analisis masalah arum

14
I. ANALISIS MASALAH 1. Ny. Mina, 63 tahun, mengalami 2 episod inkontinensia urin sehingga ia tidak dapat mencapai toilet tepat pada waktunya untuk mencegah keluarnya urin. Episod pertama saat berada di dalam mobil dan yang kedua saat berada di dalam mall. a) Bagaimana fisiologis normal dari berkemih? A,B b) Bagaimana etiologi dan mekanisme inkontinensia urin? C,D c) Bagaimana perubahan fisiologis berkemih pada usia lanjut? E, F d) Bagaimana klasifikasi inkontinensia urin? G,H e) Bagaimana makna klinis dari jumlah episode dan lokasi terjadinya inkontinensia urin? I,J Stress inkontinensia : Derajat I : urin keluar pada saat batuk, bersin, tertawa Derajat II : urin keluar pada saat mengangkat berat dan melompat Derajat III : urin keluar pada saat berdiri, jalan tapi tidak saat berbaring f) Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan inkotinensia urin pada kasus? K,L

Upload: wira-dharma

Post on 14-Apr-2017

232 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Masalah Arum

I. ANALISIS MASALAH

1. Ny. Mina, 63 tahun, mengalami 2 episod inkontinensia urin sehingga ia tidak

dapat mencapai toilet tepat pada waktunya untuk mencegah keluarnya urin.

Episod pertama saat berada di dalam mobil dan yang kedua saat berada di

dalam mall.

a) Bagaimana fisiologis normal dari berkemih? A,B

b) Bagaimana etiologi dan mekanisme inkontinensia urin? C,D

c) Bagaimana perubahan fisiologis berkemih pada usia lanjut? E, F

d) Bagaimana klasifikasi inkontinensia urin? G,H

e) Bagaimana makna klinis dari jumlah episode dan lokasi terjadinya

inkontinensia urin? I,J

Stress inkontinensia :

Derajat I : urin keluar pada saat batuk, bersin, tertawa

Derajat II : urin keluar pada saat mengangkat berat dan melompat

Derajat III : urin keluar pada saat berdiri, jalan tapi tidak saat berbaring

f) Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan inkotinensia urin pada

kasus? K,L

2. Ny, Minah menjadi jarang keluar rumah karena ada urge incontinence.

a) Bagaimana etiologi dan mekanisme dari urge incontinence? M,N

b) Bagaimana dampak urge incontinence bagi kehidupan Ny. Minah? A,B

3. Ny. Minah mengalami menopause pada usia 50 tahun.

a) Adakah hubungan menopause dengan gejala yang dialami Ny. Minah:

Inkontinensia urin? C,D

Obesitas? E,F

Osteoporosis?G,H

Gangguan kardiovascular (Hipertensi)?I,J

Menurut Darmojo (2006), faktor yang mempengaruhi hipertensi pada

lanjut usia adalah :

Page 2: Analisis Masalah Arum

a. Penurunanya kadar renin karena menurunya jumlah nefron akibat

proses menua. Hal ini menyebabkan suatu sirkulus vitiosus: hipertensi

glomerelo-sklerosis-hipertensi yang berlangsung terus menerus.

b. Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium. Dengan

bertambahnya usia semakin sensitif terhadap peningkatan atau

penurunan kadar natrium.

c. Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer akibat proses menua

akan meningkatakan resistensi pembuluh darah perifer yang

mengakibatkan hipertensi sistolik.

d. Perubahan ateromatous akibat proses menua menyebabkan disfungsi

endotel yang berlanjut pada pembentukan berbagai sitokin dan subtansi

kimiawi lain yang kemudian meyebabkan resorbi natrium di tubulus

ginjal, meningkatkan proses sklerosis pembuluh darah perifer dan

keadaan lain berhubungan dengan kenaikan tekanan darah.

Mekanisme dasar peningkatan tekanan sistolik sejalan dengan

peningkatan usia terjadinya penurunan elastisitas dan kemampuan

meregang pada arteri besar. Tekanan aorta meningkat sangat tinggi

dengan penambahan volume intravaskuler yang sedikit menunjukan

kekakuan pembuluh darah pada lanjut usia. Secara hemodinamik

hipertensi sistolik ditandai penurunan kelenturan pembuluh arteri besar

resistensi perifer yang tinggi pengisian diastolik abnormal dan

bertambah masa ventrikel kiri.

Penurunan volume darah dan output jantung disertai kekakuan arteri

besar menyebabkan penurunan tekanan diastolik. Lanjut usia dengan

hipertensi sistolik dan diastolik output jantung, volume intravaskuler,

aliran darah keginjal aktivitas plasma renin yang lebih rendah dan

resistensi perifer.

Perubahan aktivitas sistem syaraf simpatik dengan bertambahnya

norepinephrin menyebabkan penurunan tingkat kepekaan sistem

Page 3: Analisis Masalah Arum

reseptor beta adrenergik pada sehingga berakibat penurunan fungsi

relaksasi otot pembuluh darah (Temu Ilmiah Geriatri , 2008).

Lanjut usia mengalami kerusakan struktural dan fungsional pada arteri

besar yang membawa darah dari jantung menyebabkan semakin

parahnya pengerasan pembuluh darah dan tingginya tekanan darah.

Psikologis?K,L

4. Pada bulan lalu, suaminya meninggal dan sekarang ia tinggal bersama

pembantunya.

a) Jelaskan hubungan psikologis pada Ny. Minah dengan inkontinensia urin

pada kasus! M,N

5. Pemeriksaan fisik

a) Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari:

BB dan TB (BMI) A,B

TD dan pulse C,D

Temperatur E,F

Tidak ada exertional dyspnea, fatigue, dan sakit kepala G,H

6. Pemeriksaan Penunjang (Densitometri, GDS, MMSE)

a) Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari:

Densitometri I,J

Page 4: Analisis Masalah Arum

Densitometri lumbal : -3,0 osteoporosis

Densitometri femur : -2,7 osteoporosis

Mekanisme:

Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang

yang penting. Estrogen memiliki efek langsung dan tidak langsung pada

tulang. Efek tak langsung estrogen terhadap tulang berhubungan dengan

homeostasis kalsium yang meliputi regulasi absorpsi kalsium di usus,

modulasi 1,25 (OH)2D, ekskresi Ca di ginjal dan sekresi hormone PTH.

Selain itu, efek estrogen terhadap sel-sel tulang akan meningkatkan

formasi tulang dan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas.

Estrogen mempunyai 2 macam reseptor (ERα dan ERβ) yang juga

diekspresikan oleh berbagai sel tulang, termasuk osteoblas, osteosit,

osteoklas, dan kondrosit. Ekspresi ERα dan ERβ meningkat meningkat

bersamaan dengan diferensiasi dan maturasi osteoblas.

Setelah menopause, pengurangan jumlah estrogen yang diproduksi

mengakibatkan berkurangnya reseptor estrogen (ERα dan ERβ). Hal ini

berefek pada homeostasis tulang, diantaranya: terjadinya peningkatan

produksi sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel

mononuclear (IL-1,IL-6,TNF-α), penurunan TGF-β, peningkatan

formasi osteoklas. Semua efek tersebut menyebabkan terjadinya

peningkatan diferensiasi dan maturasi osteoklas.

Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause juga menurunkan

absorpsi Ca di usus dan meningkatkan ekskresi Ca di ginjal. Untuk

mengatasi keseimbangan negative Ca akibat menopause, tubuh

merespon dengan meningkatkan kadar PTH.

Semua efek pasca menopause tersebut menyebabkan peningkatan

resorpsi tulang yang mengakibatkan terjadinya penurunan densitas

tulang. Lebih lanjut dapat meningkatkan insiden fraktur, terutama

fraktur vertebra dan radius distal.

Page 5: Analisis Masalah Arum

GDS K,L

MMSE M,N

b) Bagaimana cara pemeriksaan penunjang? A,B

7. Riwayat pengobatan : Ny, Mina mengkonsumsi Captopril 12,5 mg 2x/hari

a) Apa indikasi, kontraindikasi, dosis, cara pemakaian, efek samping, cara

kerja dari captopril? C,D

b) Bagaimana hubungan konsumsi obat captopril dengan keluhan utama? E,F

c) Bagaimana tatalaksana yang tepat untuk hipertensi pada kasus? G,H

8. Bagaimana cara penegakan diagnosis dan pemeriksaan tambahan yang

dibutuhkan pada kasus? I,J

Menurut Setiati dan Pramantara (2007), diagnosis inkontinensia urin bertujuan

untuk :

1) Menentukan kemungkinan inkontinensia urin tersebut reversibel.

2) Menentukan kondisi yang memerlukan uji diagnostik khusus.

3) Menentukan jenis penanganan operatif, obat, dan perilaku.

Page 6: Analisis Masalah Arum

Diagnosis Inkontinensia urin dilakukan lewat observasi langsung serta

mengajukan pertanyaan penapis. Pertanyaan penapis diagnosis inkontinensia

urin berisi status menstruasi, status kehamilan, gejala dan keluhan utama

gangguan berkemih serta riwayat penyakit.

International Consultation on Incontinence Questionnaire Short Form (ICIQ-

SF) dan The Three Incontinence Questions (3IQ) merupakan salah satu contoh

alat ukur yang berisi pertanyaan penapis diagnosis Inkontinensia urin.

ICIQ-SF merupakan instrumen yang telah diterima setelah perkembangan dari

beberapa seri kuesioner yang dapat diaplikasikan pada pasien dengan

inkontinensia. Pertanyaan pada kuesioner, ICIQ-SF telah secara penuh

tervalidasi. ICIQ-SF ini menggambarkan usaha untuk menangkap dan

merefleksikan pandangan pasien, serta disusun untuk mengevaluasi kondisi

pasien secara tepat (Abrams, 2003).

Sedangkan tipe inkontinensia urin dapat diketahui dengan menggunakan 3IQ.

Alat ukur 3IQ ini terdiri dari tiga pertanyaan dengan pilihan jawaban dimana

dari masing-masing pilihan jawaban tersebut merupakan petunjuk dari gejala

tipe inkontinensia urin yang terjadi. Dari pemeriksaan dengan menggunakan

kuesioner diagnosis inkontinesia urin kita dapat menentukan jenis

inkontinensia (Brown et al., 2006).

Sedangkan untuk mencapai tujuan diagnosis yang lebih komprehensif

pemeriksaan inkontinensia urin dapat dilakukan lewat beberapa aspek seperti

riwayat penyakit, pemeriksaan fisik terarah, urinalisis, volume residu urin

paska berkemih dan pemeriksaan penunjang khusus (Setiati dan Pramantara,

2007).

Menurut Martin dan Frey ( 2005 ) tahapan diagnostik Inkontinensia urin

meliputi :

1) Anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang seksama. Hal-hal yang

perlu ditanyakan dalam anamnesis antara lain pola berkemih ( voiding ),

frekuensi dan volume urin, riwayat medis.

2) Pemeriksaan fisik meliputi perkembangan psikomotor, inspeksi daerah

genital dan punggung.

Page 7: Analisis Masalah Arum

3) Pemeriksaan penunjang baik laboratorik maupun pencitraan, urinalisis,

biakan urin dan pemeriksaan kimia darah.

Pemeriksaan penunjang:

1. Pemeriksaan Q Test

Tes ini dilakukan dengan menginsersikan sebuah cotton swab (Q-tip) yang

steril ke dalam uretra wanita lalu ke kandung kemih. Secara perlahan tarik

kembali hingga leher dari Q-tip berada di leher kandung kemih. Pasien lalu

diminta untuk melakukan Valsava manuver atau mengkontraksikan otot

abdominalnya. Perubahan sudut Q-tip diukur dan dipergunakan sebagai

ukuran laksiti dasar panggul. Bila sudut yang terjadi lebih dari 35 derajat

dengan melakukan hal tersebut maka hal tersebut mengindikasikan adanya

hipermobilitas uretra (tipe II stress incontinence). Akan tetapi karena laksiti

mempunyai nilai yang kecil dalam menentukan penyebab inkontinensia, maka

kegunaan tes ini untuk diagnostik menjadi sangat terbatas.

2. Bony Test

Penekanan uretra dengan dua jari, bila kandung kemih terisi, penderita disuruh

batuk maka urin tidak akan keluar dari uretra sedangkan kalau tidak ditekan

urin akan keluar.

3. Pemeriksaan Pad Test

Penderita disuruh minum sebanyak 500 cc kemudian dalam waktu 30 menit

penderita disuruh naik tangga, jalan dan batuk-batuk. Lima belas menit

kemudian penderita disuruh duduk berdiri, duduk berdiri sebanyak 10 kali dan

batuk yang kuat serta mengambil barang yang jatuh di lantai. Enam puluh

menit setelah tes ini selesai (lama tes 60 menit). Pad ditimbang dengan hasil

kemungkinan:

a. Timbangan Pad bertambah 2 gram, ini berarti tidak ada stres inkontinensia

urin

b. Pad bertambah beratnya 2-10 gram disebut stres inkontinensia urin derajat

ringan

Page 8: Analisis Masalah Arum

c. Pad bertambah 10-20 gram, ini berarti penderita mengalami stres

inkontinensia urin sedang

d. Pad bertambah beratnya 20-40 gram, ini berarti penderita mengalami stres

inkontinensia urin derajat berat.

e. Pad bertambah beratnya 40-50 gram, ini berarti penderita mengalami stres

inkontinensia urin derajat sangat berat.

4. Pemeriksaan Urodinamik Pemeriksaan urodinamik dikerjakan hanya pada

kasus-kasus yang diragukan diagnostiknya atau terapi direncanakan operatif.

Pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan

diagnosis inkontinensia urin adalah sebagai berikut:

1. Sitoskopi : dipakai untuk menentukan adanya radang, tumor,

striktur, perubahan struktut vesika urinaria yang kiranya dapat

menimbulkan inkontinensia.

2. Urethrosistografi : dapat memperlihatkan keadaan urethra, vesika

urinaria, dansudut antara urethra dan vesica urinaria untuk memicu

etiologi inkontinensiaurin.

3. Sfingterometri : menunjukkan bahwa tahanan dari muskulus

rhabdosfingter lebih tinggi daripada muskulus lissosfingter dengan

memanfaatkan miografi.

4. USG : untuk melihat kelainan pada vesica urinaria.

5. Foto konvensional : untuk melihat kelainan pada panggul.

9. Apa DD dan WD pada kasus? K,L

10. Apa etiologi pada kasus? M,N

11. Apa epidemiologi dan factor risiko pada kasus? A,B

12. Apa patofisiologi pada kasus? C,D

13. Apa manifestasi klinis pada kasus? E,F

14. Apa tatalaksana pada kasus? G,H

15. Apa pencegahan pada kasus? I,J

16. Apa komplikasi pada kasus? K,L

Page 9: Analisis Masalah Arum

17. Apa prognosis pada kasus? M,N

18. Bagaimana SKDI pada kasus? A,B

Daftar pustaka:

1. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi ed.3. Jakarta: Sagung seto. 2011; 165-172.

2. Sudoyo SW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus KS, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

jilid I ed.V. Jakarta: Internal publishing. 2009.

3. Abrams P, Cardozo L, Khoury S, Wein A. Incontinence volume 1 basic & evaluation. 2005.

4. Semijurnal Farmasi & Kedokteran Ethical Digest. Overactive Bladder. 2009; 66: 28-37.

5. Permana RU. Prevalensi dan Faktor-faktor resiko Overactive Bladder Pada Paramedis

Perempuan di RSUP H. Adam Malik Medan. 2008; FK-USU: 1-26.

6. Agustina N. Prevalensi penderita Overactive Bladder pada pegawai perempuan di lingkungan

Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta. 2008; FK-UI:

82-83.