snnt case perbaikan

49
BAB 1 PENDAHULUAN Hipertiroidisme merupakan keadaan yang disebabkan kelenjar tiroid memproduksi hormone tiroid berlebihan. 1 Berbeda dengan hipertiroidisme, tirotoksikosis adalah gejala klinis yang disebabkan peningkatan kadar hormon tiroid di dalam darah. 1 Insidensi hipertiroid lebih sering pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki yaitu 8:1, terjadi pada dekade ke-3 dan ke-4. 2 Pembagian hipertiroid dengan tirotoksikosis diantaranya yaitu penyakit graves, toksik adenoma, struma toksik multinodular, struma toksik ektopik. 2 Penyakit graves merupakan penyebab hipertiroidisme yang tersering. 3 Sekitar 60- 80% hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit graves. Pada struma multinodular toxic sekitar 15-20% terjadi di daerah dengan defisiensi iodine, sedangkan insidensi toksik adenoma yaitu hanya 3-5% dari hipertiroid. 3 Beberapa kelainan genetik dilaporkan mempengaruhi kejadian hipertiroidisme dengan tirotoksikosis. Mutasi pada gen TSHR dilaporkan menyebabkan hiperfungsi otonom kelenjar tiroid, adanya TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin) menyebabkan proses autoimun pada kelenjar tiroid. 3 Proses autoimun juga sering terjadi pada perempuan setelah melahirkan, karena pada keadaan postpartum terjadi fluktuasi dari sistem imun. Di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 5-10% perempuan setelah melahirkan mengalami tiroiditis postpartum. Etiologinya disebabkan adanya anti tiroid antibodi ( anti-tiroid 1

Upload: afiati-harifudin

Post on 05-Jan-2016

59 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

SNNT

TRANSCRIPT

Page 1: SNNT Case Perbaikan

BAB 1

PENDAHULUAN

Hipertiroidisme merupakan keadaan yang disebabkan kelenjar tiroid memproduksi

hormone tiroid berlebihan.1 Berbeda dengan hipertiroidisme, tirotoksikosis adalah gejala

klinis yang disebabkan peningkatan kadar hormon tiroid di dalam darah.1 Insidensi

hipertiroid lebih sering pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki yaitu 8:1, terjadi pada

dekade ke-3 dan ke-4.2 Pembagian hipertiroid dengan tirotoksikosis diantaranya yaitu

penyakit graves, toksik adenoma, struma toksik multinodular, struma toksik ektopik.2

Penyakit graves merupakan penyebab hipertiroidisme yang tersering.3 Sekitar 60-80%

hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit graves. Pada struma multinodular toxic sekitar 15-

20% terjadi di daerah dengan defisiensi iodine, sedangkan insidensi toksik adenoma yaitu

hanya 3-5% dari hipertiroid.3

Beberapa kelainan genetik dilaporkan mempengaruhi kejadian hipertiroidisme dengan

tirotoksikosis. Mutasi pada gen TSHR dilaporkan menyebabkan hiperfungsi otonom kelenjar

tiroid, adanya TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin) menyebabkan proses autoimun

pada kelenjar tiroid.3 Proses autoimun juga sering terjadi pada perempuan setelah melahirkan,

karena pada keadaan postpartum terjadi fluktuasi dari sistem imun. Di Amerika Serikat

dilaporkan sekitar 5-10% perempuan setelah melahirkan mengalami tiroiditis postpartum.

Etiologinya disebabkan adanya anti tiroid antibodi ( anti-tiroid peroksidase, anti-

tiroglobulin). Secara klinis, pasien dapat mengalami tirotoksikosis yang diikuti dengan

hipotiroidisme. Sekitar 1/3 perempuan yang mengalami tiroiditis postpartum akan mengalami

2 fase yaitu tirotoksikosis dan hipotiroidisme, 1/3 pasien lainnya hanya akan mengalami

tirotoksikosis atau hipotiroid.4

Terdapat tiga modalitas untuk penatalaksanaan tirotoksikosis yaitu pemberian obat

anti tiroid, tindakan bedah, dan terapi radioiodine. Penatalaksanaan bertujuan mencapai

remisi yaitu keadaan dimana pasien masih dalam keadaan eutiroid setelah obat anti tiroid

dihentikan selama satu tahun.1

1

Page 2: SNNT Case Perbaikan

BAB 2

ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas Pasien

No. RM : 000934999

Nama : Ny. CB

Usia : 66 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Ciputat

Status pernikahan : Menikah

Pendidikan terakhir : S1

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Agama : Islam

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama

Adanya benjolan pada leher kanan sejak 12 tahun sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pada awal pasien berobat pasien menyatakan adanya benjolan yang

muncul pada leher kanan pasien sejak 12 tahun SMRS setelah pasien

melahirkan anak pertamanya. Pasien mengakui selama 10 tahun tidak berobat

ke dokter dan tidak melakukan pengobatan apapun karena tidak ada keluhan.

Dalam 2 tahun terakhir pasien berobat rutin ke Poli Penyakit Dalam RSUP

Fatmawati. Menurut pasien benjolan di leher tidak cepat membesar, bentuknya

bulat, tidak bertambah banyak benjolannya, warna sesuai dengan kulit sekitar,

benjolan tidak terasa sakit, dan tidak terasa panas. 2 tahun yang lalu pasien

mulai berobat karena merasa dada sering berdebar-debar, sering cepat lelah,

berkeringat banyak, tangan gemetaran dan sering merasa lapar. Walaupun

sering makan namun pasien mengalami penurunan berat badan ± 13 kg dalam

2

Page 3: SNNT Case Perbaikan

waktu beberapa bulan. Pasien tidak merasakan matanya melotot keluar. BAB

dan BAK tidak ada kelainan. Keluhan nyeri dada , demam, batuk, mual dan

muntah, nyeri menelan, nyeri tenggorok dan perubahan suara, rambut mudah

rontok disangkal pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu

Sejak 2 tahun lalu pasien sudah minum obat anti tiroid. Awalnya

diberikan tiamazol dengan dosis 2x10 mg. Dosis obat diturunkan menjadi

1x10mg pada bulan ke-2 pengobatan dan menjadi 1x5 mg pada bulan ke-6

pengobatan. Setelah 1 tahun 4 bulan minum obat, pengobatan di stop selama 9

bulan karena tidak ada keluhan (April 2014-Januari 2015). Pasien kontrol

kembali pada Januari 2015 diberikan obat antitiroid kembali dengan dosis

1x20mg. Bulan Februari-April 2015 pasien rutin kontrol diberikan obat

antitiroid dengan dosis 1x10mg. Riwayat tekanan darah tinggi ada sejak 2

tahun lalu minum obat anti hipertensi teratur yaitu amlodipin 1x10mg, riwayat

penyakit jantung ada 2 tahun lalu dan rutin kontrol, riwayat sakit kencing

manis disangkal pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga

Dikeluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Riwayat

tekanan darah tinggi dan kencing manis pada keluarga disangkal pasien.

Riwayat Sosial dan Kebiasaan

Pasien seorang ibu rumah tangga dan hanya mengasuh cucu di rumah.

Pasien mengaku jarang berolahraga. Pasien sehari-hari menggunakan garam

ber-iodium untuk memasak. Tetangga atau orang terdekat tidak ada yang

mengeluh seperti pasien. Pasien dari kecil sampai sekarang tinggal di Ciputat.

Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol.

3

Page 4: SNNT Case Perbaikan

2.3 Pemeriksaan Fisik

- Keadaan Umum : Pasien tampak sakit ringan

- Kesadaran : Compos Mentis

- Status gizi : berat badan 56 kg, tinggi badan 157cm.

IMT 22.71 (berat badan berlebih)

- Tanda vital

o Tekanan darah : 130/70 mmHg

o Frekuensi nadi : 98 kali/menit, regular, teraba kuat, isi cukup.

o Frekuensi napas : 18 kali/menit, regular, sifat torakoabdominal

o Suhu : 36,6°C (suhu aksila)

- Kepala : Normosefalik, rambut tersebar merata dan tidak mudah dicabut.

- Mata : Konjungtiva pucat tidak ada, sklera anikterik, pupil bulat isokhor diameter

3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, gerak bola

mata dalam batas normal, eksoftalmus tidak ada, lid lag tidak ada, mobius sign, joffroy

sign, stellwags sign, von Grave’s sign tidak ada.

- Hidung : Deviasi septum nasi tidak ada, tidak ada nyeri tekan sinus paranasal, sekret

tidak ada, hiperemis konka tidak ada.

- Telinga : normotia/normotia, tidak ditemukan kelainan pada preaurikula dextra dan

sinistra, tidak ditemukan kelainan kulit, tidak hiperemis, tidak ditemukan kelainan

pada retroaurikula dextra dan sinistra, nyeri tekan tragus -/- , nyeri tekan aurikula -/- ,

nyeri tarik aurikula -/- , nyeri tekan retroaurikula -/-.

- Mulut : mukosa bibir tidak pucat, atrofi papil lidah tidak ada, uvula terletak ditengah

Tonsil T1/T1 tidak hiperemis.

- Leher

Inspeksi : tampak benjolan dileher kanan, ikut bergerak saat menelan, warna

kemerahan tidak ada, tidak ada tanda radang, dan tidak tampak deviasi trakea.

Palpasi : teraba benjolan 1 buah kelenjar tiroid kanan dan ukuran 4x5x2 cm, kenyal,

kesan nodul, mudah digerakkan, tidak panas, warna sama dengan kulit sekitar, nyeri

tekan (-), ikut bergerak keatas saat menelan, trakea teraba di tengah, tidak ada

pembesaran KGB. JVP 5-2 cmH2O.

Auskultasi : tidak terdengar bruit.

4

Page 5: SNNT Case Perbaikan

- Toraks :

o Jantung

I : Pulsasi ictus cordis tidak terihat

P: Pulsasi ictus cordis teraba ICS V linea midklavikula sinistra

P : Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternal dextra

Batas jantung kiri : ICS V 1 jari medial linea midklavikula sinistra

Pinggang jantung : ICS II linea parasternal sinistra

A : BJ I/II normal, murmur (-), gallop (-)

o Paru

Depan

I : bentuk dada normal, pergerakan dada asimetris, gerak dada kiri tertinggal,

retraksi m.intercostal (-), pelebaran sela iga (-), pelebaran vena (-), massa (-).

P : ekspansi dada asimetris, pelebaran sela iga (-), massa (-), vocal fremitus

hilang.

P : sonor / hipersonor bagian atas paru kiri dan redup pada bagian basal paru

A : vesikuler (+) / hilang, ronkhi (-)/(-), wheezing (-)/(-)

Belakang

I : bentuk dada normal, pergerakan dada kiri tertinggal, vertebrae normal,

skoliosis (-), lordosis (-), massa (-).

P : ekspansi dada asimetris, massa (-), vocal fremitus melemah.

P : sonor / hipersonor bagian atas paru kiri dan redup pada bagian basal paru

A : vesikuler (+) / melemah, ronkhi (-)/(-), wheezing (-)/(-)

- Abdomen

I : Datar, dilatasi vena tidak ada, scar tidak ada

A : Bising Usus (+) normal, bruit (-)

P : Defans muscular (-), hepar & lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-)

P : Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)/(-)

- Ekstremitas atas

Inspeksi : lengan kiri dan kanan simetris, tidak terlihat deformitas, tidak ada petechie

tidak sianosis, tidak ikterik, tremor tidak ada.

Palpasi : Eutrofi, normotonus, tidak terdapat nyeri tekan , akral hangat , capillary

refill time < 2 detik , edema tidak ada.

5

Page 6: SNNT Case Perbaikan

- Ekstremitas bawah

Inspeksi : tungkai kiri dan kanan simetris, tidak terlihat deformitas, tidak ada

petechie tidak sianosis, tidak ikterik, tremor tidak ada.

Palpasi : Eutrofi, normotonus, tidak terdapat nyeri tekan , akral hangat , capillary

refill time < 2 detik , edema non pitting +/+, maleolus lateralis tidak terlihat.

2.4 Pemeriksaan Penunjang

- Tahun 2013

6

Page 7: SNNT Case Perbaikan

Tahun 2014

7

Page 8: SNNT Case Perbaikan

-

- Pemeriksaan Laboratorium 8 April 2015

8

Page 9: SNNT Case Perbaikan

2.5 Resume

Ny. C 60 tahun datang ke poli RSUP Fatmawati dengan keluhan benjolan

pada leher kanan yang dirasakan pasien sejak 12 tahun SMRS. Benjolan tidak cepat

membesar, warna sesuai dengan kulit sekitar, benjolan tidak terasa sakit, dan tidak

terasa panas. 2 tahun lalu pasien mulai berobat karena merasa dada sering berdebar-

debar, sering cepat lelah, berkeringat banyak, tangan gemetaran, sering merasa lapar

dan penurunan berat badan ±13 kg.

Pemeriksaan Fisik : Pembesaran kelenjar tiroid kanan ukuran 4x5x2 cm, kenyal,

kesan nodul, mudah digerakkan, tidak panas, warna sama dengan kulit sekitar, tidak

ada tanda radang, nyeri tekan (-), ikut bergerak keatas saat menelan, trakea teraba di

tengah, tidak ada pembesaran KGB. JVP 5-2 cmH2O, tidak ada bruit.

Laboratorium :

- TSH 0.02 Miu/L dan FT4 1.02 ng/dl

- Gula darah 2 jam PP 196 mg/dl

2.6 Diagnosis Kerja

- Struma nodusa toksik remisi 12 bulan dengan obat anti tiroid 18 bulan.

- TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)

2.7 Diagnosis Banding

- Struma nodusa non toksik

- Adenoma toksik

2.8 Pemeriksaan Anjuran

- Free T4 untuk monitoring

- Skintigrafi tiroid

- Pemeriksaan GDP setiap 3 tahun sekali

9

Page 10: SNNT Case Perbaikan

2.9 Tatalaksana

Medika mentosa

- Tiamazol 1 x 10 mg/hari p.o

Non medika mentosa

- Edukasi mengenai DM

- Terapi gizi medis

BB = 56 kg jadi kebutuhan kalori basal 25kkal x 56 = 1400kkal

Usia 66 tahun dikurangi 10% 1400-140 = 1260

Aktifitas fisik ringan ditambah 20% 1260+280 = 1540kkal

Jadi kebutuhan kalori pasien ini 1540kkal/hari

- Latihan jasmani 3-4kali dalam seminggu selama kurang lebih dalam 30 menit ( jalan

kaki, jogging).

2.10 Prognosis

- Ad Vitam : ad bonam

- Ad Fungsionam : ad bonam

- Ad Sanationam : dubia ad bonam

10

Page 11: SNNT Case Perbaikan

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Hipertiroidisme merupakan keadaan yang disebabkan kelenjar tiroid

memproduksi hormone tiroid berlebihan.1 Berbeda dengan hipertiroidisme,

tirotoksikosis adalah gejala klinis yang disebabkan peningkatan kadar hormon tiroid

di dalam darah.1 Berdasarkan patologinya, pembesaran tiroid umumnya disebut

struma.5

3.2 Embriologi

Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4 - 4 cm, yaitu pada

akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring antara

branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang

kemudian membesar, tumbuh kearah bawah mengalami migrasi ke bawah yang

akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, ia berbentuk sebagai duktus

tiroglosus, yang berawal dari foramen sekum di basis lidah. Pada umumnya duktus ini

akan menghilang pada usia dewasa, tetapi pada beberapa keadaan masih menetap,

sehingga dapat terjadi kelenjar disepanjang jalan tersebut yaitu antara kartilago tiroid

dengan basis lidah. Dengan demikian kegagalan menutupnya duktus akan

mengakibatkan terbentuknya kelenjar tiroid yang letaknya abnormal yang disebut

persistensi duktus tiroglosus. Persistensi duktus tiroglosus dapat berupa kista duktus

tiroglosus, tiroid lingual atau tiroid servikal. Sedangkan turunnya kelenjar yang terlalu

jauh akan menghasilkan tiroid substernal. Sisa ujung caudal duktus tiroglosus

ditemukan pada duktus piramidalis yang menempel di isthmus tiroid. Branchial pouch

keempat pun ikut membentuk bagian kelenjar tiroid, dan merupakan asal mula dari

sel-sel paraf olokular atau sel C, yang memproduksi kalsitonin.6

3.3 Anatomi

11

Page 12: SNNT Case Perbaikan

Kelenjar tiroid terletak dibagian bawah leher, terdiri dari 2 lobus, yang

dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3.Kapsul fibrosa

menggantungkan kelenjar ini pada fasia pratrakea sehingga pada setiap gerakan

menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar ke arah kranial, yang

merupakan cirri khas kelenjar tiroid.Sifat inilah yang digunakan di klinik untuk

menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tiroid atau

tidak. Setiap lobus tiroid yang berbentuk lonjong berukuran panjang 2,5 - 4 cm, lebar

1,5 - 2 cm dan tebal 1 - 1,5 cm. Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan

masukan yodium. Pada orang dewasa beratnya berkisar antara 10-20 gram.

Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. Arteri tiroidea superior berasal dari

a. Karotis comunis atau a. Carotis eksterna, a. Tiroidea inferior berasal dari a.

Subclavia, dan a. Tiroidea ima berasal dari a. Brakiosefalik salah satu cabang arkus

aorta. Ternyata setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapilar dan limfatik,

sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus perifolikular yang menyatu

dipermukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Aliran darah ke

kelenjar tiroid diperkirakan 5ml/gram kelenjar/menit, dalam keadaan hipertiroidisme

aliran ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop terdengar bising aliran darah

dengan jelas di ujung bawah kelenjar.5

Gambar 3.1 Anatomi kelenjar tiroid5

Secara anatomis dari kedua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar

paratiroid menempel dibelakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi dilobus

medius, sedangkan nervus laringeus rekuren berjalan disepanjang trakea dibelakang

tiroid.5

Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan

pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini kearah nodus pharing yang tepat berada

12

Page 13: SNNT Case Perbaikan

diatas ismus menuju kearah kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian ada

yang lansung ke duktus torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk menduga

penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.5

Dengan mikroskop terlihat kelenjar tiroid terdiri atas folikel dalam berbagai

ukuran antara 50-500mm. Dinding folikel terdiri dari selapis. Sel epitel tunggal

dengan puncak menghadap ke lumen, sedangkan basisnya mengarah ke membran

basalis. Folikel ini berkelompok-kelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk

membentuk lobulus yang mendapat darah dari end artery. Folikel mengandung bahan

yang jika diwarnai dengan hematoksilin eosin berwarna merah muda yang disebut

koloid dan dikelilingi selapis epitel tiroid. Ternyata tiap folikel merupakan kumpulan

dari klon sel sendiri. Sel folikel menghasilkan tiroglobulin (Tg) yang disekresikan

kedalam lumen folikel. Tiroglobulin adalah glikoprotein berukuran 660 kDa, dibuat di

retikulum endoplasmik, dan mengalami glikosilasi secara sempurna di aparat golgi.

Protein lain yang amat penting adalah tiroperoksidase ( TPO). Enzim ini berukuran

dengan 103 kDa yang 44%-nya berhomologi dengan mieloperoksidase. Baik

Tiroperoksidase maupun Tiroglobulin bersifat antigenik seperti halnya pada penyakit

tiroid autoimun, sehingga dapat digunakan sebagai penanda penyakit. Biosintesis

hormon T4 dan T3 terjadi di dalam tiroglobulin pada batas antara apeks sel-koloid.

Disana terlihat tonjol-tonjol mikrofili folikel ke lumen, dan tonjol ini terlibat juga

dalam proses endositosis tiroglobulin. Hormon utama yaitu tiroksin (T4) dan

triiodotironin ( T3) tersimpan dalam koloid sebagai bagian dari molekul tiroglobulin.

Hormon ini hanya akan dibebaskan apabila ikatan dengan tiroglobulin ini dipecah

oleh enzim khusus. Karena yodium merupakan unsur pokok dalam pembentukan

hormon tiroid, maka harus selalu tersedia yodium yang cukup dan berkesinambungan.

Yodium dalam makanan berasal dari makanan laut, susu, daging, telur, air minum,

garam beryodium dan sebagainya. Yodium diserap oleh usus halus bagian atas dan

lambung, dan 1/3 hingga ½ ditangkap kelenjar tiroid, sisanya dikeluarkan lewat air

kemih. Ditaksir sekitar 95% yodium tubuh tersimpan dalam kelenjar tiroid, sisanya

dalam sirkulasi(0,04-0,57%) dan jaringan.5

Hormon kalsitonin, yang juga dihasilkan oleh kelenjar tiroid, berasal dari sel

parafolikular(sel C). Hormon ini berperan aktif dalam metabolisme kalsium dan tidak

berperan sama sekali dalam metabolisme yodium. Mengingat asal hormon ini,

13

Page 14: SNNT Case Perbaikan

kalsitonin dapat digunakan sebagai penanda untuk mendeteksi adanya carcinoma

medulare tiroid.5

3.4 Fisiologi Hormon Tiroid

Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk

aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi

hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid.

Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon

tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya

menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam tyroglobulin sebagai

monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari

MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid.

Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar

yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam

sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyrhoid-

binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-

albumine, TPBA).5

3.5 Biosintesis Hormon Tiroid

Proses biosintesis hormon tiroid secara skematis dapat dilihat dalam beberapa

tahap, sebagian distimulir oleh TSH, yaitu tahap:

1. Tahap trapping

2. Tahap oksidasi

3. Tahap coupling

4. Tahap penimbunan atau storage

5. Tahap deiyodinasi

6. Tahap proteolisis

7. Tahap pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid

Kelenjar tiroid manusia mempunyai kemampuan untuk menyerap serta

mengkonsentrasikan yodida dari sirkulasi. Kemampuan ini dipunyai juga oleh sel-sel

kelenjar ludah, mukosa lambung, kelenjar susu, meskipun tidak satupun mempunyai

14

Page 15: SNNT Case Perbaikan

kapasitas untuk mengubahnya menjadi hormon tiroid. Demikian pula ditemukan NIS

di sel payudara. Sifat ini sekarang sedang diteliti bagaimana meningkatkan ekspresi

NIS hingga yodium radioaktif dapat masuk ke sel-sel kanker payudara dalam rangka

pengobatannya. Keluarnya hormon T3 dan T4 dari tempat penyimpanannya di sel

belum diketahui secara sempurna, tetapi jelas dipengaruhi TSH. Hormon ini melewati

membran basal, fenestra sel kapiler, kemudian ditangkap oleh pembawanya dalam

sistem sirkulasi yaitu thyroid binding protein. Yodium kadar tinggi menghambat

tahap ini. Sifat ini digunakan dokter untuk mengelola krisis tiroid, dimana harus

diusahakan penurunan kadar hormon secara cepat disirkulasi. Produksi sehari T4 kira-

kira 80-100 mg sedangkan T3 26-39 mg. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa 30-40%

T3 endogen berasal dari konversi ekstratiroid T4 menjadi T3.5

3.6 Transportasi Hormon

Baik T3 maupun T4 diikat oleh protein pengikat dalam serum ( binding

protein). Hanya 0,35% T4 dan 0,25% T3 total berada dalam keadaan bebas. Ikatan T3

dengan protein tersebut kurang kuat dibandingkan dengan T4, tetapi karena efek

hormonnya lebih kuat dan pergantiannya lebih cepat, maka T3 ini sangat penting.

Ikatan hormon terhadap protein ini makin melemah berturut-turut TBG ( thyroxin

binding globulin), TBPA ( thyroxin binding prealbumin, disebut pula transtiretin),

serum albumin. Dalam keadaan normal, kadar yodotironin total menggambarkan

kadar hormon bebas, namun pada keadaan tertentu jumlah protein binding dapat

berubah. Meninggi pada neonatus, penggunaan estrogen termasuk kontrasepsi oral,

penyakit hati kronik dan akut, naiknya sintesis di hati karena pemakaian

kortikosteroid dan kehamilan, dan menurun pada penyakit ginjal dan hati kronik,

penggunaan androgen dan steroid anabolik, sindroma nefrotik, dan dalam keadaan

sakit berat. Penggunaan obat tertentu misalnya salisilat, hidantoin dan obat

antiinflamasi seperti fenklofenak manyebabkan kadar hormon total menurun karena

obat tersebut mengikat protein secara kompetitif, akibatnya kadar hormon bebas

meningkat. Arti klinis kadar hormon perlu diinterpretasikan dengan memperhatikan

faktor-faktor tersebut.5

3.7 Metabolisme T3 dan T4

Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam, sebagian T4

endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeyodinasi menjadi T3.

jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan(konversi) ini adalah hati,

15

Page 16: SNNT Case Perbaikan

ginjal, jantung, hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3(reserved T3,

3, 3, 5’ triiodotironin) yang secara metabolik tidak aktif. Proses ini digunakan untuk

mengatur metabolisme pada tingkat seluler. Karena hormon aktif ialah T3 bukan T4

maka harus terjadi dulu konversi menjadi T3 dahulu supaya mampu berfungsi dengan

baik. Dengan adanya deiodinases, hormon aktif dapat dipertahankan guna mendukung

kebutuhan manusia. Dikenal 3 macam deiodinasi utama: DI, DII, DIII masing-masing

dengan fungsi khusus.

Deyodinase tipe I : konversi T4 a T3 di perifer dan tidak berubah pada waktu

hamil.

Deyodinasi tipe II : mengubah T4 a T3 secara lokal (diplasenta, otak serta

susunan saraf pusat, dan mekanisme ini penting untuk mempertahankan kadar

T3 lokal.

Deyodinasi tipe III : mengubah T4 menjadi rT3 dan T3 a T2, khususnya

diplasenta dan dimaksud mengurangi masuknya hormon berlebihan dari ibu ke

fetus.

Keadaan dimana konversi T4 atau T3 berkurang terjadi pada : kehidupan fetal,

restriksi kalori, penyakit hati, penyakit sistemik berat, defisiensi selenium, dan

pengaruh berbagai obat ( propiltiourasil, glukokortikoid, propanolol, amiodaron,

beberapa bahan kontras seperti asam yopanoat, natrium ipodas).5

3.8 Efek Metabolik Hormon Tiroid5

Hormon tiroid memang satu hormon yang dibutuhkan oleh hampir semua proses

tubuh termasuk proses metabolisme, sehingga perubahan hiper atau hipotiroidisme

berpengaruh atas berbagai peristiwa. Efek metaboliknya antara lain:

Termoregulasi (jelas pada miksedema atau koma miksedema dengan temperatur sub-

optimal) dan kalorigenik.

Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik tetapi dalam

dosis besar bersifat katabolik.

Metabolisme karbohidrat bersifat diabetogenik, karena resorpsi intestinal meningkat,

cadanga glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis dan degradasi

insulin meningkat.

Metabolisme lipid. Meski T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi

kolesterol dan ekskresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada

16

Page 17: SNNT Case Perbaikan

hiperfungsi tiroid kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total,

kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.

Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon

tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia, kulit kekuningan.

Gangguan metabolisme kreatin fosfat menjadi miopati, tonus GI tract. meningkat

sehingga terjadi diare, gangguan faal hati, anemia defisiensi Fe dan hipertiroidisme.

3.9 Efek Fisiologis Hormon Tiroid5

Efeknya membutuhkan waktu beberapa jam sampai hari. Efek genomnya

menghasilkan panas dan konsumsi oksigen meningkat, pertumbuhan, maturasi otak

dan susunan saraf yang melibatkan Na+K+ATPase sebagian lagi karena reseptor beta

adrenergik yang bertambah. Tetapi ada juga efek yang nongenomik misalnya

meningkatnya transpor asam amino dan glukosa, menurunnya enzim tipe -2’5’-

deyodinase di hipofisis.

- Pertumbuhan fetus

Tidak adanya hormon yang cukup menyebabkan lahirnya bayi kretin (retardasi mental

dan cebol).

- Efek pada konsumsi oksigen, panas, dan pembentukan radikal bebas

Efek ini dirangsang oleh T3, lewat Na+K+ATPase disemua jaringan kecuali otak, testis

dan limpa. Metabolisme basal meningkat. Hormon tiroid menurunkan kadar

superoksida dismutase hingga radikal bebas anion superoksida meningkat.

- Efek kardiovaskular

T3 menstimulasi :

1. Transkripsi miosin hc-B dan meghambat miosin hc-B, akibatnya kontraksi otot

miokard menguat.

2. Transkripsi Ca2+ATPase di retikulum sarkoplasma meningkatkan tonus diastolik

3. Mengubah konsentrasi protein G, reseptor adrenergik, sehingga akhirnya hormon

tiroid ini mempunyai efek inotropik positif.

Secara klinis terlihat sebagai naiknya curah jantung dan takikardi.

17

Page 18: SNNT Case Perbaikan

- Efek simpatik

Karena bertambahnya reseptor adrenergik-beta miokard, otot skelet, lemak dan

limfosit, efek pasca reseptor dan menurunnya reseptor adrenergik alfa miokard,

maka sensitivitas terhadap ketekolamin amat tinggi pada hipertiroidisme dan

sebaliknya pada hipotiroidisme.

- Efek hematopoetik

Kebutuhan akan oksigen pada hipertiroidisme menyebabkan eritopoesis dan

produksi eritropoetin meningkat. Volume darah tetap namun red cell turn over

meningkat.

- Efek gastrointestinal

Motilitas usus meningkat pada hipertiroidisme sehingga dapat menyebabkan

diare. Pada hipotiroidisme terjadi obstipasi dan transit lambung melambat. Hal ini

dapat menyebabkan bertambah kurusnya seseorang.

- Efek pada skelet

Turn-over tulang meningkat resorbsi tulang lebih terpengaruh daripada

pembentukannya. Hipertiroidisme dapat menyebabkan osteopenia. Dalam

keadaan berat mampu menyebabkan hiperkalsemia, hiperkalsiuria dan penanda

hidroksiprolin dan cross-link piridium.

- Efek neuromuskuler

Turn over yang meningkat juga menyebabkan miopati disamping hilangnya otot.

Dapat terjadi kretinuria spontan. Kontraksi serta relaksasi otot meningkat

(hiperrefleksia)

- Efek endokrin

Meningkatkan metabolik pertukaran banyak hormon serta bahan farmakologik.

Contoh : waktu paruh kortisol adalah 100 menit pada orang normal tetapi pada

orang hipertiroid menurun jadi 50 menit dan 150 menit pada hipotiroid. Jadi perlu

diingat bahwa hipertiroidisme dapat menutupi (masking) atau memudahkan

(unmasking) kelainan adrenal.

18

Page 19: SNNT Case Perbaikan

3.10 Pengaturan Faal Kelenjar Tiroid5

Ada 3 dasar pengaturan faal tiroid yaitu oleh :

Autoregulasi

Terjadi lewat terbentuknya yodolipid pada pemberian yodium banyak dan akut,

dikenal sebagai wolff-chaikoff. Efek ini bersifat selflimiting. Dalam beberapa

keadaan mekanisme escape ini dapat gagal dan terjadilah hipotiroidisme.

TSH (thyroid stimulating hormone)

Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan

meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi

efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat

TRH (Thyrotrophin releasing hormone)

Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH

(thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi

hiperplasi dan hiperfungsi

3.11 Klasifikasi Struma.7,8

Menurut American society for Study of Goiter membagi :

1. Struma Non Toxic Nodusa

2. Struma Non Toxic Diffusa

3. Stuma Toxic Nodusa

4. Struma Toxic Difusa

Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi

fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotiroid, sedangkan istilah nodusa

dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.

1. Struma Non Toxic Nodusa

19

Page 20: SNNT Case Perbaikan

Pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala

hipertiroid. Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan

iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis,

penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa

hal, yaitu :

a. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang

yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah

kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.

b. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting

penyakit tiroid autoimun

c. Goitrogen :

Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,

expectorants yang mengandung yodium

Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan

resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.

Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina,

brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam

rumput liar.

d. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar

tiroid.

e. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak

mengakibatkan nodul benigna dan maligna.

2. Struma Non Toxic Diffusa

Etiologi :

a. Defisiensi Iodium.

b. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis.

c. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan

penurunan pelepasan hormon tiroid.

d. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis

terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating

immunoglobulin

20

Page 21: SNNT Case Perbaikan

e. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis

hormon tiroid.

f. Terpapar radiasi.

g. Penyakit deposisi.

h. Resistensi hormon tiroid.

i. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis).

j. Silent thyroiditis.

k. Agen-agen infeksi.

l. Suppuratif Akut : bacterial.

m. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit.

n. Keganasan Tiroid.

3. Struma Toxic Nodusa

Insidensi struma nodusa toksik sekitar 15-30% dari kasus

hipertiroidisme. Pada daerah endemik defisiensi iodine, kejadian struma

nodusa toksik yaitu sekitar 58% dari kasus hipertiroid. Lebih sering terjadi

pada perempuan daripada laki-laki dan sering terjadi pada usia lebih dari 40

tahun. Kejadian tirotoksikosis biasanya sering pada dekade ke-6 dan ke-7,

terutama pada pasien dengan riwayat keluarga yang mengalami struma nodusa

toksik.9

Etiologi10 :

a. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4.

b. Aktivasi reseptor TSH.

c. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G.

d. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1),

insulin like growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast

growth factor.

Manifestasi klinis dari struma nodusa toksik seperti palpitasi, tremor,

berat badan turun, sering merasa lapar, dan peristaltic usus yang meningkat.

Pada pasien dengan lanjut usia, gejala yang paling sering dikeluhkan adalah

penurunan berat badan yang drastis, palpitasi, tremor, dan komplikasi

21

Page 22: SNNT Case Perbaikan

kardiovaskular. Beberapa pasien mengalami gejala yang asimptomatik,

biasanya ini terjadi pada pasien dengan hasil laboratorium nilai TSH menurun

dengan nilai normal FT4.11 Mutasi TSH dan TSHR menjadi 20-80% etiologi

dari struma nodusa toksik dimana mutasi tersebut menyebabkan hiperaktivitas

otonom kelenjar tiroid, dan 10% menjadi toksik pada pasien.12

4. Adenoma Toksik

Adenoma tiroid merupakan neoplasma jinak yang berasal dari epitel

folikel. Meskipun sebagian besar adenoma tidak fungsional, sebagian kecil

menghasilkan hormone tiroid dan menyebabkan gejala klinis tirotoksikosis.

Pembentukan hormone pada adenoma fungsional terjadi tanpa bergantung

pada stimulasi TSH. Oleh karena itu, adenoma ini disebut nodul otonom.

Analisis genetik terakhir memperlihatkan bahwa adenoma toksik sering

memiliki mutasi yang bersifat mengaktifkan gen reseptor TSH atau GNAS1.

GNAS1 mengkode subunit α protein heterodimer Gs. Dalam keadaan normal,

pengikatan TSH ke reseptornya mengaktifkan Gsα , yang kemudian

menyebabkan peningkatan adenil siklase dan produknya, AMP siklik. Jika

terdapat mutasi yang secara konstitutif mengaktifkan reseptor TSH atau

protein Gsα terjadi pembentukan terus menerus dan hipertiroidisme, walaupun

tidak terdapat stimulasi TSH.13

Sebagian besar adenoma tiroid bermanifestasi sebagai nodul tak nyeri.

Massa yang lebih besar dapat menimbulkan gejala lokal seperti kesulitan

menelan. Adenoma toksik akan tampak sebagai nodul hangat atau panas.

Teknik tambahan yang digunakan dalam evaluasi adenoma adalah

ultrasonografi dan biopsi jarum halus.13

3.12 Patofisiologi

Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan

dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH,

TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin,

akan menyebabkan struma diffusa. Jika terjadi pada suatu kelompok kecil sel tiroid,

sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma

nodusa. Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang

termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise

22

Page 23: SNNT Case Perbaikan

yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar

hipofisis, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin.7,8

Penyebab tersering hipertiroidisme adalah penyakit Graves suatu penyakit

autoimun dimana tubuh menghasilkan LATS (Long Acting Thyroid Stimulator) atau

TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin) . LATS merupakan antibody yang

sasarannya adalah reseptor TSH di sel tiroid. LATS menstimulus sekresi dan

pertumbuhan tiroid, namun LATS tidak dipengaruhi oleh inhibisi umpan balik

hormone tiroid sehingga sekresi dan pertumbuhan tiroid tidak terkendali.14

Gambar 3.2 Peran TSI pada hipertiroid14

3.12 Diagnosis

Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang

diketahui dengan palpasi atau auskultasi :

1. Bentuk kista : Struma kistik

Mengenai 1 lobus

Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan

Kadang Multilobaris

Fluktuasi (+)

23

Page 24: SNNT Case Perbaikan

2. Bentuk Noduler : Struma nodusa

Batas Jelas

Konsistensi kenyal sampai keras

Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma

tiroidea

3. Bentuk diffusa : Struma diffusa

Batas tidak jelas

Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek

Dari faalnya struma dibedakan menjadi :

1. Eutiroid

2. Hipotiroid

3. Hipertiroid

Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :

1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid

2. Toksik : Hipertiroid

Pemeriksaan Fisik :

Status Generalis :

1. Tekanan darah meningkat

2. Nadi meningkat

3. Mata :

Exopthalmus

Stelwag Sign : Jarang berkedip

Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli

waktu melihat ke bawah

Morbus Sign : Sukar konvergensi

24

Page 25: SNNT Case Perbaikan

Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi

Ressenbach Sign : Temor palpebra jika mata tertutup

4. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus

5. Jantung : Takikardi

Status Lokalis :

1. Inspeksi

Benjolan

Warna

Permukaan

Bergerak waktu menelan

2. Palpasi

Permukaan, suhu

Batas :

Atas : Kartilago tiroid

Bawah : incisura jugularis

Medial : garis tengah leher

Lateral : M. Sternokleidomastoideus

Diagnosis hipertiroid juga dapat ditegakkan dengan menggunakan indeks

Wayne’s dan indeks New Castle.

25

Page 26: SNNT Case Perbaikan

3.13 Pemeriksaan Penunjang5

1. Pemeriksaan sidik tiroid.

Pemeriksaan tiroid dilaksanakan dengan menggunakan radiofarmaka Tc99m per

technetate untuk angka penangkapan tiroid (uptake) dan sidik tiroid, serta

pemeriksaan in vitro menggunakan I125 untuk T3, T4, dan TSH (RIA). Hasil

26

Page 27: SNNT Case Perbaikan

pemeriksaan dengan radioisotop yang utama ialah mengetahui fungsi bagian-

bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam

secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh

tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk :

o Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan

sekitarnya. Hal ini menunjukkan keadaan sekitarnya.

o Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya.

Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.

o Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti

fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.

2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk

kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak.

Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :

o Kista: kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen, dindingnya tipis.

o Adenoma/nodul padat: iso atau hiperekoik, kadang-kadangdisertai halo yaitu

suatu lingkaran hipoekoik di sekelilingnya.

o Kemungkinan karsinoma: nodul padat, biasanya tanpa halo,

o Tiroiditis: hipoekoik, difus, meliputi seluruh kelenjar.

3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)

Mempergunakan jarum suntik no. 22-27.Pada kista dapat juga dihisap cairan

secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul. Dilakukan khusus pada keadaan

yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri,

hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian

pemeriksaan ini dapat memberika hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang

tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau

positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.

4. Termografi

27

Page 28: SNNT Case Perbaikan

Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat

dengan memakai Dynamic Telethermography.Pemeriksaan ini dilakukan

khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas

apabila perbedaan panas dengan sekitamya > 0,9°C dan dingin apabila < 0,9°C.

5. Penanda Tumor.

Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum.

Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rataa-rata 323

ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.

28

Page 29: SNNT Case Perbaikan

Gambar 3.3 Evaluasi Tirotoksikosis15

3.14 Penatalaksanaan

Terdapat tiga modalitas untuk penatalaksanaan tirotoksikosis yaitu pemberian

obat anti tiroid, tindakan bedah, dan terapi radioiodine. Penatalaksanaan bertujuan

mencapai remisi yaitu keadaan dimana pasien masih dalam keadaan eutiroid setelah

obat anti tiroid dihentikan selama satu tahun.

29

Page 30: SNNT Case Perbaikan

Obat utama hipertiroid adalah karbimazol, methimazole dan prophyltiouracyl

(PTU). Setiap obat tersebut bekerja menghambat kerja dari thyroid peroxidase (TPO),

menurunkan oksidasi dan mengnurangi organifikasi iodium. PTU menghambat

konversi T4 menjadi T3 pada jaringan perifer sehingga efek dari hormon tiroid dapat

ditekan pada kasus hipertiroid yang berat. Dosis awal pemberian karbimazol dan

metimazol adalah 10-20 mg setiap 8-12 jam. Obat tersebut dapat diberikan satu kali

dalam sehari apabila kadar hormon tiroid sudah kembali normal. Dosis awal

pemberian PTU adalah 100-200 mg setiap 6-8 jam. Obat golongan beta blocker

seperti propanolol atau atenolol dapat berguna untuk memberikan efek inhibisi

terhadap aktivitas beta adrenergik yang berlebihan. Dosis propanolol dalam terapi

hipertiroid adalah 20-40 mg setiap 6 jam namun pemberian obat golongan beta bloker

perlu diperhatikan pada penderita asma. Pengobatan hipertiroid berlangsung selama

12-24 bulan. Efek eutiroid dapat mulai muncul ketika pengobatan telah mencapai 8-

12 bulan.

Terapi iodium radioaktif diberikan jika pasien gagal terapi dengan

menggunakan obat antitiroid seperti metimazol dan propiltiourasil. Cara kerja dari

iodium radioaktif adalah dengan men-destruksi kelenjar tiroid secara progresif

sehingga setelah pemberian radioaktif diharapkan dapat mengurangi dosis pemberian

obat antitiroid. Untuk memberiakkn efek uptake radioaktif yang maksimal, terapi

antitiroid diberhentikan dua hari sebelum pemberian radioaktif. Pasien dengan

hipertiroid yang berulang atau gagal dengan pengobatan menggunakan obat antitiroid

dan terapi radioaktif, pasien dengan curiga keganasan kelenjar tiroid, pasien grave

disease yang alergi dengan obat antitiroid dapat dilakukan tiroidektomi parsial atau

total.

Indikasi terapi medikamentosa :

Pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang.

Rekurensi pasca bedah

Pada persiapan operasi tiroidektomi

Struma residif

Pada kehamilan, misalnya pada trimester ke-3, pasien tua

Pasien dengan krisis tiroid

Indikasi pengobatan dengan iodium radioaktif pada : Pasien 35 tahun atau lebih

30

Page 31: SNNT Case Perbaikan

Hipertiroidisme yang kambuh sesudah operasi

Gagal remisi dengan obat antitiroid

Tidak mampu atau menolak rawatan dengan antitiroid

Adenoma toksik, goiter multinoduler toksik.

Indikasi operasi adalah:

Pasien muda dengan struma besar yang tidak berespon pada obat antitiroid

Pada wanita hamil (trimester ke-2) yang memerlukan obat antitiroid dosis besar

Alergi obat antitiroid, yodium radioaktif

Penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul

Adenoma toksik atau struma multinodular toksik

Tindakan operasi:

Isthmulobectomy , mengangkat isthmus

Lobectomy, mengangkat satu lobus, bila subtotal sisa 3 gram

Tiroidectomi total, semua kelenjar tiroid diangkat

Tiroidectomy subtotal bilateral, mengangkat sebagian lobus kanan dan sebagian

kiri.

Near total tiroidectomi, isthmulobectomy dextra dan lobectomy subtotal sinistra

dan sebaliknya.

RND (Radical Neck Dissection), mengangkat seluruh jaringan limfoid pada leher

sisi yang bersangkutan dengan menyertakan n. accessories, v. jugularis eksterna dan

interna, m. sternocleidomastoideus dan m. omohyoideus serta kelenjar ludah

submandibularis.

3.15 PrognosisPenyakit ini bermula secara bertahap, progresif, kecuali ditangani. Jika tidak

ditangani dengan baik, komplikasi yang serius bisa terjadi termasuk fraktur tulang,

kecacatan waktu lahir, dan aborsi. Pada kondisi yang parah seperti krisis tiroid,

menyebabkan gangguan neurologis yang berat dan progresif, yang akhirnya bisa

koma. Jika tidak diobati dengan baik, penyakit Graves ini bisa menyebabkan

31

Page 32: SNNT Case Perbaikan

kecacatan dan kematian. Remisi bisa terjadi jika terdapat faktor autoimun pada

pasien. Prognosis juga bergantung pada durasi dan keparahan penyakit sebelum

diobati. Peluang untuk mencegah hipertiroid yang rekuren adalah sangat tinggi

dengan tindakan tiroidektomi total.

BAB 4

ANALISA KASUS

Ny. CB, perempuan, 66 tahun datang ke poli RSUP Fatmawati dengan keluhan

benjolan pada leher kanan yang dirasakan pasien sejak 12 tahun SMRS. Dari keluhan utama

dapat kita tentukan diagnosis banding, yaitu SNNT, SNT, karsinoma tiroid. Pada anamnesis

selanjutnya didapatkan bahwa benjolan tidak cepat membesar, warna sesuai dengan kulit

sekitar, benjolan tidak terasa sakit, dan tidak terasa panas. 2 tahun lalu pasien mulai berobat

karena merasa dada sering berdebar-debar, sering cepat lelah, berkeringat banyak, tangan

gemetaran serta didapatkan adanya penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan adanya pembesaran kelenjar tiroid kanan ukuran 4 x 5 x 2 cm, kenyal, tidak

panas, warna sama dengan kulit sekitar, tidak nyeri tekan, ikut bergerak saat menelan, tidak

ada bruit. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil, TSH 0.02 Miu/L (hipertiroid) dan

Free T4: 1.02 ng/dl (Normal).

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut diagnosis untuk SNNT dan karsinoma

tiroid dapat disingkirkan karena pada anamnesis didapatkan adanya manifestasi klinis dari

hipertiroid yang dialami oleh pasien, seperti berdebar-debar, cepat lelah, berkeringat banyak,

tangan gemetaran serta didapatkan adanya penurunan berat badan. Sedangkan pada SNNT

hanya didapatkan pembesaran kelenjar tiroid tanpa disertai adanya manifestasi klinis akibat

peningkatan dari produksi hormon tiroid. Diagnosis karsinoma tiroid dapat disingkirkan

32

Page 33: SNNT Case Perbaikan

karena dalam anamnesis didapatkan pembesaran benjolan pada pasien terjadi secara perlahan,

sedangkan pada karsinoma tiroid umumnya benjolan membesar secara cepat.

Dari hal tersebut, diagnosis kerja yang cukup mendekati adalah struma nodusa toksik.

Untuk tatalaksana, diberikan obat anti tiroid berupa tiamazol 1 x 10 mg perhari, bersaaman

dengan itu dilakukan pemeriksaan tambahan lainnya berupa pemeriksaan laboratorium Free

T4, Free T3, TSH, rontgen thorax untuk melihat apakah sudah terjadi komplikasi pada

jantung, USG tiroid dan scan tiroid untuk memastikan apakah ada keganasan atau tidak.

BAB 5

KESIMPULAN

Struma adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid

akibat kelaianan glandula tiroid yang dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan

kelenjar dan morfologinya. Hipertiroidisme merupakan keadaan yang disebabkan kelenjar

tiroid memproduksi hormone tiroid berlebihan dan tirotoksikosis adalah gejala klinis yang

disebabkan peningkatan kadar hormon tiroid di dalam darah karena hipersekresi kelenjar

tiroid.

Struma nodusa toksik adalah salah satu gambaran tirotoksikosis dimana insidensinya

lebih sering terjadi pada perempuan dan pada usia dekade ke-6 dan ke-7. Mutasi TSH dan

TSHR menjadi 20-80% etiologi dari struma nodusa toksik dimana mutasi tersebut

menyebabkan hiperaktivitas otonom kelenjar tiroid, dan 10% menjadi toksik pada pasien.

Pemeriksaan TSH dan FT4 diperlukan dalam mengevaluasi pasien dengan tirotoksikosis.

Selain pemeriksaan TSH dan FT4 diperlukan juga pemeriksaan rontgen thorax untuk melihat

apakah sudah terjadi komplikasi pada jantung, USG tiroid dan scan tiroid untuk memastikan

apakah ada keganasan atau tidak.

33

Page 34: SNNT Case Perbaikan

Penatalaksanaan pada kasus ini bertujuan untuk mencapai remisi. Apabila tidak

ditatalaksana optimal, kondisi tirotoksikosis akan mengakibatkan berbagai komplikasi seperti

penyakit jantung tiroid, aritmia, krisis tiroid, dan eksoftalmus maligna.

DAFTAR PUSTAKA

1. Priantono D, Dyah PS. Hipertiroidisme dalam kapita selekta kedokteran ed IV.

Jakarta : Media Aesculapius; 2014.h 787-90.

2. Tjokoprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya : Universitas Airlangga;

2007. h 88-92.

3. Bahn CRS, Burch HB, Cooper DS, et al. Hyperthyroidism and other cause of

thyrotoxicosis: management guidelines of the American Thyroid Association and

American Association of Clinical Endocrinologist. Thyroid. Jun 2011;21(6): 593-646.

4. American Thyroid Association. Post Partum Thyroiditis. American thryroid

association. Jun 2014: 1-2.

5. Sudoyo A. Setiyohadi B; Alwi I, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi

ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal. 2254.

6. Rani, Aziz; S, Sidartawan; dkk. 2009. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan

Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: PB PAPDI. hal 16-19

7. National Endocrine and Metabolic Diseases Information Service. Hyperthyroidsme.

2007;

34

Page 35: SNNT Case Perbaikan

8. Djokomoeljanto, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Kelenjar Tiroid, Hipitiroidisme

dan Hipertiroidsme. Pusat Penerbit FKUI. Jakarta. 2006.

9. Abraham NM, et al. Incidence of hyperthyroidism in Stockholm,Sweden,2003-2005.

Eu J Endocrinol. Jun 2008;158(6):823-7.

10. Lado AJ, Palos PF, et al. Prevalence of mutation in TSHR, GNAS, PRKAR1A, and

RAS genes in a large series of toxic thyroid adenomas from Galicia, an iodine

deficient area in NW Spain. Eu J Endocrinol. Aug 2008.

11. American Association of Clinical Endocrinologist and Associazione Medici

Endocrinologi medical guideline for clinical practice for the diagnosis and

management of thyroid nodules. Endocr Pract. Jan 2006;12(1):63-102.

12. Cerci C, Eroglu E, et al. Thyroid cancer in toxic and non toxic multinodular goiter. J

Postgrad Med. Sep 2007;53(3):157-60.

13. Kumar, Cotran and Robbins. 2007. Basic Pathology. 5th Edition, WB Saunders,

Philadephia. P 818-20.

14. Sherwood, Lauralee. 2007. Human Physiology: from cells to systems, 6 th Edition.

Cengage Learning, p762-63.

15. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Kasper, et al. 2005. Harrisson’s Principles of

Internal Medicine, 16th Edition, McGraw-Hill. p2115.

35