bab ii - digital library uns

32
14 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERFIKIR A. Kajian Pustaka 1. Pembelajaran Sejarah a. Pengertian Pembelajaran Sejarah Belajar menjadi suatu perihal yang dibutuhkan oleh semua orang, mulai anak usia dini bahkan sampai orang usia lanjut tetap memerlukan belajar. Menurut Pribadi (2011) belajar yaitu kegiatan yang dilaksanakan oleh siswa sebagai upaya mendapatkan dan mencapai kemampuan dan kompetensi yang diharapkan, melalui belajar seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang baru. Sehingga bisa dikatakan belajar jika ada pengetahuan baru yang dimiliki oleh seseorang. Pada lingkup yang lebih luas belajar dapat dikembangkan menjadi proses pembelajaran. Pembelajaran ialah suatu proses belajar yang sengaja direncanakan. Pembelajaran sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua yakni pembelajaran formal dan non-formal. Belajar formal atau sering didefinisikan secara umum adalah kegiatan belajar yang dilakukan di bangku sekolah. Kegiatan Pembelajaran yang ada di sekolah akan memberikan beberapa matapelajaran kepada peserta didik, salah satu pelajaran yang disampaikan yaitu pelajaran Sejarah. Syajarah yang bermakna pohon kehidupan merupakan arti kata sejarah yang diadopsi dari bahasa Arab (Hamid & Madjid, 2011). Layaknya pohon, sejarah berkenaan mengenai aktifitas dan hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan peristiwa manusia. Sejarah merupakan salah satu matapelajaran yang menanamkan sikap, pengetahuan, dan nilai-nilai mengenai dinamika perkembangan dan perubahan masyarakat Indonesia dan dunia sejak masa lampau sampai kini (Agung & Wahyuni, 2013). Merujuk dari penjabaran tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu pembelajaran sejarah erat kaitannya dengan istilah medi ajar. Ini dikarenakan objek yang dikaji adalah peristiwa yang sudah terjadi, sehingga tidak bisa dilihat secara langsung seperti kebanyakan ilmu alam. Pelajaran sejarah didefinisikan oleh Agung (2013) sebagai pelajaran yang berkedudukan penting sebagai upaya pembangunan karakter yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

Upload: khangminh22

Post on 20-Jan-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERFIKIR

A. Kajian Pustaka

1. Pembelajaran Sejarah

a. Pengertian Pembelajaran Sejarah

Belajar menjadi suatu perihal yang dibutuhkan oleh semua orang, mulai

anak usia dini bahkan sampai orang usia lanjut tetap memerlukan belajar. Menurut

Pribadi (2011) belajar yaitu kegiatan yang dilaksanakan oleh siswa sebagai upaya

mendapatkan dan mencapai kemampuan dan kompetensi yang diharapkan,

melalui belajar seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang baru. Sehingga

bisa dikatakan belajar jika ada pengetahuan baru yang dimiliki oleh seseorang.

Pada lingkup yang lebih luas belajar dapat dikembangkan menjadi proses

pembelajaran. Pembelajaran ialah suatu proses belajar yang sengaja direncanakan.

Pembelajaran sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua yakni pembelajaran

formal dan non-formal. Belajar formal atau sering didefinisikan secara umum

adalah kegiatan belajar yang dilakukan di bangku sekolah. Kegiatan Pembelajaran

yang ada di sekolah akan memberikan beberapa matapelajaran kepada peserta

didik, salah satu pelajaran yang disampaikan yaitu pelajaran Sejarah.

Syajarah yang bermakna pohon kehidupan merupakan arti kata sejarah

yang diadopsi dari bahasa Arab (Hamid & Madjid, 2011). Layaknya pohon,

sejarah berkenaan mengenai aktifitas dan hal-hal yang ada sangkut pautnya

dengan peristiwa manusia. Sejarah merupakan salah satu matapelajaran yang

menanamkan sikap, pengetahuan, dan nilai-nilai mengenai dinamika

perkembangan dan perubahan masyarakat Indonesia dan dunia sejak masa lampau

sampai kini (Agung & Wahyuni, 2013). Merujuk dari penjabaran tersebut, dapat

ditarik suatu kesimpulan yaitu pembelajaran sejarah erat kaitannya dengan istilah

medi ajar. Ini dikarenakan objek yang dikaji adalah peristiwa yang sudah terjadi,

sehingga tidak bisa dilihat secara langsung seperti kebanyakan ilmu alam.

Pelajaran sejarah didefinisikan oleh Agung (2013) sebagai pelajaran

yang berkedudukan penting sebagai upaya pembangunan karakter yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

bermartabat dan pembangunan rakyat Indonesia yang memiliki jiwa nasionalisme

dan patriotisme yan tinggi. Pembangunan nasionalisme dengan identitas dan jati

diri tidak akan terwujud tanpa muatan pengembangan kesadaran sejarah sebagai

sumber inspirasi dan aspirasi yang berkembang melalui pengalaman bersama

bangsa, yaitu proses sejarah.

Pembelajaran sejarah menurut Widja (1989), ialah pengintegrasian antara

proses guru menyampaiakan informasi, siswa menerima informasi mengenai

aktivitas manusia di masa lalu untuk selanjutnya diambil nilai-nilainya sebagai

bekal kehidupan dimasa kini. Sehingga pembelajaran sejarah adalah proses yang

dilaksanakan oleh guru dan peserta didik dalam proses belajar mengajar peristiwa

masa lalu sebagai tujuan untuk mendewasakan pengetahuan dan kepribadian

peserta didik dalam berpikir secara kronologis. Berpikir dalam hal proses

perkembangan masyarakat sebagai kelompok sosial yang hidup bersama

berdampingan dalam satuan lingkungan yang harmoni. Selain itu, pembelajaran

sejarah adalah terjadinya pengajaran kepada siswa dalam lingkup akademis dalam

upaya untuk mempelajari peristiwa-peristiwa penting atau perjalanan peristiwa

bersejarah Indonesia yang melingkupi dimensi ruang dan waktu dengan maksud

untuk menanamkan jiwa patriotis.

b. Tujuan Pembelajaran Sejarah

Matapelajaran sejarah bertujuan untuk menanamkan sikap dan pola pikir

kepada peserta didik tentang sikap mengetahui proses dalam peristiwa

terbentuknya Indonesia sebagai negara yang merdeka, semangat nasionalisme,

patriotisme yang berjuang untuk membebaskan dari belenggu penjajah. Oleh

karena itu pada akhirnya peserta didik mendapatkan pemahaman sejarah dan

kemampuan berpikir historis.

Menurut Agung (2013), pembelajaran sejarah bertujuan membuat peserta

didik memahami adanya keberagaman aktivitas kehidupan yang dijalani masing-

masing masyarakat serta adanya pola pikir yang berbeda masing-masing individu.

Tujuan lainnya ialah:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

1) Menstimulus peserta didik berpikir kritis-analitis dalam menggunakan

pengetahuan yang telah dipelajarinya tentang masa lalu, untuk kemudian

diambil nilainya sebagai bekal berpijak dimasa kini dan masa mendatang;

2) Mengilhami kenyataan bahwa setiap hari kita mengukir sejarah diri

sendiri;

3) Memperdayakan intelektualitas dan keterampilan menerima perubahan,

keberlanjutan yang ada di masyarakat.

Sejalan dengan pendapat tersebut Kemendikbud (2014) menjabarkan

bahwa matapelajaran sejarah Indonesia memiliki tujuan mengarahkan siswa untuk

memiliki karakter sebagai berikut :

1) Membentuk pola pikir siswa untuk memahami bahwa konsepsi

manusia,ruang,serta waktu menjadikan peristiwa sejarah tidak bersifat

dinamis.

2) Mengarahkan dan menstimulus sikap menghargai terhadap peninggalan

peradaban bangsa.

3) Membentuk siswa mampu berpikir historis (historical thinking).

4) Membangun pemikiran tetntang pentingnya kehidupan masa kini dan msa

depan.

5) Membentuk kemampuan berlandaskan nilai serta moral sesuai dengan

karakter bangsa.

Hariyono (1995) memaparkan bahwa tujuan belajar sejarah bukan untuk

menjadi ensiklopedi pengetahuan faktual, melainkan untuk memahami dan

mampu berpikir secara historis. Melalui sejarah siswa diajarkan untuk berpikir

imaginatif, mengorganisasi sumber. Kajian yang bersifat kontekstual dan secara

nyta memiliki keterkaitan dengan muatan sejarah akan banyak membantu

perwujudan berpikir historis.

Tujuan pengajaran sejarah lebih banyak berkaitan dengan aspek

kemandirian siswa. Bagaimana peserta didik mempunyai kesadaran sejarah. Siswa

dapat memanfaatkan pelbagai peristiwa sejarah, yang notabene dilakukan oleh

orang lain. Melalui pelbagai deskripsi sejarah secara utuh, bukan suatu hafalan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

akan fakta dan peristiwa layaknya suatu kronik dapat menggugah siswa sebaga

subjek sejarah (Hariyono, 1995).

Pelajaran sejarah bertujuan menyadarkan adanya proses perkembangan

dan perubahan yang terjadi didalam masyrakat dalam dimensi waktu dan ruang

untuk membentuk pandangan atau perspektif, selain itu membangun kesadaran

megenai karakteristik bangsa di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang

seiring perubahan dunia. Oleh sebab itu penting siswa memiliki pemahaman

mengenai peristiwa kesejarahan bangsa Indonesia, karena generasi muda

merupakan agen perubahan yang menjadi penerus perjuangan bangsa dan

memajukan negara dengan tercermin kepada peristiwa yang dapat mengilhami

dan dapat menginspirasi. Layaknya dalam pembelajaran siswa dan guru

memberikan sinergi positif dalam proses belajar pembelajaran. Guru memberikan

pembelajaran dengan sebaik mungkin dengan metode-metode baik media

pembelajaran yang menarik perhatian siswa. Maka dengan sinergi yang dilakukan

oleh kedua belah pihak antara guru dengan siswa akan memunculkan

pembelajaran yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Kurikulum 2013.

c. Karakteristik Pembelajaran Sejarah

Pelajaran sejarah memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan

mata pelajaran yang lainnya, yaitu (a) sejarah sangat erat kaitanya dengan masa

lampau, peristiwa yang terjadi hanya sekali yang memiliki ciri khas dan tidak

berualang, (b) sejarah bersifat kronologis, urutan kejadian berdasarkan waktu

kejadian, (c) sejarah memiliki 3 unsur yang penting yakni manusia, ruang, dan

waktu, oleh karena itu dalam peristiwa sejarah pastilah ada siapa tokoh dalam

peristiwa sejarah, dimana peristiwa tersebut terjadi, serta kapan peristiwa tersebut

terjadi, (d) sejarah memiliki prinsip sebab akibat, yaitu sebuah persitiwa terjadi

memiliki sebab yang memicu sebuah peristiwa terjadi, dan kemudian pada

akhirnya akan timbul akibat dari terjadinya sebuah peristiwa tersebut.

Peniliaian masyarakat luas mengenai sejarah dimaknai sebagai perihal

yang memuat kepentingan kelompok kecil dalam hal ini sejawrawan, pegiat, dan

pecinta sejarah saja (Widja, 1989). Apabila hubungan erat antara sejarah dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

pendidikan sudah dipahami dengan baik oleh masyarakat, upaya perwujudan

makna dasar dari sejarah pun belum ada jaminan bisa diwujudkan untuk

mendukung proses pendidikan. Cara efektifnya dengan aktualisasi nilai-nilai

sejarah di kehidupan nyata siswa. Implikasi dari pendapat diatas ialah sejarah

tidak akan berufungsi bagi proses pendidikan yang bermuarake arah penumbuhan

dan pngembangan karakter bangsa apabila nlai-nilai sejarah belum terwujud dan

diterapkan dalam pola-pola prilaku yang nyata (Widja, 1989).

d. Manfaat Pembelajaran Sejarah

Salah satu manfaat utama sejarah dalam pendidikan yaitu proses

perkembangan keilmuan dari awal hingga tahap yang kompleks berupa

kematangan berpikir dan kebajikan untuk bersikap skeptis (Rowse, 2015). Dalam

pelajaran sejarah, penilaian atas manusia dan hubungan mereka, alasan dan

penyebab tindakan serta dampaknya, berkembang, sedangkan dalam ilmu eksakta,

tidak. Yang dikembangkan disana adalah penilaian teknis (Rowse, 2015). Hamid

(2011) menjelaskan bahwa terdapat empat manfaat sejarah, yaitu kegunaan

edukatif (pendidikan), inspiratif (wawasan), interaktif (dialog), dan rekreatif

(kesenangan).

Dengan kekhususan dalam bidang kajian sejarah terdapat suatu daerah

(lokalitas) mengenai beberapa hal yang terjadi, misalnya dunia lampau daerah

Solo, Ambon, Aceh, Sulawesi, Kalimantan, Papua dan seterusnya. Melalui

kemampuan imajinasi, sejarawan mampu menampilkan peristiwa sejarah yang

mana akan sulit dipahami oleh individu yang tidak mengalami secara langsung

peristiwa sejarah. Sejarah seharusnya disampaikan secara lengkap agar siswa

mampu menyerap informasi, menelaah, dan mengambil nilai mengenai masa

lalu, sebagai bekal masa kini dan masa depannya. Dengan begitu siswa akan

memiliki penilaian menyenangkan terhadap matapelajaran sejarah (Hariyono,

1995).

Hamid (2014) menjelaskan bahwa terdapat empat manfaat sejarah, yaitu

guna edukatif (pendidikan), inspiratif (wawasan), interaktif (dialog), dan

rekreatif (kesenangan). Dalam konteks edukatif, dikemukakan kalimat klasik,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

historia vitae magistra yang dapat dimaknai bahwa didalam setiap peristiwa

sejarah termuat makna yang bisa diilhami. Sebagai guru, berarti sejarah berguna

memberikan arahan (guide) bagi kita dalam melakoni kehidupan kekinian.

Sejarah sebagai ilmu memiliki peran penting dalam memaknai kehidupan.

Dengan mempelajari sejarah, tampilan kehidupan manusia dihadirkan kembali

agar dapat dipahami oleh generasi sekarang, sehingga dapat menjadikan rujukan

dalam menjalani kehidupan.

Matapelajaran sejarah berfungsi menghadirkan, menampilkan, dan

memberi pengarahan kepada siswa bahwa sejarah bersifat dinamis, selalu

berubah dalam tiga dimensinya (Agung, 2013). Ketiga dimensi tersebut sangat

penting kedudukannya, salah satunya adalah dimensi ruang.

Kaitan antara ruang (geografi) dan sejarah disimpulkan oleh Smith

(1992) bahwa geography comes to play an unprecedented influence over history.

Daldjoeni (1982) memperkuat pendapat tentang pentingnya konsep ruang untuk

disampaikan, karena konsep ruang akan membuat pemahaman mengenai

peristiwa sejarah siswa semakin baik. Lave dalam Packer (2010) menjelaskan

bahwa belajar merupakan aktivitas yang ditempatkan secara sosial, harus

didasarkan pada ontologi sosial yang menganggap orang tersebut sebagai

makhluk, yang terlibat dalam aktivitas di ruang dunia. Ruang yang dimaksud

dalam bidang sejarah merupakan ruang sosial, tempat dimana masyarakat hidup

dan beraktivitas. Pemahaman mengenai ruang yang baik selanjutnya akan

membuat siswa memahami lingkup sosial yang mengisi ruang sejarah. Hal

tersebut akan membuat siswa memiliki kecerdasan sosial yang maksimal.

2. Pendekatan Edusemiotik

a. Pengertian Pendekatan Edusemiotik

Semeion yang merupakan kata berasal dari Yunani memiliki arti tanda,

sedangkan semiotika ialah ilmu yang mempelajari tentang arti dan cara kerja suatu

tanda. Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914)

merupakan dua tokoh pelopor metode semiotika. Saussure berpedoman bahwa

segala sikap,perilaku,tindakan manusia selalu memiliki makna, makna suastu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

tanda bukanlah makna bawaan melainkan dihasilkan lewat sistem tanda yang

dipkai dalam kelompok orang tertentu. Peirce berpendapat tanda menjadi

katalisator manusia untuk berpikir dan mengambil suatu keputusan (Sunardi,

2004).

Edusemiotik merupakan cabang dari semiotik yang memusatkan kajiannya

mengenai tanda dalam bidang pendidikan. Semetsky (2014) menjelaskan bahwa

edusemiotics is a work commitment that is applied in the field of education.

Image, pictures and everything that has a sign.

Semiotika memiliki kedudukan lebih luas dari linguistik yang membatasi

tanda pada tanda yang bersifat verbal. Semiotika mempelajari tanda baik

berbentuk verbal, visual maupun kehidupan nyata Semetsky (2015) memaparkan

bahwa Real life events can be thought of as being replicable consisting of human

experience that we can do. Edusemiotic freedom about signs of experience in

human life.

Kehidupan manusia terdapat banyak makna dan secara tidak sadar,

terkadang manusialah yang mnggunakan makna tersebut. Seluruh makna budaya

diciptakan menggunakan smbol-simbol yang menunjuk pada peristiwa atau objek.

Untuk mngembangkan pendekatan semiotik atas budaya modern dibutuhkan teori

konotasi. Dalam teori konotasi terdapat konsep tentang mitos, metafora, dan

retorika. Tetapi sistem konotasi menggunakan denotasi untuk berbicara tentang

sesuatu hal lain. Makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata,

atau hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam

penandaan tahap denotatif. Misalnya ada gambar manusia, binatang, pohon,

rumah dengan wara merah, kuning, biru, dan putih. Pada tahap denotatif hanya

informasi data yang disampaikan (Piliang dalam Tinarbuko, 2008). Sedangkan

makna konotatif meliputi aspek warna yang berkaitan dengan perasaan dan eosi

serta nilai-nilai kebudayaan dan sudut pndang suatu kelompok masyarakat,

contoh: gambar wajah tersenyum dapat diartikan suatu kebahagiaan ataupun

ekspresi penghinaan, untuk memahami makna konotatif, maka unsur-unsur yang

lain harus dipahami pula (Piliang dalam Tinarbuko, 2008).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

b. Pendekatan Edusemiotik oleh Inna Semetsky

Konsep triadic Inna Semetsky dibangun atas dasar konsep triadic Sander

Peirce dan konsep Delueze. Dalam pandangan Inna Semetsky, edusemiotic

memiliki body mind yang terdiri atas Concept, Percept, dan Affect. Ketiga konsep

tersebut terlihat dalam segitiga triadic dibawah ini:

Gambar 2.1. Konsep Triadic Edusemiotik Inna Semetsky

(Sumber: Pedagogy and Edusemiotics: Theoretical Challenges/Practical

Opportunities)

Affect merupakan konsep tertinggi dalam triadic edusemiotic. Affect ini

berbeda dengan interpretant yang menjadi konsep tertinggi dalam triadic nya

Pierce. Affect merupakan evaluasi dari pelaku, dalam hal ini siswa terhadap suatu

peristiwa yang tidak ada dalam konsep yang telah dipelajarinya. Affect ini

merupakan penafsiran suatu hal yang dihasilkan dari evaluasi pengalaman yang

dialaminya seseorang. Affect sangat penting dimiliki oleh siswa, karena kumpulan

affect akan menghasilkan suatu kebajikan dalam memandang suatu peristiwa

(Semetsky, 2014).

Percept merupakan kategori kedua. Percept merupakan konsepsi yang

berhubungan terhadap sesuatu ataupun konsepsi yang bereaksi dengan sesuatu.

Percept ini dimiliki oleh individu dalam alam bawah sadar.

Concept merupakan kategori yang pertama. Concept yang dimaksud Inna

Semetsky yaitu konsepsi terwujudnya suatu hal atau konsepsi menjadi terbebas

dari hal lain. Concept muncul dan dialami oleh manusia berdasarkan pengalaman-

pengalaman yang dialaminya.

Kategori-kategori yang terapat dalam triadic edusemiotik dijelaskan dalam

jumlah yang bersifat kardinal (tidak hanya ordinal, seperti urutan pertama, kedua

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

atau ketiga). Menurut definisinya, Secondness mengandung satu dan dua, jadi ada

Firstness in Secondness, dan ada tiga di Third sehingga Thirdness harus selalu

mengandung Firstness dalam dirinya sendiri. Kebiasaan mengambil sebagai

proses evolusioner (Kardinal Ketiga) termasuk Kebenaran dalam bentuk

kesempatan, perasaan halus, atau kebebasan kreativitas sebagai prasyarat

dinamika sendiri. Kebiasaan adalah disposisi untuk bertindak dengan cara tertentu

dalam situasi pengalaman tertentu (Pierce in Semetsky, 2014).

Kognisi siswa bukan diterima dari proses induktif dan deduktif saja,

melainkan dimediasi oleh tanda-tanda. Proses pendidikan saat ini hanya

mentransfer fakta yang selanjutnya dijadikan kesimpulan. Siswa tidak mengetahui

bagaimana caranya untuk mendapatkan kesimpulan tersebut (Semetsky. 2014).

Siswa hanya diajarkan benar dan salah, tanpa memaknai hal yang lebih besar dari

hanya benar dan salah, yaitu nilai dan makna. Sebaliknya, tanda adalah hubungan

dan kita adalah tanda di antara tanda-tanda lain, manusia dan non-manusia, yang

tertanam dalam dinamika relasional, sehingga terus berkembang melalui berbagai

cara interpretatif. Sebagai proses pembelajaran yang didasarkan pada pengalaman

yang diwujudkan, pendidikan yang bersumber dari filsafat sebagai semiotika

memunculkan transformasi kebiasaan — kebiasaan berpikir dan kebiasaan

bertindak di dunia. Perhatian terhadap etika dan tindakan praktis adalah fitur

signifikan edusemiotics; sama pentingnya adalah pendekatan khas terhadap logika

sebagai ilmu tanda (Semetsky, 2017).

Tanda pada hakikatnya bersifat paradoksial. Hal ini dikarenakan tanda

mengalami proses evolusi semiosis. Proses ini menjadikan tanda bersifat dinamis

karena peristiwa pun bersifat dinamis. Ketika peristiwa yang memuat tanda-tanda

saling terjalin dan terhubung, maka akan menghasilkan tanda baru. Tanda baru ini

muncul akibat proses interpretasi, pertumbuhan, dan pengembangan yang terbuka

(Semetsky, 2014). Tanda tidak terbatas dalam simbol, tulisan, gambar dan peta

saja, Semetsky dan Kristeva berpendapat bahwa simbol juga termuat dalam suatu

peristiwa. Peristiwa yang terjadi dalam hidup manusia dikaji mendalam oleh ilmu-

ilmu sosial, salah satunya yaitu Sejarah.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

Inna Semetsky menjelaskan bahwa edusemiotik menitikberatkan pada

dimensi evolution. Sejarah merupakan matapelajaran yang mentransferkan

pengetahuan mengenai manusia. Sejarah memuat cerita yang beraneka ragam dari

orang-orang dalam berbagai konteks yang berbeda - sosial, politik, agama,

ekonomi dan sebagainya (Phillip, 2002). Melalui pemaparan Sejarah tersebut,

dapat diasumsikan bahwa edusemiotik yang menitikberatkan pada perubahan

tanda dapat diintegrasikan dalam pembelajaran Sejarah yang memuat dinamika

perubahan peristiwa.

Edusemiotik tidak menekankan kebenaran maupun kesalahan dalam

proses pembelajaran, yang penting adalah proses pembelajaran partisipatif di

mana siswa menemukan makna. Guru bertanggung jawab untuk menciptakan

lingkungan partisipatif seperti itu daripada membatasi pendidikan hanya untuk

produknya yang biasanya dikurangi menjadi hasil yang ditentukan oleh tes standar

(Semetsky, 2010).

c. Pendekatan Edusemiotik dalam Pembelajaran Sejarah

Semiotika dalam pendidikan sudah banyak diterapkan dalam pelajaran

lain, misalnya dalam pelajaran matematika seperti yang di lakukan, Kemme

(1981), Rotman (1988), MacNamara (1996), Radford and Grenier (1996), dan

Anderson, Saenz-Ludlow, and Cifarelli (2000) yang konsen membahas mengenai

hubungan tanda dan matematika. Sedangkan untuk tema mengenai edusemiotik

dan implikasinya dalam pembelajaran matematika diulas oleh Eccles and Jacobs

(1986), Varelas (1989), Pimm (1995), Antenos-Comforti, Barbeau, and Danesi

(1998), Danesi (2003), dan Danesi (2007).

Untuk pelajaran sosial terutama Sejarah, hal ini merupakan hal yang masih

baru dan bahkan belum ada penerapannya, padahal Sejarah (yang notabenenya

masuk ilmu sosial) merupakan pelajaran yang dipenuhi oleh evolusi tanda.

Evolusi tanda terjadi misalnya saja dalam perubahan makna perubahan pola kerja

para arsitektur. Pembangunan rumah-rumah ibadah dan pemukiman pada masa

lampau menggunakan sistem kunci, teknik ini tidak membutuhkan bahan perekat

bahan bangunan, dan memiliki manfaat diantaranya yaitu tahan gempa. Tanda

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

tersebut mengalami perubahan bahwa sistem pertukangan saat ini menggunakan

semen yang digunakan untuk merekatkan antar bahan bangunan. Tanda tersebut

bermakna bahwa dalam kehidupan yang semakin kompleks, penyederhanaan di

semua aspek kehidupan dilakukan.

Pembelajaran sejarah membutuhkan penkonkretan materi untuk

menstransferkan perubahan tanda yang terjadi di masa lampau. Little (2016)

berpendapat bahwa imajinasi dalam sejarah akan membantu siswa memperluas

pemahaman dan pengetahuannya mengenai suatu kejadian masa lampau dan

mengevaluasi pemahaman tersebut. Imajinasi dalam sejarah tidak hanya

menghasilkan pemahaman kognitif siswa, tetapi akan berdampak dalam aspek

afektif dalam menghadapi suatu peristiwa.

Edusemiotik dapat diterapkan dalam pembelajaran sejarah melalui

penyampaian toponim desa. Radding (2010) mengidentifikasikan toponimi

sebagai “tanda” (signs) yang menghubungkan pengalaman hidup manusia yang

pernah tinggal di suatu tempat. Kaitannya dengan toponimi, Signs (Echols, 2005)

dapat berarti “isyarat” ataupun sebagai petunjuk untuk menelusuri jejak sejarah,

sosial dan kultural suatu tempat. Toponimi juga dapat ditelusuri dari aspek

semiotika atau studi tentang tanda-tanda, lambang atau simbol. Hal tersebut

didukung pendapat Reuben Rose-Redwood (2010) bahwa pendekatan semiotika

dapat mengekplorasi makna ataupun pesan dari komunikasi budaya yang

disebarkan lewat sejumlah nama-nama tempat, terutama nama-nama tempat yang

dijadikan simbol peringatan (commemorative name) terhadap peristiwa ataupun

tokoh tertentu. Aspek simbolis yang penting dari budaya adalah bahasa yang

digunakan untuk mewakili benda dan pandangan. Simbol atau tanda yang

diartikan lewat bahasa ataupun gambar memiliki kedudukan penting bagi suatu

budaya. Seorang antropolog bernama Kluckohn menyimpulkan bahwa budaya

manusia tanpa bahasa tidak dapat dipikirkan. Lewat bahasa dan tanda, manusia

dapat belajar dari pengalaman yang terakumulasikan dan dibagikan (Larry.dkk,

2010). Sistem penamaan desa (toponimi) dapat dimanfaatkan sebagai alternatif

pembelajaran karena memuat pengalaman hidup manusia yang pernah tinggal di

suatu tempat.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

3. Kecerdasan Sosial

a. Pengertian Kecerdasan Sosial

Kecerdasan sosial merupakan salah satu kecerdasan yang dimiliki oleh

manusia. Thorndike (1937) menjelaskan bahwa social intelligence is ability to

understand and manage people and to engage in adaptive social interaction.

Sejalan dengan hal tersebut, Walker (1973) menjabarkan bahwa kecerdasan sosial

adalah the ability to understand others and to act wisely in social situations.

Vernon (1933) juga menjabarkan bahwa kecerdasan sosial adalah competence to

have a good relationship with other people, empathy to the social problem, and

knowledge about how other people feel or the nature that underlies the behavior

of others. Silvera (2001) menjelaskan bahwa kecerdasan sosial merupakan some

underlying individual difference that causes different people to have different

degrees of success in social situations. Dari beberapa penjelasan ahli mengenai

kecerdasan sosial dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kecerdasan sosial

merupakan salah satu jenis kecerdasan yang mana menitikberatkan pada

kemampuan manusia dalam memberikan dan menerima respon sosial dari

lingkungan sekitarnya.

Kecerdasan sosial merupakan kemampuan seseorang untuk bersikap,

bertindak, dan berperilakuan terhadap interaksi sosial yang dijalaninya dengan

individu lain. Dalam pendidikan, selain kecerdasan intelektual kecerdasan sosial

juga berperan penting dalam menentukan kesuksesan siswa dalam

pembelajaran.dimanapun dan kapanpun oleh siswa (Albrecht, 2006). Seseorang

yng memiliki kecerdasan sosial tinggi dapat dipastikan seseorang tersebut pandai

dalammengelola emosinya (Vernon, 1933; Goleman, 2005). Peneliti tertarik untuk

meneliti tingkat kecerdasan sosial siswa dikarenakan kecerdasan intelektual

mendapat porsi yang banyak sedangkan kecerdasan-kecerdasan lainnya diberikan

porsi yang lebih sedikit.Kecerdasan sosial dan kecerdasan intelektual merupakan

hal yang saling terkait dan melengkapi. Bila siswa memiliki IQ yang tinggi tetapi

siswa merasa mnder dalam pergaulan, kurang diterima dalam lingkungan

sekitarnya maka kemungkinan kesuksesanya akan terhambat.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

b. Aspek Kecerdasan Sosial

Albrecht (2006) mengungkapkan aspek kecerdasan sosial yang terdiri atas

lima kemampuan, yaitu:

1) Kesadaran situasional, yaitu kemmpuan memahami dan peka terha-dap

perasaan, kebutuhan dan hak orang lain. Idividu yang memiliki kesadaran

situasional tinggi bercirikan tanggap menyikapi segala kondisi, mampu

beradaptasi, berprilaku sewajarnya, dan memiliki komitmen yang kuat

yang tidak dapat dipengaruhi orgng lain. Perilaku seseorang yang memiliki

kecerdasan sosial rendah nampak ketika memiliki empati yang kurang

dengan persaan orang lain, cenderung bersikap seenaknya, kurang bisa

membawa diri dalam interaksi sosialdan mudah terpengaruh orang lain.

2) Kemampuan membawa diri ialah kemmapuan adaptasi diri berinteraksi

dengan individu lain dan lingkungan, menyapa dan bertutur kata. Perilaku

seseorang dengan kemampuan membawa diri tinggi yaitu: ramah kepada

siapapun yang ditemui, berpenampilan sopan dimanapun, mengucapkan

salam kepada orang lain dan menghargai lawan bicaranya..

3) Autentisitas atau keaslian dimaknai sebagai jati diri pribadi individu

sebenarnya. Individu dengan autenstas tinggi dapat dilihat ketika yang

bersangkutan memilik kepribadian selalu berkata jujur, tulus, ikhlas dan

bertanggung jawab.

4) Clarity atau kejelasan, yaitu kemampuan individu dalam menyampaikan

ide atau gagasannya secara jelas sehingga orang lain dapat mengerti

dengan baik apa yang disampaikan. Individu dengan clarity yang tinggi

bercirikan memiliki perkataanya jelas, tegas, mudah dimengerti dan dapat

mempengaruhi orang lain.

5) Empati, yaitu suatu kondisi dimana individu mampu merasa atau

mengidentifikasikan diri pada keadan pikiran atau perasaan yang sama

dengan orang atau kelompok lain. Seseorang dapat dikatakan mampu

berempati ketika mampu memahami perasaan dan pikiran orang lain.

Maka dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki empati tinggi

maka akan mengertiperasaan orang lain dan mau mendengarkan masalah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

orang lain, serta memiliki kemampuan merasakan apa yang dirasakan

orang lain.

Selain Albrect, Silvera (2001) mengkategorikan kecerdasan sosial kedalam

tiga aspek. Ketiga aspek tersebut termuat dalam angket The Tromso Social

Intelligence Scale (TSIS) TSIS dikembangkan oleh Silvera dkk pada tahun 2001.

Angket TSIS yang memuat tiga konten tema yaitu tema Social Information

Processing (SP), Social Skills (SS), dan Social Awareness (SA). Dalam tema

Social Information Processing (SP) memuat aspek empati sosial yang dialami

manusia. Dalam tema Social Skills (SS) memuat sikap bertindak dengan berani,

membangun, mempertahankan, serta memutuskan hubungan. Serta dalam tema

memuat item Social Awareness (SA) memuat sikap dan perilaku yang sesuai

dengann situasi tempat dan waktu.

Kecerdasan sosial sangat diperlukan bagi siswa dalam mencapai

kesuksesan pembelajaran. Kecerdasan sosial mengarahkan siswa dalam proses

interaksi sosial baik dengan teman sebaya, guru dan juga masyarakat. Selain itu

juga menstimulus siswa untuk selalu berani mengemukakan pendapat, dan sebagai

bekal untuk kehidupan masa depan yang lebih kompleks lagi. Sejarah sebagai

cabang rumpun ilmu sosial dapat digunakan sebagai matapelajaran yang

membantu ketercapaian kecerdasan sosial siswa. Dimensi ruang sosial yang

termuat dalam toponimi desa merupakan pilihan yang tepat sebagai solusi

meningkatkan kecerdasan sosial siswa.

4. Peta Toponim Wilayah Surakarta

a. Pengertian Peta Toponim

Peta pada umumnya merupakan bentuk tampilan kartografi yang tinggi,

karena dalam memproduksi peta garis menyangkut dua hal yakni perencanaan dan

dimensi struktural yang ekstra (Kraal, 2013). Wongsotjitro (1982) menjelaskan

bahwa yang penting dalam ilmu kartografi atau ilmu proyeksi peta adalah cara

memindahkan keadaan dari permukaan bumi ke bidang datar peta. Peta bekerja

dengan sejumlah peralatan untuk menyusun informasi. Kehirarkian suatu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

informasi dibuat dengan menggunakan urutan peralatan dan tema atau wilayah.

Wilayah yang lebih penting akan ditampilkan dalam peta lebih dahulu atau

dengan skala yang lebih besar dibandingkan yang lain. Dengan menunjukkan

jumlah peta tematik yang berurutan, hubungan sebab-akibat antara tema tersebut

lebih berkesan. Daerah khusus yang dikategorikan sebagai daerah yang penting

dapat diperjelas dengan memperbesar dalam inset peta.

Peta mempunyai susunan yang jelas dimana suatu informasi itu ada. Suatu

peta dapat diawali dengan gambaran dunia kemudian secara gradual ke daerah

yang lebih besar dalam lingkungannya (Kraal, 2013). Karena banyaknya data

topografi yang dapat disajikan di atas suatu peta, Subagio (2003) berpendapat

tentang perlunya dilakukan pemilihan data-data yang akan disajikan sehingga

kerumitan isi peta dapat dihindari. Dalam pemilihan data tersebut, perlu

dipertimbangkan beberapa hal seperti: skala peta yang akan dibuat, sumber data

pemetaan, serta jenis data yang akan disajikan (tujuan pemetaan).

Definisi peta sejarah berbeda dengan peta-peta yang bersejarah. Kelompok

pertama merupakan peta dengan tema objek sejarah, kelompok kedua merupakan

peta-peta dari suatu periode di waktu lampau. Oleh karenanya peta-peta bersejarah

(kelompok kedua) adalah sinonim dengan peta-peta tua. Peta sejarah bertujuan

untuk menggambarkan situasi atau pembangunan di masa lampau. Peta-peta

sejarah memiliki dua fungsi: dapat menyajikan sebagai dasar untuk penelitian

historikal dan dapat sebagai alat transmisi pengetahuan tentang masa lampau.

Pada kasus pertama, para kartografer akan memetakan pada peta-peta skala besar

yang belum digeneralisasi, serta mencoba menghubungkan peta-peta itu dengan

tema-tema yang lain, seperti relief yang terbentuk pada zaman yang sama,

vegetasi, hidrografi, atau penggunaan lahan. Pada kasus kedua, peta sebagai alat

komunikasi, pemecahan kartografis yang dipilih akan berupa generalisasi, untuk

menggambarkan pembangunan sejelas mungkin. Pada peta-peta sejarah, baik

ruang maupun waktu digambar. Jadi, kita harus memetakan empat dimensi. Para

kartografer terbiasa dengan pemetaan ruang, masalah dengan peta-peta sejarah

juga merupakan pemetaan variabel keempat, yaitu waktu. Dengan mengubah-

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

ubah waktu dalam ruang yang digambarkan, kita bisa melihat pergerakan, proses,

dan pembangunan (Ormeling, 2015).

Rais dkk (2008) berpendapat bahwa toponimi dapat diartikan secara

harfiah sebagai nama tempat di muka bumi. Kata “topos” bermakna “tempat” atau

“permukaan” seperti halnya “topografi”, dimaknai sebagai gambaran tentang

permukaan atau tempat-tempat di bum. Sedangkan, kata “nym” dari “onyma”

bermakna “nama”. Dengan begitu toponim dimaknai sebagai asal-usul nama suatu

tempat atau daerah. Raper (1996) mengemukakan bahwa toponimi mempunyai

dua pengertian, yaitu ilmu yang mempunyai objek studi tentang toponim pada

umumnya dan tentang nama geografis khususnya; dan totalitas dari toponim

dalam suatu wilayah. Batasan yang lebih jelas mengenai toponimi dikemukakan

oleh Bishop, dkk (2011) yang mendefinisikan toponimi sebagai suatu studi

tentang tempat berdasarkan pada informasi historis dan geografis, menggunakan

kata atau kumpulan kata untuk menunjukkan, menjabarkan, atau mengidentifikasi

sebuah wilayah geografis, seperti: gunung, sungai, hutan, dan kota. Secara teknis,

Kamonkarn, dkk (2008) membagi toponimi menjadi dua kategori besar, yaitu

nama huni dan nama fitur. Nama huni merupakan nama yang menunjukkan suatu

wilayah yang ditempati atau dihuni. Nama fitur merupakan nama yang mengacu

pada alam atau karakteristik fisik suatu bentang lahan. Rais dkk. (2008)

menyatakan bahwa dalam toponimi terdapat elemen generik dan elemen spesifik,

atau disebut juga nama generik dan nama spesifik. Elemen generik dari suatu

toponim merepresentasikan migrasi manusia di masa lalu yang umumnya

dinamakan menurut bahasa pemukim pertama di wilayah itu. Elemen spesifik dari

toponim merupakan nama diri dari elemen generik yang telah disebutkan

sebelumnya.

Nama tempat dipelajari oleh ahli bahasa dan akademisi dari beberapa

disiplin ilmu lainnya. Kamonkarn, dkk (2008) mengungkapkan bahwa toponimi

merupakan fenomena bahasa pada suatu bentang lahan yang terjadi dari budaya

lokal, bahasa, sejarah, dan lingkungan masing-masing daerah. Oleh karena itu,

pola bahasa dari toponimi tergantung pada wilayah masing-masing. Adanya nama

unsur geografi ini lebih awal sebelum dibuatnya peta. Nama unsur geografi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

muncul ketika manusia untuk pertama kalinya mendiami suatu wilayah dan perlu

memberi nama pada unsur-unsur geografi yang ada di sekitarnya. Secara

etimologi toponim adalah studi tentang sumber-sumber dari mana nama-nama itu

diturunkan dan proses penciptaan mereka. Mayoritas nama tempat tidak

sewenang-wenang, tapi biasanya mengacu pada beberapa atribut tempat yang

dilambangkan penghuninya atau penguasanya (Durkin, 2009; Lauder, 2015).

Secara khusus, etimologi nama tempat berfokus pada bahasa apa nama tempat itu

diciptakan dan apakah namanya berasal dari nama tempat lain, dari nama pribadi,

dari peringatan kejadian, atau deskripsi aspek geografis atau sosial tempat itu atau

memiliki beberapa asal lain (McArthur, 1992; Lauder, 2015).

Bahasa, budaya, dan pikiran merupakan bentuk yang saling terkait dengan

penamaan tempat. Piliang (2012) menyatakan bahwa dalam konteks cultural

studies, keberadaan tanda dan teks tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial

dimana tanda dan teks itu berada. Tanda dan teks hanya dapat berfungsi bila ia

digunakan oleh komunitas atau masyarakatnya. Penggunaan sistem tanda ini

merupakan suatu bentuk konvensi yang menghasilkan makna dan nilai-nilai sosial

tertentu di dalam masyarakat.

Berbagai fenomena alam, sosial, budaya, dan peristiwa yang dialami oleh

manusia yang diabadikan dalam penamaaan wilayah, turut pula mendapatkan

legalitas dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

bahwa penamaan suatu wilayah berkaitan dengan unsur rupa bumi sebagai bagian

dari khazanah kebudayaan bangsa. Hal ini membuktikan bahwa setiap nama

mengandung berbagai makna yang bermanfaat guna memanfaatkan dan menggali

berbagai potensi wilayah yang dikenal sebagai toponimi. Toponimi bisa diartikan

sebagai cabang onomastika yang menyelidiki penamaan unsur-unsur geografis

pada nama-nama tempat. Akan tetapi, sebagian besar orang belum menyadari

pentingnya sebuah nama dengan berbagai aturan yang mengikatnya (Anshari,

2017).

Sebagian besar unsur geografis di permukaan bumi di wilayah Indonesia,

baik unsur alam maupun unsur buatan seperti gunung, pegunungan, bukit, danau,

sungai, muara, selat, laut, pulau, jalan, desa, kota, fasilitas umum, fasilitas sosial,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

dan lain-lainnya, sebagian besar masih banyak yang belum bernama, dan yang

sudah bernama perlu dilakukan pembakuan dalam penulisan, ejaan dan

pengucapan. Kajian Toponimi menjadi penting mengingat nama-nama geografis

adalah bukan hanya sekedar nama yang disebut orang, tetapi di belakang nama itu

mengandung makna sejarah panjang dari suang sosial masyarakat. Peta toponimi

Surakarta merupakan upaya peneliti untuk mengembangkan media pembelajaran

Sejarah yang dapat memperkaya proses pembelajaran di kelas dengan ikut juga

melestarikan toponimi daerah Surakarta.

b. Peta Toponim Wilayah Surakarta

Nama tempat (toponim,) peristiwa, waktu dan tokoh adalah elemen

penting yang tersaji dalam suatu penelitian sejarah. Menurut Gottschalk (2006),

sebuah nama memberikan informasi sejarah. Nama-nama tempat dapat

memberikan data mengenai lingkungan dan aktivitas manusia di masa lalu (Shai,

2009). Misalnya, Kandangsapi, yang berarti "tempat sapi dikumpulkan" yang

menunjukkan bahwa lokasi itu merupakan pusat di kandangkannya sapi keraton

Surakarta. Nama tempat ataupun lanskap juga berfungsi sebagai alat mnemoteknik

(perlibatan kegiatan yang bersifat praktik dalam membantu memori atau ingatan

yang dapat mengidentifikasi ”basis element” dari memori sosial yang

merepresentasikan identitas kelompok di sebuah kota atau tempat lainnya

(Bucher, et.al., 2013).

Toponimi menjadi “cultural arena” (Rose-Redwood, et.al., 2010) bagi

kelompok sosial untuk bersaing memenangkan hak nama. Hal ini memicu

timbulnya politik memori atau politik ingatan. Menurut Budiawan (2013),

perhatian utama dalam politik memori bukan pada apa yang sesungguhnya terjadi

di masa lalu, tetapi bagaimana masa lalu itu diingat. Yang menjadi perdebatan

bukan fakta masa lalu, melainkan bagimana orang menuturkan sekaligus

memaknai masa lalu. Cara penuturan dan pemaknaan masa lalu itu membentuk

dan sekaligus dibentuk cara orang mendefinisikan rasa kediriannya (sense of self).

Berbicara mengenai tradisi atau budaya, hubungan antara masa Ialu dan

masa kini harusiah lebih dekat. Tradisi mencakup kelangsungan masa lalu di masa

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

kini ketimbang sekadar menunjukkan fakta bahwa masa kini berasal dari masa

lalu. Toponimi memiliki nilai budaya dan membantu untuk merekonstruksi

perubahan etnis, politik, budaya, dan agama di wilayah tertentu selama periode

waktu yang panjang (Shai, 2009). Di dalam konteks pelestarian warisan budaya,

melalui pendekatan tradisi (pendekatan antropologi), nilai-nilai budaya dapat

diturunkan dari generasi ke generasi.

Di balik nama tempat, terkandung jejak sejarah permukiman manusia dari

generasi ke generasi. Migrasi berbagai suku bangsa/kelompok etnis yang

mendiami suatu wilayah di masa lalu, turut pula meninggalkan jejak-jejak

kebudayaan yang mengendap di dalamnya. Tiap endapaan sejarah dari kebudayan

memiliki karakteristik sistem nilai dari periode waktu yang berbeda. Lanskap

yang menjadi panggung budaya dan saksi bagi silih bergantinya kebudayaan yang

pernah menapak-jejak diatasnya. Budaya asal berinteraksi dengan budaya

pendatang, budaya pendatang berinteraksi dengan berbagai budaya pendatang

lainnya sehingga membentuk mozaik kultural di suatu tempat. Budaya sangat

akumulatif, historis, dan dinamis. Dapat diterima secara akulturatif dan disambut

hangat, atau sebaliknya. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah kemampuan untuk

bisa menangkap makna dari setiap jejak kebudayaan.

Makna dari setiap kehidupan termuat dalam kehidupan masyarakat dimasa

lalu dan mas kini. Kaitan antara masa kini dan masa lalu adalah basis tradisi.

Masa lalu masyarakat bukan lenyap sama sekali. Serpihan masa lalunya masih

tersisa. Serpihan masa lalunya itu menyediakan semacam lingkungan bagi fase

pengganti untuk melanjutkan proses. Ini terjadi melalui dua mekanisme hubungan

sebab-akibat.

Mekanisme material bekerja melalui pelestarian benda, artefak, dan

tatanan yang dihasilkan oleh aktivitas generasi terdahulu namun memengaruhi

tindakan yang dilakukan generasi kini. Mekanisme ini berakar dalam ketahanan

fakta fisik rumah dan jembatan, jalan raya dan pelabuhan, gereja, mesjid dan

monumen, peralatan dan mesin-mesin, asap di udara, sampah di sungai-

kesemuanya itu merupakan lingkungan material tempat manusia hidup, meski

manusia sendiri tidak menciptakannya. Meski mengalami erosi dan kerusakan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

lingkungan ini berakumulasi melalui perjalanan waktu. Lingkungan ini memang

bukan tiruan masa lalu, tetapi sebagian besar mencerminkan keadaan masa lalu.

Benda material sisa peninggalan masa lalu itu menjadi sasaran studi arkeologi.

Toponim merupakan bahan yang berpotensi menarik untuk dipelajari.

Bagaimana orang memandang dan menafsirkan ruang, bagaimana mereka

berorientasi di dalamnya, bagaimana mereka menentukan batas-batas identitas,

apakah mereka masuk ke ruang pengalaman individu dan kolektif dan proyek

(Bucher, et.al., 2013), bagaimana sistem nilai budaya memberitahukan apa yang

penting dan memberikan petunjuk-petunjuk untuk memaknai eksistensi ruang di

masa kini. Toponimi membawa tempat-tempat tertentu ke dalam wilayah ‘cultural

circulation,’ sehingga mengubah ruang menjadi objek pengetahuan yang dapat

‘diekplorasi’ dan ‘dibaca’ (Reuben Rose-Redwood, et.al., 2010). Selain itu,

pelacakan dapat ditelusuri lewat tinggalan budaya berwujud tak benda. Aspek

budaya yang intangible itu dapat bersifat abstrak, seperti konsep dan nilai, dan

dapat pula bersifat konkret. Tetapi tidak dapat dipegang, seperti musik, tari,

upacara dan lain-lain.

Banyak nilai-nilai edukatif yang dapat digali dari keunikan toponim wilayah

Surakarta, termasuk aspek kecerdasan sosial. Pembelajaran berbasis toponim

wilayah Surakarta akan membuka cakrawala siswa untuk mampu hidup dalam

keberagaman dan menerima the others (lian) di sisinya. Pembelajaran berbasis

keunikan toponim wilayah Surakarta merupakan usaha secara sadar dan

terencana dalam rangka merekonstruksi pengetahuan dan pengalaman siswa untuk

dapat membangun kecerdasan sosial, yaitu siswa diharapkan dapat memahami

bagaimana pendahulunya secara filosofis memberikan nama kampung tersebut.

Juga dapat menganalisis situasi zaman (zeitgeist) dan ikatan budaya

(kultuurgebundescht) yang mempengaruhi dalam pemberian nama tersebut.

Seperti yang diungkapkan Rais (2008), nama diberikan untuk tujuan identifikasi,

komunikasi, dan informasi bagi sesama manusia. Senada, toponimi merupakan

usaha menjembatani siswa dalam melakukan identifikasi, komunikasi dan

(berbagi) informasi lintas zaman, yaitu dengan melakukan langkah-langkah

saintifik.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

Peta Toponim Surakarta termasuk dalam kategori pertama, yaitu peta

sejarah. Salah satu fungsi peta sejarah, yaitu sebagai alat transmisi pengetahuan

tentang masa lampau kepada siswa. Dengan adanya Peta toponim wilayah

Surakarta, visualisasi tempat berlangsungnya peristiwa sejarah, dapat dengan

mudah dipahami oleh siswa.

Peta toponim wilayah Surakarta dengan pendekatan edusemiotik

merupakan modifikasi dari peta yang beredar di masyarakat, yang mana

dipadukan dengan materi muatan Sejarah dengan memanfaatkan kemajuan

teknologi. Produk ini mendukung untuk digunakan secara individu maupun

digunakan dalam pembelajaran di kelas. Peta Toponim Surakarta termasuk media

pembelajaran yang dapat diakses dalam keadaan offline. Kondisi tersebut

memungkinkan produk ini dapat diakses dimanapun dan kapanpun oleh siswa.

5. Media Pembelajaran

a. Pengertian Media Pembelajaran

Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari

kata medium yang secara harafiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah

perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan (Sadiman.

2003). Arsyad (2014) menjelaskan bahwa “art” adalah keterampilan (skill)

yang diperoleh lewat pengalaman, studi dan observasi. Dengan demikian,

teknologi tidak lebih dari suatu ilmu yang membahas tentang keterampilan yang

diperoleh lewat pengalaman, studi dan observasi. Erat hubungannya dengan

istilah “teknologi”, kita juga mengenal kata teknik. Teknik dalam bidang

pembelajaran bersifat apa yang sesungguhnya terjadi antara guru dan murid. Ia

merupakan suatu strategi khusus (Arsyad, 2014).

Apabila ditelisik dari perkembangan media ajar diketahui bahwa awal

mulanya hanya dinilai sebagai alat dalam menyampaiakan pembeajaran

(teaching aids). Alat bantu yang dipakai adalah alat bantu visual, yaitu gambar,

model, objek dan alat-alat lain yang dapat memberikan pengalaman konkrit,

motivasi belajar serta mempertinggi daya serap dan retensi belajar siswa. Namun

sayang, karena terlalu memusatkan perhatian pada alat bantu visual yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

dipakainya orang kurang memperhatikan aspek disain, pengembangan

pembelajaran (instruction) produksi dan evaluasinya (Sadiman. 2003).

Segala perihal yang dapat dimanfaatkan dalam proses transfer pengetahuan

dari guru ke siswa, yang dari perihal tersebut didapati mampu menstimulus

perasaan, pikiran, perhatian, dan minat siswa sedemikian rupa sehingga proses

pembelajaran dapat berjalan secara efektif disebut dengan media pembelajaran

(Meimulyani dan Cartoyo, 2013). Sedangkan menurut Musfiqon (2012), media

pembelajaran dapat diidentifikasikan sebagai alat bantu baik berupa fisik maupun

nonfisik yang sengja digunakan sebagai perantara antara guru dan siswa dalam

memahami materi pembelajaran agar lebih efektif dan efisien.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa

media pembelajaran adalah segala sesuatu yang berbentuk fisik ataupun nonfisik

untuk menyalurkan materi pembelajaran dari guru kepada siswa untuk mencapai

pembelajaran yang efektif dan juga efisien.

b. Komponen Media Pembelajaran

Bagi seorang pelajar perlu memahami berbagai karakteristik media dengan

terlebih dulu mempelajari ciri umum media, klasifikasi media, dan jenis media

pembelajaran yang digunakan, sehingga memudahkan untuk menggunakan media

tersenut dalam proses pembelajaran di kelas.

Media pembelajaran identik artinya dengan pengertian keperagaan yang

berasal dari raga yaitu suatu bentuk yang dapat diraba, dilihat, didengar, diamati

melalui panca indera. Tekanan utama media adalah terletak pada benda atau hal-

hal yang dilihat (visual), didengar (audio), dan diraba. Media pembelajaran

digunakan dalam rangka hubungan (komunikasi) dalam proses pembelajaran

antara pengajar dan pembelajar. Media pembelajaran adalah semacam alat bantu

dalam proses pembelajaran, baik dikelas maupun diluar kelas. Dalam pengertian

lain, media pembelajaran merupakan suatu perantara (medium, media) dan

digunakan dalam rangka pendidikan dan pengajaran. Dengan demikian, media

pembelajaran mengandung aspek sebagai alat dan teknik yang sangat erat

kaitannya dengan metode mengajar (Sanaky, 2013).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Dari ciri-ciri yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan media pembelajaran adalah sarana, metode, teknik, untuk lebih

mengektifkan komunikasi dan interaksi antara pengajar dengan pembelajar dalam

proses pembelajaran di kelas. Jadi, media adalah sebuah alat yang mempunyai

fungsi menyampaikan pesan. Media pembelajaran adalah sebuah alat yang

berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Sedangkan pembelajaran

adalah proses komunikasi antara pembelajar, pengajar, dan bahan ajar.

Komunikasi tidak akan berjalan dengan baik, tanpa ada bantuan sarana penyampai

pesan atau yang disebut media (Sanaky. 2013).

c. Klasifikasi Media Pembelajaran

Sanaky (2013) menjelaskan bahwa pengertian dan luang lingkup media

pembelajaran tidak hanya berupa audio, visual, audiovisual saja, sikap dan prilaku

guru pun juga berpengaruh dalam hal ini. Berikut ini klasifikasi media

pembelajaran:

1) Bahan-bahan yang mengutamakan kegiatan membaca atau dengan

menggunakan simbol-simbol kata dan visual berupa bahan-bahan cetakan

dan bacaan.

2) Alat-alat audio-visual, alat-alat yang tergolong ke dalam kategori ini yaitu:

a) Media proyeksi, seperti: OHP, slide, film, dan LCD.

b) Media non proyeksi, seperti: papan tulis, poster, papan tempel,

kartun, papan planel, komik, bagan diagram, gambar, grafik, dll

c) Benda tiga dimensi antara lain benda tiruan, diorama, boneka,

topeng, lembaran balik, peta, globe, pameran, dan musem sekolah

3) Media yang menggunakan teknik atau masinal, yaitu slide, film strip, film

rekaman, radio, televisi, video, VCD, laboratorium elektronik, perkakas

otoinstruktif, ruang kelas otomatis, sistem interkomunikasi, komputer

internet.

4) Contoh-contoh kelakuan, perilaku pengajar. Pengajar memberi contoh

perilaku atau suatu perbuatan. Misalnya, mencontohkan suatu perbuatan

dengan gerakan tangan dan kaki, gerakan badan, mimik, dan lain-lain.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

Media pembelajaran dalam bentuk ini, sangat tergatung pada inisitif,

rekayasa, dan kreasi pengajar itu sendiri. “Jenis media seperti ini, hanya

dapat dilihat dan ditirukan oleh pembelajar”.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa macam serta jenis media

pembelajaran sangat bervariasi dan banyak. Keefektivan penggunaan media dapat

dicapai jika individu pengguna media memiliki pengetahuan dalam memilih,

menyampaikan, dan medisain media. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah

media pembelajaran itu sendiri dengan tujuan pembelajaran, metode, materi

pembelajaran, dan kondisi pembelajaran. Sebab, kemampuan kreaktivitas guru

dalam memilih, menyampaikan, dan mendiain media ajar merupakan hal wajib

dimiliki oleh setiap guru, karena merupakan tuntunan dari kompetensi

profesionalisme guru itu sendiri (Sanaky, 2013).

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang memiliki kesamaan dengan penelitian mengenai

pengembangan peta toponim wilayah Surakarta dengan pendekatan Edusemiotik

untuk meningkatkan kecerdasan sosial siswa dapat diamati dalam penjelasan

berikut:

Penelitian Alin Olteanu, Maria Kambouri, Andrew Stables (2016) yang

berjudul Predicating from an Early Age: Edusemiotics and the Potential of

Children’s Preconceptions. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menggambarkan kompatibilitas dengan menganalisis temuan dari penelitian

konstruktivis empiris dari perspektif semiotika Charles Peirce. Penelitian spesifik

berfokus pada pemahaman bagaimana guru menanggapi prasangka anak-anak.

Model penelitian ini yaitu penelitian deskriptif yang dirancang dengan

menggunakan paradigma penelitian kualitatif. Artikel ini menunjukkan bagaimana

semiotika dan konstruktivisme saling berinteraksi dalam pendidikan, tetapi

mereka tidak identik. Kesesuaian antara dua paradigma ini didirikan pada asumsi

realis bahwa pemahaman kita tentang dunia, pada saat tertentu, didasarkan pada

pemahaman sebelumnya dan bahwa tidak ada yang dipelajari dalam kondisi

tabula rasa. Konstruktivisme berkembang dalam arah yang rasional pada waktu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

tertentu, dengan memberikan status ontologis yang tepat pada apa yang dapat

dibangun oleh pikiran. Dalam latar belakang filosofi dualis, pemecatan asumsi

tabula rasa mengarah pada rasionalisme: jika kita tidak mulai dari kosong, maka

tersirat bahwa kita mulai dengan beberapa konsep yang apriori dan alami. Jika

semua pengetahuan dibangun di atas sesuatu, konsep apriori (bawaan)

diasumsikan. Semiotik dapat mengintegrasikan kembali konstruktivisme dalam

kerangka non-dualisnya. Dengan demikian, dengan pemahaman bahwa

pengetahuan tidak tetap dan itu milik lingkungan berkembang organisme

berkembang, akuisisi pengetahuan dipahami sebagai tindakan interpretasi, dan,

seperti adaptasi. Kesamaan penelitian terletak pada tema semiotika yang

digunakan. Perbedaan terletak pada topik penelitian. Peneliti menggunakan bagian

cabang semiotika yakni edusemiotik dalam pembelajaran sejarah.

Penelitian Tyas Fernanda, Leo Agung S, Sariyatun (2018) yang berjudul

The Effectiveness of Historical Teaching Material Based on Problem Based

Learning (PBL) to Improve the Senior High School Students Ability of Historical.

Tujuan penelitian adalah untuk menguji bahan ajar dalam meningkatkan

kemampuan eksplanasi siswa SMA di Lawang Kidul. Penelitian ini menggunakan

metode pengembangan Research and Development (R & D) yang mengacu pada

desain pengembangan ADDIE. Eksplanasi sejarah memainkan peran yang sangat

penting dalam metodologi sejarah. Eksplanasi sejarah yang baik diharapkan

mempermudah siswa untuk memahami, intepretasi dan memaknai nilai-nilai dari

peristiwa-peristiwa sejarah. Berdasarkan hasil uji perbedaan uji kesetaraan, uji

peningkatan dan uji efektivitas kemampuan eksplanasi siswa, ditemukan

perbedaan hasil uji t penjelasan historis, 1) persamaan uji t diperoleh nilai sebesar

-541 dengan tingkat signifikansi sama dengan 0,590 lebih besar dari 0,05 (0,590>

0,05), 2) peningkatan diketahui bahwa t-hitung <-2,045, sedangkan nilai

signifikansi <0,05, yaitu 0,00 <0,05, 3) t tes diperoleh nilai sebesar 4,510 dengan

tingkat signifikansi 0,00 <0,025. Berdasarkan hasil uji efektivitas yang telah

dilakukan, ada perbedaan dalam peningkatan kemampuan eksplanasi sejarah di

kelas eksperimen. Kelas XI IPS C menggunakan materi sejarah sistem

pemerintahan kolonial Belanda di Palembang disertai dengan model pembelajaran

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

PBL dalam penerapannya. Sebagai kelas kontrol, kelas XI IPS B hanya

menggunakan buku teks. Kesamaan penelitian terletak pada metode penelitian dan

pengembangan yang digunakan. Perbedaan terletak pada produk yang

dikembangkan serta basis pengembangannya.

Penelitian Novita Mujiyati, Warto, Leo Agung S (2017) yang berjudul The

Strategies to Improve Social Solidarity of Senior High School Students through

History Module based on Problems. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan strategi dan efektivitas modul sejarah berdasarkan permasalahan

dalam meningkatkan solidaritas Siswa SMA. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kombinasi antara metode kualitatif dan kuantitatif yang

mengacu pada desain metode campuran sekuensial eksploratif. Efektivitas modul

berbasis masalah dapat dilihat dari peningkatan hasil pretest dan posttest dalam

kelompok eksperimen yang menggunakan modul sejarah berbasis masalah dan

kelompok kontrol yang tidak menggunakan modul. Berdasarkan hasil olahan data,

hasil yang diperoleh dalam uji normalitas menunjukkan kedua kelompok

memperoleh nilai signifikan >0,05, artinya kedua kelompok menggunakan

distribusi normal. Selanjutnya, data dari kuesioner yang diisi oleh siswa, akan

menentukan tingkat solidaritas sosial siswa melalui uji efektivitas. Data dalam

pengujian efektivitas adalah hasil dari kuesioner posttest solidaritas sosial antara

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil pengujian efektifitas

solidaritas sosial siswa adalah tes F = 1,447 dengan tingkat signifikansi 0,235>

0,05. Kesamaan penelitian terletak pada tema yang digunakan sebagai variabel y

dalam penelititan. Perbedaan terletak pada metode, produk yang dikembangkan

serta basis pengembangannya.

Penelitian I Gusti Ngurah Hari Saputra, Soetarno Joyoatmojo, Harini

Harini (2018) yang berjudul The Implementation of Project-Based Learning

Model and Audio Media Visual Can Increase Students’ Activities. Penelitian ini

bertujuan untuk menyelidiki apakah penggunaan pembelajaran berbasis proyek

yang dibantu oleh media audio visual dapat meningkatkan aktivitas siswa.

Penelitian ini menggunakan model penelitian campuran yang memuat pendekatan

kualitatif dan kuantitatif. Hasil menunjukkan bahwa siswa sangat aktif dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

memberikan kontribusi yang sangat besar selama proses pembelajaran. Hal ini

terjadi karena pembelajaran disajikan menggunakan metode pembelajaran

berbasis proyek dengan media audio visual yang mengharuskan siswa untuk

berpikir dan bertindak sendiri dengan bimbingan guru yang bertindak sebagai

fasilitator, sehingga siswa dapat mengalami pengalaman belajar individu dan

kelompok mereka sendiri. Peningkatan kegiatan pembelajaran ditinjau dari setiap

aspek di SMAK Suria Atambua kelas XI IPS yaitu: 41,41% untuk pra tindakan,

siklus I mencapai 61,09% dan siklus II mencapai 78,91%. Di SMA Negeri 1 kelas

XI IPS 2, nilai pra tindakan adalah 42,59%, siklus I mencapai 62,45% dan siklus

II mencapai 82,49%. Kesamaan penelitian terletak pada produk yang berbasis

teknologi yang digunakan. Perbedaan terletak pada metode, produk yang

dikembangkan serta basis pengembangannya.

Penelitian I Putu Adi Saputra, Sariyatun, Akhmad Arif Musadad (2018)

yang berjudul Reinforcement of Dharma Gita Bali Values in Historical Learning

to Improve Student’s Tolerace Attitude. Tujuan penelitian ini adalah untuk

merumuskan suatu inovasi dalam proses pembelajaran dengan mengintegrasikan

nilai-nilai lokal dan pembelajaran historis melalui model pembelajaran CTL.

Metode kualitatif deskriptif dengan studi literatur digunakan dalam penelitian ini

untuk menganalisis nilai-nilai Dharma Gita, integrasi nilai-nilai Dharma Gita ke

dalam proses pembelajaran, dan kerangka konseptualnya dalam pembelajaran

sejarah, terutama dalam hubungannya dengan peningkatan toleransi siswa.

Pembentukan karakter siswa dapat dilakukan melalui pendidikan nilai dalam

pembelajaran sejarah. Nilai-nilai yang diajarkan kepada siswa dapat berupa nilai-

nilai lokal yang tentu saja merupakan bagian dari kehidupan para siswa dalam

kehidupan sehari-hari. Dharma Gita mengajarkan bimbingan moral sebagai

bagian dari pendidikan karakter. Bimbingan moral Dharma Gita dapat

digolongkan ke dalam etika pribadi, karena itu adalah panduan etis yang lebih

diarahkan sendiri. CTL memiliki nilai karakter yang dapat dikembangkan dan

dikirimkan ke siswa. CTL terdiri dari nilai-nilai kerja keras, keingintahuan,

kreativitas, kemandirian, tanggung jawab, dan kesadaran lingkungan sosial. Oleh

karena itu, CTL yang didasarkan pada nilai-nilai karakter adalah strategi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

pembelajaran yang tepat yang menekankan pada transformasi sikap siswa.

Berdasarkan pada subjek pembelajaran yang telah dipikirkan di kelas, CTL

mempromosikan siswa untuk mengaktualisasikan pengetahuan yang telah

dipikirkan di kelas untuk kehidupan sehari-hari mereka. Selanjutnya,

pembelajaran sejarah berdasarkan CTL dan nilai-nilai Dharma Gita diharapkan

dapat memberikan dampak positif terhadap karakter siswa, terutama pada sikap

toleransi siswa. Kesamaan penelitian terletak pada tema yang digunakan sebagai

variabel y dalam penelititan. Perbedaan terletak pada metode, produk yang

dikembangkan serta basis pengembangannya.

Penelitian Rizqa Ayu Ega Winayu, Leo Agung S, Djono (2018) yang

berjudul The Media Literacy in 21st Century: Role of Teacher in Historical

Learning. Penelitian ini mencoba menjelaskan tentang literasi media pada abad

ke-21. Selain itu penelitian ini juga tertarik untuk memfokuskan penjelasan

tentang kondisi, hambatan, dan bagaimana peran guru dalam literasi media abad

ke-21, khususnya dalam proses pembelajaran sejarah. Karena literasi media di

abad 21 sebenarnya menawarkan konsep mendidik siapa pun dalam berurusan

dengan media. Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif. Metode

kualitatif digunakan agar diperoleh data mendalam, khususnya dalam aspek

makna. Guru tidak lagi bergantung pada buku teks pemerintah sebagai satu-

satunya sumber pembelajaran. Program literasi yang diprakarsai oleh pemerintah,

yaitu Gerakan Literasi Sekolah mencakup beberapa komponen: literasi dasar,

media, perpustakaan, teknologi, dan visualisasi. Literasi media saat ini, dalam

pemahaman penulis, adalah semua hal yang berkaitan dengan media, televisi,

radio, surat kabar, dan internet. Itu karena abad ke-21 dikaitkan dengan

perkembangan kecanggihan teknologi. Kesamaan penelitian terletak pada produk

berbasis teknologi yang digunakan. Perbedaan terletak pada metode, produk yang

dikembangkan serta basis pengembangannya.

Penelitian Tse-Kian Neo & Mai Neo (2004) yang berjudul Integrating

multimedia into the Malaysian classroom: Engaging students in interactive

learning. Tujuan dari penelitian ini untuk menerapkan teknologi multimedia ke

dalam arena pendidikan. Bahan pendidikan tradisional dapat diterjemahkan ke

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

dalam bentuk elektronik interaktif melalui penggunaan alat multimedia. Penelitian

ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa 88,6% dari siswa sangat baik terhadap penggunaan teknologi dalam

pengajaran (rata-rata = 4,42), 88,7% berpendapat penggunaan media tepat dalam

menjelaskan konsep (mean = 4,3), 84,9% mengemukakan modul kuliah sangat

menstimulus ( mean = 4.11), 88.7% mengemukakan informasi yang disajikan

jelas dan ringkas (rata-rata = 4.19), 90.6% berpendapat tampilan modul mudah

dimengerti (rata-rata = 4.23), dan 83.1% puas dengan jumlah informasi yang

diterima dalam modul. Kesamaan penelitian terletak pada produk berbasis

teknologi yang digunakan. Perbedaan terletak pada metode, produk yang

dikembangkan serta basis pengembangannya ruang kelas.

Penelitian Aubrey Golightly (2016) yang berjudul The Digital Versatile

Disc as a Learning Support Medium in the Teaching and Learning of Map Work.

Tujuan penelitian ini untuk megetahui tanggapan siswa terhadap pemanfaatan

DVD dalam pendidikan di Afrika. Penelitian ini merupakan penelitian dengan

pendekatan kualitatif (naturalistik). Mayoritas responden (empat belas) sangat

optimis mengenai pengoperasian pemutar DVD dan penggunaan DVD sebagai

media pendukung pembelajaran untuk pekerjaan peta. Hanya dua responden

menunjukkan disposisi pesimis dalam hal ini. Semua responden menyoroti bahwa

penilaian diri dari kegiatan pembelajaran, melalui klip video dan audio pada DVD

mendorong pembelajaran yang berarti. Alasan disposisi positif peserta didik

seperti yang ditunjukkan dalam kuesioner dan selama wawancara bahwa setelah

menyelesaikan kegiatan pembelajaran, peserta didik dapat langsung menilai usaha

mereka. Semua responden setuju bahwa partisipasi aktif selama proses

pembelajaran disediakan untuk pembelajaran yang bermakna. Dari pengamatan

itu terbukti bahwa para siswa secara pasif menunggu instruksi guru selama dua

minggu pertama proyek. Selain itu, pelajar awalnya mendengarkan sisipan video

dan membaca teks elektronik tanpa mencatat atau mendiskusikan informasi ini

dengan sesama peserta didik. Ekspektasi peserta didik dengan demikian pada

awalnya setuju dengan pendekatan pengajaran langsung tradisional, yang

dicirikan oleh guru yang menyampaikan semua informasi kepada peserta.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

Kesamaan penelitian terletak pada produk berbasis teknologi yang digunakan.

Perbedaan terletak pada metode, produk yang dikembangkan serta basis

pengembangannya.

Penelitian Yung-hsun Cheng and Chia-wen weng (2017) yang berjudul

Factors influence the digital media teaching of primary school teachers in a

flipped class: A Taiwan case study. Penelitian ini dilakukan dengan survei

kuesioner yang dibuat dari studi tinjauan literatur. Kesamaan penelitian terletak

pada produk berbasis teknologi yang digunakan. Perbedaan terletak pada metode

pengembangan produk, produk yang dikembangkan serta basis pengembangannya

Penelitian Andrew Stables (1998) yang berjudul Proximity and Distance:

Moral Education and Mass Communication. Penelitian ini berusaha untuk

membuat dua poin utama, bahwa masalah moral selalu dapat diinterpretasi

sebagai masalah kedekatan dan jarak, bahwa komunikasi massa telah

menghadirkan orang-orang muda dengan banyak dilema moral baru tanpa

mendorong mereka untuk berpikir melalui sikap mereka kepada mereka.

Penelitian ini yaitu penelitian deskriptif yang dirancang dengan menggunakan

paradigma penelitian kualitatif. Sekolah dan perguruan tinggi memiliki peran

kunci untuk dimainkan dalam membantu siswa untuk membuat pengertian moral

dari massa informasi yang sekarang tersedia bagi mereka. Ini menyiratkan

tanggung jawab tiga kali lipat bagi pendidik: untuk menginformasikan tentang

komunikasi massa, untuk mendorong tindakan penalaran moral dalam kaitannya

dengan komunikasi massa, dan untuk mendorong tindakan bernalar secara moral

dalam kaitannya dengan yang dikeluarkan oleh komunikasi massa. Hal ini dibuat

lebih menantang oleh relativisasi moral yang mungkin sendiri merupakan bagian

dari komunikasi massa, sehingga tidak ada lagi jawaban yang benar. Kesamaan

penelitian terletak pada tema sosial yang digunakan sebagai variabel y dalam

penelititan. Perbedaan terletak pada metode, produk yang dikembangkan serta

basis pengembangannya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

C. Kerangka Berfikir

Kebutuhan Kecerdasan Sosial

untuk menghadapi era

Globalisasi (abad 21)

Penelitian Pendahuluan :

• Minimnya ketersediaan peta Sejarah

• Keterbatasan guru dalam membuat dan

mengembangkan media ajar

• Kurangnya media peta digital

• Kecerdasan sosial siswa perlu

dimaksimalkan

• Toponim wilayah Surakarta sebagai

sejarah lokal belum diintegrasikan

dalam pembelajaran

Penerapan inovasi pendidikan

(laptop) dalam aktivitas

pembelajaran

Pengembangan Peta Digital Toponim Wilayah Surakarta

dengan Pendekatan Edusemiotik untuk Meningkatkan

Kecerdasan Sosial Siswa MAN I Surakarta

Produk Final “Peta Digital Toponim Wilayah Surakarta”

Draft Awal Peta Digital

Uji Produk

Evaluasi

Efektif

Tidak Efektif

Uji Efektifitas

produk dalam

meningkatkan

Kecerdasan

Sosial

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

D. Model Hipotetik

Pengembangan Peta Digital Toponim Wilayah Surakarta dengan

Pendekatan Edusemiotik untuk Meningkatkan Kecerdasan Sosial Siswa

MAN 1 Surakarta

Develop

Implement Peta digital Toponim Wilayah Surakarta dengan

pendekatan Edusemiotik

Implementasi dalam

Kelas

Evaluate Pre Test

Kelas

Kontrol

Kelas

Eksperimen Post Test

Analysis 1 Analisis Kebutuhan Guru

2 Analisis Kebutuhan Siswa

3 Analisis Kecerdasan Sosial

Design Penentuan Kriteria Media Dan Materi

Pembelajaran

Draft Awal Peta Digital

Uji Coba

Terbatas

Uji Coba

Kel. Luas

Draft

Final

Peta

Digital Uji Coba

Kecil

ValidasiAhli

(Ahli Materi dan

Ahli Media)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user