bab ii - digital library uns
TRANSCRIPT
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERFIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Pembelajaran Sejarah
a. Pengertian Pembelajaran Sejarah
Belajar menjadi suatu perihal yang dibutuhkan oleh semua orang, mulai
anak usia dini bahkan sampai orang usia lanjut tetap memerlukan belajar. Menurut
Pribadi (2011) belajar yaitu kegiatan yang dilaksanakan oleh siswa sebagai upaya
mendapatkan dan mencapai kemampuan dan kompetensi yang diharapkan,
melalui belajar seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang baru. Sehingga
bisa dikatakan belajar jika ada pengetahuan baru yang dimiliki oleh seseorang.
Pada lingkup yang lebih luas belajar dapat dikembangkan menjadi proses
pembelajaran. Pembelajaran ialah suatu proses belajar yang sengaja direncanakan.
Pembelajaran sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua yakni pembelajaran
formal dan non-formal. Belajar formal atau sering didefinisikan secara umum
adalah kegiatan belajar yang dilakukan di bangku sekolah. Kegiatan Pembelajaran
yang ada di sekolah akan memberikan beberapa matapelajaran kepada peserta
didik, salah satu pelajaran yang disampaikan yaitu pelajaran Sejarah.
Syajarah yang bermakna pohon kehidupan merupakan arti kata sejarah
yang diadopsi dari bahasa Arab (Hamid & Madjid, 2011). Layaknya pohon,
sejarah berkenaan mengenai aktifitas dan hal-hal yang ada sangkut pautnya
dengan peristiwa manusia. Sejarah merupakan salah satu matapelajaran yang
menanamkan sikap, pengetahuan, dan nilai-nilai mengenai dinamika
perkembangan dan perubahan masyarakat Indonesia dan dunia sejak masa lampau
sampai kini (Agung & Wahyuni, 2013). Merujuk dari penjabaran tersebut, dapat
ditarik suatu kesimpulan yaitu pembelajaran sejarah erat kaitannya dengan istilah
medi ajar. Ini dikarenakan objek yang dikaji adalah peristiwa yang sudah terjadi,
sehingga tidak bisa dilihat secara langsung seperti kebanyakan ilmu alam.
Pelajaran sejarah didefinisikan oleh Agung (2013) sebagai pelajaran
yang berkedudukan penting sebagai upaya pembangunan karakter yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
bermartabat dan pembangunan rakyat Indonesia yang memiliki jiwa nasionalisme
dan patriotisme yan tinggi. Pembangunan nasionalisme dengan identitas dan jati
diri tidak akan terwujud tanpa muatan pengembangan kesadaran sejarah sebagai
sumber inspirasi dan aspirasi yang berkembang melalui pengalaman bersama
bangsa, yaitu proses sejarah.
Pembelajaran sejarah menurut Widja (1989), ialah pengintegrasian antara
proses guru menyampaiakan informasi, siswa menerima informasi mengenai
aktivitas manusia di masa lalu untuk selanjutnya diambil nilai-nilainya sebagai
bekal kehidupan dimasa kini. Sehingga pembelajaran sejarah adalah proses yang
dilaksanakan oleh guru dan peserta didik dalam proses belajar mengajar peristiwa
masa lalu sebagai tujuan untuk mendewasakan pengetahuan dan kepribadian
peserta didik dalam berpikir secara kronologis. Berpikir dalam hal proses
perkembangan masyarakat sebagai kelompok sosial yang hidup bersama
berdampingan dalam satuan lingkungan yang harmoni. Selain itu, pembelajaran
sejarah adalah terjadinya pengajaran kepada siswa dalam lingkup akademis dalam
upaya untuk mempelajari peristiwa-peristiwa penting atau perjalanan peristiwa
bersejarah Indonesia yang melingkupi dimensi ruang dan waktu dengan maksud
untuk menanamkan jiwa patriotis.
b. Tujuan Pembelajaran Sejarah
Matapelajaran sejarah bertujuan untuk menanamkan sikap dan pola pikir
kepada peserta didik tentang sikap mengetahui proses dalam peristiwa
terbentuknya Indonesia sebagai negara yang merdeka, semangat nasionalisme,
patriotisme yang berjuang untuk membebaskan dari belenggu penjajah. Oleh
karena itu pada akhirnya peserta didik mendapatkan pemahaman sejarah dan
kemampuan berpikir historis.
Menurut Agung (2013), pembelajaran sejarah bertujuan membuat peserta
didik memahami adanya keberagaman aktivitas kehidupan yang dijalani masing-
masing masyarakat serta adanya pola pikir yang berbeda masing-masing individu.
Tujuan lainnya ialah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
1) Menstimulus peserta didik berpikir kritis-analitis dalam menggunakan
pengetahuan yang telah dipelajarinya tentang masa lalu, untuk kemudian
diambil nilainya sebagai bekal berpijak dimasa kini dan masa mendatang;
2) Mengilhami kenyataan bahwa setiap hari kita mengukir sejarah diri
sendiri;
3) Memperdayakan intelektualitas dan keterampilan menerima perubahan,
keberlanjutan yang ada di masyarakat.
Sejalan dengan pendapat tersebut Kemendikbud (2014) menjabarkan
bahwa matapelajaran sejarah Indonesia memiliki tujuan mengarahkan siswa untuk
memiliki karakter sebagai berikut :
1) Membentuk pola pikir siswa untuk memahami bahwa konsepsi
manusia,ruang,serta waktu menjadikan peristiwa sejarah tidak bersifat
dinamis.
2) Mengarahkan dan menstimulus sikap menghargai terhadap peninggalan
peradaban bangsa.
3) Membentuk siswa mampu berpikir historis (historical thinking).
4) Membangun pemikiran tetntang pentingnya kehidupan masa kini dan msa
depan.
5) Membentuk kemampuan berlandaskan nilai serta moral sesuai dengan
karakter bangsa.
Hariyono (1995) memaparkan bahwa tujuan belajar sejarah bukan untuk
menjadi ensiklopedi pengetahuan faktual, melainkan untuk memahami dan
mampu berpikir secara historis. Melalui sejarah siswa diajarkan untuk berpikir
imaginatif, mengorganisasi sumber. Kajian yang bersifat kontekstual dan secara
nyta memiliki keterkaitan dengan muatan sejarah akan banyak membantu
perwujudan berpikir historis.
Tujuan pengajaran sejarah lebih banyak berkaitan dengan aspek
kemandirian siswa. Bagaimana peserta didik mempunyai kesadaran sejarah. Siswa
dapat memanfaatkan pelbagai peristiwa sejarah, yang notabene dilakukan oleh
orang lain. Melalui pelbagai deskripsi sejarah secara utuh, bukan suatu hafalan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
akan fakta dan peristiwa layaknya suatu kronik dapat menggugah siswa sebaga
subjek sejarah (Hariyono, 1995).
Pelajaran sejarah bertujuan menyadarkan adanya proses perkembangan
dan perubahan yang terjadi didalam masyrakat dalam dimensi waktu dan ruang
untuk membentuk pandangan atau perspektif, selain itu membangun kesadaran
megenai karakteristik bangsa di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang
seiring perubahan dunia. Oleh sebab itu penting siswa memiliki pemahaman
mengenai peristiwa kesejarahan bangsa Indonesia, karena generasi muda
merupakan agen perubahan yang menjadi penerus perjuangan bangsa dan
memajukan negara dengan tercermin kepada peristiwa yang dapat mengilhami
dan dapat menginspirasi. Layaknya dalam pembelajaran siswa dan guru
memberikan sinergi positif dalam proses belajar pembelajaran. Guru memberikan
pembelajaran dengan sebaik mungkin dengan metode-metode baik media
pembelajaran yang menarik perhatian siswa. Maka dengan sinergi yang dilakukan
oleh kedua belah pihak antara guru dengan siswa akan memunculkan
pembelajaran yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Kurikulum 2013.
c. Karakteristik Pembelajaran Sejarah
Pelajaran sejarah memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan
mata pelajaran yang lainnya, yaitu (a) sejarah sangat erat kaitanya dengan masa
lampau, peristiwa yang terjadi hanya sekali yang memiliki ciri khas dan tidak
berualang, (b) sejarah bersifat kronologis, urutan kejadian berdasarkan waktu
kejadian, (c) sejarah memiliki 3 unsur yang penting yakni manusia, ruang, dan
waktu, oleh karena itu dalam peristiwa sejarah pastilah ada siapa tokoh dalam
peristiwa sejarah, dimana peristiwa tersebut terjadi, serta kapan peristiwa tersebut
terjadi, (d) sejarah memiliki prinsip sebab akibat, yaitu sebuah persitiwa terjadi
memiliki sebab yang memicu sebuah peristiwa terjadi, dan kemudian pada
akhirnya akan timbul akibat dari terjadinya sebuah peristiwa tersebut.
Peniliaian masyarakat luas mengenai sejarah dimaknai sebagai perihal
yang memuat kepentingan kelompok kecil dalam hal ini sejawrawan, pegiat, dan
pecinta sejarah saja (Widja, 1989). Apabila hubungan erat antara sejarah dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
pendidikan sudah dipahami dengan baik oleh masyarakat, upaya perwujudan
makna dasar dari sejarah pun belum ada jaminan bisa diwujudkan untuk
mendukung proses pendidikan. Cara efektifnya dengan aktualisasi nilai-nilai
sejarah di kehidupan nyata siswa. Implikasi dari pendapat diatas ialah sejarah
tidak akan berufungsi bagi proses pendidikan yang bermuarake arah penumbuhan
dan pngembangan karakter bangsa apabila nlai-nilai sejarah belum terwujud dan
diterapkan dalam pola-pola prilaku yang nyata (Widja, 1989).
d. Manfaat Pembelajaran Sejarah
Salah satu manfaat utama sejarah dalam pendidikan yaitu proses
perkembangan keilmuan dari awal hingga tahap yang kompleks berupa
kematangan berpikir dan kebajikan untuk bersikap skeptis (Rowse, 2015). Dalam
pelajaran sejarah, penilaian atas manusia dan hubungan mereka, alasan dan
penyebab tindakan serta dampaknya, berkembang, sedangkan dalam ilmu eksakta,
tidak. Yang dikembangkan disana adalah penilaian teknis (Rowse, 2015). Hamid
(2011) menjelaskan bahwa terdapat empat manfaat sejarah, yaitu kegunaan
edukatif (pendidikan), inspiratif (wawasan), interaktif (dialog), dan rekreatif
(kesenangan).
Dengan kekhususan dalam bidang kajian sejarah terdapat suatu daerah
(lokalitas) mengenai beberapa hal yang terjadi, misalnya dunia lampau daerah
Solo, Ambon, Aceh, Sulawesi, Kalimantan, Papua dan seterusnya. Melalui
kemampuan imajinasi, sejarawan mampu menampilkan peristiwa sejarah yang
mana akan sulit dipahami oleh individu yang tidak mengalami secara langsung
peristiwa sejarah. Sejarah seharusnya disampaikan secara lengkap agar siswa
mampu menyerap informasi, menelaah, dan mengambil nilai mengenai masa
lalu, sebagai bekal masa kini dan masa depannya. Dengan begitu siswa akan
memiliki penilaian menyenangkan terhadap matapelajaran sejarah (Hariyono,
1995).
Hamid (2014) menjelaskan bahwa terdapat empat manfaat sejarah, yaitu
guna edukatif (pendidikan), inspiratif (wawasan), interaktif (dialog), dan
rekreatif (kesenangan). Dalam konteks edukatif, dikemukakan kalimat klasik,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
historia vitae magistra yang dapat dimaknai bahwa didalam setiap peristiwa
sejarah termuat makna yang bisa diilhami. Sebagai guru, berarti sejarah berguna
memberikan arahan (guide) bagi kita dalam melakoni kehidupan kekinian.
Sejarah sebagai ilmu memiliki peran penting dalam memaknai kehidupan.
Dengan mempelajari sejarah, tampilan kehidupan manusia dihadirkan kembali
agar dapat dipahami oleh generasi sekarang, sehingga dapat menjadikan rujukan
dalam menjalani kehidupan.
Matapelajaran sejarah berfungsi menghadirkan, menampilkan, dan
memberi pengarahan kepada siswa bahwa sejarah bersifat dinamis, selalu
berubah dalam tiga dimensinya (Agung, 2013). Ketiga dimensi tersebut sangat
penting kedudukannya, salah satunya adalah dimensi ruang.
Kaitan antara ruang (geografi) dan sejarah disimpulkan oleh Smith
(1992) bahwa geography comes to play an unprecedented influence over history.
Daldjoeni (1982) memperkuat pendapat tentang pentingnya konsep ruang untuk
disampaikan, karena konsep ruang akan membuat pemahaman mengenai
peristiwa sejarah siswa semakin baik. Lave dalam Packer (2010) menjelaskan
bahwa belajar merupakan aktivitas yang ditempatkan secara sosial, harus
didasarkan pada ontologi sosial yang menganggap orang tersebut sebagai
makhluk, yang terlibat dalam aktivitas di ruang dunia. Ruang yang dimaksud
dalam bidang sejarah merupakan ruang sosial, tempat dimana masyarakat hidup
dan beraktivitas. Pemahaman mengenai ruang yang baik selanjutnya akan
membuat siswa memahami lingkup sosial yang mengisi ruang sejarah. Hal
tersebut akan membuat siswa memiliki kecerdasan sosial yang maksimal.
2. Pendekatan Edusemiotik
a. Pengertian Pendekatan Edusemiotik
Semeion yang merupakan kata berasal dari Yunani memiliki arti tanda,
sedangkan semiotika ialah ilmu yang mempelajari tentang arti dan cara kerja suatu
tanda. Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914)
merupakan dua tokoh pelopor metode semiotika. Saussure berpedoman bahwa
segala sikap,perilaku,tindakan manusia selalu memiliki makna, makna suastu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
tanda bukanlah makna bawaan melainkan dihasilkan lewat sistem tanda yang
dipkai dalam kelompok orang tertentu. Peirce berpendapat tanda menjadi
katalisator manusia untuk berpikir dan mengambil suatu keputusan (Sunardi,
2004).
Edusemiotik merupakan cabang dari semiotik yang memusatkan kajiannya
mengenai tanda dalam bidang pendidikan. Semetsky (2014) menjelaskan bahwa
edusemiotics is a work commitment that is applied in the field of education.
Image, pictures and everything that has a sign.
Semiotika memiliki kedudukan lebih luas dari linguistik yang membatasi
tanda pada tanda yang bersifat verbal. Semiotika mempelajari tanda baik
berbentuk verbal, visual maupun kehidupan nyata Semetsky (2015) memaparkan
bahwa Real life events can be thought of as being replicable consisting of human
experience that we can do. Edusemiotic freedom about signs of experience in
human life.
Kehidupan manusia terdapat banyak makna dan secara tidak sadar,
terkadang manusialah yang mnggunakan makna tersebut. Seluruh makna budaya
diciptakan menggunakan smbol-simbol yang menunjuk pada peristiwa atau objek.
Untuk mngembangkan pendekatan semiotik atas budaya modern dibutuhkan teori
konotasi. Dalam teori konotasi terdapat konsep tentang mitos, metafora, dan
retorika. Tetapi sistem konotasi menggunakan denotasi untuk berbicara tentang
sesuatu hal lain. Makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata,
atau hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam
penandaan tahap denotatif. Misalnya ada gambar manusia, binatang, pohon,
rumah dengan wara merah, kuning, biru, dan putih. Pada tahap denotatif hanya
informasi data yang disampaikan (Piliang dalam Tinarbuko, 2008). Sedangkan
makna konotatif meliputi aspek warna yang berkaitan dengan perasaan dan eosi
serta nilai-nilai kebudayaan dan sudut pndang suatu kelompok masyarakat,
contoh: gambar wajah tersenyum dapat diartikan suatu kebahagiaan ataupun
ekspresi penghinaan, untuk memahami makna konotatif, maka unsur-unsur yang
lain harus dipahami pula (Piliang dalam Tinarbuko, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
b. Pendekatan Edusemiotik oleh Inna Semetsky
Konsep triadic Inna Semetsky dibangun atas dasar konsep triadic Sander
Peirce dan konsep Delueze. Dalam pandangan Inna Semetsky, edusemiotic
memiliki body mind yang terdiri atas Concept, Percept, dan Affect. Ketiga konsep
tersebut terlihat dalam segitiga triadic dibawah ini:
Gambar 2.1. Konsep Triadic Edusemiotik Inna Semetsky
(Sumber: Pedagogy and Edusemiotics: Theoretical Challenges/Practical
Opportunities)
Affect merupakan konsep tertinggi dalam triadic edusemiotic. Affect ini
berbeda dengan interpretant yang menjadi konsep tertinggi dalam triadic nya
Pierce. Affect merupakan evaluasi dari pelaku, dalam hal ini siswa terhadap suatu
peristiwa yang tidak ada dalam konsep yang telah dipelajarinya. Affect ini
merupakan penafsiran suatu hal yang dihasilkan dari evaluasi pengalaman yang
dialaminya seseorang. Affect sangat penting dimiliki oleh siswa, karena kumpulan
affect akan menghasilkan suatu kebajikan dalam memandang suatu peristiwa
(Semetsky, 2014).
Percept merupakan kategori kedua. Percept merupakan konsepsi yang
berhubungan terhadap sesuatu ataupun konsepsi yang bereaksi dengan sesuatu.
Percept ini dimiliki oleh individu dalam alam bawah sadar.
Concept merupakan kategori yang pertama. Concept yang dimaksud Inna
Semetsky yaitu konsepsi terwujudnya suatu hal atau konsepsi menjadi terbebas
dari hal lain. Concept muncul dan dialami oleh manusia berdasarkan pengalaman-
pengalaman yang dialaminya.
Kategori-kategori yang terapat dalam triadic edusemiotik dijelaskan dalam
jumlah yang bersifat kardinal (tidak hanya ordinal, seperti urutan pertama, kedua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
atau ketiga). Menurut definisinya, Secondness mengandung satu dan dua, jadi ada
Firstness in Secondness, dan ada tiga di Third sehingga Thirdness harus selalu
mengandung Firstness dalam dirinya sendiri. Kebiasaan mengambil sebagai
proses evolusioner (Kardinal Ketiga) termasuk Kebenaran dalam bentuk
kesempatan, perasaan halus, atau kebebasan kreativitas sebagai prasyarat
dinamika sendiri. Kebiasaan adalah disposisi untuk bertindak dengan cara tertentu
dalam situasi pengalaman tertentu (Pierce in Semetsky, 2014).
Kognisi siswa bukan diterima dari proses induktif dan deduktif saja,
melainkan dimediasi oleh tanda-tanda. Proses pendidikan saat ini hanya
mentransfer fakta yang selanjutnya dijadikan kesimpulan. Siswa tidak mengetahui
bagaimana caranya untuk mendapatkan kesimpulan tersebut (Semetsky. 2014).
Siswa hanya diajarkan benar dan salah, tanpa memaknai hal yang lebih besar dari
hanya benar dan salah, yaitu nilai dan makna. Sebaliknya, tanda adalah hubungan
dan kita adalah tanda di antara tanda-tanda lain, manusia dan non-manusia, yang
tertanam dalam dinamika relasional, sehingga terus berkembang melalui berbagai
cara interpretatif. Sebagai proses pembelajaran yang didasarkan pada pengalaman
yang diwujudkan, pendidikan yang bersumber dari filsafat sebagai semiotika
memunculkan transformasi kebiasaan — kebiasaan berpikir dan kebiasaan
bertindak di dunia. Perhatian terhadap etika dan tindakan praktis adalah fitur
signifikan edusemiotics; sama pentingnya adalah pendekatan khas terhadap logika
sebagai ilmu tanda (Semetsky, 2017).
Tanda pada hakikatnya bersifat paradoksial. Hal ini dikarenakan tanda
mengalami proses evolusi semiosis. Proses ini menjadikan tanda bersifat dinamis
karena peristiwa pun bersifat dinamis. Ketika peristiwa yang memuat tanda-tanda
saling terjalin dan terhubung, maka akan menghasilkan tanda baru. Tanda baru ini
muncul akibat proses interpretasi, pertumbuhan, dan pengembangan yang terbuka
(Semetsky, 2014). Tanda tidak terbatas dalam simbol, tulisan, gambar dan peta
saja, Semetsky dan Kristeva berpendapat bahwa simbol juga termuat dalam suatu
peristiwa. Peristiwa yang terjadi dalam hidup manusia dikaji mendalam oleh ilmu-
ilmu sosial, salah satunya yaitu Sejarah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Inna Semetsky menjelaskan bahwa edusemiotik menitikberatkan pada
dimensi evolution. Sejarah merupakan matapelajaran yang mentransferkan
pengetahuan mengenai manusia. Sejarah memuat cerita yang beraneka ragam dari
orang-orang dalam berbagai konteks yang berbeda - sosial, politik, agama,
ekonomi dan sebagainya (Phillip, 2002). Melalui pemaparan Sejarah tersebut,
dapat diasumsikan bahwa edusemiotik yang menitikberatkan pada perubahan
tanda dapat diintegrasikan dalam pembelajaran Sejarah yang memuat dinamika
perubahan peristiwa.
Edusemiotik tidak menekankan kebenaran maupun kesalahan dalam
proses pembelajaran, yang penting adalah proses pembelajaran partisipatif di
mana siswa menemukan makna. Guru bertanggung jawab untuk menciptakan
lingkungan partisipatif seperti itu daripada membatasi pendidikan hanya untuk
produknya yang biasanya dikurangi menjadi hasil yang ditentukan oleh tes standar
(Semetsky, 2010).
c. Pendekatan Edusemiotik dalam Pembelajaran Sejarah
Semiotika dalam pendidikan sudah banyak diterapkan dalam pelajaran
lain, misalnya dalam pelajaran matematika seperti yang di lakukan, Kemme
(1981), Rotman (1988), MacNamara (1996), Radford and Grenier (1996), dan
Anderson, Saenz-Ludlow, and Cifarelli (2000) yang konsen membahas mengenai
hubungan tanda dan matematika. Sedangkan untuk tema mengenai edusemiotik
dan implikasinya dalam pembelajaran matematika diulas oleh Eccles and Jacobs
(1986), Varelas (1989), Pimm (1995), Antenos-Comforti, Barbeau, and Danesi
(1998), Danesi (2003), dan Danesi (2007).
Untuk pelajaran sosial terutama Sejarah, hal ini merupakan hal yang masih
baru dan bahkan belum ada penerapannya, padahal Sejarah (yang notabenenya
masuk ilmu sosial) merupakan pelajaran yang dipenuhi oleh evolusi tanda.
Evolusi tanda terjadi misalnya saja dalam perubahan makna perubahan pola kerja
para arsitektur. Pembangunan rumah-rumah ibadah dan pemukiman pada masa
lampau menggunakan sistem kunci, teknik ini tidak membutuhkan bahan perekat
bahan bangunan, dan memiliki manfaat diantaranya yaitu tahan gempa. Tanda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
tersebut mengalami perubahan bahwa sistem pertukangan saat ini menggunakan
semen yang digunakan untuk merekatkan antar bahan bangunan. Tanda tersebut
bermakna bahwa dalam kehidupan yang semakin kompleks, penyederhanaan di
semua aspek kehidupan dilakukan.
Pembelajaran sejarah membutuhkan penkonkretan materi untuk
menstransferkan perubahan tanda yang terjadi di masa lampau. Little (2016)
berpendapat bahwa imajinasi dalam sejarah akan membantu siswa memperluas
pemahaman dan pengetahuannya mengenai suatu kejadian masa lampau dan
mengevaluasi pemahaman tersebut. Imajinasi dalam sejarah tidak hanya
menghasilkan pemahaman kognitif siswa, tetapi akan berdampak dalam aspek
afektif dalam menghadapi suatu peristiwa.
Edusemiotik dapat diterapkan dalam pembelajaran sejarah melalui
penyampaian toponim desa. Radding (2010) mengidentifikasikan toponimi
sebagai “tanda” (signs) yang menghubungkan pengalaman hidup manusia yang
pernah tinggal di suatu tempat. Kaitannya dengan toponimi, Signs (Echols, 2005)
dapat berarti “isyarat” ataupun sebagai petunjuk untuk menelusuri jejak sejarah,
sosial dan kultural suatu tempat. Toponimi juga dapat ditelusuri dari aspek
semiotika atau studi tentang tanda-tanda, lambang atau simbol. Hal tersebut
didukung pendapat Reuben Rose-Redwood (2010) bahwa pendekatan semiotika
dapat mengekplorasi makna ataupun pesan dari komunikasi budaya yang
disebarkan lewat sejumlah nama-nama tempat, terutama nama-nama tempat yang
dijadikan simbol peringatan (commemorative name) terhadap peristiwa ataupun
tokoh tertentu. Aspek simbolis yang penting dari budaya adalah bahasa yang
digunakan untuk mewakili benda dan pandangan. Simbol atau tanda yang
diartikan lewat bahasa ataupun gambar memiliki kedudukan penting bagi suatu
budaya. Seorang antropolog bernama Kluckohn menyimpulkan bahwa budaya
manusia tanpa bahasa tidak dapat dipikirkan. Lewat bahasa dan tanda, manusia
dapat belajar dari pengalaman yang terakumulasikan dan dibagikan (Larry.dkk,
2010). Sistem penamaan desa (toponimi) dapat dimanfaatkan sebagai alternatif
pembelajaran karena memuat pengalaman hidup manusia yang pernah tinggal di
suatu tempat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
3. Kecerdasan Sosial
a. Pengertian Kecerdasan Sosial
Kecerdasan sosial merupakan salah satu kecerdasan yang dimiliki oleh
manusia. Thorndike (1937) menjelaskan bahwa social intelligence is ability to
understand and manage people and to engage in adaptive social interaction.
Sejalan dengan hal tersebut, Walker (1973) menjabarkan bahwa kecerdasan sosial
adalah the ability to understand others and to act wisely in social situations.
Vernon (1933) juga menjabarkan bahwa kecerdasan sosial adalah competence to
have a good relationship with other people, empathy to the social problem, and
knowledge about how other people feel or the nature that underlies the behavior
of others. Silvera (2001) menjelaskan bahwa kecerdasan sosial merupakan some
underlying individual difference that causes different people to have different
degrees of success in social situations. Dari beberapa penjelasan ahli mengenai
kecerdasan sosial dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kecerdasan sosial
merupakan salah satu jenis kecerdasan yang mana menitikberatkan pada
kemampuan manusia dalam memberikan dan menerima respon sosial dari
lingkungan sekitarnya.
Kecerdasan sosial merupakan kemampuan seseorang untuk bersikap,
bertindak, dan berperilakuan terhadap interaksi sosial yang dijalaninya dengan
individu lain. Dalam pendidikan, selain kecerdasan intelektual kecerdasan sosial
juga berperan penting dalam menentukan kesuksesan siswa dalam
pembelajaran.dimanapun dan kapanpun oleh siswa (Albrecht, 2006). Seseorang
yng memiliki kecerdasan sosial tinggi dapat dipastikan seseorang tersebut pandai
dalammengelola emosinya (Vernon, 1933; Goleman, 2005). Peneliti tertarik untuk
meneliti tingkat kecerdasan sosial siswa dikarenakan kecerdasan intelektual
mendapat porsi yang banyak sedangkan kecerdasan-kecerdasan lainnya diberikan
porsi yang lebih sedikit.Kecerdasan sosial dan kecerdasan intelektual merupakan
hal yang saling terkait dan melengkapi. Bila siswa memiliki IQ yang tinggi tetapi
siswa merasa mnder dalam pergaulan, kurang diterima dalam lingkungan
sekitarnya maka kemungkinan kesuksesanya akan terhambat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
b. Aspek Kecerdasan Sosial
Albrecht (2006) mengungkapkan aspek kecerdasan sosial yang terdiri atas
lima kemampuan, yaitu:
1) Kesadaran situasional, yaitu kemmpuan memahami dan peka terha-dap
perasaan, kebutuhan dan hak orang lain. Idividu yang memiliki kesadaran
situasional tinggi bercirikan tanggap menyikapi segala kondisi, mampu
beradaptasi, berprilaku sewajarnya, dan memiliki komitmen yang kuat
yang tidak dapat dipengaruhi orgng lain. Perilaku seseorang yang memiliki
kecerdasan sosial rendah nampak ketika memiliki empati yang kurang
dengan persaan orang lain, cenderung bersikap seenaknya, kurang bisa
membawa diri dalam interaksi sosialdan mudah terpengaruh orang lain.
2) Kemampuan membawa diri ialah kemmapuan adaptasi diri berinteraksi
dengan individu lain dan lingkungan, menyapa dan bertutur kata. Perilaku
seseorang dengan kemampuan membawa diri tinggi yaitu: ramah kepada
siapapun yang ditemui, berpenampilan sopan dimanapun, mengucapkan
salam kepada orang lain dan menghargai lawan bicaranya..
3) Autentisitas atau keaslian dimaknai sebagai jati diri pribadi individu
sebenarnya. Individu dengan autenstas tinggi dapat dilihat ketika yang
bersangkutan memilik kepribadian selalu berkata jujur, tulus, ikhlas dan
bertanggung jawab.
4) Clarity atau kejelasan, yaitu kemampuan individu dalam menyampaikan
ide atau gagasannya secara jelas sehingga orang lain dapat mengerti
dengan baik apa yang disampaikan. Individu dengan clarity yang tinggi
bercirikan memiliki perkataanya jelas, tegas, mudah dimengerti dan dapat
mempengaruhi orang lain.
5) Empati, yaitu suatu kondisi dimana individu mampu merasa atau
mengidentifikasikan diri pada keadan pikiran atau perasaan yang sama
dengan orang atau kelompok lain. Seseorang dapat dikatakan mampu
berempati ketika mampu memahami perasaan dan pikiran orang lain.
Maka dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki empati tinggi
maka akan mengertiperasaan orang lain dan mau mendengarkan masalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
orang lain, serta memiliki kemampuan merasakan apa yang dirasakan
orang lain.
Selain Albrect, Silvera (2001) mengkategorikan kecerdasan sosial kedalam
tiga aspek. Ketiga aspek tersebut termuat dalam angket The Tromso Social
Intelligence Scale (TSIS) TSIS dikembangkan oleh Silvera dkk pada tahun 2001.
Angket TSIS yang memuat tiga konten tema yaitu tema Social Information
Processing (SP), Social Skills (SS), dan Social Awareness (SA). Dalam tema
Social Information Processing (SP) memuat aspek empati sosial yang dialami
manusia. Dalam tema Social Skills (SS) memuat sikap bertindak dengan berani,
membangun, mempertahankan, serta memutuskan hubungan. Serta dalam tema
memuat item Social Awareness (SA) memuat sikap dan perilaku yang sesuai
dengann situasi tempat dan waktu.
Kecerdasan sosial sangat diperlukan bagi siswa dalam mencapai
kesuksesan pembelajaran. Kecerdasan sosial mengarahkan siswa dalam proses
interaksi sosial baik dengan teman sebaya, guru dan juga masyarakat. Selain itu
juga menstimulus siswa untuk selalu berani mengemukakan pendapat, dan sebagai
bekal untuk kehidupan masa depan yang lebih kompleks lagi. Sejarah sebagai
cabang rumpun ilmu sosial dapat digunakan sebagai matapelajaran yang
membantu ketercapaian kecerdasan sosial siswa. Dimensi ruang sosial yang
termuat dalam toponimi desa merupakan pilihan yang tepat sebagai solusi
meningkatkan kecerdasan sosial siswa.
4. Peta Toponim Wilayah Surakarta
a. Pengertian Peta Toponim
Peta pada umumnya merupakan bentuk tampilan kartografi yang tinggi,
karena dalam memproduksi peta garis menyangkut dua hal yakni perencanaan dan
dimensi struktural yang ekstra (Kraal, 2013). Wongsotjitro (1982) menjelaskan
bahwa yang penting dalam ilmu kartografi atau ilmu proyeksi peta adalah cara
memindahkan keadaan dari permukaan bumi ke bidang datar peta. Peta bekerja
dengan sejumlah peralatan untuk menyusun informasi. Kehirarkian suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
informasi dibuat dengan menggunakan urutan peralatan dan tema atau wilayah.
Wilayah yang lebih penting akan ditampilkan dalam peta lebih dahulu atau
dengan skala yang lebih besar dibandingkan yang lain. Dengan menunjukkan
jumlah peta tematik yang berurutan, hubungan sebab-akibat antara tema tersebut
lebih berkesan. Daerah khusus yang dikategorikan sebagai daerah yang penting
dapat diperjelas dengan memperbesar dalam inset peta.
Peta mempunyai susunan yang jelas dimana suatu informasi itu ada. Suatu
peta dapat diawali dengan gambaran dunia kemudian secara gradual ke daerah
yang lebih besar dalam lingkungannya (Kraal, 2013). Karena banyaknya data
topografi yang dapat disajikan di atas suatu peta, Subagio (2003) berpendapat
tentang perlunya dilakukan pemilihan data-data yang akan disajikan sehingga
kerumitan isi peta dapat dihindari. Dalam pemilihan data tersebut, perlu
dipertimbangkan beberapa hal seperti: skala peta yang akan dibuat, sumber data
pemetaan, serta jenis data yang akan disajikan (tujuan pemetaan).
Definisi peta sejarah berbeda dengan peta-peta yang bersejarah. Kelompok
pertama merupakan peta dengan tema objek sejarah, kelompok kedua merupakan
peta-peta dari suatu periode di waktu lampau. Oleh karenanya peta-peta bersejarah
(kelompok kedua) adalah sinonim dengan peta-peta tua. Peta sejarah bertujuan
untuk menggambarkan situasi atau pembangunan di masa lampau. Peta-peta
sejarah memiliki dua fungsi: dapat menyajikan sebagai dasar untuk penelitian
historikal dan dapat sebagai alat transmisi pengetahuan tentang masa lampau.
Pada kasus pertama, para kartografer akan memetakan pada peta-peta skala besar
yang belum digeneralisasi, serta mencoba menghubungkan peta-peta itu dengan
tema-tema yang lain, seperti relief yang terbentuk pada zaman yang sama,
vegetasi, hidrografi, atau penggunaan lahan. Pada kasus kedua, peta sebagai alat
komunikasi, pemecahan kartografis yang dipilih akan berupa generalisasi, untuk
menggambarkan pembangunan sejelas mungkin. Pada peta-peta sejarah, baik
ruang maupun waktu digambar. Jadi, kita harus memetakan empat dimensi. Para
kartografer terbiasa dengan pemetaan ruang, masalah dengan peta-peta sejarah
juga merupakan pemetaan variabel keempat, yaitu waktu. Dengan mengubah-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
ubah waktu dalam ruang yang digambarkan, kita bisa melihat pergerakan, proses,
dan pembangunan (Ormeling, 2015).
Rais dkk (2008) berpendapat bahwa toponimi dapat diartikan secara
harfiah sebagai nama tempat di muka bumi. Kata “topos” bermakna “tempat” atau
“permukaan” seperti halnya “topografi”, dimaknai sebagai gambaran tentang
permukaan atau tempat-tempat di bum. Sedangkan, kata “nym” dari “onyma”
bermakna “nama”. Dengan begitu toponim dimaknai sebagai asal-usul nama suatu
tempat atau daerah. Raper (1996) mengemukakan bahwa toponimi mempunyai
dua pengertian, yaitu ilmu yang mempunyai objek studi tentang toponim pada
umumnya dan tentang nama geografis khususnya; dan totalitas dari toponim
dalam suatu wilayah. Batasan yang lebih jelas mengenai toponimi dikemukakan
oleh Bishop, dkk (2011) yang mendefinisikan toponimi sebagai suatu studi
tentang tempat berdasarkan pada informasi historis dan geografis, menggunakan
kata atau kumpulan kata untuk menunjukkan, menjabarkan, atau mengidentifikasi
sebuah wilayah geografis, seperti: gunung, sungai, hutan, dan kota. Secara teknis,
Kamonkarn, dkk (2008) membagi toponimi menjadi dua kategori besar, yaitu
nama huni dan nama fitur. Nama huni merupakan nama yang menunjukkan suatu
wilayah yang ditempati atau dihuni. Nama fitur merupakan nama yang mengacu
pada alam atau karakteristik fisik suatu bentang lahan. Rais dkk. (2008)
menyatakan bahwa dalam toponimi terdapat elemen generik dan elemen spesifik,
atau disebut juga nama generik dan nama spesifik. Elemen generik dari suatu
toponim merepresentasikan migrasi manusia di masa lalu yang umumnya
dinamakan menurut bahasa pemukim pertama di wilayah itu. Elemen spesifik dari
toponim merupakan nama diri dari elemen generik yang telah disebutkan
sebelumnya.
Nama tempat dipelajari oleh ahli bahasa dan akademisi dari beberapa
disiplin ilmu lainnya. Kamonkarn, dkk (2008) mengungkapkan bahwa toponimi
merupakan fenomena bahasa pada suatu bentang lahan yang terjadi dari budaya
lokal, bahasa, sejarah, dan lingkungan masing-masing daerah. Oleh karena itu,
pola bahasa dari toponimi tergantung pada wilayah masing-masing. Adanya nama
unsur geografi ini lebih awal sebelum dibuatnya peta. Nama unsur geografi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
muncul ketika manusia untuk pertama kalinya mendiami suatu wilayah dan perlu
memberi nama pada unsur-unsur geografi yang ada di sekitarnya. Secara
etimologi toponim adalah studi tentang sumber-sumber dari mana nama-nama itu
diturunkan dan proses penciptaan mereka. Mayoritas nama tempat tidak
sewenang-wenang, tapi biasanya mengacu pada beberapa atribut tempat yang
dilambangkan penghuninya atau penguasanya (Durkin, 2009; Lauder, 2015).
Secara khusus, etimologi nama tempat berfokus pada bahasa apa nama tempat itu
diciptakan dan apakah namanya berasal dari nama tempat lain, dari nama pribadi,
dari peringatan kejadian, atau deskripsi aspek geografis atau sosial tempat itu atau
memiliki beberapa asal lain (McArthur, 1992; Lauder, 2015).
Bahasa, budaya, dan pikiran merupakan bentuk yang saling terkait dengan
penamaan tempat. Piliang (2012) menyatakan bahwa dalam konteks cultural
studies, keberadaan tanda dan teks tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial
dimana tanda dan teks itu berada. Tanda dan teks hanya dapat berfungsi bila ia
digunakan oleh komunitas atau masyarakatnya. Penggunaan sistem tanda ini
merupakan suatu bentuk konvensi yang menghasilkan makna dan nilai-nilai sosial
tertentu di dalam masyarakat.
Berbagai fenomena alam, sosial, budaya, dan peristiwa yang dialami oleh
manusia yang diabadikan dalam penamaaan wilayah, turut pula mendapatkan
legalitas dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
bahwa penamaan suatu wilayah berkaitan dengan unsur rupa bumi sebagai bagian
dari khazanah kebudayaan bangsa. Hal ini membuktikan bahwa setiap nama
mengandung berbagai makna yang bermanfaat guna memanfaatkan dan menggali
berbagai potensi wilayah yang dikenal sebagai toponimi. Toponimi bisa diartikan
sebagai cabang onomastika yang menyelidiki penamaan unsur-unsur geografis
pada nama-nama tempat. Akan tetapi, sebagian besar orang belum menyadari
pentingnya sebuah nama dengan berbagai aturan yang mengikatnya (Anshari,
2017).
Sebagian besar unsur geografis di permukaan bumi di wilayah Indonesia,
baik unsur alam maupun unsur buatan seperti gunung, pegunungan, bukit, danau,
sungai, muara, selat, laut, pulau, jalan, desa, kota, fasilitas umum, fasilitas sosial,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
dan lain-lainnya, sebagian besar masih banyak yang belum bernama, dan yang
sudah bernama perlu dilakukan pembakuan dalam penulisan, ejaan dan
pengucapan. Kajian Toponimi menjadi penting mengingat nama-nama geografis
adalah bukan hanya sekedar nama yang disebut orang, tetapi di belakang nama itu
mengandung makna sejarah panjang dari suang sosial masyarakat. Peta toponimi
Surakarta merupakan upaya peneliti untuk mengembangkan media pembelajaran
Sejarah yang dapat memperkaya proses pembelajaran di kelas dengan ikut juga
melestarikan toponimi daerah Surakarta.
b. Peta Toponim Wilayah Surakarta
Nama tempat (toponim,) peristiwa, waktu dan tokoh adalah elemen
penting yang tersaji dalam suatu penelitian sejarah. Menurut Gottschalk (2006),
sebuah nama memberikan informasi sejarah. Nama-nama tempat dapat
memberikan data mengenai lingkungan dan aktivitas manusia di masa lalu (Shai,
2009). Misalnya, Kandangsapi, yang berarti "tempat sapi dikumpulkan" yang
menunjukkan bahwa lokasi itu merupakan pusat di kandangkannya sapi keraton
Surakarta. Nama tempat ataupun lanskap juga berfungsi sebagai alat mnemoteknik
(perlibatan kegiatan yang bersifat praktik dalam membantu memori atau ingatan
yang dapat mengidentifikasi ”basis element” dari memori sosial yang
merepresentasikan identitas kelompok di sebuah kota atau tempat lainnya
(Bucher, et.al., 2013).
Toponimi menjadi “cultural arena” (Rose-Redwood, et.al., 2010) bagi
kelompok sosial untuk bersaing memenangkan hak nama. Hal ini memicu
timbulnya politik memori atau politik ingatan. Menurut Budiawan (2013),
perhatian utama dalam politik memori bukan pada apa yang sesungguhnya terjadi
di masa lalu, tetapi bagaimana masa lalu itu diingat. Yang menjadi perdebatan
bukan fakta masa lalu, melainkan bagimana orang menuturkan sekaligus
memaknai masa lalu. Cara penuturan dan pemaknaan masa lalu itu membentuk
dan sekaligus dibentuk cara orang mendefinisikan rasa kediriannya (sense of self).
Berbicara mengenai tradisi atau budaya, hubungan antara masa Ialu dan
masa kini harusiah lebih dekat. Tradisi mencakup kelangsungan masa lalu di masa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
kini ketimbang sekadar menunjukkan fakta bahwa masa kini berasal dari masa
lalu. Toponimi memiliki nilai budaya dan membantu untuk merekonstruksi
perubahan etnis, politik, budaya, dan agama di wilayah tertentu selama periode
waktu yang panjang (Shai, 2009). Di dalam konteks pelestarian warisan budaya,
melalui pendekatan tradisi (pendekatan antropologi), nilai-nilai budaya dapat
diturunkan dari generasi ke generasi.
Di balik nama tempat, terkandung jejak sejarah permukiman manusia dari
generasi ke generasi. Migrasi berbagai suku bangsa/kelompok etnis yang
mendiami suatu wilayah di masa lalu, turut pula meninggalkan jejak-jejak
kebudayaan yang mengendap di dalamnya. Tiap endapaan sejarah dari kebudayan
memiliki karakteristik sistem nilai dari periode waktu yang berbeda. Lanskap
yang menjadi panggung budaya dan saksi bagi silih bergantinya kebudayaan yang
pernah menapak-jejak diatasnya. Budaya asal berinteraksi dengan budaya
pendatang, budaya pendatang berinteraksi dengan berbagai budaya pendatang
lainnya sehingga membentuk mozaik kultural di suatu tempat. Budaya sangat
akumulatif, historis, dan dinamis. Dapat diterima secara akulturatif dan disambut
hangat, atau sebaliknya. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah kemampuan untuk
bisa menangkap makna dari setiap jejak kebudayaan.
Makna dari setiap kehidupan termuat dalam kehidupan masyarakat dimasa
lalu dan mas kini. Kaitan antara masa kini dan masa lalu adalah basis tradisi.
Masa lalu masyarakat bukan lenyap sama sekali. Serpihan masa lalunya masih
tersisa. Serpihan masa lalunya itu menyediakan semacam lingkungan bagi fase
pengganti untuk melanjutkan proses. Ini terjadi melalui dua mekanisme hubungan
sebab-akibat.
Mekanisme material bekerja melalui pelestarian benda, artefak, dan
tatanan yang dihasilkan oleh aktivitas generasi terdahulu namun memengaruhi
tindakan yang dilakukan generasi kini. Mekanisme ini berakar dalam ketahanan
fakta fisik rumah dan jembatan, jalan raya dan pelabuhan, gereja, mesjid dan
monumen, peralatan dan mesin-mesin, asap di udara, sampah di sungai-
kesemuanya itu merupakan lingkungan material tempat manusia hidup, meski
manusia sendiri tidak menciptakannya. Meski mengalami erosi dan kerusakan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
lingkungan ini berakumulasi melalui perjalanan waktu. Lingkungan ini memang
bukan tiruan masa lalu, tetapi sebagian besar mencerminkan keadaan masa lalu.
Benda material sisa peninggalan masa lalu itu menjadi sasaran studi arkeologi.
Toponim merupakan bahan yang berpotensi menarik untuk dipelajari.
Bagaimana orang memandang dan menafsirkan ruang, bagaimana mereka
berorientasi di dalamnya, bagaimana mereka menentukan batas-batas identitas,
apakah mereka masuk ke ruang pengalaman individu dan kolektif dan proyek
(Bucher, et.al., 2013), bagaimana sistem nilai budaya memberitahukan apa yang
penting dan memberikan petunjuk-petunjuk untuk memaknai eksistensi ruang di
masa kini. Toponimi membawa tempat-tempat tertentu ke dalam wilayah ‘cultural
circulation,’ sehingga mengubah ruang menjadi objek pengetahuan yang dapat
‘diekplorasi’ dan ‘dibaca’ (Reuben Rose-Redwood, et.al., 2010). Selain itu,
pelacakan dapat ditelusuri lewat tinggalan budaya berwujud tak benda. Aspek
budaya yang intangible itu dapat bersifat abstrak, seperti konsep dan nilai, dan
dapat pula bersifat konkret. Tetapi tidak dapat dipegang, seperti musik, tari,
upacara dan lain-lain.
Banyak nilai-nilai edukatif yang dapat digali dari keunikan toponim wilayah
Surakarta, termasuk aspek kecerdasan sosial. Pembelajaran berbasis toponim
wilayah Surakarta akan membuka cakrawala siswa untuk mampu hidup dalam
keberagaman dan menerima the others (lian) di sisinya. Pembelajaran berbasis
keunikan toponim wilayah Surakarta merupakan usaha secara sadar dan
terencana dalam rangka merekonstruksi pengetahuan dan pengalaman siswa untuk
dapat membangun kecerdasan sosial, yaitu siswa diharapkan dapat memahami
bagaimana pendahulunya secara filosofis memberikan nama kampung tersebut.
Juga dapat menganalisis situasi zaman (zeitgeist) dan ikatan budaya
(kultuurgebundescht) yang mempengaruhi dalam pemberian nama tersebut.
Seperti yang diungkapkan Rais (2008), nama diberikan untuk tujuan identifikasi,
komunikasi, dan informasi bagi sesama manusia. Senada, toponimi merupakan
usaha menjembatani siswa dalam melakukan identifikasi, komunikasi dan
(berbagi) informasi lintas zaman, yaitu dengan melakukan langkah-langkah
saintifik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Peta Toponim Surakarta termasuk dalam kategori pertama, yaitu peta
sejarah. Salah satu fungsi peta sejarah, yaitu sebagai alat transmisi pengetahuan
tentang masa lampau kepada siswa. Dengan adanya Peta toponim wilayah
Surakarta, visualisasi tempat berlangsungnya peristiwa sejarah, dapat dengan
mudah dipahami oleh siswa.
Peta toponim wilayah Surakarta dengan pendekatan edusemiotik
merupakan modifikasi dari peta yang beredar di masyarakat, yang mana
dipadukan dengan materi muatan Sejarah dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi. Produk ini mendukung untuk digunakan secara individu maupun
digunakan dalam pembelajaran di kelas. Peta Toponim Surakarta termasuk media
pembelajaran yang dapat diakses dalam keadaan offline. Kondisi tersebut
memungkinkan produk ini dapat diakses dimanapun dan kapanpun oleh siswa.
5. Media Pembelajaran
a. Pengertian Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari
kata medium yang secara harafiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah
perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan (Sadiman.
2003). Arsyad (2014) menjelaskan bahwa “art” adalah keterampilan (skill)
yang diperoleh lewat pengalaman, studi dan observasi. Dengan demikian,
teknologi tidak lebih dari suatu ilmu yang membahas tentang keterampilan yang
diperoleh lewat pengalaman, studi dan observasi. Erat hubungannya dengan
istilah “teknologi”, kita juga mengenal kata teknik. Teknik dalam bidang
pembelajaran bersifat apa yang sesungguhnya terjadi antara guru dan murid. Ia
merupakan suatu strategi khusus (Arsyad, 2014).
Apabila ditelisik dari perkembangan media ajar diketahui bahwa awal
mulanya hanya dinilai sebagai alat dalam menyampaiakan pembeajaran
(teaching aids). Alat bantu yang dipakai adalah alat bantu visual, yaitu gambar,
model, objek dan alat-alat lain yang dapat memberikan pengalaman konkrit,
motivasi belajar serta mempertinggi daya serap dan retensi belajar siswa. Namun
sayang, karena terlalu memusatkan perhatian pada alat bantu visual yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
dipakainya orang kurang memperhatikan aspek disain, pengembangan
pembelajaran (instruction) produksi dan evaluasinya (Sadiman. 2003).
Segala perihal yang dapat dimanfaatkan dalam proses transfer pengetahuan
dari guru ke siswa, yang dari perihal tersebut didapati mampu menstimulus
perasaan, pikiran, perhatian, dan minat siswa sedemikian rupa sehingga proses
pembelajaran dapat berjalan secara efektif disebut dengan media pembelajaran
(Meimulyani dan Cartoyo, 2013). Sedangkan menurut Musfiqon (2012), media
pembelajaran dapat diidentifikasikan sebagai alat bantu baik berupa fisik maupun
nonfisik yang sengja digunakan sebagai perantara antara guru dan siswa dalam
memahami materi pembelajaran agar lebih efektif dan efisien.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa
media pembelajaran adalah segala sesuatu yang berbentuk fisik ataupun nonfisik
untuk menyalurkan materi pembelajaran dari guru kepada siswa untuk mencapai
pembelajaran yang efektif dan juga efisien.
b. Komponen Media Pembelajaran
Bagi seorang pelajar perlu memahami berbagai karakteristik media dengan
terlebih dulu mempelajari ciri umum media, klasifikasi media, dan jenis media
pembelajaran yang digunakan, sehingga memudahkan untuk menggunakan media
tersenut dalam proses pembelajaran di kelas.
Media pembelajaran identik artinya dengan pengertian keperagaan yang
berasal dari raga yaitu suatu bentuk yang dapat diraba, dilihat, didengar, diamati
melalui panca indera. Tekanan utama media adalah terletak pada benda atau hal-
hal yang dilihat (visual), didengar (audio), dan diraba. Media pembelajaran
digunakan dalam rangka hubungan (komunikasi) dalam proses pembelajaran
antara pengajar dan pembelajar. Media pembelajaran adalah semacam alat bantu
dalam proses pembelajaran, baik dikelas maupun diluar kelas. Dalam pengertian
lain, media pembelajaran merupakan suatu perantara (medium, media) dan
digunakan dalam rangka pendidikan dan pengajaran. Dengan demikian, media
pembelajaran mengandung aspek sebagai alat dan teknik yang sangat erat
kaitannya dengan metode mengajar (Sanaky, 2013).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Dari ciri-ciri yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan media pembelajaran adalah sarana, metode, teknik, untuk lebih
mengektifkan komunikasi dan interaksi antara pengajar dengan pembelajar dalam
proses pembelajaran di kelas. Jadi, media adalah sebuah alat yang mempunyai
fungsi menyampaikan pesan. Media pembelajaran adalah sebuah alat yang
berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Sedangkan pembelajaran
adalah proses komunikasi antara pembelajar, pengajar, dan bahan ajar.
Komunikasi tidak akan berjalan dengan baik, tanpa ada bantuan sarana penyampai
pesan atau yang disebut media (Sanaky. 2013).
c. Klasifikasi Media Pembelajaran
Sanaky (2013) menjelaskan bahwa pengertian dan luang lingkup media
pembelajaran tidak hanya berupa audio, visual, audiovisual saja, sikap dan prilaku
guru pun juga berpengaruh dalam hal ini. Berikut ini klasifikasi media
pembelajaran:
1) Bahan-bahan yang mengutamakan kegiatan membaca atau dengan
menggunakan simbol-simbol kata dan visual berupa bahan-bahan cetakan
dan bacaan.
2) Alat-alat audio-visual, alat-alat yang tergolong ke dalam kategori ini yaitu:
a) Media proyeksi, seperti: OHP, slide, film, dan LCD.
b) Media non proyeksi, seperti: papan tulis, poster, papan tempel,
kartun, papan planel, komik, bagan diagram, gambar, grafik, dll
c) Benda tiga dimensi antara lain benda tiruan, diorama, boneka,
topeng, lembaran balik, peta, globe, pameran, dan musem sekolah
3) Media yang menggunakan teknik atau masinal, yaitu slide, film strip, film
rekaman, radio, televisi, video, VCD, laboratorium elektronik, perkakas
otoinstruktif, ruang kelas otomatis, sistem interkomunikasi, komputer
internet.
4) Contoh-contoh kelakuan, perilaku pengajar. Pengajar memberi contoh
perilaku atau suatu perbuatan. Misalnya, mencontohkan suatu perbuatan
dengan gerakan tangan dan kaki, gerakan badan, mimik, dan lain-lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Media pembelajaran dalam bentuk ini, sangat tergatung pada inisitif,
rekayasa, dan kreasi pengajar itu sendiri. “Jenis media seperti ini, hanya
dapat dilihat dan ditirukan oleh pembelajar”.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa macam serta jenis media
pembelajaran sangat bervariasi dan banyak. Keefektivan penggunaan media dapat
dicapai jika individu pengguna media memiliki pengetahuan dalam memilih,
menyampaikan, dan medisain media. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
media pembelajaran itu sendiri dengan tujuan pembelajaran, metode, materi
pembelajaran, dan kondisi pembelajaran. Sebab, kemampuan kreaktivitas guru
dalam memilih, menyampaikan, dan mendiain media ajar merupakan hal wajib
dimiliki oleh setiap guru, karena merupakan tuntunan dari kompetensi
profesionalisme guru itu sendiri (Sanaky, 2013).
B. Kajian Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang memiliki kesamaan dengan penelitian mengenai
pengembangan peta toponim wilayah Surakarta dengan pendekatan Edusemiotik
untuk meningkatkan kecerdasan sosial siswa dapat diamati dalam penjelasan
berikut:
Penelitian Alin Olteanu, Maria Kambouri, Andrew Stables (2016) yang
berjudul Predicating from an Early Age: Edusemiotics and the Potential of
Children’s Preconceptions. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menggambarkan kompatibilitas dengan menganalisis temuan dari penelitian
konstruktivis empiris dari perspektif semiotika Charles Peirce. Penelitian spesifik
berfokus pada pemahaman bagaimana guru menanggapi prasangka anak-anak.
Model penelitian ini yaitu penelitian deskriptif yang dirancang dengan
menggunakan paradigma penelitian kualitatif. Artikel ini menunjukkan bagaimana
semiotika dan konstruktivisme saling berinteraksi dalam pendidikan, tetapi
mereka tidak identik. Kesesuaian antara dua paradigma ini didirikan pada asumsi
realis bahwa pemahaman kita tentang dunia, pada saat tertentu, didasarkan pada
pemahaman sebelumnya dan bahwa tidak ada yang dipelajari dalam kondisi
tabula rasa. Konstruktivisme berkembang dalam arah yang rasional pada waktu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
tertentu, dengan memberikan status ontologis yang tepat pada apa yang dapat
dibangun oleh pikiran. Dalam latar belakang filosofi dualis, pemecatan asumsi
tabula rasa mengarah pada rasionalisme: jika kita tidak mulai dari kosong, maka
tersirat bahwa kita mulai dengan beberapa konsep yang apriori dan alami. Jika
semua pengetahuan dibangun di atas sesuatu, konsep apriori (bawaan)
diasumsikan. Semiotik dapat mengintegrasikan kembali konstruktivisme dalam
kerangka non-dualisnya. Dengan demikian, dengan pemahaman bahwa
pengetahuan tidak tetap dan itu milik lingkungan berkembang organisme
berkembang, akuisisi pengetahuan dipahami sebagai tindakan interpretasi, dan,
seperti adaptasi. Kesamaan penelitian terletak pada tema semiotika yang
digunakan. Perbedaan terletak pada topik penelitian. Peneliti menggunakan bagian
cabang semiotika yakni edusemiotik dalam pembelajaran sejarah.
Penelitian Tyas Fernanda, Leo Agung S, Sariyatun (2018) yang berjudul
The Effectiveness of Historical Teaching Material Based on Problem Based
Learning (PBL) to Improve the Senior High School Students Ability of Historical.
Tujuan penelitian adalah untuk menguji bahan ajar dalam meningkatkan
kemampuan eksplanasi siswa SMA di Lawang Kidul. Penelitian ini menggunakan
metode pengembangan Research and Development (R & D) yang mengacu pada
desain pengembangan ADDIE. Eksplanasi sejarah memainkan peran yang sangat
penting dalam metodologi sejarah. Eksplanasi sejarah yang baik diharapkan
mempermudah siswa untuk memahami, intepretasi dan memaknai nilai-nilai dari
peristiwa-peristiwa sejarah. Berdasarkan hasil uji perbedaan uji kesetaraan, uji
peningkatan dan uji efektivitas kemampuan eksplanasi siswa, ditemukan
perbedaan hasil uji t penjelasan historis, 1) persamaan uji t diperoleh nilai sebesar
-541 dengan tingkat signifikansi sama dengan 0,590 lebih besar dari 0,05 (0,590>
0,05), 2) peningkatan diketahui bahwa t-hitung <-2,045, sedangkan nilai
signifikansi <0,05, yaitu 0,00 <0,05, 3) t tes diperoleh nilai sebesar 4,510 dengan
tingkat signifikansi 0,00 <0,025. Berdasarkan hasil uji efektivitas yang telah
dilakukan, ada perbedaan dalam peningkatan kemampuan eksplanasi sejarah di
kelas eksperimen. Kelas XI IPS C menggunakan materi sejarah sistem
pemerintahan kolonial Belanda di Palembang disertai dengan model pembelajaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
PBL dalam penerapannya. Sebagai kelas kontrol, kelas XI IPS B hanya
menggunakan buku teks. Kesamaan penelitian terletak pada metode penelitian dan
pengembangan yang digunakan. Perbedaan terletak pada produk yang
dikembangkan serta basis pengembangannya.
Penelitian Novita Mujiyati, Warto, Leo Agung S (2017) yang berjudul The
Strategies to Improve Social Solidarity of Senior High School Students through
History Module based on Problems. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan strategi dan efektivitas modul sejarah berdasarkan permasalahan
dalam meningkatkan solidaritas Siswa SMA. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kombinasi antara metode kualitatif dan kuantitatif yang
mengacu pada desain metode campuran sekuensial eksploratif. Efektivitas modul
berbasis masalah dapat dilihat dari peningkatan hasil pretest dan posttest dalam
kelompok eksperimen yang menggunakan modul sejarah berbasis masalah dan
kelompok kontrol yang tidak menggunakan modul. Berdasarkan hasil olahan data,
hasil yang diperoleh dalam uji normalitas menunjukkan kedua kelompok
memperoleh nilai signifikan >0,05, artinya kedua kelompok menggunakan
distribusi normal. Selanjutnya, data dari kuesioner yang diisi oleh siswa, akan
menentukan tingkat solidaritas sosial siswa melalui uji efektivitas. Data dalam
pengujian efektivitas adalah hasil dari kuesioner posttest solidaritas sosial antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil pengujian efektifitas
solidaritas sosial siswa adalah tes F = 1,447 dengan tingkat signifikansi 0,235>
0,05. Kesamaan penelitian terletak pada tema yang digunakan sebagai variabel y
dalam penelititan. Perbedaan terletak pada metode, produk yang dikembangkan
serta basis pengembangannya.
Penelitian I Gusti Ngurah Hari Saputra, Soetarno Joyoatmojo, Harini
Harini (2018) yang berjudul The Implementation of Project-Based Learning
Model and Audio Media Visual Can Increase Students’ Activities. Penelitian ini
bertujuan untuk menyelidiki apakah penggunaan pembelajaran berbasis proyek
yang dibantu oleh media audio visual dapat meningkatkan aktivitas siswa.
Penelitian ini menggunakan model penelitian campuran yang memuat pendekatan
kualitatif dan kuantitatif. Hasil menunjukkan bahwa siswa sangat aktif dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
memberikan kontribusi yang sangat besar selama proses pembelajaran. Hal ini
terjadi karena pembelajaran disajikan menggunakan metode pembelajaran
berbasis proyek dengan media audio visual yang mengharuskan siswa untuk
berpikir dan bertindak sendiri dengan bimbingan guru yang bertindak sebagai
fasilitator, sehingga siswa dapat mengalami pengalaman belajar individu dan
kelompok mereka sendiri. Peningkatan kegiatan pembelajaran ditinjau dari setiap
aspek di SMAK Suria Atambua kelas XI IPS yaitu: 41,41% untuk pra tindakan,
siklus I mencapai 61,09% dan siklus II mencapai 78,91%. Di SMA Negeri 1 kelas
XI IPS 2, nilai pra tindakan adalah 42,59%, siklus I mencapai 62,45% dan siklus
II mencapai 82,49%. Kesamaan penelitian terletak pada produk yang berbasis
teknologi yang digunakan. Perbedaan terletak pada metode, produk yang
dikembangkan serta basis pengembangannya.
Penelitian I Putu Adi Saputra, Sariyatun, Akhmad Arif Musadad (2018)
yang berjudul Reinforcement of Dharma Gita Bali Values in Historical Learning
to Improve Student’s Tolerace Attitude. Tujuan penelitian ini adalah untuk
merumuskan suatu inovasi dalam proses pembelajaran dengan mengintegrasikan
nilai-nilai lokal dan pembelajaran historis melalui model pembelajaran CTL.
Metode kualitatif deskriptif dengan studi literatur digunakan dalam penelitian ini
untuk menganalisis nilai-nilai Dharma Gita, integrasi nilai-nilai Dharma Gita ke
dalam proses pembelajaran, dan kerangka konseptualnya dalam pembelajaran
sejarah, terutama dalam hubungannya dengan peningkatan toleransi siswa.
Pembentukan karakter siswa dapat dilakukan melalui pendidikan nilai dalam
pembelajaran sejarah. Nilai-nilai yang diajarkan kepada siswa dapat berupa nilai-
nilai lokal yang tentu saja merupakan bagian dari kehidupan para siswa dalam
kehidupan sehari-hari. Dharma Gita mengajarkan bimbingan moral sebagai
bagian dari pendidikan karakter. Bimbingan moral Dharma Gita dapat
digolongkan ke dalam etika pribadi, karena itu adalah panduan etis yang lebih
diarahkan sendiri. CTL memiliki nilai karakter yang dapat dikembangkan dan
dikirimkan ke siswa. CTL terdiri dari nilai-nilai kerja keras, keingintahuan,
kreativitas, kemandirian, tanggung jawab, dan kesadaran lingkungan sosial. Oleh
karena itu, CTL yang didasarkan pada nilai-nilai karakter adalah strategi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
pembelajaran yang tepat yang menekankan pada transformasi sikap siswa.
Berdasarkan pada subjek pembelajaran yang telah dipikirkan di kelas, CTL
mempromosikan siswa untuk mengaktualisasikan pengetahuan yang telah
dipikirkan di kelas untuk kehidupan sehari-hari mereka. Selanjutnya,
pembelajaran sejarah berdasarkan CTL dan nilai-nilai Dharma Gita diharapkan
dapat memberikan dampak positif terhadap karakter siswa, terutama pada sikap
toleransi siswa. Kesamaan penelitian terletak pada tema yang digunakan sebagai
variabel y dalam penelititan. Perbedaan terletak pada metode, produk yang
dikembangkan serta basis pengembangannya.
Penelitian Rizqa Ayu Ega Winayu, Leo Agung S, Djono (2018) yang
berjudul The Media Literacy in 21st Century: Role of Teacher in Historical
Learning. Penelitian ini mencoba menjelaskan tentang literasi media pada abad
ke-21. Selain itu penelitian ini juga tertarik untuk memfokuskan penjelasan
tentang kondisi, hambatan, dan bagaimana peran guru dalam literasi media abad
ke-21, khususnya dalam proses pembelajaran sejarah. Karena literasi media di
abad 21 sebenarnya menawarkan konsep mendidik siapa pun dalam berurusan
dengan media. Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif. Metode
kualitatif digunakan agar diperoleh data mendalam, khususnya dalam aspek
makna. Guru tidak lagi bergantung pada buku teks pemerintah sebagai satu-
satunya sumber pembelajaran. Program literasi yang diprakarsai oleh pemerintah,
yaitu Gerakan Literasi Sekolah mencakup beberapa komponen: literasi dasar,
media, perpustakaan, teknologi, dan visualisasi. Literasi media saat ini, dalam
pemahaman penulis, adalah semua hal yang berkaitan dengan media, televisi,
radio, surat kabar, dan internet. Itu karena abad ke-21 dikaitkan dengan
perkembangan kecanggihan teknologi. Kesamaan penelitian terletak pada produk
berbasis teknologi yang digunakan. Perbedaan terletak pada metode, produk yang
dikembangkan serta basis pengembangannya.
Penelitian Tse-Kian Neo & Mai Neo (2004) yang berjudul Integrating
multimedia into the Malaysian classroom: Engaging students in interactive
learning. Tujuan dari penelitian ini untuk menerapkan teknologi multimedia ke
dalam arena pendidikan. Bahan pendidikan tradisional dapat diterjemahkan ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
dalam bentuk elektronik interaktif melalui penggunaan alat multimedia. Penelitian
ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 88,6% dari siswa sangat baik terhadap penggunaan teknologi dalam
pengajaran (rata-rata = 4,42), 88,7% berpendapat penggunaan media tepat dalam
menjelaskan konsep (mean = 4,3), 84,9% mengemukakan modul kuliah sangat
menstimulus ( mean = 4.11), 88.7% mengemukakan informasi yang disajikan
jelas dan ringkas (rata-rata = 4.19), 90.6% berpendapat tampilan modul mudah
dimengerti (rata-rata = 4.23), dan 83.1% puas dengan jumlah informasi yang
diterima dalam modul. Kesamaan penelitian terletak pada produk berbasis
teknologi yang digunakan. Perbedaan terletak pada metode, produk yang
dikembangkan serta basis pengembangannya ruang kelas.
Penelitian Aubrey Golightly (2016) yang berjudul The Digital Versatile
Disc as a Learning Support Medium in the Teaching and Learning of Map Work.
Tujuan penelitian ini untuk megetahui tanggapan siswa terhadap pemanfaatan
DVD dalam pendidikan di Afrika. Penelitian ini merupakan penelitian dengan
pendekatan kualitatif (naturalistik). Mayoritas responden (empat belas) sangat
optimis mengenai pengoperasian pemutar DVD dan penggunaan DVD sebagai
media pendukung pembelajaran untuk pekerjaan peta. Hanya dua responden
menunjukkan disposisi pesimis dalam hal ini. Semua responden menyoroti bahwa
penilaian diri dari kegiatan pembelajaran, melalui klip video dan audio pada DVD
mendorong pembelajaran yang berarti. Alasan disposisi positif peserta didik
seperti yang ditunjukkan dalam kuesioner dan selama wawancara bahwa setelah
menyelesaikan kegiatan pembelajaran, peserta didik dapat langsung menilai usaha
mereka. Semua responden setuju bahwa partisipasi aktif selama proses
pembelajaran disediakan untuk pembelajaran yang bermakna. Dari pengamatan
itu terbukti bahwa para siswa secara pasif menunggu instruksi guru selama dua
minggu pertama proyek. Selain itu, pelajar awalnya mendengarkan sisipan video
dan membaca teks elektronik tanpa mencatat atau mendiskusikan informasi ini
dengan sesama peserta didik. Ekspektasi peserta didik dengan demikian pada
awalnya setuju dengan pendekatan pengajaran langsung tradisional, yang
dicirikan oleh guru yang menyampaikan semua informasi kepada peserta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Kesamaan penelitian terletak pada produk berbasis teknologi yang digunakan.
Perbedaan terletak pada metode, produk yang dikembangkan serta basis
pengembangannya.
Penelitian Yung-hsun Cheng and Chia-wen weng (2017) yang berjudul
Factors influence the digital media teaching of primary school teachers in a
flipped class: A Taiwan case study. Penelitian ini dilakukan dengan survei
kuesioner yang dibuat dari studi tinjauan literatur. Kesamaan penelitian terletak
pada produk berbasis teknologi yang digunakan. Perbedaan terletak pada metode
pengembangan produk, produk yang dikembangkan serta basis pengembangannya
Penelitian Andrew Stables (1998) yang berjudul Proximity and Distance:
Moral Education and Mass Communication. Penelitian ini berusaha untuk
membuat dua poin utama, bahwa masalah moral selalu dapat diinterpretasi
sebagai masalah kedekatan dan jarak, bahwa komunikasi massa telah
menghadirkan orang-orang muda dengan banyak dilema moral baru tanpa
mendorong mereka untuk berpikir melalui sikap mereka kepada mereka.
Penelitian ini yaitu penelitian deskriptif yang dirancang dengan menggunakan
paradigma penelitian kualitatif. Sekolah dan perguruan tinggi memiliki peran
kunci untuk dimainkan dalam membantu siswa untuk membuat pengertian moral
dari massa informasi yang sekarang tersedia bagi mereka. Ini menyiratkan
tanggung jawab tiga kali lipat bagi pendidik: untuk menginformasikan tentang
komunikasi massa, untuk mendorong tindakan penalaran moral dalam kaitannya
dengan komunikasi massa, dan untuk mendorong tindakan bernalar secara moral
dalam kaitannya dengan yang dikeluarkan oleh komunikasi massa. Hal ini dibuat
lebih menantang oleh relativisasi moral yang mungkin sendiri merupakan bagian
dari komunikasi massa, sehingga tidak ada lagi jawaban yang benar. Kesamaan
penelitian terletak pada tema sosial yang digunakan sebagai variabel y dalam
penelititan. Perbedaan terletak pada metode, produk yang dikembangkan serta
basis pengembangannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
C. Kerangka Berfikir
Kebutuhan Kecerdasan Sosial
untuk menghadapi era
Globalisasi (abad 21)
Penelitian Pendahuluan :
• Minimnya ketersediaan peta Sejarah
• Keterbatasan guru dalam membuat dan
mengembangkan media ajar
• Kurangnya media peta digital
• Kecerdasan sosial siswa perlu
dimaksimalkan
• Toponim wilayah Surakarta sebagai
sejarah lokal belum diintegrasikan
dalam pembelajaran
Penerapan inovasi pendidikan
(laptop) dalam aktivitas
pembelajaran
Pengembangan Peta Digital Toponim Wilayah Surakarta
dengan Pendekatan Edusemiotik untuk Meningkatkan
Kecerdasan Sosial Siswa MAN I Surakarta
Produk Final “Peta Digital Toponim Wilayah Surakarta”
Draft Awal Peta Digital
Uji Produk
Evaluasi
Efektif
Tidak Efektif
Uji Efektifitas
produk dalam
meningkatkan
Kecerdasan
Sosial
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
D. Model Hipotetik
Pengembangan Peta Digital Toponim Wilayah Surakarta dengan
Pendekatan Edusemiotik untuk Meningkatkan Kecerdasan Sosial Siswa
MAN 1 Surakarta
Develop
Implement Peta digital Toponim Wilayah Surakarta dengan
pendekatan Edusemiotik
Implementasi dalam
Kelas
Evaluate Pre Test
Kelas
Kontrol
Kelas
Eksperimen Post Test
Analysis 1 Analisis Kebutuhan Guru
2 Analisis Kebutuhan Siswa
3 Analisis Kecerdasan Sosial
Design Penentuan Kriteria Media Dan Materi
Pembelajaran
Draft Awal Peta Digital
Uji Coba
Terbatas
Uji Coba
Kel. Luas
Draft
Final
Peta
Digital Uji Coba
Kecil
ValidasiAhli
(Ahli Materi dan
Ahli Media)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user