referat kulit

52
BAB 1 PENDAHULUAN Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah serta tingkah laku. 1 Kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi karena obat ini mempunyai efek anti inflamasi dan imunosupresan. Sejak kortikosteroid digunakan dalam bidang dermatologi, obat ini sangat menolong penderita. Berbagai penyakit yang dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat, misalnya dermatitis. Penyakit berat yang dahulu dapat menyebabkan kematian, misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat ditekan berkat pengobatan kortikosteroid, demikian pula sindrom Stevens-Johnson yang berat dan nekrolisis epidermal toksik. Tetapi disamping memberikan manfaat yang banyak penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama juga akan mengakibatkan timbulnya efek samping yang tidak diinginkan. Namun, berkat kemajuan 1

Upload: charticha-patrisindry

Post on 16-Feb-2016

19 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pioderma merupakaninfeksi kulit yang disebabkan oleh staphylococcus aureus atau streptococcus beta hemoliticus. Infeksi pada kulit ini dapat bersifat superfisial (hanya sebatas di epidermis) atau profunda (lebih dalam mencapai dermis).

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Kulit

BAB 1

PENDAHULUAN

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di

bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon

adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini

berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap

stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh dan pengaturan inflamasi, metabolisme

karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah serta tingkah laku.1

Kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi karena obat

ini mempunyai efek anti inflamasi dan imunosupresan. Sejak kortikosteroid

digunakan dalam bidang dermatologi, obat ini sangat menolong penderita.

Berbagai penyakit yang dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat,

misalnya dermatitis. Penyakit berat yang dahulu dapat menyebabkan kematian,

misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat ditekan berkat pengobatan

kortikosteroid, demikian pula sindrom Stevens-Johnson yang berat dan nekrolisis

epidermal toksik. Tetapi disamping memberikan manfaat yang banyak

penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama juga akan

mengakibatkan timbulnya efek samping yang tidak diinginkan. Namun, berkat

kemajuan dalam bidang pengetahuan mengenai mekanisme kerja serta

pemahaman patogenesis berbagai penyakit, khususnya mengenai peradangan

kulit, pemakaian kortikosteroid menjadi semakin rasional dan efektif.

Oleh karena seringnya penggunaan obat kortikosteroid ini maka

diperlukan pengetahuan mengenai mekanisme kerja, penggunaan dosis, cara

pemberian serta efek samping yang akan ditimbulkannya bila digunakan baik

sebagai pengobatan dalam waktu singkat maupun dalam waktu yang lama.

Dengan ini diharapkan seorang dokter dapat menggunakan kortikosteroid dalam

praktek medis secara rasional dan efektif untuk memberikan efek terapeutik

maksimal bagi pasien dan mencegah efek samping yang ditimbulkan.

1

Page 2: Referat Kulit

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di

bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon

adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini

berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap

stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh dan pengaturan inflamasi, metabolisme

karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah serta tingkah laku.1

2.2 Penggolongan

Kortikosteroid sintetik dibuat dengan melakukan modifikasi pada

molekul kortisol. Efek biologik dan efek samping amat dipengaruhi oleh dosis,

cara pemberian, waktu paruh, efek antiinflamasi dan efek mineralokortikoid

masing-masing preparat.2

Tabel 2.1 Penggolongan Kortikosteroid Sistemik.POTENSI RELATIF GLUKOKORTIKOID

Macam Kortikosteroid 

Potensi Glukokortikoid

Dosis Ekuivalen (mg) Potensi Mineralokortikoid

Kerja SingkatHidrokortison 1 20,0 2+Kortison 0,8 25,0 2+Kerja SedangMeprednison 4-5 4,0 0Metilprednisolon 5 4,0 0Prednisolon 4 5,0 1+Prednison 4 5,0 1+Triamsinolon 5 4,0 0Kerja LamaBetametason 20-30 0,60 0Deksametason 20-30 0,75 0Parametason 10 2,0 0

2

Page 3: Referat Kulit

Keterangan:

Masa paruh biologik Kortikosteroid

Kerja Singkat : 8-12 jam

Kerja Sedang : 12-36 jam

Kerja Lama : 36-72 jam

2.3 Biosintesis Dan Kimia

Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian

dengan bantuan berbagai enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan

21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga

merupakan sumber estradiol. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk

steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun

setelah pemberian ACTH.3

Meskipun kelenjar adrenal dapat mensintesis androgen, pada wanita

sekitar 50% androgen plasma berasal dari luar kelenjar adrenal. Meskipun

demikian pada kasus hipofungsi korteks adrenal penambahan

dehidroepiandrosteron (DHEA) bersama glukokortikoid dan mineralokortikoid

akan memperbaiki well being dan seksualitas wanita. Pada pria androgen dari

adrenal hanya sebagian kecil dari seluruh androgen plasma. Meskipun androgen

adrenal tidak esensial untuk survival, kadar DHEA dan derivat sulfatnya

(DHEAS) mencapai kadar puncaknya pada usia 30 tahunan dan menurun

3

Page 4: Referat Kulit

sesudahnya. Pasien dengan penyakit kronis pun mempunyai kadar yang sangat

rendah, sehingga muncul hipotesa bahwa pemberian DHEA mungkin akan

mengurangi akibat buruk proses penuaan. Meskipun data belum mendukung, saat

ini DHEA banyak dijual sebagai suplemen pangan untuk tujuan mempengaruhi

proses penuaan.4

Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus

disintesis terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk

beberapa menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup

untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya

disesuaikan dengan kecepatan sekresinya.4

2.4 Mekanisme Kerja

Kortikosteroid secara alami disintesis oleh korteks adrenal manusia

dalam bentuk hidrokortison atau kortisol (golongan glukokotikoid) dan aldosteron

(golongan mineralokortikoid). Sintesis glukokortikoid dipengaruhi oleh

hipotalamus (melalui corticotropin releasing hormone / CRH) dan hipofisa

(melalui ACTH). Produksi kortisol perhari bergantung pada ukuran tubuh

manusia, yaitu 12,1+ 1,5 mg / m2.5

Terdapat 3 mekanisme fisiologis yang mengatur sekresi kortisol, yaitu :5

1. Variasi diurnal : kadar paling tinggi pada pukul 8 pagi dan paling

rendah pada sore dan malam hari.

2. Stress : sekresi kortisol meningkat pada keadaan surgical stress,

medical stress, dan stress emosi.

3. Negative feed back : bila kadar kortisol plasma meningkat secara

bermakna, maka akan terjadi negative feed back terhadap sekresi

CRH dan ACTH.

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.

Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.

Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang

spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor–steroid.

4

Page 5: Referat Kulit

Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus

dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan

sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek

fisiologik steroid.3

Pada beberapa jaringan, misalnya hepar hormon steroid merangsang

transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid

dan fibroblas hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya

menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek

katabolik.3

Efek selular glukokortikoid (GK) terjadi akibat interaksi dengan

reseptornya yang terdapat pada sitoplasma. Hampir semua sel yang berinti

memiliki reseptor setelah terikat dengan reseptornya, kompleks ini bergerak

menuju inti sel terikat pada DNA, sehingga mempengaruhi produksi protein,

misalnya produksi interleukin-2 (IL-2) oleh limfosit, karena reseptor GK terdapat

pada banyak sel, maka dapat dimengerti bahwa GK akan mempengaruhi sebagian

besar sel-sel tubuh, sehingga efek terapeutiknya beragam dan efek sampingnya

juga banyak. Glukokortikoid juga dapat terikat pada transcription factor (NF-kB)

yang merupakan regulator gen sitokin dan adesi sel. Bila terikat pada faktor

tersebut. Produksi sitokin terhenti, sehingga respon imun juga menurun.5

Efek imunosupresi dan anti-inflamasi GK terjadi karena pengaruhnya

pada sel-sel radang misalnya makrofag, monosit, limfosit T, neutrofil dan

eosinofil. Sel-sel tersebut dipengaruhi melalui penghambatan produksi sitokin

proinflamasi misalnya IL-1 dan IL-2. Glukokortikoid juga mempengaruhi endotel

pembuluh darah sehingga limfosit T dan neutrofil dari dalam pembuluh darah

tidak dapat keluar ke jaringan walaupun terdapat faktor kemotaktiknya. Pengaruh

GK terhadap produksi antibodi amat kecil, kecuali bila GK diberikan dalam dosis

besar dan jangka panjang.5

2.5Farmakodinamik

Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan

lemak dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik,

5

Page 6: Referat Kulit

sistem saraf dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya

penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi

perubahan lingkungan.3

Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis,

makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga

ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon-hormon lain. Peran

kortikosteroid dalam kerjasama ini disebut permissive effects, yaitu kortikosteroid

diperlukan supaya terjadi suatu efek hormon lain, diduga mekanismenya melalui

pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respon jaringan

terhadap hormon lain. Misalnya otot polos bronkus tidak akan berespon terhadap

katekolamin bila tidak ada kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid dosis

fisiologis akan mengembalikan respon tersebut.3

Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik atau

farmakologik, tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu. Misalnya, hewan

tanpa kelenjar adrenal yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan

kortikosteroid dosis kecil untuk dapat mempertahankan hidupnya. Meskipun

kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi

sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi

natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat

antiinflamasinya.3

2.2 Tabel perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan

kortikosteroid

Kortikosteroid

PotensiLama

kerja

Dosis

ekuivalen

(mg)*

Retensi

natrium

Anti-

inflamasi

Kortisol(hidrokortison) 1 1 S 20

Kortison 0,8 0,8 S 25

Kortikosteron 15 0,35 S -

6-α-metilprednisolon 0,5 5 I 4

6

Page 7: Referat Kulit

Fludrokortison

(mineralokortikoid)

125 10 I -

Prednisone 0,8 4 I 5

Prednisolon 0,8 4 I 5

Triamsinolon 0 5 I 4

Parametason 0 10 L 2

Betametason 0 25 L 0,75

Deksametason 0 25 L 0,75

Keterangan:

* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.

S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam);

I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam);

L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam).

Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan

besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid

ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan

pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototipe untuk golongan

ini ialah kortisol. Sebaliknya golongan mineralokortikoid efek utamanya adalah

keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan

glikogen hepar sangat kecil. Prototipe golongan ini ialah desoksikortikosteron.

Umumnya golongan mineralokortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi

yang berarti kecuali 9 α-fluorokortisol. Meskipun demikian sediaan ini tidak

pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan

air dan elektrolit terlalu besar.3

Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan

berdasarkan masa kerjanya. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh

biologis kurang dari 12 jam, sediaan kerja lama masa paruhnya lebih dari 36 jam,

sedangkan yang kerja sedang mempunyai masa paruh antara 12-36 jam.3

Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah sebagai

berikut :1,3

Metabolisme

7

Page 8: Referat Kulit

Metabolisme karbohidrat dan protein. Glukokortikoid meningkatkan

kadar glukosa darah sehingga merangsang pelepasan insulin dan menghambat

masuknya glukosa ke dalam sel otot. Glukokortikoid juga merangsang lipase yang

sensitivedan menyebabkan lipolisis. Peningkatan kadar insulin merangsang

lipogenesis dan sedikit menghambat lipolisis sehingga hasil akhirnya adalah

peningkatan deposit lemak, peningkatan pelepasan asam lemak, dan gliserol ke

dalam darah. Efek ini paling nyata pada kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak

dipertahankan dengan cara glukoneogenesis, katabolisme protein otot melepas

asam amino, perangsangan lipolisis dan hambatan ambilan glukosa di jaringan

perifer.1,3

Hormon ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan di hepar. Di

perifer steroid mempunyai efek katabolik. Efek katabolik inilah yang

menyebabkan terjadinya atrofi jaringan limfoid, pengurangan massa jaringan otot,

terjadi osteoporosis tulang, penipisan kulit dan keseimbangan nitrogen menjadi

negative. Asam amino tersebut dibawa ke hepar dan digunakan sebagai substrat

enzim yang berperan dalam produksi glukosa dan glikogen.1,3

Metabolisme lemak. Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka

panjang atau pada sindrom cushing, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang

khas. Lemak akan terkumpul secara berlebihan pada depot lemak; leher bagian

belakang (buffalo hump), daerah supraklavikula dan juga di muka (moon face),

sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan menghilang.1,3

Keseimbangan air dan elektrolit. Mineralokortikoid dapat

meningkatkan reabsorpsi Na+ serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli distal. Dengan

dasar mekanisme inilah, pada hiperkortisisme terjadi: retensi Na yang disertai

ekspansi volume cairan ekstrasel, hipokalemia, dan alkalosis. Pada hipokortisisme

terjadi keadaan sebaliknya: hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel

berkurang dan hidrasi sel.1,3

System kardiovaskular. Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem

kardiovaskular secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah

terhadap keseimbangan air dan elektrolit; misalnya pada hipokortisisme, terjadi

pengurangan volume yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini

8

Page 9: Referat Kulit

didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps kardiovaskular. Pengaruh

langsung steroid terhadap sistem kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol

dan miokard.1,3

Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut:

permeabilitas dinding kapiler meningkat, respons vasomotor pembuluh darah

kecil menurun, fungsi jantung dan curah jantung menurun, sehingga pasien harus

dimonitor untuk gejala dan tanda-tanda edema paru.1,3

Pada aldosteronisme primer gejala yang mencolok ialah hipertensi dan

hipokalemia. Hipokalemia diduga disebabkan oleh efek langsung aldosteron pada

ginjal, sedangkan hipertensi diduga akibat retensi Na yang berlebihan dan

berlangsung lama yang dapat menimbulkan edema antara dinding arteriol,

akibatnya diameter lumen berkurang dan resistensi pembuluh perifer akan

bertambah.1,3

Otot rangka. Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi

dengan baik, dibutuhkan kortiosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila

hormon ini berlebihan, timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut. Disfungsi

otot pada insufisiensi adrenal diakibatkan oleh gangguan sirkulasi. Pada keadaan

ini tidak terjadi kerusakan otot maupun sambungan saraf otot. Pemberian transfusi

atau kortisol dapat mengembalikan kapasitas kerja otot. Kelemahan otot pada

pasien aldosterisme primer, terutama karena adanya hipokalemia. Pada pemberian

glukokortikoid dosis besar untuk waktu lama dapat timbul wasting otot rangka

yaitu pengurangan massa otot, diduga akibat efek katabolik dan antianaboliknya

pada protein otot yang disertai hilangnya massa otot, penghambatan aktivitas

fosforilase dan adanya akumulasi kalsium otot yang menyebabkan penekanan

fungsi mitokondria.1,3

Susunan saraf pusat. Pengaruh kortikosteroid terhadap SSP dapat

secara langsung dan tidak langsung. Pengaruhnya secara tidak langsung

disebabkan efeknya pada metabolisme karbohidrat, sistem sirkulasi dan

keseimbangan elektrolit. Adanya efek steroid pada SSP ini dapat dilihat dari

timbulnya perubahan mood, tingkah laku, EEG dan kepekaan otak, terutama

untuk penggunaan waktu lama atau pasien penyakit Addison.1,3

9

Page 10: Referat Kulit

Pengunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menimbulkan

serangkaian reaksi yang berbeda-beda. Sebagian besar mengalami perbaikan

mood yang mungkin disebabkan hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati;

yang lain memperlihatkan keadaan euphoria, insomnia, kegelisahan dan

peningkatan aktivitas motorik. Kortisol juga dapat menimbulkan depresi. Pasien

yang pernah mengalami gangguan jiwa sering memperlihatkan reaksi psikotik.1,3

Elemen pembentuk darah. Glukokortikoid dapat meningkatkan kadar

hemoglobin dan jumlah sel darah merah, hal ini terbukti dari seringnya timbul

polisitemia pada sindrom cushing. Sebaliknya pasien Addison dapat mengalami

anemia normokromik, normositik yang ringan.1,3

Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah leukosit PMN, karena

mempercepat masuknya sel-sel tersebut ke dalam darah dari sumsum tulang dan

mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi. Sedangkan jumlah sel

limfosit, eosinofil, monosit dan basofil dapat menurun dalam darah setelah

pemberian glukokortikoid.1,3

Efek anti-inflamasi dan imunosupresif. Kortisol dan analog sintetiknya

dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi,

zat kimia, mekanik atau alergen. Secara mikroskopik obat ini menghambat

fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi

leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat

menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan

fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena

efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan

juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne imflamasi

serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi tanpa

memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit

kedalam jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh

serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel, khusunya yang

berada pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian

dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil

meningkat , sedangkan limfosit, monosit, eosinofil dan basofil dalam sirkulasi

10

Page 11: Referat Kulit

tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam

dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh

peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan

migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada

tempat inflamasi.1,3

Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel

penyebab antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap

antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama

menandai dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh

mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a, interleukin-1,

metalloproteinase dan activator plasminogen.1,3

Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi

reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin, leukotrien dan

platelet-aktivating factor.1,3

Glukokortikoid dapat menyebabkan vasokonstriksi apabila digunakan

langsung pada kulit, yang diduga terjadi dengan menekan degranulasi sel mast.

Glukokortikoid juga menurunkan permeabilitas kapiler dengan menurunkan

jumlah histamine yang dirilis oleh basofil dan sel mast.1,3

Penggunaan kortokosteroid dalam klinik sebagai antiinflamasi

merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan

penyebabnya tetap ada. Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek

imunosupresan dan antiinflamasi yang selama ini dianggap sebagai efek

farmakologi kortikosteroid sesungguhnya secara fisiologis pun merupakan

mekanisme protektif.1,3

Jaringan limfoid dan sistem imunologi. Glukokortikoid tidak

menyebabkan lisis jaringan limfoid yang masif, golongan obat ini dapat

mengurangi jumlah sel pada leukemia limfoblastik akut dan beberapa keganasan

sel limfosit. Kortikosteroid bukan hanya mengurangi jumlah limfosit tetapi juga

respons imunnya. Kortikosteroid juga menghambat inflamasi dengan menghambat

migrasi leukosit ke daerah inflamasi.1,3

11

Page 12: Referat Kulit

Pertumbuhan. Penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat

menghambat pertumbuhan anak, karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon

pertumbuhan di perifer. Terhadap tulang, glukokortikoid dapat menghambat

maturasi dan proses pertumbuhan memanjang.1,3

Penghambatan pertumbuhan pada pemakaian kortikosteroid disebabkan

oleh kombinasi berbagai faktor: hambatan somatomedin oleh hormon

pertumbuhan, hambatan sekresi hormon pertumbuhan, berkurangnya proliferasi

sel di kartilago epifisis dan hambatan aktivitas osteoblas di tulang.1,3

2.6 Farmakokinetik

Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorbsi cukup

baik. Untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester kortisol

dan derivat sintetiknya diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang lama

kortisol dan esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat

mempengaruhi kecepatan absorbsi, mula kerja dan lama kerja karena juga

mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah

prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam

tubuh.3,4

Glukokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan

ruang synovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas

dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.3,4

Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada 2 jenis protein plasma

yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi

kapasitas ikatnya rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas

ikatnya relative tinggi. Oleh karena itu pada kadar rendah atau normal, sebagian

besar kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat jumlah

hormon yang terikat albumin dan bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat

globulin sedikit mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya

untuk berikatan dengan globulin pengikat kortikosteroid, kortisol mempunyai

afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonyugasi dengan asam glukuronat

dan aldosteron afinitasnya rendah.3,4

12

Page 13: Referat Kulit

Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan kadar

globulin pengikat kortikosteroid, kortisol plasma total dan kortisol bebas sampai

beberapa kali. Telah diketahui bahwa hal ini tidak terlalu bermakna terhadap

fungsi tubuh.3,4

Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya

merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang

aktif memiliki ikatan rangkap pada atom C4,5 dan gugus keton pada atom C3.

Reduksi ikatan rangkap C4,5 terjadi di dalam hati dan jaringan ekstrahepatik serta

menghasilkan senyawa inaktif. Perubahan gugus keton menjadi gugus hidroksil

hanya terjadi di hati. Sebagian besar hasil reduksi gugus keton pada atom

C3melalui gugus hidroksinya secara enzimatik bergabung dengan asam sulfat atau

asam glukuronat membentuk ester yang mudah larut dan kemudian diekskresi.

Reaksi ini terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil di ginjal.3,4

Oksidasi gugus 11-hidroksil yang reversibel terjadi secara cepat di hepar

dan secara lambat di jaringan ekstrahepatik. Untuk aktivitas biologiknya

kortikosteroid dengan gugus keton pada atom C11 harus direduksi menjadi

senyawa 11-hidroksil sedangkan reduksi gugus keton pada atom C20 hanya

memberikan senyawa dengan aktivitas biologik yang lemah.3,4

Kortikosteroid dengan gugus hidroksil pada atom C17 akan dioksidasi

menjadi 17-ketosteroid yang tidak mempunyai aktivitas kortikosteroid tetapi

bersifat androgenik. Adanya sekresi 17-keto-steroid dalam urin dapat dipakai

sebagai ukuran aktivitas hormon kortikosteroid dalam tubuh.3,4

Setelah penyuntikan IV steroid radioaktif sebagian besar dalam waktu 72

jam diekskresi dalam urin, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada.

Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang diekskresi mengalami metabolisme

di hepar. Masa paruh eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam. Adanya ikatan rangkap

dan atom C1-2 atau subtitusi atom fluor memperlambat proses metabolisme dann

karenanya dapat memperpanjang masa paruh eliminasi.3,4

2.7 Dosis dan Cara Pemberian

13

Page 14: Referat Kulit

Kesetaraan dosis diantara berbagai kortikosteroid sistemik adalah

kortison 25 mg = kortisol 20 mg = prednison 5 mg = metilprednison 4 mg =

triamsinolon 4 mg = deksametason 0,5-0,7 mg.5

Dengan bertambah luasnya pengetahuan tentang efektivitas klinis

kortikosteroid dan untuk memperkecil risiko efek samping yang ditimbulkan,

ditemukan berbagai rejimen pengobatan misalnya :5

a. Dosis tinggi : 40-80 mg prednisone dipakai untuk mengendalikan inflamasi

secara cepat, untuk menghindari kerusakan jaringan atau disfungsi organ.

Bila telah terkendali, dosis diturunkan 10 mg setiap 5-7 hari.

b. Dosis selang sehari : digunakan untuk mempertahankan pengendalian

penyakit setelah penyakit dapat terkontrol.

c. Pulse dose : metilprednisolon 1 gram perhari IV selama 3 hari akan memberi

pengaruh yang lebih baik dalam mengatasi inflamasi bila dibandingkan

dengan kortikosteroid dosis tinggi. Cara ini juga lebih aman, walaupun efek

samping tetap ada. Dosis yang lebih kecil juga dapat dipakai, bergantung

pada beratnya peradangan dan ancaman kerusakan organ.

Kortikosteroid sistemik dapat diberikan melalui 4 jalur, yaitu:6

1. Intralesi. Memberikan akses langsung pada lesi yang relatif sedikit dan lesi

yang resisten

2. Intramuskular. Pemberian melalui jalur ini tidak direkomendasikan

karenamenimbulkan lebih banyak efek samping terutama terhadap supresi

HPA axis dan miopati.

3. Oral. Prednison merupakan pilihan terbaik. Bila digunakan selama 3-4 minggu,

kortikosteroid dapat dihentikan tanpa harus di tappering. Dosis minimal dari

jenis short-acting yang diberikan setiap pagi dapat meminimalisir efek

samping obat. Kadar puncak kortisol terjadi pada pukul 8 pagi, dimana bila

diberikan pada waktu itu, supresi terhadap HPA axis sedikit sekali, dan

feedback dari kelenjar adrenal untuk sekresi ACTH dapat terjadi pada kondisi

ini.

4. Intravena. Pemberian melalui jalur intravena dilakukan pada 2 kondisi,

pertama pada pasien dengan tingkat stres yang meningkat dikarenakan pasien

14

Page 15: Referat Kulit

ini sakit dan akan menjalani operasi yang diketahui mengalami supresi adrenal

akibat penggunakan kortikosteroid. Kedua, pasien dengan beberapa penyakit

seperti pioderma gangrenosun resisten, pemfigus berat, pemfigoid bulosa, SLE

atau dermatomiositis. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kontrol yang cepat

terhadap penyakit dan untuk meminimalisir kecenderungan untuk kebutuhan

terhadap terapi jangka panjang kortikosteroid oral dengan dosis tinggi. Efek

samping yang dapat terjadi melalui pemberian secara intravena antara lain

reaksi anafilaktik, kejang, aritmia, dan kematian mendadak. Efek samping yang

lain meliputi hipotensi, hipertensi, hiperglikemia, perpindahan elektrolit dan

psikosis akut.

Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral,

intramuskular, intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan

keparahan penyakit. Pada suatu penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena

efek samping seperti pada alopesia areata, kortikosteroid yang diberikan adalah

kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang. Kortikosteroid biasanya

digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial dose yang digunakan untuk

mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg setiap hari.

Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa

tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat

diberikan setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol mencapai

puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari

seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid  level yang rendah

dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5

mg sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat digunakan untuk

memaksimalkan supresi adrenal pada kasus akne maupun hirsustisme.2

Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah

mengalami perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya

tidak mengalami eksaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan

sindrom putus obat. Jika terjadi supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak

dapat melawan stres. Supresi terjadi kalau dosis prednison melebihi 5 mg per hari

15

Page 16: Referat Kulit

dan kalau lebih dari sebulan. Pada sindrom putus obat terdapat keluhan lemah,

lelah, anoreksia dan demam ringan yang jaranng melebihi 39ºC.2

Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4

minggu perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari

dosis pemeliharaan dan menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang

baik dengan menukar dari dosis tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti

dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks

kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal

pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari.

Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit

dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih

diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari

pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah

mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat

tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya

5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang

sehari.2

Tabel 2.3 Berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta

dosisnya:

Nama penyakitMacam kortikosteroid dan dosisnya

sehari

Dermatitis

Erupsi alergi obat

ringan

SJS berat dan NET

Eritrodermia

Reaksi lepra

DLE

Pemfigoid bulosa

Pemfigus vulgaris

Prednison 4x5 mg atau 3x10mg

Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

Deksametason 6x5 mg

Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

Prednison 3x10 mg

Prednison 3x10 mg

Prednison 40-80 mg

Prednison 60-150 mg

16

Page 17: Referat Kulit

Pemfigus foliaseus

Pemfigus eritematosa

Psoriasis pustulosa

Reaksi Jarish-

Herxheimer

Prednison 3x20 mg

Prednison 3x20 mg

Prednison 4x10 mg

Prednison 20-40 mg

2.8Indikasi

Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang

perlu diperhatikan sebelum obat ini digunakan:

Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan

dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan

perubahan penyakit. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak

berbahaya. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya

kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.3,6

Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis

melebihi dosis substitusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan

bertambah, kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan

merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek

anti-inflamasinya.3,6

Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan

dosis besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat

mengancam jiwa pasien. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid

akan digunakan untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang

masih efektif. Kemudian dalam periode singkat dosis harus diturunkan bertahap

sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul lagi. Bila terapi

bertujuan mengatasi keadaan yang mengancam pasien, maka dosis awal haruslah

cukup besar. Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat

dilipatgandakan.3,6

Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis

besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi

spesifik. Untuk mengurangi efek supresi hipofisis-adrenal ini, dapat dilakukan

17

Page 18: Referat Kulit

modifikasi cara pemberian obat, misalnya dosis tunggal selang 1 atau 2 hari, tetapi

cara ini tidak dapat diterapkan untuk semua penyakit.3,6

Terapi substitusi. Terapi ini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat

insufisiensi sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal

sendiri (insufisiensi primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder).3,6

Terapi kortikosteroid digunakan antara lain untuk:3

Insufisiensi adrenal akut. Bila insufisiensi primer, dosisnya 20-30 mg

hidrokortison harus diberikan setiap hari. Perlu juga diberi preparat

mineralokortikoid yang dapat menahan Na dan air.

Insufisiensi adrenal kronik. Dosisnya 20-30 mg per hari dalam dosis

terbagi (20 mg pada pagi hari dan 10 mg pada sore hari). Banyak pasien

memerlukan juga mineralokortikoid fluorokortison asetat dengan dosis

0,1-0,2 mg per hari; atau cukup dengan kortison dan diet tinggi garam.

Hyperplasia adrenal congenital

Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis

Terapi non-endokrin

Dibawah ini dibahas beberapa penyakit yang bukan merupakan kelainan

adrenal atau hipofisis, tetapi diobati dengan glukokortikoid. Dasar pemakaian

disini adalah efek anti-inflamasinya dan kemampuannya menekan reaksi imun.

Berikut adalah kasus yang menggunakan preparat kortikosteroid:3

Fungsi paru pada fetus. Penyempurnaan fungsi paru fetus dipengaruhi

sekresi kortisol pada fetus. Betametason atau deksametason selama 2 hari

diberikan pada minggu ke 27-34 kehamilan. Dosis terlalu banyak akan

mengganggu berat badan dan perkembangan kelenjar adrenal fetus.

Artriris. Kortikosteroid hanya diberikan pada pasien arthritis rheumatoid

yang sifatnya progresif, dengan pembengkakan dan nyeri sendi yang hebat

sehingga pasien tidak dapat bekerja, meskipun telah diberikan istirahat,

terapi fisik dan obat golongan anti-inflamasi nonsteroid.

Karditis reumatik

18

Page 19: Referat Kulit

Penyakit ginjal. Kortikosteroid dapat bermanfaat pada sindrom nefrotik

yang disebabkan lupus eritematus sistemik atau penyakit ginjal primer,

kecuali amiloidosis.

Penyakit kolagen. Pemberian dosis besar bermanfaat untuk eksaserbasi

akut, sedangkan terapi jangka panjang hasilnya bervariasi. Untuk

scleroderma umumnya obat ini kurang bermanfaat.

Asma bronchial dan penyakit saluran napas

Penyakit alergi

Penyakit mata (konjungtivitis alergika, uveitis akut, neuritis optika,

koroiditis)

Penyakit hepar

Keganasan

Gangguan hematologik lain (anemia hemolitik acquaired dan autoimun,

leukemia, purpura alergika akut dll)

Syok

Edema serebral

Trauma sumsum tulang belakang

Indikasi kortikosteroid yang lain adalah pada dermatosis alergik atau

penyakit yang dianggap mempunyai dasar alergik (dermatitis atopik, pemfigus,

dermatitis seboroik, dll). Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan

steroidnya. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%.

Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik,

kortikosteroid diberikan secara sistemik.2,3,6

Berikut berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta

dosisnya.2

Tabel 2.4Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada

berbagai dermatosis

Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehariDermatitis

Erupsi alergi obat ringanSJS berat dan NET

EritrodermiaReaksi lepra

Prednison 4x5 mg atau 3x10mgPrednison 3x10 mg atau 4x10 mg

Deksametason 6x5 mgPrednison 3x10 mg atau 4x10 mg

Prednison 3x10 mg

19

Page 20: Referat Kulit

DLEPemfigoid bulosaPemfigus vulgarisPemfigus foliaseus

Pemfigus eritematosaPsoriasis pustulosa

Reaksi Jarish-Herxheimer

Prednison 3x10 mgPrednison 40-80 mgPrednison 60-150 mgPrednison 3x20 mgPrednison 3x20 mgPrednison 4x10 mgPrednison 20-40 mg

Penggunaan dalam dermatologi

Berikut ini akan dibahas secara singkat tentang penggunaan kortikosteroid

sistemik pada kasus-kasus dermatologi yang sering ditemui.5

a. Dermatitis akut

Pada kasus berat, dengan eritema, edema, bula atau eksudasi dapat

diberikan prednison 1 mg/kg/hari yang di tapering off dalam 2-3 minggu.

Umumnya dermatitis dapat terkontrol dengan risiko rebound yang

minimal.5

b.Dermatitis kronik dengan eksaserbasi akut

Pada dermatitis atopik atau dermatitis numularis dengan eksaserbasi akut,

dapat dilakukan cara yang sama, tetapi hendaknya dihindari penggunaan

kortikosteroid sebagai maintenance mengingat efek sampingnya.5

c. Urtikaria dan angioedema

Obat pilihan untuk urtikaria adalah antihistamin. Kortikosteroid sistemik

hanya digunakan pada kasus berat (melibatkan >50% luas permukaan

tubuh), bila terdapat angioedema atau keterlibatan sistemik, atau pada

kasus yang refrakter terhadap antihistamin. Pada keadaan ini,

kortikosteroid diberikan dengan dosis setara prednison 20-30 mg/hari

untuk waktu singkat.5

d.Erupsi obat alergik (EOA)

Yang terpenting dalam mengatasi EOA adalah menghentikan penggunaan

obat yang diduga merupakan penyebab. Pengobatan lain bergantung pada

keparahan dan jenis erupsi.5

Pasien eritroderma, perlu diberikan kortikosteroid sistemik dengan dosis

40-60 mg/hari dan pasien sebaiknya dirawat di Rumah Sakit. Segera

20

Page 21: Referat Kulit

setelah keadaan eritroderma dapat diatasi, dilakukan penurunan bertahap

dosis kortikosteroid secara cepat (misalnya turun 5 mg setiap hari).5

Eritema multiforme (EM), sindrom Steven Johnson (SSJ) dan nekrolisis

epidermal toksik (NET), dianggap berada dalam satu spektrum penyakit,

dengan EM sebagai bentuk yang paling ringan yang melibatkan kulit tanpa

skin detachment dan satu lokasi mukosa. Bila skin detachment terjadi pada

<10% luas permukaan badan, dan biasanya terdapat keterlibatan 2 lokasi

mukosa, diagnosisnya adalah SSJ. Diagnosis NET dibuat bila skin

detachment>30%, sedangkan bila skin detachment 10-30%, keadaan

tersebut dianggap sebagai overlapping SSJ-NET.5

Sampai tahun 70-an kortikosteroid sistemik merupakan obat pilihan untuk

EOA jenis ini. Namun kemudian terbukti bahwa kortikosteroid sistemik

tidak memperpendek perjalanan penyakit, maupun masa perawatan,

bahkan meningkatkan kematian akibat perdarahan dan sepsis. Sampai saat

ini, peran kortikosteroid sistemik masih sangat kontroversial.

Kortikosteroid sistemik merupakan obat pilihan untuk SSJ dan NET

karena merupakan tindakan live saving. Sebagai dosis awal diberikan

deksametason IV 4-6 x 5 mg/hari sampai masa krisis teratasi, keadaan

umum mulai membaik, tidak timbul lesi baru dan lesi lama mengalami

involusi. Kemudian kortikosteroid diturunkan secara cepat, setiap hari

deksametason diturunkan 5 mg dan setelah mencapai dosis 5 mg/hari,

dapat dipakai preparat oral misalnya prednison.5

Pada EM, sebaiknya juga diberikan kortikosteroid sistemik dengan dosis

20-40 mg/hari, untuk mengantisipasi kemungkinan berlanjutnya penyakit

menjadi SSJ atau NET.5

Erupsi makulopapular/morbiliformis/eksatematosa merupakan EOA yang

sulit dibedakan dengan viral exhantem. Biasanya keadaan akan membaik

dalam beberapa hari setelah obat penyebab dihentikan pengunaannya.

Pada keadaan berat dengan lesi yang luas dan rasa gatal yang hebat, dapat

diberikan kortikosteroid sistemik 15-20 mg/hari dalam waktu singkat.5

21

Page 22: Referat Kulit

Eksantema fikstum (fixed drug eruption) umumnya akan mereda dalam

waktu 1 minggu setelah penghentian obat, sehingga tidak memerlukan

pengobatan sistemik maupun topikal. Hiperpigmentasi akan menetap

untuk waktu yang lama bahkan sampai bertahun. Pada kasus yang berat

yang disertai pembentukan bula dan generalisata, diperlukan pengobatan

kortikosteroid sistemik maupun topikal, misalnya dengan prednison 20-40

mg/hari dalam waktu singkat.5

Kasus-kasus penyakit kulit lain yang memerlukan pengobatan

kortikosteroid sistemik adalah pemfigus dan pemfigoid bulosa, herpes

gestasionis, chronis bullous disease of childhood, sindrom Sweet,

vaskulitis, liken planus, hemangioma infantil, pioderma gangrenosum,

dermatomiosistis, penyakit Bechet dan lupus eritematosus sistemik. Pada

kasus-kasus tersebut kortikosteroid sistemik biasanya digunakan dalam

dosis tinggi dan untuk waktu yang cukup lama.5

2.9Kontra Indikasi

Penggunaan kortikosteroid sistemik harus sangat berhati-hati pada pasien

dengan tukak lambung, penyakit jantung atau hipertensi dengan congestive heart

failure, infeksi, psikosis, diabetes, osteoporosis, galukoma dan infeksi herpes

simpleks. Pasien yang menggunakan obat ini, harus dipantau secara cermat untuk

mencari tanda-tanda hiperglikemia, glikosuria, retensi natrium dengan edema atau

hipertensi, hipokalemia, ulkus peptikum, osteoporosis dan infeksi yang

tersembunyi. Dosis harus diusahakan serendah mungkin dan pemberian

intermitten sangat dianjurkan bila hasil terapeutik yang memuaskan dapat

dicapai.5

Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan

relatif. Pada kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada

keadaan infeksi jamur yang sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas

biasanya kortikotropin dan preparat intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif

kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai life saving drugs.

Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan

22

Page 23: Referat Kulit

hipertensi, tuberculosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa,

positive purified derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptik,

katarak, osteoporosis, kehamilan.5

2.10 Efek Samping

Tidak ada cara pemberian kortikosteroid sistemik yang aman dari efek

samping. Efek samping kortikosteroid sangat beragam mulai dari yang ringan

misalnya jerawat sampai yang mengancam jiwa misalnya osteonekrosis atau syok

septik. Secara umum, efek samping yang timbul berhubungan dengan dosis.

Makin besar dosis awal, dosis kumulatif dan lama penggunaan, maka makin besar

kemungkinan timbulnya efek samping.2

Tabel 2.5 Efek samping kortikosteroid sistemik secara umumTempat Macam efek samping

1. Saluran cerna

2. Otot3. Susunan saraf

pusat

4. Tulang

5. Kulit

6. Mata7. Darah8. Pembuluh darah9. Kelenjar adrenal

bagian korteks10. Metabolisme

protein, KH dan lemak

11. Elektrolit

12. Sistem immunitas

Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang panjang.Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis akneiformis, purpura, telangiektasis.Glaukoma dan katarak subkapsular posteriorKenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfositKenaikan tekanan darahAtrofi, tidak bisa melawan stres

Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.

Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia kor)Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes simplek, keganasan dapat timbul.

Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita saat

manopause. Efek samping lain ialah sindrom Cushing yang terdiri atas muka

23

Page 24: Referat Kulit

bulan, buffalo hump, penebalan lemak supraklavikula, obesitas sentral, strie

atrofise, purpura, dermatosis akneformis dan hirsutisme. Selain itu, juga gangguan

menstruasi, nyeri kepala, pseudotumor serebri, impotensi, hiperhidrosis, flushing,

vertigo, hepatomegali dan keadaan aterosklerosis dipercepat. Pada anak

memperlambat pertumbuhan.2

Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik

Jika kortikosteroid sistemik telah digunakan selama satu bulan atau

kurang, efek samping yang serius jarang terjadi. Namun efek samping yang

mungkin timbul adalah sebagai berikut:7

Gangguan tidur

Meningkatkan nafsu makan

Meningkatkan berat badan

Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energi.

Efek yang jarang terjadi namun memerlukan perhatian adalah mania,

masalah kejiwaan, jantung, ulkus peptikum dan diabetes.7

Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama

1. Suppression of The Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis (Withdrawal of

Therapy)

Terjadi melalui mekanisme supresi dari hipotalamus-hipofisis-adrenal

axis yang terjadi secara cepat setelah pemberian terapi kortikosteroid. Bila terapi

diberikan antara 1-3 minggu, pemulihan dari HPA axis berlangsung cepat.

Pemakaian kortikosteroid dalam jangka lama akan berdampak pada supresi HPA

axis yang dapat bertahan sampai 1 tahun setelah terapi dihentikan. Gejala supresi

adrenal antara lain letargi, lemah, mual, tidak nafsu makan, demam, orthostatic

hypotension, hipoglikemi dan penurunan berat badan.6

Pemberian kortikosteroid jangka lama (>3 minggu) yang dihentikan

secara mendadak dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut (krisis adrenal).

Insufisensi adrenal akut sebaiknya dibedakan dari Addison disease, dimana pada

Addison disease terjadi destruksi adrenokorteks oleh bermacam penyebab

(mis.autoimun, granulomatosa, keganasan dll). Insufisiensi adrenal akut terjadi

akibat penekanan sumbu hipothalamus-hipofisis-adrenal oleh kortikosteroid

24

Page 25: Referat Kulit

eksogen, sehingga kelenjar adrenal kurang memproduksi kortikosteroid endogen.

Pada saat kortikosteroid eksogen dihentikan, terjadilah kekurangan kortikosteroid

(endogen). Dapat terjadi kehilangan ion Na+dan shock, terkait aktivitas

mineralokortikoid yang ikut berkurang.  Gejala yang timbul antara lain penurunan

nafsu makan, gangguan saluran cerna, dehidrasi, rasa lemah, hipotensi, demam,

penurunan berat badan, deskuamasi kulit, sakit kepala dan yang lebih jarang

mialgia dan arthralgia. Hal ini diatasi dengan pemberian hidrokortison, disertai

asupan air, Na+, Cl-, dan glukosa secepatnya.  Dapat juga dilakukan dengan

tappering off secara perlahan, biasanya dengan pemberian prednison 1 mg setiap

minggu.Untuk menghindari insufisiensi adrenal maka penghentian penggunaan

kortikosteroid harus secara perlahan/bertahap.6

2. Perubahan Metabolik

Karena kortikosteroid (glukokortikoid) berperan dalam memetabolisme

glukosa yaitu melalui peningkatan glukoneogenesis dan aktivitas enzim glukosa-

6-pospat, maka akan timbul gejala berupa peninggian kadar glukosa dalam darah

sehingga terjadi hiperglikemia dan glikosuria. Dapat juga terjadi resistensi insulin

dan gangguan toleransi glukosa, sehingga menyebabkan diabetes steroid (steroid-

induced diabetes).8

3. Respon Imun

Kortikosteroid menyebabkan hipersensitifitas tipe lambat dikarenakan

aktifitasnya menghambat limfosit dan monosit.6

Kortikosteroid selain memiliki efek metabolik juga memiliki efek

antiinflamasi. Efek antiinflamasi ini terjadi melalui mekanisme penekanan

aktifitas fosfolipase sehingga mencegah pembentukan prostaglandin, prostasiklin,

tromboksan dan leukotrien. Penekanan sistem imun ini bermanfaat untuk

menghentikan reaksi peradangan, namun dapat memudahkan pasien terkena

infeksi. Oleh karena itu, pada pemberian kortikosteroid sebagai antiinflamatik

sebaiknya disertakan dengan pemberian antibiotik/antifungal untuk mencegah

infeksi.9

4. Ulkus Peptikum

25

Page 26: Referat Kulit

Tukak lambung merupakan komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada

pengobatan dengan kortikosteroid. Sebab itu bila ada kecurigaan dianjurkan untuk

melakukan pemeriksaan radiologi terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat

diberikan. Pemberian dosis besar sebaiknya dilakukan pada waktu lambung berisi,

dan di antara waktu makan diberikan antasida (bila perlu). Perforasi yang terjadi

sewaktu terapi kortikosteroid dosis besar sangat berbahaya karena dapat

berlangsung dengan gejala klinis minimal.9

Pada penelitian case-control yang dilakukan Sonia H, dkk di Inggris

antara tahun 1993 sampai dengan tahun 1998 didapatkan bahwa penggunaan

streroid meningkatkan risiko terkena perdarahan gastrointestinal bagian atas

sebesar 1.8 kali dibandigkan yang tidak mengkonsumsi streroid. Risko ini juga

akan bertambah berat jika pemakaian streroid diikuti dengan pemakain NSAID

(Diaz dan Luis, 2005).

Sedangkan hasil penelitian prospektif yang dilakukan oleh Jiing-Chyuan

Luo, dkk pada 67 penderita SLE yang mendapatkan pengobatan terapi

kortikosteroid, didapatkan bahwa pengunaan steroid dosis tinggi de novo tidak

memicu terjadinya ulkus gaster pada pasien-pasien SLE. Akan tetapi, penggunaan

Aspirin disertai terapi denyut metylprednisolon meningkatkan terjadinya ulkus

gaster. Kortikosteroid meningkatkan sekresi dari asam lambung, mengurangi

mukus, hiperplasia gastrin dan sel parietal.10

5. Miopati

Katabolisme protein akibat penggunaan kortikosteroid yang dapat

menyebabkan berkurangnya massa otot, sehingga menimbulkan kelemahan dan

miopatik. Miopatik biasanya terjadi pada otot proksimal lengan dan tungkai, bahu

dan pelvis dan pada pengobatan dengan dosis besar. Miopatik merupakan

komplikasi berat dan obat harus segera dihentikan.6

Pada miopati yang paling berperan adalah menghambat uptake dari

glukosa pada otot skeletal. Kortikosteroid juga diduga berperan dalam pemecahan

dari protein otot. Hal ini secara langsung disebabkan oleh degredasi protein dan

inhibisi sintesis sintesis protein.8

6. Perubahan Tingkah Laku

26

Page 27: Referat Kulit

Psikosis merupakan komplikasi berbahaya dan sering terjadi.

Kemungkinan hal ini terjadi karena adanya gangguan keseimbangan elektrolit

dalam otak, sehingga mempengaruhi kepekaan otak. Berbagai bentuk gangguan

jiwa dapat muncul, antara lain: nervositas, insomnia, psikopatik, skizofrenik,

kecenderungan bunuh diri. Gangguan jiwa akibat penggunaan hormon ini dapat

hilang segera atau dalam beberapa bulan setelah obat dihentikan.8

7. Glaukoma (steroid-induced glaucoma) dan Katarak

Patofisiologi glaukoma akibat kortikosteroid belum diketahui dengan

baik. Diduga terdapat defek berupa peningkatan akumulasi glikosaminoglikan

atau peningkatan aktivitas respons protein trabecular-meshwork inducible

glucocorticoid (TIGR) sehingga menyebabkan obstruksi cairan. Selain itu bukti

lain mengisyaratkan terjadi perubahan sitoskeleton yang menghambat pinositosis

aqueous humor atau menghambat pembersihan glikosaminoglikans dan

menyebabkan akumulasi.9

Kortikosteroid oral diduga meningkatkan resistensi aliran aquos humor

yang berpotensi meningkatkan tekanan intraokular, hal inilah yang mencetuskan

terjadinya glaukoma. Disisi lain, pengobatan Kortikosteroid juga berpotensi

meningkatkan opasififikasi dari kristalin lensa sehingga meningkatkan

pembentukan katarak.8

8. Osteoporosis

Osteoporosis terjadi pada 40% individu yang mendapatkan pengobatan

kortikosteroid sistemik, khususnya pada anak-anak, remaja, dan wanita post-

menopause. Sekitar 1 dari 3 pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid selama 5

sampai 10 tahun mengalami fraktur vertebrata dan meningkat pada wanita post-

menopause. Bone-lose terjadi secara cepat pada 6 bulan pertamapenggunaan

kortikosteroid dan terus berlanjut dengan kecepatan yang lebih lambat, dengan

kehilangan sebesar 3-10% pertahun. Studi terbaru menunjukkan bahwa risiko

untuk fraktur meningkat sekalipun menggunakan dosis rendah prednison (2,5

mg/hari).6

Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca2+ dalam darah dengan cara

menghambat pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama malah

27

Page 28: Referat Kulit

menghambat pembentukan tulang (sintesis protein di osteoblast) dan

meningkatkan resorpsi sehingga memicu terjadinya osteoporosis. Selain itu juga

menurunkan absorpsi Ca2+ dan PO43- dari intestinal dan meningkatkan ekskresinya

melalui ginjal, sehingga secara tidak langsung akan mengaktifkan PTH yang

menyebabkan resorpsi. Salah satu komplikasinya adalah fraktur vertebra akibat

osteoporosis dan kompresi.9

9. Osteonekrosis.

Osteonekrosis atau Avaskular Nekrosis(AVN) adalah manifestasi dari

nyeri serta keterbatasan dari satu atau lebih sendi. Hal ini menyebabkan hipertensi

interosseous yang mengakibatkan iskemia tulang dan nekrosis. Pada pemakaian

kortikosteroid terjadi hipertropi liposit pada interosseous, sehingga terjadi

hipertensi, selain itu kortikosteroid juga memicu apoptosis dari osteoblast yang

turut berperan sebagaia penyebab AVN.11

Kortikosteroid bisa memepengaruhi metabolisme dari osteoblast,

osteoclast, stromal cell sumsum tulang dan sel adiposa. Hal ini terjadi melalui

mekanisme pengaktifan dan penghambatan dari regulator yang berhubungan

dengan adipognesis dan osteogenesis. Hal ini mengakibatkan jumlah serta ukuran

stem-cell adiposit akan meningkat drastis, sebaliknya akan terjadi penurunan dari

osteoblast sel-sel tulang, secara bersamaan aktivitas dari osteoclast juga terjadi,

semua hal ini menginduksi untuk terjadi osteonekrosis.11

10. Regulation of Growth

Pada anak-anak penggunaan kortikosteroid dapat menyebabkan

pertumbuhan terhambat. Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin,

yang menghambat growth hormone. Selain itu kortikosteroid menyebabkan

kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya terjadi sekresi PTH yang meningkatkan

aktivitas osteoklast meresorpsi tulang. Kortikosteroid juga menghambat hormon-

hormon gonad, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan proses penulangan

sehingga menghambat pertumbuhan.9

11. Endokrin

Salah satu efek samping kortikosteroid adalah gangguan endokrin.

Kortikosteroid menyebabkan penurunan produksi insulin oleh sel beta dan

28

Page 29: Referat Kulit

resistensi insulin. Hal ini mengakibatkan perubahan pada metabolisme glukosa

pada tubuh. Kekurangan produksi insulin serta resistensi mengakibatkan tingginya

kadar glukosa dalam darah.8

12. Kardiovaskular

Penggunaan Kortikosteroid jangka panjang dapat meyebabkan hipertensi

dengan dua mekanisme kerja. Pertama melalui jalur retensi sodium sehingga

meningkatkan volume plasma. Jalur kedua melaui respon vasopresor terhadap

angitensin II dan katekolamin.12

Penggunaan kortikosteroid berperan dalam berbagai faktor risiko yang

berhubungan dengan aterosklerosis diantaranya hipertensi arterial, resistensi

insulin, intoleransi glukosa, hiperlipidemia dan obesitas sentral. Oleh karena

itu,tidak mengherankan bila konsumsi kortikosteroid meningkatkan risiko

terjadinya aterosklerosis. Faktor risiko terjadinya aterosklerosis bertahan sampai 5

tahun setelah tercapainya kadar serum kortisol normal pada pasien dengan

Cushing disease, dimana hal yang sama juga didapatkan pada pasien yang diterapi

dengan kortikosteroid.6

13. Kulit

Penggunaan kortikosteroid topikal juga dapat menyebabkan beberapa

efek samping seperti, striae, telangiektasis, eritema, perioral dan peroocular

acneform. Penggunaan kortikosteroid topikal dapat menfasilitasi proliferasi dari

dari Propionibacterium acnes, hal inilah yang berperan dalam pembentukan

timbulnya acne Rosaea. Selain itu, supresi terhadap sistem imun lokal kulit juga

dapat memicu timbulnya pertumbuhan dari jamur.13

29

Page 30: Referat Kulit

BAB III

KESIMPULAN

Kortikosteroid merupakan pengobatan yang paling sering diberikan

kepada pasien.Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid yang

dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Kortikosteroid terbagi kepada dua golongan

utama yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.

Sejak digunakan pertama kali, kortikosteroid memberikan banyak

manfaat dalam pengobatan berbagai macam penyakit. Namun disamping memberi

manfaat, kortikosteroid juga memberikan banyak efek samping mulai dari yang

ringan sampai yang berat. Kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang

ataupun dalam dosis tinggi dapat memicu berbagai macam efek samping. Hal ini

sesuai dengan mekanisme kerja dari steroid itu sendri. Efek samping yang

ditimbulkan dalam pemakaian steroid dapat berpengaruh terhadap berbagai organ

maupun sistem organ dalam tubuh. Sebagai contoh beberapa efek samping yang

dapat terjadi misalnya gangguan tingkah laku, katarak, glaukoma, tukak lambung,

osteoporosis, avaskular nekrosis, aterosklerosis, hipertensi serta berbagai efek

samping lainnya yang berhubungan dengan mekanisme kerja kortikosteroid.

Diperlukan pengetahuan yang baik bagi seorang dokter mengenai

mekanisme kerja, farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi, dosis, cara

30

Page 31: Referat Kulit

pemberian dan yang tidak kalah pentingnya pengetahuan mengenai efek samping

obat yang ditimbulkan kortikosteroid, untuk dapat menggunakan kortikosteroid

secara rasional dan efektif serta mencegah semaksimal mungkin efek samping

yang ditimbulkan.

31

Page 32: Referat Kulit

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, A.C., John, E.H. 2006. Hormon Adrenokortikal Dalam Buku Ajar

Fisisologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

2. Djuanda, A. 2013. Pengobatan dengan Kortikosteroid Sistemik dalam

Bidang Dermatovenereologi. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

3. Katzung, B.G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba

Medika

4. Gunawan, S.G. 2011. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI

5. Effendi, E.H. KONAS PERDOSKI: Penggunaan Kortikosteroid Sistemik

Dalam Dermatologi. 2005: Hal. 44-50.

6. Werth, V.P. 2008. Systemic Therapy In: Wolff, K., Goldsmith, L., Kath,

S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Jeffell, D.J., Editors. Fitzpatrick's

Dermatology In General Medicine. 7th Ed. New York: The McGraw-Hill

Companies Inc.; p.2147-2153

7. Abidin Taufik. Oral Corticosteroid. 2009. Diunduh dari

http://www.scribd.com/doc/13461798/Oral-Kortikosteroid

8. Aulakh, R., Surjit, S. 2008. Strategies For Minimizing Corticosteroid

Toxicity: A Review. Indian J Pediatr; 75(10): p.1067-107 Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19023531 (Accessed: August 7th,

2015)

9. Schimer, B.P. 2006. Adrenocorticotropic Hormone ; Adrenal Steroid And

Their Syntetic. In: Brunton, L.L., John, S.L., Keith, L.P., Editors.

Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis Of Therapeutic. 11th

Ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc.

10. Luo J.C., et al. 2009. Gastric Mucosal Injury In Systemic Lupus

Erythematosus Patients Receiving Pulse Metylprednisolone Therapy. Br J

Clin Pharmacol; 68(2): p.252-259 Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19694746 (Accessed: August 7th,

2015)

32

Page 33: Referat Kulit

11. Gang, T., Kang, P., Pei, F.X. 2012. Glucocorticoid Effect The Metabolism

Of Bone Marrow Stromal Cells And Lead To Osteonecrosis Of The

Femoral Head: A Review. Chin Med J.; 125(1): p.134-139 Available

From: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22340480 (Accessed: August

7th, 2015)

12. Rhen, T., John, A.C. 2005. Antiinflamatory Action of Glucocorticoid:

Molecular Mechanism. N Engl J Med.; 353: p.1711-23 Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9854452 (Accessed: August 7th,

2015)

13. Fisher, D.A. 1995. Adverse Effect of Topical Corticosteroid Use. West J

Med.; 162: p.123-126 Available from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1022645/(Accessed:

August 7th, 2015)

33