tanggung jawab pemerintah

26
MAKALAH HUKUM LINGKUNGAN “TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP” Disusun Oleh: Nama: Melia Dwi Putri. H Nim: 02011181320093 Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Upload: independent

Post on 01-Apr-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MAKALAH

HUKUM LINGKUNGAN

“TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH TERHADAP LINGKUNGANHIDUP”

Disusun Oleh:

Nama: Melia Dwi Putri. H

Nim: 02011181320093

Fakultas Hukum

Universitas Sriwijaya

2014/2015

Kata pengantar

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah Yang Maha

Esa yang telah memberikan kesempatan dan semangat

menulis makalah ini. Makalah ini dibuat untuk memenuhi

tugas mata kuliah Hukum Lingkungan yang berjudul

“Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Lingkungan Hidup”.

Dalam makalah ini menyajikan pembahasan mengenai

peran serta tanggung jawab pemerintah mengolah

lingkungan hidup sebagai hak asasi dan konstitusional

warga negara Indonesia.

Dengan adanya makalah ini diharapkan agar kita

dapat memahami pentingnya perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan

berkelanjutan yang dalam hal ini dilakukan oleh

pemerintah selaku representasi rakyat.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini

akan ditemukan kekurangan di sana- sininya yang harus

diperbaiki, mudah- mudahan dapat bermanfaat bagi

pembaca.

Palembang, Februari

2015

DAFTAR ISI

Kata pengantar

Daftar isi

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

Bab II Permasalahan

A. Pengertian Lingkungan Hidup

B. Keadaan Lingkungan Hidup

C. Peranan Pemerintah dalam Pengaturan Perundangan

D.Tanggung Jawab dan Kewajiban Penguasa

E.Tanggung Jawab Negara Terhadap Alam dan

Lingkungan

F. Analisis Kasus Lumpur Lapindo

Bab III Kesimpulan dan Saran

Bab IV Daftar Pustaka

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidupbaik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanankesehatan, bunyi pasal 28H Undang- undang dasarRepublik Indonesia. Telah tertuang dalam konstitusiNegara Republik Indonesia tahun 1945 bahwa lingkunganhidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hakkonstitusional bagi setiap warga negara Indonesia,sehingga merupakan kewajiban pemerintah salah satunyauntuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

dedalam pelaksanaan dan pembangunan berkelanjutan yangdikemudian hari merupakan penunjang hidup bagi rakyatdan juga makhluk hidup lainnya.

Dewasa ini ketersediaan sumber daya alam secarakuantitas maupun kualitas yang tidak merata sedangkanuntuk kebutuhan kegiatan pembangunan membutuhkan sumberdaya alam yang semakin meningkat, disisi lain kegiatanpembangunan juga mengandung resiko terjadinyapencemaran dan kerusakan lingkungan yang kemudian darikondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, dayatampung dan produktivitas lingkungan hidup menurun yangkemudian menjadi beban dan perhatian sosial.

Oleh karena itu lingkungan hidup indonesia harusdilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asastanggung jawab negara, dengan upaya- upaya apa sajayang dilakukan pemerintah selama ini bahkan untuk dimasa yang akan datang karna tidak dipungkiri bahwakekhawatiran akan pemanasan global telah menjadimasalah pelik dunia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas adapunpermasalahan dalam makalah ini sebagai berikut :

- Apa pengertian lingkungan hidup?- Bagaimana keadaan lingkungan hidup saat ini?- Dimana pengaturan dalam perundang- undangannya?- Bagaimana tanggung jawab pemerintah untuk

menangani masalah lingkungan hidup dalam kasuslumpur lapindo?

Bab II

Pembahasan

A. Pengertian Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup adalah Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup didefinisikan sebagai upaya sistematisdan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.

B. Keadaan Lingkungan Hidup

Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun

telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan

makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang

sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku

kepentingan, salah satu problematika yang tengah

menjadi sorotan dunia yaitu pemanasan global yang

semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim

sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan

hidup.

Di sisi lain disaat pemerintah Indonesia sedang giat-

giatnya menggali berbagai sumber daya alam yang

melimpah di atas bumi Indonesia, dunia internasional

mengecam tindakan tersebut. Hal ini bukannya tanpa

alasan karena penggalian sumber daya alam di Indonesia

dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi perkembangan

lingkungan hidup Indonesia. Namun, di satu sisi pihak

pemerintah Indonesia membutuhkan berbagai sumber daya

alam untuk menghidupi negaranya.

Dan saat kita berbicara mengenai problematika

lingkungan ada dua masalah terbesar yaitu

masalah pemanfaatan atau pendayagunaan dan perusakan

lingkungan. Masalah pemanfaatan dan perusakan ini

dibatasi oleh masalah etika dan masalah moral. Masalah

pemanfaatan setiap manusia pasti memahami cara

memanfaatkan lingkungan. Namun, mereka tidak

memperhatikan batasan-batasan alam, pendayagunaan

lingkungan sehingga tanpa sadar ataupun sadar mereka

melakukan perusakan terhadap lingkungan hidup. Masalah

kerusakan lingkungan hidup mengurai lebih lanjut, kita

perlu memperjelas lebih dahulu apa pengertian dari

etika dan moral. Etika dapat dipahami sebagai filsafat

atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-

ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika memberikan

peninjauan untuk menentukan sikap pada manusia agar

manusia tidak hidup dengan cara mengekor saja terhadap

berbagai pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus

hidup, melainkan agar membantu kita lebih mampu untuk

mempertanggungjawabkan kehidupan kita. Sedangkan moral

adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, kotbah-kotbah,

patokan-patokan,kumpulan peraturan dan ketetapan baik

lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus

hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik.

C. Peranan Pemerintah

Dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2009 dalam

pasal 13 tercantum bahwa pengendalian pencemaran dan

atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam

rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pengendalian pecemaran dan atau kerusakan lingkungan

hidup ini terdiri dari 3 hal yaitu : pencegahan,

penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup dengan

menerapkan berbagai instrument-instrument yaitu :

Kajian lingkungan hidup straegis (KLHS), Tata ruang,

Baku mutu lingkungan hidup, Kriteria baku mutu

kerusakan lingkungan hidup, Amdal, UKL-UPL, perizinan,

instrument ekonomi lingkungan hidup, peraturan

perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran

berbasis lingkungan hidup, Analisis resiko lingkungan

hidup, audit lingkungan hidup, dan instrument lain

sesuai dengan kebutuhan dan atau perkembangan ilmu

pengetahuan. Mengenai hal – hal tersebut, akan dibahas

pasal- pasal tentang Pengelolaan dan Perlindungan

Lingkungan Hidup berdasarkan dari Undang – undang No.

32 Tahun 2009.

D. Tanggung Jawab Dan Kewajiban Penguasa

Kekuasaan selalu berkaitan dengan tanggung jawab

dan kewajiban. Dilihat dari segi perkembangan

demokrasi, dua hal ini merupakan unsur dari kesatuan

pengertian kekuasaan. Dewasa ini hampir tidak ada

kekuasaan yang tidak diikuti oleh tanggung jawab dan

kewajiban. Sebab bila tidak, hal demikian mengarah

kepada negara totaliter. Dengan demikian kekuasaan akan

diikuti kemudian, baik dengan kewajiban maupun tanggung

jawab, karena keduanya memiliki hubungan konsekuensi.

Dalam sistem pemerintahan modern, kekuasaan yang

tidak diikuti oleh tanggung jawab penguasanya sudah

ditinggalkanberhubung aspek pengendalian yang datang

dari pihak masyarakat (public control) sudah sedemikian

besar. Demikian juga tidak terkecualinya kepada aspek

pengelolaaan sumber daya alam dan lingkungan, negara

tidak hanya berperan menguasai dan mendapatkan manfaat

yang sebesar- besarnya, meskipun hal itu kemudian

ditujukan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat

(social prosperity).

Diatas telah disebutkan, bahwa dalam sistem

pengelolaan lingkungan, dikenal negara memiliki

kekuasaan atas sumber daya alam. Prinsip demikian

berarti bahwa negara melalui pemerintah berwenang

mengatur, memngendalikan, dan mengembangkan segala hal

yang berkenaan dengan pengelolaan lingkungan.

Kekuasaan yang mahaluas yang dipunyai negara

terhadap bumi, air, udara, dan segala sesuatu yang

terkandung diatasnya sesuai dengan konstitusional,

tentu pula merefleksikan adanya tanggung jawab yang

sangat besar pula. Karena itu kekuasaan yang mahaluas

harus pula diikuti dengan pengaturan pengelolaan

lingkungan yang bervisi kepentingan rakyat banyak,

pemeliharaan alam dan lingkungan, pencegahan

pencemaran, perlindungan terhadap segala ancaman yang

merusak dan berpotensi merugikan alam dan lingkungan,

serta pula bertanggung jawab atas hal- hal yang

merugikan masyarakat dari kerusakan alam dan lingkungan

termasuk bencana alam.

Mendasarkan pada aspek kekuasaan yang berlandaskan

dan bersumber dari instrumen hukum yang kuat dan jelas

yakni pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan diikuti UUPLH 2009

maka pada dasarnya negara pun sebenarnya harus

bertanggung jawab secara yuridis atas semua hal yang

menjadi objek penguasaannya. Sebab sekalipun kekuasaan

negara demikian dikaitkan dengan aspek klausul bahwa

kekuasaan bukan berarti memiliki namun aspek menguasai

adalah identik dengan memiliki dan kalau dideskripsikan

dengan bahasa lain maka kekuasaan negara demikian pada

aspek yang lebih realistik akan terlihat menjadi

menguasai atau dengan menguasai adalah memiliki batas

keduanya begitu sangat tipis dan hampir tidak dapat

dibedakan karena itu menurut pameo hukum, siapa yang

menguasai ia memiliki maka ia pun senantiasa

bertanggung jawab.

Tetapi jika ditinjau dari segi formal juridis, di

berbagai produk legislatif mengenai pengaturan berbagai

aspek sumber daya alam dan lingkungan dari tingkat

undang- undang sampai dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah, tidak terdapat pengaturan

yang khusus memberikan tanggung jawab kepada negara

atau pemerintah. Sepintas lalu bila melihat keadaan

demikian memang tampak tidak begitu adil (fair) dan

konsekuen, mengapa hanya merumuskan masalah kekuasaan

dan penguasaan negara saja namun tidak pula

mengaitkannya dengan kewajiban negara mengenai formula

juridis atau kerusakan alam/ lingkungan.

Dilihat dari interpretasi yang lebih terpadu,

sebenarnya aspek kekuasaan negara atas semua sumber

daya alam dan lingkungan menjadikannya sudah sedemikian

rupa memiliki tanggung jawab, apakah demikian halnya?

Masalah ini masih memerlukan kesempatan untuk mengkaji

secara khusus dengan berbagai aspek yang lebih integral

dan komprehensif.

E. Tanggungjawab Negara Terhadap Alam dan Lingkungan

Berkaitan dengan faktor problematis mengenai

penguasaan alam oleh negara, dan kemudian tanggung

jawab hukum negara kepada pengaturan lingkungan,

pemeliharaan alam, pencegahan kerusakandan sifat

tanggung jawab terhadap bencana alam, dibawah ini perlu

dibahas secara lebih jauh. Siapa atau pihak mana yang

dimintai tanggung jawab jika terjadi kerusakan alam dan

bencana alam, termasuk bukan karena sebab atau

berkaitan dengan rangkaian perbuatan manusia?

Pencemaran lingkungan, yang timbul dari aktifitas

manusia, maupun yang timbul karena proses (aktifitas)

alam, memiliki dampak yang sama terhadap perikehidupan

manusia. Yaitu, sama- sama merugikan kepentingan

manusia, dalam wujud mengancam kesehatan, merusak

sumber daya lingkungan, mengurangi jumlah aset- aset

ekonomi, dan menurunkan mutu tata ekologis.

Akan tetapi jika dihubungkan dengan proses

tanggung jawaqb kedua macam insiden diatas,. Terjadi

perbedaan karakter yang lebih mendasar. Perbedaan yang

dimaksudkan disini ini ialah perbedaan karakter

pertanggung jawaban atas kerugian- kerugian yang timbul

sebagai akibat pencemaran lingkungan hidup, baik yang

timbul karena aktifitas manusia maupun karena proses

alam sendiri.

Guna menjelaskan maksud ini, perlu menjuruskannya

pada sebuah pertanyaan berikut ini: bagaimanakah

perbedaan bentuk pertanggung jawaban pencemaran yang

terjadi, antara yang timbukl karena perbuatan manusia

dengan perbuatan yang timbul karena “ulah” alam itu

sendiri? Berikutnya adalah apakah kerugian- kerugian

yang timbul karena pencemaran yang berasal dqari

aktifitas alam dapat dituntutkan suatu

pertanggungjawaban ganti rugi oleh pihak- pihak korban,

dan kepada siapa ia menuntut ganti rugi itu?

Disatu sisi, pencemaran lingkungan yang bersumber

dari aktifitas manusia,. Kini tidak asing lagi kita

lihat dan kita rasaskan sehari- hari. Hal demikian

terjadi dengan pencemaran oleh pabrik- pabrik,

kecelakaan lingkungan karena aktifitas perbuatan

manusia, seperti runtuhnya bangunan, karena pemakaian

atau pemproduksian zat- zat berbahaya, atau karena

pemakaian instalasi pertambangan, gudang amunisi,

kilang minyak dan lain- lain,.

Disisi lain, tidak asing pula kita dengar

pencemaran yang akibatnya justru lebih dahsyat

ditimbulkan oleh pencemaran non alamiahseperti diatas,

yakni bencana alam karena memang benar- benar perbuatan

alam. Misalnya meletusnya gunung berapi yang

memuntahkanlahar dingin atau panas, kemudian

memusnahkan sawah ladang serta harta benda penduduk

bahkan ada yang meminta korban nyawa manusia seperti

gunung galunngungg meletus beberapa tahun yang lalu.

Bencana lainnya seperti banjir dan tsunamiyang terjadi

di Aceh tahun 2004 dan Pantai Selatan Pulau Jawa tahun

2006, telah menghanyutkan ratusan ribu manusia,

memporak porandahkan rumah- rumah penduduk, sawah,

tambak- tambak perikanan, merusak waduk dan irigasi,

menghanyuitkan jembatan hingga mengakibatkan kerugian

bernilai puluhan miliar rupiah.

Jika pada sebab akibat yang pertama, pertanggung

jawaban hukum dengan berbagai mekanisme juridisnya

sudah jelas, yakni siapa yang melakukan pencemaran itu

dengan sendirinya dikaitkan kepada subyek pertanggung

jawabannnya . sementara pada sebab akibat yang kedua,

yakni bencana alam, apakah dapat dikaitkan dengan suatu

subyek pertangungg jawaban tertentu?

Bencana alam seperti meletusnya gunung berapi,

tsunami, banjir yang tidak berkaitan (langsung atau

tidak langsung) dengan perbuatan manusia, dan

sebagainya patut dipersoalkan dari dimensi juridisnya

berkaitan pula tentunya dengan aspek kekuasaan negara

kepada alam, sumber- sumber daya alam dan lingkungan.

Permasalaha yang hendak dikemukakan disini adalah,

pertama, bagaimana mengaitkan bencana alam yang terjadi

dengan suatu subyek pertanggung jawaban. Kedua, apakah

dimungkinkan pihak korban bencana alam demikian

menuntut suatu tanggung jawab.

Apakah kedua karakter pencemaran atau pengrusakan

alam yang disebutkan diatas dapat dituntut pertanggung

jawaban, karena telah menimbulkan kerugian- kerugian

pada korban?

Pertanggung jawaban hukum demikian, dapat

dihubungkan kepada pengertian pencemaran lingkungan

yang ditetapkan oleh undang- undang. Pengertian

pencemaran lingkungan, perlu kiranya kita lihat dulu

dalam UUPLH NO `32 tahun 2009, karena UUPLH memasukkan

selain manusia, juga alam sebagai pelaku atau sumber

perbuatan pencemaran. Definisi pencemaran lingkungan

menurut UUPLH adalah masukannya atau dimasukkannya

makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain

kedalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan

lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam,

sehingga kualitas lingkungan menjadi kurang atau tidak

dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.

Pengertian pencemaran lingkungan yang diberikan

oleh UUPLH, hampir sama dengan pengertian yang

ditetapkan lembaga- lembaga hukum, baik yang berbentuk

konvensi internasional, rekomendasi, maupun prinsip

yang diberikan pada perbincangan- perbincangan yang

bersifat internasional.

Namun, hal yang membedakan pengertian pencemaran

diatas menyangkut subyek pencemar atau penyebab

timbulnya pencemaran. UUPLH menganut adanya subyek

pencemaran, yaitu selain manusia (termasuk badan

hukum), juga alam. Sedangkan dalam pengertian

menyebutkan bahwa subyek pencemar atau penyebab

terjadinya pencemaran hanya dikaitkan dengan aktifitas

manusia. Jadi, menurut kedua pengertian ini masalah

pencemaran yang diakibatkan dan bersumber dari

aktifitas alam(man actifity), tidak bisa dianggap

sebagai suatu pengertian pencemaran lingkungan bahwa

konsekuensi yang terpenting adalah dalam kaitannnya

dengan pertanggungjawaban secara hukum (liability).

Menurut hemat kita terlepas dari pencatuman

perbuatan alam seperti itu, pemerintah dalam

konsekuensinya sebagai pemegang kekuasaan atas alam dan

lingkungan, sudah dengan sendirinya memiliki tanggung

jawab hukum berdasarkan aspek legal consequence dari

aspek penguasaan alam dan lingkungan. Kalu proses alam

dikaitkan dengan pencemaran, sebagai bagian dari

aktifitas lain diluar perbuatan manusia, maka membuka

peluang membahas masalah, yaitu siapakah yang

bertanggung jawab andaikata timbul pencemaran-

pencemaran lingkungan yang bersumber dari aktifitas

alam atau bencana alam? Sampai sejauh mana

pertanggungjwaban kepada pihak yang dibebankan tanggung

jawab, dan siapa yang menjadi subyek pertanggung

jawaban demikian? Apakah mula pertanggung jawaban jenis

demikian masuk kategori pertanggung jawaban hukum,

ataukah dapat dinilai dari dimensi lain diluar

penilaian hukum seperti pertanggungjawaban moral atau

politis, atau bahkan tidak bernilai pertanggungjawaban

sama sekali?

UUPLH tidak menjelaskan lebih lanjut tentang

masalah demikian. Hanya dalam penjelasan pasal 1 butir

7, menyatakan pencemaran lingkungan hidup oleh proses

alam dimasukkan dalam merumuskan mengingat akibatnya

perlu di tanggulangi. Penanggulangan ini merupakan

kewajiban pemerintah, artinya pemerintah yang

bertanggung jawab apabila terjadi pencemaran lingkungan

sebagai akibat dari aktifitas alam.

F. Analisis Kasus Lumpur Lapindo

            Banjir lumpur panas Lapindo di Sidoarjo

adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi

pengeboran Lapindo Brantas di Desa Renokenongo,

Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang

terjadi sejak tanggal 27 Mei 2006. Semburan lumpur

panas telah mengakibatkan tergenangnya kawasan

permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga

kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas

perekonomian di Jawa Timur. Lokasi semburan lumpur

panas berada di Kecamatan Porong, di bagian selatan

Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 kilometer sebelah

selatan Kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan

Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan di sebelah

selatan. Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter

dari sumur BanjarPanji-1, yang merupakan sumur

eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai pelaksana

teknis blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini,

semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan

aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di

sumur tersebut.

            Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua

teori yang berhubungan dengan asal semburan. Pertama,

semburan lumpur berhubungan dengan kegiatan pengeboran.

Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi bersamaan

dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui.

Lokasi tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di

sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama

di Jawa Timur.

Perbuatan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo

Brantas di blok Brantas yang telah terjadi selama

beberapa periode eksplotasi ini telah membuat Lapindo

Brantas menjadi tersangka utama dalam dugaan adanya

pelanggaran terhadap UUPLH sekaligus penerapan sanksi

pidana terhadap sangkaan terjadinya kejahatan korporasi

oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini menyebab dari

semburan lumpur tersebut masih diselidiki oleh pihak

yang berwenang, namun korban serta lingkungan yang

rusak terus bertambah besar dan luas jumlahnya, tanpa

ada yang tahu kapan lumpur tersebut akan berhenti. Yang

sangat jelas terlihat saat ini adalah Lapindo Brantas

sebagai pemegang hak eksploitasi dan eksplorasi dari BP

Migas telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan

dan pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No. 23 Tahun

1997 hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga Pasal 45

undang undang tersebut. Namun tentunya dalam hal

Lapindo, jika nantinya tidak dapat ditemukan bahwa

penyebab menyemburnya lumpur yang telah mengakibatkan

bencana ini merupakan kealpaan atau kesengajaan dalam

kegiatan pengeboran sudah tentu Lapindo sebagai

korporasi tidak dapat dijatuhi hukuman.

            Di Indonesia, salah satu peraturan yang

mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang

Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Hal ini

dapat dilihat dari isi pasal 46. Meskipun tidak

digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda,

berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat

ini terdapat 3 bentuk pertanggung jawaban pidana dalam

kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah

ada, yaitu :

1.      Dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti

diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004

tentang Jalan.

2.      Dapat pula dibebankan kepada organ atau

pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka

yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak

pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat

3.      UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan

UU No.31/2004 tentang Perikanan

4.      Kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat

dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai

pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan

kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal 20

ayat 1 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

            Kejahatan korporasi adalah merupakan

pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan oleh

korporasi, yang tentunya berkaitan dengan hubungan

keperdataan, artinya hubungan yang menimbulkan tindak

pidana tersebut adalah perbuatan perdata. Melakukan

pengeboran yang bertujuan sebagai kegiatan penambangan

gas, menurut pengertian kejahatan korporasi adalah

merupakan perbuatan perdata, sedangkan hal yang

berlanjut mengenai adanya kesalahan manusia atau human

error dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain adalah

merupakan perbuatan tindak pidana.

            Human error yang dilakukan oleh Lapindo

Brantas adalah tidak dipasangnya pipa selubung dalam

aktivitas pengeborannya sehingga mengakibatkan bencana

itu terjadi. Pemasangan pipa selubung yang tidak

dilakukan lebih awal oleh Lapindo ini dapat dijadikan

sebagai suatu kelalaian dari sebuah korporasi dengan

tidak dilaksanakannya standar keselamatan sebelum

pelaksanan pengeboran.

           Hal seperti ini dapat dikatakan sebagai

sebuah perbuatan tindak kejahatan. Dalam kasus Lapindo

ditemukan beberapa pelanggaran hukum yang bisa dijerat

dengan pasal-pasal dalam undang-undang antara lain

hukum lingkungan hidup, hukum Pidana dan hukum Perdata.

            Sanksi dapat dijatuhkan kepada perorangan

yaitu setiap orang yang memberi perintah maupun yang

melaksanakan perintah, dalam kejadian ini, korporasi

dapat juga dijadikan tersangka sesuai dalam Pasal 45

dan Pasal 46 UU No.23/1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Hingga saat ini tindakan nyata dari

Lapindo sebagai pemegang izin eksplorasi dan eksplotasi

pada Blok Brantas baru sebatas pemberian ganti rugi

terhadap kerusakan fisik yang diderita warga sekitar

daerah bencana. Sementara upaya menghentikan semburan

lumpur dan upaya penanggulangan dampak kerusakan dan

pencemaran lingkungan sebagai akibat lain dari bencana

tersebut belum ditangani secara benar dan sistematis.

definisi tentang perusakan lingkungan hidup yang

terdapat dalam Pasal 1 angka 14 memuat unsur-unsur

sebagai berikut :

1. Adanya tindakan, tindakan yang dilakukan adalah

pengeboran migas oleh PT. Lapindo Brantas dalam rangka

mengeksplorasi dan ekplotasi sumber migas di Blok

Brantas tersebut.

2. Menimbulkan perubahan langsung atau tidak terhadap

perubahan fisik dan atau hayati lingkungan, semburan

dan luberan lumpur yang masih terjadi saat ini memuat

kandungan bahan-bahan berbahaya dan beracun yang

mengakibatkan perubahan langsung terhadap perubahan

fisik lingkungan hidup di Kec. Porong dan sekitarnya

yang belum ada kepastian sampai berapa lama lagi

luberan lumpur ini akan berlanjut.

3. Yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi

lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan,

melihat fakta luberan dan semburan lumpur yang semakin

hari semakin meningkat sudah jelas tidak akan terjadi

pembangunan di Kec. Porong Sidoarjo dan sekitarnya

tersebut, daerah ini akan terisolasi dan tidak ada yang

dapat memperkirakan akan sampai berapa lama. Hingga

saat ini pertanggungjawaban atas kejadian luapan lumpur

lapindo pun belum jelas, ganti rugi yang diberikan oleh

pihak Lapindo Brantas terhadap masyarakat ternyata

tidak memberikan suatu keadaan yang cukup, masih banyak

masyarakat yang mengeluhkan tentang ganti rugi yang

tidak sepadan dengan apa yang masyarakat miliki

sebelumnya. Hal ini mengakibatkan banyaknya warga yang

terlantar dan tidak mempunyai suatu penghasilan yang

cukup untuk memenuhi kebutuhan.

Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian

pemerintah untuk menindak lanjuti permasalahan yang

hingga saat ini belum terselesaikan. Seharusnya

pemerintah bertindak tegas agar dampak lingkungan dari

lumpur lapindo tidak meluas.

BAB III

Kesimpulan dan saran

Kesimpulan

Lingkungan hidup di Indonesia harus dilindungi dan

dikelola dengan baik yang didasarkan pada asas tanggung

jawab negara yang artinya negara menjamin pemanfaatan

sumber daya alam yang akan memberikan manfaat yang

sebesar- besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup

rakyat, baik generasi masa kini dan masa yang akan

datang, negara juga menjamin hak warga negara atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta mencegah

dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang

menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan

hidup. Perlindungan dan pengelolaaan lingkungan

hidupmenuntut dikembangkannnya suatu sistem yang

terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus yang harus

dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dalam hal

ini pemerintah telah memberi kuasanya kepada menteri

untuk melaksanakan seluruh kewenangan dalam bidang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta

kepada pemerintah daerah dengan menerapkan sistem yang

dibuat sedemikian oleh pemerintah sebagai langkah

preventif dalam mencegah pencemaran dan kerusakaan

lingkungan hidup.

Saran

Pembenahan dan konsistensi pemerintah dalam menjalankan

dan menerapkan suatu sistem dianggap perlu dalam

mengupayakan lingkungan hidup yang layak untuk generasi

ke depan, kemudian yang dibebankan oleh pemerintah

yaitu lembaga- lembaga yang mempunyai beban kerja

mestinya melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan,

serta dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio

menetapkan, melaksanakan dan mengawasi kebijakan untuk

kepentingan konservasi. Dalam menjalankan tugas dan

kewenangannya kelak dibutuhkan juga pendanaan baik dari

APBN dan APBD.

BAB IV

Daftar Pustaka

Hardjasoemantri, Koesnadi. 2006. Hukum Tata Lingkungan.

Yogyakarta:Gadjah Mada University.

Silalahi, Daud. 1996. Hukum Lingkungan. Bandung:Alumni.

Erwin, Muhammad. 2008. Hukum Lingkungan. Bandung:PT

Refika Aditama.

Siahaan, N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta:Pancuran

Alam.

Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No. 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup. Lembaran Negara RI Tahun 2009, No. 144.

Sekretariat Negara. Jakarta.