bab ii tinjauan umum tentang … dasar hukum overmacht dalam kuh perdata keadaan memaksa dalam kuh...

24
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG OVERMACHT DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA 1.1 Overmacht 1.1.1 Pengertian Overmacht Overmacht ialah suatu keadaan yang “memaksa”. Overmacht menjadi landasan hukum yang “memaafkan“ kesalahan seorang debitur. Peristiwa overmacht “mencegah” debitur menanggung akibat dan resiko perjanjian. Itulah sebabnya overmacht merupakan penyimpangan dari asas hukum. Menurut asas umum setiap kelalaian dan keingkaran mengakibatkan si pelaku wajib mengganti kerugian serta memikul segala resiko akibat kelalaian dan keingkaran. Akan tetapi jika pelaksanaan pemenuhan perjanjian yang menimbulkan kerugian terjadi karena overmacht, debitur dibebaskan menanggung kerugian yang terjadi.Ini berarti apabila debitur tidak melaksanakan perjanjian yang menyebabkan timbulnya kerugian dari pihak kreditur. Kerugian terjadi semata-mata oleh keadaan atau peristiwa di luar kemampuan perhitungan debitur, maka keadaan atau peristiwa tadi menjadi dasar hukum yang melepaskan debitur dari kewajiban mengganti kerugian (schadevergoeding). Dengan kata lain, debitur bebas dan lepas dari kewajiban membayar ganti rugi, apabila dia berada dalam keadaan “overmacht”, dan overmacht itu menghalangi/ merintangi debitur melaksanakan pemenuhan prestasi. Overmacht merupakan dasar hukum yang menyampingkan/menyingkirkan asas yang terdapat pada pasal 1239 : setiap

Upload: doanthien

Post on 10-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG OVERMACHT DALAM PERJANJIAN

SEWA MENYEWA

1.1 Overmacht

1.1.1 Pengertian Overmacht

Overmacht ialah suatu keadaan yang “memaksa”. Overmacht menjadi

landasan hukum yang “memaafkan“ kesalahan seorang debitur. Peristiwa

overmacht “mencegah” debitur menanggung akibat dan resiko perjanjian.

Itulah sebabnya overmacht merupakan penyimpangan dari asas hukum.

Menurut asas umum setiap kelalaian dan keingkaran mengakibatkan si pelaku

wajib mengganti kerugian serta memikul segala resiko akibat kelalaian dan

keingkaran. Akan tetapi jika pelaksanaan pemenuhan perjanjian yang

menimbulkan kerugian terjadi karena overmacht, debitur dibebaskan

menanggung kerugian yang terjadi.Ini berarti apabila debitur tidak

melaksanakan perjanjian yang menyebabkan timbulnya kerugian dari pihak

kreditur. Kerugian terjadi semata-mata oleh keadaan atau peristiwa di luar

kemampuan perhitungan debitur, maka keadaan atau peristiwa tadi menjadi

dasar hukum yang melepaskan debitur dari kewajiban mengganti kerugian

(schadevergoeding). Dengan kata lain, debitur bebas dan lepas dari kewajiban

membayar ganti rugi, apabila dia berada dalam keadaan “overmacht”, dan

overmacht itu menghalangi/ merintangi debitur melaksanakan pemenuhan

prestasi. Overmacht merupakan dasar hukum yang

menyampingkan/menyingkirkan asas yang terdapat pada pasal 1239 : setiap

wanprestasi yang menyebabkan kerugian, mewajibkan debitur untuk membayar

ganti rugi (schadevergoeding).

Dalam keadaan overmacht debitur dibebaskan dari kewajiban pemenuhan

(nakoming) dan membayar ganti kerugian (schadevergoeding). Untuk

menjelaskan pembebasan debitur maka timbul beberapa teori, antara lain:

Teori “ketidakmungkinan” (onmogeljkeheid).

Ajaran “penghapusan atau peniadaan kesalahan” (afwezigheid van schuld)

berarti dengan adanya overmacht meniadakan kesalahan, sehingga akibat

kesalahan yang telah ditiadakan tadi tidak boleh/tidak bisa dipertanggung

jawabkan kepada debitur. Menurut ajaran “ketidakmungkinan”, overmacht

adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur berada dalam keadaan “tidak

mungkin” melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan. Akan tetapi

ketidakmungkinan melaksanakan perjanjianharus diteliti. Sebab tidak semua

overmacht dengan sendirinya menempatkan debitur dalam keadaan tidak

mungkin.Kadang-kadang overmacht itu hanya sedemikian rupa saja. Tidak

sampai betul-betul merintangi/ menghalangi seseorang untuk melaksanakan

kewajiban yang diperjanjikan. Karena itu ketidakmungkinan itu harus

dibedakan antara:

1) Ketidakmungkinan “absolut” atau ketidakmungkinan “objektif”

(absolutonmogelijkheid).

2) Ketidakmungkinan “relative” atau ketidakmungkinan “subjektif”

(relativeonmogelijkheid)

Disamping adanya perbedaan antara ketidakmungkinan objektif/ absolut

dan subjektif, perlu kiranya dipertanyakan, apakah dalam overmacht yang

menimbulkan ketidakmungkinan melaksanakan pemenuhan perjanjian

terhadap peranan “culpa (kealpaan)” pada diri debitur. Jika ada culpa pada

debitur, rintangan yang terjadi buka semata-mata karena overmacht. Alasan

ketidakmungkinan tidak memadai melepaskan debitur dari kewajiban

membayar ganti rugi. Karena overmacht yang didalamnya bercampur dengan

culpa tidak dapat meniadakan kesalahan sesuai dengan teori “kesalahan”. Jadi

baik dalam ketidakmungkinan absolut maupun pada ketidakmungkinan

relative, jika didalamnya terdapat unsur culpa, ketidakmungkinan yang

ditimbulkan overmacht tidak memadai dijadikan alasan yang menghindari diri

debitur dari kewajiban membayar ganti rugi.1

1.1.2 Teori-Teori Overmacht

Teori-teori overmacht dibagi menjadi 2 antara lain:

1. Teori Overmacht objektif atau ajaran ketidakmungkinan yang mutlak.

Teori ini menyatakan bahwa Debitur dikatakan dalam keadaan overmacht

apabila pemenuhan prestasi itu „tidak mungkin bagi siapapun bagi setiap

orang”. Contoh : A harus menyerahkan sapi kepada B, sapi itu ternyata di

tengah jalan disambar petir, sehingga prestasi tidak mungkin dilaksankan

bagi A dan bagi siapapun. Dalam hal demikian menurut ajaran Overmacht

Objektif ada overmacht.

2. Teori Overmacht Subjektif atau ajaran ketidakmungkinan relatif. Teori ini

menyatakan bahwa Debitur dikatakan dalam keadaan overmacht, apapbila

pemenuhan prestasi itu “bagi Debitur itu sendiri memang tidak dapat

dilakukan, tetapi orang lain mungkin masih bisa melakukan”.

1 M Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, h.85.

Contoh : Seorang pedagang tertentu harus menyerahkan barang-barang

tertentu pada pedagang lain, kemudian ternyata harga barang itu sangat

meningkat, sehingga pedagang tersebut tidak mungkin untuk membeli

barang yang harganya tinggi tersebut akibatnya ia tidak bisa memenuhi

barang-barang tersebut pada pedagang yang lain itu.

Ketidakmungkinan Debitur untuk memenuhi prestasi menurut ajaran

overmacht objektif disebu impossibilitas, sedangkan ketidakmungkinan

Debitur untuk memenuhi prestasi hanya bagi Debitur tertentu menurut ajaran

Overmacht Subjektif tersebut difficultas (menimbulkan kaberatan).

1.1.3 Unsur-Unsur Overmacht

Unsur-unsur overmacht yaitu

1. Ada halangan bagi Debitur untuk memenuhi kewajiban.

2. Halangan itu bukan karena kesalahan Debitur.

3. Tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi resiko dari Debitur.

Dengan adanya Overmacht, mengakibatkan berlakunya perikatan menjadi

terhenti. Ini berarti bahwa:

1. Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi.

2. Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai.

3. Resiko tidak beralih kepada Debitur.

Jadi, dengan adanya overmacht tidak melenyapkan adanya perikatan, hanya

menghentikan berlakunya perikatan. Hal ini penting bagi adanya overmacht yang

bersifat sementara. Dalam suatu perjanjian timbal balik, apabila salah satu dari

pihak karena overmacht terhalang untuk berprestasi maka lawan juga harus

dibebaskan untuk berprestasi.

1.1.4 Dasar Hukum Overmacht dalam KUH Perdata

Keadaan Memaksa dalam KUH Perdata

Konsep keadaan memaksa, overmacht, atau force majeure (dalam kajian ini

selanjutnya disebut keadaan memaksa) dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUH Perdata) ditemukan dalam pasal-pasal berikut ini:

a. Pasal 1244 KUH Perdata

“Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugidan

bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada

waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal

yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu

pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya.”

b. Pasal 1245 KUH Perdata

“Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan

memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang

berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-

hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”

Selain kedua ketentuan tersebut, konsep keadaan memaksa juga diacu dalam Pasal

1444 dan 1445 KUH Perdata, sebagai berikut.

a. Pasal 1444 KUH Perdata

“(1) Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat

diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu

masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di

luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

(2) Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia

tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan

tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya

si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya.

(3) Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang

dimajukannya itu.

(4) Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau

hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri

barang dari kewajibannya mengganti harganya.”

b. Pasal 1445 KUH Perdata

“Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi

diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau

tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan

hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan

kepadanya.”

1.2 Perjanjian Sewa Menyewa

1.2.1 Pengertian Perjanjian Sewa Menyewa

Sewa menyewa seperti halnya jual beli, adalah suatu perjanjian yang

sangat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sewa menyewa maupun

jual beli adalah merupakan suatu upaya yang sudah biasa dipergunakan oleh

para warga masyarakat dalam rangka memenuhi kepentingan-kepentingannya.

Sewa menyewa dan jual beli adalah sama-sama merupakan suatu

perjanjian yang dilakukan untuk menyerahkan barang. Menurut Djoko Prakoso

dan Bambang Ryadilany perbedaan antara dua macam persetujuan ini ialah

bahwa dalam hal jual beli yang diserahkan oleh pemilik barang adalah hak

milik atas barang itu, sedangkan dalam hak sewa menyewa si pemilik hanya

menyerahkan pemakaian dan pemungutan hasil dari barang, padahal hak milik

atas barang itu tetap berada di tangan yang menyewakan.2

Hilma Hadikusuma menyebutkan bahwa sewa menyewa adalah hubungan

hukum yang terjadi dikarenakan satu pihak memberikan satu kenikmatan atas

sesuatu (benda) pada pihak lainnya membayar harga kenikmatan itu.3

Untuk lebih memahami pengertian perjanjian sewa menyewa maka

dikemukakan beberapa pendapat sarjana yang dianggap perlu guna

memberikan gambaran yang lebih jelas. Menurut CST. Kansil, bahwa sewa

menyewa adalah suatu perjanjian untuk menyewakan suatu barang untuk

digunakan dalam waktu tertentu dan dengan sewa tertentu.4

Menurut pasal 1548 KUH Perdata memberi pengertian sewa menyewa

adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya

untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang selama

suatu waktu tertentu dan dengan sesuatu harga yang oleh pihak tersebut

berakhir ini disanggupi pembayarannya.

2 Djoko Prakoso, 1997, Dasar Hukum Persetijuan di Indonesia, PT. Grafindo, Jakarta, h.

56. 3 Hilma Hadikusuma, 1979, Hukum Perjanjian Adat, Alumni Bandung, h. 97.

4Cristina.S.T Kansil, 1995, Modul Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 241.

Dari uraian definisi-definisi tersebut di atas, maka dikemukakan bahwa

pengertian sewa menyewa meliputi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Sewa menyewa adalah suatu perjanjian antara dua pihak. Maksudnya

adalah di dalam perjanjian sewa menyewa itu ada dua pihak yang saling

berhadap-hadapan. Pihak yang satu sebagai penyewa, sedangkan pihak

yang lainnya disebut sebagai pihak yang menyewakan (pemilik). Dalam

perjanjian sewa-menyewa ini, kedua pihak yaitu pemilik maupun pihak

penyewa diebani suatu kewajiban-kewajiban pokok yang harus

dilaksanakan;

b. Pihak yang satu menyerahkan pemakaian atau penggunaan sesuatu barang

kepada pihak yang lainnya, maksudnya ialah bahwa pihak yang

menyewakan (pemilik) menyerahkan barang kepada barang kepada si

penyewa, hanya untuk dipakai atau dipergunakan oleh si penyewa dan

bukan untuk dimiliki. Dengan kata lain yang menyewakan (si pemilik)

hanyalah menyerahkan penggunaan atau pemakaian atas sesuatu barang

kepada penyewa dan hak milik atas barang tersebut tetap berada pada

tangan di pemilik barang;

c. Selain itu sewaktu-waktu tertentu, maksudnya adalah bahwa perjanjian

sewa-menyewa itu tidaklah dimaksudkan untuk berlangsung selama-

lamanya artinya dalam sewa menyewa itu selalu ada tenggang waktu

tertentu untuk berakhirnya sewa menyewa.

Hal tersebut berarti bahwa dalam pihak yang menyewakan tidak

diwajibkan menjamin hak penyewa terhadap gangguan-gangguan yang

dilakukan oleh pihak ketiga dengan tidak menunjukkan suatu ha katas barang

yang disewa, maka pihak penyewa dapat menuntut sendiri orang tersebut.

Menurut Pasal 1556 KUH Perdata menyebutkan bahwa apabila pihak

ketiga mengganggu pemakaian barang yang disewakan dengan di dasarkan

oleh suatu hak dari orang ketiga itu maka pihak yang menyewakan tidak

bertanggung jawab atas perbuatan tersebut.

Adanya suatu kewajiban pokok dalam perjanjian sewa menyewa baik bagi

pihak penyewa maupun yang menyewakan, maka bagi pihak penyewa salah

satu kewajiban adalah mengembalikan barang yang disewanya sesuai dengan

harga sewa tersebut dilakukan oleh penyewa yang ditujukan kepada pihak yang

menyewakan (si pemilik) barang, guna sebagai pengganti atas penggunaan atau

pemakaian barang sewa. Pembayaran harga sewa adalah merupakan salah satu

dari kewajiban utama bagi si penyewa dalam hal hubungan sewa menyewa.

1.2.2 Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Sewa Menyewa

Untuk sahnya perjanjian, agar mempunyai kekuatan mengikat maka

diperlukan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Demikian juga dengan

perjanjian sewa menyewa seperti halnya perjanjian lain-lain harus memenuhi

syarat-syarat tertentu.

Dalam pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat yang harus ada

pada setiap perjanjian yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Menurut Satrio. J mengemukakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian

harus terpenuhinya empat syarat yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat suatu perikatan.

3. Ada suatu hal tertentu.

4. Ada suatu sebab yang halal.5

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut akan tidak diakui

oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Selagi

pihak-pihak mengakui dan mematuhi syarat-syarat, perjanjian itu berlaku

antara mereka. Apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya,

sehingga menimbulkan sengketa, maka Hakim akan membatalkan atau

menyatakan perjanjian itu batal untuk lebih jelas agar apa yang diuraikan diatas

yaitu mengenai syarat sahnya perjanjian sewa menyewa, maka saya uraikan

mengenai empat syarat tersebut.

1. Sepakat yang mereka mengikatkan dirinya

Menurut Abdulkadir Muhammad, persetujuan kehendak adalah

kesepakatan, sengketa pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang

dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan ini bersifat sudah

mantap, tidak lagi dalam perundingan.6

Menurut Budiono Kusumoharmidjojo bahwa akibatnya apabila pihak

yang tidak sepakat dengan suatu kontrak dan karenanya tidak

menandatanganinya, tidak terikat oleh kontrak tersebut. Karena itu pihak

5Satrio. J, 2011, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I,PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 163. 6 Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 229. (Selanjutnya di tulis Abdulkadir Muhammad I).

tersebut juga tidak mengemban suatu kewajiban yang ditetapkan oleh

kontrak itu.7

Sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan

perundingan (negotiation), pihak yang satu memberitahukan kepada pihak

yang lain mengenai objek perjanjian dan syarat-syaratnya. Pihak yang lain

menyatakan pula kehendaknya, sehingga tercapai persetujuan yang

mantap. Kadang-kadang kehendak itu dinyatakan secara tegas dan kadang-

kadang secara diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang

dikehendaki pihak-pihak itu.

Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa persetujuan kehendak itu

sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun

juga, betul-betul ada kemauan sukarela pihak-pihak.8

Dalam persetujuan kehendak tersebut juga tidak ada kehilafan dan

tidak ada penipuan.

Menurut ketentuan Pasal 1324 KUH Perdata dikatakan bahwa:

Tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak

berada di bawah ancaman, baik dalam kekerasan jasmani maupun dengan

upaya menakut-nakuti, misalnya akan membuka rahasia, sehingga dengan

demikian orang itu terpaksa menyetujui perjanjian.

Dikatakan tidak ada kehilafan atau kekesatan atau kekeliruan apabila

salah satu pihak tidak keliru mengenai orang dengan siapa diadakan

perjanjian itu.

Menurut ketentuan Pasal 1322 KUH Perdata :

7 Budiono Kusumoharmidjojo, 2001, Panduan Untuk Merancang Kontrak, PT.

Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta h.16. 8 Abdulkadir Muhammad ,loc.cit.

Kekeliruan atau kehilafan tidak mengakibatkan batal suatu perjanjian,

kecuali apabila kekeliruan atau kehilafan itu terjadi mengenai hakekat

benda yang menjadi pokok perjanjian, atau mengenai sifat khusus atau

keahlian khusus diri orang dengan siapa diadakan perjanjian.

Akibat hukum tidak ada persetujuan kehendak (karena kehilafan,

paksaan dan penipuan) adalah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan

pembatalan kepada Hakim (vernietigbaar, voidable). Menurut ketentuan

Pasal 1454 KUH Perdata, pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang

waktu lima tahun, dalam hal ada paksaan dihitung sejak hari paksaan itu

berhenti dalam hal ada kehilafan dan penipuan dihitung sejak hari

diketahuinya kehilafan dan penipuan itu.

2. Kecakapan pihak-pihak

Menurut Cristina S.T. Kansil seseorang yang dikatakan cakap hukum

apabila seseorang laki-laki atau wanita telah berumur minimal 21 tahun,

atau bagi seorang laki-laki bila belum berumur 21 tahun telah

melangsungkan pernikahan.9

Menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, dikatakan tidak cakap

membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di

bawah pengampuan, dan wanita bersuami. Mereka ini apabila melakukan

perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka, dan bagi istri harus ada

izin suami.Menurut hukum nasional Indonesia sekarang, wanita, bersuami

sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum, jadi tidak perlu lagi

dari izin suami. Perbuatan hukum yang dilakukan istri sah menurut hukum

dan tidak dapat diminta pembatalannya kepada Hakim.

9 Cristina.S.T Kansil, op.cit, h.231

Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian ialah bahwa

perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada

hakim.Jika pembatalan tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan,

sepanjang tidak dimungkiri oleh pihak yang berkepentingan, perjanjian itu

tetap berlaku bagi pihak-pihak.

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian,

prestasi yang wajib dipenuhi.

Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan.

Kejelasan mengenai pokok perjanjian atau objek perjanjian ialah intuk

memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak. Jika pokok

perjanjian, atau objek perjanjian atau prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit

bahkan tidak mungkin dilaksanakan maka perjanjian itu batal (nietig,

coid).

Menurut Sartio J, untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan “hal

tertentu” perlu dilihat pada Pasal 1333 dan 1334 KUH Perdata, yang

merupakan penjabaran lebih lanjut dari pasal 1320 sub. 2 KUH Perdata.10

Dalam Pasal 1333 KUH Perdata dikatakan bahwa :

Suatu persetujuan harus mempunyai sebagian pokok suatu benda

(zaak) yang paling sedikit ditentukan jenisnya.Yang dimaksud disini

adalah bahwa objek perjanjian tidak harus … sejak semula … secara

individual tertentu, tetapi cukup kalau … pada saat perjanjian ditutup

jenisnya tertentu.Hal itu tidak berarti, bahwa perjanjian sudah memenuhi

syarat, kalau jenis objek perjanjiannya saja yang sudah ditentukan.

10

J.Satrio, op.cit, h.31

Menurut Setiawan, R, Objek perikatan atau prestasi berupa

memberikan sesuatu, berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan

untuk tidak memberikan sesuatu prestasinya berupa menyerahkan sesuatu

barang atau memberikan kenikmatan atas sesuatu barang misalny, penjual

berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang menyewakan

berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan.11

4. Suatu sebab yang halal (causa)

Abudkadir Muhammad mengemukakan jenis-jenis perjanjian tertentu

yang dengan jelas bertentangan dengan ketertiban umum (Public Policy)

tidak dibenarkan sekali oleh hukum.12

Menurut ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata dikatakan bahwa :

Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang

mengadakan perjanjian. Yang diperhatikan atau yang diawasi oleh

undang-undang ialah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang

hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang oleh undang-undang

atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan

atau tidak.

Dalam perjanjian sewa-menyewa, isi perjanjian ialah pihak penyewa

menghendaki sejumlah uang. Tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-

pihak ialah kenikmatan dengan menguasai benda dan sejumlah uang

dibayar.

Akibat hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal ialah batal

(nietig, void). Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntuk

pemenuhan perjanjian di muka Hakim, karena sejak semula dianggap tidak

11

Setiawan R, op.cit, h.4. 12

Abdulkadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, h. 95.

(Selanjutnya ditulis Abdulkadir Muhammad II).

pernah ada perjanjian yang dibuat itu tanpa causa (sebab), ia dianggap

tidak pernah ada.

Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUH Perdata disebut syarat

subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian.

Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Pasal 1545

KUH Perdata menyebutkan bahwa tetapi jika tidak dimintakan pembatalan

kepada hakim, perjanjian itu tidak mengikat pihak-pihak, walaupun

diancam pembatalan sebelum lampau lima tahun.

Syarat ketiga dan keempat Pasal 1320 KUH Perdata disebut syarat

objektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika

syarat in tidak dipatuhi, perjanjian batal. Pembatalan ini dapat diketahui

apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu pihak tidak

memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan ke muka Hakim, dan

Hakim menyatakan perjanjian batal, karena tidak memenuhi syarat

objektif.

Di samping syarat-syarat tersebut diatas, setiap orang yang membuat

perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik, demikian juga dengan

perjanjian sewa-menyewa harus ada itikad baik yang dalam hal ini

diartikan sebagai kejujuran.

Apabila itikad baik dalam membuat perjanjian sewa menyewa berarti

kejujuran, maka itikad baik dalam hal pelaksanaan perjanjian adalah

kepatuhan yaitu suatu penilaian yang baik terhadap tindak tanduk suatu

pihak dalam melaksanakan apa yang telah diperjanjikan, apabila

diperhatikan pasal-pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata adalah yang dipakai

sebagai ukuran apakah keputusan yang telah dijatuhkan oleh para wasit

dalam arbitrase atas sengketa para pihak sudah adil dan sesuai dengan

itikad baik dan kepatutan. Dalam pasal-pasal tersebut itikad baik,

kepatuhan dan kebiasaan mulai muncul untuk menafsirkan perjanjian

dalam sengketa para pihak.

Dalam Pasal 1338 KUH Perdata dikatakan bahwa:

Memerintahkan semua perjanjian dilaksanakan dengan itukad baik,

dengan demikian kewajiban kedua belah pihak ialah melaksanakan

perjanjian dengan itikad baik memberi kepastian hukum mengenai isi

perjanjian yang tidak selalu dinyatakan dengan tegas. Kalau undang-

undang menetapkan barang siapa berdasarkan suatu perjanjian diwajibkan

merawat sebaik-baiknya seperti barang milik sendiri sampai terlaksananya

penyerahan barang tersebut, maka hal ini berarti merupakan suatu

ketentuan yang ditunjukkan kepada itikad baik dalam melaksanakan suatu

kewajiban hukum. Maksud daripada perintah supaya perjanjian

dilaksanakan dengan itikad baik adalah untuk mencegah kelakuan yang

tidak patut atau sewenang-wenang dalam pelaksanaan tersebut.

Sebagaimana diketahui kepatutan dlam penemuan hukum dapat

dipergunakan untuk menyampingkan tetapi dapat pula melengkapi undang.

Hal ini akan lebih jelas apabila diperhatikan pernyataan Pasal 1339 KUH

Perdata yang menyatakan sebagai berikut: “Persetujuan-persetujuan tidk

hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya,

tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan,

diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.

“Sedangkan dalam Pasal 1347 KUH Perdata menyebutkan sebagai

berikut: “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan,

dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan, meskipun

tidak tegas dinyatakan”.

Berpegang pada ketentuan tersebut diatas bahwa kedua belah pihak

dalam mengadakan perjanjian tidak hanya terikat oleh apa yang secara

tegas disebutkan dalam suatu perjanjian melainkan apa yang diharuskan

menurut sifat perjanjian kepatutan adat kebiasaan dan undang-undang.

Apabila pada sebuah perjanjian ada tersangkut janji-janji yang memang

lazim dipakai dalam masalah menurut adat kebiasaan, maka janji-janji

tersebut dianggap termuat dalam perjanjian meskipun perjanjian sama

sekali tidak menyebutkan.

Pasal 1339 KUH Perdata mengenai adat kebiasaan dalam perjanjian dan

yang dipakai dalam pasal 1347 KUH Perdata, maka tampak agak sedikit

adanya suatu pertentangan antara kedua pasal tersebut. Sedangkan

menurut Pasal 1347 KUH Perdata bahwa janji-janji yang menurut

kebiasaan melekat pada perjanjian yang bersangkutan dianggap termuat

dalam isi perjanjian.

Dilihat dari kata-kata yang dipakai tampak dengan jalas perbedaan dari

dua pasal tersebut, dalam Pasal 1339 KUH Perdata mengatakan adat

kebiasaan yang tidak dimuat dalam isi perjanjian tidak dapat

mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat

menambah isi perjanjian. Namun tidak demikian halnya dengan pasal 1374

KUH Perdata, peraturan yang bersifat tambahan itu malahan dianggap

dikesampingkan oleh adat kebiasaan.

Berpijak pada peraturan tersebut, maka dalam membuat perjanjian

hubungannya dengan Pasal 1339 KUH Perdata dengan Pasal 1347 KUH

Perdata yang menyangkut adat kebiasaan dalam perjanjian, maka titik

beratnya harus dikatakan pada maksud para pihak pada waktu membuat

perjanjian. Maksud para pihak ialah menentukan apakah dalam suatu

perjanjian tertentu adat kebiasaan yang termuat secara tegas dalam

perjanjian dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang

bersifat menambah isi perjanjian atau tidak.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, kalau diperhatikan Pasal 1339 KUH

Perdata bahwa adat kebiasaan telah ditunjuk sumber norma disamping

undang-undang ikut menentukan hak dan kewajiban para pihak dalam

suatu perjanjian.13

1.2.3 Bentuk-Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa

Tentang bentuk-bentuk perjanjian secara garis berasnya mempunyai

dua bentuk yaitu :

a. Perjanjian dengan betuk tertulis.

b. Perjanjian dengan bentuk lisan.

Perjanjian yang dengan bentuk secara tertulis, ini sudah pasti

membunyai bentuk tertentu misalnya akta. Dengan adanya bentuk tertulis

dari suatu perjanjian seperti akta ini, sudah tentu akan memberikan lebih

kepastian hukum bagi para pihak yang mengadakan perjanjian, oleh karena

dengan adanya bentuk tertulisdari perjanjian para pihak tidak merasa

canggung-canggung atau tidak merasa khawatir dalam pelaksanaan nanti.

Begitu pula halnya dalam perjanjian yang dibuat secara lisan, dengan kata-

kata yang jelas maksud dan tujuannya yang dipahami oleh pihak-pihak itu

sudah cukup. Kecuali jika pihak-pihak yang menghendaki supaya dibuat

13

Wirjono Prodjodikoro, 2001, Asas Hukum Perdata, Sumur Bandung, h.97.

dengan secara tertulis (akta). Biasanya akta tersebut dibuat dalam bentuk

akta dibawah tangan.Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat dan

dipersiapkan oleh pihak-pihak dalam kontrak secara pribadi, dan bukan

dihadapan notaris atau pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku

Pejabat Pembuat Akta Tanah).

Pendapat keduanya adalah sama-sama mempunyai kekuatan hukum,

hanya saja adalah perjanjian yang dilakukan secara tertulis lebih

mempunyai kekuatan hukum kalau dibandingkan dengan perjanjian yang

dibuat secara tertulis sudah ada bukti autentik. Namun walaupun begitu

dalam perjanjian yang dibuat secara lisan bukan berarti tidak mempunyai

kekuatan hukum, oleh karena semua hal ini didasarkan kepada bahwa

setiap orang yang mengadakan perjanjian sudah tentu didasarkan pada

itikad baik, sangat kecil kemungkinan perjanjian itu tidak ditepati, itikad

baik inilah yang merupakan kunci untuk dapat berlakunya suatu perjanjian.

Dengan melihat kedua bentuk perjanjian tersebut di atas suatu hal yang

tidak dapat dilepaskan adalah akibat hukum dari kedua bentuk perjanjian

tersebut yang menurut Subekti menyatakan bahwa:

Jika sewa menyewa diadakan secara tertulis maka sewa itu berakhir

demi hukum (otomatis) demi waktu yang ditentukan sudah habis, tanpa

diperlukannya sesuatu pemberitahuan pemberhentian untuk itu. Sedangkan

apabila sewa menyewa itu tidak secara tertulis atau secara lisan maka sewa

itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang

menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak

menghentikan sewanya, pemberitahuan maka harus dilakukan

mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan

setempat, jika tidak ada pemberitahuan seperti itu maka dianggaplah

bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama.14

14

Subekti I, op cit, h 47.

1.2.4 Subjek dan Objek Perjanjian Sewa Menyewa

Pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa menyewa adalah pihak yang

menyewa dan yang menyewakan. Pihak yang menyewakan adalah orang

atau badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak

penyewa, sedangkan pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang

menyewa barang atau benda dari pihak yang menyewakan.

Yang menjadi objek dalam perjanjian sewa menyewa adalah barang dan

harga.Dengan syarat barang yang disewakan adalah barang yang halal,

artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban dan

kesusilaan.15

1.3 Klausula Keadaan Memaksa atau Overmacht (Damage/ Kerusakan

dan Lost/ Kehilangan) dalam Pembuatan Perjanjian Sewa Menyewa

Motor

Overmacht ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap salah satu

pihak yang dirugikan dalam suatu perjanjian. Dengan ketentuan telah

terpenuhinya syarat objektif dan/atau syarat subjektif suatu keadaan dapat

digolongkan sebagai overmacht. Overmacht merupakan klausula yang lazim

dalam suatu perjanjian di Indonesia pengaturan akan klausula ini terdapat dalam

KUHPerdata dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245, kedudukan overmacht dalam

suatu perjanjian berada di dalam perjanjian pokok, tidak terpisah sebagai

perjanjian tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok selayaknya perjanjian

accesoir.

15

Salim H.S., 2010,Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,

Jakarta, h.59.

Dalam praktik penyewaan motor terdapat hubungan hukum sewa-

menyewa, tentu saja hubungan hukum yang terjadi adalah antara pemilik motor

selaku pemberi sewa dengan pihak yang menyewa motor selaku penyewa. Sewa

menyewa dalam pengertian pada Pasal 1548 KUH Perdata adalah suatu

persetujuan, di mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan

kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan

pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu.

Untuk menghindari kerugian pada pihak-pihak yang mengikatkan diri

dalam perjanjian maka dalam perjanjian sewa-menyewa dibentuk aturan atau

ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu.

Ketentuan-ktentuan inilah yang disebut dengan Klausula. Klausula dibentuk

secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/ atau

perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Klausula yang

dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam

transaksi jual beli biasa disebut dengan klausula baku yang biasanya dibuat secara

sepihak oleh pihak penyedia jasa. Klausula baku, menurut Pasal 1 angka 10

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UU

Perlindungan Konsumen) adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat

yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku

usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat

dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Namun kendatipun dibuat secara sepihak,

klausula tidak boleh merugikan konsumen.

Pada dasarnya memang ada beberapa hal yang menjadi tanggung jawab

penyewa motor, namun ada pula yang menjadi tanggung jawab si pemilik motor

(pemberi sewa). Berikut kami uraikan satu-persatu:

1. Klausula Tanggung Jawab Atas Kerusakan Motor

Pada dasarnya, jika terjadi kerusakan atas barang yang disewa, maka

penyewa bertanggung jawab atas segala kerusakan yang ditimbulkan pada barang

yang disewakan selama waktu sewa, kecuali jika ia membuktikan bahwa

kerusakan itu terjadi di luar kesalahannya, demikian yang disebut dalam Pasal

1564 KUH Perdata. Jadi, dilihat dari segi hukum perdata, apabila terjadi

kecelakaan motor sewa yang mengakibatkan kerusakan, maka penyewa motorlah

yang bertanggung jawab atas segala kerusakan yang ditimbulkan, kecuali si

penyewa motor dapat membuktikan bahwa kerusakan itu di luar kesalahannya.

Sebenarnya pencantuman klausula tentang tanggung jawab kerusakan

mobil sewaaan ada pada tangan penyewa bukan termasuk klausula baku mengenai

pengalihan tanggung jawab karena memang aturan dalam KUH Perdata sudah

menentukan bahwa yang bertanggung jawab atas kerusakan barang yang disewa

adalah penyewa. Selanjutnya penyewa juga perlu memastikan kembali apakah

kerusakan yang terjadi pada motor memang ada sebelum ada perjanjian sewa-

menyewanya atau tidak. Hal ini karena pada dasarnya pemberi sewa wajib

menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan terpelihara segalanya.

Pemberi sewa juga wajib melakukan perbaikan-perbaikan pada barang yang

disewakan jika perlu dilakukan, kecuali pembetulan itu menjadi kewajiban

penyewa (Pasal 1551 KUH Perdata).

Di samping itu, masih terkait dengan cacatnya barang yang disewakan,

Pasal 1552 berbunyi:

“Pihak yang menyewakan harus menanggung si penyewa terhadap semua

cacat dari barang yang disewakan, yang merintangi pemakaian barang itu,

biarpun pihak yang menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada

waktu dibuatnya perjanjian sewa. Jika cacat-cacat itu telah mengakibatkan

sesuatu kerugian bagi si penyewa, maka kepadanya pihak yang

menyewakan diwajibkan memberikan ganti rugi.”

Pada dasarnya, penyewa tidak bertanggung jawab untuk kerusakan,

kecuali jika pemberi sewa membuktikan bahwa kerusakan itu disebabkan oleh

kesalahan si penyewa, demikian yang diatur dalam Pasal 1565 KUH Perdata.

Klausula mengenai tanggung jawab atas kerugian kerusakan motor ada pada

penyewa, akan menjadi klausula baku jika termasuk “penyewa bertanggung jawab

atas kerusakan walaupun bukan diakibatkan oleh penyewa”. Ini karena jika

kerusakan bukan karena kesalahan pihak penyewa, seharusnya itu menjadi

tanggung jawab pihak yang menyewakan. Klausula baku seperti di atas dapat

dianggap pengalihan tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana terdapat dalam

Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan:

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/ atau jasa yang ditujukan

untuk diperdagangkan dilarang membuat atu mencantumkan klaausula baku

pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan: (a)

pengalihan tanggung jawab pelaku usaha…”

2. Klausula Tanggung Jawab Atas Penggantian Motor yang Hilang ataupun

Perangkat Motor yang Hilang

Jika selama waktu sewa motor tersebut sama sekali musnah atau hilang

karena kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum.

Namun, jika hanya sebagian dari barang itu musnah, yakni seperti peralatan motor

hilang, maka si penyewa motor dapat memilih, menurut keadaan, apakah ia akan

meminta pengurangan harga sewa, ataukah ia akan meminta bahkan membatalkan

perjanjian sewanya; tetapi ia tidak berhak atas suatu ganti rugi. Hal ini mengacu

pada Pasal 1553 KUH Perdata. Akan tetapi penyewa berkewajiban merawat

barang yang disewa seperti kepala rumah tangga yang baik (seperti ia pemilik

barang itu) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1560 KUH Perdata.

Klausula dalam hal seperti misalnya pemberi sewa mewajibkan penyewa

motor untuk mengganti kerusakan sebesar 100% apabila kerusakan mencapai 60%

atau lebih serta perbaikan kerusakan yang ditanggung penyewa pada bengkel yang

ditunjuk oleh pemberi sewa. Hal ini karena rusak atau tidaknya motor yang

disewakan perlu pembuktian menyeluruh apakah memang kesalahan penyewa

atau sedari awal kerusakan tersebut memang telah ada (baik diketahui atau tidak

diketahui oleh pemberi sewa).