case bell's palsy

42
BAB I PENDAHULUAN Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell, meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya, Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia. Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000orang. Insiden Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Usia mempengaruhi probabilitas kontraksi Bell’s palsy. Insiden paling tinggi pada orang dengan usia antara 15-45 tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun. Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan 1

Upload: anis-zafirah

Post on 10-Aug-2015

87 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

neurology

TRANSCRIPT

Page 1: Case Bell's Palsy

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering

mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer yang

terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis fasial

idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell,

meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya, Bell’s palsy

merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia.

Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000orang.

Insiden Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan tidak ada

perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Usia

mempengaruhi probabilitas kontraksi Bell’s palsy. Insiden paling tinggi pada orang dengan

usia antara 15-45 tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15

tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.

Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun

pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa.

Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s

palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga

dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara

lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot

wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi

iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa

gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur,

gangguan menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat

menyebabkan individu tersebut menjadi tidak percaya diri.

1

Page 2: Case Bell's Palsy

BAB II

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. R

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 14 Tahun

Pekerjaan : Pelajar

Pendidikan : SMP kelas 8

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum menikah

Alamat :

Tanggal masuk RS : 14 November 2012 jam 1130 WIB

II. ANAMNESIS

Autoanamnesis dan alloanamnesis pasien pada tanggal 14 November 2012 di ruang poli

neuro RS Marzoeki Mahdi

a. Keluhan Utama : mata sebelah kiri tidak dapat ditutup dan mulut mencong ke kiri

sejak 4 hari sebelum masuk ke rumah sakit.

b. Riwayat Penyakit Sekarang :

7 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri di mata sebelah kiri dan kemerahan pada

mata tersebut. Pasien juga mengeluh mata kirinya berair diikuti rasa gatal.

4 hari SMRS, saat pasien sedang istirehat di rumah dan mau tidur, pasien

merasakan mata sebelah kirinya nyeri dan berair, disertai rasa gatal. Oleh karena

pasien merasa ada yang menganjal di matanya, pasien menggosok mata kirinya

sehingga menimbulkan kemerahan di mata tersebut. Pasien juga mengeluh tidak dapat

menutup matanya sehingga matanya makin berair.

4 hari SMRS, saat pasien sedang ingin menyikat gigi, pasien menyadari

mulutnya mencong ke arah kiri tetapi pasien masih bisa berbicara dan tidak pelo.

2

Page 3: Case Bell's Palsy

Keluhan gigi nyeri atau bolong disangkal oleh pasien. Pasien juga menyangkal

pernah ada riwayat trauma di daerah wajah sebelumnya. Namun pasien menyatakan

bahwa sering terpajan dengan kipas dinding yang mengenai wajahnya secara direk

saat istirehat di ruang tamu sambil menonton televisi. Pasien juga sering tidak

memakai helm saat mengenderai speda motor.

Keluhan lemas di sebagian tubuh, bicara pelo, pandangan ganda, gangguan

pengelihatan, sulit menelan, gangguan pengecapan dan kesemutan di sekitar wajah

disangkal pasien. Pusing, nyeri kepala, batuk pilek, mual dan muntah turut disangkal.

BAB dan BAK normal

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengaku tidak pernah mengalami penyakit dengan gejala yang serupa

sebelumnya. Pasien menyatakan bahwa pernah keluar cairan dari telinganya saat

pasien masih kelas 6 SD. Riwayat asma dan alergi makanan serta obat-obatan

disangkal. Tidak pernah dirawat dirumah sakit atau riwayat operasi sebelumnya.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengaku tidak ada keluarga yang mengalami penyakit dengan gejala

yang serupa sebelumnya. Riwayat darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung,

paru, hati dan ginjal di keluarga disangkal. Riwayat asma dan alergi makanan serta

obat-obatan di keluarga disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 80 x/menit, regular, isi cukup.

Suhu : 36.5 oC

Pernapasan : 20 x/menit, regular tipe abdomino-torakal

]

3

Page 4: Case Bell's Palsy

Status Generalis

Kepala : Normosefali, rambut warna hitam, distribusi merata dan

tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)

Hidung : Septum deviasi (-), Sekret (-), nafas cuping hidung (-)

Telinga : Normotia, serumen -/-, sekret -/-

Tenggorokan : Faring hiperemis (-), uvula di tengah, tonsil T2-T2,

tenang

Mulut : Asimetris (mencong ke kanan) , lembab, mukosa tidak

hiperemis, pucat (-), sianosis (-) luka (-), oral higiene

baik, gigi geligi utuh

Lidah : Normoglossia, deviasi (-), hiperemis (-)

Leher : KGB tidak teraba membesar, Kelenjar tiroid tidak

teraba membesar, tidak teraba massa

4

Page 5: Case Bell's Palsy

Jantung

Inspeksi: Simetris, ictus cordis tidak tampak

Palpasi: Ictus cordis teraba di ICS IV, 1 cm medial dari linea midklavikularis

kiri.

Perkusi: - Batas atas: ICS III garis parasternalis kiri

- Batas kanan: Garis sternalis kanan

- Batas kiri: ICS V, 1 cm medial midclavikularis kiri

Auskultasi: BJ I-II regular, Gallop (-), Murmur (-)

Paru

Inspeksi: Pergerakan simetris saat statis dan dinamis

Palpasi: Vocal fremitus simetris

Perkusi: Sonor dikedua lapang paru

Auskultasi: Suara nafas vesikuler, rhonki-/-, wheezing -/-

Abdomen

Inspeksi: Datar

Palpasi: Supel, nyeri tekan tidak ada, hepatomegali (-), splenomegali (-)

Perkusi: Timpani di seluruh kuadran

Auskultasi: Bising usus positif normal

Ekstremitas atas dan bawah

Atas : Akral hangat + / +, edema - / -

Bawah : Akral hangat + / +, edema - / -

IV. STATUS NEUROLOGI

5

Page 6: Case Bell's Palsy

1. Kesadaran : Compos Mentis

2. Tanda Rangsang Meningeal

3.

Nervus cranialis

N I (Olfaktorius ) : Normoosmia

N II (Optalmikus) :

Visus : Visus kasar baik

Lapang pandang : Baik

Warna : Baik

Funduskopi : Tidak dilakukan

N III, IV, VI (Okulomotorius, Troklearis, Abdusens) :

6

Kanan Kiri

Kaku kuduk - -

Laseque - -

Kernig - -

Brudzinski I - -

Brudzinski II - -

Brudzinski III - -

Brudzinski IV - -

Kanan Kiri

Kedudukan bola mata Ortoforia Ortoforia

Pergerakan bola mata Baik Baik

Eksoftalmus - -

Nistagmus - -

Ptosis - -

Pupil :

- Bentuk Bulat Bulat

- Ukuran 3mm 3mm

- Isokor/ Anisokor Isokor Isokor

- Refleks cahaya langsung + +

-Refleks cahaya tidak langsung + +

Page 7: Case Bell's Palsy

N.V (Trigeminus):

Motorik

Membuka mulut Baik

Gerakan rahang Baik

Menggigit Baik

Sensorik

Rasa nyeri Simetris

Rasa raba Simetris

Rasa suhu Tidak dilakukan

N.VII (Fasialis):

Sikap wajah Kanan Kiri

Angkat alis Dapat diangkat Tidak dapat diangkat

Kerut dahi Ada kerutan Tidak ada kerutan

Kembung pipi Baik Tidak bisa

Menyeringai Baik Mencong ke kiri

N.VIII (Vestibulokoklearis) :

Kanan Kiri

Nistagmus -

Past pointing Baik

Gesekan jari + +

7

Page 8: Case Bell's Palsy

Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

8

Page 9: Case Bell's Palsy

N IX, X (Glosofaringeus, Vagus):

Arcus faring : Simetris

Uvula : Ditengah

Refleks muntah : +

Disfonia, disartria, disfagia : -

N XI (Asesorius):

Gerakan Kanan Kiri

Mengangkat bahu Baik Baik

Menoleh Baik Baik

N XII (Hipoglosus):

Pergerakan lidah Baik, deviasi (-)

Tremor -

Atrofi -

4. Sistem Motorik

Kanan Kiri

Kekuatan otot ekstremitas atas 5555 5555

Kekuatan otot ekstremitas bawah 5555 5555

5. Refleks Fisiologis

Kanan Kiri

Biseps + +

Triseps + +

Patella + +

Achilles + +

9

Page 10: Case Bell's Palsy

6. Refleks Patologis

Kanan Kiri

Babinsky - -

Oppenheim - -

Chaddock - -

Gordon - -

Schaeffer - -

Rossolimo - -

Mendel-

Bechtrerew

- -

Stransky - -

Bing - -

Gonda - -

7. Pemeriksaan sensoris ( kedua tangan dan kaki bawah kanan dan kiri

- Sensasi nyeri +/+ ( normal )

- Sensasi raba +/+ ( normal )

8. Fungsi Luhur : dbn

9. Fungsi serebelum : dbn

10. Columna Vertebralis dan Corpus Vertebralis : dbn

V. DIAGNOSIS KERJA

DIAGNOSIS KLINIS

• Paralisis N.VII perifer sinistra

DIAGNOSIS ETIOLOGI

• Idiopatik (Bell’s palsy)

DIAGNOSIS TOPIK

• Lower Motor Neuron- Lesi N. Facialis perifer sinistra setinggi foramen

stylomastoideus.

10

Page 11: Case Bell's Palsy

PENATALAKSANAAN

- Methyl Prednisolone 3 x 8 mg p.o

- Ranitidin 2 x 75mg p.o

- Lapibal 2 x 800 mg p.o.

- Dianjurkan untuk melakukan latihan fisioterapi otot wajah dirumah dengan

mengoleskan daerah wajah sebelah kiri dengan handuk yang telah dibasahi

dengan air hangat dan diusapkan dari bawah ke samping wajah sesering

mungkin.

- Disarankan juga untuk memberi lubrikan dan pelindung mata dalam perawatan

mata pasien karena mata pasien mudah terpapar dengan benda asing dan mudah

terjadi kekeringan kornea.

XI. PROGNOSIS

- Ad vitam : Ad bonam

- Ad sanationam : Ad bonam

- Ad fungsionam : Ad bonam

11

Page 12: Case Bell's Palsy

BAB III

ANALISIS KASUS

Pasien An. R, 14 tahun, datang dengan keluhan mata sebelah kiri tidak dapat ditutup

dan mulut mencong ke kiri sejak 4 hari sebelum masuk ke rumah sakit. Keluhan berawal dari

mata sebelah kiri yang mengalami nyeri dan gatal disertai mata berair dan kemerahan.

Pada pemeriksaan nervus cranialis didapatkan adanya asimetri pada lipatan

nasolabial, dan sudut mulut dalam keadaan diam. Pasien tidak dapat menutup mata sebelah

kiri, tidak dapat mengangkat alis kiri, tidak dapat mengerutkan dahi sebelah kiri. Selain itu,

terdapat asimetri pada gerakan tersenyum, menyeringai/meringis. Hasil dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik ini mengarah kepada adanya paralisis nervus VII perifer sinistra.

Dalam menghadapi kasus dengan adanya kelumpuhan pada salah satu sisi wajah,

maka harus dibedakan apakan lesi yang dialami merupakan lesi tipe UMN (Upper Motor

Neuron) atau lesi LMN (Lower Motor Neuron). Kelemahan tipe LMN, yang disebabkan oleh

kerusakan nucleus fasialis di batang otak atau nervusnya, akan menyebabkan semua otot

ekspresi wajah menjadi lumpuh/lemah. Akan tetapi pada lesi UMN, di mana lesi terletak

antara korteks serebri kontralateral dan pons, otot-otot pada bagian atas wajah terutama otot

frontalis, yang berperan untuk mengangkat alis dan mengernyitkan dahi dapat tetap berfungsi

dengan baik. Hal ini disebabkan karena LMN pada bagian atas wajah diinervasi secara

bilateral oleh serat-serat kortikopontin sehingga, walaupun neuron dari korteks kontralateral

rusak, tetapi persarafan ipsilateral akan tetap berfungsi dengan baik. Pada pasien ini,

kelemahan yang terjadi bersifat LMN dengan kemungkinan lesi pada foramen stylomastoid

karena hanya didapatkan tidak dapat menutup mata , mulut mencong dan tidak dapat

mengangkat dahi dan mengerutkan kening di sisi sebelah kiri. Fungsi pengecapan pasien

masih baik.

Patofisiologi yang tepat dari Bell’s palsy masih dalam perdebatan. Teori yang

popular menyatakan adanya inflamasi dan pembengkakan dari nervus fasialis di dalam tulang

temporal sehingga mengakibatkan kompresi dari nervus. Nervus Fasialis ini melewati tulang

12

Page 13: Case Bell's Palsy

temporal pada canalis fasialis dimana segmen awal dari kanal ini, yaitu segmen labyrinthine

yang merupakan segmen tersempit memiliki diameter sekitar 0.66 mm. Secara logika,

mungkin saja proses inflamasi, demyelinisasi, iskemik, atau proses kompresif dapat

mengganggu konduksi saraf di tempat ini.

Banyak kasus Bell’s palsy memiliki riwayat paparan terhadap angin atau suhu dingin,

misalnya terpapar angin saat sedang menyetir mobil dengan jendela terbuka, terkena AC

ataupun kipas angin, maupun saat berbaring di lantai tanpa ada penghalang antara sisi

samping wajah dengan lantai. Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat sering terpapar

dengan kipas angin di dinding secara direk saat istirehat di ruang tamu dan tidak memakai

helm saat mengenderai motor ke sekolah yang mungkin menyebabkan wajah pasien sering

terpapar dengan angin. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen

stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan Bell’s Palsy secara medikamentosa yaitu

dengan pemberian kortikosteroid, seperti methyl prednison 1mg/kgBB, di tappering off

diturunkan 2 tab/hari sampai 10 hari (stadium akut), diberikan Nurodex 3x1 tab, dan dapat

ditambahkan analgetik (bila nyeri). Namun pada pasien diberikan sesuai terapi diatas

berdasarkan usia pasien dan keluhan yang dialaminya. Tatalaksana non medikamentosa

berupa fisioterapi, dengan melatih sisi wajah yang lumpuh untuk melakukan gerakan seperti

mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, bersiul/meniup, mengangkat sudut mulut, dapat

juga dilakukan massase wajah sisi yang lumpuh. Tujuan fisioterapi ini untuk

mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Prognosis kasus ini adalah bonam, karena

berdasarkan epidemiologi 80-85% penderita dengan Bell’s Palsy akan sembuh sempurna

(dalam waktu 3 bulan). Paralisis ringan atau sedang pada saat awitan merupakan tanda

prognosis baik

13

Page 14: Case Bell's Palsy

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI1,2,3,4,5

Saraf fasialis mempunyai perjalanan yang panjang dan sebagian besar berada di

dalam os temporal. Saraf ini bersifat sensorik, motorik dan parasimpatis.

Serat-serat upper motor neuron dari saraf fasialis berasal dari korteks serebri hingga

nukleus saraf fasialis. Daerah motorik pertama berasal dari sepertiga bawah girus presentalis.

Serat-serat ini berjalan ke bawah melalui genu dari kapsula interna ke basis pedunkuli dan

berakhir pada saraf fasialiskontralateral. Komponen saraf fasialis yang menginervasi bagian

atas wajah berasal dari korteks yang kontralateral. Daerah motorik kedua terletak di lobus

temporalis.

Serat-serat lower motor neuron berasal dari nukleus saraf ke bawah, yang terbagi atas

3 tempat yaitu :

Pars Intrakranial

Saraf fasialis berjalan dari pons ke porus akustikus internus. Panjangnya sekitar 23-24 mm.

pada daerah ini, saraf fasialis sebelah anterior dari saraf kokleovestibularis dan saraf

intermedius.

Pars Intratemporal

(a) Segmen meatal : Berjalan dalam kanalis auditori internus sepanjang 8-10 mm.

(b) Segmen labirin : Berjalan dari fundus meatus menuju ganglion genikulatum dengan

panjang sekitar 3-5 mm, dimana saraf fasialis ini membelok ke arah posterior dengan tajam

membentuk suatu ‘genu’ (1st genu). Di daerah ini terdapat percabangan saraf fasialis yang

disebut saraf petrosus superior mayor yang keluar dari ganglion genikulatum. Saraf ini

memberikan rangsangan untuk sekresi pada kelenjar lakrimalis.

(c) Segmen Timpani (segmen horizontal) : Panjangnya sekitar 8-11 mm, dan pada daerah ini

membuat putaran kedua (2nd genu). Pada segmen ini saraf fasialis berjalan melewati bagian

14

Page 15: Case Bell's Palsy

atas dari eminensia piramidalis, melewati bagian atas oval window dan berjalan ke bawah

kanalis semisirkularis lateral. Saraf berjalan turun dari 1st genu secara vertikal dan

mengeluarkan cabang untuk otot stapedius.

(d) Segmen Mastoid (segmen vertikal) : Saraf berjalan dari eminensia piramidalis sampai dengan foramen stilomastoideus. Panjangnya sekitar 10-14 mm. dibagian ini muncul cabangsaraf fasialis yang masuk ke telinga tengah sebagai saraf timpani. Korda membawa serabut-serabut nyeri, raba dan suhu serta pengecapan untuk dua pertiga anterior lidah. Saraf ini juga mengurusi saliva submandibula. Korda berjalan di antara maleus dan inkus

Gambar 1: Anatomi tofografi dari nervus Facialis ( N. VII)

Pars Ekstrakranial

Setelah keluar dari foramen stilomastoideus, saraf berjalan ke arah anterior dan sedikit

inferior ke arah permukaan posterior dari daerah parotis yang kemudian bercabang menjadi

komponen dari saraf di daerah fasialis yang terbagi atas cabang saraf temporal, zigomatikus,

bukalis, mandibular, dan servikalis

15

Page 16: Case Bell's Palsy

Gambar 2. Perjalanan N.VII di daerah wajah.

ETIOLOGI 1,5

Penyebab pasti dari penyakit ini masih belum jelas. Banyak teori -teori yang mencoba

menerangkan timbulnya kelainan akut saraf fasialis ini, antara lain:

a.Teori infeksi virus :

Beberapa virus diduga sebagai penyebab terjadinya Bell’s palsy antara lain virus

Herpes simpleks, Herpes zoster ataupun virus Epstei-Barr. Keadaan ini terjadi akibat

reaktifasi karena terjadi infeksi akut primer. Virus tersebut dalam jangka waktu lama berada

dalam ganglion sensorius sehingga terjadi proses peradangan. Gangguan vaskuler pada

akhirnya akan menimbulkan degenerasi pada saraf VII perifer.

b.Teori iskemia vaskular :

Kelumpuhan pada saraf fasialis karena adanya gangguan sirkulasi darah di kanalis

fallopi. Kerusakan yang timbul oleh tindakan pada saraf perifer,terutama berhubungan

dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut.

16

Page 17: Case Bell's Palsy

c.Teori kombinasi

Teori ini menyatakan bahwa, kombinasi teori tersebut di atas sebagai penyebab edema

dari jaringan saraf, sehingga menimbulkan iskemia pada jaringan saraf yang berakibat

terganggunya fungsi saraf tersebut.

d.Paparan udara dingin

Selain teori di atas, banyak kepustakaan yang menyebutkan bahwa Bell’s palsy

diakibatkan adanya edema saraf fasialis disekitar foramen stilomastoideus atau sedikit

proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.

Mungkin sekali edema tersebut merupakan gejala reaksi terhadap proses yang disebut ‘masuk

angin’ (catch cold). Hal ini diketahui dari anamnesis pada kebanyakan penderita bahwa

fasialis paresecunilateral biasanya timbul setelah duduk di mobil dengan jendela terbuka,

tidur di lantai atau setelah ‘bergadang’.

e.Herediter

Kanalis fasialis yang sempit karena faktor keturunan, membuat kecendrungan untuk

mudah terjadi kompresi dengan sedikit saja edema saraf.

HISTOPATOLOGI 1,2,5

Dari penelitian histopatologi tulang temporal, dijumpai beberapa tempat yang rawan

untuk timbulnya lesi akut saraf fasialis pada Bell’s palsy yaitu:

Foramen meatus atau ujung atas dari kanali fallopi, yang merupakan daerah paling

sempit sehingga apabila terjadi sedikit edema, saraf fasialis bisa langsung terjepit

dalam kanalis.

Segmen labirin dimana kanalis fallopinya beranastomosis dengan sistem arteri karotis

melalui mikrovaskuler yang memperdarahi saraf fasialis. Akibatnya saraf di daerah

tersebut rawan untuk cedara diakibatkan iskemia pada arteri karotis, menyebabkan

iskemia mikrovaskular ke saraf fasialis sehingga dapat menimbulkan gangguan.

Jaringan fibrosa sekitar saraf pada tempat keluarnya dari foramen stilomastoideus

dapat merupakan titik konstriksi pada Bell’s palsy. Edema saraf dan jaringan fibrosa

akan mengganggu aliran vena dan drainase limfe, yang akan memperberat edema itu

sendiri.

17

Page 18: Case Bell's Palsy

PATOFISIOLOGI1,2

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada

nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy

hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori

menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan

peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat

melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui

kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar

sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi,

demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik

yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear,

nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik

primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan

daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.

Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca

jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadiny Bell’s palsy. Karena itu

nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan

kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di

os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi

nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus

longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan

muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis

LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa

mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab

utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang

menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf

melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa

ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

18

Page 19: Case Bell's Palsy

GEJALA DAN TANDA 1,2,4,6

Timbul keluhan kelumpuhan otot-otot wajah secara tiba-tiba, biasanya kurang dari 48

jam.

Unilateral/ pada satu sisi wajah. Tidak dijumpai kelainan neurologi atau kelainan otak

sebelumnya, tidak ada riwayat infeksi telinga tengah.

Gejala yang sering timbul: otalgia, hiperakusis, disgeusia, nyeri pada wajah dan daerah

retroaurikular, fenomena Bell

Saat penderita tenang, secara inspeksi pada sisi wajah yang terkena tampak kerutan dahi

menghilang, alis lebih rendah, celah mata lebih besar, lipatan nasolabial menghilang dan

bentuk lubang hidung yang tidak simetris.

Saat menggerakkan otot-otot wajah, penderita tidak dapat mengangkat alis. Pada saat

menggembungkan pipi, bersiul akan tampak deviasi ke arah yang sehat.

Biasanya didahului adanya riwayat infeksi saluran nafas atas

19

Page 20: Case Bell's Palsy

Gambar 4. Paralisis N.VII.

Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.

Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.

Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.

Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat

Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi.

Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi

Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi air liur

masih baik.

Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis fasialis).

Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan

gangguan salivasi.

Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.

Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis

Lesi setinggi ganglion genikulatum.

Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan gangguan

kelenjar air mata (lakrimasi).

Lesi di porus akustikus internus.

Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.Yang paling sering

ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramenstilomastoideus dan pada

20

Page 21: Case Bell's Palsy

setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang sering pada kerusakan

setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media perforata dan mastoiditis

DIAGNOSIS

Diagnosis Bell’s palsy ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda klinis,

pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Pasien biasa mengeluhkan : Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada

telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala

kelumpuhan otot wajah yang terjadi secara mendadak.

Pemeriksaan Fisik

1.Pemeriksaan fungsi saraf motorik

Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya mimic dan

ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otot-otot tersebut dari sisi superior adalah

sebagai berikut :

a.M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis keatas.

b.M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis

c.M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas

d.M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan keduamata kuat-kuat

21

Page 22: Case Bell's Palsy

e.M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi

f.M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut ke depan sambil

memperlihatkan gigi

g.M. Businator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi

h.M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul

i.M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke bawah

j.M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke depan

Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanandan kiri :

a.Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga( 3 )

b.Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )

c.Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )

d.Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )

Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai tiga puluh

(30 ).

PEMERIKSAAN1,2,3

Pemeriksaan dilakukan selain untuk mengetahui diagnosis juga untuk mengetahui

prognosis kesembuhan dan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kelumpuhan wajah

disebabkan oleh penyakit yang lain.

Pemeriksaan Klinis

A.Pemeriksaan otologi

Pemeriksaan otologi biasanya normal. Hal ini penting dilakukan untuk menyingkirkan

penyebab fasialis parese karena penyakit lain seperti otitis media supuratif kronis atau

sindroma Ramsay Hunt.

22

Page 23: Case Bell's Palsy

B.Pemeriksaan Fungsi Nervus Fasialis

Tes Topografi

1.Uji Lakrimasi (Uji Schirmer) : Dengan pemeriksaan ini fungsi lakrimalis dapat dinilai.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan memakai lipatan kertas filter yang diletakkan

nmenggantung pada kedua palpebra inferior lalu dibandingkan kecepatan sekresi airmata

setelah diberi rangsangan ammonia hirup. Setelah 3 menit panjang dari strip yang menjadi

basah dibandingkan dengan sisi satunya.

2.Pemeriksaan fungsi m. stapedius : Tujuan pemeriksaan ini adalah melihat impendance

telinga tengah terhadap rangsang suara.

3.Uji Pengecapan : Pemeriksaan ini merupakan suatu indikator yang dapat diandalkan dalam

mendeteksi terputusnya fungsi saraf korda timpani. Garam dan gula adalah uji pengecapan

yang sering dipakai dan sangat mudah. Hilangnya pengecapan akibat cedera, terbatas pada

2/3 anterior lidah.

4.Pemeriksaan fungsi motorik wajah : Pada pemeriksaan ini dilakukan inspeksi pada wajah

penderita saat : mengerutkan dahi, mengangkat alis, menutup mata, meringis,

menggembungkan pipi, dan bersiul.

Tes Elektrodiagnosis

1.Nerve Excitability Test (NET) : Tes ini mendeteksi besarnya potensial listrik yang

menyebabkan saraf-saraf wajah berkontraksi. Elektroda dari alat stimulator diletakkan di

antara mastoid dan mandibula. Pemeriksaan dilakukan dengan membandingkan sisi yang

normal dengan sisi yang mengalami paralisis. Jika terdapat perbedaan pada kedua sisi

sebesar 3,5 Ma menunjukkan terjadi kerusakan saraf yang berat.

2.Maximal stimulation test (MST) : Tes ini sama dengan NET, tetapi sebagai pengganti

alat pengukur threshold stimulation biasanya dilihat tingkat pergerakan wajah yang

maksimal yang dibandingkan dengan sisi yang normal. Responnya digambarkan sebagai

“sama”, “menurun”, atau “absen” denganstimulasi maksimal yang menunjukkan

degenerasi dan perbaikan yang tidak sempurna.

23

Page 24: Case Bell's Palsy

3.Electroneuronography (ENOG) : Tes ini merupakan salah satu jenis evoked

electromyography. Nervus fasialis dirangsang pada area foramen stylomastoid dan

potensial aksiotot oleh elektroda. Stimulasi maksimal digunakan untuk mendapatkan

potensial aksi yang maksimal. Respon pada sisi yang mengalami paralisis dibandingkan

dengan respon yang muncul pada sisi yang normal.

4.Electromyography (EMG) : Tes ini mengukur aktivitas motorik otot wajah dengan cara

melakukan insersi jarum elektroda yang diletakkan pada oculi orbicular dan musculus oris

orbicularis dan direkam aktivitasnya selama fase istirahatdan saat otot berkontraksi. EMG

akan membantu mengevaluasi prognosis penyembuhan fungsional.

C.Pemeriksaan kelenjar parotis dan leher

Dilakukan dengan inspeksi dan palpasi didaerah leher dan kelenjar parotis,untuk

menyingkirkan kemungkinan adanya penekanan massa seperti tumor parotis yang

menyebabkan terjadinya fasialis parese.

D.Pemeriksaan penunjang

1.Pemeriksaan laboratorium : Biasanya normal. Tetapi perlu dilakukan untuk menyingkirkan

kemungkinan penyebab lain kelumpuhan wajah.

2.Radiologi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan bahwa kelumpuhan wajah ini

bukan disebabkan oleh tumor ataupun trauma dapat dilakukan pemeriksaan CT-Scan ataupun

MRI. Computerized tomography (CT)adalah pemeriksaan radiologi yang sangat ideal untuk

melihat perubahan yang terjadi di dalam tulang temporal. Magnetic resonance imaging

(MRI) mampu melihat lesi pada bagian proksimal dan distal nervus fasialis dan mampu

menunjukan abnormalitas.

DIAGNOSIS BANDING

•Sindroma Ramsay Hunt : Gangguan fasialis parese akut yang disebabkan reaktivasi dari

virus varicella zoster yang menyebar ke saraf fasialis. Lesi vaskular sering terlihat di liang

telinga atau telinga luar

24

Page 25: Case Bell's Palsy

PENATALAKSANAAN2,3,6,8

a.Agen antiviral.

Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan

efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir semua ahli percaya pada etiologi

virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-

agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan

pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya.

Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy.

Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk

mencegah replikasi virus

b.Kortikosteroid.

Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merupakan suatu

kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan dan kerugian

pemberian steroid pada Bell’s palsy. Para peneliti lebih cenderung memilih menggunakan

steroid untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan

steroid, maka harus segera dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per

oral atau 1 mg/ kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian,

dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk

meningkatkan peluang kesembuhan pasien

c.Perawatan mata.

Mata sering tidak terlindungi pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Sehingga pada mata

beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air

mata pengganti, lubrikan, dan pelindung mata.

Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air mata

yang kurang atau tidak ada.

Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun jika air

mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu kerugiannya adalah

pandangan kabur selama pasien terbangun.

25

Page 26: Case Bell's Palsy

Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan mengurangi

kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami kontak langsung

dengan kornea.

d.Konsultasi.

Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan yang ketat.

Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan penyembuhan pasien. Berbagai

pendapat muncul mengenai perlunya rujukan ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk

adalah sebagai berikut:

Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan fisik dan

tanda-tanda yang tidak khas dari Bell’s palsy, maka segera dirujuk.

Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau gambaran yang

abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk untuk pemeriksaan lanjutan.

Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten, kelemahan otot

wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya dirujuk.

Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis kadang dianjurkan

untuk pasien dengan Bell’s palsy. Pasien dengan prognosis yang buruk setelah

pemeriksaan nervus facialis atau paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan

pembedahan.

KOMPLIKASI7,8

Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami deformitas

kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak dapat diterima oleh

pasien

a.Regenerasi motorik yang tidak sempurna.

Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf eferen yang merangsang

otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami regenerasi yang tidak optimal, maka

dapat terjadi paresis semua atau beberapa otot wajah tersebut.

Gangguan tampak sebagai :

(1) inkompetensi oral,

(2) epifora (produksi air mata berlebihan)

26

Page 27: Case Bell's Palsy

(3) obstruksi nasal.

b.Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.

Dysgeusia (gangguan rasa)

Ageusia (hilang rasa).

Dysesthesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan stimulus

normal).

c.Reinervasi aberan dari nervus facialis

Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai dengan regenerasi

dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil jalan lain dan dapat

berhubungan dengan serabut saraf di dekatnya. Rekoneksi aberan ini dapat menyebabkan

jalur neurologik yang tidak normal. Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai

dengan gerakan involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti dengan gerakan

menutup mata disebelahnya). Gerakan involunter yang menyertai gerakan volunter ini

disebut sinkinesis

PROGNOSIS 7,8

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko

yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:

a.Usia di atas 60 tahun.

b.Paralisis komplit.

c.Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.

d.Nyeri pada bagian belakang telinga.

e.Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik : sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam

waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun

atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala

sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15

persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu

27

Page 28: Case Bell's Palsy

4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejalasisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears

dan kadang spasme hemifasial.

Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita non

diabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23% kasus

Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita.

Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar

parotis.

BAB VI

KESIMPULAN

Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut

dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bell’s palsy adalah edema dan

iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. Kelumpuhan perifer N.VII

memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi

yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan didahi akan menghilang dan nampak seluruh

muka sisi yang sakit akan mencong tertarik kearah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer

ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan

kombinasi obat-obatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang

berkesinambungan. Prognosis pasien dengan Bell’s palsy relative baik meskipun pada

beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.

28

Page 29: Case Bell's Palsy

DAFTAR PUSTAKA

1.Dhingra PL. Facial Nerve and its Disorders. In: Disease of Ear Nose and Throat. 4th ed.

Elsevier. New Delhi. 2007. 90-5.

2.Lee KJ. Facial nerve paralysis. In: Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th

ed. Mc Graw-Hill Medical Publishing. New York. 2003.169-89

3.Soefferman RA. Facial nerve injury and decompression. In: Nadol JB,Mckenna MJ (ed).

Surgery of the Ear and Temporal Bone. 2nd ed. Lippincott Williams & Wikins. Philadephia.

2005. 435-49.

4.May M. Anatomy for the clinician. In: May M, Schaitkin BM (ed). The Facial Nerve. 2nd

ed. Theime. New York. 2000.1-53.

5.Lustig LR, Niparko JK. Disorder of the facial nerve. In: Lalwani AK (ed).Current

Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head Neck Surgery. McGraw Hill. New York.

2008. 903-29

6.Ballenger JJ. Paralisis Nervus Fasialis. Dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala

dan Leher. Jilid 2. Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta.1997. 554-65

7.Nara,Sukardi. Bell’s Palsy. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses dari

www.kalbe.co.id/files/cdk/files/espalsy.pdf/espalsy.html. Pada tanggal 16 November 2012.

8.John YS Kim. Facial Nerve Paralysis. Diakses dari

www.emedicine.com/plastic/topic522.htm. Pada tanggal 16 November 2012

29