bab iii asas konsensualitas dalam akad jual beli pasal 1458 kuh perdata a. ketentuan umum tentang...

23
BAB III ASAS KONSENSUALITAS DALAM AKAD JUAL BELI PASAL 1458 KUH PERDATA A. Ketentuan Umum tentang Perikatan Hukum Perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata yang memuat azas-azas umum dalam empat bab (titel) dan ketentuan-ketentuan khusus dalam limabelas bab. 1 Buku III KUH Perdata berjudul "van verbintenissen". Istilah verbintenis dalam KUH Perdata merupakan salinan istilah obligation dalam Code Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah obligation. 2 Istilah verbintenis dalam KUH Perdata ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam kepustakaan hukum Indonesia. Ada yang menterjemahkan dengan perutangan, 3 ada yang menterjemahkan dengan perjanjian, 4 dan ada pula yang menterjemahkan dengan perikatan. 5 Penggunaan istilah perikatan untuk verbintenis nampaknya lebih umum dipergunakan dalam kepustakaan hukum Indonesia. 1 RM.Suryodiningrat, Azas-Azas Hukum Perikatan, Bandung: Tarsito, 1985 hlm. 11 2 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan, Surabaya: Bina Ilmu, 1979, hlm. 10. 3 Ny. Sri Soedewi M. Sofwan, Hukum Perutangan, terjemahan Verbintenissenrecht bagian dari Inleiding Nederlands Burgerlijk Rccht oleh Mr. Dr. HFA Vollmar, Yogyakarta: Seksi Hukum Perdata Fak. Hukum UGM, 1975, hlm 37 dan lihat buku E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ikhtiar, cet. IV, 1957, hlm. 252. 4 Achmad Ichsan , Hukum Perdata IB, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, hlm. 7 dan 14. 5 Subekti dan R. Tjiptasudibio, Kitab Unidang-undang Hukum Perdata terjemahan Burgerlijk Wetboek. Mariam Danu Badrul-zaman, Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983. 33

Upload: lynhu

Post on 23-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB III

ASAS KONSENSUALITAS DALAM AKAD JUAL BELI PASAL 1458 KUH

PERDATA

A. Ketentuan Umum tentang Perikatan

Hukum Perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata yang memuat

azas-azas umum dalam empat bab (titel) dan ketentuan-ketentuan khusus

dalam limabelas bab.1

Buku III KUH Perdata berjudul "van verbintenissen". Istilah

verbintenis dalam KUH Perdata merupakan salinan istilah obligation dalam

Code Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal

dengan istilah obligation.2

Istilah verbintenis dalam KUH Perdata ternyata diterjemahkan

berbeda-beda dalam kepustakaan hukum Indonesia. Ada yang

menterjemahkan dengan perutangan,3 ada yang menterjemahkan dengan

perjanjian,4 dan ada pula yang menterjemahkan dengan perikatan.5

Penggunaan istilah perikatan untuk verbintenis nampaknya lebih umum

dipergunakan dalam kepustakaan hukum Indonesia.

1 RM.Suryodiningrat, Azas-Azas Hukum Perikatan, Bandung: Tarsito, 1985 hlm. 11 2 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan, Surabaya: Bina Ilmu, 1979, hlm.

10. 3Ny. Sri Soedewi M. Sofwan, Hukum Perutangan, terjemahan Verbintenissenrecht

bagian dari Inleiding Nederlands Burgerlijk Rccht oleh Mr. Dr. HFA Vollmar, Yogyakarta: Seksi Hukum Perdata Fak. Hukum UGM, 1975, hlm 37 dan lihat buku E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ikhtiar, cet. IV, 1957, hlm. 252.

4 Achmad Ichsan , Hukum Perdata IB, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, hlm. 7 dan 14.

5 Subekti dan R. Tjiptasudibio, Kitab Unidang-undang Hukum Perdata terjemahan Burgerlijk Wetboek. Mariam Danu Badrul-zaman, Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983.

33

34

Menurut ketentuan pasal 1233 UW perikatan bersumber dari

perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari perjanjian

diatur dalam titel II (pasal 1313 s/d 1351) dan titel V s/d XVIII (pasal 1457 s/d

1864) Buku III BW. Scdangkan perikatan yang bersumber dari undang-

undang diatur dalam titel III (pasal 1352 s/d 1380) Buku III BW.

Perikatan yang bersumber dari undang-undang menurut pasal 1352

BW dibedakan atas perikatan yang lahir dari undang-undang saja (uit de wet

allen) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia

(uit de wet door's mensen toedoen).

Kemudian perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan

manusia menurut pasal 1353 BW dibedakan lagi atas perbuatan yang sesuai

dengan hukum (rechtmatige) dan perbuatan yang melawan hukum

(onrechtmatige).

Sumber-sumber perikatan dan pembeda-bedaannya tersebut dapat

dischemakan sebagai berikut ini.

Perikatan 1233 BW Bersumber dari

1. Perjanjian 1313 BW

2. Undang-undang 1352 BW terbagi dua

a. Undang-undang saja

b. Undang-undang karena perbuatan manusia 1353 BW terbagi dua:

- Perbuatan yang sesuai dengan hukum (rechtmatige) 1354

(zaakwaarneming) dan 1359 (onverschuldigde betaling)

35

- Perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige) (pasal 1365 s/d

1380)

Diephuis, Asser dan Suyling sebagaimana dikutip R. Soetojo

Prawirohamidjojo dalam Hukum Perikatan mengatakan bahwa antara

perikatan yang bersumber pada perjanjian dan perikatan yang bersumber pada

undang-undang pada hakikatnya tidak ada perbedaan, sebab semua perikatan

meskipun bersumber pada perjanjian pada hakikatnya baru mempunyai

kekuatan sebagai perikatan karena diakui oleh undang-undang dan karena

mendapat sanksi dari undang- undang.6

Meskipun demikian menurut penulis-penulis yang lebih muda seperti

Van Brakel, Losecaat - Vermeer dan Hofmann - Opstaal, kedua macam

perikatan itu tetap ada perbedaannya. Pada perikatan yang bersumber dari

undang-undang, perikatan itu diciptakan secara langsung karena suatu keadaan

tertentu perbuatan atau kejadian dan memikulkan suatu kewajiban dengan

tidak menghiraukan kehendak orang yang harus memenuhinya. Sedangkan

pada perikatan yang bersumber dari perjanjian, meskipun mendapat sanksi

dari undang-undang, tetapi keharusan untuk memenuhi kewajiban barulah

tercipta setelah yang bersangkutan yang harus memenuhinya memberikan

persetujuannya atau menghendakinya.7

Vollmar, Pitio, H. Drion dan Meyers dalam ajaran umumnya

menyatakan bahwa tidak ada pertentangan (tegenstelling) yang hakiki antara

perikatan yang bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari

6 R. Soetojo Prawirohainidjojo, op. cit, hlm. 20 7 Ibid.

36

undang-undang. Sebab pada akhirnya selalu undang-undang yang memberi

sanksinya meskipun yang menjadi sumbernya perjanjian. Namun demikian

tidak perlu ada keberatan terhadap pembagian yang diadakan pasal 1233 BW

itu.8

Para ahli hukum perdata pada umumnya sependapat bahwa sumber

perikatan sebagaimana disebut pasal 1233 BW yaitu perjanjian dan undang-

undang adalah kurang lengkap. Sumber perikatan yang lain adalah Ilmu

Pengetahuan Hukum Perdata, hukum tidak tertulis dan keputusan hakim

(yurisprudensi).9

Namun sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab

dengan melalui perjanjian pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk membuat

segala macam perikatan, baik perikatan yang bernama yang tercantum dalam

titel V s/d XVIII Buku III BW maupun perikatan, yang tidak bernama. Hal ini

sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (contract vrijheid) sebagai salah satu

asas yang menjadi dasar lembaga-lembaga hukum yang disebutkan pada titel

V s/d XVI II sebagai perjanjian bernama, pun menjadi dasar lembaga-lembaga

hukum yang tidak disebutkan di dalam titel-titel itu sebagai perjanjian yang

tidak bernama.

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa

setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi

8 Ibid, hlm 22. 9 Mariam Darus Badrulzaman op. cit, hlm. 10.

37

dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan

dan ketertiban umum.10

Asas kebebasan berkontrak itu dituangkan oleh pembentuk undang-

undang dalam pasal 1338 ayat (1) BW. Dalam hukum perdata asas kebebasan

berkontrak yang dianut Buku III BW ini merupakan sistim (materiil) terbuka

sebagai lawan sistem (materiil) tertutup yang dianut Buku II BW (Hukum

Benda).11

Bahwa dengan kebebasan membuat perjanjian tersebut berarti orang

dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur dalam Buku III

BW akan tetapi diatur sendiri dalam pcrjanjian, sebab perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya

(pasal 1338 ayat (1) BW). Namun kebebasan berkontrak bukan berarti boleh

membuat kontrak (perjanjian) secara-bebas, tetapi kontrak (perjanjian) harus

tetap dibuat dengan mengindahkan syarat-syarat untuk sahnya perjanjian, baik

syarat umum sebagaimana disebut pasal 1320 BW maupun syarat khusus

untuk perjanjian-perjanjian tertentu.

Dengan adanya kebebasan berkontrak maka kedudukan rangkaian

pasal-pasal Buku III BW khususnya pasal-pasal pada titel V s/d XVIII banyak

yang hanya bersifat sebagai hukum pelengkap (nanvallend recht) saja. Artinya

pasal-pasal tersebut boleh dikesampingkan sekiranya para pihak pembuat

perjanjian menghendakinya, dan para pihak pembuat perjanjian diperbolehkan

menciptakan ketentuan sendiri untuk mengatur kepentingan mereka sesuai

10 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, cet. VI, 1979, hlm. 13 11 Ibid.

38

dengan apa yang mereka kehendaki. Pasal-pasal tersebut baru mengikat

terhadap mereka, jika mereka tidak mengatur sendiri kepentingannya atau

mengaturnya dalam perjanjian tetapi tidak lengkap, maka soal-soal yang tidak

diatur tersendiri itu diberlakukan pasal-pasal hukum perikatan.

Selanjutnya dengan adanya asas kebebasan berkontrak itu maka

perjanjian-perjanjian khusus yang disebut pada titel V s/d XVIII yang dikenal

dengan sebutan perjanjian-perjanjian bernama itu hanyalah sebagai contoh

belaka. Karenanya orang boleh membuat perjanjian yang lain daripada contoh

tersebut atau membuatnya secara sama dengan salah satu daripadanya sesuai

dengan kebutuhan untuk apa perjanjian termaksud dibuat.

Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tapi

dirumuskan sedemikian rupa dalam ilmu pengetahuan hukum. Perikatan

adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan,

dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain

(debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu.

Berdasarkan pengertian perikatan di atas ini maka dalam satu perikatan

terdapat hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain. Jadi dalam perjanjian

timbal-balik dimana hak dan kewajiban di satu pihak saling berhadapan di

pihak lain terdapat dua perikatan. Hak dan kewajiban tersebut merupakan

akibat hubungan hukum yaitu hubungan yang diatur oleh hukum. Hubungan

antara dua orang, misalnya janji untuk bersama-sama pergi ke kampus,

meskipun menurut moral atau kesopanan menimbulkan hak dan kewajiban,

39

namun bukanlah perikatan dalam pengertian hukum, sebab hak dan kewajiban

tersebut bukan lahir dari hubungan hukum.

Namun tidak berarti semua hubungan yang diatur oleh hukum

dianggap sebagai perikatan dalam pengertian hukum. Untuk menentukan

apakah suatu hubungan hukum merupakan perikatan dalam pengertian hukum

atau tidak, pada mulanya para sarjana mempergunakan ukuran "dapat tidaknya

dinilai dengan uang". Bilamana suatu hubungan hukum, hak dan kewajiban

yang ditimbulkannya dapat dinilai dengan uang, maka hubungan hukum

tersebut adalah perikatan.12

Akan tetapi ukuran tersebut lama kelamaan tidak dapat dipertahankan

lagi, karena dalam kehidupan masyarakat yang senantiasa berkembang dan

berubah, ternyata seringkali terjadi hubungan hukum yang tidak dapat dinilai

dengan uang. Misalnya tercemarnya nama baik atau cacat tubuh seseorang

karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) orang lain. Sekiranya

terhadap hubungan-hubungan hukum yang demikian ini tidak diberi akibat

hukum, maka akan dirasakan ketidak-adilan, yang justru bertentangan dengan

apa yang menjadi tujuan hukum yaitu ingin mencapai keadilan.

Kenyataan inilah yang menyebabkan ukuran "dapat dinilai dengan

uang" tidak lagi dipertahankan untuk menyatakan hubungan hukum sebagai

perikatan. Namun hal ini tidak berarti bahwa ukuran dapat dinilai dengan uang

tidak digunakan, karena hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang

12 R. Soetojo Prawirohainidjojo, op. cit.hlm. 11; Mariam Darus Badruzaman, KUH

Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 3

40

selalu merupakan perikatan. Akan tetapi hubungan hukum yang tidak dapat

dinilai dengan uang tidak dapat dengan pasti dikatakan bukan perikatan.

Sebab sekalipun hubungan hukum tersebut tidak dapat dinilai dengan

uang, akan tetapi kalau "rasa keadilan masyarakat" menghendaki agar

hubungan hukum itu diberi akibat hukum, maka hubungan hukum itupun

dapat dikatakan sebagai perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban yang

pemenuhannya dapat dipaksakan.13

Bahwa hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban dalam

perikatan tersebut adalah antara dua pihak. Pihak yang berhak atas prestasi

(pihak yang aktif) adalah kreditur atau orang yang berpiutang. Sedangkan

pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi (pihak yang pasif) adalah debitur

atau orang yang berhutang. Kreditur dan debitur inilah yang disebut subyek

perikatan.

Dalam hukum perdata" ditentukan bahwa pihak debitur orangnya harus

selalu diketahui identitasnya oleh kreditur, karena kreditur tentu tidak dapat

menagih pemenuhan prestasi kepada debitur yang tidak dikenal. Sedangkan

pihak kreditur orangnya tidak harus diketahui identitasnya oleh debitur.

Sehingga oleh karenanya penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak,

sedangkan penggantian debitur hanya dapat terjadi dengan sepengetahuan dan

persetujuan kreditur. Kalau tidak dengan cara demikian ini bisa saja nanti

13 Ibid.

41

debiturnya justru tidak mampu untuk melaksanakan kewajibannya sehingga

menimbulkan kerugian terhadap kreditur.14

Obyek perikatan yang merupakan hak kreditur dan kewajiban debitur

biasanya dinamakan "prestasi". Menurut pasal 1234 KUH Perdata prestasi ini

dapat berupa "memberi sesuatu", "berbuat sesuatu" dan "tidak berbuat

sesuatu". Apa yang dimaksud dengan "sesuatu" di sini tergantung daripada

maksud atau tujuan daripada para pihak yang mengadakan hubungan hukum,

apa yang akan diberikan, yang harus diperbuat dan tidak boleh diperbuat.

Perkataan "sesuatu" tersebut bisa dalam bentuk materiil (berwujud)

dan bisa dalam bentuk immateriil (tidak berwujud). Perikatan untuk "memberi

sesuatu" diatur dalam Buku III titel II bagian kedua. Sedangkan perikatan

untuk "berbuat sesuatu" dan "tidak berbuat sesuatu" diatur dalam Buku III titel

I bagian ketiga. Prestasi dari suatu perikatan harus memenuhi syarat- syarat

sebagai berikut di bawah ini:

a. Harus diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan dengan undang-

undang, ketertiban umum dan kesusilaan (pasal 1335 dan 1337 KUH

Perdata).

b. Harus tertentu atau dapat ditentukan, artinya harus terang dan jelas (pasal

1320 ayat (3) dan 1333 KUH Perdata).

c. Harus mungkin dilakukan, artinya mungkin dilaksanakan menurut

kemampuan manusia. Jika prestasinya secara obyektif tidak mungkin

dilaksanakan maka tidak akan timbul perikatan. Sedangkan jika

14 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: alumni

1992, hlm. 205

42

prestasinya secara subyektif tidak mungkin dilaksanakan maka tidaklah

demikian. Perbedaan akibat yang terjadi karena ketidakmungkinan

obyektif dan subyektif teriletak pada dasar pemikiran bahwa ketidak-

mungkinan obyektif dapat diketahui oleh semua orang, sehingga kreditur

tidak dapat mengharapkan prestasi itu.

Sedangkan ketidak-mungkinan subyektif tidak diketahui oleh semua

orang, sehingga debitur yang dengan janjinya menimbulkan kepercayaan

bahwa ia mampu melaksanakan prestasi, harus bertanggung jawab dan

bilamana kemudian ternyata wanprestasi maka ia harus membayar ganti

kerugian yang terjadi.15

B. Jual Beli Menurut KUH Perdata

Jual beli adalah suatu perjanjian di mana pihak pihak yang satu

menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas sesuatu barang, sedang pihak

lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya.16

Perkataan jual-beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan

dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli.

Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal-balik itu adalah sesuai

dengan istilah Belanda "koop en verkoop" yang juga mengandung pengertian

bahwa pihak yang satu "verkoopt" (menjual) sedang yang lainnya "koopt"

(membeli). Dalam bahasa Inggeris jual-beli disebut dengan hanya "sale" saja

yang berarti "penjualan" (hanya dilihat dari sudutnya si penjual), begitu pula

15 R. Setiawan SH, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1977, hlm. 5. 16Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta. PT.Intermasa, 1987, hlm. 161

43

dalam bahasa Perancis disebut hanya dengan "vente" yang juga berarti

"penjualan", sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan "Kauf"

yang berarti "pembelian".

Barang yang menjadi obyek perjanjian jual-beli harus cukup tertentu,

setidak-tidaknya dapat ditentukan ujud dan jumlahnya pada saat ia akan

diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. Dengan demikian adalah sah

menurut hukum misalnya jual-beli mengenai panenan yang akan diperoleh

pada suatu waktu dari sebidang tanah tertentu.17

Jual-beli yang dilakukan dengan percobaan atau mengenai barang-

barang yang biasanya dicoba terlebih dahulu, selalu dianggap telah dibuat

dengan suatu syarat-tangguh (pasal 1463 B.W.). Dengan demikian maka jual-

beli mengenai sebuah lemari es, meskipun barang dan harga sudah disetujui,

baru jadi kalau barangnya sudah dicoba dan memuaskan. Begitu pula halnya

dengan jual-beli sebuah pesawat radio atau televisi.

C. Asas Konsensualitas dalam KUH Perdata

Unsur-unsur pokok ("essentialia") perjanjian jual-beli adalah barang

dan harga. Sesuai dengan azas "konsensualitas" yang menjiwai hukum

perjanjian B.W., perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik

tercapainya "sepakat" mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah

setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah.

17 Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1981, hlm. 14

44

Sifat konsensuil dari jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458

yang berbunyi: "Jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak

seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun

barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar".

Apakah yang dinamakan "konsensualitas" itu ? Konsensualitas berasal

dari perkataan "konsensus" yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan

dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu

persesuaian kehendak, artinya: apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah

pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam

"sepakat" tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak

dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya:"setuju", "accoord",

"oke" dan lain-lain sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda-

tangan di bawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa

kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.

Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki

oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah "sama", sebenarnya tidak

tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah "sama dalam

kebalikannya".18

Hal ini dapat dicontohkan, yang satu ingin melepaskan hak miliknya

atas suatu barang asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedang

yang lain ingin memperoleh hak inilik atas barang tersebut dan bersedia

memberikan sejumlah uang yang disebutkan itu sebagai gantinya kepada si

18 Ibid, hlm. 15

45

peinilik barang. Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dari B.W.

menganut azas konsensualitas. Artinya ialah: hukum perjanjian dari B.W. itu

menganut suatu azas bahwa untuk melahirkan perjanjian dengan sepakat saja

dan bahwa perjanjian itu (dan dengan demikian "perikatan" yang ditimbulkan

karenanya) sudah dilahirkan. ada saat atau detik tercapainya konsensus

sebagaimana dimaksudkan di atas.

Dari mana dapat kita ketahui atau kita simpulkan bahwa Hukum

perjanjian KUH Perdata, menganut azas konsensualitas itu? Menurut pendapat

Subekti, azas tersebut harus kita simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal yang

mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari pasal

1338 (1) seperti diajarkan oleh beberapa penulis. Bukankah oleh pasal 1338

(1) yang berbunyi: "Semua perjanjjaan yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya" itu dimaksudkan untuk

menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan

suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada "semua

perjanjian yang dibuat secara sah".19

Apakah yang dinamakan "perjanjian yang (dibuat secara) sah" itu ?

Jawabannya diberikan oleh pasal 1320 yang menyebutkan satu persatu syarat-

syarat untuk perjanjian yang sah itu. Syarat-syarat itu adalah: 1. sepakat, 2.

kecakapan, 3. hal tertentu dan 4. causa (sebab, isi) yang halal. Dengan hanya

disebutkannya "sepakat" saja tanpa dituntutnya sesuatu bentuk-cara

(formalitas) apapun, sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain

19 Ibid

46

sebagainya, dapat kita simpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu,

maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau

berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.20

Adanya yang dinamakan perjanjian-perjanjian "formil" atau pula yang

dinamakan perjanjian-perjanjian "riil" itu merupakan kekecualian. Perjanjian

forinil adalah misalnya perjanjian perdamaian" yang menurut pasal 1851 (2)

KUH Perdata. harus diadakan secara tertulis (kalau tidak maka ia tidak sah),

sedangkan perjanjian riil adalah misalnya perjanjian "pinjam-pakai" yang

menurut pasal 1740 baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi

obyeknya atau perjanjian "penitipan" yang menurut pasal 1694 baru terjadi

dengan diserahkannya barang yang dititipkan.21

Untuk perjanjian-perjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat

saja, tetapi disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan

yang nyata riil). Sudah jelaslah kiranya bahwa azas konsensualitas itu harus

kita simpulkan dari pasal 1320 dan bukannya dan pasal 1338 (1). Dari pasal

yang terakhir ini lazimnya disimpulkan suatu azas lain dari hukum perjanjian

B.W., yaitu adanya atau dianutnya sistim terbuka atau azas kebebasan

berkontrak (beginsel der contractsvrijheid). Adapun cara menyimpulkannya

ialah dengan jalan menekankan pada perkataan "semua" yang ada di muka

perkataan "perjanjian".

Dikatakan bahwa pasal 1338 (1) itu seolah-olah membuat suatu

pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa

20 Ibid, hlm. 16 21 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Intermasa, 1996, hlm. 19

47

saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang.

Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan

"ketertiban dan kesusilaan umum". Sebab apa hukum perjanjian mengambil

azas konsensualitas itu? Diambilnya azas konsensualitas tersebut yang berarti

“perkataan sudah mengikat" adalah menurut Prof. Eggens suatu tuntutan

kesusilaan (zedelijke eis).22

Dikatakan bahwa itu merupakan suatu puncak peningkatan martabat

manusia yang tersimpul didalam pepatah "een man een man, een woord een

woord". Yang dimaksudkan adalah bahwa dengan diletakkannya kepercayaan

pada perkataan orang, si orang ini ditingkatkan martabatnya setinggi-tingginya

sebagai manusia. Memanglah benar apa yang dikatakan oleh Prof. Eggens itu,

bahwa ketentuan bahwa orang harus dapat dipegang perkataannya itu adalah

suatu tuntutan kesusilaan, memang benar bahwa kalau orang ingin dihargai

sebagai manusia ia harus dapat dipegang perkataannya atau ucapannya, namun

bagi Hukum yang ingin menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan

keadilan dalam masyarakat, azas konsensualitas itu merupakan suatu tuntutan

kepastian hukum.

Bahwa orang yang hidup dalam masyarakat yang teratur harus dapat

dipegang perkataan atau ucapannya (dipegang "mulutnya") itu merupakan

suatu tuntutan kepastian hukum yang merupakan satu sendi yang mutlak dari

suatu tata-hukum yang baik. Pasal 1338 (1) yang menyatakan bahwa

perjanjian mengikat sebagai undang-undang tidak memberikan kriterium

22 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Teluk Betung: Anggota IKAPI,

1980, hlm. 243.

48

untuk apa yang dinamakannya perjanjian itu. Apakah untuk perjanjian itu

sudah cukup apabila sudah dicapai sepakat ataukah masih diperlukan syarat-

syarat lain ? Jawaban diberikan oleh pasal l320: cukup apabila sudah tercapai

sepakat (konsensus).23

Inilah yang dinamakan konsensualitas. Kesepakatan berarti

persesuaian kehendak. Namun kehendak yaitu keinginan ini harus dinyatakan.

Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin

diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang

diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak

terbatas pada mengucapkai perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan

memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu,

baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang "menawarkan"

(melakukan "offerte") maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.

Dengan demikian maka yang akan menjadi alat pengukur tentang

tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang

telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada azas

konsensualitas, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensus (dan ini

adalah maha penting karena merupakan saat lahirnya perjanjian yang

mengikat laksana suatu undang-undang), kita terpaksa berpijak pada

pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Dan ini

pula merupakan suatu tuntutan' kepastian hukum.

23 Subekti, Aneka Perjanjian, Op. Cit, hlm. 17.

49

Bukankah dari ketentuan bahwa kita harus berpijak pada apa yang

telah dinyatakan itu timbul perasaan aman pada setiap orang yang telah

membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak mungkin dituntut memenuhi

kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak pernah dinyatakan kepadanya.

Dan apabila timbul perselisihan tentang apakah terdapat konsensus atau tidak

(yang berarti apakah telah dilahirkan suatu perjanjian atau tidak) maka Hakim

atau Pengadilanlah yang akan menetapkannya. Pernyataan timbal-balik dari

kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak dan kewajiban

bertimbal-balik di antara mereka. Apakah semua pernyataan dapat

dipertanggung-jawabkan kepada (menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi)

pihak yang melakukan pernyataan itu? Karena mengenai hal ini tidak kita

ketemukan sesuatu ketentuan dalam undang-undang, maka persoalan itu telah

dipecahkan oleh para sarjana dan oleh yurisprudensi.24

Tuntutan akan adanya sungguh-sungguh suatu perjumpaan kehendak,

memang tidak dapat dipertahankan lagi dalam zaman modern sekarang ini

dimana transaksi transaksi yang besar lazimnya diadakan tanpa hadlirnya para

pihak berhadapan muka, tetapi lewat korespondensi atau lewat perantara-

perantara. Oleh karena itu maka sudah tepatlah bahwa adanya perjumpaan

kehendak (konsensus) itu diukur dengan pernyataan pernyataan yang secara

bertimbal-balik telah dikeluarkan. Adanya konsensus itu malahan sebenarnya

sering "dikonstruksikan" oleh Hakim.25

24 Ibid, hlm, 18. 25 Ibid, hlm. 19

50

Berdasarkan pernyataan-pernyataan bertimbal-balik itu dianggap

bahwa sudah dilahirkan sepakat yang sekaligus melahirkan perjanjian (yang

mengikat seperti undang-undang). Dan sekali sepakat itu dianggap ada, maka

Hakimlah lagi yang akan menafsirkan apa yang telah disetujui, perjanjian apa

yang telah dilahirkan dan apa saja hak dan kewajiban para pihak. Azas

konsensualitas yang terkandung dalam pasal 1320 KUH Perdata. (kalau

dikehendaki: pasal 1320 dihubungkan dengan pasal 1338 ayat 1), tampak jelas

pula dari Perumusan-perumusan Berbagai Macam perjanjian. Kalau kita ambil

perjanjian yanq utama, yaitu jual beli, maka konsensualitas itu menonjol sekali

dari perumusannya dalam pasal 1458 B.W. yang berbunyi:

“Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua pihak, seketika

setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan

harganya, meskipun barang itu belum diserahkan, maupun harganya belum

dibayar"

Jadi suatu persetujuan jual beli itu baru terjadi, jika antara kedua pihak

itu terdapat kata sepakat tentang benda dan harganya. Mengenai benda

setidaknya harus ditentukan macamnya (kualitas) dahulu. Mengenai harganya

mesti ditentukan dengan uang, sebab kalau pembayaran itu dilakukan dengan

benda lain, maka undang-undang menetapkan bahwa hal itu dinamakan

penukaran. Untuk sahnya persetujuan jual beli itu tidak diperlukan bahwa

benda itu telah diserahkan atau harga itu telah dibayar. Perbuatan-perbuatan

ini akibat dari terjadinya persetujuan itu, dan dapat dilakukan kemudian.26

26 Ibid, hlm. 69.

51

D. Studi Pasal Jual Beli Dalam KUH Perdata

Dalam pasal 1457 KUH Perdata ditegaskan jual beli adalah suatu

persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga

yang telah dijanjikan.

Dari pasal tersebut menunjukkan adanya kewajiban pembeli dan

penjual. Kewajiban penjual, bagi pihak penjual ada dua kewajiban utama yaitu

a. menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan.

b. menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung

terhadap cacad-cacad yang tersembunyi.

Kewajiban menyerahkan hak milik. Kewajiban menyerahkan hak milik

meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan

hak milik atas barang yang diperjual-belikan itu dari si penjual kepada si

pembeli.

Oleh karena KUH Perdata mengenal tiga macam barang, yaitu: barang

bergerak, barang tetap dan baranq "tak bertubuh" (dengan mana dimaksudkan

piutang penagihan atau claim''), maka menurut B.W. juga ada tiga macam

penyerahan hak inilik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing

macam barang itu."27

a. Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas barang

itu; lihat pasal 612 yang berbunyi sebagai berikut: "Penyerahan kebendaan

bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang

27 Ibid, hlm. 20-21

52

nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama peinilik, atau dengan

penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada.

Penyerahan tak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang harus diserahkan,

dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang hendak

menerimanya".

Dari ketentuan tersebut diatas dapat kita lihat adanya kemungkinan

menyerahkan kunci saja kalau yang dijual adalah barang-barang yang

berada dalam suatu gudang, hal mana merupakan suatu penyerahan

kekuasaan secara simbolis sedangkan Apabila barangnya sudah berada

dalam kekuasaan Penyerahan cukup dilakukan cara yang terakhir ini

terkenal dengan nama "traditio brevimanu" (bahasa Latin) yang berarti

"penyerahan dengan tangan pendek"

b. Untuk barang tetap (tak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan

"balik nama" (bahasa Belanda: "overschrijving") di muka Pegawai

Kadaster yang juga dinamakan Pegawai Balik-nama atau Pegawai

Penyimpan hipotik (barang tak bergerak), yaitu menurut pasal 616

dihubungkan dengan pasal 620, pasal-pasal mana berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 616: "Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan Tak

bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan

dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 620".28

28 Ibid, hlm. 21.

53

Pasal 620: "Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat

dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman termaksud diatas dilakukan

dengan meinindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta

otentik atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpan hipotik,

yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus

diserahkan berada, dan dengan membukukannya dalam register.

Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang

berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik

sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah petikan dari akta atau

keputusan itu, agar penyimpan mencatat di dalamnya hari pemindahan

beserta bagian dan nomor dari register yang bersangkutan".

c. Barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan "cessie"

sebagaimana diatur dalam pasal 613 B.W. yang berbunyi:

"Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawah-tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain”.

E. Peralihan Resiko Dalam KUH Perdata

Resiko berarti kemungkinan yang berbahaya, kejadian yang tidak

disengaja, kejadian di luar kesalahan.29 Dengan kata lain resiko ialah

kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa)

diluar kesalahan salah satu pihak. Misalnya : barang yang diperjual- belikan

musnah di perjalanan karena kapal laut yang mengangkutnya keram ditengah

29 Hartono Soerjopratiknyo, Aneka Perjanjian Jual Beli, Yogyakarta: Fakultas

hukum UGM, 1982, hlm. 18

54

laut akibat serangan badai. Atau sebuah rumah yang sedang dipersewakan

terbakar habis karena “korsluiting” aliran listrik. Siapakah yang (menurut

hukum) harus memikul kerugian-kerugian tersebut? Inilah persoalan yang

dengan suatu istilah hukum dinamakan persoalan “resiko”itu. Pihak yang

menderita karena barang yang menjadi obyek perjanjian ditimpa oleh kejadian

yang tak disengaja tersebut dan diwajibkan memikul kerugian itu tanpa

adanya keharusan bagi pihak lawannya untuk mengganti kerugian itu,

dinamakan pihak yang memikul resiko atas barang tersebut.

Persolan tentang resiko itu berpokok pangkal pada terjadinya suatu

peristiwa di luar salah satu pihak. Peristiwa semacam itu dalam hukum

perjanjian dengan suatu istilah hukum dinamakan “keadaan memaksa” (“

overmacht”, “force majeur”). Dengan demikian maka persoalan tentang resiko

itu merupakan buntut dari persoalan tentang keadaan memaksa, suatu kejadian

yang tak sengaja dan tak dapat diduga.30

Sekarang persolannya adalah: Bagaimanakah diaturnya masalah resiko

itu dalam perjanjian jual- beli? Mengenai resiko dalam jual-beli ini dalam

B.W. ada tiga peraturan, yaitu :

a. Mengenai barang tertentu (pasal 1460);

b. Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran

(pasal 1461);

30 Ibid, 18-20

55

c. Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (pasal

1462).31

Mengenai barang tertentu ditetapkan (oleh pasal 1460) bahwa barang

itu saat pembelian (saat dituntut perjanjian) adalah atas tanggungan si pembeli,

meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntut

harganya.

31 Subekti, Op. Cit, hlm.37.