politik hukum materi muatan peraturan pemerintah
TRANSCRIPT
POLITIK HUKUM MATERI MUATAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG PERSPEKTIF NEGARA HUKUM
DAN DEMOKRASI
TESIS
OLEH
NAMA MAHASISWA : MOHAMMAD AGUS MAULIDI
NOMOR INDUK MAHASISWA : 18912023
BKU : HTN/HAN
PROGRAM STUDI HUKUM PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2021
ii
POLITIK HUKUM MATERI MUATAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG PERSPEKTIF NEGARA HUKUM
DAN DEMOKRASI
TESIS
OLEH
NAMA MAHASISWA : MOHAMMAD AGUS MAULIDI
NOMOR INDUK MAHASISWA : 18912023
BKU : HTN/HAN
PROGRAM STUDI HUKUM PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2021
iv
POLITIK HUKUM MATERI MUATAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG PERSPEKTIF NEGARA HUKUM
DAN DEMOKRASI
Oleh:
NAMA MAHASISWA : MOHAMMAD AGUS MAULIDI, S.H
NOMOR INDUK MAHASISWA : 18912023
BKU : HTN/HAN
Pembimbing
Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. Yogyakarta, 18 November 2021
Angota Penguji I
Dr. Drs. Muntoha, S.H., M.Ag. Yogyakarta, 19 November 2021
Anggota Penguji II
Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H. Yogyakarta, 19 November 2021
Mengetahui,
Ketua Program Studi Hukum Program Magister
Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D
v
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Menuntut ilmu adalah taqwa. Menyampaikan ilmu adalah ibadah. Mengulang-
ulang ilmu adalah zikir. Mencari ilmu adalah jihad
(Imam Al Ghazali, Ihya‟ Ulumudin)
Diantara ciri orang bodoh adalah menjawab semua pertanyaan, menyampaikan
segala sesuatu yang diketahui, dan menceritakan semua hal yang dilihat.
(Atha‟illah Sakandari, Al-Hikam)
Ilmu itu bagaikan binatang liar, sedangkan tali pengikatnya adalah tulisan
(Imam Asy-Syafi‟i)
Strong minds discuss ideas, average minds discuss events, weak minds discuss
people.
(Socrates)
Karya ini penulis persembahkan kepada:
Ayahanda Drs. Muciono dan Ibunda Rufi
Orang tua tercinta, yang keluasan jasanya tidak akan pernah dapat tergambarkan
dalam tulisan yang serba sempit dan terbatas ini. Semoga tulisan sederhana ini
dapat menyampaikan pesan kasih sayang dan pengabdian penulis
Ridlawati Wahyuningsih, S.Pd., M.A.
Istri tercinta yang dengan penuh ikhlas merelakan waktunya bersama penulis demi
terselesaikannya penelitian ini.
NURUL JADID DAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Almamater yang mempunyai peran penting dalam rekam jejak perjalanan
akademik penulis
vi
POLITIK HUKUM MATERI MUATAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG PERSPEKTIF NEGARA HUKUM
DAN DEMOKRASI
Bismillahirrohmanirrohim
Yang bertandatangan di bawah ini, saya:
Nama : Mohammad Agus Maulidi, S.H
Nomor Mahasiswa : 18912023
Adalah benar-benar mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia
yang telah melakukan penulisan Karya Tulis Ilmiah (Tugas Akhir) berupa Tesis
dengan judul:
POLITIK HUKUM MATERI MUATAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG PERSPEKTIF NEGARA HUKUM
DAN DEMOKRASI.
Karya ilmiah ini akan saya ajukan kepada Tim Penguji dalam Ujian Pendadaran
yang diselenggarakan oleh Magister Hukum Universitas Islam Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ini saya menyatakan:
1. Bahwa karya tulis ilmiah ini adalah benar-benar hasil karya saya sendiri yang
dalam penyusunan tunduk dan patuh terhadap kaidah, etika dan norma-norma
penulisan sebuah karya ilmiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
2. Bahwa saya menjamin hasil yang dapat dikategorikan sebagai melakukan
perbuatan karya ilmiah ini benar-benar Asli (orisinal), bebas dari unsur-unsur
“penjiplakan karya ilmiah (plagiarisme)”;
3. Bahwa meskipun secara prinsip hak milik atas karya ilmiah ini ada pada saya,
namun demi kepentingan-kepentingan yang bersifat akademik dan
pengembangannya, saya memberikan kewenangan kepada Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan perpustakaan di lingkungan
Universitas Islam Indonesia untuk mempergunakan karya tulis ilmiah ini.
Selanjutnya berkaitan dengan hal di atas (terutama pernyataan butir nomor 1 dan
nomor 2), saya sanggup menerima sanksi baik administratif, akademik, bahkan
sanksi pidana, jika saya terbukti secara kuat dan meyakinkan telah melakukan
perbuatan yang menyimpang dari pernyataan tersebut. Saya juga akan bersifat
vii
kooperatif untuk hadir, menjawab, membuktikan, melakukan terhadap pembelaan
kewajiban saya, di depan “Majelis” atau “Tim” Magister Hukum Universitas
Islam Indonesia yang ditunjuk oleh pimpinan fakultas, apabila tanda-tanda plagiat
disinyalir terjadi pada karya ilmiah saya ini oleh pihak Magister Hukum
Universitas Islam Indonesia.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, dalam kondisi
sehat jasmani dan rohani, secara sadar dan tidak ada tekanan dalam bentuk apapun
dan oleh siapapun.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 5 November 2021
Yang membuat pernyataan
MOHAMMAD AGUS MAULIDI, S.H
viii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah tentu tidak akan terlupakan untuk senantiasa dipanjatkan
pada Allah SWT, atas karunia terbesar berupa iman dan Islam, sehingga bisa
memanfaatkan nikmat yang oleh Rasulullah SAW. ditegaskan sebagai nikmat
yang sering dilupakan, yaitu sehat dan sempat, sehingga tulisan sederhana yang
berjudul “Politik Hukum Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Perspektif Negara Hukum dan Demokrasi” ini bisa
terselesaikan sebagai salah satu syarat untuk menemukan ujung dari perjalanan di
kampus perjuangan ini. Shalawat dan salam kesejahteraan juga semoga senantiasa
selalu dihadiahkan pada Nabi Muhammad SAW. yang dengan 2 (dua) warisan
besar beliau, berupa Al-Qur‟an dan Hadist, sehingga kita semua terselamatkan
dari rezim yang penuh kegelapan, hingga berada pada suatu zaman dengan cahaya
hidayah-Nya.
Tulisan ini dapat diakhiri tentu tidak lepas dari pihak-pihak yang mendukungnya.
Kata seorang filsuf, “saya tidak akan mampu melihat kepala orang banyak, jika
tidak berdiri di pundak gajah”. Artinya, kalimat-kalimat dalam tulisan ini tidak
akan tersusun jika tidak didukung oleh orang lain. Karena itu, ucapan terima kasih
yang tak terbatas sengaja dialamatkan kepada semua pihak yang mendukung,
terkusus kepada:
1. Orang tua tercinta, Ayahanda Drs. Muciono dan Ibunda Rufi, dengan
kesabaran dan keikhlasannya untuk mendukung diselesaikannya tulisan
ini;
2. Prof. Dr. Ni‟matul Huda, S.H., M.Hum., guru yang selalu menginspirasi
dan memotivasi, telah bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukan
menjalankan amanah ilmiahnya, untuk membimbing penulis hingga
tulisan ini bisa diakhiri;
3. Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H., Dr. Muntoha., S.H., M.Ag., Dr.
Saifuddin, S.H., M.H., Dr. Idul Rishan, S.H., L.LM., beserta bapak dan ibu
ix
dosen Hukum Tata Negara lainnya yang telah banyak memberikan
masukan dan saran atas penulisan ini;
4. Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D, guru yang dengan sabar
mendorong penulis untuk menyegerakan penyelesaian tulisan ini;
5. Dr. Jamaluddin Ghofur, S.H., M.H., guru sekaligus kakak yang telah
banyak memberikan pencerahan atas penulisan karya ini;
6. Guru dan sahabat-sahabat yang tergabung dalam Pusat Studi Hukum
Konstitusi (PSHK FH UII), terkhusus sahabat Yuniar Riza Hakiki (Sekjen
PSHK FH UII), yang bersedia menjadi tumpuan diskusi penulis dalam
penyelesaian tulisan ini; dan Suha Qoriroh, S.H., yang telah bersedia
direpotkan penulis untuk mendapatkan berbagai literatur yang relevan
dengan objek kajian penulis;
7. Ridlawati Wahyuningsih S.Pd., MA., dengan segala perhatian, motivasi,
dan keikhlasannya (untuk berbagi waktu dengan penelitian ini) yang
sungguh sangat berarti.
Akhirnya, sebagai manusia biasa yang tidak dapat menghindar dari segala bentuk
kesalahan, tentu tulisan sederhana ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, segala bentuk kritik, saran, serta masukan, terutama yang bersifat
membangun, sangat kami tunggu sebagai bahan perbaikan. Semoga penelitian ini
juga tidak hanya berhenti sebagai syarat untuk menyelesaikan perjalanan singkat
di kampus perjuangan ini, namun bisa ditindaklanjuti dalam bentuk karya yang
lebih berarti sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerhati hukum dan konstitusi.
Kemudian, hanya kepada Allah-lah kami mohon perlindungan.
Yogyakarta, 5 November 2021
Mohammad Agus Maulidi
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING .......................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN TUGAS AKHIR ........................................................ iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................ v
HALAMAN ORISINALITAS ................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................... vxii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. x
ABSTRAK ................................................................................................................. xiii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 15
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 16
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 16
E. Landasan Teori ............................................................................................... 21
F. Metode Penelitian........................................................................................... 35
G. Kerangka Penelitian ....................................................................................... 51
BAB II : TINJAUAN UMUM ATAS TEORI NEGARA HUKUM,
DEMOKRASI, HUKUM TATA NEGARA DARURAT, DAN POLITIK
HUKUM
A. Teori Negara Hukum...................................................................................... 53
B. Teori Demokrasi............................................................................................. 102
C. Teori Hukum Tata Negara Darurat ................................................................ 144
D. Teori Politik Hukum ...................................................................................... 174
xi
BAB III : PEMAKNAAN KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-
UNDANG OLEH PRESIDEN PASCA REFORMASI
A. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1998 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1998 ................................................................................................. 196
B. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1999 .................................................................................................... 201
C. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 ................................................................................................. 207
D. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 .................................................................................................... 220
E. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2008 .................................................................................................... 224
F. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2015 ................................................................................................. 233
G. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 .................................................................................................... 241
H. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 .................................................................................................... 252
I. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 .................................................................................................... 259
J. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2020 .................................................................................................... 268
BAB IV : POLITIK HUKUM PENGATURAN MATERI MUATAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG YANG
SESUAI DENGAN PRINSIP NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI
A. Perpu dalam Sejarah Konstitusi Indonesia ..................................................... 290
xii
B. Tafsir Konstitusional atas Kewenangan Penetapan Perpu oleh Presiden
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi .................................................. 311
1. Analisis Putusan Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ............... 313
2. Analisis Putusan Nomor 003/PUU-III/2005 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 ............... 315
3. Analisis Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 .......................................................................................................... 316
4. Analisis Putusan Nomor 118-119-125-126-127-129-130-135//PUU-
XII/2014 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014.................................................................. 312
5. Analisis Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2012 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 ............... 322
6. Analisis Putusan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 ............... 325
C. Problematika Pembentukan dan Materi Muatan Perpu .................................. 339
D. Politik Hukum Penetapan dan Materi Muatan Perpu Berdasarkan Negara
Hukum dan Demokrasi .................................................................................. 377
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... 426
B. Saran .............................................................................................................. 428
DAFTAR PUSTAKA
CURICULUM VITAE
xiii
ABSTRAK
Pemberian kewenangan yang sifatnya overbroad berupa penafsiran atas hal
ikhwal kegentingan yang memaksa untuk meletakkan negara dalam keadaan
darurat dengan hanya mendasarkan pada subyektifitas presiden sebagaimana
termuat dalam Pasal 22 UUD NRI 1945, membuka peluang besar atas
tereduksinya semangat bernegara hukum yang demokratis. Hal tersebut yang
menjadi basis penelitian ini, untuk kemudian dibahas secara limitatif akan dibahas
berdasarkan 2 (dua) rumusan masalah, pertama, bagaimana pemaknaan
kegentingan yang memaksa dalam pembentukan perpu oleh presiden pasca
reformasi; dan kedua, bagaimana politik hukum pengaturan materi muatan perpu
sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokrasi. Penelitian yuridis normatif
dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
konseptual (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach),
penelitian ini menunjukkan kesimpulan, pertama, pemaknaan kegentingan yang
memaksa memang bergantung pada persepsi masing-masing presiden, namun
dilihat dari bidang pengaturannya, seluruhnya tidak lepas dari bidang ekonomi,
politik, dan hukum. Dari aspek materi muatannya, terdapat pergeseran pemaknaan
dari kegentingan yang memaksa, menjadi hal ikhwal yang mendesak untuk diatur.
Sedangkan aspek latar belakangnya, dimensi politik menjadi aspek yang
mendominasi daripada esensi peristiwa yang terjadi atau akibat yang ditimbulkan.
Kedua, pemaknaan kegentingan yang memaksa yang diwujudkan dalam bentuk
perpu, ke depan, harus benar-benar diletakkan dalam kerangka hukum tata negara
darurat dalam bingkai negara hukum dan demokrasi melalui pembatasan
subyektifitas presiden dengan menormatifkan rambu-rambu pembatasan tersebut;
redesain objektifikasi perpu oleh parlemen dengan peninjauan terhadap materi
muatan yang bertumpu pada legalitas, konstitusionalitas, implementasi dan
legitimasi, serta menormatifkan aspek prosedural objektifikasi; pembatasan masa
keberlakuan perpu dengan mendasarkan pada masa persidangan DPR dan kondisi
objektif kedaruratan negara; serta redesain pengawasan lembaga yudisial melalui
pelibatan Mahkamah Konstitusi.
Kata Kunci: Perpu, Kegentingan yang Memaksa, Hukum Tata Negara Darurat
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komitmen untuk mencapai negara hukum yang demokratis, atau negara
demokrasi berdasarkan hukum pasca reformasi telah dinormatifkan ke dalam
Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUD NRI 1945) melalui amendemen ketiga. Penyelenggaraan negara diidealkan
berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka, sehingga
absolutisme sebagaimana yang terjadi pada masa orde baru tidak terulang
kembali. Secara filosofis, prinsip negara hukum menurut A.V. Dicey memang
menghendaki salah satunya tidak ada pemerintahan yang sewenang-wenang.1
Demikian pula dengan upaya untuk meneguhkan semangat demokrasi dalam
bingkai negara hukum yang juga telah dituangkan di dalam UUD NRI 1945
dengan menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan
berdasarkan Undang-Undang Dasar. Sebagaimana negara hukum, demokrasi juga
menghendaki agar penyelenggaraan negara tidak didasarkan pada otoritarianisme
dan absolutisme yang mendasarkan pada kehendak satu atau sekelompok orang,
sehingga merugikan rakyat secara luas sebagai pemilik kedaulatan.
Usaha mencapai negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi
berdasarkan hukum secara paripurna ini tampak menjadi ironi ketika Presiden
masih diberikan suatu kewenangan mutlak berupa penetapan Peraturan
1 A.V. Dicey, Introduction to Constitutional Law dalam Bagir Manan dan Susi Dwi
Harijanti, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam Perspektif Ajaran Konstitusi
dan Prinsip Negara Hukum” artikel dalam PJIH Vol. 4, No. 2, Tahun 2017, hlm. 226
2
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) sebagaimana disebutkan secara
eksplisit di dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dalam perspektif negara demokrasi, kewenangan
pembentukan peraturan (legislasi) merupakan domain kekuasaan legislatif. Hal ini
karena lembaga legislatif dalam kerangka demokrasi modern, diidealkan sebagai
perwujudan kedaulatan rakyat.2 Pemberian kewenangan bidang legislasi kepada
presiden secara mutlak yang bahkan tidak melibatkan lembaga legislatif dalam
proses pembentukannya, dalam hal ini adalah pembentukan perpu yang
kedudukan dan materi muatannya sejajar dengan undang-undang, merupakan
penyelenggaraan negara yang hakikatnya menjauhi karakter demokrasi.
Adapun titik singgung kewenangan pembentukan perpu dengan prinsip
negara hukum ini berupa pemberian kewenangan yang terlalu bersifat „open
ended‟ atau „overbroad‟ sehingga membuka peluang yang terlalu lebar untuk
disalahgunakan. Kesimpulan yang dinyatakan oleh John Reynolds, bahwa “the
emergency as a technique of governance and instrument of control, rather than a
purely reactive and temporary response to an isolated crisis”.3 Pernyataan
Reynolds tersebut mendasarkan pada hasil penelitian atas pemberlakuan sejumlah
2 Demokrasi dalam perkembangannya terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu demokrasi
langsung dan demokrasi tidak langsung. Demokrasi langsung menghendaki agar seluruh rakyat
berpartisipasi dalam setiap kebijakan negara, yang dalam negara modern tidak dimungkinkan
dilaksanakan, sehingga demokrasi dilaksanakan secara tidak langsung. Demokrasi tidak langsung
dilaksanakan melalui perwakilan, yaitu rakyat menentukan orang-orang tertentu sebagai wakilnya
untuk duduk di lembaga legislatif (lembaga perwakilan) yang kelak akan memperjuangkan aspirasi
rakyat yang diwakilinya. Karena itu, lembaga legislatif diidealkan merupakan perwujudkan dari
kedaulatan rakyat. Lihat dalam Abu Bakar Ebyhara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Pertama, Ar-
Ruzz Media, Yogyakarta, 2010, hlm. 263 3 John Reynolds, “The Long Shadow of Colonialism: The Origins of the Doctrine of
Emergency In International Human Rights Law” artikel dalam Comparative Research in Law &
Political Economy, Vol. 6, No. 5, Tahun 2010, hlm. 4
3
undang-undang darurat di beberapa daerah jajahan Inggris. Bahwa pemberlakuan
status darurat sangat sedikit esensi daruratnya apabila dibandingkan dengan
keinginan seorang raja untuk tetap mempertahankan kekuasaannya.4
Bagaimanapun, klausul Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 memberikan kuasa tidak
terbatas bagi presiden untuk menggunakan subyektifitasnya dalam menafsirkan
klausul “hal ikhwal kegentingan memaksa” sebagai syarat utama membentuk
perpu, sehingga cenderung berseberangan dengan prinsip konstitusionalisme dan
negara hukum.5
Pemberian kewenangan menetapkan perpu kepada presiden dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia, memang pernah memberikan kontribusi pemecahan
permasalahan hukum. Perpu pernah ditetapkan untuk menangguhkan berlakunya
undang-undang karena ternyata menjelang diberlakukannya undang-undang
dimaksud, seluruh kelengkapan belum siap, sehingga apabila dipaksanakan
berpeluang terjadi kekacauan. Misalnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang ditangguhkan berlakunya melalui
Perpu Nomor 1 Tahun 1984 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-
Undang tentang Pajak Penambahan Nilai 1984, dan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ditangguhkan melalui
Perpu Nomor 1 Tahun 1992 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-
4 Muhammad Siddiq, “Kegentingan Memaksa Atau Kepentingan Penguasa: Analisis
Terhadap Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)” artikel dalam
Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum Asy Syir‟ah Vol. 48, No. 1, Juni 2014, hlm. 267 5 Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Peraturan... Op., Cit., hlm. 236
4
Undang Nomor 14 Tahun 1992.6 Kendatipun demikian, tidak dapat dipungkiri
bahwa kewenangan menetapkan perpu oleh presiden ini juga menimbulkan
persoalan hukum dan ketatanegaraan yang cukup serius dalam kacamata negara
hukum dan demokrasi.
Faktanya, pembentukan perpu di bawah subyektifitas presiden sejauh ini,
justru menunjukkan berbagai macam problem hukum dan ketatanegaraan.
Pertama, batasan mengenai hal ikhwal kegentingan memaksa sebagai syarat
penetapan suatu perpu. Mahkamah Konstitusi telah memberikan batasan dan tolok
ukur mengenai “hal ikhwal kegentingan memaksa”, yaitu adanya kebutuhan
mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-
undang; undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; kekosongan
hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara
prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan
keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.7
Pada praktiknya, rambu-rambu yang ditetapkan oleh Mahkamah
Konstitusi tidak dapat mengendalikan subyektifitas presiden. Sering kali Perpu
yang ditetapkan tidak memenuhi syarat dan kualifikasi kegentingan memaksa.
Salah satu contoh misalnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
6 Ni‟matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap Dinamika
Perubahan UUD 1945, Cetakan Kedua, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 150 7 Lihat dalam Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-
VII/2009 tentang Perkara Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
5
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perpu
Pilkada), yang dibentuk sebagai respon presiden atas penolakan rakyat yang
dinilai cukup luas terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota karena mendesain mekanisme
pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah;8 serta untuk menjamin pemilihan kepala daerah secara demokratis sesuai
amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yang diterjemahkan sebagai pemilihan
secara langsung oleh rakyat.9
Dasar pertimbangan tersebut, apabila dibenturkan dengan batasan
kegentingan memaksa sebagaimana diterjemahkan oleh Mahkamah konstitusi,
menunjukkan adanya kerancuan yang cukup mendasar. Bentuk kekosongan
hukum misalnya, tidak dapat dibenarkan mengingat Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2014 telah sah dan mengikat. Demikian pula apabila kekosongan hukum
dimaksudkan pada aspek penolakan rakyat yang sedemikian luas, menjadi sangat
tidak rasional mengingat proses legislasi terhadap suatu undang-undang (termasuk
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014) mensyaratkan adanya asas
keterbukaan,10
serta harus memberikan peluang yang begitu lebar terhadap
8 Konsideran huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. 9 Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 menyebutkan bahwa kedaulatan rakyat dan demokrasi tersebut perlu ditegaskan dengan
pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat. 10
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
memuat ketentuan tentang keharusan membentuk peraturan perundang-undangan yang
mendasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik, salah satunya
sebagaimana disebutkan pada huruf g adalah keterbukaan. Makna asas keterbukaan dalam
penjelasan pasal adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka, Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan
6
partisipasi masyarakat.11
Artinya, bentuk penolakan masyarakat seharusnya telah
diketahui sejak tahapan awal proses legislasi, sehingga untuk mengakomodir hal
tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014, dapat dilalui dengan
proses legislasi biasa tanpa harus mengeluarkan Perpu.
Demikian pula pertimbangan untuk menjamin pemilihan kepala daerah
secara demokratis sesuai amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yang
diterjemahkan sebagai pemilihan secara langsung oleh rakyat, menunjukkan
kerancuan pemahaman mengenai demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Konsekuensinya, makna demokrasi dan kedaulatan rakyat, serta amanat Pasal 18
ayat (4) UUD NRI 1945 tereduksi. Sebagai batu ujinya, Mahkamah Konstitusi
sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of constitution) sebelumnya telah
menegaskan dalam beberapa putusannya, bahwa frasa “dipilih secara demokratis”
dalam Pasal 18 ayat (4) dapat dimaknai ke dalam bentuk pemilihan secara
langsung oleh rakyat maupun pemilihan secara tidak langsung oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan
kondisi di setiap daerah yang bersangkutan.12
Namun substansi Perpu Pilkada,
semacam memberikan batasan pemaknaan, bahwa pemilihan secara demokratis
yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan. 11
Lihat dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 12
Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7
adalah pemilihan langsung oleh rakyat. Ini sekaligus memberikan gambaran
bahwa pada dasarnya, substansi Perpu Pilkada tersebut inkonstitusional karena
mereduksi makna Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, sekaligus menentang putusan
Mahkamah Konstitusi yang telah dikeluarkan sebelumnya.
Kedua, Perpu menganulir prinsip atau asas-asas hukum tertentu. Praktik
pembentukan Perpu hingga saat ini, tidak jarang substansinya justru menabrak
asas-asas hukum tertentu yang berlaku umum, termasuk yang menjiwai semangat
konstitusionalisme dan negara hukum. Pada konteks ini, sebagai contoh dan bukti
konkret dapat dilihat misalnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Perpu 1 Tahun
2020). Salah satu materi muatannya menegaskan bahwa segala tindakan termasuk
keputusan yang diambil berdasarkan Perpu tersebut bukan merupakan objek
gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.13
Apabila
ditinjau secara filosofis, selain mencerminkan bentuk absolutisme karena
substansinya memberikan kekebalan hukum, ketentuan yang menutup akses
peradilan administrasi tersebut tentu telah mereduksi semangat bernegara hukum.
Hal ini mengingat bahwa salah satu prinsip negara hukum adalah adanya
13
Lihat dalam Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka
Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan.
8
peradilan administrasi di samping perlindungan terhadap hak asasi manusia dan
pemisahan kekuasaan.14
Ketiga, Perpu dapat dijadikan alat untuk membentuk undang-undang yang
menyimpangi prosedur legislasi. Sebagai produk hukum yang secara hierarki
sejajar dengan undang-undang,15
dengan materi muatannya sama dengan materi
muatan undang-undang,16
namun prosedur penetapannya tidak melalui alur
pembahasan yang begitu panjang, karena sidang DPR atas perpu hanya sebatas
menyatakan persetujuan ataupun penolakan, maka dapat saja perpu dijadikan alat
pembentukan undang-undang namun tidak melalui prosedur legislasi yang cukup
panjang. Terlebih, prosedur yang jauh lebih singkat tersebut, menjadikan presiden
lebih terhindari dari perselisihan dan ketidaksepemahaan dalam proses
pembahasan di parlemen.
Konteks permasalahan di atas, dapat melihat fakta pembentukan Perpu di
negara lain yang memang sering terjadi. Kecenderungan pembentukan Perpu
memang lebih banyak dan lebih meningkat dalam hal terjadi fenomena divided
14
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan Pertama, Gama Media,
Yogyakarta, 1999, hlm. 127. Sebagai perbandingan, menurut M.C. Burkens, negara hukum dalam
makna rechstaat didasarkan pada syarat yang terdiri dari asas legalitas, pembagian kekuasaan,
perlindungan hak-hak dasar, dan pengawasan pengadilan. Lihat dalam H.M. Thalhah, Demokrasi
dan Negara Hukum, Cetakan Pertama, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 73. Menurut
Jimly Asshiddiqie, terdapat 12 (dua belas) prinsip pokok sebagai pilar utama yang menyangga
berdirinya negara hukum, salah satunya adalah peradilan tata usaha negara. Lihat dalam Jimly
Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika,
Jakarta, 2015, hlm. 131-132 15
Lihat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2019 16
Lihat dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019
9
government.17
Hal tersebut terjadi misalnya di Peru, ketika pemerintahan di bawah
presiden Fernando Belaunde dalam rentang waktu 1980-1985, terdapat 667 perpu
yang dibentuk, dan 575 Perpu dibentuk dalam waktu 2 tahun kekuasaan Alberto
Fujimori.18
Hal serupa juga terjadi di Brazil, berdasarkan data yang dihimpun oleh
Gabriel L. Negretto, dalam periode 1988-1998, penerbitan Perpu oleh 5 Presiden
Brazil yaitu Jose Sarney, Fernando Collor de Mello, Itamar Franco, dan Fernando
Henrique Cardoso I mencapai 3415 Perpu.19
Di bawah pemerintahan Fernando
Collor de Mello, tidak kurang dari 36 Perpu yang dibentuk pada 15 hari pertama
menjabat, dan kurang lebih 160 Perpu sepanjang tahun 1990. Tindakan Mello
mengeluarkan Perpu ini karena memang menginginkan menjalankan
pemerintahannya dengan menghindar dari proses di legislatif, karena merasa
kekuasaan yang diberikan oleh konstitusi telah cukup untuk memerintah tanpa
dukungan legislatif, serta menganggap bahwa membangun dukungan di legislatif
hanya akan membatasi otonominya dalam membuat kebijakan.20
Keempat, Perpu dapat dijadikan alat politik oleh presiden. Konteks
permasalahan ini sedikitnya selaras dan mempunyai keterkaitan dengan uraian
sebelumnya terkait relasi presiden dengan lembaga legislatif. Alih-alih menjawab
keadaan darurat, pembentukan Perpu justru menjadi peluang bagi presiden untuk
17
Menurut Fitra Arsil, divided government merupakan keadaan instabilitas dalam sistem
presidensial yang dapat terjadi ketika partai presiden tidak mayoritas di parlemen dan presiden
gagal membentuk koalisi mayoritas yang kohesif. Lihat dalam Fitra Arsil, “Menggagas
Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu: Studi Perbandingan Pengaturan dan
Penggunaan Perppu di Negara-Negara Presidensial” artikel dalam Jurnal Hukum & Pembangunan,
Vol. 48, No. 1, Jauari-Maret Tahun 2018, hlm. 7 18
Gregory Schmidt “Presidential Usurpation of Congressional Preference. The Evolution
of Executive Decree in Peru” dalam Ibid. 19
Gabriel L. Negretto “Government Capacities and Policy Making by Decree in Latin
America: The Cases of Brazil and Argentina” dalam Ibid. 20
Ibid... hlm. 7-8
10
dijadikan alat memimpin dan mengendalikan lembaga legislatif dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan. Praktik ketatanegaraan di
Indonesia, upaya presiden untuk mengendalikan dan memimpin pembentukan
undang-undang melalui Perpu ini dapat dilihat dari pembentukan Perpu yang
justru menganulir suatu undang-undang atau rancangan undang-undang yang baru
saja disetujui bersama antara DPR dan Presiden. Contoh atas hal ini misalnya
Perpu Nomor 1 Tahun 2014 yang memang sarat dengan aspek politis karena
diterbitkan akibat konstelasi politik yang terjadi pada saat itu. Bahwa Koalisi
Merah Putih yang menguasai parlemen waktu itu, melalui proses legislasi
pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014, berhasil merubah desain
pemilihan kepala daerah dari yang semula dipilih langsung oleh rakyat, berubah
menjadi dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Perpu Nomor 1 Tahun 2014 yang mengembalikan mekanisme pemilihan
langsung, ditetapkan hanya beberapa saat setelah Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2014 diundangkan. Dilihat dari aspek proses pembentukan peraturan
perundang-undangan, hal ini tentu sesuatu yang tidak lazim. Presiden dan DPR
mempunyai posisi yang sama dalam proses legislasi, sehingga baik DPR maupun
presiden, sama-sama mempunyai hak dan wewenang baik untuk menerima atau
menolak suatu rancangan undang-undang. Praktiknya, prerogratif presiden untuk
menolak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentu akan berhadapan dengan
konfigurasi politik di parlemen yang pada saat itu dikuasai oleh Koalisi Merah
Putih. Maka presiden menggunakan hak penetapan Perpu yang mencabut Undang-
11
Undang Nomor 22 Tahun 2014. Tidak heran apabila Perpu ini ditetapkan sesaat
setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 diundangkan.
Kelima, Perpu bertentangan dengan konstitusi. Kedudukan Perpu dalam
hierarki peraturan perundang-undangan adalah sederajat atau sejajar dengan
undang-undang dan berada di bawah UUD NRI 1945. Maka sudah seharusnya
materi muatan perpu tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Praktiknya,
justru tidak jarang perpu yang bertentangan dengan konstitusi, bahkan
berseberangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai tafsir konstitusional
atas UUD NRI 1945. Bukti konkret atas hal ini yaitu Perpu Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2014. Perpu yang telah ditetapkan menjadi undang-undang ini
pada akhirnya dinyatakan bertentang dengan konstitusi melalui Putusan Nomor 1-
2/PUU-XII/2014, sehingga materi muatannya dibatalkan secara keseluruhan.
Lebih dari itu, Mahkamah Konstitusi bahkan menyatakan bahwa Perpu tersebut
tidak mencerminkan karakteristik produk hukum berupa perpu karena tidak
mempunyai akibat hukum yang “sontak segera” (prompt immediately) untuk
memecahkan permasalahan hukum, yang dibuktikan dengan fakta bahwa
meskipun telah menjadi undang-undang, Perpu tersebut belum pernah
menghasilkan produk hukum apapun.21
Sebaliknya, dengan adanya perpu tersebut,
21
Lihat dalam Pendapat Mahkamah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-
2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-
Undang.
12
proses penggantian hakim Akil Mochtar yang waktu itu tertangkap tangan oleh
KPK justru sedikit terhambat. Panel ahli tak kunjung terbentuk disebabkan
terkendala materi muatan Perpu. Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi belum
terbentuk, dan jikapun terbentuk, tidak ada masalah mendesak yang harus
diselesaikan sesuai dengan karakter kegentingan memaksa.22
Keenam, problematika pengujian Perpu. Pada prinsipnya, tidak ada
satupun produk hukum yang sempurna dan bebas dari kecacatan, termasuk dalam
hal ini adalah perpu. Dikorelasikan dengan beberapa fakta dan problematika
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka ruang pengujian perpu mutlak
diperlukan. Landasan yuridis dan praktik yang ada saat ini, menurut Ni‟matul
Huda dengan merujuk pada Pasal 22 UUD NRI 1945, menunjukkan bahwa yang
berwenang untuk melakukan pengujian terhadap perpu adalah Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) melalui mekanisme political review.23
Mekanisme ini tentu bukan
merupakan solusi dan jawaban atas urgensi pengujian perpu dengan beberapa
alasan. DPR merupakan lembaga politik yang keputusannya tentu akan lebih
mempunyai dimensi kesepakatan politik daripada mempertimbangkan aspek
hukum. Terlebih, pengujian di DPR ini juga tidak dilakukan secara mendalam
hingga materi muatannya, karena DPR dalam suatu rapat paripurna hanya
memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perpu.24
Maka tidak heran apabila lahir produk hukum yang tidak mencerminkan karakter
22
Ali Marwan Hsb, “Kegentingan yang Memaksa Dalam Pembentukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang” artikel dalam Jurnal Legislasi Indonesia Volume 14,
Nomor 1, Maret 2017, hlm. 116 23
Ni‟matul Huda, “Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi” artikel dalam Jurnal
Konstitusi, Volume 7, Nomor 5, Oktober 2010, hlm. 75 24
Lihat dalam Pasal 52 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
13
perpu, namun tetap disetujui menjadi undang-undang. Bahkan materi muatan
perpu yang bertentangan dengan konstitusi, dapat saja disahkan dan disetujui oleh
DPR.25
Alasan lain yang juga sangat penting untuk diperhatikan yaitu bahwa
perpu secara sah berlaku sejak ditetapkan dan baru akan dilakukan obyektivikasi
oleh DPR pada masa sidang berikutnya. Selama menunggu sidang dimaksud,
maka perpu berlaku mengikat layaknya undang-undang dengan norma hukum
baru sebagai konsekuensi yuridisnya. Dapat saja pada masa tunggu tersebut,
norma hukum baru yang lahir justru menimbulkan kerugian konstitusional atau
bertentangan dengan konstitusi. Padahal, mengutip pendapat Mahfud MD, tidak
boleh sedetikpun ada peraturan perundang-undangan yang berpotensi melanggar
konstitusi tanpa bisa diluruskan atau diuji melalui pengujian yudisial.26
Selama ini, pengujian terhadap Perpu melalui lembaga peradilan diajukan
kepada Mahkamah Konstitusi. Melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009,
menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk
melakukan pengujian terhadap perpu. Hal ini memang menimbulkan perdebatan
di antara ahli hukum. Menurut Ni‟matul Huda, Mahkamah Konstitusi tidak
mempunyai kewenangan untuk menguji perpu karena UUD 1945 tidak
25
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 dibatalkan secara keseluruhan
oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai inkonstitusional (bertentangan dengan UUD NRI 1945). 26
Lihat dalam Pendapat Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
14
memberikan kewenangan untuk itu.27
Menurut Hamdan Zoelva sebagaimana
dikutip oleh I Dewa Gede Palguna, rumusan Pasal 24C ayat (1) yang mengatur
mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, merupakan rumusan yang limitatif,
sehingga secara formal, tidak mungkin memberikan tambahan kewenangan
kepada Mahkamah Konstitusi tanpa terlebih dahulu melakukan perubahan
terhadap UUD NRI 1945.28
Penulis berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi
memang seharusnya tidak memiliki kewenangan pengujian perpu. Bahkan pranata
pengujian perpu melalui lembaga peradilan di Indonesia saat ini dapat dikatakan
belum tersedia, mengingat tidak ada satupun ketentuan yang secara expressis
verbis baik dalam UUD NRI 1945 maupun dalam ketentuan perundang-undangan
lain yang memberikan ruang pengujian perpu oleh lembaga peradilan.
Praktik empiris yang menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah
melakukan pengujian terhadap Perpu, kiranya juga masih menyisakan persoalan.
Hal ini karena pengujian oleh Mahkamah Konstitusi saat ini, bergantung pada
adanya orang atau badan hukum yang mengajukan permohonan pengujian. Jadi
meskipun materi muatan perpu inkonstitusional, tidak memenuhi amanat
konstitusi mengenai hal ikhwal kegentingan memaksa, atau bahkan perpu yang
ditetapkan tidak mencerminkan produk hukum berupa perpu, namun tidak ada
27
Ni‟matul Huda, Pengujian... Op., Cit., hlm. 90 28
Wawancara I Dewa Gede Palguna kepada Hamdan Zoelva dalam I Dewa Gede
Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum terhadap
Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta,
2013, hlm. 593-594
15
pihak yang mengajukan pengujian, maka tentu Mahkamah Konstitusi tidak dapat
membatalkan perpu dimaksud.29
Berdasarkan beberapa persoalan di atas, maka sangat jelas diperlukan
adanya pengendalian dan pembatasan yang tegas, serta pengawasan yang
komprehensif terutama oleh lembaga yudisial dalam pembentukan Perpu pada
aspek materi muatan dan konstitusionalitasnya. Pembatasan diperlukan agar dasar
pembentukan perpu yang membuka tafsir begitu lebar bagi presiden tidak
dijadikan dasar yang membenarkan penggunaan kekuasaan secara berlebih-
lebihan (excessive power) atau bahkan pembenaran penyalahgunaan kekuasaan
yang pada akhirnya merugikan hak-hak konstitusional rakyat sebagai pemilik
kedaulatan dalam kerangka demokrasi. Atas dasar hal tersebut maka penelitian ini
penting untuk dilakukan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemaknaan kegentingan yang memaksa dalam
pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang oleh
presiden pasca reformasi?
2. Bagaimana politik hukum pengaturan materi muatan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang sesuai dengan prinsip
negara hukum dan demokrasi?
29
Zairin Harahap, “Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu” artikel
dalam Jurnal Yudisial, Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, hlm. 327
16
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Menganalisis dan mengetahui pemaknaan kegentingan yang memaksa
dalam pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
oleh presiden pasca reformasi.
2. Menganalisis dan merumuskan politik hukum pengaturan materi
muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang sesuai
dengan prinsip negara hukum dan demokrasi.
D. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian dan karya ilmiah yang membahas mengenai
Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Keleluasaan Pembentukan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Pertama, penelitian dengan
judul “Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi” yang ditulis oleh Ni‟matul
Huda. Tulisan ini mengurai tentang kedudukan perpu sebagai undang-undang
darurat (emergency law) dalam peraturan perundang-undangan Indonesia,
substansi atau makna Pasal 22 UUD NRI 1945 terkait syarat dikeluarkannya
perpu dan keterlibatan DPR dalam hal objektivikasi perpu, serta legalitas dan
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perppu berdasarkan konstitusi.
Dalam tulisan ini, Ni‟matul Huda menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi
yang memperluas kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Perppu,
17
dengan kesimpulan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki wewenang untuk
menguji perpu karena UUD NRI 1945 tidak memberikan kewenangan untuk itu.
Kedua, tulisan oleh Achmad Edi Subiyanto dengan judul “Menguji
Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”. Tulisan ini
mengurai tentang kedudukan Perpu dalam hierarki peraturan perundang-undangan
Indonesia dari perspektif historis, serta landasan kewenangan pengujian Pepru
oleh Mahkamah Konstitusi dengan merujuk pada Putusan Nomor 138/PUU-
VII/2009.
Ketiga, tulisan berjudul “Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi
Muatan Perppu: Studi Perbandingan Pengaturan dan Penggunaan perpu di
Negara-Negara Presidensial” yang ditulis oleh Fitra Arsil. Tulisan ini membahas
tentang perbandingan pengaturan perpu di beberapa negara di Amerika Latin
terdiri dari Brazil dan Argentina, konsep dasar, makna, dan peristilahan perpu di
beberapa negara tersebut, praktik usaha pembatasan pembentukan perpu di Brazil,
prosedur persetujuan perpu di parlemen Argentina. Beberapa fakta yang
ditemukan di Brazil dan Argentina tersebut kemudian dikomparasikan di
Indonesia dalam konteks pembatasan pembentukan perpu.
Keempat, tulisan dengan judul “Menyoal Kewenangan Mahkamah
Konstitusi Menguji Perpu: Kajian Terhadap Enam Putusan Mahkamah
Konstitusi” yang ditulis oleh Zairin Harahap. Tulisan ini mengkritisi tafsir
Mahkamah Konstitusi melalui putusannya yang memperluas kewenangan
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945 perspektif teori
18
perundang-undangan, teori kewenangan, dan teori pembagian kekuasaan. Muara
tulisan ini yaitu bahwa tafsir Mahkamah Konstitusi yang memperluas
kewenangannya tersebut mempunyai banyak kelemahan dan cenderung
memaksakan diri untuk melakukan pengujian terhadap perpu.
Beberapa penelitian lain terutama dalam bentuk Tesis mengenai pengujian
Perpu pada umumnya mengulas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam pengujian perpu dengan merujuk pada Putusan Nomor Nomor 138/PUU-
VII/2009. Penelitian yang termasuk pada jenis ini yaitu penelitian oleh Hardyanto
dengan judul ”Judicial Review Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) Oleh Mahkamah Konstitusi”, Tesis yang ditulis oleh Mahyudin Husen
dengan judul “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi”, Tesis yang ditulis oleh Imam Heykal Djajadiningrat dengan judul
“Urgensi dan Landasan Konstitusional Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk
Menguji Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”,
Tesis yang ditulis oleh Syawaluddin Hanafi dengan judul “Dasar Kewenangan
Mahkamah Konstitusi Dalam Judicial Review Terhadap Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang”. Seluruh penelitian tersebut, secara umum membahas
apakah Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menguji perpu,
apakah Mahkamah Konstitusi telah tepat melakukan penafsiran yang berimplikasi
pada perluasan kewenangannya dalam judicial review.
Penelitian lain mengenai pembentukan perpu pada umumnya mengurai
tentang bentuk kegentingan memaksa yang termuat dalam perpu tertentu yang
19
dibenturkan dengan kegentingan memaksa menurut tafsir Mahkamah Konstitusi.
Penelitian dalam jenis ini dilakukan terutama terhadap perpu tertentu yang cukup
mendapat sorotan oleh banyak pihak. Contoh penelitian yang memuat tentang hal
ini adalah Tesis yang ditulis oleh Nanda Irwansyah dengan judul “Kontroversi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017
tentang Organisasi Kemasyarakatan”, tulisan yang disusun oleh Siti Nurhalimah
dengan judul “Menyoal Kegentingan dan Pasal Impunitas Dalam Perppu Corona”,
Tesis yang ditulis oleh Handoyo Prihatanto dengan judul “Politik Hukum
Penggunaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Terkait dengan
Asas Hal Ikhwal Kegentingan yang Memaksa (Analisis terhadap Perpu Nomor 1
Tahun 2007)”. Penelitian terakhir yang disebutkan ini menganalisis hal ikhwal
kegentingan yang memaksa pada Perpu Nomor 1 Tahun 2007 tidak dalam
perspektif kriteria kegentingan memaksa menurut tafsir Mahkamah Konstitusi,
namun melihat interaksi antara pemerintah dan DPR dalam pembahasan dan
persetujuan perpu dimaksud dalam kaitannya dengan kegentingan yang memaksa
pada Perpu Nomor 1 Tahun 2007.
Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian terdahulu yang telah
dilakukan sebagaimana disebutkan di atas yaitu bahwa penelitian ini akan
meninjau keleluasaan yang diberikan kepada presiden untuk menetapkan perpu
berdasarkan Pasal 22 UUD NRI 1945 terhadap pemaknaan kegentingan yang
memaksa sebagai syarat bagi presiden dalam menetapkan perpu. Objek yang akan
dibahas yaitu seluruh perpu yang ditetapkan pasca reformasi dengan analisis
secara mendalam terhadap beberapa perpu yang ditetapkan oleh masing-masing
20
presiden pasca reformasi sebagai sampelnya. Pembahasan dalam lingkup kedua
yaitu hendak merumuskan arah kebijakan pengendalian penetapan perpu di masa
yang akan datang sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokrasi.
Pembahasan yang kedua ini berangkat setidaknya dari 3 (tiga) pijakan dasar, yaitu
pertama, dengan menganalisis latar belakang dimuatnya instrumen hukum darurat
negara dalam konstitusi Indonesia sebagai payung hukum kewenangan presiden
dalam menetapkan perpu untuk mengetahui original intent para perumus
konstitusi. Kedua, menganalisis problematika penetapan dan materi muatan perpu
oleh presiden dengan batu uji UUD NRI 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai pengujian perpu atau pengujian undang-undang hasil persetujuan atas
perpu sebagai, asas dan prinsip hukum tertentu, teori-teori atau doktrin hukum
tertentu yang menjadi justifikasi keadaan darurat negara dan kegentingan
memaksa sehingga melegitimasi presiden untuk membentuk perpu. Konteks atau
ruang lingkup pembahasan problematika ini merujuk pada perpu yang dikeluarkan
pasca reformasi dengan menganalisisnya secara spesifik. Ketiga, menganalisis
implikasi beberapa putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian terhadap perpu
atau undang-undang tentang penetapan perpu guna mengetahui rambu-rambu
penetapan konstitusi berdasarkan tafsir konstitusional yang dilakukan Mahkamah
Konstitusi. Terhadap ketiga hal tersebut, akan konstruksikan mengenai desain
pengendalian dan pembatasan konstitusional penetapan perpu dalam kerangka
negara hukum dan demokrasi.
21
E. Landasan Teori
1. Hukum Tata Negara Darurat
Dalam literatur Indonesia, tidak banyak sumber yang menjelaskan
secara khusus mengenai hukum tata negara darurat. Hanya segelintir buku
yang ditulis oleh ahli hukum Indonesia, padahal konsepsi mengenai
hukum tata negara darurat sangat penting. Sedemikian pentingnya,
sehingga Jimly Asshiddiqie menggagas bahwa dalam rumpun ilmu hukum
tata negara hendaknya dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu hukum tata
negara yang berlaku dalam keadaan normal, dan hukum tata negara yang
berlaku dalam keadaan tidak normal (hukum tata negara darurat).30
Menurut Herman Sihombing, hukum tata negara darurat merupakan
hukum tata negara yang berlaku dalam keadaan bahaya atau darurat, yaitu
sebagai rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan
istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat
menghapuskan keadaan darurat atau keadaan bahaya yang mengancam, ke
dalam keadaan biasa menurut peraturan perundang-undangan dan hukum
umum dan biasa.31
Pada umumnya, konstitusi modern akan memuat pengaturan
mengenai keadaan darurat negara, yang bentuknya berupa pendelegasian
kekuasaan kepada presiden atau otoritas konstitusional lainnya untuk
30
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Cetakan Pertama, PT RajaGrafino
Persada, Jakarta, 2007, hlm. 14 31
Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia dalam Dian Kus Pratiwi,
“Implikasi Yuridis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan di
Indonesia” artikel dalam Jurnal PJIH Volume 4, Nomor 2, Tahun 2017, hlm. 285
22
mengeluarkan keputusan, pembatasan akses informasi, dan penangguhan
proses dan hak hukum dalam hal terdapat ancaman yang mendesak.
Tujuan pemberian kewenangan tersebut adalah untuk menyelesaikan
ancaman sehingga sistem hukum dan ketatanegaraan dapat kembali ke
keadaan sebelumnya.32
Hal ini terutama terjadi pada negara-negara yang
berada pada transisi demokrasi, atau negara demokrasi baru, karena
penyelenggaraan negara dalam kondisi darurat sangat mungkin
berlangsung tersendat-sendat atau serba gamang dan tidak terarah.
Bagaimanapun, negara yang baru menerapkan demokrasi,
penyelenggaraan kekuasaan biasanya akan selalu dihadapkan pada 2 (dua)
pilihan ekstrim, yaitu antara tuntutan kebebasan tanpa arah dan kendali di
antara warga negara yang sangat harus akan kebebasan setelah bertahun-
tahun dicekam rasa takut, atau kebutuhan rasional untuk mengadakan
konsolidasi kekuasaan negara meskipun dengan sedikit bahkan dengan
potensi agak mengekang dan membatasi kebebasan.33
Dalam negara yang
tergolong sebagai demokrasi maju, pemberian kekuasaan tertentu secara
konstitusional tidak lagi diperlukan karena dapat saja menghadapi keadaan
darurat melalui undang-undang biasa, atau setidaknya, meskipun
konstitusinya mengatur tentang keadaan darurat, namun kekuasaan
tersebut tidak digunakan.34
32
John Ferejohn and Pasquale Pasquino, “The Law of The Exception: A Typology of
Emergency Powers” artikel dalam International Journal of Constitutional Law, April 2004, hlm.
210 33
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 14 34
John Ferejohn and Pasquale Pasquino, The Law... Op., Cit., 215
23
Pada pokoknya, objek kajian hukum tata negar darurat adalah
negara yang berada dalam keadaan darurat “state of emergency”.35
Karena
keadaan yang tidak berada pada situasi normal dan membutuhkan pranata
hukum lain ini, maka John Ferejohn and Pasquale Pasquino menyebutkan
hal ini sebagai “the law of the execption”.36
keadaan ini, lebih lanjut,
melahirkan konsepsi dualisme hukum atau dualisme konstitusional.
Gagasan bahwa harus ada ketentuan untuk dua sistem hukum, yaitu yang
berlaku dalam keadaan normal untuk melindungi hak dan kebebasan, dan
satu sistem hukum yang sesuai untuk menangani keadaan darurat.37
Pada saat negara berada pada situasi darurat atau tidak normal,
harus ada pemegang kekuasaan yang diberikan wewenang untuk membuat
keputusan tertinggi dengan dapat mengabaikan beberapa prinsip dasar
yang dianut oleh negara tersebut untuk sementara waktu. Tujuannya
adalah untuk mengembalikan negara kepada keadaan normal menurut
Undang-Undang Dasar atau menurut peraturan perundang-undangan yang
normal. Hal penting yang harus diperhatikan yaitu bahwa perlu diatur
terlebih dahulu mengenai syarat-syarat bagaimana keadaan pengecualian
atau keadaan darurat atau tidak normal tersebut dapat dinyatakan ada,
bagaimana pengawasan atas pelaksanaan kekuasaan negara dalam keadaan
darurat itu dilakukan, dan baiamana mengakhiri atau berakhirnya keadaan
35
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 7 36
John Ferejohn and Pasquale Pasquino, The Law... Op., Cit., hlm. 222 37
Ibid... hlm. 234
24
darurat itu sehingga tidak menimbulkan ekses yang tidak dapat diatasi di
kemudian hari.38
Pada konteks Indonesia, konstitusi membagi (membedakan)
keadaan kegentingan yang memaksa dengan keadaan bahaya, meskipun
keduanya sama-sama menunjukkan keadaan darurat negara. Titik tekan
perbedaan keduanya yaitu bahwa keadaan bahaya lebih menekankan pada
aspek strukturnya, sedangkan keadaan kegentingan yang memaksa lebih
menekankan pada aspek isinya.39
Pada konstitusi, perbedaan ini kemudian
dituangkan ke dalam pasal yang berbeda, yaitu Pasa 12 dan Pasal 22 UUD
NRI 1945. Pasal 12 menyebutkan, “Presiden menyatakan keadaan bahaya.
Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-
undang”. Sedangkan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 menyebutkan,
“Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Substansi Pasal 12 dan Pasal 22 UUD NRI 1945 ini berimplikasi
pada derajat ancaman bahaya terhadap negara, sehingga syarat hal ikhwal
kegentingan memaksa tidak boleh disamakan dengan kualifikasi keadaan
bahaya. Menurut Jimly Asshiddiqie, apabila keduanya dianggap identik,
justru akan menimbulkan kesulitan karena perpu hanya hanya boleh
ditetapkan dalam keadaan darurat saja. Keadaan darurat negara yang
38
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 59 39
Muhammadd Syarif Nuh, “Hakekat Keadaan Darurat Negara (State of Emergency)
sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang” artikel dalam
Jurnal Hukum, Volume 18, Nomor 2, April 2011, hlm. 233
25
menjiwai Pasal 12 UUD NRI 1945 tergolong dalam pengertian yang
sempit dan luas, yaitu ancaman bahaya yang dimaksudkan tertuju pada
keselamatan umum, integritas wilayah, atau ancaman terhadap kedaulatan
negara; serta ancaman bahaya itu dapat tertuju kepada keselamatan jiwa,
keselamatan harta benda, ataupun keselamatan lingkungan hidup, baik
dalam lingkup nasional, regional, ataupun lokal tertentu. Adapun
kegentingan memaksa yang menjiwai Pasal 22 UUD NRI 1945 merupakan
keadaan yang tingat ancaman bahayanya tergolong lebih luas lagi, yaitu
ancaman keselamatan yang tertuju kepada suatu ide, prinsip-prinsip, atau
nilai-nilai leluhur tertentu atau yang tertuju kepada sistem administrasi
atau efektivitas bekerjanya fungsi-fungsi internal pemerintahan suatu
negara.40
2. Negara Hukum
Negara hukum, secara umum, menghendaki agar meninggalkan
tipe penyelenggaraan negara yang memerintah berdasarkan kehendak dan
kamauan penguasa semata, menjadi negara yang diperintah oleh hukum
yang telah dibuat dan disediakan sebelumnya sehingga penguasa pun harus
tunduk pada hukum tersebut.41
Jimly Asshiddiqie mempopulerkan prinsip
tersebut dengan kalimat filosofis the rule of law, and not of man.42
Tujuannya adalah untuk menghindari tindakan sewenang-wenang satu atau
40
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 66-67 41
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Cetakan Kedua,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 2 42
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Ketiga, Sinar
Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 57
26
sekelompok orang dengan mengatasnamakan negara. Karena itu, negara
hukum akan selalu mencirikan sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal, yaitu
adanya konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara
penguasa dan rakyat, adanya pembagian kekuasaan negara, adanya
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak kebebasan rakyat.43
Pertama, adanya konstitusi yang mengatur relasi pemerintah
dengan rakyat menunjukkan bahwa pemerintahan dilaksanakan atas dasar
kehendak rakyat, bukan berupa paksaan seperti yang dilaksanakan
pemerintah despotik.44
Karena itu, di beberapa negara, konstitusi bahkan
dianggap sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mengontrol
pemerintahan, yang muncul dari sebuah keyakinan akan pemerintahan
yang dibatasi (limited government).45
Miriam Budiardjo bahkan
menyebutkan bahwa konstitusi dianggap sebagai institusi yang paling
efektif untuk melindungi warga negara melalui konsep rule of law atau
rechtsstaat.46
Konstitusi dengan demikian akan memberikan jaminan
konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan bagi rakyat
tersebut.47
Bagaimanapun, konstitusi yang baik, menurut Aristoteles akan
mengarahkan pada tatanan pemerintahan yang mempunyai tujuan untuk
43
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Keenam,
Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 82 44
Ridwan, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 2 45
K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Terjemahan oleh Muhammad Hardani,
Cetakan Pertama, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003, hlm. 10-11 46
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan Ketiga Puluh, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 171 47
Ni‟matul Huda, Hukum... Loc., Cit.
27
mewujudkan kepentingan bersama, yaitu tercapainya tujuan tertinggi
negara berupa a good life.48
Kedua, adanya pembagian kekuasaan negara. Konteks ini pada
prinsipnya adalah untuk membatasi kekuasaan atau menghindari
penumpukan kekuasaan dalam satu tangan yang cenderung berakibat pada
penyalahgunaan kekuasaan. Menjadi karakter alamiah, bahwa setiap
kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi
sewenang-wenang. Lord Acton dengan diktum terkenalnya menyebutkan
“power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.49
Dilihat dari aspek historis, munculnya pembatasan kekuasaan memang
bermula dari penyelenggaraan negara yang fungsi kekuasaan negara
terpusat dan terkonsentrasi pada satu orang yaitu raja atau ratu.50
Kekuasaan raja atau ratu ini berjalan secara turun temurun dan
berlangsung tanpa adanya kontrol yang jelas, sehingga penyelenggaraan
negara sangat bergantung pada kehendak pribadi raja atau ratu. Tentu
menjadi kesalahan yang sangat besar, sebuah kekuasaan yang besar
diberikan kepada satu orang hanya dengan mendasarkan pada moral, niat,
dan sifat-sifat manusia yang menguasainya, tanpa adanya pengaturan dan
pembatasan tertentu.51
Dalam keadaan ini, peluang untuk mengedepankan
kepentingan pribadi di atas kepentingan umum sangat terbuka lebar, yang
48
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cetakan Kelima, Rajawali
Pers, Jakarta, 2013, hlm. 77 49
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi... Op., Cit., hlm. 129 50
Jimly Asshiddiqie, Pengantar... Op., Cit., hlm. 282 51
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam
UUD NRI 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 37
28
pada titik tertentu akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dengan
konsekuensi meniadakan hak-hak dan kebebasan rakyat.52
Usaha untuk melakukan pembatasan kekuasaan negara tersebut
kemudian dilakukan dengan berbagai cara. Dari struktur kelembagaan,
pembatasan kekuasaan dilakukan dengan cara mengadakan pembedaan
dan pemisahan/pembagian kekuasaan negara ke dalam beberapa fungsi
yang berbeda-beda. Pada konteks ini, teori yang dibangun oleh John Locke
yang kemudian dimodivikasi oleh Montesquieu tampak sebagai teori yang
paling banyak membawa pengaruh terhadap pembatasan kekuasaan dalam
negara modern.53
Sebagaimana diketahui, John Locke membagi kekuasaan
negara ke dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan, yaitu cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan federatif. Montesquieu yang diilhami oleh John
Lock, juga membagi kekuasaan negara ke dalam 3 (tiga) cabang,
meskipun terdapat perbedaan, yaitu cabang kekuasaan eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Konsep yang dibangun baik oleh John Locke maupun oleh
Montesquieu tersebut, dikenal dengan istilah trias politica.
Ketiga, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat. Dibentuknya
konstitusi serta dilakukannya pembatasan terhadap kekuasaan negara agar
terhindar dari perilaku sewenang-wenang pada akhirnya mempunyai
tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak konstitusional warga
negara.
52
Jimly Asshiddiqie, Pengantar... Loc., Cit. 53
Ibid... hlm. 282
29
Ketiga karakteristik di atas memang lebih cenderung pada konsepsi
negara hukum yang bertumpu pada rechssstaat, meskipun terdapat
kesamaan dengan karakteristik the rule of law, yang oleh A.V. Dicey juga
dicirikan setidaknya dengan 3 (tiga) hal:54
a. Supremasi absolut atau predominasi dari regular law
untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan
meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif atau
discretionary authority yang luas dari pemerintah.
b. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama
dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang
dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak
ada orang yang berada di atas hukum; tidak ada peradilan
administrasi negara;
c. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land,
bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber, tetapi
merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang
dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.
3. Politik Hukum
Politik hukum masuk dalam taksonomi ilmu hukum sejak
diselesaikannya penelitian disertasi oleh Moh. Mahfud MD yang berjudul
Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik
terhadap Karakter Produk Hukum di Indonesia. Secara definitif, menurut
Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan)
resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan
hukum baru maupun dengan penggantian hukum yang lama, dalam rangka
mencapai tujuan negara.55
Abdul Hakim Garuda Nusantara berpendapat
54
Ni‟matul Huda, Hukum... Op., Cit., hlm. 83 55
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Keenam,
Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 1
30
bahwa politik hukum adalah kebijakan hukum (legal policy) yang hendak
diterapkan atau dilaksanakan oleh suatu pemerintahan negara tertentu.56
Menurut Ahsin Tohari, politik hukum adalah kebijakan dasar
penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah
berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk
mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.57
Pandangan lain
mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang
hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu
dalam masyarakat.58
Mochtar Kusumaatmadja59
memandang politik
hukum sebagai kebijakan hukum dan perundang-undangan dalam
pembaharuan hukum dengan instrumen politik hukum dilakukan melalui
undang-undang. Makna dari konsepsi Mochtar Kusumaatmadja yaitu
berkaitan dengan hukum mana yang perlu dibentuk (diperbarui, diubah,
atau diganti) dan hukum mana yang perlu dipertahankan agar secara
bertahap dapat diwujudkan tujuan negara. Sementara Sunaryati Hartono
mengatakan bahwa politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana
dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan
sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum
56
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta,
2010, hlm, 15 57
Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2004, hlm. 32. 58
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 35 59
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan: Kumpulan
Karya Tulis Prof. Mochtar Kusumaatmadja, dalam Anna Triningsih,”Politik Hukum Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan Dalam Penyelenggaraan Negara” artikel dalam Jurnal Konstitusi,
Volume 13, Nomor 1, Maret 2016, hlm. 126
31
nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.60
Faktor-faktor
yang akan menentukan politik hukum kata Sunaryati Hartono,61
tidak
semata-mata oleh apa yang kita cita-citakan atau tergantung pada
kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoretisi belaka, akan
tetapi ditentukan pula oleh kenyataan serta perkembangan hukum di lain-
lain negara serta perkembangan hukum internasional.
Pengertian legal policy, mencakup proses pembuatan dan
pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana
hukum akan dibangun. Politik hukum memberikan landasan terhadap
proses pembentukan hukum yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi,
kultur serta nilai yang berkembang di masyarakat dengan memperhatikan
kebutuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.62
Terdapat sedikitnya 4 (empat) hal yang harus diperhatikan dalam
hal perumusan kebijakan negara, yang keempatnya merupakan kaidah atau
penuntun politik hukum terutama di ranah legislatif, yaitu:63
pertama,
politik hukum harus tetap menjaga integrasi atau keutuhan bangsa baik
secara ideologi maupun secara teritori. Politik hukum dan kebijakan umum
haruslah menjadi milik dan diterima secara bersama tanpa dirusak oleh
nilai-nilai sektarian. Kedua, politik hukum dan kebijakan umum haruslah
didasarkan pada upaya membangun demokrasi (kedaulatan rakyat) dan
60
C.F.G Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, 1991, hlm. 1 61
Ibid, hlm. 23 62
Moh. Mahfud MD, Politik... Op., Cit., hlm. 9 63
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Cetakan Ketiga,
Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 26-28
32
nomokrasi (negara hukum) sekaligus. Ketiga, politik hukum haruslah
didasarkan pada upaya membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Keempat, politik hukum haruslah didasarkan pada prinsip
toleransi beragama yang berkeadaban.
4. Demokrasi
Demokrasi secara harfiah merupakan gabungan dari 2 (dua) kata
yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos dan kratos atau cratein.
Demos mempunyai makna rakyat dan cratein atau cratos bermakna
kekuasaan atau kedaulatan. Kombinasi dari kedua kata tersebut menjadi
istilah demokrasi, yang berarti kedaulatan berada di tangan rakyat.
Gabungan dari 2 (dua) kata yang berasal dari Yunani tersebut menurut R.
Kranenburg dalam “Inleiding in de vergelijkende staatsrechtwetenschap”
bermakna cara memerintah oleh rakyat.64
M. Durverger di dalam bukunya,
“les Regimes Politiques”, demokrasi itu ialah termasuk cara pemerintahan
dimana golongan yang memerintah dan golongan yang diperintah adalah
sama dan tidak terpisah-pisah. Artinya satu sistem pemerintahan negara,
yang dalam pokoknya, semua orang (rakyat) berhak sama untuk
memerintah dan juga diperintah.65
Terminologi demokrasi yang cukup populer dan banyak digunakan
merujuk pada kalimat Abraham Lincoln melalui kalimat sederhananya
64
Koencoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi dalam Ni‟matul Huda,
Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2005,
hlm. 12 65
Ibid.
33
yaitu government of the people, by the people, for the people. Makna
demokrasi yang digagas oleh Lincoln ini sekaligus menegaskan bahwa
negara yang mendasarkan pada sistem demokrasi sebagai sistem
politiknya, haruslah menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi. Ungkapan lain Abraham Lincoln yang menjadi akar dari
demokrasi yaitu “Karena aku tidak ingin menjadi budak, aku juga tidak
ingin menjadi tuan. Demikianlah demokrasi menurutku. Apapun yang
berbeda dari gagasan ini, sampai pada tingkat yang ekstrem, bukanlah
demokrasi.”66
Jimly Asshiddiqie memperluas makna demokrasi tidak
hanya pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat, namun juga
pemerintahan bersama rakyat.67
Demokrasi sebagai sistem yang
menjadikan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, diselenggarakan
oleh rakyat dan untuk rakyat, dan berusaha terus membuka diri untuk
melibatkan peran dan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara.68
Ada beberapa unsur yang penting untuk diperhatikan, sekaligus
untuk mengetahui apakah sistem demokrasi telah dijalankan di sebuah
negara. Kalimat William Tyler kiranya dapat dijadikan rujukan terhadap
hal ini.69
“I believe in the United States of America as a Government of the
people, by the people, for the people, whose just powers are
derived from the consent of the governed; a democracy in a
66
Richard M. Ketchum, What Is Democracy?, terjemahan oleh Mukhtasar, Cetakan
Pertama, Penerbit Niagara, Yogyakarta, 2004, hlm. 20 67
Jimmly Asshidiqie, Konstitusi..,Op. Cit, hlm 70 68
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 241-242 69
Anonim, “The American‟s Creed” dalam http://www.usflag.org/american.creed.html,
diakses pada tanggal 4 Maret 2021
34
Republic; a sovereign Nation of many sovereign States; a perfect
union, on and inseparable; established upon those principles of
freedom, equality, justice, and humanity for wich American
patriots sacrificed their lives and fortunes. I therefore believe it is
my duty to my Country to love it; to support its Constitution; to
obey its laws; to respect its flag, and to defend it againest all
enemies.”
Kalimat William Tyler tersebut memang menggambarkan
pelaksanaan demokrasi di Amerika Serikat, namun setidaknya
memberikan cerminan, bahwa demokrasi mempunyai sekurang-kurangnya
4 (empat) prinsip dasar, yaitu freedom (kebebasan), equality (persamaan),
justice (keadilan), dan humanity (kemanusiaan). Menurut Afan Gaffar,
beberapa unsur penting dalam negara demokrasi sebagai sebuah gagasan
politik, setidaknya mengandung beberapa hal, yaitu penyelenggaraan
kekuasaan negara yang berasal dari rakyat; adanya pertanggungjawaban
penguasa yang menduduki jabatan publik kepada rakyat; adanya
partisipasi secara langsung maupun tidak langsung sebagai wujud dari
demokrasi itu sendiri; adanya pergantian kekuasaan yang berjalan secara
teratur dan damai; terselenggaranya pemilihan umum untuk menjamin hak
politik setiap warga negara; jaminan perlindungan terhadap kebebasan hak
asasi manusia.70
Henry B. Mayo menegaskan, demokrasi setidaknya didasarkan
pada beberapa nilai fundamental, yaitu: penyelesaian perselisihan dengan
damai dan secara melembaga (institutionalized peacefull sattlement of
conflict); menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu
70
Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Cetakan Kelima, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 15
35
masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a changing society);
penyelenggaraan pergantian kepemimpinan secara teratur (orderly
succesion of rulers); pembatasan pemakaian kekerasan sampai minimum
(minimum of coercion); mengakui serta menganggap wajar adanya
keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dalam
keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku; menjamin
tegaknya keadilan.71
Ulf Sundhaussen menyebutkan tiga syarat demokrasi
untuk suatu sistem politik, yaitu: jaminan atas hak seluruh warganegara
untuk dipilih dan memilih dalam pemilu yang dilaksanakan secara berkala
dan bebas; semua warga negara menikmati kebebasan berorganisasi,
memperoleh informasi, dan beragama; serta dijaminnya hak yang sama di
depan hukum.72
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau normatif
yuridis. Dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif, karena sesuai
dengan makna dan karakteristiknya, yang menurut Soerjono Soekanto
mencakup penelitian terhadap azas-azas hukum; penelitian terhadap
sistematika hukum; penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;
71
H.M. Thalhah, Demokrasi... Op., Cit., hlm. 9 72
Ulf Sundhoussen, Demokrasi dan Kelas Menengah: Refleksi Mengenai Pembangunan
Politik dalam R. Siti Zuhro, dkk., Demokrasi Lokal; Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai
Budaya Politik Lokal, Ombak, Yogyakarta, 2009, hlm 19.
36
penelitian terhadap sejarah hukum; dan penelitian perbandingan hukum.73
Dilihat dari topik dan judul untuk dikomparasikan terhadap karakteristik
penelitian hukum normatif tersebut, yaitu bahwa penelitian ini hendak
menganalisis mengenai materi muatan perpu yang ditinjau dari asas-asas
hukum tertentu, legalitas dan konstitusionalitas perpu untuk melihat
kesesuaian dan pertentangan materi muatannya dengan materi muatan
konstitusi; serta upaya pengendalian materi muatan perpu dengan cara
memperbandingkan doktrin serta praktik yang berkembang di negara-
negara lain.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), Pendekatan
Konseptual (Conceptual Approach), dan Pendekatan Kasus (Case
Approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk melakukan
analisis dan telaah terhadap beberapa produk hukum, yang secara umum
terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, beberapa perpu yang ditetapkan oleh presiden pasca reformasi, dan
peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pembentukan
perpu. Pendekatan konseptual digunakan untuk menganalisis dan
menjawab persoalan pemaknaan kegentingan memaksa sebagai syarat
dalam membentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang, politik
73
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, UI Press, Jakarta,
1986, hlm. 51
37
hukum pengaturan materi muatan dan konstitusionalitas perpu berdasarkan
pada teori-teori hukum yang relevan berdasarkan penelitian ini.
Pendekatan kasus digunakan untuk mengetahui penerapan norma dan
kaidah hukum melalui putusan pengadilan, yang dalam hal ini digunakan
untuk menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian perpu
atau pengujian undang-undang tentang penetapan perpu.
3. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penulisan ini adalah materi muatan dan
konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang
ditetapkan oleh presiden pasca reformasi hingga penelitian ini disusun.
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer yaitu aturan hukum yang dibentuk
dan/atau dibuat secara resmi oleh lembaga negara dan/atau badan
pemerintahan yang mempunyai kewenangan;74
bahan hukum sekunder
yaitu informasi yang relevan dengan permasalahan hukum;75
dan bahan
hukum tertier.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini secara
umum terdiri dari Konstitusi, Peraturan Pemerintah Pengganti
74
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Konsep, dan Metode, Setara Press, Malang, 2013,
hlm. 67 75
Ibid... hlm. 69
38
Undang-Undang yang ditetapkan pasca reformasi, dan putusan
Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dengan rincian sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum;
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1998 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme;
6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12
Oktober 2002;
39
7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
8. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan;
9. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
10. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi;
11. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota;
12. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
13. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
40
14. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan;
15. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam
Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan;
16. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia;
17. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia;
18. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
19. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan;
41
20. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan;
21. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota;
22. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-I/2003
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung;
23. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-
I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
24. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom
Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, Menjadi Undang-
Undang;
42
25. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-
II/2004 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
26. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan;
27. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;
28. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah;
29. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-VI/2008
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
30. Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 tentang Pengujian
Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
43
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung;
31. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009
tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
32. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PUU-VII/2009
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang
Jaring Pengaman Sistem Keuangan;
33. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-
VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan
Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang
Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang
Mengganggu Ketertiban Umum juncto Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai
44
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai
Undang-Undang;
34. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
35. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XI/2013
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
36. Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XI/2013
tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi;
37. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XI/2013
tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi;
45
38. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XI/2013
tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi;
39. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XI/2013
tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi;
40. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-XI/2013
tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi;
41. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman;
42. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014
46
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang;
43. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 118-119-125-126-
127-129-130-135/PUU-XII/2014 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota dan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah;
44. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XII/2014
tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota;
45. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XV/2017
tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan;
46. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XV/2017
tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
47
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan;
47. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XV/2017
tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan;
48. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XV/2017
tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan;
49. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XV/2017
tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan;
50. Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-
XV/2017 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan;
48
51. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XV/2017
tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan;
52. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XV/2017
tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan;
53. Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-
XVI/2018 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-
Undang;
54. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-
XVIII/2020 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka
49
Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan;
55. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-
XVIII/2020 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka
Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan;
56. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-
XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka
Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan menjadi Undang-Undang;
50
57. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 44/PUU-
XVIII/2020 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang;
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, yang terdiri dari hasil penelitian yang serupa atau
sejenis dengan topik penelitian ini, jurnal, buku, dan literatur
sejenis lainnya.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder yang terdiri dari Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dan ensiklopedia.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara penelusuran
kepustakaan dan penelusuran dalam jaringan untuk mendapatkan dokumen
resmi institusional, jurnal, buku, dan literatur terkait lainnya.
6. Analisis Bahan Hukum
51
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini yaitu
dengan cara studi pustaka dan studi dokumen. Studi pustaka dan studi
dokumen dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan,
putusan pengadilan, dan beberapa literatur terkait untuk kemudian
dijelaskan secara deskriptif kualitatif sehingga memunculkan kesimpulan
sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti.
G. Kerangka Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab yang disusun secara sistematis. Bab
I memuat tentang latar belakang permasalahan yang mengurai tentang adanya
kesenjangan antara yang seyogyanya (das sollen) dan yang senyatanya (das sein)
untuk menunjukkan urgensi dilakukannya penelitian ini; rumusan masalah; tujuan
penelitian; tinjauan pustaka untuk menunjukkan orisinalitas penelitian dengan
meninjau dan membedakan dengan beberapa penelitian terdahulu; kerangka teori;
dan metode penelitian yang digunakan.
Bab II tentang tinjauan umum atas teori negara hukum, demokrasi, hukum
tata negara darurat, dan politik hukum. Pada bab ini mengurai landasan teori yang
digunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan yang telah
dituangkan dalam rumusan masalah.
Bab III tentang pemaknaan kegentingan yang memaksa dalam
pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang oleh presiden pasca
reformasi. Bab ini memuat analisis penulis terhadap rumusan masalah pertama
52
dengan berfokus pada alasan pembentukan dan problematika materi muatan perpu
yang ditetapkan oleh presiden pasca reformasi.
Bab IV tentang politik hukum pengaturan materi muatan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang yang sesuai dengan prinsip negara hukum
dan demokrasi. Fokus analisis penulis adalah latar belakang perumusan Pasal 22
UUD NRI 1945 sebagai dasar hukum yang memberikan kewenangan presiden
menetapkan perpu untuk mengetahui original intent para perumus konstitusi
sehingga memunculkan klausul Pasal 22; analisis terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai pengujian terhadap perpu atau undang-undang tentang
pengesahan perpu; problematika perpu dalam penyelenggaraan negara, serta ius
constituendum pengaturan materi muatan perpu sesuai dengan prinsip negara
hukum dan demokrasi.
Bab V tentang penutup, akan menguraikan kesimpulan sebagai jawaban
atas rumusan masalah dengan mendasarkan pada analisis pada bab sebelumnya,
serta saran berupa rekomendasi atas permasalahan yang ada.
53
BAB II
TINJAUAN UMUM ATAS TEORI NEGARA HUKUM, DEMOKRASI,
HUKUM TATA NEGARA DARURAT, DAN POLITIK HUKUM
A. Teori Negara Hukum
Teori negara hukum telah berkembang sejak lama yang pada
perkembangannya dianggap sebagai gagasan bernegara yang paling ideal.76
Negara hukum, sekurang-kurangnya pada tataran normatif yuridis, saat ini sudah
menjadi tipe negara yang umum dimiliki oleh bangsa-bangsa di dunia ini.77
Menurut Abu Daud Busroh, negara modern mempunyai tipe yaitu selain berlaku
asas demokrasi, juga menganut paham negara hukum.78
Budiono
Kusumohamidjojo sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR menyebutkan,79
Pada babak sejarah sekarang adalah sukar untuk membayangkan negara
tidak sebagai negara hukum. Setiap negara yang tidak mau dikucilkan dari
pergaulan masyarakat Internasional menjelang abad XXI paling sedikit
secara formal akan memaklumkan dirinya sebagai negara hukum. Dalam
negara hukum, hukum menjadi aturan permainan untuk mencapai cita-cita
bersama sebagai kesepakatan politik. Hukum juga menjadi aturan
permainan untuk menyelesaikan segala macam perselisihan, termasuk juga
perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi.
Hukum dengan demikian tidak mengabdi kepada kepentingan politik
sektarian dan primordial, melainkan kepada cita-cita politik dalam
kerangka kenegaraan.
Tidak sedikit ahli hukum yang memberikan definisi mengenai negara
hukum. Menurut Krabbe, negara hukum menghendaki bahwa siapapun dalam
76
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya
Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,
Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Kencana, Bogor, 2003, hlm. 2 77
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum... Loc., Cit. 78
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Cetakan Kedelapan, Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hlm.
53 79
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil, Problematika Filsafat Hukum,
dalam Ridwan, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, Cetakan Pertama, FH UII Press,
Yogyakarta, 2014, hlm. 50
54
suatu negara, harus tunduk kepada hukum, termasuk pemerintahnya. Karena itu,
ketika pemerintah termasuk presiden sekalipun, ketika melanggar ketentuan
hukum, maka juga harus menerima konsekuensi hukum dimaksud.80
Muhammad
Yamin,81
memaknai negara hukum sebagai suatu negara yang menjalankan
pemerintahan yang tidak menurut kemauan orang-orang yang memegang
kekuasaan, melainkan menurut aturan tertulis yang dibuat oleh badan-badan
perwakilan rakyat yang terbentuk secara sah berdasarkan asas “the laws and not
man shall govern”. Carl J. Friedrich sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD
berpendapat,82
konsepsi negara hukum bertalian erat dengan konstitusionalisme,
yaitu gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktiva yang
diselenggarakan atas nama rakyat, akan tetapi tunduk pada beberapa pembatasan
yang memberikan jaminan bahwa kekuasaan tidak dapat disalahgunakan oleh
mereka yang mendapatkan tugas untuk memerintah. Hartono Mardjono memaknai
negara hukum, sebagai suatu negara yang seluruh warga negara maupun alat
kelengkapan dan aparat negaranya, tanpa terkecuali dan tanpa adanya
80
Terdapat perbedaan parameter pelanggaran hukum oleh pemerintah di beberapa negara.
Belanda yang termasuk kategori negara hukum rechtstaat, pelanggaran hukum oleh pemerintah
dikenal dengan penyalahgunaan kekuasaan negara (onrechtmatige overheidsdaad) yang
parameternya adalah tindakan pemerintah melawan atau bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, meskipun tindakan tersebut tidak menimbulkan kerugian terhadap hak
perorangan. Sedangkan di Inggris yang bertumpu pada the rule of law, lebih mengedepankan pada
aspek perlindungan hak dasar warga negara. Lihat dalam Sunaryati Hartono, Apakah The Rule of
Law itu, dalam Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Cetakan Kedua, PT.
Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 14 81
M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Hufron dan Shofyan
Hadi, Ilmu Negara Kontemporer: Telaah Teoritis Asal Mula, Tujuan dan Fungsi Negara, Negara
Hukum dan Negara Demokrasi, Cetakan Pertama, LaksBang Grafika, Yogyakarta, 2016, hlm. 183 82
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media atas kerja sama
Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, Yogyakarta, 1999, hlm. 129
55
diskriminasi, dalam segala aktivitasnya tunduk pada hukum, sehingga yang
berkuasa penuh di negara tersebut adalah hukum.83
Wirjono Prodjodikoro,84
memaknai negara hukum sebagai suatu negara
yang di dalam wilayahnya, semua penduduk dan semua alat kelengkapan dari
negara, khususnya alat kelengkapan pemerintah dalam tindakannya baik terhadap
warga negara maupun dalam hubungan lainnya tidak boleh sewenang-wenang,
namun harus tunduk dan memperhatikan peraturan-peraturan dan hukum yang
berlaku. Sedangkan Sudargo Gautama, melihat negara hukum bahwa setiap
tindakan negara harus berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan
yang telah diadakan terlebih dahulu, merupakan batas kekuasaan bertindak
negara. Undang-Undang Dasar yang memuat asas-asas hukum dan peraturan-
peraturan hukum harus ditaati, termasuk oleh pemerintah dan badan-badan
pemerintahan.85
Menurut Joeniarto,86
dalam penyelenggaraan negara, tindakan-
tindakan penguasa harus didasarkan pada hukum, bukan didasarkan pada
kekuasaan atau kemauan dari penguasa belaka dengan maksud membatasi
kekuasaan penguasa dan memberikan perlindungan terhadap hak asasi
masyarakat.
83
Hartono Mardjono, Negara Hukum yang Demokratis Sebagai Landasan Membangun
Indonesia Baru, Cetakan Pertama, Yayasan Koridor Pengabdian, Jakarta, 2001, hlm. 7 84
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Cetakan Kedua, Eresco
Jakarta, Bandung, 1981, hlm. 37 85
Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, dalam Yopi Gunawan dan
Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara Hukum Pancasila, Cetakan Pertama,
PT. Refika Aditama, 2015, hlm. 67 86
Joeniarto, Negara Hukum, dalam Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Loc. Cit.
56
D. Mutiara‟s,87
mendefinisikan negara hukum sebagai negara yang
susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang sehingga segala
kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya berdasarkan pada hukum. Daniel S. Lev
memaknai negara hukum dengan sebuah pandangan yang sangat menekankan
pentingnya pemberian jaminan atas hak-hak perseorangan dan pembatasan atas
kekuasaan politik, serta pandangan yang menganggap pengadilan tidak dapat
dikaitkan dengan lembaga lain manapun.88
Setiap ahli mempunyai pandangan yang berbeda tentang makna dan
definisi negara hukum. Hal ini karena negara hukum merupakan produk sejarah
(historische bepaald),89
yang tidak lepas dari ikatan negara, sehingga setiap ahli
mendefinisikannya menyesuaikan dengan zaman dan keadaan ketatanegaraan
pada waktu itu. Pada akhirnya, tidak ada satu definisi tetap dan baku mengenai
negara hukum. Kendatipun demikian, berdasarkan seluruh definisi yang ada
sebagaimana disebutkan di atas, penulis dapat menarik beberapa unsur dari negara
hukum itu, yaitu penyelenggaraan negara berdasarkan atas hukum, pembatasan
kekuasaan, dan adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Negara hukum sering kali diperlawankan dengan negara kekuasaan
(machstaat) yang cenderung terjebak pada otoritarianisme dan totalitarianisme.
Negara kekuasaan selalu dikonstruksikan sebagai negara yang terbentuk dan
proses menjalankannya didasarkan hanya pada faktor penegakan masyarakat.
87
D. Mutiara‟s, Ilmu Tata Negara Umum, dalam Abdul Mukhtie Fadjar, Sejarah, Elemen,
dan Tipe Negara Hukum, Setara Press, Malang, 2016, hlm. 6 88
Daniel S.Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan,
Cetakan Pertama, LP3ES, Jakarta, 1990, hlm. 393 89
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ketiga,
Gaya Media Pratama, Jakarta, 1995, hlm. 132
57
Tujuan kesejahteraan rakyat hanya bersifat nisbi sehingga tujuan negara bermuara
bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan penguasa itu
sendiri.90
George Orwell melukiskan konsep negara totaliter sebagai berikut,
Penguasa totaliter tidak hanya mau memimpin tanpa gangguan dari bawah,
ia tidak hanya mau memiliki monopoli kekuasaan. Melainkan ia mau
secara aktif menentukan bagaiamana masyarakat hidup atau mati,
bagaimana mereka bangun dan tidur, makan, belajar dan bekerja. Ia juga
mau mengontrol apa yang mereka pikirkan. Dan, siapa yang tidak ikut,
dihancurkan.91
C.J. Friedrich dan Z.K. Brzezinski mencirikan negara totaliter yaitu secara
struktural memiliki sebuah ideologi yang bahkan menyangkut semua bidang yang
wajib dianut oleh semua warga negara, pemusatan kekuasaan dalam satu partai
yang dikemudikan secara sentral, masyarakat ditakut-takuti dengan penghapusan
jaminan hukum, adanya teror dan kesewenang-wenangan dari polisi, monopoli
sarana informasi dan senjata negara, dan sektor ekonomi yang dikendalikan secara
sentral.92
Machiavelli dalam bukunya berjudul The Prince adalah salah satu tokoh
dari gagasan negara kekuasaan ini. Menurutnya, tujuan negara adalah untuk
mencapai ketertiban dan ketenteraman, dan tujuan itu hanya dapat dicapai oleh
pemerintahan seorang raja yang tidak dihalang-halangi oleh apapun.93
Sedangkan
masyarakat dan manusia pada hakikatnya buruk atau jelek, barangkali dengan
menitikberatkan pada egosentrisme yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa
melihat kepentingan orang lain, persis dengan pendapat Thomas Hobbes bahwa
90
Muhammad Junaidi, Ilmu Negara: Sebuah Konstruksi Ideal Negara Hukum, Cetakan
Kedua, Setara Press, Malang, 2016, hlm. 51 91
Hannah Arendt, Asal Usul Totalitarisme dalam Munir Fuady, Teori... Op., Cit., hlm. 37 92
Ibid., hlm. 15 93
Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Op., Cit. hlm. 189
58
manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya (hommo homini lupus).94
Karena itu pemerintahan harus bersikap keras dan menggunakan cara apa saja
untuk mempertahankan diri bahkan kalau dirasa perlu dengan pengingkaran janji-
janji terhadap rakyat.95
The End of Justifies the Mean, bagi Machiavelli, hukum
dan kekuasaan adalah identik. Barang siapa mempunyai kekuasaan, maka ia
mempunyai hukum. Undang-undang hanya kemauan raja yang memegang
kedaulatan absolut.96
Sejalan dengan konsep Machiavelli, adalah Jean Bodin melalui karyanya
Six Livres de la Republiqus. Bahwa negara harus mempunyai kedaulatan, dan
kedaulatan tersebut dipersonifikasikan oleh raja. Ajaran Bodin ini muncul sebagai
respon atas fakta lemahnya negara Perancis akibat banyaknya pertikaian-
pertikaian di dalam negeri, baik antara kaum bangsawan, maupun antara kaum
agamawan. Bodin memandang bahwa perdamaian dan ketertiban yang dapat
menciptakan stabilitas negara akan tercapai ketika pertikaian itu dihapuskan
dengan meletakkan semua kekuasaan pada diri seorang raja.97
Ajaran Machiavelli dan Bodin ini yang kemudian mengilhami Hitler di
Jerman dan Mussollini di Italia. Bagi Hitler, penjajahan dan praktek penguasaan
terhadap negara lain adalah mutlak dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang
benar-benar bersih. Hitler dan Mussollini menjalankan pemerintahan dengan sikap
yang keras, kejam, dan menggunakan cara apa saja untuk mempertahankan
94
Abdul Mukhtie Fadjar, Sejarah... Op., Cit., hlm. 12 95
Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, dalam Muhammad Junaidi, Ilmu Negara... Op.,
Cit., hlm. 52 96
Abdul Mukhtie Fadjar, Sejarah... Op., Cit., hlm. 11 97
Ibid.
59
kekuasaannya.98
Akhirnya, negara dijalankan berdasarkan kekuasaan yang
berkarakter otoriter dan jauh dari semangat negara hukum.
Dalam suatu negara hukum, yang menjadi raja adalah hukum, akan tetapi
dalam suatu negara totaliter, raja adalah hukum, persis dengan kalimat AV. Dicey
yang merujuk pada pengadilan-pengadilan di Inggris, “hukum menduduki tempat
tertinggi, lebih tinggi dari kedudukan raja, terhadapnya raja dan pemerintahannya
harus tunduk, dan tanpa hukum maka tidak ada raja dan tidak ada pula kenyataan
hukum ini”.99
Sebagai lawan dari negara kekuasaan yang cenderung otoriter itu,
sekaligus menjadi titik utama pembedanya, maka prinsip bahkan tujuan negara
hukum menurut Philipus M. Hadjon adalah memberikan tempat yang utama bagi
jaminan perlindungan hak asasi manusia, sedangkan dalam negara yang totaliter,
tidak ada tempat bagi hak asasi manusia.100
Demikian pula pendapat Kusnardi dan
Bintan R. Saragih, bahwa negara hukum adalah suatu negara yang menentukan
cara bagaimana hak asasi manusia dilindungi. Cara lain yang tidak melindungi
hak asasi manusia tidak dapat disebut sebagai negara hukum.101
Disebutkan sebelumnya, bahwa negara hukum merupakan produk sejarah
dengan ikatan kenegaraan. Karena itu, negara hukum mempunyai banyak tipe
98
Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, dalam Muhammad Junaidi, Ilmu Negara... Op.,
Cit., hlm. 52 99
Munir Fuady, Teori... Op., Cit., hlm. 2 100
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Cetakan Pertama, PT. Bina Ilmu,
Surabaya, 1987, hlm. 71 101
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 131
60
sesuai dengan waktu dan keadaan suatu negara, sejarah perjalanan sistem
kenegaraan dan sistem demokrasi yang berbeda-beda, tingkat kemajuan dan
kematangan suatu bangsa dalam bernegara dan berdemokrasi, perbedaan bentuk
negara yang menyebabkan pula perbedaan teknis pelaksanaan prinsip-prinsip
negara hukum, perbedaan tingkat kehidupan ekonomi dan kesejahteraan rakyat
suatu negara mengingat pelaksanaan prinsip negara hukum yang juga memerlukan
cost yang sudah tentu akan dibebankan kepada rakyat, perbedaan tingkat
pendidikan masyarakat termasuk pemimpin dan penyelenggara negaranya.102
Apabila negara hukum secara umum dimaknai sebagai genus begrip, maka
sebagai species begripnya setidaknya dalam berbagai literatur terbagi ke dalam 5
(lima) macam, yaitu Nomokrasi Islam, rechtsstaat, rule of law, socialist legality,
dan negara hukum Pancasila.103
Ke depan, bukan tidak mungkin 5 (lima) macam
negara hukum tersebut akan berkembang dan melahirkan jenis negara hukum
lainnya. Namun dalam penelitian ini, uraian akan difokuskan pada kelima tipe
negara tersebut.
Pertama, negara hukum berdasarkan al-Qur‟an dan Sunnah, yang oleh
Muhammad Tahir Azhary dengan mengutip Malcolm H. Kerr,104
diistilahkan
dengan nomorkrasi Islam.105
Istilah ini dipandang relevan untuk membedakan
negara hukum yang dipopulerkan oleh Barat yang berkarakter sekuler termasuk
pemahaman Barat tentang teokrasi, dengan negara hukum dalam konteks Islam.
102
Munir Fuady, Teori... Op., Cit., hlm. 7 103
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 83-84 104
Malcolm H. Kerr, Islamic Reform dalam Ibid. 105
Akar kata nomokrasi adalah Nomos yang bermakna norma, dan Cratos yang bermakna
kekuasaan. Nomokrasi dengan demikian berarti bahwa yang menentukan dalam penyelenggaraan
kekuasaan adalah norma atau hukum. Lihat dalam Fajlurrahman Jurdi, Teori Negara Hukum,
Setara Press, Malang, 2016, hlm. 18
61
Muhammad Tahir Azhary melalui disertasinya telah menganalisis secara spesifik
konsepsi negara hukum dalam konsep hukum Islam berikut juga karakteristiknya.
Menurutnya, negara hukum ditinjau dari aspek hukum Islam merupakan negara
yang mendasarkan pada syari‟at Islam sebagaimana digariskan al-Qur‟an dan
Sunnah. Hukum Islam tidak menentukan secara kaku mengenai bentuk
pemerintahan, namun lebih berfokus pada ketaatan terhadap prinsip umum yang
telah digariskan di dalam al-Qur‟an dan Sunnah. Kebebasan untuk memilih
bentuk pemerintahan sesuai dengan kondisi sosial kemasyarakatan suatu negara
adalah konsekuensi atas hal ini. Negara dengan bentuk pemerintahannya kerajaan,
namun dalam penyelenggaraannya berpegang teguh pada al-Qur‟an dan Sunnah,
maka telah dianggap memenuhi kualifikasi sebagai negara hukum. Sebaliknya,
negara dengan bentuk pemerintahan republik, namun secara faktual menyimpangi
prinsip al-Qur‟an dan Sunnah, maka tidak termasuk tipe negara hukum menurut
Islam.106
Bentuk pemerintahan dan institusi politik di dalamnya, dengan mengutip
pendapat Ibnu Taimiyah, hanyalah sebagai alat untuk menegakkan prinsip
syari‟at.107
Penelitian Muhammad Tahir Azhary tersebut berkesimpulan bahwa negara
hukum dalam perspektif Islam setidaknya mempunyai 9 (sembilan) prinsip, yaitu
kekuasaan sebagai amanah; musyawarah; keadilan; persamaan; pengakuan dan
106
Muhammad Tahir Azhary, Negara... Op., Cit., hlm. 10 107
Ibid., hlm. 12
62
perlindungan terhadap hak asasi manusia; peradilan bebas; perdamaian;
kesejahteraan; dan ketaatan rakyat.108
Kesalahpahaman terhadap nomokrasi Islam ini adalah ketika dipahami
bahwa konsep ini lebih dekat pada “teokrasi”, yaitu kekuasaan berada pada
tuhan.109
Menurut penulis, hal ini cukup wajar mengingat nomokrasi Islam
meletakkan al-Qur‟an dan Sunnah sebagai landasan dasarnya, sedangkan al-
Qur‟an merupakan murni Firman Allah, dan Sunnah merupakan tuntunan
Rasulullah yang merupakan “tindak lanjut” atau pelaksanaan dari al-Qur‟an.
Kesalahpahaman ini telah diklarifikasi oleh Tahir Azhary, bahwa negara hukum
dalam Islam cenderung pada konsep nomokrasi dan bukan teokrasi. Dari
sejarahnya, menurut Tahir Azhary yang mengutip Majid Khadduri, istilah teokrasi
dibuat oleh Flavius Josephus sekitar 37-10 Masehi yang digunakan untuk
memperlihatkan karakteristik dan tipe negara Israel pada permulaan era Kristen.
Ini disetujui oleh J. Welhausen yang kemudian ia gunakan juga sebagai predikat
negara Islam.110
Padahal, melekatkan predikat teokrasi ke dalam karakter negara
Islam adalah tidak cocok dan tidak tepat. Teokrasi lebih cocok dilekatkan kepada
negara yang dipimpin oleh Paus seperti pada abad pertengahan dan Kota Vatikan
yang menjadi suatu “lembaga kekuasaan rohani”.111
Dalam hukum Islam,
persamaan bagi para pemeluknya adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi,
sehingga tidak mungkin ada sekelompok ahli agama yang dapat mengklaim
108
Ibid., hlm. 85-86 109
Ibid. 110
Majid Khadduri, War and Peace dalam Ibid., hlm. 86-87 111
Lembaga kekuasaan rohani dimaknai oleh H.M. Rasjidi sebagai kerajaan Paus di mana
para ahli agama menguasai rakyat jelata, yang dalam konsep Islam hal itu tidak dikenal. Lihat
Rasjidi, “Koreksi Terhadap Nurcholis Madjid tentang Sekularisme” dalam Ibid.
63
bahwa dirinya adalah wakil tuhan dan karenanya harus berkuasa atas masyarakat
dan suatu negara tertentu.112
Kedua, negara hukum dalam makna rechtsstaat, yang ini banyak
diterapkan oleh negara-negara berkarakter Eropa Kontinental yang bertumpu pada
civil law system seperti Belanda dan Jerman. Rechtsstaat diperlawankan dengan
obrigkeitsstaat yang berarti negara didasarkan pada kekuasaan yang sewenang-
wenang. Warga negara dalam konsep rechtsstaat dilekati kebebasan sipil dan
dapat menggunakan mekanisme peradilan untuk mempertahankannya sesuai
dengan hukum.113
Kata “rechtsstaat” menurut Soedirman Kartohadiprojo
sebagaimana dikutip kembali oleh Abdul Mukti Fadjar, pertama kali digunakan
oleh seorang guru besar Jerman Rudolf von Gneist di dalam karyanya das
Engliche Verwaltunngerchte (1857) untuk menggambarkan pemerintahan negara
Inggris.114
B. Arief Sidharta dengan mengacu pada konsep Scheltema, merumuskan
bahwa unsur-unsur negara hukum terdiri dari pertama, pengakuan, penghormatan,
dan perlindungan hak asasi manusia yang berakar dalam penghormatan atas
martabat manusia. Kedua, adanya asas kepastian hukum di dalam masyarakat.
Asas-asas yang berkaitan dengan kepastian hukum ini adalah asas legalitas,
konstitusinalitas, dan supremasi hukum; asas undang-undang menetapkan
berbagai perangkat peraturan tentang cara pemerintah dan pejabatnya melakukan
112
Ibid. 113
A. Ahsin Thohari, Hak Konstitusional Dalam Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit
Erlangga, Jakarta, 2016, hlm. 30 114
Abdul Mukhtie Fadjar, Sejarah... Op., Cit., hlm. 8
64
tindakan pemerintahan; asas non-retroaktif yaitu perundang-undangan sebelum
mengikat, harus terlebih dahulu diundangkan dan diumumkan secara layak; asas
peradilan bebas, impartial, independen, objektif, rasional, adil dan manusiawi;
asas non-liquet yaitu hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan undang-
undang tidak ada atau tidak jelas; hak asasi manusia harus dirumuskan dan
dijamin perlindungannya di dalam Undang-Undang Dasar atau undang-undang.
Ketiga, adanya asas persamaan (similia similibus). Asas ini menghendaki adanya
jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, serta
terseianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga
negara. Keempat, asas demokrasi, yaitu kesempatan yang sama bagi semua rakyat
untuk terlibat dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan
pemerintahan. Kelima, pemerintah mengemban amanat sebagai pelayan
masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
tujuan negara yang bersangkutan. Dalam hal ini, terkandung asas umum
pemerintahan yang layak, syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang
bermartabat dijamin dan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan,
khususnya dalam konstitusi; pemerintah secara rasional menata setiap
tindakannya, memiliki tujuan yang jelas dan berhasil guna, dan diselenggarakan
secara efektif dan efisien.115
Secara lebih sederhana, menurut M.C. Burkens, ide dasar rechsstaat
didasarkan pada syarat-syarat yang terdiri dari asas legalitas, pembagian
kekuasaan, perlindungan hak-hak dasar, dan pengawasan pengadilan. Asas
115
B. Arief Sidharta, Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum, dalam Hufron dan
Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 197-198
65
legalitas mengandung makna bahwa setiap tindakan pemerintah harus didasarkan
atas peraturan perundang-undangan. Pembagian kekuasaan bermakna bahwa
kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. Pemahaman ini
berangkat dari kekuasaan yang begitu luas akan cenderung sewenang-wenang.
Perlindungan hak-hak dasar merupakan landasan yang membatasai kekuasaan
pembentukan undang-undang, dan pengawasan pengadilan merupakan sarana bagi
rakyat untuk menguji keabsahan tindakan pemerintahan.116
Philipus M. Hadjon membagi konsep negara hukum rechsstaat ini ke
dalam 2 (dua) bagian yaitu konsep klasik yang diistilahkan dengan “klassiek
liberale en democratische rechtsstaat” dan konsep modern yang diistilahkan
dengan “sociale-democratische rechtsstaat”.117
Liberal democratische rechtsstaat, sesuai dengan namanya, model ini
mendasarkan pada prinsip liberal dan demokrasi atau kebebasan dan persamaan
sebagai basis prinsip perlindungan hak asasi manusia. Ciri-cirinya yaitu adanya
undang-undang dasar atau konstitusi tertulis yang menjadi kesepakatan dasar
tentang hubungan penguasa dan rakyat sebagai jaminan kebebasan dan
persamaan; adanya pembagian kekuasaan negara berdasarkan prinsip trias
politica dan check and balances untuk menghindarkan penumpukan kekuasaan
pada satu tangan yang berakibat pada penyalahgunaan kekuasaan; pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak kebebasan rakyat.118
Sedangkan sociale
rechtsstaat, merupakan perkembangan dari liberal democratische rechtsstaat.
116
H.M. Thalhah, Demokrasi... Op., Cit., hlm. 73 117
Philipus M. Hadjon, Perlindungan... Op., Cit., hlm. 74 118
Ibid., hlm. 76
66
Kebebasan dan persamaan yang semula dalam liberal democratische rechtsstaat
cenderung bersifat formal, dalam konsep sociale rechtsstaat ditafsirkan riil dalam
kehidupan masyarakat, bahwa tidak ada persamaan mutlak antara individu yang
satu dengan yang lain.119
Kepentingan umum sebagai asas hukum publik tidak
lagi diartikan sebagai kepentingan negara sebagai kekuasaan yang menjaga
ketertiban atau kepentingan kaum borjuis, namun kepentingan seluruh rakyat.
Watak undang-undang bertransformasi dari “ratio scripta” menjadi alat hukum
untuk mewujudkan kebijaksanaan.120
Ketiga, negara hukum dalam makna the rule of law, yang banyak
diterapkan di negara Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang
bertumpu pada common law system. Dilihat dari sejarahnya, the rule of law lahir
di Inggris yang dipelopori oleh A.V. Dicey dengan mendasarkan pada 3 (tiga)
tolok ukur, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), persamaan di hadapan
hukum (equality before the law), dan konstitusi yang didasarkan pada hak-hak
perseorangan (the constitution based on individual rights).121
Secara lengkap,
A.V. Dicey mengatakan,
That the rule of law, then wich forms a fundamental principle of the
constitution, has three meanings, or may be regarded from three different
points of view. It means, in the first place, the absolute supremacy or
predominance of regular law; it means, again, equality before the law, or
the equal subjection of all classes to the ordinary law of the land
administered by the orinary law courts; the rule of law, lastly, may be
used as a formula for expressing the fact that with us the law of the
constitution, the rule which in foreign countries naturally form part of
119
Ibid., hlm. 77 120
Ibid, hlm. 78 121
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 90
67
constitutioned code, are not the source but the consequence of the rights of
individuals, as defined and enforced by the courts.122
Berdasarkan pendapat Philipus M. Hadjon,123
dengan berkorelasi pada
kalimat di atas, maka Dicey mengetengahkan 3 (tiga) arti dari the rule of law,
yaitu pertama, supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk
menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-
wenangan, prerogratif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah;
kedua, persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua
golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court,
yang ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, tidak ada
peradilan administrasi negara; ketiga, konstitusi merupakan hasil dari the ordinary
law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan
konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh
peradilan.
Secara substansi, negara hukum dalam konsepsi the rule of law ini
memang tidak menegasikan substansi dari rechtsstaat, bahkan dapat dikatakan
tujuan utamanya adalah sama yaitu melindungi hak-hak dasar warga negara,
memberikan batasan-batasan secara konstitusional terhadap penguasa sehingga
tidak cenderung otoriter yang dapat melanggar hak-hak warga negara dan
menyebabkan tidak terpenuhinya unsur kedilan masyarakat, serta membatasi
pelaksanaan hak dan kebebasan masyarakat yang terlalu liberal untuk menemukan
122
A.V. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Tenth Edition,
English Language Book Society and MacMillan, London, 1959, hlm. 202-203 123
Philipus M. Hadjon, Perlindungan... Op., Cit., hlm. 80
68
unsur ketertiban dan menghindari adanya unsur anarki.124
Dalam bahasa Philipus
M. Hadjon,125
sulitlah saat ini untuk menarik perbedaan yang hakiki dari prinsip
rule of law dan rechtsstaat.
The rule of law dan rechtsstaat hanya mempunyai perbedaan karakteristik
tertentu saja, misalnya latar belakang lahirnya serta aspek operasionalnya. Bila
rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan melawan absolutisme sehingga sifatnya
adalah revolusioner, konsep rule of law berkembang secara evolusioner sehingga
negara hukum diorientasikan untuk tujuan peradilan yang adil.126
Ini kemudian
juga berpengaruh pada aspek operasional keduanya yang berbeda.
Rechtsstaat menjadikan peradilan administrasi sebagai sarana yang
penting sehingga disebut sebagai karakter utamanya, sedangkan the rule of law
tidak terlalu mengedepankan peradilan administrasi karena kepercayaan
masyarakat yang sudah sedemikian tinggi terhadap peradilan umum, sehingga
peradilan umum telah dianggap cukup untuk mengadili semua perkara.127
Singkatnya, rechtsstaat bertumpu pada administratief, sedangkan the rule of law
bertumpu pada judicial. A.W. Bradley menjelaskan, pengadilan dalam tradisi rule
of law mempunyai peran paling penting karena penafsiran-penafsirannya terhadap
124
Munir Fuady, Teori... Op., Cit., hlm. 17 125
Philipus M. Hadjon, Perlindungan... Op., Cit., hlm. 83 126
Muntoha, Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Cetakan Pertama,
Kaukaba Dipantara, Yogyakarta, 2013, hlm. 9 127
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 90
69
peraturan perundang-undangan akan sangat menentukan bagi keputusan-
keputusan yang akan diambil oleh negara.128
Rechtsstaat tidak memberikan kebebasan kepada hakim untuk
merumuskan hukum, sedangkan the rule of law memberikan kebebasan kepada
hakim untuk memutuskan perkara dalam menciptakan keadilan.129
Akibatnya,
dalam tradisi rechtstaat ketika hakim memutus perkara yang menyimpang dari
ketentuan peraturan perundang-undangan, maka hakim akan dianggap melawan
undang-undang, dan menyimpangi prinsip pemisahan kekuasaan karena telah
mengintervensi kewenangan legislatif sebagai pembentuk undang-undang.
Bahkan dalam titik tertentu, hakim yang terlalu melakukan improvisasi melalui
putusannya dapat dituduh telah melakukan kesewenang-wenangan. Berbeda
dengan the rule of law, yang bahkan ketika ada perbedaan antara undang-undang
dan putusan hakim, maka putusan hakim inilah yang diutamakan untuk digunakan
sebagai dasar hukum. Artinya, dalam tradisi the rule of law, peran lembaga
peradilan mempunyai proporsi yang lebih besar.
Keempat, socialist legality yang umumnya diterapkan oleh negara-negara
komunis/sosialis. Karakteristik utamanya adalah adanya propaganda anti agama
dengan doktrin bahwa agama adalah candu bagi rakyat. Paham negara hukum
sosialis tampak berbeda dengan paham negara hukum barat sebagaimana rule of
law atau rechtsstaat. Hukum harus ditempatkan di bawah sosialisme, hak
128
A.W. Bradley “The Sovereignty of Parliament” dalam Jeffrey Jowell dan Dawn
Oliver, The Changing Constitution, dalam A. Ahsin Thohari, Hak Konstitusional... Op., Cit., hlm.
33 129
Moh. Mahfud MD, disampaikan dalam Serial Diskusi Akademik 80 Tahun Bagir
Manan dengan judul ”Peran Putusan Hakim Dalam Pembentukan Hukum Nasional”, 26 Agustus
2021
70
perseorangan dapat disalurkan kepada prinsip sosialisme bahkan meskipun hak
tersebut patut mendapatkan perlindungan.130
Hal ini karena sosialisme menuntut
terbentuknya masyarakat yang didasarkan pada kemerdekaan bagi semua orang
melalui solidaritas dan pengorganisasian sosial,131
yang dalam sejarahnya,
sosialisme memang lahir sebagai kumpulan pemikiran yang menentang
individualisme, untuk kemudian mengedepankan perkara-perkara sosial.132
Socialist legality biasanya mendasarkan pada paham marxist-leninist yang
mengagungkan ekonomi dalam hubungan kemasyarakatan, dengan mengambil
kekuatan mengikat dari politik dan hukum.133
Tradisi negara hukum sosialis
bukan mengutamakan pada peran peraturan perundang-undangan dan
yurisprudensi, namun mengutamakan dasar kebijaksanaan ekonomi dan sosial.
Hukum hanya menjadi instrumen kebijaksanaan dalam bidang ekonomi atau
sosial.134
Karl Marx adalah salah satu tokoh utama dari konsep negara hukum ini,
yang mengatakan bahwa negara merupakan manifestasi dari pertentangan kelas
antara borjuis dan proletar. Negara merupakan puncak kemenangan kaum proletar
atas kaum borjuis. Setelah negara terbentuk, maka yang berkuasa adalah
130
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum dalam Muhammad Tahir Azhary,
Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 91 131
Thomas Meyer, Sosial-Demokrasi Dalam Teori dan Praktek (Pengalaman Kaum
Sosial-Demokrat Jerman), terjemahan oleh Imam Yudotomo, Center for Social-Democratic
Studies, Yogyakarta, 2003, hlm. 12 132
Anthony Giddens, The Third Way: The Renewal of Social Democracy, terjemahan
oleh Ketut Arya Mahardika, Cetakan Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 3 133
Fajlurrahman Jurdi, Teori... Op., Cit., hlm. 61 134
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, dalam Ibid.
71
sekelompok kaum proletar yang membawa masyarakat ke arah kehidupan
sosialis-komunis.135
Menurut pendapat penulis, terlepas dari implementasi konsep negara
hukum yang menyesuaikan dengan kondisi dan tipologi masyarakat suatu negara,
konsepsi negara hukum dalam jenis socialist legality ini justru mereduksi prinsip
dasar negara hukum yang banyak berlaku di berbagai negara. Negara yang
dijalankan (dikuasai) oleh elite terlalu mempunyai ruang yang luas dan kendali
negara yang terlalu besar terhadap kehidupan masyarakat, sehingga kebebasan
dan hak asasi manusia justru rawan tereduksi. Tidak heran bila konsep ini
memunculkan banyak kritik termasuk oleh tokoh sosialis-komunis sendiri.
Milovan Djilas misalnya yang mengecam bahwa komunisme yang mendasarkan
pada negara socialist legality tidak lain merupakan alat bagi penguasa untuk
mengeksploitasi dan mendominasi rakyat.136
Max Weber dengan teori
birokrasinya juga menyoroti sosialisme yang sebenarnya merupakan perluasan
otoritas birokrasi ke seluruh rakyat, yang mengakibatkan “kediktatoran birokrat”
dan bukannya kekuasaan kelas buruh.137
Kelima, negara hukum Pancasila. Negara hukum Pancasila ini dalam
banyak literatur, dimunculkan secara tersendiri sebagai jenis negara hukum untuk
menunjukkan jenis negara hukum khas Indonesia. Konsep negara hukum
Indonesia tidak bisa ditentukan secara baku dan tetap berdasarkan salah satu dari
135
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cetakan
Kedua, Prenadamedia Group, Jakarta, 2016, hlm. 233 136
William Ebenstein, Today‟s Isms, dalam Ibid. 137
Seymour Martin Lipset, Political Man: Basis Sosial tentang Politik, terjemahan oleh
Endi Haryono, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 12
72
4 (empat) kriteria jenis negara hukum sebelumnya, namun beberapa unsur dari
beberapa tipe negara hukum di atas, dapat dilihat adanya persamaan dengan
konsep negara hukum Pancasila. Philipus M. Hadjon menyebut, ciri-ciri negara
hukum Pancasila yaitu adanya keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat
berdasarkan asas kerukunan; hubungan fungsional yang proporsional antar
kekuasaan negara; prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan
peradilan sebagai sarana paling akhir; dan keseimbangan antara hak dan
kewajiban.138
Tidak bisa dibenarkan apabila dikatakan bahwa Indonesia merupakan
negara agama dalam artian bahwa penyelenggaraan negara mendasarkan pada
ajaran atau syariat agama tertentu seperti halnya konsepsi teokrasi atau nomokrasi
Islam. Namun ini juga bukan berarti bahwa Indonesia berpaham sekular yang
memisahkan secara tegas antara agama dan negara. Faktanya, tidak sedikit ajaran
dan syariat agama yang justru menjadi sumber hukum positif di Indonesia.
Singkatnya, baik paradigma teokrasi maupun sekularisme, tidak cukup memadai
untuk memahami fenomena konsep negara hukum Indonesia. Relasi agama dan
negara diidealkan untuk sinergis, komplementer, dan saling mengisi tanpa ada
kemenangan atau kekalahan pada masing-masing pihak.139
Karena itu, negara
hukum Indonesia harus diberikan nama sendiri di samping beberapa tipe negara
hukum di atas.
138
Philipus M. Hadjon, Perlindungan... Op., Cit., hlm. 90 139
Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik & Hukum Islam: Reposisi Peradilan Agama
dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, Cetakan Pertama,
Pustaka Pelajar atas kerjasama dengan Pascasarjana IAIN Walisongo, Yogyakarta, 2006, hlm. 34
73
Negara hukum Indonesia yang mendasarkan pada Pancasila, dengan
demikian berpaham ketuhanan yang maha esa sebagaimana disebut dalam Sila
Pertama Pancasila. Bunyi sila pertama dengan konsekuensi monoteisme tersebut
merupakan dasar kerohanian dan dasar moral bangsa Indonesia yang sekaligus
menunjukkan adanya persamaan dengan prinsip Nomokrasi Islam yang berdasar
al-Qur‟an dan Hadist.140
Hal ini berarti juga bahwa yang hanya dapat dipastikan
dari keempat jenis negara hukum sebelumnya yaitu bahwa Indonesia tidak
termasuk golongan socialist legality. Oemar Seno Adji berpendapat bahwa
Indonesia memang benar memberikan jaminan kebebasan beragama, namun hal
ini harus dimaknai secara positif, sehingga tidak untuk dimaknai sebagai
kebolehan untuk paham ateisme atau propaganda anti agama di Indonesia.
Berbeda dengan Amerika Serikat yang memaknai kebebasan beragama termasuk
dalam makna ateisme, atau Uni Soviet (sebelum bubar) yang memaknai
kebebasan beragama dengan memberikan jaminan konstitusional terhadap
propaganda anti agama.141
Memang, Penjelasan UUD NRI 1945 menyebutkan secara eksplisit
klausul “rechtsstaat”,142
namun menurut Tahir Azhary hal itu bukan bermakna
merujuk pada konsepsi sebagaimana negara hukum Barat yang tergolong ke
dalam Eropa Kontinental, melainkan negara hukum dalam konteks Indonesia
dengan bercirikan ada hubungan yang erat antara agama dan negara (bukan negara
sekuler yang secara tegas memisahkan agama dan negara); bertumpu pada spirit
140
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 98 141
Ibid., hlm. 93-94 142
Penjelasan UUD 1945 menyebutkan, “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat)”
74
berketuhanan yang maha esa; kebebasan beragama dalam makna yang positif
dengan tetap melarang ateisme dan komunisme; adanya asas kekeluargaan dan
kerukunan.143
Menurut pendapat penulis, klausul rechtsstaat yang ada di dalam
Penjelasan UUD 1945 memang tidak bisa hanya dimaknai bahwa negara hukum
Indonesia berpaham sebagaimana negara negara-negara Eropa Kontinental seperti
Barat, namun klausul tersebut harus dimaknai sebagai penggunaan bahasa asing
(Belanda) yang hendak memperlawankan dengan negara kekuasaan yang dalam
Bahasa Belanda populer dengan machtsstaat. Bagaimanapun, rechtsstaat
(Belanda) dan the rule of law (Inggris) apabila dimaknai dalam Bahasa Indonesia,
sama-sama akan berarti negara hukum. Pilihan mendasarkan pada Bahasa Belanda
tidak terlepas dari aspek historis penjajahan bangsa Indonesia dan proses
perumusan UUD 1945 yang para perumusnya lebih sering dan lebih familiar
dengan klausul tersebut. Bahkan Supomo sebagai arsitektur utama konstitusi,
lebih banyak menggunakan Bahasa Belanda, yang barangkali tidak terlepas dari
latar belakang pendidikannya yang juga ditempuh di Belanda. Pidato pertama
Supomo yang menjelaskan tentang rancangan Undang-Undang Dasar 1945
kiranya dapat menjadi rujukan atas hal ini.
“Kita harus memakai istilah-istilah hukum, juga untuk mengembangkan
bahasa Indonesia. Di Jakarta ada suatu panitia bernama “Hooten Seibi
Iinkai” untuk menetapkan istilah-istilah hukum. Anggota-anggota Panitia
itu diangat oleh P.Y.M. Gunseikan dan saya sendiri menjadi ketua panitia
itu. Maka atas anjuran panitia ini istilah “hukum” itu dipakai sebagai
salinan dari istilah “recht” dalam bahasa Belanda. Artinya hukum itu bisa
tertulis atau tidak tertulis. Jadi segala “recht” yang tertulis dan yang tidak
143
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 97-98
75
tertulis dapat disalin dengan perkataan “hukum” akan tetapi “Undang-
Undang” itu justru hukum yang tertulis”.144
Pidato tersebut menunjukkan bahwa Supomo tidak menggunakan kata
“law” sebagaimana dalam bahasa Inggris untuk mengistilahkan “hukum”, namun
menggunakan kata “recht” yang berasal dari bahasa Belanda.
Dalam kesimpulannya pidato Supomo menegaskan bahwa sistem
pemerintahan yang hendak ditegaskan di dalam rancangan UUD adalah supremasi
hukum. “Aliran pikiran yang meliputi rancangan Undang-Undang Dasar ini
menghendaki supremasi dari hukum, artinya menghendaki negara yang berdasar
atas hukum (Recht), menghendaki satu Rechtsstaat, bukan satu negara yang
berdasar atas kekuasaan (Machtsstaat)”.145
Sedangkan kita ketahui, bahwa
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi klausul eksplisit
“rechtsstaat” itu dirumuskan oleh Supomo yang kemudian diresmikan menjadi
hukum positif sebagai bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945 oleh Soekarno
melalui dekrit presiden. Uraian di atas dengan demikian menunjukkan bahwa
rechtsstaat dalam penjelasan UUD 1945 merupakan genus begrip yang dapat
diterjemahkan dengan istilah negara hukum dalam Bahasa Indonesia, sedangkan
sepcies begrip-nya adalah Negara Hukum Pancasila.146
Penulis sependapat, bahwa negara hukum Pancasila yang menjadi
karakteristik Indonesia ini merupakan menifestasi dari negara hukum prismatik
144
Saafroedin Bahar, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei
1945-22 Agustus 1945, Edisi Ketiga, Cetakan Pertama, Sekretariat Negara Republik Indonesia,
Jakarta, 1995, hlm. 264 145
Ibid., hlm. 274 146
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 99
76
seperti yang dikonstruksikan oleh Moh. Mahfud MD.147
Konsep prismatik yang
digunakan oleh Mahfud MD ini merujuk pada konsep Fred W. Riggs ketika
mengidentifikasi pilihan kombinatif atas nilai sosial patembayan seperti yang
dikemukakan oleh Hoogvelt.148
Dengan pendekatan sosiologi, Hoogvelt
memandang bahwa ada 2 (dua) nilai sosial yang hidup di masyarakat, yaitu nilai
sosial paguyuban dengan menekankan kepentingan bersama, dan nilai sosial
patembayan yang mengedepankan kepentingan dan kebebasan individu.149
Respon Riggs terhadap konsep Hoogvelt yang menawarkan satu nilai sebagai
jalan tengah yaitu nilai sosial prismatik yang meletakkan dua kelompok nilai oleh
Hoogvelt di atas sebagai landasan untuk membangun hukum yang penjabarannya
dapat disesuaikan dengan tahap perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang
bersangkutan.150
Negara hukum prismatik yang berbeda dengan karakteristik
setiap tipe negara hukum sebagaimana diuraikan sebelumnya, namun tetap
mengadopsi dari setiap unsur yang relevan itulah yang menjadi karakteristik
negara hukum Pancasila.
Mahfud MD menegaskan bawah nilai kepentingan yang menjadi dasar
politik hukum Indonesia, tidak secara ekstrim dan fanatik terhadap aliran
individualisme, juga tidak secara ekstrim berpaham kolektivisme yang sama
sekali menolak individualisme. Namun mengambil nilai dan sisi baik dari kedua
aliran tersebut yaitu dengan pengakuan terhadap kebebasan individu sebagai
147
Moh. Mahfud MD, Membangun... Op., Cit., hlm. 23 148
Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic
Society, dalam Ibid. 149
Ankie M. Hoogvelt, Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, dalam Ibid. 150
Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic
Society, dalam Ibid.
77
bagian dari hak asasi, namun juga meletakkan kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi.151
Demikian pula terhadap bentuk negara hukum, Indonesia
tidak secara letterlijk berpaham rechtsstaat dengan kepastian hukum dan semua
karakteristiknya seperti yang telah dijelaskan di atas, ataupun secara kaku terpaku
pada the rule of law yang mengedepankan peradilan sebagai karakternya.
Indonesia tidak terpaku pada salah satunya, namun memasukkan unsur baik dari
keduanya. Prinsip dan nilai baik dalam rechtsstaat dipadukan dengan karakter
baik dalam the rule of law, sekurang-kurangnya yaitu kepastian hukum yang
berpadu dengan keadilan.152
Bahkan karakter nomokrasi Islam sekalipun, juga
diterapkan di Indonesia dengan mengakui dan menghormati eksistensi ajaran
agama Islam, sekaligus mengadopsi dasar-dasar syariat Islam dalam
penyelenggaraan negara.
Berdasarkan uraian di atas, penulis setuju dengan pendapat Muhammad
Tahir Azhary bahwa negara hukum Indonesia sangat berbeda dengan konsep
socialist legality, namun penulis tidak setuju dengan pendapatnya bahwa
Indonesia tidak identik dengan sistem hukum Eropa Kontinental yang bertumpu
pada rechtsstaat dan sistem hukum pada negara-negara Anglo Saxon yang
bertumpu pada the rule of law.153
Karakteristik rechtsstaat, the rule of law, dan
nomokrasi Islam, dapat ditemui dalam bangunan negara hukum Indonesia, yaitu
negara hukum Pancasila.
151
Ibid., hlm. 24 152
Ibid., hlm. 26 153
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 99
78
Dilihat dari sejarahnya, konsepsi negara hukum sebenarnya secara gagasan
muncul sejak masa Yunani Kuno. Plato pada masa 427 Sebelum Masehi sampai
dengan 347 Sebelum Masehi yang merupakan murid Socrates; dan Aristoteles
yang lahir pada tahun 384 Sebelum Masehi, merupakan tokoh penting dalam
sejarah pemikiran negara hukum, yang karya-karyanya (termasuk dalam hal ini
mengenai negara hukum) sampai saat ini masih menjadi rujukan dalam banyak
literatur.
Pandangan Plato mengenai negara hukum setidaknya dapat dilihat dari 3
(tiga) karyanya, yaitu Politeia (The Republic), Politicos (The Stateman), dan
Nomoi (The Law). Politeia berisi tentang keprihatinan Plato melihat negaranya,
seorang yang serakah dan haus akan harta, sewenang-wenang dan tidak
memerhatikan kepentingan rakyat. Keadaan itu menurut Plato sangat jauh dari
cita-cita dibentuknya negara, yaitu yang memberikan perlindungan, kesejahteraan,
dan keadilan bagi warga negaranya. Berangkat dari ini kemudian Plato menggagas
bahwa negara haruslah dipimpin oleh seorang filsuf karena ia adalah seorang yang
arif, bijaksana, menghargai kesusilaan, berpengetahuan tinggi, sehingga
mengetahui kebaikan yang harus diperjuangan dan keburukan yang harus
dihindarkan.154
Melalui karyanya, Plato menjelaskan bahwa negara yang ideal adalah
negara yang dipimpin oleh seorang raja yang merupakan filsuf yang cerdas.
Hukum digunakan oleh raja untuk mengatur masyarakat yang dipimpinnya.
154
Azhary, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-
Unsurnya, Cetakan Pertama, UI-Press, Jakarta, 1995, hlm. 19
79
Sebaliknya, raja tidak perlu tunduk pada hukum, karena seorang filsuf adalah
orang yang bermoral dan bijaksana sehingga dapat mengendalikan dirinya untuk
menciptakan negara yang ideal. Menurut Plato, negara yang dipimpin oleh filsuf
akan lebih baik dan adil karena seorang filsuf adalah manusia suci yang tidak akan
terjerumus pada kejahatan.155
Penulis sepenuhnya setuju bahwa negara akan ideal apabila dipimpin oleh
seorang filsuf yang bijaksana, suci, dan cerdas. Hanya saja, untuk mendapatkan
seorang raja atau pemimpin negara yang demikian, tentu bukan perkara mudah.
Merupakan sifat alamiah manusia, bahwa di samping kebaikannya, juga terdapat
sisi keburukannya. Karena itu, gagasan Plato di atas, memang terkesan utopis dan
sulit untuk diwujudkan. Terlebih, gagasan awal Plato tersebut meletakkan posisi
raja di atas hukum.
Kesadaran Plato mengenai gagasannya yang terlalu utopis itu, maka
melalui karyanya yang lain yaitu Politeia, Plato mulai memberikan gagasan yang
lebih logis dan realistis meskipun tidak sepenuhnya meninggalkan gagasan
sebelumnya. Gagasannya agar negara dipimpin oleh seorang filsuf tetap
dipertahankan, namun hukum diletakkan sebagai instrumen penting untuk
mengurangi kejahatan. Hukum dibuat oleh pemimpin atau raja sesuai dengan
kebutuhan. Menurut Plato, hukum dibuat bukan semata-mata untuk menciptakan
ketertiban saja, namun juga sebagai obat untuk menyembuhkan kejahatan
manusia.156
Melalui Politeia ini, Plato memang sudah menjadikan hukum sebagai
155
Fajlurrahman Jurdi, Teori... Op., Cit., hlm. 4 156
J.H. Rapar, Filsafat Politik, dalam Ibid., hlm. 5
80
instrumen penyelenggaraan negara, namun otoritas pembuat hukum masih
diberikan kepada raja. Hukum dibentuk oleh raja untuk diberlakukan kepada
rakyatnya. Artinya, kekuasaan dalam kerangka ini masih berada di atas hukum.
Gagasan Plato tentang negara hukum baru muncul secara tegas di dalam karya
selanjutnya yaitu Nomoi. Menurutnya, penyelenggaraan negara yang baik adalah
yang didasarkan pada hukum yang baik.157
Gagasan Plato dilanjutkan oleh Aristoteles sebagai murid Plato melalui
karyanya Politica yang baru ditemukan pada tahun 1891.158
Menurut Aristoteles,
yang memerintah dalam negara bukan manusia, akan tetapi pikiran yang adil dan
kesusilaan yang menentukan baik dan buruknya suatu hukum, sedangkan
penguasa sebenarnya hanya memegang hukum dan keseimbangan saja.159
Suatu
negara yang baik adalah negara yang diperintah oleh konstitusi dan berkedauatan
hukum.160
“Aturan yang konstitusional dalam negara berkaitan secara erat, juga
dengan pertanyaan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia atau
hukum terbaik, selama suatu pemerintahan menurut hukum, oleh sebab itu
supremasi hukum diterima oleh Aristoteles sebagai tanda negara yang baik
dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tak selayaknya”.161
Aristoteles menggagas ada 3 (tiga) bentuk negara yang dianggap baik
dalam penyelenggaraan negara, yaitu monarki, aristokrasi, dan politeia. Monarki
157
Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 20 158
Ibid. 159
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Cetakan Ketujuh, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
1988, hlm. 153 160
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan Keempat Belas,
Rajawali Pers, Jakarta, 2018, hlm. 2 161
George Sabine, A History of Political Theory dalam Azhary, Negara... Op., Cit., hlm.
20
81
adalah bentuk yang baik sepanjang dipimpin oleh seorang raja yang bijaksana dan
mempunyai keunggulan melebih semua orang. Hanya saja, tentu sangat sulit
menemukan sosok raja yang demikian.162
Karena itu, Aristoteles berpendapat
bahwa aristokrasi adalah bentuk yang lebih baik, yaitu dengan menyerahkan
pemerintahan kepada segelintir orang aristokrat. Namun hal itu juga sulit untuk
ditemui, sehingga Aristoteles berpendapat bahwa politeia adalah pilihan yang
lebih baik dibandingkan monarki dan aristokrasi. Politeia yang dimaksud
Aristoteles adalah penyelenggaraan negara dengan mendasarkan pada kebebasan
dan persamaan setiap warga negara, serta kekuasaan harus dijalankan secara
bergantian berdasarkan undang-undang. Apabila pemerintahan tidak atas dasar
kuasa undang-undang, maka tidak akan ada konstitusi, sehingga dengan demikian
bukan merupakan politeia.163
Adapun pemerintahan yang berdasarkan konstitusi, menurut Aristoteles,
harus memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu,164
pertama, pemerintahan dilaksanakan
untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum
yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat
secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga,
pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan kehendak rakyat, bukan paksaan
dan tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik.
Beranjak pada masa Romawi Kuno, adalah Cicero yang meneguhkan
konsep negara hukum melalui karyanya berjudul de Legibus. Menurutnya,
162
A. Ahsin Thohari, Hak Konstitusional... Op., Cit., hlm. 21 163
Ibid. 164
Ridwan HR, Hukum Administrasi... Op., Cit., hlm. 2
82
hukumlah yang memerintah, bukan individu atau orang yang kebetulan menjadi
pejabat pemerintah (magistrate). Pejabat pemerintah menurut Cicero berfungsi
untuk memberikan perintah dengan adil sesuai dengan hukum. Dengan demikian,
hukumlah yang memerintah magistrate, dan magistrate yang kemudian
memerintah rakyat.165
Cicero meyakini bahwa negara yang berdasarkan hukumlah
yang akan menjamin kehidupan bebas manusia. “Omnes legume servi sumus ut
liberi esse possimus” (Kita semua harus tunduk kepada hukum jika kita tetap
ingin hidup bebas).166
Negara hukum mendapatkan momentum untuk diadopsi dan diusahakan
untuk diwujudkan secara nyata sebagai dasar penyelenggaraan negara Barat
dimulai sejak abad ke 17 Masehi sebagai bentuk perlawanan terhadap
absolutisme. Raja dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya tanpa ada yang
bisa melarang dan membatasi. Raja Louis bahkan menganggap bahwa negara
adalah miliknya dengan ungkapan “Le etat est moi” (negara adalah saya).167
Absolutisme raja tersebut ironisnya didukung oleh gereja yang turut menikmati
kemewahan dari raja.168
Selain gereja, raja juga memberikan ruang yang begitu
besar bagi kaum borjuis untuk turut memanfaatkan kekuasaan raja. Hal ini karena
raja yang membutuhkan bantuan dana kepada kaum borjuis terutama untuk
membiayai peperangan. Sebagai imbalannya, kaum borjuis dapat mengatur negara
sesuai kepentingannya melalui konspirasi dengan raja. Kesewenang-wenangan
165
A. Ahsin Thohari, Hak Konstitusional... Op., Cit., hlm. 22 166
Munir Fuady, Teori Negara... Op., Cit., hlm. 1 167
Victor Situmorang, Intisari Ilmu Negara, Cetakan Pertama, Bina Aksara, Jakarta,
1987, hlm. 79 168
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah... Op., Cit., hlm. 231
83
raja yang didukung oleh gereja tersebut menimbulkan respon penolakan yang
masif dari para pemikir barat dan rakyat umum, sehingga terjadilah peristiwa yang
dikenal dengan Revolusi Perancis pada 4 Juli 1789. Raja berhasil diturunkan dari
posisinya dan bahkan dihukum mati, agama dan politik kemudian dipisahkan
sama sekali,169
sebagai ekspresi traumatik rakyat terhadap persekongkolan gereja
dan raja.
Tokoh yang terkenal dalam periode ini adalah Rousseau dan John
Locke.170
John Locke dengan teori perjanjian masyarakat atau kontrak sosial
melalui karyanya Treaties of Civil Government menolak kekuasaan penguasa
yang absolut. Kekuasaan penguasa adalah terbatas karena dalam mengadakan
perjanjian dengan seseorang atau sekelompok orang, individu-individu tidak
menyerahkan seluruh hak alamiah mereka. Penguasa yang diberikan tugas dalam
ikatan kenegaraan melalui perjanjian masyarakat harus menghormati hak-hak
tersebut.171
Jadi inti dari teori kontrak sosial adalah usaha untuk mendobrak
pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat, yang mencakup hak
atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty, and
property).172
Tujuan negara tidak lain daripada menjamin hak-hak pribadi setiap
orang, sehingga negara harus menjaga hak-hak warga negara. John Locke
menyebut bahwa hak warga negara lebih kuat daripada negara karena negara tidak
mempunyai kekuasaan untuk mencabut hak-hak manusia. Hak itu bersifat
alamiah, sedangkan hak penguasa dalam negara timbul akibat suatu persetujuan
169
Ibid, hlm. 231. 170
Victor Situmorang, Intisari... Op., Cit., hlm. 80 171
Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu... Op., Cit., hlm. 191 172
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar... Op., Cit., hlm. 111
84
sosial antara warga negara, sehingga tidak mungkin seorang raja sebagai kepala
negara memiliki suatu kekuasaan pribadi atas milik seorang warga negara, seperti
dimiliki oleh pribadi sendiri.173
Asal mula pemikiran John Lock ini adalah komentar terhadap pendapat
Robert Filmer yang dituangkan di dalam karyanya berjudul Observation on
Aristotle‟s Politics, bahwa kebebasan alamiah manusia tidak dapat dibenarkan
tanpa menyangkal penciptaan adam.174
Sebagai nenek moyang manusia, Adam
juga hanya merupakan ciptaan tuhan yang dianggap maha kuasa, sehingga
keturunannya pun, secara alamiah juga dianggap tidak bebas. Menurut Filmer,
raja seperti Adam menerima wewenangnya langsung dari tuhan sehingga tidak
bertanggungjawab terhadap masyarakat atau parlemen.175
Filmer juga
menegaskan bahwa tuntutan manusia terhadap kebebasan hanya akan
menyebabkan penderitaan sepanjang masa. Kejatuhan Adam dari firdaus
disebabkan karena kehendaknya akan kebebasan untuk berbuat sesuai dengan
kehendak hatinya, sehingga menjadi berakibat pada penderitaan karena
penghukuman atas dosa Adam. Kejatuhan Adam ini yang oleh Filmer
disimbolisasikan bahwa tuntutan akan kebebasan berakibat pada penderitaan,
yang apabila tuntutan tersebut masih terus dilanjutkan oleh anak cucunya, maka
penderitaan juga akan ditimpakan kepada mereka.176
Ujung dari pendapat Filmer
173
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Cetakan Ketiga, Kanisius,
Yogyakarta, 1986, hlm. 82 174
John Locke, Two Treaties of Government, dalam A. Ahsin Thohari, Hak
Konstitusional... Op., Cit., hlm. 27 175
Ibid. 176
Ibid.
85
ini yaitu bahwa kekuasaan raja adalah monarki absolut dan bukan merupakan
pemberian dari rakyat.
John Locke menolak konsep Filmer melalui karyanya yang disebutkan di
atas. Menurutnya, doktrin politik kekuasaan Filmer yang dibangun berdasarkan
teks-teks kitab suci itu ironis dan justru bertolak belakang dengan maksud dan
hakikat dari teks kitab suci yang sesungguhnya.177
John Locke dengan konsep
perjanjian masyarakatnya yang sekuler itu menyatakan, bahwa kitab suci tidak
membenarkan kekuasaan tirani dan turun temurun yang berakibat pada
kesewenang-wenangan raja dan merugikan masyarakat. Letak kesalahan konsep
Filmer menurut Locke adalah menyetarakan posisi tiran dengan posisi pengeran
sejati. Maka John Locke membangun paradigma bahwa kekuasaan raja hadir atas
dasar perjanjian masyarakat, dihadirkan untuk melindungi hak-hak rakyat yang
setara, dan karenanya tidak abosolut.178
Hari Chand sebagaimana dikutip kembali oleh Ahsin Thohari
menjelaskan, secara singkat unsur penting pemikiran John Lock dapat
disimpulkan sebagai berikut:179
(1) equality of man. All people are equal and hence no one has any right
to injure another in life, health, liberty or possession;
(2) Self-preservation and preservation of other is in accordance with the
law of nature;
(3) People should be restrained from injuring others;
(4) Nobody has an absolute arbitrary power over himself or over any
other to destroy his own life or take away the life or property of
another;
177
Ibid. 178
Ibid. 179
Hari Chand, Modern Jurisprudence, dalam Ibid.
86
(5) The ruler has no right to remain in power if he fails to protect the
lives, liberty, and property of the people.
Jean Jacques Rousseau yang juga motor penggerak revolusi Perancis
kemudian memperkuat (menyempurnakan) teori John Locke. Melalui karyanya
Du Contract Social yang ditulis 1762, menurut Rousseau manusia secara alamiah
hidup dalam bebas, sederajat, aman, dan bahagia seperti keadaan alam firdaus.
Kesadaran bahwa keadaan alamiah tidak bisa terus dipertahankan karena adanya
ancaman-ancaman, maka beralih pada kehidupan bernegara yang diikat dengan
kontrak sosial. Karena itu, meskipun manusia terlahir merdeka, namun dimana-
mana ia terbelenggu.180
Karena negara dibentuk atas dasar kehendak rakyat melalui perjanjian
masyarakat, maka penguasa atau pemerintah tidak lebih hanya wakil-wakil rakyat.
Ajaran Rousseau ini dapat dilihat dalam Virginia Bill of Rights (Amerika 12 Juni
1776), yang di dalam Pasal disebutkan “That all power is vested in, and
consequently derived from the people” (bahwa segala kekuasaan berkedudukan
dalam tangan rakyat, dan oleh sebab itu maka rakyat itulah sumbernya).181
Ide dan konsep negara hukum secara umum, dapat dikatakan telah mapan
sejak masa Yunani Kuno hingga Revolusi Perancis sebagaimana diuraikan di atas.
Namun dalam tataran praktik, banyak hambatan bahkan penyimpangan-
penyimpangan terhadap semangat negara hukum. Karena itu, perjalanan negara
hukum selalu mengalami perkembangan terhadap unsur, bentuk dan paradigma
180
Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 193 181
Lukman Hakim, “Kerangka Politik Hukum Indonesia” artikel dalam Membangun
Negara Hukum yang Bermartabat, Cetakan Pertama, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 206
87
pelaksanaannya. Tahapan perkembangan dimaksud, akan diuraikan lebih detail
sebagai berikut:
1. Negara Polisi (Polizei Staat)
Hans Nawiasky mengatakan bahwa negara polisi setidaknya dapat
dilihat dari dua hal, yaitu Sicherhheit Polizei yang berfungsi sebagai
penjaga tata tertib dan keamanan, dan Verwaltung Polizei yang berfungsi
sebagai penyelenggara perekonomian warga negaranya.182
Negara polisi
dikenal dengan negara penjaga malam karena tugasnya yang hanya untuk
menyelenggarakan keamanan dan kemakmuran atau perekonomian
masyarakat.
Polizei ini mencakup 2 (dua) arti, yaitu penyelenggara negara
positif (bestuur), dan penyelenggara negara negatif (menolak bahaya yang
mengancam negara/keamanan).183
Karakter tipe negara ini masih
sewenang-wenang dan bersifat monarchie absolut.184
Menurut Muntoha,
negara polisi ini merupakan cikal bakal dari munculnya negara hukum.185
Abu Daud Busroh,186
juga tidak mengategorikan tipe negara ini sebagai
negara hukum. Memang benar, negara polisi mempunyai semangat sallus
publica suprema lex (kepentingan umum harus diutamakan), namun yang
menentukan yang mana yang merupakan kepentingan umum adalah raja,
182
Azhary, Negara... Op., Cit., hlm.. 44 183
Djokosutono, Kuliah Ilmu Negara, Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985,
hlm. 52 184
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 53 185
Muntoha, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 1 186
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara... Loc., Cit.
88
bukan ditentukan oleh yang berkepentingan sendiri, yaitu rakyat banyak.
Sejalan dengan pendapat Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,187
bahwa
negara polisi merupakan negara yang memberlakukan asas rajalah yang
menentukan segala-galanya untuk rakyatnya, tetapi tidak oleh rakyatnya
sendiri (alles voor het volk, maar niet door het volk). Sebuah cara pandang
yang sangat berlawanan dengan pendapat Krabbe, bahwa hukum bukanlah
semata-mata apa yang secara formil diundangkan oleh badan legislatif
suatu negara, hukum bersumberkan perasaan hukum anggota-anggota
masyarakat. Perasaan hukum adalah sumber dan merupakan pencipta
hukum, negara hanya memberi bentuk pada perasaan hukum itu. Hanya
apa yang sesuai dengan perasaan hukum itulah yang benar-benar
merupakan hukum.188
Kekuasaan raja sangat dominan sehingga kebebasan mengeluarkan
pendapat terlebih menyampaikan kritik merupakan sesuatu yang tabu
dalam negara polisi.189
Voltaire sampai dua kali masuk penjara Bastile
pada tahun 1717 dan 1725, dan akhirnya diasingkan dari Perancis. Karya
ilmiah para ilmuan Perancis banyak yang diterbitkan di luar negeri seperti
L‟esprit de Lois oleh Montesquieu yang diterbitkan di London, karya J.J.
187
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 155 188
Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 190. Pendapat Krabbe
tersebut mirip dengan kalimat terkenal Cicero dalam karyanya de Legibus. Menurutnya, hukum
bukanlah sekedar perkara undang-undang belaka atau daftar peraturan melainkan sesuatu yang
tertanam dalam jiwa manusia, sesuatu yang merupakan bagian integral dari pengalaman manusia.
Lihat dalam A. Ahsin Thohari, Hak Konstitusional... Op., Cit., hlm. 22 189
Ni‟matul Huda, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 2-3
89
Rousseau yang juga diterbitkan di London dan Amsterdam, bahkan
Fhilosophie de la Nature dimusnahkan atas perintah raja.190
2. Negara Hukum Liberal
Konsep ini berkembang di Eropa Barat dalam suasana liberalisme
dan individualisme.191
Immanuel Kant melalui bukunya berjudul
Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre adalah pelopor konsep
negara hukum liberal ini. Immanuel Kant menghendaki negara bertugas
untuk menjamin ketertiban dan keamanan rakyat.192
Menurut Kant, negara
hukum mempunyai unsur pokok yaitu adanya perlindungan terhadap hak
asasi manusia, dan adanya pemisahan kekuasaan dalam negara.193
Negara
hukum liberal menghendaki agar antara penguasa dan yang dikuasai
terdapat suatu persetujuan dalam bentuk hukum, serta persetujuan yang
menguasai penguasa. Dengan demikian, negara berstatus pasif yaitu warga
negara tunduk pada peraturan negara, dan penguasa bertindak
mendasarkan pada hukum.194
Peran negara pada fase ini cenderung pasif
karena adanya ikatan hukum.195
Negara hukum liberal bertumpu pada prinsip liberty (vrijheid).
Bahwa kebebasan merupakan “the free self assetion of each limited only
190
Azhary, Negara... Op., Cit., hlm. 35 191
Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 181 192
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 88 193
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 128 194
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 53 195
Deddy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif:
Kekuasaan, Masyarakat, Hukum, dan Agama, Cetakan Kedua, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm.
166
90
by the like liberty of all”. Kehendak bebas hanya dibatasi seperlunya untuk
memberikan jaminan terhadap kehendak bebas individu dan kehendak
bebas orang lain. Semangat liberty ini kemudian melahirkan semangat
“freedom from arbitary and unreasonable exercise of the power and
authority”.196
Dalam tradisi hukum liberal, kaum borjuis mempunyai peran yang
cukup besar. Negara dituntut untuk tidak ikut campur dalam
penyelenggaraan perekonomian masyarakat, dan hanya dikehendaki untuk
menjaga ketertiban dan keamanan. Akibatnya, penyelenggaraan
perekonomian diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar yang
berasaskan persaingan bebas, sehingga yang kuat akan selalu menjadi
pemenang (laise faire, laise passer). Maka jelaslah bahwa kaum
konglomerat yang selalu menjadi penguasa.197
Kritik Utrecht terhadap
negara penjaga malam ini yaitu negara hanya mempunyai tugas primer
untuk melindungi dan menjamin kedudukan ekonomi dari golongan
penguasa (rulling class).198
3. Negara Hukum Formal
Negara hukum formal dapat dikatakan lahir sebagai bentuk
penyempurnaan terhadap kelemahan negara liberal. Friedrich Julius Stahl
melalui karyanya yang berjudul Philosophie des Rechts nach
196
P. De Haan, Th G. Druksteen, R. Fernhout, Bestuursrecht in de Sosiale Rechsstaat,
dalam Fajlurrahman Jurdi, Teori... Op., Cit., hlm. 47 197
Ni‟matul Huda, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 5 198
Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 186
91
Geschichtlicher Ansicht adalah tokoh utama negara hukum formal.199
Stahl
menghendaki bahwa negara hukum harus dicirikan oleh 4 (empat) unsur
yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia; negara
didasarkan pada pemisahan kekuasaan; pemerintahan yang didasarkan
pada undang-undang; dan adanya peradilan administrasi untuk
menyelesaikan kasus perbuatan melawan hukum oleh pemerintah. Karena
kehendak untuk mendasarkan pada undang-undang inilah maka pada
tahapan ini disebut dengan negara hukum formil.200
Negara hukum formil
ini dapat juga dikualifikasikan sebagai negara hukum yang demokratis.201
Negara hukum formal mulai mendapatkan gugatan, tepatnya
menjelang pertengahan abad XX setelah Perang Dunia I karena ternyata
menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi di tengah-tengah
masyarakat.202
Dasar individualisme liberal telah menyebabkan dominasi
pemilik modal di parlemen karena dengan modal kekayaan mereka dapat
merekayasa pemilu untuk mengisi parlemen yang berasal dari golongan
mereka. Konsekuensinya, produk hukum yang dikeluarkan oleh parlemen
adalah produk yang menguntungkan kaum kapitalis.203
Dalam konotasi
negatif, kaum kapitalis akhirnya mendapatkan dasar pembenaran hukum
untuk mendominasi perekonomian negara. Karena telah berlindung di
bawah hukum yang sah, pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa, karena
199
Muhammad Junaidi, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 57 200
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 89 201
Deddy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 166 202
Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 129 203
Ibid.
92
dalam tradisi hukum formal, pemerintah hanya melaksanakan undang-
undang, dan tidak boleh ikut campur urusan warga negara selama
tindakannya berdasarkan pada hukum yang ada.
Negara hukum formal selain menguntungkan kaum borjuis, juga
terlampau individualistis, sehingga asas equality before the law justru
memukul warga negara yang strata sosial ekonominya rendah, sedangkan
dalam hal tertentu negara menitikberatkan pada kepentingan umum
dengan mengurangi kepentingan individu.204
Kelemahan lain dari negara
hukum formal ini yaitu terlalu statis karena berpegang teguh pada aspek
formalitas, sehingga peran negara sangat sempit dan bersifat pasif.205
4. Negara Hukum Materiil
Negara hukum materil ini lahir sebagai ekspresi ketidakpuasan
terhadap negara hukum formal. W. Friedman menyebut, negara hukum
formal tidak lain artinya daripada organized public power atau kekuasaan
umum yang terorganisir, sehingga setiap negara dengan demikian dapat
masuk ke dalam kategori negara hukum, bahkan negara totaliter sekalipun.
Sedangkan dalam makna materiil, negara hukum merupakan rule of just
law yaitu negara yang menegakkan hukum dengan sebenar-benarnya.206
204
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 213 205
S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,
Cetakan Keenam, Liberty, Yogyakarta, 2011, hlm. 44 206
Abdul Mukhtie Fadjar, Sejarah... Op., Cit., hlm. 29
93
Konsep negara hukum materiil ini lahir pada paroh kedua abad
XIX di Eropa Barat.207
Apabila dalam negara hukum formil mensyaratkan
tindakan negara harus berdasarkan undang-undang sesuai dengan asas
legalitas, maka dalam hukum materil, tindakan penguasa dalam keadaan
mendesak dan demi kepentingan warga negara boleh saja menyimpang
dari ketentuan undang-undang sesuai dengan asas oportunitas.208
Demikian pula, jika negara hukum formil dikenal dengan negara hukum
statis, maka negara hukum materiil merupakan negara hukum dinamis,
yaitu negara yang tidak lagi bersifat pasif belaka, namun juga aktif dalam
mengupayakan kesejahteraan warga negaranya.209
Tampaknya sangat
relevan untuk menggambarkan karakter negara hukum materiil ini dengan
pendapat Leon Duguit dan Harold J. Laski, bahwa negara harus dipandang
sebagai suatu lembaga kesejahteraan umum, dan hukum bukan hanya
sebagai serangkaian perintah, tetapi cara penyelenggaraan kesejahteraan
umum itu.210
Relasi negara dan hukum ini digambarkan oleh Mac Iver
dalam bukunya The Modern of State, bahwa negara adalah anak dan orang
tua sekaligus dari hukum (The state is both the child and the parents of
law).211
Negara hukum materiil menampilkan negara yang berperan aktif
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, dan meninggalkan paradigma
207
S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok... Op., Cit., hlm. 45 208
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 54 209
S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok... Op., Cit., hlm. 45 210
Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 191 211
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas... Op., Cit., hlm. 38
94
negara penjaga malam yang perannya cenderung pasif. Paham aliran
legisme yang menilai bahwa hukum itu sama dengan undang-undang
sehingga tindakan menegakkan hukum berarti menegakkan undang-
undang yang ditetapkan oleh lembaga legislatif, bergeser menjadi paham
bahwa hukum bukan hanya berarti undang-undang secara formal
ditetapkan oleh lembaga legislatif, tetapi yang terpenting adalah nilai
keadilannya.212
Dalam pandangan Gustav Radbruch,213
hukum hanya
berarti sebagai hukum apabila hukum itu merupakan suatu perwujudan
keadilan, atau sekurang-kurangnya merupakan usaha ke arah itu. Hal ini
terlebih melihat fakta pada konteks negara hukum formal, parlemen bukan
merupakan representasi rakyat secara keseluruhan, akan tetapi representasi
kaum borjuis.
Peran aktif negara untuk turut terlibat dalam semua kegiatan warga
negara dengan alasan kepentingan umum berakibat pada bentrokan antara
kepentingan negara dengan kepentingan individu untuk mempertahankan
hak miliknya semakin meningkat.214
Dalam tradisi negara hukum materiil
yang memberikan peran aktif negara pada satu sisi, dan kehendak untuk
tetap membatasi kekuasaan berdasarkan hukum pada sisi yang lain,
menjadikan peranan hukum administrasi negara sangat dominan. Berbeda
dengan tradisi hukum liberal dengan peran negara yang pasif karena hanya
212
Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 132 213
Theo Huijbers, Filsafat... Op., Cit., hlm. 164 214
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 213-214
95
terbatas sebagai negara penjaga malam, maka lapangan hukum
administrasi negara masih sempit.215
Negara hukum materiil ini juga populer disebut dengan negara
hukum modern atau welfare state (negara kesejahteraan), karena perannya
yang juga dituntut untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat seperti
yang telah diuraikan sebelumnya. Dalam literatur, welfare state
merupakan bentuk pencirian baru dari konsep negara hukum yang
mengintegrasikan rechtsstaat oleh Stahl dan the rule of law oleh Dicey,
yang menuntut pemerintah untuk berperan aktif dalam melaksanakan
tugasnya. Ciri-cirinya dirumuskan dari hasil International Comission of
Jurist di Bangkok tahun 1965 yaitu perlindungan konstitusional dengan
makna selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula
menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak
yang dijamin; adanya lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
pemilihan umum yang bebas; kebebasan menyatakan pendapat; kebebasan
berserikat, berorganisasi, dan beroposisi; adanya pendidikan
kewargangeraan.216
Karena negara dituntut untuk berperan aktif untuk menciptakan
ketertiban yang adil, maka negara dalam kerangka welfare state juga perlu
untuk diberikan kebebasan bertindak bagi secara lebih luas, yaitu dengan
215
Sjahran Basah, Bahan Kuliah Hukum Administrasi Negara, dalam Ni‟matul Huda,
Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 8 216
Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 131-132
96
memberikan freies ermessen kepada pemerintah.217
Freies ermessen yaitu
kewenangan pemerintah untuk turut campur dalam berbagai kegiatan
masyarakat dengan cara pengaturan, penetapan, dan materiale daad.218
Sejalan dengan pendapat Anthony Giddens, bahwa peran negara pada
konsep negara kesejahteraan (welfare state) cenderung bersifat
intervensionist, yang bermakna bahwa negara selalu akan ambil bagian
dalam setiap gerak dan langkah masyarakat dengan alasan serta tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan umum.219
Implikasi freies ermessen ini adalah memberikan hak prerogatif
kepada pemerintah, yang dalam bidang perundang-undangan memberikan
3 (tiga) kewenangan bagi pemerintah, yaitu kewenangan inisiatif dalam
bentuk membuat peraturan yang sederajat dengan undang-undang tanpa
harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari parlemen dengan
syarat peraturan tersebut dibuat karena keadaan memaksa, yang dalam
konteks Indonesia dikenal dengan kewenangan menetapkan perpu;
kewenangan delegasi dalam bentuk membuat peraturan atas dasar
ketentuan dalam undang-undang; dan droit function dalam bentuk
membuat penafsiran sendiri atas materi peraturan.220
Negara kesejahteraan yang menuntut negara untuk
menyelenggarakan kemakmuran rakyat, dan sepenuhnya mengabdikan diri
217
Ni‟matul Huda, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 7 218
Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit.,, hlm. 131 219
Anthony Giddens, The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial,
Gramedia, Jakarta, 1998, hlm. 100 220
Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 260
97
kepada masyarakat,221
memang mempunyai konsekuensi pada pemberian
kewenangan legislasi kepada pemerintah untuk menyelenggarakan
kepentingan umum. Fungsi legislasi yang hanya dilekatkan pada lembaga
legislatif, sedangkan pemerintah hanya menunggu peraturan dari lembaga
legislatif tersebut, dikhawatirkan penyelenggaraan negara dan pemenuhan
kesejahteraan masyarakat tidak akan berjalan secara efektif dan efisien,
yang tentu berseberangan dengan semangat negara kesejahteraan.222
Terlebih, suatu negara yang bercirikan civil law dengan mengedepankan
kodifikasi hukum melalui hukum tertulis, peraturan perundang-undangan
tidak hanya terdiri dari satu jenis dan satu jenjang, namun lebih beragam
dan berjenjang yang salah satu fungsinya adalah untuk menjelaskan
hukum yang lebih tinggi. Menurut Mahfud MD,223
tingkat pengamalan
dan penganutan welfare state akan berpengaruh pada besaran proporsi hak
prerogatif yang diberikan kepada pemerintah.
Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Muntoha
menyebutkan,224
bahwa ciri-ciri negara kesejahteraan yaitu pertama,
adanya pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politica dipandang tidak
prinsipil lagi. Pertimbangan efisiensi kerja lebih penting daripada
pertimbangan dari aspek politis, sehingga peranan dari organ eksekutif
lebih penting daripada peranan organ legislatif. Kedua, peran negara tidak
221
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 55 222
Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Cetakan
Pertama, FH UII Press, 2009, hlm. 62 223
Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 260 224
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di
Indonesia, dalam Muntoha, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 7-8
98
terbatas pada menjaga keamanan dan ketertiban saja, akan tetapi aktif
berperan dalam peyelenggaraan kepentingan rakyat di bidang sosial,
ekonomi dan budaya, sehingga perencanaan merupakan alat yang penting.
Ketiga, negara kesejahteraan merupakan negara hukum materil yang
mementingkan keadilan sosial, dan bukan persamaan formil. Keempat, hak
milik tidak lagi dianggap sebagai hak yang mutlak, akan tetapi dipandang
mempunyai fungsi sosial yang berarti ada batasan-batasan dalam
penggunaannya. Kelima, adanya kecenderungan bahwa peranan hukum
publik semakin penting dan semakin mendesak peranan hukum perdata,
disebabkan semakin luasnya peranan negara dalam kehidupan sosial,
ekonomi, dan budaya.
Negara hukum bukan tipe negara sempurna yang bersih dari kelemahan
dan kecacatan. Kelemahan juga pasti akan melekat, sekurang-kurangnya dalam
tataran implementasi, yang tidak jarang akan jauh dari apa yang diidealkan dalam
kerangka teori. Pada tataran ideal, negara hukum mendasarkan penyelenggaraan
negara pada sektor hukum yang dianggap lengkap dan pasti, padahal dalam
praktek, sektor hukum tidak akan mampu mengatur seluruh aspek kehidupan
negara modern secara detail mengingat sedemikian kompleksnya persoalan
manusia.225
Selain itu, konsep negara hukum sangat mempercayai bahwa hukum
yang ditegakkan melalui mesin-mesin hukum itu akan mencapai keadilan. Padahal
dalam banyak hal, keadilan menjadi sangat relatif, sehingga tidak jarang keadilan
hanya menjadi mitos. Akhirnya, hukum dan keadilan hanya menjadi “candu” bagi
225
Munir Fuady, Teori Negara... Op., Cit., hlm. 19
99
masyarakat.226
Postulat terkenal yang muncul sejak masa Latin Kuno yaitu
summum ius, summa iniuria, yang berarti hukum yang sempurna berarti pula
sempurnanya ketidakadilan, atau keadilan tertinggi berarti pula ketidakadilan yang
tertinggi.
Pada tataran praktik, kelemahan negara hukum biasanya terjadi ketika
dihubungkan dengan sub sistem lain, terutama politik dan kekuasaan. Bahwa
benar, dari aspek idealita hukum dan kekuasaan, keduanya merupakan unsur
penting dalam sebuah negara hukum yang harus selalu berinteraksi secara
harmonis dan koheren.227
Kekuasaan diperlukan agar hukum mempunyai otoritas
yang dapat memaksakan keberlakuannya, karena hukum tanpa kekuasaan, hanya
akan tinggal ide-ide saja. Hukum tanpa kekuasaan akan lumpuh, sedangkan
kekuasaan tanpa hukum akan sewenang-wenang.228
Hanya saja tidak jarang
terjadi bahwa kekuasaan justru menunggangi hukum, yang berimplikasi pada
tereduksinya hakikat negara hukum. Tidak heran apabila sering kali hukum tidak
netral dalam artian mendudukkan rakyat secara adil dan sama di hadapan hukum,
namun justru memihak kepada pihak tertentu yang kuat dan mempunyai
kekuasaan.229
Hukum pada akhirnya tidak selalu bekerja objektif, karena pada
kenyataannya hukum sering kali tidak berlandaskan pada kondisi objektif,
melainkan selalu dipengaruhi pada pola pikir, agama, golongan ekonomi,
226
Ibid., hlm. 20 227
Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum dan Kekuasaan, Cetakan Pertama,
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998, hlm. v 228
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 131 229
Munir Fuady, Teori Negara... Op., Cit., hlm. 19
100
kepentingan politik, dan sebagainya.230
Kritik Robert von Mohl terhadap konsep
Immanuel Kant dalam hal ini menjadi sangat rasional. Menurut Mohl, konsep
yang dibangun Immanuel Kant hanya memperhatikan aspek formal hukumnya
semata, tanpa memperhatikan siapa pembuat hukumnya. Padahal, negara totaliter
sekalipun juga diatur oleh hukum hanya saja hukum tersebut dibuat oleh raja yang
berkarakter diktator, sehingga melalui hukum tersebut, alih-alih membatasi
kesewenang-wenangan raja, justru membatasi hak-hak rakyat.231
Sederhananya,
hukum dijadikan alat untuk melegalisasi kepentingan penguasa yang berpotensi
melanggar hak asasi manusia.
Atas kelemahan itu, maka negara hukum membutuhkan suatu penopang
agar tereduksinya hakekat negara hukum dalam relasinya dengan kekuasaan dan
politik, dapat dicegah semaksimal mungkin. Negara hukum dalam konteks
modern harus disandingkan dengan konsep demokrasi. Hal ini untuk memberikan
peran yang luas bagi masyarakat agar pelaksanaan negara hukum tetap konsekuen
sesuai dengan prinsipnya. Bahwa negara hukum haruslah dibangun di atas
prinsip-prinsip demokrasi, mengingat supremasi hukum pada prinsipnya berasal
dari kedaulatan rakyat, sehingga penegakan hukum tidak boleh ditegakkan dengan
mengabaikan prinsip demokrasi. Sebaliknya, penegakan hukum haruslah
berorientasi pada rakyat itu sendiri.232
230
Ibid. 231
Ni‟matul Huda, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 6-7 232
Ni‟matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, Cetakan Pertama,
UII Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 62
101
Salah satu unsur negara hukum adalah asas legalitas, yang menghendaki
agar setiap tindakan pemerintah mendasarkan pada undang-undang. Asas legalitas
ini mempunyai keterkaitan erat dengan demokrasi. Bahwa demokrasi menuntut
agar setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan
persetujuan dan legitimasi dari rakyat melalui wakil-wakilnya, serta sebanyak
mungkin memperhatikan kepentingan rakyat.233
Karena itu, Sjachran Basah
dikutip oleh Ni‟matul Huda menyebutkan bahwa, asas legalitas berarti upaya
mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan
paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar
yang sifat hakikatnya konstitutif.234
Demokrasi tanpa hukum akan kehilangan bentuk, sedangkan hukum tanpa
demokrasi akan kehilangan makna. Demokrasi merupakan cara paling aman untuk
mempertahankan kontrol atas negara hukum.235
Mahfud MD menyebut, jika
demokrasi tidak hidup, maka hukum pun akan semakin sulit memainkan fungsi
kontrolnya atas kekuasaan. Sebaliknya, apabila hukum tidak dapat bekerja efektif
maka demokrasi juga tidak akan bekerja dengan baik.236
Karena itu, cita
membangun negara hukum yang baik, harus juga dibarengi dengan komitmen
membangun demokrasi yang juga baik. Sistem pemerintahan yang berdasarkan
pada hukum merupakan prasyarat bagi suatu demokrasi. Sebaliknya, sistem
233
Ni‟matul Huda, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 20 234
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara,
dalam Ni‟matul Huda, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 20-21 235
Franz Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, dalam
Ridwan, Diskresi... Op., Cit., hlm. 71 236
Moh. Mahfud MD, Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokratisasi, dalam
Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum... Op., Cit., hlm. 61
102
pemerintahan yang demokratis juga merupakan prasyarat bagi negara hukum.237
Negara hukum dan demokrasi merupakan 2 (dua) hal yang mempunyai hubungan
saling mengisi dan menguatkan satu sama lain. Makanya, muncul istilah negara
hukum yang demokratis, atau negara demokrasi berdasarkan hukum.
B. Teori Demokrasi
Di atas telah disebutkan secara singkat bagaimana relasi negara hukum
dan demokrasi. Bahwa keduanya merupakan konsep yang saling menopang satu
sama lain. Memisahkan satu dari yang lainnya akan mengurangi derajat
kesempurnaan bangunan kedua teori tersebut dalam penyelenggaraan negara.
Tidak terlalu berlebihan bila negara hukum dan demokrasi diibaratkan sebagai
dua sisi dari sekeping uang. Demokrasi tanpa hukum tidak akan terbangun dengan
baik dan bahkan mungkin menimbulkan anarki. Sebaliknya, hukum tanpa sistem
politik yang demokratis hanya akan menjadikan hukum yang elitis dan represif.
Maka bagaimana bentuk dan mekanisme yang diinginkan dari suatu gagasan
tentang demokrasi tentu harus dituangkan dalam aturan hukum, demikian pula
bahwa kepada aturan-aturan hukum itulah setiap konflik dalam berdemokrasi
harus dicarikan rujukannya.238
Korelasi negara hukum dan demokrasi yang sangat
erat inilah yang menjadi justifikasi dan urgensi diuraikannya teori demokrasi pada
penelitian ini.
Demokrasi sebagai sebuah sistem politik-ketatanegaraan memang bukan
sesuatu yang baru. Demokrasi sudah hadir dan hidup dalam masyarakat Yunani
237
Munir Fuady, Teori Negara... Op., Cit., hlm. 15 238
Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 1
103
Kuno. Dalam tata susunan masyarakat Yunani, Athenalah yang mengembangkan
benih demokrasi dengan susunan polisnya. Pada pertengahan abad ke-6 Sebelum
Masehi, tercatat polis Chios di mana masyarakatnya merupakan yang pertama
mempraktekkan kehidupan demokrasi, namun Athena tetap yang lebih dikenal di
antara polis lainnya. Perkembangan demokrasi di Athena ini diyakini telah
menjadi sumber inspirasi bagi pemikiran politik modern. Ide-ide politik tersebut
adalah persamaan kedudukan di antara warga negara, kebebasan, dan
penghormatan atas hukum dan keadilan.239
Demokrasi di Athena dilaksanakan
berdasarkan keterlibatan aktif warga negara dalam proses ketatanegaraan.
Seluruh warga negara bertemu untuk berdebat, memutuskan, dan mengesahkan
hukum. Dalam diskusi yang bebas dan tidak terbatas tersebut, dijamin hak warga
negara yang sama untuk berbicara dalam dewan yang berdaulat. Hak ini dikenal
dengan isegoria.240
Demokrasi yang bersifat langsung pada masa Yunani Kuno dapat
dilaksanakan secara efektif karena Negara Kota (City State) Yunani Kuno
berlangsung dalam kondisi sederhana dengan wilayah yang terbatas pada sebuah
kota dan daerah sekitarnya dan jumlah penduduk yang hanya lebih kurang
300.000 orang dalam satu negara, dan ketentuan-ketentuan demokrasi hanya
berlaku bagi warga negara yang resmi yang merupakan sebagian kecil dari seluruh
penduduk.241
239
Harjono, Transformasi Demokrasi, Cetakan Pertama, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2009, hlm. 21 240
Ibid., hlm. 23 241
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang Interaksi
Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 21
104
Ide demokrasi juga dapat ditemukan di dalam karya Aristoteles, Politics
yang ditulis antara 335 dan 323 SM. Menurutnya, asas dasar dari konstitusi
demokratis adalah kebebasan. Setiap demokrasi mempunyai tujuan kebebasan,
memerintah dan kemudian gilirannya diperintah, adalah salah satu elemen dari
kebebasan. Ide demokrasi tentang keadilan adalah persamaan numerik dan bukan
persamaan berdasarkan merit (prestasi).242
Bila melihat Yunani Kuno, demokrasi memang mempunyai kelemahan
yang cukup serius. Selain mempunyai potensi yang sangat besar atas munculnya
anarki, juga tidak bisa dibayangkan bagaimana rumitnya pengambilan keputusan
yang melibatkan banyak orang atau seluruh warga negara, meskipun jumlah
warga negara kala itu tidak sebanyak jumlah warga negara modern seperti
sekarang. Karena itu, baik Aristoteles maupun Plato, tidak memandang bahwa
demokrasi adalah sistem terbaik bagi negara. Menurut Aristoteles, sistem yang
terbaik adalah republik konstitusional, sedangkan menurut Plato adalah monarki
dengan dipimpin oleh seorang filsuf.243
Kritik Plato terhadap demokrasi di Athena bahkan menyebutnya sebagai
kemerosotan kota, kekalahan kota itu dalam perang melawan Sparta, dan
pembusukan moralitas dan kepemimpinan. Demokrasi memberikan ruang bagi
rakyat untuk dapat melakukan apapun yang mereka inginkan, dan berarti pada
saat yang sama tidak ada penghormatan terhadap otoritas dalam keluarga, sekolah
atau tempat lainnya. Pada titik tertentu, menurut Plato, hukum tidak akan
242
Harjono, Transformasi... Op., Cit., hlm. 24 243
Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 177-178
105
dihormati, akan tetapi akan dilihat sebagai serangan terhadap kebebasan rakyat.
Konsekuensinya adalah anarki dan kekacauan.244
Dalam konteks negara modern, pendapat Lee Kuan Yew, mantan perdana
menteri Singapura yang kemudian dikenal “hipotesis Lee”, melihat demokrasi
dengan merujuk pada sejumlah negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan
China, menyebutkan bahwa sistem non-demokrasi lebih bisa menjamin
kesejahteraan ekonomi dibandingkan dengan sistem demokrasi. Namun Lee Kuan
Yew ini melupakan satu hal penting, bahwa tanpa demokrasi, hak-hak sipil tidak
bisa dinikmati secara bebas.
Apabila ditinjau pada praktik lebih spesifik, penerapan demokrasi
langsung terutama pada negara modern terhadap pengambilan keputusan penting
dalam penyelenggaraan negara, pendapat Plato yang akan berimplikasi pada
sebuah kekacauan cukup rasional. Hal ini misalnya sebagaimana yang
diperagakan oleh Wirjono Prodjodikoro atas komentarnya terhadap Swiss yang
menyelenggarakan referendum,245
hampir mirip dengan demokrasi langsung, yaitu
menghitung suara dari warga negara yang dipungut serentak pada suatu waktu
mengenai permasalahan tertentu. Kritik dan bentuk kekecewaan terhadap
penyelenggaraan referendum ini menurut Wirjono Prodjodikoro,246
yaitu saat
244
Arne Naess, Democracy, Ideology, an Objectivity dalam Georg Sorensen, Demokrasi
dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, terjemahan
oleh I. Made Krisna, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 3 245
Ada 2 (dua) jenis penyelenggaraan referendum di Swiss, yaitu referendum yang
sifatnya mutlak dilaksanakan atau referendum obliator, dan referendum fakultatif. Referendum
obligator dilaksanakan terhadap amenemen konstitusi karena dianggap hal paling penting dan
krusial dalam penyelenggaraan negara. Lihat dalam Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas... Op., Cit.,
hlm. 26 246
Ibid., hlm. 26-27
106
diselenggarakannya referendum, setiap warga negara dianggap telah mempunyai
pendapat tetap dan sadar tentang persoalan yang ada, padahal anggapan ini tidak
selalu tepat dan tidak selalu cocok dengan kenyataan yang ada. Justru mengenai
hal-hal yang bersifat penting, pikiran dan perasaan orang biasanya tidak tetap dan
sadar, melainkan cenderung berubah dan mengandung banyak keraguan, oleh
karena hal-hal yang penting tersebut biasanya dipandang dari segala sisi dan
memberi umpan untuk saling berdebat. Sifat keraguan dan berubah ini tidak bisa
diperintahkan untuk berhenti seketika. Hanya proses kelanjutan kemasyarakatan
yang dapat secara lambat laun mengakibatkan perasaan setiap orang menjadi tetap
dan sadar. Ini tentu sangat dilematis, apabila menunggu kesadaran setiap warga
negara, tentu penyelenggaraan negara tidak akan berjalan efektif dan melambat,
akan tetapi bila dilaksanakan seketika, maka keputusan yang diambil adalah
keputusan di bawah keraguan dan ketidakpastian. Maka tidak mengherankan
apabila hasil referendum mungkin sekali pada akhirnya oleh masyarakat sendiri
dirasakan sebagai hal yang ganjil.247
Winston Churchill sebagaimana dikutip oleh Hans Antlov menyebutkan,
demokrasi adalah bentuk yang paling jelek dari pemerintah, kecuali bentuk-
bentuk lain yang pernah diuji-cobakan dari waktu ke waktu. Kendatipun
demokrasi bukan sistem sempurna, lanjut Antlov, jawaban atas
ketidaksempurnaan demokrasi adalah lebih banyak demokrasi, dan tidak
247
Ibid.
107
sebaliknya.248
Sejalan dengan pendapat Mac Iver, what we name democracy is
begining and not an end.249
Menurut James Madison,250
“demokrasi murni” seperti yang dipraktekkan
di Athena yang bersifat langsung itu memang selalu tidak toleran, tidak adil, dan
tidak stabil. Sebaliknya, pemerintahan perwakilan dapat menutupi kelemahan
demokrasi langsung karena pemilihan yang teratur memaksa suatu klarifikasi
terhadap persoalan-persoalan publik, dan wakil-wakil yang terpilih yang bisa
bertahan terhadap proses-proses politik mungkin lebih cakap dan mampu melihat
kepentingan negara yang sesungguhnya.
Kritik James Madison terhadap demokrasi yang dipraktekkan di Athena
cukup rasional, mengingat praktik demokrasi waktu itu hanya bisa dinikmati oleh
kalangan tertentu, sementara yang lainnya yang berstatus budak, pedagang asing,
perempuan, dan anak-anak tidak bisa menikmati demokrasi.251
Dikutip dari Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,252
hampir sejalan dengan pendapat James
Madison tersebut, bahwa kedaulatan rakyat yang mutlak (demokrasi absolut) tidak
mungkin ada. Bahkan dalam polis yang dijadikan sebagai contoh pelaksanaan
demokrasi langsung, tidak semua lapisan masyarakat polis ikut memerintah dan
mempunyai hak suara yang sama, dibuktikan dengan 2 (dua) kenyataan, pertama,
248
Hans Antlov dalam pengantar Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca
Soeharto, Cetakan Pertama, Pondok Edukasi, Yogyakarta, 2004, hlm. xii 249
Mac Iver, The Web of Government dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,
Pengantar... Op., Cit., hlm. 132 250
Madison, 1966 dalam David Held, Demokrasi & Tatanan Global: Dari Negara
Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, terjemahan oleh Damanhuri, Cetakan Pertama,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 11 251
A. Ubaedillah, Pancasila, Demokrasi, & Pencegahan Korupsi, Edisi Pertama, Cetakan
Kedua, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, hlm. 87 252
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 128
108
tidak semua rakyat Yunani adalah bebas, karena itu tidak semua rakyat Yunani
punya hak suara yang sama, seperti budak belian sebagaimana yang telah
disebutkan, oleh karena mereka tidak dianggap sebagai manusia yang dapat
melakukan tindakan hukum atau bukan merupakan subyek hukum, bahkan
diperlakukan sebagai objek hukum dan disamakan dengan benda yang dapat
diperjualbelikan. Mereka manusia yang hidup dan bernyawa, tetapi tidak
diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak yang sama dengan yang
lainnya. Kedua, demokrasi di Yunani dilaksanakan melalui ecclesia, tetapi dalam
praktik, tidak semua rakyat Yunani dapat ikut serta. Sebagian besar akan
menyerahkan suaranya kepada orang yang pandai berbicara dan berdiskusi atau
kepada pemimpin-pemimin yang lebih pandai memainkan lidahnya atau yang
disebut “rethorica”. Pemimpin inilah yang akhirnya mengambil keputusan
tentang rakyat yang sebagian besar tidak ikut bicara. Mac Iver juga mengatakan
hal senada. sebenarnya demokrasi langsung di Yunani maupun di Romawi Kuno
yang murni tidak ada, tetapi oligarki yang disamaratakan, di mana suatu kelas
warga kota yang memerintah bersama-sama melakukan hak-hak dan mendapatkan
keuntungan daripada penguasa politik.253
Dengan demokrasi perwakilan, menurut Madison, sistem demokrasi bisa
lebih baik. Kelemahan demokrasi langsung bisa tertutupi. Demokrasi yang semula
dipandang sebagai tempat berkumpulnya seluruh warga negara, bergeser menjadi
hak para warga negara untuk berpartisipasi dalam menentukan keinginan kolektif
253
Mac Iver, The Web of Government dalam Ibid., hlm. 129. Lihat juga Moh. Kusnardi
dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 166
109
melalui saluran wakil-wakilnya yang terpilih.254
Demokrasi perwakilan sekarang
bisa dibanggakan baik sebagai pemerintahan yang bertanggung jawab maupun
sebagai pemerintahan yang bisa dilaksanakan, yang secara potensial stabil untuk
wilayah-wilayah yang besar dan jangka waktu yang lama.255
Demokrasi yang hidup pada masa Yunani itu kemudian hilang dari
kehidupan Dunia Barat ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku bangsa Eropa
Barat dan Benua Eropa memasuki abad pertengahan (600-1400), dengan dicirikan
oleh struktur sosial yang feodal; kehidupan sosial dan spiritualnya dikuasai oleh
paus dan pejabat-pejabat agama, sedangkan kehidupan politiknya ditandai oleh
perebutan kekuasaan di antara para bangsawan.256
Konsep teokrasi, bahwa
kekuasaan berasal dari Tuhan, penguasa merupakan wakil tuhan dan penguasa
merupakan pelaksana kekuasaan tuhan, adalah legitimasi atas kekuasaan raja pada
waktu itu. Sekularisasi merupakan semangat yang melunturkan konsep teokrasi,
bahwa kekuasaan raja dan kaisar dibatasi pada urusan duniawi sehingga raja dan
kaisar tidak lagi berkuasa atas urusan-urusan rohani umat yang universal dan yang
melintasi teritori dan kebangsaan.257
Sekularisasi ini yang kemudian mempertanyakan sumber kekuasaan raja.
Bila seorang Paus sebagai pemimpin agama mendapatkan sumber kekuasaannya
254
Bobbio, dalam David Held, Demokrasi... Op., Cit., hlm. 13 255
Ibid. 256
Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 13 257
Sekularisasi kekuasaan raja disebabkan oleh konflik yurisdiksi raja dan gereja (Paus)
yang berkuasa pada abad ke-13 dan 14. Raja dengan lambang kekuatan nasionalnya melakukan
ekspansi untuk melebarkan kekuasaannya atas wilayah lain bersama seluruh penduduknya yang
sebangsa, sedangkan Paus berusaha menegakkan kekuasaan politik gerejanya atas semuan insan
yang beragama Kristen tanpa membedakan unsur kebangsaan dan wilayah yang didiaminya. Lihat
Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 93
110
dari Tuhan, maka dari mana raja yang memimpin suatu teritori tertentu
memperoleh kekuasaan? Jawaban atas pertanyaan ini yang kemudian
memunculkan diskursus kedaulatan rakyat yang berakar pada konsep perjanjian
masyarakat (contract social). Kekuasaan raja muncul karena perjanjian
masyarakat yang memberikan kekuasaan untuk mengurus urusan duniawi kepada
raja. Maka penduduk yang tadinya dikuasai secara mutlak oleh raja menjadi
berani menyatakan statusnya sebagai warga negara yang melalui suatu kontrak
sosial yang sah dan konstitusional telah memberikan amanat dan mandat untuk
memerintah kepada mereka yang dapat dipercaya menata dan mengelola
kehidupan para warga negara.258
Konsep demokrasi kemudian muncul sebagai
konsekuensi atas ini. Kekuasaan negara bukan lagi berasal dari tuhan (vox Dei)
melainkan dari rakyat (vox populi). Meskipun sering kali keduanya di negara
Barat disetarakan atau yang satu dinisbahkan ke yang lain seperti ungkapan yang
populer vox populi, vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan.259
Berdasarkan ajaran kedaulatan rakyat dan kontrak sosial itu, maka
pemerintah berdaulat dan kedaulatan itu adanya berdasarkan perjanjian
masyarakat dalam rangka untuk melindungi hak-hak rakyat. Tujuan dan tugas
pemerintah dalam demokrasi harus diarahkan kepada terpenuhinya kepentingan
rakyat pada umumnya.260
Bila penguasa tidak menjalankan tugas sebagaimana
258
Ibid., hlm. 95 259
Ibid, hlm. 96 260
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas... Op., Cit., hlm. 29
111
mestinya, maka penguasa dianggap telah melanggar perjanjian dan rakyat dapat
mengambil tindakan seperlunya atas pelanggaran itu.261
Dikutip dari tulisan Moh. Mahfud MD,262
demokrasi kembali muncul
beriringan dengan masa renaissance dan reformasi. Masa renaissance dicirikan
dengan hidupnya kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno, yang
berupa gelombang-gelombang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di Italia
pada abad XIV dan mencapai puncaknya pada abad XV. Dasar dari semangat
renaissance adalah kebebasan berpikir dan bertindak bagi manusia tanpa boleh
ada orang lain yang menguasai atau membatasi dengan ikatan-ikatan.
Perkembangan pengetahuan mempunyai peluang yang begitu lebar. Kebebasan
bagi warga negara yang menjadi ciri demokrasi ini pada saat yang bersamaan,
menurut John Stuart Mill membutuhkan pembatasan ruang lingkup aktivitas
negara.263
Sejarah perkembangan pengaruh kebudayaan Yunani Kuno yang
mendorong renaissance bermula dari Perang Salib, yaitu perang antara penganut
agama Kristen dan Islam yang berlangsung kurang lebih 200 tahun antara 1096-
1291 dalam memperebutkan kota Yerussalem. Korelasi Perang Salib dengan
kemunculan masa Renaissance yaitu adanya kontak ide antara dua pihak yang
berperang.264
Sebagaimana diketahui, pada abad pertengahan, dunia Barat
tenggelam dalam kegelapan karena struktur sosial yang dikuasai oleh gereja dan
261
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 124 262
Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 14-16 263
Georg Sorensen, Demokrasi... Op., Cit., hlm. 9 264
Moh. Mahfud MD, Demokrasi... Op., Cit., hlm. 22
112
politik feodal sehingga mereka tenggelam dalam kebodohan. Adapun dunia Islam
pada waktu itu justru berada pada puncak kejayaan peradabannya karena
perhatiannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Orang-orang islam yang
dipelopori oleh orang Arab waktu itu bukan hanya berhasil mengasimilasikan
pengetahuan Parsi tua dan warisan klasik, namun juga kedua macam kebudayaan
itu disesuaikannya dengan kebutuhan-kebutuhan yang terutama dan dengan alam
pikiran mereka sendiri.265
Philip K. Hitti sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD,
dunia Islam telah memberikan sumbangan besar terhadap Eropa dengan
terjemahan-terjemahannya atas warisan Parsi dan Yunani yang kemudian
disesuaikan dengan watak Arab serta menyeberangkannya ke Eropa melalui Siria,
Spanyol dan Sisilia.266
Dari sudut sejarah kebudayaan, tugas menyeberangkan
ilmu pengetahuan itu tidaklah lebih kecil nilainya dari tugas menciptakan ilmu
pengetahuan yang asli, karena tanpa jasa orang-orang Arab-Islam yang telah
dengan penuh semangat mengembangkan hasil karya Aristoteles, Galenus,
Prolemaois dan menyeberangkannya ke Barat, maka ilmu itu dapat dengan
selamat diwarisi oleh generasi penerus Renaissance di Eropa; tanpa jasa orang
Arab-Islam sangat mungkin warisan pengetahuan tokoh Yunani itu hilang dan
dunia akan tetap miskin, seolah ilmu itu tidak pernah tercipta.267
Dunia Barat
harus diakui mendapatkan ilham untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan
dari tradisi keilmuan Islam, hanya saja, kekeliruan Dunia Barat adalah melupakan
2 (dua) prinsip dasar yang selalu dipegang teguh dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam, yaitu pertama, bahwa akal pikiran sebagai sumber
265
Ibid., hlm. 23 266
Philip K. Hitti, The Arab A Short History dalam Ibid. 267
Ibid.
113
kebenaran ilmiah bukan merupakan segala-galanya, karena akal pikiran manusia
terbatas dan tak mungkin mampu menjawab segala-galanya sehingga dalam hal
(atau batas tertentu) manusia harus mencari kebenaran bukan melalui akal pikiran
melainkan melalui wahyu dan petunjuk tuhan; kedua, pengembangan ilmu
pengetahuan harus diorientasikan padaupaya membina keselamatan umat
manusia, dan tidak boleh merusak.268
Bagi negara modern saat ini, demokrasi semacam menjadi idola. Hampir
semua negara di dunia saat ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas
fundamental dalam penyelenggaraan negara. Hal ini sebagaimana ditunjukkan
oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950-an yang mengumpulkan lebih dari 100
(seratus) sarjana Barat dan Timur. Hasil studi menyimpulkan bahwa demokrasi
merupakan sistem terbaik dari semua alternatif politik yang ada; demokrasi
merupakan sistem yang mendapat pengakuan sebagai pilihan yang paling tepat
dan ideal untuk semua sistem organisasi politik dan kemasyarakatan modern.269
Penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950 sebagaimana dikutip kembali oleh
Jimly Asshiddiqie,270
dari 83 negara yang diperbandingkannya, 74 negara
konstitusinya secara resmi menganut kedaulatan rakyat. Dalam bahasa yang lebih
dramatis, Francis Fukuyama menggambarkan demokrasi sebagai The End of
History and The Last Man. Bahwa demokrasi (liberal) telah menaklukkan
ideologi-ideologi lain seperti monarki, fasisme, dan komunisme, sehingga
demokrasi (liberal) merupakan “titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia”,
268
Abdurrahman Wahid, Tradisi Keilmuan Dalam Islam, dalam Ibid., hlm. 24 269
Ibid., hlm. 18 270
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi... Op.,Cit., hlm. 116
114
sekaligus merupakan “bentuk final pemerintahan manusia”, sehingga ia bisa
disebut sebagai “akhir sejarah”.271
Demokrasi yang secara substansial menempatkan rakyat sebagai
pemegang kedaulatan diyakini sebagai ajaran yang terakhir dipraktekkan oleh
negara-negara modern, karena dianggap sebagai ajaran yang terbukti paling
mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.272
Demokrasilah yang memberikan
landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan
kesederajatan manusia.273
Samuel P. Huntington menjelaskan,274
isu menuju
demokrasi setidaknya mendasarkan pada 3 (tiga) hal, pertama, demokrasi politik
mempunyai korelasi yang sangat tinggi dengan kebebasan individu. Kebebasan
merupakan keutamaan yang khas dari demokrasi, sehingga kepedulian terhadap
kebebasan sebagai suatu nilai sosial yang tertinggi, akan berbanding lurus dengan
dengan kepedulian terhadap nasib demokrasi. Kedua, negara demokrasi jarang
menggunakan kekerasan dibandingkan dengan negara otoriter. Hal ini karena
negara demokrasi menyediakan saluran-saluran yang telah disetujui untuk
menyatakan perbedaan pendapat dan oposisi di dalam sistem itu. Ketiga,
demokrasi berimplikasi pada hubungan internasional. Samuel Huntington
meyakini bahwa tersebaranya demokrasi di dunia berarti perluasan zona
perdamaian di dunia.
271
Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme
dan Demokrasi Liberal, terjemahan oleh M.H. Amrullah, Cetakan Keempat, Penerbit Qalam,
Yogyakarta, 2016, hlm. 1 272
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Bernegara: Praksis Kenegaraan Bermartabat dan
Demokratis, Cetakan Kedua, Setara Press, Malang, 2016, hlm. 185 273
Ibid... hlm. 186 274
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, terjemahan oleh Asril
Marjohan, Cetakan Pertama, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995, hlm. 30-31
115
Demokrasi sejak awal perkembangannya sampai sekarang mempunyai
citra kisah keberhasilan. Di bawah alam demokrasi, semakin banyak orang yang
dapat menikmati menjadi warga negara yang mempunyai hak pilih atau dapat
dipilih menjadi pemegang keputusan publik, sementara ketika memegang peran
sebagai pembuat keputusan, mereka mewakili kepentingan dari konstituennya.275
Demokrasi semacam memberikan pancaran legitimasi dalam kehidupan modern:
hukum dan politik terlihat lebih mencapai puncak keabsahannya ketika semua itu
bersifat “demokratis”, meskipun dalam kenyataannya tidak selalu demikian.276
Tidak heran bila demokrasi menjadi idaman semua negara modern. Bahkan
negara yang sebenarnya jauh dari nilai demokrasi, tidak segan mengklaim bahwa
dirinya demokratis.
Hampir setiap negara mencantumkan asas kedaulatan rakyat ini dalam
Undang-Undang Dasarnya, walaupun asas ini hanya merupakan mitos
belaka karena dalam praktik akhirnya orang yang satu dibedakan dari
orang yang lainnya, oleh karena yang satu lebih pandai dari yang lainnya,
lebih kaya, lebih terampil, lebih tinggi keudukannya, lebih banyak
kesempatan, dan sebagainya, sehingga dalam kenyataannya yang berdaulat
dalam negara itu adalah segolongan kecil manusia dalam masyarakat.
Golongan tersebut karena kelebihannya merupakan golongan yang
memerintah “the rulling class” atau juga elite.277
Pemerintahan Uni Soviet, Republik Rakyat Cina dan beberapa negara
kediktatoran komunis seperti Kuba selalu menganggap dirinya sebagai
pemerintahan yang demokratis.278
Pada konteks Indonesia, UUD 1945 yang
meskipun menyatakan dirinya menganut prinsip demokrasi, namun dalam sejarah
panjangnya justru menjauhi semangat demokrasi. Bahkan sekurang-kurangnya
275
Harjono, Transformasi... Op., Cit., hlm. 19 276
David Held, Demokrasi... Op., Cit., hlm. 3 277
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 127 278
Gregorius Sahdan, Jalan Transisi... Op., Cit., hlm. 16
116
hingga masa Orde Baru berakhir, belum pernah menghasilkan satu sistem politik
yang demokratis karena UUD 1945 memang membuka peluang bagi penguasa
untuk melakukan akumulasi kekuasaan.279
Cukup rasional kalimat Wirjono
Prodjodikoro,280
bahwa sejak dahulu sampai sekarang semua pemerintahan tanpa
pengecualian selalu mengaku secara resmi bersifat demokratis dengan alasan
tindakan mereka tentunya disetujui oleh seluruh rakyat, karena selalu dilakukan
untuk kepentingan rakyat banyak.
Klaim demokrasi oleh banyak negara memang wajar terjadi, mengingat
pada tataran operasional, negara yang sama-sama menganut demokrasi tidak serta
merta mempunyai kesamaan implementasi. Menurut Mahfud MD, ketidaksamaan
tersebut bahkan bukan hanya pada aspek pembentukan lembaga-lembaga atau
aparatur demokrasi tetapi juga menyangkut perimbangan porsi yang terbuka bagi
peranan negara maupun bagi peranan rakyat.281
Karena itu, menurut UNESCO
sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo, demokrasi mengandung ambiguitas
karena mempunyai berbagai pengertian, yang sekurang-kurangnya berupa
ketidaktentuan mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk
melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural serta historik yang
279
UUD 1945 yang memuat pasal-pasal yang multi-interpretable yang dalam real politik
tentu interpretasi penguasa yang harus diterima sebagai interpretasi yang benar pada satu sisi, dan
memberikan kekuasaan yang begitu besar pada lembaga eksekutif dengan terlalu percaya pada
semangat dan itikad baik orang yang berkuasa sehingga lebih menggantungkan pada semangat
penyelenggara daripada mengatur pembatasan kekuasaan, adalah celah UUD yang sering
dimanfaatkan untuk membrangus prinsip demokrasi. Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Hukum...
Op., Cit., hlm. 116-117 280
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas... Op., Cit., hlm. 24 281
Moh. Mahfud MD, Demokrasi... Op., Cit.,, hlm. 20
117
mempengaruhi istilah, ide dan praktik demokrasi.282
There is no one-size fits all
democracy but a variety of forms linked by family resemblances.283
Demokrasi pada prakteknya dibawa ke rute yang berbeda-beda sesuai
dengan cara negara merespon rezim sebelumnya. Inggris, Perancis dan Amerika
membawa demokrasi melalui revolusi borjuis yang ditandai dengan kapitalisme
dan demokrasi liberal; Jerman dan Jepang menjelang Perang Dunia II membawa
demokrasi melalui jalan kapitalistik dan revolusioner yang akhirnya berpuncak
pada fasisme; Cina membawa demokrasi melalui rute komunis dengan revolusi
kaum petani yang sampai tahap tertentu didukung oleh kaum buruh.284
Sedemikian diidolakannya demokrasi oleh seluruh negara modern saat ini,
juga harus diakui bahwa demokrasi demokrasi sebagai sebuah sistem, mempunyai
celah dan kecacatan. Demokrasi yang diperlawankan dengan otoritarianisme
sebagaimana telah diuraikan di atas, juga dapat berubah wujud seketika menjadi
otoriter dengan tetap menjadikan rakyat sebagai aktornya. Inilah yang kemudian
sering disebut sebagai diktator atau tirani mayoritas. Kedaulatan rakyat dapat saja
menjadi semu, karena kaum minoritas yang sebenarnya juga pemegang
kedaulatan, tidak diakui hak-haknya. Mayoritas dapat memaksakan kehendaknya
terhadap minoritas, yaitu ketika mayoritas rakyat memutlakkan kehendaknya.285
Demokrasi yang berpegang pada prinsip majority rule dapat mengancam hak-hak
dan kebebasan dasar minoritas dalam suatu negara. Pada saat yang sama,
282
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar... Op., Cit., hlm. 105 283
Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratizatio In Indonesia, Princeton
University Press, United Kingdom, 2000, hlm. 216 284
Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 180 285
Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Cetakan Kesembilan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2018, hlm. 374
118
demokrasi yang terlalu dikedepankan tanpa adanya elemen pendukung dan
penopang lain akan berakibat pada fungsi negara yang sangat pasif dan tanpa
kontrol.286
Atas dasar penjelasan di atas, maka adagium Vox Populi Vox Dei adalah
cara pandang yang salah melihat demokrasi, karena dapat saja suara mayoritas itu
terdistorsi, bias, dibeli, dan dimanipulasi oleh sebagian pihak dengan
mengatasnamakan rakyat. Penelitian oleh Eward Aspinal dan Ward Berenschot
mengistilahkan klientelisme politik untuk menggambarkan betapa suara rakyat
dapat dengan mudahnya dibeli oleh segelintir aktor politik. Klientelisme politik
terjadi ketika para pemilih, penggiat kampanye, atau aktor lain menyediakan
dukungan elektoral bagi politisi dengan imbalan berupa bantuan atau manfaat
material. Sebaliknya, para politisi menggunakan metode klientelistik untuk
memenangkan pemilihan umum dengan membagi-bagikan bantuan, barang, atau
uang tunai kepada pemilih. Penelitian yang diberi judul “Democracy for Sale”
tersebut memberikan gambaran bahwa suara rakyat telah menjadi komoditas yang
diperjual belikan, sehingga tidak murni diberikan kepada politisi agar
memperjuangkan kepentingan politiknya.287
Tentu demokrasi yang dihasilkan
pada akhirnya adalah demokrasi semu, karena bukan menggambarkan
kepentingan rakyat yang sesungguhnya.
286
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,
hlm. 24 287
Edward Aspinall dan Ward Barenschot, Democracy For Sale: Pemilu, Klientelisme,
dan Negara di Indonesia, terjemahan oleh Edisius Riyadi, Cetakan Pertama, Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, Jakarta, 2019, hlm. 2
119
Kata dasar demokrasi berasal dari Bahasa Yunani yaitu democratia yang
kemudian diadopsi ke dalam bahasa Perancis yaitu demokratie. Kata demokrasi
masuk dalam perbendaharaan Bahasa Inggris baru sejak abad ke-16.288
Secara
harfiah, demokrasi berasal dari 2 (dua) kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan
kratos atau kratein yang berarti memerintah. Maka secara sederhana, demokrasi
dapat dimaknai sebagai kewenangan atau kedaulatan untuk memerintah berada
pada rakyat. Pemahaman tentang kedaulatan rakyat ini dalam demokrasi modern
(demokrasi tidak langsung) tentu tidak bisa disamakan dengan demokrasi kuno
(demokrasi langsung). Karena itu, Mohammad Hatta, memaknai kedaulatan
rakyat sebagai pemerintahan rakyat yang dilakukan oleh para pemimpin yang
dipercaya oleh rakyat.289
Kalimat filosofis yang disampaikan oleh Abraham Lincoln pada pidato
Gettysburg adalah salah satu yang paling populer dan banyak digunakan untuk
memaknai demokrasi, yaitu government of the people, by the people, for the
people”.290
Secara teoretis, implementasi dari 3 (tiga) prinsip tersebut yaitu
pertama, pemerintahan dari rakyat menghendaki agar suatu pemerintahan yang
sah adalah pemerintahan yang mendapatkan pengakuan dan dukungan mayoritas
dari rakyat melalui mekanisme dan prosedur demokrasi seperti pemilihan umum
sebagai legitimasi politik untuk menjalankan birokrasi. Kedua, pemerintahan oleh
rakyat bermakna bahwa pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya atas nama
288
Harjono, Transformasi... Op., Cit., hlm. 20 289
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita: Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan
Kedaulatan Rakyat, Cetakan Keempat, Sega Arsy, Bandung, 2014, hlm. 23-24 290
Kenneth Newton dan Jan W. Van Deth, Perbandingan Sistem Politik: Teori dan
Fakta, terjemahan oleh Imam Muttaqin, Cetakan Pertama, Nusa Media, Bandung, 2016, hlm. 50
120
rakyat, bukan atas dasar dorongan pribadi elite negara atau elite birokrasi. Lebih
luas lagi dalam kriteria kedua ini adalah pemerintah dalam menjalankan
kekuasaanya berada dalam pengawasan rakyat (social control), baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui wakilnya di parlemen. Ketiga,
pemerintahan untuk rakyat bermakna bahwa kekuasaan yang diberikan oleh
rakyat kepada pemerintah tersebut harus dilaksanakan untuk kepentingan rakyat
secara umum.291
Bahkan dalam sistem participatory democracy sebagaimana
dikutip Jimly Asshiddiqie,292
dikembangkan juga tambahan bersama rakyat,
sehingga menjadi kekuasaan pemerintahan yang berasal dari rakyat, untuk rakyat,
oleh rakyat, dan bersama rakyat. Makna demokrasi yang demikian kiranya mirip
dengan definisi demokrasi oleh Samuel P. Huntington yang melihat dari 3 (tiga)
pendekatan, yaitu sumber wewenang dari pemerintah, tujuan yang akan dilayani
oleh pemerintah, serta prosedur untuk membentuk suatu pemerintahan.293
Henry B. Mayo memaknai demokrasi sebagai sistem politik yang
menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-
wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala
yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
terjaminnya kebebasan politik. (A democratic political system is one in wich
public politicies are made on a majority basis, by representatives subject to
effective popular control at periodic elections wich are conducted on the principle
291
A. Ubaedillah, Pancasila... Op., Cit., hlm. 82-83 292
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi... Op., Cit., hlm. 117 293
Samuel P. Huntington, Gelombang... Op., Cit., hlm. 4
121
of political equality and under conditions of political freedom).294
W.A. Bonger
memaknai demokrasi sebaga bentuk pemerintahan dari suatu kesatuan hidup yang
memerintah diri sendiri, di mana sebagian besar anggotanya turut mengambil
bagian baik langsung maupun tidak langsung, adanya jaminan kemerdekaan
rohani dan persamaan di hadapan hukum, dan anggota-anggotanya terliputi oleh
semangatnya.295
Menurut Joseph A. Schumpeter,296
demokrasi merupakan suatu metode
politik, suatu pola bangunan hukum untuk sampai pada keputusan politik di mana
individu-individu mendapatkan kekuasaan untuk memutuskan melalui perjuangan
berlomba guna mendapatkan suarat dari rakyat. Philipp C. Schmitter memaknai
demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah diminta untuk
tanggung jawab atas tindakan-tindakannya di wilayah publik oleh warga negara,
yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan
wakil-wakil mereka yang telah terpilih.297
Demokrasi pada perkembangannya mempunyai pemaknaan yang cukup
kompleks. Pada abad XIX, makna demokrasi kembali mengalami perluasan
mengikuti tradisi Schumpeterian. Bahwa demokrasi berarti proses pengambilan
keputusan kolektif yang penuh melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara
294
Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, dalam Moh. Mahfud MD,
Demokrasi... Op., Cit., hlm. 19 295
W.A. Bonger, Problemen der Domocratie dalam Eddy Purnama, Negara Kedaulatan
Rakyat: AnalisisTerhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-
Negara Lain, Cetakan Pertama, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 42 296
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim
Indonesia, dalam Ibid. 297
A. Ubaedillah, Pancasila... Op., Cit., hlm. 82
122
bebas, jujur, dan adil dalam rangka memilih kandidat-kandidat yang berhak untuk
memangku jabatan politis.298
Bahwa benar demokrasi merupakan cara untuk mencapai kesejahteraan.
Jadi, demokrasi bukan tujuan.299
Penulis tidak setuju apabila demokrasi hanya
dilihat dari aspek prosedural sebagaimana pendekatan Schumpeterian, namun juga
harus dimaknai secara substansial, yaitu kesesuaian kebijakan negara dengan
kebutuhan rakyat,300
serta kesesuaian cara-cara yang ditempuh untuk memenuhi
kebutuhan rakyat tersebut. Demokrasi yang hanya bertumpu pada aspek
prosedural padahal aspek prosedural itu adalah sesuatu yang lazim dan sebuah
keniscayaan dalam demokrasi perwakilan, di mana segelintir orang dipilih oleh
banyak orang untuk menetapkan kebijakan, bahkan telah menimbulkan kritik
karena dianggap oligarki.301
Terhadap hal ini, penulis setuju dengan konsepsi Dr.
Jitta yang membedakan demokrasi menurut bentuk dan isinya. Ia menyebutkan
method of decision making untuk melihat demokrasi dari segi bentuk dan
pemerintahannya yang dilakukan oleh orang banyak, yang ini merupakan bentuk
dari demokrasi formil. Sedangkan content of decision made melihat demokrasi
dari aspek isinya dan demokrasi itu diselenggarakan untuk kepentingan orang
banyak, yang ini dikualifikasikan sebagai demokrasi materil.302
298
Gregorius Sahdan, Jalan... Op., Cit., hlm. 13 299
Amartya Sen, Democracy as Universal Value, dalam Masdar Hilmy, Jalan Demokrasi
Kita: Etika Politik, Rasionalitas, dan Kesalehan Publik, Intrans Publishing, Malang, 2017, hlm. 20 300
Janedjri M.Gafar, disampaikan pada seminar tentang “Menguji Daya Lenting
Konstitusi di Tengah Turbulensi” diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia, 20 Agustus 2021. 301
Jeffrey A. Winters, Oligarki, terjemahan oleh Zia Anshor, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2011, hlm. 4 302
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 166-167
123
Letak ketidaksetujuan penulis terhadap konsepsi demokrasi yang hanya
mengedepankan aspek prosedural juga melihat konsepsi yang dibangun oleh
Daniel Ziblat dan Steven Levitsky. Bahwa proses-proses pemilihan pemimpin
yang telah dilakukan secara demokratis dalam arti melibatkan rakyat secara luas,
tidak menjamin bahwa demokrasi telah berjalan secara konsekuen. Demokrasi
dapat saja mati di tangan pemimpin yang dipilih secara demokrastis. Cara-cara
yang dilakukan untuk mematikan demokrasi terjadi secara samar, selangkah demi
selangkah, dilakukan dengan kesan legal-konstitusional, bahkan dikesankan
terpuji seperti melawan korupsi, menjaga integritas pemilu, memperbaiki kualitas
demokrasi, menjaga keamanan nasional, mengatasi keadaan darurat, dan
sebagainya.303
Tidak heran apabila rakyat tidak sadar bahwa sebenarnya
demokrasi telah diberangus sedemikian rupa.
Cara-cara yang dilakukan penguasa yang dihasilkan dari proses demokrasi,
namun justru merusak demokrasi itu sendiri, diibaratkan oleh Daniel Ziblat dan
Steven Levitsky dengan sebuah pertandingan sepak bola. Penguasa akan
menangkap wasit, mengeluarkan beberapa pemain bintang tim lawan, dan
membuat ulang aturan permainan untuk mengamankan keunggulan sendiri dan
merugikan tim lawan.304
Wasit dianalogikan sebagai badan atau lembaga penegak hukum yang
diidealkan dapat berperan netral dalam negara demokrasi guna mencegah,
mengatasi, dan menghukum pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah,
303
Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, How Democracies Die, terjemahan oleh Zia
Anshor, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2019, hlm. 60 304
Ibid.
124
diupayakan untuk dikendalikan sehingga dapat melayani kepentingan penguasa.
Akhirnya, penguasa bebas melanggar hukum, melawan konstitusi, dan mereduksi
hak konstitusional warga negara tanpa harus takut akan masuk pada proses
hukum.305
Mengendalikan lembaga penegak hukum, tidak hanya sebagai perisai
pelindung, namun juga dapat menjadi senjata kuat untuk menyerang lawan dan
melindungi kawan. Cara yang sering digunakan biasanya adalah mengganti
pegawai dan pejabat non partisan, kemudian menggantinya dengan pengikut-
pengikut setianya.306
Penyingkiran pemain bintang lawan diibartkan dengan meminggirkan dan
melumpuhkan aktor-aktor penting oposisi, pemimpin bisnis yang membiayai
oposisi, media-media besar, bahkan tokoh agama yang terpandang di mata
masyarakat, agar tidak lagi berperan dalam pemerintahan. Caranya adalah dengan
membeli mereka, baik dalam bentuk memberikan jabatan, imbalan, sogokan,
mengikat dengan kontrak tertentu, dan sejenisnya.307
Meminggirkan oposisi dan
media dari politik dan pemerintahan, menjadikan penguasa menang tanpa harus
melanggar aturan.308
Untuk mengokohkan kekuasaan, penguasa akan merubah dan mendesain
ulang peraturan. Konstitusi, sistem pemilihan umum, dan aturan-aturan lain
didesain sedemikian rupa agar menguntungkan pemerintah dan merugikan
lawan.309
Lebih kacaunya, semua hal itu dilakukan dengan alasan kepentingan
305
Ibid., hlm. 61 306
Ibid. 307
Ibid., hlm. 64 308
Ibid., hlm. 69 309
Ibid.
125
umum (padahal menguntungkan penguasa), dan prosedur yang digunakan adalah
legal dan konstitusional.310
Konsepsi yang dibangun Ziblat dan Levitsky tersebut, menunjukkan
bahwa semakin terjadi kerancuan batas antara suatu negara yang dapat
dikualifikasikan sebagai negara demokrasi dengan negara yang non demokrasi.
Hampir tidak terlihat bahwa demokrasi sebenarnya telah diberangus di suatu
negara oleh penguasa yang dipilih secara demokratis, dengan proses-proses yang
secara prosedural adalah konstitusional. Dengan demikian, menjadi penting
menganalisis secara lebih mendalam batas-batas antara negara dengan mendasar
pada demokrasi dengan negara yang non demokrasi. Untuk itu, lebih lanjut akan
dibahas mengenai karakteristik demokrasi, unsur-unsur spesifik demokrasi, serta
sistem yang berlawanan dengan demokrasi itu sendiri.311
Pada awalnya, demokrasi dimaknai sebagai bentuk pemerintahan yang
dilawankan dengan bentuk monarki dan aristokrasi.312
Tepatnya pada abad XVIII,
demokrasi dimunculkan sebagai teori dan praktek sebagai alternatif baru untuk
menggeser sistem monarki yang totaliter. Bahwa masyarakat adalah pemilik
310
Ibid. 311
Demokrasi sebagai sistem politik adalah sesuatu yang abstrak. Memperbandingkan
sistem politik lain yang berlawanan dengan demokrasi akan sangat membantu memperdalam
analisis mengenai hakikat demokrasi itu sendiri. Perumpamaan Daniel Ziblat dan Steven Levitsky
yang membahas perihal norma abstrak, juga relevan untuk digunakan pada konteks ini. Bahwa
sesuatu yang abstrak, memang sulit dilihat dan diamati secara spesifik, bahkan cenderung
terabaikan terutama bila berfungsi dengan baik (sekurang-kurangnya aspek umum dan formalnya).
Dalam konteks diskursus demokrasi, ketika aspek formal prosedural masih berjalan, sering kali
mengecoh sehingga menganggap demokrasi masih sehat, padahal secara spesifik jauh dari
kebenaran. Seperti oksigen atau air jernih, demokrasi akan tampak ketika ia sudah tidak berlaku.
Padahal memperbaiki demokrasi yang sudah runtuh, jauh lebih sulit untuk dilakukan daripada
mencegah keruntuhan demokrasi itu sendiri. Maka untuk mengetahui apakah demokrasi masih
berjalan atau tidak, penting untuk melihat bagaimana antitesis dari demokrasi itu sendiri. Lihat
dalam Ibid., hlm. 83 312
Harjono, Transformasi... Op., Cit., hlm. 20
126
negara, karena secara formal suatu negara didirikan (dengan perjanjian)
masyarakat.313
Kusnardi dan Bintan R. Saragih menyebutkan, untuk membedakan
apakah sebuah negara menganut sistem demokrasi atau masih terjebak pada
autokrasi salah satunya dapat dilihat dari konstitusi yang berlaku di suatu negara.
Apakah konstitusi dibuat oleh lembaga yang berwenang dan masih berlaku
sebagai hukum positif serta diterima oleh masyarakat dan pemerintahannya, maka
negara itu bisa digolongkan sebagai negara demokrasi. Akan tetapi apabila
konstitusi yang positif itu tidak pernah dilakukan dalam praktek maka negara
tersebut adalah autokrasi, dan yang paling ekstrim lagi adalah konstitusi yang
berlaku di dalam negara itu adalah konstitusi darurat, maka tidak dapat disangkal
lagi negara tersebut adalah autokrasi.314
Demokrasi sebagai sistem politik, juga sering kali diperlawankan dengan
otoritarianisme. Semua bentuk pemerintahan yang tidak memenuhi syarat sebagai
demokrasi, maka dapat dikualifikasikan sebagai negara otoriter. Huntington
menyebutkan, bahwa sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan, suku-suku
bangsa, negara patrimonial, neopatrimonial, pemerintahan feodal, kerajaan
birokrasi, aristokrasi, oligarki, theokrasi, fasis, dikatorial militer, rezim diktatorial
pribadi, rezim sulstanistik, kekaisaran negara kontinental, dan rezim kediktatoran
satu partai merupakan bentuk-bentuk pemerintahan otoritarian.315
313
Moh. Mahfud MD, Demokrasi.... Op., Cit., hlm. 5 314
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu... Op., Cit., hlm. 193 315
Samuel Huntington, Tertib Politik Dalam Masyarakat yang Sedang Berubah,
Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 222
127
Perbedaan yang tajam antara pemerintahan demokratis dan pemerintahan
otoriter memang soal penyelenggaraan pemilu. Apabila pemilu diselenggarakan
secara terbuka, adil, partisipatif, jujur, maka negara tersebut dapat disebut
demokratis. Jika pemilu dilakukan dengan penuh kecurangan, tidak terbuka,
terbatas hanya kalangan tertentu, dan hanya menjadi arena kompromistis
kepentingan penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya dengan
mengatasnamakan legitimasi rakyat, maka tidak dapat disangkal lagi bawah
negara dimaksud termasuk otoriter. Eric Selbin pernah menggugat kebermaknaan
demokrasi bagi masyarakat Amerika Latin ketika Pemilu tidak berbuah
kesejahteraan warga masyarakat luas, namun hanya menguntungkan segelintir
elit.316
Erik Selbin dengan demikian melihat bahwa demokrasi tidak hanya soal
pemilu, namun juga apa yang dihasilkan dari pemilu itu, yaitu soal kesejahteraan
rakyat.
Ukuran lain setelah pemilu untuk melihat apakah sebuah negara demokrasi
atau otoriter adalah soal perlindungan hak warga negara. Apabila hak-hak warga
negara dilindungi berdasarkan hukum yang ada, maka suatu negara dapat
dikualifikasikan demokratis. Sebaliknya, apabila hak warga negara cenderung
dibatasi secara ketat, hak warga negara dikendalikan secara penuh oleh negara,
maka negara tersebut termasuk negara yang otoriter.
Mekanisme pertanggungjawaban juga menjadi parameter apakah suatu
negara demokrasi atau otoriter. Dalam negara otoriter pada umumnya tidak ada
316
Eric Selbin, Modern Latin American Revolutions dalam Masdar Hilmy, Jalan
Demokrasi... Op., Cit., hlm. 28
128
pertanggungjawaban kekuasaan dan rakyat tidak mempunyai wewenang untuk
membatasi kekuasaan penguasa.317
Sebaliknya, dalam negara demokrasi,
akuntabilitas pemerintah dan mekanisme kontrol masyarakat akan dijamin
berdasarkan hukum. Kenneth Newton dan Jan W. Van Deth318
menyebutkan
bahwa karakteristik pertama demokrasi adalah pengakuan bahwa yang menjadi
perhatian utama bukanlah kekuasaan melainkan perlindungan terhadap hak;
adanya partisipasi aktif warga negara, yang ini dalam demokrasi perwakilan dapat
diwujudkan melalui persetujuan warga negara terhadap wakilnya yang diberikan
mandat; dan adanya pertanggungjawaban.
Ukuran terakhir untuk melihat demokrasi yaitu arah kebijakan
penyelenggaraan negara. Bila penyelenggaraan negara bertumpu pada
kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat secara luas, maka demokrasi telah
berjalan dengan baik. Sebaliknya, bila penyelenggaraan negara hanya
menguntungkan segelintir elite, maka demokrasi belum dilaksanakan secara
konsekuen.
Juan J. Linz dan Alfred Stepan,319
melihat sebuah negara yang mengarah
atau berproses menuju demokrasi (demokratisasi) dapat dilihat dari 2 (dua) tahap,
yaitu transisi dan konsolidasi. Transisi dicirikan oleh 4 (empat) hal, yaitu terdapat
kesepakatan tentang prosedur dan mekanisme penyelenggaraan pemilu yang
demokratis; pemerintahan dipilih langsung oleh rayat dalam sebuah proses pemilu
langsung; pemerintah memiliki otoritas merumuskan kebijakan-kebijakannya; dan
317
Gregorius Sahdan, Jalan... Op., Cit., hlm. 18 318
Kenneth Newton dan Jan W. Van Deth, Perbandingan... Op., Cit., hlm. 49 319
Masdar Hilmy, Jalan Demokrasi... Op., Cit., hlm. 15-16
129
tidak ada pembagian kekuasaan (power sharing) di luar lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Sedangkan tahap konsolidasi dicirikan oleh 3 (tiga) hal,
yaitu dalam hal perilaku, tidak ada kelompok politik yang berusaha
menggulingkan rezim demokratis melalui kekerasan atau intervensi asing; dalam
hal sikap, opini publik mayoritas rakyat meyakini bahwa perubahan politik harus
dilakukan dalam koridor paramter demokrasi, bahkan dalam kondisi krisis
ekonomi dan politik yang parah sekalipun; dan dalam hal konstitusi, semua
kekuatan pemerintah dan non pemerintah sepakat bahwa konflik politik
diselesaikan melalui prosedur dan institusi hukum dalam kerangka rezim
demokrasi.
Secara universal demokrasi mendasarkan pada prinsip untuk mengakui
kepentingan fundamental setiap individu (a recognition of the fundamental
importance of every individual); menghargai/menghormati persamaan setiap
orang (a respect for the equality of all men); mengakui kekuasaan mayoritas dan
menghargai hak-hak minoritas (a faith in majority rule and minority rights);
menerima kompromi atas kepentingan (an acceptance of the necessity of
compromise); serta menghormati kebebasan individu (an insistence on individual
freedom).320
Seymour Martin Lipset321
mengatakan bahwa ciri utama sebuah negara
menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya yaitu pertama, adanya
kompetisi untuk memperebutkan posisi pemerintahan, dan adanya pemilihan
320
Gregorius Sahdan, Jalan Transisi... Op., Cit., hlm. 23 321
Seymour Martin Lipset, The Encyclopedia of Democracy, dalam Kenneth Newton dan
Jan W. Van Deth, Perbandingan... Op., Cit., hlm. 54
130
umum yang adil dan teratur tanpa menggunakan pemaksaan dan tanpa
mendiskriminasi kelompok manapun. Kedua, adanya partisipasi warga negara
untuk menyeleksi pemimpin mereka dan membuat kebijakan. Ketiga, adanya
kebebasan sipil dan politik untuk memastikan integritas persaingan dan partisipasi
politik.
Menurut Danohoe,322
demokrasi yang universal harus mengandung
beberapa unsur, yaitu the contest of regular free and fair electons (by many
parties) conducted by secret ballot on the basis of universal adult suffrage
(adanya aturan pemilihan umum yang bebas dan jujur oleh beberapa partai yang
diselenggarakan secara rahasia bagi orang dewasa yang mempunyai hak pilih);
there is separation of powers, and independent judiciary and free press (adanya
pemisahan kekuasaan, peradilan yang merdeka dan kebebasan pers); there is
respect for the rule of law (adanya penghormatan terhadap hukum); human rights
and the rights of minorities are respected (adanya penghormatan terhadap hak
asasi manusia dan hak-hak golongan minoritas); an independent, efficient and
accountable civil service exercises prudent management of public resources
(adanya pemerintahan yang mandiri, efisien dan bertanggung jawab dalam
memberikan pelayanan umum).
Robert A. Dahl memberikan 8 (delapan) kriteria bagi negara yang
mendasarkan pada demokrasi, yaitu adanya kebebasan untuk membentuk dan
322
Priyenee Wijesekera dan Dinan Reynold, Parelement and Government in The Next
Millenium dalam In‟amul Mushoffa, dkk. Konsep Memperdalam Demokrasi: Dari Prosedural ke
Substantif Menuju Representasi Politik yang Berkualitas, Intrans Publishing, Malang, 2016, hlm.
24
131
bergabung ke dalam organisasi (freedom to form and join organization); adanya
kebebasan untuk menyatakan pendapat (freedom of expression); adanya hak untuk
memilih (right ro vote); adanya hak untuk dipilih (eligibility for public office);
adanya hak bagi peserta politik untuk berkampanye guna memperoleh dukungan
suara rakyat (the right of political leaders to compete for support and vote);
adanya pilihan terhadap berbagai sumber informasi (alternative sources of
information); adanya pemilihan umum yang bebas dan jujur (free and fair
election); dan adanya lembaga-lembaga yang membuat kebijaksanaan pemerintah
berdasarkan kepada keinginan rakyat (institution for making government polices
depend on vote and other expressions of preference).323
Adapun menurut Henry B. Mayo, beberapa nilai demokrasi yaitu324
penyelesaian perselisihan dengan damai dan secara melembaga (institutionalized
peaceful settlement of conflict); menjamin terselenggaranya perubahan secara
damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in
changing society); penggantian kepemimpinan secara teratur (orderly succesion of
rules); membatasi penggunaan kekerasan sampai minimum (minimum of
coercion); mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity);
menjamin tegaknya keadilan, dengan ditopang oleh lembaga-lembaga untuk itu
adalah pemerintahan yang bertanggungjawab, dewan perwakilan rakyat yang
mewakili golongan dan kepentingan masyarakat yang dipilih melalui pemilihan
umum yang bebas dan rahasia, suatu organisasi partai politik, media massa yang
323
Arend Lijphart, Democracies, Patterns of Majoritarian and Consensus Government in
Twenty-One Countries dalam Eddy Purnama, Negara... Op., Cit., hlm. 48 324
Henry B. Mayo, An Introduction to Democratie Theory, dalam Moh. Kusnardi dan
Bintan R. Saragih, Ilmu Negara... Op., Cit., hlm. 169-171
132
bebas menyatakan pendapat, dan sistem peradilan yang bebas untuk menjamin
hak asasi manusia dan mempertahankan keadilan.
Semua definisi, unsur, dan prinsip demokrasi yang berbeda-beda menurut
beberapa ahli di atas, titik kesamaannya yaitu memberikan rakyat posisi utama
dalam penyelenggaraan negara yang menjamin hak asasi manusia. Demokrasi
dengan demikian, identik dengan paham kedaulatan rakyat. Dapatlah penulis
katakan bahwa esensi dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat.
Menurut Immanuel Kant mengenai paham kedaulatan rakyat, tujuan
negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan para
warganya. Dalam pengertian kebebasan di sini adalah kebebasan dalam batas-
batas perundang-undangan, sedangkan undang-undang yang berhak membuat
adalah rakyat itu sendiri. Maka kalau begitu undang-undang itu adalah merupakan
penjelmaan daripada kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang
mewakili kekuasaan tertinggi atau berdaulat dalam negara.325
Menurut S.E. Finer
sebagaimana dikutip dalam Bagir Manan, asumsi dasar paham kedaulatan rakyat
setidaknya terdapat 3 (tiga) hal, yaitu pertama, pemerintahan yang berkedaulatan
rakyat adalah pemerintahan yang memiliki kekuasaan terbatas atau dibatasi, yang
ini merupakan salah satu ciri negara hukum demokrasi; kedua, pemerintahan
berkedaulatan rakyat adalah pemerintahan yang mengakui kemajemukan
masyarakat (pluralistik); pemerintahan berkedaulatan rakyat menolak adanya
325
Sodikin, Hukum Pemilu: Pemilu Sebagai Praktik Ketatanegaraan, Gramata
Publishing, Bekasi, 2014, hlm. 14
133
setiap upaya untuk memutlakkan suatu pandangan atau pikiran mengenai
masyarakat dan moral.326
Menurut Amartya Sen, terdapat 3 (tiga) peran substantif demokrasi agar
keberadaannya benar-benar bermakna bagi pengembangan kedirian sebuah
bangsa, yaitu peran intrinsik sebagai penjamin partisipasi politik dan kemerdekaan
dalam kehidupan manusia; peran instrumental sebagai insentif politik dalam
menjamin pemerintah bertanggung jawab dan akuntabel; dan peran konstruktif
dalam pembentukan dan kultivasi nilai serta memahami kebutuhan, hak dan
kewajiban.327
Menurut Moh. Mahfud MD,328
ada 4 (empat) prasyarat minimal bagi
demokrasi yaitu adanya akuntabilitas bagi pejabat atau penguasa terhadap
rakyatnya; adanya supremasi hukum yang mengharuskan hukum menjadi sentral
dan pengaruh dalam setiap penyelenggaraan dan kegiatan kenegaraan; adanya
persamaan perlakuan bagi semua orang di depan hukum dan pemerintahan; dan
adanya akses bagi rakyat atas keputusan-keputusan publik. Mirip dengan pendapat
Kenneth Newton,329
bahwa demokrasi yang maju atau yang telah mengakar
merupakan sistem yang terkonsoliasi dan stabil yang berpijak pada masyarakat
sipil yang maju, hak sipil dan politik yang terjamin, sejumlah institusi otonom
pemerintah yang bertindak di bawah aturan hukum, sistem pemilu yang bebas dan
326
Bagir Manan, “Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi
Menurut UUD 1945” dalam Ibid. 327
Amartya Sen, Democracy as Universal Value, dalam Masdar Hilmy, Jalan
Demokrasi... Op., Cit., hlm. 20 328
Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 119-120 329
Kenneth Newton dan Jan W. Van Deth, Perbandingan... Op., Cit., hlm. 76
134
adil, dan pemerintahan yang kekuasaannya efektif bagi pelaksanaan tugas-
tugasnya.
Demokrasi dalam perjalanannya mengalami banyak perkembangan dengan
ragam model dan derajat keberlakuannya. Ada banyak ahli politik dan hukum
yang mengklasifikasikan sesuai dengan kacamata pengamatannya, seperti Atilio
Boron, Jeff Haness, Andrew Haywood, dan sebagainya.
Jeff Hayness membagi level demokrasi menjadi 3 (tiga) macam.330
Pertama, demokrasi formal. Inti dari demokrasi formal yaitu bahwa aturan dan
ketentuan yang bermakna untuk menentukan perilaku dan kandungan dari
pemilihan umum, sementara pemerintah harus mengaturnya dengan
memperhatikan proses hukum. Demokrasi formal sangat berkaitan dengan ide
tentang pilihan, sehingga pemerintah yang tidak populer dapat tersingkir dalam
pemilihan umum. Ciri dari demokrasi formal menurut Hayness ini yaitu adanya
pemilihan umum yang teratur, bebas, terbuka, dan adil; negara tidak
menggunakan paksaan secara berlebihan terhadap masyarakat; dan adanya
mekanisme hukum yang mengatur pertanggungjawaban negara terhadap
masyarakat.
Kedua, demokrasi permukaan. Demokrasi pada level ini dapat juga disebut
dengan demokrasi semu, tampak seolah menerapkan demokrasi, padahal secara
substansial jauh dari nilai-nilai demokrasi. Penguasa bahkan sebenarnya tidak
menginginkan negara menjadi demokratis karena ingin kekuasaan yang absolut.
330
Jeff Hayness, Democracy and Civil Society in The Third World Politics & New
Political Movement dalam In‟amul Mushoffa, dkk. Konsep... Op., Cit., hlm. 15
135
Pelanggaran terhadap hak asasi manusia lumrah terjadi karena warga yang
melancarkan kritik terhadap pemerintah akan dianggap sebagai pembangkang dan
tidak loyal pada negara. Hayness menyebut bahwa model ini sangat umum di
dunia ketiga pada dekade 70-90 dan beberapa di antaranya berlangsung sampai
awal millenium ketiga.331
Ketiga, demokrasi substantif. Hayness menyebutkan bahwa demokrasi ini
mengintensifkan konsep dengan memasukkan penekanan pada kebebasan dan
diwakilinya kepentingan melalui forum publik yang dipilih. Demokrasi substantif
merupakan pendalaman demokrasi, sehingga warga negara mempunyai akses
yang mudah pada proses pemerintahan dan suara di dalam pengambilan keputusan
secara kolektif. Demokrasi model ini juga memperhatikan kesetaraan dan
keadilan, kebebasan sipil, dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi
manusia.332
Andrew Haywood membagi model demokrasi ke dalam 4 (empat) bagian
dengan pendekatan pada masa perkembangannya.333
Pertama, demokrasi klasik.
Konteks demokrasi yang dimaksud Haywood pada level ini adalah demokrasi
yang dipraktekkan pada zaman Yunani Kuno. Demokrasi yang bersifat langsung
karena seluruh warga negara berpartisipasi dalam penentuan kebijakan, dianggap
sebagai bentuk paling ideal pelaksanaan demokrasi. Kedua, demokrasi
perlindungan (protektif). Kata perlindungan dilekatkan dengan demokrasi karena
praktik demokrasi diidealkan sebagai sebuah sarana, melalui apa warga negara
331
Ibid., hlm. 16-17 332
Ibid. 333
Ibid., hlm. 18-20
136
dapat melindungi diri dari pelanggaran pemerintah. Demokrasi model ini muncul
ketika ide demokrasi kembali menguat pada abad XVII dan XVIII.
Ketiga, demokrasi pengembangan. Demokrasi ini mengarah pada cita-cita
yang lebih radikal ala demokrasi langsung. Model demokrasi ini diyakini
terinspirasi dari Rousseau, bahwa demokrasi bukan hanya berkaitan dengan
kesetaraan politik saja, tetapi juga kesetaraan ekonomi. Dari konsepsi Rousseau
ini kemudian yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan berkaitan dengan kebijakan-kebijakan negara yang berdampak pada
nasib mereka. Hal ini dapat dicapai apabila pemerintahan sudah bersifat terbuka,
akuntabel, dan desentralistis.334
Keempat, demokrasi rakyat. Penggunaan istilah demokrasi rakyat ini pada
dasarnya untuk menunjukkan secara luas pada ragam model demokrasi yang telah
dimunculkan oleh ajaran marxis atau yang umumnya dikenal dengan demokrasi
sosial. Ini lahir sebagai bentuk kritik terhadap demokrasi liberal dan menilainya
sebagai perwujuan dari demokrasi borjuis atau kapitalis. Namun secara prinsip,
tertarik pada konsep demokrasi karena implikasi egaliteriannya yang jelas. Dalam
pandangan Marz, demokrasi borjuis akan digantikan oleh sistem demokrasi
proletarian setelah melalui transisi revolusioner.335
Terlepas dari model dan tipe demokrasi di atas, penulis tertarik dengan
sebuah gagasan dari M. Amien Rais sebagaimana dikutip kembali oleh Moh.
334
Ibid., hlm. 19-20 335
Ibid.
137
Mahfud MD,336
bahwa demokrasi agar tidak diembel-embeli dengan kata sifat
seperti yang berkembang saat ini, sebab penyifatan itu selalu digunakan untuk
memanipulasi mekanisme demokrasi itu sendiri sehingga prinsip demokrasi yang
otentik menjadi berkurang atau bahkan hilang. Istilah demokrasi hendaknya
dibiarkan saja dengan satu kata yang otonom yaitu “demokrasi”.
Penulis setuju terhadap pendapat Amien Rais tersebut. Rousseau pernah
menyampaikan kritik terhadap demokrasi perwakilan yang mereduksi makna
demokrasi langsung. “Orang inggris percaya bahwa mereka adalah orang yang
bebas, mereka sangat keliru; mereka bebas hanya pada saat pemilihan anggota
parlemen berlangsung; segera setelah anggota parlemen terpilih, mereka
diperbudak; tidak ada kebebasan”.337
Rakyat yang berdaulat menurut Rousseau
adalah fiksi semata, karena rakyat dapat mewakilkan kepada seorang saja atau
kepada beberapa orang. Kedaulatan pada realitanya sebenarnya tidak terletak lagi
pada rakyat karena oleh rakyat telah dikuasakan kepada seseorang (seperti raja),
atau satu yang nyata-nyata menjalankan kekuasaannya itu.338
Pendapat Rousseau menurut penulis cukup rasional. Akhirnya, negara
otoriter pun dapat saja mengklaim dirinya demokrasi karena kedudukan negara
yang mendapatkan persetujuan rakyat misalnya dengan bukti tidak adanya
penolakan, dan dengan dalih bahwa orientasi utama penyelenggaraan negara oleh
336
Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 52 337
David Held, Model of Democracy dalam Georg Sorensen, Demokrasi... Op., Cit., hlm.
11 338
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 125
138
penguasa adalah kepentingan rakyat. Bukti konkret di Indonesia terhadap hal ini
adalah demokrasi terpimpin yang diberlakukan oleh Soekarno.
Demokrasi terpimpin “lahir” sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal
5 Juli 1959, dan bahkan pada tahun 1965, dikukuhkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Ketetapan Nomor VIII/MPRS/1965.
Berdasarkan ketetapan MPRS tersebut, inti dari pedoman demokrasi terpimpin
adalah apabila musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka musyawarah
mengambil kebijaksanaan dengan menempuh jalan antara lain bahwa persoalan
itu diserahkan kepada pimpinan untuk mengambil kebijaksanaan dengan
memperhatikan pendapat-pendapat yang bertentangan. Jadi substansi dari
demokrasi terpimpin ini adalah ikhwal pengambilan keputusan dalam setiap
musyawarah lembaga-lembaga negara yang apabila musyawarah mufakat tidak
tercapai, sangat terbuka peluang bagi pimpinan untuk mengambil keputusan
sesuai dengan kehendakanya sendiri.339
Konsep ini tentu sangat bertentangan
dengan original intent demokrasi yang muncul seiring dengan semangat
Renaisance dan Reformasi sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahkan
merupakan bentuk kemunduran. Sebuah Kediktatoran yang terselubung di balik
label demokrasi yang dilekati dan diembeli kata “terpimpin”. Dalam bahasa
Adnan Buyung Nasution, demokrasi terpimpin Soekarno merupakan rumusan
politik baru bagi bentuk pemerintahan yang lebih otoriter.340
339
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Kedua,
Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 99-100 340
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi
Sosio Legal Atas Konstituante 1956-1959, terjemahan oleh Sylvia Tiwon, Cetakan Pertama,
Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995, hlm. 301
139
Masykuri Abdillah yang sejalan dengan pendapat Amien Rais
menyebutkan, bahwa menjamurnya pengertian demokrasi dengan segala model
dan sifatnya yang beragam itu merupakan akibat dari euforia demokrasi yang
diterima oleh hampir seluruh pemerintahan di dunia, bahkan oleh pemerintahan
otoriter sekalipun yang menggunakan kata “demokrasi” untuk mensifati rezim dan
aspirasi mereka.341
Dilihat dari perspektif hukum Islam, prinsip, tujuan, dan hakikat sistem
demokrasi menurut Syafii Maarif sebagaimana dikutip oleh Ni‟matul Huda, maka
sistem tersebut dekat dengan cita-cita politik Qura‟ani yang mengedepankan
konsep syura atau musyawarah. Membahas demokrasi dalam perspektif Islam,
dengan demikian akan merujuk pada istilah syura. Meskipun pada titik tertentu,
terdapat perbedaan antara syura dan demokrasi yang diimplementasikan oleh
negara Barat.342
Namun dalam tulisan ini, penulis hendak menggunakan kata
syura untuk menggambarkan demokrasi dalam perspektif Islam karena kedekatan
makna dan implementasinya. Keengganan seorang penguasa untuk
bermusyawarah dan lebih mengedepankan pendapatnya sendiri, dalam perspektif
Islam menurut Abdul Qadir Abu Faris dikategorikan sebagai bentuk dari sikap
341
Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi: Respons Intelektual Muslim Indonesia
Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Prenadamedia Group,
Jakarta, 2015, hlm. 70 342
Ahmad Syafii Maarif, Islam Politik dan Demokrasi di Indonesia, dalam Ni‟matul
Huda, Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 16
140
otoriter, karena cenderung akan memaksakan pendapat dan sikapnya untuk orang
lain.343
Muhammad Natsir berpandangan bahwa Islam adalah demokratis
setidaknya dalam pengertian bahwa Islam menolak istibdad (despotisme),
absolutisme, dan otoritarianisme.344
Sedangkan Moh. Iqbal menganggap bahwa
demokrasi adalah aspek terpenting dalam cita-cita politik Islam.345
Demokrasi
telah ditegakkan sejak masa Nabi Muhammad dengan basis musyawarah yang
landasan hukumnya langsung bersumber pada al-Qur‟an.346
“dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan
melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka”. (Asy-Syura ayat 38)
Musyawarah sejak masa Nabi Muhammad tidak pernah ditinggalkan.
Ketika perang Badar Kubro, Nabi Muhammad bahkan lebih dari satu kali
meminta para sahabatnya untuk memberikan pertimbangan tentang strategi
perang, hingga al-Hibab bin al-Mundzir bersuara memberikan pertimbangan
untuk mengubah strategi perang, yang pertimbangan tersebut dilaksanakan oleh
Nabi.347
Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah menjelaskan, “tidak seorangpun
343
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat Sistem Politik Islam: Suatu Telaah
Mendalam tentang Tata Hukum, Keadilan, Ketaatan, Syura, terjemahan oleh Hery Noer Aly dan
Agus Halimy, Cetakan Pertama, Bidang Penerbitan PLP2M, Yogyakarta,1987, hlm. 113 344
Masykuri Abdillah, Islam... Op., Cit., hlm. 73 345
Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan Dalam Islam dalam Ni‟matul Huda,
Negara Hukum... Op., Cit., hlm. 16 346
Qamaruddin Khan, Tentang Teori Politik Islam, terjemahan oleh Taufik Adnan Amal,
Cetakan Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1987, hlm. 60 347
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat.... Op., Cit., hlm. 101
141
yang lebih banyak melakukan musyawarah dengan para sahabatnya selain
Rasulullah SAW”.348
Masa setelah Nabi Muhammad SAW, yaitu para sahabat-sahabat
Rasulullah juga tidak pernah meninggalkan musyawarah ketika mengambil
keputusan atas permasalahan tertentu. Abu Bakar mengumpulkan para sahabat
Nabi untuk melaksanakan musyawarah tentang berbagai persoalan yang tidak ada
nash-nya di dalam al-Quran dan Hadist; Umar bin Khattab yang bahkan terkait
khalifah yang akan menggantikannya, dimusyawarahkan dengan Abdur Rahman
bin Auf dan beberapa sahabat lainnya.349
Dengan merujuk pada apa yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan
para sahabatnya, para cendekiawan Islam sejak dahulu selalu menekankan arti
penting musyawarah ini. Di dalam kitab al-Adab as-Sulthaniyyah wad-Duwalil
Islamiyyah sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Abu Faris ini bahkan
menyebutkan bahwa kekeliruan dengan musyawarah adalah lebih maslahat
dibandingkan dengan kebenaran yang diambil secara individual dan otoriter.350
Kalimat tersebut telah sangat sesuai dengan Firman Allah dalam al-Quran Surat
Al-Imran ayat 159, yang artinya “Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.
Azbabun nuzul Surat Al-Imran ayat 159 itu yaitu ketika kaum Muslimin
harus terpukul mundur di dalam peristiwa perang Uhud setelah Nabi Muhammad
348
Bunyamin, “Konsepsi Musyawarah dalam al-Qur‟an: Analisis Fiqh Siyasah terhadap
QS: An-Naml” artikel dalam Jurnal Al-„Adl, Vol. 10, No. 1, Januari 2017, hlm. 37 349
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat... Op., Cit., hlm. 102 350
Ibid., hlm. 103
142
menggunakan strategi perang berdasarkan pendapat mayoritas dan meninggalkan
pendapatnya sendiri. Tidak heran apabila terlintas dalam pikiran kaum Muslimin
bahwa hasil musyawarah yang mengedepankan pendapat mayoritas, akan
berakibat fatal, sedangkan pendapat Nabi Muhammad yang juga sebagai
pemimpin waktu itu ternyata lebih baik daripada pendapat mayoritas. Menampik
persepsi yang demikian, maka turunlah ayat tersebut.351
Amirul Mukiminin Ali bin Abu Thalib menyebutkan bahwa dalam
bermusyawarah setidaknya mempunyai 7 (tujuh) hal penting, yaitu mengambil
kesimpulan yang benar, mencari (bertukar) pendapat, menjaga kekeliruan,
menghindarkan celaan, menciptakan stabilitas emosi, menjaga keterpauan hati,
dan mengikuti „atsar.352
Al-Ahnaf bin Qais pernah ditanya, “Dengan dasar apa
kebenaranmu tampak banyak dan kekeliruanmu tampak sedikit dalam masalah
yang engkau kerjakan dan peristiwa yang engkau kuasai?” Ahnaf bin Qais
menjawab “Dengan cara bermusyawarah bersama orang-orang yang mempunyai
pengalaman dan pemikiran yang terbaik”.353
Beberapa hal yang digariskan oleh
Ali bin Abi Thalib dan Ahnaf bin Qais ini tempak mempunyai kesamaan dengan
karakter demokrasi Barat yang diminati oleh banyak negara sebagaimana
diuraikan di atas, bahwa demokrasi mampu memberikan legitimasi kuat bagi
pemerintah yang karenanya dapat menjaga stabilitas penyelenggaraan negara.
351
Ibid., hlm. 106 352
Ibid., hlm. 107 353
Abu Salim Muhammad bin Thalhah al-Qurasyi an-Nushaibi, al-Aqul Farid lil-Maliki
as-Said, dalam Ibid., hlm. 108
143
Patut menjadi perhatian atas syura ini yaitu tentang prinsip dan
landasannya yang berpangkal pada profesionalitas, kemaslahatan bersama, dan
tidak terjebak semata-mata pada aspek mayoritas sebagaimana di dalam
demokrasi Barat yang akibatnya dapat saja mereduksi bahkan meniadakan
aspirasi, kepentingan, dan hak-hak minoritas.354
Telah disinggung sebelumnya,
suara mayoritas bukan merupakan penentu ideal karena dapat saja suara mayoritas
justru terdistorsi, salah, atau manipulasi segelintir pihak, sehingga dalam hal ini,
menjadi tidak relevan prinsip suara rakyat adalah suara tuhan. Contoh betapa
syura ini dijalankan dan bertumpu pada kemaslahatan dibandingkan pendekatan
mayoritas yaitu ketika Rasulullah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya
mengenai tawanan perang. Abu Bakar dengan karakternya yang murah hati
memberikan saran agar para tawanan dibiarkan kembali ke keluarganya,
sedangkan Umar bin Khattab dengan karakternya yang keras memberikan
pendapat untuk memenggal mereka. Mayoritas sahabat menyetuji pendapat Abu
Bakar sehingga Rasulullah memilih pendapat itu dengan mengampuni sebagian
354
Rousseau memaknai bahwa cermin kedaulatan rakyat adalah keputusan suara
terbanyak (meederheid besluit), yang konsekuensinya yaitu keharusan untuk mengikuti suara
terbanyak. Pendapat Rousseau ini berpijak pada ajaran kedaulatan rakyat yang bertumpu pada dua
macam kehendak rakyat, yaitu kehendak rakyat seluruhnya (Volente de Tous) dan kehendak rakyat
sebagian (Volente Generale). Volente de Tous hanya dipakai satu kali, yaitu ketika negara hendak
dibentuk berdasarkan perjanjian masyarakat, yang setelah itu tidak lagi digunakan, karena
menggunakan volente de tous pada penyelenggaraan negara setelah negara terbentuk, justru akan
menghambat jalannya pemerintahan. Sedangkan Volente Generale digunakan setelah negara
terbentuk, yaitu dengan sistem suara terbanyak, yang ini dipakai oleh negara-negara demokrasi
Barat. Konsep ini dikritik oleh Kusrnardi dan Bintan R. Saragih karena justru terjebak pada
diktator atau tirani mayoritas. Suara terbanyak tidak akan selalu benar, karena suara terbanyak
tidak lagi mempersoalkan kebenaran, tetapi mengejar kemenangan, yang hal ini sering kali
terjebak pada penyelewengan. Lihat dalam Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Ilmu Negara...
Op., Cit., hlm. 124-125. Rousseau juga mengetengahkan bahwa pertimbangan rakyat memang
tidak selalu memiliki kejujuran yang sama, melainkan senantiasa mencari kebaikan diri sendiri.
Lihat dalam Jean Jecques Rousseau, Kontrak Sosial, terjemahan oleh Sumardjo, Erlangga, Jakarta,
1986, hlm. 24
144
tawanan perang dan menerima tebusan dari yang lainnya.355
Pilihan keputusan
Rasulullah tersebut ternyata mendapat “teguran” dari Allah sehingga turun Firman
Qur‟an Surat al-Anfal ayat 68 yang artinya, “kalau sekiranya tidak ada ketetapan
yang terdahulu dari Allah, niscaya kalian ditimpa siksaan yang besar, karena
tebusan yang kalian ambil”. Atas hal itu, Nabi Muhammad kemudian bersabda,
“sekiranya turun adzab dari langit, niscaya tidak akan selamat daripadanya orang-
orang, selain Umar bin Khattab dan Saad bin Muadz. Di dalam riwayat Ibnu
Mardawih, Niscaya Umar akan selamat”.356
Gambaran peristiwa di atas, sekali lagi menegaskan bahwa ukuran syura
tidak hanya bertumpu pada mayoritas, tetapi juga pada aspek kemaslahatan
bersama. Syura dengan demikian menitikberatkan pada proses dan hasil.
Prosesnya yang harus dilalui yaitu dengan musyawarah, sedangkan hasilnya
adalah bertumpu pada kemaslahatan bersama.
C. Teori Hukum Tata Negara Darurat
Menurut Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat merupakan
rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa untuk
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan keadaan darurat
atau bahaya yang mengancam, dan mengembalikan kehidupan biasa menurut
peraturan perundang-undangan dan hukum umum dan biasa.357
Ancaman tersebut
dapat menyasar pada keselamatan penduduk, mengancam keselamatan dan
355
Mayoritas sahabat Nabi berpendapat agar mengambil tebusan dari para tawanan
adalah riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Ishaq. Lihat dalam Muhammad Abdul Qadir Abu Faris,
Hakikat... Op., Cit., hlm. 118 356
Ibid., hlm. 119 357
Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, Djambatan, Jakarta,
1996, hlm. 1
145
keutuhan negara termasuk integritas wilayah negara, ataupun mengancam prinsip-
prinsip dasar bernegara serta kualitas penyelenggaraan demokrasi dan/atau
keadilan.358
Baik dalam literatur, maupun dalam beberapa konstitusi di beberapa
negara, hukum tata negara darurat ini banyak juga diistilahkan dengan state of
siege, martial law, state of emergency, state of exception, dan sebagainya. State of
siege digunakan di Perancis yang awal mulanya adalah untuk merespon
kekacauan yang diakibatkan oleh Revolusi Perancis waktu itu. Klausul ini
kemudian dikodifikasikan pertama kali melalui dekrit Constituent Assembly pada
tanggal 8 Juli 1791, yang kemudian diadopsi di dalam Pasal 36 Konstitusi
Perancis 1958.359
Karena kesejarahan inilah, maka state of siege atau state of
exception dalam istilah Giorgio Agamben, lahir dari tradisi revolusioner-
demokratis, bukan tradisi absolutis.360
Adapun martial law digunakan oleh Inggris sebagai sebuah sistem yang
dikonstruksikan untuk menjaga ketertiban dan disiplin dalam angkatan bersenjata.
Namun sejak abad keempat belas, pranata hukum ini juga digunakan untuk warga
sipil yang dianggap sebagai pemberontak dan penghianat negara, pencuri,
perampok, dan provokator yang mengancam keamanan dan ketertiban.361
Pada
Perang Dunia Kedua di Inggris, martial law dalam konsepsi hukum darurat negara
digunakan sebagai dasar bagi pemerintah untuk melakukan penahanan terhadap
358
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 31 359
John Reynolds, The Long... Op., Cit., hlm. 5 360
Giorgio Agamben, State of Exception, The University of Chicago Press, Chicago and
London, 2005, hlm. 5 361
J.V. Capua, The Early History of Martial Law in England from the Fourteenth
Century to the Petition of Right, dalam John Reynolds, The Long... Op., Cit., hlm. 6
146
warga sipil (mayoritas adalah pengungsi dari Eropa) tanpa adanya proses
pengadilan yang fair, namun hanya dengan praduga pemerintah dengan alasan
untuk menjaga keamanan nasional karena mereka dianggap sebagai musuh
negara.362
Seperti halnya Inggris, Amerika Serikat juga menggunakan klausul
martial law sebagai instrumen untuk menghadapi keadaan krisis dan darurat yang
mengancam negara. Namun dalam sejarah Amerika Serikat, martial law ini tidak
diatur dan tidak disebutkan di dalam konstitusinya, termasuk juga kekuatan
darurat yang diberikan kepada presiden, tidak ditemui klausul dan pengaturan
eksplisit dalam sejarah konstitusi Amerika Serikat. Martial law ini lahir dalam
trasisi peradilan, karena itu, definisi martial law justru dikembangkan oleh
Supreme Court. “Martial law is the law of military necessity in the actual
presence of war. It is administered by the general of the army, and is in fact his
will. Of necessity it is arbitrary; but it must be obeyed”.363
Pada tataran
implementasi, dalam sejarah Amerika Serikat, martial law memang tidak pernah
diberlakukan pada seluruh wilayah Amerika Serikat secara serentak, namun
pernah diberlakukan di negara-negara bagian, untuk merespon perang saudara dan
perang dunia,364
seperti New Orleans yang ditetapkan berada di bawah darurat
militer oleh Jenderal Andrew Jackson pada tahun 1812, darurat militer di
beberapa wilayah yang ditetapkan oleh Presiden Abraham Lincoln untuk
362
Ibid..., hlm. 21 363
William Feldman, “Theories of Emergency Powers: A Comparative Analysis of
American Martial Law and the French State of Siege” artikel dalam Cornell International Law
Journal, Volume 38, Nomor 3, Tahun 2005, hlm. 1022 364
Ibid.
147
merespon perang saudara, dan darurat militer di Hawai setelah terjadi serangan di
Pearl Harbor.365
Istilah State of Emergency digunakan di Jerman oleh Ernst Wolfgang
Bockenforde untuk menunjukkan bahwa negara sedang dalam keadaan darurat.
Sedangkan state of exception banyak digunakan di beberapa literatur seperti
dalam tulisan Giorgio Agamben untuk menunjukkan bahwa hukum darurat negara
memberlakukan pengecualian atau penyimpangan-penyimpangan tertentu dari
hukum yang berlaku normal.
Merujuk pada definisi dan peristilahan di atas, maka hukum tata negara
darurat mempunyai beberapa unsur, yaitu pertama, adanya ancaman bahaya atau
keadaan darurat yang harus dihadapi dengan upaya yang luar biasa. Ancaman
bahaya ini dikhawatirkan akan mengancam berjalannya pemerintahan atau
mengancam keutuhan negara. Herman Sihombing mengambil contoh dengan
merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1946, yaitu misalnya adanya
serangan, adanya pemberontakan atau kerusuhan, adanya bencana alam, sehingga
dengan beberapa keadaan tersebut presiden dapat menyatakan seluruh atau
sebagian dari daerah negara berada dalam keadaan bahaya atau darurat.366
Kedua,
upaya biasa yang umum dan lazim tidak memadai untuk menanggulangi keadaan
darurat. Terhadap unsur yang kedua ini, penting untuk diperhatikan adanya
keseimbangan antara bahaya yang ada dengan upaya yang luar biasa sehingga
365
Ibid... hlm. 1023 366
Herman Sihombing, Hukum... Op., Cit., hlm. 4
148
kekuasaan tersebut tidak disalahgunakan.367
Ada relevansi yang kuat bahwa upaya
luar biasa yang ditempuh, dengan keadaan darurat yang ada.
Ketiga, kewenangan luar biasa diberikan kepada pemerintah untuk secepat
mungkin mengakhiri bahaya dan mengembalikan pada kehidupan normal.
Kewenangan ini diberikan, karena upaya hukum biasa tidak lagi memungkinkan
untuk mengatasi keadaan darurat. Tidak ada pilihan lain yang dapat digunakan
oleh pemerintah untuk mengatasi keadaan darurat selain menggunakan jalan
tersebut. Kim Lane Scheppele menyebutkan,368
the state of exception-or reason of state, or state of emergency, or etat de
siege-has referred to the situation in which a state is confronted by a
mortal threat and responds by doing things that would never be justifiable
in normal times, given the working principles of that state. The state of
exception uses justifications that only work in extremis, when the state is
facing a challenge so severe that it must violate its own principles to save
itself.
Keempat, hukum tata negara darurat ini bersifat sementara, yaitu berlaku
hanya selama keadaan darurat saja, setelah keadaan darurat berakhir, maka aturan
yang biasa dan normal yang kembali berlaku. Hukum tata negara darurat idealnya
tidak boleh membawa kepada keadaan yang dianggap sebagai sebuah kenormalan
baru (new normal) karena peruntukannya pada kondisi darurat, serta substansinya
yang mengandung berbagai macam penyimpangan dan pengecualian.369
Hukum
tata negara darurat justru diadopsi untuk menghapuskan keadaan bahaya dan
sesegera mungkin mengembalikan negara kepada keadaan normal. Keadaan
367
Ibid. 368
Kim Lane Scheppele, “Law in Time of Emergency: State of Exception and The
Temptations od 9/11” artikel dalam Journal of Constitutional Law, Mei, 2004, hlm. 104 369
Anna Jonsson Cornell and Janne Salminen, “Emergency Laws in Comparative
Constitutional Law – The Case of Sweden and Finland” artikel dalam German Law Journal, Vol.
19, No. 2, 2018, hlm. 220
149
bahaya di bawah pranata hukum darurat tidak boleh berlangsung lama karena
justru menyalahi esensi dari hukum tata negara darurat itu sendiri. Hal ini juga
untuk menjaga keseimbangan antara pranata luar biasa berupa hukum darurat
dengan keadaan bahaya, agar kewenangan luar biasa itu tidak menimbulkan
penyalahgunaan kekuasaan yang besar.370
Anna Jonsson dan Janne Salminen
menjelaskan,371
Resolving emergency situations inherently requires the State to take swift
and extraordinary measures. Taking constitutional democracies as a
starting point, states of emergency signal a temporary need to cast aside
principles like the separation of powers and functions, and checks and
balances. The State can restrict fundamental rights and freedoms and
expand the power of the executive. (Menyelesaikan situasi darurat secara
inheren mengharuskan negara untuk mengambil tindakan cepat dan luar
biasa. Mendasarkan pada demokrasi konstitusional, keadaan darurat
menandakan kebutuhan sementara untuk mengesampingkan prinsip-
prinsip seperti pemisahan kekuasaan dan fungsi, serta checks and balances.
Negara dapat membatasi hak-hak dasar dan kebebasan dan memperluas
kekuasaan eksekutif).
Semakin lama suatu daerah berada pada keadaan darurat di bawah pranata
hukum yang luar biasa itu, maka akan semakin lama terjadi penyimpangan
terhadap hukum dalam keadaan normal. Penyimpangan-penyimpangan lain di
lapangan tentu juga akan muncul.372
Contoh paling terkenal penyimpangan
dengan menggunakan kewenangan hak darurat negara adalah Pemerintahan Nazi
(Hitler) di Jerman. Hitler menggunakan alasan keadaan bahaya atau darurat untuk
menghapuskan konstitusi Weimar 1919 yang dikenal sangat demokratis menjadi
kekuasaan yang sangat otoriter. Pasal 48 yang mengatur mengenai kekuasaan luar
biasa Presiden Weimar Jerman untuk menyatakan keadaan bahaya negara dan
370
Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 146 371
Anna Jonsson Cornell and Janne Salminen, Emergency... Loc., Cit. 372
Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 147
150
Pasal 76 yang mengatur mengenai perubahan konstitusi, merupakan dasar pijakan
Hitler untuk menyalahgunakan kekuasaannya.373
Hitler memanfaatkan pranata
hukum tata negara darurat yang kekuasaan dan kesempatannya sangat luas dan
hampir dapat dikatakan tidak mempunyai batasan, dengan alasan keadaan darurat
untuk menghalalkannya. Padahal secara praktik, bukan justru mengatasi keadaan
darurat dan mengembalikan ke keadaan normal, namun justru mempunyai agenda
menumpuk kekuasaan untuk diri sendiri. Hukum tata negara darurat digunakan
oleh Hitler sebagai instrumen terstruktur dan sistematis untuk melancarkan
kepentingan kekuasaannya.
Bahwa benar Hitler dalam mencapai puncak kekuasaannya dilakukan
secara bertahap dan tampak melalui jalur konstitusional. Instrumen hukum darurat
negara memang tidak secara langsung dan serta merta merubah Konstitusi
Weimar yang demokratis, seketika berubah menjadi konstitusi yang ortodoks dan
elitis. Bahkan perubahan Konstitusi Weimar itu dilakukan dengan cara-cara biasa
sebagaimana digariskan di dalam Pasal 76. Hanya saja, sebelum mencapai itu
semua, terlebih dahulu telah direkayasa secara rapi melalui penggunaan hukum
darurat negara.
Asal mula keruntuhan Konstitusi Weimar dan kemutlakan kekuasaan
Hitler adalah klausul Pasal 48 Konstitusi Weimar yang memberikan kekuasaan
yang luas bagi pemerintah Jerman untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan dalam pemulihan keamanan dan ketertiban umum, termasuk juga
penangguhan sementara atas hak-hak dasar warga negara. Pasal 48 itu mulai
373
Herman Sihombing, Hukum... Op., Cit., hlm. 5
151
sering digunakan oleh Presiden Paul von Hindenburg antara tahun 1930 sampai
dengan 1932 untuk memerintah dengan dekrit dalam menghadapi oposisi
mayoritas di parlemen.374
Hitler yang diangkat sebagai Reich Chancellor (perdana
menteri) pada 30 Januari 1933 oleh presiden, membujuk Hindenburg untuk
mengamankan pemilihan umum agar mendapatkan dukungan mayoritas parlemen
pada rezim yang baru, dengan memanfaatkan kekuasaan darurat berdasarkan
Pasal 48. Pada tanggal 4 Februari 1933, diberlakukan undang-undang darurat
untuk memberikan perlindungan bagi rakyat Jerman, yang secara substansial,
undang-undang tersebut kemudian digunakan untuk membatasi pers dan melarang
pertemuan oposisi menjelang pemilihan umum yang akan dilangsungkan 5 Maret
1933.375
Undang-undang darurat itu secara normatif dibentuk untuk melindungi
rakyat, namun hakikatnya adalah untuk mendesain penyelenggaraan pemilu agar
mayoritas parlemen dikuasai oleh pemerintah.
Selanjutnya, undang-undang darurat juga digunakan untuk merespon
kebakaran Reichstag pada tanggal 28 Februari 1933 dengan menangguhkan hak-
hak dasar warga negara yang telah dilindungi konstitusi, dengan keberlakuannya
yang tanpa batas waktu tertentu.376
Undang-undang darurat itu juga
memungkinkan Pemerintah Jerman mengesampingkan kekuasaan negara bagian,
hingga keberlakuannya tampak sebagai konstitusi. Karena selama pemerintahan
Nazi tidak pernah dihapuskan, Hitler akhirnya memerintah selama 12 (dua belas)
374
Simon Lavis, The Exception of the Norm in the Third Reich: (Re)reading the Nazi
Constitutional State of Exception, dalam Cosmin Cercel, dkk. (Editor), States of Exception: Law,
History, Theory, Routledge, New York, 2021, hlm. 96 375
Ibid. 376
Ibid... hlm. 97
152
tahun di bawah rezim darurat. Ian Kershaw sebagaimana dikutip oleh Simon
Lavis menyebutkan “this hastily constructed emergency decree amounted to the
charter of the Third Reich”.377
Undang-undang darurat yang ditetapkan pada tanggal 4 Februari dan 28
Februari itu memang belum merubah Konstitusi Weimar, namun keduanya
menjadi pintu gerbang atas perubahan Konstitusi Weimar yang pada akhirnya
menjadi ortodoks itu. Pada 24 Maret 1933, dengan pengesahan undang-undang
tentang pemberdayaan rakyat, mengamandemen Konstitusi Weimar untuk
mengizinkan undang-undang agar dapat disahkan oleh eksekutif tanpa harus
melibatkan legislatif, termasuk juga pengesahan suatu undang-undang yang
menyimpangi konstitusi dalam batas-batas tertentu.378
Perubahan konstitusi ini
memang tidak memanfaatkan Pasal 48 secara langsung sebagai dasar kedaruratan
negara, namun status negara Jerman waktu itu adalah dalam keadaan darurat
berdasarkan undang-undang darurat yang ditetapkan 28 Februari sebelumnya,
yang kemudian secara prosedural mendasarkan pada Pasal 76 sebagai dasar
perubahan formal konstitusi yang membutuhkan dua pertiga mayoritas Reichstag
untuk menyetujui amendemen konstitusi. Namun mayoritas parlemen itu telah
diatur dan diamankan melalui undang-undang darurat sebelumnya yang
ditetapkan pada tanggal 4 Februari 1933.379
377
Ibid. 378
Peter Caldwell, National Socialism and Constitutional Law: Carl Schmitt, Otto
Koellreutter, and the Debate Over the Nature of the Nazi State, dalam Ibid. 379
Ibid.
153
Kekuasaan Hitler kemudian semakin mutlak sejak kematian Hindenburg
dan disahkannya Undang-Undang tentang Kepala Negara Jerman yang
menggabungkan Reich Chancellor (perdana menteri) dan presiden berada pada
satu orang, dan menjadikan Hitler sebagai kanselir Fuhrer (pemimpin absolut),
termasuk panglima tertinggi angkatan bersenjata.380
Konstitusi Weimar yang
terkenal demokratis berakhir, penyelenggaraan negara berbuah absolutisme di
bawah kepemimpinan Hitler, hanya karena Pasal 48 Konstitusi Weimar itu
memberikan kewenangan yang luas dalam merespon keadaan darurat negara yang
kemudian disalahgunakan secara terstruktur dan sistematis.
Pada konteks Indonesia, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang ditetapkan oleh
Soekarno adalah contoh yang hampir mirip. Di bawah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
ini, tidak jarang terjadi tindakan-tindakan inkonstitusional yang hanya
mendasarkan pada kehendak sepihak Soekarno dengan dalih keadaan
ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan
bangsa serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang
adil dan makmur.381
Sebagai salah satu contoh, pembaruan susunan (untuk
“pembubaran”) DPR, karena ditolaknya budget yang diajukan oleh Pemerintah.
Ketentuan tersebut melanggar Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yang menetapkan
kalau DPR tidak menyetuji anggaran yang diusulkan oleh Pemerintah, maka
dipakai anggaran tahun sebelumnya, bukan DPR yang dibubarkan.382
380
Ibid 381
Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 149 382
Ibid.
154
Kendatipun sangat rawan disalahgunakan dengan akibat yang sangat fatal
itu, pranata hukum tata negara darurat ini memang penting untuk diadopsi dalam
negara, yang secara normatif yuridis dicantumkan di dalam konstitusi sebagai
dasar konstitusional bagi negara untuk bertindak dalam keadaan darurat.
Machiavelli dengan kalimatnya yang terkenal, menyebutkan,
Now in a well-ordered republic it should never be necessary to resort to
extra-constitutional measures; for although they may for the time be
beneficial, yet the precedent is pernicious, for if the practice is once
established of disregarding the laws for good objects, they will in a little
while be disregarded under that pretext for evil purposes. Thus no
republic will ever be perfect if she has not by law provided for everything,
having a remedy for every emergency, and fixed rules for applying it.383
(saat ini dengan negara yang sudah tertata dengan baik, seharusnya tidak
perlu lagi menggunakan tindakan-tindakan yang sifatnya ekstra-
konstitusional; karena meskipun tindakan-tindakan tersebut mungkin
berguna untuk saat ini, namun preseennya merusak, karena jika ia
dipraktikkan dengan tidak menghormati hukum meskipun untuk tujuan
yang baik, tindakan-tindakan itu juga akan dilecehkan dengan
menggunakan hukum itu sendiri untuk mencapai tujuan yang buruk.
Dengan demikian, tidak ada negara yang akan sempurna apabila tidak
menyediakan segala sesuatu yang berdasarkan hukum, memiliki alat untuk
mengatasi keadaan daruat, dan aturan tetap untuk menerapkannya)
Negara tentu tidak akan berjalan baik-baik saja. Akan ada kejadian-
kejadian yang tidak terduga sebelumnya yang akan menuntut negara melalui
pemerintah untuk bertindak cepat dan luar biasa, yang melampaui batasan-batasan
normatif sebagaimana ditentukan dalam pranata hukum biasa. Membatasi
tindakan pemerintah dengan pranata hukum yang berlaku normal ketika negara
dalam keadaan darurat, hanya akan memperburuk keadaan dan memperbesar
ancaman terhadap keselamatan negara dan warganya. Karena itu, Alexander
Hamilton dalam Federalist Paper menyebutkan, “the circumstances that
383
Kim Lane Scheppele, Law... Op., Cit., hlm. 1005
155
endanger the safety of nations are infinite, and for this reason no constitutional
shackles can wisely be imposed on the power to which the care of it is
committed”.384
Keadaan luar biasa atau keadaan tidak normal yang tidak bisa ditangani
secara efektif dengan instrumen hukum yang ada tersebut, tentu juga tidak dapat
dijadikan alasan bagi negara untuk berhenti melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya. Penyelenggaraan negara sebagai organisasi yang mendapatkan mandat
langsung dari rakyat tetap harus berjalan sebagaimana mestinya. Dalam tendensi
yang negatif, keadaan tidak normal ini, apabila tidak diantisipasi dengan
perangkat hukum positif yang ada, niscaya akan memperlemah organisasi negara
dan pemerintahan yang berimplikasi pada tereduksinya jaminan perlindungan
terhadap hak warga negara. Pada konteks inilah pranata hukum tata negara darurat
harus diadopsi dalam suatu negara. Alexander N. Domrin mengatakan, “It is
obvious that providing for regulation of governmental powers in emergencies is
the best way to protect individual liberty and ensure the swiftest return to
constitutional normalcy”.385
(Pengaturan kekuasaan pemerintah dalam keadaan
darurat negara adalah cara yang terbaik untuk melindungi kebebasan inividu dan
memastikan untuk secara cepat kembali kepada keadaan konstitusional yang
normal).
384
Alexander Hamilton, James Madison, and John Jay, The Federalist Papers, Oxford
University Press, New York, 2008, hlm. 114 385
Alexander N. Domrin, The Limits of Russian Democratisation: Emergency Powers
and States of Emergency, First Published, Routledge, London and New York, 2006, hlm. xii
156
Hukum tata negara darurat memberikan kewenangan yang dikenal dengan
“hak darurat negara”,386
yang berdasarkan kewenangan ini, apabila presiden
menilai bahwa negara sedang berada dalam keadaan darurat, maka dapat
mengambil keputusan yang melanggar atau menyimpangi peraturan yang berlaku,
bahkan ketentuan undang-undang dasar sekalipun untuk mengatasinya.387
Karena
itu, Ernst Wolfgang Bockenforde, seorang hakim konstitusi Jerman menyebutkan,
hakikat hukum tata negara darurat, “nothing less than the dissolution of the
integrity of the constitution based on the rule of law and the abandonment of the
principle of the constitutional state”.388
(tidak kurang dari pembubaran keutuhan
konstitusi berdasarkan supremasi hukum dan ditinggalkannya prinsip negara
hukum). Burns dan Peltason menyebutkan,
Some scholars hold that in emergencies the president has wide powers to
protect the public interest, even at the cost of overriding existing laws.
There seems to be a kind of inherent power in the presidency, vast but
undefined, that an aggressive president can exploit it in times of crisis.
Unfortunately, crisis is now the rule rather than the execption.389
Selain melanggar peraturan yang berlaku, dalam keadaan darurat,
pemenuhan hak asasi manusia juga dapat ditunda jaminan pelaksanaannya. Lord
386
Hak darurat negara merupakan hak yang dimiliki oleh penguasa negara untuk
mengambil tindakan yang tidak mendasarkan atau menyimpang dari peraturan yang ada manakala
negara berada dalam keadaan bahaya demi untuk keselamatan negaranya. Apabila tindakan
tersebut merupakan tindakan hukum maka disebut hukum darurat negara, yang dalam bahasa
belanda, baik hak darurat negara maupun hukum darurat negara disebut dengan Staatsnoodrecht.
Lihat dalam Joeniarto, Selayang Pandang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Indonesia dalam
Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 146 387
Harun Alrasid, “Jabatan Presiden RI Sebuah Tinjauan Hukum Tata Negara” dalam
Ibid., hlm. 143. 388
Shylashri Shankar, “The State of Emergency in India: Bockenforde‟s Model in a Sub-
National Context” artikel dalam German Law Journal, Volume 19, Nomor 2, 2018, hlm. 201 389
Burns, Peltason, and Cronin, Government by The People dalam Ni‟matul Huda,
Politik... Loc., Cit.
157
Pearce sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie mengatakan,390
the flame of
individual right and justice must burn more palely when it is ringed by the more
dramatic light of bombed buildings. (Nyala api hak dan keadilan individual
haruslah terlihat menjadi lebih redup ketika kehidupan kota dilingkari oleh cahaya
terang yang timbul akibat nyala api di atas gedung-gedung yang terbakar karena
dibom oleh musuh). Hal senada juga dikatakan oleh John Reynolds,391
in the
eternal dispute between government and liberty, crisis means more government
and less liberty” (Dalam perselisihan abadi antara pemerintah dan kebebasan,
krisis berarti lebih banyak pemerintahan dan lebih sedikit kebebasan).
Beni Prasad menyebutkan,392
When face to face with dire adversity, government could do anything. The
justification of it all is that abnormal times have ethics of their own,
appaddharma as it is called. It must be clearly understood, that in days of
distress, all the ordinary rules of morality and customs are suspended.
Penyimpangan bahkan bertentangan dengan kelaziman, dalam pranata
hukum tata negara darurat itu dapat dibenarkan dengan alasan adanya bahaya.
Dalam bahasa Beni Prasad di atas, hukum tata negara darurat mempunyai
justifikasi moral dan etis sendiri, yang berbeda dengan moralitas hukum dalam
keadaan normal. Contoh dalam sejarah ketatanegaraan Amerika Serikat yaitu
tindakan inkonstitusional Abraham Lincoln untuk mengatasi perang saudara
antara Selatan dan Utara di Amerika Serikat, dibenarkan dan sah karena tindakan
390
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 157 391
John Reynolds, The Long... Op., Cit., hlm. 2 392
Osgar S. Matompo, “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif
Keadaan Daruat” artikel dalam Jurnal Media Hukum, Vol. 21, No. 1, Juni 2014, hlm. 60
158
tersebut dilakukan untuk memelihara kelangsungan hidup bangsa Amerika
sekaligus memelihara konstitusi.393
Meskipun memang Justice Davis menyatakan pendapat yang berbeda.
Bahwa konstitusi suatu negara dibentuk tidak hanya dalam keadaan normal,
namun juga untuk keadaan yang tidak normal. Secara lebih lengkap, pendapat
Justice Davis dalam perkara Ex Parte Milligan adalah sebagai berikut:394
The constitution of the United States is a law for rulers and people,
equality in war and peace, and covers with the sheild of its protection all
classes of men, at all times, and under all circumstances. No doctrine,
involving more pernicious consequnces, was ever invented by the wit of
men then that any of its provisions can be suspended during any of the
great exigencies of government. Such a doctrine leads directly to anarchy
or despotism, but the theory of necessity on wich it is based is false; for the
government, within the constitution, has all the powers granted to it which
are necessary to preserve its existence, as has been happily proved by the
result of the creat effort to throw off its just authority.
Terhadap dua pendapat di atas penulis setuju bahwa konstitusi digunakan
tidak hanya untuk negara dalam keadaan normal namun juga dalam keadaan
genting atau darurat, dengan catatan konstitusi dimaksud telah memuat aturan
tentang penyelenggaraan negara dalam keadaan darurat (hukum tata negara
darurat). Tetapi selama konstitusi suatu negara tidak mengadopsi pranata darurat
tersebut, sedangkan keadaan kedaruratan terjadi yang memaksa pemerintah untuk
bertindak menyimpangi undang-undang yang ada karena tidak ada pilihan lain,
maka penyimpangan dapat dilakukan. Bagaimanapun, sebagaimana kalimat
Cicero, keselamatan warga negara merupakan hukum tertinggi (salus populi
suprema lex esto), maka konstitusi yang tidak menyediakan pranata hukum
393
Herman Sihombing, Hukum... Op., Cit., hlm. 36 394
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 113
159
darurat untuk menyelamatkan warga negara, maka penyimpangan terhadap
konstitusi tidak dapat terelakkan. Ini sekaligus hendak menunjukkan bahwa
kealpaan pengaturan darurat di dalam konstitusi, akan mereduksi kesakralan
konstitusi sebagai hukum tertinggi, ketika negara dalam keadaan darurat.
John Ferejohn dan Pasquale Pasquino memandang pranata hukum tata
negara darurat sebagai bentuk dari constitutional dualism.395
This is the argument in favor of constitutional dualism: the notion that
there should be provisions for two legal systems, one that operates in
normal circumstances to protect rights and liberties, and another that is
suited to dealing with emergency circumstances.
Terhadap dualisme inipun, Jimly Asshiddiqie dengan mengutip pendapat
Lobel,396
terdapat dua cara pandang yang berbeda, Pertama, konstitusi yang
diperuntukkan untuk negara dalam keadaan normal dan darurat maka ketentuan
mengenai keadaan darurat dan upaya yang dapat dilakukan dalam keadaan darurat
itu sudah seharusnya ditentukan secara eksplisit dalam undang-undang dasar dan
tidak boleh disimpangi. Cara pandang yang demikian disebut oleh Lobel sebagai
cara pandang yang absolutist. Kedua, pandangan relativist, yang memandang
bahwa pelaksanaan konstitusi dalam keadaan darurat pada praktiknya, diperlukan
penafsiran yang tidak kaku sehingga segala sesuatu yang terjadi dalam keadaan
darurat dikemudian hari dapat diatasi dengan menafsirkan apa yang diatur dan apa
yang dimaksud dalam undang-undang dasar untuk bertindak dalam situasi genting
dalam rangka menjaga kepentingan negara yang terancam. Kedua cara pandang
395
John Ferejohn dan Pasquale Pasquino, The Law... Op., Cit., hlm. 234 396
Lobel, Emergency Power and the Decline of Liberalism dalam Jimly Asshiddiqie,
Hukum... Op., Cit., hlm. 113
160
ini, menurut pendapat penulis mempunyai makna implisit bahwa tindakan
pemerintah dalam keadaan daruratpun harus sesuai dengan yang telah digariskan
oleh konstitusi. Tampak relavan dengan pendapat Justice Davis di atas, bahwa
konstitusi hendaknya dibuat untuk mengatasi keadaan normal juga keadaan
darurat.
Di atas telah disebutkan, bahwa hukum tata negara darurat digunakan
ketika tidak ada pilihan hukum lain yang dapat digunakan untuk mengatasi
keadaan darurat negara. Ini sekaligus hendak menegaskan bahwa penggunaan
instrumen ini harus dilakukan dengan sangat berhati-hati dan karenanya harus
diatur secara ketat. Pengaturan secara khusus itu dapat berkaitan dengan syarat-
syaratnya, tata cara pemberlakuannya, syarat dan tata cara mengakhirinya, serta
hal-hal yang dapat dan tidak dapat dilakukan dalam keadaan darurat, perlu diatur
dengan jelas sehingga tidak menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang.397
Secara prosedural, penggunaan kekuasaan darurat perlu terlebih dahulu
dipastikan adanya necessity of self-defence bagi negara untuk bertindak guna
mengatasi bahaya yang mengancam; ancaman tersebut bersifat mendadak
sehingga tidak tersedia waktu untuk mengadakan konsultasi atau pembahasan dan
penentuan kebijakan bersama antara eksekutif dan legislatif; serta tidak ada lagi
alternatif solusi yang lebih baik dan lebih efektif selain dengan cara atau tindakan
yang bersifat extra-ordinary measures tersebut.398
397
Ibid., hlm. 3 398
Ibid., hlm. 294-295
161
Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa secara substansial, pemberlakuan
keadaan darurat harus memenuhi beberapa unsur yaitu,399
adanya keadaan
pengecualian yang bersifat mengancam keamanan negara atau rakyat; adanya
kesetimpalan atau proporsionalitas antara derajat ancaman yang timbul dengan
bentuk upaya yang dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat tersebut; tidak
adanya bentuk-bentuk perlakuan diskriminatif dalam upaya yang dilakukan atau
prosedur-prosedur yang dilakukan dalam keadaan darurat; kesesuaian antara
semua tindakan pengecualian atau penundaan keberlakuan norma yang dilakukan
dengan kewajiban-kewajiban internasional lain yang harus dipenuhi oleh negara.
Oemar Seno Adji sebagaimana dikutip dalam Ni‟matul Huda
menyebutkan karakter menurut Van Dullemen400
untuk dapat mengklasifikasikan
hukum negara darurat sebagai hukum yang sah, yaitu harus memenuhi beberapa
syarat, pertama, harus menjadi nyata, yaitu bahwa kepentingan negara tertinggi
menjadi taruhan dan tergantung dari tindakan yang bersangkutan, apakah negara
ini langsung hidup atau tidak; kedua, bahwa tindakan tersebut memang betul-betul
diperlukan dan tidak cukup suatu tindakan yang kurang daripada itu; ketiga,
tindakan tersebut bersifat sementara; keempat, pada waktu tindakan diambil, DPR
tidak dapat mengadakan sidang secara nyata dan sungguh. Menurut Van
Dullemen, apabila salah satu syarat dari yang empat di atas tidak dipenuhi dalam
keadaan darurat, dan aturan yang dibuat tidak memenuhi syarat itu adalah tidak
399
Ibid., hlm. 158 400
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum dalam Ni‟matul Huda, Politik...
Op., Cit., hlm. 148
162
sah dan tidak akan diakui keabsahannya, hanyalah yang memenuhi syarat itu yang
dapat diakui dan disahkan selaku hukum tata negara darurat tertulis.401
Baik Herman Sihombing maupun Jimly Asshiddiqie, membagi hukum tata
negara darurat yang diadopsi banyak negara ini ke dalam dua jenis, yaitu hukum
tata negara darurat objektif dan hukum tata negara darurat subjektif. Objektieve
staatsnoodrecht mensyaratkan harus ada terlebih dahulu undang-undang secara
tertulis yang mengatur segala hal baik pernyataan bahaya, akibatnya dalam segala
hal mengenai susunan kekuasaan bahaya itu.402
Secara lebih lengkap, menurut
Herman Sihombing,403
adanya bahaya dan kekuasaan serta aparatur pelaksana
bahaya, akibat-akibatnya, syarat-syaratnya ditentukan lebih dahulu dalam pranata
hukum tata negara darurat tertulis. Adanya bahaya itu sungguh-sungguh ada
dalam arti objektif, atau ancaman bahaya itu menurut pengalaman manusia sehari-
hari pada umumnya ada dan dapat diperkirakan sudah ada dan dekat.
Objektieve staatsnoodrecht ini dipandang sebagai bentuk yang ideal,
karena dapat menjalankan hukum darurat negara secara seimbang dan
proporsional, yaitu upaya yang dilakukan kadarnya sama dengan bahaya yang
mengancam. Hanya saja, kelemahannya yaitu kurang adaptif dengan kebutuhan
dan perkembangan, karena telah terikat dengan aturan tertulis. Dalam perspektif
401
Ibid. 402
Herman Sihombing, Hukum... Op., Cit., hlm. 29 403
Ibid., hlm. 46-47
163
David A. Strauss, hukum yang tertulis memang akan selalu mengalami
ketertinggalan dengan zamannya.404
Adapun hukum tata negara subyektif merupakan hak negara untuk
bertindak dalam keadaan darurat atau bahaya dengan cara menyimpang dari
ketentuan undang-undang yang ada yang berlaku dalam keadaan normal atau
bahkan menyimpang dari undang-undang dasar apabila diperlukan.405
Subjektieve
yaitu tidak mensyaratkan adanya undang-undang secara tertulis terlebih dahulu,
karena diserahkan ke dalam kebijaksanaan pemerintah untuk menyatakan kapan
bahaya terjadi, dalam volume dan tingatan bagaimana, dan upaya apa yang akan
ditempuh untuk mengatasinya.406
Secara lebih detail, hukum tata negara darurat
subjektif menurut Herman Sihombing yaitu,407
kewenangan penguasa negara
untuk menyatakan adanya bahaya meskipun belum/tidak ada aturan tertulis untuk
terlebih dahulu, sehingga memberikan keleluasaan penguasa/pemerintah negara
selaku subyek hukum tata negara darurat. Ada atau tidaknya dengan sungguh-
sungguh bahaya itu, pemerintah (kepala negara) diberikan hak kekuasaan untuk
menyatakan adanya bahaya. Karena keleluasaannya, hukum tata negara subjektif
ini rentan disalahgunakan. Tetapi, untuk membatasi juga sulit, karena
sebagaimana juga diakui oleh Kranenburg,408
cukup kesulitan terhadap
pengukuran tindakan dalam bahaya itu sebab ukurannya tidak jelas.
404
David A. Strauss, The Living Constitution, Oxford University Press, London, 2010,
hlm. 2 405
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 23 406
Herman Sihombing, Hukum... Op., Cit., hlm. 29 407
Ibid., hlm. 46 408
Kranenburg, Grondslagen der Rechtswetenschap dalam Ibid., hlm. 58
164
Selain membagi ke dalam bentuk hukum tata negara darurat subyektif dan
objektif, Jimly Asshiddiqie juga membagi hukum tata negara darurat ke dalam
dua jenis, yaitu de jure dan de facto. Menurutnya,409
hukum tata negara darurat de
jure adalah penggunaan instrumen hukum tata negara darurat ketika negara dalam
keadaan darurat yang didahului dengan proklamasi secara resmi. Sebaliknya,
hukum tata negara darurat de facto adalah tindakan-tindakan darurat yang
dilakukan (dalam bentuk penyimpangan terhadap hukum yang ada) namun tidak
secara resmi diproklamasikan oleh pemerintah bahwa negara sedang berada dalam
keadaan darurat.
Jimly Asshiddiqie dengan merujuk pada pendapat Joan Hartman dan
Fitzpatrick,410
hukum tata negara darurat de facto biasanya muncul dalam salah
satu dari dua hal, yaitu ketika tindakan pengecualian dilakukan tanpa secara
formal memberlakukan keadaan darurat (when exeptional measures are applied
by a government without a state of emergency being formally declared); atau
ketika tindakan pengecualian tetap dilaksanakan meskipun keadaan darurat secara
resmi telah dinyatakan berakhir (when exceptional measures are continued after a
declared state of emergency has been fomally terminated). Menurut Jimly,411
hukum tata negara darurat de facto ini yang seharusnya dihidari oleh setiap negara
hukum, salah satu alasannya yaitu karena menyulitkan sistem pemantauan dunia
terhadap praktik-praktik yang dapat dibenarkan menurut hukum Internasional.412
409
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 30 410
Fitzpatrick, “Human Rights in Crisis” dalam Ibid., hlm. 71 411
Ibid., hlm. 30 412
Ibid., hlm. 71
165
Vinkat Iyer sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, mengemukakan
bahwa terdapat setidaknya 7 (tujuh) bentuk tindakan kekuasaan dalam keadaan
darurat, yaitu:413
pengalihan kekuasaan dari legislatif ke eksekutif, dan/atau
perluasan kekuasaan eksekutif di bidang yang sifatnya legislatif; perluasan
kewenangan mengenai penangkapan dan penahanan dalam rangka penyelidikan
atas tersangka pelaku tindak pidana terorisme atau tindak pidana tertentu yang
bermotif politik lainnya; penggunaan kewenangan penahanan administratif atas
orang yang disangka melakukan perbuatan yang secara luas didefinisikan sebagai
tindakan melawan negara; pembentukan atau penggunaan mekanisme peradilan
khusus dan/atau prosedur beracara yang bersifat khusus untuk menangani perkara
terorisme atau pelaku tindak pidana tertentu lainnya yang bermotif politik;
penggunaan jenis sanksi hukuman yang baru diciptakan yang sifatnya tergolong
sangat keras dan kejam, termasuk pidana mati; pengenaan pembatasan dalam arti
yang luas atas kebebasan sipil warga negara, dan penundaan berlakunya jaminan
konstitusional atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara; pengurangan
yang substansial atas kewenangan peradilan untuk menguji tindakan pemerintah,
termasuk penundaan berlakunya prosedur seperti “habeas corpus” atau “amparo”,
dan pemberian imunitas bagi anggota aparatur penegakan hukum dan penuntutan
atas tindakan yang mereka lakukan dalam keadaan darurat.
Dalam konteks Indonesia, bentuk tindakan kekuasaan untuk mengatasi
keadaan darurat negara ini dengan merujuk pada konsepsi Vinkat Iyer di atas,
adalah pengalihan kekuasaan dari legislatif ke eksekutif, dan/atau perluasan
413
Vinkat Iyer, “States of Emergency: The Indian Experience” dalam Ibid., hlm. 73-74
166
kekuasaan eksekutif di bidang yang sifatnya legislatif. Kekuasaan dimaksud yaitu
kekuasaan legislatif dalam hal membentuk peraturan setingkat undang-undang,
namun proses pembentukannya tidak melibatkan lembaga legislatif, yang dikenal
dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Hal itu yang
tertuang dalam Pasal 12 dan Pasal 22 UUD NRI 1945 sebagai dasar bagi presiden
untuk menetapkan perpu.
Pasal 12 yang menyebutkan klausul “keadaan bahaya” dan Pasal 22 yang
menyebutkan klausul “kegentingan yang memaksa” pada prinsipnya mempunyai
esensi yang sama, yaitu menunjukkan bahwa negara sedang tidak berada pada
keadaan normal. Titik pembedanya adalah derajat ancaman bahaya berikut juga
proses pembentukan hukum daruratnya. Pasal 12 telah memberikan klasifikasi
keadaan bahaya yang ditetapkan dengan undang-undang sehingga ancaman
bahayanya telah terukur dengan jelas, sedangkan Pasal 22 mempunyai derajat
ancaman bahaya yang lebih tinggi dan tidak terduga sehingga penetapan keadaan
darurat oleh Presiden tidak perlu menunggu syarat-syarat dan akibatnya
ditetapkan terlebih dahulu dengan undang-undang, namun secara sepihak dan
tanpa pembahasan dengan DPR dapat menetapkan perpu yang secara hierarkis
memang sejajar dengan undang-undang. Pasal 22 dibentuk untuk mengantisipasi
keadaan darurat yang tidak dapat diprediksi sebelumnya padahal hal itu sangat
mungkin terjadi. Carl Schmitt sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie
mengatakan:414
414
Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty dalam
Ibid., hlm. 85
167
The Precise details of an emergency cannot be anticipated, nor can one
spell out what may take place in such a case, especially when it is truly a
matter of an extreme emergency and of how it is to be eliminated. The
precondition as well as the content of jurisdictional competence in such a
case must would be no jurisdictional competence at all. The most guidance
the constitution can provide is to indicate who can act in such a case.
Praktik selama ini, tidak setiap kali presiden menetapkan perpu berarti
negara berada dalam keadaan bahaya. Keadaan bahaya dapat dianggap sama
dengan hal ikhwal yang membahayakan, atau sebaliknya. Akan tetapi hal ikhwal
keadaan yang memaksa itu tidak selalu membahayakan. Segala sesuatu yang
membahayakan tentu selalu bersifat kegentingan yang memaksa, tetapi segala hal
ikhwal kegentingan yang memaksa tidak selalu membahayakan. Oleh karena itu,
dalam keadaan bahaya menurut Pasal 12, presiden dapat menetapkan perpu kapan
saja diperlukan. Akan tetapi, penetapan perpu oleh presiden tidak selalu harus
berarti ada keadaan bahaya lebih dulu. Artinya, dalam kondisi negara dalam
keadaan nomral sekalipun, selama memenuhi syarat, Presiden dapat menetapkan
suatu Perpu.415
Sebagai instrumen hukum dalam keadaan daruat, kewenangan menetapkan
perpu ini juga merupakan kewenangan yang luar biasa. Melalui kewenangan
menetapkan Perpu, Presiden secara sepihak dapat mencabut suatu undang-undang
yang masih berlaku atau mengatur suatu hal yang seharusnya ditetapkan dengan
undang-undang. Hal ini mengingat bahwa tidak ada jabatan lain yang berwenang
415
Ni‟matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 118
168
menguji apakah betul terdapat gejala darurat atau tidak sehingga penetapan perpu
sangat bergantung pada subyektivitas presiden.416
Dalam sebuah negara yang menganut prinsip demokrasi seperti Indonesia,
kewenangan membentuk peraturan setingkat undang-undang, lazimnya diberikan
kepada lembaga legislatif. Namun untuk mengatasi keadaan darurat, kewenangan
itupun diberikan kepada pemerintah, yang dalam pembentukannya, sama sekali
tidak melibatkan lembaga legislatif. Lembaga legislatif baru berperan ketika perpu
diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan. Proses pembahasannya pun juga
tidak sama dengan undang-undang pada umumnya, karena DPR tidak dapat
menerima perpu dengan perubahan-perubahan terhadap isinya, atau tidak bisa
menolak sebagian saja. Pilihannya, diterima seluruhnya atau ditolak seluruhnya.
Diterimanya perpu itu dengan undang-undang, yang undang-undang ini hanya
sebagai mantel atau baju hukum saja. Menurut Hamid Attamimi, ungkapan Perpu
di dalam UUD 1945 mencerminkan adanya sikap merendah dengan tidak mau
menyebutkan undang-undang oleh karena belum menapatkan persetujuan dari
DPR.417
Sebagai kewenangan yang luar biasa dan menuntut syarat-syarat yang
ketat, dalam literatur Indonesia juga berkembang batasan-batasan penggunaan
perpu, terutama pada konteks Pasal 22 UUD NRI 1945. Meskipun keadaan
darurat bergantung pada subjektifitas presiden, tetapi dalam implementasinya
416
Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 143 417
A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi
Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-IV” dalam Ibid., hlm. 141
169
harus benar-benar dapat terukur supaya tidak menimbulkan kesan adanya
penyelewengan kekuasaan. Keadaan darurat jangan hanya menjadi otoritas diri
seseorang dalam menafsirkannya, tetapi paling tidak harus mendekati senyatanya
dalam keadaan masyarakat.418
Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Ni‟matul Huda,419
klausul “kegentingan yang memaksa” harus menunjukkan dua ciri umum, yaitu
adanya krisis (crisis) dan kemendesakan (emergency). Suatu keadaan krisis
apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak
(a grave and sudden disturbunse), sedangkan kemendesakan (emergency) yaitu
apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan
menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih
dahulu, atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang
wajar apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi
masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan.
Menurut Jimly Asshiddiqie,420
terdapat beberapa syarat materil yang harus
dipenuhi untuk dapat menetapkan perpu, yaitu adanya kebutuhan yang mendesak
untuk bertindak atau reasonable necessity; waktu yang tersedia terbatas (limite
time) atau terapat kegentingan waktu; tidak tersedia alternatif lain atau menurut
penalaran yang wajar, alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi
keadaan, sehingga penetapan perpu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi
keadaan tersebut.
418
Ibid., hlm. 165 419
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan dalam Ibid., hlm. 140-141 420
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 282
170
Ada beberapa hal menurut Herman Sihombing yang penting untuk
diperhatikan sebagai bentuk pembatasan terhadap hukum tata negara darurat,421
yaitu pertama, hukum tata negara darurat tidak boleh melenyapkan atau
bermaksud atau berbuat untuk menghapuskan atau melenyapkan negara yang
bersangkutan. Kedua, hukum tata negara darurat yang dalam implementasinya
adalah memberikan kewenangan yang luas kepada penguasa, semata-mata dalam
rangka menghapuskan keadaan bahaya dan darurat dan mengembalikan keadaan
normal. Karena itu, harus terdapat relevansi antara penggunaan wewenang dengan
penanggulangan keadaan darurat. Ketiga, penetapan ancaman bahaya atau
keadaan darurat hendaknya dilakukan dalam keadaan wajar atau proporsional.
Maksud pada bagian yang terakhir ini yaitu tidak boleh seorang presiden
menyatakan bahaya padahal tidak ada bahaya, atau menyatakan bahaya yang
tingkat tinggi padahal keadaan yang sebenarnya terjadi adalah bahaya tingkat
rendah.
Dalam konteks Islam, hukum darurat negara juga dikenal melalui metode
ijtihad yang pendekatannya berdasarkan asas kemaslahatan sesuai dengan situasi
dan kondisi masyarakat waktu itu. Ijtihad yang dilakukan pada konteks ini tidak
hanya dalam proses membentuk dan menemukan hukum atas suatu hal yang
belum dihukumi dalam al-Qur‟an dan Hadist Nabi, namun juga sebagai proses
pengesampingan atas hukum yang telah ada dan jelas, namun keadaan yang
terjadi berada pada kondisi yang darurat atau bahaya, sehingga dinilai tidak
memungkinkan untuk menerapkan hukum dimaksud. Khalifah Umar bin Khattab
421
Herman Sihombing, Hukum... Op., Cit., hlm. 24
171
pernah memberlakukan penghapusan hukuman potong tangan bagi seorang
pencuri pada musim paceklik.422
Abu Bakar mengambil kebijakan untuk
memerangi umat Islam yang tidak mau membayar zakat, yang ini dilakukan
untuk menjaga agama dan harta terutama dari fitnah yang dapat menyerang
Islam.423
Kendatipun ijtihad diperbolehkan, bahkan dapat dikatakan dianjurkan oleh
Rasulullah SAW. melalui salah satu sabdanya bahwa ”apabila kamu benar, maka
kamu mendapat dua pahala, dan bila salah, mendapat satu pahala”, ijtihad tidak
dapat dilakukan secara sembarangan. Setelah periode sahabat Nabi, ditetapkan
metode-metode khusus dan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam
melakukan ijtihad. Ketentuan yang mengikat kebebasan para mujtahid dan
mempersempit ruang gerak ijtihad itu dilakukan dengan tujuan salah satunya
supaya tidak gegabah terhadap hukum Allah SWT sekaligus sebagai bentuk klaim
ketidakmampuan mereka.424
Bahwa jangan sampai usaha untuk menghilangkan
kemudlaratan, justru berbuah pada kemudlaratan yang lain. Ijtihad yang dilakukan
agar memang benar-benar mempunyai pertimbangan yang jelas dan mendesak
untuk mewujudkan kemaslahatan, atau dalam bahasa lain, hukum Islam akan
statis dan serba sempit ketika ijtihad tidak dilakukan. Ijtihad adalah untuk
menciptakan fleksibilitas dan progresifitas hukum Islam namun tetap dalam
koridor dan batasan-batasan tertentu.
422
Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, Terjemahan Oleh Zainudin Adnan,
Cetakan Pertama, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994, hlm. 4 423
Imam As-Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa, dalam Agus Nurhakim, “Konsep Darurat Dalam
Hukum Ketatanegaraan Islam” artikel dalam Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam,
Volume 8, Nomor 1, Mei 2020, hlm. 240 424
Abdul Wahhab Khallaf, Politik... Op., Cit., hlm. 4
172
Imam Zarkashi memaknai darurat sebagai suatu kondisi mendesak yang
apabila tidak menerjang sesuatu yang diharamkan maka akan menimbulkan
kematian.425
Jalaluddin al Suyuti melihat kedaruratan yaitu sampainya seseorang
pada sebuah batas yang apabila ia tidak mengerjakan sesuatu yang dilarang, maka
ia akan binasa, dan keadaan ini membolehkan seseorang untuk memakan yang
haram.426
Wahbah al Zuhayli memaknai kedaruratan atau darurah sebagai
datangnya bahaya atau kesulitan yang sangat berat kepada manusia yang membuat
dia khawatir akan terjadinya mudlarat atau sesuatu yang menyakitkan jiwa,
anggota tubuh, akal, harta, dan yang bertalian dengannya.427
Dalam keadaan ini
maka berlaku kaidah darurat itu membolehkan sesuatu yang dilarang. Bahwa
benar hukum Islam bertujuan untuk mencapai kemaslahatan, namun yang lebih
utama dari itu adalah menghindari kerusakan.428
Kedaruratan yang mengecualikan hukum tertentu yang berlaku umum dan
dalam keadaan normal menurut Islam juga disebutkan secara jelas di dalam al-
Qur‟an, sumber hukum tertinggi dalam hukum Islam. Surat al-Baqarah ayat 173
dan Surat al-An‟am ayat 119 menyebutkan yang artinya,
Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging
babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain
Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena
425
Al- Zarkashi, Al-Manthur fi Tartib al-Qawa‟id al-Fiqhiyyah, dalam Husnul Khotimah
dan Syarifuddin, “Darurat dan Realisasinya” artikel dalam Jurnal Lisan al-Hal Volume 8, Nomor
2, Desember 2014, hlm. 229 426
Aris, “Efektifitas Fikih Darurah Dalam Menyelesaikan Masalah Hukum
Kontemporer” artikel dalam Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 2, Juli 2011, hlm. 157 427
Wahbah al Zuhayli, Nazariyyah al-Darurah al-Syar‟iyyah: Muqaranah Ma‟a al
Qanun al-Wad‟i, dalam Iin Solikhin, “Konsep Darurah Dalam Hukum Islam” artikel dalam Al
Manahij, Volume 2, Nomor 2, Juli-Desember 2008, hlm. 118 428
Kaidah Ushul Fiqh yang sering digunakan dalam hal konteks ini adalah dar'ul
mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih (menghindari kerusakan harus lebih diutamakan dari
meraih kebaikan)
173
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. (al-Baqarah, 173)
Dan mengapa kamu tidak mau memakan dari apa (daging hewan) yang
(ketika disembelih) disebut nama Allah, padahal Allah telah menjelaskan
kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam
keadaan terpaksa. (al-An‟am, 119)
Batasan-batasan dalam hal apa hukum darurat yang mengesampingkan
hukum umum itu dilakukan, adalah hal yang perlu diperhatikan secara seksama.
Apabila merujuk pada ayat al-Qur‟an yang telah disebutkan di atas, ada klausul
bahwa keterpaksaan itu bukan karena menginginkannya dan tidak melampaui
batas. Dengan demikian, dalam keadaan darurat, seseorang tidak mempunyai
maksud untuk melakukan apa yang telah dilarang, serta melakukannya secara
proporsional sesuai dengan kebutuhan kedaruratan itu.429
Karena itu, dikutip dari
Abdul Aziz Muhammad „Azzam, bahwa apa yang dibolehkan karena keadaan
darurat itu diukur sesuai dengan kadarnya.430
Wahbah al Zuhaili menyebutkan, syarat-syarat yang menjadi batasan
keadaan darurat yaitu bahwa darurat itu ada atau nyata, bukan sesuatu yang
dinanti, spekulatif, dan imajinatif; tidak ada cara lain sesuai syar‟i untuk menolak
bahaya kecuali dengan menggunakan cara yang diharamkan; terpenuhinya „uzur
yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan, yaitu keadaan darurah yang
harus memaksa sekali sehingga betul-betul khawatir akan mengancam jiwa dan
429
Nur Asia Hamzah, “Darurat Membolehkan yang Dilarang” artikel dalam Jurnal
Kajian Islam Kontemporer, Volume 11, Nomor 2, 2020, hlm. 32 430
Agus Nurhakim, “Konsep Darurat Dalam Hukum Ketatanegaraan Islam” artikel dalam
Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam, Volume 8, Nomor 1, Mei 2020, hlm. 239
174
merusak tatanan hidup; keringanan atau pengecualian itu hanya sampai pada batas
kemampuan untuk bertahan, yang artinya tidak dilakukan secara berlebihan.431
D. Teori Politik Hukum
Merumuskan definisi politik hukum dalam sebuah rangkaian yang dapat
memberikan pengertian secara utuh, menurut Moh. Mahfud MD, memang agak
sulit dilakukan. Terlebih ketika merujuk pada terminologi asing, terdapat
kesimpangsiuran apakah politik hukum merupakan terjemahan dari legal policy
atau terjemahan dari politics of law.432
Sebagian ahli hukum menilai bahwa politik
hukum merupakan terjemahan dari legal policy, sebagian yang lain membedakan
antara politik hukum dan legal policy. Dalam literatur Belanda, ada yang
memaknai bahwa politik hukum merupakan terjemahan dari rechtspolitiek seperti
merujuk pada pendapat Bellefroid dan Lemaire, juga ada yang berpendapat bahwa
politik hukum bukan merupakan terjemahan dari rechtspolitiek.433
Karena itu,
sebelum membahas lebih lanjut mengenai teori politik hukum, terlebih dahulu
akan disajikan dalam tulisan ini beberapa pengertian politik hukum yang memang
sudah banyak didefinisikan oleh ahli-ahli hukum terdahulu.
Menurut Mahfud MD, politik hukum berkaitan dengan bagaimana hukum
akan dan seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam politik nasional, serta
bagaimana hukum itu difungsikan.434
Politik hukum merupakan legal policy atau
arah kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan
431
Nur Asia Hamzah, Darurat... Op., Cit., hlm. 33 432
Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama,
Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 29 433
Ibid. 434
Ibid., hlm. 30
175
diberlakukan, baik dengan pembuatan hukum baru atau penggantian hukum lama
dalam rangka mencapai tujuan negara.435
Nomensen Sinamo memaknai politik
hukum sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang
akan, sedang, dan telah berlaku yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang hendak diwujudkan.436
Sedangkan
menurut Padmo Wahjono, politik hukum merupakan kebijakan dasar yang
menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.437
Lebih
lengkap, Padmo Wahjono menjelaskan, politik hukum merupakan kebijakan
penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan
sesuatu, yaitu yang berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan
penegakan hukum itu sendiri.438
Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan
peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu.439
Politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara
yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang
diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.440
Abdul Hakim Garuda
Nusantara memaknai politik hukum secara harfiah, merupakan kebijakan hukum
435
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum... Op., Cit., hlm. 1 436
Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Ketiga, Permata Aksara,
Jakarta, 2014, hlm. 45 437
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum dalam Ibid., hlm. 46 438
Padmo Wahjono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan dalam Ibid. 439
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana dalam Moh. Mahfud MD, Membangun... Op.,
Cit., hlm. 14 440
Soedarto, Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum dalam Abdul Manan,
Perbandingan Politik Hukum Islam dan Barat, Cetakan Kedua, Prenadamedia, Jakarta, 2018, hlm.
9
176
yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu
pemerintahan negara tertentu, meliputi pelaksanaan ketentuan hukum yang telah
ada secara konsisten; pembangunan hukum yang bermakna pembaharuan terhadap
yang telah ada karena telah dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum
baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di
masyarakat; penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum; serta
peningkatan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kebijakan.441
Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum merupakan proses
menentukan suatu pilihan mengenai tujuan maupun cara-cara yang hendak dipakai
untuk mencapai tujuan tersebut.442
Ahli hukum Belanda, Bellefroid, memandang politik hukum sebagai
cabang dari ilmu hukum yang menyelidiki perubahan-perubahan apa saja yang
harus diadakan pada hukum yang ada sekarang, supaya dapat memenuhi syarat-
syarat baru dari kehidupan masyarakat.443
Menurut Utrecht,444
politik hukum
berusaha membuat norma-norma yang akan menentukan bagaimana seharusnya
manusia bertindak. Politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa saja
yang seharusnya dilakukan dalam hukum yang sedang berlaku supaya bersesuaian
dengan keadaan dan kenyataan sosial. Politik hukum berusaha menciptakan suatu
ius constituendum (hukum yang akan datang) itu pada hari kemudian berlaku
sebagai ius constitutum (hukum yang sedang berlaku) yang baru.
441
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional dalam Nomensen Sinamo,
Hukum... Op., Cit., hlm. 49 442
Satjipto Rahardjo, Ilmu... Op., Cit., hlm. 352 443
Bellefroid, Inleiding tot de Rechtswetenschap in Nederlands dalam Abdul Latif dan
Hasbi Ali, Politik Hukum, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 6 444
Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, dalam Abintoro Prakoso, Politik Hukum
Indonesia, Cetakan Kedua, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2019, hlm. 13
177
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik beberapa sasaran pembicaraan
politik hukum, yaitu berkaitan dengan perumusan hukum yang lebih baik,
memberikan arahan dan pedoman bagi pelaksana baik dalam bentuk pembuat
hukum (legislator), penegak hukum berupa pengadilan, serta pelaksana putusan
pengadilan, dengan berorientasikan pada tercapainya tujuan dan cita-cita bangsa.
Dilihat dari aspek studi politik hukum, pengkajian terhadap hukum tidak
hanya terbatas pada apa yang tertulis dalam teks suatu undang-undang yang
berlaku (hukum positif), namun lebih daripada itu yaitu juga menganalisis faktor,
variabel, dan aspek-aspek lain yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bunyi
teks dalam hukum positif yang ada. William Zevenbergen menyebutkan bahwa
politik hukum hendak menjawab pertanyaan mengenai peraturan-peraturan hukum
mana yang patut untuk dijadikan hukum.445
Adapun menurut Moh. Mahfud
MD,446
cakupan studi mengenai politik terbagi ke dalam 3 (tiga) kelompok.
Pertama, arah resmi tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak
diberlakukan dalam rangka mencapai tujuan negara yang mencakup penggantian
hukum lama dan pembentukan hukum yang baru sama sekali. Kedua, latar
belakang politik dan subsistem kemasyarakatan lainnya di balik lahirnya hukum,
termasuk arah resmi tentang hukum yang akan atau tidak akan diberlakukan.
Ketiga, persoalan-persoalan di sekitar penegakan hukum, terutama implementasi
atas politik hukum yang telah digariskan.
445
Williem Zevenbergen, Formele Encyclopaedie der Rechtswetenschap dalam Abdul
Latif dan Hasbi Ali, Politik... Op., Cit., hlm. 10 446
Moh. Mahfud MD, Politik... Op., Cit., hlm. 4
178
Menurut Satjipto Rahardjo,447
studi tentang politik hukum bermuara
sekurang-kurangnya pada 4 (empat) pertanyaan, yaitu pertama, tujuan apakah
yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada? Tujuan dalam hal ini dapat
berupa satu tujuan besar yang tunggal, bisa juga yang telah dipecah-pecah ke
dalam tujuan yang bersifat spesifik berdasarkan bidangnya seperti ekonomi,
sosial, dan sebagainya. Kedua, cara apa dan yang manakah yang paling baik
dipakai untuk mencapai tujuan tersebut? Pertanyaan kedua ini memberikan
alternatif pilihan misalnya berkaitan dengan hukum yang tertulis atau tidak
tertulis, sistem yang bersifat sentralisasi atau desentralisasi, dan sebagainya.
Ketiga, kapan waktunya hukum itu perlu diubah, dan melalui cara yang
bagaimana perubahan itu dilakukan? Keempat, dapatkah dirumuskan suatu pola
yang mapan yang bisa memutuskan kita dalam proses pemilihan tujuan serta cara-
cara untuk mencapai tujuan tersebut?
Wilayah kerja dan kegiatan politik hukum meliputi pertama, proses
penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh
penyelenggara negara yang berwenang meneruskan politik hukum; kedua, proses
pendekatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi yang tersebut dalam poin
pertama ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh
penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan hukum;
ketiga, fakta-fakta yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum, baik
447
Satjipto Rahardjo, Ilmu... Op., Cit., hlm. 352-353
179
yang akan datang maupun yang sudah ditetapkan; keempat, pelaksanaan dari
peraturan yang merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara.448
Hukum dalam perkembangannya tidak lagi dipandang sebagai suatu hal
yang otonom dan independent, namun senantiasa berada dalam kaitan
interdependence dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan masyarakat. Bahwa
hukum harus senantiasa melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap tujuan-
tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakatnya.449
Pendapat Donald H. Gjerdingen
yang juga sejalan dengan Satjipto Rahardjo menyebutkan, pendapat ahli-ahli
hukum konvensional yang menilai bahwa hukum otonom dari entitas lain yang
bukan hukum sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman karena sudah tidak
sesuai lagi dengan realitas sesungguhnya.450
Pada prakteknya, hukum selalu
mempunyai interaksi dengan entitas lain. Maka kemunculan disiplin politik
hukum adalah untuk mencari jalan atas kebuntuan metodologis dalam memahami
kompleksitas hubungan antara hukum dan entitas lain, terutama politik.451
Secara ilmiah, raison d‟entre munculnya disiplin politik hukum adalah
ekspresi ketidapuasan para ahli hukum terhadap model pembentukan,
pengembangan, dan pelaksanaan hukum yang ada.452
Dalam bahasa yang lebih
dramatis, ketidakpuasan ini mungkin yang disebut oleh Moh. Mahfud MD sebagai
frustasi dan kecewa yang berkepanjangan, karena sebagaimana mengutip kalimat
Von Kirchmann, bahwa bergudang-gudang buku tentang undang-undang yang ada
448
Abdul Manan, Perbandingan... Op., Cit., hlm. 10 449
Satjipto Rahardjo, Ilmu... Op., Cit., hlm. 352 450
Donald H. Gjerdingen, The Future of Legal Scholarship and the Search for a Modern
Theory of Law, dalam Abintoro Prakoso, Politik... Op., Cit., hlm. 3 451
Ibid., hlm. 4 452
Abdul Manan, Perbandingan... Op., Cit., hlm. 8
180
di perpustakaan bisa dibuang sebagai sampah yang tak bernilai ketika ada
keputusan politik di parlemen yang mengubah isi undang-undang tersebut.453
Politik hukum menghendaki arah pembangunan hukum yang berpijak pada
sistem hukum nasional untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara.454
Abdul
Hakim Garuda Nusantara menyebut,455
hukum bagaimanapun seyogiayanya harus
senantiasa mengacu pada cita-cita masyarakat bangsa yaitu tegaknya negara
hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial. Hukum harus dibangun untuk
tujuan mengakhiri tatanan sosial yang tidak adil dan menindas hak asasi manusia.
Pada konteks Indonesia, politik hukum Indonesia sesungguhnya harus
berorientasi pada cita-cita negara hukum yang mendasarkan pada prinsip
demokrasi dan berkeadilan sosial dalam suatu masyarakat bangsa yang bersatu
sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD NRI 1945. Dalam diskursus politik
hukum, posisi hukum ditempatkan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara di
bawah bingkai supremasi hukum. Pada konteks ini, hukum berperan tidak sebagai
alat rekayasa politik (political engineering) sebagaimana yang dikenal dalam
strategi pembangunan hukum yang ortodoks yang difungsikan sebagai instrumen
untuk mendukung kemauan eksekutif atau pemerintah yang sedang berkuasa,
melainkan sebagai sentral pengarah dan pedoman dalam upaya pencapaian tujuan
negara melalui politik hukum nasional.456
453
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
Cetakan Pertama, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 46 454
Moh. Mahfud MD, Membangun... Op., Cit., hlm. 16 455
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Cetakan Pertama, Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 20 456
Moh. Mahfud MD, Perdebatan... Op., Cit., hlm. 48
181
Telah disinggung sebelumnya, bahwa politik hukum pada prinsipnya
adalah untuk mengetahui interaksi dan relasi antara hukum dan politik. Barang
kali, hal ini relevan dengan tinjauan politik hukum oleh Mahfud MD yang
penelitiannya memang berfokus pada cakupan studi politik hukum yang kedua
sebagaimana disebutkan di atas, yaitu latar belakang politik di balik lahirnya suatu
produk hukum, dengan asumsi dasar bahwa hukum merupakan produk politik.457
Bahwa politik hukum juga dapat dilihat dari sudut lain, yaitu sebagai kristalisasi
dari kehendak politik yang saling bersaingan dalam pemberlakuan hukum
sehingga latar belakang politik tertentu dapat melahirkan karakter hukum
tertentu.458
Dalam bahasa lain, politik hukum merupakan jawaban atas pertanyaan
tentang mau diapakan hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna
mencapai tujuan negara.459
Hubungan kausalitas antara politik dan hukum memang setidaknya ada 3
(tiga) macam. Pertama, hukum determinan atas politik dengan makna bahwa
kegiatan-kegiatan politik itu diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan
hukum. Kedua, politik determinan atas hukum dalam arti bahwa hukum
merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi
dan bersaingan. Ketiga, hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan
berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang, sehingga kendatipun
hukum merupakan produk keputusan politik, namun begitu hukum berlaku maka
457
Moh. Mahfud MD, Politik... Op., Cit., hlm. 4 458
Moh. Mahfud MD, Membangun... Op., Cit., hlm. 15 459
Ibid., hlm. 16
182
semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan hukum.460
Kecenderungan politik
hukum hendak melihat bahwa hukum merupakan hasil dari suatu proses politik.
Hal ini karena sub-sistem politik dianggap lebih powerful dan memiliki
konsentrasi energi yang lebih besar dibandingkan dengan sistem hukum.
Akibatnya, hukum ketika diperhadapkan dengan politik, maka ia akan berada
pada kedudukan yang lebih lemah. Sub-sistem politik mempunyai tingkat
determinasi yang lebih tinggi daripada sub-sistem hukum, karena hukum
merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak politik yang saling berinteraksi
dan saling bersaingan.461
Mahfud MD dalam hal ini mengutip pendapat K.C.
Wheare, bahwa konstitusi (dalam makna luas mencakup semua peraturan
perundang-undangan) merupakan resultante atau produk kesepakatan politik
sesuai dengan situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada saat dibuat.462
Pandangan bahwa hukum merupakan produk politik ini memberikan
kesimpulan dalam penelitian Mahfud MD tersebut berupa konfigurasi politik yang
demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif, sedangkan
konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang konservatif.463
Parameter yang digunakan untuk menentukan sebuah sistem politik yang
demokratis tersebut ada 3 (tiga) hal, yaitu partai politik dan parlemen kuat, dan
menentukan arah, kebijakan negara, dan program politik nasional sehingga
parlemen dapat benar-benar dipandang sebagai representasi dari rakyat yang
diwakilinya; lembaga eksekutif netral dan melaksanakan keputusan-keputusan
460
Moh. Mahfud MD, Politik... Op., Cit., hlm. 16 461
Ibid., hlm. 20 462
Ibid., hlm. 6 463
Ibid., hlm. 7
183
lembaga perwakilan rakyat dengan menghormatinya sebagai representasi rakyat;
dan lembaga pers yang bebas tanpa sensor dan pembredelan.464
Konfigurasi
politik demokratis yang melahirkan produk hukum responsif ini dicirikan dengan
3 (tiga) hal, yaitu pembuatan hukum dimaksud dilakukan secara partisipatif,
dalam arti menyerap partisipasi kelompok sosial maupun individu-individu di
masyarakat; materi muatannya aspiratif dalam artian menyerap aspirasi rakyat
secara besar-besaran sehingga mengkristalisasikan kehendak-kehendak rakyat
yang saling bersaingan; serta rincian isinya yang bersifat limitatif sehingga
memberikan batasan-batasan bagi pemerintah untuk melakukan penafsiran yang
terlalu didominasi oleh kepentingan politiknya.465
Karakter produk hukum yang
responsif ini dijelaskan oleh Mahfud MD sebagai produk hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.466
Adapun
konfigurasi politik yang otoriter, bercirikan sebaliknya, yaitu partai politik dan
parlemen yang lemah dan di bawah kendali eksekutif; lembaga eksekutif yang
intervensionis; serta pers yang terpasung, diancam sensor dan pemberedelan.467
Karakter produk hukum yang dihasilkan adalah konservatif yang dilihat dengan
indikator pembuatan yang sentralistik-dominatif; muatannya positivis-
instrumentalistik; dan rincian isinya yang open interpretative.468
Produk hukum
konservatif adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elite
464
Ibid., hlm. 12 465
Ibid. 466
Ibid., hlm. 31 467
Ibid., hlm. 7 468
Ibid.
184
politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, dan menjadi alat pelaksana
ideologi dan program negara.469
Kajian spesifik mengenai politik hukum nasional, maka dengan dapat
diketahui bawa arah kebijakan harus berpijak pada cita-cita bangsa, tujuan negara,
cita hukum, dan kaidah penuntun hukum yang dikerjakan di dalam sistem hukum
nasional yang dari aspek materi melahirkan Program Legislasi Nasional.470
Artinya, pembukaan dan pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 merupakan sumber
dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia.471
Pembahasan politik hukum
untuk mencapai tujuan negara dengan suatu sistem hukum nasional, menurut
Moh. Mahfud MD,472
sekurang-kurangnya yaitu tujuan negara atau masyarakat
Indonesia yang diidamkan sebagai orientasi politik hukum, termasuk penggalian
nilai-nilai dasar tujuan negara sebagai pemandu politik hukum; sistem hukum
nasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya; perencanaan dan kerangka pikir dalam perumusan kebijakan
hukum; isi hukum nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; dan
pemagaran hukum dengan prolegnas dan judicial review, legislative review, dan
sebagainya.
Penjabaran hukum dalam politik hukum, setiap negara harus berpijak pada
sistem hukum yang dianutnya, yang pada konteks Indonesia yaitu sistem hukum
469
Ibid., hlm. 32 470
Moh. Mahfud MD, Membangun... Op., Cit., hlm. 7 471
Moh. Mahfud MD menjelaskan, selain memuat tujuan, dasar, cita hukum, dan norma
dasar negara Indonesia yang harus menjadi tujuan dan pijakan politik hukum, Pembukaan dan
pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 juga mengandung nilai-nilai khas yang bersumber dari
pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang diwariskan oleh nenek moyang sejak berabad-abad
yang lalu. Lihat dalam Ibid., hlm. 23 472
Ibid., hlm. 16
185
Pancasila. Bahwa sistem hukum Pancasila ini telah memasang rambu-rambu dan
melahirkan kaidah penuntun dalam politik hukum nasional. Kaidah-kaidah
tersebut yang kemudian harus dipedomani dalam pembangunan hukum dan
penyelenggaraan negara.473
Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan selain
mendasarkan pada Pancasila tersebut, juga harus berfungsi dan berpijak pada
prinsip cita hukum (rechtsidee) yaitu melindungi semua unsur bangsa demi
keutuhan (integrasi), sehingga apabila ada hukum yang justru menjadi ancaman
terhadap integrasi bangsa, maka harus dianggap bertentangan dengan tujuan
negara dan cita hukum; mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan
kemasyarakatan; mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum
(nomokrasi), yaitu mencerminkan kepentingan rakyat yang diseleksi dan
ditetapkan bersama seara jujur, adil, dan bebas, serta pelaksanaan seluruh aspek
kehidupan bernegara harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum;
menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup
beragama.474
Hukum sebagai alat yang merupakan bentuk dari upaya menjadikan
hukum sebagai proses pencapaian cita-cita dan tujuan, sehingga pada konteks
politik hukum nasional, menurut Mahfud MD475
harus berpijak pada beberapa
kerangka dasar, yaitu selalu mengarah pada cita-cita bangsa yakni masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila; politik hukum nasional harus
ditujukan untuk mencapai tujuan negara sebagaimana tercantum dalam
473
Moh. Mahfud MD, Perdebatan... Op.,Cit., hlm. 49 474
Bernard L. Tanya, “Judicial Review dan Arah Politik Hukum, Sebuah Perspektif”
dalam Moh. Mahfud MD, Membangun... Op.,Cit., hlm. 18 475
Ibid., hlm. 31
186
pembukaan UUD NRI 1945; politik hukum nasional harus dipandu oleh nilai-nilai
Pancasila sebagai dasar negara yaitu berbasis moral agama, menghargai dan
melindungi hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi, mempersatukan seluruh
unsur bangsa dengan semua ikatan primordialnya, meletakkan kekuasaan di
bawah kekuasaan rakyat, dan membangun keadilan sosial; dan untuk meraih cita
dan mencapai tujuan dengan landasan dan panduan tersebut maka sistem hukum
nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila.476
476
Sistem hukum Pancasila ini dimaknai oleh Mahfud MD sebagai sistem hukum yang
memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan
hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya. Sistem hukum yang demikian itu,
menurut Mahfud MD, minimal mempertemukan beberapa unsur-unsur baik dari tiga sistem nilai
dan meletakkannya dalam hubungan keseimbangan, yaitu keseimbangan antara individualisme dan
kolektivisme; keseimbangan antara rechsstaat dan the rule of law; keseimbangan antara hukum
sebagai alat untuk memajukan dan hukum sebagai cerminan nilai yang hidup di masyarakat; dan
keseimbangan antara negara agama dan negara sekuler atau religiuous nation state. Lihat Ibid.,
hlm. 32
187
BAB III
PEMAKNAAN KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-
UNDANG OLEH PRESIDEN PASCA REFORMASI
Dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk
menetapkan perpu dapat dilihat dalam Pasal 22 UUD NRI 1945. Ayat (1) dengan
jelas menyebutkan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Klausul pasal ini adalah asli dan autentik rumusan Panitia Perancang Undang-
Undang Dasar yang diketuai oleh Soekarno, dan dibentuk oleh Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Selama UUD 1945 berlaku, pasal
tersebut tidak pernah mengalami perubahan. Hanya pernah tidak berlaku ketika
UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia digantikan secara keseluruhan dengan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 (Konstitusi RIS 1949) dan
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950). Kembalinya UUD
1945 sebagai konstitusi Indonesia setelah UUDS 1950 melalui Dekrit Presiden
Soekarno 5 Juli 1959, juga mengembalikan keberlakuan Pasal 22 mengenai dasar
kewenangan presiden untuk menetapkan perpu.
Semua presiden yang pernah menjabat di Indonesia, dengan demikian,
pernah mempunyai kewenangan menetapkan perpu berdasarkan klausul Pasal 22
UUD NRI 1945 tersebut. Faktanya, semua presiden pernah menggunakan
kewenangan menetapkan perpu. Bahkan pejabat presiden juga pernah
menggunakan instrumen ini. Hasil penelitian Daniel Yusmic Pancastaki F.
188
menunjukkan,477
Soekarno menetapkan perpu sebanyak 143 buah, Assaat yang
kala itu menjadi pejabat presiden, juga menetapkan perpu sebanyak 6 buah,
demikian pula pejabat presiden Djuanda yang menetapkan perpu hingga 24 buah.
Penggunaan instrumen hukum berupa perpu yang terbilang sedikit yaitu Soeharto,
yang dengan masa jabatan presiden hingga 32 tahun, hanya menetapkan perpu 8
buah. Demikian pula dengan presiden yang menjabat pasca reformasi, juga tidak
pernah melewatkan penggunaan instrumen perpu ini sepanjang masa jabatannya.
Fakta ini kemudian memunculkan kesimpulan bagi Daniel Yusmic,478
bahwa
sejak awal kemerdekaan hingga reformasi ini, penggunaan Pasal 22 UUD NRI
1945 tidak ditempatkan sebagai bagian dari hukum tata negara darurat.
Kesimpulan Daniel Yusmic di atas, apabila dilihat dari aspek filosofis-
historis, tampak mempunyai kemiripan dengan pendapat (protes) Bruce Barton,
Anggota Kongres Amerika Serikat.
Any national administration is entitled to one or two emergencies in a
term of six years. But an emergency every six weeks means plain bad
management. Indeed, the excessive recourse to states of emergency in
peacetime, betokens the weakness, or at least inefficiency of a political
system rather than its strength.479
Setiap pemerintahan nasional berhak atas satu atau dua keadaan darurat
dalam jangka waktu 6 (enam) tahun. Namun keadaan darurat yang digunakan
setiap 6 (enam) minggu menunjukkan suatu manajemen yang buruk. Sebenarnya
penggunaan instrumen hukum darurat secara berlebihan pada masa damai,
477
Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, “Rekonstruksi Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Dalam Hukum Tata Negara Darurat”, Makalah disampaikan dalam Kuliah
Umum Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta, 19 September 2020. 478
Ibid. 479
Alexander M. Domrin, The Limits... Op., Cit., hlm. 2
189
menunjukkan kelemahan, atau sekurang-kurangnya inefisiensi sistem politik
daripada kekuatannya. Kritik Bruce Barton ini disampaikan sebagai bentuk respon
terhadap tindakan Presiden Franklin D. Roosevelt yang mendeklarasikan hingga
39 (tiga puluh sembilan) keadaan darurat dalam jangka waktu 6 (enam) tahun,
sebelum terjadi perang.480
Penetapan perpu oleh masing-masing presiden sejak awal kemerdekaan
Indonesia hingga pasca reformasi dengan ragam perspektif tersebut karena
memang secara normatif yuridis, Pasal 22 memberikan subyektifitas yang tinggi
dengan tidak adanya batasan. Sedangkan pada saat yang bersamaan, harus diakui
bahwa peranan manusianya lebih besar dan menonjol dalam kehidupan
ketatanegaraan Indonesia daripada peranan dari hukum tata negaranya.
Konsekuensinya, meskipun dengan hukum yang sama, penafsirannya dan
implikasinya akan berbeda.
Hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai syarat untuk dapat
menetapkan perpu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UUD NRI 1945, pada
praktiknya tidak selalu dimaknai sebagai adanya ancaman dan bahaya yang
langsung berkenaan dengan negara dan rakyat. Pernah ada perpu ditetapkan untuk
menangguhkan keberlakuan suatu undang-undang karena menjelang
dilaksanakan, undang-undang tersebut belum siap. Misalnya Perpu Nomor 1
Tahun 1984 tentang Penangguhan Berlakunya Undang-Undang tentang Pajak
480
Ibid.
190
Pertambahan Nilai 1984 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.481
Prakteknya, perpu dikeluarkan juga karena adanya krisis di bidang
ekonomi, adanya kekosongan undang-undang yang mendesak untuk diadakan,
atau penangguhan penerapan suatu undang-undang yang akan secara sungguh-
sungguh mengganggu atau menimbulkan keguncangan atas ketertiban umum, atau
melukai rasa keadilan apabila undang-undang dimaksud diterapkan.482
Bila penggunaan perpu pada masa Soeharto relatif sedikit, pasca
reformasi, penetapan perpu dapat dikatakan kembali menjamur. Habibie yang
mempunyai masa jabatan cukup singkat, yaitu 512 hari atau kurang lebih 17 bulan
antara 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999, telah menetapkan 3 (tiga) buah
perpu. Abdurrahman Wahid menjadi presiden dengan waktu sedikit lebih lama
daripada B.J. Habibie (20 Oktober 1999 sampai dengan 23 Juli 2001), juga telah
menetapkan 3 (tiga) buah perpu. Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001 sampai
dengan 20 Oktober 2004) telah menetapkan sebanyak 4 (empat) buah perpu.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 (sepuluh) tahun menjadi
presiden sejak tahun 2004 hingga 2014, telah menetapkan 19 (sembilan belas)
buah perpu. Hingga penelitian ini ditulis, Presiden Joko Widodo yang telah
menjabat selama 7 (tujuh) tahun, telah menetapkan sebanyak 6 (enam) buah
perpu. Secara lebih detail, seluruh perpu yang ditetapkan pasca reformasi akan
dituangkan ke dalam tabel sebagai berikut:
481
Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 150 482
Ibid., hlm. 151
191
Judul Perpu Bidang
Pengaturan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang di Bawah Pemerintahan
Presiden B.J. Habibie
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Hukum
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum
Politik
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1998 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
Politik
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang di Bawah Pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas
Ekonomi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Sabang
Ekonomi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
Ekonomi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang di Bawah Pemerintahan
Presiden Megawati Soekarnoputri
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Politik
192
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Pada Peristiwa
Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002
Politik
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan
Ekonomi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
Hukum
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang di Bawah Pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 20004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial
Hukum
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara
Politik
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Politik
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2006 tentang Peruahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwailan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Politik
193
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2006 tentang Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan
Fungsi Pengadilan Perikanan Sebagaimana Dimaksud Dalam
Pasal 71 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan
Hukum
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang
Ekonomi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum Daam
Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah
dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara
Hukum
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinssi Papua
Politik
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Ekonomi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Ekonomi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan Ekonomi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
Ekonomi
194
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
Politik
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Hukum
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1992 tentang Keimigrasian
Hukum
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Hukum
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Hukum
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Politik
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Politik
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang di Bawah Pemerintahan
Presiden Joko Widodo
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Hukum
195
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Hukum
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan
Ekonomi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
Politik
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi
Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional
dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
Ekonomi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentag
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang
Politik
Terhadap pembentukan dan materi muatan beberapa perpu pasca
reformasi, akan di analisis lebih lanjut terhadap sebagian perpu yang disebutkan di
atas, dengan mengambil sampel beberapa perpu pada masing-masing periode
kepemimpinan presiden pasca reformasi.
196
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1998 tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
(Perpu Nomor 2 Tahun 1998) ditetapkan sebagai bentuk respon Preisden
B.J. Habibie atas maraknya gelombang demonstrasi di berbagai tempat
yang dinilai tidak terkendali karena diikuti dengan perbuatan-perbuatan
yang sifatnya melawan hukum seperti tindakan pengrusakan, pembakaran
dan penjarahan sehingga menimbulkan perasaan tidak aman pada
masyarakat dan mengancam persatuan dan kesatuan.483
Keadaan tersebut
dianggap mempunyai implikasi yang cukup meluas antara lain
menurunnya kepercayaan luar negeri terhadap pemerintah Indonesia yang
berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi dan menghambat
pembangunan nasional, sedangkan agenda reformasi pembangunan sangat
padat dan harus diselesaikan dalam tempo yang singkat sehingga harus
segera diciptakan suasana kondusif berupa ketertiban, ketenteraman, dan
483
Lihat dalam Konsideran huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
197
keamanan dengan tetap menjunjung prinsip demokrasi.484
Upaya
penyelesaian secara cepat itu dituangkan ke dalam bentuk Perpu Nomor 2
Tahun 1998 ini.
Secara substansial, materi muatan Perpu Nomor 2 Tahun 1998 ini
terbilang cukup umum untuk mengatur perihal menyampaikan pendapat di
muka umum. Materi pengaturan hanya sebatas mengenai hak dan
kewajiban warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum;
bentuk-bentuk penyampaian pendapat; larangan tempat, waktu dan barang
berbahaya dalam menyampaikan pendapat; serta proses administrasi
berupa pemberitahuan, persetujuan, pembatalan, dan pembubaran
penyampaian pendapat oleh kepolisian. Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun
1998 ini alih-alih memberikan pedoman bagi penyampaian pendapat
dalam iklim demokrasi, ternyata justru menimbulkan respon penolakan
yang lebih meluas, sehingga Presiden Habibie menetapkan Perpu Nomor 3
Tahun 1998 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1998.
Memang harus diakui bahwa masa pemerintahan Presiden B.J.
Habibie berada pada masa-masa krisis karena merupakan titik awal
reformasi dan transisi menuju demokrasi. Euforia menyambut demokrasi
yang diekspresikan dengan demonstrasi namun tidak jarang justru
melampaui batas-batas ketertiban dan ketenteraman masyarakat juga tidak
484
Penjelasan Umum Atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
198
bisa dipungkiri. Hanya saja, merespon fakta tersebut dengan
mengkualifikasikan sebagai kegentingan yang memaksa sehingga harus
mengeluarkan produk hukum berupa perpu, menurut penulis adalah bukan
merupakan pilihan yang tepat. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan,
pertama, di dalam pertimbangan perpu disebutkan bahwa demonstrasi
yang marak terjadi diikuti dengan “tindakan-tindakan yang sifatnya
melawan hukum”. Secara implisit, ini menunjukkan bahwa sebenarnya
telah ada perangkat hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang
mengakibatkan terganggungnya ketenteraman dan ketertiban masyarakat,
hanya saja, pada tataran implementasi, perangkat hukum tersebut
barangkali tidak berfungsi secara efisien. Dengan demikian, maka
sebenarnya titik permasalahan utamanya bukan terletak pada kekosongan
hukum, akan tetapi pada aspek pelaksana hukum (struktur hukum),
sehingga menciptakan peraturan yang baru tentu bukan merupakan
langkah yang solutif.
Fakta secara yuridis menunjukkan bahwa tindakan yang disebut
melawan hukum dengan mencontohkan penjarahan, pengrusakan, dan
sejenisnya tersebut juga telah diatur secara lengkap melalui Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana. Penegak hukum untuk melaksanakan ketentuan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu juga telah disediakan
secara lengkap. Dengan demikian, presiden telah mempunyai perangkat
hukum yang lengkap baik dari aspek struktur dalam arti pelaksana hukum,
maupun dari aspek substansi hukum dalam arti dasar peraturannya untuk
199
mengatasi permasalahan penyampaian pendapat di muka umum. Sebagai
perbandingan, keadaan darurat di Inggris yang diistilahkan dengan martial
law, menetukan bahwa keadaan darurat negara tidak perlu diberlakukan
untuk menghadapi unjuk rasa dan pemogokan, karena untuk menghadapi
keadaan tersebut, pemerintah mempunyai banyak alternatif solusi, seperti
pemberian hak dan kesemppatan oleh pemerintah kepada warga negara
untuk menyampaikan aspirasinya melalui cara-cara yang tidak melanggar
hukum.485
Kedua, secara substansial, Perpu Nomor 2 Tahun 1998 juga tidak
memberikan implikasi yang “sontak segera” karena memang materi
muatannya yang sangat umum sebagaimana diuraikan sebelumnya, serta
tidak tergambar kemendesakan apa yang hendak diselesaikan dengan
perpu ini. Substansi pengaturan yang secara spesifik hendak mengatur dan
mengatasi permasalahan yang ada, tidak terlihat di dalam materi muatan
perpu dimaksud.
Akhirnya, tidak adanya unsur kegentingan yang memaksa sehingga
presiden harus menetapkan perpu ini ditegaskan oleh pilihan presiden
untuk mencabut Perpu Nomor 2 Tahun 1998 dengan menerbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1998
tentang Pecabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
485
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 146
200
Muka Umum (Perpu Nomor 3 Tahun 1998).486
Penetapan Perpu Nomor 3
Tahun 1998 juga merupakan upaya cepat yang ditempuh oleh presiden
untuk mencabut keberlakuan Perpu Nomor 2 Tahun 1998. Perpu tersebut
pencabutan ini ditetapkan atas dasar penolakan dari masyarakat terhadap
Perpu Nomor 2 Tahun 1998 yang dianggap justru memberangus semangat
demokratisasi pasca reformasi.
Penetapan Perpu Nomor 3 Tahun 1998 ini tentu pada akhirnya juga
mengandung persoalan hukum. Bagaimanapun, Perpu Nomor 3 Tahun
1998 bukan dibentuk atas dasar adanya kegentingan yang memaksa,
sebaliknya, dibentuk untuk mencabut perpu yang justru tidak ada hal
ikhwal kegentingan yang memaksa. Hal tersebut tentu tidak sejalan
dengan amanat Pasal 22 UUD NRI 1945 yang mensyaratkan hal ikhwal
kegentingan yang memaksa sebagai dasar pembentukan perpu. Terkait hal
ini, menjadi relevan konsepsi yang diuraikan oleh Bagir Manan,487
bahwa
perpu seharusnya tidak dicabut dengan perpu serupa dengan alasan,
pertama, perpu yang mencabut harus memenuhi syarat hal ikhwal
kegentingan yang memaksa, sedangkan perpu yang ada perlu dicabut
karena tidak ada lagi hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Kedua, perpu
yang dibuat harus diajukan ke DPR, yaitu perpu tentang pencabutan perpu,
sehingga hal ini menjadi tidak praktis.
486
Perpu Nomor 2 Tahun 1998 belum sempat dibahas oleh DPR untuk ditolak atau
disetujui menjadi undang-undang karena Presiden B.J. Habibie terlebih dahulu telah mencabut
melalui Perpu Nomor 3 Tahun 1998. Lihat dalam Nurlaili Rahmawati dan Sigit Nurhadi Nugraha,
Parameter Kegentingan yang Memaksa Dalam Penerbitan Perpu: dalam Tinjauan Fiqh Siyasah,
Cetakan Pertama, Lindan Bestari, Bogor, 2021, hlm. 67 487
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan dalam Ni‟matul Huda, Politik Ketatanegaraan...
Op., Cit., hlm. 142
201
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Secara normatif yuridis, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
(Perpu Nomor 1 Tahun 1999) dibentuk atas dasar 3 (tiga) pertimbangan,
yaitu pertama, adanya dugaan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia
yang berat di berbagai daerah di Indonesia dalam bentuk pembunuhan
massal, pembunuhan sewenang-wenang dan tidak berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, penyiksaan,
penghilangan secara paksa, dan diskriminasi yang dilakukan secara
sistematis, sehingga mengakibatkan perasaan tidak aman bagi masyarakat;
kedua, kondisi sebagaimana diuraikan pada bagian pertama tersebut telah
mempunyai akibat dan dampak yang cukup luas baik secara nasional
maupun internasional berupa menurunnya kepercayaan terhadap
Pemerintah Republik Indonesia; ketiga, tuntutan reformasi untuk
menciptakan suasana yang kondusif berupa ketertiban, ketenteraman, dan
keamanan dalam penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan prinsip hak
asasi manusia.488
Secara sosiologis, perpu ini hendak mempercepat pembentukan
pengadilan hak asasi manusia. Percepatan tersebut dilakukan karena
adanya desakan dari Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan
488
Lihat dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
202
Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyoroti dugaan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat pada proses jajak pendapat di Timor-Timur pada tahun
1999. Perhatian PBB dilihat dari dibentuknya International Commission of
Inquiry on East Timor (ICIET) untuk melakukan penyelidikan dan
mengumpulkan informasi yang sistematis atas dugaan pelanggaran hak
asasi manusia tersebut.489
Salah satu rekomendasi dari ICIET berdasarkan
hasil temuannya yaitu agar PBB segera membentuk pengadilan hak asasi
manusia bagi para pelaku pelanggar hak asasi manusia yang terjadi sejak
Januari 1999.490
Presiden kemudian menetapkan perpu untuk merespon
perhatian PBB sekaligus dalam rangka menunjukkan keseriusan
penanganan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia kepada dunia
Internasional.491
Secara substansial, Perpu Nomor 1 Tahun 1999 ini mengatur
mengenai perihal pembentukan pengadilan hak asasi manusia untuk
pertama kali yang dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan
daerah hukum meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.492
Kejahatan yang disasar oleh perpu ini adalah pelanggaran
489
Ikaningtyas, “Hybrid Tribunal Sebagai Upaya Penanganan Kasus Kejahatan
Kemanusiaan Berat di Timor Timur Pada Tahun 1999” artikel dalam Jurnal Risalah Hukum, Vol.
8, Nomor 1, Juni 2012, hlm. 14 490
Rudi M. Rizki, “Beberapa Catatan tentang Pengadilan Pidana Internasional Ad Hoc
Untuk Yugoslavia dan Rwanda Serta Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara Dalam
Pelanggaran Berat HAM” artikel dalam Jurnal Hukum Humaniter, Vol. 1, Nomor 2, 2019, hlm.
277 491
Zainal Abidin, “Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia: Regulasi, Penerapan dan
Perkembangannya” Makalah disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara ke XIV, Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat, Oktober 2010, Jakarta, hlm. 1 492
Lihat dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
203
terhadap hak asasi manusia yang terjadi setelah perpu ini ditetapkan,
sedangkan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum
berlakunya perpu ini tetap diberlakukan ketentuan hukum pidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.493
Perpu
ini juga mengatur mengenai rencana kedudukan dan tempat kedudukan
pengadilan hak asasi manusia di setiap kabupaten di seluruh Indonesia;
lingkup kewenangan pengadilan hak asasi manusia; ancaman pidana bagi
pelaku pelanggaran hak asasi manusia; penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan perkara.
Perpu Nomor 1 Tahun 1999 yang ditetapkan pada 8 Oktober 1999
ini kemudian ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada sidang
paripurna yang diselenggarakan bulan Maret 2000 karena dianggap tidak
memenuhi kualifikasi kegentingan yang memaksa sebagaimana
diamanatkan oleh konstitusi.494
Secara substansial, menurut DPR waktu
itu, masih terdapat materi muatan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 1999 yang
menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam konvensi tentang
pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida tahun 1948 dan tidak
sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku universal; serta melihat
pentingnya materi muatan tentang pengadilan hak asasi manusia, maka
sudah seharusnya diatur dalam bentuk undang-undang.495
493
Lihat dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 494
Zainal Abidin, Pengadilan... Op., Cit., hlm. 1 495
Ibid.
204
Atas dasar penolakan DPR terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 1999,
sedangkan pada saat yang bersamaan tekanan PBB atas penyelesaian kasus
pelanggaran hak asasi manusia terus berlanjut, maka kurang dari 2 (dua)
minggu sejak penolakan DPR atas Perpu Nomor 1 Tahun 1999,
pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Hak
Asasi Manusia.496
Rancangan undang-undang itu dibahas dalam jangka
waktu yang cukup singkat, sehingga pada tanggal 23 November 2000,
dengan persetujuan bersama DPR dan Presiden, Rancangan Undang-
Undang ditetapkan dan diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Fakta proses pembentukan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
yang cukup cepat serta dapat mengakomodasi tekanan PBB yang
menginisiatifkan pembentukan pengadilan hak asasi manusia, sekaligus
menahbiskan pendapat DPR atas penolakan Perpu Nomor 1 Tahun 1999.
Bahwa hal ikhwal kegentingan yang memaksa tidak terpenuhi dalam
pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun 1999.
Salah satu materi muatan di dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 ini memang mencabut Perpu Nomor 1 Tahun 1999.497
Klausul
pencabutan ini menunjukkan bahwa sejak perpu tersebut ditetapkan dan
diundangkan pada tanggal 8 Oktober 1999, sudah efektif berlaku dan
496
Ibid., hlm. 2 497
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia menyebutkan bahwa dengan berlakunya undang-undang ini, maka Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan
ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
205
dijadikan landasan yuridis atas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat.498
Sama persis dengan
pendapat Mahkamah Konstitusi bahwa perpu sejak disahkan dan sebelum
adanya pendapat dari DPR untuk menolak atau menyetujui, maka perpu
tersebut adalah sah dan berlaku seperti undang-undang dengan segala
akibat hukumnya berupa lahirnya norma hukum baru baik dalam bentuk
status hukum baru, hubungan hukum baru, dan akibat hukum baru.
Anehnya, meskipun telah mendapatkan penolakan dari DPR pada bulan
Maret 2000, Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tidak serta merta menjadikan
perpu dimaksud tidak berlaku karena pencabutannya masih menunggu
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang ternyata baru ditetapkan dan
diundangkan pada tanggal 23 November 2000. Artinya, perpu yang telah
ditolak tersebut masih tetap berlaku meskipun dalam interval waktu yang
tidak terlalu lama (beberapa bulan). Oleh karena itu, dalam Pasal 48
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ditegaskan bahwa penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang sudah atau sedang dilaksanakan berdasarkan Perpu Nomor 1 Tahun
1999 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang
ini. Fakta ini tentu menunjukkan adanya problematika hukum berupa
498
Dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa
Perpu Nomor 1 Tahun 1999 telah dijadikan landasan yuridis atas penyelidikan kasus kejahatan hak
asasi manusia yang berat di Timor Timur oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Lihat dalam
Eva Achjani Zulfa, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perubahan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pusat
Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian
Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 2012, hlm. 25
206
ketidakjelasan daya ikat keputusan DPR atas penolakannya terhadap
perpu, sekaligus menunjukkan superioritas presiden atas DPR melalui
kewenangannya menetapkan perpu.
Tidak terpenuhinya klausul hal ikhwal kegentingan yang memaksa
dalam penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1999 juga dapat dilihat dari aspek
kekosongan hukum, yang menurut pendapat penulis juga tidak terpenuhi.
Hal ini mengingat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia telah mengatur mengenai pembentukan pengadilan hak
asasi manusia di lingkungan peradilan umum dengan jangka waktu paling
lama 4 (empat) tahun, sehingga sebelum terbentuk, maka kasus-kasus
pelanggaran hak asasi manusia diadili oleh pengadilan yang berwenang.499
Uraian di atas menunjukkan, alih-alih menyelesaikan permasalahan
hukum, justru menimbulkan problematika hukum baru berkaitan dengan
keberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 1999.
499
Lihat dalam Pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
207
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada
Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Perpu Nomor 1
Tahun 2002) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom
di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 (Perpu Nomor 2 Tahun 2002) adalah 2
(dua) Perpu yang ditetapkan secara bersamaan karena mempunyai maksud
dan latar belakang pembentukan yang sama. Kedua Perpu tersebut
ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2002, sebagai
bentuk respon Presiden Megawati Soekarnoputri atas terjadinya peristiwa
peledakan Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Presiden Megawati
memandang bahwa peledakan Bom Bali telah menimbulkan dampak
meluas berupa perasaan tidak aman sehingga harus direspon dan ditangani
dengan cepat, sehingga menetapkan perpu dimaksud.
208
Kedua Perpu di atas disetujui oleh DPR dan ditetapkan menjadi
undang-undang, masing-masing dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
Menjadi Undang-Undang yang ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 4
Maret 2003, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 yang ditetapkan dan diundangkan pada 4 April 2003.
Secara substansial, Perpu Nomor 1 Tahun 2002 mengatur
mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme secara umum, meliputi
lingkup atau yurisdiksi pemberantasan terorisme yang terdiri dari wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau negara lain yang juga
mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan
penuntutan terhadap pelaku tersebut,500
dengan beberapa syarat dan
ketentuan; bentuk dan akibat tindak pidana terorisme; ketentuan pidana
bagi pelaku tindak pidana terorisme; penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan atas tindak pidana terorisme;
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi; kerjasama internasional; serta
kebijakan untuk memberlakukan surut atas substansi Perpu Nomor 1
Tahun 2002 terhadap kasus tertentu yang penerapannya ditetapkan dengan
500
Lihat dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
209
undang-undang atau perpu tersendiri.501
Substansi pasal yang memberikan
landasan hukum pemberlakuan surut tersebut memang dimaksudkan atas
peristiwa Bom Bali yang terjadi beberapa hari sebelum Perpu Nomor 1
Tahun 2002 ditetapkan. Maka untuk menindaklanjuti ketentuan
pemberlakuan surut tersebut, Presiden juga menetapkan Perpu Nomor 2
Tahun 2002.502
Menurut pendapat penulis, alasan yang mendasari mengapa respon
atas peledakan Bom Bali harus menggunakan 2 (dua) perpu yaitu bahwa
Perpu Nomor 1 Tahun 2002 mengatur lebih komprehensif atas
pemberantasan tindak pidana terorisme sehingga materi muatan tersebut,
apabila merujuk pada bagian konsideran menimbang, maka Perpu Nomor
1 Tahun 2002 dapat digunakan secara konsisten dan berkesinambungan
dalam jangka panjang. Perpu Nomor 2 Tahun 2002 secara khusus adalah
sebagai bentuk penegasan dan kekhususan bahwa peristiwa Bom Bali
yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 juga diberlakukan Perpu
Nomor 1 Tahun 2002.
Alasan Pemerintah merespon peristiwa peledakan Bom Bali
dengan Perpu yaitu adanya perhatian dunia internasional, yang bahkan
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan
Resolusi Nomor 1438 (2002) yang isinya mengutuk sekeras-kerasnya
501
Lihat dalam Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 502
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme: Kebijakan Formulatif Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, hlm. 3
210
peledakan Bom Bali sekaligus menyampaikan duka cita dan simpati
terhadap pemerintah Indonesia, rakyat Indonesia, korban dan keluarganya,
sekaligus menyerukan kepada semua negara dengan mendasarkan pada
Resolusi Nomor 1373 (2001) untuk bekerjasama mendukung Pemerintah
Indonesia dalam mengungkap pelaku dan membawanya ke pengadilan.503
Namun untuk memenuhi hal tersebut, Indonesia belum memiliki perangkat
hukum berupa undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme,
padahal peristiwa dimaksud telah terjadi.504
Terorisme tidak hanya
mengakibatkan korban nyawa yang banyak, namun juga mencederai
kedaulatan dan integritas negara, termasuk dalam bidang ekonomi serta
hubungan internasional.505
Pemerintah juga memandang bahwa terorisme
tidak lagi hanya dipandang sebagai kejahatan biasa, namun sudah
dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), dan
bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).506
Atas
dasar hal tersebut, Pemerintah memandang bahwa syarat “hal ikhwal
kegentingan yang memaksa” sebagai syarat ditetapkannya perpu menurut
Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 telah terpenuhi.
503
Lihat dalam Fundamentum Petendi (Keterangan Pemerintah) huruf d dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 504
Lihat dalam Fundamentum Petendi (Keterangan Pemerintah) huruf e dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 505
Lihat dalam Keterangan Pemerintah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 506
Lihat dalam Keterangan Pemerintah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 11
211
Hal yang menjadi sorotan utama terhadap Perpu Nomor 1 Tahun
2002 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 yang keduanya juga telah disetujui
oleh DPR untuk menjadi undang-undang tersebut yaitu mengenai
kebijakan berlaku surut (retroaktif) bagi pelaku Bom Bali. Pemerintah
mendalilkan bahwa kebijakan pemberlakuan surut (retroaktif) di dalam
perpu tersebut yaitu untuk menegakkan keadilan karena peristiwa Bom
Bali telah menimbulkan korban yang tidak sedikit jumlahnya serta
menimbulkan dampak yang cukup meluas di bidang sosial, ekonomi,
politik, dan hubungan internasional; serta tindak pidana terorisme yang
telah digolongkan ke dalam kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary
crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).507
Titik kontroversial kebijakan retroaktif ini karena dinilai
bertentangan dengan asas legalitas yang berlaku dalam hukum pidana
sebagaimana dinormatifkan dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang menghendaki tidak boleh seseorang dipidana kecuali
didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada
sebelum tindak pidana dilakukan; serta dinilai melanggar hak asasi
manusia sebagaimana telah dijamin di dalam konstitusi. Terhadap hal ini,
memang di antara beberapa ahli hukum terdapat perbedaan pendapat.
Yudha Bhakti melakukan kompilasi atas pendapat pro dan kontra
penerapan asas retroaktif di antara ahli hukum berikut juga dengan
507
Lihat dalam Fundamentum Petendi (Keterangan Pemerintah) huruf f dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
212
alasannya yang menunjukkan bahwa memang tidak sedikit yang setuju, di
antaranya Yusril Ihza Mahendra yang memang mewakili pemerintah
waktu itu dengan kedudukannya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM
Republik Indonesia; Muladi yang setuju namun hanya pada kasus Bom
Bali saja karena menilai peristiwa tersebut sebagai extra ordinary crime
yang korbannya luar biasa dan berskala internasional;508
Nasrulah dengan
alasan Bom Bali merupakan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran
HAM berat, serta demi kepentingan umum yaitu untuk menghindari
dampak yang lebih meluas di masyarakat;509
J.E. Sahetapy dengan dasar
bahwa terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa;510
Abdul Gani
Abdullah yang pada saat itu juga menjabat sebagai Dirjen Hukum dan
Perundang-Undangan;511
Romli Atmasasmita yang merujuk pada
pembukaan UUD NRI 1945 yaitu untuk menertibkan pedamaian dan
kedamaian dunia;512
serta 4 (empat) hakim Mahkamah Konstitusi yang
terdiri dari Maruarar Siahaan, I Dewa Gede Palguna, H.A.S. Natabaya,
dan Harjono sebagaimana dapat dilihat dalam pendapat berbeda
(dissenting opinion) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-
508
Yudha Bhakti, dkk., Laporan Akhir Tim Kompilasi Bidang Hukum Tentang “Asas
Retroaktif”, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 53 509
Ibid., hlm. 54 510
Ibid. 511
Ibid., hlm. 55 512
Ibid., hlm. 56
213
I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.513
Adapun yang tidak setuju dengan pemberlakuan asas retroaktif di
dalam perpu tersebut di antaranya yaitu Maria Farida Indrati yang menilai
bahwa kebijakan retroaktif tersebut bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1)
UUD NRI 1945 sebagai hukum tertinggi.514
Indriyanto Seno Adji yang
menjunjung tinggi asas legalitas, menegaskan bahwa kondisi darurat
apapun tidak memberikan justifikasi memberlakukan produk hukum untuk
berlaku surut.515
Sedangkan Harun Al Rosid berpendapat bahwa Perpu
Nomor 1 Tahun 2002 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 melanggar prinsip
dalam sistem hukum pidana yang berlaku umum, namun tidak
bertentangan dengan UUD NRI 1945. Bahkan menurut Harun Al Rosid,
perangkat hukum telah tersedia untuk menghukum siapa saja yang
melakukan tindak pidana yang kualifikasinya sama dengan terorisme,
yaitu dengan merujuk pada Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.516
513
Lihat dalam Pendapat yang Berbeda (Dissenting Opinion) dalam dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 514
Lihat dalam Keterangan Ahli Angka 3 oleh Maria Farida Indrati dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 515
Lihat dalam Keterangan Ahli di Luar Sidang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 516
Lihat dalam Keterangan Ahli Angka 1 oleh Maria Farida Indrati dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
214
Terlepas dari perdebatan dan perbedaan pendapat antara ahli
hukum yang memang tinjauannya adalah akademis sebagaimana diuraikan
di atas, yang menarik dari perpu ini adalah hasil pengujian oleh
Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 yang
merupakan pengesahan atas Perpu Nomor 2 Tahun 2002 dengan Putusan
Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari putusan
tersebut dengan korelasinya terhadap penetapan Perpu Nomor 1 Tahun
2002 dan Nomor 2 Tahun 2002 yaitu pertama, Mahkamah Konstitusi
melarang pemberlakuan asas retroaktif atau berlaku surut. Hal ini
tercermin dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada bagian
pertimbangan hukum angka 1 yang menegaskan bahwa,517
Pada dasarnya hukum itu harus berlaku ke depan (prospectively).
Adalah tidak fair, jika seseorang dihukum karena perbuatan yang
pada saat dilakukannya merupakan perbuatan yang sah. Adalah
tidak fair pula jika pada diri seseorang diberlakukan suatu
ketentuan hukum yang lebih berat terhadap suatu perbuatan yang
ketika dilakukannya diancam oleh ketentuan hukum yang lebih
ringan, baik yang berkenaan dengan hukum acara (procedural),
maupun hukum material (substance).
Beberapa pertimbangan lain berupa filosofi orientasi pemidanaan
yang menjadi pijakan Indonesia, menghindari peluang penggunaan asas
retroaktif sebagai sarana balas dendam, menjunjung tinggi peradilan yang
fair dengan memperbandingkan praktik di negara-negara lain, serta untuk
517
Pertimbangan Hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
215
mengukuhkan UUD NRI 1945 sebagai hukum tertinggi, menjadi pijakan
Mahkamah Konstitusi untuk melarang pemberlakuan asas retroaktif.
Kedua, tindak pidana terorisme in casu peristiwa Bom Bali bukan
termasuk extra ordinary crime. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini
merujuk pada Statuta Roma 1998 yang mengkategorikan pelanggaran Hak
Asasi Manusia Berat hanya terbatas pada kejahatan Genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi; serta Pasal
7 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang mengkategorikan pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat hanya
kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Peristiwa Bom Bali
menurut Mahkamah Konstitusi belum dapat dikategorikan sebagai extra
ordinary crime sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma dan Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999, melainkan masih dikategorikan sebagai
kejahatan biasa (ordinary crime) yang kejam, dan masih dapat ditangkal
dengan ketentuan hukum pidana yang ada.518
Ketiga, substansi Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tidak sesuai dengan
kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan. Mahkamah
518
Pertimbangan Hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 44. Terhadap pertimbangan
Mahkamah Konstitusi yang menjadikan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia selain Statuta Roma 1998 sebagai parameter untuk mengkualifikasikan kejahatan
terorisme dalam peristiwa Bom Bali pada putusan ini, menurut pendapat penulis tidak relevan. Hal
ini karena Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangannya melakukan pengujian
undang-undang, seharusnya meletakkan UUD NRI 1945 sebagai parameternya. Uji
konstitusionalitas undang-undang adalah ukuran untuk melihat apakah undang-undang telah sesuai
dengan UUD NRI 1945, bukan untuk melihat kesesuaian antar undang-undang. Namun terlepas
dari ketidaksetujuan penulis, Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah ditetapkan dengan
segala konsekuensi yuridis atas kekuatan mengikatnya.
216
Konstitusi menegaskan bahwa Perpu Nomor 2 Tahun 2002 yang isinya
merupakan pernyataan pemberlakuan suatu kaidah hukum terhadap
peristiwa hukum yang bersifat konkret adalah tidak tepat untuk dituangkan
ke dalam bentuk produk hukum berupa undang-undang, melainkan
seharusnya merupakan material sphere pengadilan dalam menerapkan
suatu kaidah hukum umum dan abstrak. Mahkamah Konstitusi
berpendapat, hal itu justru tidak sesuai dengan prinsip pemisahan
kekuasaan yang implikasinya dapat menjadi preseden buruk.519
Keempat, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Pengesahan Perpu Nomor 2 Tahun
2002 menjadi undang-undang bertentangan dengan UUD NRI 1945.520
Ketentuan dalam Pasal 46 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 sebagaimana telah
ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang menjadi
landasan yuridis pemberlakuan surut tidak disebutkan di dalam amar
putusan karena memang yang diajukan oleh pemohon adalah uji
konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003. Akan tetapi di
dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi menyebutkan521
bahwa
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 telah cukup memenuhi harapan
para justisiabel, namun undang-undang tersebut tidak perlu diberlakukan
519
Pertimbangan Hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 45 520
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhaap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. 521
Pertimbangan Hukum Mahkamah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 terhaap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 43
217
surut, karena unsur dan jenis kejahatan yang terdapat dalam terorisme
menurut undang-undang dimaksud sebelumnya telah merupakan jenis
kejahatan yang diancam dengan pidana berat.
Terlepas dari kontroversi dan dinamika ditetapkannya putusan
Mahkamah Konstusi karena di antara para ahli hukum menimbulkan pro
dan kontra, bahkan termasuk di antara hakim konstitusi juga tidak
melahirkan suara yang bulat karena 4 (empat) dari 9 (sembilan) hakim
konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion),
putusan Mahkamah Konstitusi yang melahirkan amar putusan demikian
harus diterima sebagai produk hukum konstitusional yang sifat
keberlakuannya adalah final dan mengikat. Perdebatan dan perbedaan
pendapat secara akademik di antara ahli hukum mengenai kebijakan
retroaktif seharusnya telah menemukan titik tengah dan kepastian dengan
putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menjadi hukum positif dengan
segala konsekuensi yuridisnya. Menurut Mahfud MD, terlepas benar atau
salah, putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap itu
mengikat dan karenanya harus diikuti atau dilaksanakan. Hal ini
berlandaskan pada dalil hukmul haakim yarfa‟ul khilaaf, putusan
pemerintah, termasuk di dalamnya adalah putusan hakim, mengakhiri
semua perbedaan, sehingga antara setuju atau tidak setuju, harus
dilaksanakan.522
522
Moh. Mahfud MD, “Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi”, artikel dalam Jurnal Hukum, Nomor 4, Volume 16, Oktober 2009, hlm. 450
218
Terhadap beberapa bagian substansi putusan Mahkamah Konstitusi
di atas, dikorelasikan dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 dan Perpu
Nomor 2 Tahun 2002, selain substansinya yang bertentangan dengan
konstitusi, ternyata juga berimplikasi pada persoalan hukum yang lain,
yaitu pada aspek akibat hukum ditetapkannya perpu serta aspek
pembentukan perpu itu sendiri. Kebijakan retroaktif sebagaiamana
diadopsi oleh kedua perpu di atas telah melahirkan akibat hukum konkret,
yaitu digunakan sebagai dasar oleh hakim untuk menjatuhkan pidana bagi
pelaku tindak pidana Bom Bali. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar
Nomor 167/Pid.B/2003/PN.Dps dengan vonis pidana mati bagi Amrozi,
mendasarkan pada Pasal 14 jo. Pasal 6 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 jo.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo. Pasal 1 Perpu Nomor 2
Tahun 2002 jo. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 jo. Pasal
55 ayat (1) KUHP.523
Padahal di kemudian hari diketahui bahwa dasar
hukum yang digunakan tersebut ternyata inkonstitusional.524
Pada aspek pembentukan perpu, pertimbangan Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diuraikan di atas menginsinuasikan bahwa Perpu
Nomor 1 Tahun 2002 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tidak memenuhi
kualifikasi hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Hal ini dapat dilihat
523
A.A Ngr Jayalantara, “Kajian Terhadap Pengecualian Pemberlakuan Asas
Nonrektroaktif Dalam Kasus Bom Bali I” Tesis Pada Program Pascasarjana Sistem Peradilan
Pidana, Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hlm. 6 524
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 167/Pid.B/2003/PN.Dps ditetapkan pada
tanggal 7 Agustus 2003, sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003
ditetapkan pada tanggal 23 Juli 2004 namun proses pengajuan uji materil dilakukan sejak tanggal
14 November 2003. Artinya, Putusan Pengadilan Negeri Denpasar dikeluarkan pada saat Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2003 sedang dalam proses uji materil di Mahkamah Konstitusi
219
dari dasar pertimbangan pemerintah untuk menetapkan perpu yang
dibantah oleh Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangan hukumnya,
misalnya kualifikasi tindak pidana terorisme sebagai kejahatan luar biasa
(extra ordinary crime) menurut pemerintah sehingga menuntut
ditetapkannya perpu, sedangkan berdasarkan pertimbangan Mahkamah
Konstitusi, hal itu tidak dibenarkan. Terorisme masih dikualifikasikan
sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang kejam.
Pertimbangan lain dari pemerintah yaitu karena pengaturan tentang
pemberantasan terorisme di Indonesia yang belum lengkap sehingga perlu
menetapkan perpu dengan kebijakan berlaku surut, juga dibantah oleh
Mahkamah Konstitusi dengan menegaskan bahwa unsur dan jenis
kejahatan yang terdapat dalam terorisme menurut undang-undang
dimaksud sebelumnya telah merupakan jenis kejahatan yang diancam
dengan pidana berat. Artinya, untuk merespon peristiwa Bom Bali,
sebenarnya telah ada perangkat hukum yang memadai, tanpa harus
menetapkan perpu. Perihal diperlukan tambahan dan perbaikan sebagai
penyempurnaan atas landasan hukum pemberantasan korupsi, barangkali
memang dibutuhkan melalui prosedur legislasi yang biasa, dan tidak
dalam kapasitas hal ikhwal kegentingan yang memaksa sehingga harus
ditetapkan dengan perpu.
220
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan (Perpu Nomor 1 Tahun 2004) ini dibentuk untuk
menutupi kekurangan di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
karena tidak mengatur mengenai kelangsungan perizinan atau perjanjian
pertambangan yang sudah ada sebelum undang-undang tersebut
ditetapkan, sehingga dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan terutama bagi investor
yang telah memiliki izin sebelum undang-undang tersebut diberlakukan.
Hal itu dinilai akan berakibat pada posisi pemerintah yang berada pada
keadaan yang sulit untuk mengembangkan iklim investasi.525
Ketidakpastian hukum yang dianggap menghambat pemerintah dalam
penciptaan iklim investasi yang baik untuk memanfaatkan sumber daya
alam sesuai amanat Pasal 33 UUD NRI 1945 ini yang dipersepsikan
pemerintah sebagai hal ikhwal kegentingan yang memaksa.526
Materi muatan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 ini memang terbilang
sangat sederhana karena hanya berisi tambahan 2 (dua) pasal di dalam bab
525
Lihat dalam Konsideran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 526
Keterangan Pemerintah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-
III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
221
penutup Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Materi muatan yang pertama yaitu mengenai penegasan bahwa semua
perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang
telah ada sebelum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 diberlakukan,
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perizinan dimaksud.
Materi muatan yang kedua yaitu mengenai pemberian landasan yuridis
penetapan keputusan presiden untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana
disebutkan pada bagian pertama. Kebijakan dengan penetapannya dalam
bentuk Keputusan Presiden ini dicantumkan untuk memberikan payung
hukum atas status perizinan yang masih membutuhkan penelitian lebih
lanjut oleh Menteri yang membidangi, baik terhadap jenis maupun jumlah
perizinan.527
Bagian kontroversial dari Perpu Nomor 1 Tahun 2004 ini adalah
implikasi yuridis yang seolah memberikan legitimasi atas penambangan
secara terbuka di kawasan hutan lindung, padahal kegiatan tersebut dinilai
mempunyai dampak lingkungan yang cukup signifikan.528
Penolakan dari
beberapa organisasi kemasyarakatan terutama yang mempunyai perhatian
khusus terhadap lingkungan dan adat ternyata tidak direspon dan
ditindaklanjuti pemerintah maupun DPR. Pada tanggal 13 Agustus 2004,
DPR menyetujui Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang penetapannya dengan
527
Lihat dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan 528
Jamilus, “Kajian Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004” artikel dalam
Jurnal Widya Yustisia, Volume 1, Nomor 2, Januari 2015, hlm. 79
222
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Menjadi Undang-Undang. Terhadap hal tersebut, beberapa
pihak yang tergabung dalam Tim Advokasi Penyelamatan Hutan Lindung
melakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi.
Putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi atas hasil uji
materiil dan formil tersebut yaitu Putusan Nomor 003/PUU-III/2005
menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi memandang pembentukan
Perpu Nomor 1 Tahun 2004 ini tidak memenuhi kualifikasi hal ikhwal
kegentingan yang memaksa berdasarkan kondisi objektif yang ada. Hal ini
dapat dilihat dari pertimbangan Mahkamah Konstiusi pada uji formil
dengan menyebutkan bahwa meskipun dasar “hal ikhwal kegentingan
yang memaksa” siftanya subyektif, pada masa yang akan datang, alasan-
alasan yang menjadi pertimbangan presiden untuk mengeluarkan Perpu
agar lebih didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan negara.
Secara substansial, memang tidak terlihat bahwa perpu ini dibentuk
untuk mengatasi problematika kebangsaan dan penyelenggaraan
pemerintahan yang sangat mendesak dan mengganggu. Materi pengaturan
di dalam perpu ini tampak hanya memuat tentang ketentuan peralihan dan
ketentuan penutup,529
meskipun di dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2004,
529
Lihat dalam Pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 003/PUU-
III/2005 tentang Hak Uji Materiil dan Formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
223
kedua materi muatan tersebut digabung ke dalam bagian penutup.
Ketentuan Peralihan yang dimaksud Mahkamah Konstitusi atas Perpu
Nomor 1 Tahun 2004 adalah ketentuan transisional untuk melanjutkan
hak-hak hukum yang diperoleh berupa izin atau perjanjian pertambangan
sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
sebagaimana tercantum di dalam Pasal 83A Perpu Nomor 1 Tahun 2004.
Namun ketentuan peralihan tersebut tidak diikuti dengan norma yang
mengatur adanya upaya penyesuaian terhadap peraturan perundang-
undangan yang sedang berlaku, baik berupa syarat maupun prosedurnya.
Padahal ketentuan peralihan pada hakikatnya selain untuk menjaga agar
hubungan hukum atau tindakan hukum yang telah ada sebelum berlakunya
suatu undang-undang namun prosesnya belum selesai, tidak dirugikan
dengan adanya undang-undang yang baru, juga merupakan bentuk upaya
penyesuaian agar kemudian tetap tunduk pada peraturan perundang-
undangan yang ditetapkan kemudian dengan kekuatan mengikatnya.530
Namun ketentuan tersebut justru tidak diatur, sehingga akibat hukum yang
bersifat sontak segera untuk menangani permasalahan negara tidak terlihat
dari Perpu Nomor 1 Tahun 2004 ini. Demikian juga dengan ketentuan
penutup yang hanya memuat tentang penunjukan kepada presiden untuk
dapat memberikan izin melalui keputusan presiden.
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 530
Sri Hariningsih, “Ketentuan Peralihan Dalam Peraturan Perundang-Undangan” artikel
dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6, Nomor 4, Desember 2009, hlm. 597
224
5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan
Alasan pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan (Perpu Nomor 4 Tahun 2008) ini adalah anggapan pemerintah
mengenai adanya ancaman krisis keuangan yang berpotensi
membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional.
Penetapan perpu ini dinilai sebagai langkah antisipasi secara yuridis untuk
mencegah krisis dimaksud.531
Secara umum, Perpu Nomor 4 Tahun 2008 mengatur tentang
pencegahan dan penanganan sistem keuangan yang sudah gagal secara
efektif untuk menjalankan peran dan fungsinya dalam perekonomian
nasional. Sasaran pencegahan krisis melalui perpu ini adalah532
tindakan
mengatasi permasalahan bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang
berdampak sistemik;533
bank yang mengalami permasalahan solvabilitas
atau kegagalan pelunasan fasilitas pembiayaan darurat yang berdampak
sistemik; dan lembaga keuangan bukan bank yang mengalami kesulitan
likuiditas dan masalah solvabilitas yang berdampak sistemik. Sedangkan
531
Lihat dalam Konsideran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan 532
Lihat dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan 533
Menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2008, Berdampak sistemik adalah kondisi sulit yang ditimbulkan bank, lembaga keuangan
bukan bank, dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan
kegagalan sejumlah bank lain sehingga mengakibatkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem
keuangan dan perekonomian nasional
225
sasaran penanganan krisis yaitu534
dengan tindakan mengatasi
permasalahan bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan/atau
solvabilitas yang secara individu berdampak sistemik atau bank yang
secara individu tidak berdampak sistemik namun secara bersama-sama
dengan bank lain berdampak sistemik pada kondisi khusus; dan lembaga
keuangan bukan bank yang mengalami permasalahan solvabilitas yang
berdampak sistemik.
Ada 2 (dua) bentuk implikasi yang cukup signifikan atas
ditetapkannya Perpu Nomor 4 Tahun 2008 ini, yaitu pembentukan Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang berfungsi untuk menetapkan
kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis, dengan segala
kewenangan dan tugasnya;535
serta pemberian imunitas untuk tidak dapat
dihukum atas keputusan atau kebijakan yang diambil dan sejalan dengan
tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud di dalam Perpu Nomor 4
Tahun 2008 ini.
Perpu Nomor 4 Tahun 2008 harus diakui mempunyai banyak
persoalan. Pertimbangan relevansi dengan penelitian ini, maka penulis
hendak membahas dan menganalisis pada aspek hal ikhwal kegentingan
yang memaksa sebagai dasar pembentukan Perpu Nomor 4 Tahun 2008,
materi muatan Perpu Nomor 4 Tahun 2008, dan aspek keberlakuan Perpu
534
Lihat dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan 535
Lihat dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan
226
Nomor 4 Tahun 2008. Berkaitan dengan dasar pembentukan Perpu Nomor
4 Tahun 2008, memang benar telah terjadi krisis ekonomi secara global
yang diyakini berawal dari kolapsnya Lemhans Brothers (bank investasi
papan atas Amerika Serikat) pada tanggal 15 September 2008,536
namun
pembentukan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tersebut faktanya tidak dalam
rangka menanggulangi krisis global yang terjadi. Fajrul Falaakh secara
gamblang bahkan menyebutkan bahwa perpu tersebut tampak diterbitkan
hanya untuk memberikan dana talangan kepada Bank Century yang waktu
itu sedang mengalami permasalahan finansial.537
Memang secara substansial, Perpu Nomor 4 Tahun 2008 yang
memberikan landasan hukum pembentukan KSSK sebagaimana telah
diuraikan di atas, mempunyai implikasi hukum konkret lanjutan berupa
pemberian dana talangan kepada Bank Century sebagai keputusan dari
KSSK yang menilai bahwa Bank Century adalah bank yang berdampak
sistemik. Bank Century diberikan suntikan dana sejumlah 6,7 triliun.538
Pada aspek inilah substansi Perpu Nomor 4 Tahun 2008 menimbulkan
permasalahan serius.
536
Aloysius Soni BL de Rosari (Editor), Centurygate: Mengurai Konspirasi Penguasa-
Pengusaha, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, hlm. x 537
Mohammad Fajrul Falaakh, Involusi Perppu (Bank Century) dalam Aloysius Soni BL
de Rosari (Editor), Centurygate: Mengurai Konspirasi Penguasa-Pengusaha, Kompas Media
Nusantara, Jakarta, 2010, hlm. 115 Sebagai perbandingan, pernyataan Yusuf Kalla yang sejalan
dengan Iman Sugema menyebut bahwa Bank Century terjerembab bukan karena terimbas krisis
global, tetapi karena dijarah habis oleh pengelolanya. Lihat dalam Iman Sugema, Bank Century
dan Akrobat Dalih dalam Aloysius Soni BL de Rosari (Editor), Centurygate: Mengurai
Konspirasi Penguasa-Pengusaha, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, hlm. 135 538
Budiarto Shambazy, Bravo Demokrasi Indonesia, dalam Ibid., hlm. 4
227
“Titik permulaan” permasalahan pemberian dana talangan kepada
Bank Century adalah rapat KSSK pada tanggal 21 November 2008 yang
menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Hanya
dengan mengkualifikasikan bank gagal berdampak sistemik itulah, Perpu
Nomor 4 Tahun 2008 memberikan ruang bagi KSSK untuk dapat
memberikan fasilitas pembiayaan darurat dari Bank Indonesia yang
dijamin pemerintah kepada bank yang kesulitan likuiditas.539
Namun
berdasarkan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan di
antaranya menegaskan, bahwa penentuan Bank Century sebagai bank
gagal berdampak sistemik tidak didasarkan pada data dan informasi yang
lengkap dan mutakhir dari Bank Indonesia terkait dengan kondisi Bank
Century yang sesungguhnya, pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek
kepada Bank Century yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara
mengubah ketentuan dan pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan,
dan fakta adanya praktik-praktik tidak sehat serta pelanggaran yang
dilakukan oleh pengurus bank, pemegang saham, dan pihak-pihak terkait
yang merugikan Bank Century.540
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan
tersebut diperkuat dengan beberapa analisis secara akademik oleh
beberapa ahli.
539
Eko Prasojo, Akuntabilitas Talangan Century, dalam Ibid., hlm. 124 540
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi atas Kasus Bank Century Nomor
64/LHP/XV/11/2009 tertanggal 20 November 2009, terdapat 9 (sembilan) poin temuan Badan
Pemeriksa Keuangan atas kasus Bank Century, dengan 3 (tiga) di antaranya adalah sebagaimana
disebutkan di atas.
228
Tony Prasetiantono menyebutkan bahwa KSSK kurang memiliki
data kuantitatif terukur sehingga kebijakan yang dipilih banyak
mengandung keputusan yang kualitatif, sedangkan data keadaan krisis,
data kuatitatif tidaklah cukup.541
Eddy OS Hiariej542
dengan melihat dari
aspek hukum pidana menyebutkan bahwa kebijakan tersebut hampir dapat
dikatakan masuk pada ranah hukum pidana berdasarkan 3 (tiga) parameter.
Pertama, kebijakan dana talangan 6,7 triliun melanggar peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 yang mengatur bahwa fasilitas
pendanaan jangka pendek hanya diberikan kepada bank yang mempunyai
rasio kecukupan modal minimal 8 persen, sedangkan Bank Century waktu
itu adalah 2,35 persen. Namun pada 14 November 2008 Bank Indonesia
mengubah aturan itu yang pada intinya, semula syaratnya 8 persen,
menjadi rasio kecukupan modal positif. Saat dikucurkan, Bank Century
pada 31 Oktober 2008 minus 3,53 persen. Kedua, suatu kebijakan
dijadikan pintu masuk untuk melakukan suatu kejahatan. Dalam hal ini,
apabila memang terbukti bahwa kebijakan pemberian fasilitas pendanaan
jangka pendek dimaksudkan untuk dibagikan kepada pihak tertentu, maka
antara kebijakan dan penyalahgunaan dana Century adalah rangkaian
tindak pidana. Ketiga, adanya moral hazard berupa perubahan Peraturan
Bank Indonesia sebagaimana disebutkan di atas untuk memuluskan
pemberian dana kepada Bank Century. Hal ini juga diperkuat fakta bahwa
pada saat itu ada 3 (tiga) bank yang dinyatakan gagal, namun hanya
541
A Tony Prasetiantono, “Teori Konspirasi” Century dalam Aloysius Soni BL de Rosari
(Editor), Centurygate... Op., Cit., hlm. 169 542
Eddy OS Hiariej, Mengadili Kebijakan dalam Ibid., hlm. 131-132
229
Century yang diberikan fasilitas pendanaan jangka pendek. Pendapat Eddy
OS Hiariej tersebut dapat dikomparasikan dengan adanya putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 21/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST
dan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 67/PID/TPK/2014/PT.DKI
yang menegaskan bahwa perbuatan beberapa terdakwa yang menyetujui
penetapan Bank Century sebagai bank Gagal Berdampak Sistemik yang
mengakibatkan kerugian keuangan negara merupakan tindak pidana
korupsi.
Dilihat dari materi muatannya, suntikan dana kepada Bank Century
yang bermasalah tersebut, menjadi sangat berkontradiksi dan menjadi
sangat ironi dengan pilihan kebijakan untuk memberikan hak imunitas
atau kekebalan hukum di dalam Perpu Nomor 4 Tahun 2008 sebagaimana
disebutkan di dalam Pasal 29. Pada konteks ini, konstruksi Pasal 29 Perpu
Nomor 4 Tahun 2008 yang mengamputasi kontrol yudisial, mereduksi
semangat bernegara hukum, dan mencederai prinsip equality before the
law atau persamaan di hadapan hukum sesuai amanat konstitusi, mendapat
justifikasi berdasarkan peristiwa konkret di atas. Memang terkait Pasal 29
Perpu Nomor 4 Tahun 2008 ini telah diajukan uji materiil ke Mahkamah
Konstitusi, namun berdasarkan Putusan Nomor 145/PUU-VII/2009,
pemohon dinyatakan tidak mempunyai kerugian konstitusional sehingga
tidak mempunyai legal standing. Alasan Mahkamah Konstitusi yaitu
230
bahwa pemohon tetap melaksanakan haknya sebagai warga negara karena
tidak berkaitan langsung dengan ketentuan pasal tersebut.543
Permasalahan lainnya terkait perpu ini, yang juga mempunyai
kaitan erat dengan permasalahan pencairan dana talangan sebagaiamana
diuraikan di atas adalah ketidakpastian hukum terkait dengan keberlakuan
Perpu Nomor 4 Tahun 2008. Terdapat kesimpangsiuran mengenai jangka
waktu keberlakuan Perpu dimaksud, yang setidaknya terbelah menjadi 2
(dua) perspektif. Bagi DPR, yang ini juga diamini oleh Fajrul Falaakh,
Perpu Nomor 4 Tahun 2008 sudah ditolak oleh DPR pada tanggal 18
Desember 2008.544
Bagi Pemerintah, rapat paripurna pada tanggal 18
Desember 2008 bukan merupakan penolakan terhadap perpu karena DPR
tidak secara nyata menolak mengingat sebagian fraksi ada yang menolak,
sebagian lainnya menyatakan menerima, dan sebagian yang lain
menyatakan belum menerima.545
Dengan demikian, maka Pemerintah
beranggapan bahwa Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tetap berlaku pasca rapat
paripurna tanggal 18 Desember 2008. Memang, pada tanggal 24 Desember
2008, Ketua DPR mengirimkan surat kepada Presiden terkait dengan hasil
543
Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PUU-VII/2009 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang juncto Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun
2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, hlm. 29 544
Mohammad Fajrul Falaakh, Involusi... Op., Cit., hlm. 115 545
Hasil Rapat Paripurna 18 Desember 2008 menunjukkan terdapat 4 (empat) fraksi yang
menyetujui Perpu Nomor 4 Tahun 2008 yaitu Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Damai Sejahtera; 4 (empat)
fraksi yang lain menolak yaitu Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi
FBR, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa; 2 (dua) fraksi menyatakan belum dapat menerima
yaitu Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi
231
rapat Paripurna 18 Desember 2008, yang isinya tidak ada kata-kata yang
menyebutkan menolak atau menerima Perpu Nomor 4 Tahun 2008, namun
hanya berisi tentang kesepakatan untuk meminta kepada pemerintah agar
segera mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman
Sistem Keuangan sebelum tanggal 19 Januari 2009.546
Merespon surat Ketua DPR, maka pada tanggal 14 Januari 2009,
pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan, yang salah satu klausul di dalamnya
menyebutkan bahwa Perpu Nomor 4 Tahun 2008 dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku pada saat Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan berlaku. Ini sekaligus menegaskan bahwa Pemerintah masih
beranggapan bahwa Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tetap berlaku sampai
dengan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan disetujui menjadi undang-undang.547
Pada tanggal 30 September 2009, dalam Rapat Paripurna DPR,
laporan Komisi XI DPR mengenai Pembahasan Laporan Kemajuan
Pemeriksaan Investigasi Kasus Bank Century menegaskan bahwa Rapat
paripurna DPR pada tanggal 18 Desember 2008, Perpu Nomor 4 Tahun
2008 tidak mendapatkan persetujuan DPR atau ditolak menjadi undang-
undang. Ini kembali menimbulkan ketidakpastian hukum dan penafsiran
berbeda. Satu pihak menyebut bahwa DPR menolak pada tanggal 18
546
Erman Rajagukguk, Kontroversi Masa Berlaku Perppu JPSK, dalam Aloysius Soni
BL de Rosari (Editor), Centurygate... Op., Cit., hlm. 119 547
Ibid.
232
Desember 2008, sedangkan pihak lainnya menyebut bahwa Perpu Nomor
4 Tahun 2008 baru ditolak pada tanggal 30 September 2009 karena pada
waktu itu penolakan terhadap perpu disebutkan dengan jelas.548
Apabila benar Perpu Nomor 4 Tahun 2008 ditolak pada tanggal 18
Desember 2008, sedangkan pasca penolakan tersebut masih ada proses
pencairan dana,549
maka tentu akan terancam tindak pidana korupsi karena
telah melakukan tindakan melawan hukum.550
Merespon permasalahan ini,
ditegaskan oleh Menteri Keuangan bahwa dana talangan Bank Century
didasarkan pada Pasal 39, Pasal 41, dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan, dan tidak
menggunakan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 sebagai dasar.551
Hampir
sejalan dengan pendapat Erman Rajagukguk yang meninjau dari aspek
keberlakuan Perpu Nomor 4 Tahun 2008, bahwa penyertaan modal
Lembaga Penjamin Simpanan sebesar 6,7 triliun tersebut tidak
mendasarkan pada Perpu Nomor 4 Tahun 2008, akan tetapi Lembaga
Penjamin Simpanan menjalankan tugasnya sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004. Artinya, kendatipun keberlakuan Perpu Nomor 4
Tahun 2008 itu bermasalah dan menimbulkan ketidakpastian hukum,
maka tindakan KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan tetap mempunyai
548
Ibid. 549
Berdasarkan Keputusan Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Nomor
KEP.001/DK/II/2009 tanggal 3 Februari 2009, telah dilakukan penyetoran bailout sebanyak tiga
kali kepada Bank Century sebesar Rp. 1.155.000.000.000, dan Keputusan Dewan Komisioner
Lembaga Penjamin Simpanan Nomor KEP.019/DK/VII/2009 tanggal 21 Juli 2009 dilakukan
penyetoran satu kali sebesar Rp. 630.221.000.000 550
Mohammad Fajrul Falaakh, Involusi... Op., Cit., hlm. 117 551
Ibid.
233
dasar hukum.552
Apabila perspektif ini dapat dibenar demikian, maka
jelaslah bahwa materi muatan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tidak
mempunyai urgensi apapun untuk ditetapkan, terlebih dalam bentuk
produk hukum berupa perpu yang memang diidealkan untuk mengatasi
kegentingan yang memaksa.
Perpu Nomor 4 Tahun 2008 kemudian baru dicabut dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2015 tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU Nomor 4 Tahun 2008, yang diundangkan pada
tanggal 6 Agustus 2015. Keadaan ini menegaskan bahwa keberlakuan
Perpu Nomor 4 Tahun 2008 ini tidak mempunyai kepastian hukum, akan
tetapi ketidakpastian tersebut justru dimanfaatkan untuk tetap
melaksanakan kebijakan Pemerintah.
6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Presiden menilai telah terjadi kekosongan keanggotaan pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengganggu kinerja KPK
552
Erman Rajagukguk, Kontroversi... Op., Cit., hlm. 121
234
dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, sementara Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang mengatur mengenai tata cara pengisian kekosongan
keanggotaan pimpinan KPK, dinilai membutuhkan waktu yang cukup
lama yang dikhawatirkan akan mengganggu kinerja KPK.553
Kekosongan
tersebut, apabila tidak diatasi segera, menurut Presiden akan berdampak
pada menurunnya kapasitas Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi.554
Secara faktual, memang pada tahun 2009, 3 (tiga) dari 5 (lima)
orang pimpinan KPK sedang diberhentikan sementara dari jabatannya
karena ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian.555
Hal serupa terjadi
pada Tahun 2015. 2 (dua) orang pimpinan KPK diberhentikan sementara,
dan 1 (satu) orang telah habis masa jabatan sebagai pimpinan KPK.556
553
Lihat dalam Konsideran Menimbang huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 554
Lihat dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 555
Antasari Azhar yang menjabat sebagai Ketua KPK ditetapkan sebagai tersangka otak
pembunuhan (intelectual dader) Nasrudin Zulkarnain (Direktur PT. Putra Rajawali Banjara) sejak
tanggal 30 April 2009. Lihat Anonim, “Antasari Azhar Tersangka Otak Pembunuhan Nasrudin”
dalam https://news.detik.com/berita/d-1124907/antasari-azhar-tersangka-otak-pembunuhan-
nasrudin, diakses pada tanggal 7 Agustus 2021. Sedangkan Chandra M. Hamzah dan Bibit S.
Riyanto yang merupakan Pimpinan KPK, pada tanggal 15 September 2009 ditetapkan sebagai
tersangka Penerbitan dan Pencabutan Cegah-Tangkal seseorang pergi ke luar negeri. Lihat
Anonim, “Inilah Alasan Polisi Jadikan Bibit dan Chandra Tersangka” dalam
https://nasional.tempo.co/read/198331/inilah-alasan-polisi-jadikan-bibit-dan-chandra-
tersangka/full&view=ok, diakses pada tanggal 7 Agustus 2021 556
M. Busyro Muqoddas pada tanggal 10 Desember 2014 telah habis masa jabatan.
Abraham Samad pada tanggal 17 Februari 2015 ditetapkan sebagai tersangka pemalsuan dokumen.
Lihat Anonim, “Abraham Sama Resmi Jadi Tersangka” dalam
https://nasional.kompas.com/read/2015/02/17/08590821/Abraham.Samad.Resmi.Jadi.Tersangka.
Diakses pada tanggal 8 Agustus 2021. Sedangkan Bambang Widjojanto pada tanggal 23 Januari
2015 ditetapkan sebagai tersangka kasus pemberian keterangan palsu di Mahkamah Konstitusi.
Lihat Anonim, “Bambang Widjojanto Jadi Tersangka Keterangan Palsu” dalam
https://nasional.tempo.co/read/636976/bambang-widjojanto-jadi-tersangka-keterangan-
palsu/full&view=ok, diakses pada tanggal 8 Agustus 2021
235
Apabila merujuk pada Unang-Undang Nomor 30 Tahun 2002,
maka untuk dapat dilakukan proses pengisian kekosongan karena
pemberhentian sementara tersebut terlebih dahulu harus menunggu
pemberhentian secara tetap, serta tahapan dan proses pengisian yang
dimulai dari pembentukan panitia seleksi oleh presiden hingga penetapan
calon terpilih oleh presiden memerlukan waktu yang cukup lama.557
Artinya, selama status pimpinan KPK tersebut tersangka dan
diberhentikan sementara, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tidak
memberikan ruang untuk dilakukan pengisian jabatan. Atas dasar itu,
maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 menetapkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perpu Nomor 4 Tahun
2009). Sedangkan pada peristiwa kedua sebagaimana diurai di atas,
Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Perpu Nomor 1 Tahun 2015).
Materi muatan Perpu Nomor 4 Tahun 2009 memang cukup
sederhana karena hanya berisi 2 (dua) Pasal, yaitu menambahkan Pasal
33A dan Pasal 33B. Pasal 33A mengatur bahwa dalam hal terjadi
557
Proses, mekanisme, dan tahapan pemilihan pimpinan KPK telah diatur secara
terperinci di dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
236
kekosongan pimpinan KPK kurang dari 3 (tiga) orang, maka presiden akan
mengangkat dan menetapkan anggota sementara sejumlah jabatan yang
kosong, yang tugas, wewenang, kewajiban, dan haknya sama dengan
pimpinan KPK.558
Pasal 33B mengatur mengenai masa jabatan, yaitu
bahwa anggota pimpinan KPK yang digantikan karena diberhentikan
sementara diaktifkan kembali karena pemberhentian sementara tidak
berlanjut menjadi pemberhentian tetap. Perpu Nomor 1 Tahun 2015
mempunyai kesamaan baik dari aspek substansi maupun dari aspek
pertimbangan hukum dengan Perpu Nomor 4 Tahun 2009. Kedua Perpu
tersebut telah melahirkan akibat hukum, masing-masing yaitu pada tanggal
6 Oktober 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melantik 3
(tiga) orang pelaksana tugas Pimpinan KPK,559
dan pada tanggal 20
Februari 2015, Presiden Joko Widodo melantik 3 (tiga) orang pelaksana
tugas Pimpinan KPK.560
Merujuk pada ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002, memang disebutkan dengan jelas bahwa pimpinan KPK
terdiri dari 5 (lima) anggota, yang susunannya terdiri dari 1 (satu) orang
Ketua merangkap sebagai Anggota, dan Wakil Ketua terdiri dari 4 (empat)
orang, yang masing-masing juga merangkap sebagai anggota. Seluruh
558
Lihat dalam Pasal 33A Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 559
Anonim, “Presiden Lantik Pelaksana Tugas Pimpinan KPK” dalam
https://www.liputan6.com/news/read/246569/presiden-lantik-pelaksana-tugas-pimpinan-kpk,
diakses pada tanggal 8 Agustus 2021 560
Anonim, “Presiden Lantik Pelaksana Tugas Pimpinan KPK” dalam
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150220_pelantikan_plt_kpk, diakses
pada tanggal 8 Agustus 2021
237
pimpinan KPK tersebut bekerja secara kolektif. Ketentuan yang
menegaskan bahwa pimpinan KPK bekerja secara kolektif inilah yang
sebenarnya cukup memberikan dasar bahwa kendatipun pimpinan KPK
kurang dari 5 (lima) orang, maka tugas dan fungsi pimpinan KPK tetap
dapat dijalankan dengan keputusan yang dihasilkan tetap memenuhi
keabsahan. Hal ini karena keabsahan yang didasarkan pada kolektivitas
tidak melihat pada jumlah yang ada.561
Maka fungsi-fungsi yang melekat
pada pimpinan KPK tetap dapat dijalankan bahkan apabila pimpinan KPK
juga terdiri dari 2 (dua) orang sebagaimana yang terjadi pada tahun 2009
dan 2015. Artinya, pelaksana tugas atau anggota sementara sebagai
pengganti pimpinan KPK yang diberhentikan sementara sama sekali tidak
dibutuhkan, yang ini berarti bahwa urgensi penetapan perpu dimaksud
dengan tujuan semata-mata untuk mengangkat pelaksana tugas sementara
pimpinan KPK tersebut, juga tidak mempunyai urgensi apapun.
Kekhawatiran presiden lainnya yang juga menjadi pertimbangan
dikeluarkannya perpu ini yaitu bahwa kekosongan anggota pimpinan KPK
sebagaimana diuraikan di atas akan menurunkan kinerja KPK, dengan
demikian juga tidak mempunyai landasan yang kuat. Hal ini mengingat
kinerja KPK secara institusi tidak hanya dilaksanakan oleh pimpinan,
namun juga didukung oleh pegawai, penyidik, dan deputi yang
561
Muchamad Ali Safa‟at, “Perpu Plt Pimpinan KPK; Adakah Kegentingan yang
Memaksa” http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/PERPPU-PLT-KPK.pdf diakses pada
tanggal 8 Agustus 2021
238
profesional.562
Hal itu juga telah ditegaskan di dalam Pasal 27 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002. Terlebih, konstruksi hukum Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 meletakkan pimpinan sebagai unsur
pengambil kebijakan dan keputusan yang sifatnya kolektif,563
sedangkan
terkait tugas-tugas yang bersifat teknis dilakukan oleh pegawai KPK,
termasuk juga penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang juga
dilakukan oleh aparat KPK.564
Pengambilan keputusan oleh pimpinan KPK yang dilakukan
apabila kurang dari 3 (tiga) orang pun sudah diantisipasi secara yuridis
melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 2009
tentang Tata Cara Pengambilan Keputusan Pimpinan KPK. Bahwa
pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh kurang dari 3 (tiga) orang
dengan mekanisme rapat atau menggunakan mekanisme lainnya seperti
pemanfaatan teknologi informasi apabila keadaan mendesak, bersifat
operasional, anggota pimpinan berhalangan sementara, anggota pimpinan
diberhentikan sementara, atau anggota pimpinan berhenti atau
diberhentikan.565
Hal itu sepenuhnya disadari oleh presiden dibuktikan
562
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3
Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi, susunan
organisasi KPK terdiri dari Pimpinan, Sekretariat Jenderal, Deputi Bidang Pencegahan, Deputi
Bidang Penindakan, Deputi Bidang Informasi dan Data, Deputi Bidang Pengawasan Internal dan
Pengaduan Masyarakat, Tim Penasihat, dan Sekretariat Pimpinan. Peraturan KPK Nomor 3 Tahun
2018 ini adalah yang berlaku saat ini, menggantikan Peraturan KPK tentang Organisasi dan Tata
Kerjak KPK sebelumnya meliputi Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2015, Peraturan KPK Nomor 3
Tahun 2010, dan Peraturan KPK Nomor 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK. 563
Lihat dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi
Nomor 3 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi 564
Muchamad Ali Safa‟at, Perpu... Loc., Cit. 565
Lihat dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3
Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengambilan Keputusan Pimpinan KPK.
239
dengan uraian penjelasan pemerintah yang juga mengutip ketentuan
tersebut pada perkara pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 di
Mahkamah Konstitusi.566
Kendatipun kedua perpu di atas secara substansial mempunyai
kesamaan, namun “nasib” keduanya berbeda. Perpu Nomor 4 Tahun 2009
ditolak oleh DPR dalam rapat Paripurna pada tanggal 4 Maret 2010, yang
karena penolakan tersebut, perpu dicabut melalui Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2010 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Salah satu alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap
Perpu Nomor 4 Tahun 2009 adalah tentang tidak adanya hal ikhwal
kegentingan yang memaksa sehingga perlu menetapkan perpu tersebut.567
Berbeda dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2015 yang disetujui oleh DPR
dengan penetapannya melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Menjadi Undang-Undang. Fakta ini menunjukkan betapa konfigurasi
566
Lihat dalam Penjelasan Pemerintah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 567
Berdasarkan hasil Rapat Komisi III DPR, dari 9 (sembilan) fraksi yang ada, hanya
Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang menyetujui Perpu Nomor 4
Tahun 2009, sedangkan 7 (tujuh) fraksi yang lain menolak. Lihat dalam Anonim, “DPR Tolak
Perppu Pelaksana Tugas KPK” dalam
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b8d2c6c6f7a3/dpr-tolak-perppu-pelaksana-tugas-
kpk, diakses pada tanggal 8 Agustus 2021
240
partai politik di parlemen dalam relasinya dengan presiden, menentukan
apakah suatu perpu akan diterima atau ditolak.
Menurut pendapat penulis, Perpu Nomor 1 Tahun 2015 memang
tidak seharusnya dibentuk oleh presiden. Pertimbangan hal ikhwal
kegentingan yang memaksa yang tidak terlihat, setidaknya diperkuat
dengan sejarah Perpu Nomor 4 Tahun 2009. Secara faktual, tidak terlihat
ada penurunan yang signifikan terhadap kinerja KPK pada tahun 2009,
bahkan dengan dikeluarkannya perpu justru menimbulkan perdebatan
publik lanjutan. Pada aspek persetujuan DPR yang hasil keputusannya
adalah ditolak oleh DPR, juga pada proses pembahasan yang ternyata tidak
dilaksanakan pada sidang berikut.568
Fakta ini sekaligus memperkuat
bahwa sebenarnya diberhentikannya sementara pimpinan KPK bukan
persoalan kebangsaan yang mencapai pada titik kegentingan yang
memaksa. Terlebih, pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 138/PUU-VII/2009 yang menguji Perpu Nomor 4 Tahun 2009,
telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi beberapa indikator
kegentingan yang memaksa untuk dapat menetapkan perpu, maka sudah
seyogyanya presiden mempunyai batasan-batasan yang lebih jelas
sehingga tidak perlu menetapkan Perpu Nomor 1 Tahun 2015.
568
Perpu Nomor 4 Tahun 2009 dibahas oleh DPR setelah melampuai masa sidang
pertama sejak perpu ini diterbitkan. Perpu diundangkan tanggal 22 September 2009, sedangkan
masa sidang berikutnya oleh DPR dengan anggota baru berdasarkan hasil pemilu 2009 adalah 1
Oktober 2009 sampai 4 Desember 2009, akan tetapi tapi perpu dimaksud tidak dibahas pada masa
itu. Lihat dalam Pendapat Berbeda (dissenting opinion) Moh. Mahfud MD., dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
241
7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Secara normatif-yuridis, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Perpu
Nomor 1 Tahun 2013) ini dibentuk atas dasar persepsi presiden yang
menilai bahwa kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap hakim
konstitusi menurun sehingga membutuhkan penyelamatan secara cepat
teradap hakim konstitusi, terutama karena menjelang pelaksanaan
pemilihan umum 2014, yang sengketanya akan menjadi ranah Mahkamah
Konstitusi. Apabila tidak segera diselamatkan, menurut presiden, maka
legitimasi akan menjadi ancaman utamanya.569
Secara sosiologis, Perpu Nomor 1 Tahun 2013 ini merupakan
bentuk reaksi presiden terhadap tertangkapnya Ketua Mahkamah
Konstitusi (Akil Mochtar) oleh KPK karena melakukan tindak pidana,
sehingga dalam perspektif presiden telah menimbulkan krisis pada
lembaga Mahkamah Konstitusi. Penetapan Perpu ini dianggap sebagai
langkah presiden untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi.570
569
Lihat dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi 570
Sabrina Asril, ”Langkah Penyelamatan MK, Pemerintah Siapkan Perpu” artikel dalam
https://nasional.kompas.com/read/2013/10/05/1552262/Langkah.Penyelamatan.MK.Pemerintah.Si
apkan.Perpu, diakses pada tanggal 9 Agustus 2021
242
Secara substansial, Perpu Nomor 1 Tahun 2013 ini memuat
setidaknya 4 (empat) hal, yaitu pertama, ketentuan tentang tambahan
syarat untuk menjadi hakim konstitusi. Tambahan dimaksud yaitu
ketentuan untuk tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu
paling singat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim
konstitusi yang dibuktikan dengan surat pernyataan tidak menjadi anggota
partai politik. Syarat tersebut sebelumnya tidak diatur di dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011.
Kedua, mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi.
Sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011,
hakim konstitusi diajukan oleh masing-masing 3 (tiga) orang oleh
Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh
presiden untuk kemudian ditetapkan dengan keputusan presiden.
Mekanisme seleksi diatur sendiri oleh masing-masing lembaga tersebut.
Berdasarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2013, calon hakim konstitusi sebelum
ditetapkan oleh presiden, terlebih dahulu dilakukan uji kelayakan dan
kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi
Yudisial. Maka berdasaran ketentuan tersebut, penentu hakim konstitusi
yang akan ditetapkan oleh presiden adalah Panel Ahli. Ketiga lembaga
yang berhak mengajukan calon hakim konstitusi, menyampaikan calon
hakim konstitusi kepada Panel Ahli untuk kemudian dilakukan uji
243
kelayakan dan kepatutan. Hasil dari seleksi Panel Ahli itulah yang akan
ditetapkan oleh presiden.
Ketiga, perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi. Perpu
Nomor 1 Tahun 2013 mengamanatkan agar Mahkamah Konstitusi
bersama dengan Komisi Yudisial membentuk Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi yang tujuannya adalah sebagai rambu-rambu
agar dalam menjalankan tugasnya, senantiasa menjaga kehormatan dan
perilaku hakim konstitusi. Sebagai pelaksana (penegak) kode etik tersebut,
maka Perpu Nomor 1 Tahun 2013 ini juga mengamanatkan kepada
Mahkamah Konstitusi bersama dengan Komisi Yudisial untuk membentuk
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang kesekretariatannya
berkedudukan di Komisi Yudisial dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal
Komisi Yudisial.571
Keempat, perluasan kewenangan Komisi Yudisial. Berdasarkan
uraian di atas, maka kewenangan Komisi Yudisial diperluas, yaitu
melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi dan melakukan seleksi
terhadap calon hakim konstitusi. Bahkan sebelum Panel Ahli dan Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi terbentuk, kedua fungsi organ tersebut
dilaksanakan oleh Komisi Yudisial.572
571
Lihat dalam Pasal 27A Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi 572
Lihat dalam Pasal 87B Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
244
Perpu Nomor 1 Tahun 2013 ini telah disetujui oleh DPR, yang
kemudian ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Menjadi Undang-Undang. Kendatipun mendapatkan persetujuan dari
DPR, ternyata keberadaan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 cukup memantik
respon banyak pihak karena dianggap mempunyai persoalan hukum, baik
dari aspek urgensi pembentukan perpu yang dikorelasikan dengan syarat
hal ikhwal kegentingan yang memaksa, materi muatan perpu yang
dikorelasikan dengan konstitusionalitas, implikasi keberlakuan perpu
dimaksud, dan sebagainya. Upaya hukum terhadap produk hukum tersebut
juga dilakukan dengan mengajukan permohonan pengujian kepada
Mahkamah Konstitusi yang telah diputus dengan Putusan Nomor 1-
2/PUU-XII/2014.
Saldi Isra adalah salah satu ahli hukum yang mempersoalkan syarat
ditetapkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2013 ini. Hak membentuk Perpu
yang merupakan emergency power presiden, ditetapkan setelah
penangkapan ketua Mahkamah Konstitusi atas perbuatan pidana yang
dilakukannya, tampak belum memenuhi syarat hal ikhwal kegentingan
yang memaksa sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 ayat (1) UUD NRI
245
1945.573
Secara faktual, kondisi Mahkamah Konstitusi waktu itu memang
tidak menunjukkan adanya indikasi keadaan abnormal atau keadaan yang
luar biasa dalam penyelenggaraan peradilan konstitusi. Mahkamah
Konstitusi tetap dapat menjalankan kewenangannya sebagaimana
ditentukan oleh Pasal 24C UUD NRI 1945.574
Sejalan dengan pendapat
Jimly Asshiddiqie,575
bahwa tertangkapnya Akil Mochtar yang waktu itu
menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi merupakan persoalan
personal, dan bukan persoalan Mahkamah Konstitusi secara institusional.
Lingkup persoalannya adalah permasalahan dalam pemberantasan korupsi,
bukan persoalan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan
kewenangannya.
H.A.S. Natabaya yang juga melihat dari aspek formil
menyebutkan, bahwa di dalam konsideran Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2014 tidak terlihat bahwa ada keadaan genting dan memaksa yang
menuntut presiden untuk mengeluarkan perpu. Ia menyebutkan dengan
573
Lihat Pendapat Ahli Saldi Isra angka 5 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-
Undang 574
Lihat Pendapat Ahli Jayus angka 1 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-
2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-
Undang 575
Anonim, “Jimly: Perppu yang Akan Dikeluarkan Presiden Bisa Mengebiri MK” dalam
http://news.detik.com/berita/d-2379410/jimly-perppu-yang-akan-dikeluarkan-presiden-bisa-
mengebiri-mk?nd772204topnews diakses pada tanggal 10 Agustus 2021
246
ungkapan “ke atas tak berpucuk, ke bawah tak berakar, di tengah digerek
kumbang”.576
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2013 yang
menguji Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
kiranya dapat menjadi sumber hukum yang mengakhiri perdebatan
mengenai Perpu Nomor 1 Tahun 2013. Putusan ini meninjau baik dari
aspek formil maupun materil termasuk perihal konstitusionalitas Perpu
Nomor 1 Tahun 2013. Meskipun objek yang diajukan permohonan adalah
dalam bentuk undang-undang pengesahan terhadap Perpu Nomor 1 Tahun
2013, namun hakikat penetapan perpu, serta bentuk perpu secara ideal,
juga turut dipertimbangkan di dalam putusan tersebut.
Secara formil, Mahkamah Konstitusi di dalam pertimbangan
hukumnya menyebutkan bahwa konsideran menimbang Perpu Nomor 1
Tahun 2013 tidak mencerminkan adanya kegentingan yang memaksa.
Demikian pula dengan indikator-indikator hal ikhwal kegentingan yang
memaksa sebagaimana telah ditetapkan di dalam Putusan Mahkamah
576
Lihat Pendapat Ahli H.A.S. Natabaya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-
2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-
Undang. H.A.S. Natabaya merupakan salah satu hakim konstitusi yang mengadili perkara
pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutananan. Di dalam putusan tersebut, Mahamah Konstitusi mengarahkan agar hal ikhwal
kegentingan yang memaksa sebagai dasar pembentukan Perpu, dicantumkan di dalam konsideran.
247
Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang juga tidak terpenuhi di dalam
Perpu Nomor 1 Tahun 2013.577
Bahkan Mahkamah Konstitusi juga
melihat dari indikator lain, yaitu akibat hukum dari sebuah perpu yang
seharusnya bersifat promt immediately atau sontak segera untuk
memecahkan permasalahan hukum yang ada. Perpu Nomor 1 Tahun 2013
dinilai tidak mempunyai karakter tersebut dibuktikan bahwa meskipun
perpu tersebut bahkan sudah ditetapkan menjadi undang-undang, perpu
tersebut belum pernah menghasilkan produk hukum apapun. Bahkan
sampai dengan perpu yang telah ditetapkan menjadi undang-undang
tersebut diujikan ke Mahkamah konstitusi, Panel Ahli dan Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi yang menjadi amanat perpu tersebut belum
terbentuk.578
Kendatipun keduanya telah terbentuk, tidak ada
permasalahan genting dan memaksa yang harus diselesaikan segera.
Perekrutan hakim konstitusi untuk menggantikan Akil Mochtar juga belum
dapat dilakukan disebabkan oleh beberapa ketentuan dalam perpu, yang ini
berarti, alih-alih menyelesaikan permasalahan, Perpu Nomor 1 Tahun
577
Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-
Undang, hlm. 120 578
Perpu merupakan pranata hukum luar biasa atau emergency power yang diberikan
kepada presiden untuk sesegera mungkin mengatasi permasalahan bangsa dan negara. Menjadi
suatu ironi, ketika suatu perpu ditetapkan, namun pada tataran implementasi, tidak mempunyai
efek kesegeraan, maka dalam batas penalaran yang wajar, kegentingan yang memaksa tidak benar-
benar terjadi.
248
2013 justru memunculkan permasalahan berupa memperlambat seleksi dan
penggantian hakim konstitusi.579
Sucara substansial, Perpu Nomor 1 Tahun 2013 ini menunjukkan
adanya pertentangan dengan konstitusi dan melawan putusan Mahkamah
Konstitusi yang telah ditetapkan terdahulu. Berkaitan dengan pengawasan
hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor
005/PUU-IV/2006 telah menegaskan bahwa Komisi Yudisial tidak
mempunyai keterkaitan dengan hakim pada Mahkamah Konstitusi. Hakim
konstitusi tidak terkait dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 24B
UUD 1945, melainkan hanya sebatas hakim pada Mahkamah Agung.
Demikian pula dengan kewenangan Komisi Yudisial dalam pembentukan
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang dinilai bertentangan dengan
Pasal 24B UUD 1945 sebagaimana telah ditafsirkan melalui Putusan
005/PUU-IV/2006. Ketidaksesuaian dengan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 ini, maka menurut Mahkamah
Konstitusi, materi muatan di dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2013 itu
merupakan bentuk penyelundupan hukum.580
579
Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Menjadi Undang-Undang, hlm. 120 580
Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Menjadi Undang-Undang, hlm. 115
249
Berkaitan dengan pencalonan hakim konstitusi, Mahkamah
Konstitusi memandang bahwa pengajuan calon hakim konstitusi melalui
panel ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial sebagaimana ditentukan
Perpu Nomor 1 Tahun 2013, telah mereduksi kewenangan Mahkamah
Agung, DPR, dan Presiden. Mahkamah Konstitusi menganalogikan
dengan pengajuan Rancangan Undang-Undang oleh Presiden yang terlebih
dahulu harus melalui panel ahli yang dibentuk lembaga negara lain.
Karena itu, Panel Ahli sebagaimana dimaksud di dalam Perpu Nomor 1
Tahun 2013 ini bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3) yang telah
memberikan kewenangan secara atributif kepada 3 (tiga) lembaga
(Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden), dan bertentangan dengan filosofi
yang mendasari hakim konstitusi dipilih oleh lembaga negara yang
berbeda.581
Berkaitan dengan ketentuan penambahan syarat tidak menjadi
anggota partai politik minimal 7 (tujuh) tahun, menurut Mahkamah
Konstitusi,582
ketentuan tersebut merupakan respon atas kasus Akil
Mochtar, yang akarnya berasal dari stigma masyarakat. Mahkamah
Konstitusi menegaskan bahwa membentuk hukum, terutama yang
581
Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Menjadi Undang-Undang 582
Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Menjadi Undang-Undang, hlm. 115
250
membatasi hak konstitusional warga negara (termasuk untuk terlibat dalam
partai politik yg dijamin konstitusi) harus dengan dasar dan landasan yang
valid dan kokoh, bukan atas dasar stigma. Pada konteks ini, Mahkamah
Konstitusi merujuk pada Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003. Dari segi
original inten, menurut Mahkamah Konstitusi, hal itu juga bertentangan
dengan konstitusi, karena pegajuan hakim konstitusi dari DPR sebenarnya
dimaksudkan agar DPR bebas memilih termasuk dari anggota DPR
sepanjang memenuhi syarat, asalkan setelah terpilih, melepaskan
keanggotaannya dari partai politik. Mahkamah Konstitusi juga
menganalisis secara teknis dan detail mengenai keanggotaan partai politik,
misalkan seputar validitas keanggotaan, sasaran larangan berupa anggota
aktif atau simpatisan, siapa yang menyatakan telah berhenti, apakah partai
politik yang dimaksud adalah partai politik di parlemen atau semua jenis
partai politik, kerentanan pemalsuan dokumen keanggotaan, dan
sebagainya. Sehingga hal itu dipandang bertentangan dengan Pasal 24C
ayat (3), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan (3), Pasal 28E ayat (3) UUD
1945, dan tidak mempunyai landasan konstitusional sebagaimana Pasal
28J ayat (2) UUD NRI 1945.
Mahkamah Konstitusi pada akhirnya membatalkan seluruh materi
muatan di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
karena beberapa materi muatan yang dinilai bertentangan dengan
251
konstitusi di atas, merupakan materi muatan inti atau jantung dari undang-
undang dimaksud.
Selain persoalan konstitusionalitas, melalui Putusan Nomor 1-
2/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi memandang,583
bahwa Perpu
Nomor 1 Tahun 2013 ini juga mengandung permasalahan hukum dan
kerancuan materi muatan, yaitu pertama, ketidakjelasan tentang peraturan
pelaksanaan dari Perpu yang ini tercantum dalam Pasal 87B ayat (2) Perpu
Nomor 1 Tahun 2013. Kedua, jangka waktu pembentukan peraturan
pelaksanaan yaitu selama 3 (tiga) bulan, tetapi sampai dengan 3 bulan dan
bahkan sampai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Perpu Nomor 1 Tahun 2013 diajukan ke Mahkamah Konstitusi, belum ada
peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan. Ketiga, Pasal 87B ayat (3) yang
berkontradiksi dengan ayat (2). Ketentuan dalam ayat (2) mengamanatkan
peraturan yang sifatnya umum, tetapi dalam ayat (3) membuat keputusan
yang sifatnya konkret.
583
Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-
Undang, hlm. 113-115
252
8. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perpu Nomor 1
Tahun 2014) ini dibentuk untuk mengakomodasi penolakan rakyat atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah
secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
yang diklaim penolakannya bersifat luas dan proses pengambilan
keputusannya telah menimbulkan persoalan serta kegentingan yang
memaksa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-
VII/2009.584
Melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2014, presiden memberikan
justifikasi bahwa amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 perihal
pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis perlu
ditegaskan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung
oleh rakyat.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
584
Lihat dalam Konsideran huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
253
tentang Pemerintahan Daerah (Perpu Nomor 2 Tahun 2014) merupakan
tindak lanjut dari Perpu Nomor 1 Tahun 2014 dalam rangka
mengharmonisasikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang di
dalamnya memberikan kewenangan pada DPRD Provinsi untuk memilih
gubernur dan DPRD Kabupaten/Kota untuk memilih bupati/walikota.
Dikeluarkannya Perpu Nomor 2 Tahun 2014 adalah untuk memberikan
kepastian hukum agar tidak terjadi perbedaan pengaturan atau conflict of
norm antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 dan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014.
Secara substansial, Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ini menggeser
mekanisme pemilihan kepala daerah yang semula akan dilaksanakan
secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014, menjadi pemilihan
secara langsung oleh rakyat. Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ini mencabut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014.585
Materi muatan perpu mengatur
seluruh mekanisme penyelenggaraan tersebut, meliputi penyelenggara
yaitu Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Kabupaten/Kota termasuk
tugas dan kewenangannya, tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah, sumber pendanaan, hingga penyelesaian sengketa hasil
pemilihan kepala daerah. Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ini kemudian
disetujui oleh DPR untuk menjadi undang-undang yang ditetapkan dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
585
Lihat dalam Pasal 205 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
254
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Adapun Perpu Nomor 2 Tahun 2014, secara substansial hanya
memuat 2 (dua) ketentuan, yaitu menghapus ketentuan dalam Pasal 101
ayat (1) huruf d yang memberikan kewenangan bagi DPRD Provinsi untuk
memilih gubernur, dan menghapus Pasal 154 ayat (1) huruf d yang berisi
kewenangan DPRD Kabupaten/Kota untuk memilih bupati/walikota.
Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ini di dalam konsiderannya memang
menyebutkan klausul kegentingan yang memaksa berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Bahkan di dalam
penjelasan umumnya, 3 (tiga) indikator kegentingan yang memaksa
berdasarkan putusan tersebut juga disebutkan secara eksplisit. Hanya saja,
tidak dijelaskan atau disebutkan peristiwa atau bentuk kegentingan yang
memaksa sehingga harus menetapkan perpu. Peristiwa konkret yang
disebutkan di dalam konsideran perpu hanya tentang penolakan
masyarakat yang luas. Memang secara faktual, proses pembentukan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 memantik beberapa lembaga
swadaya masyarakat dan mahasiswa untuk melakukan demonstrasi
menolak mekanisme pemilihan kepala daerah tidak langsung melalui
DPRD.586
Namun fakta tersebut belum dapat dikualifikasikan sebagai
peristiwa kegentingan yang memaksa sehingga menggangu jalannya
586
Arie Riswandi, “Koalisi LSM dan Mahasiswa Demo Tolak Pilkada Lewat DPRD”
artikel dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20140924131136-32-4203/koalisi-lsm-dan-
mahasiswa-demo-tolak-pilkada-lewat-dprd diakses pada tanggal 9 Agustus 2021
255
pemerintahan. Merupakan sesuatu yang wajar dalam negara demokrasi,
kebijakan pemerintah memunculkan respon berbeda bahkan penolakan
dari rakyat.
Alasan presiden untuk mengeluarkan perpu dalam rangka
mengakomodasi aspirasi masyarakat yang menolak pemilihan secara tidak
langsung tersebut bahkan dapat dilakukan pada proses legislasi yaitu
dalam tahap pembahasan dan persetujuan rancangan undang-undang.
Dilihat dari kondisi sosiologis, suara penolakan masyarakat yang
disalurkan salah satunya melalui demonstrasi, bahkan telah terjadi sejak
rancangan undang-undang tersebut belum ditetapkan.587
Secara normatif
yuridis, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yang menjadi dasar pedoman
pembentukan peraturan perundang-undangan, mensyaratkan adanya
partisipasi dari masyarakat.588
Pranata yuridis untuk meninjau aspirasi
masyarakat telah tersedia di dalam undang-undang tersebut. Dengan
demikian, aspirasi masyarakat terhadap pembentukan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2014 ini sangat prediktif dan seharunya telah diketahui
587
Lingkaran Survei Indonesia juga telah merilis hasil survei terakhirnya sebelum
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 ditetapkan yang menunjukkan bahwa mayoritas
responden mendorong presiden untuk menarik diri sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2014 yang pada saat itu masih dalam bentuk rancangan undang-undang, tidak ditetapkan menjadi
undang-undang. Lihat dalam Anonim, “Survei LSI: 74 Persen Publik Ingin Presiden SBY Tarik
RUU Pilkada” artikel dalam
https://nasional.kompas.com/read/2014/09/18/15145881/Survei.LSI.74.Persen.Publik.Ingin.Presid
en.SBY.Tarik.RUU.Pilkada, diakses pada tanggal 9 Agustus 2021 588
Lihat dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019
256
dan dijadikan pertimbangan pada proses pembahasan hingga persetujuan.
Dengan demikian apabila presiden memang benar hendak mengakomodasi
aspirasi masyarakat yang menolak pemilihan secara tidak langsung, maka
hal tersebut dapat dilakukan dengan menolak rancangan undang-undang
tersebut untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Bagaimanapun, UUD
NRI 1945 meletakkan presiden dan DPR setara dalam setiap tahapan
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Aspek kekosongan hukum sehingga memerlukan solusi berupa
pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ini juga tidak dapat diterima
sebagai alasan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 telah ditetapkan
pada tanggal 30 September 2014 dan diundangkan pada tanggal 2 Oktober
2014. Sedangkan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ditetapkan dan diundangkan
pada tanggal 2 Oktober 2014. Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2014 hanya berlaku beberapa jam untuk kemudian
dicabut kembali melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2014, sekaligus
menunjukkan bahwa pada saat perpu tersebut ditetapkan dan diundangkan,
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah telah mempunyai dasar hukum,
sehingga tidak tepat apabila disebut sebagai kekosongan hukum. Alih-alih
untuk mengatasi peristiwa genting dan memaksa serta mengisi kekosongan
hukum, pembentukan perpu untuk menganulir undang-undang yang baru
berlaku dalam hitungan jam ini justru menunjukkan inkonsistensi dan
penyimpangan presiden dalam proses legislasi.
257
Pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ini juga memunculkan
kesan bahwa presiden hendak memposisikan diri di atas DPR dalam
proses legislasi dengan menggunakan pranata hukum perpu sebagai alat
politiknya. Memang tidak dapat dicarikan pembenaran secara teoretis,
namun dalam batas penalaran yang wajar, perpu yang sifat keberlakuannya
sementara untuk menanggulangi keadaan krisis, secara rasional akan
memuat pengaturan yang juga sederhana karena disusun dalam keadaan
mendesak dan waktu yang terbatas. Namun materi muatan Perpu Nomor 1
Tahun 2014 ini memuat pengaturan hingga 206 (dua ratus enam) pasal
yang ditetapkan dan diundangkan beberapa jam setelah Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2014 diundangkan. Ini menunjukkan bahwa Perpu
Nomor 1 Tahun 2014 memang disiapkan dalam waktu yang cukup lama
dan sangat mungkin ketika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 masih
dalam bentuk rancangan undang-undang.
Pertimbangan lain yang menjiwai substansi Perpu Nomor 1 Tahun
2014 tersebut yaitu berkaitan dengan upaya untuk menjamin pemilihan
kepala daerah secara demokratis sesuai amanat Pasal 18 ayat (4) UUD
NRI 1945 yang diterjemahkan sebagai pemilihan secara langsung oleh
rakyat, menunjukkan kerancuan pemahaman mengenai demokrasi dan
kedaulatan rakyat. Konsekuensinya, makna demokrasi dan kedaulatan
rakyat, serta amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 tereduksi. Sebagai
batu ujinya, Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi (the sole
interpreter of constitution) sebelumnya telah menegaskan dalam beberapa
258
putusannya, bahwa frasa “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat
(4) dapat dimaknai ke dalam bentuk pemilihan secara langsung oleh rakyat
maupun pemilihan secara tidak langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan kondisi di
setiap daerah yang bersangkutan. Maka penentuan bentuk pemilihan
kepala daerah dikualifikasikan sebagai open legal policy.589
Namun
substansi Perpu Nomor 1 Tahun 2014, semacam memberikan batasan
pemaknaan, bahwa pemilihan secara demokratis adalah pemilihan
langsung oleh rakyat. Ini sekaligus memberikan gambaran bahwa pada
dasarnya, substansi Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tersebut mereduksi makna
Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, sekaligus menentang putusan
Mahkamah Konstitusi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Seluruh problematika yang ada pada Perpu Nomor 1 Tahun 2014,
dengan demikian juga secara mutatis mutandis melekat pada Perpu Nomor
2 Tahun 2014 karena kedua perpu tersebut ditetapkan sebagai satu
rangkaian persoalan yang sama. Meskipun memang secara formil, Perpu
Nomor 2 Tahun 2014 tidak menyinggung apapun yang menjadi dasar
kegentingan yang memaksa sehingga presiden merasa perlu menetapkan
perpu.
589
Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
259
9. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
Di dalam konsideran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perpu Nomor
2 Tahun 2017) disebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan mempunyai celah kekosongan hukum
karena dianggap belum mengatur secara komprehensif tentang organisasi
kemasyarakatan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945
dan belum mengatur tentang asas contrarius actus yang berimplikasi pada
tidak efektifnya penerapan sanksi terhadap organisasi kemasyarakatan
yang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham
yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945.590
Celah yang
ada pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 itu menjadikan undang-
undang tersebut tidak akomodatif terhadap organisasi kemasyarakatan
yang menurut pemerintah telah secara faktual terbukti melaksanakan
kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945, serta
590
Lihat Konsideran huruf c dan huruf e Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan.
260
kegiatannya tidak sejalan dengan asas organisasi kemasyarakatan
sebagaimana yang terdaftar dan telah disahkan oleh pemerintah.591
Secara sosiologis, pemerintah mendalilkan bahwa perkambangan
organisasi kemasyarakatan saat ini begitu pesat dan tidak hanya bergerak
dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan, namun juga masuk pada ranah
ideologi, politik, budaya, agama, bahkan pertahanan dan keamanan, dan
berbagai aspek lain. Namun perkembangan yang pesat itu, tidak diimbangi
dengan pengaturan yang komprehensif, sehingga berakibat pada sering
munculnya masalah dari aspek legalitas, akuntabilitas, pelayanan,
pemberdayaan, hingga masalah dalam penegakan hukum. Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 juga masih memberikan definisi yang terbatas
mengenai ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yaitu
hanya pada atheism, komunisme/marxisme-leninisme. Demikian juga
dengan prosedur pengenaan sanksi bagi organisasi kemasyarakatan yang
melanggar Pancasila dan UUD 1945 yang dipandang kurang efektif dan
efisien karena membutuhkan waktu yang cukup panjang. Keadaan ini yang
dipandang oleh pemerintah sebagai keadaan yang mendesak, kekosongan
hukum, dan tidak bisa dengan cara biasa sehingga diterbitkan Perpu
Nomor 2 Tahun 2017.592
591
Lihat Konsideran huruf d Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. 592
Lihat Penjelasan Pemerintah atas Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2017 dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XV/2017 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, hlm. 48-49
261
Substansi Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini di antaranya yaitu
mendefinisikan ulang organisasi kemasyarakatan dengan penegasannya
berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagaimana disebutkan di
dalam ketentuan umum; menambah sanksi pidana bagi organisasi
kemasyarakatan atas pelanggaran tertentu dari yang semula hanya sanksi
administratif berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013.
Sedangkan sanksi administratif dalam bentuk peringatan tertulis yang
semula diberikan sebanyak 3 (tiga) kali dengan masing-masing tahapan
berlaku dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari,593
diubah menjadi 1
(satu) kali peringatan tertulis dengan jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak
tanggal peringatan diterbitkan.594
Seluruh ketentuan di dalam Pasal 63
hingga Pasal 80 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dihapus, yang
secara substansial mengatur mengenai kewajiban pemerintah untuk
meminta pertimbangan hukum kepada Mahkamah Agung, dan Pemerintah
Daerah untuk meminta pertimbangan kepada DPRD, Kepala Kejaksaan,
dan Kepala kepolisian, dalam hal penjatuhan sanksi penghentian
sementara kegiatan organisasi kemasyarakatan yang lingkupnya nasional;
kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk meminta
pertimbangan hukum kepada Mahkamah Agung sebelum menjatuhkan
sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar bagi organisasi
kemasyarakatan yang tidak berbadan hukum; pencabutan status badan
593
Lihat dalam Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan 594
Lihat dalam Pasal 62 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan
262
hukum yang dilakukan setelah mendapatkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang pembubaran organisasi
kemasyarakatan berbadan hukum berikut mekanismenya.
Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini memberikan ruang subyektifitas
bagi pemerintah untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan yang
dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945. Ukuran
untuk menetapkan sebuah organisasi kemasyarakatan tidak lagi
berdasarkan putusan pengadilan, namun berdasarkan persepsi pemerintah
sendiri. Jenis sanksi yang diatur di dalam Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini
juga tampak lebih represif daripada sanksi yang mendasarkan pada
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 sebelumnya yang cenderung lebih
persuasif.
Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini disetujui oleh DPR untuk
ditetapkan menjadi undang-undang yang penetapannya berdasarkan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang.
Pada uraian sebelumnya dijelaskan bahwa salah satu indikator
yang digunakan Mahkamah Konstitusi untuk melihat kegentingan yang
memaksa adalah sifat sontak segera perpu, karena dengan demikian akan
terlihat bahwa suatu perpu memang benar-benar mendesak untuk
263
ditetapkan dalam rangka sesegera mungkin mengatasi permasalahan yang
ada. Sampai dengan satu minggu setelah ditetapkannya Perpu Nomor 2
Tahun 2017 ini, belum ada organisasi kemasyarakatan yang dibubarkan
berdasarkan perpu tersebut, sehingga dasar hal ikhwal kegentingan yang
memaksa sehingga Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini ditetapkan, juga
dipertanyakan oleh ahli hukum Yusril Ihza Mahendra.595
Padahal, di dalam
konsideran Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini secara tegas menyebutkan
bahwa terdapat organisasi kemasyarakatan yang dalam kegiatannya tidak
sejalan dengan asas organisasi kemasyarakatan berdasarkan anggaran
dasarnya yang terdaftar dan telah disahkan oleh pemerintah, dan bahkan
secara faktual telah terbukti ada organisasi kemasyarakatan yang dalam
kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945.
Meskipun untuk disebutkan telah terbukti bertentangan dengan Pancasila
dan UUD NRI 1945 tersebut masih menjadi subyektivitas atau anggapan
sepihak pemerintah. Fakta tersebut pada akhirnya menegaskan bahwa hal
ikhwal kegentingan yang memaksa tidak benar-benar nyata sehingga
membutuhkan instrumen hukum berupa perpu.
Aspek kekosongan hukum, apabila memang benar secara faktual
telah ada organisasi kemasyarakatan yang bertentangan dengan Pancasila
dan UUD NRI 1945, juga tidak dapat dibenarkan karena Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 yang secara substansial juga telah mengatur
595
Anonim, “Yusril Ihza Mempertanyakan Kegentingan Perpu Ormas” artikel dalam
https://nasional.tempo.co/read/892459/yusril-ihza-mempertanyakan-kegentingan-perpu-ormas-
karena/full&view=ok diakses pada tanggal 10 Agustus 2021
264
mekanisme pemberian sanksi secara lengkap, secara yuridis masih berlaku
mengikat. Artinya, pemerintah masih dapat merespon organisasi terlarang
berdasarkan undang-undang tersebut. Demikian pula untuk dikatakan
bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tidak lagi memadai untuk
merespon permasalahan (tidak efektif), belum terbukti secara nyata,
karena sampai dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ditetapkan, belum ada
langkah hukum yang diambil oleh pemerintah berdasarkan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013.
Secara empiris, sebagaimana diakui pemerintah bahwa dasar
dikeluarkannya perpu ini adalah adanya kegiatan organisasi masyarakat
yang sudah terang-terangan, jelas dan tegas melakukan tindakan yang
sifatnya mengubah ideologi Pancasila dengan sistem khilafah.596
Padahal,
pada saat dikeluarkannya perpu ini, tidak ada bentuk kedaruratan yang
sampai mengganggu jalannya pemerintahan berdasarkan UUD NRI 1945
dan Pancasila, ataupun kegiatan organisasi kemasyarakatan yang
kegiatannya secara nyata dan masif merongrong keberadaan negara.
Negara masih dalam keadaan kondusif untuk menjalankan seluruh agenda
ketatanegaraan. Karena itu, terlepas dari aspek substansi perpu, menurut
596
Lihat Penjelasan Pemerintah atas Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2017 dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XV/2017 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, hlm. 49
265
Hamdan Zoelva,597
dan Jimly Asshiddiqie,598
Perpu Nomor 2 Tahun 2017
ini tidak memenuhi kualifikasi hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Secara substansial, Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini juga menjadi
sorotan karena meniadakan peran peradilan dalam proses pembubaran
organisasi masyarakat. Melalui perpu ini, pemerintah dapat serta merta
membubarkan organisasi masyarakat yang menurut pemerintah
bertentangan dengan perpu ini, dengan proses penjatuhan sanksi
pembubaran tersebut yang juga dipercepat. Implikasi ini menurut penulis
merupakan bentuk kemunduran semangat bernegara hukum.
Secara teoretis, sebagaimana telah diuraikan pada bagian
sebelumnya, baik Friedrich Julius Stahl yang memaknai negara hukum
pada konsep rechstaat, maupun A.V. Dicey dalam kerangka rule of law,
sama-sama menghendaki bahwa salah satu unsur negara hukum adalah
adanya peradilan tata usaha negara dan due process of law. Hal ini pada
konteks Indonesia kemudian juga dipertegas oleh Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang
Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Mengganggu
Ketertiban Umum juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang
597
Anonim “Eks Ketua MK: Perpu Ormas Tak Penuhi Syarat Dikeluarkannya Perpu”
artikel dalam https://nasional.tempo.co/read/892326/eks-ketua-mk-perpu-ormas-tak-penuhi-syarat-
dikeluarkannya-perpu/full&view=ok diakses pada tanggal 10 Agustus 2021 598
Anonim, “Penyebab Jimly Asshiddiqie Tak Setuju Penerbitan Perppu Ormas” artikel
dalam https://nasional.tempo.co/read/891232/penyebab-jimly-asshiddiqie-tak-setuju-penerbitan-
perppu-ormas/full&view=ok diakses pada tanggal 10 Agustus 2021
266
Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Bahwa due process of law merupakan prosedur
yang mutlak apabila ada suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai
perbuatan melawan hukum. Tindakan pembatasan terhadap hak asasi
manusia tanpa melalui proses peradilan, menurut Mahkamah Konstitusi
merupakan bentuk dari eksekusi tanpa peradilan (extra judicial execution)
yang jauh dari prinsip negara hukum dan lebih dekat dengan karakter
negara kekuasaan. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini mencontohkan
pada proses pembubaran partai politik yang dahulu dapat serta merta
dilakukan oleh pemerintah tanpa ada putusan pengadilan terlebih dahulu,
atau peristiwa penjatuhan Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman
Wahid yang dijatuhkan dari jabatannya tanpa melalui proses peradilan.
Menurut Mahkamah Konstitusi, beberapa contoh tersebut menggambarkan
negara lebih dekat dengan karakter kekuasaan daripada negara hukum.599
Apa yang dicontohkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut kiranya
juga mirip dengan proses pembubaran organisasi kemasyarakatan ini, yang
dengan meniadakan peran peradilan sebelum penjatuhan sanksi, akan
mengembalikan paham kekuasaan di atas hukum sebagaimana yang terjadi
sebelum reformasi. Konsekuensi paling rasionalnya pendekatan kekuasaan
599
Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang
Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Mengganggu Ketertiban Umum juncto
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang.
267
di atas hukum dalam pembubaran organisasi kemasyarakatan ini, yaitu
Pancasila dan UUD NRI 1945 akan menjadi tafsir tunggal pemerintah,
sehingga segala jenis organisasi kemasyarakatan yang mempunyai
pemahaman yang berbeda dengan pemerintah atas Pancasila dan UUD
NRI 1945, dapat serta merta dibubarkan. Penulis sependapat dengan Susi
Dwi Harijanti bahwa Perpu Nomor 2 Tahun 2017 ini justru meniadakan
jaminan procedural fairness yang menjadi salah satu elemen penting
dalam ajaran negara hukum.600
Memang benar, upaya melalui pengadilan masih dapat dilakukan
dengan dibukanya peluang untuk melakukan pengujian kepada peradilan
tata usaha negara atas keputusan pemerintah yang melakukan pembubaran
organisasi kemasyarakatan, namun mekanisme tersebut tidak bisa
mencegah dan mengontrol subyektivitas pemerintah dalam proses
pembubaran yang dilakukan secara sepihak, sehingga sebelum ada gugatan
dan sebelum diputus oleh hakim dengan kekuatan hukum tetap, maka
keputusan pemerintah atas pembubaran itulah yang berlaku, yang dengan
keberlakuannya itu, hak konstitusional warga negara untuk berserikat telah
dibatasi.601
600
Susi Dwi Harijanti, “Perppu Sebagai Extra Ordinary Rules: Makna dan Limitasi”
artikel disampaikan dalam diskusi publik “Membedah Makna „Kegentingan Memaksa‟ dalam
Perppu”, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Atmajaya dengan APHTN-HAN DKI Jakarta, 8
Agustus 2017, hlm. 87 601
M. Beni Kurniawan, “Konstitusionalitas Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas
Ditinjau dari UUD 1945” artikel dalam Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 3, September 2018,
hlm. 469
268
10. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi
Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau
Stabilitas Sistem Keuangan
Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini ditetapkan oleh presiden untuk
merespon pandemi Covid-19 yang membawa dampak selain terhadap
kesehatan masyarakat, juga kepada perekonomian nasional berupa
perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, menurunnya penerimaan
negara, stabilitas sistem keuangan, dan memburuknya sistem keuangan
yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik.
Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini merupakan instrumen hukum yang
dibentuk sebagai upaya penyelamatan kesehatan dan perekonomian
nasional pada aspek belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial, dan
pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat
yang terdampak.602
Pemerintah memandang bahwa dampak sebagaimana
diuraikan di atas menuntut upaya yang luar biasa untuk menyelamatkan
perekonomian nasional dan menjaga stabilitas sistem keuangan, sehingga
Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini penting untuk ditetapkan.
602
Lihat dalam Konsideran huruf b Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi
Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
269
Secara substansi, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 lebih berfokus pada
pengaturan tentang penyelamatan perekonomian dan keuangan negara
sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Pasal 1 Perpu Nomor 1 Tahun 2020
ditegaskan tentang perlunya menetapkan kebijakan keuangan negara dan
kebijakan stabilitas sistem keuangan, baik dalam penanganan pandemi
Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang
membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem
keuangan, dengan ruang lingkup kebijakan pendapatan negara termasuk
kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk
kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, serta
kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang
membahayakan perekonomian nasional.603
Ruang lingkup pengaturan
dalam kebijakan keuangan negara meliputi penganggaran dan pembiayaan;
kebijakan keuangan daerah yang memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk melakukan refocusing anggaran, perubahan
alokasi dan penggunaan APBD; kebijakan di bidang perpajakan baik
dalam bentuk penyesuaian tarif pajak, perpajakan dalam perdagangan
melalui sistem elektronik, perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan
pemenuhan kewajiban perpajakan, dan pemberian kewenangan kepada
menteri keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa
pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi
603
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi
Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
270
darurat dan pemulihan ekonomi; pelaksanaan program pemulihan ekonomi
nasional yang sasarannya adalah peningkatan kemampuan ekonomi para
pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan dalam menjalankan
usahanya melalui penyertaan modal negara, penempatan dana dan/atau
investasi pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan berdasarkan skema
tertentu; dan pelaksanaan kebijakan keuangan negara yang
mengamanatkan pengaturannya berdasarkan peraturan presiden.
Semua bentuk kebijakan dan mekanisme penyelamatan
perekonomian dan keuangan negara sebagaimana diuraikan di atas,
melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini, pejabat yang melaksanakan
substansi perpu diberikan imunitas hukum atau kekebalan hukum. Pasal 27
ayat (1) telah mengkualifikasikan sejak awal bahwa biaya yang
dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam
melaksanakan kebijakan yang termuat dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020
merupakan biaya ekonomi yang dikeluarkan untuk penyelamatan
perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara,
sedangkan ayat (2) dan ayat (3) secara tegas menyebutkan bahwa Anggota
dan Sekretaris KSSK, Anggota Sekretariat KSSK, pejabat atau pegawai
Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan,
Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya yang melaksanakan
substansi Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini tidak dapat dituntut baik secara
pidana, maupun perdata jika dalam melaksanakan tugas berdasarkan itikad
baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta
271
segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasakan Perpu
Nomor 1 Tahun 2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat
diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini disetujui oleh DPR untuk menjadi
undang-undang yang penetapannya melalui Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan Menjadi Undang-Undang.
Memang benar bahwa pandemi Covid-19 telah membawa dampak
yang sedimikian siginfikan terhadap seluruh aspek kehidupan, tidak
terkecuali aspek ekonomi. Kehidupan dan interaksi sosial berubah,
penyelenggaraan negara dan pemerintahan terganggu bahkan tidak
berjalan sehingga menghambat akses publik untuk mendapatkan
pelayanan,604
merosotnya aspek ekonomi,605
dan yang terutama adalah
604
Tidak sedikit kantor pemerintahan yang melaksanakan pelayanan masyarakat ditutup
setelah beberapa pegawainya dinyatakan positif Covid-19. Beberapa di antaranya misalnya Kantor
Bupati Lebak tutup pada 22 Februari 2021 sampai dengan 25 Februari 2021, dalam Anonim,
“Kantor Bupati Lebak Ditutup Setelah 25 Pegawai Positif Covid-19” artikel dalam
https://nasional.tempo.co/read/1435501/kantor-bupati-lebak-ditutup-setelah-25-pegawai-positif-
covid-19/full&view=ok diakses pada tanggal 21 Agustus 2021. Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Kulon Progo tidak menerima pelayanan pada tanggal 16 November
2020 sampai dengan 18 November 2020, Lihat dalam Anonim, “Kantor Disdukcapil Kulon Progo
Tutup Setelah Seorang Pegawai Positif Covid” artikel dalam
https://regional.kompas.com/read/2020/11/16/11344881/kantor-disdukcapil-kulon-progo-tutup-
setelah-seorang-pegawai-positif-covid, diakses pada tanggal 21 Agustus 2021.
272
aspek kesehatan yang sangat erat kaitannya dengan hak atas hidup. Uraian
ini hendak menunjukkan bahwa memang benar terdapat peristiwa darurat
yang menurut penulis telah memenuhi keadaan hal ikhwal kegentingan
yang memaksa dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini terutama
berkaitan dengan jaminan pemenuhan dan perlindungan hak warga negara
yang telah tereduksi baik hak untuk mendapatkan pelayanan publik, dan
terlebih hak untuk hidup. Namun instrumen hukum dalam bentuk perpu
yang ditetapkan oleh presiden cenderung hanya berfokus pada antisipasi
penanganan permasalahan ekonomi dan tidak memberikan pengaturan
darurat terhadap pemenuhan hak asasi manusia dalam berbagai bidang
yang tereduksi sebagai akibat dari pandemi Covid-19.
Aspek keberfungsian institusi pemerintahan, seharusnya juga
diberikan landasan yuridis dalam kerangka hukum darurat negara agar
keberlangsungan agenda ketatanegaraan di tengah pandemi Covid-19 tetap
terjamin. Fakta konkret tidak berfungsinya secara maksimal lembaga
tinggi negara yang berkorelasi langsung dengan Perpu Nomor 1 Tahun
2020 ini bahkan secara nyata terjadi. DPR dalam menjalankan fungsinya
berupa persetujuan terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi undang-
undang ini, tidak bisa dijalankan sebagaimana mestinya, yaitu persidangan
yang dilakukan secara virtual. Keadaan ini mendapatkan sorotan dari
605
Sampai dengan Agustus 2020, setidaknya terdapat 12 (dua belas) negara yang
mengalami resesi akibat pandemi Covid-19 yaitu Inggris, Malaysia, Polandia, Amerika Serikat,
Jerman, Prancis, Italia, Korea Selatan, Jepang, Hong Kong, Singapura, dan Filipina. Lihat dalam
Fika Nurul Ulya, "Sudah 12 Negara yang Kini Alami Resesi", artikel
dalam https://money.kompas.com/read/2020/08/17/104459826/sudah-12-negara-yang-kini-alami-
resesi?page=all#page2 diakses pada tanggal 21 Agustus 2021
273
banyak pihak, karena dikhawatirkan mereduksi semangat kedaulatan
rakyat disebabkan tidak dihadirinya sidang DPR secara konkret oleh
anggota. Mahkamah Konstitusi khusus mengenai persidangan virtual ini
memang telah memberikan putusan bahwa persidangan secara virtual itu
adalah sah dan konstitusional. Salah satu alasan Mahkamah Konstitusi
yaitu karena kerja dan fungsi DPR tetap harus berjalan meskipun dalam
masa pandemi, sehingga untuk melancarkan fungsi itu, maka cara-cara
baru yang memanfaatkan kecanggihan teknologi termasuk dalam hal ini
adalah persidangan secara virtual, harus ditoleransi meskipun memang
berpotensi menimbulkan masalah.606
Penulis dalam hal ini setuju dengan pendapat Mahkamah
Konstitusi, bahwa cara-cara baru dan mengesampingkan cara
konvensional untuk melaksanakan fungsinya dalam keadaan kedaruratan
perlu ditempuh. Namun mengakomodasi cara baru itu seharusnya juga
menjadi perhatian pemerintah dalam keadaan darurat. Bahwa ketentuan itu
harus mempunyai landasan hukum setingkat undang-undang yang dalam
hal ini adalah perpu, karena mekanisme baru itu mempunyai titik singgung
langsung dengan prinsip yang dianut konstitusi, yaitu kedaulatan rakyat.
Sayangnya, dasar pengaturan itu kemudian hanya termuat dalam Peraturan
DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang bahkan Mahkamah
606
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalan Putusan Nomor
37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang
274
Konstitusi pun pada akhirnya mengacu pada peraturan ini. Fakta ini
dikorelasikan dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menunjukkan bahwa
antara keadaan kedaruratan dengan penggunaan perpu sebagai instrumen
hukum darurat, tidak digunakan secara maksimal, tepat sasaran, atau tidak
komprehensif melainkan hanya parsial.
Secara umum dilihat dari aspek penggunaan instrumen perpu dan
implementasi konsep hukum tata negara darurat dalam merespon pandemi
Covid-19, justru tampak terjadi anomali. Dilihat secara spesifik
penggunaan hukum darurat negara,607
Pandemi Covid-19 ini tidak
diletakkan sebagai keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ataupun Pasal 22 UUD NRI 1945 oleh presiden. Hal ini melihat produk
hukum yang ditetapkan oleh presiden yaitu Keputusan Presiden Nomor 11
Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Corona Virus Disease 2019, dengan mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UUD
NRI 1945 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan. Dengan demikian, Presiden tidak merujuk pada
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang
merupakan turunan dari Pasal 12 UUD NRI 1945, juga tidak mengacu
pada Pasal 22 UUD NRI 1945.608
Apabila respon terhadap Pandemi
607
Victor Imanuel W. Nalle, “Kritik Terhadap Perppu di Masa Pandemi: Pembatasan Hak
Tanpa Kedaruratan” artikel dalam Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 33, No. 1, Tahun 2021, hlm. 81-82 608
Ada beberapa peraturan dalam bentuk undang-undang di Indonesia yang secara
substansial memiliki konsep kedaruratan dengan menyebutkan atau menggunakan klausul darurat
secara langsung. Beberapa undang-undang tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan
Konflik Sosial; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan; dan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
275
Covid-19 itu tidak diletakkan di bawah Pasal 12 dan Pasal 22 UUD NRI
1945 sebagai bentuk hukum darurat negara, maka Presiden seharusnya
tidak boleh melakukan penyimpangan dan penangguhan atas hukum dan
hak asasi manusia, karena Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 hanya
memberikan ruang untuk melakukan pembatasan hak individu hanya
dalam konteks kesehatan untuk mencegah persebaran penyakit. Pranata
hukum yang berlaku, dengan demikian, adalah sistem hukum normal,
bukan hukum darurat negara. Artinya, Keppres Nomor 11 Tahun 2020 itu
tidak bisa dijadikan dasar kedaruratan untuk menjustifikasi pembatasan
hak di luar konteks penanggulangan pandemi dari aspek kesehatan. Hal ini
pada akhirnya tentu berkontradiksi dengan substansi Perpu Nomor 1
Tahun 2020, yang meletakkan Pandemi Covid-19 sebagai keadaan darurat
negara dengan penyimpangan terhadap pranata hukum yang ada dengan
memberikan hak imunitas untuk tidak dapat digugat melalui peradilan tata
usaha negara.609
Secara substansial, yang menjadi titik kontroversial dari Perpu
Nomor 1 Tahun 2020 ini adalah pemberian imunitas yang termuat dalam
Keuangan. Persoalannya, keempat undang-undang di atas tidak merujuk pada Pasal 12 UU NRI
1945 sebagaimana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Konsekuensi
yuridisnya, maka keempat undang-undang di atas tidak menyebabkan berlakunya hukum darurat,
namun sistem hukum yang berlaku adalah tetap sistem hukum normal. Lihat dalam Fitra Arsil dan
Qurrata Ayuni, “Model Pengaturan Kedaruratan dan Pilihan Kedaruratan Indonesia dalam
Menghadapi Pandemi Covid-19” artikel dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 50, No. 2,
Tahun 2020, hlm. 432. Bandingkan dengan Herlambang Perdana Wiratraman, “Does Indonesian
Covid-19 Emergency Law Secure Rule of Law and Human Rights?” artikel dalam Journal of
Southeast Asian Human Rights, Volume 4, Nomor 1, 2020, hlm. 306 609
Victor Imanuel W.Nalle, Kritik... Op., Cit., hlm. 83
276
Pasal 27. Selengkapnya, ketentuan dalam Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun
2020 berbunyi sebagai berikut:
(1). Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau
lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan
kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di
bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk
kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan
pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan
program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian
dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian
dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
(2). Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretaris
KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan,
Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga
Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan
dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara
perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas
didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3). Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat
diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Dilihat dari pespektif negara hukum, pemberian imuntas semacam
itu tentu mengandung permasalahan. Menyerahkan kebijaksanaan dan
kekuasaan kepada seseorang tanpa adanya kontrol hukum yang jelas dalam
penyelenggaraan negara modern tentu bukan merupakan pilihan yang
tepat. Adagium sebagaimana dipopulerkan oleh Lord Acton bahwa
“power tends to corrupt, absolute power corrupt abosolutely” merupakan
dasar filosofis yang kuat mengapa kekuasaan yang diberikan kepada
seseorang harus dibatasi.
277
Memang Pasal 27 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2020
menyebutkan (mensyaratkan) klausul “itikad baik” dan “sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan” untuk tidak dapat dituntut secara perdata
ataupun pidana. Apabila ini dimaknai dengan tidak dapat dijatuhi
hukuman setelah melalui proses hukum di pengadilan, maka tentu
ketentuan Pasal 27 ayat (2) ini merupakan pengaturan yang tidak
mempunyai urgensi dan arti penting apapun. Bagaimanapun, baik dalam
hukum pidana maupun hukum perdata, tindakan pemerintah yang telah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilaksanakan
dengan itikad baik, memang tidak akan dapat dijatuhi hukuman tertentu.
Namun apabila ketentuan Pasal 27 ayat (2) tersebut dimaknai sebagai
dasar bahwa kebijakan pemerintah dimaksud tidak dapat diajukan ke
pengadilan sebagai objek permasalahan pidana maupun perdata, maka
jelaslah bahwa ketentuan itu memberikan imunitas absolut kepada
pelaksana kebijakan, karena “itikad baik” sekalipun tidak bisa
mendasarkan pada penilaian subyektif dan hanya dapat ditafsirkan sepihak
oleh pengambil kebijakan.
Uraian di atas kemudian juga diperkuat dengan ketentuan Pasal 27
ayat (3) yang juga menegaskan bahwa kebijakan yang diambil tidak bisa
dijadikan objek gugatan peradilan tata usaha negara. Kewenangan absolut
tanpa adanya kontrol pengadilan tentu merupakan bentuk perlawanan
terhadap semangat bernegara hukum. Mengutip pendapat Mahfud MD,
bahwa salah satu prinsip negara hukum adalah adanya pradilan
278
administrasi di samping perlindungan terhadap hak asasi manusia dan
pemisahan kekuasaan.610
Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang sudah ditetapkan menjadi
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 ini akhirnya diajukan ke
Mahkamah Konstitusi untuk diujikan.611
Salah satu yang menjadi objek
permohonan adalah ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
sebagaimana diuraikan di atas, yang secara formil menurut pemohon,
ketentuan tersebut melegitimasi penyelewengan pengelolaan keuangan
negara dan membebaskan penyelenggara negara dari jeratan pasal tindak
pidana korupsi karena pengelolaan keuangan negara yang didasarkan pada
perpu tersebut tidak dianggap sebagai kerugian keuangan negara; serta
menutup kemungkinan bagi warga negara untuk menggugat kebijakan atas
perpu tersebut ke peradilan tata usaha negara. Terhadap permohonan ini,
Mahkamah Konstitusi memperjelas bahwa terdapat 3 (tiga) persoalan
konstitusionalitas yang diajukan pengujian terkait Pasal 27, yaitu ayat (1)
pada klausul “bukan merupakan kerugian keuangan negara”, ayat (2)
dalam klausul ”tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana
jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, serta ayat (3) dalam
610
Moh. Mahfud MD, Hukum... Op., Cit., hlm. 127. 611
Ketika dalam status hukum berupa perpu, permohonan pengujian ke Mahkamah
Konstitusi telah dilakukan yang kemudian diputus dengan Putusan Nomor 23/PUU-XVIII/2020
dan Putusan Nomor 24/PUU-XVIII/2020. Kedua putusan tersebut tidak diterima karena
kehilangan objek yang disebabkan oleh ditetapkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Pasca ditetapkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, beberapa pihak juga mengajukan permohonan pengujian
kepada Mahkamah Konstitusi, yang pendapat Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2020 itu dapat dilihat dalam Putusan Nomor 37/PUU-XVIII/2020.
279
klausul bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada
peradilan tata usaha negara.
Menurut Mahkamah Konstitusi, antara materi mauatan dalam ayat
(1) dan ayat (2) itu mempunyai hubungan satu sama lain. Pasal 27 ayat (2)
sebenarnya membuka peluang bagi pejabat untuk dituntut yaitu apabila
kebijakan yang diambil dilakukan tidak dengan itikad baik, juga
bertetangan dengan peraturan perundang-undangan. Namun peluang itu
kemudian ditutup dengan klausul dalam ayat (1) yang menyebut bukan
kerugian negara. Padahal untuk dapat dituntut, syarat yang harus dipenuhi
yaitu karena dilakukan tidak dengan itikad baik yang kemudian
menimbulkan kerugian negara. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini
mengkorelasikan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menentukan unsur
esensial yang harus dipenuhi dalam membuktikan terjadinya tindak pidana
korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara. Konsekuensinya dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) ini,
meskipun dilakukan tidak dengan itikad baik dan tidak sesuai perundang-
undangan, tetapi tidak ada kerugian negara (karena telah dikunci di dalam
ketentuan ayat (1) yang menegaskan dengan klausul ”bukan merupakan
kerugian keuangan negara”) maka peluang untuk dituntut berdasarkan ayat
(2) menjadi tertutup. Dengan demikian, ketentuan dalam ayat (2) benar-
benar tidak bisa dikenakan kepada siapapun yang melakukan
280
penyalahgunaan kewenangan dengan mendasarkan pada perpu ini,
meskipun penyalahgunaan kewenangan tersebut benar-benar didasarkan
pada itikad tidak baik dan tidak sesuai peraturan perundang-undangan.612
Karena itu, menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 27 ini berpotensi
memberikan hak imunitas yang pada akhirnya berpotensi menyebabkan
impunitas dalam penegakan hukum. Hal ini karena munculnya klausul
“bukan merupakan kerugian negara” tetapi tidak dibarengi klausul
“dengan itikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan” sebagai
prasyaratnya, akan menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum
sehingga hal itu bertentangan dengan due process of law untuk
mendapatkan perlindungan yang sama (equal protection). Akhirnya,
pembedaan itu mengingkari hak semua orang, oleh karena suatu undang-
undang yang meniadakan hak bagi beberapa orang untuk dikecualikan
tetapi memberikan hak demikian kepada orang lain tanpa pengecualian
maka keadaan demikian dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap
equal protection.613
Terhadap beberapa pertimbangan di atas, maka Mahkamah
Konstitusi memutuskan Pasal 27 ayat (1) inkonstitusional bersyarat.614
612
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalan Putusan Nomor
37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang 613
Ibid. 614
Inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) muncul sebagai bentuk
putusan dalam perkembangan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Putusan
inkonstitusional bersyarat ini muncul disebabkan karena jika Mahkamah Konstitusi hanya
281
Bahwa ketentuan itu harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa
“bukan merupakan kerugian negara” tidak dimaknai “bukan merupakan
kerugian negara sepanjang tidak dilakukan dengan itikad baik dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”. Karena ayat (1) telah dinyatakan
inkonstitusional bersyarat dengan pemaknaan yang demikian, maka
menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan dalam ayat (2) tidak lagi
menimbulkan masalah, karena sudah bisa dikenakan terhadap semua
subyek hukum yang mengambil kebijakan tidak dengan itikad baik dan
tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut pendapat penulis, klausul dalam ayat (1) itu telah secara
nyata inkonstitusional karena memang bunyi pasal tersebut telah jelas
tidak menyebutkan secara ekspressis verbis syarat itikad baik dan sesuai
ketentuan perundang-undangan. Bunyi pasal yang ada juga tidak
menimbulkan multi tafsir, sehingga dengan demikian, Mahkamah
Konstitusi seharusnya tidak perlu memberikan pemaknaan yang
sebenarnya justru merubah klausul pasal yang sudah jelas itu. Karakter
putusan dalam bentuk konstitusional bersyarat atau inkonstitusional
bersyarat sebaiknya hanya digunakan terhadap klausul pasal yang
berdasarkan pada amar putusan yang dianut dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu permohonan tidak dapat diterima, permohonan
dikabulkan, dan permohonan ditolak, maka akan sulit untuk menguji suatu undang-undang yang
ternyata sering kali mempunyai sifat yang dirumuskan terlalu umum, padahal dalam rumusan yang
sifatnya umum tersebut belum diketahui apakah pelaksanaannya akan bertentangan dengan
konstitusi atau tidak. Dengan demikian, karakter putusan yang inkonstitusional bersyarat ini
ditujukan untuk memperjelas norma hukum yang membuka peluang penafsiran beragam karena
sifatnya yang umum. Lihat dalam Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Cetakan
Pertama, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm. 143-
144
282
multitafsir, sedangkan terhadap klausul pasal yang sudah jelas, apabila
telah secara nyata bertentangan dengan UUD NRI 1945, maka seharusnya
langsung diputuskan inkonstitusional. Hal ini penting agar Mahkamah
Konstitusi tidak terlalu jauh melampaui kewenangannya dan justru masuk
pada ranah kewenangan lembaga legislatif untuk membentuk norma
hukum.
Berkaitan dengan Pasal 27 ayat (3), menurut Mahkamah Konstitusi
hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan tidak sama di
hadapan hukum sepanjang frasa “bukan merupakan objek gugatan yang
dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”, tidak dimaknai
“bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan
tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi
Covid serta dilakukan dengan itikad baik dan sesuai peraturan perundang-
undangan”. Artinya, selama tindakan itu dilakukan untuk pandemi covid,
maka tidak bisa diajukan gugatan ke peradilan tata usaha negara.
Mahkamah Konstitusi dalam hal ini merujuk pada Pasal 49 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan
yang disengketakan itu dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya,
keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan,
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta dalam
keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
283
perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan sebelumnya, Mahkamah
Konstitusi telah menilai bahwa pandemi Covid-19 ini merupakan keadaan
yang telah memenuhi kegentingan memaksa.
Berkaitan dengan putusan inkonstitusional bersyarat terhadap
ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) ini, penulis sependapat dengan putusan
Mahkamah Konstitusi. Hal ini karena memang ketentuan dalam ayat (3)
menimbulkan ketidakjelasan dan mutlitafsir. Ketentuan tersebut seolah
diberlakukan terhadap semua kebijakan berdasarkan perpu, padahal
hakikat perpu ini dikeluarkan adalah untuk menangani dampak pandemi
Covid-19. Karena itu, kebijakan yang diambil berdasarkan perpu, namun
tidak secara spesifik diperuntukkan kepada penanganan pandemi Covid-
19, maka tetap dapat dijadikan objek gugatan yang dapat diajukan kepada
peradilan tata usaha negara. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini justru
memperjelas dan memberikan kepastian hukum atas ketentuan dalam
Pasal 27 ayat (3) Perpu Nomor 1 Tahun 2020.
Uraian di atas menunjukkan, bahwa pemaknaan presiden terhadap hal
ikhwal kegentingan yang memaksa apabila dilihat dari klasifikasi bidang
pengaturannya, maka tidak terlepas dari aspek politik, ekonomi, dan hukum.
Pemaknaan presiden atas kegentingan yang memaksa melingkupi 3 (tiga) bidang
di atas. Sedangkan apabila dilihat dari aspek materi muatannya sebagaimana
analisis di atas, maka tampak terdapat pergeseran dari “hal ikhwal kegentingan
yang memaksa” menjadi “hal ikhwal yang mendesak untuk diatur”. Dengan
demikian, kecenderungan pemaknaan hal ikhwal kegentingan yang memaksa
284
hanya berdasarkan pada aspek kemendesakan waktu. Paradigma yang digunakan
lebih mirip dengan pengaturan keadaan darurat pada rezim Pasal 139 Konstitusi
RIS 1949 dan Pasal 96 UUDS 1950 yang memang lebih menekankan dari aspek
kemendesakan waktu. Apabila dilihat dari aspek faktor latar belakang yang
mempengaruhinya, pemaknaan kegentingan yang memaksa cenderung
mempunyai dimensi politis yang kuat sebagai ukuran utamanya. Ukuran
pemaknaan kegentingan yang memaksa dengan mendasarkan pada analisis di atas,
bukan terletak pada akibat yang ditimbulkan dari suatu peristiwa luar biasa
dengan korban yang masif atau berdampak pada kebuntuan penyelenggaraan
negara; serta bukan terletak pada peristiwa luar biasa yang terjadi secara
terstruktur dan sistematis, atau tidak terduga sehingga tidak terakomodasi oleh
peraturan perundang-undangan yang ada, melainkan peristiwa yang mempunyai
titik singgung terhadap aspek politik. Dominasi aspek politik yang
melatarbelakangi penetapan perpu ini dapat dilihat dari 2 (dua) karakteristik, yaitu
perpu dibentuk untuk melancarkan agenda politik pemerintah, atau
menyelamatkan citra politik pemerintah atas terjadinya suatu peristiwa tertentu.
Bahwa peristiwa yang menarik perhatian publik, baik warga negara secara umum
maupun dunia internasional, yang berpotensi menurunkan kewibawaan dan citra
politik pemerintah, serta berpotensi mengurangi kepercayaan publik kepada
penguasa, cenderung lebih dianggap sebagai keadaan genting yang memaksa yang
mendorong penggunaan instrumen hukum darurat negara, daripada suatu
peristiwa yang mengakibatkan korban meluas dan masif.
285
BAB IV
POLITIK HUKUM PENGATURAN MATERI MUATAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG YANG SESUAI
DENGAN PRINSIP NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI
Muara pembahasan pada bagian ini adalah arah kebijakan (ius
constituendum) pengendalian materi muatan perpu di masa yang depan. Bahwa
perpu tidak boleh digunakan oleh presiden untuk hal-hal lain selain untuk
mengatasi keadaan darurat negara agar segera kembali ke dalam keadaan normal.
Selain itu, penetapan perpu selama ini memang tidak pernah dipersoalkan pada
aspek legalitas, karena presiden diberikan kewenangan secara konstitusional
langsung dari UUD NRI 1945. Namun karena kewenangan tersebut terlampau
luas berdasarkan suyektifitas dan tanpa adanya batasan-batasan tertentu, maka
setiap penetapan perpu selalu menimbulkan kontroversi. Mahfud MD dalam
tulisannya di harian Kompas berjudul “Tak Ada Perppu yang Tak Kontroversial”,
menjelaskan bahwa sasaran dan sumber utama pemancing kontroversi adalah
klausul “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagai syarat penetapan
perpu.615
Menurutnya, aliran kontroversial tersebut sekurang-kurangnya terbagi ke
dalam 2 (dua) kelompok, yaitu mereka yang mempersoalkan kesesuaian antara
perpu dan konstiusi (konstitusionalitas perpu) dalam rangka menjaga orisinalitas
UUD NRI 1945; serta mereka yang tidak mempersoalkan hubungan hierarkis dan
konsistensi perpu dengan konstitusi, akan tetapi karena mempunyai pandangan
615
Moh. Mahfud MD, “Tak Ada Perppu yang Tak Kontroversial” artikel dalam Harian
Kompas, 27 April 2020
286
politik yang berbeda dengan isi perpu atas dasar perbedaan pilihan politik
hukum.616
Bahwa benar rekam sejarah penetapan perpu (sekurang-kurangnya adalah
pasca reformasi) selalu memunculkan kontroversi di antara beberapa pihak.
Namun hal itu tidak bisa dianggap sesuatu yang biasa. Kontroversi biasanya akan
bersinggungan dengan aspek legitimasi. Semakin tinggi kontroversi, dalam hal ini
adalah penetapan suatu perpu, maka akan semakin rendah legitimasi terhadap
perpu tersebut. Dalam sebuah negara demokrasi yang berdasarkan hukum,
persoalan legitimasi juga harus diletakkan sebagai hal yang utama di samping
aspek legalitas. Hal ini karena persoalan legitimasi akan bersinggungan dengan
kewibawaan presiden yang menjalan kekuasaan negara dengan mendapatkan
mandat langsung dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Kewibawan akan
menjadi objek yang dipertaruhkan dalam setiap penggunaan kekuasaan darurat,
sedangkan kewibawaan ini dilihat dari kacamata masyarakat akan berhubungan
erat dengan tingkat kepercayaan publik terhadap presiden. Bahwa tidak menutup
kemungkinan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam konteks
penggunaan hukum darurat negara akan menurun.
Perihal kewibawaan dan kepercayaan masyarakat dalam konteks hukum
darurat negara tentu tidak bisa dipandang sebagai permasalahan yang sederhana.
Moh. Mahfud MD dalam suatu forum seminar menjelaskan, bahwa pemerintah
harus menghindari tindakan-tindakan yang bersifat disorientasi karena akan
berakibat pada menurunnya kepercayaan masyarakat (distrust). Sedangkan
616
Ibid.
287
distrust akan berimplikasi pada ketidakpatuhan rakyat pada pemerintah
(disobidience). Pemerintah yang disorientasi dan rakyat yang terlanjur
disobidience akan berujung pada disintegrasi. Pada konteks penetapan perpu,
pemerintah yang disorientasi dapat dipersepsikan dengan penggunaan instrumen
perpu yang tidak proporsional dan tidak dalam hal ikhwal kegentingan yang
memaksa sebagaimana diidealkan. Tidak dapat dibayangkan apabila keadaan
darurat benar-benar terjadi, sedangkan rakyat menolak penggunaan instrumen
darurat itu karena latar belakang traumatis yang berujung pada ketidakpercayaan.
Hal ini pernah terjadi di Amerika Serikat, ketika New Orleans kebanjiran akibat
Badai Katrina pada akhir musimpanas 2005, usulan untuk memanfaatkan tentara
dalam membantu menjaga hukum dan ketertiban mendapatkan respon berupa
keberatan dan penolakan atas dasar kekhawatiran dan traumatik lama akan
intervensi militer dalam keadaan krisis domestik.617
Berdasarkan uraian di atas, pengendalian presiden dalam menetapkan
perpu, pada satu sisi adalah untuk mencegah presiden dari kesewenang-wenangan
yang dapat merugikan hak konstitusional warga negara, sedangkan pada sisi yang
lain adalah untuk mendorong presiden agar mendapatkan legitimasi yang kuat dari
rakyat ketika menggunakan kewenangan menetapkan perpu sehingga dapat
berjalan efektif untuk mengatasi keadaan darurat dalam rangka melindungi hak-
hak warga negara. Thomas A. Wartowski sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali
menyebutkan, agar dapat efektif, suatu hukum harus mendapatkan dukungan dari
rakyat, dan untuk mendapatkan dukungan itu, hukum harus dapat dilaksanakan
617
Richard A. Posner, Not a Suicide Pact: The Constitution in a Time of National
Emergency, Oxford University Press, New York, 2006, hlm. 3
288
dengan baik, dipahami dengan baik, dan konsisten dengan nilai-nilai
komunitasnya.618
Membatasi kekuasaan pemerintah, termasuk dalam hal ini adalah dalam
penetapan perpu, pada hakikatnya tidak hanya dalam rangka mencegah
kesewenang-wenangan, namun lebih daripada itu pembatasan kekuasaan
penguasa secara filosofis juga untuk mempermudah penguasa untuk
melaksanakan kekuasaannya. Apabila dilihat dari aspek historis, tulisan Soehino
terkait dengan kekuasaan mutlak raja-raja Djenggis Khan dan Tamarlan menjadi
sangat relevan terhadap hal ini. Bahwa betapapun mutlaknya kekuasaan mereka,
namun dalam jarak kira-kira 40 kilometer saja dari tempat mereka bertahta,
kekuasaannya sudah tidak terasa lagi. Bahkan di dalam Ibukota kerajaannya
sekalipun, apabila sifat kesewenangan raja melebihi dari kesanggupan rakyat
untuk menanggungnya, raja-raja seperti Djenggis Khan dan Tamarlan akan selalu
terancam dengan timbulnya pemberontakan-pemberontakan yang sukar dilawan
dengan kekuatan-kekuatan pedang dan tombak laskar-laskarnya.619
Fakta historis
ini kiranya cukup untuk menjadi uraian penjelasan atas kalimat filosofis Thomas
Jefferson, “when injustice become law, resistance become duty”, atau dalam
kalimat lain, dapat ditransformasi menjadi “when tyranny become law, rebellion
become duty”.
618
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Cetakan Keenam,
Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, hlm. 479 619
Soehino, Ilmu Negara, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Liberty, Yogyakarta, 1996,
hlm. 268
289
Memang benar, perkembangan teknologi sangat pesat yang memberikan
kemudahan bagi penguasa untuk melakukan pengawasan secara ketat terhadap
pelaksanaan kekuasaan, namun kompleksitas dan bentuk penolakan juga
berkembang sedemikian canggihnya. Dalam konteks penetapan perpu, tidak
adanya batasan secara konstitusional yang mengendalikan presiden ternyata
berimplikasi timbulnya problematika materi muatan sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, sedikit banyak justru akan mempersulit presiden untuk melaksanakan
substansi perpu tersebut. Penolakan dari masyarakat, baik yang diwujudkan ke
dalam bentuk demonstrasi atau melalui jalur judicial review ke Mahkamah
Konstitusi, adanya resistensi dari lembaga negara lain, merupakan bentuk
kesulitan tersendiri. Pada titik yang lebih ekstrim, alih-alih menyelesaikan
masalah, instrumen perpu yang terlalu melampaui batas penalaran yang wajar
dengan penolakan masyarakat yang sedemikian masif, dapat saja menimbulkan
permasalahan yang lebih kompleks.
Ada 3 (tiga) hal yang menjadi pijakan dimunculkannya gagasan politik
hukum pengaturan materi muatan perpu yang sesuai dengan prinsip negara hukum
dan demokrasi dalam penelitian ini. Pertama, tinjauan historis dimunculkannya
kewenangan presiden dalam menetapkan perpu di dalam konstitusi. Ini untuk
mengetahui apa yang melatarbelakangi sekaligus menjadi tujuan dan sasaran para
perumus konstitusi sehingga memunculkan klausul Pasal 22 UUD NRI 1945.
Analisis ini penting untuk mengembalikan praktik penetapan perpu yang sesuai
dengan original intent dimuatnya landasan yuridis tersebut. Kedua, tinjauan
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi sebagai pelindung konstitusi (the
290
guradian of constituion) yang menguji konstitusionalitas perpu. Hal ini karena
Mahkamah Konstitusi pada perkembangannya juga mempunyai pengaruh besar
terhadap politik hukum nasional yang sesuai dengan apa yang telah digariskan
oleh konstitusi. Ketiga, tinjauan terhadap problematika pembentukan dan materi
muatan perpu dengan merujuk pada analisis yang telah diuraikan sebelumnya,
sehingga memunculkan gagasan untuk menghindari permasalahan yang sama di
akan datang.
A. Perpu Dalam Sejarah Konstitusi Indonesia
Gustav Rardbruch dalam karyanya berjudul Outline of Legal Philosophy
mengatakan, hukum merupakan ciptaan manusia, dan sebagai setiap ciptaan
makhluk, hanya dimengerti dengan citanya.620
Dalam bahasa yang lebih dramatis,
Gothe menyebutkan orang yang melarikan diri dari cita, akhirnya tidak akan
mendapatkan pengertian.621
Spesifik berkaitan dengan konstitusi, disebutkan
bahwa konstitusi dimanapun tidak akan dapat dimengerti secara mendalam
apabila hanya dibaca teksnya saja. Diperlukan pembacaan lebih dalam terhadap
sejarah terjadinya teks itu, mengapa teks itu muncul, dalam keadaan dan suasana
yang seperti apa teks itu dibuat, aliran apa yang menjadi dasar perumusan teks itu,
serta harapan dan tujuan apa yang akan dicapai dengan rumusan tersebut.622
Sejarah perumusan teks inilah yang akan dijelaskan dalam bagian ini.
Lahirnya ketentuan dalam Pasal 22 UUD 1945 memang tidak terlepas dari
peran besar Soepomo. Pada tanggal 11 Juli 1945, sidang lanjutan Badan
620 Gustav Radbruch, Outline of Legal Philosophy, dalam Abdul Mukhtie Fadjar,
Sejarah... Op., Cit., hlm. 7 621
Ibid., hlm. 8 622
Saafroedin Bahar, Risalah... Op., Cit., hlm. 264
291
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diketuai oleh KRT.
Radjiman Wedyodiningrat membentuk panitia perancang Undang-Undang Dasar
(UUD). Panitia tersebut beranggotakan 19 (sembilan belas) orang yaitu Soekarno
sebagai ketua, A.A. Maramis, R. Oto Iskandardinata, B.P.H. Purbojo, Agoes
Salim, Soebardjo, Soepomo, Maria Ulfah Santoso, KH. A. Wachid Hasjim,
Parada Harahap, Latuharhary, Soesanto Tirtoprodjo, R.M. Sartono, KRMT.
Wongsonegoro, KRMTH. Wurjaningrat, R.P. Singgih, Tan Eng Hoa, P.A. Husein
Djajadiningrat, dan Soekiman.
Muhammad Yamin yang juga dikenal sebagai ahli konstitusi, tidak
ditempatkan pada tim penyusun UUD, tetapi justru ditempatkan ke dalam tim
pengkaji urusan keuangan dan perekonomian. Soekarno yang mengerti
kemampuan Muhammad Yamin di bidang konstitusi sudah memohonkan agar ia
ditempatkan sebagai salah satu anggota timnya, namun ditolak oleh Radjiman
Wedyodiningrat, demikian pula dengan Yamin yang akhirnya juga menolak untuk
menjadi bagian dalam tim pengkaji urusan keuangan dan perekonomian.623
Maka
dengan demikian, Soepomo lah yang akhirnya menjadi arsitektur utama konstitusi
Indonesia. Bahkan sepanjang sidang BPUPKI dan PPKI sampai dengan
disahkannya UUD 1945, Soepomo yang dominan memberikan penjelasan dan
paling banyak menjawab pertanyaan dari anggota sidang terhadap naskah
konstitusi.624
623
Ibid., hlm. 204-205 624
Pada tanggal 15 Juli 1945, sidang BPUPKI dengan pembahasan Rancangan Undang-
Undang Dasar, diketuai oleh KRT. Radjiman Wedyodiningrat, setelah mendengar penjelasan dari
Soekarno sebagai Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Radjiman menolak untuk
292
Panitia pembentuk UUD ini kemudian bersidang untuk pertama kalinya
pada tanggal 11 Juli 1945. Pembahasan sidang untuk pertama kalinya ini masih
bersifat umum terkait dengan bentuk negara dan pembukaan UUD. Tidak ada
keputusan konkret tentang UUD yang dihasilkan dari sidang ini, sehingga
Soekarno sebagai ketua panitia mengambil keputusan untuk membentuk tim kecil
perancang hukum dasar dengan menunjuk Soepomo sebagai ketua dan
beranggotakan Wongsonagoro, Soebarjo, Maramis, Soekiman, dan Agus Salim.
Tim tersebut diberi waktu 2 (dua) hari untuk merumuskan UUD.625
Sidang selanjutnya dilaksanakan pada tanggal 13 Juli 1945, yang telah
diuraikan oleh Soepomo rancangan UUD terdiri dari 42 Pasal.626
Rancangan
pertama UUD 1945 ini telah memuat pengaturan tentang keadaan darurat negara
dan wewenang presiden menetapkan perpu. Ketentuan dalam Pasal 10
menyebutkan, “Presiden menyatakan “Staat van beleg”. Syarat-syarat dan akibat
“Staat van beleg” ditetapkan dengan undang-undang”. Sedangkan kewenangan
presiden menetapan perpu termuat dalam Pasal 23 dengan klausul sebagai berikut:
(1). Dalam hal-ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak
menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-
undang.
(2). Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
membahas rancangan Undang-Undang Dasar sebelum adanya penjelasan tentang pasal-pasal yang
ada dari Supomo. Lihat dalam Ibid., hlm. 263 625
Ibid., hlm. 222 626
Soekarno menyebutkan bahwa rancangan awal Undang-Undang Dasar terdiri dari 42
pasal karena memang secara eksplisit tertulis Undang-Undang Dasar tersebut sampai dengan Pasal
42. Supomo menyebutkan rancangan Undang-Undang Dasar memuat 35 pasal, karena hanya
sejumlah itu materi muatan yang mengatur tentang penyelenggaraan Negara Republik Indonesia,
sedangkan sisanya hanya pengaturan tentang ketentuan peralihan dan peraturan tambahan. Ibid.,
hlm. 268
293
(3). Jika persetujuan tidak terdapat, Peraturan Pemerintah itu harus
dicabut.
Terhadap rancangan UUD tersebut, Soekarno membentuk “Panitia
Penghalus Bahasa” yang terdiri dari Djajadiningrat, Agus Salim, dan Soepomo.627
Sidang 16 Juli 1945, Soepomo kemudian merubah sistematika dan redaksional
rancangan UUD berdasarkan masukan dari beberapa anggota panitia. Bab tentang
Dewan Perwakilan Rakyat yang di dalamnya termasuk juga pengaturan tentang
dasar kewenangan presiden menetapkan perpu, terdiri dari Pasal 19, Pasal 20,
Pasal 21, dan Pasal 22.628
Sidang pertama untuk membahas pasal-pasal di dalam rancangan UUD ini
dilaksanakan pada tanggal 15 Juli 1945. Soekarno sebagai Ketua Panitia
Perancang UUD telah mengawali penjelasan terhadap rancangan dimaksud, hanya
saja penjelasannya bersifat umum tentang dasar falsafah, kemudian meminta
Soepomo untuk melanjutkan penjelasan secara terperinci. Demikian juga dengan
KRT. Radjiman Wedyodiningrat yang tidak akan memulai pembahasan sebelum
adanya penjelasan pasal-pasal di dalam rancangan UUD oleh Soepomo. Pidato
Soepomo yang menjelaskan rancangan Undang-Undang Dasar tersebut, dengan
waktu yang sangat terbatas dan terburu-buru untuk selekas mungkin mencapai
kemerdekaan Indonesia, ternyata tidak menjelaskan semua pasal, karena menilai
bahwa beberapa pasal sudah dapat dimengerti dengan sendirinya.629
Ketentuan
mengenai bunyi pasal yang memberikan kewenangan presiden untuk membentuk
627
Ibid., hlm. 226 628
Ibid., hlm. 358 629
Ibid., hlm. 265
294
perpu termasuk pasal yang sama sekali tidak dijelaskan dalam pidato Soepomo
ini.
Memang sempat ada usulan dari Sukardjo Wirjopranoto untuk membahas
pasal demi pasal, hanya saja karena keadaan yang serba terbatas, ketua KRT.
Radjiman Wedyodiningrat menolak hal itu dan menetapkan agar pembahasan
hanya terkait dengan pasal-pasal yang tidak disetujui berikut dengan alasannya.630
Keputusan ini menjadikan ketentuan pasal yang memuat dasar pembentukan
perpu, sampai dengan akhir pembahasan rancangan UUD 1945 oleh BPUPKI
tanggal 16 Juli 1945, sama sekali tidak dibahas karena memang tidak ada
pertanyaan ataupun penolakan dari seluruh anggota BPUPKI.
Pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 1945 diketuai oleh Soekarno, rancangan
UUD kembali dibahas untuk disahkan. Soekarno bahkan membacakan pasal demi
pasal untuk meminta persetujuan, dengan diiringi oleh Soepomo yang
memberikan penjelasan dalam hal terdapat bunyi pasal yang dipertanyakan oleh
anggota sidang. Namun ketentuan Pasal 12 dan Pasal 22 yang menjadi dasar
wewenang presiden menetapkan perpu, tidak mendapatkan respon berupa
pertanyaan ataupun sanggahan dari anggota sidang. Seluruhnya langsung
menyetujui bunyi pasal tersebut. Pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD 1945
disahkan menjadi konstitusi, yang di dalamnya sudah mengatur tentang
kewenangan presiden untuk menetapkan perpu.
630
Ibid., hlm. 290
295
Uraian di atas dengan demikian menggambarkan bahwa tidak ditemui
alasan mengapa muncul klausul Pasal 22 dalam UUD 1945. Menurut pembacaan
Bagir Manan, kemungkinan pencantuman Pasal 22 ini karena pembentuk UUD
1945 terpengaruh oleh ketentuan yang terdapat dalam Pasal 93 Indische
Staatsregeling (IS, peraturan ketatanegaraan pada masa Hindia Belanda) yang
memuat klausul “dringende omstadigheden” untuk menunjuk pada adanya
keadaan yang mendesak.631
RM A.B. Kusuma dalam “Rencana Permulaan dari Undang-Undang Dasar
Negeri Indonesia” yang kemudian dimuat dalam bukunya sebagaimana dikutip
oleh Susi Dwi Harijanti menyebutkan,632
“Jika ada keperluan mendesak untuk menjaga keselamatan umum atau
mencegah kekacauan umum dan jika Dewan Perwakilan Rakyat tidak
bersidang, Kepala Negeri yang membuat aturan-aturan Pemerintah sebagai
gantinya undang-undang. Aturan-aturan Pemerintah semacam itu harus
diserahkan sebelum waktu persidangan yang berikut dari Dewan
Perwakilan Rakyat, jika Badan ini tidak menyetujui aturan-aturan itu,
maka Pemerintah harus menerangkan, bahwa aturan-aturan tadi tidak
berlaku untuk waktu yang akan datang”
UUD 1945 yang memang diniatkan untuk digunakan sementara waktu
karena pembentukannya dilakukan secara terburu-buru dan dalam keadaan negara
yang tidak stabil, berlaku sampai dengan tahun 1949 karena digantikan dengan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 (Konstitusi RIS 1949) sebagai
salah satu hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 23 Agustus
1949 sampai dengan 2 November 1949. Konferensi ini melahirkan 3 (tiga)
631
Bagir Manan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dalam Susi Dwi
Harijanti, Perppu... Op., Cit., hlm. 82 632
R.M. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, dalam Ibid... hlm. 83
296
persetujuan, yaitu mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat; penyerahan
kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat; dan didirikan uni antara Republik
Indonesia Serikat dan kerjaan Belanda. Rancangan UUD RIS 1949 dibuat pada
konferesi tersebut oleh delegasi Republik Indonesia dan Bijeenkomst voor Federal
Overleg.633
Konstitusi RIS terdiri dari Mukaddimah, 197 Pasal, dan lampiran pokok-
pokok penyelenggaraan pemerintahan yang dibebankan kepada Republik
Indonesia Serikat.634
Konstitusi RIS 1949 mulai diberlakukan pada tanggal 27
Dsember 1949 yang sebelumnya telah disetujui oleh Komite Nasional Pusat
sebagai badan perwakilan rakyat Indonesia pada tanggal 14 Desember 1949.635
Konstitusi RIS 1949 inipun dibentuk untuk sementara waktu (Pasal 186), karena
di dalamnya disebutkan bahwa Majelis Konstituante akan dibentuk untuk
membuat konstitusi federal yang bersifat tetap.636
Keadaan darurat negara juga diatur di dalam Konstitusi RIS 1949 dengan
instrumen hukum yang disebut sebagai undang-undang darurat. Pasal 139
Konstitusi RIS 1949 menyebutkan,
(1). Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung-jawab sendiri
menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal
633
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 93 634
Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Buku I: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD
1945, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Sekretariat Jenderal dan Kepanteraan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, 2010, hlm. 48 635
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Loc., Cit. 636
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah
Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Cetakan Pertama, Gema Insani Press,
Jakarta, 1996, hlm. 74
297
penyelenggaraan-pemerintahan federal yang karena keadaan-
keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segara.
(2). Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa undang-
undang federal; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan
dalam pasal yang berikut.
Proses pengesahan menjadi undang-undang, dan proses pengajuan kepada
DPR atas undang-undang darurat yang ditetapkan presiden, diatur di dalam Pasal
140, sebagai berikut:
(1). Peraturan-aturan yang termaktub dalam undang-undang darurat,
segera sesudah ditetapkan, disampaikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat yang merundingkan peraturan itu menurut yang ditentukan
tentang merundingkan usul undang-undang Pemerintah.
(2). Jika suatu peraturan yang dimaksud dalam ayat yang lalu, waktu
dirundingkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, ditolak
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka peraturan itu tidak berlaku
lagi karena hukum.
(3). Jika undang-undang darurat yang menurut ayat yang lalu tidak
berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat yang timbul dari
peraturannya – baik yang dapat dibetulkan maupun yang tidak –
maka undang-undang federal mengadakan tindakan-tindakan yang
perlu tentang itu.
(4). Jika peraturan yang termaktub dalam undang-undang darurat itu
diubah dan ditetapkan sebagai undang-undang federal, maka akibat-
akibat perubahannya diatur pula sesuai dengan yang ditetapkan
dalam ayat yang lalu.
Bila diperhatikan, terutama dalam klausul ayat (2) Pasal 140 di atas,
terhadap undang-undang darurat yang ditolak oleh DPR, maka dengan demikian
dinyatakan tidak berlaku lagi karena hukum, sehingga tidak membutuhkan
mekanisme pencabutan. Berbeda Pasal 22 UUD 1945, yang apabila ditolak oleh
DPR, maka presiden harus mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR
mengenai pencabutan perpu. Ketentuan dalam Pasal 140 Konstitusi RIS 1949 ini
dengan demikian lebih praktis dan sederhana daripada ketentuan Pasal 22 UUD
1945 dalam hal pencabutan perpu yang tidak disetujui oleh DPR.
298
Sebagaimana diketahui, Konstitusi RIS 1949 berlaku dalam
ketatanegaraan Indonesia yang bersistem federal. Keadaan ini kemudian
memunculkan desakan untuk kembali ke negara kesatuan, yang semakin menguat
di beberapa negara bagian. Negara bagian Jawa Timur mengawali usulan
penyerahan tugas pemerintahannya kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat
yang diikuti dengan negara bagian lainnya. Usaha negara bagian itu juga
didukung dengan adanya mosi integral di parlemen RIS yang dipelopori oleh
Moh. Natsir yang mendesak agar Indonesia kembali ke negara kesatuan.637
Hambatan utama tentu dasar konstitusionalitas, karena konstitusi yang berlaku
saat itu masih Konstitusi RIS 1949.
Karena itu, Konstitusi RIS 1949 kemudian digantikan dengan Undang-
Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang tertuang dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Serikat Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan
Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia, ditandatangani oleh Presiden Soekarno, Perdana
Menteri Moh. Hatta, dan Menteri Kehakiman Soepomo pada tanggal 15 Agustus
1950.638
Peralihan dari negara serikat ke negara kesatuan itu membutuhkan
Undang-Undang Dasar baru, sehingga dibentuk panitia bersama untuk menyusun
Undang-Undang Dasar yang kemudian disahkan pada tanggal 12 Agustus 1950
oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat, serta
637
Tim Penyusun, Naskah... Op., Cit., hlm. 50 638
Ibid., hlm. 53
299
Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950, dan berlakulah
UUDS itu pada tanggal 17 Agustus 1950.639
Disebut UUD Sementara karena
Pasal 134 mengamanatkan agar konstituante bersama pemerintah menyusun
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-
Undang Dasar Sementara tersebut.640
Secara substansi, Konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1950 hampir sama. Perbedaannya hanya berkaitan dengan bentuk negara
federasi yang berubah menjadi negara kesatuan berikut implikasinya, serta adanya
penetapan badan Konstituante untuk menyusun UUD baru. Karena itu, berkaitan
pengaturan negara darurat, klausul pasal di dalam Pasal 96 dan Pasal 97 UUDS
1950, sama persis dengan Konstitusi RIS 1949.
Soepomo sebagaimana dikutip oleh Susi Dwi Harijanti,641
memberikan
catatan atas ketentuan dalam Pasal 96 ayat (1) UUDS 1950.
Menurut teks dari Pasal 96 ayat (1), maka pembentukan undang-
undang darurat hanya diperbolehkan untuk mengatur hal-hal
penyelenggaraan pemerintahan, jadi tidak boleh digunakan untuk
mengatur hal yang bukan bersifat penyelenggaraan pemerintahan.
Akan tetapi hal penyelenggaraan pemerintahan adalah sangat luas,
yaitu segala yang masuk dalam definisi, yang dimuat dalam Pasal 82,
sehingga di dalam praktek tidak akan mudah menunjuk suatu hal di
luar lingkungan Pasal 82 tersebut.
Secara umum, baik undang-undang darurat maupun perpu dimuat di dalam
konstitusi Indonesia adalah untuk mengantisipasi keadaan negara yang tidak
normal atau darurat, yang membutuhkan pengaturan setingkat undang-undang,
639
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 95-95 640
Ibid., hlm. 95 641
Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang dalam Perspektif Ajaran Konstitusi dan Prinsip Negara Hukum” artikel dalam Jurnal
PJIH, Vol. 4, No. 2, Tahun 2017, hlm. 239
300
namun keadaan tidak memungkinkan untuk membentuk undang-undang secara
normal. Makanya undang-undang darurat di dalam Konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1950, serta perpu di dalam UUD NRI 1945 tidak menggunakan huruf
besar, tetapi huruf kecil, yang dimaksudkan bahwa itu adalah sifat, bukan nama
yang ditentukan secara baku, meskipun pada akhirnya, perpu itu digunakan
sebagai nomenklatur tetap dalam menerbitkan suatu produk hukum yang sifatnya
untuk menanggulangi keadaan memaksa.
Secara spesifik, terdapat perbedaan antara perpu dan undang-undang
darurat, yaitu, pertama, dilihat dari aspek alasan pembentukannya, menurut Ali
Safa‟at, undang-undang darurat di dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950
cenderung bermakna kondisi tertentu yang mendesak untuk diatur. Makna
kegentingan pada konteks ini adalah desakan keterbatasan waktu. Cirinya yaitu
klausul “keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segara” di dalam Pasal 139
ayat (1) Konstitusi RIS 1949 dan Pasal 96 UUDS 1950.642
Sedangkan Perpu
dengan klausul “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” di dalam Pasal 22 ayat
(1) UUD 1945, mengikuti tafsir Mahkamah Konstitusi, tidak hanya keterbatasan
waktu, namun adanya peristiwa yang darurat, serta adanya kekosongan hukum
dalam bentuk undang-undang atau undang-undang tidak memadai. Artinya, syarat
“hal ikhwal kegentingan yang memaksa” lebih beragam. Klausul pasal di dalam
Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 lebih sempit dan batasan yang konkret,
sedangkan dalam UUD 1945 cukup luas. UUD 1945 meniatkan perpu untuk
menanggulangi kegentingan yang memaksa, yang menurut hukum yang ada tidak
642
Muchamad Ali Safa‟at, Perpu... Loc., Cit.
301
bisa ditanggulangi baik karena hukum yang tidak mewadahi atau tidak lengkap
sehingga ada kekosongan, atau hukumnya tidak sesuai dengan tuntutan yang
memaksa itu, karena itu, perpu di UUD NRI 1945 dapat menyimpangi undang-
undang. Berbeda dengan Pasal 139 Konstitusi RIS dan Pasal 96 UUDS 1950 yang
lebih dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum,643
dengan klausul yang
jelas yaitu “perlu diatur segera”.
Kedua, berkaitan dengan otoritas yang mempunyai kewenangan untuk
menetapkan perpu atau undang-undang darurat. Kewenangan menetapkan perpu
diserahkan kepada presiden, sedangkan undang-undang darurat diserahkan kepada
pemerintah. Hal ini karena perbedaan sistem pemerintahan, bahwa UUD 1945
menganut sistem presidensial, sedangkan Konstitusi RIS dan UUDS masih
menganut sistem parlementer.644
Konstituante yang dihasilkan dari Pemilu 1955 yang kemudian diresmikan
di Bandung pada tanggal 10 November 1956, setelah melaksanakan sidang kurang
lebih dua setengah tahun, belum juga menyelesaikan tugasnya untuk membuat
Undang-Undang Dasar tetap untuk menggantikan UUDS 1950 karena tidak
pernah mencapai kuorum 2/3 (dua per tiga).645
Kondisi sosial-politik menjadi
semakin tidak menentu dan cukup mengkhawatirkan untuk terjadi perpecahan.
Pada tanggal 2 Juli 1959, Soekarno kemudian secara resmi memberi tahu kabinet
bahwa ia akan mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945. Tiga hari kemudian,
643
Ibid. 644
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, dalam Chrisdianto Eko Purnomo, “Dasar
Konstitusional Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dan Batasan
Pengaturannya” artikel dalam Jurnal Hukum Jatiswara, 2017, hlm. 230 645
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 96
302
pada tanggal 5 Juli 1959, Dekrit Presiden tersebut dibacakan oleh Soekarno dan
disiarkan oleh radio ke seluruh tanah air, yang substansinya adalah membubarkan
Konstituante, tidak berlakunya lagi UUDS 1950, memberlakukan kembali UUD
1945, dan pembentukan MPR Sementara dan DPR Sementara.646
Secara lebih terperinci, Dekrit Presiden yang dimuat dalam Keputusan
Presiden Nomor 150 Tahun 1959 tersebut dikeluarkan dengan alasan bahwa
anjuran Presiden dan pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang
disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan amanat Presiden pada 22
April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana
ditentukan dalam UUDS 1950; bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian
terbesar Anggota-Anggota Sidang Pembuat UUD untuk tidak menghadiri lagi
sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan
oleh rakyat Indonesia; bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan
ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan
bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang
adil dan makmur; bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan
didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya
jalan untuk menyelamatkan negara probkalamasi; bahwa kami berkeyakinan
bahwa Piagam jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah
merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.647
646
Sri Soemantri, Pemikiran yang Melatarbelakangi Kembali Ke UUD 1945, dalam
Martin H. Hutabarat, dkk, Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analitis Dekrit Presiden dan
Otonomi Daerah, Cetakan Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 27 647
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Keenam,
Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 140
303
Mohammad Yamin berpendapat bahwa dekrit presiden itu merupakan
bentuk dari hukum darurat yang diakui baik dalam hukum nasional maupun
hukum internasional, yang secara lengkap pandangannya adalah sebagai
berikut:648
Dalam hal-hal yang tidak biasa, jaitu sekiranya peraturan-peraturan
yang ditetapkan untuk keadaan biasa djikalau didjalankan mungkin
membahajakan negara, maka diperbolehkan dalam hal jang
sedemikian oleh hukum internasional untuk mendjalankan tindakan
istimewa karena terpaksa. Keadaan yang tidak biasa itu dinamai
keadaan darurat; dalam bahasa Inggris emergency dan dalam bahasa
Djerman not atau dalam bahasa latin necessaria.
Maka permakluman Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi tanggal 5
Djuli 1959 itu berlangsung dengan mempergunakan ketentuan-
ketentuan jang bersumber kepada hukum kenegaraan jang damai
dalam bahasa Djerman “Das Notrecht des Staates atau Das Staats-
notrech”.
Apakah suasana darurat kenegaraan itu sesungguhnja ada dalam
Republik Indonesia, maka hal jang sedemikian semata-mata ialah
hasil dari pemandangan atau tindjauan politik dari pimpinan negara.
Djokosutono sebagaimana dikutip oleh Yusril Ihza Mahendra
menyebutkan bahwa dekrit presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945
adalah sah sebagai konsekuensi doktrin staatsnoodrechts dan noodstaatsrechts.649
Pendapat tersebut menurut Yusril tidak mendapatkan pembenaran karena
perlengkapan negara waktu masih utuh dan dapat berjalan secara normal.650
Menurut Ni‟matul Huda,651
semuanya dikesankan sedemikian mencekam
sehingga disimpulkan sebagai keadaan ketatanegaraan yang membahayakan
648
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, dalam Tim
Penyusun, Naskah... Op., Cit., hlm. 61-62 649
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah
Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Cetakan Pertama, Gema Insani Press,
Jakarta, 1996, hlm. 82 650
Ibid., hlm. 83 651
Ni‟matul Huda, Hukum... Op., Cit., hlm. 140
304
persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta merintangi
pembangunan semesta, karenanya dekrit dikeluarkan untuk menyelamatkan
negara. Wirjono Prodjodikoro,652
yang saat itu sebagai Ketua Mahkamah Agung
juga berpendapat bahwa dekrit yang dikeluarkan oleh presiden tersebut
mendasarkan pada staatsnoodrecht, yaitu dalam keadaan tertentu dapat
menyimpang dari peraturan ketatanegaraan yang ada dan Presiden menganggap
keadaan yang memaksa itu ada.
Memang pada 22 April 1959, presiden memberikan amanat kepada
Konstituante tentang anjuran kepala negara dan pemerintah untuk kembali kepada
UUD 1945 tanpa melalui proses amendemen, dengan alasan pertama, negara
dalam keadaan genting, dan UUD 1945 dapat menjadi jalan keluar atas
kegentingan tersebut; kedua, makna simbolik UUD 1945 yang sangat besar yaitu
sebagai UUD yang berakar pada kebudayaan Indonesia dan merupakan
perwujudkan ideologi Indonesia yang sebenarnya; ketiga, struktur organisasi
negara berdasarkan UUD 1945 akan memperlancar jalannya pemerintahan secara
efektif; keempat, kembali kepada UUD 1945 adalah sesuai dengan hukum yang
berlaku.653
Dekrit presiden yang dianggap oleh Logeman sebagai revolusi hukum ini,
telah mencabut UUDS 1950 dan memberlakukan kembali UUD 1945.
Berdasarkan Dekrit itu, Penjelasan UUD 1945 juga diberlakukan sebagai bagian
652
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia dalam Tim
Penyusun, Naskah... Op., Cit., hlm. 61 653
Ibid., hlm. 58
305
dari UUD. Maka terhadap kewenangan presiden menetapkan perpu yang kembali
mendasarkan pada Pasal 22 UUD 1945, mempunyai penjelasan yang berbunyi,
“Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai
ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat
dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa
pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat”.
Terhadap Penjelasan UUD 1945 ini, memang tidak dibahas pada masa
sidang BPUPKI dan PPKI, juga tidak disahkan bersamaan dengan UUD 1945
pada tanggal 18 Agustus 1945. Penjelasan baru muncul sekitar 1 (satu) tahun
kemudian, yaitu setelah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia
Tahun ke II Nomor 7 tanggal 15 Februari 1946.654
Pembukaan dan Batang Tubuh
UUD 1945 dimuat di halaman 45 sampai dengan 48, sedangkan Penjelasan UUD
1945 dimuat pada halaman 51 sampai dengan 56, dengan diawali kalimat “untuk
memberikan kesempatan lebih luas lagi kepada umum mengenai isi Undang-
Undang Dasar Pemerintah yang semulanya di bawah ini kita sajikan penjelasan
selengkapnya”.655
Isi penjelasan itu diyakini dibuat oleh Supomo, berdasarkan
kesimpulan Panitia Ad Hoc II BP MPRS 1967 yang setelah berbicara dengan
tokoh-tokoh nasional seperti A.G. Pringgodigdo, Maria Ulfah, Achmad Subardjo,
Ijos Wariaatmadja, Soekiman, KH. Abdul Kahar Mudzakir, Abikusno, Roeslan
Wongsokoesoemo, Iwa Koesoemasoemantri, dan perguruan tinggi di Indonesia
berkesimpulan:656
654
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 98 655
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni‟matul Huda, Teori Hukum dan Konstitusi,
Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 117 656
Nugroho Notosusanto, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, dalam Ibid., hlm.
118
306
“Pada saat ditetapkan UUD 1945 belum ada penjelasannya. Adapun
penjelasan yang disiarkan dalam Berita RI Tahun II No. 7, bukanlah
hasil karya Panitia Hukum Dasar, melainkan dibuat oleh alm. Prof.
Dr. Soepomo pribadi dan isinya sesuai dengan penjelasan beliau pada
rapat besar Badan Penyelidik tanggal 5 Juli 1945”
Penjelasan UUD ini memang menimbulkan kontroversi. Pertama,
pendapat bahwa UUD itu terdiri dari pembukaan dan batang tubuh saja,
sedangkan penjelasan bukan bagian resmi dari UUD. Kedua, UUD itu terdiri dari
pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan.657
Namun perdebatan tersebut diakhiri
dengan kejelasan kedudukan penjelasan UUD 1945 berdasarkan Dekrit. Melalui
Dekrit 5 Juli 1959, penjelasan UUD 1945 tersebut dimuat bersama-sama dengan
Pembukaan dan Batang Tubuh pada Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959.
Dengan demikian, Penjelasan UUD 1945 merupakan bagian resmi dan tak
terpisahkan dari UUD 1945.658
Sejak diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dekrit presiden, UUD
1945 tersebut yang berlaku sebagai konstitusi Indonesia hingga saat ini. Pasal 22
adalah dasar kewenangan bagi presiden untuk menetapkan perpu dalam rangka
menanggulangi keadaan darurat negara. Hanya saja, pada tahun 1999 hingga
2002, dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan UUD 1945 ini
merupakan konsekuensi logis atas gerakan reformasi yang muncul sebagai bentuk
traumatis atas semangat penyelenggaraan negara pada masa orde baru. Perubahan
tersebut tidak menghilangkan naskah UUD 1945, karena perubahan disepakati
untuk dilakukan secara adendum. Karena itu, meskipun perubahan itu dilakukan
selama 4 (empat) tahap sejak 1999 hingga berakhir pada tahun 2002, tidak
657
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar... Op., Cit., hlm. 98 658
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni‟matul Huda, Teori... Op., Cit., hlm. 120
307
kemudian menjadikan UUD 1945 berubah menjadi UUD 2002. Meskipun
memang, merujuk pada pendapat Saldi Isra,659
perubahan yang dilakukan dari
tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 itu sebenarnya telah melahirkan konstitusi
baru karena materi muatannya baik secara kuantitatif maupun kualitatif, telah
terjadi perubahan yang sangat signifikan. Mempertahankan nama konstitusi
Indonesia dengan sebutan UUD 1945 melalui mekanisme adendum itu,
menurutnya lebih dapat dikatakan sebagai alasan politis-simbolis.
Perubahan UUD 1945 yang semula menjadi salah satu tuntutan mahasiswa
yang melakukan demonstrasi itu juga didukung oleh praktisi hukum, pejabat
publik, dan akademisi atau ahli hukum untuk dilakukan amendemen.660
Berkaitan
dengan perpu sebagai bagian dari UUD 1945, juga tidak lepas dari pembahasan
perubahan ini. Todung Mulya Lubis dari kalangan praktisi hukum menyuarakan
agar diadopsi mekanisme judicial review di Mahkamah Agung agar pembentukan
undang-undang dan perpu lebih berhati-hati.661
M.H Buang dari kalangan pejabat
publik yang pada saat itu sebagai Wakil Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan
MPR juga menyuarakan agar Pasal 22 yang memuat dasar kewenangan presiden
membentuk perpu harus diubah dan diperinci secara lebih jelas agar tidak mudah
ditafsirkan sesuai dengan kepentingannya. Menurutnya, kewenangan menetapkan
659
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Rajawali
Pers, Depok, 2018, hlm. 142-143 660
Harun Alrasid adalah salah satu ahli hukum yang mengemukakan urgensi
dilakukannya perubahan UUD. Lihat dalam Tim Penyusun, Naskah... Op., Cit., hlm. 84 661
Todung Mulya Lubis, “Masa Depan Kebebasan Berserikat” dalam Ibid., hlm. 93
308
perpu seperti dalam Pasal 22 yaitu tanpa mendapatkan persetujuan terlebih dahulu
dari DPR menunjukkan bahwa presiden lebih kuat daripada DPR.662
Pada rapat PAH III BP MPR ketiga 9 Oktober 1999 dalam pembahasan
bab terkait DPR, Fraksi Partai Golkar yang diwakili oleh Andi Mattalatta
mengusulkan bila suatu perpu ditolak oleh DPR, maka pencabutan itu dilakukan
dengan tenggang waktu yang tidak lebih dari satu bulan.663
Dalam pembahasan
PAH III BP MPR keenam pada tanggal 12 Oktober 1999, Andi Mattalatta
kembali menyoal tentang perpu, yaitu berkaitan dengan urgensi pemberian
kewenangan perpu kepada presiden sedangkan kekuasaan perundang-undangan
beralih ke DPR. Menanggapi hal tersebut, Harun Alrasid memberikan pandangan
sebagai berikut:664
Perpu itu hapus itu, tidak boleh itu, warisan penjajah itu. Itu
wewenang gubernur jenderal itu dulu, sesudah kita merdeka tidak
boleh. Clinton tidak punya wewenang bikin peraturan sederajat
dengan undang-undang.
Nah, inilah kita harus sadari. Jangan kita membawa semua aturan dari
Indische staats Regeling itu. Gubernur jenderal memang berwenang
melakukan nood ordonantie yang sama. Tapi kalau kita sudah
merdeka, itu kuasa perundangan itu 100% di Wakil Rakyat. Masak
Presiden berwenang bikin peraturan nanti mencabut segala undang-
undang. Sudah capek-capek dibuat oleh DPR. Dihapuskan perpu itu
dari khasanah Undang-Undang Dasar yang akan datang itu. Presiden
Amerika nggak punya itu, bikin peraturan yang sederajat dengan Act
of Congress. Bisa marah rakyat demokratis itu.
662
Ibid., hlm. 96 663
Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Buku III: Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid II,
Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, 2010, hlm. 707 664
Ibid., hlm. 794
309
Rapat ke-7 PAH III BP MPR, 13 Oktober 1999 dengan agenda dengar
pendapat pakar, Sri Soemantri Martosoewignjo menjelaskan terkait kewenangan
menetapkan perpu sebagai berikut:665
“Di dalam berbagai konstitusi ini saya pelajari, bahwa suatu ketika
terjadi situasi yang harus diatur di dalam peraturan yang sederajat
dengan undang-undang. Kalau umpamanya itu akan dilakukan oleh
melalui undang undang, prosesnya itu akan lama. Jadi, saya masih
tetap berpendapat bahwa perlu ada kewenangan yang diberikan oleh
Presiden, di dalam keadaan darurat, di dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa ini, Presiden diberi wewenang untuk mengeluarkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Akan tetapi,
untuk mencegah jangan sampai dengan perpu ini Presiden lalu
bertindak, apa namanya, di luar batas kekuasaannya, ada escape
clausule yang mengatakan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang itu, disampaikan kepada DPR, di dalam sidang yang
berikut. Itu apa istilah yang dipergunakan? Tapi perlu dalam waktu
yang singkat, perpu itu disampaikan pada DPR untuk dijadikan
undang-undang, atau bahkan ditolak. Ini tergantung dari Dewan
Perwakilan Rakyat itu sendiri.”
Pada perubahan tahap kedua, 6 Desember 1999 dengan agenda
mendengarkan pandangan fraksi di MPR, Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah
(F-PDU) yang merupakan gabungan dari anggota MPR asal Partai Nahdlatul
Ummah yang diwakili oleh Asnawi Latief menyampaikan usul agar kekuasaan
presiden menetapkan perpu dihapuskan dari sistem perundang-undangan nasional,
karena tafsir atas kegentingan sangat sulit, sedangkan keadaan bahaya telah diatur
dengan undang-undang.666
Usulan yang sama juga disampaikan oleh Hamdan
Zoelva pada rapat PAH I BP MPR 30 Mei 2000. Menurutnya, perpu yang
ditetapkan saat ini digunakan tidak pada tempatnya, namun hanya digunakan
665
Tim Penyusun, Naskah... Op., Cit., hlm. 228 666
Ibid., hlm. 264
310
untuk mencari alasan agar proses lebih cepat, padahal bisa menggunakan undang-
undang biasa.667
Fraksi Partai Golkar sebagaimana disampaikan oleh Theo L. Sambuaga
juga menyuarakan agar perpu dihapuskan.668
Pada rapat PAH I BP MPR kedua
puluh, 24 Februari 2000, muncul gagasan untuk membatasi materi muatan dan
keberlakuan perpu agar pemerintah tidak dengan mudah mengeluarkan perpu.
Disampaikan oleh Ali Hardi Kiademak dari Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan.669
Demikian pula pembahasan pada tanggal 30 Mei 2000, Fraksi
TNI/Polri yang diwakili oleh Hendy Tjaswadi juga mengusulkan terkait perpu
agar klausul “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” perlu diperjelas sehingga
tidak ditafsirkan secara sepihak oleh pemerintah yang dalam keadaan tidak
genting sekalipun bisa dimanfaatkan oleh pemerintah.670
Fraksi Partai Demokrasi
Kasih Bangsa memandang perpu masih penting untuk diadopsi untuk
mengantisipasi keadaan-keadaan yang genting dan mendesak, hanya saja perlu
pembatasan agar tidak disalahgunakan, misalnya melalui konsultasi kepada
pimpinan DPR atau DPD sebagai penyeimbang.671
Zain Badjeber dari F-PPP juga
mengusulkan agar pembatasan penggunaan perpu dilakukan dengan cara
pembatasan oleh kekuasaan lain dengan prosedur yang lebih sederhana.672
Kendatipun telah dibahas dalam proses amendemen konstitusi itu, ternyata
klausul Pasal 22 UUD NRI 1945 tidak sampai dilakukan perubahan. Karena itu,
667
Tim Penyusun, Naskah... Op., Cit., hlm. 986 668
Ibid., hlm. 956 669
Ibid., hlm. 913 670
Ibid., hlm. 922 671
Ibid., hlm. 947-948 672
Ibid., hlm. 990
311
bunyi Pasal 22 UUD NRI 1945 itu masih otentik rumusan Soepomo dan tim
perumus Undang-Undang Dasar 1945 pada sidang BPUPKI. Hanya saja,
penjelasan Pasal 22 tidak lagi diberlakukan sebagai konsekuensi dari amendemen
konstitusi pada tahun 2002 yang tidak memberlakukan Penjelasan UUD NRI
1945.
B. Tafsir Konstitusional atas Kewenangan Penetapan Perpu oleh
Presiden Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Di atas telah disinggung, bahwa diskursus mengenai politik hukum saat
ini, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Mahkamah Konstitusi. Hal ini
setidaknya berangkat atas dasar 2 hal. Pertama, Mahkamah Konstitusi merupakan
satu-satunya lembaga negara yang diberikan kewenangan secara konstitusional
untuk menafsirkan konstitusi. Keberadaannya dengan demikian disebut sebagai
the guardian of constitution. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang
menjadi penjaga orisinalitas konstitusi agar diterapkan secara konsekuen melalui
segala kewenangannya. Maka dalam konteks ini, peran Mahkamah Konstitusi
dalam diskursus politik hukum adalah untuk menjaga agar pembentukan hukum
berupa undang-undang tetap berada pada rel konstitusi. Bagaimanapun, ukuran
konstitusionalitas bukan menjadi satu-satunya ukuran dalam pembentukan hukum
di parlemen. Bahkan undang-undang sebagai produk hukum akan mempunyai
watak yang sangat bergantung pada konfigurasi politik yang melahirkannya.673
Kepentingan menjadi dominan, dan pengingkaran terhadap konstitusi sangat
terbuka lebar.
673
Moh. Mahfud MD, Politik... Op., Cit., hlm. 348
312
Kedua, merupakan bagian integral dari hal pertama tadi, Mahkamah
Konstitusi turut memainkan peran untuk mengarahkan politik hukum
pembentukan undang-undang di parlemen. Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 menyebutkan, materi
muatan yang diatur dengan undang-undang, salah satunya berisi tentang tindak
lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi.674
Demikian pula dengan sifat putusan
Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat, secara ideal (das sollen),675
harus
dipatuhi dan dijadikan rambu-rambu dalam pembentukan undang-undang
termasuk dalam hal ini adalah perpu yang kedudukannya sejajar dengan undang-
undang. Melawan putusan Mahkamah Konstitusi merupakan bentuk perlawanan
terhadap konstitusi karena putusan Mahkamah Konstitusi merupakan tafsir
konstitusional atas konstitusi. Pada aspek yang lebih filosofis, perlawanan
terhadap konstitusi merupakan penghianatan terhadap prinsip negara hukum.
Berdasarkan dua hal di atas, maka mengetahui perspektif Mahkamah
Konstitusi atas perpu akan membantu bagaimana seharusnya pembentukan dan
arah materi muatan pembentukan perpu dalam kerangka negara hukum dan
demokrasi. Mengetahui pandangan Mahkamah konstitusi terhadap perpu ini
dilakukan dengan cara menganalisis beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang
menguji perpu atau undang-undang tentang penetapan perpu.
674
Lihat dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2019 675
Disebutkan das sollen, karena pada prakteknya, tidak sedikit putusan Mahkamah
Konstitusi yang tidak dilaksanakan. Pada konteks pembentukan perpu, hal ini akan dibahas pada
bagian tersendiri dalam penelitian ini.
313
Selama ini, perspektif Mahkamah Konstitusi terhadap perpu dan tafsir atas
Pasal 22 UUD NRI 1945 selalu diarahkan pada Putusan Nomor 138/PUU-
VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini wajar,
mengingat putusan tersebut yang menjadi landmark decision bahwa Mahkamah
Konstitusi berwenang menguji perpu. Namun, pandangan Mahkamah Konstitusi
atas perpu tidak hanya berpangku pada putusan tersebut. Ada beberapa putusan
lain yang dapat dijadikan rujukan bagaimana seharusnya perpu itu dibentuk sesuai
dengan yang diidealkan konstitusi.
1. Putusan Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Putusan Nomor 013/PUU-I/2003 yang menguji Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom
Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang, telah
memberikan batasan bahwa pembentukan suatu peraturan, termasuk dalam
hal ini adalah perpu, karena objek pengujiannya adalah undang-undang
penetapan perpu, tidak boleh menegasikan konstitusi. Negara tidak boleh
314
menegasikan konstitusi, apabila hal itu terjadi maka niscaya konstitusi
telah menyayat-nyayat dagingnya sendiri.676
Melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan agar
materi muatan perpu sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan
agar tetap tertib sesuai dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-
undangan dan sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan. Hal ini
merupakan bentuk respon Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2003 yang berasal dari Perpu Nomor 2 Tahun 2002
memuat kaidah hukum berupa peristiwa hukum yang bersifat konkret. Hal
itu menurut Mahkamah Konstitusi tidak tepat dan tidak dapat dibenarkan
untuk dituangkan ke dalam bentuk produk hukum berupa undang-undang,
melainkan seharusnya merupakan material sphere pengadilan dalam
menerapkan suatu kaidah hukum umum dan abstrak. Menurut Mahkamah
Konstitusi, hal itu mencederai semangat pemisahan kekuasaan
sebagaimana dianut oleh UUD NRI 1945 karena telah melakukan sesuatu
yang merupakan ranah kekuasaan kehakiman.677
676
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Putusan
Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12
Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang. 677
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Putusan
Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12
Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang
315
Putusan ini juga memberikan pandangan kepada pemerintah dalam
penetapan perpu agar tidak dijadikan sebagai pilihan utama untuk
merespon persoalan hukum ketika perangkat hukum yang ada masih dapat
digunakan. Mahkamah Konstitusi menegaskan, bahwa penindakan
terhadap setiap kejahatan haruslah dilakukan dengan menegakkan hukum
(law enforcement) berdasarkan keadilan dan kepastian, bukan dengan cara
membuat norma hukum baru baik melalui pembentukan perpu maupun
undang-undang baru. Terlebih bila ternyata kebijakan legislasi yang
demikian didasarkan pada pertimbangan yang sifatnya politis. Akibatnya,
tidak akan pernah ada hukum yang ditegakkan karena hukum yang
tersedia akan selalu dirasa tidak mencukupi.678
2. Putusan Nomor 003/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan
Pada putusan ini, Mahkamah Konstitusi memang menyebutkan
bahwa hal ikhwal kegentingan yang memaksa dan penetapan perpu di
dalam Pasal 22 UUD NRI memang merupakan subyektifitas presiden.
Namun ke depan, meskipun hal ikhwal kegentingan yang memaksa ini
678
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Putusan
Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12
Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang
316
merupakan subyektifitas presiden, tetapi hendaknya lebih didasarkan pada
kondisi objektif bangsa dan negara yang “tercermin” dalam konsideran
perpu. syarat “kegentingan yang memaksa” ini memang harus diupayakan
seobjektif mungkin karena pembentukan peraturan setingkat undang-
undang dalam negara demokrasi dibentuk lembaga legislatif (DPR) dan
presiden. Kegentingan yang memaksa memberikan pengecualian yang
menyimpangi semangat berdemokrasi, karena itu, pertimbangan
kegentingan yang memaksa harus seobjektif mungkin. Namun Mahkamah
Konstitusi di dalam putusan ini belum memberikan kriteria bagaimana
kondisi objektif dimaksud, hanya mensyaratkan agar kondisi objektif itu
dituangkan ke dalam konsideran perpu.
3. Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Mahkamah Konstitusi melalui putusan ini menyinggung soal
kedudukan dan materi muatan perpu. Bahwa perpu di dalam Pasal 22
UUD NRI 1945 diatur di bab tentang DPR yang memegang kekuasaan
membentuk undang-undang. Maka materi perpu adalah materi yang
menurut UUD NRI 1945 harus diatur dengan undang-undang, bukan
dengan peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
317
(2) yang memang ditujukan untuk melaksanakan undang-undang.679
Namun meskipun berada pada bab tentang DPR, kewenangan membentuk
perpu diberikan kepada presiden, dan tidak kepada DPR karena berkaitan
dengan keterbatasan waktu dan kemendesakan. Pengambilan keputusan di
DPR sebagai lembaga perwakilan berada di tangan anggota, sehingga
untuk mengambil keputusan dimaksud, harus melalui rapat-rapat tertentu.
Kebutuhan mengisi kekosongan hukum dalam mengatasi keadaan yang
mendesak menjadi tidak terpenuhi.680
Materi muatan yang sejajar dengan undang-undang itu, maka sejak
awal, Mahkamah Konstitusi menghendaki agar perpu tidak bertentangan
dengan konstitusi. Melalui putusan ini, yang memberikan kewenangan
bagi Mahkamah Konstitusi untuk menguji perpu, sekaligus menahbiskan
bahwa perpu tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Alasan
Mahkamah Konstitusi itu karena perpu melahirkan norma hukum baru,
dan sebagai norma hukum baru akan menimbulkan status hukum baru,
hubungan hukum baru, dan akibat hukum baru. Norma hukum baru
tersebut berlaku sejak perpu disahkan, dan bergantung pada persetujuan
atau penolakan DPR. Tetapi sebelum disetujui atau ditolak oleh DPR,
perpu sah berlaku sebagaimana undang-undang dengan segala akibat
679
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor
138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 680
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor
138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
318
hukumnya.681
Mahfud MD dalam concuring opinion menegaskan “tidak
boleh satu detikpun ada peraturan perundang-undangan yang berpotensi
melanggar konstitusi tanpa bisa diluruskan atau diuji melalui pengujian
yudisial”.682
Putusan 138/PUU-VII/2009 ini mengawali putusan-putusan
berikutnya yang menguji perpu. Putusan 145/PUU-VII/2009 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia dan Perpu Nomor 4 Tahun 2008, Mahkamah
Konstitusi menegaskan kembali mempunyai kewenangan menguji perpu
dengan syarat hal ikhwal kegentingan memaksa dengan merujuk pada
Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Demikian juga pada Putusan Nomor
80/PUU-XI/2013 yang menguji Perpu Nomor 1 Tahun 2013; Putusan
Nomor 91/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Perpu Nomor 1 Tahun 2013;
serta Putusan Nomor 38/PUU-XV/2017 tentang Pengujian Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
681
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor
138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 682
Lihat dalam Pendapat Berbeda (concuring opinion) Moh. Mahfud MD pada Putusan
Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
319
Mahkamah Konstitusi melalui putusan ini kemudian menetapkan
syarat hal ikhwal kegentingan yang memaksa untuk menetapkan perpu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 sebagai berikut:
(1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan
undang-undang;
(2) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga
terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada undang-undang
tetapi tidak memadai;
(3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara
membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan
memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang
mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.683
Hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud di
dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 ini, menurut Mahkamah Konstitusi tidak
dimaknai sebatas hanya adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 UUD NRI 1945. Bahwa benar keadaan bahaya di dalam
Pasal 12 UUD NRI 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan
undang-undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun
keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan
timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 UUD NRI 1945.684
683
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor
138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 684
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor
138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
320
Keadaan berupa kebutuhan mendesak, menurut Andi Irman Putra
Sidin sesungguhnya secara konstitusional bisa dideteksi, misalnya berupa
fungsi pemerintahan yang mengalami kelumpuhan atau setidaknya dalam
rasio yang wajar akan mengalami kelumpuhan dan tidak ada lembaga
pemerintahan yang mampu mensubstitusikan karena memang tidak
mempunyai payung hukum untuk itu, sehingga pemerintah tidak dapat
memenuhi tanggungjawabnya dalam memenuhi hak asasi manusia.685
Adapun pembentukan undang-undang melalui proses yang normal dimulai
dari tahap pengajuan rancangan undang-undang kepada DPR, sampai
dengan pengundangan, menurut Mahkamah Konstitusi memerlukan waktu
yang cukup lama karena akan terbentur dengan mekanisme administratif
yang formal-prosedural dengan proses pengambilan keputusannya yang
sepenuhnya berada di tangan anggota, sehingga keadaan yang mendesak
tidak akan teratasi.
685
Lihat dalam Pendapat Ahli dalam Putusan Nomor 127/PUU-XII/2014 tentang
Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah
321
4. Putusan Nomor 118-119-125-126-127-129-130-135/PUU-
XII/2014 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pengujian Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah
Dengan merujuk pada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009,
Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang menguji perpu. Putusan ini dapat dikatakan tidak seperti
putusan Mahkamah Konstitusi yang lain. Mahkamah Konstitusi biasanya
ketika menyebutkan bahwa pengujian telah kehilangan objek, maka pokok
permohonan tidak akan dipertimbangkan lagi. Tetapi pada putusan ini
Mahkamah Konstitusi justru memberikan telaahan tentang makna dan
hakikat produk hukum berupa perpu menurut UUD NRI 1945.686
Menurut Mahkamah Konstitusi, perpu memang hak istimewa yang
sepenuhnya diserahkan pada subyektivitas presiden, tetapi harus ada dasar
obyektivitasnya agar tidak terdapat unsur penyalagunaan wewenang dan
kekuasaan. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini merujuk pada ketentuan
dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang syarat-syarat hal ikhwal
686
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 118-
119-125-126-127-129-130-135/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan
Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
322
kegentingan yang memaksa sebagaimana telah disebut di atas. Perpu
dibutuhkan oleh penyelenggara negara agar negara dapat berjalan dengan
baik guna mengatasi permasalahan yang sewaktu-waktu muncul, dan
untuk itu diperlukan langkah dan solusi yang segera dapat dilaksanakan
untuk mengatasi keadaan yang genting dan memaksa dan perlu
diselesaikan seketika itu juga. Perpu bukan merupakan alat kekuasaan
politik, yang dalam hal ini perpu merupakan “escape clause” kepada
presiden sebagai pemegang hak subyektif.687
5. Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Dalam putusan 1-2/PUU-XII/2014 ini, Mahkamah Konstitusi juga
mengacu pada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 terkait dengan syarat
dan kriteria hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Tampak sedikit aneh,
karena objek pengujian yang diajukan oleh pemohon adalah Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun
2013. Namun Mahkamah Konstitusi justru meninjau Perpu Nomor 1
Tahun 2013 baik dari aspek pembentukan maupun materi muatan ketika
687
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 118-
119-125-126-127-129-130-135/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan
Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
323
perpu tersebut masih berlaku. Padahal ketika perpu telah ditetapkan
menjadi undang-undang, keberlakuannya telah berakhir. Itulah mengapa
ketika perpu ditetapkan menjadi undang-undang, sedangkan pada saat
yang sama diajukan ke Mahkamah Konstitusi, maka objek permohonan
menjadi hilang (kehilangan objek).
Secara eksplisit Mahkamah Konstitusi menyebutkan, bahwa
meskipun kegentingan yang memaksa menjadi kewenangan presiden
untuk menafsirkannya, namun subyektifitas tersebut harus ada dasar
obyektifitasnya. Dasar obyektifitas dengan merujuk pada kriteria
kegentingan yang memaksa berdasarkan putusan 138/PUU-VII/2009 itu,
menurut Mahkamah Konstitusi merupakan syarat konstitusionalitas yang
menunjukkan indikasi adanya kegentingan yang memaksa dalam
pembentukan perpu.688
Sedangkan kegentingan yang memaksa merupakan
syarat yang ditetapkan oleh konstitusi dan karenanya mengikat, sehingga
tanpa ada kegentingan memaksa, presiden menjadi tidak berwenang untuk
membuat perpu.689
Secara tegas Mahkamah Konstitusi menyebutkan
bahwa kegentingan yang memaksa sebagaimana disyaratkan oleh UUD
NRI 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009
tidak terpenuhi dalam penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013.
688
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-
2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 689
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-
2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
324
“Ketidakberwenangan” presiden dalam menetapkan perpu ini
dikutip kembali di dalam Putusan Nomor 118-119-125-126-127-129-130-
135/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota dan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Secara
teoretis, ikhwal kewenangan menetapkan perpu di atas, disinggung oleh
W. Riawan Tjandra. Bahwa secara a contrario presiden tidak dapat
menggunakan haknya dalam membentuk perpu selama tidak ada hal
ikhwal kegentingan yang memaksa. Perpu yang ditetapkan di luar
kegentingan yang memaksa maka akan batal demi hukum (null and void),
karena melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa adanya wewenang.690
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014
ini memberikan kriteria baru untuk melihat urgensi penetapan perpu.
Kriteria tersebut dilihat dari pasca penetapan perpu, yaitu prompt
immediately atau sontak segera untuk memecahkan permasalahan
hukum.691
Karena objek pengujian Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 ini
adalah Undang-Undang tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013,
690
Lihat dalam Pendapat Ahli pada Putusan MK Nomor 80/PUU-XI/2013 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 691
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-
2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
325
maka Mahkamah Konstitusi menganalisis aspek sontak segera itu terhadap
Perpu Nomor 1 Tahun 2013. Bahwa perpu tersebut, meskipun telah
menjadi undang-undang, belum pernah menghasilkan produk hukum
apapun.692
Menurut pendapat penulis, hal yang juga diperjelas mengenai
penetapan perpu melalui Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 ini adalah
klausul kegentingan yang memaksa untuk disebutkan di dalam konsideran
perpu. Hal ini sebelumnya disebutkan di dalam Putusan Nomor 003/PUU-
III/2005 sebagaimana diuraikan di atas. Bahwa hal ikhwal kegentingan
yang memaksa hendaknya tercermin di dalam konsideran perpu. Di dalam
Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, dengan melihat Perpu Nomor 1 Tahun
2013, konsideran (menimbang) perpu tersebut tidak mencerminkan adanya
kesegeraan, yaitu apa yang hanya dapat diatasi secara segera.693
6. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) dan/atau
692
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-
2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 693
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-
2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
326
Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
menjadi Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2020 yang berasal dari Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini
memberikan cara pandang baru tidak hanya secara khusus tentang hakikat
penetapan dan pemberlakuan perpu, namun lebih umum berkaitan dengan
pemberlakuan hukum darurat negara. Putusan ini menurut pendapat
penulis bertumpu pada judicial activism Mahkamah Konstitusi yang
menciptakan progresifitas putusan terutama dalam hal pemberlakuan perpu
dalam kerangka hukum tata negara darurat. Ada beberapa hal esensial
yang dapat ditarik dari putusan Mahkamah Konstitusi ini. Pertama,
Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan bahwa materi muatan perpu
tidak boleh menyimpangi konstitusi. Ketentuan ini dapat dilihat dari
pendirian Mahkamah Konstitusi terhadap materi muatan Pasal 27 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang dinilai inkonstitusional kecuali
dimaknai sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (inkonstitusional
bersyarat).
Kedua, batasan waktu keberlakuan suatu keadaan darurat negara.
Hal ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2020 yang dimohonkan oleh pemohon untuk diuji, yaitu
berkaitan dengan tidak adanya batas waktu berakhirnya keberlakuan
undang-undang ini sehingga oleh pemohon secara formil dianggap tidak
327
mempunyai kepastian hukum yang berpotensi melahirkan pemerintahan
yang sewenang-wenang dan tidak akuntabel dalam pengelolaan keuangan
negara untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan yang difokuskan untuk
penanganan Covid-19. Secara materiil, ketentuan Pasal 29 yang tidak
memberikan batasan waktu itu dianggap bertentangan dengan prinsip
negara hukum dan prinsip jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil karena pasal tersebut sebagai ketentuan penutup tidak
memberikan jangka waktu keberlakuannya kendatipun telah diterbitkan
untuk menyelesaikan persoalan di masa darurat kesehatan masyarakat.
Padahal the nature of emergency law ditujukan untuk menyelesaikan
persoalan krisis yang telah nyata terjadi di depan mata, supaya kembali ke
keadaan normal. Tidak mungkin negara terus menerus mempertahankan
undang-undang tersebut yang hendak menyelesaikan masalah krisis akibat
pandemi Covid-19 dan juga terus mempertahankan status kedaruratan
kesehatan masyarakat.694
Terhadap permohonan batasan waktu ini, Mahkamah Konstitusi
kemudian menghendaki agar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang
berasal dari Perpu Nomor 1 Tahun 2020 itu harus diberikan batasan waktu
keberlakuannya agar terhadap penggunaan keuangan negara dilakukan
694
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalan Putusan Nomor
37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang
328
kontrol yang kuat.695
Selain itu, batas waktu keberlakuan ini menurut
Mahkamah Konstitusi juga berkaitan dengan batas waktu status
keberlakuan keadaan darurat dan kegentingan yang memaksa, serta
substansi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang menganulir
beberapa norma undang-undang yang lain. Secara eksplisit Mahkamah
Konstitusi dalam putusan ini menginventarisir beberapa ketentuan norma
yang telah dianulir oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 ini,
yaitu:696
1. Pasal 11 ayat (2), Pasal 17B ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal
26 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang;
2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomot 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang;
3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5),
Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan
695
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalan Putusan Nomor
37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang 696
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalan Putusan Nomor
37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang
329
Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara;
4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara;
5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-
Undang;
6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83,
dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah;
7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan;
8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya, Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
10. Pasal 177 huruf c angka 2, Pasal 180 ayat (6), Pasal 182
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah;
11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan krisis
Sistem Keuangan; dan
12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun 2020.
Mahkamah Konstitusi tidak mempersalahkan adanya
penyimpangan terhadap beberapa norma yang termuat dalam beberapa
330
undang-undang yang lain, namun mengarahkan agar seluruh norma yang
dianulir karena keadaan darurat itu, tidak boleh diakhiri keberlakuannya
secara permanen, dan kembali diberlakukan ketika keadaan normal dengan
mengakhiri keberlakuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Dengan
demikian, harus ada batasan yang jelas kapan situasi darurat berakhir,
dalam hal ini adalah Pandemi Covid-19. Secara konseptual, Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa state of emergency dan law in time of crisis
harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan
sebagai upaya untuk menegaskan kepada masyarakat bahwa keadaan
darurat akan ada ujungnya sehingga akan ada kepastian hukum.697
Secara lebih konkret, Mahkamah Konstitusi menentukan batas
keberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah ditetapkan menjadi
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 itu adalah ketika pandemi Covid-
19 berakhir atau ketika telah beralih menjadi endemi. Produk hukum
tersebut dengan demikian tidak berlaku lagi, karena memang tujuan
dibentuknya adalah untuk menanggulangi dan mengantisipasi dampak
pandemi. Dalam hal ternyata status pandemi berkepanjangan, maka
Mahkamah Konstitusi menentukan undang-undang tersebut berlaku paling
lama hingga akhir tahun kedua sejak Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2020 diundangkan, sedangkan apabila pandemi masih berlangsung setelah
697
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalan Putusan Nomor
37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang
331
itu, maka sebelum memasuki tahun ketiga, berkaitan dengan
pengalokasian anggaran untuk penanganan Covid-19 harus mendapat
persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.
Meskipun memang persoalan keberlakuan suatu undang-undang
yang disebutkan Mahkamah Konstitusi ini adalah dimaksudkan untuk
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, namun secara esensial yang dapat
disarikan dari pendapat ini yaitu bahwa keadaan darurat tidak boleh
dibiarkan secara berkepanjangan tanpa adanya kepastian kapan akan
berakhir. Penetapan perpu menjadi undang-undang bukan berarti bahwa
keadaan darurat telah berakhir, juga bukan berarti bahwa materi muatan
undang-undang yang berasal dari perpu tersebut yang mengesampingkan
beberapa undang-undang lain, dianggap kewajaran. Bagaimanapun perpu
dibentuk khusus untuk mengatasi keadaan darurat atau hal ikhwal
kegentingan yang memaksa, sehingga apabila kedaruratan itu berakhir,
maka perpu yang dibentuk untuk mengatasi kedaruratan dimaksud juga
harus berakhir. Demikian pula, undang-undang yang berlaku normal yang
telah dikesampingkan oleh perpu karena kedaruratan itu, harus kembali
diberlakukan. Perpu yang tidak dibatasi waktu keberlakuannya, yang telah
menganulir undang-undang lain itu, maka tentu akan mengakibatkan
norma dalam undang-undang yang dianulir itu hilang keberlakuannya
secara permanen, bahkan ketika keadaan telah kembali normal.
Konsekuensinya, maka perpu akan mengarahkan kehidupan
332
ketatanegaraan pada kenormalan baru, yang ini tidak sesuai dengan esensi
hukum tata negara darurat.
Ketiga, perpu tidak boleh menganulir asas-asas hukum. Pendapat
Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2020 secara eksplisit menyebutkan, bahwa perpu harus
tetap memenuhi kepastian hukum dalam pemberlakuannya, karena
meskipun perpu mempunyai karakteristik khusus, bukan berarti bahwa
substansi undang-undang yang berasal dari perpu dapat mengabaikan
prinsip demokrasi dan negara hukum.698
Demikian pula pendapat
Mahkamah Konstitusi yang menguji konstitusionalitas Pasal 27 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2020, dengan merujuk pada prinsip due process
of law dan kepastian hukum dalam proses penegakan hukum. Mahkamah
Konstitusi dengan putusan inkonstitusional bersyarat itu menganulir hak
imunitas yang menyebabkan impunitas dalam penegakan hukum.
Keempat, Mahkamah Konstitusi menganalisis kriteria kegentingan
yang memaksa yang ditetapkan dalam Putusan Mahakamah Konstitusi
Nomor 138/PUU-VII/2009 dengan melihat penjelasan Perpu Nomor 1
Tahun 2020. Menurut pendapat penulis, putusan ini dapat memberikan
gambaran bahwa salah satu bagian yang dapat dilihat aspek kegentingan
yang memaksa dari suatu perpu adalah bagian penjelasan. Namun pada
698
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalan Putusan Nomor
37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang
333
konteks ini, Mahkamah Konstitusi hanya melakukan peninjauan, tidak
dalam konteks mengarahkan agar kegentingan yang memaksa harus
termuat dalam penjelasan. Berbeda dengan putusan terdahulu, yang
mengharuskan hal ikhwal kegentingan yang memaksa itu harus tergambar
dalam konsideran perpu.
Berdasarkan uraian di atas, apabila dikompilasikan, maka terdapat
beberapa syarat-syarat kegentingan yang memaksa, syarat kewenangan
pembentukan perpu, dan syarat materi muatan perpu, sehingga seharusnya
presiden sudah terikat dan subyektifitas tidak berlaku mutlak. Apa yang telah
ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan perpu tersebut dapat
dibagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu aspek materiil dan formil. Secara materiil,
perpu dibentuk tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945, sesuai dengan
prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang dianut oleh konstitusi seperti
pemisahan kekuasaan, tertib kaidah peraturan perundang-undangan baik dari
aspek pembentukan maupun materi muatannya, serta materi muatan yang lingkup
pengaturannya adalah sederajat dengan undang-undang.
Pada aspek formil, Mahkamah Konstitusi mengarahkan agar hal ikhwal
kegentingan yang memaksa harus memenuhi kriteria tertentu yaitu adanya
keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara
cepat berdasarkan undang-undang; undang-undang yang dibutuhkan tersebut
belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada undang-undang
tetapi tidak memadai; dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan
cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan
334
waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan. Kriteria tersebut adalah bersifat kumulatif yang
harus dipandang sebagai “syarat konstitusionalitas” dan syarat “wewenang” dalam
penetapan perpu. Hal ikhwal kegentingan yang memaksa, termasuk ikhwal
kemendesakan dan kesegeraan yang mendorong ditetapkannya perpu disebutkan
di dalam konsideran menimbang perpu dimaksud.
Selain aspek formil dan materiil sebagai disebut di atas, menurut pendapat
penulis, Mahkamah Konstitusi juga menetapkan 1 (satu) larangan dan 1 (satu)
parameter atau tolok ukur pasca keberlakuan. Larangan tersebut yaitu bahwa
perpu tidak boleh diletakkan sebagai instrumen yang dapat dijadikan alat politik
oleh presiden. Sedangkan parameter yang ditetapkan yaitu prompt immediately
atau “sontak segera”. Sontak segera ini, menurut penulis tidak dapat
dikualifikasikan sebagai syarat formil, mengingat hal itu hanya dapat diketahui
pasca perpu ditetapkan dan berlaku secara sah, bukan sebelum diberlakukan.
Karena itu, sontak segera ini seharusnya menjadi alat ukur bagi DPR ketika suatu
perpu diajukan kepada DPR untuk dimintakan persetujuan.
Seluruh syarat tersebut, pada akhirnya tergambar bahwa Mahkamah
Konstitusi menghendaki bahwa seharusnya perpu menjadi senjata pamungkas
ketika tidak ada senjata lain (instrumen hukum lain) yang menurut penalaran yang
wajar, tidak memungkinkan untuk mengatasi kegentingan yang memaksa; serta
keadaan darurat tersebut harus tetap berada dalam bingkai kepastian hukum
dengan memberikan batasan yang jelas kapan suatu keadaan darurat akan berakhir
yang juga harus diikuti dengan berakhirnya keberlakuan perpu.
335
Seluruh kiteria esensial penetapan suatu perpu di dalam putusan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, ternyata tidak menjadi
tolok ukur atau parameter tetap yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi ketika
melakukan pengujian terhadap perpu yang ditetapkan setelah putusan Mahkamah
Konstitusi itu ditetapkan. Kecenderungan Mahkamah Konstitusi sebagaimana
tergambar di atas, ketika melakukan pengujian yang substansinya mengarah pada
hakikat perpu, selalu memunculkan kriteria baru tentang bagaimana seharusnya
perpu itu digunakan oleh presiden. Berdasarkan analisis penulis terhadap seluruh
putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji perpu atau undang-undang tentang
penetapan perpu, ditemukan 2 (dua) fakta yang cukup menarik. Pertama, seluruh
putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji perpu pasca Putusan Nomor
138/PUU-VII/2009, selalu merujuk dan mengutip kriteria hal ikhwal kegentingan
yang memaksa sebagaimana ditentukan pertama kali di dalam Putusan 138/PUU-
VII/2009 berikut juga pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
keberwenangannya dalam menguji perpu, hanya saja rujukan dan kutipan tersebut
termuat dalam bagian pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi pada bagian
“Kewenangan Mahkamah”. Ini menunjukkan bahwa kutipan dan rujukan pada
putusan sebelumnya tersebut digunakan hanya untuk menunjukkan bahwa
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian perpu
dimaksud. Seluruh kriteria yang telah termuat dalam beberapa Putusan Mahkamah
Konstitusi sebelumnya, tidak dijadikan ukuran untuk menilai substansi perpu.
Contoh terhadap hal ini yaitu Putusan Nomor 38/PUU-XV/2017, Putusan Nomor
39/PUU-XV/2017, Putusan Nomor 41/PUU-XV/2017, dan beberapa putusan
336
lainnya. Salah satu alasan mengapa kriteria tersebut tidak digunakan untuk
meninjau materi muatan perpu ketika Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian
terhadap perpu yaitu karena ternyata pengujian perpu di Mahkamah Konstitusi
selalu kandas dengan 2 (dua) hal, yaitu pemohon tidak mempunyai legal standing,
dan permohonan kehilangan objek karena perpu yang diujikan telah ditetapkan
menjadi undang-undang berdasarkan persetujuan DPR. Pemohon yang tidak
mempunyai legal standing dan permohonan kehilangan objek menjadikan pokok
permohonan, yaitu berkaitan dengan materi muatan suatu perpu yang diujikan,
oleh Mahkamah Konstitusi dianggap tidak perlu dipertimbangkan atau tidak
dipertimbangkan lebih lanjut.
Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi yang meninjau suatu perpu dengan
mendasarkan pada putusan terdahulu serta kriteria yang mempunyai kemiripan
dengan putusan terdahulu. Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud yaitu Putusan
Nomor 1-2/PUU-XII/2013, Putusan Nomor 118-119-125-126-127-129-130-
135/PUU-XII/2014, dan Putusan Nomor 37/PUU-XVIII/2020. Putusan Nomor 1-
2/PUU-XII/2013 ini dalam salah satu pertimbangannya secara expressis verbis
merujuk pada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang 3 (tiga) kriteria hal
ikhwal kegentingan yang memaksa yang harus dipenuhi dalam penetapan perpu,
hanya saja tidak ditinjau secara spesifik apakah 3 (tiga) kriteria tersebut telah
terpenuhi dalam penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013. Kriteria tersebut hanya
disebutkan di dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi agar dasar
objektifitas presiden dalam penetapan perpu mengacu pada ketiga kriteria itu.
337
Parameter lain yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Nomor 1-2/PUU-XII/2013 yang mempunyai kemiripan dengan putusan terdahulu
adalah konsideran perpu yang tidak menggambarkan adanya hal ikhwal
kegentingan yang memaksa. Sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam Putusan
Nomor 003/PUU-III/2005, Mahkamah Konstitusi telah menyebutkan agar
kegentingan yang memaksa itu harus tergambar dalam konsideran perpu. Penulis
menggunakan kalimat “kemiripan dengan putusan terdahulu” dalam hal
penggunaan tolok ukur ini, dan tidak menggunakan kata “merujuk” sebagaimana
penggunaan tolok ukur kriteria hal ikhwal kegentingan yang memaksa seperti
telah diuraikan sebelumnya. Hal ini karena memang penggunaan tolok ukur formil
berupa konsideran yang tidak memuat klausul kegentingan yang memaksa dalam
Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2013 itu, tidak secara expressis verbis mengacu
pada Putusan Nomor 003/PUU-III/2005.
Adapun Putusan Nomor 118-119-125-126-127-129-130-135/PUU-
XII/2014 ini meninjau suatu perpu dengan menggunakan tolok ukur berdasarkan 2
(dua) putusan terdahulu, yaitu Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 berkaitan
dengan kriteria hal ikhwal kegentingan yang memaksa, serta Putusan Nomor 1-
2/PUU-XII/2013 berkaitan dengan tolok ukur promt immediately atau sontak
segara, yang keduanya disebutkan secara expressis verbis di dalam pertimbangan
hukum Mahkamah Konstitusi. Meskipun memang kedua tolok ukur tersebut tidak
digunakan untuk menganalisis secara spesifik apakah perpu yang dimohonkan
untuk diujikan itu telah memenuhi keduanya.
338
Putusan Mahkamah Konstitusi yang juga merujuk pada putusan terdahulu
yaitu Putusan Nomor 37/PUU-XVIII/2020. Pada putusan ini, Mahkamah
Konstitusi secara eksplisit merujuk pada kriteria kegentingan yang memaksa
sebagaimana dimaksud dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, yang
meskipun tidak secara rinci menganalisis setiap kriteria dari ketiga kriteria yang
ada terhadap materi muatan perpu, namun Mahkamah Konstitusi
mengkomprasikan ketiga kriteria itu dengan penjelasan perpu. Mahkamah
Konstitusi menilai bahwa Perpu Nomor 1 Tahun 2020 itu telah memenuhi
kualifikasi hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Bahkan dalam putusan ini,
Mahkamah Konstitusi melakukan peninjauan apakah keadaan darurat telah benar-
benar terjadi.
Selain ketiga putusan di atas, Mahkamah Konstitusi dalam melakukan
pengujian terhadap perpu, tidak pernah menggunakan putusan terdahulu sebagai
rujukan untuk menilai suatu perpu. Meskipun memang Putusan Nomor 1-2/PUU-
XII/2013 dan Putusan Nomor 118-119-125-126-127-129-130-135/PUU-XII/2014
ini sama-sama menunjukkan keanehan. Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2013
meninjau Perpu Nomor 1 Tahun 2013 dalam kapasitas sebagai perpu yang
dibentuk berdasarkan Pasal 22, meskipun permohonan pemohon dalam Putusan
Nomor 1-2/PUU-XII/2013 adalah undang-undang penetapan perpu tersebut, yaitu
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014. Padahal dalam putusan Mahkamah
Konstitusi yang lain, suatu perpu yang telah ditetapkan menjadi undang-undang,
maka pengujian tersebut telah kehilangan objek karena perpu yang telah disahkan
itu hakikatnya telah tidak ada. Menjadi aneh ketika Mahkamah Konstitusi
339
meninjau sesuatu yang telah tidak ada, dan bukan merupakan objek permohonan
yang dimohonkan. Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2013 ini mirip dengan Putusan
Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang juga meninjau Perpu Nomor 1 Tahun 2020,
padahal perpu tersebut telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2020, yang undang-undang tersebut menjadi objek yang diajukan permohonan
kepada Mahkamah Konstitusi. Sedangkan pada Putusan Nomor 118-119-125-126-
127-129-130-135/PUU-XII/2014, memang produk hukum yang diajukan adalah
perpu, namun perpu yang dimohonkan tersebut telah ditetapkan menjadi undang-
undang. Konklusi pada Putusan Mahkamah Konstitusi itupun menyebutkan
bahwa permohonan pemohon kehilangan objek sehingga amar putusannya adalah
tidak dapat diterima. Namun terhadap permohonan yang kehilangan objek
tersebut, Mahkamah Konstitusi tetap mempertimbangkan pokok permohonan
yang di antaranya juga berkaitan dengan hakikat perpu itu sendiri. Berbeda
dengan putusan yang lain, yang apabila pemohon kehilangan objek, maka pokok
permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
C. Problematika Pembentukan dan Materi Muatan Perpu
Berdasarkan analisis yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya
terhadap penetapan perpu oleh masing-masing presiden pasca reformasi, maka
pada bagian ini akan ditarik permasalahan-permasalahan yang ada. Berdasarkan
pemasalahan yang terjadi tersebut, akan dirumuskan gagasan dalam kerangka ius
constituendum mengenai pengendalian penetapan perpu oleh presiden di masa
yang akan datang dalam bingkai konstitusi.
340
Pertama, perpu menganulir asas dan prinsip hukum tertentu yang berlaku
umum. Uraian analisis di atas telah menggambarkan bahwa beberapa perpu yang
ditetapkan oleh presiden justru menabrak asas-asas hukum tertentu yang berlaku
umum. Perpu Nomor 1 Tahun 2002 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 telah
memberlakukan asas retroaktif (kebijakan berlaku surut) yang justru
berseberangan dengan semangat keadilan dan kepastian hukum. Demikian pula
dengan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 dan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang
memberikan kekebalan hukum bagi penyelenggara negara.
Penyimpangan terhadap asas-asas hukum dalam sebuah negara yang
berkomitmen untuk mencapai negara hukum, tentu merupakan masalah yang
serius. Hal ini karena kedudukan dan arti penting asas hukum itu sendiri, yang
meskipun tidak tertuang dalam hukum tertulis, namun seharusnya tetap dipegang
teguh dalam penyelenggaraan negara. Asas hukum merupakan akar dari setiap
aturan hukum. Asas hukum menurut Arief Sidharta, mempunyai sekurang-
kuranggnya 2 (dua) fungsi, yaitu sebagai norma kritis untuk menilai kualitas dari
aturan hukum yang seharusnya merupakan penjabaran dari nilai tersebut, serta
sebagai sarana bantu pada waktu menginterpretasi aturan yang bersangkutan,
yaitu untuk menetapkan ruang lingkup wilayah penerapan ketentuan undang-
undang yang bersangkutan.699
Menurut Paul Scholten,700
asas hukum merupakan
kaidah yang paling umum yang mempunyai muatan etik, yang dapat dirumuskan
699
B. Arief Sidharta, Asas, Kaidah, dan Sistem Hukum Dalam Praktek, dalam Yopi
Gunawan dan Kristian, Perkembangan... Op., Cit., hlm. 78 700
Ibid.
341
dalam tata hukum atau berada di luar tata hukum, yang mewujudkan kaidah
penilaian fundamental dalam suatu sistem hukum. Bruggink menyebut,701
...bahwa asas hukum berfungsi baik di dalam maupun di belakang sistem
hukum positif. Asas hukum itu dapat berfungsi demikian karena berisi
ukuran nilai. Sebagai kaidah penilaian, asas hukum itu mewujudkan
kaidah hukum tertinggi dari suatu sistem hukum positif. Itu sebabnya asas-
asas hukum itu adalah fondasi dari sistem tersebut... Demikian asas hukum
mengemban fungsi ganda: sebagai fondasi dari sistem hukum positif dan
sebagai batu-uji kritis terhadap sistem hukum positif..
van Eikema Hommes sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo
menyebutkan,702
asas hukum merupakan dasar-dasar umum atau petunjuk bagi
hukum yang berlaku, sehingga pembentukan hukum praktis perlu berorientasi
pada asas-asas hukum tersebut. Asas hukum merupakan dasar atau petunjuk arah
dalam pembentukan hukum positif. Asas hukum diposisikan sebagai latar
belakang peraturan konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem
hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.
Asas hukum pada akhirnya memberikan dimensi etis pada hukum itu sendiri.703
Penyimpangan terhadap asas hukum, termasuk dalam materi muatan perpu,
dengan demikian akan mereduksi dimensi etis perpu tersebut, yang ini tentu tidak
lazim dalam sebuah negara hukum.
Kedua, perpu menjadi instrumen hukum untuk menghindari proses
legislasi yang panjang di parlemen. Perpu dapat ditetapkan kapan saja oleh
presiden tanpa harus minta persetujuan dari siapapun, dan seketika itu pula secara
701
J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, dalam Lukman Hakim, “Kerangka Politik
Hukum Indonesia” dalam Membangun Negara Hukum yang Bermartabat, Cetakan Pertama,
Setara Press, Malang, 2013, hlm. 194-195 702
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Cetakan Keenam,
Liberty, Yogyakarta, 2009, hlm. 5 703
Ibid., hlm. 8
342
sah telah berlaku dengan segala konsekuensi hukumnya. Bahkan ketika perpu
diajukan ke DPR untuk dimintai persetujuan, prosedur pembahasannya tidak
panjang, karena sidang DPR atas perpu tersebut hanya sebatas menerima atau
menolak tanpa membahas materi muatannya. Selain lebih cepat, maka presiden
akan terhindari dari perselisihan dan ketidaksepahaman dengan DPR. Susi Dwi
Harijanti mengistilahkan keadaan ini sebagai constitutional amputation terhadap
prosedur dan substansi demokrasi dalam pembentukan undang-undang.704
Bahwa
dalam sebuah negara demokrasi, kewenangan membentuk produk undang-undang
adalah lembaga legislatif yang merupakan manifestasi kedaulatan rakyat. Proses
pembentukannya juga harus melalui pembahasan substansial untuk
mengakomodasi aspirasi rakyat. Namun keduanya disimpangi oleh instrumen
hukum berupa perpu, yang kedudukannya setara dengan undang-undang.
Apabila merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi, memang benar
bahwa instrumen perpu diharapkan mempersingkat proses legislasi, karena proses
yang normal dimulai dari tahap pengajuan rancangan undang-undang kepada
DPR, sampai dengan pengundangan memerlukan waktu yang cukup lama karena
akan terbentur dengan mekanisme administratif yang formal-prosedural. Namun
untuk itu harus dipenuhi terlebih dahulu syarat yang lain, yaitu adanya kebutuhan
yang mendesak sekaligus adanya kekosongan hukum atau hukum yang ada tidak
memadai. Praktiknya, tidak adanya permasalahan yang mendesak juga tidak
adanya kekosongan hukum, sering kali perpu tetap digunakan untuk menghindari
proses legislasi yang panjang melalui parlemen. Seluruh perpu yang telah
704
Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Peraturan... Op., Cit., hlm. 236
343
dianalisis di atas menunjukkan tidak adanya kegentingan yang memaksa, yang ini
akan diulas lebih lanjut pada bagian lain dalam penelitian ini.
Sebagai sebuah perbandingan, penetapan perpu di negara lain dalam
rangka menghindari prosedur legislasi ini memang banyak terjadi. Kecenderungan
penetapan perpu lebih banyak dan lebih meningkat dalam hal terjadi fenomena
divided government.705
Hal tersebut terjadi misalnya di Peru, ketika pemerintahan
di bawah presiden Fernando Belaunde dalam rentang waktu 1980-1985, terdapat
667 perpu yang dibentuk, dan 575 perpu dibentuk dalam waktu 2 tahun kekuasaan
Alberto Fujimori.706
Hal serupa juga terjadi di Brazil, berdasarkan data yang
dihimpun oleh Gabriel L. Negretto, dalam periode 1988-1998, penerbitan perpu
oleh 5 Presiden Brazil yaitu Jose Sarney, Fernando Collor de Mello, Itamar
Franco, dan Fernando Henrique Cardoso I mencapai 3415 Perpu.707
Di bawah
pemerintahan Fernando Collor de Mello, tidak kurang dari 36 perpu yang
dibentuk pada 15 hari pertama menjabat, dan kurang lebih 160 perpu sepanjang
tahun 1990. Tindakan Mello mengeluarkan perpu ini karena memang
menginginkan menjalankan pemerintahannya dengan menghindar dari proses di
lembaga legislatif, karena merasa kekuasaan yang diberikan oleh konstitusi telah
cukup untuk memerintah tanpa dukungan lembaga legislatif, serta menganggap
705
Menurut Fitra Arsil, divided government merupakan keadaan instabilitas dalam sistem
presidensial yang dapat terjadi ketika partai presiden tidak mayoritas di parlemen dan presiden
gagal membentuk koalisi mayoritas yang kohesif. Lihat dalam Fitra Arsil, Menggagas... Op., Cit.,
hlm. 7 706
Gregory Schmidt “Presidential Usurpation of Congressional Preference. The Evolution
of Executive Decree in Peru” dalam Ibid. 707
Gabriel L. Negretto “Government Capacities and Policy Making by Decree in Latin
America: The Cases of Brazil and Argentina” dalam Ibid.
344
bahwa membangun dukungan di lembaga legislatif hanya akan membatasi
otonominya dalam membuat kebijakan.708
Kondisi di atas, menurut Carlos Periera, Timothy J. Power, dan Lucio
Renno709
merupakan bentuk wujud dari teori unilateralisme dalam pembentukan
perpu. Bahwa tindakan presiden menerbitkan perpu dilakukan dengan tujuan
membuat kebijakan namun menghindar dari proses pembahasan di parlemen. Hal
ini lebih sering terjadi ketika presiden mendapat dukungan minoritas di parlemen.
Jadi semakin rendah dukungan parlemen terhadap presiden, semakin meningkat
perpu yang akan ditetapkan oleh presiden.
Apabila dikontekstualisasikan ke dalam fakta penetapan perpu di
Indonesia, analisis yang dituangkan oleh Fitra Arsil di atas juga tampak adanya
kemiripan. Pasca reformasi yang memberikan peluang besar bagi banyak partai
politik untuk duduk di parlemen yang tidak semuanya berada pada kubu yang
sama dengan presiden, pembentukan perpu relatif lebih tinggi. Telah disebutkan
di atas, Presiden B.J. Habibie yang mempunyai masa jabatan cukup singkat, yaitu
512 hari atau kurang lebih 17 bulan antara 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999,
telah menetapkan 3 (tiga) buah perpu. Abdurrahman Wahid menjadi presiden
dengan waktu sedikit lebih lama dari Habibie (20 Oktober 1999 sampai dengan 23
Juli 2001), juga telah menetapkan 3 (tiga) buah perpu. Megawati Soekarnoputri
(23 Juli 2001 sampai dengan 20 Oktober 2004) telah menetapkan sebanyak 4
(empat) buah perpu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 (sepuluh)
708
Ibid... hlm. 7-8 709
Carlos Periera, Timothy J. Power, dan Lucio Renno, “Under What Condition Do
Presidents Resort to Decree Power? Theory and Evidence from the Brazilian Case” dalam Ibid.
345
tahun menjadi presiden sejak tahun 2004 hingga 2014, telah menetapkan 19
(sembilan belas) buah perpu. Hingga penelitian ini ditulis, Presiden Joko Widodo
yang telah menjabat selama 7 (tujuh) tahun, telah menetapkan sebanyak 6 (enam)
buah perpu.
Jumlah perpu yang ditetapkan terbilang cukup tinggi, terlebih
dibandingkan dengan jumlah perpu yang ditetapkan oleh Soeharto dengan hanya 8
buah perpu selama 32 tahun atau 7 periode berkuasa, dengan kekuasaan yang
otoriter. instrumen perpu memang tidak terlalu dibutuhkan, karena penguasa
sumber daya politik utama dan terbesar berada pada tangan presiden. Inilah yang
terjadi pada rezim orde baru di bawah kepemimpinan diktator Soeharto itu. Baik
menurut konstitusi maupun berdasarkan praktiknya, Soeharto memegang
kekuasaan terbesar, yang menurut Mahfud MD dikarenakan,710
pertama, presiden
adalah separuh dari anggota legislatif, sehingga kekuatan politik seorang presiden
sama dengan kekuatan politik seluruh anggota DPR. Kedua, Presiden Soeharto
merupakan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, yang merupakan fraksi terbesar
baik di DPR maupun di DPRD. Dalam struktur organisasi Partai Golkar, posisi
Dewan Pembina mempunyai kedudukan yang sangat menentukan sehingga
apapun yang datang dari Dewan Pembina akan mudah dicerna dan dijadikan
kebijakan Partai Golkar. Ketiga, presiden merupakan Panglima Tertinggi ABRI,
yang juga merupakan salah satu kekuatan politik dominan di Indonesia pada
waktu itu. Keempat, presiden menguasai anggaran negara. Kelima, presiden dapat
mengendalikan utusan daerah di MPR melalui Menteri Dalam Negeri. Pada
710
Moh. Mahfud MD, “Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokratisasi” artikel
dalam Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum... Op., Cit., hlm. 63-64
346
bagian terakhir ini, memang waktu itu konstitusi menghendaki agar presiden harus
bertanggung jawab kepada MPR, tetapi pada praktiknya, anggota-anggota MPR
itu direkrut dari kalangan eksekutif yang merupakan pembantu presiden, sehingga
menjadi sulit terjadi proses pertanggungjawaban dan penilaian secara fair atas
laporan presiden. Denny Indrayana menyebutkan,711
lembaga yudisial sekalipun
juga berada di bawah kontrol lembaga eksekutif (Soeharto) melalui birokrasinya,
dengan salah satu cirinya yaitu presiden mengangkat dan memberhentikan hakim
tanpa adanya persetujuan dari lembaga legislatif.
Dengan kekuasaan yang sedemikian besar, maka presiden menguasai
hampir seluruh spektrum politik, sehingga kunci akhir keputusan politik nasional
bukan bergantung pada DPR atau MPR, melainkan pada presiden. DPR atau MPR
hanya berfungsi sebagai “rubber stamp”, yaitu hanya melegitimasi dan membuat
justifikasi atas keinginan-keinginan politik presiden.712
Karena itu, instrumen
perpu tidak banyak digunakan. Prosedur legislasi biasa untuk membentuk suatu
undang-undang, telah berada di bawah kendali presiden yang sudah pasti
mendapatkan legitimasi di DPR.
Ketiga, perpu dibentuk bukan atas dasar kegentingan yang memaksa,
melainkan atas dasar ketergesaan presiden merespon permasalahan. Ketergesaan
presiden itu kemudian dituangkan dalam bentuk mempercepat pembentukan
peraturan yang setingkat undang-undang dengan memanfaatkan kewenangan
menetapkan perpu. Hal ini tentu menyimpangi original intent Pasal 22 UUD NRI
711
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Cetakan
Kedua, Mizan, Bandung, 2007, hlm. 147 712
Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum... Loc., Cit.
347
1945 yang dimuat dalam rangka untuk mengatasi keadaan darurat negara. Perpu
dibentuk merespon permasalahan atas dasar ketergesaan presiden, namun justru
tidak menyelesaikan permasalahan yang ada, karena memang akar permasalahan
bukan terletak pada substansi hukum.
Analisis yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa hampir semua
perpu yang ditetapkan pasca reformasi tidak memenuhi kualifikasi kegentingan
yang memaksa. Tidak jarang bahkan perpu dibentuk, padahal sudah ada perangkat
aturan dalam bentuk undang-undang yang dapat digunakan untuk merespon
permasalahan yang ada. Perpu Nomor 2 Tahun 1998 yang dibentuk untuk
mengantisipasi tindakan melawan hukum dalam demonstrasi, padahal ikhwal
tindakan melawan hukum telah mempunyai dasar pengaturan yang lengkap. Perpu
Nomor 1 Tahun 1999 yang mengatur tentang pengadilan hak asasi manusia,
padahal Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 telah secara jelas
mengamanatkan pembentukan pengadilan hak asasi manusia, yang sebelum
terbentuk, kewenangan itu diberikan kepada pengadilan yang berwenang. Perpu
Nomor 1 Tahun 2002 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 dengan dasar terorisme
sebagai extra ordinary crime yang membutuhkan peraturan setingkat undang-
undang namun peraturan dimaksud belum ada, padahal setelah dilakukan
pengujian oleh Mahkamah Konstitusi, terorisme terkhusus peledakan Bom Bali
adalah kejahatan biasa yang kejam, yang sudah ada aturannya. Perpu Nomor 1
Tahun 2004 yang hanya memuat ketentuan peralihan dan ketentuan penutup
(ketentuan transisional), Perpu Nomor 4 Tahun 2009 dan Perpu Nomor 1 Tahun
2015 dibentuk merespon pimpinan KPK aktif yang hanya 2 (dua) orang, padahal
348
KPK tetap berjalan dengan baik dalam melaksanakan fungsinya, Perpu Nomor 1
Tahun 2013 yang merespon tertangkapnya Akil Mochtar, padahal Mahkamah
Konstitusi tetap berjalan dengan baik, karena persoalan dimaksud adalah
persoalan individu, bukan institusi Mahkamah Konstitusi. Seluruh contoh-contoh
tersebut menunjukkan bahwa perpu dibentuk bukan atas dasar keadaan objektif
kegentingan yang memaksa, sehingga jauh dari apa yang diidealkan di dalam
Pasal 22 UUD NRI 1945. Perpu cenderung digunakan sebagai cara instan
presiden merespon permasalahan yang mendapat perhatian publik meskipun telah
mempunyai dasar pengaturan yang lengkap, dan meskipun penetapan perpu bukan
merupakan solusi atas permasalahan yang ada.
Keempat, materi muatan perpu menyalahi kaidah peraturan perundang-
undangan. Perpu merupakan produk hukum dalam bentuk peraturan yang
seharusnya memuat hal-hal umum dan abstrak. Dalam sejarahnya perpu justru
memuat hal yang bersifat konkret yang biasanya hal ini merupakan bentuk hukum
berupa keputusan. Hal ini dalam sejarahnya merupakan kritik Mahkamah
Konstitusi terhadap Perpu Nomor 2 Tahun 2002 sebagaimana telah ditetapkan
menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003. Hal itu
menurut Mahkamah Konstitusi tidak tepat dan tidak dapat dibenarkan untuk
dituangkan ke dalam bentuk produk hukum berupa undang-undang, melainkan
seharusnya merupakan material sphere pengadilan dalam menerapkan suatu
kaidah hukum umum dan abstrak. Menurut Mahkamah Konstitusi, hal itu
mencederai semangat pemisahan kekuasaan sebagaimana dianut oleh UUD NRI
1945 karena telah melakukan sesuatu yang merupakan ranah kekuasaan
349
kehakiman. Ini berarti bahwa penetapan perpu justru masuk pada ranah
kewenangan kekuasaan kehakiman.
Kelima, perpu menjadi alat politik (political instrument) bagi presiden
untuk memimpin dan mengendalikan legislatif. Padahal mengedepankan aspek
pencapaian tujuan politik dalam pembentukan hukum, maka syarat yang mendasar
dalam pembentukan dan isi hukum, seperti dalam hal ini adalah „legal
reasonableness‟ dan pembatasan-pembatasan tertentu, akan diterobos dan
dikesampingkan.713
Alih-alih mengatasi dan menyelesaikan hal ikhwal
kegentingan yang memaksa, penetapan perpu dalam sejarahnya pernah digunakan
oleh presiden sebagai alat politik untuk memimpin dan mengendalikan lembaga
legislatif dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Konsepsi yang dibangun oleh Argelina Cheibub Figuerido dan Fernando
Limongi berdasarkan hasil penelitiannya terhadap fenomena sistem pemerintahan
presidensial di Brazil sebagaimana dikutip oleh Fitra Arsil, dapat dijadikan
rujukan atas hal ini.714
Bahwa kondisi yang terjadi pada sistem parlementer juga
terjadi pada sistem presidensial, yaitu pengendalian eksekutif terhadap legislatif,
dalam bentuk inisiatif eksekutif membuat kebijakan dan legislatif tinggal
menerima atau menolak proposal kebijakan yang telah diajukan eksekutif.
Ternyata dalam sistem presidensial juga dapat terjadi hal yang sama, yaitu dengan
kekuasaan presiden di bidang legislatif menjadikan presiden sebagai pihak
pembuat insiatif kebijakan bahkan pengendali lembaga legislatif.
713
Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Peraturan... Op., Cit., hlm. 233 714
Argelina Cheibub Figuerido dan Fernando Limongi, “Presidential Power, Legislative
Organization, and Party Behavior in Brazil” dalam Fitra Arsil, Menggagas... Op., Cit., hlm. 9
350
Dalam konteks Indonesia, upaya presiden untuk mengendalikan dan
memimpin pembentukan suatu undang-undang melalui perpu ini dapat dilihat dari
pembentukan perpu yang justru menganulir suatu undang-undang atau rancangan
undang-undang yang baru saja disetujui bersama antara DPR dan Presiden.
Contoh atas hal ini misalnya Perpu Nomor 1 Tahun 2014. Perpu yang kualifikasi
kegentingan memaksanya cukup menimbulkan tanda tanya sebagaimana telah
diuraikan pada bagian sebelumnya, memang sarat dengan aspek politis karena
diterbitkan akibat konstelasi politik yang terjadi pada saat itu. Bahwa Koalisi
Merah Putih yang menguasai parlemen waktu itu, melalui proses legislasi
pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014, berhasil merubah desain
pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dari yang semula dipilih langsung oleh
rakyat, berubah menjadi dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Perpu Nomor 1 Tahun 2014 kemudian mengembalikan mekanisme
pemilihan langsung, yang ditetapkan hanya beberapa jam setelah Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2014 diundangkan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014
ditetapkan pada tanggal 30 September 2014 dan diundangkan pada tanggal 2
Oktober 2014, sedangkan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 ditetapkan dan
diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014. Alasan utamanya yaitu untuk
mengakomodir hak rakyat atas penolakan terhadap Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2014, padahal seharusnya hal itu sudah diketahui dan dilakukan sejak
proses legislasi yaitu dalam tahap pembahasan dan persetujuan rancangan undang-
undang. Terlebih Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mensyaratkan
351
partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.715
Dilihat dari kondisi sosiologis, suara penolakan masyarakat yang disalurkan salah
satunya melalui demonstrasi, bahkan telah terjadi sejak rancangan undang-undang
tersebut belum ditetapkan.716
Dilihat dari aspek proses pembentukan peraturan perundang-undangan, hal
ini tentu sesuatu yang tidak lazim. Presiden dan DPR mempunyai posisi yang
sama dalam proses legislasi, sehingga baik DPR maupun presiden, sama-sama
mempunyai hak dan wewenang baik untuk menerima atau menolak suatu
rancangan undang-undang, termasuk dengan alasan untuk mengakomodasi
aspirasi rakyat. Hanya saja memang secara politis, prerogratif presiden untuk
menolak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentu akan berhadapan dengan
konfigurasi politik di parlemen yang pada saat itu dikuasai oleh Koalisi Merah
Putih. Maka presiden menggunakan hak penetapan perpu yang mencabut Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2014. Tidak heran apabila perpu ini ditetapkan sesaat
setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 diundangkan.
Dilihat dari aspek demokrasi, fakta di atas tentu merupakan permasalahan
yang serius. Terlepas dari sikap kita atas penilaian kinerja dan citra anggota DPR,
secara kelembagaan, DPR merupakan lembaga dan organ konstitusional yang
715
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan telah diatur
dalam bab tersendiri, yaitu Bab XI Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan 716
Lingkaran Survei Indonesia juga telah merilis hasil survei terakhirnya sebelum
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 ditetapkan yang menunjukkan bahwa mayoritas
responden mendorong presiden untuk menarik diri sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2014 yang pada saat itu masih dalam bentuk rancangan undang-undang, tidak ditetapkan menjadi
undang-undang. Lihat dalam Anonim, “Survei LSI: 74 Persen Publik Ingin Presiden SBY Tarik
RUU Pilkada” artikel dalam
https://nasional.kompas.com/read/2014/09/18/15145881/Survei.LSI.74.Persen.Publik.Ingin.Presid
en.SBY.Tarik.RUU.Pilkada, diakses pada tanggal 9 Agustus 2021
352
disebutkan langsung di dalam konstitusi dengan fungsi membentuk undang-
undang, dan fungsi sebagai pemegang daulat rakyat. Menghapus undang-undang
yang sudah disepakati bersama antara presiden dan DPR sebagai pemegang daulat
rakyat melalui perpu, merupakan bentuk perlawanan terhadap rakyat yang
diwakili oleh wakil-wakilnya di lembaga DPR. Presiden dalam hal ini tampak
hendak memimpin dan berada di atas legislatif dengan menjadikan wewenang
menetapkan perpu sebagai alatnya.
Dalam perspektif hukum tata negara darurat, terhadap suatu hal yang
sudah ada pengaturannya dalam suatu undang-undang, namun undang-undang
dimaksud tidak dapat dijalankan sehingga dinilai penting untuk menetapkan
perpu, setidaknya indikatornya adalah pertama, jika ketentuan tersebut dijalankan
justru keselamatan negara pada saat itu akan terancam. Kedua, ketentuan
dimaksud tidak cukup memberikan landasan hukum kepada pemerintah untuk
menjamin keselamatan negara.717
Faktanya, kedua tolok ukur ini tidak ada di
dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2014 yang menegasikan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2014.
Keenam, persoalan konstitusionalitas. Selama ini, memang belum pernah
Mahkamah Konstitusi memutus perkara pengujian perpu yang menyatakan bahwa
suatu perpu bertentangan dengan konstitusi. Namun Mahkamah Konstitusi pernah
memutus undang-undang yang berasal dari perpu, sebagai undang-undang yang
bertentangan dengan konstitusi, yang ini berarti materi muatan perpu dimaksud
adalah inkonstitusional. Sekurang-kurangnya ada 2 (dua) putusan Mahkamah
717
Muchamad Ali Safa‟at, Perpu... Loc., Cit.
353
Konstitusi atas hal ini, yaitu Putusan Nomor 013/PUU-I/2003 yang menyatakan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 yang berasal dari Perpu Nomor 2 Tahun
2002 bertentangan dengan konstitusi, serta Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014
yang menyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 yang berasal dari Perpu
Nomor 1 Tahun 2013 bertentangan dengan konstitusi.
Dalam konsep stufenbau theory sebagaimana digagas oleh Hans Kelsen,718
peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi. Sedangkan diketahui bahwa kedudukan perpu adalah sejajar dengan
undang-undang dan berada di bawah UUD NRI 1945. Hal ini disebutkan jelas di
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan demikian, maka materi
muatan perpu tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Ketujuh, kekuasaan mutlak tanpa pengawasan dan problem objektifikasi
oleh DPR. Pasal 22 UUD NRI 1945 apabila merujuk pada konsepsi Cora Hoexter
sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie,719
memang dikategorikan sebagai
objective wording. Artinya, hak presiden untuk menentukan kapan dan dalam
keadaan seperti apa kondisi yang disebut sebagai hal ikhwal kegentingan
memaksa, tidak meniadakan hak DPR untuk mengontrol penetapan perpu.
Penentuan kegentingan memaksa, menurut Hoexter, tidak semata-mata tergantung
kepada kehendak subyektif presiden, namun tergantung pula kepada lembaga
718
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan oleh Raisul
Muttaqien, Cetakan Kesepuluh, Nusa Media, Bandung, 2015, hlm. 179 719
Cora Hoexter, “Emergency Law” dalam Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm.
12-13
354
legislatif. Dalam hal DPR menyatakan persetujuannya, barulah perpu diakui
berlaku sebagai undang-undang. Sebaliknya, apabila DPR menolak, maka perpu
harus dicabut.
Hal yang harus menjadi perhatian yaitu kendatipun Pasal 22 UUD NRI
1945 dikualifikasikan sebagai objective wording, yaitu dari sudut pandang
kekuasaan presiden, hak untuk menetapkan perpu atas dasar penilaian presiden
sendiri yang bersifat sepihak terkait adanya hal ikhwal kegentingan yang
memaksa, dapat dikatakan bersifat subyektif. Perpu ketika ditetapkan oleh
presiden, penentuan adanya hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai
prasyarat dapat dikatakan semata-mata didasarkan atas penilaian yang bersifat
subyektif, yaitu hanya berdasarkan pada subyektivitas kekuasaan presiden sendiri.
Penilaian baru menjadi obyektif setelah hal itu dibenarkan oleh DPR.720
Persoalannya yaitu perpu yang masih berada di bawah subyektivitas presiden, dan
belum diobyektivikasi oleh DPR tersebut, tetap sah berlaku sebagai hukum positif
dengan kekuatan mengikatnya sama seperti undang-undang. Artinya, ada interval
waktu antara penetapan hingga masa persidangan DPR (baik untuk menerima atau
menolak), untuk memberlakukan subyektifitas presiden semata dalam suatu
perpu. Padahal, Pperpu meskipun masih bersifat sementara karena belum
diobyektivikasi tersebut, karena keberlakuannya, menimbulkan norma hukum
720
Ibid... hlm. 13
355
baru, dan sebagai norma hukum baru, akan dapat menimbulkan status hukum
baru, hubungan hukum baru, dan akibat hukum baru.721
Pasal 22 UUD NRI 1945 menurut Ni‟matul Huda memberikan ruang
pengujian perpu yang dilakukan oleh DPR melalui mekanisme political review.722
Ini merupakan bentuk objektifikasi perpu tersebut oleh DPR yang akan
menentukan apakah diterima untuk dijadikan undang-undang atau ditolak
kemudian dicabut. Namun proses objektifikasi oleh DPR ini juga masih
menyisakan banyak permasalahan. Objektifikasi di DPR ini tidak dilakukan
secara mendalam hingga pada materi muatan suatu perpu, karena DPR dalam
suatu rapat paripurna pembahasan perpu, hanya memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan terhadap perpu, tanpa membahas materi
muatannya.723
DPR merupakan lembaga politik yang keputusannya lebih
mengedepankan rasionalitas politik daripada aspek hukum. Aspek
konstitusionalitas pada konteks ini tentu tidak menjadi ukuran utama atau
sekurang-kurangnya tidak menjadi ukuran satu-satunya dalam memberikan
persetujuan atau penolakan terhadap perpu. Rasionalitas politik cenderung akan
mengabaikan substansi dan rasionalitas konstitusi. Mahkamah Konstitusi juga
telah memperingatkan bahwa pengambilan keputusan di DPR mendasarkan pada
mekanisme politik yang berbasis pada mayoritas, sehingga suatu perpu yang
721
Achmad Edi Subiyanto, “Menguji Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang” artikel dalam Lex Jurnalica Volume 11, Nomor 1, April 2014, hlm. 9 722
Ni‟matul Huda, Pengujian... Op., Cit., hlm. 75 723
Lihat dalam Pasal 52 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
356
diterima secara musyawarah atau aklamasi sekalipun, belum bisa serta merta
dijamin konstitusionalitasnya, selain memang baik DPR maupun presiden tidak
diberikan wewenang untuk menyatakan suatu undang-undang bertentangan atau
tidak dengan UUD NRI 1945.724
Perpu Nomor 1 Tahun 2013 dan Perpu Nomor 2
Tahun 2002 sebagaimana telah disinggung di atas, adalah bukti bahwa meskipun
materi muatannya bertentangan dengan konstitusi, namun mendapat persetujuan
dari DPR.
Persetujuan atau penolakan terhadap perpu oleh DPR pada akhirnya akan
bergantung pada konfigurasi partai politik di parlemen. Apabila mayoritas partai
politik di parlemen adalah pendukung presiden, maka perpu cenderung akan
disetujui dan disahkan menjadi undang-undang. DPR pada konteks ini tentu
tampak hanya berfungsi sebagai “rubber stamp” yang memberikan legitimasi atas
perpu yang ditetapkan presiden. Di atas telah diberikan contoh bagaimana Perpu
Nomor 4 Tahun 2009 ditolak oleh DPR, dan Perpu Nomor 1 Tahun 2015 disetujui
menjadi undang-undang. Padahal kedua perpu tersebut mempunyai kesamaan,
baik dari aspek substansi maupun dari aspek permasahalan yang direspon, namun
keputusan politik DPR atas keduanya justru berbeda.
Persoalan lain pada aspek objektifikasi perpu oleh DPR adalah berkaitan
dengan waktu. Pasal 22 ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa perpu harus
mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Klausul
724
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-
2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
357
“persidangan yang berikut” seharusnya dimaknai sebagai batas maksimum, yaitu
bahwa perpu dibahas oleh DPR pada sidang pertama setelah perpu ditetapkan. Hal
ini karena berkaitan dengan sifat kesementaraan perpu sebagai undang-undang
darurat. Pada praktiknya, DPR dapat saja menunda atau mengulur-ulur waktu
untuk membahas perpu dengan berbagai macam alasan, padahal substansinya
dapat saja bertentangan dengan konstitusi, dan akibat hukum juga telah
ditimbulkan.
Persoalan terakhir dalam hal objektifikasi perpu adalah ikhwal ketegasan
DPR dalam persetujuan dan penolakan terhadap perpu. Persidangan berikut yang
dimaksudkan dalam Pasal 22 ayat (2) NRI 1945 seharusnya telah berisi keputusan
dan ketegasan apakah perpu akan diterima atau ditolak. Dalam hal perpu disetujui
oleh DPR, maka perpu ditetapkan menjadi undang-undang. Sedangkan apabila
perpu tidak disetujui, maka perpu harus dicabut untuk kemudian presiden
mengajukan rancangan undang-undang yang selain tentang pencabutan perpu,
juga berkaitan dengan pengaturan mengenai implikasi keberlakuan perpu terhadap
hak-hak warga negara. Akan tetapi pada praktiknya, terdapat perpu yang tidak
disetujui oleh DPR akan tetapi tetap diberlakukan yaitu Perpu Nomor 1 Tahun
1999. Demikian pula terdapat perpu yang tidak jelas apakah ditolak atau disetujui
oleh DPR sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, yaitu Perpu Nomor 4
Tahun 2009. DPR menilai perpu dimaksud ditolak, namun pemerintah menilai
perpu masih belum jelas ditolak sehingga masih digunakan sebagai dasar hukum.
Pada akhirnya, persoalan ini menunjukkan lemahnya daya ikat keputusan DPR
atas suatu perpu.
358
Saldi Isra menyebutkan,725
kedudukan perpu selalu menimbulkan
perdebatan, yang di antaranya disebabkan oleh proses politik di DPR yang kadang
menimbulkan kontroversi sehingga sangat diperlukan ketegasan dari DPR apakah
akan menyetuji atau menolak. Kadangkala pengesahan perpu di DPR menjadi
ajang tawar menawar pemerintah dengan DPR sehingga perdebatan dari substansi
hukum tidak penting. Demikian pula proses pengajuan rancangan undang-undang
baik rancangan undang-undang untuk pengesahan maupun pencabutan perpu
karena tidak disetujui, yang kadangkala berlangsung lama akibat dari dinamika di
DPR yang sangat tidak menentu.
Kedelapan, problematika pengujian perpu di Mahkamah Konstitusi.
Memang benar, penerapan nilai-nilai konstitusi terhadap pembentukan dan materi
muatan suatu undang-undang, termasuk dalam hal ini perpu, dapat dijamin secara
efektif apabila ada organ lain selain eksekutif dan legislatif yang diberikan mandat
konstitusional untuk menguji apakah suatu peraturan perundang-undangan telah
sesuai dengan konstitusi.726
Perpu yang menjadi domain subyektifitas eksekutif,
kemudian diobyektifikasi oleh legislatif dalam persidangan berikut yang ternyata
peran legislatif juga sarat dengan muatan politis mempunyai berbagai macam
problematikanya sebagaimana dijelaskan di atas. Peran yudikatif, dalam hal ini
Mahkamah Konstitusi memang sangat dibutuhkan. Hanya saja, cara-cara yang
725
Saldi Isra, dkk, “Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah
Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif)” Hasil Penelitian Kerjasama
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2010,
hlm. 165 726
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional
Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Cetakan Pertama, Pradnya Paramita,
Jakarta, 2006, hlm. 76
359
ditempuh harus dengan cara konstitusional, dan tidak menyimpang dari apa yang
sudah digariskan oleh konstitusi.
Praktik pengujian perpu oleh Mahkamah Konstitusi yang dilakukan saat
ini, menurut pendapat penulis telah menyimpang dari amanat konstitusi. Pasal
24C UUD NRI 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi
hanya sebatas menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa perselisihan hasil pemilihan umum, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi, dan memutus
pembubaran partai politik. Tidak ada klausul perpu di dalam Pasal 24C UU NRI
1945 tersebut. Menurut Hamdan Zoelva sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede
Palguna, rumusan Pasal 24C ayat (1) yang mengatur mengenai kewenangan
Mahkamah Konstitusi, merupakan rumusan yang limitatif, sehingga secara
formal, tidak mungkin memberikan tambahan kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi tanpa terlebih dahulu melakukan perubahan terhadap UUD NRI
1945.727
Namun dengan kewenangan konstitusionalnya dalam menafsirkan
konstitusi, Mahkamah Konstitusi kemudian memperluas kewenangan yang juga
termasuk menguji perpu sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 138/PUU-
VII/2009, melampaui apa yang telah ditetapkan konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi di atas secara akademis akan memunculkan
perdebatan antara kepastian hukum yang bertumpu pada tekstual atau progresifitas
Mahkamah Konstitusi yang bertumpu pada kontekstual; antara terobosan hukum
untuk menjaga orisinalitas konstitusi atau justru terabasan hukum karena
727
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan... Op., Cit., hlm. 593-594
360
melakukan rule breaking; serta antara judicial restraint atau judicial activism.
Namun hal yang harus diperhatikan, Satyabrata Sinha menjelaskan, judicial
activism terkadang merupakan manifestasi dari judicial creativity, karena mampu
menemukan keadilan yang terpasung di dalam bunyi pasal-pasal dalam suatu
perundang-undangan, namun di sisi lain, judicial activism justru menampakkan
dirinya sebagai judicial terrorism karena putusan yang dihasilkan justru jauh dari
apa yang diharapkan.728
Terhadap perluasan kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam menguji perpu melalui putusannya dengan tujuan menjaga orisinalitas
konstitusi tersebut, menurut pendapat penulis justru mencederai dan menyayat
konstitusi itu sendiri. Alfred M. Scott sebabagaimana dikutip oleh Bagir Manan
menyebutkan,729
hakim yang menyimpang dan menolak mengikuti hukum yang ada, dan
melakukan improvisasi serta menetapkan hukum menurut kemauannya
sendiri adalah perampasan kekuasaan yang secara hukum bukan
kekuasaannya, dia adalah seorang tirani yang menjalankan kediktatoran
yudisial, dan sadar atau tidak (hakim tersebut) mengubah tatanan
bernegara dari pemerintahan berdasarkan hukum menjadi pemerintahan
oleh orang perorangan dan pemerintahan oleh orang perorangan sama
dengan kediktatoran.
Hal senada dikatakan oleh Franklin D. Roosevelt, ketika Hakim Agung
Amerika Serikat melampaui kewenangannya dan tampak mengambil hak lembaga
legislatif sebagai cabang kekuasaan yang berwenang merubah konstitusi.
The court has improperly set itself up as a third house of the Congress a
super legislature,...reading into the Constitution words and implications
which are not there, and which were never intendeed to be there... We
must take action to save the Constitution from the Court and the Court
728
Saldi Isra, dkk., Perkembangan... Op., Cit., hlm. 10 729
Alfred M. Scott, Supreme Court v Constitution dalam Bagir Manan, “Judicial
Precedent dan Stare Decicis (Sebagai Pengenalan)” artikel dalam Varia Peradilan Vol. 30, Edisi
Nomor 347, Oktober 2014, hlm. 17
361
from itself...We want a Supreme Court which will do justice under the
Constitution and not over it (Pengadilan...telah secara salah menempatkan
dirinya sendiri sebagai kamar ketiga dari Congress-sebuah legislatif super,
.. menyebutkan kata dan implikasinya yang sebenarnya tidak terdapat
dalam konstitusi, dan memang tidak pernah dimaksudkan untuk berada di
dalam konstitusi... Kita harus mengambil langkah-langkah untuk
menyelamatkan konstitusi dari pengadilan, dan menyelamatkan pengadilan
dari dirinya sendiri... Kita ingin agar Mahkamah Agung menjalankan
keadilan di bawah konstitusi, bukan diatasnya).730
Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperluas kewenangannya sendiri
itu pada praktiknya justru menunjukkan inkonsistensi dengan putusan Mahkamah
Konstitusi sebelumnya. Dalam Putusan Nomor 004/PUU-I/2003, Mahkamah
Konstitusi telah menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 24C merupakan dasar
kompetensi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus
perkara yang diajukan kepadanya, dengan sifatnya yang limitatif dalam arti hanya
apa yang disebut di dalam pasal itulah yang menjadi kewenangan Mahkamah
Konstitusi. Kewenangan itu tidak dapat ditambah atau dikurangi kecuali dengan
cara merubah UUD NRI 1945 melalui prosedur sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 37 UUD NRI 1945.731
Pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian
dijadikan pertimbangan kembali dalam Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014.
Selain merujuk pada Putusan Nomor 004/PUU-I/2003, Putusan Nomor 1-2/PUU-
XII/2014 bahkan juga mempertegas yang kemudian dirujuk kembali oleh Putusan
Nomor 97/PUU-XI/2013,
Selain itu, dalam rangka menjaga sistem ketatanegaraan yang menyangkut
hubungan antar lembaga negara yang diatur oleh UUD 1945 sebagai
hukum tertinggi, Mahkamah harus menggunakan pendekatan yang rigid
730
Munir Fuady, Teori... Op., Cit., hlm. 15 731
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
004/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
362
sejauh UUD 1945 telah mengatur secara jelas kewenangan atributif
masing-masing lembaga tersebut. Dalam hal Mahkamah tepaksa harus
melakukan penafsiran atas ketentuan yang mengatur sebuah lembaga
negara maka Mahkamah harus menerapkan penafsiran original intent,
tekstual, dan gramatikal yang komprehensif yang tidak boleh menyimpang
dari apa yang telah secara jelas tersurat dalam UUD 1945 termasuk juga
ketentuan tentang kewenangan lembaga negara yang ditetapkan oleh UUD
1945. Apabila Mahkamah tidak membatasi dirinya dengan penafsiran
secara rigid tetapi secara sangat bebas terhadap ketentuan yang mengatur
lembaga negara dalam UUD 1945, sama artinya Mahkamah telah
membiarkan pembentuk Undang-Undang untuk mengambil peran
pembentuk UUD 1945, dan akan menjadi sangat rawan terjadi
penyalahgunaan kekuasaan mana kala presiden didukung oleh kekuatan
mayoritas DPR, atau bahkan Mahkamah sendiri mengambil yang
mengambil alih fungsi pembentuk UUD 1945 untuk mengubah UUD 1945
melalui putusannya732
Dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi
menegaskan bahwa penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusi hanya
terhadap ketentuan yang menimbulkan multitafsir. Apabila memang diperlukan
untuk menafsirkan, karena memang Mahkamah Konstitusi diberikan otoritas
penafsir konstitusi, maka penafsiran tersebut harus diletakkan dalam kerangka
menjaga dan menegakkan UUD 1945 dengan tidak mengubah UUD 1945 itu
sendiri. Dalam pendapat tersebut, Mahkamah Konstitusi mencontohkan
penafsirannya atas kewenangan lembaga negara yaitu Putusan Nomor 92/PUU-
X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mengembalikan kewenangan
732
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
97/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pertimbangan Hukum
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
363
DPD sesuai UUD 1945; Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden perihal calon presiden independen; Putusan Nomor 005/PUU-
IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman perihal kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim.
Apabila melihat Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi
dalam pertimbangan hukumnya juga dengan jelas mengatakan,733
setiap lembaga negara sudah seharusnya membatasi dirinya masing-
masing untuk tidak mengerjakan pekerjaan yang bukan menjadi tugas
pokoknya, kecuali apabila hal itu dimaksudkan hanya sebagai pendukung.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi sendiri tidak
konsisten dengan cara pandangnya terhadap penafsiran konstitusi. Padahal
putusannya bersifat final dan mengikat yang tidak hanya bagi yang berperkara,
namun juga terhadap seluruh pihak, tidak terkecuali Mahkamah Konstitusi
sendiri.734
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat itu haruslah
konsisten satu sama lain untuk menciptakan kepastian hukum dalam memberikan
pedoman bagi pencari keadilan. Lon Fuller dalam The Morality of Law
733
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman 734
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes, yaitu akibat hukum suatu putusan
tidak hanya mengikat bagi pihak yang berperkara, namun mengikat bagi semua pihak. Lihat dalam
Maruarar Siahaan, “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum Konstitusi”, artikel
dalam Jurnal Hukum Nomor 3, Volume 16, Juli 2009, hlm. 359. Menurut Jimly Asshiddiqie,
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam konteks pengujian undang-undang, tidak bersifat
contentius atau adversarial yang berkenaan dengan pihak-pihak yang saling bertabrakan
kepentingan satu sama lain seperti dalam perkara perdata atau tata usaha negara, akan tetapi
menyangkut kepentingan kolektif semua orang dalam kehidupan bersama sebagai bangsa. Jimly
Asshiddiqie, “Pengantar” dalam Achmad Edi Subiyanto, Yurisprudensi Hukum Acara Dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi, Setara Press, Malang, 2014, hlm. ix
364
menyebutkan bahwa sistem hukum dalam sebuah negara hukum harus memenuhi
beberapa karakter, yaitu hukum harus ditaati oleh semua orang, termasuk oleh
penguasa negara; hukum harus dipublikasikan; hukum harus belaku ke depan,
bukan berlaku surut; kaidah hukum harus ditulis secara jelas, sehingga dapat
diketahui dan diterapkan secara tepat dan benar; hukum harus menghindari dari
kontradiksi-kotradiksi; hukum tidak boleh mewajibkan sesuatu yang tidak
mungkin dapat dipenuhi; hukum harus bersifat konstan sehingga dapat tercipta
kepastian hukum, meskipun tetap memungkinkan untuk diubah dalam rangka
mengakomodasi situasi politik dan sosial yang berubah; tindakan aparat penegak
hukum harus konsisten dengan dengan hukum yang berlaku.735
Putusan yang saling menegasikan satu sama lain dikhawatirkan akan
memunculkan paham sebagaimana disebutkan Achmad Ali, law makers should
not be lawbreakers (pembuat hukum, seharusnya tidak menjadi pelanggar
hukum).736
Dikontekskan dengan persoalan ini, Mahkamah Konstitusi sebagai
penjaga konstitusi, seharusnya tidak mencederai original intent konstitusi itu
sendiri, serta Mahkamah Konstitusi yang telah menetapkan putusan sebelumnya
sesuai dengan spiritnya, tidak dicederai dengan putusan yang dikeluarkan
setelahnya dengan spirit yang berbeda. Bagaimanapun, dalam logika perundang-
undangan, memang benar bahwa peraturan yang baru menegasikan peraturan
yang lama sesuai dengan kaidah lex posteriori derogat legi priori (hukum yang
baru mengesampingkan hukum yang lama), namun dalam logika peradilan,
735
Munir Fuady, Teori... Op., Cit., hlm. 9 736
Achmad Ali, Menguak... Op., Cit., hlm. 359
365
putusan yang lama menjadi pedoman atau bahkan yurisprudensi terhadap putusan-
putusan yang baru.
Pada akhirnya, putusan Mahkamah Konstitusi yang keluar dari apa yang
digariskan oleh konstitusi, dan menimbulkan persoalan konsistensi antar putusan
itu, memunculkan banyak respon kritik dari banyak kalangan. Padahal Putusan
Mahkamah Konstitusi yang terlalu sering dikritisi tentu dari aspek moralitas akan
menurunkan kewibawaannya termasuk kewibawaan lembaga peradilannya
(institusinya). Menurunnya kewibawaan Mahkamah Konstitusi sangat mungkin
akan menurunkan kepatuhan masyarakat sekaligus memunculkan resistensi
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Justice Rose E. Bird, Ketua
Mahkamah Agung Negara Bagian California menyebutkan, “If our courts lose
their authority and their rulings are no longer respected, there will be no one left
to resolve the divisive issue that can rip the social facic apart. The court are a
safety wanve without which no democratic society can survise”.737
Terlepas ketidaksetujuan penulis atas perluasan kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk menguji perpu melalui putusannya tersebut, sepenuhnya penulis
sadari bahwa hal itu sama sekali tidak mempengaruhi keabsahan dan daya ikat
putusan tersebut. Asas hukum menegaskan res judicata proveri tate habetur,
setiap putusan hakim adalah sah dan mengikat, kecuali apabila dibatalkan oleh
putusan yang lebih tinggi.738
Dengan demikian, betapapun bentuk putusan
737
Ibid., hlm. 482 738
Ibid., hlm. 480. Sudikno Mertokusumo terkait dengan asas di atas menegaskan,
bahkan apabila diajukan saksi palsu dan hakim memutus suatu perkara berdasarkan saksi palsu
tersebut, maka jelas putusannya tidak berdasarkan kesaksian dan fakta yang sebenarnya, namun
putusan tersebut tetap harus dianggap benar, sampai memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau
366
pengadilan itu meragukan bahkan dipandang tidak adil sekalipun, ketaatan tetap
harus diutamakan, karena hal demikian yang merupakan esensi dan prasyarat
utama kesepakatan bernegara yang berdasarkan hukum.739
Pada konteks ini,
putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan berwenang menguji perpu harus
dipandang berlaku mengikat. Persoalan selanjutnya yaitu perihal kelemahan atau
implikasi dan problematika lanjutan yang dilahirkannya.
Salah satu alasan utama bagi Mahkamah Konstitusi untuk menguji perpu
adalah untuk menjamin bahwa tidak ada produk hukum termasuk perpu yang
bertentangan dengan konstitusi. Padahal perpu sejak ditetapkan telah mempunyai
akibat hukum. Dalam concuring opinionnya, Mahfud MD menegaskan bahwa
“tidak boleh satu detik pun ada peraturan perundang-undangan yang berpotensi
melanggar konstitusi tanpa bisa diluruskan atau diuji melalui pengujian
yudisial”.740
Hal yang perlu diingat, Mahkamah Konstitusi tidak bisa serta merta
melakukan pengujian terhadap perpu yang baru ditetapkan oleh presiden,
sebetapapun inkonstitusionalnya perpu dimaksud.
Mahkamah Konstitusi harus menunggu adanya permohonan pengujian
terlebih dahulu dari warga negara. Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017
diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi. Lihat dalam Sudikno Mertokusumo, Penemuan...
Op., Cit., hlm. 9 739
Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Cetakan Pertama, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2014, hlm. 4 740
Lihat dalam Pendapat Berbeda (concuring opinion) Moh. Mahfud MD dalam Putusan
Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
367
sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor register perkara 9/PUU-
XVI/2018, namun karena pemohon menarik kembali permohonan, maka melalui
Ketetapan Nomor 9/PUU-XVI/2018, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
perkara tersebut dinyatakan telah ditarik kembali, sekaligus para pemohon tidak
dapat mengajukan kembali permohonan tersebut. Mahkamah Konstitusi akhirnya
tidak bisa mengadili dan menguji konstitusionalitas perpu yang telah ditetapkan
dengan undang-undang tersebut. Perpu Nomor 1 Tahun 2013 juga diajukan untuk
diuji oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi pemohon kemudian menarik permohonan
pengujian, sehingga dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-
XI/2013 permohonan pengujian tidak dilanjutkan.
Kendatipun telah ada yang mengajukan permohonan kepada Mahkamah
Konstitusi, tidak serta merta Mahkamah Konstitusi dapat memeriksa materi
muatan perpu. Pengujian di Mahkamah Konstitusi menetapkan syarat yang cukup
ketat, yaitu tidak hanya sebatas menunjukkan adanya pertentangan antara undang-
undang dengan UUD NRI 1945, namun juga harus dapat menunjukkan kerugian
konstitusional pemohon.741
Mahkamah Konstitusi dalam hal ini memang
741
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 menjelaskan bahwa syarat-syarat kerugian konstitusional yang
dimaksud yaitu adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan UUD
NRI 1945; hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan
dengan berlakunya suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian; kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual setidak-tidaknya potensial
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; adanya hubungan sebab akibat
antara kerugian dimaksud dengan undang-undang yang dilakukan pengujian; dan adanya
kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi. Mahkamah
Konstitusi sendiri mengakui bahwa syarat legal standing untuk mengajukan pengujian materiil itu
cukup ketat, sehingga syarat tersebut kemudian dikecualikan terhadap syarat legal standing dalam
pengajuan pengujian secara formil, yaitu pemohon mempunyai hubungan pertautan secara
langsung dengan undang-undang yang dimohonkan untuk uji formil. Pengecualian tersebut
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi karena khawatir akan menyebabkan sama sekali tertutup
368
memadukan antara semangat melindungi orisinalitas konstitusi dengan
mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan di bawahnya, sekaligus
jaminan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara. Konsekuensinya,
kedua dasar tersebut harus tercermin dalam setiap permohonan. Dalam hal
pemohon tidak dapat membuktikan kerugian konstitusional, maka Mahkamah
Konstitusi akan menyatakan pemohon tidak mempunyai legal standing, yang
dengan demikian permohonan tidak diterima, dan pokok permohonan tidak lagi
diperhatikan. Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 yang menjadi landmark
decision inipun bahkan berakhir dengan permohonan tidak dapat diterima karena
pemohon dianggap tidak mempunyai legal standing.
Hal serupa juga terjadi pada Perpu Nomor 4 Tahun 2009. Mahfud MD
dalam concuring opinion juga menyoroti permasalahan ketidakjelasan penolakan
perpu tersebut. Meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit nomenklatur Perpu
Nomor 4 Tahun 2009, akan tetapi dalam uraiannya secara jelas dapat dibaca
bahwa Perpu Nomor 4 Tahun 2009 inilah yang dimaksud Mahfud MD dalam
pertimbangan angka 2 concuring opinionnya yang mendorong diberikannya
wewenang bagi Mahkamah Konstitusi untuk menguji perpu.742
Namun faktanya,
kemungkinannya bagi anggota masyarakat atau subyek hukum untuk mengajukan pengujian
secara formil. Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
27/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung 742
Lihat dalam pendapat berbeda Moh. Mahfud MD dalam Putusan Nomor 138/PUU-
VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
369
ketika Perpu Nomor 4 Tahun 2009 diajukan ke Mahkamah Konstitusi, putusan
yang dikeluarkan adalah tidak dapat diterima karena terkendala legal standing.743
Selain permasalahan legal standing, pengujian perpu di Mahkamah
Konstitusi juga sering kali kehilangan objek. Hal ini karena perpu yang
dimohonkan untuk diuji, dalam proses pengujiannya oleh Mahkamah Konstitusi,
perpu dimaksud kemudian disetujui oleh DPR dan ditetapkan menjadi undang-
undang. Dengan demikian perpu tersebut oleh Mahkamah Konstitusi dianggap
sudah tidak ada lagi secara hukum. Karena telah kehilangan objek, maka
meskipun Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan dan pemohon
mempunyai legal standing, maka pokok permohonan pemohon tetap tidak
dipertimbangkan. Amar putusan yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi adalah
permohonan tidak dapat diterima. Perpu Nomor 1 Tahun 2013 yang pada akhirnya
dinyatakan inkonstitusional dan dibatalkan secara keseluruhan oleh Mahkamah
Konstitusi itu, juga sempat tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi dengan
Putusan Nomor 91/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 92/PUU-XI/2013, Putusan
Nomor 93/PUU-XI/2013, dan Putusan Nomor 94/PUU-XI/2013, karena Perpu
Nomor 1 Tahun 2013 telah disetujui oleh DPR menjadi undang-undang sehingga
permohonan kehilangan objek. Beruntungnya ketika telah ditetapkan menjadi
undang-undang, ada pihak yang mengajukan permohonan pengujian kembali ke
Mahkamah Konstitusi yang kemudian diputus dengan Putusan Nomor 1-2/2014-
XII/2014. Tidak bisa dibayangkan apabila ternyata setelah ditetapkan menjadi
undang-undang, Perpu Nomor 1 Tahun 2013 itu tidak ada yang mengajukan lagi
743
Lihat dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PUU-VII/2009 tentang
Pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
370
untuk diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Tujuan Mahkamah Konstitusi untuk
menjaga konstitusi dari penyimpangan perpu dengan cara merubah konstitusi
melalui tafsirnya itu, tentu akan sia-sia.
Praktik yang terjadi saat ini, pengujian perpu di Mahkamah Konstitusi
selalu kandas karena 2 (dua) hal di atas, yaitu permasalahan legal standing dan
kehilangan objek. Secara lebih lengkap sejarah pengujian perpu di Mahkamah
Konstitusi, akan disajikan dalam tabel berikut:
Nomor Putusan Objek Permohonan Amar Putusan Dasar
Pertimbangan
138/PUU-
VII/2009
Perpu Nomor 4 Tahun
2009 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Tidak dapat
diterima
Tidak memiliki
kedudukan
hukum
145/PUU-
VII/2009
Perpu Nomor 4 Tahun
2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem
Keuangan
Tidak dapat
diterima
Tidak memiliki
kedudukan
hukum
91/PUU-XI/2013 Perpu Nomor 1 Tahun
2013 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah
Konstitusi
Tidak dapat
diterima
Permohonan
kehilangan
objek
92/PUU-XI/2013
93/PUU-XI/2013
94/PUU-XI/2013
118-119-125- Perpu Nomor 1 Tahun Tidak dapat Permohonan
371
126-127-129-
130-135/PUU-
XII/2014
2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan
Walikota, dan Perpu
Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
diterima kehilangan
objek
128/PUU-
XII/2014
Perpu Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan
Walikota
Gugur
Pemohon tidak
bersungguh-
sungguh
38/PUU-
XV/2017
Perpu Nomor 2 Tahun
2017 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi
Kemasyarakatan
Tidak dapat
diterima
Permohonan
kehilangan
objek
39/PUU-
XV/2017
41/PUU-
XV/2017
48/PUU-
XV/2017
49/PUU-
XV/2017
50/PUU-
XV/2017
Perpu Nomor 2 Tahun
2017 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi
Kemasyarakatan
Mengabulkan
pencabutan
permohonan
oleh pemohon
Permohonan
kehilangan
objek
52/PUU-
XV/2017
Perpu Nomor 2 Tahun
2017 tentang Perubahan
Tidak dapat
diterima
Permohonan
kehilangan
372
58/PUU-
XV/2017
Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi
Kemasyarakatan
objek
23/PUU-
XVIII/2020
Perpu Nomor 1 Tahun
2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem
Keuangan untuk
Penanganan Pandemi
Corona Virus Desease
2019 (Covid-19) dan/atau
Dalam Rangka
Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan
Perekonomian Nasional
dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan
Tidak dapat
diterima
Permohonan
kehilangan
objek 24/PUU-
XVIII/2020
44/PUU-
XVIII/2020
Perpu Nomor 2 Tahun
2020 tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan
Walikota menjadi
Undang-Undang
Mengabulkan
pencabutan
permohonan
oleh pemohon
Permohonan
kehilangan
objek
373
Permasalahan paling serius dalam konteks pengujian perpu di Mahkamah
Konstitusi ini adalah kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam
konteks permasalahan pengabaian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ini,
setidaknya terbagi ke dalam 2 (dua) garis besar, yaitu perpu yang memang secara
materi muatan bertentangan dengan salah satu putusan Mahkamah Konstitusi,
serta perpu yang memang dalam pembentukannya tidak memenuhi rambu-rambu
dan kriteria kegentingan memaksa yang telah ditetapkan oleh Mahkamah
Konstitusi. Terhadap permasalahan yang pertama, dapat diambil contoh yaitu
Perpu Nomor 1 Tahun 2014 dan Perpu Nomor 1 Tahun 2013.
Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tersebut yaitu berkaitan dengan upaya untuk
menjamin pemilihan kepala daerah secara demokratis sesuai amanat Pasal 18 ayat
(4) UUD NRI 1945 yang diterjemahkan sebagai pemilihan secara langsung oleh
rakyat. Tafsir yang demikian menunjukkan kerancuan pemahaman mengenai
demokrasi dan kedaulatan rakyat. Konsekuensinya, makna demokrasi dan
kedaulatan rakyat, serta amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 tereduksi.
Sebagai batu ujinya, Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi (the sole
interpreter of constitution) sebelumnya telah menegaskan dalam beberapa
putusannya, yaitu Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 dan Putusan Nomor 072-
073/PUU-II/2004 bahwa frasa “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4)
dapat dimaknai ke dalam bentuk pemilihan secara langsung oleh rakyat maupun
pemilihan secara tidak langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan kondisi di setiap daerah
yang bersangkutan. Maka penentuan bentuk pemilihan kepala daerah
374
dikualifikasikan sebagai open legal policy.744
Namun substansi Perpu Nomor 1
Tahun 2014, semacam memberikan batasan pemaknaan, bahwa pemilihan secara
demokratis adalah pemilihan langsung oleh rakyat. Ini sekaligus memberikan
gambaran bahwa pada dasarnya, substansi Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tersebut
mereduksi makna Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, sekaligus menentang putusan
Mahkamah Konstitusi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Adapun Perpu Nomor 1 Tahun 2013 yang memperluas kewenangan
Komisi Yudisial merupakan bentuk perlawanan terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang telah menegaskan bahwa Komisi
Yudisial tidak ada sangkut pautnya dengan hakim pada Mahkamah Konstitusi.
Hakim Konstitusi tidak terkait dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 24B
UUD 1945. Karena itu Mahkamah Konstitusi memandang itu adalah
penyelundupan hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-
I/2003 memutuskan suatu undang-undang yang dibuat berdasarkan stigma yaitu
larangan bagi seorang warga negara untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, dan
DPRD Provinsi/Kabupaten Kota yang terlibat tidak langsung dalam peristiwa
G30S/PKI. Pada pertimbangannya melarang untuk melakukan hukuman politik
berdasarkan stigma, dan harus mendasarkan pada putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Putusan tersebut, menurut Mahkamah
Konstitusi, harusnya juga berlaku pada kasus Pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun
744
Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
375
2013 yang merespon penangkapan Akil Mochtar ini, yaitu tidak membuat aturan
baik kepada anggota parpol, anggota DPR, maupun kelompok atau golongan
masyarakat lainnya untuk mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi hakim
konstitusi.745
Kalimat Mahkamah Konstitusi tersebut juga menginsinuasikan
bahwa pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tidak memperhatikan amanat
putusan Mahkamah Konstitusi.
Permasalahan kedua dalam konteks pengabaian terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi ini adalah penetapan perpu yang tidak mematuhi kriteria
kegentingan memaksa sebagaimana ditetapkan putusan Mahkamah Konstitusi.
Analisis yang telah diuraikan sebelumnya dengan jelas menunjukkan bahwa perpu
yang ditetapkan pasca Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 juga tidak memenuhi
kriteria kegentingan yang memaksa. Apabila ditinjau lebih mendalam, hal ini
tentu menjadi masalah yang serius. Perpu yang melawan Putusan Mahkamah
Konstitusi padahal putusan tersebut merupakan tafsir konstitusional atas
konstitusi, maka dapat dikatakan presiden telah melawan konstitusi.746
Demikian
pula, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa 3 kriteria itu adalah syarat
745
Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-
2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 746
Putusan Mahkamah Konstitusi menurut penulis tidak bisa didudukkan sejajar dengan
undang-undang atau perpu, namun harus dimaknai sebagai bagian dari konstitusi, yang
kedudukannya di atas undang-undang atau perpu. Hal ini karena isi putusan Mahkamah Konstitusi
adalah tafsir yang secara resmi dan konstitusional atas konstitusi itu sendiri. Karena itu, menurut
pendapat penulis, tafsir konstitusi ini hampir mirip dengan penjelasan atas konstitusi, karena tidak
mungkin tafsir akan lebih tinggi dan lebih diutamakan daripada teks yang ditafsirkan. Hanya saja
yang pasti dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi tidak bisa disejajarkan dengan undang-
undang. Sejalan dengan pendapat Yusril Ihza Mahendra, bahwa apabila ada yang berdalih Putusan
Mahkamah Konstitusi setara dengan undang-undang, maka DPR dan presiden juga akan bisa
mencabut putusan Mahkamah Konstitusi. Lihat dalam Nur Rohim, “Kontroversi Pembentukan
Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi Dalam Ranah Kegentingan yang
Memaksa” artikel dalam Jurnal Cita Hukum, Vol. II, No. 1, Juni 2014, hlm. 130
376
konstitusionalitas dan sumber wewenang. Artinya, apabila syarat itu tidak
terpenuhi, dapatlah diartikan bahwa perpu itu tidak konstitusional dan suatu perpu
dibentuk tidak atas dasar kewenangan. Karenanya, perpu dimaksud seharusnya
tidak dapat dianggap sah berlaku.747
Hal yang belum pernah terjadi, namun juga sangat potensial untuk terjadi
yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi akhirnya dapat saja tidak bersifat final. DPR
dan presiden dapat saja merasa tidak terikat dengan putusan Mahkamah Konstitusi
itu. Bukan sesuatu yang tidak mungkin DPR dan Presiden tetap membahas perpu
dengan dalih bahwa otoritas yang berwenang untuk menyetuji atau menolak suatu
perpu, berdasarkan bunyi konstitusi adalah DPR, dalam artian DPR merasa
kewenangan dan kewajibannya diamanatkan langsung oleh konstitusi. Dengan
kewenangan yang jelas disebutkan dalam konstitusi sedangkan Mahkamah
Konstitusi tidak diamanatkan langsung oleh konstitusi, maka dapat saja DPR
mempunyai kesimpulan yang justru berbeda dengan perspektif Mahkamah
Konstitusi.748
Sedangkan apabila ternyata Mahkamah Konstitusi memutus bahwa
suatu perpu dibatalkan karena bertentangan dengan konstitusi, kemudian DPR
mematuhi putusan tersebut, maka secara otomatis DPR akan kehilangan
kewenangannya untuk memberikan persetujuan terhadap perpu. DPR tentu tidak
bisa menggunakan haknya yang diberikan oleh konstitusi itu karena telah
didahului Mahkamah Konstitusi.749
747
Ibnu Sina Chandranegara, “Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan
Konstitusional Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK No.138/PUU-VII/2009” artikel
dalam Jurnal Yudisial, Vol. 5, No. 1, April 2012, hlm. 12 748
Ibid. 749
Nur Rohim, Kontroversi... Op., Cit., hlm. 130
377
Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa instrumen perpu menjadikan
presiden mempunyai kekuasaan mutlak yang mengatasi lembaga legislatif,
lembaga eksekutif, bahkan konstitusi itu sendiri. Apabila uraian sebelumnya
menunjukkan presiden memposisikan diri di atas lembaga legislatif melalui
penyimpangan prosedur legislasi dan menggunakan perpu sebagai alat politik,
maka permasalahan yang terakhir menunjukkan, presiden justru memposisikan
diri di atas lembaga yudikatif dengan juga menggunakan pranata hukum perpu.
D. Politik Hukum Penetapan dan Materi Muatan Perpu Berdasarkan
Negara Hukum dan Demokrasi
Uraian-uraian sebelumnya menunjukkan bahwa penetapan perpu oleh
presiden mengandung banyak permasalahan. Kendaitpun demikian, pemberian
kewenangan untuk menetapkan perpu dalam sebuah negara hukum yang
demokratis tetap penting dan diperlukan. Hal ini karena dalam negara hukum
yang demokratis, pemerintah akan selalu diberikan batasan-batasan agar tidak
merugikan hak konstitusional warga negara. Namun di sisi yang lain, negara
manapun tidak akan selalu berjalan dengan normal dan baik-baik saja. Ke depan,
Bruce Ackerman memprediksi, serangan-serangan teroris akan sering terjadi
dengan konsekuensi berbagai macam bentuk kehancuran yang tidak akan terduga
sebelumnya.750
Hal serupa juga dikatakan oleh Richard Posner sebagai berikut,
750
Fokus bahasan Bruce Ackerman ini memang menekankan pada aspek terorisme
sebagai keadaan darurat negara, karena objek kajiannya pada peristiwa peledakan Bom 11
September 2001 di Amerika Serikat, yang ke depan, aksi terorisme itu juga diprediksi akan sering
terjadi. Bruce Ackerman, “The Emergency Constitution” artikel dalam The Yale Law Journal, Vol.
113, 2004, hlm. 1029
378
Now, in the early years of the twenty first century, the nation faces the
intertwined menaces of global terrorism and proliferation of weapons of
mass destruction. A city can be destroyed by an atomic bomb the size of a
melon, which if coated with lead would be undetectable. Large stretches of
a city can be rendered uninhabitable, perhaps for decades, merely by the
explosion of a conventional bomb that has been coated with radioactive
material. Smallpox virus bioengineered to make it even more toxic and
vaccines ineffectual, than aerosolized and sprayed in a major airport,
might kill millions of people.751
Alexander N. Domrin secara gamblang menyebutkan,752
“No country in the world, whatever its sociopolitical system or level of
economic development, is safe from periodically emerging critical
situations, tensions, contingencies, crises, conflicts, disturbances, unrest,
natural disasters and calamities, technological and ecological
catastrophes”.
Tidak ada negara di dunia, apapun sistem sosial politik atau tingkat
perkembangan ekonominya, yang aman dari situasi kritis yang muncul secara
berkala, ketegangan, kontinjensi, krisis, konflik, gangguan, kerusuhan, bencana
alam, bencana teknologi dan ekologi. Negara dalam keadaan tidak normal itu,
apabila tetap berpaku pada kerangka penyelenggaraan negara yang normal, justru
akan mengancam dan merugikan negara dan warganya. Seperti yang disebutkan
oleh Marshall, “history teaches that grave threats to liberty often come in times of
urgency, when constitutional rights seem too extravagant to endure”.753
Karena
itu, akan ada titik tertentu penyelenggaraan negara menyimpang dari keadaan
yang biasanya sehingga sistem norma hukum yang ada, yang memang dibentuk
dan diperuntukkan bagi keadaan yang normal, tidak dapat diharapkan efektif
untuk digunakan dalam rangka mencapai tujuan hukum berupa keadilan,
751
Richard A. Posner, Not a Suicide... Op., Cit., hlm. 2 752
Alexander N. Domrin, The Limits... Op., Cit., hlm. 1 753
Ibid.
379
kepastian, dan kemanfaatan.754
Kedaan tidak normal dan adanya kegentingan yang
memaksa sehingga dapat mengancam negara dan warganya, pada konteks
Indonesia sering kali terjadi. Agresi Militer II pada Desember 1948, presiden,
wakil presiden, sebagian besar menteri ditawan oleh tentara Belanda. Negara
berada pada ancaman yang besar, hingga presiden mengirimkan mandat kepada
Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintah Darurat
Republik Indonesia, dan beruntungnya Sjafruddin berhasil melaksanakan mandat
tersebut sehingga eksistensi pemerintah Indonesia tetap diakui.755
Selain peristiwa
ancaman dari negara lain, juga tidak sedikit peristiwa berupa bencana alam dan
peristiwa sosial dan politik dalam negeri yang juga sewaktu-waktu dapat muncul
tanpa diperhitungkan sebelumnya yang dapat mengancam keselamatan negara dan
warganya, atau sekurang-kurangnya mengganggu jalannya pemerintahan dan
melemahkan negara dalam pemenuhan hak asasi manusia.
Berdasarkan uraian di atas, perpu dengan demikian dibutuhkan karena
diharapkan menjadi instrumen hukum yang dikeluarkan untuk mengamankan rute
kembali ke keadaan normal dengan cara yang konstitusional.756
Perpu sebagai
instrumen hukum darurat seharusnya dibentuk untuk meyakinkan publik bahwa
keadaan luar biasa dengan segala ancamannya itu masih dapat dikendalikan oleh
pemerintah, sekaligus merupakan bentuk antisipasi yang efektif bagi pemerintah
untuk mencegah bahaya yang lebih besar yang ditimbulkan oleh peristiwa
754
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 2 755
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika... Op., Cit., hlm. 83 756
Andras Jakab, “German Constitutional Law and Doctrine on State of Emergency –
Paradigms and Dilemmas of a Traditional (Continental) Discourse” artikel dalam German Law
Journal Vol. 07, No. 5, 2005, hlm. 454
380
tesrsebut.757
Perpu karena itu, hakikatnya adalah untuk menyelamatkan atau
sekurang-kurangnya menghindari ancaman atas tereduksinya prinsip demokrasi,
cita negara hukum, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, bukan justru
sebaliknya. Bagir Manan memandang Perpu sebagai “the necessary evil”, yaitu
sesuatu yang semestinya dijauhi, tetapi terpaksa harus ditempuh sebagai upaya
membentuk hukum yang tidak semestinya.758
Thomas Jefferson pernah membuat surat untuk John B. Colvin pada 20
September 1810. Penggalan surat tersebut berbunyi sebagai berikut:759
A strict observance of the written laws is doubtless one of the high duties
of a good citizen, but it is not the highest. The law of necessity, of self-
preservation, of saving our country when in danger, are higher obligation.
To lose our country by a scrupulous adherence to written law, would be to
lose the law itself, with life, liberty, property and those who are enjoying
them with us; thus absurdly sacrifising the end to the means (kepatuhan
yang ketat terhadap hukum tertulis tidak diragukan lagi, merupakan salah
satu kewajiban yang penting bagi warga negara yang baik, tetapi bukan
merupakan yang terpenting. prinsip kebutuhan untuk menyelamatkan
negara dari ancaman bahaya mengandung nilai kewajiban yang lebih
tinggi. Kehilangan negara hanya karena keharusan tunduk pada aturan-
aturan tertulis yang kaku merupakan kehilangan akan hukum itu sendiri
bersama kehidupan, kebebasan, hak milik, dan mereka yang menikmatinya
bersama kita. Dengan kata lain, kita secara absurd mengorbankan tujuan
karena mementingkan cara.
Merujuk pada kalimat Jefferson di atas, dapat dimaknai bahwa
keselamatan negara dan warganya adalah tujuan, sedangkan penggunaan hukum,
termasuk tertib hukum, adalah caranya. Cara-cara yang normal harus ditetapkan
agar dalam proses mencapai tujuan, tidak melenceng dari cara yang tidak
757
Bruce Ackerman, The Emergency... Op., Cit., hlm. 1031 758
Fitra Arsil, Menggagas... Op., Cit., hlm. 3 759
William J. Quirk, “Pengantar” dalam Clinton Rossiter, Constitutional Dictatorship:
Crisis Government in the Modern Democracies, Princeton University Press, Princeton, 1948, hlm.
ix
381
dibenarkan yang justru menghalangi tercapainya tujuan. Sebaliknya, cara-cara
yang abnormal juga harus disediakan sebagai antisipasi apabila dalam proses
mencapai tujuan justru terjadi keadaan-keadaan yang secara tiba-tiba keluar dari
kebiasaan normal atau darurat. Tidak akan pernah ada keadilan apabila keadan
tidak normal justru diberlakukan hukum secara normal, demikian juga sebaliknya,
tidak akan tercipta keadilan apabila dalam keadaan normal justru diberlakukan
hukum darurat. Menjadi berbahaya apabila hukum positif suatu negara tidak
mengantisipasi keadaan darurat, karena akan memperlemah kemampuan negara
untuk bertindak sebagaimana mestinya dalam mencapai tujuan.760
Apabila itu
terjadi, menurut Jimly Asshiddiqie,761
setidaknya terdapat 2 (dua) kemungkinan
yang akan muncul sebagai “syndroma disfunctie” yaitu organ negara dan
pemerintahan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, atau penguasa negara
berubah menjadi tirani atau “dictator by accident” yang memanfaatkan keadaan
tidak biasa tersebut untuk kepentingannya sendiri atau untuk memperkokoh dan
melanggengkan kekuasaannya sendiri.
Dilihat dari perspektif konstitusi, Clinton Rossiter menegaskan,762
A
constitution which fails to provide for whatever emergency action may become
necessary to defend the state is simply defective (Sebuah konstitusi yang gagal
menyediakan tindakan darurat untuk mengantisipasi kejadian apapun yang
mungkin diperlukan untuk membela negara adalah cacat belaka). Bentuk
760
Ni‟matul Huda mengibaratkan negara sebagai alat dipersamakan dengan bahtera.
Maka negara adalah bahtera yang mengangkut para penumpangnya menuju ke pelabuhan
kesejahteraan. Lihat dalam Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, Edisi Pertama, Cetakan Keenam,
Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 53 761
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 4 762
Clinton Rossiter, Constitutional... Op., Cit., hlm. 301
382
kecacatan itu barangkali dapat dikorelasikan dengan pendapat Shylashri
Shankar,763
bahwa konstitusi yang tidak memuat ketentuan hukum darurat negara
akan berakibat pada runtuhnya semangat bernegara yang berdasarkan hukum dan
konstitusi, yang tentu akan menghasilkan negara kekuasaan tanpa hukum.
Konstitusi akan kehilangan maknanya karena tidak bisa menjawab kebutuhan
negara dan warganya terutama dalam keadaan darurat. Dalam bahasa Richard A.
Posner mengatakan,764
a constitution that will not bend will break. Fitra Arsil
memaknai kalimat Posner tersebut sebagai pentingnya kelenturan suatu konstitusi
negara dalam menghadapi berbagai macam situasi, termasuk keadaan tidak
normal.765
Memang benar, praktik di negara lain, terutama di Amerika Serikat,
konstitusinya dalam sejarah tidak memuat ketentuan mengenai keadaan darurat
negara, termasuk kekuatan darurat bagi presiden untuk menghadapi ancaman luar
biasa. Penggunaan hukum darurat negara di Amerika Serikat lahir dalam tradisi
peradilan dengan istilah martial law sebagaimana diuraikan sebelumnya. Namun
ternyata, tradisi yang demikian justru tidak maksimal dalam menghadapi
kedaruratan, yang barangkali sesuai dengan kalimat Rossiter di atas, adalah
sebuah kecacatan. Penelitian William Feldman yang memperbandingkan state of
siege di Perancis dan martial law di Amerika Serikat sangat relevan untuk
membuktikan kecacatan ini. Menurutnya,766
state of siege di Perancis yang
memang telah dinormatifkan di dalam konstitusinya itu, dengan selalu dilakukan
763
Shylashri Shankar, The State... Op., Cit., hlm. 201 764
Richard A. Posner, Not a Suicide... Op., Cit., hlm. 1 765
Fitra Arsil dan Qurrata Ayuni, Model... Op., Cit., hlm. 424 766
William Feldman, Theories... Loc., Cit.
383
perubahan dan perbaikan agar tidak disalahgunakan oleh penguasa, ternyata lebih
baik dan lebih siap menghadapi keadaan darurat daripada martial law di Amerika
Serikat. Ukurannya yaitu kemampuan adaptifnya untuk mencapai keseimbangan
yang efektif antara melindungi bangsa dari keadaan krisis dengan tidak
mengorbankan terlalu besar hak-hak dasar warga negara serta nilai dasar falsafah
bangsanya. Sedangkan di Amerika Serikat, sering kali terjadi kegamangan dalam
merespon keadaan darurat negara, serta pilihan kebijakan yang pada akhirnya
diambil untuk menghindari ancaman, tidak jarang berdampak siginifikan terhadap
tereduksinya hak warga negara.
Dikutip dari tulisan Kim Lane Scheppele,767
yang menguraikan bagaimana
respon Pemerintah Amerika Serikat atas keadaan darurat sering kali berlebihan
dan salah sasaran. Bahwa disebabkan tidak adanya pengaturan yang dapat
dijadikan pedoman dan rambu-rambu dalam menghadapi krisis di dalam
Konstitusi Amerika Serikat, Presiden Bush pasca peledakan bom di World Trade
Center tanggal 9 September 2001 itu justru kembali kepada kebiasaan lama
seperti menghadapi perang dingin, meskipun situasi dan ancamannya berbeda.
Pemerintahan Bush yang selalu mengedepankan pendekatan militer dalam
menghadapi krisis dengan menggunakan kekuasaan panglima tertinggi yang
dijalankan presiden, akhirnya berdampak signifikan atas tereduksinya semangat
pemisahan kekuasaan dan jaminan perlindungan hak individu. Bahkan terhadap
kebijakan internasional, Bush bertindak seolah-olah tragedi 9 September 2001
menciptakan dasar tidak hanya kadaan darurat nasional, namun juga darurat
767
Kim Lane Scheppele, Law... Op., Cit., hlm. 1003
384
internasional yang mengharuskan negara lain untuk membuat pengecualian
terhadap hukum internasional dan mendesak negara-negara sekutunya untuk
mengkompromikan komitmen konstitusional dalam menghadapi ancaman baru.
Suatu respon yang terlalu berlebihan, dan keluar dari original intent hukum
darurat negara yaitu respon cepat dengan mengesampingkan tatanan normal
dengan diikuti normalisasi progresif. Diuraikan juga oleh David Cole bagaimana
kebijakan pasca peristiwa 11 September 2001 itu justru memunculkan kebijakan
yang salah sasaran dan terlalu represif sehingga berimplikasi pada pelanggaran
hak asasi manusia.768
Jaksa Agung John Ashcroft mengumumkan suatu kampanye
penahanan preventif secara agresif. Ia akan menggunakan seluruh instrumen
hukum, termasuk undang-undang keimigrasian untuk menangkap siapapun yang
diduga teroris dengan alasan untuk mencegah adanya serangan lanjutan yang
serupa. Sampai dengan Januari 2004, pemerintah telah melakukan penahanan
kepada lebih dari 5000 warga negara asing dengan alasan tindakan anti
terorisme.769
Sayangnya, seluruh tindakan tersebut tidak berhasil. Hal serupa juga
terjadi sebelumnya, yaitu pada tahun 1919, setelah terjadi peledakan bom yang
hampir secara bersamaan di 8 (delapan) kota berbeda di seluruh Amerika Serikat,
Departemen Kehakiman menangkap ribuan warga negara asing di suatu tempat
yang sekarang dikenal sebagai Serangan Palmer.770
Sebuah anomali, tindakan
represif dan memberangus hak asasi manusia, namun tidak mempunyai relevansi
terhadap penanganan kedaruratan. Karena itu, dalam konteks Indonesia, perpu
768
David Cole, “The Priority of Morality: The Emergency Constitution‟s Blind Spot”
artikel dalam The Yale Law Journal, Volume 113, Tahun 2004, hlm. 1753 769
David Cole, Enemy Aliens: Double Standards and Constitutional Freedoms in The
War on Terrorism, dalam ibid. 770
Ibid... hlm. 1754
385
merupakan bentuk hukum yang diberikan kepada presiden agar dapat merespon
dan mengatasi keadaan darurat namun tetap dalam batas konstitusional, sehingga
keutuhan konstitusi dan semangat bernegara hukum tetap terjaga kendatipun
dalam keadaan genting.
Perpu sebagai instrumen hukum yang disediakan untuk mengatasi keadaan
darurat, mempunyai kedudukan istimewa. Dalam negara demokrasi, materi
muatan setingkat undang-undang harusnya dibentuk bersama DPR sebagai wakil
rakyat. Berbeda dengan perpu yang merupakan norma hukum dengan
penetapannya melalui mekanisme peraturan pemerintah, namun sifat
keberlakuannya dalam bentuk atau sejajar dengan undang-undang.771
Perpu
merupakan peraturan pemerintah yang menggantikan kedudukan undang-undang,
sehingga materi muatannya sama dengan materi muatan undang-undang.772
Materi muatan perpu juga dapat menggeser materi muatan suatu undang-undang
apabila keadaan darurat menghendaki itu. Penyimpangan-penyimpangan itu
ditoleransi karena dalam keadaan darurat, yang diutamakan adalah keselamatan
negara dan warganya. Dalam hal ini, berlaku adagium yang disebutkan oleh
Cicero, salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum yang
tertinggi).
Tuntutan keadaan untuk memberikan kewenangan pembentukan perpu,
dengan proses dan materi muatan yang istimewa itu, menjadikan perpu ini
merupakan istrumen hukum yang bermuka dua. Giorgio Agamben menyebutkan
771
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 131 772
Ibid.
386
keadaan ini sebagai keadaan negara dalam ambang ketidakpastian antara
demokrasi dan otoritarianisme atau absolutisme,773
atau dalam perspektif negara
hukum, merupakan ketidakpastian antara negara hukum dan negara kekuasaan.
Perpu sebagai Kekuasaan prerogratif presiden di bidang legislasi, dipandang
sebagai undemocratic and potentially dangerous karena tidak memerlukan suatu
dasar undang-undang.774
Padahal sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa
original intent pemberian kewenangan pembentukan perpu adalah untuk
menghindari tereduksinya semangat demokrasi dan negara hukum, tetapi pada
saat yang bersamaan, perpu sangat membuka peluang bagi lahirnya
otoritarianisme dengan substansi yang justru berseberangan dengan cita negara
hukum dan prinsip demokrasi. Hal ini karena batasan otoritarianisme dalam
keadaan darurat dengan menggunakan istrumen hukum berupa perpu itu menjadi
sangat tidak jelas dan penuh dengan kerancuan. Satu sisi ia berbentuk
kediktatoran, namun kedikatoran itu dijamin secara konstitusional yang justru
diperuntukkan menyelamatkan demokrasi dan negara hukum.
Konsepsi Clinton Rossiter mengenai Constitutional Dictatorship dapat
digunakan untuk melihat paham di atas. Constitutional dictatorship terjadi ketika
presiden dapat bertindak secara diktator karena diberikan landasan konstitusional
atas tindakan tersebut. Secara tegas, Rossiter menyebutkan bahwa “No form of
government can survive that excludes dictatorship when the life of the nation is a
stak”775
(tidak ada bentuk pemerintahan yang dapat bertahan tanpa kediktatoran
773
Giorgio Agamben, State... Op., Cit., hlm. 3 774
Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 109 775
Clinton Rossiter, Constitutional... Op., Cit., hlm. xix
387
ketika kehidupan bangsa sedang dipertaruhkan). Tindakan diktator itu memang
menyimpang secara sementara dari prinsip demokrasi, tetapi tujuannya adalah
menyelamatkan demokrasi dan negara secara permanen sehingga kediktatoran itu
perlu diberikan secara konstitusional. Dalam hal ini, Rossiter mengutip kalimat
Abraham Lincoln, “Often a limb must be amputated to save a life, but a life is
never wisely given to save a limb”776
(sering kali anggota tubuh harus diamputasi
untuk menyelamatkan nyawa, tetapi nyawa tidak pernah secara bijaksana
diberikan untuk menyelamatkan satu bagian anggota tubuh). Karakteristik dari
constitutional dictatorship salah satunya yaitu adanya pendelegasian kekuasaan
membentuk undang-undang (the delegation of legislative power) kepada presiden
secara sementara atas dasar kondisi yang mendesak, karena ketidakmampuan atau
ketidakstabilan lembaga legislatif dalam pembentukan undang-undang seperti
biasanya.777
Constitusional dictatorship itu prakteknya, pernah digunakan secara
konsekuen untuk menyelamatkan negara oleh Abraham Lincoln. Di Amerika
Serikat, kekuasaan presiden meskipun telah dikekang oleh konstitusi dan
kesulitan-kesulitan dari bekerja dengan lembaga-lembaga yang terkoordinasi
dengannya, presiden masih punya cara untuk menyiasatinya dengan kekuasaan
prerogatif, yaitu melalui tafsir mereka sendiri atas konstitusi.778
Memang dalam
sejarah Amerika, kekuasaan prerogatif presiden ini memberikan banyak kontribusi
atas penyelesaian persoalan yang cukup penting. George Washington secara
776
J.G. Nicolay and John Hay, Complete Works of Abraham Lincoln dalam Ibid., hlm. 11 777
Ibid., hlm. 9-10 778
Ni‟matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Kedua, FH UII Press,
Yogyakarta, 2004, hlm. 105
388
sepihak mengumumkan netralitas dalam konflik Inggris-Perancis pada awal 1970-
an, padahal konstitusi tidak memberikan kewenangan untuk itu. Thomas Jefferson
pada tahun 1803 membeli wilayah Lousiana dari Perancis padahal tidak ada satu
kata pun di dalam konstitusi yang merinci kekuasaan pemerintah nasional untuk
mendapatkan wilayah. Abraham Lincoln juga menggunakan kekuasaan prerogatif
yang cukup besar (sehingga oleh Clinton Rossiter disebut sebagai “kediktatoran
konstitusional”) karena terkadang Lincoln melampaui batas hukum dan konstitusi
pada saat krisis nasional. Franklin Roosevelt juga memanfaatkan kekuasaan
prerogatif sebelum Amerika Serikat menghadapi Perang Dunia II, yaitu dengan
membuat kesepakatan antar pemerintah dengan Inggris Raya untuk menukar
kapal-kapal perusak lama bagi pangkalan angkatan laut, sebuah manuver yang
sangat menolong konvoi Inggris melintasi Atlantik Utara dengan peralatan
perang. Kesepakatan antar pemerintah tidak memerlukan persetujuan dua pertiga
senat, inilah mengapa Roosevelt menggunakan bentuk kesepakatan saat memakai
prerogratifnya sendiri.779
Namun di sisi lain, kediktatoran konstitusional atas dasar kegentingan itu
tidak jarang justru bersenjangan dengan original intentnya, yaitu berakibat pada
matinya demokrasi dan negara hukum dan tereduksinya jaminan hak-hak warga
negara. Tulisan Steven Levitsky dan Daniel Ziblat tentang How Democracies Die,
telah mengurai banyak contoh mengenai hal itu. Bahwa banyak pemimpin yang
bahkan dipilih secara demokratis, justru menjadi otoriter dengan memanfaatkan
keadaan krisis, baik krisis ekonomi, bencana alam, atau ancaman pertahanan dan
779
Richard M. Pious, “Kekuasaan Kepresidenan” dalam Ibid., hlm. 106
389
keamanan. Dalam bahasa yang dramatis, Steven Levitsky dan Daniel Ziblat
menyebutkan bahwa krisis memang sukar untuk diprediksi, tetapi konsekuensi
politiknya sama sekali tidak,780
bahkan sangat terencana dan tersusun dengan rapi
dan sistematis.
Dalam sejarah di beberapa negara, tidak sedikit para penguasa yang
memanfaatkan keadaan krisis untuk melanggengkan kekuasaannya. Prosesnya
terjadi hampir tidak dapat dibaca karena terjadi secara perlahan dan samar, bahkan
sangat mungkin diawali dengan ketidaksengajaan. Setiap kali ada peristiwa luar
biasa yang menimbulkan keresahan publik dan mengancam ketertiban dan
keamanan, maka pemerintah akan membuat suatu undang-undang yang
karakternya represif, untuk menjanjikan keamanan yang lebih. Di kemudian hari,
bila terjadi kembali peristiwa luar biasa dan ekstrim dan cukup mencekam, maka
peraturan yang lebih represif lagi akan dirumuskan. Demikian seterusnya, yang
apabila dibiarkan maka akan sampai pada titik kebebasan, demokrasi, negara
hukum, dan perlindungan hak asasi manusia, akan berakhir.781
Meskipun dalam
banyak peristiwa lain yang telah terjadi, keadaan darurat yang berujung pada
kediktatoran dilakukan secara jelas dan terang, dan bahkan juga tidak jarang
kedaruratan justru direkayasa dan diciptakan oleh penguasa untuk melancarkan
niat kediktatorannya.
780
Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, How Democracies... Op., Cit., hlm. 74 781
Bruce Ackerman, The Emergency... Op., Cit., hlm. 1030. Sebagai perbandingan,
tindakan represif yang dilakukan pemerintah pasca peristiwa 9 September 2001, sebagaimana
diuraikan oleh Kim Lane Scheppele, dipandang oleh negara-negara sekutu bukan merupakan
penangguhan hukum, tetapi justru menjadi momentum memperkuat hukum. Lihat dalam Kim
Lane Scheppele, Law... Op., Cit., hlm. 1004
390
Di India pada tahun 1957, pemberlakuan keadaan darurat diikuti dengan
kekacauan hukum bahkan dilakukan perubahan konstitusi untuk membenarkan
tindakan pemerintah yang menyebabkan pelanggaran serius terhadap hak-hak
fundamental warga negara.782
Indira Gandhi menangkap dan menahan ribuan
orang sipil, menerapkan kebijakan sensor yang ketat dan langkah pemberedelan
terhadap pers, mengintimidasi lembaga peradilan, dan tindakan-tindakan otoriter
lainnya yang berseberangan dengan semangat demokrasi.783
Ferdinand Marcos di Filipina tidak mau turun dari kekuasaannya
sebagaimana diharuskan oleh konstitusi padahal periode keduanya tersebut
berakhir pada tahun 1973, dengan membuat rencana memberlakukan hukum
perang dan merubah konstitusi. Kesempatan untuk melancarkan rencana tersebut
mendapatkan momentumnya pada tahun 1972 ketika terjadi serangkaian bom
misterius di Manila, dan setelah adanya upaya pembunuhan terhadap Menteri
Pertahanan Juan Ponce Enrile.784
Krisis ini disebut sebagai bentuk rekayasa untuk
mencari pembenaran atas rencana Marcos mengakali batas dua masa jabatan
kepresidenan menurut konstitusi, dengan dalih tindakan darurat yang
memanfaatkan histeria masyarakat menggunakan isu ancaman komunis. Dugaan
rekayasa tersebut berdasarkan hasil intelijen Amerika Serikat yang menyebut
bahwa hal tersebut merupakan ulah orang-orang pemerintahan, serta pengakuan
Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrile.785
Sebuah fakta dan bukati konkret bahwa
782
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 140 783
Ibid. 784
Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, How Democracies... Op., Cit., hlm. 74 785
Ibid..., hlm. 76
391
kedaruratan dapat direkayasa untuk melegalkan tindakan darurat namun dalam
rangka melanggengkan kepentingan kekuasaan pribadi.
Adolf Hitler memanfaatkan kebakaran Reichstag 27 Februari 1933 untuk
memberlakukan keadaan darurat yang menghapuskan kebebasan sipil yang
kemudian menghancurkan segala perlawanan dan mengkonsolidasikan kekuasaan
Nazi sampai akhir Perang Dunia II.786
Bahkan hingga saat ini, perihal siapa yang
melakukan pembakaran itu, masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli
sejarah. Artinya, belum jelas apakah peristiwa tersebut adalah kecelakaan, atau
justru disengaja untuk memunculkan kesan negara dalam keadaan darurat dan di
bawah ancaman serius.
Dalam keadaan krisis, dorongan untuk bertindak otoriter tidak hanya lahir
dari naluri penguasa, namun juga didorong oleh rakyat. Hal ini wajar terjadi,
karena peristiwa yang mempunyai ancaman dan berakibat pada ketakutan rakyat
secara luas pada satu sisi, dengan otoritas negara yang dianggap mampu secara
efektif untuk mengatasi ancaman dengan segala kekuasaan dan prangkatnya pada
sisi yang lain, menjadikan harapan rakyat pada negara semakin besar. Tindakan
negara yang menyimpang sekalipun, namun tampak dilakukan untuk mengatasi
ancaman, tentu akan mendapatkan dukungan besar dari rakyat. Secara a contrario
Bruce Ackerman menyebutkan,787
no democratic government can maintain
popular support without acting effectively to calm panic and to prevent a second
terrorist strike. (tidak ada pemerintahan demokratis yang dapat mempertahankan
786
Ibid. 787
Bruce Ackerman, The Emergency... Op., Cit., hlm. 1030
392
dukungan rakyat tanpa bertindak secara efektif untuk menenangkan kepanikan
dan untuk mencegah serangan teroris lanjutan).
George H.W. Bush, Presiden Amerika Serikat, seketika mendapatkan
dukungan dan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat mencapai yang mencapai
mencapai 89 persen setelah Perang Teluk Persia 1991. George W. Bush mendapat
kenaikan angka dukungan yang cukup drastis dari angka 53 persen menjadi 90
persen setelah tragedi peledakan bom 11 September 2001. Tragedi tersebut
bahkan mendorong 55 persen rakyat Amerika Serikat untuk percaya bahwa
kebebasan sipil perlu dibatasi untuk melawan terorisme.788
Vladimir Putin
mendapatkan dukungan besar dari rakyat atas serangan terhadap oposisi, setelah
tragedi bom di Moskwa pada September 1999 yang membunuh hampir tiga ratus
orang. Putin menanggapinya dengan mengobarkan perang di Chechnya dan
melakukan penindakan berskala besar.789
Pengusiran dan penahanan orang-orang
Jepang-Amerika oleh Roosevelt juga mendapatkan dukungan mayoritas
masyarakat setelah terjadi serangan ke Pearl Harbor.790
Keadaan krisis yang mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan
menopang semangat otoritarianisme, yang dalam keadaan tertentu bahkan
mendapat dukungan dari rakyat itu, semakin sempurna dengan dibekali instrumen
hukum berupa perpu. Maka perpu, akan menjadi cara konstitusional untuk
melancarkan spirit kedikatorannya. Perpu menjadi jalan konstitusional yang
merongrong semangat berdemokrasi dan penyelenggaraan negara berdasarkan
788
Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, How Democracies... Op., Cit., hlm. 75 789
Ibid., hlm. 77 790
Ibid., hlm. 75
393
atas hukum sekaligus mengokohkan semangat otoritarianisme dengan citra seolah
hendak menyelamatkan demokrasi itu sendiri. Pemberian kewenangan perpu,
naluri alamiah kekuasaan yang cenderung otoriter, dan dukungan rakyat untuk
bertindak otoriter karena keadaan krisis, adalah kombinasi sempurna untuk
membunuh demokrasi, sekaligus memberikan jalan yang lapang tanpa hambatan
untuk mengalihkan semangat penyelenggaraan negara berdasarkan hukum,
menjadi negara berdasarkan kekuasaan. Padahal pada saat yang bersamaan, bukan
sesuatu yang mustahil, krisis itu justru diciptakan dan direkayasa oleh penguasa.
John Reynolds mengingatkan,791
The more extreme the perceived exigency, the
greater the temptations to disregard constitutional structures and expand
executive power, at the expense of civil liberties and accountability. (Semakin
ekstrem urgensi yang dirasakan, semakin besar godaan untuk mengabaikan
struktur konstitusional dan memperluas kekuasaan eksekutif, dengan
mengorbankan akuntabilitas dan kebebasan sipil).
Uraian di atas memberikan ketegasan bahwa perpu yang diidealkan untuk
mengatasi keadaan darurat itu mengandung unsur kediktatoran. Maka yang
menjadi fokus lebih lanjut adalah penggunaan kewenangan yang diktator itu.
Dalam konteks negara hukum dan demokrasi tentu hal itu harus digunakan untuk
melindungi rakyat dan bukan justru untuk melancarkan kepentingan pribadi,
mengatasi kegentingan yang memaksa, bukan justru melancarkan kepentingan
penguasa. Maka untuk mendorong hal itu, kewenangan menetapkan perpu harus
diatur secara konstitusional dan proporsional. Konstitusional berarti bahwa
791
John Reynolds, The Long... Op., Cit., hlm. 2
394
penggunaan perpu harus tetap sesuai dengan kerangka negara hukum,
proporsional berarti bahwa penggunaan perpu harus diatur dan ditentukan
sedemikian rupa agar sesuai dengan peruntukannya. Mengantisipasi keadaan
krisis dan bahaya yang mengancam negara dengan memberikan instrumen perpu
adalah penting, namun tidak kalah pentingnya adalah mengantisipasi
penyalahgunaan kekuasaan negara yang dilakukan secara kontitusional melalui
perpu. Keduanya sama-sama mempunyai titik singgung yang satu, yaitu
melindungi hak-hak masyarakat dan keutuhan negara. Secara a contrario,
keduanya sama-sama mempunyai resiko dan ancaman bahaya bagi hak
konstitusional warga negara.
Penggunaan perpu di Indonesia dengan segala permasalahan yang
diuraikan sebelumnya, tampak terdapat penyimpangan dari original intent dan
idealitas penggunaan instrumen darurat. Ke depan, tentu diperlukan pengendalian
dan pembatasan tertentu sebagai bentuk perbaikan atas kelemahan yang terjadi
saat ini. Dalam penelitian ini, berkaca pada permasalahan yang terjadi dan
original intent pemberian kewenangan perpu, maka upaya pengendalian itu dapat
dilakukan dengan 4 (empat) hal, yaitu pembatasan subyektifitas presiden,
pembatasan waktu keberlakuan perpu, redesain objektifikasi DPR, dan
mekanisme kontrol yudisial.
Pertama, pembatasan subyektifitas presiden dalam menetapkan perpu.
Ni‟matul Huda792
berpendapat, agar penetapan perpu yang bergantung
sepenuhnya kepada suyektifitas presiden itu tidak disalahgunakan, maka perlu
792
Ni‟matul Huda, Politik... Op., Cit., hlm. 151
395
adanya penentuan lingkup atau kriteria objektif tentang kegentingan memaksa dan
mengkonsultasikan materi Perpu dengan DPR sebelum perpu ditetapkan. Hal ini
dimaksudkan supaya presiden mendapat pertimbangan yang matang dari pihak
lain sebelum menetapkan perpu. Bagir Manan menyebutkan bahwa perpu itu
mengandung unsur kedikatoran sehingga harus diberikan batasan lain selain
batasan hal ikhwal kegentingan yang memaksa.793
Sedangkan menurut Jimly
Asshiddiqie,794
wewenang presiden biasanya disebutkan secara rinci dan tegas di
dalam Undang-Undang Dasar guna membatasi kekuasaannya, sehingga presiden
tidak bertindak sewenang-wenang.
Seluruh pendapat di atas menggambarkan bahwa kewenangan presiden
menetapkan perpu saat ini cenderung luas dan tanpa ada batasan yang ketat. Hal
itulah yang selama ini menjadi alasan utama munculnya ragam kontroversi dan
permasalahan sebagaimana dijelaskan di atas. Menurut Fajrul Falaakh
sebagaimana dikutip oleh Ni‟matul Huda,795
Perpu termasuk rezim regulasi
mendesak dan dimaksudkan untuk mengatasi keselamatan negara. Namun Perpu
menjadi bentuk decretismo (governing by decree), bahkan sekedar
instrumentalisasi hukum dan kekuasaan oleh kepentingan tertentu kalau
kegentingan yang memaksa penerbitannya tidak sesuai dengan kondisi sosiologis.
Pengaturan perpu mengandung ketidakpastian yang tinggi, ditundukkan kepada
793
Ada 2 (dua) hal yang setidaknya bisa menjadi tambahan batasan pembentukan perpu
oleh presiden menurut Bagir Manan, yaitu perpu hanya mengatur mengenai hal-hal di bidang
administrasi negara (bidang pemerintahan), bukan mengenai masalah ketatanegaraan atau
menyangkut alat kelengkapan negara di luar administrasi negara; serta hanya dibuat apabila DPR
sedang tidak bersidang (reses). Lihat dalam Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945
Baru, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 44 794
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi... Op., Cit., hlm. 182 795
Mohammad Fajrul Falaakh, Involusi... Op., Cit., hlm. 115
396
semangat birokrasi, dan rentan ditafsirkan hanya menurut kepentingan pemerintah
tanpa persetujuan DPR.
Memang, klausul Pasal 22 UUD NRI 1945 hanya memberikan batasan
berupa kegentingan yang memaksa tanpa ada perincian lebih lanjut. Perspektif
kegentingan yang memaksa itu diserahkan sepenuhnya kepada presiden. Secara
substansial, menurut Ni‟matul Huda,796
materi muatan dalam Pasal 22 UUD NRI
1945 ini mengisyaratkan bahwa dalam hal keadaannya lebih genting dan sangat
terpaksa dan memaksa, tanpa menunggu adanya syarat-syarat yang ditentukan
terlebih dahulu oleh dan dalam suatu undang-undang, serta bagaimana akibat-
akibat yang tidak sempat ditunggu dan ditetapkan dalam suatu undang-undang,
presiden berhak menetapkan perpu sekaligus menyatakan suatu keadaan bahaya
dan darurat.
Klausul Pasal 22 UUD NRI 1945 ini memang terlalu bersifat umum,
padahal sesuatu yang umum sifatnya selalu membuka kemungkinan
penyimpangan-penyimpangan.797
Sejalan dengan pendapat Steven Levitsky dan
Daniel Ziblat, bahwa bila kekuasaan konstitusional bisa ditafsirkan bermacam-
macam, maka kekuasaan itu bisa digunakan dengan cara-cara yang tak terduga
oleh para penciptanya.798
Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti melihat bahwa
Pasal 22 UUD NRI 1945 ini terlalu open ended atau overbroad sehingga
memberikan peluang yang terlalu lebar dan tidak mempunyai ukuran kepastian,
dan karenanya sangat berpeluang untuk dijadikan dasar yang membenarkan
796
Ni‟matul Huda, Pengujian... Op., Cit., hlm. 75 797
Sudikno Mertokusumo, Penemuan... Op., Cit., hlm. 8 798
Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, How Democracies... Op., Cit., hlm. 81
397
penggunaan kekuasaan yang berlebihan (excessive powers), bahkan pembenaran
penyalahgunaan kekuasaan (misuse of powers).799
Berkaca dari hal itu, menurut
Susi Dwi Harijanti, dari sudut ilmu tentang kaidah, rumusan-rumusan yang terlalu
terbuka atau terlalu lebar, tidak memenuhi syarat sebagai kaidah, bahkan dapat
dikatakan bukan hukum.800
Pasal 22 UUD NRI 1945 yang memberikan kewenangan begitu luas dan
subyektif itu pada implementasinya mempercayakan kebijakan dan kebijaksanaan
presiden untuk menetapkan perpu. Padahal, sebagaimana disebutkan oleh
Dicey,801
dimanapun ada ruang kebijaksanaan, maka disitu ada ruang untuk
sewenang-wenang.
“Wherever there is discretion, there is room for arbitrariness. An arbitrary
decision may be defined as one based upon improper criteria which do not
relate in any rational way to the relevant goal. Thus 'the paradigm
arbitrary decision', Jowell points out, 'is one based upon particularistic
criteria such as friendship, or ascriptive criteria such as race, or upon
caprice, whim, or prejudice”.802
Memang benar, teks suatu peraturan perundang-undangan bukan
merupakan satu-satunya penentu terjadinya tindakan kesewenang-wenangan. Hal
yang paling menentukan di balik teks itu justru adalah pelaksana. Pendapat
Soepomo tentang konstitusi yang kekeluargaan dan menolak individualisme
barangkali dapat menjadi komparasi terhadap hal ini.
799
Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Peraturan... Op., Cit., hlm. 223 800
Ibid., hlm. 225 801
A.V. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Tenth Edition,
English Language Book Society and MacMillan, London, 1959, hlm. 147 802
Dikutip kembali dalam Putusan Nomor 92/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Perpu
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
398
“Meskipun kita membikin UUD yang menurut kata-katanya bersifat
kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para
pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, UUD tadi tentu tidak
ada artinya dalam praktek. Sebaliknya meskipun UUD itu tidak sempurna,
akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahannya baik,
UUD ini tentu tidak akan merintangi jalannya negara.”803
Hanya saja, ketika teks suatu peraturan begitu terbuka dan memberikan
ruang penafsiran sebesar-besarnya kepada pelaksana teks, maka potensi
penyalahgunaan kekuasaan semakin terbuka. Terlebih, dalam penyelenggaraan
negara modern tidak bisa mempercayakan kebijaksanaan semata-mata kepada satu
orang atau satu figur tertentu. Moralitas kekuasaan tidak boleh hanya
digantungkan pada niat, dan dipercayakan pada kebijaksanaan pemegang kuasa.
Betapapun baiknya penguasa, tidak boleh diberikan tanpa batasan-batasan tertentu
yang diatur secara konstitusional.804
Oleh karena itu, baik teks maupun pelaksana,
keduanya harus saling dibangun agar saling mengendalikan satu sama lain.
Soerjono Soekanto menyebutkan,
persoalan lain yang mungkin timbul di dalam undang-undang adalah
ketidakjelasan di dalam kata-kata yang dipergunakan di dalam perumusan
pasal-pasal tertentu. Kemungkinan hal itu disebabkan karena penggunaan
kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali, atau karena soal
terjemahan dari bahasa asing (Belanda) yang kurang tepat.805
Secara ideal, sebuah teks hukum memang harus mempunyai rumusan yang
jelas dan menutup peluang atas interpretasi yang terlalu subyektif. Terhadap
kejelasan rumusan ini, Montesquieu sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo
menjelaskan,806
pertama, gaya penuturannya yang padat dan sederhana. Ini
803
Saafroedin Bahar, Risalah... Op., Cit., hlm. 269 804
Jimly Asshiddiqie, Format... Op., Cit., hlm. 37 805
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan
Kesebelas, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 16 806
Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum... Op., Cit., hlm. 94-95
399
bermakna bahwa pengutaraan dengan menggunakan ungkapan kebesaran
(grandiose) dan retorik hanya mubadzir dan menyesatkan. Pilihan istlah
hendaknya mutlak dan tidak nisbi sehingga membuka sedikit kemunginan bagi
perbedaan interpretasi dan pendapat individual. Kedua, peraturan hendaknya
membatasi diri pada hal-hal yang nyata dan aktual dengan menghindari hal-hal
yang bersifat metaforis dan hipotetis. Konteks karakteristik pertama dan kedua ini
berhubungan dengan aspek gramatikal dan penggunaan bahasa. Secara a
contrario faktor penggunaan bahasa dalam bernegara hukum dapat saja
menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga negara yang berdasarkan hukum,
masih membuka peluang bagi penafsiran yang bermacam-macam yang mungkin
hanya menguntungkan penguasa saja.807
Ketiga, peraturan hendaknya jangan terlampau tinggi karena ia ditujukan
untuk orang-orang dengan standar kecerdasan rata-rata. Ini karena peraturan
bukan merupakan latihan penggunaan logika, melainkan hanya penalaran
sederhana yang bisa dilakukan oleh orang biasa. Keempat, masalah pokoknya
hendaknya tidak dikacaukan dengan kekecualian, pembatasan atau modifikasi,
kecuali dalam hal yang sangat diperlukan. Kelima, peraturan tidak boleh
mengandung argumentasi. Menjadi bahaya untuk memberikan alasan terperinci
bagi suatu peraturan, oleh karena yang demikian hanya akan membuka pintu
untuk pertentangan pendapat. Pepatah hukum yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo
sangat relevan atas hal ini, yaitu maksim expressum facit cassare tacitum, bahwa
kata-kata yang dicantumkan secara tegas mengakhiri pencarian mengenai maksud
807
Munir Fuady, Teori... Op., Cit., hlm. 19
400
dari suatu perundang-undangan.808
Keenam, peraturan harus dipertimbangan
dengan penuh kematangan dan mempunyai kegunaan praktis dan jangan
hendaknya mengguncangkan hal-hal yang elementer dalam penaralan dan
keadilan serta lanature des choses. Peraturan yang lemah, yang tidak perlu dan
tidak adil akan menyebabkan orang tidak menghormati perundang-undangan dan
menghancurkan otoritas negara.
Sebagai lawan dari konsepsi di atas, Satjipto Rahardjo yang merujuk pada
tradisi Inggris, menolak cacat logis perumusan suatu peraturan perundang-
undangan dengan bentuknya yaitu,809
pertama, kemenduaan (ambiguity) semantik
yang disebabkan oleh perumusan secara open texture. Bahwa kata-kata yang
dirumuskan sedemikian umum sehingga menimbulkan kemenduaan dalam
penerapannya. Berbeda dengan kemenduaan yang demikian itu adalah perumusan
secara terperinci. Kedua, kemenduaan sintaktik yang disebabkan oleh penggunaan
kata “atau”, “dan”, “semua”, dan sebagainya. Ketiga, kemenduaan yang terjadi
karena maksud yang ingin dinyatakan oleh pembuat undang-undang sendiri tidak
jelas. Pembuat undang-undang belum mempunyai konsep atau gambaran yang
jelas tentang hal yang hendak diaturnya.
Pada konteks landasan penetapan perpu, kejelasan rumusan itu memang
penting tetapi sulit untuk diakomodir di dalam konstitusi, mengingat idealitas
materi muatan konstitusi adalah hal yang bersifat mendasar dan fundamental.
Tidak semua permasalahan yang penting dapat dimuat di dalam konstitusi, namun
808
Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum... Op., Cit., hlm. 97 809
Ibid., hlm. 98
401
hanya yang bersifat pokok, dasar, atau bahkan asas-asasnya saja. Tidak semua hal
yang penting merupakan hal yang pokok atau mendasar, sehingga tidak semua hal
yang dianggap penting dapat dimuat di dalam undang-undang dasar.810
Maka
alternatif yang cukup rasional dalam hal ini adalah dengan mengatur lebih rinci
landasan wewenang menetapkan perpu di dalam undang-undang dengan
menjabarkan Pasal 22 UUD NRI 1945, yang dapat dituangkan dalam Undang-
Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pada bagian ini, ada 2 (dua) hal yang perlu dirinci lebih detail untuk
membatasi subyektifitas presiden, yaitu kriteria kegentingan yang memaksa, serta
larangan yang tidak boleh dilampaui oleh presiden dalam menetapkan perpu.
Terkait dengan hal-hal yang perlu dihindari dalam penetapan perpu, merujuk pada
pendapat Bagir Manan, yaitu tidak mengatur mengenai hal-hal yang diatur di
dalam Undang-Undang Dasar atau Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
tidak mengatur mengenai keberadaan dan tugas wewenang lembaga negara, dan
tidak boleh ada perpu yang menunda dan menghapuskan kewenangan lembaga
negara; hanya boleh mengatur mengenai ketentuan undang-undang yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan.811
Perpu juga tidak boleh bertentangan
810
Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Dasar hanya memuat hal-hal pokok
yang sifatnya garis besar saja, yaitu agar tetap mengakomodasi perkembangan zaman yang
cenderung mengalami perubahan secara cepat, sedangkan perubahan konstitusi membutuhkan
waktu yang lama; menghindari terlalu seringnya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar yang
mengakibatkan menurunnya kewibawaan Undang-Undang Dasar itu sendiri. Lihat dalam Jimly
Asshiddiqie, Pengantar... Op., Cit., hlm. 112 811
Bagir Manan dan Kuntana Bagnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Alumni, Bandung, 1997, hlm. 151
402
dengan konstitusi. Bahkan, konstitusi pada masa keadaan darurat tidak boleh
diubah.812
Adapun kriteria kegentingan yang memaksa, secara umum tentu rujukan
utamanya adalah tafsir Mahkamah Konstitusi yang menetapkan 3 (tiga) kriteria
melalui putusannya, yaitu:
(1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan
masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
(2) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau sudah ada undang-undang tetapi tidak
memadai;
(3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara
membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan
memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang
mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Menurut pendapat penulis, ketentuan tersebut masih terlalu umum dan
masih memberikan ruang subyektifitas yang dominan bagi presiden. Hal ini
misalnya klausul kebutuhan mendesak sebagai dasar pertama itu masih terlalu
terbuka. Oleh karena itu, perlu ditentukan definisi dan ketentuan lebih konkret
yang diturunkan dari 3 (tiga) makna tersebut. Menurut pendapat penulis, penting
untuk turut memperhatikan dan merujuk pada European Convention of Human
Rights and Fundamental Freedoms dan International Covenant on Civil and
Political Rights. Bahwa suatu negara harus memperhatikan prinsip-prinsip dalam
keadaan daruat, yaitu temporality atau bersifat sementara, yang merujuk pada
keadaan luar biasa dari pernyataan keadaan darurat; exceptional threat, yaitu
harus ada ancaman yang nyata, berlangsung, atau setidaknya dekat sekali faktor
resikonya yang membahayakan masyarakat; declaration, yaitu adanya pernyataan
812
John Ferejohn dan Pasquale Pasquino, The Law... Op., Cit., hlm. 212
403
dan deklarasi secara resmi pemerintah kepada publik; communication, yaitu
adanya komunikasi berupa pemberitahuan kepada organisasi atau badan yang
melaksanakan fungsi pengawasan terhadap tindakan yang akan diambil;
proportionality, yaitu adanya kesepadanan yang dapat ditunjukkan bahwa
tindakan-tindakan yang diambil dalam keadaan darurat harus sebanding dengan
ancaman yang mendatangi; legality, yaitu bahwa tindakan yang diambil dalam
keadaan darurat harus mempunyai dasar hukum dan tetap berada dalam koridor
hukum; intangibility, yang ini merujuk pada hak-hak asasi manusia yang tidak
boleh dihilangkan meskipun dalam keadaan darurat.813
Kriteria berdasarkan konvensi tersebut, ancaman dan kebutuhan mendesak
itu harus telah secara nyata, berlangsung, atau setidaknya dekat sekali faktor
resikonya yang membahayakan masyarakat. Ketentuan ini mirip dengan konsepsi
kedaruratan dalam Islam. Bahwa penggunaan mekanisme darurat harus dipenuhi
unsur bahwa kedaruratan itu telah nyata, bukan berdasarkan praduga dan
prasangka semata. Ukuran untuk melihat bahwa keadaan tersebut telah terjadi
secara nyata yaitu ketika ditemukan tidak berfungsinya suatu organ pemerintahan
dan perlunya pembatasan terhadap hak asasi manusia yang dengan pembatasan
tersebut maka penyelenggaraan negara akan lebih menjamin keselamatan yang
lebih besar.
813
The Centre‟s Security Sector Reform Working Group, State of Emergency, dalam
Surya Oktaviandra, “Analisis Aspek Legalitas, Proporsionalitas dan Konstitusionalitas Ketentuan
Imunitas Pidana Bagi Pejabat Pemerintah Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020” artikel
dalam Majalah Hukum Nasional, Volume 50 Nomor 2, Tahun 2020, hlm. 188-189
404
Hal yang juga menarik dan sebagian relevan untuk diadopsi sebagai
pembatasan penetapan perpu oleh presiden di Indonesia adalah konsepsi yang
digagas oleh Ernst Wolfgang Bockenford. Menurutnya, ada 4 (empat) aspek yang
harus dipegang dalam pemberlakuan peraturan darurat.814
Aspek pertama yaitu
adanya pembedaan secara tegas antara keadaan normal dan keadaan darurat
dengan titik tekan perbedaan pada aspek prosedural dan substansial. Secara
prosedural, keadaan darurat harus dibatasi secara resmi melalui undang-undang
untuk menghindari tereduksinya semangat bernegara hukum disebabkan keadaan
darurat. Sedangkan secara substansial, Bockenforde menggagas bahwa keadaan
darurat tidak boleh secara terus menerus ditetapkan dan berdasarkan subyektifitas,
namun harus mendasarkan pada ukuran yang objektif dan pasti. Ukuran agar
sedapat mungkin objektif dan pasti atau nyata tersebut didasarkan pada 3 (tiga)
karakteristik, yaitu berorientasi pada tujuan, jangka waktu yang terbatas atau
bersifat sementara, dan meskipun dapat ditegakkan secara baik, tetapi tidak
diberikan kualitas hukum.815
Berorientasi pada tujuan ini penting untuk
diperhatikan dan ditekankan untuk membuktikan secara benar bahwa keadaan
darurat memang terjadi, dengan menetapkan target dan tujuan tertentu yang
hendak dicapai dengan pemberlakuan hukum darurat dimaksud. Bahwa tujuan
tersebut adalah untuk mengatasi keadaan yang melatarbelakangi dibentuknya
suatu hukum darurat. Konsekuensinya, apabila tujuan telah tecapai, maka
pemberlakuan hukum darurat harus berakhir, yang ini berkorelasi dengan sifat dan
hakikat kesementaraan hukum tata negara darurat.
814
Shylashri Shankar, The State... Op., Cit., hlm. 202 815
Ibid.
405
Paradigma berorientasi pada tujuan ini penting untuk diadopsi dalam
pranata pembentukan perpu di Indonesia. Selama ini, selain pemaknaan
kegentingan yang memaksa sebagai syarat ditetapkannya perpu menjadi ranah
subyektif presiden, ketika perpu ditetapkan, respon publik atas perpu cenderung
menimbulkan perdebatan apakah perpu dimaksud telah memenuhi kegentingan
yang memaksa dengan berfokus pada alasan dan latar belakang. Akhirnya,
pemaknaan kegentingan yang memaksa tetap menjadi sesuatu yang tidak jelas dan
bergantung pada persepsi masing-masing. Dalam keadaan demikian, tentu
pemerintah yang akan diuntungkan karena perpu ketika diundangkan, maka sejak
saat itu telah secara sah mempunyai akibat hukum. Tentu akan berbeda apabila
selain menegaskan latar belakang hal ikhwal kegentingan yang memaksa, juga
memperjelas tujuan yang hendak dicapai atas keberlakuan suatu perpu.
Kegentingan yang memaksa tentu akan lebih tampak dan cenderung lebih objektif
karena harus memunculkan hubungan kausalitas antara tujuan yang akan dicapai
dengan latar belakang dibentuknya perpu untuk mengatasi kegentingan yang
memaksa yang sedang terjadi.
Aspek kedua menurut gagasan Bockenforde yaitu antara otoritas yang
menyatakan keadaan darurat dengan otoritas yang memegang kekuasaan darurat
harus berbeda dan terpisah. Alasan Bockenforde pada aspek yang kedua ini adalah
untuk menghindari aspek pertimbangan politis apabila penentu keadaan darurat
adalah organ yang sama dengan pelaksanananya. Kekhawatiran Bockenforde
tertuju bahwa keadaan darurat justru berpeluang untuk direkayasa dalam rangka
menguntungkan kepentingan politiknya sendiri. Maka Bockenforde mengusulkan
406
bahwa kewenangan deklaratif untuk menyatakan keadaan darurat diserahkan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai perwakilan rakyat dalam
kerangka negara demokrasi. Tujuannya yaitu agar pelaksana kekuasaan darurat
(presiden) fokus terhadap tindakan penyelamatan; serta agar keadaan darurat
menjadi tanggung jawab bersama baik presiden maupun DPR.816
Menurut
pendapat penulis, aspek kedua gagasan Bockenforde ini tidak relevan untuk
diterapkan mengingat DPR yang juga sarat dengan kepentingan politik, serta tidak
mencerminkan unsur kesegeraan karena mekanisme pengambilan keputusan yang
diserahkan kepada anggota padahal keadaan bahaya memerlukan keputusan cepat.
Hal ini seperti yang telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui
putusannya. Alasan dan tujuan Bockenforde pada bagian ini adalah baik dan ideal
dalam rangka menjaga semangat demokrasi dan mencegah unsur politis dalam
penanganan keadaan darurat oleh lembaga eksekutif atau presiden, namun sulit
pada tataran implementasi yang membutuhkan kesegeraan.
Aspek ketiga yaitu adanya pertanggungjawaban dan pengawasan terhadap
pemegang kekuasaan darurat (presiden). Aspek ini dimaksudkan bahwa harus ada
sanksi yang tegas kepada presiden ketika terjadi kesalahan atau penyalahgunaan
dalam keadaan darurat.817
Pada konteks Indonesia, hingga saat ini tidak ada
konsekuensi yuridis tertentu bagi presiden dalam penetapan perpu. Untuk
kemudian digagas agar diterapkan, desain konstitusional juga cukup rumit untuk
memberikan sanksi kepada presiden atas penetapan perpu.
816
Ibid... hlm. 203 817
Ibid... hlm. 204
407
Aspek terakhir menurut Bockenforde adalah prasyarat dan keberadaan
hukum darurat negara harus diatur sehingga siapapun yang mengambil keputusan
harus benar-benar memastikan bahwa keputusan tersebut diambil atas dasar
keadaan yang paling ekstrem, bukan hanya keadaan yang sulit. Bockenforde
dalam aspek ini memang tidak memberikan contoh konkret mengenai bagaimana
keadaan ekstrem dan keadaan sulit itu karena kesulitan untuk membedakan antara
keduanya.818
Pada konteks Indonesia, hal ini sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya bahwa perpu harus diletakkan sebagai upaya paling akhir ketika
pranata hukum yang lain tidak lagi menyediakan solusi atas situasi yang ekstrem
tersebut.
Secara normatif-yuridis, membedakan situasi sulit dan ekstrem itu,
menurut pendapat penulis sudah dapat diukur berdasarkan prasyarat ditetapkannya
perpu. Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 telah mensyaratkan 2 (dua) klausul yang
sifatnya kumulatif, yaitu adanya “kegentingan” yang sifatnya “memaksa”. Klausul
yang demikian juga dikenal di negara lain, seperti Brazil dengan frasa “relevance
and urgency” dan Argentina dengan frasa “necessity and urgency”. Relevance dan
necessity dapat dimaknai sebagai adanya kebutuhan karena adanya suatu peristiwa
atau kondisi mendesak yang membutuhkan pengaturan, sedangkan urgency
bermakna pada keterbatasan waktu untuk melalui proses legislasi biasa di
parlemen.819
Istilah itu dapat dipersamakan dengan hal ikhwal kegentingan yang
memaksa sebagaimana disebutkan di dalam UUD NRI 1945. Kegentingan
sekaligus memaksa itu mencerminkan keadaan ekstrem, sedangkan kegentingan
818
Ibid. 819
Fitra Arsil dan Qurrata Ayuni, Model... Op., Cit., hlm. 431
408
yang tidak memaksa, atau ketidakgentingan tetapi memaksa, dapat dikategorikan
ke dalam situasi yang sulit. Hal itu dapat digambarkan dalam bagan sebagai
berikut:
Genting
Necessity
Relevance
Memaksa
Urgency
Tidak Genting
Tidak Memaksa
Adapun makna kegentingan itu sendiri juga harus memuat 2 (dua) syarat,
yaitu adanya permasalahan luar biasa, sedangkan permasalahan tersebut tidak
mempunyai landasan hukum, atau landasan hukum yang ada tidak cukup untuk
menangani permasalahan luar biasa itu. Adanya permasalahan tetapi sudah
mempunyai landasan pengaturan yang lengkap, meskipun permasalahan tersebut
membutuhkan tindakan cepat, tidak bisa dimaknai sebagai bentuk kegentingan.
Dengan demikian, bila dikorelasikan dengan 3 (tiga) kriteria yang ditetapkan oleh
Mahkamah Konstitusi, maka kegentingan ini merupakan manifestasi dari kriteria
angka pertama dan kedua, sedangkan klausul memaksa adalah bentuk dari kriteria
angka tiga. Seluruhnya bersifat kumulatif yang apabila telah terpenuhi, maka
keadaan dapat dikualifikasikan sebagai kondisi ekstrem.
Kedua, redesain objektifikasi perpu di parlemen. Praktik yang terjadi saat
ini, objektifikasi perpu oleh DPR hanya berupa memberikan persetujuan atau
409
tidak memberikan persetujuan terhadap perpu yang ditetapkan oleh presiden.820
Pembahasan di DPR tidak sampai pada aspek substansi perpu. Mekanisme yang
demikian hanya akan menjadikan DPR sebagai alat legitimasi atau rubber stampt
atas perpu yang telah ditetapkan.
Keadaan di atas, penting untuk didesain ulang dengan memberikan DPR
kesempatan untuk meninjau substansi perpu. Tinjauan tersebut harus ditekankan
pada aspek legalitas, konstitusionalitas, implementasi, serta legitimasi perpu.
Aspek legalitas dilihat dari kriteria kegentingan yang memaksa sesuai dengan
batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kriteria
tersebut, memang layak dikualifikasikan sebagai dasar legalitas, karena sesuai
dengan putusan Mahkamah Konstitusi, bahwa presiden hanya mempunyai
kewenangan untuk menetapkan suatu perpu apabila terjadi kegentingan yang
memaksa. Tanpa terpenuhinya syarat tersebut, maka presiden tidak berwenang
menetapkan perpu. Aspek konstitusionalitas berkaitan dengan hal-hal apa saja
yang tidak seharusnya dimuat di dalam suatu perpu karena bertentangan dengan
UUD NRI 1945, bertentangan dengan asas-asas hukum dan peraturan perundang-
undangan, serta bertentangan dengan dasar falsafah negara. Adapun aspek
implementasi dapat diukur dari ketercapaian sasaran dan tujuan ditetapkannya
perpu sesuai dengan usulan penulis yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya,
bahwa paradigma pembentukan suatu perpu harus berorientasi pada tujuan; serta
efek lanjutan dari penetapan suatu perpu berupa promt immediately atau sontak
820
Lihat dalam Pasal 52 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2019.
410
segera. Aspek legitimasi berkaitan dengan aspirasi publik terhadap suatu perpu
sesuai dengan karangka demokrasi. Pada aspek ini, maka proses pembahasan
suatu perpu tersebut harus dilakukan secara terbuka selayaknya pembahasan
rancangan undang-undang dengan tetap mengakomodasi partisipasi publik.
Pembahasan secara terbuka dan masuk dalam ranah substansi perpu,
memang bukan berarti akan menghilangkan unsur politis DPR dalam hal
menyetujui perpu seperti yang telah diuraikan di atas. Akan tetapi pembahasan
yang demikian setidaknya akan mengurangi kadar subyektifitas DPR yang
mengandung unsur politis, dan diharapkan akan lebih mengedepankan objektifitas
dalam menyetujui perpu. Hal ini karena dalam kerangka demokrasi, publik dapat
melakukan kontrol dan menilai terhadap proses legislasi selayaknya dalam
pembentukan undang-undang. Berbeda dengan peran DPR yang serta merta
langsung memberikan persetujuan atau penolakan, yang mungkin saja juga
mendasarkan pada kriteria kegentingan memaksa, namun penentuannya tidak
terbuka dan tidak dapat diawasi dan dinilai oleh publik. Bagaimanapun, dalam
negara demokrasi, penilaian publik terhadap lembaga negara terutama dalam hal
ini adalah parlemen, memainkan peran yang sangat vital. Wacana yang diusulkan
oleh politisi di DPR atau bahkan institusi atau cabang kekuasaan lainnya tidak
akan berkembang sedemikian luas jika tidak berhasil memperoleh dukungan
publik. Hal ini karena dalam sistem demokrasi yang relatif baik, politisi akan
sangat membutuhkan dukungan dari publik untuk tetap bisa eksis dalam poros
kekuasaannya. Relevan apabila dianalogikan dengan kalimat George Vanberg,
411
“the fear of such public backlash can be forceful inducement to implement judicial
decision faithfully”.821
Selain aspek pembahasan, hal yang juga perlu diatur secara rigid mengenai
proses objektifikasi di DPR adalah berkaitan dengan prosedur. Hal ini untuk
memberikan kepastian hukum mengenai respon DPR terhadap perpu sehingga
terdapat kejelasan tentang keberlakuannya. Bahwa pembahasan hingga
persetujuan perpu dilakukan oleh DPR dalam satu kali sidang, yaitu pada masa
sidang berikut, dengan keputusan yang tegas apakah perpu akan disahkan menjadi
undang-undang atau ditolak. Hal ini untuk menghindari kerancuan seperti yang
pernah terjadi pada Perpu Nomor 4 Tahun 2009 karena tidak jelas apakah diterima
atau ditolak, serta menghindari ketidakpastian hukum bahwa perpu yang sudah
ditolak tetap diberlakukan.
Ketiga, pembatasan masa berlaku perpu. Hal ini berkaitan dengan sifat
kesementaraan perpu yang secara ideal diperuntukkan pada negara dalam keadaan
darurat, serta karena substansi perpu yang berpotensi mengandung penyimpangan
tertentu. Bagaimanapun, semakin lama suatu rezim darurat berlangsung, maka
akan semakin kurang efektif tindakan kedaruratan tersebut.822
Padahal, pada saat
yang bersamaan, rezim darurat atau keadaan pengecualian, menurut Giorgio
Agamben, mempunyai ciri esensial selain adanya penyimpangan terhadap prinsip
hukum dan pemisahan kekuasaan adalah kecenderungannya untuk menjadi
821
George Vanberg, The Politics of Constitutional Review in Germany, Cambidge
University Press, New York, 2005, hlm. 20 822
Alexander N. Domrin, The Limits... Op., Cit., hlm. x
412
praktik pemerintahan yang berkelanjutan.823
Mirip dengan pendapat Bruce
Ackerman,824
“unless careful precautions are taken, emergency measures have a
habit of continuing well beyond their time of necessity”. (kecuali tindakan
pencegahan hati-hati diambil, tindakan darurat mempunyai kebiasaan untuk
melanjutkan jauh melampaui waktu kebutuhannya). Tanpa adanya pembatasan
waktu, maka keadaan darurat yang mengecualikan hukum, akan dipersepsikan
bahwa keadaan darurat terjadi secara terus menerus, padahal sangat mungkin
esensi kedaruratannya telah hilang, namun payung hukum kedaruratannya masih
terus diberlakukan. Akibatnya, penangguhan hukum dan hak asasi manusia akan
dianggap sebagai sebuah kewajaran. Ini yang disebut oleh Giorgio Agamben
sebagai normalisasi keadaan darurat, yaitu penyusupan logika keadaan darurat
dalam negara demokrasi.825
Relevan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 1-2/PUU-XII/2013 yang menguji Perpu Nomor 1 Tahun 2013 dengan
substansi yang menegasikan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya,
disebutkan oleh Mahkamah Konstitusi hal itu merupakan bentuk penyelundupan
hukum. Karena itu, adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal memberikan
kekuasaan yang sedemikian besar dalam waktu yang cukup lama, sehingga yang
menjadi problem atas keadaan darurat pada akhirnya tidak hanya lemahnya negara
dalam waktu yang terbatas, namun juga karena terlalu kuatnya negara dalam
waktu yang lama. Our constitutional problem is not that the government will be
823
Giorgio Agamben, State... Op., Cit., hlm. 7 824
Bruce Ackerman, The Emergency... Op., Cit., hlm. 1030 825
Giorgio Agamben, State of Exception, dalam Victor Imanuel W. Nalle, Kritik... Op.,
Cit., hlm. 84
413
too weak in the short run, but that it will be too strong in the long run, demikian
yang disebutkan oleh Bruce Ackerman.826
Di beberapa negara, pemberlakuan keadaan darurat selalu dibatasi dengan
waktu tertentu. Di India, menurut konstitusi Pasal 352, keadaan darurat berakhir
dalam waktu 2 (dua) bulan, kecuali apabila sebelum habis masanya, keadaan
darurat itu mendapatkan persetujuan kedua kamar parlemen sebagaimana
mestinya. Australia menentukan, masa berlaku peraturan yang dibuat dalam
keadaan darurat akan berakhir dengan sendirinya apabila dalam waktu tujuh hari
parlemen tidak atau belum memberikan persetujuan.827
Sedangkan di Perancis,
keadaan darurat dinyatakan melalui dekrit yang ditetapkan oleh kabinet berlaku
terbatas hanya 12 hari, dan hanya parlemen yang berwenang memperpanjang
keadaan darurat lebih dari 12 hari.828
Di Polandia dengan persetujuan Council of
Ministers, Presiden dapat menyatakan keadaan darurat untuk jangka waktu yang
tidak lebih dari 90 (sembilan puluh) hari, yang dapat diperpanjang selama 60
(enam puluh) hari dengan persetujuan mayoritas parlemen.829
Ekuador berdasarkan ketentuan konstitusi Pasal 164 juga memberikan
kewenangan kepada presiden untuk menetapkan keadaan darurat, yang dengan
kewenangan tersebut presiden dapat membatasi hak-hak warga negara serta
menangguhkan suatu aturan hukum. Hanya saja penangguhan itu diberikan
826
Bruce Ackerman, The Emergency... Op., Cit., hlm. 1040 827
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 152 828
Pasal 36 Konstitusi Republik Kelima 1958 berbunyi “A state of emergency (martial
law) shall be declared in the Cabinet (Council of Minister) Only Parliament can authorise a
prolongation beyond a period of twelve days”. Lihat dalam Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti,
Peraturan... Op., Cit., hlm. 227 829
Bruce Ackerman, The Emergency... Op., Cit., hlm. 1054
414
batasan waktu yaitu maksimum 60 hari dan dapat diperpanjang hingga 30 hari.830
Di Inggris, batasan keberlakuan keadaan darurat juga ditentukan dengan jelas.
Pada kasus Pandemi Covid-19 misalnya, dengan menetapkan Coronavirus Act
2020 yang disahkan pada tanggal 25 Maret 2020, ditetapkan berakhir pada tanggal
25 Maret 2022, dengan peninjauan oleh parlemen (legislative review) setiap enam
bulan.831
Lebih jauh apabila merujuk pada aspek historis, Pemerintahan Romawi
Kuno telah menggunakan pembatasan waktu untuk menunjuk seorang “diktator”
dalam mengatasi keadaan darurat itu sampai 6 bulan.832
Seorang diktator tersebut
menangguhkan proses hukum hingga mengerahkan pasukan militer untuk
menyelamatkan negara dari ancaman invasi dan pemberontakan.833
Pada konteks Indonesia, masa keberlakuan perpu sebenarnya telah
dibatasi, namun tidak disebutkan secara eksplisit interval waktunya. Pasal 22 ayat
(2) menentukan perpu harus mendapatkan persetujuan DPR pada sidang
berikutnya. Menurut Bagir Manan, klausul tersebut selain untuk mengubah status
hukum perpu apakah ditolak atau disetujui sehingga menjadi undang-undang, juga
merupakan batasan waktu pemberlakuan perpu yang paling lama adalah sampai
masa persidangan DPR berikutnya.834
Jimly Asshiddiqie menafsirkan,835
perpu
adalah satu-satunya peraturan yang dikeluarkan presiden yang sifatnya mandiri
dalam artian tidak untuk melaksanakan perintah undang-undang yang dapat
berlaku selama-lamanya 1 (satu) tahun. Untuk selanjutnya, perpu tersebut harus
830
Victor Imanuel W. Nalle, Kritik... Op., Cit., hlm. 74 831
Ibid... hlm. 77 832
Ferejohn dan Pasquale Pasquino, The Law... Op., Cit., hlm. 212 833
Ibid. 834
Bagir Manan, DPR... Op., Cit., hlm. 44 835
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi... Op., Cit., hlm. 283
415
diajukan untuk mendapat persetujuan DPR. Artinya dalam 1 tahun itu sudah harus
mendapatkan persetujuan dari DPR. Namun praktik yang terjadi, masih terdapat
perpu yang dibahas melampaui masa sidang pertama setelah perpu ditetapkan,
padahal perpu dimaksud mempunyai akibat hukum yang sangat mungkin
melanggar hak-hak warga negara dan bertentangan dengan UUD NRI 1945
karena dalih kedaruratannya.
Menurut pendapat penulis, ketentuan mengenai batas waktu keberlakuan
perpu ini harus dinyatakan secara expressis verbis dalam peraturan perundang-
undangan. Batasan tersebut tidak secara rigid berdasarkan jangka waktu tertentu.
Namun berdasarkan pada proses pengajuan dan persetujuan DPR. Bahwa perpu
harus dianggap telah tidak berlaku demi hukum apabila pembahasan dan
persetujuan DPR telah melampaui sidang berikut. Hal ini dapat dianalogikan
dengan proses pengesahan suatu undang-undang, yang apabila tidak
ditandatangani oleh presiden dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak disetujui,
maka undang-undang tersebut secara otomatis menjadi undang-undang dan wajib
di undangkan. Secara a contrario, perpu yang tidak dibahas untuk mendapat
persetujuan oleh DPR pada sidang pertama, secara otomatis dianggap tidak
berlaku lagi.
Perpu yang tidak dibahas oleh DPR pada sidang pertama secara tidak
langsung menunjukkan bahwa perpu tersebut tidak memenuhi kualifikasi
kegentingan yang memaksa. DPR dapat berfungsi dengan baik untuk menjalankan
proses legislasi, namun proses tersebut adalah undang-undang selain perpu,
menunjukkan tidak adanya persoalan yang mengancam negara. Meskipun dalam
416
hal ini, tidak dibahasnya perpu oleh DPR pada sidang berikut juga dapat
disebabkan oleh tidak diajukannya perpu oleh presiden kepada DPR. Namun
setidaknya, hal itu sudah memberikan gambaran bahwa urgensi perpu telah
direduksi dengan pengabaian oleh DPR pada sidang berikut. Padahal secara
bersamaan, perpu mempunyai karakteristik kesementaraan.
Konteks di atas kiranya dapat diperbandingkan dengan tradisi di Amerika
Serikat.
Martial law can never be applied to citizens in states which have upheld
the authority of the government, and where the courts are open and their
process unobstructed... No usage of war could sanction a military trial in
such a state for any offence whatever of a citizen in civil life.836
Kalimat di atas disebutkan oleh pengadilan sebagai respon atas kasus
penangkapan Lambdin Milligan pada tahun 1864 di Indiana, sedangkan wilayah
tersebut ditetapkan berada di bawah darurat militer. Milligan ditangkap atas dasar
kekuasaan darurat sehingga tidak sesuai dengan prosedur biasanya. Milligan
kemudian diadili oleh military commission (pengadilan yang dibentuk untuk
mengadil orang-orang tertentu dalam perkara tertentu) padahal pada saat yang
bersamaan pengadilan sipil masih tetap berfungsi. Mahkamah Agung kemudian
memutuskan bahwa military commission tidak mempunyai kompetensi untuk
mengadili Milligan karena pengadilan sipil tetap berfungsi, dan karenanya
Mahkamah Agung menentukan karena pengadilan itu tetap berfungsi
sebagaimana mestinya, maka keadaan darurat tidak bisa diberlakukan.837
Pengadilan militer dapat dibentuk atau difungsikan ketika pengadilan sipil tidak
836
William Feldman, Theories... Op., Cit., hlm. 1033 837
Ibid.
417
sama sekali dapat berfungsi untuk menangani perkara, yang ketidakberfungsian
itu berkaitan dengan sifat kedaruratan itu sendiri.838
Perkara Milligan yang kemudian memunculkan kriteria kedaruratan itu
memang berkaitan dengan institusi peradilan. Selain karena kasus yang muncul
adalah berkaitan dengan proses penangkapan hingga penanganan oleh pengadilan
khusus, perkembangan hukum darurat negara di Amerika Serikat itu memang
banyak dikembangkan oleh lembaga peradilan. Hal yang kemudian relevan untuk
diperbandingkan antara kasus Milligan dengan usulan penulis dalam hal ini adalah
esensi dari kriteria kedaruratan yang dapat dilihat dari aspek keberfungsian suatu
lembaga. Bahwa keadaan daruat tidak bisa ditetapkan apabila suatu lembaga
masih berfungsi sebagaimana mestinya. Apabila pada konteks Amerika Serikat
tersebut terlihat bahwa lembaga peradilan masih berfungsi sehingga status
kedaruratan tidak bisa diberlakukan, maka pada konteks Indonesia yang
berhubungan dengan gagasan penulis pada bagian ini, dapatlah disebutkan bahwa
hal ikhwal kegentingan yang memaksa tidak benar-benar terjadi apabila ternyata
DPR dapat melaksanakan fungsinya dengan baik padahal suatu perpu ditetapkan
dan sedang berlaku sebagai hukum positif. Dikorelasikan dengan aspek
sebelumnya, ketiadaan kegentingan yang memaksa, maka legalitas suatu perpu
menjadi hilang sehingga keberlakuannya harus diakhiri.
Memang cukup rumit bagaimana perpu akan diangap tidak berlaku.
Mengingat dalam hukum perundang-undangan, suatu peraturan hanya bisa dicabut
dengan peraturan yang sederajat. Perpu dengan demikian hanya dapat dicabut
838
Ibid... hlm. 1037
418
dengan perpu atau undang-undang yang kedudukannya sederajat dengan perpu.
Namun ketika pemerintah tidak mengajukan rancangan undang-undang
pencabutan perpu karena memang tidak dibahas oleh DPR, terdapat beberapa
pilihan sebagaimana dikutip dari pendapat Bagir Manan, yaitu839
pada saat DPR
menolak mengesahkan, perpu dianggap secara hukum tidak berlaku lagi; DPR
segera mengajukan rancangan undang-undang pencabutan tanpa menunggu
inisiatif dari pemerintah; atau apabila pemerintah dalam jangka waktu tertentu
tidak mengajukan rancangan undang-undang pencabutan, maka perpu tidak
berlaku lagi. Apabila pemerintah telah mengajukan kepada DPR, namun DPR
tidak membahas pada sidang berikut, maka perpu dianggap tidak berlaku lagi
demi hukum. Bagir Manan mengatakan, wewenang presiden menetapkan suatu
perpu merupakan wewenang conditional, yang artinya harus ada hal ikhwal
kegentingan yang memaksa terlebih dahulu untuk dapat melaksanakan wewenang
tersebut. Tanpa ada hal ikhwal kegentingan yang memaksa, penetapan perpu
adalah batal demi hukum karena tidak berwenang dan bertentangan dengan UUD
NRI 1945.840
Uraian di atas berkaitan dengan batas keberlakuan perpu yang melampaui
masa sidang pertama DPR karena suatu perpu tidak dibahas sehingga diasumsikan
telah kehilangan esensi kedaruratannya. Selanjutnya apakah suatu perpu yang
kemudian telah disetujui oleh DPR dan ditetapkan menjadi undang-undang,
kemudian serta merta bahwa perpu tersebut berlaku layaknya suatu undang-
undang yang lain? Praktik yang selama ini terjadi, memang menunjukkan bahwa
839
Bagir Manan, DPR... Op., Cit., hlm. 46 840
Ibid., hlm. 43
419
perpu yang telah ditetapkan menjadi undang-undang akan diperlakukan
selayaknya undang-undang lain. Menurut pendapat penulis, hal ini perlu didesain
ulang. Menjadikan perpu yang hakikatnya adalah sebuah instrumen hukum
darurat, sebagai hukum yang berlaku normal menunjukkan bahwa perpu tersebut
telah membawa pada keadaan kenormalan baru dengan cara menyusupkan logika
darurat seperti yang disebut Agamben di atas. Karena itu, meskipun telah
ditetapkan menjadi undang-undang dan mendapat persetujuan dari DPR, suatu
keberlakuan perpu tetap harus dilakukan pembatasan masa keberlakuannya. Masa
keberlakuan ini harus dikaitkan dengan kondisi objektif kedaruratan itu sendiri.
Bahwa ketika keadaan darurat yang melatarbelakangi pembentukan perpu itu telah
berakhir, maka perpu tersebut juga harus diakhiri masa keberlakuannya.
Dengan demikian, fungsi objektifikasi DPR terhadap perpu (dalam hal ini
diasumsikan bahwa objektifikasi DPR berupa persetujuan) tidak boleh dipahami
bahwa keadaan darurat telah berakhir akan tetapi perpu yang dibentuk tetap
diberlakukan karena telah menjadi undang-undang. Namun justru harus dipahami
bahwa persetujuan DPR tersebut adalah bentuk legitimasi dan legalitas bagi
presiden bahwa memang benar telah terjadi keadaan darurat yang membolehkan
presiden untuk menggunakan instrumen perpu dalam rangka mengatasi keadaan
darurat itu. Dengan demikian, persetujuan DPR itu berisi setidaknya 3 (tiga) hal,
yaitu bahwa benar telah terjadi keadaan darurat; bahwa benar presiden telah
mempunyai wewenang untuk menggunakan perpu dengan segala konsekuensi
yuridis namun tetap dalam koridor konstitusi; serta batasan keberlakuan perpu
yang disetujui bersama oleh DPR dan Presiden dengan mendasarkan pada
420
perhitungan objektif atas berakhirnya keadaan darurat. Dalam hal ternyata kondisi
kedaruratan itu tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya, maka batasan waktu
keberlakuan suatu undang-undang yang berasal dari perpu itu tetap harus
ditetapkan, sehingga apabila telah sampai pada batasan tersebut, namun ternyata
keadaan darurat belum berakhir, maka harus ada persetujuan kembali antara
presiden dan DPR untuk memperpanjang keberlakuan undang-undang yang
berasal dari perpu tersebut.
Uraian di atas, dengan demikian semakin menahbiskan dua usulan penulis
sebelumnya. Bahwa perpu dibentuk benar-benar untuk mengatasi keadaan darurat
sehingga penggunaannya berorientasi pada tujuan dengan menunjukkan adanya
hubungan kausalitas antara keadaan darurat dengan penetapan perpu, serta
memberikan ruang bagi DPR untuk turut mengawasi atas penggunaan perpu yang
merupakan instrumen hukum darurat. DPR dengan demikian juga diberikan ruang
agar turut bertanggung jawab berdasarkan kondisi objektif atas keadaan darurat
negara.
Keempat, redesain pengawasan oleh lembaga yudisial mengenai
konstitusionalitas materi muatan perpu. Melibatkan lembaga negara dari cabang
kekuasaan yudikatif adalah penting mengingat kebenaran hukum tidak dapat
dimonopoli atas nama otoritas para pembuatnya, seperti pada aliran positivisme,
melainan kepada asalnya yang otentik.841
Isi suatu peraturan juga tidak selalu
terang benderang dan cara pelaksanaannya oleh pemerintah tidak selalu
841
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,
Cetakan Pertama, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 14
421
memuaskan masyarakat.842
arena itu, sampai saat ini pengujian konstitusional
dianggap sebagai strategi mutakhir untuk melindungi dan mencegah terjadinya
kontraksi nilai-nilai konstitusi dari anasir-anasir politis,843
termasuk dalam hal ini
adalah perpu yang menjadi ranah wewenang subyektif presiden.
Lembaga yudikatif yang dapat berperan dalam hal ini adalah Mahkamah
Konstitusi. Hal ini karena Mahkamah Konstitusi yang berperan secara
konstitusional sebagai the guardian of constitution, sehingga harus terus berdiri
setegak-tegaknya dalam mengawal hukum dasar sebagai hukum tertinggi agar
tidak diselewengkan hanya karena negara berada dalam keadaan darurat yang
bersifat sementara.844
Bagaimanapun, “staatsnoodrecht” menurut Kranenburg
sebagaimana dikutip oleh Herman Sihombing,845
merupakan senjata yang sangat
berbahaya terhadap konstitusi, karena posisinyanya yang istimewa sehingga
berpeluang menegasikan konstitusi. Bahkan apabila dilihat dari kacamata politik
hukum sebagaimana dikonstruksikan oleh Mahfud MD,846
tidak terbantahkan lagi
bahwa perpu merupakan produk hukum yang cenderung ortodoks, dengan cirinya
yaitu pembuatan yang sentralistik-dominatif (dibentuk secara sepihak oleh
presiden dengan dasar hal ikhwal kegentingan yang memaksa dengan penafsiran
yang sangat subyektif), muatannya positifis-instrumentalistik (digunakan untuk
memberikan payung hukum bagi presiden untuk bertindak di bawah kekuasaan
darurat), dan rinciannya yang open interpretative, sehingga karenanya sangat
842
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas... Op., Cit., hlm. 89 843
Ahmad Syahrizal, Peradilan... Op., Cit., hlm. 4 844
Jimly Asshiddiqie, Hukum... Op., Cit., hlm. 265 845
Herman Sihombing, Hukum... Op., Cit., hlm. 87 846
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum.... Op., Cit., hlm. 7
422
terbuka peluang untuk berlawanan dengan amanat yang ditentukan oleh
konstitusi.
Peran Mahkamah Konstitusi yang menjadi gagasan pada penelitian ini
dengan melakukan peninjauan terhadap rencana penetapan perpu. Peninjauan
tersebut secara otomatis dilakukan tanpa adanya permohonan terlebih dahulu dari
warga negara. Mekanisme yang dapat dilakukan yaitu bahwa sebelum
menetapkan perpu, presiden terlebih dahulu mengajukan permohonan penilaian
kepada Mahkamah Konstitusi mengenai kualifikasi keadaan kegentingan yang
memaksa. Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan penilaian apakah
keadaan yang dimaksud telah memenuhi kriteria sebagaimana disyaratkan oleh
konstitusi, sehingga dengan demikian presiden telah berwenang untuk
menetapkan perpu. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini tidak meninjau materi
muatan perpu agar tidak terjadi kerancuan apabila ketika diberlakukan, ternyata
ada permohonan pengujian materiil terhadap perpu dimaksud. Dalam konteks ini,
Mahkamah Konstitusi berperan untuk memastikan bahwa kegentingan yang
memaksa memang benar-benar terjadi.
Dalam hal ternyata Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kegentingan
yang memaksa telah terpenuhi, maka presiden dapat menetapkan perpu yang
diperuntukkan secara spesifik untuk mengatasi kegentingan yang memaksa
dimaksud. Ketika perpu itu diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan,
maka DPR tidak perlu terikat dengan penilaian Mahkamah Konstitusi, karena
untuk menentukan apakah kegentingan itu akan diatasi dengan perpu, adalah
pilihan politik antara presiden dan DPR. Mekanisme ini menutup kemungkinan
423
adanya permohonan uji materil terhadap perpu yang berkaitan dengan syarat
kegentingan yang memaksa. Pengujian yang akan muncul dengan demikian hanya
mempersoalkan aspek materiil yaitu ikhwal kerugian konstitusional dan
pertentangan dengan UUD NRI 1945.
Alternatif yang kedua yaitu Mahkamah Konstitusi melakukan judicial
preview atas suatu perpu yang ditetapkan oleh presiden. Preview yang dilakukan
oleh Mahkamah Konstitusi ini adalah berkaitan dengan kualifikasi kegentingan
yang memaksa, karena hal ini berkaitan dengan keabsahan perpu yang dibentuk
berdasarkan wewenang presiden; serta kesesuaian dengan UUD NRI 1945, yang
ini berkaitan dengan konstitusionalitas.
Dalam hal ternyata menurut Mahkamah Konstitusi perpu itu bertentangan
dengan UUD NRI 1945, maka perpu tersebut harus dinyatakan inkonstitusional
dan karenanya tidak berlaku lagi. Namun apabila perpu itu dinyatakan
konstitusional, maka perpu dinyatakan tetap berlaku sampai dengan mendapatkan
persetujuan dari DPR dalam sidang yang berikut. DPR dalam hal ini tentu juga
tidak terikat dengan putusan Mahkamah Konstitusi, karena untuk menyetujui
ataupun menolak perpu, tidak lagi mempersoalkan tentang konstitusionalitas, akan
tetapi persoalan pilihan politik hukum yang hendak dipilih dalam rangka
mengatasi keadaan darurat.
Pada praktiknya, Mahkamah Konstitusi ternyata pernah menilai apakah
suatu perpu telah memenuhi keadaan hal ikhwal kegentingan yang memaksa
sehingga presiden memang tepat dan berwenang untuk menetapkan perpu sesuai
424
dengan amanat Pasal 22 UUD NRI 1945. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang meskipun objek
pengujiannya adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang berasal dari
Perpu Nomor 1 Tahun 2020, Mahkamah Konstitusi juga menilai apakah perpu
tersebut telah memenuhi kualifikasi hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Bahkan lebih jauh daripada itu, Mahkamah Konstitusi justru menilai apakah hal
ikhwal kegentingan yang memaksa, atau keadaan darurat di Indonesia memang
benar-benar terjadi dan memang membutuhkan tindakan darurat.
Perdebatan yang mungkin muncul yaitu tentang kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk melakukan review atas perpu atau undang-undang tentang
penetapan perpu. Hal ini karena memang model peninjauan atas suatu peraturan
perundang-undangan memang terbagi atas 2 (dua) jenis yang selama ini tidak bisa
dikombinasikan, yaitu judicial preview dan judicial review. Mengadopsi keduanya
sekaligus memang akan menimbulkan kerancuan, karena Mahkamah Konstitusi
pada proses judicial review, sangat mungkin menegasikan putusan yang dilakukan
ketika dalam proses judicial preview.
Menurut pendapat penulis, judicial review ini masih memungkinkan untuk
dilakukan. Namun permohonannya hanya berkaitan dengan kerugian
konstitusional pemohon. Artinya, syarat untuk mempunyai legal standing, maka
pemohon harus membuktikan bahwa telah terjadi kerugian konstitusional yang
nyata atas keberlakuan suatu perpu. Berbeda dengan permohonan pada umumnya,
yang mensyaratkan 2 (dua) parameter sekaligus, yaitu pemohon harus
menunjukkan adanya kerugian konstitusional, sekaligus harus menunjukkan
425
pertentangan suatu undang-undang dengan UUD NRI 1945. Syarat untuk
menunjukkan pertentangan perpu dengan UUD NRI 1945 dalam hal ini tidak lagi
diharuskan karena Mahkamah Konstitusi telah melakukan preview atas kesesuaian
perpu dengan UUD NRI 1945 ketika baru ditetapkan oleh presiden.
426
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Merujuk pada beberapa uraian di atas, maka penelitian ini menghasilkan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Perpu yang diidealkan sebagai instrumen hukum untuk mengatasi
hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai karakter kedaruratan
negara, dengan memberikan ruang subyektifitas yang luas bagi
presiden untuk memaknainya, berimplikasi pada pemaknaan yang
baragam bergantung pada persepsi masing-masing presiden. Dilihat
dari aspek bidang pengaturannya, pemaknaan kegentingan yang
memaksa pasca reformasi memang tidak lepas dari bidang ekonomi,
politik, dan hukum. Apabila dilihat dari aspek materi muatannya,
terdapat pergeseran pemaknaan dari kegentingan yang memaksa,
menjadi hal ikhwal yang mendesak untuk diatur dengan titik tekan
pada aspek kemendesakan waktu. Sedangkan apabila dilihat dari
aspek latar belakang yang mempengaruhi pemaknaan kegentingan
yang memaksa, maka cenderung mempunyai dimensi politik yang
kuat dibandingkan dengan esensi peristiwa yang terjadi atau akibat
yang ditimbulkan. Karakter aspek politik yang mendorong penetapan
perpu adalah untuk melancarkan agenda politik pemerintah, serta
upaya melindungi kewibawaan politik pemerintah atas suatu
427
peristiwa yang mendapatkan sorotan luas. Konsekuensi dari seluruh
hal itu menunjukkan bahwa perpu tidak pernah diletakkan dalam
kerangka hukum tata negara darurat.
2. Perpu yang dibutuhkan untuk mengantisipasi berbagai macam
ancaman yang tidak terduga dalam perjalanan negara Indonesia ke
depan, harus benar-benar diletakkan dalam kerangka hukum tata
negara darurat dalam bingkai negara hukum dan demokrasi. Original
intent dimuatnya landasan penetapan perpu di dalam UUD 1945,
ragam problematika penetapan dan materi muatan, serta implikasi
putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan tafsir
konstitusional atas hakikat perpu, merupakan pijakan dasar politik
hukum pengendalian penetapan perpu oleh presiden ke depan, yaitu
pembatasan subyektifitas presiden dalam menafsirkan hal ikhwal
kegentingan yang memaksa dengan menormatifkan rambu-rambu
kriteria kegentingan memaksa dan larangan yang tidak boleh
dilakukan oleh presiden dalam penetapan perpu; redesain
objektifikasi perpu di parlemen dengan peninjauan terhadap materi
muatan perpu yang bertumpu pada legalitas, konstitusionalitas,
implementasi, legitimasi, dan menormatifkan secara baku prosedur
persetujuan dan penolakan terhadap perpu; pembatasan keberlakuan
perpu dengan tolok ukur masa persidangan DPR dan keadaan
kedaruratan negara; serta redesain pengawasan lembaga yudisial
dengan melibatkan Mahkamah Konstitusi.
428
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran atau rekomendasi yang dapat
dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Amendemen Konstitusi untuk memperluas kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam keterlibatannya terhadap pengawasan yudisial atas
penetapan perpu dan mempertegas pembatasan terhadap masa
keberlakuan perpu, serta menormatifkan batasan-batasan
subyektifitas presiden dan proses obyektifikasi yang dimuat secara
expressis verbis di dalam suatu undang-undang yang mengatur
mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, adalah hal
yang mutlak diperlukan dan tidak terelakkan lagi.
2. Pada aspek implementasi, MPR agar melakukan amendemen
konstitusi dengan menambah kewenangan Mahkamah Konstitusi
untuk dapat melakukan kontrol yudisial melalui pranata judicial
preview atas penetapan suatu perpu, serta mempertegas batasan
waktu keberlakuan perpu di dalam konstitusi.
3. DPR sebagai pemegang kekuasaan legislasi agar melakukan
perubahan atas Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dengan memasukkan materi muatan tentang
batasan-batasan subyektifitas presiden dalam menetapkan perpu,
serta pengaturan tentang proses objektifikasi perpu oleh DPR yang
bertumpu pada aspek legalitas, konstitusionalitas, implementasi, dan
legitimasi, yang seluruhnya diatur secara rinci di dalam Undang-
429
Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
sehingga terdapat batasan yang berbasiskan kepastian hukum.
4. Presiden sebagai pemegang kuasa penetapan perpu hendaknya
mengikatkan diri terhadap peraturan perundang-undangan dan
putusan pengadilan untuk tidak menggunakan perpu sebagai pilihan
utama dalam merespon persoalan negara, namun menjadikannya
sebagai alternatif paling akhir ketika upaya lain tidak dapat
digunakan untuk mengatasi permasalahan yang bersifat ekstrem
berupa hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
430
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A. Ahsin Thohari, Hak Konstitusional Dalam Hukum Tata Negara Indonesia,
Penerbit Erlangga, Jakarta, 2016.
A. Ubaedillah, Pancasila, Demokrasi, & Pencegahan Korupsi, Edisi Pertama,
Cetakan Kedua, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015.
A.V. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Tenth
Edition, English Language Book Society and MacMillan, London, 1959.
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Cetakan Pertama,
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988.
Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta,
2014.
Abdul Manan, Perbandingan Politik Hukum Islam dan Barat, Cetakan Kedua,
Prenadamedia, Jakarta, 2018.
Abdul Mukhtie Fadjar, Sejarah, Elemen, dan Tipe Negara Hukum, Setara Press,
Malang, 2016.
Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, Terjemahan Oleh Zainudin Adnan,
Cetakan Pertama, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994.
Abintoro Prakoso, Politik Hukum Indonesia, Cetakan Kedua, Laksbang Grafika,
Yogyakarta, 2019.
Abu Bakar Ebyhara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Pertama, Ar-Ruzz Media,
Yogyakarta, 2010.
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Cetakan Kedelapan, Bumi Aksara, Jakarta, 2011.
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), Cetakan Keenam, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015.
Achmad Edi Subiyanto, Yurisprudensi Hukum Acara Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi, Setara Press, Malang, 2014.
Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik & Hukum Islam: Reposisi Peradilan
Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang
431
Sesungguhnya, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar atas kerjasama dengan
Pascasarjana IAIN Walisongo, Yogyakarta, 2006.
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:
Studi Sosio Legal Atas Konstituante 1956-1959, terjemahan oleh Sylvia
Tiwon, Cetakan Pertama, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995.
Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Cetakan Kelima,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi
Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif,
Cetakan Pertama, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006.
Alexander Hamilton, James Madison, and John Jay, The Federalist Papers,
Oxford University Press, New York, 2008.
Alexander N. Domrin, The Limits of Russian Democratisation: Emergency
Powers and States of Emergency, First Published, Routledge, London
and New York, 2006.
Aloysius Soni BL de Rosari (Editor), Centurygate: Mengurai Konspirasi
Penguasa-Pengusaha, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010.
Anthony Giddens, The Third Way: The Renewal of Social Democracy, terjemahan
oleh Ketut Arya Mahardika, Cetakan Ketiga, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2000.
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme: Kebijakan Formulatif Hukum Pidana
Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha
Ilmu, Yogyakarta, 2012.
Azhary, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-
Unsurnya, Cetakan Pertama, UI-Press, Jakarta, 1995.
Bagir Manan dan Kuntana Bagnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, Alumni, Bandung, 1997.
Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Cetakan Pertama,
FH UII Press, Yogyakarta, 2003.
C.F.G Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, 1991.
432
Clinton Rossiter, Constitutional Dictatorship: Crisis Government in the Modern
Democracies, Princeton University Press, Princeton, 1948.
Cosmin Cercel, dkk. (Editor), States of Exception: Law, History, Theory,
Routledge, New York, 2021.
Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum dan Kekuasaan, Cetakan Pertama,
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998.
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni‟matul Huda, Teori Hukum dan Konstitusi,
Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999.
Daniel S.Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan,
Cetakan Pertama, LP3ES, Jakarta, 1990.
David A. Strauss, The Living Constitution, Oxford University Press, London,
2010.
David Held, Demokrasi & Tatanan Global: Dari Negara Modern hingga
Pemerintahan Kosmopolitan, terjemahan oleh Damanhuri, Cetakan
Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Deddy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara Dalam Multi
Perspektif: Kekuasaan, Masyarakat, Hukum, dan Agama, Cetakan
Kedua, Pustaka Setia, Bandung, 2007.
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran,
Cetakan Kedua, Mizan, Bandung, 2007.
Djokosutono, Kuliah Ilmu Negara, Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1985.
Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat: AnalisisTerhadap Sistem
Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara
Lain, Cetakan Pertama, Nusamedia, Bandung, 2007.
Edward Aspinall dan Ward Barenschot, Democracy For Sale: Pemilu,
Klientelisme, dan Negara di Indonesia, terjemahan oleh Edisius Riyadi,
Cetakan Pertama, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2019.
Eva Achjani Zulfa, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang Perubahan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pusat Perencanaan Pembangunan
433
Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian
Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 2012.
Fajlurrahman Jurdi, Teori Negara Hukum, Setara Press, Malang, 2016.
Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man: Kemenangan
Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, terjemahan oleh M.H. Amrullah,
Cetakan Keempat, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2016.
Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Cetakan Kesembilan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2018.
Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam
Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, terjemahan oleh I. Made Krisna,
Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
George Vanberg, The Politics of Constitutional Review in Germany, Cambidge
University Press, New York, 2005.
Giorgio Agamben, State of Exception, The University of Chicago Press, Chicago
and London, 2005.
Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Cetakan Pertama,
Pondok Edukasi, Yogyakarta, 2004.
H.M. Thalhah, Demokrasi dan Negara Hukum, Cetakan Pertama, Kreasi Total
Media, Yogyakarta, 2008.
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan oleh Raisul
Muttaqien, Cetakan Kesepuluh, Nusa Media, Bandung, 2015.
Harjono, Transformasi Demokrasi, Cetakan Pertama, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2009.
Hartono Mardjono, Negara Hukum yang Demokratis Sebagai Landasan
Membangun Indonesia Baru, Cetakan Pertama, Yayasan Koridor
Pengabdian, Jakarta, 2001.
Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, Djambatan,
Jakarta, 1996.
434
Hufron dan Shofyan Hadi, Ilmu Negara Kontemporer: Telaah Teoritis Asal Mula,
Tujuan dan Fungsi Negara, Negara Hukum dan Negara Demokrasi,
Cetakan Pertama, LaksBang Grafika, Yogyakarta, 2016.
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint):
Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga
Negara, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
In‟amul Mushoffa, dkk. Konsep Memperdalam Demokrasi: Dari Prosedural ke
Substantif Menuju Representasi Politik yang Berkualitas, Intrans
Publishing, Malang, 2016.
Jean Jecques Rousseau, Kontrak Sosial, terjemahan oleh Sumardjo, Erlangga,
Jakarta, 1986.
Jeffrey A. Winters, Oligarki, terjemahan oleh Zia Anshor, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2011.
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
dalam UUD NRI 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005.
_____________, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan
Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2015.
_____________, Hukum Tata Negara Darurat, Cetakan Pertama, PT RajaGrafino
Persada, Jakarta, 2007.
_____________, Konstitusi Bernegara: Praksis Kenegaraan Bermartabat dan
Demokratis, Cetakan Kedua, Setara Press, Malang, 2016.
_____________, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Ketiga,
Sinar Grafika, Jakarta, 2014.
_____________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cetakan Kelima, Rajawali
Pers, Jakarta, 2013.
K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Terjemahan oleh Muhammad
Hardani, Cetakan Pertama, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003.
435
Kenneth Newton dan Jan W. Van Deth, Perbandingan Sistem Politik: Teori dan
Fakta, terjemahan oleh Imam Muttaqin, Cetakan Pertama, Nusa Media,
Bandung, 2016.
Lukman Hakim, “Kerangka Politik Hukum Indonesia” dalam Membangun
Negara Hukum yang Bermartabat, Cetakan Pertama, Setara Press,
Malang, 2013.
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan
Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2007.
Martin H. Hutabarat, dkk, Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analitis Dekrit
Presiden dan Otonomi Daerah, Cetakan Pertama, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1996.
Masdar Hilmy, Jalan Demokrasi Kita: Etika Politik, Rasionalitas, dan Kesalehan
Publik, Intrans Publishing, Malang, 2017.
Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi: Respons Intelektual Muslim Indonesia
Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Edisi Revisi, Cetakan Pertama,
Prenadamedia Group, Jakarta, 2015.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan Ketiga Puluh, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ketiga,
Gaya Media Pratama, Jakarta, 1995.
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan
Kedua, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
______________, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang
Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Cetakan Pertama,
Liberty, Yogyakarta, 1993.
______________, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan Pertama, Gama
Media, Yogyakarta, 1999.
______________, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Cetakan Ketiga,
Rajawali Pers, Jakarta, 2012.
______________, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010.
436
______________, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, Cetakan Pertama, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2007.
______________, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama,
Gama Media, Yogyakarta, 1999.
______________, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Keenam,
Rajawali Pers, Jakarta, 2014.
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Cetakan Ketujuh, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 1988.
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita: Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan
Kedaulatan Rakyat, Cetakan Keempat, Sega Arsy, Bandung, 2014.
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat Sistem Politik Islam: Suatu Telaah
Mendalam tentang Tata Hukum, Keadilan, Ketaatan, Syura, terjemahan
oleh Hery Noer Aly dan Agus Halimy, Cetakan Pertama, Bidang
Penerbitan PLP2M, Yogyakarta,1987.
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cetakan
Kedua, Prenadamedia Group, Jakarta, 2016.
Muhammad Junaidi, Ilmu Negara: Sebuah Konstruksi Ideal Negara Hukum,
Cetakan Kedua, Setara Press, Malang, 2016.
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-
Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada
Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Edisi Kedua, Cetakan Pertama,
Kencana, Bogor, 2003.
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Cetakan Kedua, PT.
Refika Aditama, Bandung, 2011.
Muntoha, Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Cetakan
Pertama, Kaukaba Dipantara, Yogyakarta, 2013.
Ni‟matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2011.
____________, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Keenam,
Rajawali Pers, Jakarta, 2012.
437
____________, Ilmu Negara, Edisi Pertama, Cetakan Keenam, Rajawali Pers,
Jakarta, 2014.
____________, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, Cetakan
Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2007.
____________, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, Cetakan
Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2005.
____________, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Kedua, FH UII Press,
Yogyakarta, 2004.
____________, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap Dinamika
Perubahan UUD 1945, Cetakan Kedua, FH UII Press, Yogyakarta, 2004.
Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Ketiga, Permata
Aksara, Jakarta, 2014.
Nurlaili Rahmawati dan Sigit Nurhadi Nugraha, Parameter Kegentingan yang
Memaksa Dalam Penerbitan Perpu: dalam Tinjauan Fiqh Siyasah,
Cetakan Pertama, Lindan Bestari, Bogor, 2021.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam
Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi
Negara, Cetakan Pertama, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987.
Qamaruddin Khan, Tentang Teori Politik Islam, terjemahan oleh Taufik Adnan
Amal, Cetakan Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1987.
R. Siti Zuhro, dkk., Demokrasi Lokal; Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai
Budaya Politik Lokal, Ombak, Yogyakarta, 2009.
Richard A. Posner, Not a Suicide Pact: The Constitution in a Time of National
Emergency, Oxford University Press, New York, 2006.
Richard M. Ketchum, What Is Democracy?, terjemahan oleh Mukhtasar, Cetakan
Pertama, Penerbit Niagara, Yogyakarta, 2004.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan Keempat Belas,
Rajawali Pers, Jakarta, 2018.
__________, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, Cetakan Pertama, FH UII
Press, Yogyakarta, 2014.
438
____________, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi,
Cetakan Pertama, FH UII Press, 2009.
Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratizatio In Indonesia,
Princeton University Press, United Kingdom, 2000.
S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,
Cetakan Keenam, Liberty, Yogyakarta, 2011.
Saafroedin Bahar, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Edisi Ketiga, Cetakan
Pertama, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1995.
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Rajawali
Pers, Depok, 2018.
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, terjemahan oleh Asril
Marjohan, Cetakan Pertama, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995.
______________, Tertib Politik Dalam Masyarakat yang Sedang Berubah,
Rajawali, Jakarta, 1983.
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Cetakan
Kedua, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
____________, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,
Cetakan Pertama, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.
____________, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Seymour Martin Lipset, Political Man: Basis Sosial tentang Politik, terjemahan
oleh Endi Haryono, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.
Sodikin, Hukum Pemilu: Pemilu Sebagai Praktik Ketatanegaraan, Gramata
Publishing, Bekasi, 2014.
Soehino, Ilmu Negara, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Liberty, Yogyakarta,
1996.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Cetakan Kesebelas, Rajawali Pers, Jakarta, 2012.
______________, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, UI Press,
Jakarta, 1986.
439
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Konsep, dan Metode, Setara Press, Malang,
2013.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, How Democracies Die, terjemahan oleh Zia
Anshor, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2019.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Cetakan Keenam,
Liberty, Yogyakarta, 2009.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Cetakan Ketiga,
Kanisius, Yogyakarta, 1986.
Thomas Meyer, Sosial-Demokrasi Dalam Teori dan Praktek (Pengalaman Kaum
Sosial-Demokrat Jerman), terjemahan oleh Imam Yudotomo, Center for
Social-Democratic Studies, Yogyakarta, 2003.
Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta,
2010.
Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Buku I: Latar Belakang, Proses, dan
Hasil Perubahan UUD 1945, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Sekretariat
Jenderal dan Kepanteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010.
_____________, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku III: Lembaga
Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid II, Edisi Revisi, Cetakan Kedua,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta,
2010.
Victor Situmorang, Intisari Ilmu Negara, Cetakan Pertama, Bina Aksara, Jakarta,
1987.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Cetakan Kedua,
Eresco Jakarta, Bandung, 1981.
Yopi Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara
Hukum Pancasila, Cetakan Pertama, PT. Refika Aditama, 2015.
Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Cetakan Pertama,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2014.
440
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual
Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Cetakan
Pertama, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Jurnal dan Hasil Penelitian
A.A Ngr Jayalantara, “Kajian Terhadap Pengecualian Pemberlakuan Asas
Nonrektroaktif Dalam Kasus Bom Bali I” Tesis Pada Program
Pascasarjana Sistem Peradilan Pidana, Universitas Indonesia, Jakarta,
2012.
Achmad Edi Subiyanto, “Menguji Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang” artikel dalam Lex Jurnalica Volume 11,
Nomor 1, April 2014.
Agus Nurhakim, “Konsep Darurat Dalam Hukum Ketatanegaraan Islam” artikel
dalam Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam, Volume 8, Nomor
1, Mei 2020.
Ali Marwan Hsb, “Kegentingan yang Memaksa Dalam Pembentukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang” artikel dalam Jurnal Legislasi
Indonesia Volume 14, Nomor 1, Maret 2017.
Andras Jakab, “German Constitutional Law and Doctrine on State of Emergency
– Paradigms and Dilemmas of a Traditional (Continental) Discourse”
artikel dalam German Law Journal Vol. 07, No. 5, 2005.
Anna Jonsson Cornell and Janne Salminen, “Emergency Laws in Comparative
Constitutional Law – The Case of Sweden and Finland” artikel dalam
German Law Journal, Vol. 19, No. 2, 2018.
Anna Triningsih,”Politik Hukum Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
Dalam Penyelenggaraan Negara” artikel dalam Jurnal Konstitusi,
Volume 13, Nomor 1, Maret 2016.
Aris, “Efektifitas Fikih Darurah Dalam Menyelesaikan Masalah Hukum
Kontemporer” artikel dalam Jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 2,
Juli 2011.
441
Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang dalam Perspektif Ajaran Konstitusi dan Prinsip Negara Hukum”
artikel dalam Jurnal PJIH, Vol. 4, No. 2, Tahun 2017.
Bagir Manan, “Judicial Precedent dan Stare Decicis (Sebagai Pengenalan)” artikel
dalam Varia Peradilan Vol. 30, Edisi Nomor 347, Oktober 2014.
Bruce Ackerman, “The Emergency Constitution” artikel dalam The Yale Law
Journal, Vol. 113, 2004.
Bunyamin, “Konsepsi Musyawarah dalam al-Qur‟an: Analisis Fiqh Siyasah
terhadap QS: An-Naml” artikel dalam Jurnal Al-„Adl, Vol. 10, No. 1,
Januari 2017.
Chrisdianto Eko Purnomo, “Dasar Konstitusional Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang dan Batasan Pengaturannya” artikel dalam
Jurnal Hukum Jatiswara, 2017.
David Cole, “The Priority of Morality: The Emergency Constitution‟s Blind Spot”
artikel dalam The Yale Law Journal, Volume 113, Tahun 2004.
Dian Kus Pratiwi, “Implikasi Yuridis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia”
artikel dalam Jurnal PJIH Volume 4, Nomor 2, Tahun 2017.
Fitra Arsil dan Qurrata Ayuni, “Model Pengaturan Kedaruratan dan Pilihan
Kedaruratan Indonesia dalam Menghadapi Pandemi Covid-19” artikel
dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 50, No. 2, Tahun 2020.
Fitra Arsil, “Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu:
Studi Perbandingan Pengaturan dan Penggunaan Perppu di Negara-
Negara Presidensial” artikel dalam Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol.
48, No. 1, Jauari-Maret Tahun 2018.
Herlambang Perdana Wiratraman, “Does Indonesian Covid-19 Emergency Law
Secure Rule of Law and Human Rights?” artikel dalam Journal of
Southeast Asian Human Rights, Volume 4, Nomor 1, 2020.
Husnul Khotimah dan Syarifuddin, “Darurat dan Realisasinya” artikel dalam
Jurnal Lisan al-Hal Volume 8, Nomor 2, Desember 2014.
442
Ibnu Sina Chandranegara, “Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan
Konstitusional Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK
No.138/PUU-VII/2009” artikel dalam Jurnal Yudisial, Vol. 5, No. 1,
April 2012.
Iin Solikhin, “Konsep Darurah Dalam Hukum Islam” artikel dalam Al Manahij,
Volume 2, Nomor 2, Juli-Desember 2008.
Ikaningtyas, “Hybrid Tribunal Sebagai Upaya Penanganan Kasus Kejahatan
Kemanusiaan Berat di Timor Timur Pada Tahun 1999” artikel dalam
Jurnal Risalah Hukum, Vol. 8, Nomor 1, Juni 2012.
Jamilus, “Kajian Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004” artikel dalam Jurnal Widya Yustisia, Volume 1, Nomor 2,
Januari 2015.
John Ferejohn and Pasquale Pasquino, “The Law of The Exception: A Typology of
Emergency Powers” artikel dalam International Journal of
Constitutional Law, April 2004.
John Reynolds, “The Long Shadow of Colonialism: The Origins of the Doctrine of
Emergency In International Human Rights Law” artikel dalam
Comparative Research in Law & Political Economy, Vol. 6, No. 5,
Tahun 2010.
Kim Lane Scheppele, “Law in Time of Emergency: State of Exception and The
Temptations od 9/11” artikel dalam Journal of Constitutional Law, Mei,
2004.
M. Beni Kurniawan, “Konstitusionalitas Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Ormas Ditinjau dari UUD 1945” artikel dalam Jurnal Konstitusi, Volume
15, Nomor 3, September 2018.
Maruarar Siahaan, “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum
Konstitusi”, artikel dalam Jurnal Hukum Nomor 3, Volume 16, Juli
2009.
443
Moh. Mahfud MD, “Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi”, artikel dalam Jurnal Hukum, Nomor 4, Volume 16, Oktober
2009.
Moh. Mahfud MD, “Tak Ada Perppu yang Tak Kontroversial” artikel dalam
Harian Kompas, 27 April 2020
Muchamad Ali Safa‟at, “Perpu Plt Pimpinan KPK; Adakah Kegentingan yang
Memaksa” http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/PERPPU-PLT-
KPK.pdf diakses pada tanggal 8 Agustus 2021
Muhammad Siddiq, “Kegentingan Memaksa Atau Kepentingan Penguasa:
Analisis Terhadap Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu)” artikel dalam Jurnal Ilmu Syari‟ah dan
Hukum Asy Syir‟ah Vol. 48, No. 1, Juni 2014.
Muhammadd Syarif Nuh, “Hakekat Keadaan Darurat Negara (State of
Emergency) sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang” artikel dalam Jurnal Hukum, Volume 18, Nomor 2,
April 2011.
Ni‟matul Huda, “Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi” artikel dalam
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 5, Oktober 2010.
Nur Asia Hamzah, “Darurat Membolehkan yang Dilarang” artikel dalam Jurnal
Kajian Islam Kontemporer, Volume 11, Nomor 2, 2020.
Nur Rohim, “Kontroversi Pembentukan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Mahkamah Konstitusi Dalam Ranah Kegentingan yang Memaksa” artikel
dalam Jurnal Cita Hukum, Vol. II, No. 1, Juni 2014.
Osgar S. Matompo, “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif
Keadaan Daruat” artikel dalam Jurnal Media Hukum, Vol. 21, No. 1,
Juni 2014.
Rudi M. Rizki, “Beberapa Catatan tentang Pengadilan Pidana Internasional Ad
Hoc Untuk Yugoslavia dan Rwanda Serta Penerapan Prinsip Tanggung
Jawab Negara Dalam Pelanggaran Berat HAM” artikel dalam Jurnal
Hukum Humaniter, Vol. 1, Nomor 2, 2019.
444
Saldi Isra, dkk, “Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah
Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif)” Hasil
Penelitian Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan
Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas,
Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang,
2010.
Shylashri Shankar, “The State of Emergency in India: Bockenforde‟s Model in a
Sub-National Context” artikel dalam German Law Journal, Volume 19,
Nomor 2, 2018.
Sri Hariningsih, “Ketentuan Peralihan Dalam Peraturan Perundang-Undangan”
artikel dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6, Nomor 4, Desember
2009.
Surya Oktaviandra, “Analisis Aspek Legalitas, Proporsionalitas dan
Konstitusionalitas Ketentuan Imunitas Pidana Bagi Pejabat Pemerintah
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020” artikel dalam Majalah
Hukum Nasional, Volume 50 Nomor 2, Tahun 2020.
Susi Dwi Harijanti, “Perppu Sebagai Extra Ordinary Rules: Makna dan Limitasi”
artikel disampaikan dalam diskusi publik “Membedah Makna
„Kegentingan Memaksa‟ dalam Perppu”, Kerjasama Fakultas Hukum
Universitas Atmajaya dengan APHTN-HAN DKI Jakarta, 8 Agustus
2017.
Victor Imanuel W. Nalle, “Kritik Terhadap Perppu di Masa Pandemi: Pembatasan
Hak Tanpa Kedaruratan” artikel dalam Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 33,
No. 1, Tahun 2021.
William Feldman, “Theories of Emergency Powers: A Comparative Analysis of
American Martial Law and the French State of Siege” artikel dalam
Cornell International Law Journal, Volume 38, Nomor 3, Tahun 2005.
Yudha Bhakti, dkk., Laporan Akhir Tim Kompilasi Bidang Hukum Tentang “Asas
Retroaktif”, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik
Indonesia, Jakarta, 2006.
445
Zairin Harahap, “Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu”
artikel dalam Jurnal Yudisial, Volume 7, Nomor 3, Desember 2014.
Makalah
Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, “Rekonstruksi Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Dalam Hukum Tata Negara Darurat”, Makalah
disampaikan dalam Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas
Jayabaya, Jakarta, 19 September 2020.
Zainal Abidin, “Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia: Regulasi, Penerapan
dan Perkembangannya” Makalah disampaikan pada Kursus HAM untuk
Pengacara ke XIV, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Oktober
2010, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1998 tentang
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2002 Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober
2002
446
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang
Jaring Pengaman Sistem Keuangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau
Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
447
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota
Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara
Pengambilan Keputusan Pimpinan KPK.
Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 2018 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi
Putusan Peradilan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-I/2003 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada
Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, Menjadi
Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
448
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-VI/2008 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden
Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Formil Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PUU-VII/2009 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia dan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang
Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Mengganggu
Ketertiban Umum juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang
449
Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai
Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XI/2013 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XI/2013 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XI/2013 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XI/2013 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XI/2013 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-XI/2013 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
450
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 118-119-125-126-127-129-130-135/PUU-
XII/2014 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota dan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XII/2014 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XV/2017 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XV/2017 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XV/2017 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan
451
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XV/2017 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XV/2017 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan
Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XV/2017 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XV/2017 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XV/2017 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan
Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XVI/2018 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19)
dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
452
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19)
dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) dan/atau
Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi
Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 44/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
menjadi Undang-Undang
Sumber Website
Anonim “Eks Ketua MK: Perpu Ormas Tak Penuhi Syarat Dikeluarkannya Perpu”
artikel dalam https://nasional.tempo.co/read/892326/eks-ketua-mk-perpu-
ormas-tak-penuhi-syarat-dikeluarkannya-perpu/full&view=ok diakses
pada tanggal 10 Agustus 2021
Anonim, “Abraham Sama Resmi Jadi Tersangka” dalam
https://nasional.kompas.com/read/2015/02/17/08590821/Abraham.Samad
.Resmi.Jadi.Tersangka. Diakses pada tanggal 8 Agustus 2021.
453
Anonim, “Antasari Azhar Tersangka Otak Pembunuhan Nasrudin” dalam
https://news.detik.com/berita/d-1124907/antasari-azhar-tersangka-otak-
pembunuhan-nasrudin, diakses pada tanggal 7 Agustus 2021.
Anonim, “Bambang Widjojanto Jadi Tersangka Keterangan Palsu” dalam
https://nasional.tempo.co/read/636976/bambang-widjojanto-jadi-
tersangka-keterangan-palsu/full&view=ok, diakses pada tanggal 8
Agustus 2021
Anonim, “DPR Tolak Perppu Pelaksana Tugas KPK” dalam
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b8d2c6c6f7a3/dpr-tolak-
perppu-pelaksana-tugas-kpk, diakses pada tanggal 8 Agustus 2021
Anonim, “Inilah Alasan Polisi Jadikan Bibit dan Chandra Tersangka” dalam
https://nasional.tempo.co/read/198331/inilah-alasan-polisi-jadikan-bibit-
dan-chandra-tersangka/full&view=ok, diakses pada tanggal 7 Agustus
2021
Anonim, “Jimly: Perppu yang Akan Dikeluarkan Presiden Bisa Mengebiri MK”
dalam http://news.detik.com/berita/d-2379410/jimly-perppu-yang-akan-
dikeluarkan-presiden-bisa-mengebiri-mk?nd772204topnews diakses pada
tanggal 10 Agustus 2021
Anonim, “Kantor Bupati Lebak Ditutup Setelah 25 Pegawai Positif Covid-19”
artikel dalam https://nasional.tempo.co/read/1435501/kantor-bupati-
lebak-ditutup-setelah-25-pegawai-positif-covid-19/full&view=ok diakses
pada tanggal 21 Agustus 2021.
Anonim, “Kantor Disdukcapil Kulon Progo Tutup Setelah Seorang Pegawai
Positif Covid” artikel dalam
https://regional.kompas.com/read/2020/11/16/11344881/kantor-
disdukcapil-kulon-progo-tutup-setelah-seorang-pegawai-positif-covid,
diakses pada tanggal 21 Agustus 2021.
Anonim, “Penyebab Jimly Asshiddiqie Tak Setuju Penerbitan Perppu Ormas”
artikel dalam https://nasional.tempo.co/read/891232/penyebab-jimly-
asshiddiqie-tak-setuju-penerbitan-perppu-ormas/full&view=ok diakses
pada tanggal 10 Agustus 2021
454
Anonim, “Presiden Lantik Pelaksana Tugas Pimpinan KPK” dalam
https://www.liputan6.com/news/read/246569/presiden-lantik-pelaksana-
tugas-pimpinan-kpk, diakses pada tanggal 8 Agustus 2021
Anonim, “Presiden Lantik Pelaksana Tugas Pimpinan KPK” dalam
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150220_pelant
ikan_plt_kpk, diakses pada tanggal 8 Agustus 2021
Anonim, “Survei LSI: 74 Persen Publik Ingin Presiden SBY Tarik RUU Pilkada”
artikel dalam
https://nasional.kompas.com/read/2014/09/18/15145881/Survei.LSI.74.P
ersen.Publik.Ingin.Presiden.SBY.Tarik.RUU.Pilkada, diakses pada
tanggal 9 Agustus 2021
Anonim, “Survei LSI: 74 Persen Publik Ingin Presiden SBY Tarik RUU Pilkada”
artikel dalam
https://nasional.kompas.com/read/2014/09/18/15145881/Survei.LSI.74.P
ersen.Publik.Ingin.Presiden.SBY.Tarik.RUU.Pilkada, diakses pada
tanggal 9 Agustus 2021
Anonim, “The American‟s Creed” dalam
http://www.usflag.org/american.creed.html, diakses pada tanggal 4 Maret
2021
Anonim, “Yusril Ihza Mempertanyakan Kegentingan Perpu Ormas” artikel dalam
https://nasional.tempo.co/read/892459/yusril-ihza-mempertanyakan-
kegentingan-perpu-ormas-karena/full&view=ok diakses pada tanggal 10
Agustus 2021
Arie Riswandi, “Koalisi LSM dan Mahasiswa Demo Tolak Pilkada Lewat DPRD”
artikel dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20140924131136-
32-4203/koalisi-lsm-dan-mahasiswa-demo-tolak-pilkada-lewat-dprd
diakses pada tanggal 9 Agustus 2021
Fika Nurul Ulya, "Sudah 12 Negara yang Kini Alami Resesi", artikel
dalam https://money.kompas.com/read/2020/08/17/104459826/sudah-12-
negara-yang-kini-alami-resesi?page=all#page2 diakses pada tanggal 21
Agustus 2021
455
Sabrina Asril, ”Langkah Penyelamatan MK, Pemerintah Siapkan Perpu” artikel
dalam
https://nasional.kompas.com/read/2013/10/05/1552262/Langkah.Penyela
matan.MK.Pemerintah.Siapkan.Perpu, diakses pada tanggal 9 Agustus
2021
456
CURICULUM VITAE
Nama : Mohammad Agus Maulidi, S.H
Tempat, Tanggal Lahir : Situbondo, 18 Agustus 1994
Agama : Islam
Alamat : Jl. Arak-arak, Gunung Malang 002/002, Suboh,
Situbondo, Jawa Timur, 68354
Nama Orang Tua : Drs. Muciono (Ayah) & Rufi (Ibu)
Nomor HP : 082243834181
Riwayat Pendidikan : 1. SDN 2 Gunung Malang
2. SMP Nurul Jadid
3. SMA Nurul Jadid
4. S1 Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia
Publikasi : 1. Menyoal Kekuatan Eksekutorial Putusan
Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi
(Jurnal Konstitusi, 2019)
2. Problematika Hukum Implementasi Putusan
Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi
Perspektif Negara Hukum (Jurnal Ius Quia
Iustum, 2017)
3. Reformulasi Pemenuhan Hak Politik Bagi
Penyandang Disabilitas Untuk Dipilih dalam
Pemilihan Umum (Prosiding Nasional Call of
Paper, 2018)
4. Reviu Undang-Undang (Harian Sindo,
Februari 2021)
5. Problematika Eksekutorial Putusan MK
(Harian Sindo, Februari 2020)
6. Menaruh Harapan pada Dewan Pengawas
KPK (detik.com, Januari 2020)
7. Menerka Standing Position MK atas UU
457
KPK (Harian Sindo, Januari 2020)
8. Nuansa Baru DPD (Harian Sindo, November
2019)
9. Menakar Pengaruh Debat Capres (detik.com,
Januari 2019)
10. Hadiah Untuk Pelapor Korupsi (detik.com,
Oktober 2018)
11. Implikasi Putusan MA tentang DPD (Harian
Sindo, November 2018)
12. Putusan MA atas Peraturan KPU (detik.com,
September 2018)
Prestasi : 1. Peserta Terbaik dan Teladan Pusat
Pendidikan Ilmu Al-Qur‟an PP. Nurul Jadid
2. Peserta Terbaik Kelas Bahasa Inggris Kursus
Program Intensif LPBA Nurul Jadid
3. Juara Harapan I English Speech Contest
Provinsi Jawa Timur
4. Octo Final Debat Bahasa Inggris Jawa &
Bali
5. Juara I Debat Adu Gagasan APBD
Kabupaten Probolinggo
6. Terbaik I Dean Research Grant 2015
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
7. Juara II Essay Konstitusi Reigional DIY
8. Juara II Essay Parade Cinta Tanah Air
Kementerian Pertahanan, Regional DIY.
9. Finalis Kompetisi Legislative Drafting
Nasional “Constitutional Law Festival”
Universitas Brawijaya, Malang
10. Juara II Kompetisi Debat Hukum Nasional
“Law Festival of Lambung Mangkurat”,
458
Banjarmasin
11. Quarter Final Debat Sosial Politik Nasional
“Airlangga Debate Competition”, Surabaya.
12. Finalis Karya Tulis Ilmiah Nasional UIN
Law Fair 2016, Jakarta.
13. Juara I Essay Nasional IPB Islamic Festival,
Bogor
14. Terbaik I Dean Research Grant 2016,
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
15. Juara I Karya Tulis Ilmiah Nasional, 2nd
Neforia, Makassar
16. Finalis National Development Conference,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarya
17. Juara II Debat Konstitusi Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, Regional DIY-Jateng 2017
18. Predikat Cumlaude S-1 Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia