penerapan konsep bpr pada pemerintahan
TRANSCRIPT
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
HALAMAN 1 DARI 10 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
Penerapan Konsep BPR pada Pemerintahanoleh Prof. Richardus Eko Indrajit - [email protected]
EKOJI9
99 N
omor
248
, 14
Mei
201
3
Artikel ini merupakan satu dari 999 bunga rampai pemikiran Prof. Richardus Eko Indrajit di bidang sistem dan teknologi informasi. Untuk berlangganan, silahkan kirimkan permohonan anda melalui alamat email [email protected].
PENDAHULUANKetika untuk pertama kalinya konsep Business Process Reengineering (BPR) diperkenalkan oleh Michael Hammer dan James Champy pada awal tahun 1990-‐an, beribu-‐ribu perusahaan berlomba-‐lomba untuk menerapkan paradigma baru dalam memandang bisnis tersebut.Hasilnya cukup mengejutkan, dalam arti kata cukup banyak perusahaan yang pada akhirnya berhasil meningkatkan kinerjanya secara signi�ikan dan mentransformasikan dirinya menjadi sebuah korporasi kelas dunia. Melihat hal tersebut, sejumlah birokrat di negara maju mencoba untuk menerapkan konsep ini pada organisasi pemerintahan dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kualitas kinerja institusi, terutama di dalam menghadapi berbagai tantangan pada era globalisasi.Dari hasil yang didapatkan terlihat bahwa paradigma yang dipergunakan di dalam BPR merupakan sebuah batu loncatan efektif dalam membantu pemerintah dalam mengimplementasikan konsep “electronic government” (e-‐Government), yang merupakan sebuah perwujudan dari model pemerintahan di masa mendatang. Artikel ini memperlihatkan bagaimana penerapan pola pola pikir dalam teori BPR dapat membantu pemerintah dalam memahami dan menjawab berbagai tuntutan perubahan jaman dewasa ini, terutama yang berkaitan dengan bagaimana penerapan teknologi informasi dapat membantu pemerintah Indonesia dalam usahanya untuk meredi�inisikan kembali dirinya dan mencoba untuk menjadi salah satu agen perubahan dalam menuju sebuah negara moderen.
TANTANGAN PEMERINTAH DI MASA DEPANGlobalisasi merupakan sebuah fenomena dimana negara-‐negara di dunia secara langsung maupun tidak langsung mengharapkan terjadinya sebuah interaksi antar masyarakat yang jauh lebih efektif dan e�isien dibandingkan dengan saat-‐saat sebelumnya (Douglas, 2001). Di dalam format ini, proses interaksi dan komunikasi antar negara-‐negara di dunia akan jauh lebih intens dibandingkan dengan apa yang selama ini pernah terjadi. Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa globalisasi telah membuka isolasi batasan antar negara yang selama ini berlaku -‐ terutama untuk hal-‐hal yang berhubungan dengan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum.
Seperti layaknya dua sisi pada mata uang, fenomena globalisasi menjanjikan sebuah lingkungan dan suasana kehidupan bermasyarakat yang jauh lebih baik; sementara di sisi lain, terdapat pula potensi terjadinya chaos jika perubahan ini tidak dikelola dan dijalani secara baik. Karena pada suatu titik ekstrem seorang individu di sebuah negara dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya (misalnya berdagang, bermitra, berkolaborasi, berbuat kejahatan, berkolusi, dan lain-‐lain) dengan individu yang berada di negara lain, maka jelas bahwa kehidupan masyarakat harus dapat terlebih dahulu ditata dengan baik di dalam sebuah sistem yang menjamin bahwa negara yang bersangkutan akan memperoleh manfaat yang besar di dalam lingkungan global, bukan sebaliknya (Indrajit, 2001).
Visi pemerintah sebuah negara selain memiliki dimensi internal (cita-‐cita bangsa yang bersangkutan) tidak dapat pula dilepaskan dari sejumlah aspek eksternal, terutama yang berkaitan dengan tuntutan pemenuhan berbagai aspek relasi antar negara dan antar anggota masyarakatnya. Adalah merupakan suatu fakta bahwa terdapat desakan dari negara-‐negara besar yang mengharuskan setiap negara di dunia untuk menjamin terselenggaranya berbagai isu penting semacam demokratisasi, hak asasi manusia, kepastian hukum, pencegahan korupsi, transparansi bisnis, dan lain sebagainya agar negara yang bersangkutan tidak ingin dikucilkan dari pergaulan dunia (Leer, 1999).
Dalam format ini pemerintah di sebuah negara diminta untuk lebih responsif terhadap berbagai permintaan masyarakatnya, terutama mereka yang aktivitas sehari-‐harinya memiliki ketergantungan yang tinggi dengan birokrasi pemerintahan. Jika dahulu sebuah pemerintah terkenal dengan birokrasinya yang sangat lambat, boros, dan sangat fungsional, maka masyarakat saat ini membutuhkan sebuah kinerja pemerintah yang cepat, murah, dan
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
HALAMAN 2 DARI 10 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
berorientasi pada proses agar dapat memberikan dukungan yang signi�ikan dan kompetitif bagi para mereka yang dilayaninya (individu, komunitas bisnis, masyarakat, dan stakeholder yang lain). Tentu saja merubah paradigma tersebut bukanlah merupakan suatu hal yang mudah. Namun di sisi lain perubahan merupakan suatu keharusan, bukan pilihan (ICGFM, 20010). Dan bagi siapa yang dapat melakukan perubahan secara cepat, akan semakin diuntungkan karena selain dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru, yang bersangkutan dapat menjadi pemain kunci dalam mekanisme global tersebut.
MEMAHAMI KONSEP BPRAda dua hal utama yang kerap mengawali berbagai usaha perubahan. Pertanyaan pertama berkaitan dengan derajat perubahan yang diinginkan, sementara pertanyaan kedua berkisar pada dari sisi mana inisiatif perubahan harus dimulai (Champy, 1995). Untuk menjawab pertanyaan pertama, ada baiknya dilihat sejumlah teori perubahan pada organisasi yang telah dikenal luas. Secara teori, spektrum jenis perubahan dapat diklasi�ikasikan menjadi tiga kelompok besar, yang diklasi�ikasikan berdasarkan parameter, yaitu frekuensi aplikasi perubahan dan dampak yang diharapkan dari inisiatif perubahan (Tenner, 1996):
Sumber: Arthur Tenner et.al., 1997
Continuous Improvement – perubahan yang dilakukan secara perlahan-‐lahan dan kontinyu, dimana hasilnya berupa perbaikan kinerja secara inkremental;
Leapfrogging – perubahan yang dilakukan secara bertahap dengan mengikuti periode tertentu, dimana menghasilkan perbaikan kinerja yang cukup signi�ikan pada sektor tertentu; dan
Reengineering – perubahan yang dilakukan sesekali namun sanggup menghasilkan sebuah perbaikan kinerja yang sangat signi�ikan.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, yang secara relatif semakin terpuruk posisinya karena krisis yang berkepanjangan, memilih pendekatan perubahan yang pertama dan kedua tentu saja tidak akan memberikan pengaruh yang berarti. Oleh karena itu tidak ada jalan lain, jika pemerintah dan segenap masyarakat secara serius ingin meningkatkan keunggulan kompetitif Indonesia secara cepat, maka ada baiknya metode pendekatan ”Reengineering” dipelajari dan dicoba dicari jalan penerapannya.
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
HALAMAN 3 DARI 10 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
BPR merupakan salah satu metodologi yang di dalam klasi�ikasi terkait. Secara de�inisi, BPR memiliki empat buah karakteristik utama, yaitu (Hammer, 1993):
Hasil perubahan yang diharapkan bersifat dramatis (sangat signi�ikan);
Paradigma perubahan dihasilkan dari pemikiran yang bersifat fundamental (sangat mendasar);
Perancangan lingkungan yang baru dihasilkan melalui ide-‐ide radikal; dan
Fokus perubahan yang diarahkan pada perbaikan proses.
Keempat aspek utama ini secara logika memiliki keterkaitan sebagai berikut. Sebuah hasil perubahan yang dramatis hanya akan lahir dari adanya pemikiran-‐pemikiran yang bersifat sangat mendasar, dimana didalamnya akan mengandung sejumlah ide-‐ide perubahan yang bersifat radikal. Karena sebuah organisasi pada dasarnya merupakan kumpulan dari orang-‐orang dalam sebuah struktur untuk menjalankan aktivitas tertentu, maka subyek utama perubahan yang tepat adalah pada dasarnya memperbaiki kinerja proses terkait yang ada.
TEKNIK MEMULAI PERUBAHANPertanyaan kedua menyangkut dari sisi mana sebuah inisiatif perubahan harus dimulai, dijawab secara jelas melalui metodologi baku BPR. Menurut metodologi, langkah pertama dan utama yang harus dilakukan adalah menentukan siapa saja sebenarnya ”customer” (baca: kustomer) dari pemerintah (Dorine, 1994). Hal ini perlu diperhatikan secara sungguh-‐sungguh karena pada dasarnya keberadaan organisasi pemerintahan adalah menjalankan sejumlah rangkaian proses untuk melayani berbagai kustomer yang berbeda-‐beda. Secara umum, kustomer besar dari sebuah organisasi pemerintahan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori sebagai berikut:
Masyarakat – yang merupakan kumpulan dari individu, kelompok, atau komunitas tertentu yang sehari-‐harinya membutuhkan sejumlah pelayanan tertentu dari pemerintahnya untuk kebutuhan aktivitas sehari-‐hari;
Pelaku Bisnis (Industri) – yang merupakan sekelompok perusahaan dan/atau organisasi komersial yang sehari-‐harinya melakukan kegiatan pertukaran barang dan jasa untuk menggerakkan roda perekonomian nasional;
Organisasi – yang merupakan kumpulan dari orang-‐orang yang memiliki misi tertentu dalam sebuah kerangka bernegara, seperti misalnya: LSM, partai politik, yayasan, perhimpunan, perguruan tinggi, dan lain sebagainya; dan
Institusi Pemerintah Lain – yang merupakan mitra kerja dari sebuah organisasi pemerintahan karena adanya unsur keterkaitan dalam proses.
Pada dasarnya keempat kustomer ini memiliki obyektif yang berbeda dalam hubungannya berinteraksi dengan pemerintahan. Kelompok masyarakat membutuhkan berbagai pelayanan pemerintah yang berkaitan dengan keberadaannya sebagai seorang penduduk atau warganegara, seperti misalnya menyangkut proses-‐proses berhubungan dengan: pembuatan KTP, perpanjangan STNK, kepemilikan harta benda, permasahalan hukum, dan lain sebagainya. Kelompok pelaku bisnis membutuhkan keterlibatan pemerintah sehubungan dengan proses-‐proses seperti: transaksi jual beli, pembayaran pajak, administrasi ekspor-‐impor, pengurusan imigrasi, dan lain sebagainya. Kelompok organisasi di lain pihak membutuhkan keterlibatan pemerintah dalam sejumlah proses berkaitan dengan: pendirian organisasi, eksekusi kegiatan komunitas, penjaminan pencapaian misi, penggunaan sumber daya, dan lain sebagainya. Sementara institusi pemerintahan lain perlu melakukan sejumlah
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
HALAMAN 4 DARI 10 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
koordinasi dan komunikasi dengan berbagai lembaga pemerintahan yang ada untuk menjalankan berbagai proses yang bersifat lintas sektoral.
PEMETAAN DAN PENGKAJIAN PROSESSetelah mende�inisikan kustomer, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah melakukan pemetaan terhadap seluruh proses yang dilakukan oleh institusi pemerintah terkait, terutama yang berkaitan dengan berbagai pelayanan yang dibutuhkan oleh sejumlah stakeholder terkait. Tujuan dilakukannya pemetaan ini adalah sebagai berikut (Hunt, 1996):
§ Mendapatkan gambaran secara keseluruhan bagaimana beragam proses di dalam organisasi pemerintahan saling terkait dan berjalan selama ini;
§ Memudahkan penemuan dan pengkajian terhadap sejumlah sub-‐proses yang dianggap kinerjanya rendah untuk kemudian dicari akar penyebabnya; dan
§ Membantu mencari jalan keluar dalam proses perubahan desain proses agar menghasilkan suatu kinerja perubahan yang signi�ikan.
Agar proses pemetaan dan pengkajian dapat dilakukan secara mudah dan cepat, banyak sekali perangkat lunak (software) yang dapat dipergunakan, seperti misalnya: Extend (Imagine That Inc.), WITNESS Simulation (AT&T), SIMPROCESS (CACI Products Coy), ITHINK (Performance Systems Inc.), dan lain-‐lain (ImagineThat, 1995).
PERANCANGAN PROSES BARUDi mata kustomer, kinerja pemerintah dalam hal melayani publik akan dianggap membaik jika dari waktu ke waktu sejumlah proses pelayanan terlihat semakin bertambah baik, bertambah murah, dan bertambah cepat. Untuk menghasilkan proses yang diinginkan tersebut, ada 4 (empat) hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sehubungan dengan proses yang terjadi di sejumlah organisasinya, masing-‐masing adalah (Hammer, 1996):
Sumber: Extend Software Inc., 1998
Eliminasi -‐ berupa penghilangan atau pemangkasan proses-‐proses yang sebenarnya tidak perlu untuk dilakukan;
Simpli�ikasi – berupa penyederhanaan rangkaian proses yang sebenarnya dapat diperingkas atau diperpendek;
Integrasi – berupa penggabungan beberapa proses yang sebenarnya dapat dilakukan sekaligus secara bersamaan (simultan); dan
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
HALAMAN 5 DARI 10 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
Otomatisasi – berupa pengalihan proses dari yang biasa dikerjakan oleh manusia menjadi kegiatan yang dapat dijalankan oleh teknologi.
Berdasarkan pengalaman dari negara-‐negara maju, dan juga sejumlah negara tetangga Indonesia – seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, Hongkong, dan Korea – teknologi informasi (perpaduan antara teknologi komputer dan telekomunikasi) ternyata mampu untuk melakukan keempat strategi peningkatan kinerja proses tersebut (Ho, 2000).
Ada dua jenis pendekatan perancangan proses baru yang dapat dilakukan. Pendekatan pertama adalah dengan cara mengkaji peta proses yang dikerjakan pada saat ini, kemudian masing-‐masing sub-‐proses tersebut dilihat kemungkinannya untuk dilakukan eliminasi, simpli�ikasi, integrasi, dan otomatisasi melalui pemanfaatan teknologi informasi yang ada.
Sementara pendekatan kedua adalah dengan melakukan perbandingan (benchmarking) terhadap apa yang telah dilakukan oleh pemerintah negara lain sehubungan dengan proses serupa, dan mencoba untuk menerapkannya di Indonesia (biasanya akan dipilih proses yang terbaik dari hasil perbandingan, atau yang kerap dikenal dengan istilah ”best practices”).
Jika kedua pendekatan ini dilakukan – baik secara terpisah maupun bersama-‐sama – makan akan dijamin terjadinya sebuah perbaikan kinerja proses yang cukup signi�ikan. Bahkan secara prinsip, perancangan proses baru dengan memanfaatkan teknologi informasi ini akan merupakan sebuah cikal bakal atau embrio dari lahirnya sebuah konsep ”Electronic Government” (e-‐Government) di Indonesia, yang oleh Bank Dunia dide�inisikan sebagai (Belt, 2001):
“E-‐Government refers to the use by government agencies of information technologies that have the ability to transform relations with citizens, businesses, and other arms of government.”
Pemahaman yang utuh dan lengkap mengenai konsep e-‐Government dan penerapan strategi perampingan proses melalui metodologi BPR secara tidak langsung akan membawa pemerintah kepada tantangan perubahan paradigma secara mendasar dan radikal yang perlu untuk dipertimbangkan.
PERUBAHAN PARADIGMADalam kerangka perubahan tersebut, paradigma birokrat yang selama ini efektif dipergunakan harus mulai digantikan dengan paradigma e-‐Government. Setidak-‐tidaknya ada 8 (delapan) aspek yang membedakan antara kedua buah paradigma tersebut, yaitu (Haedler 2001 dan Pellici 2001):
1. Orientation;
2. Process Organization;
3. Management Principle;
4. Leadership Style;
5. Internal Communication;
6. External Communication;
7. Mode of Service Delivery; dan
8. Principles of Service Delivery.
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
HALAMAN 6 DARI 10 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
ORIENTATIONyang hemat biaya (cost-‐ef�icient) kepada masyarakat dan mereka yang berkepentingan (stakeholders). Orientasinya pada e�isiensi karena bukan merupakan rahasia umum bahwa biaya pemerintahan diambil langsung dari anggaran belanja negara/daerah yang terkadang sangat kecil dibandingkan dengan volume dan frekuensi produk/pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat. Karena selalu menggunakan ukuran biaya sebagai fokus, maka dapat dimaklumi jika banyak sekali produk atau pelayanan yang diberikan kalangan birokrat terkadang memiliki kualitas yang rendah dan cenderung terkesan asal-‐asalan.
Di dalam e-‐Government, pemberian produk dan pelayanan harus berorientasi pada kepuasan kustomer (customer satisfaction oriented). Ukuran keberhasilan pemberian produk dan pelayanan dari pihak pemerintah kepada masyarakat adalah jumlah keluhan dari pelanggan yang bersangkutan terhadap kualitas produk dan pelayanan yang diberikan.
Hal yang lain yang harus diperhatikan, karena berorientasi kepada kebutuhan dan kepuasan pelanggan, maka produk maupun pelayanan yang diberikan pun harus dapat �leksibel (di sisi ekstrim, setiap produk atau pelayanan harus dapat disesuaikan/tailor-‐made dengan kebutuhan unik masing-‐masing individu). Contoh lain aspek �leksibilitas adalah sehubungan dengan cara akses kepada pemerintahan. Kalau di dalam pendekatan konvensional masyarakat yang harus datang ke birokrat, di dalam e-‐Government pemerintah harus dapat menjawab kebutuhan masyarakat 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, dari mana saja dan kapan saja.
PROCESS ORGANIZATIONSebagaimana layaknya organisasi birokrat kebanyakan, struktur organisasi yang rigid dan kaku merupakan ciri khas mesin manajemen pemerintahan. Dalam kerangka ini, pemerintah membagi dirinya menjadi departemen-‐departemen atau divisi-‐divisi berdasarkan spesialisasinya masing-‐masing (fungsional) dimana di setiap departemen atau divisi terkait, akan diberlakukan lagi struktur organisasi yang disusun dengan paradigma yang sama. Tujuan dibangunnya mesin birokrasi semacam ini adalah agar kontrol internal secara efektif dapat berjalan dengan baik. Dampak dari pendekatan organisasi seperti ini adalah pembentukan teritori pada masing-‐masing bagian sehingga terkadang membuat penyelesaian serangkaian pekerjaan menjadi lambat dan mahal. Lihatlah bagaimana masyarakat kerap di-‐“ping-‐pong” dari satu bagian ke bagian yang lain jika yang bersangkutan ingin mendapatkan pelayanan tertentu. Di dalam e-‐Government, fenomena “ping-‐pong” semacam itu tidak boleh terjadi lagi karena akan sangat merugikan masyarakat dan mereka yang berkepentingan dengan pemerintah. Masyarakat menuntut agar berbagai proses pelayanan yang diberikan dari hari harus semakin baik, cepat, dan murah. Untuk keperluan tersebut, pemerintah harus merombak ulang struktur organisasi rigid-‐nya agar dari yang bersifat fungsional dapat mendukung aktivitas yang berbasis proses. Jelas terlihat di sini bahwa kerja sama antara departemen (lintas sektoral) harus terjadi. Di dalam e-‐Government, tuntutan ini dapat menjadi kenyataan bila pemerintah mengimplementasikan sistem jaringan antar departemennya yang berfungsi saling tukar-‐menukar informasi melalui sistem informasi (aplikasi) yang terintegrasi.
MANAGEMENT PRINCIPLESistem manajemen yang diterapkan di sini adalah “management by mandate and rule”, artinya seseorang baru akan bergerak jika mendapatkan mandat dari atasannya yang biasanya secara sah dinyatakan dalam surat keputusan. Buruknya gaya manajemen ini adalah tidak beraninya atau tidak maunya seseorang karyawan untuk bekerja atau mengambil inisiatif jika belum diberikan perintah atau mandat dari atasannya. Hal ini menyebabkan lambatnya kerja atau response dari manajemen di segala lini yang bermuara pada buruknya pelayanan yang diberikan pada pelanggan internal maupun eksternal. Di dalam paradigma e-‐
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
HALAMAN 7 DARI 10 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
Government, gaya manajemen pemerintahan harus lebih �leksibel dalam arti kata harus dapat selalu beradaptasi dengan berbagai perubahan kebutuhan para pelanggan, baik yang berasal dari kalangan birokrat sendiri (internal) maupun dari luar lembaga pemerintahan (eksternal). Kunci sukses manajemen dengan gaya �leksibel ini terletak pada kemampuan para birokrat bekerja secara tim (teamwork). Tim yang terdiri dari berbagai sumber daya manusia dari beragam struktur organisasi ini bekerja sama untuk menghasilkan sebuah rangkaian produk atau pelayanan yang baik dan berkualitas.
LEADERSHIP TYPEGaya kepemimpinan yang dahulu terbukti efektif di dalam mengelola struktur organisasi birokratis adalah “command and control” seperti yang biasa diterapkan pada organisasi militer. Maksudnya baik, yaitu agar mesin birokrasi dipastikan dapat berjalan secara efektif sesuai dengan pagu yang disusun bersama (karena adanya kontrol yang baik dan tidak terjadi persepsi yang salah karena semua pekerjaan berasal dari satu perintah atau rantai komando). Namun kelemahannya adalah berkurangnya potensi kreativitas pada masing-‐masing sumber daya manusia karena yang bersangkutan hanya bekerja berdasarkan perintah dari atasan semata. Karena struktur organisasi merupakan satu-‐satunya alat manajemen yang dipergunakan untuk berkomunikasi, maka secara tidak langsung gaya kepemimpinan yang ada akan menular sampai ke unit organisasi terkecil yang ada pada struktur. Dengan kata lain, karena semua memiliki gaya kepemimpinan pasif, maka sebagai organisasi akan sulit berkembang dan adaptif terhadap perubahan lingkungan. Menerapkan e-‐Government yang efektif berarti memaksa para birokrat untuk mengubah gaya kepemimpinannya. Idealnya, mereka haruslah seseorang yang dapat menggabungkan antara gaya kepemimpinan seorang profesional dan seorang wiraswastawan (entrepreneurship). Karena seluruh departemen telah dihubungkan melalui infrastruktur teknologi informasi (data, aplikasi, dan teknologi), maka fungsi pemerintah menjadi berubah, dari seorang pemberi perintah dan pengontrol, menjadi seorang fasilitator dan koordinator yang bekerja berdasarkan kebutuhan atau tuntutan pelanggan. Jika dahulu prinsip kepemimpinan dibangun berdasarkan “the boss idea”, maka dengan gaya kepemimpinan e-‐Government yang harus diikuti adalah “the best idea”.
INTERNAL COMMUNICATIONProses komunikasi yang terjadi di dalam manajemen internal adalah dengan mempergunakan “top-‐down approach”. Walaupun terlihat bahwa sekilas sistem tersebut bersifat netral, namun dalam pelaksanaannya menghasilkan efek psikologis yang cenderung membuat organisasi menjadi kontraproduktif. Contoh klasiknya adalah ketidakberanian seorang anak buah untuk bersikap yang bertentangan dengan kemauan atasan (bahkan untuk berbeda pendapat pun terkadang yang bersangkutan tidak berani), atau terbentuknya suasana yang kaku karena adanya hubungan struktural antara atasan dan bawahan (atasan harus selalu dihormati dan tidak boleh dipersalahkan), dan lain sebagainya. Karena tidak adanya suasana demokrasi yang cukup di dalam organisasi, sering kali kinerja institusi terkait tergantung dari kompetensi manajemen puncak yang ada (bukan terletak pada sistem organisasi). Jika manajemen puncak ditempati oleh orang-‐orang yang ahli dan/atau capable di bidangnya, maka cenderung keputusannya akan berkualitas; namun jika manajemen puncak ditempati oleh mereka yang memiliki kompetensi dan keahlian rendah, maka berbagai keputusan yang diambil akan cenderung berdampak buruk bagi kinerja institusi. Di dalam e-‐Government, melalui fasilitas semacam email dan chatting, komunikasi dapat berlangsung secara bebas dan intensif antara masing-‐masing individu maupun di dalam format kelompok. Dengan diinstalasinya jaringan komputer lokal yang terhubung ke internet, maka setiap individu di dalam pemerintahan dapat berkomunikasi secara cepat, langsung, aman, dan murah ke berbagai pihak yang berkepentingan tanpa harus mengikuti garis komando yang ada pada struktur organisasi.
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
HALAMAN 8 DARI 10 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
EXTERNAL COMMUNICATIONSeperti halnya internal communication, external communication merupakan hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan di dalam mengelola pemerintahan. Dalam sistem birokratis, hubungan antar departemen atau antara pihak pemerintah dengan kalangan lain (seperti swasta, luar negeri, LSM, organisasi, partai, dan lain sebagainya) biasanya dilakukan secara formal, dengan mengikuti prosedur-‐prosedur baku baik korespondensi maupun protokoler yang berlaku. Karena banyaknya aturan yang harus ditaati, maka sangat terasa sekali sulitnya menjalin kerja sama antara satu departemen dengan departemen lainnya. Tentu saja format tersebut tidak bisa diterapkan pada e-‐Government yang lebih mengutamakan pada bekerjanya sebuah sistem lintas sektoral yang cepat. Di samping itu, beragam kanal akses pun dibutuhkan untuk keperluan komunikasi agar para pengambil keputusan dapat melakukan hubungan dengan mitra kerjanya dari mana saja dan kapan saja. Komunikasi eksternal secara cepat dibutuhkan agar berbagai produk dan pelayanan pemerintah kepada masyarakat yang sifatnya lintas sektoral, disamping untuk mempermulus jalannya kerja sama dan menghindari adanya pertikaian karena saling “memasuki teritori” pihak lain.
MODE OF SERVICE DELIVERYKarena banyak berhubungan dengan hal-‐hal berbau administratif, maka model pelayanan yang biasa diberikan oleh pemerintah pasti melibatkan sejumlah dokumen-‐dokumen penting (seperti formulir, laporan, dan lain sebagainya). Selain memakan biaya yang cukup banyak, proses yang melibatkan dokumen-‐dokumen berbasis kertas biasanya memakan waktu yang cukup banyak, sehingga pelayanan yang diberikan cenderung lambat. Di dalam era e-‐Government, tujuan akhirnya adalah terbentuk suasana kerja yang paperless/scriptless, dimana sejauh mungkin penggunaan kertas dikurangi (karena memakan biaya pembuatan dan penyimpanannya). Sehingga semua aspek pelayanan dan sumber daya yang dapat didigitalisasikan harus dilakukan migrasi dari sistem manual ke otomatis. Konsep virtual of�ice (kantor maya) juga akan diterapkan di sini. Jika dahulu sebuah transaksi dikatakan sah apabila terdapat dua pihak yang saling bertatap muka dan bersepakat, pada implementasi e-‐Government, kebutuhan bertatap muka secara �isik tidak perlu dilakukan karena semuanya dapat diwakili dengan berbagai produk teknologi informasi yang canggih.
PRINCIPLES OF SERVICE DELIVERYAspek yang terakhir menyangkut prinsip yang dipakai dalam memberikan pelayanan berbasis informasi. Pada sistem birokrasi, semua jenis pelanggan diperlakukan sama di mata pemerintah, sehingga disusunlah berbagai standar-‐standar aturan baku yang harus dipatuhi oleh semua khalayak. Seringkali ditemui kasus-‐kasus tertentu yang tidak dapat dipecahkan dengan standarisasi yang ada; namun masalah tersebut tidak dapat segera ditemukan solusinya, karena pemerintah tidak mau bekerja diluar mekanisme standar yang telah disepakati. Sebaliknya pada e-‐Government, pemerintah harus memperlakukan masing-‐masing pelanggannya sebagai sebuah entiti yang unik, dalam arti kata masing-‐masing memiliki kebutuhan yang spesi�ik. Sehingga pelayanan yang diberikanpun harus dapat di-‐tailor-‐made sesuai kebutuhan unik masing-‐masing pelanggan.
KESIMPULANJika dipandang secara sungguh-‐sungguh, esensi penggabungan teori BPR dan e-‐Government memiliki kesamaan dengan tuntutan reformasi total yang disuarakan oleh masyarakat Indonesia. Keseluruhan inisiatif program perubahan tidak ada artinya tanpa terlebih dahulu diawali dengan perubahan paradigma atau cara pandang akan peranan pemerintah di era reformasi, terutama terkait dengan relasinya dengan para kustomer utamanya. Indonesia baru hanya akan dapat terwujud jika pemerintah berani untuk melakukan rede�inisi ulang
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
HALAMAN 9 DARI 10 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013
terhadap peranannya, dan mengambil langkah-‐langkah yang cukup fundamental dan radikal dalam memperbaiki kinerja aktivitas organisasinya sehari-‐hari.
-‐-‐-‐ akhir dokumen -‐-‐-‐
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
HALAMAN 10 DARI 10 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013