kegentingan Perpu Ormas” artikel dalam

https://nasional.tempo.co/read/892459/yusril-ihza-mempertanyakan-

kegentingan-perpu-ormas-karena/full&view=ok diakses pada tanggal 10

Agustus 2021

Arie Riswandi, “Koalisi LSM dan Mahasiswa Demo Tolak Pilkada Lewat DPRD”

artikel dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20140924131136-

32-4203/koalisi-lsm-dan-mahasiswa-demo-tolak-pilkada-lewat-dprd

diakses pada tanggal 9 Agustus 2021

Fika Nurul Ulya, "Sudah 12 Negara yang Kini Alami Resesi", artikel

dalam https://money.kompas.com/read/2020/08/17/104459826/sudah-12-

negara-yang-kini-alami-resesi?page=all#page2 diakses pada tanggal 21

Agustus 2021

455

Sabrina Asril, ”Langkah Penyelamatan MK, Pemerintah Siapkan Perpu” artikel

dalam

https://nasional.kompas.com/read/2013/10/05/1552262/Langkah.Penyela

matan.MK.Pemerintah.Siapkan.Perpu, diakses pada tanggal 9 Agustus

2021

456

CURICULUM VITAE

Nama : Mohammad Agus Maulidi, S.H

Tempat, Tanggal Lahir : Situbondo, 18 Agustus 1994

Agama : Islam

Alamat : Jl. Arak-arak, Gunung Malang 002/002, Suboh,

Situbondo, Jawa Timur, 68354

Nama Orang Tua : Drs. Muciono (Ayah) & Rufi (Ibu)

Nomor HP : 082243834181

Riwayat Pendidikan : 1. SDN 2 Gunung Malang

2. SMP Nurul Jadid

3. SMA Nurul Jadid

4. S1 Fakultas Hukum Universitas Islam

Indonesia

Publikasi : 1. Menyoal Kekuatan Eksekutorial Putusan

Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi

(Jurnal Konstitusi, 2019)

2. Problematika Hukum Implementasi Putusan

Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi

Perspektif Negara Hukum (Jurnal Ius Quia

Iustum, 2017)

3. Reformulasi Pemenuhan Hak Politik Bagi

Penyandang Disabilitas Untuk Dipilih dalam

Pemilihan Umum (Prosiding Nasional Call of

Paper, 2018)

4. Reviu Undang-Undang (Harian Sindo,

Februari 2021)

5. Problematika Eksekutorial Putusan MK

(Harian Sindo, Februari 2020)

6. Menaruh Harapan pada Dewan Pengawas

KPK (detik.com, Januari 2020)

7. Menerka Standing Position MK atas UU

457

KPK (Harian Sindo, Januari 2020)

8. Nuansa Baru DPD (Harian Sindo, November

2019)

9. Menakar Pengaruh Debat Capres (detik.com,

Januari 2019)

10. Hadiah Untuk Pelapor Korupsi (detik.com,

Oktober 2018)

11. Implikasi Putusan MA tentang DPD (Harian

Sindo, November 2018)

12. Putusan MA atas Peraturan KPU (detik.com,

September 2018)

Prestasi : 1. Peserta Terbaik dan Teladan Pusat

Pendidikan Ilmu Al-Qur‟an PP. Nurul Jadid

2. Peserta Terbaik Kelas Bahasa Inggris Kursus

Program Intensif LPBA Nurul Jadid

3. Juara Harapan I English Speech Contest

Provinsi Jawa Timur

4. Octo Final Debat Bahasa Inggris Jawa &

Bali

5. Juara I Debat Adu Gagasan APBD

Kabupaten Probolinggo

6. Terbaik I Dean Research Grant 2015

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

7. Juara II Essay Konstitusi Reigional DIY

8. Juara II Essay Parade Cinta Tanah Air

Kementerian Pertahanan, Regional DIY.

9. Finalis Kompetisi Legislative Drafting

Nasional “Constitutional Law Festival”

Universitas Brawijaya, Malang

10. Juara II Kompetisi Debat Hukum Nasional

“Law Festival of Lambung Mangkurat”,

458

Banjarmasin

11. Quarter Final Debat Sosial Politik Nasional

“Airlangga Debate Competition”, Surabaya.

12. Finalis Karya Tulis Ilmiah Nasional UIN

Law Fair 2016, Jakarta.

13. Juara I Essay Nasional IPB Islamic Festival,

Bogor

14. Terbaik I Dean Research Grant 2016,

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

15. Juara I Karya Tulis Ilmiah Nasional, 2nd

Neforia, Makassar

16. Finalis National Development Conference,

Universitas Muhammadiyah Yogyakarya

17. Juara II Debat Konstitusi Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia, Regional DIY-Jateng 2017

18. Predikat Cumlaude S-1 Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia