tanggung jawab perbankan terhadap pembobolan rekening

68
TANGGUNG JAWAB PERBANKAN TERHADAP PEMBOBOLAN REKENING NASABAH MELALUI INTERNET BANKING SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: FARIZKA NOVALIANA NIM : 1140480000094 PRODI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1443 H / 2021

Upload: khangminh22

Post on 09-Jan-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TANGGUNG JAWAB PERBANKAN TERHADAP

PEMBOBOLAN REKENING NASABAH

MELALUI INTERNET BANKING

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

FARIZKA NOVALIANA

NIM : 1140480000094

PRODI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1443 H / 2021

iii

LEMBAR PERNYATAAN

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi satu

syarat memperoleh gelar Sarjana Strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 7 Juli 2021

Farizka Novaliana

iv

ABSTRAK

Farizka Novaliana, NIM: 1140480000094, Tanggung Jawab Perbankan

Terhadap Pembobolan Rekening Nasabah Melalui Internet Banking, Program

Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1443 H/ 2021 M.

Penelitian ini membahas tanggung jawab perbankan terhadap kerugian yang

dialami nasabah dalam penggunaan internet banking yang disebabkan oleh bentuk

kejahatan berbasis teknologi (cyber crime). Penelitian ini menggunakan jenis penelitian

normatif dimana objek kajiannya terdiri dari bahan pustaka atau data sekunder. Sesuai

dengan jenis penelitian, maka pendekatan yang digunakan adalah menggunakan yuridis

normatif, yaitu merujuk pada pendekatan ketentuan perundang-undangan, putusan

pengadilan, dan sebagainya.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ketentuan pertanggungjawaban

perbankan belum diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan. Hingga saat

ini, rujukan pertanggungjawaban hukum hanya pada Pasal 1365 KUHPerdata, Pasal 21

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

yang memberikan dasar bagi nasabah untuk meminta pertanggungjawaban kepada pihak

bank akan kerugiaan yang dideritanya, baik kerugian materil maupun immateril.

Adapun upaya hukum yang dapat ditempuh nasabah adalah melalui dua cara yaitu:

melalui jalur di luar pengadilan yaitu melalui lembaga Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) dan Kedua melalui jalur pengadilan yang merupakan jalan terakhir

setelah mediasi tidak tercapai.

Kata Kunci: Tanggungjawab, Bank, Nasabah, Internet Banking.

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah S.WT., karena berkat rahmat,

nikmat serta karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan Judul

“TANGGUNG JAWAB PERBANKAN TERHADAP

PEMBOBOLAN REKENING NASABAH MELALUI

INTERNET BANKING”. Sholat Serta Salam peneliti panjatkan kepada Nabi

Muhammad Shallalahu „Alaihi wa Sallam, yang telah membawa umat manusia dari

zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.

Selanjutnya, dalam penelitian skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan

bimbingan, arahan, serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini

peneliti mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Karlie, M.A, Dekan dan Para Wakil Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiyah Selian, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H, M.Hum, Sekertaris Program Studi Ilmu

Hukum UIN Syarifhidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam

pembuatan skripsi ini.

3. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H dan Maulana Hasanudin, S.H.,

M.H., M.Kn, Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu ,

tenaga dan pikiran serta kesabaran dalam memberikan bimbingan , motivasi,

arahan dan saran-saran yang berharga kepada peneliti dalam menyusun

skripsi ini.

4. Bapak Iwan setiawan dan Ibu Nurhilaliyah yang merupakan kedua orangtua

peneliti yang sangat saya cintai dan telah merawat, mendidik serta

memotivasi peneliti hingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

vi

5. Yuda Dasela Putra Marsyaf, Tiara Anggun P, Yuli Noviarni dan semua pihak

yang sangat berperan dalam memotivasi peneliti dalam penyusunan skripsi

ini.

Semoga Skripsi Ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi peneliti

dan umumnya bagi pembaca. Sekian dan Trimakasih.

Jakarta, 2021

Penulis

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ ii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ iii

ABSTRAK ....................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR .................................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................. 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 6

D. Metode Penelitian ................................................................... 6

E. Sistematika Penelitian ............................................................ 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERLINDUNGAN

DAN PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM

PERBANKAN .............................................................................. 10

A. Kerangka Konseptual ............................................................. 10

B. Teori Perlindungan Hukum dan Perlindungan Konsumen ..... 12

C. Teori Pertanggungjawaban Hukum ........................................ 18

D. Review Studi Terdahulu ......................................................... 22

BAB III BENTUK-BENTUK KERUGIAN YANG KEMUNGKINAN DIALAMI

NASABAH KETIKA MELAKUKAN TRANSAKSI INTERNET

BANKING .................................................................................... 24

A. Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Pelayanan

Internet Banking ..................................................................... 24

B. Bentuk Penyalahgunaan dan Resiko Transaksi Melalui

Internet Banking ..................................................................... 25

C. Bentuk Kerugian Nasabah Ketika Menggunakan Layanan

Internet Banking ..................................................................... 31

viii

BAB IV UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM AKIBAT TERJADINYA

KERUGIAN NASABAH DALAM TRANSAKSI INTERNET

BANKING .................................................................................... 35

A. Pengaturan Perlindungan dan Pertanggungjawaban

Bank Terhadap Kerugian Nasabah Dalam Penggunaan

Layanan Internet Banking ...................................................... 35

B. Penyelesaian Sengketa Nasabah Dengan Pihak Bank ............ 47

BAB V PENUTUP .................................................................................... 54

A. Kesimpulan ............................................................................. 54

B. Saran ....................................................................................... 55

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 56

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring perkembangan zaman, pola hidup manusia menjadi beragam

mengikuti perkembangan yang ada sehingga semakin meningkat pula peluang

tindak kejahatan yang ditimbulkan. Memasuki tahun 1990-an, ada sebuah

fenomena yang berkembang cukup pesat meski telah ada sejak tahun 1950-

an. Fenomena yang dimaksud adalah Teknologi berbasis Internet. Tidak

dapat dipungkiri, bahwa hampir seluruh bidang/sektor menggunakan

kecanggihan dari teknologi dalam mempermudah pekerjaan. Salah satu sektor

yang banyak terpengaruh oleh perkembangan teknologi, informasi dan

komunikasi adalah perbankan dalam pengaplikasiannya merupakan subsektor

ekonomi yang memobilisasi dana masyarakat.1

Pada era informasi ini, tak hanya teknologi yang berubah. Namun,

perilaku konsumen juga mulai mulai mengalami banyak perubahan. Terutama

dalam melakukan suatu transaksi. Pihak Perbankan yang selalu

mengedepankan aspek kemudahan, fleksibilitas, efisiensi dan kesederhanaan

menyebabkan kehadiran Internet Banking menjadi media alternatif dalam

memberikan kemudahan bagi nasabah bank dalam melakukan kegiatan

transaksi.2

Selain memberikan kemudahan bagi Nasabah kehadiran Internet

Banking juga dapat memperluas akses pasar perbankan guna meningkatkan

mutu dan kualitas pelayanan terhadap nasabah. Kehadiran Internet Banking

juga dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan persaingan antar bank.3

Semakin canggihnya teknologi, kejahatan cyber crime pun berevolusi

menjadi berbagai macam jenis kejahatan baru dengan modus operadi yang

baru pula. Bentuk kejahatan semakin berkembang, mulai dari yang dikenal

umum hacking, cracking, carding sehingga yang lebih spesifik lagi seperti:

1 Andi Hamzah, Aspek-Aspek Pidana Di Bidang Computer, (Jakarta: Sinar Grafika, 1987),

h. 21. 2 Budi Agus Riswadi, Aspek Hukum Internet Banking, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2005), h.1 3 Budi Agus Riswadi, Aspek Hukum Internet Banking, h. 47-48. Saran stelah juduk buku,

2

probe (usaha untuk memperoleh akses ke dalam suatu sistem), scan (probe

dalam jumlah besar), account compromize (penggunaan account illegal), root

copromize (account compromize dengan previlege bagi si penyusup), danial

of service atau dos (membuat jaringan tidak berfungsi karena kebanjiran

traffick), penyalahgunaan domain name, dan lain-lain.4

Diperkirakan, jenis dan bentuk kejahatan yang berbasis teknologi telah

berkembang semakin pesat dengan berbagai variasi dan modus dalam

pengoprasiannya.5 Salah satunya adalah Cracking yang merupakan suatu seni

dalam menembus sistem komputer untuk mengetahui seperti apa sistem

tersebut dan bagaimana fungsinya, Cracking sendiri memiliki kesamaan

dengan Hacking. Namun, Cracker memiliki tujuan jahat seperti merusak dan

mencuri.6

Seluruh pihak perbankan yang ada di Indonesia maupun luar negeri

rata-rata menggunakan kecanggihan dari teknologi. Ada juga tujuan lain

dilakukan pihak perbankan adalah mempermudah komunikasi antar pihak

bank dan juga mempermudah nasabah dalam melakukan aktifitas perbankan.

Berdasarkan survei Bank Indonesia terhadap produk electronic banking (e-

banking) tahun 2006, terhadap 105 bank responden, inovasi teknologi industri

jasa perbankan telah melahirkan produk-produk baru seperti ATM, Electronic

Bill Payment, Phone Banking, Debet Card, Cash Management, Corporate

Internet banking, Individual Internet banking Services dan EFT Post.7

Salah satu contoh kasus yang terjadi dalam tindak pidana yang terkait

dengan kegiatan bisnis bank yang heboh dan ramai dibicarakan adalah kasus

pembobolan dana sebesar 130 miliar rupiah yang terjadi di 3 bank. Modus

pembobolan dana nasabah ini dilakukan dengan membajak akun Internet

banking milik nasabah bank. Saat nasabah akan menyetorkan uang ke

rekeningnya, aliran uang tersebut dibelokkan ke rekening pelaku. Menurut

4 Aloysius Wisnubroto, Strategi Penanggulangan Kejahatan Telematika, (Universitas Atma

Jaya Yogyakarta:2010), h. 56. 5 Mahesa Jati Kusuma, Hukum Perlindungan Nasabah Bank, Upaya Hukum Melindungi

Nasabah Terhadap Tindakan Kejahatan ITE Di Bidang Perbankan, (Bandung: Nusamedia, 2012),

h. 2-3. 6 Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu pengantar, (Jakarata: Kencana Prenada

Media Group, 2013), h. 64-67. 7Resa Raditio, Aspek Hukum Transaksi Elektronik Perikatan, Pembuktian Dan Peyelesaian

Sengketa, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 65.

3

pihak kepolisian, pelaku utama bukanlah Warga Negara Indonesia karena

aliran dana tersebut diarahkan menuju rekening di negara Ukraina. 8

Modus kejahatan ini bermula saat pelaku menawarkan perangkat

aplikasi antivirus melalui layanan di Internet kepada nasabah pengguna

Internet banking. Setelah nasabah mengunduh software palsu tersebut, virus

atau malware akan secara otomatis masuk ke komputer dan memanipulasi

tampilan laman Internet banking seolah-olah laman tersebut milik bank.

Dengan cara itu, pelaku dapat dengan mudah mengendalikan akun Internet

banking nasabah setelah mengetahui password nasabah. Dari penyelidikan

pihak kepolisian, pelaku tidak menguras rekening nasabah, melainkan hanya

membelokkan ke rekening kurir jika nasabah melakukan transaksi keuangan

melalui Internet banking. Dalam aksi kejahatannya tersebut, pelaku merekrut

warga Negara Indonesia sebagai kurir dengan kedok kerjasama bisnis,

sehingga kurir sendiri tidak mengetahui bahwa uang yang masuk ke rekening

mereka merupakan hasil pembobolan. Pelaku menjanjikan kurir dapat

mengambil 10 persen dari dana yang masuk dan sisanya dikirimkan ke

rekening di Ukraina melalui Western Union.

Kecanggihan teknologi ini terbukti ketika dengan mudahnya teknologi

mampu merevolusi sistem pembayaran konvensional (cash) yang telah

berjalan berabad-abad menjadi sistem pembayaran elektronik (non-cash).

Masyarakat akhirnya terbiasa memanfaatkan teknologi untuk melakukan

sistem perdagangan dengan memanfaatkan pembayaran teknologi tersebut.

Secara garis besar transaksi memanfaatkan teknologi tersebut dapat

menghasilkan revenue stream bagi para pelaku usaha yang mungkin tidak

dapat disediakan cara perdagangan konvensional. Selain itu juga dapat

meningkatkan market exposure, menurunkan biaya operasi (operating cost),

memperpendek waktu (product-cycle), meningkatkan supplier management,

melebarkan jangkauan (global reach), meningkatkan customer loyality dan

bahkan meningkatkan value chain dengan mengkomplemenkan business

practice dengan mengkonsolidasi informasi dan membuka kepada pihak-

pihak yang terkait di dalam value chain tersebut.9

8 Sunu Widi Purwoko, Aspek Hukum Bisnis Bank Umum, (Jakarta: Nine Seasons

Communication, 2015), h. 32. 9 Resa Raditio, Aspek Hukum Transaksi Elektronik Perikatan, Pembuktian Dan

Penyelesaian Sengketa, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014) h. 2.

4

Secara umum setidaknya terdapat tiga basis intrumen pembayaran yakni:

1. Paper-based: cek, bilyet, giro dan nota debet.

2. Card-based: kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM.

3. Electronik-based: e-money, Internet banking, mobile banking, electronic

mall.

Peningkatan perputaran ekonomi jelas menuntut dukungan sistem

pembayaran yang cepat, aman, efisien dan handal. Lancarnya sistem

pembayaran, selain akan memberikan kepastian kepada masyarakat dalam

bertransaksi, secara otomatis juga akan mempercepat peredaran uang

(velocity of money) dan mengurangi floating dana dalam setelmen. Transaksi

yang memanfaatkan teknologi tersebut diatas dikenal dengan istilah E-

Commerce atau Transaksi Elektronik.10

Munculnya berbagai fenomena yang menimbulkan kerugian jika

melihat dari sisi Hukum Perbankan, Hukum Perlindungan Konsumen dan

prinsip-prinsip Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Bagaimana

seharusnya pihak perbankan bertanggung jawab atas permasalahan yang

timbul dan berpotensi merugikan Nasabah sebagai konsumen Sehingga

permasalahan perlindungan kosumen dalam lingkup cyber harus diperhatikan

sehingga kepentingan nasabah juga dapat terlindungi. 11

Berdasarkan uraian di atas peneliti membuat penelitian dengan judul:

“TANGGUNG JAWAB PERBANKAN TERHADAP

KERUGIAN YANG DITIMBULKAN DALAM TRANSAKSI

INTERNET BANKING”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi

Dari latar belakang masalah di atas, dapat dikemukakan beberapa

identifikasi masalah antara lain:

a. Hukum Pidana di Bidang Teknologi Informasi

10

Resa Raditio, Aspek Hukum Transaksi Elektronik Perikatan, Pembuktian dan

Penyelesaian Sengketa, h. 2 11

Assafa Endeshaw, Hukum E-Commerce dan Internet dengan Fokus Di Asia Pasifik,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.408

5

b. Manajemen Ideal Terhadap Resiko Aktivitas Pelayanan Jasa

Perbankan Melalui Internet Banking

c. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Pengguna Internet Banking

d. Perlindungan Hukum Atas Hak Nasabah Bank Sebagai Konsumen

Layanan Internet Banking Dari Ancaman Cybercrime

e. Penyelesaian Kasus Kerugian Nasabah Bank Akibat Cybercrime

2. Pembatasan Masalah

Karena luasnya masalah-masalah tersebut agar penelitian ini dapat

fokus membahas lebih tuntas dan dapat mencapai sasaran yang

diharapkan, maka perlu adanya pembatasan masalah. Berdasarkan

identifikasi masalah yang ada, penelitian ini lebih memfokuskan kepada

Hukum Perbankan, Hukum Perlindungan Konsumen dan prinsip KUHPer

terkait fokus penelitian adalah perlindungan nasabah dalam transaksi

melalui Internet Banking berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUHPer). Peneliti mencoba mengkaitkan antara Undang-

Undang yang ada dengan upaya hukum mengenai fokus penelitian.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah

dipaparkan, banyak permasalahan-permasalahan yang menuntut jawaban.

Untuk mempermudah menjawab permasalahan dalam penelitian ini dan

upaya mempertegas arah pembahasan. Penelitian ini akan berfokus pada

tanggung jawab perbankan terhadap kerugian pembobolan rekening

nasabah bank melalui Internet banking.

Agar Penelitian ini dapat berjalan dengan baik, maka perlu dibuat

pertanyaan riset sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pengaturan pertanggungjawaban bank terhadap nasabah

yang mengalami kerugian dalam transaksi Internet Banking?

6

b. Bagaimanakah bentuk-bentuk kerugian yang kemungkinan dialami

nasabah ketika melakukan transaksi Internet Banking?

c. Bagaimana upaya hukum nasabah akibat terjadinya kerugian pada

transaksi Internet Banking?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan dari

penelitian ini, antara lain:

a. Dapat memahami tanggung jawab perbankan terhadap nasabah

Peraturan perundang-undangan.

b. Dapat diperoleh wawasan tentang bentuk-bentuk kerugian yang

mungkin terjadi dalam transaksi Internet Banking.

c. Untuk memahami perlindungan hukum atas kerugian nasabah dalam

transaksi Internet Banking.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian skripsi ini antara lain:

a. Manfaat Teoritis

Untuk memberikan pemahaman pendasaran dan pemahaman

teori untuk pengembangan Ilmu Hukum khususnya di Bidang Hukum

Perbankan terhadap perlindungan hukum nasabah sebagai konsumen

atas transaksi Internet Banking.

b. Manfaat Praktis

Bermanfaat bagi peningkatan pemahaman masyarakat umum dan

khususnya terhadap nasabah bank sebagai pengguna Internet Banking

serta dengan penelitian skripsi ini, semoga dapat memberikan

sumbangsih pemikiran terhadap para pembaca dan mahasiswa di

bidang Hukum Perbankan.

D. Metode Penelitian

Penelitian Ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian Skripsi ini, peneliti menggunakan metode

pendekatan yang tepat sesuai dengan permasalahan yang telah

7

ditentukan. Pendekatan masalah yang dipilih dalam penelitian Skripsi ini

adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian

hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.12

3. Data Penelitian

Sumber data yang dipakai oleh peneliti:

a. Bahan hukum primer

Bahan Primer yang terdiri dari peraturan perUndang-Undangan

dalam hal ini berupa:

1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik.

4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

5) Serta beberapa peraturan pemerintah yang terkait.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan Sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti, karya-karya tulis dari kalangan hukum,

pendapat para pakar hukum.

c. Bahan hukum tertier

Bahan Tertier yakni bahan hukum yang dapat memberikan arti,

istilah maupun pengertian tertentu untuk menunjang pemahaman

terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

Karena penelitian hukum normatif disebut juga dengan

penelitian hukum kepustakaan, maka bahan hukum yang diperoleh

kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif.

12

Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan

Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13.

8

E. Sistematika Penelitian

Untuk memudahkan pemahaman isi Skripsi ini, maka Skripsi ini ditulis

dan dibagi dalam empat bab yang saling berkaitan satu dengan lainnya,

dimana bab yang lebih dahulu merupakan dasar untuk uraian dan bahasan

bagi bab selanjutnya, dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan, yang terdiri atas beberapa sub-

bab yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum

tentang Skripsi ini dan menjelaskan beberapa hal yang bersifat

teknis penelitian. latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

metode penelitian serta sistematika penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERLINDUNGAN DAN

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PERBANKAN

Bab ini meninjau tinjauan Pustaka, yang membahas mengenai

pengaturan pertanggungjawaban bank terhadap nasabah yang

mengalami kerugian dalam kegiatan transaksi Internet Banking

sebagai kerangka konseptual, kerangka teori dan kajian (review)

terdahulu.

BAB III BENTUK-BENTUK KERUGIAN YANG KEMUNGKINAN

DIALAMI NASABAH KETIKA MELAKUKAN

TRANSAKSI INTERNET BANKING

Bab ini menjelaskan mengenai segala kemungkinan yang akan

dialami nasabah berdasarkan kasus-kasus yang terjadi di

masyarakat.

BAB IV UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM AKIBAT

TERJADINYA KERUGIAN NASABAH DALAM

TRANSAKSI INTERNET BANKING

Pembahasan, dalam bab ini menjawab masalah-masalah yang

telah dirumuskan sebelumnya dan serta hasil analisis peneliti

mengenai upaya perlindungan hukum nasabah akibat kerugian

dalam transaksi internet banking yang menjadi fokus penelitian.

9

BAB V PENUTUP

Berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi. Pada bab ini

merupakan bab terakhir dari penelitian skripsi ini, untuk itu

peneliti menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, serta

rekomendasi yang dianggap perlu.

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERLINDUNGAN DAN

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PERBANKAN

A. Kerangka Konseptual

Suatu kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti. Suatu konsep

bukan merupakan gejala yang akan diteliti. Akan tetapi merupakan suatu

abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta,

sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan

dalam fakta tersebut.1

Dalam penelitian hukum normatif maupun sosiologis atau empiris,

dimungkinkan untuk menyusun kerangka kenseptual yang didasarkan atau

diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu. Biasanya kerangka

konseptual tersebut sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu yang

dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan,

pengolahan, analisa, dan konstruksi data. Penulisan skripsi ini menggunakan

definisi operasional sebagai berikut:

1. Bank menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan menyimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan

yaitu: menghimpun dana, menyalurkan dana dan memberikan jasa bank

lainnya. Kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana merupakan

kegiatan pokok bank sedangkan memberikan jasa bank lainnya hanya

kegiatan pendukung. Kegiatan menghimpun dana berupa mengumpulkan

dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan

deposito. Sedangkan jasa-jasa perbankan lainnya diberikan untuk

mendukung kelancaran kegiatan tersebut.

1Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, (Jakarta: UI Press, 1986), h.

132.

11

2. Jasa adalah suatu kegiatan yang dapat berwujud maupun tidak berwujud

yang dilakukan untuk melayani konsumen. Dalam perkembangannya

terdapat empat karakteristik jasa yaitu: pertama, Intangibility (tidak

berwujudnya jasa). Bagian ini jasa adalah perbuatan atau usaha. Jasa

bersifat tidak nyata dalam arti tidak dapat disentuh, dilihat dan dirasakan

sampai saat dikonsumsi. Kedua, Inseparability atau ketidakterpisahan

jasa. Maksudnya adalah jasa tidak dapat dipisahkan dari penyedianya

karena pelanggan turut hadir saat jasa itu diproduksi. Ketiga, Variability

atau keragaman jasa. Pada karakteristik ini, kualitas jasa sangat bervariasi

tergantung dari siapa yang memberikan, kapan dan dimana diberikan.

Terakhir yaitu Keempat, Perishability atau tidak tahan lama. Dalam

karakteristik ini suatu jasa tidak dapat disimpan untuk penjualan atau

pemakaian yang akan datang. Karena itu, perusahaan jasa seringkali

merancang strategi agar lebih baik menyesuaikan permintaan dan

penawarannya.

3. Internet Banking pada dasarnya merupakan gabungan dua istilah dasar

yaitu internet banking. Interconnexted network atau internet adalah

sebuah sistem komunikasi global yang menghubungkan computer-

komputer dan jaringan-jaringan computer di seluruh dunia. Setiap

computer dan jaringan terhubung secara langsung maupun tidak langsung

dengan beberapa jalur utama yang disebut internet backbonedan

dibedakan dengan menggunakan unique name yang biasa disebut dengan

alamat IP 32 bit. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000

tentang Penyelenggaraan Telkomunikasi, internet dimasukkan ke dalam

jenis jasa multimedia, yang didefenisikan sebagai penyelenggaraan jasa

telekomunikasi yang menawarkan layanan berbasis teknologi informasi.

Internet Banking merupakan saluran distribusi baik untuk mengakses

rekening yang dimiliki jaringan internet dengan menggunakan perangkat

lunak. Menurut Bank Indonesia, Internet Banking merupakan salah satu

layanan jasa bank yang memungkinkan nasabah untuk memperoleh

informasi, melakukan komunikasi dan melakukan transaksi perbankan

melalui jaringan internet.

12

4. Nasabah merupakan pihak yang menggunakan jasa bank. Penghimpunan

dana dan pemberian kredit merupakan pelayanan jasa perbankan yang

utama dari semua kegiatan lembaga keuangan bank. Merujuk pada Pasal

1 Angka (18) UU Perbankan diintroduksikan rumusan nasabah yaitu

nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank. Bila dirumuskan

lebih lanjut, pengertian nasabah antara lain: Pertama, nasabah

penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam

bentuk simpnan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang

bersangkutan. Kedua, nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh

fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang

dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah

yang bersangkutan.

B. Teori Perlindungan Hukum dan Perlindungan Konsumen

Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah upaya untuk

mengorganisasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat supaya tidak

terjadi tubrukan antar kepentingan dan dapat menikmati semua hak-hak yang

diberikan oleh hukum. pengorganisasian dilakukan dengan cara membatasi

suatu kepentingan tertentu dan memberikan kekuasaan pada yang lain secara

terukur.2 Teori perlindungan hukum dari Satjipto Raharjo ini terinspirasi oleh

pendapat Fitzgerald tentang tujuan hukum, yaitu untuk mengintegrasikan dan

mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat dengan cara

mengatur perlindungan dan pembatasan terhadap berbagai kepentingan

tersebut.

Menurut R. La Porta, bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh

suatu negara memiliki dua sifat yaitu bersifat pencegahan (prohibited) dan

bersifat hukuman (sanction). Perlindungan yang dimaksud bersifat

pencegahan yaitu dengan membuat peraturan, sementara perlindungan yang

dimaksud bersifat hukuman adalah menegakkan peraturan.3 Senada dengan

2 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), h. 54.

3 R. La Porta, Investor Protection and Corporate Governance, Jurnal Of Financial

Economics 58 1 Januari 2000.

13

pendapat tersebut, Philipus M Hadjon juga menjelaskan bahwa perlindungan

hukum preventif adalah perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah

terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-

hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, sedangkan

perlindungan hukum represif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan untuk

menyelesaikan sengketa.4

Demikian juga disampaikan oleh Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra bahwa

hukum difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak

sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antipatif.5

Merujuk pada pengertian ini, dapat disarikan bahwa perlindungan hukum

adalah bekerjanya sistem hukum untuk memberi perlindungan kepada subyek

hukum baik dalam sifatnya yang adaptif dan fleksibel atau juga prediktif dan

antipatif.

Berdasarkan pemaparan di atas, perlindungan hukum berarti

memberikan hak kepada subjek tertentu yang diberi hak melalui instrumen

hukum. Dalam penjabaran lebih jauh, objek tersebut banyak ragamnya sesuai

yang diatur dalam hirarki perundang-undangan. Objek tersebut bisa berupa

perlindungan terhadap anak, terhadap warga umum, atau perlindungan

terhadap konsumen. Adapun pengertian perlindungan konsumen sebagai

berikut: dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen Pasal 1 menyebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen.

Ditinjau dari teorinya, perlindungan konsumen memiliki beberapa

prinsip: Pertama, Caveat Emptor atau juga biasa disebut dengan Let the

buyer beware. Perlindungan konsumen yang kita kenal sekarang ternyata

mempunyai rentetan teori yang panjang. Dahulu, dikenal teori Caveat Emptor

yang mempunyai paradigma pembeli harus berwaspada. Jika pembeli tidak

4 Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT. Bina

Ilmu, 1987), h. h. 2. 5 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja

Rusdakarya, 1993), h. 118.

14

berhati-hati dalam pembeliannya, ia akan bertanggung jawab sendiri dan

memikul seluruh resiko atas pembeliannya. Teori ini berkembang pada masa

kekaisaran Romawi Kuno dan selama periode itu konsumen tidak dapat

berbuat banyak terhadap pembelian barang-barang yang cacat.6 Hal ini

disebabkan karena teori ini menganggap antara pelaku usaha dan konsumen

adalah dua pihak yang seimbang sehingga konsumen tidak memerlukan

perlindungan.7

Kedua, teori Caveat Venditor atau biasa juga disebut dengan The due

care theory.Teori ini berparadigma berwaspadalah penjual. Teori ini

menekankan pertanggungjawaban penjual terhadap barang yang mereka jual

dan merugikan konsumen. Penjual harus menjamin kualitas barang yang

mereka jual. Dengan kata lain penjual atau pelaku usaha mempunyai

kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan produk baik barang maupun

jasa. Selama pelaku usaha berhati-hati dengan produknya, maka ia tidak dapat

dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku adagium siapa yang mendalilkan

maka dialah yang membuktikan.

Ketiga, muncul teori Paternalistik. Manifestasi dari teori ini adalah

untuk mencegah kerugian yang dialami konsumen yang merugikan mereka.

Hukum yang bersifat paternalistik dibentuk demi melindungi konsumen yang

sering dirugikan oleh pelaku usaha.8 Teori ini juga dikenal dengan nama the

privity of contract dimana pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk

melindungi konsumen, tetapi itu baru dapat dilakukan jika di antara mereka

telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak disalahkan di

luar hal-hal yang diperjanjikan. Dalam konteks ini konsumen dapat

menggugat berdasarkan wanprestasi.9

Dalam kaitannya dengan topik penelitian ini, perlindungan terhadap

nasabah sebagai konsumen ditentukan dalam beberapa peraturan perundang-

6 Curtis R. Reitz, Consumer Product Warranties Under Federal and State Laws, University

of Pennsylvania Law School 1987, h. 3. 7 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo, 2006), h. 61.

8 Peter Cartwright, Consumer Protection and The Criminal Lawa: Law, Theori, and Policy

In The UK, (UK: Cambridge University Press, 2004), h. 33. 9 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, h. 61.

15

undangan. Pertama, merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

yang Diubah Menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang

Perbankan. Pada Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang ini menyatakan bahwa

untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai

kemungkinan timbul resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah

yang dilakukan oleh bank. Hal tersebut diatur mengingat bank dengan dana

dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan. Lebih

lanjut ketentuan lain dalam Undang-Undang ini adalah Pasal 40 ayat (1) dan

(2) yang menyatakan bahwa bank diwajibkan untuk merahasiakan keterangan

mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.

Kedua, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen. Pasal 4 huruf f Undang-Undang ini menyebutkan tentang hak

konsumen untuk mendapatkan kompensasi atau ganti rugi bila barang atau

jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana

mestinya. Pasal ini hanya dapat diterapkan jika terjadi wanprestasi atau

cedera janji antara pihak berdasarkan perjanjian yang telah disepakati

bersama. Dalam perjanjian internet banking antara bank dengan nasabah

ditentukan bahwa bank menerima dan menjalankan setiap instruksi dari

nasabah sebagai instruksi yang sah berdasarkan penggunaan user ID dan PIN

atau menilai maupun membuktikan sebaliknya. Masalahnya kemudian adalah

di dalam perjanjian tersebut, banyak ditemukan syarat-syarat baku yang

sangat merugikan nasabah. Perjanjian dengan syarat-syarat baku yang telah

memuat syarat-syarat yang membatasi kewajiban kreditur atau dinamakan

syarat eksonerasi klausul. Imbasnya, tanggung jawab salah pihak menjadi

dibatasi. Beban tanggung jawab yang mungkin diberikan oleh peraturan

perundang-undangan dihapus oleh penyusun perjanjian dengan syarat-syarat

eksonerasi.10

Selain klausul eksonerasi, dalam perjanjian internet banking juga

terdapat klausul force majeur. Klausul force majeur ini merupakan klausul

10

A.Z Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), (Jakarta: Daya Widy,

1999), h. 104.

16

yang membebaskan debitur untuk bertanggung jawab atas tidak dipenuhinya

kewajiban yang ditentukan baginya. Hal ini ditentukan dalam undang-undang

sehingga meskipun klausul force majeur tidak dicantumkan dalam perjanjian

namun debitur yang bersangkutan tetap saja dibebaskan dari tanggung jawab

karena merupakan ketentuan perundang-undangan.11

Kemudian pada Pasal 26

Undang-Undang ini juga menegaskan pelaku usaha yang memperdagangkan

jasa wajib memenuhi jaminan dan atau garansi yang diperjanjikan seperti

iklan yang disebut dalam setiap promosi bagi penyedia layanan internet

banking.

Ketiga, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa setiap

penyelenggara sistem elektronik diwajibkan untuk menyediakan sistem

elektronik secara andal dan aman serta bertanggungjawab terhadap

beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya. Andal artinya sistem

elektronik memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan

penggunanya. Aman artinya sistem elektronik terlindungi secara fisik maupun

nonfisik. Beroperasi sebagaimana mestinya berarti sistem sistem elektronik

memiliki kemampuan yang sesuai dengan spesifikasinya. Undang-Undang ini

juga mengatur bahwa sepanjang tidak ditentukan lain oleh ketentuan

perundang-undangan maka setiap penyelenggara sistem elektronik memenuhi

persyaratan minimum sebagai berikut:12

1. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen

elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan

dengan peraturan perundang-undangan;

2. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan dan

keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem

elektronik tersebut;

11

Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak

Dalam Perjanjian Kredij Bank Indonesia, (Jakarta: Institut Bank Indonesia, 1993), h. 2 12

Dwi Ayu Astrini, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Pengguna Internet

Banking Dari Ancaman Cybercrime, Lex Privatum Vol. II No. 1 2015, h. 154.

17

3. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam

penyelenggaraan sistem elektronik;

4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan

bahasa, informasi atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang

bersangkutan dengan penyelenggara sistem elektronik;

5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,

kejelasan dan kebertanggungjawaban prosedur atau produk.

Selain itu, perlindungan hukum konsumen atau nasabah yang

ditegaskan dalam Undang-Undang ini juga terdapat pada Pasal 26 yang

menyatakan bahwa kecuali ditentukan oleh Peraturan Perundang-Undangan,

penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data

pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.

Keempat, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang

Telekomunikasi. Melalui Undang-Undang ini, perlindungan hukum yang

ditegaskan di dalamnya terdapat pada Pasal 22 yang menyatakan bahwa:

Setiap orang yang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, dan tidak sah,

atau memanipulasi: a. akses ke jaringan telekomunikasi, dan atau; b. akses

ke jasa telekomunikasi dan atau; c. akses ke jaringan telekomunikasi.

Ketentuan ini apabila dianalogikan pada masalah perlindungan data pribadi

nasabah dalam penyelenggaraan layanan internet banking terdapat perbedaan

dari objek data atau informasi yang dilindungi dimana ketentuan ini lebih

menitikberatkan pada data yang ada dalam jaringan dan data yang sedang

ditransfer.13

Secara keseluruhan dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

perlindungan hukum atas nasabah dalam penyelenggaraan internet banking

tersebut baik dilakukan dengan cara self regulation dan government

regulation maka jelas bahwa upaya perlindungan hukum telah dilakukan

meski masih terdapat banyak kekurangan. Sebab hingga saat ini belum ada

ketentuan khusus melalui government regulation yang mengatur hak dan

13

Budi Riswandi, Aspek Hukum Internet Banking, (Yogyakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2005), h. 223.

18

kewajiban yang seimbang antara penyelenggara internet banking dengan

nasabahnya sendiri.

C. Teori Pertanggungjawaban Hukum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab

diartikan sebagai kewajiban menanggung segala sesuatu bila terjadi apa yang

telah diwajibkan kepadanya. Dalam kamus bahasa hukum, tanggung jawab

adalah suatu keharusan bagi seseorang tentang perbuatannya yang berkaitan

dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.14

Dalam

pengertian secara umum menurut para ahli, tanggung jawab sering

diistilahkan dengan responsibility yang berarti sikap moral untuk

melaksanakan kewajibannya. Dalam konteks hukum, tanggungjawab adalah

salah satu akibat atas konsekuensi kebebasan seseorang tentang perbuatannya

yang berkaitan dengan etika atau moral dengan melakukan suatu perbuatan.15

Menurut Hans Kelsen tanggungjawab berkaitan erat dengan kewajiban,

namun tidak identik. Kewajiban tersebut muncul karena adanya aturan hukum

yang mengatur dan memberikan kewajiban kepada subyek hukum. subyek

hukum yang dibebani kewajiban harus melaksanakan kewajiban tersebut

sebagai perintah dari aturan hukum. Akibat dari tidak dilaksanakannya

kewajiban maka akan menimbulkan sanksi. Sanksi ini merupakan tindakan

paksa dari aturan hukum supaya kewajiban dapat dilaksanakan dengan baik

oleh subyek hukum. Menurutnya, subyek hukum yang dikenakan sanksi

tersebut dikatakan bertanggungjawab atau secara hukum bertanggung jawab

atas pelanggaran.16

Berdasar pada konsep tersebut, maka dapat dikatakan

bahwa tanggungjawab muncul dari adanya aturan hukum yang memberikan

kewajiban kepada subyek hukum dengan ancaman sanksi apabila kewajiban

tersebut tidak dilaksanakan.

14

Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2015), h. 60. 15

Soekidjo Notoatmodjo, Etika Dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.

44. 16

Hans Kalsen, Pure Theory of Law, Penerjamah Raisul Muttaqie, Teori Hukum Murni:

Dasar-Dasar Hukum Normatif, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2008), h. 136.

19

Menurut Ridwan Halim, tanggung jawab hukum sebagai suatu akibat

lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan

kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum

diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berprilaku

menurut cara tertentu tidak menyimpang dari peraturan yang ada. Sementara

menurut Purbacaraka tanggung jawab hukum bersumber atau lahir atas

penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang untuk

menggunakan hak atau/dan melaksanakan kewajibannya. Lebih lanjut

ditegaskan setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan hak baik

yang dilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan secara

memadai pada dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggungjawaban,

demikian pula dengan pelaksanaan kekuasaan.17

Dalam konteks hukum perdata, pertanggungjawaban dibagi menjadi

dua macam yaitu: kesalahan dan resiko. Dari sini dikenal

pertanggungjawaban atas dasar kesalahan dan pertanggungjawaban tanpa

kesalahan yang dikenal dengan tanggungjawab resiko atau tanggung jawab

mutlak (strick liability).18

Prinsip dasar pertanggungjawaban atas dasar

kesalahan mengandung arti bahwa seseorang harus bertanggungjawab karena

ia melakukan kesalahan karena merugikan orang lain. Sebaliknya prinsip

tanggungjawab resiko adalah bahwa konsumen penggugat tidak diwajibkan

lagi melainkan produsen tergugat langsung bertanggungjawab sebagai resiko

usahanya. Prinsip tanggungjawab berdasarkan unsur kesalahan adalah prinsip

yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1365, 1366 dan 1367 jelas

meneguhkan prinsip pertanggungjawaban ini. prinsip ini berkesimpulan

bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara

hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.

Bila mengacu pada topik penelitian, pertanggungjawaban hukum pihak

bank kepada pihak nasabah ketika terjadi kerugian dalam transaksi melalui

17

Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 2010), h. 37. 18

Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, (Jakarta: Prestasi

Pustaka, 2010), h. 48.

20

internet banking, mengacu pada pembuktian kesalahan. Umumnya, pihak

bank menggunakan beban pembuktian kesalahan sebelum memberikan

pertanggung jawaban. Demikian, maka rumusannya akan seperti ini:

1. Apabila kerugian yang diderita oleh nasabah pengguna internet banking

tersebut diakibatkan oleh karena kesalahan dari nasabah pengguna

internet banking itu sendiri, maka nasabah dapat mengajukan tuntutan

kepada pihak bank karena kesalahan tersebut dilakukan oleh nasabah

pengguna internet banking itu sendiri, dan pihak bank tidak melakukan

wanprestasi kepada nasabah. Sehingga, tidak mengharuskan bagi pihak

bank untuk mengganti kerugian yang dialami oleh nasabah. Meski

begitu, pihak bank tetap membantu nasabah dalam mencari solusi atas

kerugian yang dialami oleh nasabah.

2. Sebaliknya, apabila ternyata kerugian materil yang diderita nasabah

pengguna internet banking diakibatkan oleh karena kesalahan dari pihak

bank sebagai penyedia jasa internet banking, maka pihak bank harus

memenuhi tuntutan nasabah bank pengguna internet banking tersebut

serta bertanggungjawab untuk memberikan ganti rugi sesuai dengan

kerugian yang telah diderita oleh nasabah. Karena pihak bank telah

melakukan wanprestasi kepada nasabah pengguna internet banking.

3. Jika kerugian materil yang diderita oleh nasabah ternyata disebabkan

karena perbuatan pihak ketiga, maka pihak ketiga yang bersalah itu harus

memenuhi tuntutan serta tanggungjawab kepada nasabah.

Sebagai contoh dalam kasus sengketa antara Tjho Winarto sebagai

Penggungat melawan PT. Bank Permata, Tbk selaku Tergugat dan PT.

Grapari Telkomsel selaku Turut Tergugat atas penyalahgunaan layanan

internet banking. Kasus ini diawali dengan hilangnya dana simpanan atau

tabungan milik Penggugat sebesar Rp. 245.000.000,00 (Dua Ratus Empat

Puluh Lima Juta Rupiah) akibat rekeningnya yang dapat diakses oleh pihak

bank yang tidak bertanggung jawab yang dapat masuk melalui sistem layanan

internet banking milik Tergugat. Penggugat dalam petitumnya menyatakan

bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak

21

melaksanakan prinsip kehati-hatian sehingga data pribadinya bisa diketahui

oleh orang lain sehingga berdampak pada hilangnya dana simpanan/tabungan

milik Penggugat.

Dalam sengketa ini Penggugat telah mengajukan komplain kepada

Tergugat dan selanjutnya oleh Tergugat ditangani melalui mekanisme

complain handling akan tetapi tidak membuahkan hasil yang memuaskan

pihak Penggugat. Upaya damai dan mediasi juga telah ditempuh kedua belah

pihak namun tidak ada hasil kesepakatan di antara pihak. Sengketa ini

selanjutnya disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Salinan

Putusan Nomor 92/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel yang selanjutnya Putusan Majelis

Hakim dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

1731 K/Pdt/2017.

Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa, gugatan Penggugat Error in

Persona karena Penggugat mendalilkan adanya dugaan adanya perbuatan

melawan hukum pidana berupa pembobolan rekening dan tindak kejahatan

perbankan yang dilakukan oleh seseorang pelaku akan tetapi dalam

tuntutannya Penggugat meminta ganti rugi kepada Tergugat. Bahwa dengan

demikian gugatan Penggugat merupakan gugatan yang cacat hukum karena

pertanggungjawaban sebagai akibat dari perbuatan pidana yang didalilkan

Penggugat tersebut hanya dapat diminta pertanggungjawabannya kepada

pelaku, demikian gugatan Penggugat harus ditolak untuk seluruhnya.

Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah

menyatakan Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak

melakukan prinsip kehati-hatian dalam perbankan yang mengakibatkan

kerugian pada Penggugat, dihubungkan dengan alat bukti P7 yang berupa

print screen percakapan BBM antara Perwakilan Tergugat dan Penggugat

yang pada intinya menyatakan bahwa nomor handphone Penggugat berada di

bawah penguasaan orang lain sehingga dapat digunakan untuk melakukan

kejahatan dalam transaksi internet banking maka Majelis Hakim memberikan

pertimbangan bahwa bobolnya rekening Penggugat tersebut bukan

disebabkan perbuatan Tergugat. Karena itu, gugatan Penggugat ditolak

22

seluruhnya karena Pengguat tidak berhasil membuktikan dalil-dalil

gugatannya.19

D. Review Studi Terdahulu

Dalam skripsi ini, penulis akan memaparkan beberapa penelitian

terdahulu yang mempunyai kemiripan dengan apa yang penulis teliti antara

lain:

1. Skripsi yang ditulis oleh Azka Chya Arnanta yang berjudul:

Perlindungan Hukum Nasabah Berkaitan Dengan E-Banking (Studi

Kasus di Bank CIMB Niaga Gladag Surakarta). Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui prosedur layanan internet banking Bank CIMB Niaga

Cabang Gladag Surakarta terhadap nasabah pengguna internet banking

yang mengalami masalah dalam penggunaannya serta upaya

perlindungan hukum terhadap nasabah pengguna internet banking. Hasil

dari penelitian ini adalah dengan adanya internet banking CIMB Clicks

sangat sesuai dengan ketentuan yang ditegaskan dalam Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.20

2. Skripsi yang ditulis oleh Rildayatnti Medita yang berjudul: Perlindungan

Hukum Bagi Nasabah Terhadap Keamanan Data Pribadi Nasabah

Dalam Layanan Internet Banking. Dalam penelitian ini, penulis hendak

mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah terhadap

keamanan data pribadi nasabah dalam layanan internet banking serta

upaya hukum apa yang harus dilakukan nasabah jika data pribadi

nasabah dalam layanan internet banking tidak terlindungi? Hasil

penelitian ini adalah dari segi perlindungan nasabah pengguna internet

banking dilakukan melalui beberapa tahap yaitu tahap pra transaksi,

tahap pada saat terjadinya transaksi maupun pada saat pasca transaksi.

19

Kuwido Prahohoro, Dkk., Tanggung Gugat Dalam Transaksi Melalui Internet Banking,

Hukum Bisnis Universitas Narotama Surabaya Vol. 3 No. 2 Oktober 2019, h. 201. 20

Azka Cahya Arnanta, Perlindungan Hukum Nasabah Berkaitan Dengan E-Banking

(Studi Kasus di Bank CIMB Niaga Gladag Surakarta), Skripsi Program Studi Ilmu Hukum,

Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta 2019.

23

Dalam rangkaian tahap itu, pelaksanaan perlindungan nasabah belum

sepenuhnya dilakukan karena tidak menginformasikan kepada nasabah

antara lain resiko produk, prosedur pengaduan jika terjadi permasalahan

dan batasan ganti rugi yang akan diberikan.21

3. Penelitian yang ditulis oleh Dwi Ayu Astrini berjudul: “Perlindungan

Hukum Terhadap Nasabah Bank Pengguna Internet Banking Dari

Ancaman Cybercrime”. Karya ini hendak meneliti bagaimana peraturan

perundang-undangan mengatur perlindungan terhadap nasabah bank

pengguna internet banking dari ancaman cybercrime, dan bagaimana

mekanismenya. Hasil yang ditemukan adalah bahwa sumber hukum

formal mengenai bidang perbankan adalah Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 1 ayat 3, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang diubah

menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan,

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang

Telekomunikasi. Sementara mekanisme perlindungan dan tanggung

jawab pihak bank kepada nasabah dilakukan dengan pengamanan akun,

kebijakan privasi. Demikian juga pihak bank membebankan kepada

nasabah agar lebih meningkatkan kewaspadaan dan ketelitian dalam

menggunakan layanan internet banking.22

21

Rildayanti Medita, Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Terhadap Keamanan Data

Pribadi Nasabah Dalam Layanan Internet Banking, Skripsi Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas

Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2014. 22

Dwi Ayu Astrini, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Pengguna Internet

Banking Dari Ancaman Cybercrime, Lex Privatum Vol. III No. 1 2015.

24

BAB III

BENTUK-BENTUK KERUGIAN YANG KEMUNGKINAN DIALAMI

NASABAH KETIKA MELAKUKAN TRANSAKSI

INTERNET BANKING

A. Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Pelayanan Internet Banking

Perkembangan teknologi tentu saja membuat semua perusahaan harus

berpacu dengan kebutuhan teknologi agar tidak tersisih dalam persaingan

bisnis perbankan. Diakui, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi

dalam perbankan nasional relatif lebih maju dibanding dengan sektor usaha

lainnya. Adapun beberapa pihak yang terkait dalam penyelenggaraan layanan

internet banking yaitu:

1. Bank

Pada Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Tentang Perbankan

menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana

dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada

masyarakat dalam bentuk kredit atau dalam bentuk-bentuk lainnya dalam

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bidang jasa perbankan meliputi

berbagai kegiatan dalam rangka penyelenggaraan transaksi-transaksi

yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan dunia usaha. Dalam

layanan internet banking bank dapat menyelenggarakan teknologi

informasi sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Peraturan Bank

Indonesia No. 9/15/PBI/2007 Tentang Penerapan Managemen Resiko

dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum.

2. Nasabah

Dalam Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Perbankan menyebutkan

bahwa nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank. Nasabah

perbankan dibagi menjadi dua yaitu nasabah penyimpan yaitu nasabah

yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan dalam

perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan, dan nasabah debitur

25

yaitu nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan

berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan itu berdasarkan

perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Dalam layanan

internet banking nasabah yang dimaksud adalah nasabah yang telah

terdaftar dalam layanan internet banking bank.

3. Internet Server Provider (ISP)

Pada Pasal 1 Angka 12 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999

Tentang Telekomunikasi menyebutkan bahwa penyelenggaraan

telekomunikasi adalah kegiatan penyedia dan pelayanan telekomunikasi

sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi Internet

Servic Provider (ISP) merupakan perusahaan yang menjual koneksi

internet kepada pelanggan. Layanan ISP dibedakan menjadi dua macam

yaitu deal on deman yang merupakan sebuah layanan internet dimana

pelanggan tidak dapat selalu terhubungan dengan internet, dan dedicated,

yaitu sebuah layanan internet dimana pengguna selalu terhubung dengan

internet.1

B. Bentuk Penyalahgunaan dan Resiko Transaksi Melalui Internet Banking

Internet merupakan jaringan komputer global di dunia yang saat ini

digunakan oleh jutaan orang di seluruh penjuru dunia. Melalui internet,

seseorang dapat berkomunikasi, memperoleh berbagai informasi yang

dibutuhkan dan bahkan dapat melakukan perdagangan dengan pihak yang

berada di belahan dunia lain dengan aman, cepat dan mudah. Karena itu,

internet banyak dipergunakan di negara maju sebagai alat untuk mengakses

data maupun informasi dari seluruh penjuru dunia. Electronic Fund Transfer

merupakan salah satu contoh inovasi dari penggunaan teknologi internet yang

mendasar dalam Teknologi Sistem Informasi (TSI) dalam bidang perbankan.

Contoh dari produk EFT antara lain meliputi Anjungan Tunai Mandiri,

electronic home banking (dikenal dengan internet banking), dan money

transfer network.2

1 Tri Puji Lestari, Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Pengguna Internet

Banking, Tesis Magister Jakarta Universitas Indonesia, Tahun 2012, h. 37. 2 Ferry Satya Nugraha, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Pembobolan

Internet Banking Melalui Metode Malware, Diponegoro Law Journal Vol. 5 No. 3 2016, h. 2.

26

Internet Banking merupakan salah satu layanan perbankan tanpa

cabang, yaitu fasilitas yang akan memudahkan nasabah untuk melakukan

transaksi perbankan tanpa perlu datang ke kantor cabang. Layanan yang

diberikan internet banking kepada nasabah ialah berupa transaksi pembayaran

tagihan, informasi rekening, pemindahbukuan antar rekening, informasi

terbaru mengenai suku bunga dan nilai tukar valutas asing, administrasi

mengenai perubahan Personal Identification Number (PIN), alamat rekening

atau kartu, data pribadi dan lain-lain, terkecuali pengambilan atau penyetoran

uang. Karena pengambilan masih memerlukan layanan ATM dan penyetoran

uang masih memerlukan bantuan bank cabang.3

Dalam praktik internet banking terdapat berbagai macam serangan atau

ancaman bagi pihak pengguna dan penyedia layanan internet banking.

Berikut ini beberapa bentuk potensi kejahatan internet banking antara lain:

1. Typo Site.

Dalam kejahatan ini, pelaku membuat nama situs palsu yang sama

persis dengan situs asli dan membuat alamat yang mirip dengan situs asli.

Pelaku menunggu kesempatan jika ada nasabah yang salah mengetikkan

alamat dari situs palsu buatannya. Jika hal ini terjadi maka pelaku akan

memperoleh informasi user dan password nasabah dan dapat

dimanfaatkan untuk merugikan nasabah.

2. Keylogger.

Awalnya merupakan suatu program yang diciptakan dengan tujuan

untuk parental control agar para orangtua yang bekerja siang dan malam

dapat mengontrol apa saja yang dilakukan oleh anaknya dalam jaringan

komputer tersebut. namun pada perkembangannya program ini justru

disalahgunakan. Dalam kejahatan ini program digunakan untuk merekam

karakter apa saja yang diketikkan oleh pengguna komputer. Hal ini sering

terjadi pada tempat mengakses internet umum seperti di warnet. Program

ini akan merekam karakter-karakter yang diketika oleh user dan berharap

3 Onno W Purbo dan Aang Arif Wahyudi, Mengenal E-Commerce, (Jakarta: Elek Media

Komputindo, 2001), h. 85.

27

akan mendapatkan data penting seperti user ID maupun password.

Semakin sering mengakses internet di tempat umum semakin rentan pula

terkena modus operandi yang dikenal dengan istilah keylogger atau

keystroke di komputer-komputer umum sehingga akan merekam semua

tombol keyboard yang ditekan oleh pengguna berikutnya. Karena itu,

pihak bank dalam melakukan edukasi kepada nasabah, harus selalu

memberitahukan untuk tidak melakukan transaksi internet banking di

komputer-komputer umum.

3. Sniffing.

Usaha untuk mendapatkan user ID dan password dengan jalan

mengamati paket data yang diunggah maupun diunduh pada jaringan

komputer. Kejahatan ini biasanya dilakukan oleh orang yang sudah

sangat ahli.

4. Brute Force Attacking

Usaha untuk mendapatkan password atau key dengan mencoba

semua kombinasi angka, huruf, tanda baca dan simbol lainnya.

5. Web Deface.

Sistem ecpploitation dengan tujuan mengganti tampilan halaman

muka suatu situs persis dengan tampilan halaman muka situs internet

banking suatu bank. Pelaku mengelabui nasabah dengan membuat situs

yang berbeda dengan situs asli dari suatu bank. Namun, pelaku membuat

halaman muka situs yang dibuat olehnya sama dengan halaman muka

situs suatu bank. Jadi pelaku meng-hyperlink situs tersebut sehingga

apabila nasabah tidak memperhatikan situs tersebut dan tertipu oleh

tampilan halaman muka yang mirip dengan situs asli suatu bank, maka

nasabah tersebut akan masuk jebakan si pelaku.

6. Email Spamming

Mengirimkan junk e-mail berupa iklan produk dan sejenisnya pada

alamat e-mail seseorang. Pelaku mengirimkan e-mail yang

mengatasnamakan situs suatu bank yang seolah-olah e-mail tersebut

dikirimkan oleh pihak bank. E-mail tersebut biasanya berupa penawaran

28

iklan produk bank atau meminta nasabah tersebut untuk mengkonfirmasi

ulang data-datanya dengan alasan untuk keperluan bank sehingga jika

ada nasabah yang tertipu dan mengikuti pesan dari e-mail palsu tersebut

maka pelaku dapat mengetahui data-data yang dimiliki oleh nasabah

tersebut.

7. Denial of Service

Membanjiri data dalam jumlah yang sangat besar dengan maksud

untuk melemahkan sistem sasaran. Jika data yang sudah dimasukkan

melebihi dari kapasitas sistem tersebut maka sistem tersebut akan

terganggu, sehingga saat sistem terganggu maka pelaku akan lebih

mudah menerobos sistem tersebut.

8. Virus, Worm Trojan.

Menyebarkan virus, worm maupun trojan dengan tujuan untuk

melemahkan sistem komputer, memperoleh data-data dari sistem korban

dan untuk mencemarkan nama baik pembuat perangkat lunak tertentu.4

Dari sekian bentuk penyalahgunaan di atas, tentu menuntut pihak

penyelenggaran internet banking untuk memberi perlindungan yang ekstra

demi kepercayaan dan kenyamanan nasabah. Sebab bagaimanapun, resiko

yang ditimbulkan dalam layanan ini sangat tinggi sehingga kemungkinan

kerugiaan dapat dialami oleh nasabah. Untuk komitmen menjaga keamanan

dan kerahasiaan data pribadi, keuangan dan transaksi nasabah, penyelenggara

internet banking sudah seharusnya memperhatikan beberapa hal yaitu:

Pertama, User ID dan PIN (Personal Identification Number) yang merupakan

kode rahasia dan kewenangan penggunaan yang diberikan kepada nasabah,

yaitu setiap kali login ke internet banking nasabah harus memasukkan User

ID dan PIN. Kedua, Automatic Log Out, yaitu jika tidak ada tindakan yang

dilakukan lebih dari 10 menit, Internet Banking secara otomatis akan

mengakhiri dan kembali ke menu utama.

4 Direktorat Hukum Bank Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,

Rekonstruksi Hukum Dalam Menanggulangi Kejahatan Dunia Maya di Bidang Perbankan, (T.t:

Interim Report, 2003), h. 82.

29

Ketiga, SSL 128-bit encryption, yaitu seluruh data di internet banking

dikirimkan melalui protocol secure socekt layer (SSL). Ini merupakan standar

pengiriman data rahasia melalui internet. Protocol SSL ini akan mengacak

data yang dikirimkan menjadi kode-kode rahasiswa dengan menggunakan

128-bit encryption yang berarti terdapat 2 pangkat 128 kombinasi angka

kunci, tetapi hanya satu kombinasi yang dapat membuka kode-kode tersebut.

Keempat, Firewall untuk membatasi dan menjamin hanya nasabah yang

mempunyai akses untuk dapat masuk ke sistem internet banking.

Selain bentuk penyalahgunaan internet banking, juga terdapat resiko dari

internal pihak bank sebagai penyelenggara layanan internet banking. Ganesh

Ramakrishman memaparkan bahwa resiko-resiko yang dihadapi bank yang

menyediakan layanan internet banking antara lain:5

1. Strategic risk. Resiko ini muncul apabila manajemen tidak sepenuhnya

memahami aspek strategis dan teknis dari internet banking. Pemberian

layanan internet banking yang dimotivasi hanya karena tekanan

kompetitif dan peer namun penyediaan layanan internet banking tanpa

disertai analisis biaya-manfaat yang memadai serta struktur organisasi

dan sumber daya yang memiliki keterampilan untuk mengelola internet

banking.

2. Transaction risk. Resiko ini muncul akibat adanya kecurangan,

kesalahan, kelalaian dan ketidakmampuan untuk mempertahankan

tingkat pelayanan yang diharapkan. Penyedia jasa layanan dapat juga

meningkatkan resiko transaksi karena bank tidak memiliki kontrol penuh

atas pihak ketiga.

3. Compliance risk. Resiko ini muncul dari adanya pelanggaran atau

ketidaksesuaian dengan hukum, peraturan dan standar etika. Resiko

kepatuhan dapat menyebabkan reputasi berkurang, kerugian finansial dan

peluang bisnis berkurang. Bank perlu hati-hati memahami dan

menafsirkan hukum yang ada dan berlaku untuk internet banking.

5 Ganeh Ramakrishnan, Risk Management For Internet Banking, ISACA Journal Vol. 6

Tahun 2001.

30

4. Reputation risk. Resiko ini muncul dari adanya opini publik yang negatif.

Sebuah reputasi bank dapat rusak oleh eksekusi layanan internet banking

yang buruk misalnya ketersediaan terbatas, perangkat lunak, dan

performance system yang lambat.

5. Information security risk. Resiko ini muncul dari adanya proses

keamanan informasi yang longgar, sehingga mengekspos adanya hacker

atau serangan insider, virus, pencurian data, kerusakan dan penipuan.

Kecepatan perubahan teknologi dan fakta bahwa saluran internet dapat

diakses secara universal membuat resiko ini sangat penting.

6. Credit risk. Resiko ini muncul dari adanya kegagalan nasabah untuk

memenuhi kewajiban keuangannya. Internet banking memungkinkan

nasabah untuk mengajukan kredit dari mana saja di dunia. Bank akan

merasa sangat sulit untuk memverifikasi identitas nasabah jika mereka

berniat menawarkan kredit instan melalui internet.

7. Interest rate risk. Resiko ini muncul dari adanya perubahan suku bunga

misalnya perbedaan suku bunga antara aset dan kewajiban dan

bagaimana ini dipengaruhi oleh perubahan suku bunga. Internet banking

memungkinkan nasabah menarik pinjaman dan simpanan. Adanya

kemudahan akses informasi suku bunga bagi nasabah dapat

menyebabkan nasabah untuk membandingkan tarif di bank sehingga

bank perlu menonjolkan kebutuhan untuk bereaksi dengan cepat terhadap

perubahan suku bunga di pasar.

8. Liquidity risk. Resiko ini muncul dari adanya ketidakmampuan bank

untuk memenuhi kewajibannya. Internet banking dapat meningkatkan

deposito dan volatilitas aset, terutama dari nasabah yang memelihara

rekening semata-mata karena mereka mendapatkan pelayanan yang lebih

baik. Nasabah dapat berpindah ke bank yang lain apabila di bank lain

dapat memberikan pelayanan yang lebih baik.

9. Foreign exchange risk. Resiko ini muncul ketika aset dalam suatu mata

uang dibiayai oleh kewajiban yang lain. Internet banking dapat

mendorong warga negara lain untuk bertransaksi dalam mata uang

31

domestik mereka. Karena kemudahan dan biaya yang lebih rendah

bertransaksi juga dapat menyebabkan pelanggan untuk mengambil posisi

spekulatif dalam berbagai mata uang. Kepemilikan yang lebih tinggi dan

transaksi dalam mata uang nondomestik meningkatkan resiko valuta

asing.

Sementara itu, menurut Sabirin, resiko yang paling berdampak pada

manajemen terkait internet banking yaitu: Pertama, technology risk yang

berhubungan dengan kehandalan dan keamanan sistem informasi dari

berbagai manipulasi atau pembobolan; Kedua, reputional risk yang berkaitan

dengan corporate image dari bank itu sendiri apabila pelayanan internet

bangking-nya tidak berjalan dengan baik; Ketiga, outsourching risk yaitu

apabila bank yang bersangkutan sering menggunakan jasa pihak ketiga

sebagai ISP sehingga memungkinkan layanan ISP pada suatu waktu dapat

mengalami gangguan; Keempat, Legal risk dimana aspek hukum internet

banking saat ini masih belum diatur secara jelas dan lengkap.6

C. Bentuk Kerugian Nasabah Ketika Menggunakan Layanan Internet

Banking

Dari bentuk penyalahgunaan dan resiko yang timbul dari penggunaan

internet banking, berdampak secara langsung kepada nasabah. Secara garis

besar, kerugian yang dialami nasabah terdiri dari: Pertama, pencurian data

pribadi. Kasus ini merupakan yang paling marak terjadi terutama di

Indonesia. Secara keseluruhan menurut Gemalto, jumlah data yang dibobol

perharinya mencapai 6,9 juta data. Hal ini berdasarkan laporan pencurian data

sejak 2013 hingga 2018 yang jumlahnya sebanyak 146 miliar dan hanya 4

persen dari jumlah tersebut yang dilindungi enkripsi oleh pemiliknya.7

Sementara menurut Digital Forensic Indonesia (DFI) menduga ada

sekitar 7,5 miliar data pribadi pengguna internet di seluruh dunia diretas

pihak ketiga dalam 15 tahun terakhir. Sumber kebocoran data di seluruh

6 Wiji Nurastuti, Teknologi Perbankan, (Jakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 113.

7 Ririn Aswandi, Perlindungan Data dan Informasi Pribadi Melalui Indonesian Data

Protection System (IDPS), lp2ki Vol. 3 No. 2 Juni 2020, h. 172.

32

sektor tersebut berasal dari peretasan pihak luar (malicious outsider) dan

pihak dalam (malicious insider), kebocoran data yang tidak disengaja akibat

sistem tidak aman (accidental loss), hacktivist, gawai atau ponsel yang raib,

perangkat pemeras (ransomware), dan beragam sumber yang tidak dapat

ketahui. Akibatnya, data pribadi bisa diperjualbelikan.

Menurut Direktur Pengawasan Bank II Otoritas Jasa Keuangan Anung

Herlianto, pembobolan terjadi karena ada kerja sama antara orang dalam dan

nasabah. “Kasus pembobolan itu 90%-93% selalu melibatkan orang dalam

dan/atau nasabah, yang sukarela misalnya mencuri sendiri. Terakhir, pada

tahun 2017 silam, Bareskrim Polri menangkap jaringan penjual data tersebut.

Direktur Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan Agus Fajri

mengungkapkan ada keterlibatan mantan pegawai penyelenggara usaha jasa

keuangan dalam hal ini bank. Menurutnya, dari temuan penjualan informasi

nasabah tersebut terungkap praktik dan oknum mantan pegawai yang

terlibat.8

Padahal, jaminan perlindungan data sudah diatur dalam Pasal 15 ayat

(1) UU ITE yang mengharuskan setiap penyelenggara sistem elektronik

termasuk internet banking untuk menjaga keamanan platform.9

Kasus pembobolan data dan informasi pribadi merupakan hal yang

harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia, karena dengan melalui

kebocoran atau pembobolan data dan informasi seseorang, maka pihak-pihak

yang tidak bertanggungjawab akan menyalahgunakan data dan informasi

pribadi seseorang tersebut. opsi pertama dari pencurian data biasanya

merujuk pada penjualan data secara online. Ini merupakan penghasilan bagi

para telemarketer dan pelaku kejahatan. Bagi telemarketing, data pribadi

digunakan untuk menawarkan produk bank atau asuransi. Ini sebabnya

banyak nasabah yang kemudian kerap mendapatkan telepon tawaran produk

bank atau asuransi.

8 Detik.com, Oknum Mantan Pegawai Bank Terlibat Jual Beli Data Nasabah, Diakses pada

15 Februari 2021 pukul 21:02 Wib. 9 Ririn Aswandi, Perlindungan Data dan Informasi Pribadi Melalui Indonesian Data

Protection System (IDPS), h. 174.

33

Namun yang patut disayangkan, beberapa riset membuktikan bahwa

kesadaran masyarakat Indonesia terhadap perlindungan data personal mereka

di internet masih rendah. Akibatnya masyarakat Indonesia kurang

menanggapi serius kasus pelanggaran terhadap perlindungan data personal

ini. Belum adanya regulasi atau aturan tentang kejahatan siber dan juga

kejahatan pada penyalahgunaan data dan informasi merupakan salah satu

penyebab tingginya kasus penyalahgunaan data dan informasi di Indonesia.

Barulah ketika terjadi kerugian materill dianggap sebagai kerugian yang

berarti. Demikian ini akan menjadi bentuk kerugian nasabah yang kedua,

yaitu kerugian keuangan. Dalam konteks ini, terdapat beberapa kasus

kejahatan dengan menggunakan layanan internet banking dengan mencuri

uang nasabah. Seperti yang terjadi di Jakarta pada tahun 2015 lalu.

Tersangka melakukan pembobolan dana nasabah Bank Permata hingga

mengalami kerugian sekitar Rp. 245.000.000 juta. Adapun kasus tersebut

dilakukan oleh 4 tersangka yakni Viky Rahmat Hidayat, Rizal Amir yang

ditangkap di Nafar Raya Aceh. Zainuddin ditangkap di Cinere, Depok dan

Saiduddin ditangkap di halaman Rutan Salemba Jakarta Pusat. Pelaku

melakukan modus operasi mereka dengan mengganti Sim Card nomor korban

dengan alasan kartu hilang. Setelah mendapatkan kartu sim card baru

tersangka Zainuddin melalui telepon menghubungi call center sebuah bank

swasta mengaku sebagai korban. Tersangka Zaiunuddin kemudian meminta

pengubahan user ID dan menanyakan alamat email yang dipakai oleh korban.

Alamat email korban tersebut kemudian digunakan sebagai email verifikasi di

layanan internet banking bank tersebut. setelah itu tersangka Zainuddin

mengakses akun internet banking korban dan melakukan transfer dana milik

korban ke beberapa rekening bank yaitu BNI, BRI, BTN. Rekening-rekening

tersebut untuk menampung uang hasil kejahatan para tersangka.10

10

Mulyati, Aspek Perlindungan Hukum Atas Data Pribadi Nasabah Pada

Penyelenggaraan Layanan Internet Banking (Studi Kasus Pada PT. Bank Syariah Mandiri

Cabang Ulee Kareng), Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

2017, h. 7.

34

Ketiga, sistem eror. Kasus ini seringkali terjadi karena sistem internet

banking tidak beroperasi dengan tepat. Akibatnya, nasabah yang melakukan

transaksi melalui internet banking tanpa sepengetahuannya tiba-tiba uangnya

terkuras habis. Seperti yang terjadi pada Andika Permana warga Pekanbaru

yang kaget melihat saldo di rekening Mandiri-nya hanya tersisa Rp 0 saat

dicek menggunakan internet banking. Padahal dia tidak pernah melakukan

transaksi. Untuk meyakinkan dirinya, Andika dan istrinya mengecek ke

mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) terdekat. Merasa ada yang aneh,

Andika kemudian menyampaikan kepada pihak sekuriti untuk melarang

warga menggunakan mesin ATM karena ada gangguan.

Keduanya lalu menuju kantor Bank Mandiri yang terletak di Jalan

Sudirman, Pekanbaru. Di sana ternyata sudah ada puluhan orang mengantri

guna komplain masalah yang sama kepada pihak mandiri. Setelah dicek via

buku tabungan, rupanya saldonya masih ada. Pegawai bank lalu mengatakan

bahwa ada masalah sistem dengan sejumlah nomor rekening, dengan

demikian tidak semua bermasalah.11

Masalah sistem yang eror seperti ini

jelas membuat nasabah tidak nyaman sehingga perlu ada perhatian lebih demi

menanggulangi kesalahan pada sistem seperti ini.

Dengan demikian dapat disimpulkan, beragam bentuk kerugian yang

dapat dialami oleh nasabah tidak selamanya disebabkan oleh pihak ketiga

melainkan juga melibatkan pihak penyelenggara internet banking. Karena itu

perlu seperangkat aturan yang lebih spesifik yang membahas tentang internet

banking.

11

Kumparan.com, Nasabah Bank Mandiri Keluhkan Saldo di Rekeningnya Tiba-Tiba Rp 0,

diakses pada 16 Februari 2021, pukul 11:03.

35

BAB IV

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM AKIBAT TERJADINYA KERUGIAN

NASABAH DALAM TRANSAKSI INTERNET BANKING

A. Pengaturan Perlindungan dan Pertanggungjawaban Bank Terhadap

Kerugian Nasabah Dalam Penggunaan Layanan Internet Banking

Bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan

menjalankan usahanya terutama dari dana masyarakat dan kemudian

menyalurkan kembali kepada masyarakat. Selain itu, bank juga memberikan

jasa-jasa keuangan dan pembayaran lainnya. Ada dua peranan penting yang

dimainkan oleh bank yaitu sebagai lembaga penyimpan dana masyarakat dan

sebagai lembaga penyedia dana bagi masyarakat dan atau dunia usaha.

Dengan demikian, perbankan memiliki fungsi utama sebagai intermediasi,

yaitu penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif

dan efisien pada sektor-sektor riil untuk menggerakkan pembangunan dan

stabilitas perekonomian sebuah negara. Dalam hal ini, bank menghimpun

dana dari masyarakat berdasarkan asas kepercayaan dari masyarakat.

Apabila masyarakat percaya pada bank, maka masyarakat merasa aman

untuk menyimpan uang atau dananya di bank. Dengan demikian, bank

menanggung resiko reputasi yang besar. Bank harus selalu menjaga tingkat

kepercayaan dari nasabah atau masyarakat agar menyimpan dana mereka di

bank, dan bank dapat menyalurkan dana tersebut untuk menggerakkan

perekonomian negara. Namun begitu, hubungan saling kepercayaan itu bukan

tidak memungkinkan terjadinya friksi antara nasabah dan bank. Hal ini

disebabkan karena beberapa resiko yang telah disebutkan sebelumnya.

Sebagai contoh kasus kerugian yang dialami nasabah terjadi pada tahun 2010

dimana dunia perbankan diributkan oleh kasus pembobolan internet banking

milik Bank BCA yang kemudian lebih dikenal dengan kasus klikbca. Kasus

ini dilakukan oleh Steven Haryanto yang dengan sengaja membuat situs palsu

layanan Internet Banking BCA dengan membeli domain-domain internet

36

dengan nama mirip www.klikbca.com (situs asli Internet Banking BCA),

antara lain wwwklikbca.com, klikbca.com, clickbca.com, klickbca.com, dan

klickbac.com dengan tampilan yang sama persis dengan situs Internet

Banking BCA.

Dalam hal ini, pelaku memanfaatkan kesalahan ketik yang mungkin

dilakukan oleh nasabah, sehingga pelaku mampu mendapatkan User ID dan

PIN dari nasabah yang memasuki situs tersebut. Di dalam kasus ini,

diperkirakan 130 nasabah mengalami kerugian. Contoh kasus ini dapat dilihat

bahwa yang paling dirugikan adalah nasabah pengguna layanan Internet

Banking. Dari sinilah muncul sengketa antara para pihak yakni pihak bank

dengan nasabah.1

Selain itu, untuk diketahui, ikatan perjanjian yang mengikat antara

nasabah dan bank umumnya merupakan perjanjian baku yang seringkali

menempatkan nasabah sebagai pihak yang diminimalisir hak-haknya.

Menurut Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, perjanjian baku merupakan

perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun

harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak

mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku

kepada pihak lawannya. Namun setiap kerugian yang timbul di kemudian hari

akan tetap ditanggung oleh para pihak yang bertanggung jawab berdasarkan

klausula perjanjian tersebut. kecuali jika klausula tersebut merupakan

klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen.2

Demikian, perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah terlebih

dahulu dirancang oleh salah satu pihak yang dalam hal ini produsen untuk

kemudian ditandatangani oleh konsumen sebab tidak memiliki pilihan yang

lain. Sehingga apapun yang diperjanjikan akan mengikat kedua belah pihak.

Dengan ketentuan, apa yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan

1 Asuan, Transaksi Perbankan Melalui Internet Banking, Jurnal Fakultas Hukum

Universitas Palembang Vol. 16 No. 3 September 2019, h. 329. 2 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja

Grafindo, 2000), h. 118.

37

ketentuan perundang-undangan yang dalam hal ini adalah apa yang dilarang

pada Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Sebagai contoh, kita dapat melihat perjanjian baku yang dibuat oleh

Bank BRI Syariah Cabang Medan. Sebagaimana perjanjian baku, nasabah

terikat pada perjanjian antara lain:

1. Syarat pendaftaran internet banking pada bank BRI Syariah:

a. Nasabah pengguna yang hendak menggunakan layanan internet

banking BRI Syariah terlebih dahulu harus melakukan

registrasi/pendaftaran.

b. Registrasi layanan internet banking BRI Syariah dilakukan melalui

kantor cabang Bank atau kantor pusat kas bank dab secara mandiri

login ke iBank.brisyariah.co.id.

c. Nasabah memiliki HP dan nomor HP dari operator yang telah

kerjasama dengan bank.

d. Pengaktifan layanan finansial dapat dilakukan melalui kantor cabang

atau kantor cabang pembantu atau kantor kas bank terdekat.

e. Nasabah harus memiliki alamat e-mail.

f. Telah membaca dan memahami syarat dan ketentuan internet

banking BRI Syariah.

2. Ketentuan penggunaan layanan internet banking BRI Syariah.

a. Nasabah pengguna dapat menggunakan layanan internet banking

BRI Syariah untuk mendapatkan informasi dan atau melakukan

transaksi perbankan yang telah ditentukan oleh bank.

b. Untuk setiap pelaksanaan transaksi:

1. Nasabah pengguna wajib memastikan ketepatan dan

kelengkapan perintah transaksi termasuk memastikan bahwa

semua data yang diperlukan untuk transaksi telah diisi secara

lengkap dan benar. Bank tidak bertanggung jawab terhadap

segala dampak apapun yang timbul yang diakibatkan kelalaian,

ketidaklengkapan, ketidakjelasan, atau ketidaktepatan

perintah/data dari nasabah pengguna.

38

2. Nasabah pengguna memiliki kesempatan untuk memeriksa

kembali dan atau membatalkan data yang telah diisi pada saat

konfirmasi yang dilakukan secara otomatis oleh sistem sebelum

adanya tanda persetujuan dari nasabah pengguna.

3. Apabila telah diyakini kebenaran dan kelengkapan data yang

diisi, sebagai tanda persetujuan pelaksanaan transaksi maka

nasabah pengguna wajib memasukkan PIN pada kolom yang

telah disediakan pada halaman layanan Transaksi internet

banking BRI Syariah.

c. Segala transaksi yang telah diperintahkan kepada bank dan disetujui

oleh nasabah pengguna tidak dapat dibatalkan.

d. Setiap perintah yang telah disetuju dari nasabah pengguna yang

tersimpan pada pusat data bank merupakan data yang benar yang

diterima sebagai bukti perintah dari nasabah pengguna bank untuk

melaksanakan transaksi yang dimaksud.

e. Bank menerima dan menjalankan setiap perintah dari nasabah

pengguna sebagai perintah yang sah berdasarkan User ID dan PIN

dan untuk itu bank tidak mempunyai kewajiban untuk meneliti atau

menyelidiki kesalian maupun keabsahan atau kewenangan pengguna

User ID dan PIN atau menilai maupun membuktikan ketepatan

maupun kelengkapan yang dimaksud, dan oleh karena itu perintah

tersebut sah mengikat nasabah pengguna dengan sebagaimana

mestinya, kecuali nasabah pengguna dapat membuktikan sebaliknya.

f. Bank berhak untuk tidak melaksanakan perintah dari nasabah

pengguna apabila:

1. Saldo rekening nasabah pengguna di bank tidak cukup

2. Bank mengetahui atau mempunyai alasan untuk menduga bahwa

terdapat indikasi adanya tidak pidana penipuan atau aksi

kejahatan lainnya yang telah atau akan dilakukan.

39

g. Nasabah pengguna menyetujui dan mengakui bahwa:

1. Dengan dilaksanakannya transaksi melalui internet banking BRI

Syariah, semua perintah dan komunikasi dari nasabah pengguna

yang diterima bank akan diperlakukan sebagai alat bukti yang

sah meskipun tidak dibuat dokumen tertulis dan atau

dikeluarkannya dokumen yang tidak ditandatangani.

2. Bukti atas perintah dari nasabah pengguna kepada bank dan

segala bentuk komunikasi antara bank dan nasabah pengguna

yang dikirim secara elektronik yang tersimpan pada pusat data

bank dan atau tersimpan dalam bentuk penyimpanan informasi

dan data lainnya di bank, baik yang berupa dokumen tertulis,

catatan, tape/catridge, print out komputer dan atau salinan,

merupakan alat bukti yang sah dan tidak akan dibantah

keabsahan, kebenaran atau keasliannya.3

Dari perjanjian baku tersebut sangat jelas bahwa memang dalam setiap

perjanjian nasabah dan bank selalu menggunakan prinsip non-repudation atau

nirsangkal. Dalam pengertian ini, nasabah bank tidak dapat menyangkal tidak

melakukan transaksi apabila sistem telah mencatatnya. Dalam hal ini login

akan berhasil dan dapat dilakukan apabila User ID dan PIN daripada nasabah

tersebut dapat terinput dengan benar. Di sini pihak bank tidak perduli apalah

yang memasukkan User ID dan PIN tersebut benar pemilik rekeningnya

ataupun bukan.4 Pada posisi seperti ini, dalam kenyataannya kegiatan cyber

tidak lagi sederhana karena kegiatan tersebut tidak lagi dibatasi oleh teritorial

suatu negaa. Dengan demikian, kerugian dapat saja terjadi terhadap pelaku

transaksi ataupun kepada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi.

Terkait dengan kerugian yang diderita nasabah pengguna layanan

internet banking, persoalan yang perlu dikaji adalah menyangkut tanggung

3 Fitra Yusfani, Tanggung Jawab Pihak Bank Terhadap Nasabah Atas Layanan Internet

Banking (Studi Pada Bank BRI Syariah Cabang Medan), Skripsi Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara 2018, h. 71. 4 I Made Aditya Mantara Putra, Tanggung Jawab Hukum Bank Terhadap Nasabah Dalam

Hal Terjadinya Kegagalan Transaksi Pada Sistem Mobile Banking, Kertha Wicaksana: Sarana

Komunikasi Dosen dan Mahasiswa Vol. 14 No. 2 2020, h. 136.

40

jawab pihak-pihak dalam layanan internet banking, atau dengan kata lain

siapa yang akan bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh

nasabah pengguna layanan. Apakah pihak bank, nasabah, atau pihak lain.

Sesuai dengan perjanjian baku antara nasabah dan bank, sekilas menunjukkan

bahwa pihak bank tidak bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh

nasabah dalam penggunaan layanan internet banking bila terjadi kerugian

privasi atau materiil.

Ditinjau dari segi ketentuan perundang-undangan yang berlaku,

kerugian privasi atau materiil yang dialami nasabah lebih banyak merujuk

pada konteks perlindungan hukum. Philipus M Hadjon menyatakan bahwa

perlindungan hukum dibedakan menjadi dua macam, yaitu perlindungan

hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif. Perlindungan

hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa,

sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk

menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum preventif terhadap nasabah

dalam transaksi internet banking yaitu melakukan upaya-upaya pencegahan

yang merupakan kebijakan internal perbankan berupa pengawasan dan

pembinaan terhadap bank-bank umum dalam melakukan transaksi elektronik.

Perlindungan hukum represif yaitu perlindungan hukum yang dilakukan

dengan menerapkan sanksi terhadap pelaku agar dapat memulihkan hukum

dalam keadaan yang sebenarnya.5

Pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa

Keuangan misalnya menegaskan dalam perlindunagn konsumen dan

masyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian

konsumen dan masyarakat yang memberikan informasi dan edukasi kepada

masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya.

Dari Pasal tersebut menjelaskan bahwa edukasi kepada konsumen diperlukan

dan dibutuhkan untuk menunjang perlindungan hukum terhadap data nasabah

dalam internet banking. Hanya saja, ketentuan tersebut tidak menegaskan

5 Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT Bina

Ilmu, 1987), h. 157.

41

prespektif tanggung jawab bagi pihak bank bila terjadi kerugian materiil yang

dialami nasabah.

Demikian juga dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005

Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah Sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan Bank Indonesia 10/10/PBI/2008 yang pada substansinya mengatur

penyelesaian pengaduan nasabah. Dalam ketentuan ini, Bank Indonesia

mewajibkan seluruh Bank untuk menyelesaikan semua pengaduan nasabah

yang terkait dengan adanya kerugian finansial pada sisi nasabah. Dalam PBI

ini diatur tata cara penerimaan, penanganan, dan juga pemantauan

penyelesaian pengaduan. Selain itu Bank diwajibkan untuk memberikan

laporan triwulan kepada Bank Indonesia mengenai pelaksanaan pengaduan

nasabah tersebut.6

Pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Pasal menyebutkan, bank wajib

menerapkan prinsip pengendalian pengamanan data dan transaksi nasabah

dari Layanan Perbankan Elektronik pada setiap sistem elektronik yang

digunakan oleh Bank. Kemudian pada Pasal 21 menegaskan, bank

penyelenggaran Layanan Perbankan Elektronik atau Layanan Perbankan

Digital wajib menerapkan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana

dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai

perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Apabila pihak penyelenggara

internet banking dalam hal ini adalah perbankan tidak mengikuti ketentuan

tersebut, maka sanksi yang diberikan adalah sanksi administratif berupa:

teguran tertulis, penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat

faktor tata kelola dalam penilaian tingkat kesehatan bank, larangan untuk

menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru, pembekuan usaha

tertentu dan pencantuman anggota direksi, dewan komisaris, dan pejabat

eksekutif dalam daftar tidak lulus melalui mekanisme uji kemampuan dan

kepatutan. Sementara dilihat dari Prespektif Undang-Undang Nomor 11

6 Lukman Santoso AZ, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, (Yogyakarta: Penerbit

Pustaka Yustisia, 2011), h. 148.

42

Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, belum tersedia

Pasal yang mengatur secara terperinci tentang internet banking.

Akan tetapi, telah tersedia Pasal yang mengatur tentang transaksi

dengan media internet yaitu Pasal 9 yang menyatakan bahwa “Pelaku usaha

yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan

informasi lengkap dan benar yang berkaitan dengan syarat kontrak, produsen,

serta produk yang ditawarkan.” Maka secara keseluruhan perlindungan

terhadap nasabah pengguna layanan internet banking yang telah diberikan

pihak bank dari sisi keamanan menggunakan teknologi sudah memadai. Hal

ini disebabkan karena sebagian bank telah melakukan transaksi melalui

internet banking termasuk adanya perlidungan melalui token pin. Namun

begitu, lagi-lagi ketentuan ini hanya mengatur perlindungan hukum terhadap

konsumen dari prespektif preventif dan represif sehingga sama sekali tidak

menegaskan aspek pertanggung jawaban hukumnya. Apakah tidak terdapat

pengaturan mengenai pertanggung jawaban materiil yang diderita oleh

nasabah dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia?

Harus diakui, secara eksplisit tidak terdapat pengaturan rinci terkait

pertanggung jawaban pihak bank terhadap kerugian privasi atau materiil yang

dialami oleh nasabah. Namun bila merujuk pada Pasal 21 Ayat 2-4 Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, kita akan menemukan bentuk dasar hukum pertanggung

jawaban dalam penyelenggaraan internet banking. Pasal 21 Ayat 2 sampai 4

menegaskan:

(1) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam

pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur sebagai berikut:

a. Jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan

Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang

bertransaksi;

b. Jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam

pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi

kuasa; atau

43

c. Jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam

pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab

penyelenggaran Agen Elektronik.

(2) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen

Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem

Elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara

Agen Elektronik.

(3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen

Elektronik akibat kelalalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat

hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan.

Dari ketentuan di atas, jelas menegaskan bahwa beban tanggung jawab

tergantung pada kesalahan pihak yang melakukannya. Inilah alasan mengapa

dalam ketentuan Peraturan Perundang-Undangan lebih cenderung

mengharuskan pihak bank dalam konteks ini adalah produsen untuk lebih

memperkuat sistem yang dimiliki serta memberikan penjelasan terkait resiko

yang akan muncul kepada nasabah. Sehingga bila di kemudian hari terdapat

kejadian yang merugikan nasabah, tidak memberikan beban tanggung jawab

tersebut kepada pihak bank.

Selain itu, dalam konteks terjadinya kerugian yang diakibatkan oleh

pihak eksternal yang dalam hal ini tidak termasuk nasabah dan bank

melainkan pelaku cybercrime, juga lebih jelas telah diatur dalam Pasal 27

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE yang menyatakan:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik

yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

Kemudian pada Pasal 30 Undang-Undang ITE tersebut juga menegaskan:

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik orang lain

dengan cara apapun.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apapun

44

dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apapun

dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem

pengamanan.

Pasal di atas menguraikan beberapa delik tindak pidana dalam Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE, merupakan lex specialis dari

KUHP. Undang-undang ini bertujuan melengkapi dari KUHP sehingga

apabila perbuatan tersebut tidak diatur di dalam KUHP, maka undang-undang

tersebut dapat diterapkan. Namun yang jelas khusus mengenai perbuatan

destruktif oleh pihak eksternal yang berdampak kerugian, jelas bukan hanya

akan menyasar nasabah melainkan juga pihak bank itu sendiri. Sebab selain

mengalami kerugian materiil, juga akan mendapat citra yang buruk dari

masyarakat bahwa bank yang bersangkutan tidak berkompeten untuk

mengelola dan menyalurkan dana masyarakat yang dikelolanya.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan, bahwa bila mengacu pada

ketentuan perundang-undangan dalam prespektif pidana, pertanggung

jawaban atas kerugian yang dialami nasabah dalam penggunaan layanan

internet banking masih menggunakan konsep pihak yang melakukan

“kesalahan”. Menurut Wirjono Prodjodikoro kesalahan berarti culpa. Tetapi

dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam

kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat kesengajaan, yaitu

kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.7 Menurut

MvT, kealpaan di satu pihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan

di pihak lain dengan hal kebetulan. Ada dua macam kesalahan dalam kajian

hukum pidana: kesengajaan dan kelalaian. Perbedaannya, kesengajaan secara

prinsip adalah pelaku tidak memiliki kesadaran pada hasil atau akibat

perbuatannya.

7 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: PT Refika

Aditama, 2003), h. 72.

45

Sebagai contoh, seseorang yang seharusnya melakukan suatu perbuatan

melalui rangkaian tertentu, atau dengan menjalankan syarat-syarat spesifik,

kemudian tidak mengikuti atau mematuhi rangkaian tersebut dan syarat-

syaratnya spesifik, maka disebut lalai. Kesengajaan dan kelalaian merupakan

unsur delik yang melekat pada orang, suatu syarat yang subyektif. Berbeda

dengan syarat obyektif yang terukur seperti perbuatan yang dilarang, maupun

tempat dan waktu tertentu, kesalahan ini akan memberi perbedaan hukuman

karena kualitas subyek atau pelakunya. Artinya, tindak pidana yang sama

dapat dikenai jenis maupun bobot hukuman yang berbeda karena perbedaan

kesalahan ini. Kesengajaan memiliki nilai moral yang lebih negatif

dibandingkan kelalaian. Perbuatan yang disengaja memang dimaksudkan agar

akibat yang dilarang mewujud. Maka disimpulkan, kelalaian di sini

merupakan kesalahan pembuat karena tidak berhati-hati.8

Dalam konteks hukum perdata, kesalahan dimasukkan dalam unsur

Perbuatan Melawan Hukum. Perbuatan melawan hukum ini diatur dalam

Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi:

“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada

seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Berdasarkan ketentuan di atas, suatu perbuatan dapat dianggap sebagai

perbuatan melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsurnya yaitu:

1. Adanya perbuatan yang melawan hukum

a. Melanggar hak orang lain atau;

b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau;

c. Bertentangan dengan kesusilaan

d. Bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas

masyarakat terhadap di atau barang orang lain.

2. Ada kesalahan

3. Ada kerugian

8 Tisa Windayani, Proporsionalitas Pasal 79 Huruf C Undang-Undang No. 29 Tahun 2004

Tentang Praktek Kedokteran dan Pasal 360 KUHP Dikaitkan Dengan Unsur Kesalahan

Terdakwa, Jurnal Panorama Hukum Vol. 4 No. 2 Desember 2019, h. 151.

46

4. Ada hubungan kausal antara perbuatan melanggar hukum dengan

kerugian.9

Perbuatan melawan hukum dianggap terjadi dengan melihat adanya

perbuatan dari pelaku yang diperkirakan memang melanggar undang-undang,

bertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum

pelaku, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, atau

bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat baik terhadap diri sendiri

maupun orang lain, namun demikian suatu perbuatan melawan hukum ini

tetap harus dapat dipertanggung jawabkan apakah mengandung unsur

kesalahan atau tidak. Pasal 1365 KUHPerdata tidak membedakan kesalahan

dalam bentuk kesengajaan (opzet-dolus) dan kesalahan dalam bentuk

kekurang hati-hati (culpa) dengan demikian hakim harus dapat menilai dan

mempertimbangkan berat ringannya kesalahan yang dilakukan seseorang

dalam hubungannya dengan perbuatan melawan hukum ini, sehingga dapat

ditentukan ganti kerugian yang seadil-adilnya.10

Apabila unsur kesalahan dalam suatu perbuatan dapat dibuktikan maka

ia bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan atas perbuatan tersebut,

namun seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang

disebabkan kesalahannya sendiri, tetapi juga karena perbuatan yang

mengandung kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi

tanggungannya, barang-barang yang berada di bawah pengawasannya serta

binatang-binatang peliharaannya, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1366

sampai dengan Pasal 1369 KUHPerdata. Perbuatan melawan hukum

sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata ini dapat pula digunakan

sebagai untuk mengajukan ganti kerugian atas perbuatan yang dianggap

melawan hukum dalam proses transaksi bisnis secara online. Demikian juga

terjadinya perbuatan melawan hukum dalam transaksi bisnis secara online

yang menimbulkan kerugian di atas memerlukan aturan yang akan menjadi

dasar hukum atas tuntutan ganti kerugiannya. Burgerlijke Wetboek dan

Undang-Undang ITE memiliki peranan yang sangat penting sebab secara

9 Resa Raditio, Aspek Hukum Transaksi Elektronik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 28.

10 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1979), h. 56.

47

eksplisit pengaturan tentang tanggung jawab ganti kerugian akibat perbuatan

melawan hukum dalam transaksi secara online tidak diatur dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia.

Namun sesuai amanat Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang

menyatakan bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat agar tidak terjadi kekosongan hukum menjadi pegangan bahwa

hakim tidak dapat menolak kasus apapun yang masuk ke pengadilan dengan

alasan belum ada aturannya atau belum lengkap aturannya. Penafsiran hukum

secara ekstensif atau memperluas arti kata dalam suatu perundang-undangan

menjadi salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut. Dengan demikian, Pasal

1365 tersebut dapat dijadikan sebagai dasar hukum tuntutan ganti kerugian

atas perbuatan melawan hukum dalam transaksi internet banking dengan

dukungan pembuktian berdasarkan data elektronik yang diakui sebagai bukti

yang sah seperti yang telah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang ITE.11

B. Penyelesaian Sengketa Nasabah Dengan Pihak Bank

Seperti bahasan sebelumnya bahwa meskipun pada satu sisi internet

banking memberikan banyak kemudahan sebagai jawaban perkembangan

teknologi namun rupanya tetap menyisakan ruang terjadinya perselisihan

antara nasabah dan bank. Hal ini terutama karena banyaknya resiko dari

penggunaan layanan internet banking tersebut. sementara itu, bentuk

pertanggung jawaban yang ditentukan dalam perundang-undangan sangat

kental dengan penggunaan konsep kesalahan. Demikian ini membuat nasabah

berada pada posisi yang lemah terutama dihadapkan pada perjanjian baku

yang mengikatnya.

Sebenarnya telah dikembangkan prinsip strict liability guna tercapainya

perlindungan dan meningkatkan kedudukan nasabah dengan cara menerapkan

tanggung jawab produsen dalam hal ini adalah pihak bank. Pihak bank pada

posisi ini sebagai produsen penyedia jasa layanan transaksi elektronik

11

Hetty Hassanah, Analisis Hukum Tentang Perbuatan Melawan Hukum Dalam Transaksi

Bisnis Secara Online (E-Commerce) Berdasarkan Burgerlijke Wetboek dan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Jurnal Wawasan Hukum Vol.

32 No. 1 Februari 2015, h. 49.

48

internet banking sudah sewajarnya dibebani dengan tanggung jawab mutlak

oleh karena resiko dalam transaksi interne banking ini sangat tinggi dan

bermacam-macam jenisnya. Sehingga bank diberikan tekanan agar dapat

lebih menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan penggunaan

internet banking oleh penggunanya. Namun dengan pemberlakuan prinsip

strict liability dalam hukum terhadap produknya terutama terhadap pihak

bank, bukan berarti pihak bank tidak mendapat perlindungan hukum

melainkan pihak bank diberi kesempatan untuk membebaskan dirinya dari

tanggung jawab ketika nasabah tidak dapat membuktikan bahwa memang

betul kesalahan dilakukan oleh sistem pihak bank, adanya keadaan yang

memaksa ataupun kelalaian dari pihak bank.12

Dalam proses pembuktian pihak yang dinyatakan melakukan kesalahan,

merujuk pada Pasal 19 Ayat 3 dan Pasal 45 Ayat 1 serta Pasal 47 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa nasabah dalam hal ini sebagai konsumen dapat

melakukan sengketa yang diselesaikan di luar maupun melalui pengadilan.

Menurut Pasal 48 Undang-Undang ini, penyelesaian sengketa melalui

pengadilan dapat dilakukan oleh nasabah yang telah dirugikan atau ahli waris

yang bersangkutan, sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan

yang sama, pemerintah dan/atau instansi terkait ataupun lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Sementara dalam Pasal 19

Ayat (1) dan (3) UUPK ini menegaskan bahwa konsumen yang merasa

dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada

produsen dan produsen harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian

dalam jangka waktu 7 hari setelah transaksi berlangsung.13

Selain itu, penyelesaian sengketa konsumen juga tidak menutup

kemungkinan penyelesaian secara damai oleh pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa secara damai adalah bentuk penyelesaian yang

12

I Made Aditya Mantara Putra, Tanggung Jawab Hukum Bank Terhadap Nasabah Dalam

Hal Terjadinya Kegagalan Transaksi Pada Sistem Mobile Banking, h. 137. 13

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 2006), h. 131.

49

dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa tanpa melalui pengadilan

atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.14

Berkenaan dengan

penyelesaian sengketa secara damai ini, Pasal 23 UUPK menyatakan: Pelaku

usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau memenuhi

ganti kerugian atas tuntutan konsumen sebagai dimaksud dalam Pasal 19

ayat (1) sampai dengan ayat (4) dapat digugat melalui Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat

kedudukan konsumen.

Dari bunyi ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang

Perlindungan Konsumen menghendaki penyelesaian sengketa di luar

Pengadilan terlebih dahulu diselesaikan sendiri oleh kedua belah pihak secara

damai yaitu tanpa melalui Pengadilan maupun Lembaga BPSK. Penyelesaian

sengketa konsumen yang dilakukan oleh konsumen dan pelaku usaha sendiri

bila dilihat dari kacamata Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 ini

merupakan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi dan

konsiliasi. Tugas BPSK sendiri diatur dalam Pasal 52 UUPK yang meliputi:

1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan

cara melalui mediasi dan arbiterase atau konsiliasi.

2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.

3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.

4. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran

ketentuan dalam undang-undang ini.

5. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen

tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan

konsumen.

7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen.

14

Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2007), h. 223.

50

8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang

yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini.

9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,

saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan

huruf h yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (BPSK).

10. Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti

guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.

11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak

konsumen.

12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

13. Menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku usaha yang melanggar

ketentuan undang-undangan ini.

Maka demikian, BPSK sebagai dimaksudkan pada Pasal 52 huruf a

UUPK di atas memiliki wewenang melaksanakan penanganan dan

penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi, konsiliasi dan

arbiterase. Adapun tata cara persidangan di BPSK sesuai yang tercantum

dalam Pasal 54 ayat 4 UUPK jo Pasal 26 sampai dengan Pasal 36 SK Menteri

Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 yaitu:

persidangan dengan cara konsiliasi, persidangan dengan cara mediasi dan

persidangan dengan cara arbiterase. Untuk dengan cara konsiliasi, adalah

sengketa dengan cara negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak

luar yang netral dan tidak memihak yang akan bekerja dengan pihak

bersengketa tersebut dalam memuaskan kedua belah pihak. Pihak ketiga

tersebut dinamakan konsiliator.15

Hasil musyawarah yang merupakan

kesepakatan antar konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, dibuat

dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang

bersengketa dan diserahkan kepada Majelis untuk dituangkan dalam

keputusan BPSK yang menguatkan perjanjian tersebut.

15

Munir Fuadi, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), h. 316.

51

Untuk yang kedua yaitu dengan cara mediasi. Seperti pada pembahasan

sebelumnya, mediasi adalah proses penyelesaian sengketa berupa negosiasi

untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang netral dan tidak

memihak yang akan bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu

menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara memuaskan

kedua belah pihak. Pihak ketiga tersebut dinamakan dengan mediator. Karena

bertugas untuk menemukan solusi antara kedua belah pihak, maka mediator

dapat membuat forum untuk rapat serta saling berbagi informasi. Hanya saja

mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa,

melainkan hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan yang

dihadapi.

Untuk yang ketiga yaitu dengan cara arbiterase, adalah cara

penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan pada

perjanjian arbiterase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa. Proses persidangan dengan cara arbiterase ini dibagi menjadi

dua tahap sesuai Pasal 32 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001

yaitu: pertama, para pihak memilih arbitrer dari anggota BPSK yang berasal

dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis. Kedua,

arbiter yang dipilih para pihak tersebut kemudia memilih arbiter ketiga

anggota BPSK dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis BPSK. Jika

ketiga hal tersebut tidak tercapai maka sesuai Pasal 45 ayat (4) UUPK

menyebutkan bahwa para pihak diberikan hak untuk mengajukan gugatan ke

Pengadilan.

Namun begitu pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa lebih

banyak memilih penyelesaian proses litigasi di Pengadilan Negeri, baik

melakukan tuntutan secara perdata maupun pidana. Pasal 45 Ayat 1 UUPK

menyatakan bahwa: Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat

pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa

konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di

lingkungan peradilan umum. Ayat selanjutnya menyatakan, penyelesaian

sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar

52

pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dan

Pasal 48 UUPK menegaskan bahwa, penyelesaian sengketa konsumen

melalui pengadilan mengacu pada ketentuan peradilan umum yang berlaku

dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.

Dengan demikian, proses penyelesaian sengketa melalui Pengadilan

Negeri dilakukan seperti dalam mengajukan gugatan sengketa perdata biasa

dengan mengajukan gugatan ganti kerugian, baik berdasarkan perbuatan

melawan hukum yang berdasar pada unsur kesalahan. Konsekuensi dari

pilihan penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri adalah lamanya

penyelesaian perkarta serta putusan yang dijatuhkan seringkali mencerminkan

tidak adanya unified work atau unified legal opinion antara Pengadilan

Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.

Karena itu, penekanan yang ideal sebaiknya dilaksanakan melalui jalur

damai baik melalui mediasi maupun konsiliasi. Demikian inilah yang menjadi

alasan mengapa Bank Indonesia (BI) terus menggalakkan dengan

mewajibkan seluruh bank untuk menjadi anggota dari lembaga mediasi

perbankan. Agar mempunyai kekuatan hukum mengikat maka BI membuat

Peraturan Bank Indonesia tentang kewajiban Bank menjadi anggota lembaga

mediasi. Untuk menjaga kualitas dari lembaga mediasi perbankan ini maka

BI dapat memberi akreditasi pada lembaga mediasi perbankan Indonesia

tersebut. lembaga mediasi mempunyai kewajiban melaporkan secara berkala

kepada BI mengenai sengketa yang pernah dimediasikan. Dalam lembaga

mediasi ini harus ada mediator independen yang dapat memberikan saran

sesuai dengan profesinya masing-masing.

Bahkan, sesuai Pasal 3 Ayat 1 Peraturan Bank Indonesia No.

8/5/PBI/2006 menegaskan bahwa yang membentuk lembaga mediasi

perbankan independen adalah asosiasi perbankan. Asosiasi perbankan yang

membentuk mediasi perbankan independen dapat terdiri dari gabungan

asosiasi perbankan untuk menjaga independensinya. Selain itu dapat pula

dilakukan perekrutan dari kalangan bankir. Dengan demikian, selain BPSK

terdapat pula lembaga yang menjalankan mediasi namun dari internal bank

53

itu sendiri. Lembaga ini biasa disebut dengan Lembaga Alternatif

Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia yang disingkat dengan LAPSPI

yang dibentuk oleh asosiasi bidang perbankan dan didaftarkan di OJK. Sama

seperti BPSK, LAPSPI menyediakan tiga layanan penyelesaian sengketa

yaitu mediasi, ajudikasi dan arbitrase.16

Nasabah dengan begitu memiliki opsi

awal dalam penyelesaian sengketa kerugiannya sebelum sampai pada tahap

litigasi di Pengadilan Negeri.

16

Rizqi Musrifah dan Satria Sukananda, Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah

Dalam Transaksi E-Banking di Indonesia, Journal Diversi Vol. 4 No. 1 2018, h. 119.

54

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada bahasan sebelumnya, dapat ditangkap kesimpulan

sekaligus jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut:

1. Pengaturan pertanggung jawaban terhadap kerugian nasabah pengguna

internet banking didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 21

Ayat 2-4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008

Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang pada substansinya

memberikan dasar bagi nasabah untuk meminta pertanggung jawaban

kepada pihak bank akan kerugian materil dan immateril yang dialaminya.

Hanya saja kedua ketentuan tersebut menekankan pada aspek kesalahan

pada masing-masing pihak.

2. Beberapa bentuk kerugian nasabah dalam penggunaan layanan internet

banking secara garis besar ada dua: Pertama kerugian immateril yang

dalam hal ini adalah kerugian privasi. Kedua, kerugian materil yang

dalam hal ini adalah uang nasabah yang disimpan kepada bank. Untuk

yang pertama, kerugian pembobolan privasi tidak dianggap sebagai

kerugian yang serius oleh masyarakat Indonesia. Barulah bila terjadi

kerugian materil umumnya akan berujung pada sengketa masing-masing

pihak.

3. Upaya hukum dalam penyelesaian sengketa dapat ditemput melalui dua

cara: Pertama jalur di luar pengadilan. Nasabah dapat menggugat pihak

bank di luar pengadilan melalui lembaga yang dinamakan dengan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). BPSK sendiri merupakan

lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah di tiap-tiap daerah

tingkat II untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Selain itu,

sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia terdapat pula lembaga

independen yang dikenal dengan Lembaga Alternatif Penyelesaian

55

Sengketa Perbankan Indonesia yang disingkat dengan LAPSPI yang

dibentuk oleh asosiasi bidang perbankan dan didaftarkan di OJK. Sama

seperti BPSK, LAPSPI menyediakan tiga layanan penyelesaian sengketa

yaitu mediasi, ajudikasi dan arbitrase. Kedua, jalur pengadilan.

Penggunaan cara ini umumnya merupakan jalan terakhir setelah melalui

upaya mediasi masing-masing pihak. Sementara prosedurnya akan

disamakan dengan hukum acara perdata pada umumnya.

B. Saran

Saran yang dapat penulis kemukakan adalah perlunya ketentuan khusus

yang mengatur secara eksplisit mengenai internet banking. Seharusnya,

pemerintah menyediakan regulasi eksplesit guna memberi kepastian hukum

dalam penyelenggaraan. Sebab bagaimanapun negara tetap harus bertanggung

jawab terhadap bentuk usaha pihak swasta sehingga tidak adanya

ketimpangan atau pihak yang ditempatkan pada posisi yang lemah.

Sementara untuk nasabah sebaiknya selalu memperhatikan petunjuk

yang diberikan oleh pihak bank terutama ketika dalam bertransaksi. Nasabah

juga sudah selayaknya selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian sebab

untuk alasan apapun internet banking sebagai kelanjutan perkembangan

teknologi selalu memiliki resiko.

56

DAFTAR PUSTAKA

Astrini, Dwi Ayu, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Pengguna

Internet Banking Dari Ancaman Cybercrime, Lex Privatum Vol. II No. 1

2015.

Asuan, Transaksi Perbankan Melalui Internet Banking, Jurnal Fakultas Hukum

Universitas Palembang Vol. 16 No. 3 September 2019.

Aswandi, Ririn, Perlindungan Data dan Informasi Pribadi Melalui Indonesian

Data Protection System (IDPS), lp2ki Vol. 3 No. 2 Juni 2020.

AZ, Lukman Santoso, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Yogyakarta:

Penerbit Pustaka Yustisia, 2011.

Cartwright, Peter, Consumer Protection and The Criminal Lawa: Law, Theori,

and Policy In The UK, UK: Cambridge University Press, 2004.

Detik.com, Oknum Mantan Pegawai Bank Terlibat Jual Beli Data Nasabah.

Direktorat Hukum Bank Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah

Mada, Rekonstruksi Hukum Dalam Menanggulangi Kejahatan Dunia Maya

di Bidang Perbankan, T.t: Interim Report, 2003.

Endeshaw, Assafa, Hukum E-Commerce dan Internet dengan Fokus Di Asia

Pasifik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Fuadi, Munir, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.

Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT

Bina Ilmu, 1987.

Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT.

Bina Ilmu, 1987.

Hamzah, Andi, Aspek-Aspek Pidana Di Bidang Computer, Jakarta: Sinar Grafika,

1987.

Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2015.

Hassanah, Hetty, Analisis Hukum Tentang Perbuatan Melawan Hukum Dalam

Transaksi Bisnis Secara Online (E-Commerce) Berdasarkan Burgerlijke

Wetboek dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, Jurnal Wawasan Hukum Vol. 32 No. 1 Februari 2015.

Kalsen, Hans, Pure Theory of Law, Penerjamah Raisul Muttaqie, Teori Hukum

Murni: Dasar-Dasar Hukum Normatif, Bandung: Penerbit Nusa Media, 2008.

57

Kumparan.com, Nasabah Bank Mandiri Keluhkan Saldo di Rekeningnya Tiba-

Tiba Rp 0.

Kusuma, Mahesa Jati, Hukum Perlindungan Nasabah Bank, Upaya Hukum

Melindungi Nasabah Terhadap Tindakan Kejahatan ITE Di Bidang

Perbankan, Bandung: Nusamedia, 2012.

Lestari, Tri Puji, Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Pengguna

Internet Banking, Tesis Magister Jakarta Universitas Indonesia, Tahun 2012.

Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu pengantar, Jakarata: Kencana

Prenada Media Group, 2013.

Miru, Ahmad dan Yodo, Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT

Raja Grafindo, 2000.

Mulyati, Aspek Perlindungan Hukum Atas Data Pribadi Nasabah Pada

Penyelenggaraan Layanan Internet Banking (Studi Kasus Pada PT. Bank

Syariah Mandiri Cabang Ulee Kareng), Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Ar-Raniry 2017.

Musrifah, Rizqi dan Sukananda, Satria, Analisis Perlindungan Hukum Terhadap

Nasabah Dalam Transaksi E-Banking di Indonesia, Journal Diversi Vol. 4

No. 1 2018.

Nasution, A.Z, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Jakarta: Daya

Widy, 1999.

Notoatmodjo, Soekidjo, Etika Dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta,

2010.

Nugraha, Ferry Satya, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam

Pembobolan Internet Banking Melalui Metode Malware, Diponegoro Law

Journal Vol. 5 No. 3 2016.

Nurastuti, Wiji, Teknologi Perbankan, Jakarta: Graha Ilmu, 2011.

Porta, R. La, Investor Protection and Corporate Governance, Jurnal Of Financial

Economics 58 1 Januari 2000.

Prahohoro, Kuwido, Dkk., Tanggung Gugat Dalam Transaksi Melalui Internet

Banking, Hukum Bisnis Universitas Narotama Surabaya Vol. 3 No. 2

Oktober 2019.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: PT

Refika Aditama, 2003.

Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, Bandung: Citra Aditya, 2010.

58

Purbo, Onno W dan Wahyudi, Aang Arif, Mengenal E-Commerce, Jakarta: Elek

Media Komputindo, 2001.

Purwoko, Widi, Aspek Hukum Bisnis Bank Umum, Jakarta: Nine Seasons

Communication, 2015.

Putra, I Made Aditya Mantara, Tanggung Jawab Hukum Bank Terhadap Nasabah

Dalam Hal Terjadinya Kegagalan Transaksi Pada Sistem Mobile Banking,

Kertha Wicaksana: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa Vol. 14 No. 2

2020.

Raditio, Resa, Aspek Hukum Transaksi Elektronik Perikatan, Pembuktian Dan

Peyelesaian Sengketa, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.

Ramakrishnan, Ganeh, Risk Management For Internet Banking, ISACA Journal

Vol. 6 Tahun 2001.

Rasjidi, Lili dan Putra, I.B Wysa, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja

Rusdakarya, 1993.

Reitz, Curtis R., Consumer Product Warranties Under Federal and State Laws,

University of Pennsylvania Law School 1987.

Riswadi, Budi Agus, Aspek Hukum Internet Banking, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2005.

Riswandi, Budi, Aspek Hukum Internet Banking, Yogyakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2005.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT Grasindo, 2006.

Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2006.

Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para

Pihak Dalam Perjanjian Kredij Bank Indonesia, Jakarta: Institut Bank

Indonesia, 1993.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif; Suatu

Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, Jakarta: UI Press,

1986.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1979.

Windayani, Tisa, Proporsionalitas Pasal 79 Huruf C Undang-Undang No. 29

Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran dan Pasal 360 KUHP Dikaitkan

Dengan Unsur Kesalahan Terdakwa, Jurnal Panorama Hukum Vol. 4 No. 2

Desember 2019.

59

Wisnubroto, Aloysius, Strategi Penanggulangan Kejahatan Telematika,

Universitas Atma Jaya Yogyakarta:2010.

Yusfani, Fitra, Tanggung Jawab Pihak Bank Terhadap Nasabah Atas Layanan

Internet Banking (Studi Pada Bank BRI Syariah Cabang Medan), Skripsi

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2018.