survei hama dan penyakit pada pertanaman … · selain itu, daun seledri juga mengandung protein,...
TRANSCRIPT
SURVEI HAMA DAN PENYAKIT
PADA PERTANAMAN SELEDRI (Apium graveolens L.)
DI DESA CIHERANG, KECAMATAN PACET,
KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT
COK AGUS PRABOWO PERTAMA PUTERA
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRAK
COK AGUS PRABOWO PERTAMA PUTERA. Survei Hama dan Penyakit pada Pertanaman Seledri (Apium greveolens L.) di Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dibimbing oleh AUNU RAUF dan ABDUL MUIN ADNAN
Penelitian bertujuan untuk menginventarisasi hama dan penyakit yang menyerang, serta jenis lalat pengorok daun dan parasitoidnya yang ditemukan pada pertanaman seledri. Penelitian dilaksanakan pada pertanaman seledri milik petani di Kampung Buniaga, Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat. Penelitian berlangsung dari Maret sampai Juli 2008. Pengamatan dilakukan terhadap kerapatan populasi hama dan insidensi penyakit beserta intensitas serangannya pada tajuk tanaman seledri.
Hasil penelitian menunjukkan hama yang ditemukan menyerang tanaman seledri yaitu lalat penggorok daun Liriomyza huidobrensis (Diptera: Agromyzidae), trips Thrips parvispinus (Thysanoptera: Thripidae), kutu daun Aphis gossypii (Hemiptera: Aphididae), dan ulat grayak Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae). Penyakit yang ditemukan pada pertanaman seledri yaitu bercak daun Septoria (Septoria apii) dan bercak daun Cercospora (Cercospora apii). Berdasarkan hasil wawancara hama L. huidobrensis merupakan hama penting sedangkan penyakit bercak daun Septoria merupakan penyakit penting yang dirasakan oleh petani setempat. Penggunaan pestisida kimiawi dengan teknik mencampur dan aplikasi secara intensif menunjukkan kerapatan populasi dan tingkat serangan hama yang rendah sedangkan insidensi dan intensitas serangan penyakit cenderung tinggi. Hama L. huidoberensis menimbulkan tingkat kerusakan tertinggi mencapai 21,04% per lahan pengamatan sedangkan patogen S. apii merupakan patogen penting dengan persentase intensitas penyakit mencapai 19,80%. Parasitoid yang muncul adalah Hemiptarsenus varicornis (Hymenoptera: Eulophidae), dan Opius chromatomyiae (Hymenoptera: Braconidae) dengan tingkat parasitisasi tertinggi mencapai 75,76%.
SURVEI HAMA DAN PENYAKIT
PADA PERTANAMAN SELEDRI (Apium graveolens L.)
DI DESA CIHERANG, KECAMATAN PACET,
KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT
COK AGUS PRABOWO PERTAMA PUTERA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul : Survei Hama dan Penyakit pada Pertanaman Seledri (Apium graveolens L.) di Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
Nama Mahasiswa : Cok Agus Prabowo Pertama Putera
NRP : A44104043
Menyetujui
Pembimbing 1
Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc.
NIP 130607614
Pembimbing 2
Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS.
NIP 130871922
Mengetahui
Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr.
NIP 131124019 Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 10 Agustus 1986, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Drs. Cokorda Gede Padma dan Ibu Anna Suwarnah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 2 Serang, pada tahun 1998 dan menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTPN I Serang pada tahun 2001. Penulis melanjutkan ke SMUN I serang dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama di IPB penulis ikut serta dalam berbagai kegiatan dan kepanitiaan yang diadakan Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA), Badan Perwakilan Angkatan (BPA-HIMASITA), Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian (DPM-A), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM-A), serta berperan aktif sebagai pengurus HIMASITA periode 2004-2005, BPA-HIMASITA periode 2005-2006, DPM-A periode 2005-2006, dan BEM-A periode 2006-2007. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Hama dan Penyakit Tanaman Tahunan pada tahun ajaran 2007/2008. Disamping itu, penulis juga memiliki pengalaman kerja sebagai konselor usaha untuk program pendampingan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) oleh LPPM IPB pada tahun 2007.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi yang berjudul “Survei Hama dan Penyakit pada Pertanaman Seledri (Apium greveolens L.) di Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat”. Penelitian dan penulisan skripsi ini disusun dalam rangka penyelesaian tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung Maret 2008 sampai Juli 2008.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1) Kedua orang tua, Bapak Drs. Cokorda Gede Padma dan Ibu Anna
Suwarnah beserta adik-adik (Agung dan Putri) yang telah memberikan segala dukungan, pengorbanan dan kasih sayangnya.
2) Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc. dan Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penelitian penulis hingga selesai.
3) Kepada Efi Toding Tondok SP, M.Sc. selaku dosen penguji dalam sidang skripsi atas saran dan kritik yang diberikan untuk kesempurnaan laporan tugas akhir ini.
4) Bapak Ace, Ketua Kelompok Tani Buniaga-Ciherang, Bapak Aden, Bapak H. Maman, Bapak Usman, Bapak Epen, dan petani seledri setempat yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini hingga selesai.
5) Dra Dewi Sartiami, M.Si. yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama penelitian.
6) R. Dewi Ratna Wulan yang telah banyak memberi dukungan kepada penulis selama masa penelitian dan penyusunan skripsi.
7) Pak Wawan, Pak Gatut, Pak Karto, Pipit, Isma, Gias, Magda, Yuli, Bush, Didit, Dimas, David, Rahman, Bowo, Deri, Afiat, Uthe beserta anak-anak HPT angkatan 41 lainnya, serta semua pihak yang membantu penelitian ini hingga selesai yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Bogor, September 2008 Cok Agus Prabowo PP.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xii
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar Belakang .................................................................................... 1
Tujuan ................................................................................................. 3
Manfaat ............................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 4
Ciri Umum dan Karakteristik Tanaman Seledri ................................. 4
Deskripsi Tanaman Seledri ....................................................... 4 Syarat Tumbuh Tanaman Seledri .............................................. 5
Budidaya Tanaman Seledri ................................................................. 6
Pengolahan Lahan ..................................................................... 6 Persemaian ................................................................................. 6 Penanaman ................................................................................. 7 Penyulaman ............................................................................... 7 Pemupukan ................................................................................ 7 Pengairan dan Penyiraman ........................................................ 7 Penyiangan Gulma .................................................................... 8 Pengendalian Hama dan Penyakit ............................................. 8 Panen dan Pemasaran ................................................................ 8
Hama dan Penyakit Tanaman Seledri ................................................. 9
Hama ................................................................................................... 10
Lalat Pengorok Daun Liriomyza huidobrensis (Diptera: Agromyzidae) ............................................................................ 10 Ulat Tanah Agrotis ipsilon (Lepidoptera: Noctuidae) .............. 11 Ulat Grayak Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae) ....... 12 Kutu Daun Aphis spp (Hemiptera: Aphididae) ......................... 13 Tungau Tetranychus sp. (Acarina: Tetranychidae) ................... 15
Parasitoid Liriomyza spp ..................................................................... 16
Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae) .................................... 16 Asecodes sp. (Hymenoptera: Eulophidae) ................................ 16 Hemiptarsenus varicornis (Girault) (Hymenoptera: Eulophidae) ............................................................................... 16 Crysocharis sp. (Hymenoptera: Eulophidae) ........................... 17
Neocrysocharis sp. (Hymenoptera: Eulophidae ...................... 17
Penyakit .............................................................................................. 17
Bercak Daun Septoria (Septoria apii) ....................................... 17 Bercak Daun Cercospora (Cercospora apii Fres) ..................... 18 Hawar Bakteri (Pseudomonas apii Jagger) ............................... 19 Busuk Akar Merah Jambu (Sclerotinia sclerotiorum Lib.) ....... 20 Mosaik (Celery Mosaic Virus) .................................................. 20 Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp) .................................. 21
BAHAN DAN METODE ............................................................................ 23
Tempat dan Waktu .............................................................................. 23
Metode Penelitian ............................................................................... 23
Penentuan Lahan Pengamatan dan Contoh Petak Tanaman ..... 23 Wawancara dengan Petani ......................................................... 24 Pengamatan Hama ..................................................................... 24 Penentuan Tingkat Parasitisasi Liriomyza sp. ........................... 24 Pengamatan Penyakit ................................................................ 25 Pengamatan Nematoda .............................................................. 26
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 28
Keadaan Umum Wilayah Desa Ciherang ........................................... 28
Karakteristik Petani dan Usaha Tani .................................................. 28
Budidaya Tanaman Seledri ................................................................. 29
Pengolahan Tanah ..................................................................... 29 Persemaian ................................................................................. 29 Penanaman ................................................................................. 30 Penyulaman ............................................................................... 30 Pemupukan ................................................................................ 30 Pengairan dan Penyiraman ........................................................ 31 Penyiangan Gulma .................................................................... 31 Pengendalian Hama dan Penyakit ............................................. 31 Panen dan Pemasaran ................................................................ 32
Hama dan Penyakit Pada Tanaman Seledri ........................................ 32
Hama Pada Tanaman Seledri .................................................... 33 Lalat pengorok daun ......................................................... 33
Lalat Pengorok Daun dan Parasitoidnya .......................... 35 Trips ................................................................................. 38 Kutu daun ......................................................................... 40 Ulat grayak ....................................................................... 41
Arthropoda Lain Pada Tanaman Seledri ................................... 43
Penyakit Pada Tanaman Seledri ................................................. 43
viii
Bercak daun Septoria ....................................................... 43 Bercak daun Cercospora .................................................. 46
Pengamatan Nematoda .............................................................. 48
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 50
LAMPIRAN ................................................................................................. 54
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Hama pada tanaman seledri ................................................................ 9
2 Penyakit pada tanaman seledri ............................................................
3 Karakteristik lahan pertanaman contoh .............................................. 29
4 Rata-rata kerapatan populasi dan intensitas serangan L. huidobrensis
5 Hasil inkubasi daun seledri yang terserang lalat pengorok daun ........
6 Rata-rata kerapatan populasi dan intensitas serangan T. parvispinus .
7 Rata-rata kerapatan populasi A. gossypii ........................................... 40
8 Rata-rata kerapatan populasi larva S. litura ....................................... 42
9 Insidensi dan intensitas penyakit bercak daun Septoria ......................
10 Insidensi dan Intensitas penyakit bercak daun Cercospora ................ 47
35
36
39
9
45
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Seledri (Apium graveolens L.) ............................................................ 4
2 Pola penempatan petak contoh dalam satu lahan pertanaman seledri 23
3 Imago L. huidobrensis (Diptera: Agromyzidae) ................................ 33
4 Gejala korokan L. huidobrensis pada tanaman seledri ....................... 34
5 Imago L. huidobrensis ......................................................................... 35
6 Parasitoid yang didapatkan dari hasil inkubasi daun yang terserang L. huidobrensis, a) H. varicornis (jantan), b) H. varicornis (betina) (Hymenoptera: Eulophidae), c) O. chromatomyiae (Hymenoptera: Braconidae)...........................................................................................
7 Persentase komposisi parasitoid yang berasosiasi dengan pengorok daun L. huidobrensis pada seledri di Kampung Buniaga-Ciherang .....
8 Imago T. parvispinus pada permukaan bawah daun seledri ...............
9 Gejala serangan hama T. parvispinus pada daun ................................
10 A. gossypii pada tanaman seledri ........................................................
11 Larva S. litura ..................................................................................... 42
12 Gejala bercak Septoria daun seledri ...................................................
13 Gejala lanjut bercak Septoria daun seledri .........................................
14 Konidia S. apii ....................................................................................
15 Gejala bercak daun Cercospora pada seledri yang dikelilingi halo ....
16 Gejala penyakit bercak daun Cercospora daun seledri .......................
17 Konidia C. apii ....................................................................................
18 Helicotylenchus spp ............................................................................
38
44
44
44
48
47
46 46
37
37
40
41
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
11 Kondisi umum lahan pertanaman seledri yang diamati ...................... 55
12 Pola pertanaman pertanaman seledri di Desa Cipanas Kampung Buniaga. a) persemaian, b) tumpang sari seledri dengan selada air, c) tumpang sari seledri dengan bawang daun, d) pertanaman monokultur seledri ..................................................................................................
13 Pertanyaan saat wawancara dengan petani ..........................................
14 Aktivitas petani saat aplikasi pestisida di lahan ..................................
15 Jenis-jenis pestisida yang digunakan petani seledri di Kampung Buniaga-Ciherang ...............................................................................
16 Preparat kutu daun A. gossypii ............................................................
17 Preparat T. parvispinus a) imago, b) antena, c) sayap, d) ujung abdomen ..............................................................................................
55
56
57
58
56
58
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seledri (Apium graveolens L.) merupakan tanaman sayuran yang dapat
tumbuh baik di dataran tinggi. Di Indonesia pertanaman seledri lebih banyak
ditanam di daerah pegunungan terutama di daerah Pacet, Pangalengan, Cipanas,
Lembang (Jawa Barat) dan Berastagi, Kebanjahe (Sumatera Utara) sebagai usaha
tani rakyat setempat (Anonim 2008).
Seledri adalah tumbuhan serba guna, daun, dan tangkai daun. dapat
digunakan sebagai campuran sup dan bahan makanan berkuah lainnya. Seledri
juga dapat digunakan sebagai tanaman obat-obatan, yaitu untuk mengobati
berbagai penyakit seperti demam, flu, penyakit pencernaan, penyakit limpa dan
hati (Dalimartha 2005). Berdasarkan penelitian, seledri mengandung natrium
yang berfungsi sebagai pelarut untuk melepaskan deposit kalsium yang
menyangkut di ginjal dan sendi. Seledri juga mengandung magnesium yang
berfungsi menghilangkan stres. Selain itu, daun seledri juga mengandung protein,
belerang, kalsium, besi, fosfor, vitamin A, B1 dan C, serta psoralen yang
merupakan zat kimia yang dapat menghancurkan radikal bebas penyebab penyakit
kanker (Aji 2007).
Permintaan pasar nasional dan dunia terhadap produk sayuran semakin
meningkat. Di pasar internasional, seledri merupakan salah satu komoditas
sayuran yang diperdagangkan antar negara. Indonesia mengekspor seledri ke
Malaysia dan Singapura, tetapi di lain pihak Indonesia juga mengimpor seledri
dari Belanda, Australia dan Amerika Serikat. Meskipun memiliki nilai ekonomi
yang tergolong tinggi, tidak banyak petani yang menanam seledri karena banyak
menuntut persyaratan tumbuh dan teknik budidaya yang rumit (Anonim 2008).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam usaha pertanaman seledri,
yaitu tanah, iklim, serta gangguan hama dan penyakit (Soewito 1991). Faktor
yang hingga saat ini mendapat perhatian besar, yaitu kehadiran organisme
pengganggu tanaman (OPT) pada lahan pertanaman seledri yang secara langsung
dapat menurunkan nilai jual seledri. Menurut Rukmana (1995) di Indonesia,
beberapa jenis hama dan penyakit yang sering ditemukan pada pertanaman seledri
di antaranya ulat tanah (Agrotis ipsilon), kutu daun (Aphis spp.), dan tungau
(Tetranychus spp.), sedangkan beberapa penyakit yang sangat mengganggu adalah
bercak cercospora (Cercospora apii), bercak septoria (Septoria apii), hawar daun
bakteri (Pseudomonas apii), dan nematoda akar (Melidogyne spp.).
Murphy dan LaSalle (1999) melaporkan Liriomyza sativae merupakan hama
utama tanaman seledri di Florida. Pada awalnya lalat ini bukan merupakan hama
penting karena populasinya selalu dapat dikendalikan oleh musuh alaminya.
Namun, pada awal tahun 1970-an lalat ini berubah menjadi sangat merugikan
akibat musuh alaminya banyak terbunuh oleh insektisida. Penggunaan insektisida
yang berlebihan mendorong hama ini menjadi resisten (Hausbeck 2002).
Keturunan hama yang telah resisten ini kemudian menyebar ke berbagai negara di
Afrika, Eropa dan Asia melalui arus perdagangan tanaman hias dan sayuran segar.
Di Indonesia hama ini pertama kali ditemukan pada tahun 1994 di daerah Cisarua-
Bogor (Rauf 1995). Setahun kemudian hama ini menyebar ke berbagai daerah
dataran tinggi penghasil sayuran di Jawa dan Sumatera dan sejak 1998 telah
ditemukan di Sulawesi Selatan (Rauf 1999). Lalat pengorok daun dapat
mengurangi kemampuan daun berfotosintesis, menyerang langsung bagian dari
sayuran daun yang dikonsumsi sehingga dapat menurunkan harga jual, dan
memberikan jalan masuk bagi patogen tertentu pada tanaman seledri
(Chaney et al. 2005).
Sangat beragamnya jenis hama dan penyakit yang menyerang seledri
berdampak pada beragamnya pengendalian yang dilakukan para petani seledri.
Namun beragamnya pengendalian ternyata hanya mengacu pada satu arah saja
yaitu peningkatan penggunaan pestisida kimiawi. Banyak petani yang
menggunakan lebih dari satu jenis pestisida untuk mengendalikan OPT yang
menyerang lahan mereka. Selain itu, frekuensi aplikasi yang terlalu sering dapat
menyebabkan beberapa dampak negatif, yaitu resistensi pada hama Liriomyza spp
(Rauf 2001), mengakibatkan terjadinya komplikasi dengan biologi hama
Liriomyza spp, seperti mobilitas imago menjadi tinggi, stadia telur dan larva yang
terlindung dalam jaringan daun meningkat (Parella 1987), serta dikhawatirkan
2
dapat memunculkan OPT jenis baru yang mungkin kurang diperhitungkan
sebelumnya.
Hingga saat ini informasi mengenai hama dan penyakit, musuh alami, serta
organisme lain pada pertanaman seledri di Indonesia belum banyak diketahui dan
masih terbatas. Oleh karena itu, inventarisasi OPT pada pertanaman seledri perlu
dilakukan agar pengelolaan tanaman seledri dapat dilakukan dengan baik.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan menginventarisasi hama dan penyakit yang
menyerang, serta jenis lalat pengorok daun dan parasitoidnya yang ditemukan
pada pertanaman seledri di kampung Buniaga (Buniaga Sawah Lega, Buniaga
Legok, dan Buniaga Nangeuk), Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten
Cianjur, Propinsi Jawa Barat.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hama
dan penyakit pada pertanaman seledri, agar dapat digunakan sebagai dasar
pertimbangan dalam mengelola dan mengendalikan hama dan penyakit pada lahan
pertanaman seledri secara tepat.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Ciri Umum dan Budidaya Tanaman Seledri
Deskripsi Tanaman Seledri
Seledri (Apium graveolens L.) merupakan tanaman semusim yang berasal
dari daerah subtropis, khususnya wilayah Mediterania di sekitar Laut Tengah.
Tanaman ini menyebar ke delapan wilayah yaitu dataran Cina, India, Asia
Tengah, Mediterania, Timur Dekat, Ethiopia, Meksiko Selatan, Meksiko Tengah
dan Amerika Serikat (Anonim 2008).
Gambar 1 Seledri (Apium graveolens L.)
Menurut jenisnya seledri dibagi menjadi tiga golongan, yaitu seledri daun
(Apium graveolens L var. secalinum alef), seledri batang (Apium graveolens L
var. sylvestre alef), dan seledri umbi (Apium graveolens L var. rapaceum alef).
Seledri daun tumbuh baik di tanah yang agak kering, seledri batang cocok tumbuh
di tanah yang mengandung pasir, kerikil dan sedikit air, dan seledri umbi tumbuh
baik di tanah yang gembur dan banyak mengandung air dengan bentuk batangnya
membesar membentuk umbi di permukaan tanah. Di antara ketiga golongan
seledri tersebut yang paling banyak ditanam di Indonesia adalah seledri daun
(Soewito 1991).
Seledri berada dalam satu famili dengan wortel, peterseli, mitsuba, dan
ketumbar. Tanaman seledri memiliki nama umum yang berbeda-beda, celery
(Inggris), celeri (Perancis), seleri (Italia), selinon, parsley (Jerman), seledri
(Indonesia), sledri (Jawa), saledri (Sunda). Klasifikasi botani tanaman seledri
(Wikipedia 2008) :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Apiales / Umbelliflorae
Famili : Apiaceae / Umbelliferae
Genus : Apium
Spesies : Apium graveolens L.
Seledri merupakan tanaman semak dengan tinggi sekitar 50 cm dan
mempunyai bau aromatik yang khas. Batangnya pendek tidak berkayu, bersegi,
beralur, beruas, bercabang tegak dan berwarna hijau pucat (Soewito 1991). Daun
berbentuk menjari tidak teratur, berlekuk-lekuk dan majemuk serta menyirip,
jumlah anak daun 3–7 helai dengan panjang tangkai daun 1–2,7 cm. Pangkal dan
ujung daun runcing, tepi daun beringgit, dengan panjang daun 2–7,5 cm dan lebar
2–5 cm. Bunga majemuk berbentuk payung dan berwarna hijau. Buah berbentuk
kotak atau kerucut dengan warna hijau kekuningan. Akar tunggang dengan
cabang-cabang akar (Budianto 2006).
Syarat Tumbuh Tanaman Seledri
Seledri salah satu jenis sayuran daerah subtropis beriklim dingin. Untuk
berkecambah benih seledri memerlukan temperatur 9–20 °C, untuk pertumbuhan
dan menghasilkan produksi maksimal tanaman seledri memerlukan temperatur
minimum sekitar 15–18 °C serta temperatur maksimum 24 °C. Tanaman ini
cocok dikembangkan di daerah dengan ketinggian tempat antara 1000–1200 m dpl,
udara sejuk dengan kelembaban antara 80%–90% serta cukup sinar matahari.
Seledri kurang tahan terhadap curah hujan yang tinggi, namun tumbuh baik jika
5
ditanam pada akhir musim hujan atau periode bulan-bulan tertentu dengan curah
hujan antara 60–100 mm per bulan (Rukmana 1995).
Persyaratan tanah ideal untuk tanaman seledri adalah subur, gembur, banyak
mengandung bahan organik (humus), tata udara (aerasi), dan tata air (drainase)
tanah baik, serta tingkat keasaman tanah (pH) 5,5–6,5. Tanaman seledri tumbuh
baik pada tanah dengan kandungan garam natrium, kalsium, dan boron cukup.
Tanah kekurangan natrium mengakibatkan pertumbuhan tanaman merana atau
menjadi kerdil, tanah kekurangan kalsium menyebabkan kuncup-kuncup daun
seledri menjadi kering, sedangkan kekurangan boron mengakibatkan tangkai daun
retak (Soewito 1991).
Budidaya Tanaman Seledri
Pengolahan Lahan
Pengolahan lahan dilakukan dalam beberapa tahap, mencangkul tanah,
menggemburkan tanah, membuat bedengan, memupuk, dan meratakan tanah.
Tanah dicangkul sedalam 30–40 cm, biarkan selama 15 hari. Bedengan dibuat
dengan ukuran lebar 80–100 cm, tinggi 30 cm, panjang sesuai lahan tersedia.
Jarak antara bedengan 30–40 cm, membuat parit antara bedengan untuk
pengairan. Pemberian pupuk pada bedengan dengan mencampurkan 2 kg/m2
pupuk kandang dan 2 kg/ha pasir (jika tanah berliat). Menaungi bedengan dengan
plastik bening atau anyaman daun kelapa (Soewito 1991).
Persemaian
Persemaian dilakukan di bedengan persemaian dengan lebar 100–120 cm,
tinggi 30 – 40 cm dan panjang disesuaikan dengan lahan yang ada. Sebelum
disemai, benih direndam di air hangat 55–60 °C selama 15 menit. Benih di semai
dalam alur atau larikan sedalam 0,5 cm, jarak antar alur 10–20 cm. Bibit
dipindahkan saat berumur 1 bulan atau memiliki 3–4 daun. Pemindahan
sebaiknya dilakukan pada sore hari, dan selesai pemindahan harus dilakukan
penyiraman (Rukmana 1995)
6
Penanaman
Penanaman dilakukan dengan dua cara, yaitu tanam bibit yang telah
disiapkan dan tebar benih secara langsung. Tanam bibit dilakukan dengan
menanam satu bibit per lubang tanam dengan jarak 25 x 30 cm sedangkan tebar
benih dilakukan dengan menaburkan benih pada bedengan-bedengan yang telah
dipersiapkan, dibutuhkan 200–250 g benih/ ha lahan. Benih ditabur tipis
memanjang mengikuti aluran sedalam 0,5 cm. Benih yang telah ditabur, ditutup
dengan alang-alang atau jerami. Penutupan dimaksudkan agar benih tidak hanyut
bila terkena hujan, tidak kekeringan dan tetap lembab. Benih tumbuh setelah
2–3 minggu sejak penaburan. Setelah benih tumbuh, alang-alang atau jerami yang
digunakan untuk penutup disingkirkan (Soewito 1991).
Penyulaman
Penyulaman yang dilakukan tidak lebih dari 7–15 hari setelah tanam, yaitu
dengan mencabut tanaman yang mati kemudian diganti bibit yang baru
(Susila 2006). Penyulaman yang terlambat dapat menyebabkan tanaman kalah
bersaing dengan tanaman yang tumbuh terlebih dahulu (Rukmana 1995).
Pemupukan
Pemupukan dilakukan sebanyak tiga kali, yang terdiri dari satu kali
pemupukan dasar dan dua kali pemupukan alternatif. Pemberian pupuk dasar
dilakukan saat tanam pada alur di dekat bedengan, dengan dosis 249 kg/ha urea,
311 kg/ha SP-36, dan 112 kg/ha KCl. Pemberian pupuk alternatif dilakukan pada
minggu ke-2 setelah tanam dan minggu ke-4 setelah tanam dengan dosis
124 kg/ha urea dan 56 kg/ha KCl (Susila 2006). Menurut Soewito (1991),
tanaman seledri diberi pupuk setelah berumur 3 minggu untuk bibit hasil semai,
dan 1,5 bulan untuk cara penanaman dengan tabur benih langsung..
Pengairan dan Penyiraman
Pengairan dilakukan dengan cara menggenangi parit di antara bedengan.
Penyiraman di awal masa pertumbuhan, dilakukan 1–2 kali sehari, penyiraman
7
berikutnya dikurangi menjadi 2–3 kali seminggu tergantung dari cuaca. Tanah
tidak boleh kekeringan atau terlalu basah (Susila 2006).
Penyiangan Gulma
Penyiangan gulma dilakukan pada saat penggemburan tanah dan pemupukan
yaitu pada 2 dan 4 minggu setelah tanam agar unsur hara dapat termanfaatkan
secara maksimal oleh tanaman (Susila 2006).
Pengendalian Hama dan Penyakit
Pengendalian dilakukan jika terdapat gejala atau serangan hama dan
penyakit pada pertanaman seledri. Upaya pencegahan dilakukan dengan
perlakuan bibit sebelum tanam, yaitu dengan merendam bibit dalam larutan
pestisida dengan dosis 50 % dosis anjuran (Susila 2006). Pengendalian dilakukan
dengan pemberian beberapa jenis insektisida dan fungisida dengan dosis anjuran
pada setiap kemasan (Rukmana 1995).
Panen dan Pemasaran
Panen dilakukan saat umur tanaman 2–4 bulan setelah persemaian atau
1–3 bulan setelah tanam. Panen dilakukan dengan cara memetik batang
1–2 minggu sekali atau mencabut seluruh tanaman untuk seledri daun, sedangkan
untuk seledri potong dengan memotong tanaman pada pangkal batang secara
periodik sampai pertumbuhan anakan berkurang, untuk jenis seledri umbi
pemanenan dengan memetik daun-daunnya saja dan dilakukan secara periodik
sampai tanaman kurang porduktif. Hasil panen diseleksi dengan cara membuang
tangkai daun yang rusak atau terserang hama (Susila 2006). Sortasi dilakukan jika
seledri akan dipasarkan di pasar swalayan atau untuk keperluan ekspor. Sortasi
dilakukan berdasarkan ukuran dan jenis yang seragam dan sesuai dengan
permintaan pasar (Anonim 2008).
8
Hama dan Penyakit Tanaman Seledri
Faktor hama dan penyakit hingga saat ini mendapat perhatian lebih pada
usaha pertanaman seledri, karena hama dan penyakit dapat menurunkan nilai jual
seledri sehingga serangan hama dan penyakit harus dicegah dan dikendalikan
(Soewito 1991). Webb (2006) mengemukakan bahwa hama yang sering
ditemukan pada pertanaman seledri di Florida, antara lain lalat pengorok daun,
ulat grayak, ulat tanah, kutu daun, dan tungau, sedangkan (Raid dan Kucharek
2006) melaporkan bahwa penyakit yang sering ditemukan pada pertanaman
seledri di Florida antara lain bercak daun, busuk akar merah jambu, mosaik, dan
nematoda. Sementara itu, di Indonesia hama yang merusak pertanaman seledri
yaitu ulat tanah, kutu daun, dan tungau, sedangkan penyakit yang sering
ditemukan adalah bercak septoria, bercak cercospora, nematoda akar, dan hawar
daun bakteri (Rukmana 1995). Secara umum dikutip dari beberapa sumber, hama
yang menyerang pertanaman seledri (Tabel 1), sedangkan patogen yang
menyerang seledri (Tabel 2).
Tabel 1 Hama pada tanaman seledri
Hama Ordo Famili Bagian yang diserang
Liriomyza huidobrensis Lepidoptera Agromyzidae Daun Agrotis ipsilon Lepidoptera Noctuidae Batang, pucuk Spodoptera exigua Lepidoptera Noctuidae Daun Myzus persicae Hemiptera Aphididae Daun Aphis gosypii Hemiptera Aphididae Daun Tungau Acarina Tetranychidae Daun
Tabel 2 Penyakit pada tanaman seledri
Penyakit Patogen Bagian yang diserang
Bercak daun Septoria Septoria sp. Daun Bercak daun Cercospora Cercospora sp. Daun Hawar daun bakteri Pseudomonas apii Daun Busuk akar merah jambu Sclerotinia, sclerotiorum Akar Mosaik Celery Mosaic Virus Daun Root knot nematode Meloidogyne spp Akar
9
Hama
Lalat Pengorok Daun Liriomyza huidobrensis (Diptera: Agromyzidae)
Hama ini berasal dari Amerika Selatan dan Kalifornia. Hama ini tersebar di
Eropa, Afrika, dan Asia. Persebarannya di Asia meliputi Malaysia, Indonesia,
Filipina, Thailand, Srilanka, India, Pakistan, Laos, Cina dan Banglades (Rauf
2001). Di Indonesia L. huidobrensis tersebar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi
Selatan (Rauf 1995).
Imago berbentuk lalat yang berukuran sangat kecil yaitu 1,7–2,3 mm,
secara umum berwarna hitam mengkilat dengan bagian tengah kepala, bagian
samping toraks dan skutelum berwarna kuning (Rauf 2001). Lama hidup imago
berkisar antara 6–18 hari. Betina meletakkan telur rata-rata 8–14 telur per hari
dan diletakkan satu per satu pada permukaan daun (Parella 1987). Betina selama
hidup dapat menghasilkan 50–300 butir telur. Larva berwarna putih kekuningan,
terdapat 3 instar aktif dan larva instar 4 merupakan peralihan antara larva instar 3
dan pupa yang disebut prapupa. Larva yang baru keluar segera mengorok
jaringan mesofil daun, dan larva selama stadianya tinggal dalam liang
korokan. Korokan ini makin melebar dengan makin besarnya ukuran larva (Rauf
2001; Mau dan Kessing 2007). Puparium berwarna kuning keemasan hingga
coklat kekuningan, berukuran 2,5 mm. Stadia pupa berlangsung selama
8–11 hari (Parella 1987).
Kerusakan pada daun seledri terjadi akibat aktivitas hidup hama. Daun
yang terserang memperlihatkan gejala bintik-bintik putih akibat tusukan
ovipositor imago betina saat peletakan telur, dan liang korokan akibat larva yang
hidup di dalam jaringan daun dan memakan jaringan mesofil (Rauf 2001).
Pengendalian hama dapat dilakukan secara fisik atau mekanis, dengan
pengambilan daun yang menunjukkan gejala korokan, lalu dimusnahkan, dan
dengan menggunakan mulsa plastik warna perak (Ditlinhor 2008). Pengendalian
secara hayati dapat dilakukan dengan pemanfaatan musuh alami seperti parasitoid,
selain itu penggunaan insektisida berbahan aktif siromazine dan abamektin diduga
dapat membantu menekan populasi hama ini (Mau dan Kessing 2007).
10
Ulat Tanah Agrotis ipsilon (Lepidoptera: Noctuidae)
Ulat tanah, A. ipsilon, termasuk ke dalam ordo Lepidoptera dan famili
Noctuidae (Borror 1996). Imago berupa ngengat berwarna coklat kelabu, yang
memiliki sayap depan berwarna cokelat kelabu dengan bercak berbentuk ginjal di
bagian tengah dan panjangnya mencapai 3–4,25 cm. Selain itu, terdapat 3 bercak
hitam berbentuk biji dan garis melintang yang samar-samar. Sayap belakangnya
pucat, dengan pantang mencapai 3,75–5 cm (Webb 2006). Hama ini meletakkan
telur pada sisa-sisa tanaman, pangkal batang atau daun yang dekat dengan
permukaan tanah. Telur bulat berwarna putih, tiap imago betina dapat
menghasilkan telur hingga 1500 butir (Pracaya 2007). Larva berwarna cokelat tua
sampai kehitaman, agak mengkilat, dan memiliki garis cokelat pada kedua sisi
tubuhnya. Larva keluar dari telur setelah 3–6 hari. Larva aktif pada malam hari,
memakan daun dan bagian batang tanaman muda. Pada siang hari, larva mencari
perlindungan dengan membuat lubang dalam tanah. Larva telah berkembang
sempurna saat umur 20–40 hari (Webb 2006). Larva menyerang daun atau pucuk
sehingga tanaman layu karena dipotong (Rukmana 1995). Larva hama ini aktif
pada musim panas, larva dapat memotong batang tanaman yang dekat dengan
permukaan tanah, dan memakan bagian daun, serta menggerogoti bagian petiol
(Webb 2006). Pupa berada dalam tanah yang lembab, berwarna cokelat tua, masa
hidup satu generasi lebih kurang 5–6 minggu tergantung keadaan suhu saat itu
(Pracaya 2007).
Pengendalian hama ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu
menggunakan musuh alami, antara lain Apenteles rufricus, Tritaxys braueri dan
Cuphocera varia F (Hymenoptera: Braconidae). Pengendalian juga dapat
dilakukan dengan menggunakan cendawan parasit, yaitu Metarrhizium yang
menyebabkan kematian ulat tanah. Selain itu, dapat juga dilakukan pengendalian
secara fisik dengan menggenangi lahan, lahan diberi mulsa lalu dibakar (Pracaya
2007). Pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan
insektisida Indofuran 3G atau Hostathion (Rukmana 1995).
11
Ulat Grayak Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae)
Ulat grayak, S. exigua termasuk ke dalam ordo Lepidoptera dan famili
Noctuidae (Borror 1996). Hama ini merupakan hama penting pada tanaman
seledri dan menyerang tanaman budidaya lain seperti jagung, cabai, tomat,
kentang, bawang, bunga matahari, jeruk, dan kacang-kacangan (Capinera 2005;
Webb 2006; Mossler et al. 2007). Imago hama ini berupa ngengat dengan
panjang sayap berkisar antara 25–30 mm. Sayap depan berwarna coklat tua
dengan garis-garis yang kurang tegas dan bintik-bintik hitam. Sayap belakang
berwarna keputihan dengan bagian tepi bergaris hitam. Ngengat betina mulai
bertelur pada umur 2–10 hari. Telur berbentuk bulat sampai bulat panjang dan
diletakkan secara berkelompok pada permukaan daun atau batang dan tertutup
oleh bulu-bulu atau sisik dari induknya. Tiap kelompok telur maksimum terdapat
80 butir. Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor ngengat betina sekitar
500– 600 butir. Setelah 2 hari, telur menetas menjadi larva. Larva instar awal
berwarna hijau dengan garis-garis hitam pada punggungnya. Larva instar akhir
mempunyai beberapa variasi warna, yaitu hijau, coklat muda dan hitam
kecoklatan. Stadium larva terdiri dari 5 instar. Instar pertama panjangnya sekitar
1,2–1,5 mm, sedangkan panjang instar kedua sampai instar terakhir antara
1,5–19 mm. Larva instar akhir, terdapat pada pangkal batang tanaman yang dekat
dengan tanah (Mossler et al. 2007). Menjelang menjadi pupa, larva instar akhir
merayap atau menjatuhkan diri ke tanah. Stadium larva berlangsung selama
8–10 hari. Pupa berwarna coklat muda dengan panjang 9–11 mm. Pupa berada di
dalam tanah pada kedalaman ± 1 cm, juga dapat ditemukan pada pangkal batang,
tempat yang terlindung seperti di bawah daun kering atau di bawah permukaan
tanah. Pupa memerlukan waktu 5 hari untuk berkembang menjadi ngengat
(Webb 2006).
Bagian tanaman yang terserang terutama daunnya, baik daun pada tanaman
yang masih muda maupun tanaman yang sudah tua. Kerusakan pada tanaman
seledri diakibatkan oleh aktivitas makan hama ini dan meninggalkan kotoran
(feses) pada tanaman terserang (Webb 2006).
12
Pengendalian hama ini dapat dilakukan dengan melakukan rotasi tanaman
yang dapat menghambat perkembangbiakan hama (Pracaya 2007). Penggunaan
musuh alami seperti serangga predator (Vespidae), beberapa jenis parasitoid
(Apenteles sp. dan Telenomous sp.), dan patogen (Se-NPV) serta pengendalian
mekanik seperti pembersihan lahan secara rutin dari gulma dan penghancuran
tanaman sisa pada lahan dapat menghambat infestasi telur hama ini (Webb 2006).
Kutu Daun Aphis spp (Hemiptera: Aphididae)
Aphis spp termasuk dalam ordo Hemiptera dan famili Aphididae
(Borror 1996). Imago kutu daun dapat bersayap atau tidak bersayap. Kebanyakan
kutu daun tidak bersayap. Bentuk kutu daun yang bersayap berperan dalam
melakukan pemencaran jarak jauh. Perkembangbiakan kutu daun berlangsung
secara partenogenetik dan vivipar. Nimfa mempunyai tungkai yang berkembang
dengan baik (Kalshoven 1981). Aphis spp dapat berperan dalam menularkan
penyakit pada tanaman, dan hal ini berkaitan dengan kebiasaan hama ini mengisap
cairan dari tanaman sebagai makanannya. Di dataran rendah, perkembangbiakan
Aphis spp relatif tinggi terutama pada awal musim kemarau. Populasi kutu daun
cenderung tinggi pada awal musim kering dan akan turun pada musim hujan
(Kalshoven 1981). Aphis spp merupakan hama minor pada pertanaman seledri,
tetapi kehadiran hama ini mendapat perhatian karena peranannya sebagai vektor
virus (Mossler et al. 2007). Beberapa spesies penting Aphis spp pada pertanaman
seledri di antaranya adalah A. gosypii dan Myzus persicae (Webb 2006).
Imago M. persicae Sulz (green peach aphid) atau kutu daun persik memiliki
panjang tubuh sekitar 1–2 mm, berwarna hijau menyala dan berbentuk seperti
buah pear (Radcliffe 2001). Tubercles berbentuk cekungan ke arah dalam dan
merupakan ciri khas yang membedakan spesies kutu ini dengan yang lainnya.
Sayap berbentuk tambalan berwarna hitam pada bagian belakang abdomen
(Web 2006). Nimfa dan imago mempunyai sepasang tonjolan pada ujung
abdomen yang disebut kornikel dengan bagian ujung berwarna hitam. Hidup
secara berkelompok pada bagian bawah helaian daun atau pada pucuk tanaman.
Nimfa terdiri atas 4 instar. Setelah 7–10 hari, nimfa akan berkembang menjadi
13
imago. Satu ekor imago betina dapat menghasilkan 40 ekor nimfa. Lama stadium
tersebut tergantung pada suhu udara (Ditlinhor 2006).
A. gossypii Glov (melon aphid), imago berbentuk seperti telur jika dilihat
dari atas, dengan ukuran panjang tubuh tidak lebih dari 1,5 mm. Warna sangat
beragam dari kuning, orange, hijau kegelapan sampai hitam. Warna kornikel
gelap dan kauda (bentuk seperti ekor kecil pada bagian ujung belakang tubuh)
berwarna pucat atau kehitam-hitaman. Hama ini dapat bereproduksi secara cepat,
satu generasi berlangsung 6–8 hari pada kondisi lingkungan dengan suhu sekitar
25 oC, dan 21 hari pada suhu 15 oC. Serangga dewasa dapat hidup sekitar
2–3 minggu. Nimfa berwarna kuning dan imago berwarna hijau kehitaman, dapat
bersayap maupun tidak bersayap. Tubuhnya berukuran kecil ± 1–2,5 mm,
tubuhnya lunak, berbentuk seperti buah pear, mobilitasnya rendah dan hidup
secara berkoloni. Populasi hama ini bisa meningkat dengan cepat, ketika populasi
hama mulai padat atau jika tanaman inang rusak, maka akan terbentuk kutu daun
bersayap dan terbang mencari tanaman inang baru (Webb 2006).
Secara umum kutu daun menyerang permukaan daun seledri bagian bawah
dan pucuk tanaman atau batang muda, sehingga mengakibatkan pucuk daun
menguning dan kadang-kadang diikuti keriput daun (Rukmana 1995). Secara
umum kutu daun merugikan karena mengurangi nutrisi jaringan tanaman dan
menularkan virus. Selain itu, dapat menimbulkan kontaminasi tanaman dengan
hadirnya embun madu sehingga dapat merendahkan harga jual tanaman seledri
(Webb 2006).
Pengendalian dapat dilakukan secara kultur teknis, yaitu dengan
menerapkan budidaya tanaman yang sehat. Pengendalian secara biologis dapat
dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami seperti predator dari Famili
Coccinellidae, Syrphidae, Chrysopidae dan Hemerobidae, parasitoid Aphelinus
abdominalis, Ap. semiflafus, Ap. humilis, Aphidius gifuensis, Aph. urticae,
Aph. Matricariae, Diatriella rapae, dan Aphidoletes aphidimyza (Capinera 2005),
juga penggunaan patogen seperti, Beauveria basiana, Cephalosporium lecanii,
Arthrobotrys sp., Paelomyces sp., dan Verticillium (Anonim 2008). Selain itu,
14
juga dapat dikendalikan secara kimia menggunakan insektisida Monitor 200 KC
dan Matador 25 EC (Pracaya 2007).
Tungau Tetranychus sp. (Acarina: Tetranychidae)
Tetranychus sp. termasuk ke dalam ordo Acarina. Tungau berukuran kurang
dari 1 mm, warna tubuhnya kuning, coklat, kehijauan, atau merah tergantung dari
jenis tungau, jenis makanan, atau stadia perkembangan. Tungau dalam
penyebarannya dibantu oleh angin, manusia, binatang, alat-alat pertanian, benih
dan lain-lain (Pracaya 2007).
Tubuh tungau imago terdiri dari propodosoma pada bagian interior dan
hysterostema pada bagian posterior yang dipisahkan oleh sutura diantara tungkai
kedua dan ketiga. Tungau mengalami metamorfosis dengan beberapa kali
mengalami pergantian kulit. Siklus hidupnya berlangsung selama 7–14 hari, dan
populasinya berkurang jika terjadi hujan lebat (Kalshoven 1981). Imago betina
tungau berbentuk oval, berwarna merah tua dan memiliki bulu-bulu yang panjang
dan menarik perhatian. Tungau jantan ukuran tubuhnya lebih kecil, lebih runcing
dan mempunyai kaki yang relatif panjang dan geraknya lebih aktif daripada
betina. Tungau dapat memperbanyak diri secara aseksual maupun partenogenesis
(Oliver 1971). Imago betina tungau dapat menghasilkan 19–100 telur selama
hidupnya (Webb 2006). Telur diletakkan di atas atau di bawah permukaan daun
atau diletakkan secara bebas di dalam jaringan tanaman (Krantz 1978). Larva
menetas setelah 16–19 hari, kemudian makan bagian epidermis daun. Setelah fase
larva tungau mengalami fase istirahat, kemudian dilanjutkan dengan dua fase
nimfa yang pada masing-masing fase memiliki fase istirahat (Webb 2006).
Serangan hama tungau pada tanaman seledri dimulai dengan bercak
keperakan pada daun dan juga bintik kuning sampai coklat kemerahan pada
permukaan daun. Pada intensitas serangan yang berat, kemungkinan dapat
menyebabkan daun seledri rontok dan berguguran (Webb 2006). Menurut
Rukmana (1995) serangan berat hama ini terjadi pada musim kemarau.
Pengendalian hama tungau dapat dilakukan dengan metode pengendalian
menggunakan musuh alami, diantaranya tungau predator Phytoseiulus persimilis
15
dan P. macropilis (Acarina: Phytoseidae), beberapa jenis kumbang Stethorus
gilvifrons (Coleoptera: Coccinellidae), beberapa trips yaitu Scolothrips
sexmaculatus (Thysanoptera: Thripidae). Selain itu, juga dapat dilakukan
pengendalian kimiawi dengan akarisida, yaitu endosan, morosida, kelthan,
mitigan, akarin, tedion v-18, galekron, gusathion, atau menggunakan insektisida
Curacron 500 EC, Pegasus 500 SC, dan Agrimec 18 EC. Pengendalian juga dapat
dilakukan secara mekanis, yaitu dengan membersihkan gulma di sekitar
pertanaman sehingga dapat menekan populasi tungau (Pracaya 2007).
Parasitoid Liriomyza spp
Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae)
Parasitoid ini bersifat endoparasit larva-pupa. Perkembangan parasitoid
terjadi dalam pupa inang, selanjutnya imago parasitoid keluar dari pupa dan
berada di luar tanaman. Tubuh imago berwarna hitam dengan ukuran tubuh
hampir sama antara jantan dan betina, yaitu rata-rata 1,5 mm dan 1,49 mm.
Antenanya panjang sekitar 18 ruas atau lebih, berwarna hitam dan tipis, serta
panjangnya hampir sama dengan tubuhnya (Fisher et al. 2005).
Asecodes sp. (Hymenoptera: Eulophidae)
Parasitoid ini bersifat endoparasit larva, dengan ukuran tubuhnya relatif
kecil <1 mm. Biasanya berwarna hitam mengkilap dengan warna punggung
metalik hijau. Tungkai depan dan tengah berwarna kuning. Antena pendek antara
7-9 ruas, dengan ciri khas parasitoid ini pada sayap terdapat dua baris garis seperti
rambut (Fisher et al. 2005).
Hemiptarsenus varicornis (Girault) (Hymenoptera: Eulophidae)
Parasitoid ini merupakan parasitoid yang bersifat ektoparasitoid. Tubuh
imago berwarna coklat gelap atau biru hijau metalik. Ukuran tubuh bervariasi
antara 1,30–2,16 mm untuk betina dan jantan 1,12–1,84 mm untuk jantan. Imago
jantan dapat dibedakan dari betina dengan melihat antenanya yang bertipe
16
pectinose (berbentuk percabangan seperti sisir) dan betina memiliki antena yang
panjang dan halus (Fisher et al. 2005).
Crysocharis sp. (Hymenoptera: Eulophidae)
Parasitoid ini bersifat endoparasit larva, dengan ciri tubuh menyerupai
parasitoid Asecodes sp. perbedaannya terdapat pada ukuran tubuh yang lebih
besar, berwarna hijau metalik atau kekuningan, warna punggung toraks lebih
terang lebih terang dan ciri khas pada sayap depannya terdapat panjang urat
marginal lebih panjang dari stigmal, serta bagian atas pronotum ada carina (Fisher
et al. 2005).
Neocrysocharis sp. (Hymenoptera: Eulophidae)
Parasitoid termasuk dalam jenis endoparasit larva, dengan ciri tubuh
menyerupai parasaitoid Asecodes sp. dan Crysocharis sp., perbedaannya pada
ukuran tubuh yang lebih besar dan ciri khas parasitoid ini pada sayap depan
terdapat panjang urat marginalnya lebih pendek atau sama dengan stigmal, petiol
tidak jelas. Femur tarsi bagian belakang terdapat warna bercak kehitaman (Fisher
et al. 2005).
Penyakit
Bercak Daun Septoria (Septoria apii)
Bercak daun septoria (late blight) adalah penyakit yang terpenting pada
pertanaman seledri. Penyakit ini diketahui tersebar luas di seluruh dunia termasuk
di Jawa (Semangun 2007). Penyakit ini dapat mengurangi kualitas maupun
kuantiítas hasil. Penyebab penyakit adalah cendawan Septoria sp., yang terdiri
dari dua spesies yang berbeda yaitu S. apii (Br. & Cav.) Chester dan
S. apii–graveolentis Dorogin (Pracaya 2007).
Cendawan ini memiliki konidium panjang, lentur, hialin, dan mempunyai
beberapa sekat, berukuran 22,5–58,5 x 1,5–5,0 µm. Tubuh buah berbentuk
piknidium dengan garis tengah 73–147 µm, ostiol berukuran 1/3–1/2 garis tengah
piknidium (Semangun 2007). Hifa dari S. apii Chester, bergaris tengah
17
1–5,5 µm, sedangkan hifa dari S. apii-graveolentis bergaris tengah 1,5–4,5 µm
(Pracaya 2007).
Gejala serangan terdapat pada daun yang awalnya berupa bercak-bercak
klorotik kecil, lalu menjadi bercak cokelat dan menyebabkan kematian jaringan
tanaman. Bercak dimulai pada daun tua bagian bawah, kemudian menjalar ke
daun bagian atas, beberapa bercak akan menyatu dapat mengakibatkan daun
menjadi layu. Ukuran bercak S. apii Chester besar dengan garis tengah 1,5–1 mm.
Bercak ini mempunyai batas yang jelas, bentuk ini disebut “bentuk-bercak besar”
(large-spot form) (Semangun 2007). S. apii-graveolentis memiliki bercak kecil
dengan garis tengah 0,5–3,5 mm. Bagian pinggir bercak berwarna kecoklatan
sampai hitam atau kelabu. Tangkai daun tanaman juga terserang sehingga bercak
meluas ke seluruh bagian tanaman (Pracaya 2007). Bercak ini disebut “bentuk
bercak-kecil” (small-spot form) (Semangun 2007).
Cendawan ini dapat bertahan dari musim ke musim pada biji-biji dan pada
sisa-sisa tanaman sakit. Cendawan dapat membentuk piknidium pada kulit biji.
Penyakit dapat berkembang dalam cuaca yang basah dan suhu yang sejuk dengan
tempratur antara 10–27oC (Raid dan Kucharek 2006). Pengendalian penyakit
dapat dilakukan dengan tidak menanam terlalu rapat, pergiliran tanaman,
menanam biji yang sudah disimpan selama 3 tahun dengan memberikan perlakuan
air panas dengan suhu 48–49 °C selama 30 menit sebelum disimpan,
membersihkan sisa-sisa tanaman agar tidak menjadi sumber inokulum untuk
pertanaman berikutnya atau pertanaman disekitarnya. Penggunaan fungisida
karbendazim, propineb, kaptafol, dan mankozeb (Semangun 2007).
Bercak Daun Cercospora (Cercospora apii Fres)
Bercak daun cercospora (early blight) adalah penyakit yang umum pada
seledri, dan merupakan penyakit penting di samping bercak daun septoria
(Semangun 2007). Penyakit dapat mulai timbul di persemaian, bercak daun ini
sering menyerang seledri (Pracaya 2007).
Penyebab penyakit adalah cendawan Cercospora apii. Cendawan
mempunyai konidium hialin, berbentuk gada terbalik atau berbentuk tabung,
18
langsing, bersekat 3–10 dan berukuran 50–80 x 4 µm. Konidiofor berwarna
cokelat muda, agak bengkok, bersekat 1–2, dengan ukuran 40–60 x 4–5 µm
(Semangun 2007).
Gejala penyakit mirip dengan gejala bercak septoria, yaitu bercak nekrotis
berwarna keabu-abuan dan tidak memiliki titik-titik hitam. Gejala awal pada daun
terdapat bercak bundar kecil berwarna coklat kekuningan kemudian bercak
meluas (Semangun 2007). Cendawan ini menyerang semua daun pada berbagai
umur, tetapi umumnya yang diserang hanya daun yang agak tua (Pracaya 2007).
Spora berkembang pada malam hari ketika suhu berkisar 14,4–30oC, dengan
kelembaban relatif mendekati 100%. Spora disebarkan angin pada pagi hari saat
kelembaban relatif meningkat (Mossler et al. 2007). Patogen bertahan pada sisa-
sisa tanaman yang terdapat di tanah dan pada biji (Semangun 2007). Menurut
Semangun 2007, intensitas penyakit selalu meningkat sampai minggu keempat
setelah tanam. Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan tidak menanam
terlalu rapat, pergiliran tanaman, dan menggunakan tanaman resisten (Pracaya
2007).
Hawar Bakteri (Pseudomonas apii Jagger)
Hawar bakteri (bacterial blight) termasuk salah satu dari tiga jenis penyakit
yang paling merugikan selain bercak daun septoria dan bercak daun cercospora
pada tanaman seledri, sampai sekarang penyakit ini kurang meluas di Indonesia
(Semangun 2007).
Gejala berupa bercak daun bulat tidak teratur, garis tengah 5 mm, berwarna
coklat karat. Gejala mirip dengan bercak daun septoria, bentuk bercak kecil-kecil,
tetapi tidak memiliki titik-titik hitam, dan tembus cahaya serta tangkai daun jarang
terinfeksi (Semangun 2007). Patogen penyakit ini adalah bakteri Pseudomonas
apii Jagger. Bakteri berbentuk batang dengan satu sampai tiga bulu cambuk di
ujung, termasuk kedalam golongan bakteri gram negatif, dan tidak membentuk
spora (Sinaga 2003).
19
Bakteri dipencarkan oleh percikan-percikan air hujan, saluran irigasi, dan
alat-alat pertanian. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara menanam varietas
toleran (Mossler et al. 2007).
Busuk Akar Merah Jambu (Sclerotinia sclerotiorum Lib.)
Penyakit busuk akar merah jambu terjadi pada tanaman seledri berumur tua
disebabkan oleh patogen cendawan S. sclerotium. Gejala yang tampak pada
tanaman seledri terserang berupa layu mendadak dan robohnya tanaman di lahan.
Jaringan tanaman dekat dengan permukaan tanah mengalami kebusukan sehingga
menjadi lunak dan berair. Jaringan akar mengalami perubahan warna menjadi
merah jambu dan terdapat fase istirahat cendawan berwarna hitam (sclerotia) serta
miselium cendawan berwarna putih yang menutupi permukaan akar tanaman.
Sclerotia memiliki beragam ukuran berkisar antara 3 mm–12 mm dengan bentuk
yang tidak beraturan selain itu sclerotia juga dapat bertahan hidup selama
beberapa tahun di lahan (Raid dan Kucharek 2006).
Pengendalian penyakit dengan mengairi lahan seledri selama musim panas
di Florida terbukti sangat efektif mengendalikan penyakit ini. Pergantian tanaman
dengan tanaman yang bukan inang patogen (contoh: jagung) mungkin efektif
untuk memutus siklus hidup patogen. Penggunaan fungisida dapat dilakukan
untuk pengendalian penyakit dengan cara mengaplikasikannya pada saat awal
gejala penyakit muncul di tanaman (Raid dan Kucharek 2006).
Mosaik (Celery Mosaic Virus)
Celery Mosaic virus (CeMV), merupakan penyakit yang disebabkan oleh
virus pada tanaman seledri, CeMV pertama kali teridentifikasi di areal pertanaman
seledri bagian Australia selatan (Traicevsksi dan Knoxfield 2000). Menurut Raid
dan Kucharek (2006), penyebab penyakit mosaik pada tanaman seledri adalah
celery mosaic virus (CeMV). Virus ini menyebabkan gejala mosaik atau daun
tanaman seledri menjadi belang, sama seperti gejala yang disebabkan cucumber
mosaic virus (CMV). Tanaman terserang juga menunjukkan gejala kerdil, daun–
daun tanaman terserang terlihat menyempit ukurannya dibandingkan dengan daun
20
normal, daun mengalami perubahan warna menjadi kuning sampai keperakan dan
terkadang tepi daun mengriting ke arah atas. Gejala pada mulanya terlihat jelas
pada bagian tanaman yang dekat dengan permukaan tanah (Latham dan Jones
2001).
Menurut Latham dan Jones (2001), CeMV menyebabkan penyakit hanya
pada tanaman famili Umbelifera seperti seledri dan wortel serta gulma yang
terdapat disekitar pertanaman. Kutu daun dan lalat pengorok daun umumnya
merupakan vektor virus ini pada tanaman seledri, virus ditularkan melalui
aktivitas makan pada daun (Raid dan Kucharek 2006). Kebanyakan vektor virus
ini berupa kutu daun bersayap yang daya mobilitasnya tinggi di sekitar areal
pertanaman, sehingga kondisi alam yang mendukung perkembangan aktivitas kutu
ini sama dengan mendukung perkembangan penyakit. Selain disebarkan oleh
serangga, alat-alat mekanik pertanian juga ikut berpengaruh dalam penyebaran
virus ini (Traicevsksi dan Knoxfield 2000). Menurut Raid dan Kucharek (2006),
pengendalian penyakit mosaik pada tanaman seledri dapat dilakukan dengan
eradikasi gulma yang terdapat di sekitar saluran pengairan pada lahan tanam
maupun lahan persemaian seledri.
Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp)
Penyakit puru akar nematoda merupakan penyakit yang diakibatkan oleh
Meloidogyne spp, yang merupakan nematoda akar yang paling banyak ditemukan
pada tanaman seledri. Meloidogyne spp memiliki kisaran inang tanaman yang
sangat luas, termasuk seluruh tanaman sayuran (Raid 2004).
Gejala penyakit ini pada tanaman seledri berupa kerdil, warna daun pucat
kekuningan, tanaman layu, dan berkurangnya hasil panen. Gejala yang tampak
diatas permukaan tanah merupakan dampak dari serangan nematoda pada akar.
Pada bagian akar tanaman nematoda melakukan aktivitas makan dan tinggal
dalam jaringan tanaman, sehingga akar seledri tampak berbintil-bintil atau
timbulnya galls. Galls (puru) memiliki variasi ukuran tergantung pada banyaknya
populasi nematoda yang terdapat dalam puru tersebut. Tingkat keparahan
serangan penyakit nematoda puru akar tergantung pada beberapa faktor
21
diantaranya kepadatan populasi di dalam tanah, kondisi lingkungan, dan umur dari
tanaman (Mossler et al. 2007).
Pengendalian nematoda puru akar, dapat dilakukan dengan pengendalian
mekanik yaitu mengendalikan populasi gulma pada lahan, penyiangan lahan
secara teratur dapat mengurangi aktivitas infeksi nematoda karena mampu
mengurangi tanaman inang nematoda. Pengendalian secara genetik dapat
dilakukan dengan cara menanam varietas tahan nematoda atau varietas toleran
nematoda pada lahan (Mossler et al. 2007).
22
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di pertanaman seledri milik petani setempat yang
berlokasi di Kampung Buniaga (Buniaga Sawah Lega, Buniaga Legok, dan
Buniaga Nangeuk), Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat. Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Ekologi Serangga dan
Laboratorium Biosistematika Serangga, sedangkan identifikasi patogen dilakukan
di Laboratorium Nematologi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor dari Maret 2008 sampai Juli 2008.
Metode Penelitian
Penentuan Lahan Pengamatan dan Contoh Petak Tanaman
Pengamatan dilakukan pada delapan lahan pertanaman seledri yang
ditentukan secara acak berdasarkan proporsi jumlah lahan pada setiap dusun di
Kampung Buniaga. Lahan pengamatan terdiri dari dua lahan di Dusun Buniaga
Nangeuk, empat lahan di Dusun Buniaga Sawah Lega, dan dua lahan di Dusun
Buniaga Legok. Pada setiap lahan diamati lima petak contoh yang ditentukan
secara diagonal, yaitu satu petak di perpotongan garis-garis diagonal dan empat
petak lainnya terletak di dekat ujung-ujung diagonal petak contoh. Pada masing-
masing petak contoh diamati enam rumpun tanaman contoh, sehingga jumlah
tanaman contoh yang diamati pada tiap lahan sebanyak 30 rumpun (Gambar 2).
Gambar 2 Pola penempatan petak contoh dalam satu lahan pertanaman seledri
x x x
x x x
x x x
x x x
x x x
x x x
x x x
x x x
x x x
x x x
Wawancara dengan Petani
Wawancara bertujuan untuk mengetahui tindakan budidaya, cara
pengendalian hama penyakit dan mengetahui masalah utama hama dan penyakit
yang sangat mengganggu. Responden sebanyak 15 orang, terdiri dari petani yang
lahannya diamati dan petani sekitarnya yang memiliki lahan seledri. Wawancara
dilakukan secara langsung pada lahan seledri saat pengamatan.
Pengamatan Hama
Pengamatan hama dilakukan secara langsung pada tajuk setiap tanaman
contoh, dengan mengidentifikasi jenis dan menghitung jumlah populasi hama
serta gejala serangan pada tiap tanaman contoh. Untuk hama yang tidak dapat
diidentifikasi ditempat, dilakukan hama ditangkap kemudian dimasukkan ke
dalam botol yang berisi alkohol 70% atau kantung plastik untuk diidentifikasi di
Laboratorium Ekologi dan Laboratorium Biosistematika Serangga Departemen
Proteksi Tanaman. Nilai rata-rata dan standar error populasi hama dan intensitas
serangan dihitung dengan menggunakan program MINITAB 14. Persentase
intensitas kerusakan oleh hama pada lahan pertanaman dihitung menggunakan
rumus :
KH = n/N x 100 %
KH = kerusakan oleh hama
n = jumlah anak daun yang terserang dalam satu tanaman
N = jumlah anak daun dalam satu tanaman
Penentuan Tingkat Parasitisasi Liriomyza sp.
Metode ini bertujuan untuk mengetahui jenis Liriomyza sp. yang menyerang
pertanaman seledri, mengetahui jumlah pupa, jenis parasitoid, jumlah parasitoid
yang muncul, dan tingkat parasitisasi dari musuh alami. Setiap lahan diambil
30–50 helai daun tanaman seledri secara acak yang menunjukkan gejala korokan.
Pengambilan daun contoh yang bergejala tersebut dilakukan pada pagi hari saat
berlangsungnya pengamatan hama dan penyakit di lapang. Sebanyak 4–5 helai
daun diambil pada bagian tengah sampai pangkal tajuk tanaman seledri. Daun
24
Tingkat Parasitisasi = ∑ IP
∑ IL + ∑ IP x 100%
contoh dimasukkan kedalam gelas plastik yang telah dialasi dengan kertas tisu
untuk menjaga kelembabannya, selanjutnya diinkubasi selama empat minggu.
Jumlah puparium dan imago hama, serta imago parasitoid yang keluar pada saat
pengamatan dihitung dan dicatat, kemudian dilakukan proses identifikasi terhadap
imago Liriomyza sp. dan parasitoid yang muncul. Setelah itu dilakukan
penghitungan terhadap tingkat parasitisasi tanpa memperhitungkan pupa aborsi
dengan menggunakan rumus:
Selain itu, juga dilakukan penghitungan terhadap tingkat parasitisasi dengan
memperhitungkan jumlah pupa aborsi, menggunakan rumus:
∑ IP = jumlah imago parasitoid yang muncul
∑ IL = jumlah imago Liriomyza sp. yang muncul
∑ PA = jumlah pupa Liriomyza sp. aborsi
Pengamatan Penyakit
Pengamatan penyakit dilakukan dengan cara langsung gejala yang terdapat
pada tanaman contoh. Sebagian contoh tanaman sakit yang bergejala diamati di
laboratorium untuk diidentifikasi. Gejala penyakit pada setiap tanaman contoh
dihitung untuk mengetahui persentase intensitas dan insidensi penyakit. Insidensi
penyakit (disease incidence) merupakan proporsi tanaman yang terserang dalam
suatu populasi tanaman tertentu, tanpa memperhitungkan berat atau ringannya
tingkat serangan (Sinaga 2003). Nilai rata-rata dan standar error persentase
insidensi dan intensitas penyakit dihitung dengan menggunakan program
MINITAB 14. Persentase kejadian penyakit dihitung dengan rumus:
∑ IP
∑ IL + ∑ IP + ∑ PA x 100% Tingkat Parasitisasi =
25
KP = n/N x 100%
KP = insidensi penyakit
n = jumlah tanaman yang terserang
N = jumlah seluruh tanaman contoh yang diamati
Selain itu dihitung juga intensitas penyakit berdasarkan persentase gejala
serangan yang teramati di lapangan, yang dihitung dengan rumus:
n1 + n2 + n3 +...........+ ni
N
IP = intensitas penyakit
ni = persentase gejala serangan dalam satu tanaman contoh ke-i
N = jumlah tanaman contoh yang diamati
Pengamatan Nematoda
Sampel tanah diambil menggunakan bor tanah sedalam 10–15 cm di sekitar
rumpun tanaman yang diamati, kemudian dibawa ke Laboratorium Nematologi
untuk dilakukan ekstraksi dan identifikasi terhadap nematoda. Nematoda
diekstraksi dari contoh tanah dengan menggunakan metode sentrifugasi.
Sampel tanah dicampur dan diaduk rata, kemudian diambil sebanyak
100 cm3 dan dimasukkan ke dalam ember plastik I, ditambahkan air dengan
menggunakan selang (sambil mengaduk) sampai volumenya mencapai bibir
ember, kemudian didiamkan selama 30 detik agar tanah mengendap dan nematoda
melayang dalam air, setelah itu dituang ke dalam ember plastik II dengan
menggunakan saringan biasa dan didiamkan selama 30 detik. Kemudian dari
ember plastik II dituangkan di atas saringan bertumpuk 200 mesh dibagian atas
dan 400 mesh di bagian bawah dengan posisi saringan agak miring. Hal ini
dilakukan agar air dari ember tersebut tidak tumpah sehingga partikel tanah dan
nematoda yang tertinggal pada saringan 400 mesh dapat dituangkan ke dalam
tabung sentrifuse dengan menyemprotkan air dari belakang saringan, kemudian
disentrifugasi dengan kecepatan 1700 rpm selama 5 menit. Supernatan dalam
tabung dibuang setelah sentrifugasi sedangkan endapan yang terdiri dari partikel
IP =
26
tanah dan nematoda disuspensikan dalam larutan gula 40%, kemudian endapan
tanah dan nematoda yang telah dicampur dengan larutan gula disentrifugasi
kembali selama 1 menit. Setelah itu supernatan hasil sentrifugasi disaring dengan
menggunakan saringan 400 mesh sedangkan endapan tanah dibuang. Nematoda
yang tertahan dalam saringan dipindahkan ke dalam botol film (yang telah diberi
label) menggunakan corong, kemudian siap untuk dihitung dan diamati.
27
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah Desa Ciherang
Desa Ciherang merupakan salah satu dari dua puluh enam desa yang
termasuk dalam wilayah Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa
Barat. Wilayah Desa Ciherang sebagian besar berupa daerah berbukit-bukit dan
sebagian merupakan dataran tinggi yang terletak pada ketinggian 1100 meter
diatas permukaan laut, dengan luas wilayah 769 ha. Curah hujan rata-rata
225 mm/tahun, dengan suhu udara rata-rata 22 °C. Sebelah utara dan barat
berbatasan dengan Desa Cipendawa, sedangkan sebelah selatan dan timur
berberbatasan dengan Desa Ciputri. Mata pencaharian penduduk sebagian besar
adalah sebagai petani dan buruh tani. Sebagian besar wilayah desa merupakan
lahan pertanaman sayuran dengan komoditas di antaranya kubis, caisin, selada air,
seledri, timun, wortel, terong, kacang panjang, dan jenis tanaman sayuran dataran
tinggi lainnya (Sumber: Data Monografi Desa dan Kelurahan Ciherang 2008).
Karakteristik Petani dan Usaha Tani
Secara umum petani di Desa Ciherang adalah petani sayuran, dengan status
kepemilikan lahan merupakan lahan milik pribadi. Sebagian besar petani
mengelola sendiri lahannya (pemilik-penggarap), luas lahan yang diusahakan
untuk sayuran berkisar antara 300–400 m2. Untuk menekan kerugian kehilangan
hasil pada lahan akibat pengaruh hama, penyakit, fluktuasi harga, dan besarnya
biaya produksi, maka petani melakukan pola tanam tumpang sari. Namun,
sebagian besar tanaman seledri diusahakan secara monokultur, sehingga lahan
contoh yang diambil seperti yang dikemukakan dalam Tabel 3. Umumnya para
petani menanam tanaman sayuran yang memiliki harga tinggi, tetapi tidak sedikit
yang menanam tanaman yang sama sepanjang tahun.
Tabel 3 Karakterisitik lahan pertanaman contoh
Lahan contoh
Luas (m2)
Jarak tanam ( cm x cm )
Umur tanaman (Minggu)
Tanaman pokok
Tanaman lain Lokasi dusun
1
2
3
4
5
6
7
8
300
400
350
400
300
400
300
350
10 x 10
10 x 10
10 x 10
10 x 10
10 x 10
10 x 10
10 x 10
10 x 10
5
8
4
6
4
3
3
1
Seledri
Seledri
Seledri
Seledri
Seledri
Seledri
Seledri
Seledri
-
-
-
Selada air
-
-
Daun bawang
-
Sawah Lega
Nangeuk
Legok
Sawah Lega
Nangeuk
Legok
Sawah Lega
Sawah Lega
Budidaya Tanaman Seledri
Pengolahan Tanah
Setelah proses pemanenan seledri, lahan yang ada diratakan lalu digenangi
dengan air selama seminggu. Menurut petani setempat hal ini bertujuan untuk
menghilangkan hama dan mengembalikan kondisi tanah dalam keadaan semula.
Pengolahan tanah dilakukan dengan membentuk bedengan-bedengan dengan
tinggi antara 30–40 cm dan lebar antara 100–120 cm, dengan jarak antar bedengan
adalah 30–40 cm yang berupa parit. Panjang bedengan biasanya sama panjangnya
dengan lahan. Bedengan yang telah terbentuk lalu diberi kapur kalsit atau dolomit
dengan dosis 0,5 kg/m2 dan pupuk kandang dengan dosis 2,5 kg/m2. Pemberian
kapur ditujukan untuk menjaga keseimbangan pH tanah. Lahan yang selesai
diolah dibiarkan terbuka selama satu minggu jika musim kemarau, dan ketika
musim hujan dilakukan penutupan lahan dengan menggunakan jerami agar
kandungan pupuk dan kapur tidak terkikis air hujan.
Persemaian
Hampir semua petani menggunakan lahan khusus persemaian yang terdiri
dari bedengan tunggal dengan lebar 100–120 cm, tinggi 30–40 cm, namun ada
juga petani yang menggunakan bedengan paling tepi pada lahan pertanaman
29
sebagai tempat persemaian. Waktu persemaian berkisar antara 1,5–2 bulan,
setelah benih tumbuh menjadi bibit dengan 3–4 helai daun tanaman dipindahkan
ke lahan pertanaman. Varietas benih seledri yang umum digunakan oleh petani di
Desa Ciherang adalah Bamby dan Amigo. Varietas Amigo merupakan varietas
yang paling banyak ditanam petani karena jumlah anakan dan daunnya lebih
banyak dibandingkan dengan varietas lainnya, serta cocok dengan keadaan
lingkungan setempat dan umur panen yang singkat ± 50 hari.
Penanaman
Jarak tanam yang digunakan adalah 10 cm x 10 cm. Satu lubang tanam
ditanami 1–2 bibit seledri. Pemberian naungan plastik banyak dilakukan oleh
petani setempat pada bedengan lahan, agar bibit yang ditanam tidak rusak terkena
siraman air hujan, petisida yang diberikan tidak mudah tercuci air hujan, dan
terlindung dari penyakit busuk. Pertanaman seledri umumnya membutuhkan sinar
matahari yang cukup dan tidak tahan air hujan (Soewito 1991).
Penyulaman
Penyulaman dilakukan petani jika ada bibit yang tidak tumbuh dalam jangka
waktu 2 minggu. Menurut Rukmana (1995), penyulaman yang terlambat dapat
menyebabkan tanaman kalah bersaing dengan tanaman yang tumbuh terlebih
dahulu. Keadaan di lapangan pada saat pengamatan, menunjukkan petani jarang
sekali melakukan penyulaman. Secara umum semua bibit yang ditanam tumbuh
dengan baik.
Pemupukan
Pada umumnya petani setempat melakukan pemberian pupuk pada
pertanaman seledri dilakukan 4 kali dari masa persemaian hingga panen. Pupuk
dasar yang diberikan yaitu NPK 15 g/m2, urea 30 g/m2, dan TSP 15 g/m2 lahan.
Pada saat persemaian memasuki umur satu minggu kembali diberikan pupuk urea
dengan dosis 15 g/m2. Setelah tanaman dipindahkan ke lahan tanam kurang lebih
7–10 hari sesudah tanam dilakukan pemberian pupuk urea 30 g/m2 , NPK 15 g/m2,
30
dan TSP 15 g/m2. Pemberian pupuk dengan dosis yang sama dilakukan lagi saat
usia tanaman mencapai 4 MST. Menurut Susila (2006), untuk meningkatkan
efisiensi pemanfaatan pupuk oleh tanaman seledri, sebaiknya pupuk diberikan
sebanyak 3 kali selama masa tanam, yaitu 1 kali pupuk dasar pada saat tanam, dan
2 kali pemberian pupuk alternatif yaitu pada saat tanaman berusia 2 MST dan
4 MST.
Pengairan dan Penyiraman
Pengairan dilakukan dengan cara menggenangi parit antar bedengan,
sepanjang musim tanam. Menurut Soewito (1991) keadaan tanah lahan
pertanaman seledri tidak boleh dalam keadaan terlalu kering atau terlalu basah,
karena hal ini dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu.
Penyiraman dilakukan seminggu 3 kali. Proses penyiraman dilakukan dengan
menggunakan air yang tergenang pada parit antara bedengan kemudian
disiramkan pada tanaman secukupnya hingga tanaman terlihat basah. Menurut
Rukmana (1995), pada awal masa pertumbuhan, pengairan perlu dilakukan
1–2 kali sehari, sedangkan pengairan berikutnya dikurangi menjadi 2–3 kali
seminggu tergantung dari keadaan cuaca.
Penyiangan Gulma
Penyiangan dilakukan secara manual terhadap gulma selama masa
pertanaman. Penyiangan dilakukan 1–2 kali sampai panen, tetapi jika dianggap
perlu pengendalian dilakukan ketika gulma sudah banyak. Menurut Susila (2006)
penyiangan gulma sebaiknya dilakukan secara bersamaan pada saat
penggemburan dan pemupukan yaitu pada saat 2 MST dan 4 MST agar unsur hara
dapat termanfaatkan secara maksimal oleh tanaman.
Pengendalian Hama dan Penyakit
Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan mematikan hama yang
ditemukan dengan mencabut langsung tanaman yang terlihat layu dan tidak
tumbuh normal. Pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan pestisida,
31
merupakan pengendalian yang rutin dilakukan oleh semua petani seledri setempat.
Aplikasi pestisida dilakukan 1–2 kali seminggu pada saat tanam sampai
menjelang panen. Pada saat menjelang panen (kira-kira 5–6 MST), aplikasi
pestisida ditingkatkan menjadi 2–3 kali seminggu. Pada saat 8 MST lahan tidak
diaplikasikan insektisida. Menurut Soewito (1991) frekuensi aplikasi pestisida
juga bisa meningkat apabila serangan hama dan penyakit pada lahan pertanaman
seledri dirasa berat atau merugikan. Pestisida yang digunakan antara lain Orthene
75 SP, Curacron 500 EC, Agrimec 18 EC, Decis 2,5 EC, Dursban 20 EC
(Insektisida), Antracol 70 WP, Score 250 EC, Revus 250 SC, Amistar 250 SC,
Bion – M 1/48 WP, dan Dithane M-45 80 WP (Fungisida). Aplikasi pestisida
pada lahan diberikan dengan cara mencampur Curacron, Antracol dan Decis
dengan dosis masing-masing 1 tutup, 1 sendok, dan 1 tutup/15 liter air. Selain itu
beberapa komposisi campuran lainnya adalah Agrimec, Score, Antracol, dan
Dithane dengan menambahkan Tenax sebagai bahan perekat.
Panen dan Pemasaran
Panen dilakukan ketika tanaman berumur 2–4 bulan setelah tanam
tergantung keadaan harga. Pada keadaan tertentu bila harga tinggi petani
memanen lebih awal, tetapi jika harga rendah maka petani memanen di waktu
akhir. Pada saat penelitian berlangsung harga seledri di tingkat petani mencapai
Rp. 5000/kg dan merupakan harga yang tergolong cukup tinggi. Hasil panen
tanaman seledri petani setempat dapat mencapai rata-rata 15–18 kwintal/lahan.
Pemasaran hasil panen dilakukan melalui dua cara, menjual ke pasar tradisional
secara langsung atau menjual seledri pada saat masih di lahan dengan sistem
borongan.
Hama dan Penyakit pada Tanaman Seledri
Pada saat pengamatan di lapangan, terdapat beberapa jenis hama dan
penyakit yang ditemukan. Hama yang ditemukan adalah lalat pengorok daun
Liriomyza huidobrensis (Diptera: Agromyzidae), trips Thrips parvispinus,
(Thysanoptera: Thripidae), kutu daun Aphis gossypii (Hemiptera: Aphididae), dan
32
ulat grayak Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae), sedangkan penyakit yang
ditemukan adalah bercak daun septoria (Septoria apii) dan bercak daun
cercospora (Cercospora apii).
Hama Pada Tanaman Seledri
Lalat pengorok daun. Dari hasil pengamatan diketahui spesies lalat
pengorok daun yang menyerang pertanaman seledri adalah
Liriomyza huidobrensis Blanc. (Diptera: Agromyzidae). Imago L. huidobrensis
ditemukan pada beberapa petak lahan contoh, biasanya imago berada pada
permukaan atas daun pada bagian tengah tanaman seledri (Gambar 3). Secara
umum tubuh imago berwarna hitam mengkilap, dengan bagian tengah kepala,
bagian samping toraks, dan skutelum berwarna kuning (Rauf 2001).
Gambar 3 Imago L. huidobrensis (Diptera: Agromyzidae)
Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah imago yang hinggap
di tanaman. Populasi imago L. huidobrensis ditemukan pada beberapa tanaman
contoh dengan jumlah yang bervariasi, bahkan ada beberapa tanaman contoh yang
tidak terdapat populasi imago hama ini. Rata-rata populasi imago
L. huidobrensis tertinggi terdapat pada lahan contoh Sawah Lega 4 yaitu
0,53 ekor/tanaman, sedangkan populasi imago terendah pada lahan contoh Sawah
Lega 3 yaitu 0,17 ekor/tanaman. Populasi imago L. huidobrensis pada lahan
contoh lain relatif tidak terlalu berbeda (Tabel 4).
33
Meskipun imago L. huidobrensis tidak terlalu banyak ditemukan di
lapangan, namun gejala yang ditimbulkan hama ini hampir ditemukan pada
keseluruhan tanaman pada petak lahan contoh yang diamati. Gejala berupa
korokan berwarna putih yang terdapat pada permukaan daun tanaman (Gambar 4).
Gejala ini sudah mulai timbul pada lahan yang tanamannya berusia 1 MST.
Gambar 4 Gejala korokan L. huidobrensis pada tanaman seledri
Semakin tinggi usia tanaman maka gejala korokan di tanaman seledri akan
semakin banyak dan lebih lebar. Gejala korokan akan semakin melebar dengan
semakin besarnya ukuran larva (Rauf 2001). Rata-rata persentase anak daun
terserang tertinggi pada lahan contoh Sawah Lega 1 mencapai 21,04%
per tanaman, sedangkan persentase terendah pada lahan contoh Sawah Lega 4
mencapai 8,75% per tanaman. Kisaran rata-rata persentase anak daun terserang
pada setiap lahan contoh berbeda-beda (Tabel 4). Hasil wawancara dengan petani
setempat menunjukkan bahwa gejala hama L. huidobrensis yang lebih dikenal
petani setempat dengan nama ”sulidad” merupakan jenis hama yang sangat
merugikan pada pertanaman seledri dan hingga saat ini sangat sulit untuk diatasi.
Secara umum tingginya serangan L. huidobrensis pada pertanaman seledri
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya faktor pengendalian dan teknik
budidaya. Para petani setempat mengendalikan hama ini dengan menggunakan
campuran berbagai jenis pestisida (insektisida dan fungisida), dan aplikasi
dilakukan secara intensif. Menurut Rauf (2001) frekuensi aplikasi insektisida
yang terlalu sering dapat menyebabkan terjadinya resistensi hama. Teknik
34
budidaya setempat tentang pengendalian gulma yang terbatas dan jarak lahan
yang berdekatan dengan tanaman sayuran lainnya, menyebabkan tanaman inang
hama ini selalu tersedia di lapangan. Hal ini dikarenakan L. huidobrensis bersifat
polifag dan menyerang tanaman kentang, tomat, cabai, kacang-kacangan,
mentimun, wortel, selada dan berbagai jenis gulma (Rauf 2001).
Tabel 4 Rata-rata kerapatan populasi (ekor/tanaman) dan intensitas serangan L. huidobrensis
Lahan contoh Kerapatan populasi (Rata-rata ± SE)
Jumlah korokan/tanaman (Rata-rata ± SE)
Persentase anak daun terserang (Rata-rata ±SE)
Sawah lega 1 Nangeuk 1 Legok1 Sawah Lega 2 Nangeuk 2 Legok 2 Sawah Lega 3 Sawah Lega 4
0,23 ± 0,10 0,37 ± 0,12 0,23 ± 0,10 0,27 ± 0,11 0,23 ± 0,10 0,20 ± 0,09 0,17 ± 0,08 0,53 ± 0,13
9,47 ± 0,96 2,90 ± 0,49 1,20 ± 0,29 4,73 ± 0,66 3,13 ± 0,48 3,30 ± 0,61 3,63 ± 0,42 0,70 ± 0,22
21,04 ± 2,14 9,67 ± 1,62 10,00 ± 2,44 17,53 ± 2,43 12,53 ± 1,92 18,33 ± 3,39 14,53 ± 1,69 8,75 ± 2,69
Lalat Pengorok Daun dan Parasitoidnya
Pengumpulan daun contoh yang memperhatikan gejala korokan dilakukan
pada delapan lokasi pertanaman seledri di daerah Buniaga Ciherang. Dari 350
helai anak daun yang dikoleksi, didapatkan sebanyak 56 ekor lalat yang semuanya
adalah spesies L. huidobrensis (Gambar 5). Hama L. huidobrensis merupakan
hama yang bersifat polifag, hama ini memiliki inang yang sangat luas menyerang
lebih dari 20 famili tanaman inang yang salah satunya adalah famili Umbelliferae
(Rauf 2001).
Gambar 5 Imago L. huidobrensis
35
Tabel 5 Hasil inkubasi daun seledri yang terserang lalat pengorok daun
Waktu pengambilan
sampel
Umur tanaman (MST)
∑ Helai daun
contoh
∑ Pupa aborsi
∑ Imago lalat pengorok daun
muncul
∑ Imago parasitoid muncul
9 April 2008 5 50 48 12 35 9 April 2008 8 40 27 11 13 17 April 2008 3 50 11 5 6 24 April 2008 6 50 37 11 22 3 Mei 2008 4 50 12 9 7 1 Juni 2008 7 40 23 1 62 1 Juni 2008 8 40 17 5 29 1 Juni 2008 2 30 3 2 1
Total 350 178 56 175
Dari tabel 5 diketahui bahwa jumlah total imago parasitoid yang muncul
mencapai 175 ekor, jumlah pupa aborsi 178, dan imago lalat pengorok daun yang
muncul mencapai 56 ekor. Hal ini mununjukan hasil penghitungan tingkat
parasitisasi yang tidak memperhitungkan pupa aborsi adalah sebesar 75,76%,
sedangkan untuk nilai tingkat parasitisasi yang memperhitungkan jumlah pupa
aborsi mencapai 42,79%. Tingkat parasitisasi yang tinggi pada lokasi
penguimpulan contoh daun seledri menunjukkan potensi parasitoid untuk
digunakan dalam pengendalian hayati hama pengorok daun. Namun menurut
Johnson (1987) tingkat keberhasilan pengendalian lalat pengorok daun oleh
parasitoid di lapangan sangat dipengaruhi beberapa faktor seperti aplikasi
pestisida, keragaman tanaman inang, dan pola budidaya. Aplikasi pestisida secara
terus menerus dapat mengakibatkan kematian parasitoid di lapangan, sehingga
keberhasilan parasitoid dalam pengendalian hayati menjadi kecil. Ketersediaan
tanaman inang yang beragam bagi parasitoid dapat mempengaruhi populasi
parasitoid semakin berlimpah. Penggunaan jarak tanam yang tepat, pengendalian
gulma, dan penekanan aplikasi pestisida dapat mengurangi kemungkinan
terbunuhnya parasitoid sehingga populasi parasitoid di lapangan tetap seimbang.
36
Hasil identifikasi imago parasitoid yang muncul dari inkubasi daun
bergejala korokan, menunjukkan terdapat dua spesies parasitoid yaitu
Hemiptarsenus varicornis (Hymenoptera: Eulophidae), dan Opius chromatomyiae
(Hymenoptera: Braconidae) (Gambar 6). Ciri khas dari parasitoid H. varicornis
tubuh imago berwarna coklat gelap atau biru-hijau metalik, ukuran tubuh
bervariasi antara 1,2–2,16 mm dan imago jantan memiliki tipe antena pektinose
(berbentuk percabangan seperti sisir) sedangkan imago betinanya memiliki antena
yang panjang dan halus. Ciri khas dari parasitoid O. chromatomyiae tubuh imago
berwarna hitam, ukuran tubuh rata-rata 1,49–1,5 mm dan memiliki antena yang
panjangnya hampir sama dengan tubuhnya (Fisher et al. 2005).
Gambar 6 Parasitoid yang didapatkan dari hasil inkubasi daun yang terserang L. huidobrensis, a) H. varicornis (jantan), b) H. varicornis (betina) (Hymenoptera: Eulophidae), c) O. chromatomyiae (Hymenoptera: Braconidae)
Persentase komposisi parasitoid yang berasosiasi dengan L. huidobrensis
pada pertanaman seledri adalah H. varicornis (70,27%) dan O. chromatomyiae
(29,73%) (Gambar 7).
Gambar 7 Persentase komposisi parasitoid yang berasosiasi dengan pengorok
daun L. huidobrensis pada seledri di Kampung Buniaga-Ciherang.
a b c
29,73
70,27
O. chromatomyiae
H. varicornis
37
Lebih berlimpahnya H. varicornis karena jenis parasitoid ini merupakan
salah satu parasitoid yang dominan ditemukan pada berbagai ketinggian tempat di
Indonesia (Hidrayani 2002). Sedangkan keberadaan O. chromatomyiae sebagai
parasitoid L. huidobrensis telah banyak ditemukan pada pertanaman kacang kapri
yang ditanam di daerah dataran tinggi (Gultom 2005). Banyaknya jumlah imago
parasitoid H. varicornis dan O. chromatomyiae yang muncul, menunjukkan
potensi kedua jenis parasitoid ini untuk dapat digunakan dalam tindakan
pengendalian hayati hama L. huidobrensis pada pertanaman seledri.
Trips. Trips yang ditemukan berukuran sangat kecil sekitar 1 mm,
berwarna coklat kehitaman, dengan abdomen seperti kerucut dan berwarna gelap.
Trips ditemukan diantara tangkai daun dan pada permukaan bawah daun
(Gambar 8). Hasil identifikasi dengan menggunakan program identifikasi
LUCID: Pest Thrips of The World (Moritz et al. 2004), menunjukan bahwa trips
yang ditemukan merupakan spesies Thrips parvispinus Karny. (Thysanoptera:
Thripidae). Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan jumlah populasi hama
trips merupakan hama yang terdapat pada hampir seluruh pertanaman lahan
contoh. Populasi trips tertinggi terdapat pada lahan Sawah lega 2 sebanyak
8,30 ekor/tanaman, sedangkan populasi hama terendah terdapat pada Lahan
Legok 1 sebanyak 0,60 ekor/tanaman ( Tabel 6).
Gambar 8 Imago T. parvispinus pada permukaan bawah daun seledri
38
Gejala serangan hama trips pada tanaman seledri diduga berupa bercak
berwarna putih seperti keperakan pada permukaan bawah daun (Gambar 9). Hal
ini dikarenakan gejala seperti itu selalu ada ketika imago hama ini ditemukan pada
permukaan bawah daun. Menurut Kalshoven (1981) serangan T. parvispinus,
dicirikan dengan bercak berwarna keperakan dekat dengan tulang daun. Rata-rata
populasi trips yang tinggi di lapangan, belum menimbulkan kerusakan yang
begitu berarti. Hail ini ditunjukkan dengan luas serangan trips pada masing-
masing lahan contoh yang relatif rendah berkisar antara 0,28% –5,37% (Tabel 5).
Tabel 6 Rata-rata kerapatan populasi (ekor/tanaman) dan intensitas serangan T. parvispinus (%)
Lahan contoh Kerapatan populasi (Rata-rata ±SE)
Intensitas serangan (Rata-rata ± SE)
Sawah lega 1 Nangeuk 1 Legok1 Sawah Lega 2 Nangeuk 2 Legok 2 Sawah Lega 3 Sawah Lega 4
4,30 ± 0,81 6,83 ± 0,98 0,60 ± 0,21 8,30 ± 0,64 7,63 ± 0,73 6,97 ± 0,63 4,10 ± 0,32 0,97 ± 0,23
1,48 ± 0,57 2,56 ± 0,54 0,28 ± 0,28 2,96 ± 0,60 3,33 ± 0,42 5,37 ± 0,68 4,53 ± 0,68 0,42 ± 0,41
Jumlah populasi trips yang tinggi pada setiap tanaman seledri yang diamati
disebabkan karena tanaman seledri merupakan salah satu tanaman inang alternatif
dari trips. Menurut Sutrisna et al. (2005) tingkat serangan trips pada tanaman
kentang menurun sebesar 44%, ketika tanaman kentang ditanam secara tumpang
sari dengan seledri. Luas serangan trips yang rendah di lapangan lebih disebabkan
oleh pengaruh musim, karena serangan trips pada tanaman akan meningkat ketika
terjadi musim kering (Kalshoven 1981). Namun pada saat pengamatan serangan
trips tetap terlihat karena penggunaan plastik pada lahan untuk melindungi
tanaman dari hujan, sehingga trips tetap ada.
39
Gambar 9 Gejala serangan hama T. parvispinus pada daun
Kutu daun. Kutu daun yang ditemukan di lapang memiliki ciri-ciri
berwarna hijau kehitaman berukuran kecil ± 1–2,5 mm, dan tubuhnya berbentuk
seperti buah pir (Gambar 10). Hasil identifikasi kutu menggunakan menggunakan
buku identifikasi Blackman dan Eastop (2000), menunjukan spesies kutu daun
adalah Aphis gossypii Glov. (Hemiptera: Aphididae). Kutu daun hanya ditemukan
pada beberapa lahan contoh pengamatan dalam jumlah yang bervariasi. Populasi
kutu daun tertinggi terdapat pada lahan contoh Nangeuk 1 sebanyak
6,43 ekor/tanaman, sedangkan populasi terendah terdapat pada beberapa lahan
contoh yang tidak ditemukannya hama ini (Tabel 7). Pada saat pengamatan kutu
daun banyak ditemukan pada permukaan atas daun pada bagian bawah tanaman
seledri.
Tabel 7 Rata-rata kerapatan populasi A. gossypii (ekor/tanaman)
Lahan contoh Kerapatan populasi (Rata-rata ± SE)
Sawah lega 1 Nangeuk 1 Legok1 Sawah Lega 2 Nangeuk 2 Legok 2 Sawah Lega 3 Sawah Lega 4
- 6,43 ± 1,06 0,33 ± 0,20 4,70 ± 1,08 1,60 ± 0,55 2,43 ± 0,63
- -
- Hama tidak ditemukan pada lahan contoh
40
Gambar 10 A. gossypii pada tanaman seledri
Kutu daun yang terdapat pada tanaman seledri saat pengamatan tidak
menimbulkan kerusakan yang jelas. Peranan utama kutu daun pada pertanaman
seledri adalah sebagai vektor virus mosaik seledri di Florida (Webb 2006).
Tingginya populasi kutu daun pada lahan contoh Nanguek 1, karena pada lahan
tidak dilakukan pengendalian gulma dan lokasi lahan yang berdekatan dengan
pertanaman mentimun yang juga terdapat banyak kutu daun. Menurut
Mossler et al. (2007) gulma dapat menjadi inang alternatif bagi virus dan kutu
daun yang menyerang pertanaman seledri.
Secara umum populasi kutu daun yang ditemukan di lahan cukup rendah,
hal ini disebabkan keadaan lahan yang cukup lembab merupakan kondisi yang
tidak mendukung perkembangan hama. Selain itu penggunaan insektisida
berbahan aktif acephate dan abamectin diduga ikut menekan populasi kutu daun.
Pengendalian dengan inesktisida berbahan aktif asephat, pimetrozin, dan
abamektin efektif mengendalikan kutu daun pada berbagai lahan pertanaman
seledri di Florida Hausbeck (2002).
Ulat grayak. Hasil identifikasi menunjukkan ulat grayak yang ditemukan
merupakan larva dari Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae). Larva
S. litura (Gambar 11), ditemukan pada bagian permukaan tanah lahan pertanaman
seledri. Populasi Ulat grayak sedikit sekali ditemukan di lapang, dengan rata-rata
populasi tertinggi sebanyak 0,23 ekor/tanaman pada lahan Sawah Lega 2,
sedangkan populasi rata-rata terendah terdapat pada beberapa lahan yang tidak
ditemukan hama ini (Tabel 8).
41
Tabel 8 Rata-rata kerapatan populasi larva S. litura (ekor/tanaman)
Lahan contoh Kerapatan populasi (Rata-rata ± SE)
Sawah lega 1 Nangeuk 1 Legok1 Sawah Lega 2 Nangeuk 2 Legok 2 Sawah Lega 3 Sawah Lega 4
- -
0,20 ± 0,09 0,23 ± 0,08 0,10 ± 0,06
- - -
- Hama tidak ditemukan pada lahan contoh
Hama ulat grayak pada saat pengamatan, tidak menunjukan serangan hama.
Gejala serangan hama ini dapat mengakibatkan rusaknya daun dengan
meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas atau daun menjadi transparan dan
tinggal tulang-tulang daun saja (Ditlinhor 2008). Hasil wawancara dengan petani
setempat mengatakan bahwa ulat ini sering sekali ditemukan pada lahan ketika
musim kemarau. Menurut Kalshoven (1981) Selama musim hujan populasi
S. litura akan berkurang di lahan pertanaman. Selain pengaruh musim, perilaku
hama yang beraktivitas pada malam hari mungkin menjadi salah satu faktor tidak
teramatinya populasi hama ini di lapangan.
Gambar 11 Larva S. litura
42
Arthropoda Lain Pada Tanaman Seledri
Selain ditemukan serangga-serangga yang berstatus hama, pada lahan
pertanaman seledri juga ditemukan beberapa jenis arthropoda lain yang belum
diketahui secara pasti peranannya. Arthropoda tersebut adalah laba-laba
(Lycosidae), semut (Formicidae), beberapa serangga Famili Syrphidae, dan
Famili Tipulidae. Laba-laba diduga merupakan predator dari serangga-serangga
lain yang ada di pertanaman seledri. Penggunaan beberapa jenis laba-laba
merupakan salah satu pengendalian hayati untuk mengendalikan populasi trips di
tanaman paprika (Ditlinhor 2008). Menurut Kalshoven (1981) laba-laba
merupakan predator dari berbagai jenis serangga, baik serangga yang berstatus
hama maupun jenis serangga yang berguna (musuh alami). Kehadiran semut
pada lahan pertanaman seledri merupakan hasil asosiasinya dengan kutu daun
yang menghasilkan embun madu. Menurut Capinera (2005), kutu daun dapat
menghasilkan embun madu sebagai aktivitas ekskresinya yang kemudian dapat
mengundang kehadiran semut pada pertanaman. Kehadiran beberapa serangga
Famili Syrphidae, diduga mempunyai peranan dalam pengendalian kutu daun
pada pertanaman seledri. Penggunaan predator Famili Syrphidae merupakan
salah satu metode pengendalian Aphis gossypii secara biologis. Menurut
Kalshoven (1981), populasi kutu daun pada pertanaman biasanya dapat
dikendalikan dengan beberapa jenis musuh alami seperti Coccinellidae dan
Syrphidae. Beberapa jenis serangga Famili Tipulidae yang ditemukan pada lahan
diduga berperan sebagai dekomposer (Borror et al. 1996).
Penyakit pada Tanaman Seledri
Bercak daun Septoria. Penyakit bercak septoria hampir ditemukan pada
seluruh tanaman contoh, namun umumnya hanya pada daun-daun tua. Gejala
awal serangan patogen pada daun, yaitu terdapat bercak-bercak berwarna
kecoklatan (Gambar 12), yang kemudian melebar (Gambar 13).
43
Gambar 12 Gejala bercak Septoria daun seledri
Gambar 13 Gejala lanjut bercak Septoria daun seledri
Pada daun yang menunjukkan gejala tersebut ditemukan konidia hialin,
dengan bentuk panjang menyempit hingga filiform, dan memiliki beberapa sekat
(Gambar 14). Menurut Barnet dan Barry (1999) ciri-ciri patogen seperti itu
adalah Septoria apii.
Gambar 14 Konidia S. apii
44
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, penyakit ini menyebar pada
seluruh lahan contoh dengan intensitas penyakit yang hampir seragam. Hasil
pengamatan menunjukan rata-rata insidensi dan intensitas penyakit relatif tinggi,
nilai rata-rata insidensi penyakit tertinggi terdapat pada lahan contoh Nangeuk 1,
Sawah Lega 2, 4 dan Legok 2 yang mencapai 100%, sedangkan yang terendah
adalah lahan contoh Sawah Lega 1 dan Legok 1 yang mencapai 93,32%.
Intensitas penyakit berkisar antara 7,87–19,80% (Tabel 9).
Tabel 9 Insidensi dan intensitas penyakit bercak daun Septoria
Lahan contoh Rata-rata
Insidensi penyakit
(%) ± SE
Rata-rata Intensitas penyakit
(%) ± SE
Sawah lega 1 Nangeuk 1 Legok1 Sawah Lega 2 Nangeuk 2 Legok 2 Sawah Lega 3 Sawah Lega 4
93,32 ± 4,09 100,00 ± 0,00 93,32 ± 4,09
100,00 ± 0,00 96,66 ± 3,34
100,00 ± 0,00 96,66 ± 3,34
100,00 ± 0,00
15,10 ± 1,25 19,80 ± 1,88 15,43 ± 1,50 12,23 ± 0,51 14,67 ± 1,20 15,47 ± 0,80 13,17 ± 0,80 7,87 ± 0,83
Tingginya intensitas penyakit bercak septoria pada pertanaman seledri di
lahan pengamatan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah
keadaan sekitar lahan, musim, dan teknik budidaya. Keadaan sekitar lahan
pertanaman seledri yang digenangi oleh air membuat penyebaran penyakit ini
meluas cepat keseluruh tanaman seledri, air di sekitar lahan umumnya digunakan
oleh petani setempat untuk menyiram seledri. Hal ini dapat mendukung
penyebaran penyakit septoria dengan cepat. Menurut Agrios (1997) penyebaran
konidia septoria dapat melalui cipratan air hujan, angin, alat-alat pertanian yang
digunakan manusia, dan hewan yang ada pada areal pertanaman. Pengamatan
penyakit pada saat itu dilakukan pada awal musim kemarau dengan keadaan lahan
sangat lembab, sehingga sangat mendukung perkembangan penyakit. Penyakit
septoria pada tanaman seledri dapat berkembang pesat selama periode hujan,
terutama sekali ketika keadaan lahan lembab (Raid 2004). Teknik budidaya yang
45
dilakukan petani seledri setempat dengan menanam seledri dengan jarak tanam
yang cukup rapat ditunjang dengan bentuk tanaman seledri yang merumpun dapat
mempermudah penyebaran penyakit.
Bercak daun Cercospora. Penyakit bercak cercospora merupakan
penyakit yang juga hampir ditemukan pada semua tanaman pada petak lahan
contoh. Penyakit ini ditemukan pada daun tanaman seledri yang lebih muda,
namun tidak jarang gejala lanjut penyakit ini juga ditemukan pada daun-daun tua.
Penyakit ini juga ditemukan pada tanaman yang terserang bercak septoria. Gejala
berupa bercak bundar kecil berwarna kecoklatan yang dikelilingi halo berwarna
kuning (Gambar 15) dan bercak nekrotis berwarna keabu-abuan pada daun
(Gambar 16). Pada daun yang bergejala ditemukan konidia cendawan dengan
ciri-ciri hialin atau keabu-abuan, panjang berbentuk silindris hingga filiform, dan
memiliki banyak sekat (Gambar 17). Menurut Barnet dan Barry (1999) ciri-ciri
patogen seperti itu adalah Cercospora apii.
Gambar 15 Gejala bercak daun Cercospora pada seledri yang dikelilingi halo
Gambar 16 Gejala penyakit bercak daun Cercospora daun seledri
46
Gambar 17 Konidia Cercospora apii
Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata insidensi penyakit dan intensitas
serangan pada petak lahan contoh relatif beragam (Tabel 10). Nilai rata-rata
insidensi penyakit tertinggi terdapat pada lahan contoh Nangeuk 2 dan Legok 2
yang mencapai 100% dan terendah pada lahan contoh Sawah Lega 4 mencapai
33,4%, sedangkan intensitas penyakit berkisar antara 2,27–20,83%.
Tabel 10 Insidensi dan Intensitas penyakit bercak daun Cercospora
Lahan contoh Rata-rata
Insidensi Penyakit (%) ± SE
Rata-rata Intensitas penyakit
(%) ± SE
Sawah lega 1 Nangeuk 1 Legok1 Sawah Lega 2 Nangeuk 2 Legok 2 Sawah Lega 3 Sawah Lega 4
83,30 ± 12,29 66,80 ± 9,13 56,68 ± 6,76 40,00 ± 8,53
100,00 ± 0,00 100,00 ± 0,00
93,26 ± 4,13 33,40 ± 7,38
13,83 ± 1,58 12,17 ± 2,60 10,83 ± 2,19 6,93 ± 1,99 19,47 ± 1,31 20,83 ± 1,35 13,43 ± 0,89 2,27 ± 0,63
Faktor yang menyebabkan insidensi penyakit bercak daun cercospora terjadi
pada semua lahan contoh adalah keadaan lahan pertanaman yang sangat melimpah
dengan air. Penggunaan air disekitar lahan pertanaman untuk menyiram tanaman
juga merupakan faktor utama penyebaran penyakit ini. Menurut Agrios (1997)
spora cercospora membutuhkan air untuk berkecambah dan melakukan penetrasi
(penularan) terhadap tanaman. Tingkat intensitas penyakit bercak cercospora
tergolong rendah jika dibandingkan tingkat intensitas penyakit bercak septoria, hal
ini dikarenakan keadaan udara pada saat pengamatan sangat lembab sehingga
47
kurang cocok untuk perkembangan penyakit bercak daun cercospora. Menurut
Mossler et al. (2007) suhu yang tinggi sangat berperan dalam perkembangan
penyakit bercak cercospora pada tanaman seledri. Penanaman, pengendalian dan
pemanenan seledri yang tidak serempak antara petani yang lahannya berdekatan
menyebabkan sumber inokulum penyakit selalu ada di lapangan, meskipun
banyak metode pengendalian sudah dilakukan oleh petani setempat.
Pengamatan Nematoda
Hasil ekstraksi contoh tanah yang diambil pada berbagai petak lahan contoh,
menunjukkan bahwa hampir seluruh lahan pertanaman seledri yang digunakan
sebagai lahan contoh tidak ditemukan nematoda parasit. Hanya satu jenis
nematoda parasit yang ditemukan yaitu Helicotylenchus spp (Tylenchida:
Hoplolaimidae) (Mai dan Lyon 1975) (Gambar 18). Nematoda hasil ekstraksi
contoh tanah hanya ditemukan di lahan Sawah Lega 2, 3, dan 4, sedangkan pada
petak lahan contoh yang lainnya tidak ditemukan nematoda.
Gambar 18 Helicotylenchus spp
Sedikitnya nematoda yang ditemukan dari hasil ekstraksi contoh tanah di duga
disebabkan oleh perlakuan petani setempat dalam mengelola lahan. Perlakuan
lahan oleh petani setempat sehabis panen dengan meratakan kemudian
menggenangi lahan dengan air selama satu minggu, diduga menjadi salah satu
faktor sedikitnya nematoda yang ditemukan. Menurut Irfandri 1999,
penggenangan lahan 120 jam atau lebih sebelum tanam merupakan salah satu cara
untuk menekan perkembangbiakan dan serangan nematoda bengkak akar
(Meloidogyne spp) pada tanaman tomat.
48
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Serangga hama yang ditemukan pada pertanaman seledri pada lahan
pengamatan yaitu, L. huidobrensis, T. parvispinus, A. gossypii, dan S. litura,
sedangkan patogen yang ditemukan adalah Se. apii dan C. apii. Dari segi
kerusakan yang ditimbulkan, hama utama pada pertanaman seledri adalah
L. huidobrensis intensitas serangan tertinggi mencapai 21,04%, sedangkan
patogen utama adalah Se. apii dengan intensitas serangan yang hampir merata
pada tiap lahan, dengan nilai tertinggi mencapai 19,80%.
Jenis lalat pengorok daun yang keluar dari helai anak daun seledri yang
terserang korokan adalah L. huidobrensis, sedangkan parasitoidnya adalah
H. varicornis dan O. chromatomyiae, dengan tingkat parasitisasi tertinggi
mencapai 75,76%.
Perlakuan petani setempat dalam mengendalikan hama dan penyakit dengan
menggunakan campuran berbagai pestisida dan aplikasi yang terlalu sering
menyebabkan serangan hama dan patogen selalu ada pada lahan pertanaman
seledri.
Saran
Perlu dilakukan survei secara periodik untuk mengetahui keberadaan hama
dan penyakit secara keseluruhan pada pertanaman seledri agar diketahui cara dan
waktu yang tepat untuk pengendalian hama dan penyakit pada pertanaman seledri.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Ed ke-4. New York: Academic Press.
Aji K. 2007. Manfaat seledri bagi kesehatan. Opensource Jawa Tengah. http://opensource.opencrack.or.id-opensource.jawatengah.go.id-opensource powered by Mambo.pdf [13 Juni 2008].
[Anonim]. 2008. Budidaya dan analisis ekonomi tanaman seledri. http://warintek.progressio.or.id/ [25 Maret 2008].
Blackman RL, Eastop VP. 2000. Aphids on the World’s Crops An Identification and Information Guide. Ed ke-2. London: The Natural History Museum.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6. Partosoedjono S, penerjemah. Brotowidjoyo MD, penyunting. Yogyakarta: UGM Press.
Budianto V. 2006. Apium graveolens yang berasal dari suku Apiaceae. Materi Medika Indonesia. http://images.toiusd.multiply.com/attachment/0/ Rjsa XwoKCp8 AADG3tlk1 Apium% 20graveolens% 20yang% 20berasal% 20dari% 20suku%20Apiaceae.doc?nmid=19380680 [23 mei 2008].
Burnett HL, Barry B. 1999. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-4. Minnesota: APS Press.
Capinera JL. 2005. Green peach aphid-Myzus persicae (Sulzer) (Insecta: Hemiptera : Aphididae). Department of Entomology and Nematology Division of Plant Industry Electronic Data Information Source EENY-222, University of Florida.
Capinera JL. 2005. Beet Armyworm, Spodoptera exigua (Hübner) (Insecta: Lepidoptera: Noctuidae). Department of Entomology and Nematology Document EENY-105, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida.
Chaney WE, Godfrey LD, Trumble JT. 2005. UC IPM pest management guidelines: celery. IPM. http://www.ipm.ucdavis.edu/PMG/ r104300111.html [12 Mei 2008].
Chaput J. 2008. Leafminers Attacking Field Vegetables and Greenhouse Crops. Ministry of Agriculture, Food and Rural Affairs. http://gov.on.ca/MBS/ english/common/quenss.html [24 April 2008].
Dalimartha S. 2005. Atlas tumbuhan obat Indonesia. Jilid 3. Jakarta: Trubus Agriwidya.
[Ditlinhor]. Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2008. Jenis-jenis hama dan pengendaliannya. Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. http://ditlin.hortikultura.go.id/ buku_sayur06/.html. [21 Januari 2008].
[Ditlinhor]. Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2006. Organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada tanaman gerbera (Gerbera jamesonii Bolus.). Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. http://ditlin.hortikultura.go.id/buku_hias06/gerbera.htm. [6 Juni 2008].
Fisher N, Ubaidillah R, Reina P, La Salle J. 2005. Liriomyza parasitoids on southeast Asia. Australia:CSRIO. http: // www.ento.csiro.au/science/ Liriomyza_ver3/key/Liriomyza_parasitoids_Key/Media/html/home.html [20 Juni 2008].
Gultom T. 2005. Survei lalat pengorok daun dan parasitoidnya pada pertanaman kapri, bawang daun, dan sayuran lainnya di wilayah Bogor dan Cianjur [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hausbeck M. 2002. Pest Management in the Future: A Strategic Plantfor the Michigan Celery Industry. Michigan: Michigan State University East Lansing.
Hidrayani. 2002. Bioekologi Hemiptarsenus vericornis (Hymenoptera: Eulopidae). Parasitoid Liriomyza huidobrensis (Diptera: Agromyzidae). [Tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Irfandri. 1999. Pengaruh Lama Penggenangan Terhadap Perkembangbiakan Nematoda Bengkak Akar (Meloidogyne spp.) Pada Tanaman Tomat. J Natur Indonesia 11 (1): 75-79.
Johnson MW. 1987. Parasitization of Liriomyza spp. (Diptera: Agromyzidae) infesting commercial watermelon plantings in Hawaii. J. Econ. Entomol. 80(1): 56–61.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baruvan Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.
Krantz GW. 1978. A Manual of Acarology. Ed ke-2. Oregon State University Book Stores, Inc.
Latham L, Jones R. 2001. Celery mosaic virus [western Australia]. Departement of Agriculture, Western Australia: Fact Sheet.
Mai WF, Lyon HH. 1975. Pictorial Key To Genera of Plant Parasitic Nematodes. Ed ke-4. Cornell University Press.
Mau RFL, Kessing JLM. 2007. Liriomyza trifolii (Burgess). http://extento.hawai.edu/Kbase/crop/crop/htm. [15April 2008].
Moritz G, Mound LA, Morris DC, Goldarazena. 2004. Pest Thrips of The World (CD-ROM). Australia: CSIRO publishing.
Mossler MA, Larson BC, Nesheim ON. 2007. Florida crop/pest management profiles: celery. Plant Pathology Department Document CIR 1235. Food Science and Human Nutrition Department, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida.
51
Murphy ST, LaSelle J. 1999. Balancing biological control strategies in the IPM of new world invasive Liriomyza leafminers in vegetable crop. Biocontrol News and Information 20(3): 91–104.
Oliver JH. 1971. Partenogénesis in Mites and Ticks (Arachnida: Acari). Amer. Zool.
Parella MP. 1987. Biology of Liriomyza. Ann. Rev. Entomol. 32:201-224.
Pracaya. 2007. Hama & Penyakit Tanaman. Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Radcliffe EB. 2001. Aphid Alert: region-wide virus vector surveillance for the Minnesota and North Dakota potato industry. Department of Entomology, College of Agricultural, Food & Environmental Sciences, University of Minnesota, the University of Minnesota Extension Service, and the State Seed Potato Programs of Minnesota and North Dakota. http://ipmworld.umn.edu/alert.htm. [10 April 2008].
Raid RN. 2004. Celery disease and their management. Di dalam: Naqvi SAMH, editor. Diseases of Fruits and Vegetables Diagnosis and Management. Kluwer Academic Publisher 1: 441–453.
Raid, R. and Kucharek, T. (2006). 2006 Florida Plant Disease Management Guide: Celery. Plant Pathology Department Document PDMG-V3-36. Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida.
Rauf A. 1995. Liriomyza: hama pendatang baru di Indonesia. Bul HPT 8(1): 46–48.
Rauf A. 1999. Persepsi dan tindakan petani kentang terhadap lalat pengorok daun Liriomyza huidobrensis (Blancard) (Diptera: agromyzidae). Bul HPT 11(1): 1–13.
Rauf A. 2001. Bioekologi, pemantauan, dan pengendalian lalat pengorok daun Liriomyza spp. Lokakarya Pengamatan dan Peramalan Organisme Pengganggu Tanaman Hortikultura. Jatisari, 11–13 September 2001.
Rukmana R. 1995. Bertanam Seledri. Yogyakarta: Kanisius.
Semangun H. 2007. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sinaga MS. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Soewito DS. 1991. Memanfaatkan Lahan dengan Bercocok Tanam Seledri. Jakarta: CV Titik Terang.
Susila AD. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB.
Sutrisna N, Sastraatmadja S, Ishaq S. 2005. Kajian sistem penanaman tumpangsari kentang (Solanum tuberosum L.) di lahan dataran tinggi
52
Rancabali, Kabupaten Bandung. J Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8(1): 78−87.
Traicevski V, Knoxfield. 2000. Celery mosaic virus. Agriculture Notes (3): AG 0939.
Webb SE. 2006. 2006 Insect Management for Celery and Parsley. Department of Entomology and Nematology Document ENY-463, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida.
Wikipedia Indonesia. 2008. Seledri. http://id.wikipedia.org/wiki/Seledri. [9 April 2008].
53
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kondisi umum lahan pertanaman seledri yang diamati
Lampiran 2 Pola pertanaman seledri di Kampung Buniaga–Ciherang a)
persemaian, b) tumpang sari seledri dengan selada air, c) tumpang sari seledri dengan bawang daun, d) pertanaman monokultur seledri
a
c
b
d
55
Lampiran 3 Pertanyaan saat wawancara dengan petani
Wawancara petani
1) Nama petani :
2) Komoditas yang di usahakan :
3) Lokasi lahan :
4) Pernah menanam seledri :
5) Pengalaman menanam seledri :
6) Teknik budidaya seledri yang dilakukan :
• Varietas yang digunakan:
• Luas lahan pertanaman seledri :
• Pola tanam :
• Jarak tanam :
• Pengolahan lahan :
• Persemaian :
• Pemupukan :
• Penanaman :
• Panen dan pemasaran :
6) Teknik pengendalian hama dan penyakit :
• Secara fisik dan mekanik :
• Secara kimiawi (sebutkan jenis pestisida yang digunakan) :
7) Jenis hama penting seledri :
8) Jenis penyakit penting seledri :
Lampiran 4 Aktivitas petani saat aplikasi pestisida di lahan
56
Lampiran 5 Jenis-jenis pestisida yang digunakan petani seledri di Kampung Buniaga–Ciherang
Nama Formulasi Bahan Aktif Kegunaan Organisme Sasaran
Agrimec 18 EC abamektin Insektisida, racun kontak
Kutu daun, trips, lalat pengorok daun, dan ulat
grayak Amistar 250 Sc azoksistrobin Fungisida, racun
kontak -
Antracol 70 WP propineb Fungisida, racun kontak
Cercospora apii.
Bion M 1/48 WP
asilbenzolar e-metil,
mankozeb
Fungisida, protektif
-
Curacron 500 EC
profenofos Insektisida, racun kontak dan
lambung
Ulat grayak, kutu daun, dan trips
Decis 2,5 EC deltametrin Insektisida, racun kontak dan
lambung
Ulat grayak, trips, dan kutu daun.
Dithane M-45 80 WP
mankozeb Fungisida sistemik
Cercospora apii.
Dursban 20 EC klorpirifos Insektisida, racun kontak dan
lambung
Ulat grayak, ulat tanah, dan kutu daun.
Orthene 75 SP asefat Insektisida sistemik, racun
kontak, dan lambung
Ulat grayak dan kutu daun
Revus 250 SC mandipropamid Fungisida protektif,
sistemik lokal
-
Score 250 EC difenokonazol Fungisida sistemik dan zat pengatur tumbuh
Cercospora apii dan Septoria apii.
Sumber: Pestisida Terdaftar (Pertanian dan Kehutanan) 2006.
57
Lampiran 6 Preparat kutu daun A. gossypii Lampiran 7 Preparat T. parvispinus a) imago, b) antena, c) sayap, d) ujung
abdomen
a b
c d
58