referat bell's palsy

27
 REFERAT ILMU PENYAKIT SARAF BELL’S PALSY Pembimbing : Dr. Diah Utari, Sp.S Penyusun : Oktaria Nurul A. 2009.04.0.0095 Deisy Vania K. 2010.04.0.0096 Putrantos Madedi 2009.04.0.0100 Maria Shintya D. 2010.04.0.0097 Christa Graziella 2010.04.0.0094 Melati Hafsari 2010.04.0.0098 Chandra Gunawan 2010.04.0.0095 RSAL DR RAMELAN SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA 2015

Upload: dm38p

Post on 03-Nov-2015

79 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Referat Subdepartemen Saraf Bell's Palsy

TRANSCRIPT

  • REFERAT

    ILMU PENYAKIT SARAF

    BELLS PALSY

    Pembimbing :

    Dr. Diah Utari, Sp.S

    Penyusun :

    Oktaria Nurul A. 2009.04.0.0095 Deisy Vania K. 2010.04.0.0096

    Putrantos Madedi 2009.04.0.0100 Maria Shintya D. 2010.04.0.0097

    Christa Graziella 2010.04.0.0094 Melati Hafsari 2010.04.0.0098

    Chandra Gunawan 2010.04.0.0095

    RSAL DR RAMELAN SURABAYA

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH

    SURABAYA

    2015

  • i

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas

    rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga pembuatan tugas referat ilmu penyakit saraf

    yang berjudul Bells Palsy dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

    Terima kasih juga saya ucapkan kepada dr. Diah Utari, Sp.S selaku pembimbing

    yang telah meluangkan waktu dalam pemberian arahan guna meningkatkan

    pemahaman, penerapan klinis dan penatalaksanaan yang komprehensif terhadap

    kasus Bells Palsy.

    Penulis menyadari bahwa tulisan yang tersusun ini masih banyak kekurangan di

    dalam penulisan, baik teori maupun penyusunan tugas ini. Oleh karena itu, penulis

    membutuhkan kritik dan saran sehingga tugas referat rehabilitasi ini bisa bermanfaat

    bagi semua pihak.

    Surabaya, 25 Januari 2015

    Penulis

  • ii

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

    DAFTAR ISI .................................................................................................................... iI

    BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

    1.1 LATAR BELAKANG .......................................................................................... 1

    1.2 MANFAAT......................................................................................................... 1

    1.3 TUJUAN ........................................................................................................... 1

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 2

    2.1 DEFINISI........................................................................................................... 2

    2.2 EPIDEMIOLOGI ................................................................................................ 2

    2.3 ETIOLOGI ......................................................................................................... 2

    2.4 PATOGENESIS ................................................................................................ 3

    2.5 PATOFISIOLOGI .............................................................................................. 6

    2.6 SIGN & SYMTOMPS ........................................................................................ 9

    2.7 DIAGNOSA ....................................................................................................... 9

    2.8 DIAGNOSA BANDING .................................................................................... 16

    2.9 TERAPI ........................................................................................................... 17

    2.10 PROGNOSIS .................................................................................................. 18

    2.11 KOMPLIKASI .................................................................................................. 18

    DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 21

  • 1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 LATAR BELAKANG

    Bells palsy merupakan kelemahan ataupun kelumpuhan saraf fasialis perifer,

    bersifat akut, dan penyebabnya belum diketahui secara pasti (idiopatik). Bells palsy ini

    pertama kali diperkenalkan pada tahun 1812 oleh Sir Charles Bell, seorang peneliti

    scotlandia, yang mempelajari mengenai persarafan otot-otot wajah (dr. Robby Tjandra

    Kartadinata SpKFR, 2011).

    Insiden sindrom bells palsy ini berkisar 23 kasus per 100.000 orang setiap

    tahunnya. Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang masyarakat awam

    mengganggap sindrom bells palsy sebagai serangan stroke atau yang berhubungan

    dengan tumor sehingga perlu diketahui penerapan klinis sindrom bells palsy tanpa

    melupakan diagnosa banding yang kemungkinan diperoleh dari klinis yang sama

    (Handoko lowis dan Maulana N Gaharu, 2012)

    Masalah kecacatan yang ditimbulkan oleh Bells palsy cukup kompleks, yaitu

    meliputi impairment (kelainan di tingkat organ) berupa ketidak-simetrisnya wajah, kaku

    dan bahkan bisa berakibatnya terjadi kontraktur; disability / ketidakmampuan (di tingkat

    individu) berupa keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari berupa gangguan makan dan

    minum, gangguan menutup mata, serta gangguan berbicara dan ekspresi wajah;

    handicap (di tingkat lingkungan) berupa keterkaitan dalam profesi terutama di bidang

    entertainment; dan masalah selanjutnya dari segi psikologis penderita.

    1.2 MANFAAT

    Manfaat penulisan referat ini guna mempelajari sindrom bells palsy secara

    secara mendalam meliputi, pengenalan sindrom bells palsy dari klinis serta

    penatalaksanaanya yang berhubungan dengan ilmu kedokteran neurologi.

    1.3 TUJUAN

    Tujuan tugas ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik sub

    departemen saraf di RSAL Dr. Ramelan, Surabaya.

  • 2

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 DEFINISI

    Bells palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-

    neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada

    bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen

    tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan (Priguna,

    2010).

    2.2 EPIDEMIOLOGI

    Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial

    akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden

    terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy

    setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.

    Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi (Danette C Taylor, DO,

    MS. 2011).

    2.3 ETIOLOGI

    Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan

    sebagai berikut (Djamil, 2009):

    A. Idiopatik

    Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bells

    palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bells Palsy antara lain :

    sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai,

    hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan

    imunologik dan faktor genetik.

    B. Kongenital

    a. anomali kongenital (sindroma Moebius)

    b. trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)

    C. Didapat

    a. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)

    b. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)

    c. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)

  • 3

    d. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)

    e. Sindroma paralisis n. fasialis familial

    Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bells palsy, tetapi ada 4 teori yang

    dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu :

    1. Teori Iskemik vaskuler

    Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi

    sirkulasi darah di kanalis fasialis.

    2. Teori infeksi virus

    Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes Simplex Virus

    (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).

    3. Teori herediter

    Bells palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau

    keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.

    4. Teori imunologi

    Dikatakan bahwa Bells palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang

    timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi (Annsilva, 2010).

    2.4 PATOGENESIS

    Mekanisme bells palsy telah diperdebatkan selama beberapa dekade, dengan

    penyebab neuropathy tetap sukar dipahami dengan beberapa teori yang ada. Salah

    satu teori menjelaskan bahwa Bells palsy adalah penyakit demyelinasi akut, yang

    mungkin mempunyai mekanisme patogenesis yang mirip Guillain-Barre syndrome.

    Diduga bahwa keduanya adalah inflamasi neuritis demyelinasi dimana Bells palsy

    dapat dipertimbangkan sebagai varian mononeuritis dari Guillain-Barre. (Greco A, 2012)

    Patogenesis Bells palsy diduga berasal dari edema kompresi epineural

    retrograde dengan ischemia pada N.facialis. Walaupun etiologinya masih belum jelas,

    teori yang menarik berasal dari vasospasme, dari beberapa penyebab, sepanjang

    cabang N.facialis, mungkin juga melibatkan chorda tympani, keterlibatan primer umum.

    Distensi vaskular retrograde dan edema, di dalam epineurium dari canalis facialis

    tulang, menekan saraf dari luar selubung perineurium. Gaya tekanan mungkin ringan

  • 4

    atau berat, menyebabkan variasi derajat degenerasi ischemia reversible atau

    irreversible selubung myelin dan axon, dengan derajat bervariasi dair reaksi seluler

    terhadap kerusakan myelin. Edema mungkin diserap, yang meninggalkan kerusakan

    saraf reversible atau irreversible, atau mungkin menstimulasi pembentukan kolagen di

    dalam epineurium, dengan neuropathy kompresi fibrous yang menetap N.facialis.

    Konsep ini konsisten dengan hasil bervariasi Bells palsy, dan bergantung pada derajat

    dan durasi edema, dan dimana fibrosis terjadi di dalam epineurium canalis facialis.

    Fibrosis epineural juga menyebabkan gangguan pertukaran metabolik melalui jaringan

    epineurial-perineurial-endoneurial, dan mungkin menyebabkan obliterasi drainase

    vaskular. (Ann Otol, 1977)

    Berdasarkan data terbaru, penyebab dugaan dapat karena reaktivasi infeksi

    herpes virus laten dalam ganglion geniculatum, dan migrasi berikutnya ke N. VII. HSV-1

    dan HZV mungkin merupakan penyebab, dengan HZV yang dianggap lebih agresif

    karena ini menyebar sepanjang saraf melalui sel satelit (Holland NJ, 2004). Data

    tersebut didukung dengan berhasilnya isolasi DNA HSV-1 dari cairan endoneural

    N.facialis melalui PCR selama fase akut Bells palsy (Murakami S,1996).. N.facialis

    membengkak dan mengalami inflamasi sebagai reaksi terhadap infeksi, yang

    menyebabkan tekanan di dalam Canalis Fallopian dan menyebabkan iskemia (restriksi

    darah dan oksigen menuju sel saraf). Dalam beberapa kasus ringan (dimana

    penyembuhan berlangsung cepat), terdapat kerusakan hanya pada selubung myelin

    saraf (NINDS, 2014). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, literatur mendukung

    inflamasi yang dimediasi HSV menyebabkan kompresi dan gambaran klinis facial

    paralysis (Peitersen E,2002).

  • 5

    Gambar 2.1

    Sumber: http://www.dentalcare.com/en-US/dental-education/continuing-

    education/ce323/ce323.aspx?ModuleName=coursecontent&PartID=1&SectionID=0

    Akhir-akhir ini, vaksin influenza intranasal inaktif juga berkaitan dengan bells

    palsy Mutsch et al. Melakukan studi kasus kontrol dengan analisis serial kasus, pada

    773 pasien bells palsy yang mendapatkan vaksin flu (Mutsch M, 2004). Setelah

    mengatur variabel lain, mereka melaporkan bahwa terdapat hubungan spesifik dan

    sementara; resiko terjadinya bells palsy pada pasien yang mendapat vaksin mencapai

    19x kelompok kontrol tanpa vaksin flu. Penelitian Mutsch menemukan insiden puncak

    Bells palsy pada 31-60 hari setelah vaksinasi. Dari data tersebut, diduga bahwa

    aktivasi Bells pallsy bukan karena efek toksik langsung dari vaksin, melainkan karena

    penyakit autoimmune atau reaktivasi HSV (Couch RB,2004). Ini penting untuk

    mengingat bahwa vaksin intranasal tidak lama dalam penggunaan klinis. Tidak ada

    hubungan antara palsy dengan vaksin flu parenteral.

    Penyebab infeksi lain bells palsy yang diketahui meliputi: adenovirus, coxsackie

    virus, CMV, EBV, influenza, mumps, dan rubella (Morgan M , 1992). Rickettsia adalah

    penyebab infeksi yang jarang (Bitsori M,2001). Dugaan penyebab non-infeksi meliputi

    proses autoimun seperti Ensefalopati Hashimoto (Schaitkin BM,2000), ischemia dari

    atherosclerosis yang mengarah pada edema N.facialis (Goroll AH, 2009), dan familial,

    dengan sekitar 4% sampai 8% pasien Bells palsy mempunyai riwayat keluarga serupa

    (Wolfson AB,2009)

  • 6

    Kondisi lain penyebab bells palsy antara lain lesi struktural dalam telinga atau

    kelenjar parotis (contoh cholesteatoma, tumor saliva) dapat memproduksi kompresi dan

    paralisis N.facialis. Penyebab lain palsy nervus perifer meliputi Guillain-Barre syndrome,

    Lyme disease, otitis media, Ramsay Hunt sydnrome (outbreak herpes zooster dalam

    distribusi nervus facialis), sarcoidosis. Penyebab-penyebab tersebut mempunyai

    gambaran lain yang dapat membedakannya dari Bells palsy (AAFP, 2007). Kerusakan

    langsung pada N.facialis karena trauma pada wajah atau fraktur tengkorak juga dapat

    menyebabkan bells palsy (Ninds, 2014)

    2.5 PATOFISIOLOGI

    Patofisiologi pasti Bells palsy masih diperdebatkan. Perjalanan N.facialis melalui

    bagian os temporalis umumnya disebut sebagai facial canal. Sebuah teori populer

    menduga edema dan ischemia berasal dari kompresi N.facialis di dalam kanal tulang

    ini. Penyebab edema dan iskemia masih belum diketahui. Kompresi ini telah nampak

    dalam scan MRI dengan fokus N.facialis (Seok JI, 2008).

    Bagian pertama dari canalis facialis, segmen labyrinthine, adalah yang paling

    sempit; foramen meatus dalam segmen ini hanya mempunyai diameter 0,66 mm. Ini

    adalah lokasi yang diduga paling sering terjadi kompresi N.facialis pada Bell palsy.

    Karena sempitnya canalis facialis, ini nampaknya logis bahwa inflamasi, demyelinasi,

    iskemia, atau proses kompresi mungkin mengganggu konduksi neural pada tempat ini

    (Medscape, 2014).

  • 7

    Gambar 2.2

    Sumber:

    http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/9/9c/Facial_canal.png/250px-

    Facial_canal.png

    Kerusakan pada N.facialis dalam Bell Palsy bersifat perifer terhadap nucleus

    saraf. Lokasi kerusakan diduga dekat atau pada ganglion geniculatum. Jika lesi

    proksimal dari ganglion geniculatum, paralysis motorik diikuti dengan abnormalitas

    gustatory dan autonom. Lesi antara ganglion geniculatum dan awal chorda tympani

    menyebabkan efek sama, namun tanpa gangguan lakrimasi. Jika lesi berada pada

    foramen stylomastoideus, ini mungkin hanya menyebabkan paralisis wajah (Medscape,

    2014).

  • 8

    Gambar 2.3

    Sumber: http://www.aafp.org/afp/2007/1001/p997.pdf

    Gambar 2.4

    Sumber: http://www.aafp.org/afp/2007/1001/p997.pdf

  • 9

    2.6 SIGN & SYMTOMPS

    Onset Bells palsy adalah akut, sekitar satu - setengah dari kasus mencapai

    kelumpuhan maksimum dalam 48 jam dan hampir semua berjalan dalam waktu 5 hari .

    Nyeri di belakang telinga bisa mendahului kelumpuhan selama satu atau dua hari dan

    dalam beberapa pasien cukup intens dan terus-menerus.

    Terganggunya facial nerve yang complit pada foramen stylomastoid dapat

    menyebabkan kelumpuhan pada keseluruhan otot ekspresi wajah. Sudut mulut jatuh,

    garis dan lipatan kulit juga terpengaruh, garis dahi menghilang, lipatan palpebra

    melebar, dan lid margin mata tidak tertutup. Kantong mata bawah dan punctum jatuh,

    disertai air mata yang menetes melewati pipi. Makanan yang mengumpul diantara gigi

    dan pipi dan saliva yang menetes dari sudut mulut. Pasien juga mengeluh rasa tebal

    atau mati rasa dan terkadang mengeluh nyeri pada wajah.

    Jika lesi berada pada canal nervus facialis di atas pertemuan dengan chorda

    tympani tetapi di bawah ganglion genikulatum, semua gejala bisa timbul ditambah

    kehilangan rasa pada lidah 2/3 anterior pada sisi yang sama dengan lesi. Jika lesi juga

    mempengaruhi saraf pada otot stapedius maka dapat terjadi hyperakustikus dimana

    pasien sensitif dan merasa nyeri bila mendengar suara-suara yang keras. Jika ganglion

    genikulatum terpengaruh, produksi air mata dan air liur mungkin berkurang. Lesi pada

    daerah ini dapat berpengaruh juga pada nervus delapan yang menyebabkan tuli,

    tinnitus dan pusing yang berputar (dizziness).

    2.7 DIAGNOSA

    Anamnesa

    o Perkembangan gejala (perjalanan penyakit dan gejala penyerta)

    Progresif paralisis>3 minggu harus dievaluasi untuk neoplasma

    Kehilangan pendengaran mendadak dan nyeri hebat disertai

    paralisis wajah dapat disebabkanoleh Ramsay Hunt Syndrome.

    o Riwayat penyakit : stroke, tumor, trauma (yang menyebabkanparalisis)

    Pemeriksaan

    o Nervus fasialis

  • 10

    Inspeksi

    a. Kerutan dahi

    b. Pejaman mata

    c. Plika nasolabialis

    d. Sudut mulut

    Gambar 2.5

    Sumber: http://www.riversideonline.com/health_reference/nervous-system/ds00168.cfm

    Motorik

    a. Mengangkat alis dan mengererutkan dahi

    b. Memejamkan mata

    c. Menyeringai (menunjukkan gigi geligi)

    d. Mencucurkan bibir

    e. Menggembungkan pipi

  • 11

    Sensorik

    a. Schirmer test

    Digunakan untuk mengetahui fungsi produksi air mata.

    Menggunakan kertas lakmus merah 5x50 mm dengan salah satu

    ujung dilipat dan diselipkan di kantus medial kiri dan kanan selama

    5 menit dengan mata terpejam. Normal: menjadi biru dan terjadi

    perembesan 20- 30 mm.

    Gambar 2.6

    Sumber: http://tube.medchrome.com/2013/09/schirmers-test-i-ii-dry-eye-screening.html

    b. Pengecapan 2/3 anterior lidah

    Menggunkan cairan Bornstein (4% glukosa, 1% asamsitrat, 2,5%

    sodium klorida, 0,075% quinine HCl).Pasien diminta menjulurkan

    lidah kemudian dikeringkan dahulu baru dilakukan tes dengan

    menggunakan lidi kapas. Rasa manis pada ujung lidah, rasa asam

    dan asin pada samping lidah dan rasa pahit pada belakang lidah.

    Setiap selesai pemeriksaan, pasien berkumur dengan air hangat

  • 12

    kuku dan dikeringkan dahulu baru dilanjutkan pemeriksaan

    berikutnya.

    Gambar 2.7

    Sumber: http://hubpages.com/hub/Tongue-Map-Myth-How-Does-Taste-Work

    c. Refleks stapedius

    Memasang stetoskop pada telinga pasien kemudian dilakukan

    pengetukan lembut pada diafragma stetoskop atau dengan

    menggetarkan garpu tala 256Hz di dekat stetoskop. Abnormal jika

    hiperakusis (suara lebih keras atau nyeri).

    Gambar 2.8

    Sumber: http://www.soundandvision.com/content/through-diaphonic-lens

  • 13

    o Penunjang

    Tidak ada yang spesifik untuk bells palsy, namun tes- tes berikut dapat

    berguna untuk mengidentifikasi atau menyingkirkan penyakit lain :

    a. CBC

    b. Glukosa darah, HbA1c

    Untuk mengetahui adanya diabetes yang tidak terdiagnosa (orang

    yang memiliki diabetes 29% lebih beresiko terkena bells palsy)

    c. Salivary flow test

    Pemeriksa menempatkan kateter kecil pada kelenjar

    submandibular yang paralisis dan normal, kemudian pasien diminta

    menghisap lemon dan aliran saliva dibandingkan antara kedua

    kelenjar. Sisi yang normal menjadi kontrol.

    Gambar 2.9

    Sumber:

    http://www.nidcr.nih.gov/research/NIDCRLaboratories/MolecularPhysiology/SjogrensSy

    ndrome/SjogrensSyndromeClinic.htm

  • 14

    d. CT-Scan, MRI

    CT-Scan digunakan apabila paresis menjadi progesif dan tidak

    berkurang. MRI digunakan untuk menyingkirkan kelainan lainnya

    yang menyebabkan paralisis atau untuk melihat cerebellopontine

    angle.

    MRI pada pasien bells palsy menunjukkan pembengkakan dan

    peningkatan yang merata dari N.VII (N. Fasialis) dan ganglion

    genikulatum. MRI juga dapat menunjukkan adanya pembengkakan

    N.VII yang terjebak di tulang temporal dan tumor yang menekan

    N.VII (schwannoma (tersering), hemangioma, meningioma).

    Gambar 2.10

    Sumber: http://laceyspathologyexperience.blogspot.com/2009/09/bells-palsy.html

  • 15

    Grading

    Menurut House danBrackmann, bells palsy dikategorikan menjadi :

    Tabel 2.1

    Grade Deskripsi Umum Istirahat Gerakan

    1 Normal Normal Normal Normal

    2 DisfungsiRingan

    Sedikit kelemahan terlihat pada pemeriksaan dekat, dapat memiliki sedikit sinkinesis

    Normal

    Asimetris ringan mulut dan dahi; menutup mata keseluruhan dengan usaha minimal

    3 DisfungsiSedang

    Jelas namun tidak Nampak perbedaan antara kedua sisi; Nampak sinkinesis. Kontraktur dan atau spasme hemifasial namun tidak berat

    Tonus normal dan simetris

    Dahi: pergerakan ringan atau sedang Mata: dapat menutup keseluruhan dengan usaha Mulut:sedikit kelemahan dengan usaha maksimal

    4 Disfungsi Cukup Berat

    Kelemahan dan atau asimetris nyata

    Tonus normal dan simetris

    Dahi : - Mata: tidak menutup sempurna Mulut: asimetris dengan usaha maksimal

    5 DisfungsiBerat

    Hanya gerak yang hampir tidak Nampak

    Asimetris

    Dahi : - Mata: tidak menutup sempurna Mulut: sedikit gerakan

    6 Paralisis Total

    Tidak ada gerakan

    Tidak ada gerakan

    Tidak ada gerakan

  • 16

    2.8 DIAGNOSA BANDING

    Herpes zoster (Ramsay Hunt Syndrome)

    Inflamasi n. facialis dan ganglion geniculate yang disebabkan oleh virus varicella

    zoster. Biasanya diikuti dengan erupsi vesicular pada membrane mukosa faring,

    vesikel pada chonca atau saluran pendengaran externa. Sering melibatkan

    nervus ke 8 (n. vestibulocochlearis). Terdapat gejala prodromal sebelumnya

    seperti malaise, sakit kepala, demam.

    Lyme disease

    Sering bilateral, pada daerah endemic dan diketahui disebabkan oleh gigitan

    kuku (erythema chronicum migrans).

    Facial diplegia

    Sering disebabkan oleh karena Guillainbarre syndrome, juga dapat disebabkan

    oleh sarcoidosis yang dikenal sebagai uveoparotid fever (Heefordt syndrome).

    Sarcoidosis

    Granuloma dari sarcoid mempunyai kecenderungan untuk mempengaruhi n.

    facialis lebih daripada n. kranialis lainnya. Gejala akut diikuti demam,

    pembesaran kelenjar parotis, dan uveitis. Meskipun jarang terjadi tetapi

    merupakan karakteristik sarcoidosis.

    Tumor

    Tumor yang menekan n.facialis dapat menyebabkan facial palsy (meningioma,

    cholesteatoma, dermoid, carotid body tumor). Permulaannya tersembunyi dan

    semakin lama semakin memburuk.

    Facial Palsy with Pontine Lesions

    Dapat disebabkan oleh adanya infark, tumor. Biasanya diikuti dengan acular

    abduction.

    Melkersson-Rosenthal Syndrome

    Merupakan gangguan yang langka dan penyebabnya tidak diketahui. Ditandai

    dengan facial paralisis berulang yang akhirnya menetap, labial edema, lipatan

    lidah. Dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa.

    Hemifacial Spasm

  • 17

    Idiopatik, melibatkan otot wajah disalah satu sisidan diikuti dengan kontraksi

    yang tidak beraturan. Kebanyakan dialami oleh wanita dekadeke 5 & ke 6.

    Kekakuan biasanya dimulai dari m. Orbicularis oculi kemudian menjalar ke otot

    lain disisi yang terkena.

    Facial Hemiatrophy ( Parry-Romberg Syndrome)

    Terjadi terutama pada wanita, ditandai dengan hilangnya lemak dari kulit dan

    jaringan subkutan pada satu atau kedua sisi wajah. Dapat dimulai pada masa

    remaja atau dewasa. Perjalanan penyakit lambat.

    HIV infection

    Beberapa individu dengan HIV mengalami unilateral atau bilateral Bells palsy.

    2.9 TERAPI

    Non-Medikamentosa:

    1. Penggunaan selotip untuk menutup kelopak mata saat tidur dan eye patch untuk

    mencegah pengeringan pada kornea.

    2. Fisikal terapi seperti facial massage dan latihan otot dapat mencegah terjadinya

    kontraktur pada otot yang paralisa. Pemberian panas pada area yang

    terpengaruh dapat mengurangi nyeri

    Gambar 2.11

    Sumber: https://gottabeot.files.wordpress.com/2014/04/face-exercises.jpg

  • 18

    Medikamentosa

    1. Kortikostreoid

    Oral kortikosteroid sering diberikan untuk mencegah terjadinya inflamasi saraf

    pada pasien dengan Bells palsy. Prednisone biasanya diberikan dengan dosis

    60-80 mg per hari selama 5 hari, dan di tappering off 5 hari selanjutnya. Hal ini

    dapat memperpendek masa penyembuhan dan meningkatkan hasil akhirnya.

    2. Antivirus

    Dikarenakan adanya kemungkinan keterlibatan HSV-1 pada Bells palsy, maka

    telah diteliti efek dari Valacyclovir (1000 mg per hari, diberikan 5-7 hari) dan

    Acyclovir (400 mg, 5 kali sehari, diberikan 10 hari). Dari hasil penelitian,

    penggunaan antivirus sendiri tidak memberikan keuntungan untuk penyembuhan

    penyakit. Tetapi, penggunaan Valacyclovir dan prednisone, memberikan hasil

    yang lebih baik, dibandingkan penggunaan prednisone sendiri, terutama pada

    pasien dengan gejala klinis yang parah

    3. Analgesic untuk meredakan nyeri, dan methylcellulose eye drops untuk

    mencegah kekeringan pada kornea

    2.10 PROGNOSIS

    Prognosis ummnya sangat baik. Tingkat keparahan kerusakan syaraf

    menentukan proses penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi waktu yang

    dibutuhkan bervariasi. Dengan atau tanpa terapi, sebagian besar individu membaik

    dalam waktu 2 minggu setelah onset gejala dan membaik secara penuh, fungsinya

    kembali normal dalam waktu 3-6 bulan. Tetapi untuk beberapa pasien bisa lebih lama.

    Pada kasus jarang, gangguan bisa muncul kembali di tempat yang sama atau di sisi

    lain wajah (NIH, 2014).

    2.11 KOMPLIKASI

    Komplikasi jangka panjang cenderung muncul apabila:

    Pasien terserang palsy komplit, sehingga paralisis pada satu sisi wajah

    Usia lebih dari 60 tahun

    Mengalami nyeri parah saat pertama kali timbul gejala

  • 19

    Hipertensi

    Diabetes

    Kehamilan

    N. facialis rusak berat

    Perbaikan tidak ada setelah dua bulan terlewati

    Tidak ada tanda perbaikan setelah empat bulan

    Sekitar 14% pasien mungkin terserang Bells palsy di kemudian hari, pada sisi wajah

    lain. Hal ini cenderung muncul apabila ada riwayat Bells palsy pada keluarga.

    Komplikasi jangka panjang

    Sekitar 2 dari 10 orang mengalami gangguan jangka panjang oleh sebab Bells palsy,

    yang bisa menimbulkan hal-hal dibawah ini:

    Epifora dan ulkus kornea

    Ulkus kornea bisa muncul ketika kelopak mata terlalu lemah untuk menutup

    secara penuh dan protective tear film menjad terpengaruh. Sehingga mengarah

    pada infeksi dan menyebabkan kebutaan

    Kelemahan wajah

    Kelemahan wajah permanen bisa dilihat pada 20-30% pasien setelah terserang

    Bells palsy.

    Gangguan bicara

    Disebabkan kerusakan pada otot wajah

    Synkinesias mata-mulut

    Disebabkan n. facialis tumbuh kembali dengan jalan yang beda. Menyebabkan

    mata dapat berkedip saat makan, tertawa atau tersenyum, kadang bisa menjadi

    sangat parah sehingga mata dapat tertutup penuh saat sedang makan.

    Kontraktur wajah

    Otot wajah menjadi kaku, menyebabkan gangguan bentuk seperti mata menjadi

    kecil, pipi menjadi tebal atau nasolabial menjadi dalam.

    Sensasi rasa di lidah berkurang

  • 20

    Disebabkan kerusakan syaraf yang tidak membaik penuh.

    Crocodile tears

    Menangis saat sedang makan.

    Ramsay Hunt syndrome

    Bells palsy yang disebabkan oleh varicella-zoster virus dapat menyebabkan tmbulnya

    sindrom ini. Sindrom ini ditandai dengan adanya vesikel pada lidah dan di dalam liang

    telinga. Terapinya dengan steroid dan antiviral.

  • 21

    DAFTAR PUSTAKA

    Adam, R. D., Victor, M. and Ropper, A.H. 2005. Principles of Neurology. 8th.ed. Mc

    Graw-Hill, New York.

    Ann Otol Rhinol Laryngol. Pathogenesis of Bell's palsy. Retrograde epineurial edema

    and postedematous fibrous compression neuropathy of the facial nerve. 1977

    Jul-Aug;86(4 Pt 1):549-58.

    Annsilva, 2010, Bells Palsy, http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bells-palsy-

    case-report/

    Anonim, 2015, Bells Palsy, American Academy Of Otolaryngology- Head And Neck

    Surgery, http://www.entnet.org/content/bells-palsy

    Anonim, 2013, Bells Palsy, http://www.facialpalsy.org.uk/about-facial-palsy/causes-

    diagnoses/bells-palsy/37

    Anonim, Bells Palsy, NHS Choice, http://www.nhs.uk/conditions/Bells-

    palsy/Pages/Introduction.aspx

    Anonim, 2013, Facial Nerve Disorders : Bells Palsy and Facial Paralysis, University Of

    Maryland Medical Center, http://umm.edu/programs/hearing/services/facial-

    nerve-disorders

    Anonim, Frequently Asked Question, Bells Palsy Information

    Site,http://www.bellspalsy.ws

    Baringer JR. Herpes simplex virus and Bell palsy. Ann Intern Med. 1996;124(1 Pt 1):63.

    Bitsori M, Galanakis E, Papadakis CE, Sbyrakis S. Facial nerve palsy associated with

    Rickettsia conorii infection. Arch Dis Child. 2001;85(1):54.

    Chaco J. Subclinical pheripheral nerve involvement in unilateral Bells palsy. Am J Phys

    Med.1973;52:19597

  • 22

    Couch RB. Nasal vaccination, Escherichia coli enterotoxin, and Bells palsy. N Engl J

    Med.2004;350(9):86061

    Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy,

    http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156

    Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;

    Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300.

    dr. Robby Tjandra Kartadinata SpKFR, 2011, Rehabilitasi Medik Bells Palsy, Siaran

    RRI, Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang

    Greco A, Gallo A, Fusconi M, et al. Bells palsy and autoimmunity. Autoimmun

    Rev. 2012;12:32328.

    Handoko lowis, Maulana N Gaharu, 2012, Bells Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di

    Pelayanan Primer, Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian

    Berkelanjutan, Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical Center

    Harrison. 2006. Neurology in Clinical Medicine. Mc Graw-Hill, New York

    Holland NJ, Weiner GM. Recent developments in Bells palsy.

    [Review] BMJ. 2004;329(7465):55357

    Jeffrey Tiemstra, MD. Bell's Palsy: Diagnosis and Management, Am Fam

    Physician. 2007 Oct 1;76(7):997-1002.

    Lei H, Mei L, Long XH, et al. A case of Hashimotos encephalopathy misdiagnosed as

    viral encephalitis.Am J Case Rep. 2013;14:36669.

    Lumbantobing, SM, 2010, NeurologiKlinik: PemeriksaanFisik Dan Mental, Jakarta:

    BalaiPenerbit FKUI. Pp.55-60

    Morgan M, Nathwani D. Facial palsy and infection: the unfolding story. Clin Infect

    Dis. 1992;14(1):263.

  • 23

    Murakami S, Mizobuchi M, Nakashiro Y, et al. Bells palsy and herpes simplex virus:

    identification of viral DNA in endoneurial fluid and muscle. Ann Intern

    Med. 1996;124(1):2733.

    Mutsch M, Zhou W, Rhodes P, et al. Use of the inactivated intranasal influenza vaccine

    and the risk of Bells palsy in Switzerland. N Engl J Med. 2004;350(9):896903.

    http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#showall

    NINDS, 2014, Bells Palsy Fact Sheet,

    http://www.ninds.nih.gov/disorders/bells/detail_bells.htm

    National Institute of Neurological Disorder and Stroke,

    http://www.ninds.nih.gov/disorders/bells/detail_bells.htm

    NHS UK, 2014. http://www.nhs.uk/Conditions/Bells-palsy/Pages/Complications.aspx

    Poinier, AC, dkk, 2014, Bells Palsy : Topic Overview, WebMD Medical Reference from

    Healthwise, http://www.webmd.com/brain/tc/bells-palsy-topic-overview

    Peitersen E. Bells palsy: The spontaneous course of 2,500 peripheral facial nerve

    palsies of different etiologies. Acta Otolaryngol Suppl. 2002;(549):430.

    Rahmawati, dkk, 2010, Diagnosis FisikNeurologi, PPDS IlmuPenyakitSaraf, Surabaya:

    FakultasKedokteranUnair RSUD Dr.Soetomo, pp.14-16

    Schaitkin BM, May M, Podvinec M, et al. Idiopathic (Bells) palsy, herpes zoster

    cephalicus, and other facial nerve disorders of viral origin. In: May M, Schaitkin

    BM, editors. The facial nerve: Mays. 2nd ed. New York: Thieme Medical; 2000.

    pp. 31938

    Schirm J, Mulkens PS. Bells palsy and herpes simplex virus. APMIS. 1997;105:81523

    Seok JI, Lee DK, Kim KJ. The usefulness of clinical findings in localising lesions in Bell's

    palsy: comparison with MRI. J Neurol Neurosurg Psychiatry. Apr 2008;79(4):418-

    20.

    Sidharta, Priguna. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Dian Rakyat. 2007.

  • 24

    Sorensen J, dkk, House Brackmann, London: Sorensen Clinic,

    http://sorensenclinic.com/microsurgery/house-brackmann/

    Taylor, DC, dkk, 2014, Bell Palsy, Medscape,

    http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview

    Tidy C, 2013, Bells Palsy, http://www.patient.co.uk/health/bells-palsy