referat kulit
DESCRIPTION
pioderma merupakaninfeksi kulit yang disebabkan oleh staphylococcus aureus atau streptococcus beta hemoliticus. Infeksi pada kulit ini dapat bersifat superfisial (hanya sebatas di epidermis) atau profunda (lebih dalam mencapai dermis).TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di
bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini
berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap
stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh dan pengaturan inflamasi, metabolisme
karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah serta tingkah laku.1
Kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi karena obat
ini mempunyai efek anti inflamasi dan imunosupresan. Sejak kortikosteroid
digunakan dalam bidang dermatologi, obat ini sangat menolong penderita.
Berbagai penyakit yang dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat,
misalnya dermatitis. Penyakit berat yang dahulu dapat menyebabkan kematian,
misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat ditekan berkat pengobatan
kortikosteroid, demikian pula sindrom Stevens-Johnson yang berat dan nekrolisis
epidermal toksik. Tetapi disamping memberikan manfaat yang banyak
penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama juga akan
mengakibatkan timbulnya efek samping yang tidak diinginkan. Namun, berkat
kemajuan dalam bidang pengetahuan mengenai mekanisme kerja serta
pemahaman patogenesis berbagai penyakit, khususnya mengenai peradangan
kulit, pemakaian kortikosteroid menjadi semakin rasional dan efektif.
Oleh karena seringnya penggunaan obat kortikosteroid ini maka
diperlukan pengetahuan mengenai mekanisme kerja, penggunaan dosis, cara
pemberian serta efek samping yang akan ditimbulkannya bila digunakan baik
sebagai pengobatan dalam waktu singkat maupun dalam waktu yang lama.
Dengan ini diharapkan seorang dokter dapat menggunakan kortikosteroid dalam
praktek medis secara rasional dan efektif untuk memberikan efek terapeutik
maksimal bagi pasien dan mencegah efek samping yang ditimbulkan.
1
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di
bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini
berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap
stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh dan pengaturan inflamasi, metabolisme
karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah serta tingkah laku.1
2.2 Penggolongan
Kortikosteroid sintetik dibuat dengan melakukan modifikasi pada
molekul kortisol. Efek biologik dan efek samping amat dipengaruhi oleh dosis,
cara pemberian, waktu paruh, efek antiinflamasi dan efek mineralokortikoid
masing-masing preparat.2
Tabel 2.1 Penggolongan Kortikosteroid Sistemik.POTENSI RELATIF GLUKOKORTIKOID
Macam Kortikosteroid
Potensi Glukokortikoid
Dosis Ekuivalen (mg) Potensi Mineralokortikoid
Kerja SingkatHidrokortison 1 20,0 2+Kortison 0,8 25,0 2+Kerja SedangMeprednison 4-5 4,0 0Metilprednisolon 5 4,0 0Prednisolon 4 5,0 1+Prednison 4 5,0 1+Triamsinolon 5 4,0 0Kerja LamaBetametason 20-30 0,60 0Deksametason 20-30 0,75 0Parametason 10 2,0 0
2
Keterangan:
Masa paruh biologik Kortikosteroid
Kerja Singkat : 8-12 jam
Kerja Sedang : 12-36 jam
Kerja Lama : 36-72 jam
2.3 Biosintesis Dan Kimia
Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian
dengan bantuan berbagai enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan
21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga
merupakan sumber estradiol. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk
steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun
setelah pemberian ACTH.3
Meskipun kelenjar adrenal dapat mensintesis androgen, pada wanita
sekitar 50% androgen plasma berasal dari luar kelenjar adrenal. Meskipun
demikian pada kasus hipofungsi korteks adrenal penambahan
dehidroepiandrosteron (DHEA) bersama glukokortikoid dan mineralokortikoid
akan memperbaiki well being dan seksualitas wanita. Pada pria androgen dari
adrenal hanya sebagian kecil dari seluruh androgen plasma. Meskipun androgen
adrenal tidak esensial untuk survival, kadar DHEA dan derivat sulfatnya
(DHEAS) mencapai kadar puncaknya pada usia 30 tahunan dan menurun
3
sesudahnya. Pasien dengan penyakit kronis pun mempunyai kadar yang sangat
rendah, sehingga muncul hipotesa bahwa pemberian DHEA mungkin akan
mengurangi akibat buruk proses penuaan. Meskipun data belum mendukung, saat
ini DHEA banyak dijual sebagai suplemen pangan untuk tujuan mempengaruhi
proses penuaan.4
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus
disintesis terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk
beberapa menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya
disesuaikan dengan kecepatan sekresinya.4
2.4 Mekanisme Kerja
Kortikosteroid secara alami disintesis oleh korteks adrenal manusia
dalam bentuk hidrokortison atau kortisol (golongan glukokotikoid) dan aldosteron
(golongan mineralokortikoid). Sintesis glukokortikoid dipengaruhi oleh
hipotalamus (melalui corticotropin releasing hormone / CRH) dan hipofisa
(melalui ACTH). Produksi kortisol perhari bergantung pada ukuran tubuh
manusia, yaitu 12,1+ 1,5 mg / m2.5
Terdapat 3 mekanisme fisiologis yang mengatur sekresi kortisol, yaitu :5
1. Variasi diurnal : kadar paling tinggi pada pukul 8 pagi dan paling
rendah pada sore dan malam hari.
2. Stress : sekresi kortisol meningkat pada keadaan surgical stress,
medical stress, dan stress emosi.
3. Negative feed back : bila kadar kortisol plasma meningkat secara
bermakna, maka akan terjadi negative feed back terhadap sekresi
CRH dan ACTH.
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.
Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang
spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor–steroid.
4
Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus
dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan
sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek
fisiologik steroid.3
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar hormon steroid merangsang
transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid
dan fibroblas hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya
menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek
katabolik.3
Efek selular glukokortikoid (GK) terjadi akibat interaksi dengan
reseptornya yang terdapat pada sitoplasma. Hampir semua sel yang berinti
memiliki reseptor setelah terikat dengan reseptornya, kompleks ini bergerak
menuju inti sel terikat pada DNA, sehingga mempengaruhi produksi protein,
misalnya produksi interleukin-2 (IL-2) oleh limfosit, karena reseptor GK terdapat
pada banyak sel, maka dapat dimengerti bahwa GK akan mempengaruhi sebagian
besar sel-sel tubuh, sehingga efek terapeutiknya beragam dan efek sampingnya
juga banyak. Glukokortikoid juga dapat terikat pada transcription factor (NF-kB)
yang merupakan regulator gen sitokin dan adesi sel. Bila terikat pada faktor
tersebut. Produksi sitokin terhenti, sehingga respon imun juga menurun.5
Efek imunosupresi dan anti-inflamasi GK terjadi karena pengaruhnya
pada sel-sel radang misalnya makrofag, monosit, limfosit T, neutrofil dan
eosinofil. Sel-sel tersebut dipengaruhi melalui penghambatan produksi sitokin
proinflamasi misalnya IL-1 dan IL-2. Glukokortikoid juga mempengaruhi endotel
pembuluh darah sehingga limfosit T dan neutrofil dari dalam pembuluh darah
tidak dapat keluar ke jaringan walaupun terdapat faktor kemotaktiknya. Pengaruh
GK terhadap produksi antibodi amat kecil, kecuali bila GK diberikan dalam dosis
besar dan jangka panjang.5
2.5Farmakodinamik
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik,
5
sistem saraf dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya
penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi
perubahan lingkungan.3
Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis,
makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga
ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon-hormon lain. Peran
kortikosteroid dalam kerjasama ini disebut permissive effects, yaitu kortikosteroid
diperlukan supaya terjadi suatu efek hormon lain, diduga mekanismenya melalui
pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respon jaringan
terhadap hormon lain. Misalnya otot polos bronkus tidak akan berespon terhadap
katekolamin bila tidak ada kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid dosis
fisiologis akan mengembalikan respon tersebut.3
Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik atau
farmakologik, tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu. Misalnya, hewan
tanpa kelenjar adrenal yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan
kortikosteroid dosis kecil untuk dapat mempertahankan hidupnya. Meskipun
kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi
sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi
natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat
antiinflamasinya.3
2.2 Tabel perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan
kortikosteroid
Kortikosteroid
PotensiLama
kerja
Dosis
ekuivalen
(mg)*
Retensi
natrium
Anti-
inflamasi
Kortisol(hidrokortison) 1 1 S 20
Kortison 0,8 0,8 S 25
Kortikosteron 15 0,35 S -
6-α-metilprednisolon 0,5 5 I 4
6
Fludrokortison
(mineralokortikoid)
125 10 I -
Prednisone 0,8 4 I 5
Prednisolon 0,8 4 I 5
Triamsinolon 0 5 I 4
Parametason 0 10 L 2
Betametason 0 25 L 0,75
Deksametason 0 25 L 0,75
Keterangan:
* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.
S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam);
I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam);
L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam).
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan
besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid
ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan
pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototipe untuk golongan
ini ialah kortisol. Sebaliknya golongan mineralokortikoid efek utamanya adalah
keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan
glikogen hepar sangat kecil. Prototipe golongan ini ialah desoksikortikosteron.
Umumnya golongan mineralokortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi
yang berarti kecuali 9 α-fluorokortisol. Meskipun demikian sediaan ini tidak
pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan
air dan elektrolit terlalu besar.3
Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan
berdasarkan masa kerjanya. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh
biologis kurang dari 12 jam, sediaan kerja lama masa paruhnya lebih dari 36 jam,
sedangkan yang kerja sedang mempunyai masa paruh antara 12-36 jam.3
Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah sebagai
berikut :1,3
Metabolisme
7
Metabolisme karbohidrat dan protein. Glukokortikoid meningkatkan
kadar glukosa darah sehingga merangsang pelepasan insulin dan menghambat
masuknya glukosa ke dalam sel otot. Glukokortikoid juga merangsang lipase yang
sensitivedan menyebabkan lipolisis. Peningkatan kadar insulin merangsang
lipogenesis dan sedikit menghambat lipolisis sehingga hasil akhirnya adalah
peningkatan deposit lemak, peningkatan pelepasan asam lemak, dan gliserol ke
dalam darah. Efek ini paling nyata pada kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak
dipertahankan dengan cara glukoneogenesis, katabolisme protein otot melepas
asam amino, perangsangan lipolisis dan hambatan ambilan glukosa di jaringan
perifer.1,3
Hormon ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan di hepar. Di
perifer steroid mempunyai efek katabolik. Efek katabolik inilah yang
menyebabkan terjadinya atrofi jaringan limfoid, pengurangan massa jaringan otot,
terjadi osteoporosis tulang, penipisan kulit dan keseimbangan nitrogen menjadi
negative. Asam amino tersebut dibawa ke hepar dan digunakan sebagai substrat
enzim yang berperan dalam produksi glukosa dan glikogen.1,3
Metabolisme lemak. Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka
panjang atau pada sindrom cushing, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang
khas. Lemak akan terkumpul secara berlebihan pada depot lemak; leher bagian
belakang (buffalo hump), daerah supraklavikula dan juga di muka (moon face),
sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan menghilang.1,3
Keseimbangan air dan elektrolit. Mineralokortikoid dapat
meningkatkan reabsorpsi Na+ serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli distal. Dengan
dasar mekanisme inilah, pada hiperkortisisme terjadi: retensi Na yang disertai
ekspansi volume cairan ekstrasel, hipokalemia, dan alkalosis. Pada hipokortisisme
terjadi keadaan sebaliknya: hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel
berkurang dan hidrasi sel.1,3
System kardiovaskular. Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem
kardiovaskular secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah
terhadap keseimbangan air dan elektrolit; misalnya pada hipokortisisme, terjadi
pengurangan volume yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini
8
didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps kardiovaskular. Pengaruh
langsung steroid terhadap sistem kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol
dan miokard.1,3
Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut:
permeabilitas dinding kapiler meningkat, respons vasomotor pembuluh darah
kecil menurun, fungsi jantung dan curah jantung menurun, sehingga pasien harus
dimonitor untuk gejala dan tanda-tanda edema paru.1,3
Pada aldosteronisme primer gejala yang mencolok ialah hipertensi dan
hipokalemia. Hipokalemia diduga disebabkan oleh efek langsung aldosteron pada
ginjal, sedangkan hipertensi diduga akibat retensi Na yang berlebihan dan
berlangsung lama yang dapat menimbulkan edema antara dinding arteriol,
akibatnya diameter lumen berkurang dan resistensi pembuluh perifer akan
bertambah.1,3
Otot rangka. Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi
dengan baik, dibutuhkan kortiosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila
hormon ini berlebihan, timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut. Disfungsi
otot pada insufisiensi adrenal diakibatkan oleh gangguan sirkulasi. Pada keadaan
ini tidak terjadi kerusakan otot maupun sambungan saraf otot. Pemberian transfusi
atau kortisol dapat mengembalikan kapasitas kerja otot. Kelemahan otot pada
pasien aldosterisme primer, terutama karena adanya hipokalemia. Pada pemberian
glukokortikoid dosis besar untuk waktu lama dapat timbul wasting otot rangka
yaitu pengurangan massa otot, diduga akibat efek katabolik dan antianaboliknya
pada protein otot yang disertai hilangnya massa otot, penghambatan aktivitas
fosforilase dan adanya akumulasi kalsium otot yang menyebabkan penekanan
fungsi mitokondria.1,3
Susunan saraf pusat. Pengaruh kortikosteroid terhadap SSP dapat
secara langsung dan tidak langsung. Pengaruhnya secara tidak langsung
disebabkan efeknya pada metabolisme karbohidrat, sistem sirkulasi dan
keseimbangan elektrolit. Adanya efek steroid pada SSP ini dapat dilihat dari
timbulnya perubahan mood, tingkah laku, EEG dan kepekaan otak, terutama
untuk penggunaan waktu lama atau pasien penyakit Addison.1,3
9
Pengunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menimbulkan
serangkaian reaksi yang berbeda-beda. Sebagian besar mengalami perbaikan
mood yang mungkin disebabkan hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati;
yang lain memperlihatkan keadaan euphoria, insomnia, kegelisahan dan
peningkatan aktivitas motorik. Kortisol juga dapat menimbulkan depresi. Pasien
yang pernah mengalami gangguan jiwa sering memperlihatkan reaksi psikotik.1,3
Elemen pembentuk darah. Glukokortikoid dapat meningkatkan kadar
hemoglobin dan jumlah sel darah merah, hal ini terbukti dari seringnya timbul
polisitemia pada sindrom cushing. Sebaliknya pasien Addison dapat mengalami
anemia normokromik, normositik yang ringan.1,3
Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah leukosit PMN, karena
mempercepat masuknya sel-sel tersebut ke dalam darah dari sumsum tulang dan
mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi. Sedangkan jumlah sel
limfosit, eosinofil, monosit dan basofil dapat menurun dalam darah setelah
pemberian glukokortikoid.1,3
Efek anti-inflamasi dan imunosupresif. Kortisol dan analog sintetiknya
dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi,
zat kimia, mekanik atau alergen. Secara mikroskopik obat ini menghambat
fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi
leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat
menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan
fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena
efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan
juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne imflamasi
serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi tanpa
memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit
kedalam jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh
serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel, khusunya yang
berada pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian
dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil
meningkat , sedangkan limfosit, monosit, eosinofil dan basofil dalam sirkulasi
10
tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam
dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh
peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan
migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada
tempat inflamasi.1,3
Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel
penyebab antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap
antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama
menandai dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh
mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a, interleukin-1,
metalloproteinase dan activator plasminogen.1,3
Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi
reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin, leukotrien dan
platelet-aktivating factor.1,3
Glukokortikoid dapat menyebabkan vasokonstriksi apabila digunakan
langsung pada kulit, yang diduga terjadi dengan menekan degranulasi sel mast.
Glukokortikoid juga menurunkan permeabilitas kapiler dengan menurunkan
jumlah histamine yang dirilis oleh basofil dan sel mast.1,3
Penggunaan kortokosteroid dalam klinik sebagai antiinflamasi
merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan
penyebabnya tetap ada. Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek
imunosupresan dan antiinflamasi yang selama ini dianggap sebagai efek
farmakologi kortikosteroid sesungguhnya secara fisiologis pun merupakan
mekanisme protektif.1,3
Jaringan limfoid dan sistem imunologi. Glukokortikoid tidak
menyebabkan lisis jaringan limfoid yang masif, golongan obat ini dapat
mengurangi jumlah sel pada leukemia limfoblastik akut dan beberapa keganasan
sel limfosit. Kortikosteroid bukan hanya mengurangi jumlah limfosit tetapi juga
respons imunnya. Kortikosteroid juga menghambat inflamasi dengan menghambat
migrasi leukosit ke daerah inflamasi.1,3
11
Pertumbuhan. Penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat
menghambat pertumbuhan anak, karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon
pertumbuhan di perifer. Terhadap tulang, glukokortikoid dapat menghambat
maturasi dan proses pertumbuhan memanjang.1,3
Penghambatan pertumbuhan pada pemakaian kortikosteroid disebabkan
oleh kombinasi berbagai faktor: hambatan somatomedin oleh hormon
pertumbuhan, hambatan sekresi hormon pertumbuhan, berkurangnya proliferasi
sel di kartilago epifisis dan hambatan aktivitas osteoblas di tulang.1,3
2.6 Farmakokinetik
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorbsi cukup
baik. Untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester kortisol
dan derivat sintetiknya diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang lama
kortisol dan esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat
mempengaruhi kecepatan absorbsi, mula kerja dan lama kerja karena juga
mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah
prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam
tubuh.3,4
Glukokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan
ruang synovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas
dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.3,4
Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada 2 jenis protein plasma
yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi
kapasitas ikatnya rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas
ikatnya relative tinggi. Oleh karena itu pada kadar rendah atau normal, sebagian
besar kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat jumlah
hormon yang terikat albumin dan bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat
globulin sedikit mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya
untuk berikatan dengan globulin pengikat kortikosteroid, kortisol mempunyai
afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonyugasi dengan asam glukuronat
dan aldosteron afinitasnya rendah.3,4
12
Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan kadar
globulin pengikat kortikosteroid, kortisol plasma total dan kortisol bebas sampai
beberapa kali. Telah diketahui bahwa hal ini tidak terlalu bermakna terhadap
fungsi tubuh.3,4
Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya
merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang
aktif memiliki ikatan rangkap pada atom C4,5 dan gugus keton pada atom C3.
Reduksi ikatan rangkap C4,5 terjadi di dalam hati dan jaringan ekstrahepatik serta
menghasilkan senyawa inaktif. Perubahan gugus keton menjadi gugus hidroksil
hanya terjadi di hati. Sebagian besar hasil reduksi gugus keton pada atom
C3melalui gugus hidroksinya secara enzimatik bergabung dengan asam sulfat atau
asam glukuronat membentuk ester yang mudah larut dan kemudian diekskresi.
Reaksi ini terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil di ginjal.3,4
Oksidasi gugus 11-hidroksil yang reversibel terjadi secara cepat di hepar
dan secara lambat di jaringan ekstrahepatik. Untuk aktivitas biologiknya
kortikosteroid dengan gugus keton pada atom C11 harus direduksi menjadi
senyawa 11-hidroksil sedangkan reduksi gugus keton pada atom C20 hanya
memberikan senyawa dengan aktivitas biologik yang lemah.3,4
Kortikosteroid dengan gugus hidroksil pada atom C17 akan dioksidasi
menjadi 17-ketosteroid yang tidak mempunyai aktivitas kortikosteroid tetapi
bersifat androgenik. Adanya sekresi 17-keto-steroid dalam urin dapat dipakai
sebagai ukuran aktivitas hormon kortikosteroid dalam tubuh.3,4
Setelah penyuntikan IV steroid radioaktif sebagian besar dalam waktu 72
jam diekskresi dalam urin, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada.
Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang diekskresi mengalami metabolisme
di hepar. Masa paruh eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam. Adanya ikatan rangkap
dan atom C1-2 atau subtitusi atom fluor memperlambat proses metabolisme dann
karenanya dapat memperpanjang masa paruh eliminasi.3,4
2.7 Dosis dan Cara Pemberian
13
Kesetaraan dosis diantara berbagai kortikosteroid sistemik adalah
kortison 25 mg = kortisol 20 mg = prednison 5 mg = metilprednison 4 mg =
triamsinolon 4 mg = deksametason 0,5-0,7 mg.5
Dengan bertambah luasnya pengetahuan tentang efektivitas klinis
kortikosteroid dan untuk memperkecil risiko efek samping yang ditimbulkan,
ditemukan berbagai rejimen pengobatan misalnya :5
a. Dosis tinggi : 40-80 mg prednisone dipakai untuk mengendalikan inflamasi
secara cepat, untuk menghindari kerusakan jaringan atau disfungsi organ.
Bila telah terkendali, dosis diturunkan 10 mg setiap 5-7 hari.
b. Dosis selang sehari : digunakan untuk mempertahankan pengendalian
penyakit setelah penyakit dapat terkontrol.
c. Pulse dose : metilprednisolon 1 gram perhari IV selama 3 hari akan memberi
pengaruh yang lebih baik dalam mengatasi inflamasi bila dibandingkan
dengan kortikosteroid dosis tinggi. Cara ini juga lebih aman, walaupun efek
samping tetap ada. Dosis yang lebih kecil juga dapat dipakai, bergantung
pada beratnya peradangan dan ancaman kerusakan organ.
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan melalui 4 jalur, yaitu:6
1. Intralesi. Memberikan akses langsung pada lesi yang relatif sedikit dan lesi
yang resisten
2. Intramuskular. Pemberian melalui jalur ini tidak direkomendasikan
karenamenimbulkan lebih banyak efek samping terutama terhadap supresi
HPA axis dan miopati.
3. Oral. Prednison merupakan pilihan terbaik. Bila digunakan selama 3-4 minggu,
kortikosteroid dapat dihentikan tanpa harus di tappering. Dosis minimal dari
jenis short-acting yang diberikan setiap pagi dapat meminimalisir efek
samping obat. Kadar puncak kortisol terjadi pada pukul 8 pagi, dimana bila
diberikan pada waktu itu, supresi terhadap HPA axis sedikit sekali, dan
feedback dari kelenjar adrenal untuk sekresi ACTH dapat terjadi pada kondisi
ini.
4. Intravena. Pemberian melalui jalur intravena dilakukan pada 2 kondisi,
pertama pada pasien dengan tingkat stres yang meningkat dikarenakan pasien
14
ini sakit dan akan menjalani operasi yang diketahui mengalami supresi adrenal
akibat penggunakan kortikosteroid. Kedua, pasien dengan beberapa penyakit
seperti pioderma gangrenosun resisten, pemfigus berat, pemfigoid bulosa, SLE
atau dermatomiositis. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kontrol yang cepat
terhadap penyakit dan untuk meminimalisir kecenderungan untuk kebutuhan
terhadap terapi jangka panjang kortikosteroid oral dengan dosis tinggi. Efek
samping yang dapat terjadi melalui pemberian secara intravena antara lain
reaksi anafilaktik, kejang, aritmia, dan kematian mendadak. Efek samping yang
lain meliputi hipotensi, hipertensi, hiperglikemia, perpindahan elektrolit dan
psikosis akut.
Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral,
intramuskular, intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan
keparahan penyakit. Pada suatu penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena
efek samping seperti pada alopesia areata, kortikosteroid yang diberikan adalah
kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang. Kortikosteroid biasanya
digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial dose yang digunakan untuk
mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg setiap hari.
Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa
tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat
diberikan setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol mencapai
puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari
seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang rendah
dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5
mg sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat digunakan untuk
memaksimalkan supresi adrenal pada kasus akne maupun hirsustisme.2
Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah
mengalami perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya
tidak mengalami eksaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan
sindrom putus obat. Jika terjadi supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak
dapat melawan stres. Supresi terjadi kalau dosis prednison melebihi 5 mg per hari
15
dan kalau lebih dari sebulan. Pada sindrom putus obat terdapat keluhan lemah,
lelah, anoreksia dan demam ringan yang jaranng melebihi 39ºC.2
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4
minggu perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari
dosis pemeliharaan dan menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang
baik dengan menukar dari dosis tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti
dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks
kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal
pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari.
Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit
dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih
diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari
pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah
mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat
tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya
5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang
sehari.2
Tabel 2.3 Berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta
dosisnya:
Nama penyakitMacam kortikosteroid dan dosisnya
sehari
Dermatitis
Erupsi alergi obat
ringan
SJS berat dan NET
Eritrodermia
Reaksi lepra
DLE
Pemfigoid bulosa
Pemfigus vulgaris
Prednison 4x5 mg atau 3x10mg
Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Deksametason 6x5 mg
Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Prednison 3x10 mg
Prednison 3x10 mg
Prednison 40-80 mg
Prednison 60-150 mg
16
Pemfigus foliaseus
Pemfigus eritematosa
Psoriasis pustulosa
Reaksi Jarish-
Herxheimer
Prednison 3x20 mg
Prednison 3x20 mg
Prednison 4x10 mg
Prednison 20-40 mg
2.8Indikasi
Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang
perlu diperhatikan sebelum obat ini digunakan:
Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan
dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan
perubahan penyakit. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak
berbahaya. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya
kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.3,6
Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis
melebihi dosis substitusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan
bertambah, kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan
merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek
anti-inflamasinya.3,6
Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan
dosis besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat
mengancam jiwa pasien. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid
akan digunakan untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang
masih efektif. Kemudian dalam periode singkat dosis harus diturunkan bertahap
sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul lagi. Bila terapi
bertujuan mengatasi keadaan yang mengancam pasien, maka dosis awal haruslah
cukup besar. Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat
dilipatgandakan.3,6
Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis
besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi
spesifik. Untuk mengurangi efek supresi hipofisis-adrenal ini, dapat dilakukan
17
modifikasi cara pemberian obat, misalnya dosis tunggal selang 1 atau 2 hari, tetapi
cara ini tidak dapat diterapkan untuk semua penyakit.3,6
Terapi substitusi. Terapi ini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat
insufisiensi sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal
sendiri (insufisiensi primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder).3,6
Terapi kortikosteroid digunakan antara lain untuk:3
Insufisiensi adrenal akut. Bila insufisiensi primer, dosisnya 20-30 mg
hidrokortison harus diberikan setiap hari. Perlu juga diberi preparat
mineralokortikoid yang dapat menahan Na dan air.
Insufisiensi adrenal kronik. Dosisnya 20-30 mg per hari dalam dosis
terbagi (20 mg pada pagi hari dan 10 mg pada sore hari). Banyak pasien
memerlukan juga mineralokortikoid fluorokortison asetat dengan dosis
0,1-0,2 mg per hari; atau cukup dengan kortison dan diet tinggi garam.
Hyperplasia adrenal congenital
Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis
Terapi non-endokrin
Dibawah ini dibahas beberapa penyakit yang bukan merupakan kelainan
adrenal atau hipofisis, tetapi diobati dengan glukokortikoid. Dasar pemakaian
disini adalah efek anti-inflamasinya dan kemampuannya menekan reaksi imun.
Berikut adalah kasus yang menggunakan preparat kortikosteroid:3
Fungsi paru pada fetus. Penyempurnaan fungsi paru fetus dipengaruhi
sekresi kortisol pada fetus. Betametason atau deksametason selama 2 hari
diberikan pada minggu ke 27-34 kehamilan. Dosis terlalu banyak akan
mengganggu berat badan dan perkembangan kelenjar adrenal fetus.
Artriris. Kortikosteroid hanya diberikan pada pasien arthritis rheumatoid
yang sifatnya progresif, dengan pembengkakan dan nyeri sendi yang hebat
sehingga pasien tidak dapat bekerja, meskipun telah diberikan istirahat,
terapi fisik dan obat golongan anti-inflamasi nonsteroid.
Karditis reumatik
18
Penyakit ginjal. Kortikosteroid dapat bermanfaat pada sindrom nefrotik
yang disebabkan lupus eritematus sistemik atau penyakit ginjal primer,
kecuali amiloidosis.
Penyakit kolagen. Pemberian dosis besar bermanfaat untuk eksaserbasi
akut, sedangkan terapi jangka panjang hasilnya bervariasi. Untuk
scleroderma umumnya obat ini kurang bermanfaat.
Asma bronchial dan penyakit saluran napas
Penyakit alergi
Penyakit mata (konjungtivitis alergika, uveitis akut, neuritis optika,
koroiditis)
Penyakit hepar
Keganasan
Gangguan hematologik lain (anemia hemolitik acquaired dan autoimun,
leukemia, purpura alergika akut dll)
Syok
Edema serebral
Trauma sumsum tulang belakang
Indikasi kortikosteroid yang lain adalah pada dermatosis alergik atau
penyakit yang dianggap mempunyai dasar alergik (dermatitis atopik, pemfigus,
dermatitis seboroik, dll). Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan
steroidnya. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%.
Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik,
kortikosteroid diberikan secara sistemik.2,3,6
Berikut berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta
dosisnya.2
Tabel 2.4Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada
berbagai dermatosis
Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehariDermatitis
Erupsi alergi obat ringanSJS berat dan NET
EritrodermiaReaksi lepra
Prednison 4x5 mg atau 3x10mgPrednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Deksametason 6x5 mgPrednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Prednison 3x10 mg
19
DLEPemfigoid bulosaPemfigus vulgarisPemfigus foliaseus
Pemfigus eritematosaPsoriasis pustulosa
Reaksi Jarish-Herxheimer
Prednison 3x10 mgPrednison 40-80 mgPrednison 60-150 mgPrednison 3x20 mgPrednison 3x20 mgPrednison 4x10 mgPrednison 20-40 mg
Penggunaan dalam dermatologi
Berikut ini akan dibahas secara singkat tentang penggunaan kortikosteroid
sistemik pada kasus-kasus dermatologi yang sering ditemui.5
a. Dermatitis akut
Pada kasus berat, dengan eritema, edema, bula atau eksudasi dapat
diberikan prednison 1 mg/kg/hari yang di tapering off dalam 2-3 minggu.
Umumnya dermatitis dapat terkontrol dengan risiko rebound yang
minimal.5
b.Dermatitis kronik dengan eksaserbasi akut
Pada dermatitis atopik atau dermatitis numularis dengan eksaserbasi akut,
dapat dilakukan cara yang sama, tetapi hendaknya dihindari penggunaan
kortikosteroid sebagai maintenance mengingat efek sampingnya.5
c. Urtikaria dan angioedema
Obat pilihan untuk urtikaria adalah antihistamin. Kortikosteroid sistemik
hanya digunakan pada kasus berat (melibatkan >50% luas permukaan
tubuh), bila terdapat angioedema atau keterlibatan sistemik, atau pada
kasus yang refrakter terhadap antihistamin. Pada keadaan ini,
kortikosteroid diberikan dengan dosis setara prednison 20-30 mg/hari
untuk waktu singkat.5
d.Erupsi obat alergik (EOA)
Yang terpenting dalam mengatasi EOA adalah menghentikan penggunaan
obat yang diduga merupakan penyebab. Pengobatan lain bergantung pada
keparahan dan jenis erupsi.5
Pasien eritroderma, perlu diberikan kortikosteroid sistemik dengan dosis
40-60 mg/hari dan pasien sebaiknya dirawat di Rumah Sakit. Segera
20
setelah keadaan eritroderma dapat diatasi, dilakukan penurunan bertahap
dosis kortikosteroid secara cepat (misalnya turun 5 mg setiap hari).5
Eritema multiforme (EM), sindrom Steven Johnson (SSJ) dan nekrolisis
epidermal toksik (NET), dianggap berada dalam satu spektrum penyakit,
dengan EM sebagai bentuk yang paling ringan yang melibatkan kulit tanpa
skin detachment dan satu lokasi mukosa. Bila skin detachment terjadi pada
<10% luas permukaan badan, dan biasanya terdapat keterlibatan 2 lokasi
mukosa, diagnosisnya adalah SSJ. Diagnosis NET dibuat bila skin
detachment>30%, sedangkan bila skin detachment 10-30%, keadaan
tersebut dianggap sebagai overlapping SSJ-NET.5
Sampai tahun 70-an kortikosteroid sistemik merupakan obat pilihan untuk
EOA jenis ini. Namun kemudian terbukti bahwa kortikosteroid sistemik
tidak memperpendek perjalanan penyakit, maupun masa perawatan,
bahkan meningkatkan kematian akibat perdarahan dan sepsis. Sampai saat
ini, peran kortikosteroid sistemik masih sangat kontroversial.
Kortikosteroid sistemik merupakan obat pilihan untuk SSJ dan NET
karena merupakan tindakan live saving. Sebagai dosis awal diberikan
deksametason IV 4-6 x 5 mg/hari sampai masa krisis teratasi, keadaan
umum mulai membaik, tidak timbul lesi baru dan lesi lama mengalami
involusi. Kemudian kortikosteroid diturunkan secara cepat, setiap hari
deksametason diturunkan 5 mg dan setelah mencapai dosis 5 mg/hari,
dapat dipakai preparat oral misalnya prednison.5
Pada EM, sebaiknya juga diberikan kortikosteroid sistemik dengan dosis
20-40 mg/hari, untuk mengantisipasi kemungkinan berlanjutnya penyakit
menjadi SSJ atau NET.5
Erupsi makulopapular/morbiliformis/eksatematosa merupakan EOA yang
sulit dibedakan dengan viral exhantem. Biasanya keadaan akan membaik
dalam beberapa hari setelah obat penyebab dihentikan pengunaannya.
Pada keadaan berat dengan lesi yang luas dan rasa gatal yang hebat, dapat
diberikan kortikosteroid sistemik 15-20 mg/hari dalam waktu singkat.5
21
Eksantema fikstum (fixed drug eruption) umumnya akan mereda dalam
waktu 1 minggu setelah penghentian obat, sehingga tidak memerlukan
pengobatan sistemik maupun topikal. Hiperpigmentasi akan menetap
untuk waktu yang lama bahkan sampai bertahun. Pada kasus yang berat
yang disertai pembentukan bula dan generalisata, diperlukan pengobatan
kortikosteroid sistemik maupun topikal, misalnya dengan prednison 20-40
mg/hari dalam waktu singkat.5
Kasus-kasus penyakit kulit lain yang memerlukan pengobatan
kortikosteroid sistemik adalah pemfigus dan pemfigoid bulosa, herpes
gestasionis, chronis bullous disease of childhood, sindrom Sweet,
vaskulitis, liken planus, hemangioma infantil, pioderma gangrenosum,
dermatomiosistis, penyakit Bechet dan lupus eritematosus sistemik. Pada
kasus-kasus tersebut kortikosteroid sistemik biasanya digunakan dalam
dosis tinggi dan untuk waktu yang cukup lama.5
2.9Kontra Indikasi
Penggunaan kortikosteroid sistemik harus sangat berhati-hati pada pasien
dengan tukak lambung, penyakit jantung atau hipertensi dengan congestive heart
failure, infeksi, psikosis, diabetes, osteoporosis, galukoma dan infeksi herpes
simpleks. Pasien yang menggunakan obat ini, harus dipantau secara cermat untuk
mencari tanda-tanda hiperglikemia, glikosuria, retensi natrium dengan edema atau
hipertensi, hipokalemia, ulkus peptikum, osteoporosis dan infeksi yang
tersembunyi. Dosis harus diusahakan serendah mungkin dan pemberian
intermitten sangat dianjurkan bila hasil terapeutik yang memuaskan dapat
dicapai.5
Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan
relatif. Pada kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada
keadaan infeksi jamur yang sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas
biasanya kortikotropin dan preparat intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif
kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai life saving drugs.
Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan
22
hipertensi, tuberculosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa,
positive purified derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptik,
katarak, osteoporosis, kehamilan.5
2.10 Efek Samping
Tidak ada cara pemberian kortikosteroid sistemik yang aman dari efek
samping. Efek samping kortikosteroid sangat beragam mulai dari yang ringan
misalnya jerawat sampai yang mengancam jiwa misalnya osteonekrosis atau syok
septik. Secara umum, efek samping yang timbul berhubungan dengan dosis.
Makin besar dosis awal, dosis kumulatif dan lama penggunaan, maka makin besar
kemungkinan timbulnya efek samping.2
Tabel 2.5 Efek samping kortikosteroid sistemik secara umumTempat Macam efek samping
1. Saluran cerna
2. Otot3. Susunan saraf
pusat
4. Tulang
5. Kulit
6. Mata7. Darah8. Pembuluh darah9. Kelenjar adrenal
bagian korteks10. Metabolisme
protein, KH dan lemak
11. Elektrolit
12. Sistem immunitas
Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang panjang.Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis akneiformis, purpura, telangiektasis.Glaukoma dan katarak subkapsular posteriorKenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfositKenaikan tekanan darahAtrofi, tidak bisa melawan stres
Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.
Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia kor)Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes simplek, keganasan dapat timbul.
Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita saat
manopause. Efek samping lain ialah sindrom Cushing yang terdiri atas muka
23
bulan, buffalo hump, penebalan lemak supraklavikula, obesitas sentral, strie
atrofise, purpura, dermatosis akneformis dan hirsutisme. Selain itu, juga gangguan
menstruasi, nyeri kepala, pseudotumor serebri, impotensi, hiperhidrosis, flushing,
vertigo, hepatomegali dan keadaan aterosklerosis dipercepat. Pada anak
memperlambat pertumbuhan.2
Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik
Jika kortikosteroid sistemik telah digunakan selama satu bulan atau
kurang, efek samping yang serius jarang terjadi. Namun efek samping yang
mungkin timbul adalah sebagai berikut:7
Gangguan tidur
Meningkatkan nafsu makan
Meningkatkan berat badan
Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energi.
Efek yang jarang terjadi namun memerlukan perhatian adalah mania,
masalah kejiwaan, jantung, ulkus peptikum dan diabetes.7
Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama
1. Suppression of The Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis (Withdrawal of
Therapy)
Terjadi melalui mekanisme supresi dari hipotalamus-hipofisis-adrenal
axis yang terjadi secara cepat setelah pemberian terapi kortikosteroid. Bila terapi
diberikan antara 1-3 minggu, pemulihan dari HPA axis berlangsung cepat.
Pemakaian kortikosteroid dalam jangka lama akan berdampak pada supresi HPA
axis yang dapat bertahan sampai 1 tahun setelah terapi dihentikan. Gejala supresi
adrenal antara lain letargi, lemah, mual, tidak nafsu makan, demam, orthostatic
hypotension, hipoglikemi dan penurunan berat badan.6
Pemberian kortikosteroid jangka lama (>3 minggu) yang dihentikan
secara mendadak dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut (krisis adrenal).
Insufisensi adrenal akut sebaiknya dibedakan dari Addison disease, dimana pada
Addison disease terjadi destruksi adrenokorteks oleh bermacam penyebab
(mis.autoimun, granulomatosa, keganasan dll). Insufisiensi adrenal akut terjadi
akibat penekanan sumbu hipothalamus-hipofisis-adrenal oleh kortikosteroid
24
eksogen, sehingga kelenjar adrenal kurang memproduksi kortikosteroid endogen.
Pada saat kortikosteroid eksogen dihentikan, terjadilah kekurangan kortikosteroid
(endogen). Dapat terjadi kehilangan ion Na+dan shock, terkait aktivitas
mineralokortikoid yang ikut berkurang. Gejala yang timbul antara lain penurunan
nafsu makan, gangguan saluran cerna, dehidrasi, rasa lemah, hipotensi, demam,
penurunan berat badan, deskuamasi kulit, sakit kepala dan yang lebih jarang
mialgia dan arthralgia. Hal ini diatasi dengan pemberian hidrokortison, disertai
asupan air, Na+, Cl-, dan glukosa secepatnya. Dapat juga dilakukan dengan
tappering off secara perlahan, biasanya dengan pemberian prednison 1 mg setiap
minggu.Untuk menghindari insufisiensi adrenal maka penghentian penggunaan
kortikosteroid harus secara perlahan/bertahap.6
2. Perubahan Metabolik
Karena kortikosteroid (glukokortikoid) berperan dalam memetabolisme
glukosa yaitu melalui peningkatan glukoneogenesis dan aktivitas enzim glukosa-
6-pospat, maka akan timbul gejala berupa peninggian kadar glukosa dalam darah
sehingga terjadi hiperglikemia dan glikosuria. Dapat juga terjadi resistensi insulin
dan gangguan toleransi glukosa, sehingga menyebabkan diabetes steroid (steroid-
induced diabetes).8
3. Respon Imun
Kortikosteroid menyebabkan hipersensitifitas tipe lambat dikarenakan
aktifitasnya menghambat limfosit dan monosit.6
Kortikosteroid selain memiliki efek metabolik juga memiliki efek
antiinflamasi. Efek antiinflamasi ini terjadi melalui mekanisme penekanan
aktifitas fosfolipase sehingga mencegah pembentukan prostaglandin, prostasiklin,
tromboksan dan leukotrien. Penekanan sistem imun ini bermanfaat untuk
menghentikan reaksi peradangan, namun dapat memudahkan pasien terkena
infeksi. Oleh karena itu, pada pemberian kortikosteroid sebagai antiinflamatik
sebaiknya disertakan dengan pemberian antibiotik/antifungal untuk mencegah
infeksi.9
4. Ulkus Peptikum
25
Tukak lambung merupakan komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada
pengobatan dengan kortikosteroid. Sebab itu bila ada kecurigaan dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan radiologi terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat
diberikan. Pemberian dosis besar sebaiknya dilakukan pada waktu lambung berisi,
dan di antara waktu makan diberikan antasida (bila perlu). Perforasi yang terjadi
sewaktu terapi kortikosteroid dosis besar sangat berbahaya karena dapat
berlangsung dengan gejala klinis minimal.9
Pada penelitian case-control yang dilakukan Sonia H, dkk di Inggris
antara tahun 1993 sampai dengan tahun 1998 didapatkan bahwa penggunaan
streroid meningkatkan risiko terkena perdarahan gastrointestinal bagian atas
sebesar 1.8 kali dibandigkan yang tidak mengkonsumsi streroid. Risko ini juga
akan bertambah berat jika pemakaian streroid diikuti dengan pemakain NSAID
(Diaz dan Luis, 2005).
Sedangkan hasil penelitian prospektif yang dilakukan oleh Jiing-Chyuan
Luo, dkk pada 67 penderita SLE yang mendapatkan pengobatan terapi
kortikosteroid, didapatkan bahwa pengunaan steroid dosis tinggi de novo tidak
memicu terjadinya ulkus gaster pada pasien-pasien SLE. Akan tetapi, penggunaan
Aspirin disertai terapi denyut metylprednisolon meningkatkan terjadinya ulkus
gaster. Kortikosteroid meningkatkan sekresi dari asam lambung, mengurangi
mukus, hiperplasia gastrin dan sel parietal.10
5. Miopati
Katabolisme protein akibat penggunaan kortikosteroid yang dapat
menyebabkan berkurangnya massa otot, sehingga menimbulkan kelemahan dan
miopatik. Miopatik biasanya terjadi pada otot proksimal lengan dan tungkai, bahu
dan pelvis dan pada pengobatan dengan dosis besar. Miopatik merupakan
komplikasi berat dan obat harus segera dihentikan.6
Pada miopati yang paling berperan adalah menghambat uptake dari
glukosa pada otot skeletal. Kortikosteroid juga diduga berperan dalam pemecahan
dari protein otot. Hal ini secara langsung disebabkan oleh degredasi protein dan
inhibisi sintesis sintesis protein.8
6. Perubahan Tingkah Laku
26
Psikosis merupakan komplikasi berbahaya dan sering terjadi.
Kemungkinan hal ini terjadi karena adanya gangguan keseimbangan elektrolit
dalam otak, sehingga mempengaruhi kepekaan otak. Berbagai bentuk gangguan
jiwa dapat muncul, antara lain: nervositas, insomnia, psikopatik, skizofrenik,
kecenderungan bunuh diri. Gangguan jiwa akibat penggunaan hormon ini dapat
hilang segera atau dalam beberapa bulan setelah obat dihentikan.8
7. Glaukoma (steroid-induced glaucoma) dan Katarak
Patofisiologi glaukoma akibat kortikosteroid belum diketahui dengan
baik. Diduga terdapat defek berupa peningkatan akumulasi glikosaminoglikan
atau peningkatan aktivitas respons protein trabecular-meshwork inducible
glucocorticoid (TIGR) sehingga menyebabkan obstruksi cairan. Selain itu bukti
lain mengisyaratkan terjadi perubahan sitoskeleton yang menghambat pinositosis
aqueous humor atau menghambat pembersihan glikosaminoglikans dan
menyebabkan akumulasi.9
Kortikosteroid oral diduga meningkatkan resistensi aliran aquos humor
yang berpotensi meningkatkan tekanan intraokular, hal inilah yang mencetuskan
terjadinya glaukoma. Disisi lain, pengobatan Kortikosteroid juga berpotensi
meningkatkan opasififikasi dari kristalin lensa sehingga meningkatkan
pembentukan katarak.8
8. Osteoporosis
Osteoporosis terjadi pada 40% individu yang mendapatkan pengobatan
kortikosteroid sistemik, khususnya pada anak-anak, remaja, dan wanita post-
menopause. Sekitar 1 dari 3 pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid selama 5
sampai 10 tahun mengalami fraktur vertebrata dan meningkat pada wanita post-
menopause. Bone-lose terjadi secara cepat pada 6 bulan pertamapenggunaan
kortikosteroid dan terus berlanjut dengan kecepatan yang lebih lambat, dengan
kehilangan sebesar 3-10% pertahun. Studi terbaru menunjukkan bahwa risiko
untuk fraktur meningkat sekalipun menggunakan dosis rendah prednison (2,5
mg/hari).6
Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca2+ dalam darah dengan cara
menghambat pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama malah
27
menghambat pembentukan tulang (sintesis protein di osteoblast) dan
meningkatkan resorpsi sehingga memicu terjadinya osteoporosis. Selain itu juga
menurunkan absorpsi Ca2+ dan PO43- dari intestinal dan meningkatkan ekskresinya
melalui ginjal, sehingga secara tidak langsung akan mengaktifkan PTH yang
menyebabkan resorpsi. Salah satu komplikasinya adalah fraktur vertebra akibat
osteoporosis dan kompresi.9
9. Osteonekrosis.
Osteonekrosis atau Avaskular Nekrosis(AVN) adalah manifestasi dari
nyeri serta keterbatasan dari satu atau lebih sendi. Hal ini menyebabkan hipertensi
interosseous yang mengakibatkan iskemia tulang dan nekrosis. Pada pemakaian
kortikosteroid terjadi hipertropi liposit pada interosseous, sehingga terjadi
hipertensi, selain itu kortikosteroid juga memicu apoptosis dari osteoblast yang
turut berperan sebagaia penyebab AVN.11
Kortikosteroid bisa memepengaruhi metabolisme dari osteoblast,
osteoclast, stromal cell sumsum tulang dan sel adiposa. Hal ini terjadi melalui
mekanisme pengaktifan dan penghambatan dari regulator yang berhubungan
dengan adipognesis dan osteogenesis. Hal ini mengakibatkan jumlah serta ukuran
stem-cell adiposit akan meningkat drastis, sebaliknya akan terjadi penurunan dari
osteoblast sel-sel tulang, secara bersamaan aktivitas dari osteoclast juga terjadi,
semua hal ini menginduksi untuk terjadi osteonekrosis.11
10. Regulation of Growth
Pada anak-anak penggunaan kortikosteroid dapat menyebabkan
pertumbuhan terhambat. Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin,
yang menghambat growth hormone. Selain itu kortikosteroid menyebabkan
kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya terjadi sekresi PTH yang meningkatkan
aktivitas osteoklast meresorpsi tulang. Kortikosteroid juga menghambat hormon-
hormon gonad, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan proses penulangan
sehingga menghambat pertumbuhan.9
11. Endokrin
Salah satu efek samping kortikosteroid adalah gangguan endokrin.
Kortikosteroid menyebabkan penurunan produksi insulin oleh sel beta dan
28
resistensi insulin. Hal ini mengakibatkan perubahan pada metabolisme glukosa
pada tubuh. Kekurangan produksi insulin serta resistensi mengakibatkan tingginya
kadar glukosa dalam darah.8
12. Kardiovaskular
Penggunaan Kortikosteroid jangka panjang dapat meyebabkan hipertensi
dengan dua mekanisme kerja. Pertama melalui jalur retensi sodium sehingga
meningkatkan volume plasma. Jalur kedua melaui respon vasopresor terhadap
angitensin II dan katekolamin.12
Penggunaan kortikosteroid berperan dalam berbagai faktor risiko yang
berhubungan dengan aterosklerosis diantaranya hipertensi arterial, resistensi
insulin, intoleransi glukosa, hiperlipidemia dan obesitas sentral. Oleh karena
itu,tidak mengherankan bila konsumsi kortikosteroid meningkatkan risiko
terjadinya aterosklerosis. Faktor risiko terjadinya aterosklerosis bertahan sampai 5
tahun setelah tercapainya kadar serum kortisol normal pada pasien dengan
Cushing disease, dimana hal yang sama juga didapatkan pada pasien yang diterapi
dengan kortikosteroid.6
13. Kulit
Penggunaan kortikosteroid topikal juga dapat menyebabkan beberapa
efek samping seperti, striae, telangiektasis, eritema, perioral dan peroocular
acneform. Penggunaan kortikosteroid topikal dapat menfasilitasi proliferasi dari
dari Propionibacterium acnes, hal inilah yang berperan dalam pembentukan
timbulnya acne Rosaea. Selain itu, supresi terhadap sistem imun lokal kulit juga
dapat memicu timbulnya pertumbuhan dari jamur.13
29
BAB III
KESIMPULAN
Kortikosteroid merupakan pengobatan yang paling sering diberikan
kepada pasien.Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid yang
dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Kortikosteroid terbagi kepada dua golongan
utama yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Sejak digunakan pertama kali, kortikosteroid memberikan banyak
manfaat dalam pengobatan berbagai macam penyakit. Namun disamping memberi
manfaat, kortikosteroid juga memberikan banyak efek samping mulai dari yang
ringan sampai yang berat. Kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang
ataupun dalam dosis tinggi dapat memicu berbagai macam efek samping. Hal ini
sesuai dengan mekanisme kerja dari steroid itu sendri. Efek samping yang
ditimbulkan dalam pemakaian steroid dapat berpengaruh terhadap berbagai organ
maupun sistem organ dalam tubuh. Sebagai contoh beberapa efek samping yang
dapat terjadi misalnya gangguan tingkah laku, katarak, glaukoma, tukak lambung,
osteoporosis, avaskular nekrosis, aterosklerosis, hipertensi serta berbagai efek
samping lainnya yang berhubungan dengan mekanisme kerja kortikosteroid.
Diperlukan pengetahuan yang baik bagi seorang dokter mengenai
mekanisme kerja, farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi, dosis, cara
30
pemberian dan yang tidak kalah pentingnya pengetahuan mengenai efek samping
obat yang ditimbulkan kortikosteroid, untuk dapat menggunakan kortikosteroid
secara rasional dan efektif serta mencegah semaksimal mungkin efek samping
yang ditimbulkan.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton, A.C., John, E.H. 2006. Hormon Adrenokortikal Dalam Buku Ajar
Fisisologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
2. Djuanda, A. 2013. Pengobatan dengan Kortikosteroid Sistemik dalam
Bidang Dermatovenereologi. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
3. Katzung, B.G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba
Medika
4. Gunawan, S.G. 2011. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI
5. Effendi, E.H. KONAS PERDOSKI: Penggunaan Kortikosteroid Sistemik
Dalam Dermatologi. 2005: Hal. 44-50.
6. Werth, V.P. 2008. Systemic Therapy In: Wolff, K., Goldsmith, L., Kath,
S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Jeffell, D.J., Editors. Fitzpatrick's
Dermatology In General Medicine. 7th Ed. New York: The McGraw-Hill
Companies Inc.; p.2147-2153
7. Abidin Taufik. Oral Corticosteroid. 2009. Diunduh dari
http://www.scribd.com/doc/13461798/Oral-Kortikosteroid
8. Aulakh, R., Surjit, S. 2008. Strategies For Minimizing Corticosteroid
Toxicity: A Review. Indian J Pediatr; 75(10): p.1067-107 Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19023531 (Accessed: August 7th,
2015)
9. Schimer, B.P. 2006. Adrenocorticotropic Hormone ; Adrenal Steroid And
Their Syntetic. In: Brunton, L.L., John, S.L., Keith, L.P., Editors.
Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis Of Therapeutic. 11th
Ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc.
10. Luo J.C., et al. 2009. Gastric Mucosal Injury In Systemic Lupus
Erythematosus Patients Receiving Pulse Metylprednisolone Therapy. Br J
Clin Pharmacol; 68(2): p.252-259 Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19694746 (Accessed: August 7th,
2015)
32
11. Gang, T., Kang, P., Pei, F.X. 2012. Glucocorticoid Effect The Metabolism
Of Bone Marrow Stromal Cells And Lead To Osteonecrosis Of The
Femoral Head: A Review. Chin Med J.; 125(1): p.134-139 Available
From: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22340480 (Accessed: August
7th, 2015)
12. Rhen, T., John, A.C. 2005. Antiinflamatory Action of Glucocorticoid:
Molecular Mechanism. N Engl J Med.; 353: p.1711-23 Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9854452 (Accessed: August 7th,
2015)
13. Fisher, D.A. 1995. Adverse Effect of Topical Corticosteroid Use. West J
Med.; 162: p.123-126 Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1022645/(Accessed:
August 7th, 2015)
33