case bell's palsy
DESCRIPTION
neurologyTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering
mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer yang
terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis fasial
idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell,
meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya, Bell’s palsy
merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia.
Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000orang.
Insiden Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan tidak ada
perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Usia
mempengaruhi probabilitas kontraksi Bell’s palsy. Insiden paling tinggi pada orang dengan
usia antara 15-45 tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15
tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.
Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun
pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa.
Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s
palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga
dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara
lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot
wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi
iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa
gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur,
gangguan menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat
menyebabkan individu tersebut menjadi tidak percaya diri.
1
BAB II
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. R
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 14 Tahun
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SMP kelas 8
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum menikah
Alamat :
Tanggal masuk RS : 14 November 2012 jam 1130 WIB
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis pasien pada tanggal 14 November 2012 di ruang poli
neuro RS Marzoeki Mahdi
a. Keluhan Utama : mata sebelah kiri tidak dapat ditutup dan mulut mencong ke kiri
sejak 4 hari sebelum masuk ke rumah sakit.
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
7 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri di mata sebelah kiri dan kemerahan pada
mata tersebut. Pasien juga mengeluh mata kirinya berair diikuti rasa gatal.
4 hari SMRS, saat pasien sedang istirehat di rumah dan mau tidur, pasien
merasakan mata sebelah kirinya nyeri dan berair, disertai rasa gatal. Oleh karena
pasien merasa ada yang menganjal di matanya, pasien menggosok mata kirinya
sehingga menimbulkan kemerahan di mata tersebut. Pasien juga mengeluh tidak dapat
menutup matanya sehingga matanya makin berair.
4 hari SMRS, saat pasien sedang ingin menyikat gigi, pasien menyadari
mulutnya mencong ke arah kiri tetapi pasien masih bisa berbicara dan tidak pelo.
2
Keluhan gigi nyeri atau bolong disangkal oleh pasien. Pasien juga menyangkal
pernah ada riwayat trauma di daerah wajah sebelumnya. Namun pasien menyatakan
bahwa sering terpajan dengan kipas dinding yang mengenai wajahnya secara direk
saat istirehat di ruang tamu sambil menonton televisi. Pasien juga sering tidak
memakai helm saat mengenderai speda motor.
Keluhan lemas di sebagian tubuh, bicara pelo, pandangan ganda, gangguan
pengelihatan, sulit menelan, gangguan pengecapan dan kesemutan di sekitar wajah
disangkal pasien. Pusing, nyeri kepala, batuk pilek, mual dan muntah turut disangkal.
BAB dan BAK normal
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku tidak pernah mengalami penyakit dengan gejala yang serupa
sebelumnya. Pasien menyatakan bahwa pernah keluar cairan dari telinganya saat
pasien masih kelas 6 SD. Riwayat asma dan alergi makanan serta obat-obatan
disangkal. Tidak pernah dirawat dirumah sakit atau riwayat operasi sebelumnya.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku tidak ada keluarga yang mengalami penyakit dengan gejala
yang serupa sebelumnya. Riwayat darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung,
paru, hati dan ginjal di keluarga disangkal. Riwayat asma dan alergi makanan serta
obat-obatan di keluarga disangkal.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit, regular, isi cukup.
Suhu : 36.5 oC
Pernapasan : 20 x/menit, regular tipe abdomino-torakal
]
3
Status Generalis
Kepala : Normosefali, rambut warna hitam, distribusi merata dan
tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Septum deviasi (-), Sekret (-), nafas cuping hidung (-)
Telinga : Normotia, serumen -/-, sekret -/-
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), uvula di tengah, tonsil T2-T2,
tenang
Mulut : Asimetris (mencong ke kanan) , lembab, mukosa tidak
hiperemis, pucat (-), sianosis (-) luka (-), oral higiene
baik, gigi geligi utuh
Lidah : Normoglossia, deviasi (-), hiperemis (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar, Kelenjar tiroid tidak
teraba membesar, tidak teraba massa
4
Jantung
Inspeksi: Simetris, ictus cordis tidak tampak
Palpasi: Ictus cordis teraba di ICS IV, 1 cm medial dari linea midklavikularis
kiri.
Perkusi: - Batas atas: ICS III garis parasternalis kiri
- Batas kanan: Garis sternalis kanan
- Batas kiri: ICS V, 1 cm medial midclavikularis kiri
Auskultasi: BJ I-II regular, Gallop (-), Murmur (-)
Paru
Inspeksi: Pergerakan simetris saat statis dan dinamis
Palpasi: Vocal fremitus simetris
Perkusi: Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi: Suara nafas vesikuler, rhonki-/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi: Datar
Palpasi: Supel, nyeri tekan tidak ada, hepatomegali (-), splenomegali (-)
Perkusi: Timpani di seluruh kuadran
Auskultasi: Bising usus positif normal
Ekstremitas atas dan bawah
Atas : Akral hangat + / +, edema - / -
Bawah : Akral hangat + / +, edema - / -
IV. STATUS NEUROLOGI
5
1. Kesadaran : Compos Mentis
2. Tanda Rangsang Meningeal
3.
Nervus cranialis
N I (Olfaktorius ) : Normoosmia
N II (Optalmikus) :
Visus : Visus kasar baik
Lapang pandang : Baik
Warna : Baik
Funduskopi : Tidak dilakukan
N III, IV, VI (Okulomotorius, Troklearis, Abdusens) :
6
Kanan Kiri
Kaku kuduk - -
Laseque - -
Kernig - -
Brudzinski I - -
Brudzinski II - -
Brudzinski III - -
Brudzinski IV - -
Kanan Kiri
Kedudukan bola mata Ortoforia Ortoforia
Pergerakan bola mata Baik Baik
Eksoftalmus - -
Nistagmus - -
Ptosis - -
Pupil :
- Bentuk Bulat Bulat
- Ukuran 3mm 3mm
- Isokor/ Anisokor Isokor Isokor
- Refleks cahaya langsung + +
-Refleks cahaya tidak langsung + +
N.V (Trigeminus):
Motorik
Membuka mulut Baik
Gerakan rahang Baik
Menggigit Baik
Sensorik
Rasa nyeri Simetris
Rasa raba Simetris
Rasa suhu Tidak dilakukan
N.VII (Fasialis):
Sikap wajah Kanan Kiri
Angkat alis Dapat diangkat Tidak dapat diangkat
Kerut dahi Ada kerutan Tidak ada kerutan
Kembung pipi Baik Tidak bisa
Menyeringai Baik Mencong ke kiri
N.VIII (Vestibulokoklearis) :
Kanan Kiri
Nistagmus -
Past pointing Baik
Gesekan jari + +
7
Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
8
N IX, X (Glosofaringeus, Vagus):
Arcus faring : Simetris
Uvula : Ditengah
Refleks muntah : +
Disfonia, disartria, disfagia : -
N XI (Asesorius):
Gerakan Kanan Kiri
Mengangkat bahu Baik Baik
Menoleh Baik Baik
N XII (Hipoglosus):
Pergerakan lidah Baik, deviasi (-)
Tremor -
Atrofi -
4. Sistem Motorik
Kanan Kiri
Kekuatan otot ekstremitas atas 5555 5555
Kekuatan otot ekstremitas bawah 5555 5555
5. Refleks Fisiologis
Kanan Kiri
Biseps + +
Triseps + +
Patella + +
Achilles + +
9
6. Refleks Patologis
Kanan Kiri
Babinsky - -
Oppenheim - -
Chaddock - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Rossolimo - -
Mendel-
Bechtrerew
- -
Stransky - -
Bing - -
Gonda - -
7. Pemeriksaan sensoris ( kedua tangan dan kaki bawah kanan dan kiri
- Sensasi nyeri +/+ ( normal )
- Sensasi raba +/+ ( normal )
8. Fungsi Luhur : dbn
9. Fungsi serebelum : dbn
10. Columna Vertebralis dan Corpus Vertebralis : dbn
V. DIAGNOSIS KERJA
DIAGNOSIS KLINIS
• Paralisis N.VII perifer sinistra
DIAGNOSIS ETIOLOGI
• Idiopatik (Bell’s palsy)
DIAGNOSIS TOPIK
• Lower Motor Neuron- Lesi N. Facialis perifer sinistra setinggi foramen
stylomastoideus.
10
PENATALAKSANAAN
- Methyl Prednisolone 3 x 8 mg p.o
- Ranitidin 2 x 75mg p.o
- Lapibal 2 x 800 mg p.o.
- Dianjurkan untuk melakukan latihan fisioterapi otot wajah dirumah dengan
mengoleskan daerah wajah sebelah kiri dengan handuk yang telah dibasahi
dengan air hangat dan diusapkan dari bawah ke samping wajah sesering
mungkin.
- Disarankan juga untuk memberi lubrikan dan pelindung mata dalam perawatan
mata pasien karena mata pasien mudah terpapar dengan benda asing dan mudah
terjadi kekeringan kornea.
XI. PROGNOSIS
- Ad vitam : Ad bonam
- Ad sanationam : Ad bonam
- Ad fungsionam : Ad bonam
11
BAB III
ANALISIS KASUS
Pasien An. R, 14 tahun, datang dengan keluhan mata sebelah kiri tidak dapat ditutup
dan mulut mencong ke kiri sejak 4 hari sebelum masuk ke rumah sakit. Keluhan berawal dari
mata sebelah kiri yang mengalami nyeri dan gatal disertai mata berair dan kemerahan.
Pada pemeriksaan nervus cranialis didapatkan adanya asimetri pada lipatan
nasolabial, dan sudut mulut dalam keadaan diam. Pasien tidak dapat menutup mata sebelah
kiri, tidak dapat mengangkat alis kiri, tidak dapat mengerutkan dahi sebelah kiri. Selain itu,
terdapat asimetri pada gerakan tersenyum, menyeringai/meringis. Hasil dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik ini mengarah kepada adanya paralisis nervus VII perifer sinistra.
Dalam menghadapi kasus dengan adanya kelumpuhan pada salah satu sisi wajah,
maka harus dibedakan apakan lesi yang dialami merupakan lesi tipe UMN (Upper Motor
Neuron) atau lesi LMN (Lower Motor Neuron). Kelemahan tipe LMN, yang disebabkan oleh
kerusakan nucleus fasialis di batang otak atau nervusnya, akan menyebabkan semua otot
ekspresi wajah menjadi lumpuh/lemah. Akan tetapi pada lesi UMN, di mana lesi terletak
antara korteks serebri kontralateral dan pons, otot-otot pada bagian atas wajah terutama otot
frontalis, yang berperan untuk mengangkat alis dan mengernyitkan dahi dapat tetap berfungsi
dengan baik. Hal ini disebabkan karena LMN pada bagian atas wajah diinervasi secara
bilateral oleh serat-serat kortikopontin sehingga, walaupun neuron dari korteks kontralateral
rusak, tetapi persarafan ipsilateral akan tetap berfungsi dengan baik. Pada pasien ini,
kelemahan yang terjadi bersifat LMN dengan kemungkinan lesi pada foramen stylomastoid
karena hanya didapatkan tidak dapat menutup mata , mulut mencong dan tidak dapat
mengangkat dahi dan mengerutkan kening di sisi sebelah kiri. Fungsi pengecapan pasien
masih baik.
Patofisiologi yang tepat dari Bell’s palsy masih dalam perdebatan. Teori yang
popular menyatakan adanya inflamasi dan pembengkakan dari nervus fasialis di dalam tulang
temporal sehingga mengakibatkan kompresi dari nervus. Nervus Fasialis ini melewati tulang
12
temporal pada canalis fasialis dimana segmen awal dari kanal ini, yaitu segmen labyrinthine
yang merupakan segmen tersempit memiliki diameter sekitar 0.66 mm. Secara logika,
mungkin saja proses inflamasi, demyelinisasi, iskemik, atau proses kompresif dapat
mengganggu konduksi saraf di tempat ini.
Banyak kasus Bell’s palsy memiliki riwayat paparan terhadap angin atau suhu dingin,
misalnya terpapar angin saat sedang menyetir mobil dengan jendela terbuka, terkena AC
ataupun kipas angin, maupun saat berbaring di lantai tanpa ada penghalang antara sisi
samping wajah dengan lantai. Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat sering terpapar
dengan kipas angin di dinding secara direk saat istirehat di ruang tamu dan tidak memakai
helm saat mengenderai motor ke sekolah yang mungkin menyebabkan wajah pasien sering
terpapar dengan angin. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan Bell’s Palsy secara medikamentosa yaitu
dengan pemberian kortikosteroid, seperti methyl prednison 1mg/kgBB, di tappering off
diturunkan 2 tab/hari sampai 10 hari (stadium akut), diberikan Nurodex 3x1 tab, dan dapat
ditambahkan analgetik (bila nyeri). Namun pada pasien diberikan sesuai terapi diatas
berdasarkan usia pasien dan keluhan yang dialaminya. Tatalaksana non medikamentosa
berupa fisioterapi, dengan melatih sisi wajah yang lumpuh untuk melakukan gerakan seperti
mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, bersiul/meniup, mengangkat sudut mulut, dapat
juga dilakukan massase wajah sisi yang lumpuh. Tujuan fisioterapi ini untuk
mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Prognosis kasus ini adalah bonam, karena
berdasarkan epidemiologi 80-85% penderita dengan Bell’s Palsy akan sembuh sempurna
(dalam waktu 3 bulan). Paralisis ringan atau sedang pada saat awitan merupakan tanda
prognosis baik
13
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI1,2,3,4,5
Saraf fasialis mempunyai perjalanan yang panjang dan sebagian besar berada di
dalam os temporal. Saraf ini bersifat sensorik, motorik dan parasimpatis.
Serat-serat upper motor neuron dari saraf fasialis berasal dari korteks serebri hingga
nukleus saraf fasialis. Daerah motorik pertama berasal dari sepertiga bawah girus presentalis.
Serat-serat ini berjalan ke bawah melalui genu dari kapsula interna ke basis pedunkuli dan
berakhir pada saraf fasialiskontralateral. Komponen saraf fasialis yang menginervasi bagian
atas wajah berasal dari korteks yang kontralateral. Daerah motorik kedua terletak di lobus
temporalis.
Serat-serat lower motor neuron berasal dari nukleus saraf ke bawah, yang terbagi atas
3 tempat yaitu :
Pars Intrakranial
Saraf fasialis berjalan dari pons ke porus akustikus internus. Panjangnya sekitar 23-24 mm.
pada daerah ini, saraf fasialis sebelah anterior dari saraf kokleovestibularis dan saraf
intermedius.
Pars Intratemporal
(a) Segmen meatal : Berjalan dalam kanalis auditori internus sepanjang 8-10 mm.
(b) Segmen labirin : Berjalan dari fundus meatus menuju ganglion genikulatum dengan
panjang sekitar 3-5 mm, dimana saraf fasialis ini membelok ke arah posterior dengan tajam
membentuk suatu ‘genu’ (1st genu). Di daerah ini terdapat percabangan saraf fasialis yang
disebut saraf petrosus superior mayor yang keluar dari ganglion genikulatum. Saraf ini
memberikan rangsangan untuk sekresi pada kelenjar lakrimalis.
(c) Segmen Timpani (segmen horizontal) : Panjangnya sekitar 8-11 mm, dan pada daerah ini
membuat putaran kedua (2nd genu). Pada segmen ini saraf fasialis berjalan melewati bagian
14
atas dari eminensia piramidalis, melewati bagian atas oval window dan berjalan ke bawah
kanalis semisirkularis lateral. Saraf berjalan turun dari 1st genu secara vertikal dan
mengeluarkan cabang untuk otot stapedius.
(d) Segmen Mastoid (segmen vertikal) : Saraf berjalan dari eminensia piramidalis sampai dengan foramen stilomastoideus. Panjangnya sekitar 10-14 mm. dibagian ini muncul cabangsaraf fasialis yang masuk ke telinga tengah sebagai saraf timpani. Korda membawa serabut-serabut nyeri, raba dan suhu serta pengecapan untuk dua pertiga anterior lidah. Saraf ini juga mengurusi saliva submandibula. Korda berjalan di antara maleus dan inkus
Gambar 1: Anatomi tofografi dari nervus Facialis ( N. VII)
Pars Ekstrakranial
Setelah keluar dari foramen stilomastoideus, saraf berjalan ke arah anterior dan sedikit
inferior ke arah permukaan posterior dari daerah parotis yang kemudian bercabang menjadi
komponen dari saraf di daerah fasialis yang terbagi atas cabang saraf temporal, zigomatikus,
bukalis, mandibular, dan servikalis
15
Gambar 2. Perjalanan N.VII di daerah wajah.
ETIOLOGI 1,5
Penyebab pasti dari penyakit ini masih belum jelas. Banyak teori -teori yang mencoba
menerangkan timbulnya kelainan akut saraf fasialis ini, antara lain:
a.Teori infeksi virus :
Beberapa virus diduga sebagai penyebab terjadinya Bell’s palsy antara lain virus
Herpes simpleks, Herpes zoster ataupun virus Epstei-Barr. Keadaan ini terjadi akibat
reaktifasi karena terjadi infeksi akut primer. Virus tersebut dalam jangka waktu lama berada
dalam ganglion sensorius sehingga terjadi proses peradangan. Gangguan vaskuler pada
akhirnya akan menimbulkan degenerasi pada saraf VII perifer.
b.Teori iskemia vaskular :
Kelumpuhan pada saraf fasialis karena adanya gangguan sirkulasi darah di kanalis
fallopi. Kerusakan yang timbul oleh tindakan pada saraf perifer,terutama berhubungan
dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut.
16
c.Teori kombinasi
Teori ini menyatakan bahwa, kombinasi teori tersebut di atas sebagai penyebab edema
dari jaringan saraf, sehingga menimbulkan iskemia pada jaringan saraf yang berakibat
terganggunya fungsi saraf tersebut.
d.Paparan udara dingin
Selain teori di atas, banyak kepustakaan yang menyebutkan bahwa Bell’s palsy
diakibatkan adanya edema saraf fasialis disekitar foramen stilomastoideus atau sedikit
proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Mungkin sekali edema tersebut merupakan gejala reaksi terhadap proses yang disebut ‘masuk
angin’ (catch cold). Hal ini diketahui dari anamnesis pada kebanyakan penderita bahwa
fasialis paresecunilateral biasanya timbul setelah duduk di mobil dengan jendela terbuka,
tidur di lantai atau setelah ‘bergadang’.
e.Herediter
Kanalis fasialis yang sempit karena faktor keturunan, membuat kecendrungan untuk
mudah terjadi kompresi dengan sedikit saja edema saraf.
HISTOPATOLOGI 1,2,5
Dari penelitian histopatologi tulang temporal, dijumpai beberapa tempat yang rawan
untuk timbulnya lesi akut saraf fasialis pada Bell’s palsy yaitu:
Foramen meatus atau ujung atas dari kanali fallopi, yang merupakan daerah paling
sempit sehingga apabila terjadi sedikit edema, saraf fasialis bisa langsung terjepit
dalam kanalis.
Segmen labirin dimana kanalis fallopinya beranastomosis dengan sistem arteri karotis
melalui mikrovaskuler yang memperdarahi saraf fasialis. Akibatnya saraf di daerah
tersebut rawan untuk cedara diakibatkan iskemia pada arteri karotis, menyebabkan
iskemia mikrovaskular ke saraf fasialis sehingga dapat menimbulkan gangguan.
Jaringan fibrosa sekitar saraf pada tempat keluarnya dari foramen stilomastoideus
dapat merupakan titik konstriksi pada Bell’s palsy. Edema saraf dan jaringan fibrosa
akan mengganggu aliran vena dan drainase limfe, yang akan memperberat edema itu
sendiri.
17
PATOFISIOLOGI1,2
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy
hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat
melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui
kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi,
demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik
yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear,
nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik
primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan
daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadiny Bell’s palsy. Karena itu
nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di
os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi
nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus
longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis
LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa
mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab
utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf
melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
18
GEJALA DAN TANDA 1,2,4,6
Timbul keluhan kelumpuhan otot-otot wajah secara tiba-tiba, biasanya kurang dari 48
jam.
Unilateral/ pada satu sisi wajah. Tidak dijumpai kelainan neurologi atau kelainan otak
sebelumnya, tidak ada riwayat infeksi telinga tengah.
Gejala yang sering timbul: otalgia, hiperakusis, disgeusia, nyeri pada wajah dan daerah
retroaurikular, fenomena Bell
Saat penderita tenang, secara inspeksi pada sisi wajah yang terkena tampak kerutan dahi
menghilang, alis lebih rendah, celah mata lebih besar, lipatan nasolabial menghilang dan
bentuk lubang hidung yang tidak simetris.
Saat menggerakkan otot-otot wajah, penderita tidak dapat mengangkat alis. Pada saat
menggembungkan pipi, bersiul akan tampak deviasi ke arah yang sehat.
Biasanya didahului adanya riwayat infeksi saluran nafas atas
19
Gambar 4. Paralisis N.VII.
Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.
Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.
Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.
Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi.
Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi
Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi air liur
masih baik.
Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis fasialis).
Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan
gangguan salivasi.
Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis
Lesi setinggi ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan gangguan
kelenjar air mata (lakrimasi).
Lesi di porus akustikus internus.
Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.Yang paling sering
ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramenstilomastoideus dan pada
20
setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang sering pada kerusakan
setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media perforata dan mastoiditis
DIAGNOSIS
Diagnosis Bell’s palsy ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda klinis,
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Pasien biasa mengeluhkan : Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada
telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala
kelumpuhan otot wajah yang terjadi secara mendadak.
Pemeriksaan Fisik
1.Pemeriksaan fungsi saraf motorik
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya mimic dan
ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otot-otot tersebut dari sisi superior adalah
sebagai berikut :
a.M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis keatas.
b.M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis
c.M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas
d.M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan keduamata kuat-kuat
21
e.M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi
f.M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut ke depan sambil
memperlihatkan gigi
g.M. Businator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi
h.M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul
i.M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke bawah
j.M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke depan
Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanandan kiri :
a.Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga( 3 )
b.Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )
c.Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )
d.Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai tiga puluh
(30 ).
PEMERIKSAAN1,2,3
Pemeriksaan dilakukan selain untuk mengetahui diagnosis juga untuk mengetahui
prognosis kesembuhan dan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kelumpuhan wajah
disebabkan oleh penyakit yang lain.
Pemeriksaan Klinis
A.Pemeriksaan otologi
Pemeriksaan otologi biasanya normal. Hal ini penting dilakukan untuk menyingkirkan
penyebab fasialis parese karena penyakit lain seperti otitis media supuratif kronis atau
sindroma Ramsay Hunt.
22
B.Pemeriksaan Fungsi Nervus Fasialis
Tes Topografi
1.Uji Lakrimasi (Uji Schirmer) : Dengan pemeriksaan ini fungsi lakrimalis dapat dinilai.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memakai lipatan kertas filter yang diletakkan
nmenggantung pada kedua palpebra inferior lalu dibandingkan kecepatan sekresi airmata
setelah diberi rangsangan ammonia hirup. Setelah 3 menit panjang dari strip yang menjadi
basah dibandingkan dengan sisi satunya.
2.Pemeriksaan fungsi m. stapedius : Tujuan pemeriksaan ini adalah melihat impendance
telinga tengah terhadap rangsang suara.
3.Uji Pengecapan : Pemeriksaan ini merupakan suatu indikator yang dapat diandalkan dalam
mendeteksi terputusnya fungsi saraf korda timpani. Garam dan gula adalah uji pengecapan
yang sering dipakai dan sangat mudah. Hilangnya pengecapan akibat cedera, terbatas pada
2/3 anterior lidah.
4.Pemeriksaan fungsi motorik wajah : Pada pemeriksaan ini dilakukan inspeksi pada wajah
penderita saat : mengerutkan dahi, mengangkat alis, menutup mata, meringis,
menggembungkan pipi, dan bersiul.
Tes Elektrodiagnosis
1.Nerve Excitability Test (NET) : Tes ini mendeteksi besarnya potensial listrik yang
menyebabkan saraf-saraf wajah berkontraksi. Elektroda dari alat stimulator diletakkan di
antara mastoid dan mandibula. Pemeriksaan dilakukan dengan membandingkan sisi yang
normal dengan sisi yang mengalami paralisis. Jika terdapat perbedaan pada kedua sisi
sebesar 3,5 Ma menunjukkan terjadi kerusakan saraf yang berat.
2.Maximal stimulation test (MST) : Tes ini sama dengan NET, tetapi sebagai pengganti
alat pengukur threshold stimulation biasanya dilihat tingkat pergerakan wajah yang
maksimal yang dibandingkan dengan sisi yang normal. Responnya digambarkan sebagai
“sama”, “menurun”, atau “absen” denganstimulasi maksimal yang menunjukkan
degenerasi dan perbaikan yang tidak sempurna.
23
3.Electroneuronography (ENOG) : Tes ini merupakan salah satu jenis evoked
electromyography. Nervus fasialis dirangsang pada area foramen stylomastoid dan
potensial aksiotot oleh elektroda. Stimulasi maksimal digunakan untuk mendapatkan
potensial aksi yang maksimal. Respon pada sisi yang mengalami paralisis dibandingkan
dengan respon yang muncul pada sisi yang normal.
4.Electromyography (EMG) : Tes ini mengukur aktivitas motorik otot wajah dengan cara
melakukan insersi jarum elektroda yang diletakkan pada oculi orbicular dan musculus oris
orbicularis dan direkam aktivitasnya selama fase istirahatdan saat otot berkontraksi. EMG
akan membantu mengevaluasi prognosis penyembuhan fungsional.
C.Pemeriksaan kelenjar parotis dan leher
Dilakukan dengan inspeksi dan palpasi didaerah leher dan kelenjar parotis,untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya penekanan massa seperti tumor parotis yang
menyebabkan terjadinya fasialis parese.
D.Pemeriksaan penunjang
1.Pemeriksaan laboratorium : Biasanya normal. Tetapi perlu dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan penyebab lain kelumpuhan wajah.
2.Radiologi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan bahwa kelumpuhan wajah ini
bukan disebabkan oleh tumor ataupun trauma dapat dilakukan pemeriksaan CT-Scan ataupun
MRI. Computerized tomography (CT)adalah pemeriksaan radiologi yang sangat ideal untuk
melihat perubahan yang terjadi di dalam tulang temporal. Magnetic resonance imaging
(MRI) mampu melihat lesi pada bagian proksimal dan distal nervus fasialis dan mampu
menunjukan abnormalitas.
DIAGNOSIS BANDING
•Sindroma Ramsay Hunt : Gangguan fasialis parese akut yang disebabkan reaktivasi dari
virus varicella zoster yang menyebar ke saraf fasialis. Lesi vaskular sering terlihat di liang
telinga atau telinga luar
24
PENATALAKSANAAN2,3,6,8
a.Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan
efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir semua ahli percaya pada etiologi
virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-
agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan
pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya.
Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy.
Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk
mencegah replikasi virus
b.Kortikosteroid.
Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merupakan suatu
kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan dan kerugian
pemberian steroid pada Bell’s palsy. Para peneliti lebih cenderung memilih menggunakan
steroid untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan
steroid, maka harus segera dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per
oral atau 1 mg/ kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian,
dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk
meningkatkan peluang kesembuhan pasien
c.Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Sehingga pada mata
beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air
mata pengganti, lubrikan, dan pelindung mata.
Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air mata
yang kurang atau tidak ada.
Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun jika air
mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu kerugiannya adalah
pandangan kabur selama pasien terbangun.
25
Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan mengurangi
kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami kontak langsung
dengan kornea.
d.Konsultasi.
Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan yang ketat.
Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan penyembuhan pasien. Berbagai
pendapat muncul mengenai perlunya rujukan ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk
adalah sebagai berikut:
Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan fisik dan
tanda-tanda yang tidak khas dari Bell’s palsy, maka segera dirujuk.
Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau gambaran yang
abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk untuk pemeriksaan lanjutan.
Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten, kelemahan otot
wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya dirujuk.
Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis kadang dianjurkan
untuk pasien dengan Bell’s palsy. Pasien dengan prognosis yang buruk setelah
pemeriksaan nervus facialis atau paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan
pembedahan.
KOMPLIKASI7,8
Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami deformitas
kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak dapat diterima oleh
pasien
a.Regenerasi motorik yang tidak sempurna.
Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf eferen yang merangsang
otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami regenerasi yang tidak optimal, maka
dapat terjadi paresis semua atau beberapa otot wajah tersebut.
Gangguan tampak sebagai :
(1) inkompetensi oral,
(2) epifora (produksi air mata berlebihan)
26
(3) obstruksi nasal.
b.Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.
Dysgeusia (gangguan rasa)
Ageusia (hilang rasa).
Dysesthesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan stimulus
normal).
c.Reinervasi aberan dari nervus facialis
Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai dengan regenerasi
dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil jalan lain dan dapat
berhubungan dengan serabut saraf di dekatnya. Rekoneksi aberan ini dapat menyebabkan
jalur neurologik yang tidak normal. Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai
dengan gerakan involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti dengan gerakan
menutup mata disebelahnya). Gerakan involunter yang menyertai gerakan volunter ini
disebut sinkinesis
PROGNOSIS 7,8
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko
yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
a.Usia di atas 60 tahun.
b.Paralisis komplit.
c.Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.
d.Nyeri pada bagian belakang telinga.
e.Berkurangnya air mata.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik : sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam
waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun
atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala
sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15
persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu
27
4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejalasisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears
dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita non
diabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23% kasus
Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita.
Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar
parotis.
BAB VI
KESIMPULAN
Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut
dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bell’s palsy adalah edema dan
iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. Kelumpuhan perifer N.VII
memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi
yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan didahi akan menghilang dan nampak seluruh
muka sisi yang sakit akan mencong tertarik kearah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer
ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan
kombinasi obat-obatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang
berkesinambungan. Prognosis pasien dengan Bell’s palsy relative baik meskipun pada
beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.
28
DAFTAR PUSTAKA
1.Dhingra PL. Facial Nerve and its Disorders. In: Disease of Ear Nose and Throat. 4th ed.
Elsevier. New Delhi. 2007. 90-5.
2.Lee KJ. Facial nerve paralysis. In: Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th
ed. Mc Graw-Hill Medical Publishing. New York. 2003.169-89
3.Soefferman RA. Facial nerve injury and decompression. In: Nadol JB,Mckenna MJ (ed).
Surgery of the Ear and Temporal Bone. 2nd ed. Lippincott Williams & Wikins. Philadephia.
2005. 435-49.
4.May M. Anatomy for the clinician. In: May M, Schaitkin BM (ed). The Facial Nerve. 2nd
ed. Theime. New York. 2000.1-53.
5.Lustig LR, Niparko JK. Disorder of the facial nerve. In: Lalwani AK (ed).Current
Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head Neck Surgery. McGraw Hill. New York.
2008. 903-29
6.Ballenger JJ. Paralisis Nervus Fasialis. Dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Jilid 2. Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta.1997. 554-65
7.Nara,Sukardi. Bell’s Palsy. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses dari
www.kalbe.co.id/files/cdk/files/espalsy.pdf/espalsy.html. Pada tanggal 16 November 2012.
8.John YS Kim. Facial Nerve Paralysis. Diakses dari
www.emedicine.com/plastic/topic522.htm. Pada tanggal 16 November 2012
29