referat insomnia baru

45
BAB I PENDAHULUAN Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu (Kaplan & Sadock, 2010). Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup (American Academy of Sleep Medicine, 2005). Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup mereka. Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami insomnia. Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam beberapa kasus, insomnia

Upload: lailashiva

Post on 04-Sep-2015

22 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

insomnia jiwa

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu (Kaplan & Sadock, 2010). Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup (American Academy of Sleep Medicine, 2005). Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup mereka. Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami insomnia.

Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru atau serupa muncul dalam kehidupan pasien (Zeidler, 2011).

Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti kematian atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien dengan predisposisi yang mendasari untuk insomnia (Zeidler, 2011).

Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih, dengan konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan fisiologis hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak mendapatkan tidur cukup, pasien dengan insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur bahkan untuk tidur siang.

Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti berkurangnya kualitas hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien dengan kondisi seperti diabetes, arthritis, dan penyakit jantung. Kualitas hidup meningkat dengan pengobatan tetapi masih tidak mencapai tingkat yang terlihat pada populasi umum. Selain itu, insomnia kronis dikaitkan dengan terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial.

Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya menjadi prediksi sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan, ketergantungan alkohol, ketergantungan obat, dan bunuh diri.

Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi medis atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi pasien mereka (Tomb, 2004),

BAB II

ISI

2.1. Fisiologi Tidur

Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama sirkadian (Tomb, 2004).

Tidur tidak dapat diartikan sebagai meanifestasi proses deaktivasi sistem Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi.

Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep center). Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal center).

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:

1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)

2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.

Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat stadium, antara lain:

Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7 siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.

Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan dengan mudah.

Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.

Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS)

Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-bagi dalam stadium seperti dalm tidur NREM (Tomb, 2004).

Pola siklus tidur dan bangun adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan gelap dan terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan mempengaruhi suatu bagian di hipotalamus yang disebut nucleus supra chiasmatic (NSC). NSC akan mengeluarkan neurotransmiter yang mempengaruhi pengeluaran berbagai hormon pengatur temperatur badan, kortisol, growth hormone, dan lain-lain yang memegang peranan untuk bangun tidur. NSC bekerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun tidur. Jika pagi hari cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan temperatur badan, kortisol dan GH sehingga orang terbangun. Jila malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur. Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal. Saat hari mulai gelap, melatonin dikeluarkan dalam darah dan akan mempengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan temperatur badan dan kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9 malam, terus meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi (Sudoyo, 2007).

Fisiologi tidur dapat diterangkan melalui gambaran aktivitas sel-sel otak selama tidur. Aktivitas tersebut dapat direkam dalam alat EEG. Untuk merekam tidur, cara yang dipakai adalah dengan EEG Polygraphy. Dengan cara ini kita tidak saja merekam gambaran aktivitas sel otak (EEG), tetapi juga merekam gerak bola mata (EOG) dan tonus otot (EMG). Untuk EEG, elektroda hanya ditempatkan pada dua daerah saja, yakni daerah frontosentral dan oksipital. Gelombang Alfa paling jelas terlihat di daerah frontal. dapatkan 4 jenis gelombang, yaitu:

Gelombang Alfa, dengan frekuensi 8 - 12 Hz, dan amplitude gelombang antara 10 - 15 mV. Gambaran gelombang alfa yang terjelas didapat pada daerah oksipital atau parietal. Pada keadaan mata tertutup dan relaks, gelombang Alfa akan muncul, dan akan menghilang sesaat kita membuka mata. Pada keadaan mengantuk (drowsy) didapatkan gambaran yang jelas yaitu kumparan tidur yang berupa gambaran waxing dan gelombang Alfa.

Gelombang Beta, dengan frekuensi 14 Hz atau lebih, dan amplitude gelombang kecil, rata-rata 25 mV. Gambaran gelombang Beta yang terjelas didapat pada daerah frontal. Gelombang ini merupakan gelombang dominan pada keadaan jaga terutama bila mata terbuka. Pada keadaan tidur REM juga muncul gelombang Beta.

Gelombang Teta, dengan frekuensi antara 4 - 7 Hz, dengan amplitudo gelombang bervariasi dan lokalisasi juga bervariasi. Gelombang Teta dengan amplitudo rendah tampak pada keadaan jaga pada anak-anak sampai usia 25 tahun dan usia lanjut diatas 60 tahun. Pada keadaan normal orang dewasa, gelombang teta muncul pada keadaan tidur (stadium 1, 2, 3, 4).

Gelombang Delta, dengan frekuensi antara 0 - 3 Hz, dengan amplitudo serta lokalisasi bervariasi. Pada keadaan normal, gelombang Delta muncul pada keadaan tidur (stadium 2, 3, 4). Dengan demikian stadium-stadium tidur ditentukan oleh persentase dan keempat gelombang ini dalam proporsi tertentu. Selain itu juga ditunjang oleh gambaran dari EOG dan EMG nya (Iskandar, 1985).

Gelombang Otak dan Hipnosis

Jaringan otak manusia hidup menghasilkan gelombang listrik yang berfluktuasi. Gelombang listrik inilah disebut brainwave atau gelombang otak. Dalam satu waktu, otak manusia menghasilkan berbagai gelombang otak secara bersamaan. Empat gelombang otak yang diproduksi oleh otak manusia yaitu beta, alpha, tetha, delta. Akan tetapi, selalu ada jenis gelombang otak yang paling dominan, yang menandakan aktivitas otak saat itu. Gelombang otak menandakan aktifitas pikiran seseorang.

Gelombang otak diukur dengan alat yang dinamakan Electro Encephalograph (EEG). EEG ditemukan pada tahun 1929 oleh psikiater Jerman, Hans Berger. Sampai saat ini, EEG adalah alat yang sering diandalkan para peneliti yang ingin mengetahui aktivitas pikiran seseorang.

Beta, frekuensi 12 - 25 Hz.

Dominan pada saat kita dalam kondisi terjaga, menjalani aktifitas sehari-hari yang menuntut logika atau analisa tinggi, misalnya mengerjakan soal matematika, berdebat, olah raga, dan memikirkan hal-hal yang rumit. Gelombang beta memungkinkan seseorang memikirkan sampai 9 obyek secara bersamaan.

Alpha, frekuensi 8 - 12 Hz.

Dominan pada saat tubuh dan pikiran rileks dan tetap waspada. Misalnya ketika kita sedang membaca, menulis, berdoa dan ketika kita fokus pada suatu obyek. Gelombang alpha berfungsi sebagai penghubung pikiran sadar dan bawah sadar. Alfa juga menandakan bahwa seseorang dalam kondisi light trance atau kondisi hypnosis yang ringan.

Theta, frekuensi 4 - 8 HzDominan saat kita dalam kondisi hypnosis, meditasi dalam, hampir tidur, atau tidur disertai mimpi. Frekuensi ini menandakan aktivitas pikiran bawah sadar.

Delta, frekuensi 0,1 - 4 Hz.Dominan saat tidur lelap tanpa mimpi.

Penemuan alat untuk mengukur gelombang otak berpengaruh positif terhadap perkembangan hypnosis. Hypnosis yang semula dianggap sebagai hal yang misterius, menakutkan, dan dianggap fenomena supranatural, sekarang sudah diterima secara ilmiah sebagai kondisi alami manusia.

Telah dilakukan penelitian pada sejumlah subjek dan diperoleh hasil bahwa subyek yang sedang dalam kondisi hypnosis, gelombang otaknya antara alpha dan theta. Dalam kondisi terjaga, gelombang otak subyek umumnya adalah beta. Begitu dilakukan induksi, maka gelombang otak subyek secara cepat turun ke alpha, dan setelah dilakukan teknik deepening, otak subyek menunjukkan gelombang theta. Diyakini oleh para ilmuan bahwa apabila otak memproduksi gelombang otak theta yang dominan, maka sedang terjadi aktifitas pikiran bawah sadar.

Secara alami seseorang memasuki kondisi alpha dan theta setiap akan tidur dan bangun tidur. Ketika seseorang sudah merasa sangat rileks, tenang, dan hampir tertidur, tapi seseorang masih menyadari keberadaannya, maka seperti itulah kondisi hypnosis. Ketika seseorang terjaga dari tidur, dan masih malas untuk beranjak dari tempat tidur karena masih ingin melanjutkan tidur lagi, maka seperti itulah kondisi hypnosis.

Bedanya ketika seseorang akan tidur yaitu anda hanya mengalami kondisi alpha-theta dalam beberapa menit saja, kemudian gelombang otak turun ke delta (tanda bahwa tubuh dan pikiran anda beristirahat total). Sedangkan dalam kondisi hypnosis, seseorang bisa mengalami kondisi trance (gelombang otak alpha-theta) dalam waktu yang lama.

Orang yang bermeditasi, berdoa dengan khusyuk, terpana melihat sesuatu, terhanyut membaca novel atau suatu cerita, melamun dan semacamnya juga menghasilkan gelombang otak alpha sampai theta.

Dengan mengetahui bahwa kondisi hypnosis adalah kondisi yang alami bagi manusia, maka tidak perlu ada ketakutan lagi bahwa hypnosis itu berbahaya. Kecurigaan bahwa ada unsur magic/sihir/paranormal dalam hypnosis sudah lenyap sejak diketahui bahwa hypnosis itu fenomena mental yang alami.

2.2. Definisi Insomnia

Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi individu. The International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.

2.3 Klasifikasi Insomnia

Insomnia Primer

Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia primer ini.

Insomnia Sekunder

Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.

Menurut Frances dkk (2005) insomnia digolongkan menjadi 3, meliputi :

1. Transient insomnia, yaitu jenis insomnia yang hanya terjadi pada malam saja (cepat berlalu)

2. Insomnia jangka pendek ( short term insomnia), yaitu jenis insomnia yang berlangsung hanya beberapa minggu saja dan akan kembali seperti semula

3. Insomnia kronis, yaitu jenis insomnia yang berupa gangguan tidur dan berlangsung lebih dari 3 minggu.

Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu International code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders (ISD).

Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:

Organik

Non organik

Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)

Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpu buruk, berjalan sambil tidur, dll)

Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.

Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:

1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain

2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum

3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu

4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap dan diderita minimal 1 bulan.

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi, insomnia diklasifikasikan menjadi:

a. Acute insomnia

b. Psychophysiologic insomnia

c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)

d. Idiopathic insomnia

e. Insomnia due to mental disorder

f. Inadequate sleep hygiene]

g. Behavioral insomnia of childhood\

h. Insomnia due to drug or substance

i. Insomnia due to medical condition\

j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition, unspecified (nonorganic)

k. Physiologic insomnia, unspecified (organic) (Gelder, 2003).

2.4. Etiologi Insomnia

Menurut sebuah riset yang dilakukan oleh dr. Tom roth, insomnia merupakan suatu kelainan hyperarousal yang timbul 24 jam setiap harinya yang dapat disebabkan oleh 3 hal, yaitu hiperaktivasi dari neurophysiologi dari nervus simpatis, perubahan regulasi dari neuroendokrin yang mempengaruhi arousal, kognitive atau kebiasaan seseorang yang berhubungan langsung dengan tidur ( Tom, R Phd, 2013)

Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.

Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.

Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.

Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.

Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.

Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.

'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau membaca (Zeidler, 2011).

2.5 Faktor Resiko Insomnia

Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko insomnia meningkat jika terjadi pada:

Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur.

Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat sejalan dengan usia.

Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu tidur.

Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya insomnia.

Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari sering meningkatkan resiko insomnia (Tomb, 2004).

2.6 Tanda dan Gejala Insomnia

Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari

Sering terbangun pada malam hari

Bangun tidur terlalu awal

Kelelahan atau mengantuk pada siang hari

Iritabilitas, depresi atau kecemasan

Konsentrasi dan perhatian berkurang

Peningkatan kesalahan dan kecelakaan

Ketegangan dan sakit kepala

Gejala gastrointestinal (Maslim, 2001).

2.7 Diagnosis

Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:

Pola tidur penderita.

Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.

Tingkatan stres psikis.

Riwayat medis.

Aktivitas fisik

Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.

Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan pola tidur dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian kuisioner, untuk mencapai tujuan yang sama Anda bisa mencatat waktu tidur Anda selama 2 minggu.

Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu permasalahan yang bisa menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan untuk menemukan masalah pada tyroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan insomnia.

Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan mata, dan gerakan tubuh.

Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ

Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:

a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk

b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan

c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari

d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan

Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.

Kriteria lama tidur (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada transient insomnia) tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2) (Maslim, 2001).

2.8 Tatalaksana

1. Non Farmakoterapi

a. Terapi Tingkah Laku (cognitive behavioral theraphy).

Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita insomnia.

Terapi tingkah laku meliputi

Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.

Teknik Relaksasi.

Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback, dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.

Terapi kognitif.

Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka atau dalam grup.

Restriksi Tidur.

Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.

Kontrol stimulus

Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas.

Instruksi dalam terapi stimulus-kontrol:

1. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca, menonton televisi, makan atau bekerja.

2. Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam waktu 20 menit di tempat tidur seseorang tidak juga bisa tidur, tinggalkan tempat tidur dan pergi ke ruangan lain dan melakukan hal-hal yang membuat santai. Hindari menonton televisi. Bila sudah merasa mengantuk kembali ke tempat tidur, namun bila alam 20 menit di tempat tidur tidak juga dapat tidur, kembali lakukan hal yang membuat santai, dapat berulang dilakukan sampat seseorang dapat tidur.

3. Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan berapa lama tidur pada malam sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal tidur-bangun (kontrol waktu).

4. Tidur siang harus dihindari. (Hazzard, 2009).

b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur

Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.

Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.

Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.

Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan pernapasan atau beribadah

Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur pada malam hari.

Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti menghindari kebisingan

Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.

Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin

Menghindari makan besar sebelum tidur

Cek kesehatan secara rutin

Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik (Sudoyo, 2007).

2. Farmakologi

Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine.

a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)

b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :

Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep inducing anti-insomnia yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting)

Misalnya pada gangguan anxietas

Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke proses tidur selanjutnya)

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Prolong latent phase Anti-Insomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik)

Misalnya pada gangguan depresi

Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep Maintining Anti-Insomnia, yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting).

Misalnya pada gangguan stres psikososial.

Pengaturan Dosis

Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.

Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)

Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi

Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut

Lama Pemberian

Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan Sleep EEG yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.

Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena Psychological Dependence (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.

Efek Samping

Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur

Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia (waktu paruh) :

Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam) ( gejala rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik

Waktu paruh sedang, seperti Estazolam ( gejala rebound lebih ringan

Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam ( menimbulkan gejala hang over pada pagi harinya dan juga intensifying daytime sleepiness

Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi disinhibiting effect yang menyebabkan rage reaction

Interaksi obat

Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan oversedation and respiratory failure

Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal enzyme atau produce protein binding displacement sehingga jarang menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.

Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau CNS Depressant lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus

Kontraindikasi :

Sleep apneu syndrome

Congestive Heart Failure

Chronic Respiratory Disease

Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan teratogenic effect (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)

2.9 Komplikasi

Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur. Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

Komplikasi insomnia meliputi

Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.

Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi kecelakaan.

Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi

Kelebihan berat badan atau kegemukan

Daya tahan tubuh yang rendah

Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

2.10 Prognosis

Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan lain spt depresi dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Insomnia merupalan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia merupakan gangguan fisiologis yang cukup serius, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat mempengaruhi kinerja dan kehidupan sehari-hari.

Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan berlebihan, pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan kondisi medis. Insomnia didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola tidur penderita, pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres psikis, riwayat medis, aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur secara individual.

Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non farmakologi, bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk mengatasi insomnia dapat berupa golongan benzodiazepin (Nitrazepam, Trizolam, dan Estazolam), dan non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital). Tatalaksana insomnia secara non farmakologis dapat berupa terapi tingkah laku dan pengaturan gaya hidup dan pengobatan di rumah seperti mengatur jadwal tidur.

3.2. Saran

Karena kurangnya data mengenai epidemiologi insomnia di Indonesia, maka diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran insomnia di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International Classification of Sleep Disorders. American Academy of Sleep Medicine Diagnostic and Coding Manual . Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. 2. Westchester, Ill: American Academy of Sleep Medicine; 2005:1-32.

Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry. London: Oxford University Press

Hazzard. 2009. Hazzards Geriatric Medicine and Gerontology 6th ed. New York: McGraw-Hill.

Iskandar Y. Insomnia dan Depresi Dalam: Psikiatri Biologik Vol. II, ed. Yul Iskandar dan R. Kusumanto Setyonegoro, Yayasan Dharma Graha, Jakarta, 1985.

Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher

Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC

Tom, R. 2013. New Direction in the Management of Insomnia, Balancing Pathophysiology and Therapeutics. Medical Econimics.

Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis. (http://www.emedicina.medscape.com/article/1187829.com Diakses tanggal 8 Juli 2011)