bab 1 - website staff ui |staff.ui.ac.id/system/files/users/yurnadi.kes/... · web viewhasil pcr...

30
Pendahuluan Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan penyakit genetik multifaktor yang bersifat endemik 1 . KNF adalah subset yang unik dari karsinoma sel skuamosa pada kepala dan leher. KNF relatif jarang di dunia, namun insiden KNF mempunyai perbedaan yang signifikan dalam distribusi geografis 2 . Insiden KNF pada usia rerata umumnya kurang dari 1/100.000 kecuali pada populasi yang hidup di Cina Selatan dan populasi di daerah Cina lainnya, Asia Tenggara, India Barat Daya, Yunani, Aljazair dan Tunisia, dan Eskimo di Alaska dan Green Land. Insiden KNF pada pria lebih tinggi dibanding wanita dengan rasio 2,3:1. Dalam populasi risiko KNF meningkat secara progresif seiring dengan bertambahnya umur 3,4 . Tingginya insiden KNF di negara-negara Asia tertentu, diduga faktor genetik ikut berperan dalam patogenesis penyakit 5 . Faktor genetik yang kuat terhadap munculnya risiko KNF terlihat seperti meningkatnya risiko KNF pada populasi migran Cina atau Afrika Utara 2,3 . Angka tertinggi insiden KNF dilaporkan di Cina Selatan (Guangdong) 30-50/100.000. Insiden sedang terjadi di Asia Tenggara dengan rasio 3/100.000 pada orang Thailand dan 10/100.000 pada keturunan campuran Cina-Thailand 6 . Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non- Mongoloid, namun, di Guangdong masih menduduki tempat tertinggi dengan 2.500 kasus baru pertahun. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapannya cukup tinggi pada penduduk Guangdong, Hongkong, Vietnam, 1

Upload: phungmien

Post on 07-Apr-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pendahuluan

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan penyakit genetik multifaktor yang bersifat

endemik1. KNF adalah subset yang unik dari karsinoma sel skuamosa pada kepala dan

leher. KNF relatif jarang di dunia, namun insiden KNF mempunyai perbedaan yang

signifikan dalam distribusi geografis2.

Insiden KNF pada usia rerata umumnya kurang dari 1/100.000 kecuali pada

populasi yang hidup di Cina Selatan dan populasi di daerah Cina lainnya, Asia Tenggara,

India Barat Daya, Yunani, Aljazair dan Tunisia, dan Eskimo di Alaska dan Green Land.

Insiden KNF pada pria lebih tinggi dibanding wanita dengan rasio 2,3:1. Dalam populasi

risiko KNF meningkat secara progresif seiring dengan bertambahnya umur3,4.

Tingginya insiden KNF di negara-negara Asia tertentu, diduga faktor genetik ikut

berperan dalam patogenesis penyakit5. Faktor genetik yang kuat terhadap munculnya risiko

KNF terlihat seperti meningkatnya risiko KNF pada populasi migran Cina atau Afrika

Utara2,3. Angka tertinggi insiden KNF dilaporkan di Cina Selatan (Guangdong) 30-

50/100.000. Insiden sedang terjadi di Asia Tenggara dengan rasio 3/100.000 pada orang

Thailand dan 10/100.000 pada keturunan campuran Cina-Thailand6.

Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-Mongoloid, namun,

di Guangdong masih menduduki tempat tertinggi dengan 2.500 kasus baru pertahun. Ras

Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapannya cukup

tinggi pada penduduk Guangdong, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura,

dan Indonesia4. Di Indonesia insiden KNF hampir merata di setiap daerah. Di Rumah

Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS.

Hasan Sadikin Bandung 60 kasus, Makassar 25 kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar 15

kasus dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi. Demikian pula di Medan, Semarang,

Surabaya dan kota lainnya menunjukkan KNF terdapat merata di Indonesia4.

Selain faktor ras, peningkatan insiden KNF dilaporkan juga berkaitan erat dengan

faktor makanan seperti makanan diawetkan (ikan asin), difermentasi, dan diasapi dapat

meningkatkan kandungan nitrosamin3,7,8. Selain itu, konsumsi minuman beralkohol juga

dapat meningkatkan risiko terkena KNF9. Patogenesis KNF berhubungan erat dengan

konsumsi makanan yang diasapi dan diawetkan, akibat paparan jelaga dan debu, serta

formaldehid, dan beberapa minyak nabati yang mengandung nitrosamin dapat

mengaktivasi Epstein-Barr virus (EBV) dan mempromosi perkembangan KNF10,11.

Tumorigenesis KNF dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti infeksi virus dan

senyawa karsinogenik yang berkontribusi membentuk KNF dengan EBV sebagai faktor

1

etiologi penting. Virus EBV tidak ditemukan pada semua sel epitel nasofaring normal,

namaun genom virus EBV dapat ditemukan pada semua sel KNF sehingga dinyatakan

etiologi KNF konsisten dengan infeksi EBV2,12.

Berdasarkan klasifikasi World Health Organization (WHO), secara histopatologis

KNF dikelompokkan dalam tiga tipe, yaitu : Tipe I: Karsinoma sel skuamosa; Tipe II:

Karsinoma non-keratinisasi; Tipe III: Karsinoma tanpa diferensiasi13. KNF di Indonesia

merupakan tumor ganas kepala dan leher terbanyak dan berada di peringkat ke-empat dari

seluruh keganasan setelah tumor ganas serviks, payudara, dan kulit14.

EBV mempunyai potensi onkogenik dan dapat mengubah sel terinfeksi menjadi sel

ganas melalui dua mekanisme. Pertama, genom EBV dipertahankan dalam sel pejamu

dengan berintegrasi pada genom sel pejamu. Kedua, EBV mengekspresikan protein yang

mempunyai homologi dengan protein anti-apoptosis dan akhirnya proliferasi sel terinfeksi

menjadi tidak terkendali akibat EBV mengaktifkan sinyal intraseluler yang berperan dalam

pengendalian pertumbuhan sel15.

Bagaimana mekanisme EBV masuk ke dalam epitel nasofaring masih belum jelas,

namun dalam hal ini sedikitnya terdapat 2 reseptor yang bertanggung jawab. Salah satunya

adalah polymeric immunoglobulin receptor yang disingkat dengan PIGR 16. Selanjutnya

Hirunsatit et al.17 melaporkan bahwa salah satu mutasi pada gen PIGR (1739C T)

berindikasi menyebabkan kerentanan terhadap KNF pada populasi etnis Cina dan

Thailand.

Hirunsatit et al.17 selanjutnya melaporkan bahwa ditemukan bukti fungsi PIGR

sebagai reseptor epitel nasofaring bagi EBV melalui transitosis kompleks IgA-EBV.

Mutasi (missense mutation) gen PIGR 1739C T dapat mengubah asam amino alanin

menjadi valin yang berdekatan dengan situs pembelahan endoproteolitik. Varian ini dapat

mengganggu efisiensi PIGR dalam melepaskan kompleks IgA-EBV sehingga

meningkatkan suseptibilitas individu terhadap infeksi EBV dalam populasi di daerah

endemik untuk terkena KNF.

Dari beberapa penelitian di atas diketahui bahwa mutasi gen PIGR berpengaruh

pada patogenesis KNF di Thailand dan KNF mempunyai perbedaan signifikan dalam

distribusi geografis, maka diduga distribusi genotip dan alel gen PIGR pada populasi

Indonesia akan berbeda jika dibandingkan dengan populasi Thailand. Oleh karena itu,

perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui distribusi genotip dan frekuensi alel gen

PIGR antara kelompok KNF dengan kelompok kontrol, antara kelompok pribumi dengan

kelompok etnis Cina di Indonesia.

2

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan polimorfisme gen PIGR

dengan insiden KNF pada populasi Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat untuk mendeterminasi faktor genetik pada patologi KNF sehingga dapat

membantu dalam menentukan prognosis penyakit bagi penderita KNF.

Metode

Batasan operasional dan subjek penelitian

Subjek penelitian adalah penderita KNF dan sedang menjalani terapi, sedangkan

untuk kontrol berasal dari individu donor sehat. Seluruh subjek penelitian terlebih dahulu

telah memberikan informed consent sebelum diikutsertakan dalam penelitian ini.

Diagnosis KNF ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi jaringan biopsi di

Departemen penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher (THT-KL)

FKUI/RSCM Jakarta. Selanjutnya stadium KNF ditetapkan berdasarkan klasifikasi Union

Internationale Contrele Cancer (UICC). Pasien KNF dalam penelitian diklasifikasikan

tumornya oleh Spesialis Patologi Anatomik di Departemen Patologi Anatomik

FKUI/RSCM berdasarkan kriteria WHO.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif dengan desain cross sectional study.

Sampel pada penelitian ini adalah darah perifer penderita KNF dan kontrol. Penentuan

jumlah sampel, digunakan rumus sampel minimum sehingga total sampel diperlukan

adalah 94, dibulatkan menjadi 100 untuk setiap kelompok18.

Cara Kerja (Isolasi DNA Genom)19

Sel darah tepi sebanyak 1,5 ml dicampurkan ke tabung falkon yang berisi 4,5 ml

Red Blood Cells solution 1X (199 mM EDTA; 100 mM KHCO3; 1,45 NH4Cl), dibolak-

balik 4-5 kali, diinkubasi pada suhu kamar 10 menit. Campuran disentrifugasi pada 1.500

rotation per minute (rpm) 10 menit pada suhu 27oC sampai didapatkan pellet. Supernatan

dibuang dan pellet dilisis dengan RBC 1X dan kembali disentrifugasi seperti cara di atas

sampai pelet berwarna putih. Setelah supernatan dibuang, ditambahkan 1,3 ml Cell Lysis

Solution (10 mM Tris HCl; 0,25 mM EDTA; 20% SDS). Suspensi dihomogenkan dengan

cara memipet berkali-kali secara perlahan. Selanjutnya supensi diinkubasi pada suhu 37oC

30 menit. Kemudian ditambahkan 1,3 ml protein presipitasi (5M amonium asetat),

divorteks 30 detik sampai terbentuk butiran-butiran halus.

Suspensi disentrifugasi 3.000 rpm pada suhu 4oC 15 menit sampai terbentuk pellet

kecoklatan. Supernatan dipindahkan ke tabung falkon baru yang berisi 2,3 ml isopropanol

3

dingin. Tabung falkon kemudian dibolak-balik beberapa kali sampai terlihat presipitat

berupa benang-benang halus DNA di dalam isopropanol. Kemudian DNA diinkubasi

semalaman pada -20oC. Tabung berisi isopropanol DNA disentrifugasi 3.000 rpm pada

suhu 4oC 5 menit. Supernatan dibuang dan pelet DNA dicuci dengan 1,5 ml alkohol 70%

dingin, disentrifugasi kembali 3.000 rpm pada suhu 4oC 5 menit. Pelet DNA dikering

anginkan selama 2 jam pada suhu kamar. Selanjutnya ditambahkan 300 l TE (10 mM Tris

HCl; 0,25 mM EDTA) ke dalam tabung yang berisi DNA dan diinkubasi pada 37oC 2 jam.

Setelah inkubasi, DNA dipindahkan ke tabung 1,5 ml dan disimpan pada suhu -20oC.

Amplifikasi DNA gen PIGR

Untuk mengetahui mutasi atau polimorfisme gen PIGR, DNA genom yang telah

diisolasi di amplifikasi menggunakan primer yang telah digunakan peneliti sebelumnya 17

yakni, forward 5’GGGTCCCGCGATGTCAGCCTAG3’ dan downward

5’TTCTCCGAGTGGGGAGCCTT3’. Setiap 50 l reaktan amplifikasi mengandung 10 l

DNA cetakan (template), 10 pmol pasangan primer, 200 mM deoksiribonukleotida

triphospat (dNTP), 1,25 unit Taq DNA polimerase, larutan dapar yang mengandung 10

mM Tris-HCl pH 9; 50 mM KCl, 0,1% Triton X-100, 1,5 mM MgCl2 dan ddH2O.

Amplifikasi yang dilakukan terdiri atas denaturasi, penempelen (annealing), dan

ekstensi DNA pada mesin PCR. Kondisi PCR yang digunakan adalah pre-PCR pada 95oC

selama 4 menit, periode PCR selama 35 siklus meliputi denaturasi pada 95oC selama 60

detik, annealing pada 60oC selama 60 detik, dan ekstensi pada 72oC selama 60 detik.

Setelah periode PCR selesai, maka diakhiri dengan post-PCR pada 72oC selama 7 menit.

Untuk kontrol negatif, sebagai pengganti DNA cetakan ditambahkan 10 l ddH2O ke dalam

campuran larutan PCR.

Hasil PCR dideterminasi dengan elektroforesis gel agarosa 1% yang telah diberi 1

g/l ethidium bromida menggunakan alat elektroforesis yang telah diisi TAE 1X. Ke

dalam tiap sumuran gel agarosa dimasukkan campuran meliputi 10 l DNA amplikon dan

3 l loading buffer (0,25% bromophenol blue, xylene cyanol, 4% b/v sukrosa),

elektroforesis dilakukan pada tegangan 90 Volt selama 60 menit. Sebagai penanda

digunakan DNA ladder 100 bp. Kemudian pita fragmen DNA hasil elektroforesis dideteksi

menggunakan iluminator ultra violet dan direkam dengan film polaroid.

Analisis Mutasi Gen PIGR dengan Teknik PCR-RFLP.

Setelah diketahui hasil amplifikasi DNA PIGR positif dengan adanya pita DNA

berukuran 220 bp dari elektroforesis, maka dilakukan analisis Restriction fragment length

polymorphism (RFLP) menggunakan enzim restriksi Hga I. Deteksi mutasi gen PIGR

4

Stadium Kanker Pada Penderita KNF

11.76

76.47

2.94 8.83

020406080

100

Awal (I dan II) Lanjut (III dan IV) Residif BelumTeridentifikasi

Stadium KNF

Jum

lah

(%)

mengacu pada penelitian sebelumnya17, yaitu dengan menambahkan 15 l amplikon PIGR

ke dalam tabung PCR, ditambahkan ddH2O 3 l, larutan dapar N2 4 l, dan Hga I 1 l (10

unit/l). Campuran pada tabung PCR kemudian diinkubasi pada 37oC selama 16 jam.

Setelah diinkubasi, maka DNA yang dipotong tersebut dideterminasi dengan

elektroforesis gel agarosa 2% yang telah diberi 1 g/l ethidium bromida dan alat

elektroforesis yang berisi TAE 1X. Ke tiap sumuran gel agarosa dimasukkan 20 l DNA

yang telah terpotong plus 3 l loading buffer dan penanda, dipisahkan dengan

elektroforesis seperti cara sebelumnya. Hasil elektroforesis dinyatakan positif jika

ditemukan 1, 2, atau 3 pita DNA PIGR berukuran 220 pb, 180 pb, dan 40 pb. Selanjutnya

pita DNA tersebut dideteksi dan direkam dengan film polaroid untuk analisis RFLP.

Analisis Statistik

Penelitian ini menggunakan analisis statistik nonparametrik, karena data yang

dihasilkan bersifat nominal. Untuk melihat distribusi genotip dan frekuensi alel gen PIGR

dalam populasi digunakan analisis Chi-square test20

Hasil

KNF dan Faktor-faktor Pendukung Patologi KNF

Hasil penghitungan jumlah penderita KNF jika dilihat dari stadium kanker yang

diidapnya (stadium awal dan stadium akhir) terlihat terlihat bahwa kebanyakan penderita

KNF yang datang berobat ke RSCM mengidap KNF pada stadium lanjut (stadium III dan

IV) dengan porsi 76,47%. Urutan kedua ditempati stadium awal (stadium I dan II) dengan

porsi 13,73%, dan diikuti oleh residif 2,94%, sedangkan yang belum diketahui stadium

kankernya sebesar 6,86% .

Gambar 1 : Stadium kenker pada

penderita KNF yang datang

berobat di RSCM.

5

Insiden KNF Pada Pria dan Wanita

34.31

65.69

0

20

40

60

80

100

Pria Wanita

Jenis Kelamin

Jumlah (%

)

Distribusi Umur Pada Penderita KNF dan Kontrol

6.913.7

23.529.4

24.5

2.0

18.825.6

29.1

17.1

8.6

0.00.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

≤ 20 21-30 31-40 41-50 51-60 ≥ 61

Umur (Tahun)

Pers

enta

se (%

)

KNF

Kontrol

Selama penelitian berlangsung didapatkan 102 pasien KNF dengan distribusi umur

yang berbeda. Sebagai faktor pembanding (kontrol) adalah 117 individu sehat yang

terdiri atas para donasi.

Dari 102 pasien KNF, komposisinya terdiri atas 67 pria (65,69%) dan 35 wanita

(34,31%) sehingga ditemukan rasio antara pasien pria dan wanita sebesar 1,9 : 1

(Gambar 2). Selanjutnya dari 102 pasien KNF tersebut ditemukan etnis Jawa yang paling

dominan dengan porsi sebesar 34,31%, diikuti Sunda sebesar 29,41%, dan Batak sebesar

9,80%.

Gambar 2. Insiden KNF di

RSCM Indonesia ditinjau dari

jenis kelamin.

Dari segi faktor umur, dari 102 pasien KNF ditemukan umur pada dekade ke-4

(41-50 tahun) dengan porsi 29,41%, diikuti umur dekade ke-5 (51-60 tahun) sebesar

24,51%, dan dekade ke-3 (31-40) sebesar 23,53% (Gambar 3) dengan sebaran umur pada

pasien KNF antara umur 15 sampai dengan 69 tahun.

Gambar 3. Distribusi umur

pada penderita KNF dan

Kontrol.

6

Amplifikasi DNA untuk mendeteksi mutasi gen PIGR

Polimorfisme gen PIGR ditunjukkan oleh variasi pada rentang DNA PIGR yang

meliputi situs polimorfik Hga I terletak pada posisi 1739CT. Amplifikasi

Gambar 4. Produk PCR dengan

ukuran 220 pb setelah

dielektroforesis dengan gel

agarosa 1% selama 60 menit

yang divisualisaikan dengan

iluminator UV dan direkam

dengan kamera polaroid.

daerah tersebut dilakukan dengan metode PCR, menggunakan primer PIGR dan berhasil

dan bernilai positif dengan produk PCR berukuran 220 pb (Gambar 4). Hal ini

menunjukkan bahwa primer yang digunakan adalah benar dan sesuai dengan yang

diharapkan.

Analisis Polimorfisme Gen PIGR dengan PCR-RFLP.

Analisis PCR-RFLP gen PIGR dengan enzim Hga I pada elektroforesis gel agarosa

Gambar 5. Hasil elektroforesis

produk PCR-RFLP DNA PIGR

pada gel agarosa 2% selama 60

menit yang dideteksi dengan UV

iluminator dan direkam dengan

film polaroid.

7

2% didapatkan gambaran sebagai berikut (Gambar 5) : 1. Individu dengan pita DNA 220

pb mempresentasikan genotip TT, 2. Individu dengan pita DNA 220 pb, 180 pb, dan 40 pb

mempresentasikan genotip CT, 3. Individu dengn pita DNA 180 pb dan 40 pb

mempresentasikan genotip CC.

Distribusi Genotip dan Frekuensi Alel PIGR pada KNF dan Kontrol

Pada Tabel 2 dapat dilihat distribusi genotip dan frekuensi alel PIGR pada

kelompok pasien KNF dengan kelompok kontrol. Distribusi genotip PIGR pada populasi

KNF dan kontrol memperlihatkan pola penyebaran yang hampir sama. Pada kelompok

KNF, genotip CT (heterozigot) mempunyai proporsi 68,0%, genotip TT dengan proporsi

29,0%, dan genotip CC dengan proporsi 1,0%. Pada kelompok Kontrol, genotip CT

mempunyai proporsi 58,11%, genotip TT dengan proporsi 35,89%, dan genotip CC dengan

proporsi 5,98%.

Selanjutnya untuk frekuensi alel, pada kelompok KNF, alel T memiliki frekuensi

63,73%, sedangkan alel C mempunyai frekuensi 36,27%. Pada kelompok kontrol, alel T

memiliki frekuensi 64,96%, sedangkan alel C memiliki

Tabel 2: Perbandingan distribusi genotip dan frekuensi alel PIGR antara kelompok KNF

dan Kontrol.

Kelompok Jumlah CC CT TT Frekuensi Alel

C (%) T (%)

KNF 102 2 70 30 36,27 63,73

Kontrol 117 7 68 42 35,04 64,96

Total 219 9 138 72 35,62 64,38

frekuensi 35,04%. Secara keseluruhan dalam populasi menunjukkan alel T memiliki

frekuensi 64,38%, sedangkan alel C mempunyai frekuensi 35,62%. Dari uji chi-square

didapatkan p >0,05. Hal ini menunjukkan frekuensi alel gen PIGR antara kelompok KNF

tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol, ini berarti gen PIGR tidak berdisposisi

dan berkontribusi pada patogenesis KNF.

Distribusi Genotip dan Frekuensi Alel PIGR Pda Kelompok Etnis Pribumi dan Cina di

Indonesia

Pada Tabel 3 dapat dilihat distribusi genotip dan frekuensi alel gen PIGR pada

kelompok pribumi dan kelompok etnis Cina di Indonesia. Distribusi genotip PIGR

pada kelompok pribumi dan Cina di Indonesia menunjukkan pola penyebaran yang

8

hampir sama. Pada kelompok pribumi, genotip CT mempunyai proporsi 63,06%,

genotip TT dengan proporsi 32,95%, dan genotip CC dengan proporsi 3,970%. Pada

kelompok Cina, genotip CT mempunyai proporsi 62,79%, genotip TT dengan proporsi

32,55%, dan genotip CC dengan proporsi 4,65%.

Tabel 3 : Perbandingan distribusi genotip dan frekuensi alel gen PIGR pada kelompok

Pribumi dan etnis Cina di Indonesia.

Kelompok Jumlah CC CT TT Frekuensi Alel

C (%) T (%)

Pribumi 176 7 111 58 35,51 64,49

Cina 43 2 27 14 36,05 63,95

Jumlah 219 9 138 72 35,62 64,38

Selanjutnya untuk frekuensi alel, pada kelompok pribumi alel T memiliki frekuensi

64,89%, sedangkan alel C mempunyai frekuensi 35,11%. Pada kelompok Cina, alel T

memiliki frekuensi 63,95%, sedangkan alel C mempunyai frekuensi 36,05%. Secara

keseluruhan dalam populasi Indonensia menunjukkan bahwa alel T memiliki frekuensi

64,38%, sedangkan alel C mempunyai frekuensi 35,627%. Dari uji chi-square didapatkan

p >0,05. Hal ini mengindikasikan bahwa frekuensi alel gen PIGR antara kelompok Pribumi

tidak berbeda nyata dengan kelompok etnis Cina yang ada pada populasi Indonesia.

Diskusi

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa stadium kanker pada pasien KNF yang datang

berobat ke RSCM kebanyakan adalah dalam stadium lanjut dengan porsi sebesar 76,47 %,

diikuti stadium awal dengan porsi 13,73%, dan residif 2,94%, sedangkan yang belum

teridentifikasi sekitar 6,86%. Tingginya jumlah pasien stadium lanjut yang berobat ke

RSCM dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dari pasien terhadap gejala-gejala

KNF yang mereka idap. Selain itu, untuk menentukan bentuk kankernya yang diidap juga

tidak mudah akibat lokasi kanker yang sulit dijangkau dan dilihat. Menurut Roezin dan

Adham4, diagnosis dini KNF memang cukup sulit ditegakkan karena posisi nasofaring

yang tersembunyi dibelakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta

berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke

posterior leher. Oleh karena letak nasofaring yang tidak mudah diperiksa oleh mereka yang

bukan ahli, seringkali tumor ditemukan dalam kondisi yang sudah berkembang dan

9

bermetastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala utama. Dalam keadaan seperti

ini maka prognosis akan menjadi lebih buruk.

Disamping kekurangtahuan dari 102 pasien KNF akan perkembangan KNF, faktor

sosial dan ekonomi pasien juga dapat dipertimbangkan untuk memperparah penyakit yang

diidap, seperti kebiasaan memakan ikan asin, makanan diawetkan, dan merokok. Menurut

Roezin,21 bahwa terdapat pengaruh kebiasaan merokok dan polusi lingkungan selain faktor

usia dan keadaan sosial ekonomi dalam terjadinya pertumbuhan penyakit KNF. Selain

itu, pada orang pribumi Indonesia faktor keturunan, konsumsi ikan asin, dan sosial

ekonomi dicurigai pula sebagai faktor penyebab penting timbulnya KNF22.

Selama penelitian didapatkan 102 pasien KNF dengan distribusi umur bervariasi,

sedangkan untuk kontrol diambil 117 donor sehat. Dari 102 pasien KNF terdiri atas 67

pria (65,69%) dan 35 wanita (34,31%) dengan rasio antara pria dan wanita adalah 1,9 : 1

(Gambar 2). Pada penelitian terdahulu23 didapatkan rasio pasien KNF antara pria dan

wanita adalah 2,2 : 1, sedangkan penelitian yang dilakukan di luar negeri didapatkan rasio

antara pria dan wanita berkisar antara 2,3:13. Tidak samanya perbandingan rasio antara

pria dan wanita pada penelitian ini dengan penelitian sebelumnya diduga akibat tidak

terambilnya dengan baik total pasien yang berobat ke RSCM.

Selanjutnya, etnis atau suku yang terbanyak dari 102 orang jumlah pasien KNF

tersebut adalah Jawa (34,31%), diikuti Sunda (29,41%), dan Batak (9,80%). Hal ini

belum dapat diketahui penyebabnya kenapa suku Jawa mendominansi pasien KNF di

RSCM, karena selama ini dipercaya bahwa salah satu faktor yang menunjang timbulnya

KNF adalah seringnya mengkonsumsi ikan asin. Mungkin karena banyaknya orang Jawa

yang sering mengkonsumsi ikan asin, sehingga insiden KNF banyak terdapat pada etnis

ini. Hal ini sesuai dengan penelitian Masrin 24 yang menemukan bahwa suku Jawa terkena

KNF menempati urutan teratas (64,3%) dan diikuti oleh suku dari Sumatera (23,35%).

Dari segi faktor usia, jumlah pasien terbanyak adalah umur dekade ke-4 (29,41%),

diikuti dekade ke-5 (24,51%), dan dekade ke-3 (23,53%) dengan sebaran umur berkisar

antara umur 15 sampai dengan 69 tahun (Gambar 3). Angka tersebut sama dengan

penelitian Asroel 25 yang menemukan bahwa usia penderita KNF bervariasi, namun pasien

KNF terbanyak ditemukan adalah pada usia produktif (usia 40-50 tahun). Selanjutnya hasil

ini juga disokong penelitian sebelumnya dimana pasien KNF terbanyak ditemukan pada

dekade 4 dan 5 23 dengan penyebaran umur pasien KNF dari 7 sampai 80 tahun26.

Distribusi genotip genotip PIGR pada populasi menunjukkan bahwa pada

kelompok KNF dan kontrol memperlihatkan pola penyebaran yang hampir sama.

10

Selanjutnya untuk frekuensi alel gen PIGR, pada kelompok KNF, alel T memiliki

frekuensi lebih tinggi dibanding alel C (63,73%:36,27%). Pada kelompok kontrol, alel T

memiliki frekuensi lebih tinggi dibanding alel T (64,96%: 35,62%). Dari uji chi-square

menunjukkan bahwa frekuensi alel gen PIGR antara kelompok KNF tidak berbeda nyata

dengan kelompok kontrol, ini berarti gen PIGR tidak berdisposisi dan berkontribusi

pada patogenesis KNF (p >0,05). Kendati demikian, distribusi genotip dan frekuensi alel

gen PIGR untuk populasi di Indonesia terlihat berbeda dengan di Thailand, dimana

frekuensi alel C lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi alel T17.

Pada kelompok KNF di populasi Thailand, genotip CC mempunyai proporsi

75,42%, genotip CT dengan proporsi 21,14%, dan genotip TT dengan proporsi 3,42%.

Pada kelompok kontrol, genotip CC mempunyai proporsi 53,62%, genotip CT dengan

proporsi 41,00%, dan genotip TT dengan proporsi 5,36%. Selanjutnya untuk frekuensi alel,

pada kelompok KNF, alel C memiliki frekuensi 86,0%, sedangkan alel T mempunyai

frekuensi 14,0%. Pada kelompok kontrol, alel C memiliki frekuensi 74,13%, sedangkan

alel T mempunyai frekuensi 25,87%. Secara keseluruhan dalam populasi Thailand

menunjukkan bahwa alel C memiliki frekuensi tertinggi dibanding alel T

(78,35%:21,65%)17. Perbedaan tersebut mungkin merefleksikan variasi gen PIGR yang

tidak selaras antara populasi Indonesia dan populasi Thailand berkaitan dengan letak dan

situasi geografis dimana kedua populasi tersebut berada, atau mencerminkan founder effect

dari populasi Cina di Indonesia yang kemudian memunculkan varian genetik (filogenetik)

baru. Menurut Mutirangura et al.,2 bahwa KNF mempunyai perbedaan yang signifikan

dalam distribudi geografis.

Distribusi genotip dan frekuensi alel gen PIGR pada kelompok pribumi dan

kelompok etnis Cina di Indonesia menunjukkan pola penyebaran yang hampir sama.

Selanjutnya untuk frekuensi alel, pada kelompok pribumi alel T memiliki frekuensi lebih

tinggi dibanding alel C (64,89%:35,11%). Pada kelompok Cina, alel T memiliki frekuensi

lebih tinggi dibanding alel C (63,95%:36,05%). Secara keseluruhan dalam populasi

Indonensia menunjukkan bahwa alel T memiliki frekuensi yang tinggi (64,38%),

sedangkan alel C mempunyai frekuensi yang rendah (35,627%). Dari uji chi-square dapat

diindikasikan bahwa frekuensi alel gen PIGR antara kelompok pribumi tidak berbeda nyata

dengan kelompok etnis Cina yang ada pada populasi Indonesia (p >0,05). Meski demikian,

distribusi genotip dan frekuensi alel gen PIGR untuk populasi di Indonesia terlihat berbeda

dengan di Thailand, dimana proporsi genotip CC lebih tinggi daripada genotip TT,

11

sehingga secara tidak langsung frekuensi alel C juga lebih tinggi dibandingkan frekuensi

alel T17.

Jika dibandingkan dengan populasi di Thailand, distribusi genotip PIGR pada

populasi Thailand asli dan Cina di Thailand menunjukkan pola penyebaran yang sama

sekali berbeda dengan populasi Indonesia. Pada kelompok Thailand asli, genotip CC

mempunyai proporsi 64,01%, genotip CT dengan proporsi 30,84%, dan genotip TT dengan

proporsi 5,15%. Pada kelompok Cina Thailand genotip CC mempunyai proporsi 61,74%,

genotip CT dengan proporsi 31,54%, dan genotip TT dengan proporsi 6,71%. Selanjutnya

untuk frekuensi alel, pada kelompok Thailand asli, alel C memiliki frekuensi 79,43%,

sedangkan alel T mempunyai frekuensi 20,57%. Pada kelompok Cina Thailand, alel C

memiliki frekuensi 77,51%, sedangkan alel T mempunyai frekuensi 22,49%. Secara

keseluruhan dalam populasi Thailand menunjukkan bahwa alel C memiliki frekuensi

78,65%, sedangkan alel T mempunyai frekuensi 21,35%17.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pada populasi Indonesia gen PIGR tidak

berkontribusi pada patogenesis KNF baik pada orang Cina maupun orang Indonesia asli.

Orang Cina di Indonesia telah bertukar gen timbal balik secara bebas dengan orang

Indonesia asli selama beberapa generasi, sehingga memiliki karakter genetik berbeda

dengan orang Cina di Thailand. Hal ini akan berimplikasi pada suseptibilitasnya terhadap

KNF, dimana orang Cina Thailand lebih rentan terkena KNF dan lebih suseptibel terhadap

infeksi EBV dari pada orang Thailand asli17

Fan et al.27 meneliti hubungan potensial antara polimorfisme PIGR dengan

suseptibilitas individu terhadap KNF pada 528 penderita KNF dan 408 kontrol sehat.

Penelitian tersebut tidak melihat adanya hubungan frekuensi alel untuk setiap SNP.

Namun, setelah dikategorikan ke dalam bentuk perbedaan umur antara di bawah 45 tahun

dibandingkan dengan di atas 45 tahun ternyata individu yang mengemban alel minor T

SNP C880T berisiko tinggi terhadap KNF. Penelitian ini menyimpulkan bahwa SNP

C8880T berasosiasi dengan suseptibilitas individu terhadap KNF dan gen PIGR diduga

berperan dalam onkogenesis dan perkembangan KNF.

Penelitian Nagura et al.28 telah diperlihatkan bahwa gangguan ekspresi gen PIGR

dapat meningkatkan derajat malignasi pada jaringan premalignan. Pada jaringan kolon

penurunan ekspresi PIGR berhubungan erat dengan kenaikan derajat displasia dan

absennya ekspresi gen PIGR dapat merepresentasikan perubahan dini perkembangan

karsinoma29. Oleh karena itu, perbedaan ekspresi gen PIGR dapat digunakan sebagai

marka untuk melihat penyimpangan diferensiasi epitel normal, meskipun perannya dalam

12

perkembangan kanker masih belum diketahui28.Pada penelitian Chang et al. 30, diketahui

bahwa eksperesi gen PIGR jarang terdeteksi pada spesimen biopsi KNF dan hal ini

konsisten dengan penelitian sebelumnya31 bahwa hanya 4,3% dari spesimen biopsi KNF

dengan ekspresi PIGR positif. Pada penelitian lain telah dilaporkan pula bahwa PIGR

berfungsi sebagai reseptor terhadap infeksi EBV pada sel epitel32.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian tentang analisis polimorfisme gen

PIGR pada penderita KNF dan individu normal dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Distribusi alotip gen PIGR tidak berbeda antara kelompok KNF dengan kontrol dan

pada populasi Indonesia; 2. Alotip gen PIGR tidak berperan terhadap patogenesis

munculnya KNF; 3. Prevalensi alel C dan alel T pada populasi Indonesia berbeda dengan

populasi di Thailand, hal ini dapata disebabkan oleh perbedaan distribusi geografis.

Saran

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan perlunya dilakukan pemeriksaan alotip

PIGR pada patogenesis KNF, terutama pada situs polimorfik Hga I sebagai pemeriksaan

pendahuluan bagi penderita KNF.

Ucapan Terimakasih

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P2M) Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sebagai penyandang

dana penelitian melalui Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) yang bekerjasama

dengan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia (DRPM-UI)

melalui nomor kontrak 170D/DRPM-UI/N1.4/2006 dan 279A/DRPM-UI/N1.4/2007 yang

telah memfasilitasi sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar. Selanjutnya juga

disampaikan ucapan terimakasih kepada dr. Irwan Ramli Sp.Rad, OnkRad(K) dari

Departemen Radioterapi FKUI/RSCM dan dr. Umar Said Dharmabakti Sp.THT-KL (K),

dr. Armiyanto Sp.THT-KL(K), dr. Marlinda Adham Sp.THT-KL(K) dari Departemen THT

FKUI/RSCM yang telah membantu dalam pengadaan sampel penelitian.

Daftar Pustaka

1. Mutirangura A. Molecular mechanisms of nasopharyngeal carcinoma development.

Research advances and research updates in medicine 2000; 1:18-27.

13

2. Mutirangura A, Tanunyutthawongese C, Pornthanakasem W, Kerekhanjanarong V,

Sriuranpong V, Yenrudi S, et al. Genomic alteration in nasopharyngeal carcinoma:

loss of heterozygosity and Epstein-Barr virus infection. Brit J. Cancer 1997; 76:770-

6.

3. Parkin DM, Bray F, Ferlay J, Pisani P. CA: A Cancer Journal for Clinicians.

http//:www.caonline.amcancersoc.org./cgi/contet/full/55/2/74. Diakses pada 24-9-

20005.

4. Roezin A. dan Adham M. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,

Bashiruddin J, dan Restuti RD. Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung

Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke 6. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2007.

5. Feng P, Ren EC, Liu D, Chan SH, Hu H. Expression of Epstein-Barr virus lytic gene

BRLF1 in nasopharyngeal carcinoma: potential use in diagnosis. J Gen Virol 2000;

81: 2417-2423.

6. McDermott Al, Dutt SN, Watkinson JC. The aetiology of nasopharyngeal carcinoma.

Clin otolaryngol 2001; 26:82-92.

7. Susworo R. Radioterapi. Dasar-Dasar Radioterapi, Tata Laksana Radioterapi Penyakit

Kanker. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.

8. Gallicchio L, Matanoski G, Tao XG, Chen L, Lam TK, Boyd K, et al. Adulthood

consumption of preserved and nonpreserved vegetables and the risk of

nasopharyngeal carcinoma: a systematic review. Int J Cancer 2006; 119: 1125-35.

9. Chen L, Gallicchio L, Boyd-Lindsley K, Tao XG, Robinson KA, Lam TK, et al.

Alcohol consumption and the risk of nasopharyngeal carcinoma: a systematic review.

Nutr Cancer 2009; 61: 1-15.

10. Yu MC and Yuan JM. Epidemiology of nasopharyngeal carcinoma. Semin Cancer

Biol 2002; 12:421-9.

11. Jeannel D, Hubert A, de Vathaire F, Eliouz R, Camoun M, Ben Salem M, et al. Diet,

living conditions and nasopharyngeal carcinoma in Tunisia: A case-control study. Int

J cancer 1990; 46:421-425.

12. Cheung F, Pang SW, Hioe F, Cheung KN, Lee A. Nasopharyngeal carcinoma in

situ: Two cases of an emerging diagnostic entity. Cancer 1998; 83:1069-73.

13. Shanmugaratnam K and Sobin L. Histological typing of upper respiratory tract

tumor. Geneva, World Health Organization: 1978; 31-39.

14

14. Roezin A. dan Syafril A. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Iskandar N. dan Supardi E.

Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke 5. Balai

Penerbit FKUI, Jakarta. 2001.

15. Thompson MP and Kurzrock R. Epstein-Barr virus and cancer. Clin Cancer Res

2004; 10: 803-821.

16. Zhang JR, Mostov KE, Lamm ME, Nanno M, Shimida S, Ohwaki M, et al. The

polymeric immunoglobulin receptor translocates pneumococci across human

nasopharyngeal epithelial cells. Cell 2000; 102 : 827-837.

17. Hirunsatit R, Kongruttanachok N, Shotelersuk K, Supiyaphun P, Voravud N,

Sakuntabhai A, et al. Polymeric immunoglobulin receptor polymorphisms and risk

of nasopharyngeal cancer. BMC Genetics 2003; 4 : 1 – 9.

18. Sastroasmoro S. dan Ismael S. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-2.

CV Sagung Seto, Jakarta. 2002.

19. Maniatis T, Fritsch EF, Sambrook J. Molecular Cloning : A Laboratory manual, 2nd

edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York, 1989.

20. Medis R. Statistical handbook for non-statistician.McGraw-Hill Book Company

(UK) Limit. London. 1975.

21. Roezin A. Food and Social Background of Nasopharyngeal Cancer Patient in Jakarta.

ASEAN Otolaryngol Head & Neck Surg J 1997; 1 : 21-27.

22. Roezin A. Berbagai Faktor Penyebab dan Predisposisi Karsinoma Nasofaring. Maj

Kedok Indon 1999; 49 (3) : 85-88.

23. Armiyanto. Pemeriksaan immunoglobulin A terhadap Virus Epstein-Barr spesifik

untuk “viral capsid antigen” dan “early antigen” pada karsinoma nasofaring. Skripsi

PPDS Bidang studi Penyakit THT. FKUI, Jakarta. 1993.

24. Masrin I. Proporsi Hasil Pemeriksaan Serologi Virus Epstein-Barr Pada Pasien

Karsinoma Nasofaring Menggunakan Reagen NPC REAAD Inflexion Dengan

Metoda ELISA. Skripsi PPDS Bidang Studi Penyakit THT. FKUI, Jakarta. 2006.

25. Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. USU Digital

Library. 2002.

26. Munir M. Tumor Telinga Hidung Tenggorok Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,

Bashiruddin J, dan Restuti RD. Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung

Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke 6. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2007.

15

27. Fan Q, Jia WH, Zhang RH, Yu XJ, Chen LZ, Feng QS, et al. Association of PIGR

Polymorphisms With Nasopharyngeal Carcinoma. Chinese J Cancer Research 2006;

18 (3): 168-172.

28. Nagura H, Tsutsumi Y, Shioda Y, Watanabe K. Immunohistochemistry of gastric

carcinomas and associated diseases: novel distribution of carcinoembryonic antigen

and secretory component on the surface of gastric cancer cells. J Histochem

Cytochem 1983;31:193–198

29. Poger ME, Hirsch BR, Lamm ME. Synthesis of secretory component by colonic

neoplasms. Am J Pathol 1976;82: 327–338.

30. Chang Y, Lee TC, Li JC, Lai TL, Chua HH, Chen CL, et al. Differential Expression

Of Osteoblast-Specific Factor 2 And Polymeric Immunoglobulin Receptor Genes In

Nasopharyngeal Carcinoma. Head & Neck 2005; 10: 873-882.

31. Macdiarmid J, Stevenson D, Campbell DH, Wilson JB. The latent membrane protein

1 of Epstein-Barr virus and loss of he INK4a locus: Paradoxes resolves to

cooperation in carcinogenesis in vivo. Carcinogen 2004; 24 (7): 1209-1218.

32. Sixbey JW & Yao QY. Immunoglobulin A-induced shift of Epstein-Barr virus tissue

tropism. Science 1992;255: 1578–1580.

16

POLA DISTRIBUSI ALOTIP GEN POLYMERIC IMMUNOGLOBULIN RECEPTOR (PIGR) PADA

PENDERITA KARSINOMA NASOFARING (KNF) DI INDONESIA

Drs. Yurnadi, M.Kes.Dr. Dwi Anita Suryandari. M.Biomed.

Prof. Drs. Purnomo Soeharso PhD.Prof Dr. dr. Nukman Moeloek, Sp.And.

Prof. Dr. dr. R. Susworo Sp.Rad, (K), OnkRad.

DEPARTEMEN BIOLOGI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA2010

17

Pola Distribusi Alotip Gen Polymeric Immunoglobulin Receptor (PIGR) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring (KNF) Di Indonesia

Yurnadi1,2, Dwi Anita Suryandari1, Purnomo Soeharso1, Nukman Moeloek1, R. Susworo3

1Departemen Biologi Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta; 2 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Biomedik FKUI, Jakarta3Departemen Radioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstrak: Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan penyakit genetik multifaktor bersifat endemik dan mempunyai perbedaan signifikan dalam distribusi geografis. Disamping konsistensi faktor infeksi virus Epstein-Barr (EBV), insiden KNF muncul akibat peran faktor genetik seperti polimorfisme gen PIGR. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi alotip gen PIGR dan hubungannya dengan suseptibilitas individu terhadap KNF pada populasi Indonesia. Penelitian dilakukan dengan analisis PCR-RFLP gen PIGR menggunakan enzim Hga I. Dengan teknik ini determinasi alel gen PIGR dilakukan pada pasien KNF dan kontrol sehat dari beberapa populasi suku dan etnis Indonesia yang ada di Jakarta. Hasil penelitian ini adalah distribusi genotip dan frekuensi alel gen PIGR pada penderita KNF tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan individu kontrol sehat. Distribusi genotip dan frekuensi alel gen PIGR tidak berbeda nyata (P>0,05) antara kelompok pribumi dan etnis Cina di Indonesia, baik alel T maupun alel C, namun distribusi alel ini berbeda dengan populasi di Thailand. Kesimpulan : 1. Distribusi alotip gen PIGR tidak berbeda antara kelompok KNF dengan kontrol dan pada populasi Indonesia; 2. Alotip gen PIGR tidak berperan terhadap patogenesis munculnya KNF; 3. Prevalensi alel C dan alel T pada populasi Indonesia berbeda dengan populasi di Thailand, hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan distribusi geografis.

Kata kunci : Alotip, gen PIGR, polimorfisme gen, KNF, EBV.

18

Pattern Distribution Allotype Polymeric Immunoglobulin Receptor (PIGR) Gene at

Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) Patient in Indonesia

Yurnadi1,2, Dwi Anita Suryandari1, Purnomo Soeharso1, Nukman Moeloek1, R. Susworo3

1Department of Medical Biology, Faculty of Medicine University of Indonesia, Jakarta; 2 Program Doctoral Biomedical Science, Faculty of Medicine University of Indonesia, Jakarta; 3Department of Radioteraphy, Faculty of Medicine University of Indonesia and Ciptomangunkusomo Hospital, Jakarta.

Abstract: NPC is genetic disease multifactor has the character of endemic and have

significant difference in geographical distribution. Beside consistency of factor infection

by Epstein-Barr virus (EBV), NPC incidence emerges consequence of genetic factor role

like PIGR gene polymorphism. Objective of this research are to know allotype distribution

of PIGR gene and its relation with susceptibility individual to NPC at Indonesian

population. Research is conducted by PCR-RFLP analysis of PIGR gene uses restriction

enzyme Hga I . Determination of allele PIGR gene is conducted at NPC patient and

healthy control from some tribe populations and Indonesian ethnic that exist in Jakarta.

Result of this research is the genotype distribution and allele frequency PIGR gene at NPC

patient did not significant difference (P>0,05) with healthy control individual. Genotype

distribution and allele frequency of PIGR gene did significant difference (P>0,05)

between aborigines group with Chinese ethnic in Indonesia, either T allele or C allele,

nevertheless distribution of this allele differs from population in Thailand. Conclusion : 1.

Distribution of allotype PIGR gene did not difference between NPC group with control and

at Indonesian population; 2. Allotype PIGR gene did not shares to pathogenesis

appearance NPC; 3. Prevalence of C and T Allele at Indonesia population is difference

with population in Thailand, this is condition are caused by difference of geographical

distribution.

Keyword : Allotype, PIGR gene, polymorphism, NPC, EBV.

19

Lampiran . Surat Lolos Kaji Etik Penelitian

20