refrat tht 2015

37
REFERAT DETEKSI DINI KARSINOMA NASOFARING DISUSUN OLEH : Reza Mawardy, S.Ked NIM : 030.11.248 PEMBIMBING : dr. Tri Kunjana, Sp. THT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT – KL RUMAH SAKIT UMUM DR. SOESELO SLAWI, KAB. TEGAL i

Upload: reza

Post on 23-Jan-2016

272 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

re

TRANSCRIPT

Page 1: Refrat Tht 2015

REFERAT

DETEKSI DINI KARSINOMA NASOFARING

DISUSUN OLEH :

Reza Mawardy, S.Ked

NIM : 030.11.248

PEMBIMBING :

dr. Tri Kunjana, Sp. THT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT – KL

RUMAH SAKIT UMUM DR. SOESELO SLAWI, KAB. TEGAL

Periode 10 Agustus 2015

i

Page 2: Refrat Tht 2015

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Reza Mawardy

NIM : 030. 11.248

Judul referat : Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

Referat ini telah diterima dan disetujui oleh dokter pembimbing dr. Tri Kunjana, Sp. THT

Pada :

Hari : Senin

Tanggal : 7 September 2015

Sebagai salah satu syarat mengikuti dan meyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu penyakit THT – KL

pada rumah sakit umum Dr. Soeselo Slawi, Kab. Tegal

Slawi, 7 September 2015

dr. Tri Kunjana Sp. THT

i

Page 3: Refrat Tht 2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan

hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Karsinoma

nasofaring ini dengan baik dan lancar. Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat

mengikuti dan meyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT – KL pada rumah sakit

umum DR. Soeselo Slawi Kab. Tegal.

Keberhasilan penyusunan referat ini adalah berkat bantuan dari semua pihak. Untuk itu,

penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang dalam penyelesaian referat,

terutama kepada:

1. dr. Tri Kunjana Sp. THT selaku dosen pembimbing atas segala ilmu, bimbingan dan

bantuannya selama penulis menjalani kepaniteraan bagian penyakit THT – KL di rumah

sakit DR. Soeselo Slawi Kab. Tegal.

2. Para staf dan karyawan di dalam maupun di luar lingkungan rumah sakit DR. Soeselo

Slawi Kab. Tegal yang telah membantu dan memberi pengarahan selama berlangsungnya

kegiatan kepaniteraan.

3. Orang Tua atas segala bentuk doa dan dukungannya.

4. Teman-teman kepaniteraan klinik Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti atas bantuan

dan kebersamaannya.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penelitian dan penyusunan referat ini masih

jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima saran

dan kritik. Harapan penulis semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca

khususnya dan menambah ilmu pengetahuan pada umumnya.

Slawi, 7 September 2015

Penulis

ii

Page 4: Refrat Tht 2015

DAFTAR ISI

1. LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………………… i

2. KATA PENGANTAR ……..……………………………………………………….. ii

3. DAFTAR ISI ……………………………….……………………………………….. iii

4. BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang …………………………………………………………………….....1

b. Tujuan ……………………………………………………………………………......2

c. Metode Penulisan.........................................................................................................

d. Manfaat........................................................................................................................

5. TINJAUAN PUSTAKA

a. Definisi.......................………………………………………………………............3

b. Epidiemologi …………………………………………………………….................3

c. Anatomi …………………………………………………………………………….

5

d. Fisiologi …….…………………………………………………………………….....8

e. Etiologi .……………………………………………………………………….........10

f. Faktor resiko ……..……………………………………………………………........12

g. Patofisiologi…………………………………………………………………...........16

h. Manifestasi klinis …...………………………………………………………….......18

i. Diagnosis …………………………………………………………………………...21

j. Staging......................................................................................................................25

k. Penatalaksanaan........................................................................................................28

l. Komplikasi................................................................................................................34

m. Prognosis...................................................................................................................35

6. KESIMPULAN................................................................................................................36

7. DAFTAR PUSTAKA ………………….…………………………………………….....37

iii

Page 5: Refrat Tht 2015

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring

dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.1 keganasan tersebut bersumber

pada sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. KNF merupakan salah satu bentuk

keganasan kepala dan leher yang mempunyai karakteristik yang khas baik secara histologi,

epidemiologi dan biologi. Hal ini yang menentukan gejala klinis dan pendekatan terapinya. 2

KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita di bawah

usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45 – 54 tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita

dengan perbandingan antara 2 – 3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum dijumpai di Amerika

Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika Syarikat adalah kurang dari 1

dalam 100.000. Disebahagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu

15-30 per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan

Guangzhou,dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun. Insiden tetap

tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara lain. Tingginya

insiden KNF di Negara-negara Asia tertentu, menimbulkan dugaan bahwa faktor genetik ikut

berperan dalam patogenesis penyakit.4 Hal ini menunjukkan sebuah kecenderungan untuk

penyakit ini apabila dikombinasikan dengan lingkungan pemicu.3

Di Indonesia, KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di

seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga , Hidung dan Tenggorok (THT).

Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF. Dari data Departemen

Kesehatan, tahun 1980 menunjukan prevalensi 4,7 per 100.000 atau diperkirakan 7.000-8.000

kasus per tahun. Survey yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan secara “pathology

based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau

diperkirakan 7000-8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.

1

Page 6: Refrat Tht 2015

Penanggulangan KNF sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena

etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang

tersembunyi. Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun pada KNF sulit sekali

dilakukan karena letak anatomi nasofaring yang tersembunyi yaitu di bawah palatum dan di

bawah dasar tengkorak yang berhubungan pada daerah tengkorak dan bagian lateral maupun

posterior bagian leher. Oleh karena letak nasofaring yang tidak mudah diperiksa oleh mereka

yang tidak mengerti, sering kali tumor ditemukan terlambat dan sudah menyebabkan

metastasis ke leher ini merupakan gejala yang pertama sering dikeluhkan oleh pasien. 3

Sangat mencolok perbedaan prognosis (angka bertahan hidup rata – rata 5 tahun) dari

stadium awal dengan stadium lanjut yaitu 76,9% stadium I, 56% stadium II, 38,4% stadium

III, dan hanya 16,4% stadium IV. Sehingga penanggulangan dan deteksi dini pada KNF

sangat diharapkan agar prognosis dari karsinoma nasofaring tersebut lebih baik. Dengan

melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegahan, deteksi dini, terapi

maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini. Untuk dapat bereperan dalam hal tersebut

dokter perlu mengetahui terlebih dahulu segala aspek dari kanker nasofaring ini, meliputi

definisi, anatomi fisiologi nasofaring, epidemiologi dan etiologi, gejala dan tanda,

patofisiologi, diagnosis, komplikasi, terapi maupun pencegahanya.3 Penulis berusaha untuk

menuliskan semua aspek tersebut dalam tinjauan pustaka refarat ini dan diharapkan dapat

bermanfaat.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2

Page 7: Refrat Tht 2015

KARSINOMA NASOFARING

A. ANATOMI NASOFARING

Faring terdiri dari nasofaring, orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring

merupakan bagian dari faring, batas nasofaring bagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian

bawah adalah palatum molle, kedepan adalah rongga hidung dan ke belakang adalah vertebra

servikal. Nasofaring berhubungan erat dengan sinus sphenoidalis dan fossa nasalis pada dasar

tengkorak.

Pada orang dewasa, nasofaring merupakan suatu rongga berbentuk kubus dengan

ukuran 4 x 4 x 4 centimeter. Rongga ini terletak di belakang rongga hidung, dan merupakan

3

Page 8: Refrat Tht 2015

batas antara rongga hidung (Naso) dengan rongga tenggorokan (Faring). Karena itu disebut

Nasofaring karena merupakan gabungan dari kedua daerah tersebut. 2

Karsinoma nasofaring tumbuh pada suatu celah (Fossa) yang disebut Fossa Rossen-

Muller. Celah ini merupakan lipatan antara atap nasofaring dengan dinding sampingnya. Tepat

dibawah Fossa Rossen-Muller terdapat muara tuba eustachius, yaitu saluran yang

menghubungkan rongga telinga dengan rongga nasofaring. Karena letak yang berdekatan ini,

muara saluran tersebut sering tertutup dengan tumor, yang mengakibatkan terjadinya kelainan

atau keluhan ditelinga. 3

Nasofaring yang relative kecil, terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat

dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Pada dinding posterior

meluas kearah kubah adalah jaringan adenoid. Terdapat jaringan limfoid pada dinding

faringeal lateral dan pada resesus faringeus, yang dikenal sebagai Fossa Rossen-Muller.

Torus tubarius-refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilago saluran tuba eustachius yang

berbentuk bulat dan menjulang, tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari ke dinding lateral

nasofaring tepat di atas perlekatan palatum molle. Choana posterior rongga hidung. Foramina

kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari penyakit nasofaring,

termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glossofaringeus, vagus, dan

assesorius spinalis. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk

sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan

arteri faringeal asenden, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus. Tulang

temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian lateral atap

nasofaring. 2

Nasofaring dapat diperiksa pada satu dari tiga jalan yang ada. Penderita bernafas melalui

mulut kemudian dilakukan penekanan yang lembut ke arah bawah pada sepertiga tengah lidah

dengan menggunakan spatel lidah, kemudian dimasukkan cermin ke dalam orofaring.

Pemeriksaan berbeda dengan pemeriksaan laring karena digunakan cermin yang kecil karena

cermin harus digerakkan memutar dari satu sisi ke sisi yang lainnya untuk melihat seluruh

nasofaring.

4

Page 9: Refrat Tht 2015

B. HISTOLOGI NASOFARING

Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan

limfosid,sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan

jaringan limfosid inisangat erat, sehigga sering disebut " Limfoepitel ".

Bloom dan Fawcett membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel; Epitel selapis

torak bersilia " Simple Columnar Cilated Epithelium ", Epitel torak berlapis " Stratified

Columnar Epithelium ", Epitel torak berlapis bersilia "Stratified Columnar Ciliated

Epithelium", Epitel torak berlapis semu bersilia " Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated

Epithelium ".6

Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para ahli. 60 %

persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng " Stratified Squamous

Epithelium ", dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan

pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang meruapkan epitel

peralihan antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia.

Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin, kecuali pada Kripta yang dalam.

Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam epitel adalah

tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.

C. FISIOLOGI NASOFARING

Fungsi dari nasofaring yang terutama adalah untuk respirasi, menelan, resonansi suara

dan untuk artikulasi. Pada fungsi faring untuk menelan terbagi menjadi 3 fase dalam proses

menelan, yaitu fase oral, fase faringeal dan fase esofageal. Pada fungsi faring dalam proses

berbicara dan menelan terjadi gerakan dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara

lain berupa pendekatan palatum ke arah dinding belakang faring.2

D. ETIOLOGI

Sudah hampir dapat dipastikan penyebab KNF adalah virus Epstein-Barr, karena pada semua

penderita karsinoma nasofaring didapatkan titer anti virus Epstein-Barr yang cukup tinggi.

5

Page 10: Refrat Tht 2015

Titer ini lebih tinggi dari orang sehat, penderita tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor

organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lainnya sekalipun. EBV

mempunyai potensi onkogenik dan dapat mengubah sel terinfeksi menjadi sel ganas melalui

dua mekanisme. Pertama, genom EBV dipertahankan dalam sel pejamu dengan berintegrasi

pada genom sel pejamu. Kedua, EBV mengekspresikan protein yang mempunyai homologi

dengan protein anti-apoptosis dan akhirnya proliferasi sel terinfeksi menjadi tidak terkendali

akibat pengaktifan sinyal intraseluler yang berperan dalam pengendalian pertumbuhan sel.5

Secara umum, KNF dapat terjadi sebagai akibat pengaruh genetik dan lingkungan, seperti zat-

zat karsinogen dan infeksi virus Epstei-Barr.2

Banyak penyelidikan mengenai perangai dari virus ini dikemukakan, tetapi virus ini

bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor predisposisi lain yang mempengaruhi

kemungkinan timbulnya KNF ini, seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetik,

pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, sosial ekonomi, dan infeksi nasofaring itu sendiri.

Faktor lingkungan dan kultur yang berhubungan dengan KNF termasuk didalamnya

adalah kebiasaan orang yang memakan ikan yang diasinkan dan mengawetkan makanan

dengan bahan pengawet seperti Nitrosamin (hal ini telah dikonsumsi sejak anak-anak). Bukti

ditemukannya DNA Epstein-Barr virus pada hampir setiap kasus KNF menjadikan pegangan

bagi para ahli untuk membuat kesimpulan bahwa keganasan yang terjadi adalah akibat

ekspansi pembelahan pada sel yang diakibatkan Epstein-Barr Virus (EBV). Hal ini

memberikan indikasi bahwa EBV muncul dalam sel pada saat terjadinya transformasi sel

menjadi ganas dan menunjukkan peranan virus tersebut terhadap perkembangan awal

terjadinya proses keganasan pada nasofaring.

E. FAKTOR RESIKO

Beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring antara lain virus Epstein Barr, ikan asin,

tembakau, paparan pekerjaan, paparan lain, familial clustering.

1. Virus Epstein Barr

6

Page 11: Refrat Tht 2015

EBV merupakan faktor risiko mayor KNF. Sebagian besar infeksi EBV tidak

menimbulkan gejala.7 EBV menginfeksi dan menetap secara laten pada 90% populasi dunia.

Di Hong Kong, 80% anak terinfeksi pada umur 6 tahun, hampir 100% mengalami

serokonversi pada umur 10 tahun. Infeksi EBV primer biasanya subklinis. Transmisi utama

melalui saliva, biasanya pada negara berkembang yang kehidupannya padat dan kurang

bersih. Limfosit B adalah target utama EBV, jalur masuk EBV ke sel epitel masih belum

jelas, replikasi EBV dapat terjadi di sel epitel orofaring.8 Virus Epstein-Barr dapat memasuki

sel-sel epitel orofaring, bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa

(life-long).9

2. Ikan Asin

Paparan non-viral yang paling konsisten dan berhubungan kuat dengan risiko KNF

adalah konsumsi ikan asin. Konsumsi ikan asin meningkatkan risiko 1,7 sampai 7,5 kali lebih

tinggi dibanding yang tidak mengkonsumsi. Diet konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali

sebulan meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.10 Potensi karsinogenik ikan asin didukung

dengan penelitian pada tikus disebabkan proses pengawetan dengan garam tidak efisien

sehingga terjadi akumulasi nitrosamin yang dikenal karsinogen pada hewan. 8 Enam puluh

dua persen pasien KNF mengkonsumsi secara rutin makanan fermentasi yang diawetkan.11

Tingginya konsumsi nitrosamin dan nitrit dari daging, ikan dan sayuran yang berpengawet

selama masa kecil meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.12 Delapan puluh delapan

persen penderita karsinoma nasofaring mempunyai riwayat konsumsi daging asap secara

rutin.11

3. Tembakau

Sejak tahun 1950 sudah dinyatakan bahwa merokok menyebabkan kanker. Merokok

menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta per tahunnya dan diperkirakan menjadi 10 juta

per tahunnya pada 2030.13 Rokok mempunyai lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk

nitrosamin yang meningkatkan risiko terkena KNF. Kebanyakan penelitian menunjukkan

merokok meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak 2 sampai 6 kali. Sekitar 60%

7

Page 12: Refrat Tht 2015

karsinoma nasofaring tipe I berhubungan dengan merokok sedangkan risiko karsinoma

nasofaring tipe II atau III tidak berhubungan dengan merokok. Perokok lebih dari 30 bungkus

per tahun mempunyai risiko besar terkena karsinoma nasofaring. Kebanyakan penderita

karsinoma nasofaring merokok selama minimal 15 tahun (51%) dan mengkonsumsi tembakau

dalam bentuk lain (47%). Merokok lebih dari 25 tahun meningkatkan risiko karsinoma

nasofaring. Merokok lebih dari 40 tahun meningkatkan 2 kali lipat risiko karsinoma

nasofaring.14

4. Pajanan Pekerjaan

Pajanan pekerjaan terhadap fume, asap, debu atau bahan kimia lain meningkatkan

risiko karsinoma nasofaring 2 sampai 6 kali lipat. Peningkatan risiko karsinoma nasofaring

karena pajanan kerja terhadap formaldehid sekitar 2 sampai 4 kali lipat, didukung oleh

penelitian pada tikus, terutama untuk tipe I tetapi tidak untuk tipe II dan III.Namun sebuah

meta-analisis dari 47 penelitian tidak mendukung hubungan formaldehid dengan KNF.

Stimulasi dan infl amasi jalan nafas kronik, berkurangnya pembersihan mukosiliar, dan

perubahan sel epitel mengikuti tertumpuknya debu kayu di nasofaring memicu karsinoma

nasofaring, paparan ke pelarut dan pengawet kayu, seperti klorofenol juga memicu karsinoma

nasofaring. Paparan debu katun yang hebat meningkatkan risiko KNF karena iritasi dan infl

amasi nasofaring langsung atau melalui endotokin bakteri. Paparan tempat kerja yang panas

atau produk bakaran meningkatkan dua kali lipat resiko terkena karsinoma nasofaring. 8

Paparan debu kayu di tempat kerja lebih dari 10 tahun meningkatkan risiko terkena KNF.12

5. Familial Clustering

Kerabat pertama, kedua, ketiga pasien KNF lebih berisiko terkena karsinoma

nasofaring. 10 Orang yang mempunyai keluarga tingkat pertama KNF mempunyai risiko

empat sampai sepuluh kali dibanding yang tidak. Risiko kanker kelenjar air liur dan serviks

uterus juga meningkat pada keluarga dengan kasus KNF. Faktor risiko lingkungan seperti

ikan asin, merokok dan paparan pada produk kayu meningkatkan level antibodi anti- EBV dan

8

Page 13: Refrat Tht 2015

beberapa polimorfasi genetik. Kasus familial biasanya pada tipe II dan III, sedangkan tipe I

non familial.10

F. PATOFISIOLOGI

Kalifikasi secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk:

1. Bentuk ulseratif. Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah

sekitar fosa rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral di depan tuba

eustachius dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai

dengan jaringan yang nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan

sekitarnya. Gambaran histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa

dengan diferensiasi baik.

2. Bentuk noduler/ lubuler/ proliferative. Bentuk noduler atau lobuler sangat sering

dijumpai pada daerah sekitar muara tuba eusthacius. Tumor jenis ini berbentuk seperti

buah anggur atau polipoid jarang dijumpai adanya ulserasi. Gambaran histopatologik

bentuk ini biasanya karsinoma tanpa diferensiasi.

3. Bentuk eksofik. Bentuk eksofik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak

dijumpai adanya ulserasi, kadang – kadang bertangkai dan permukaannya licin. Tumor

jenis ini biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga

nasofaring. Tumor ini dapat mendorong palatum molle ke bawah dan tumbuh ka arah

koana masuk ke dalam rongga hidung. Gambaran histopatologik berupa limfosarkoma.

1. Adanya Infeksi EBV

EBV bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi EBV

terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai

infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen

komplemen C3d ( CD21 atau CR2). Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai

dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan menyebabkan limfosit B menjadi

immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel

nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun ada dua reseptor yang diduga

9

Page 14: Refrat Tht 2015

berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR

(Polimeric Immunogloblin Receptor).

Sel yang terinfeksi oleh Virus Epstein Barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan

yaitu sel menjadi mati, virus mengadakan replikasi yang mengakibatkan kematian virus itu

sendiri sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi

antara sel dan virus sehingga terjadinya perubahan sifat sel menjadi ganas terbentuklah sel

kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,

EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B.

Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein

transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tirokinase yang dipercaya dapat

menghambat siklus litik virus. Diantara gen – gen tersebut gen yang paling berperan dalam

trasformasi sel adalah gen LMP1. Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk

sinyal TNF (tumor necrosis faktor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang

memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.

2. Faktor Lingkungan

Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah

di Asia dan America Utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang

diawetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene

(NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma

nasofaring.

3. Genetik 

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan

terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan

memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human

leukocyteantigen) dan gen enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) adalah gen kerentanan

terhadap karsinoma nasofaring. Karena sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi

metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen.2

10

Page 15: Refrat Tht 2015

G. GEJALA KLINIK

1. Stadium Dini

Nasal sign : Pilek atau sumbatan pada hidung lama (kronis) yang tidak sembuh,

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang biasanya berulang-ulang,

jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga ingus

berwarna merah jambu. Sekret pada hidung atau ingus seperti nanah, encer atau

kental dan berbau.

Ear sign : Tinitus adalah pada telinga terdengar suara mendenging. Tumor

menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba oklusi, akibatnya tekanan

dalam kavum timpani menjadi menurun (negatif) akibatnya terjadi tinnitus,

Gangguan pendengaran, Rasa tidak nyaman dan rasa nyeri di telinga (otalgia)

2. Stadium Lanjut

Eye sign : Diplopia adalah pandangan double atau menjadi dua bayangan. Tumor

menjalar masuk foramen laseratum dan menimbulkan gangguan pada N. IV dan N.

VI. Nervus ini yang mempersarafin m. levator palpebra dan berfungsi untuk

menggerakan bola mata ke lateral dan medial. Bila lesi terkena pada chiasma

opticus akan menimbulkan kebutaan

Lymfadenitis : Pembesaran kelenjar limfoid leher akibat infeksi, ini merupakan

penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring

Cranial sign : Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan gejala

yang dirasakan pada penderita berupa Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit

ini merupakan metastase secara hematogen Sensibilitas daerah pipi dan hidung

berkurang paralisis nervus trigeminal (neuralgia trigeminal). Sindrom Jugular

Jackson atau sindrom reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N. XI, N. XII.

11

Page 16: Refrat Tht 2015

DIAGNOSIS

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,

protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor

1 . Anamnesis : Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien

2 . Pemeriksaan fisik : Menggunakan kaca nasofaring atau dengan

nashopharyngoskop

3. Pemeriksaan penunjang:

a. Biopsi nasofaring

Biopsi nasofaring merupakan pemeriksaan penunjang yang pasti (gold standar)

pada karsinoma nasofaring. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan dari hasil

biopsi dengan cara pengambilan sampel secara cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush).

Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor

nasofaring umumnya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.

1. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas letak tumornya (blind biopsy).

Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke

nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.

2. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan

melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem

bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga kateter yang dari hidung

disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring

dilihat daerah nasofaring. Biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca

nasofaring atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut dan massa

tumor akan terlihat dengan jelas.

b. Patologi anatomi

12

Page 17: Refrat Tht 2015

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan

Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).

Tipe ini dapat menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk

2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai

adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel.

Pada umumnya batas sel cukup jelas

3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor

secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan

nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.4

c. Pemeriksaan radiologi

Pada kecurigaan KNF, pemeriksaan radiologi ini merupakan pemeriksaan penunjang

diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologi adalah : Memberikan diagnosis

yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada daerah nasofaring, Menentukan lokasi

yang lebih tepat dari tumor tersebut, Mencari dan menentukan luasnya penyebaran tumor ke

jaringan sekitarnya.

Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencarikan

kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu; Posisi Lateral dengan teknik foto

untuk jaringan lunak ( soft tissuetechnique), Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks,

Tomogram Lateral daerah nasofaring, Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiologi foto polos adalah

jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan

terdeteksi. Apalagi jika perluasan tumor adalah submukosa dan penyebaran ke jaringan

sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal

tersebut. Keunggulan C.T.Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk

membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak

maupun perubahan pada tulang, dan dengan kriteria tertentu dapat dinilai suatu tumor

13

Page 18: Refrat Tht 2015

nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai apakah sudah ada

perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada

tidaknya penyebaran intracranial.2

d. Pemeriksaan neuro-oftalmologi

Nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak sehingga dapat menimbulkan

gangguan pada beberapa saraf otak yang dapat menimbulkan gejala lanjut pada KNF.

Pemeriksaan neurooftalmologi yaitu memeriksa fungsi dari saraf IX, X, XI dan XII.

e . Pemeriksaan serologi

Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan IgA anti VCA (capsid antigen)

untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring.

Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium

lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan

titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya

100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk

menetukan prognosis pengobatan. Titer yang didapatkan berkisar antara 80 sampai 1280 dan

terbanyak pada titer 160.1

14

Page 19: Refrat Tht 2015

15

Page 20: Refrat Tht 2015

STADIUM

Untuk menentukan stadium dipakai system TNM menurut UICC (2002).1,4

T : Tumor primer

T0 : Tidak tampak tumor,

T1 : Tumor terbatas di nasofaring,

T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak

T2a : Perluasan tumor ke orofaring dan / atau rongga hidung tanpa perluasan ke

parafaring

T2b : Disertai perluasan ke parafaring

T3 : Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal

T4 : Tumor meluas ke intracranial dan / atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa

infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

N : Nodul, menggambarkan pembesaran kelenjar limfe regional, 

NX : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai

N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar 

N1 : Metastase kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau

sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula 

N2 : Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran terbesar kurang atau sama

dengan 6 cm di atas fossa supraklavikula 

16

Page 21: Refrat Tht 2015

N3 : Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau

terletak di dalam fossa supraklavikula

N3a: ukuran lebih dari 6 cm

N3b: di dalam fossa supraklavikula

M : Metastase jauh

MX : Metastase jauh tidak dapat dinilai

M0 : Tidak ada metastase jauh,

M1 : Terdapat metastase jauh

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan:

Stadium 0 : T1s N0 M0

Stadium I : T1 N0 M0

Stadium IIA : T2a N0 M0

Stadium IIB : T1 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N0, N1 M0

Stadium III : T1 N2 M0

T2a,T2b N2 M0

T3 N2 M0

Stadium IVA: T4 N0, N1, N2 M0

Stadium IVB: semua T N3 M0

Stadium VC : semua T semua N M

17

Page 22: Refrat Tht 2015

BAB III

Kesimpulan

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas di daerah kepala dan leher yang terbanyak

ditemukan di Indonesia. Diagnosis dini menentukan prognosis penderita, namun cukup sulit

dilakukan karena letak nasofaring yang tersembunyi dibelakang tabir langit-langit dan terletak

didasar tengkorak. Oleh karena itu tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahlinya,

seringkali tumor ini ditemukan terlambat dan sudah menyebabkan metastase ke leher, dan

keadaan ini lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama.

Penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, karena pada semua

penderita karsinoma nasofaring didapatkan titer antivirus Epstein-Barr yang cukup tinggi

dibandingkan dengan orang yang sehat, gejalanya terdapat dinasofaring itu sendiri,di telinga,

dimata dan saraf, serta metastase atau gejala dileher.Untuk itu nasofaring harus diperiksa

dengan cermat, kalau perlu dengan Nasofaringoskopi.

18

Page 23: Refrat Tht 2015

DAFTAR PUSTAKA

1. National Cancer Institute. Nasopharyngeal Cancer Treatment.U.S.A. National Cancer

Institute:2009

2. Adam GL, Boies LR, Higler PA, Dalam BOIES Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorok, Alih Bahasa : Wijaya C. Editor : Effendi H, Santoso K, Edisi Ke-6, EGC, Jakarta, 1997 ; 320-321

3. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Dan Tenggorok, Kepala Dan Leher, Edisi ke-5 Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2001 ; 146-152

4. Feng P, Ren EC, Liu D, Chan SH, Hu H. Expression of Epstein- Barr virus lytic gene BRLF1 in nasopharyngeal carcinoma: potential use in diagnosis. J Gen Virol. 2000; 81: 2417-23.

5. Thompson MP dan Kurzrock R. Epstein-Barr virus and cancer. Clin Cancer Res. 2004;10:803-21.

6. William Bloom and Don Fawcett,. A Textbook of Histology. 8 edition . 1965

7. Hsu W-L, Chen J-Y, Chien Y-C, et al. Independent Eff ect of EBV and Cigarette Smoking on Nasopharyngeal Carcinoma: A 20-Year Follow-Up Study on 9,622 Males without Family History in Taiwan. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2009;18:1218-26.

8. Chang ET, Adami H-O. The Enigmatic Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2006;15:1765-77.

9. Yenita, Aswiyanti Asri. Korelasi antara Latent Membrane Protein-1 Virus Epstein-Barr dengan P53 pada Karsinoma Nasofaring (Penelitian Lanjutan). Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(1).

10. Ondrey FG,.Wright SK. Neoplasms of the Nasopharynx. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed. 2003. p 1407-22.

11. Sharma TD, Singh Th T, Laishram RS, Chandra Sharma LD, Sunita AK, Tiameren Imchen L. Nasopharyngeal Carcinoma - a Clinico-pathological Study in a Regional Cancer Centre of Northeastern India. Asian Pacifi c J Cancer Prev. 12, 1583-7.

19

Page 24: Refrat Tht 2015

12. Yang X, Diehl S, Pfeiff er R, Chen C-J, Hsu W-L, Dosemeci M, et al. Evaluation of Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma in High-Risk Nasopharyngeal Carcinoma Families in Taiwan. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2005;14:900-5.

13. Vineis P, Alavanja M, Buffl er P, Fontham E, Franceschi S,. Gao YT et al. Tobacco and Cancer: Recent Epidemiological Evidence. J Nat Cancer Inst. 2004; 96(2):99-106.

14. Friborg JT, Yuan J-M, Wang R, Koh W-P, Lee H-P, Yu MC. A Prospective Study of Tobacco and Alcohol Use as Risk Factors for Pharyngeal Carcinomas in Singapore Chinese. Cancer 2007. 109(6): 1183-91.

20