referat akalasia

29
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Akalasia esofagus dikenal juga dengan nama simple ectasia, kardiospasme, megaesofagus, dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau dilatasi esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah achalasia berarti “gagal untuk mengendur” dan merujuk pada ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung. Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air atau minuman guna menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal dan umumnya terjadi regurgitasi. Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1672. Mula-mula diduga penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal, sehingga dia melakukan dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk ke dalam lambung. Pada tahun 1908 Henry Plummer melakukan dilatasi dengan kateter balon. Pada tahun 1913 Heller melakukan pembedahan dengan cara kardiomiotomi di luar

Upload: assyifa-anindya

Post on 25-Apr-2017

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat akalasia

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Akalasia esofagus dikenal juga dengan nama simple ectasia, kardiospasme,

megaesofagus, dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau dilatasi esofagus

idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah achalasia berarti “gagal

untuk mengendur” dan merujuk pada ketidakmampuan dari lower esophageal

sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung) untuk

membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung. Kegagalan relaksasi

batas esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi bagian

proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia merasa

perlu mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air atau minuman guna

menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal

dan umumnya terjadi regurgitasi.

Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1672. Mula-mula

diduga penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal, sehingga dia melakukan

dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk ke dalam

lambung. Pada tahun 1908 Henry Plummer melakukan dilatasi dengan kateter

balon. Pada tahun 1913 Heller melakukan pembedahan dengan cara

kardiomiotomi di luar mukosa yang terus dianut sampai sekarang. Namun,

Penyebab dari achalasia ini masih belum diketahui dengan pasti. Teori-teori atas

penyebab akalasia pun mulai bermunculan seperti suatu proses yang melibatkan

infeksi, kelainan atau yang diwariskan (genetik), sistim imun yang menyebabkan

tubuh sendiri untuk merusak esophagus (penyakit autoimun), dan proses penuaan

(proses degeneratif).

Akalasia merupakan salah satu penyakit yang jarang terjadi. Prevalensi

akalasia esophagus sekitar 10 kasus per 100.000 populasi di mana rasio kejadian

penyakit ini sama antara laki-laki dengan perempuan yaitu 1 : 1. Menurut

penelitian, distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur

kelahiran sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang

Page 2: Referat akalasia

2

dari 5% kasus didapatkan pada anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang

dewasa adalah 25-60 tahun.

Walaupun penyakit ini jarang terjadi tapi kita harus bisa mengenali dan

mengatasi penyakit ini karena komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit ini

sangat mengancam nyawa seperti obstruksi saluran pernapasan sampai sudden

death. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui penegakan

diagnosis akalasia esofagus. Diagnosis akalasia esofagus ditegakkan berdasarkan

gejala klinis, gambaran radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik.

Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus

tidak dapat dipulihkan kerabali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet

tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi

esofagokardiotomi (operasi Heller).

1.2. Tujuan

1. Mengetahui etiologi akalasia

2. Mengetahui manifestasi klinis dari akalasia

3. Menegakkan diagnosa akalasia

4. Mengetahui penatalaksanaan akalasia

5. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada akalasia

Page 3: Referat akalasia

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama simple ectasia,

kardiospasme, megaesofagus, dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau dilatasi

esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah akalasia berarti

“gagal untuk mengendur” dan merujuk pada ketidakmampuan dari lower

esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung)

untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung.

Akalasia merupakan suatu keadaan khas yang ditandai dengan tidak adanya

peristaltis korpus esofagus bagian bawah dan lower esophageal sphincter (LES)

yang hipertonik sehingga tidak bisa mengadakan relaksasi secara sempurna pada

waktu menelan makanan. Secara histopatologik kelainan ini ditandai oleh

degenerasi ganglia pleksus mienterikus. Akibat keadaan ini akan terjadi stasis

makanan dan selanjutnya akan timbul pelebaran esofagus. Keadaan ini akan

menimbulkan gejala dan komplikasi tergantung dari berat dan lamanya kelainan

yang terjadi.

2.2. Epidemiologi

Akalasia merupakan salah satu penyakit yang jarang terjadi. Prevalensi

akalasia esophagus sekitar 10 kasus per 100.000 populasi di mana rasio kejadian

penyakit ini sama antara laki-laki dengan perempuan yaitu 1 : 1. Menurut

penelitian, distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur

kelahiran sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang

dari 5% kasus didapatkan pada anak-anak). Dari data Divisi Gastroenterologi,

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu

5 tahun (1984-1988). Sebagian besar kasus terjadi pada umur pertengahan dengan

perbandingan jenis kelamin yang hampir sama. Di Amerika Serikat ditemukan

sekitar 2000 kasus akalasia setiap tahun, sebagian besar pada usia 25-60 tahun dan

Page 4: Referat akalasia

4

sedikit pada anak-anak. Kelainan ini tidak diturunkan dan biasanya membutuhkan

waktu bertahun-tahun hingga menimbulkan gejala.

2.3. Anatomi dan Fisiologi

Esofagus adalah suatu saluran otot vertikal yang menghubungkan hipofaring

dengan lambung. Ukuran panjangnya 23-25 cm dan lebarnya sekitar 2 cm (pada

keadaan yang paling lebar) pada orang dewasa. Esofagus dimulai dari batas

bawah kartilago krikoidea kira-kira setinggi vertebra servikal VI. Dari batas tadi,

esofagus terbagi menjadi tiga bagian yaitu, pars cervical, pars thoracal dan pars

abdominal. Esofagus kemudian akan berakhir di orifisium kardia gaster setinggi

vertebra thoracal XI. Terdapat empat penyempitan fisiologis pada esofagus yaitu,

penyempitan sfingter krikofaringeal, penyempitan pada persilangan aorta (arkus

aorta), penyempitan pada persilangan bronkus kiri dan penyempitan diafragma

(hiatus esofagus).

Dinding esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu mukosa yang merupakan epitel

skuamosa, submukosa yang terbuat dari jaringan fibrosa elastis dan merupakan

lapisan yang terkuat dari dinding esofagus, otot-otot esofagus yang terdiri dari

otot sirkuler bagian dalam dan longitudinal bagian luar dimana 2/3 bagian atas

dari esofagus merupakan otot skelet dan 1/3 bagian bawahnya merupakan otot

polos.

Pada bagian leher, esofagus menerima darah dari a. karotis interna dan

trunkus tyroservikal. Pada bagian mediastinum, esofagus disuplai oleh a. esofagus

dan cabang dari a. bronkial. Setelah masuk ke dalam hiatus esofagus, esofagus

menerima darah dari a. phrenicus inferior dan bagian yang berdekatan dengan

gaster di suplai oleh a. gastrica sinistra. Darah dari kapiler-kapiler esofagus akan

berkumpul pada v. esofagus, v. thyroid inferior, v. azygos, dan v. gastrica.

Esofagus diinervasi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari

pleksus esofagus atau yang biasa disebut pleksus mienterik Auerbach yang

terletak di antara otot longitudinal dan otot sirkular sepanjang esofagus.

Esofagus mempunyai 3 bagian fungsional. Bagian paling atas adalah upper

esophageal sphincter (sfingter esofagus atas), suatu cincin otot yang membentuk

Page 5: Referat akalasia

5

bagian atas esofagus dan memisahkan esofagus dengan tenggorokan. Sfingter ini

selalu menutup untuk mencegah makanan dari bagian utama esofagus masuk ke

dalam tenggorokan. Bagian utama dari esofagus disebut sebagai badan dari

esofagus, suatu saluran otot yang panjangnya kira-kira 20 cm. Bagian fungsional

yang ketiga dari esofagus yaitu lower esophageal sphincter (sfingter esophagus

bawah), suatu cincin otot yang terletak di pertemuan antara esofagus dan

lambung. Seperti halnya sfingter atas, sfingter bawah selalu menutup untuk

mencegah makanan dan asam lambung untuk kembali naik/regurgitasi ke dalam

badan esofagus. Sfingter bagian atas akan berelaksasi pada proses menelan agar

makanan dan saliva dapat masuk ke dalam bagian atas dari badan esofagus.

Kemudian, otot dari esofagus bagian atas yang terletak di bawah sfingter

berkontraksi, menekan makanan dan saliva lebih jauh ke dalam esofagus.

Kontraksi yang disebut gerakan peristaltik ini akan membawa makanan dan saliva

untuk turun ke dalam lambung. Pada saat gelombang peristaltik ini sampai pada

sfingter bawah, maka akan membuka dan makanan masuk ke dalam lambung.

Esofagus berfungsi membawa makanan, cairan, sekret dari faring ke gaster

melalui suatu proses menelan, dimana akan terjadi pembentukan bolus makanan

dengan ukuran dan konsistensi yang lunak, proses menelan terdiri dari tiga fase

yaitu :

1. Fase oral, makanan dalam bentuk bolus akibat proses mekanik bergerak

pada dorsum lidah menuju orofaring, palatum mole dan bagian atas

dinding posterior faring terangkat.

2. Fase pharingeal, terjadi refleks menelan (involuntary), faring dan laring

bergerak ke atas oleh karena kontraksi m. Stilofaringeus, m.

Salfingofaring, m. Thyroid dan m. Palatofaring, aditus laring tertutup oleh

epiglotis dan sfingter laring.

3. Fase oesophageal, fase menelan (involuntary) perpindahan bolus makanan

ke distal oleh karena relaksasi m. Krikofaring, di akhir fase sfingter

esofagus bawah terbuka dan tertutup kembali saat makanan sudah lewat.5

Page 6: Referat akalasia

6

2.4. Etiologi

Bila ditinjau dari etiologi, akalasia ini dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

a. Akalasia primer

Penyebab yang jelas kelainan ini tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh

virus neurotropik yang berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada

batang otak dan ganglia mienterikus pada esofagus.

b. Akalasia sekunder

Kelainan ini dapat disebabkan oleh infeksi (penyakit chagas), tumor

intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti

pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh obat

antikolinergik atau paska vagotomi.

Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Secara histologik,

ditemukan kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang

esofagus pars torakal. Dari beberapa data disebutkan bahwa faktor-faktor seperti

herediter, infeksi, autoimun, dan degeneratif adalah kemungkinan penyebab dari

akalasia.

1. Teori Genetik

Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah

mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik.

Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita

akalasia.

2. Teori Infeksi

Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis,

clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio

dan measles), Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik

esofagus uterine pada saat rotasi saluran pencernaan intra uterine. Bukti

yang paling kuat mendukung faktor infeksi neurotropflc sebagai etiologi.

Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus satu-

satunya bagian saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel

sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua,banyak

perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor

Page 7: Referat akalasia

7

neurotropik virus tersebut. Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan

hubungan antara measles dan varicella zoster pada pasien akalasia.

3. Teori Autoimun

Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber.

Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi

oleh limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua,

prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan

dengan penyakit autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia

ditemukan autoantibodi dari pleksus mienterikus.

4. Teori Degeneratif

Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia berhubungan

dengan proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis,

seperti penyakit Parkinson dan depresi.

2.5. Patofisiologi

1. Neuropatologi

Beberapa macam kelainan patologi dari akalasia telah banyak

dikemukakan. Beberapa dari perubahan ini mungkin primer (misal: hilangnya sel-

sel ganglion dan inflamasi mienterikus), dimana yang lainnya (misal : perubahan

degeneratif dari n. vagus dan nukleus motoris dorsalis dari n. vagus, ataupun

kelaianan otot dan mukosa) biasanya merupakan penyebab sekunder dari stasis

dan obstruksi esofagus yang lama.

2. Kelainan pada Inervasi Ekstrinsik

Saraf eferen dari n. vagus, dengan badan-badan selnya di nukleus motoris

dorsalis, menstimulasi relaksasi dari LES dan gerakan peristaltik yang merupakan

respon dari proses menelan. Dengan mikroskop cahaya, serabut saraf vagus

terlihat normal pada pasien akalasia. Namun demikian, dengan menggunakan

mikroskop elektron ditemukan adanya degenerasi Wallerian dari n. vagus dengan

disintegrasi dari perubahan aksoplasma pada sel-sel Schwann dan degenarasi dari

selubung mielin, yang merupakan perubahan-perubahan yang serupa dengan

percobaan transeksi saraf.

Page 8: Referat akalasia

8

3. Kelainan pada Innervasi Intrinsik

Neuron nitrergik pada pleksus mienterikus menstimulasi inhibisi

disepanjang badan esofagus dan LES yang timbul pada proses menelan. Inhibisi

ini penting untuk menghasilkan peningkatah kontraksi yang stabil sepanjang

esofagus, dimana menghasilkan gerakan peristaltik dan relaksasi dari LES. Pada

akalasia, sistem saraf inhibitor intrinsik dari esofagus menjadi rusak yang disertai

inflamasi dan hilangnya sel-sel ganglion di sepanjang pleksus mienterikus

Auerbach.

4. Kelainan Otot Polos Esofagus

Pada muskularis propria, khususnya pada otot polos sirkuler biasanya

menebal pada pasien akalasia. Goldblum mengemukakan secara mendetail

beberapa kelainan otot pada pasien akalasia setelah proses esofagektomi.

Hipertrofi otot muncul pada semua kasus, dan 79% dari specimen memberikan

bukti adanya degenerasi otot yang biasanya melibatkan fibrosis tapi termasuk juga

nekrosis likuefaktif, perubahan vakuolar, dan kalsifikasi distrofik. Disebutkan

juga bahwa perubahan degeneratif disebabkan oleh otot yang memperbesar suplai

darahnya oleh karena obstruksi yang lama dan dilatasi esofagus. Kemungkinan

lain menyebutkan bahwa hipertrofi otot merupakan reaksi dari hilangnya

persarafan.

5. Kelainan pada Mukosa Esofagus

Kelainan mukosa, di perkirakan akibat sekunder dari statis luminal kronik

yang telah digambarkan pada akalasia. Pada semua kasus, mukosa skuamosa dari

penderita akalasia menandakan hiperplasia dengan papillamatosis dan hiperplasia

sel basal. Rangkaian p53 pada mukosa skuamosa dan sel CD3+ selalu melebihi

sel CD20+, situasi ini signifikan dengan inflamasi kronik, yang kemungkinan

berhubungan dengan tingginya resiko karsinoma sel skuamosa pada pasien

akalasia.

6. Kelainan Otot Skelet

Fungsi otot skelet pada proksimal esofagus dan spingter esofagus atas

terganggu pada pasien akalasia. Meskipun peristaltik pada otot skelet normal

tetapi amplitude kontraksi peristaltik mengecil. Massey dkk. juga melaporkan

Page 9: Referat akalasia

9

bahwa refleks sendawa juga terganggu. Ini menyebabkan esofagus berdilatasi

secara masif dan obstruksi jalan napas akut.

7. Kelainan Neurofisiologik

Pada esofagus yang sehat, neuron kolinergik eksftatori melepaskan

asetilkolin menyebabkan kontraksi otot dan meningkatkan tonus LES, dimana

inhibisi neuron NO/VIP memediasi inhibisi sehingga mengbambat respon

menelan sepanjang esofagus, yang menghasilkan gerakan peristaltik dan relaksasi

LES. Kunci kelainan dari akalasia adalah kerusakan dari neuron inhibitor

postganglionik dari otot sikuler LES.

Menurut Castell ada dua defek penting yang didapatkan pada pasien akalasia:

1. Obstruksi pada sambungan esofagus dan gaster akibat peningkatan lower

esophageal sphincter (LES) basal jauh diatas normal dan gagalnya LES

untuk relaksasi sempurna. Beberapa penulis menyebutkan adanya

hubungan kerusakan LES dengan sensitifitas terhadap hormon gastrin.

Panjang LES manusia 3-5 cm, sedangkan tekanan LES basal normal rata-

rata 20 mmHg. Pada akalasia tekanan LES meningkat kurang lebih dua

kali lipat sekitar 50 mmHg. Gagalnya relaksasi LES ini disebabkan

penurunan tekanan sebesar 30-40% yang dalam keadaan normal turun

sampai 100% yang akan mengakibatkan bolus makanan tidak dapat

masuk ke dalam gaster. Kegagalan ini berakibat tertahannya makanan

dan minuman di esofagus. Ketidakmampuan relaksasi sempurna akan

menyebabkan adanya tekanan residual. Bila tekanan hidrostatik disertai

gravitasi dapat melebihi tekanan residual maka makanan dapat masuk ke

dalam gaster.

2. Peristaltis esofagus yang tidak normal disebabkan karena aperistaltis dan

dilatasi 2/3 bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak

terkoordinasinya peristaltis sehingga tidak efektif dalam mendorong

bolus makanan melewati LES.

Page 10: Referat akalasia

10

Kriteria Manometrik dan Akalasia

Normal - Tekanan LES 10-26 mmHg, relaksasi normal

- Amplitudo peristaltis esofagus distal 50-110

mmHg

- Tidak ada kontraksi spontan, repetitif, simultan

- Gelombang tunggal (2 puncak)

- 5 waktu gelombang peristaltis esofagus distal

rerata 30 detik

Akalasia - Tekanan LES meningkat > 26 mmHg atau > 30

mmHg

- Relaksasi LES tidak sempurna

- Aperistaltis korpus esofagus

- Tekanan intraesofagus meningkat

2.6. Gambaran Klinis

Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang

ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Biasanya gejala yang

ditemukan adalah

1. Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat

terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi.

Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya

cairan lebih sukar ditelan dari pada makanan padat.

2. Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering

regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga

dapat menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru.

3. Rasa terbakar dan nyeri substernal dapat dirasakan pada stadium

permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah

epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris.

4. Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi

makannya unruk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di

daerah substernal.

Page 11: Referat akalasia

11

5. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada

substernal dan akibat komplikasi dari retensi makanan.

6. Pada anak yang paling sering adalah muntah persisten.

Perbandingan Gambaran Klinis Akalasia Primer dan Sekunder

GejalaAkalasia

Primer Sekunder

Disfagia Ringan-berat (>1 thn) Sedang-berat (<6 bln)

Nyeri dada Ringan-sedang Jarang

BB turun Ringan (5 kg) Berat (15 kg)

Regurgitasi Sedang-berat Ringan

Komplikasi

Paru

Sedang Jarang

2.7. Diagnosis

Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran

radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik.

1. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan radiologi sangat membantu dalam penegakan diagnosis pada

suatu penyakit, ini harus dikorelasikan dengan temuan klinis dan riwayat

penyakitnya.12 Pada foto polos toraks pasien achalasia tidak

menampakkan adanya gelembung-gelembung udara pada bagian atas dari

gaster, dapat juga menunjukkan gambaran air fluid level pada sebelah

posterior mediastinum. Pemeriksaan esofagogram barium dengan

pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal

esofagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran

penyempitan di bagian distal esofagus atau esophagogastric junction yang

menyerupai seperti bird-beak like appearance.

2. Pemeriksaan Esofagoskopi

Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua

pasien akalasia oleh karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan

Page 12: Referat akalasia

12

adanya esofagitis retensi dan derajat keparahannya, untuk melihat sebab

dari obstruksi, dan untuk memastikan ada tidaknya tanda keganasan. Pada

pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal

yang menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian

proksimal dari daerah penyempitan, Mukosa esofagus berwarna pucat,

edema dan kadang-kadang terdapat tanda-tanda esofagitis akibat retensi

makanan. Sfingter esofagus bawah akan terbuka dengan melakukan sedikit

tekanan pada esofagoskop dan esofagoskop dapat masuk ke lambung

dengan mudah.

3. Pemeriksaan Manometrik

Gunanya untuk memulai fungsi motorik esofagus dengan melakukan

pemeriksaan tekanan di dalam lumen sfingter esofagus. Pemeriksaan ini

untuk memperlihatkan kelainan motilitas secara- kuantitatif dan kualitatif.

Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan

manometri melalui mulut atau hidung. Pada akalasia yang dinilai adalah

fungsi motorik badan esofagus dan sfingter esofagus bawah. Pada badan

esofagus dinilai tekanan istirahat dan aktifitas peristaltiknya. Sfingter

esofagus bagian bawah yang dinilai adalah tekanan istirahat dan

mekanisme relaksasinya. Gambaran manometrik yang khas adalah tekanan

istirahat badan esofagus meningkat, tidak terdapat gerakan peristaltik

sepanjang esofagus sebagai reaksi proses menelan. Tekanan sfingter

esofagus bagian bawah normal atau meninggi dan tidak terjadi relaksasi

sfingter pada waktu menelan.

2.8. Penatalaksanaan

Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus

tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet

tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi

esofagokardiotomi (operasi Heller).

Page 13: Referat akalasia

13

1. Terapi Non Bedah

a. Terapi Medikasi

Pemberian smooth-muscle relaxant, seperti nitroglycerin 5 mg SL atau

10 mg PO, dan juga methacholine, dapat membuat sfingter esofagus

bawah relaksasi dan membantu membedakan antara suatu striktur

esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter esofagus bawah. Selain itu,

dapat juga diberikan calcium channel blockers (nifedipine 10-30

mgSL) dimana dapat mengurangi tekanan pada sfingter esofagus

bawah. Namun demikian hanya sekitar 10% pasien yang berhasil

dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan untuk pasien lansia

yang mempunyai kontraindikasi atas pneumatic dilatation atau

pembedahan.

b. Injeksi Botulinum Toksin

Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk

menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus

bawah, yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara

neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. Dengan menggunakan

endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang

dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut kemiringan

45°, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas

squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat

di atas batas proksimal dari LES dan toksin tersebut diinjeksi secara

caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100

unit/mL yang dibagi dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada

setiap kuadran dari LES. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1

bulan kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun

demikian, terapi ini mempunyai penilaian terbatas dimana 60% pasien

yang telah diterapi masih tidak merasakan disfagia 6 bulan setelah

terapi; persentasi ini selanjutnya turun menjadi 30% walaupun setelah

beberapa kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai

tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian

gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat miotomi

Page 14: Referat akalasia

14

menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya digunakan pada pasien lansia

yang kurang bisa menjalani dilatasi atau pembedahan.

c. Pneumatic Dilatation

Pneumatic dilatation telah menjadi bentuk terapi utama selama

bertahun-tahun. Suatu balon dikembangkan pada bagian

gastroesophageal junction yang bertujuan untuk merupturkan serat otot

dan membuat mukosa menjadi intak. Persentase keberhasilan awal

adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun menjadi 50% 10 tahun

kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilatasi. Rasio terjadinya

perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke

ruang operasi untuk penutupan perforasi dan miotomi yang dilakukan

dengan cara thorakotomi kiri. Insidens dari gastroesophageal reflux

yang abnormal adalah sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam

penanganan pneumatic dilatation biasanya di terapi dengan miotomi

Heller.

2. Terapi Bedah

Suatu laparascopic Heller myotomy dan partial fundoplication adalah

suatu prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari

suatu pemisahan serat otot (mis: miotomi) dari sfingter esofagus bawah (5

cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial

fundoplication untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah sakit

selama 24-48 jam, dan kembali beraktfitas sehari-hari setelah kira-kira 2

minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala

sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks postoperatif adalah antara

10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan

rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka

terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan akalasia

esofagus. Pasien yang gagal dalam menjalani terapi ini, mungkin akan

membutuhkan dilatasi, operasi kedua, atau pengangkatan esofagus (mis:

esofagektomi).

3. Esofagomiotomi

Tindakan ini dianjurkan apabila terdapat:

Page 15: Referat akalasia

15

- Beberapa kali dilatasi pneumatik tidak berhasil

- Adanya ruptur esofagus akibat dilatasi

- Kesukaran meletakan dilator pneumatik karena dilatasi esofagus sangat

hebat

- Tidak dapat menyingkirkan kemungkinan tumor esofagus

- Akalasia pada anak kurang dari 12 tahun

Operasi esofagomiotomi distal juga memberikan hasil yang memuaskan.

Perbaikan gejala didapatkan 80-90% kasus. Komplikasi yang dapat terjadi

adalah masih menetapnya gejala-gejala disfagia karena miotomi yang

tidak adekuat atau refluks gastroesofageal.

2.9. Komplikasi

Beberapa komplikasi dan akalasia sebagai akibat an retensi makanan pada

esofagus adalah sebagai berikut:

1. Obstruksi saluran pernafasan

2. Bronkhitis

3. Pneumonia aspirasi

4. Abses paru

5. Divertikulum

6. Perforasi esofagus

7. Small cell carcinoma

8. Sudden death.

2.10.Prognosis

Prognosis Akalasia bergantung pada durasi penyakit dan banyak

sedikitnya gangguan motilitas, semakin singkat durasi penyakitnya dan semakin

sedikit gangguan motilitasnya maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus

yang normal setelah pembedahan (Heller) memberikan hasil yang sangat baik.

Pembedahan memberikan hasil yang lebih baik dalam menghilangkan gejala pada

sebagian besar pasien dan seharusnya lebih baik dilakukan daripada pneumatic

dilatation apabila ada ahli bedah yang tersedia. Obat-obatan dan toksin botulinum

Page 16: Referat akalasia

16

sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani pneumatic

dilatation dan laparascopic Heller myotomy (Lansia). Follow-up secara periodik

dengan menggunakan esofagoskopi diperlukan untuk melihat perkembangan

tejadinya kanker esofagus.

Page 17: Referat akalasia

17

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama simple ectasia,

kardiospasme, megaesofagus, dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau dilatasi

esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah achalasia berarti

“gagal untuk mengendur” dan merujuk pada ketidakmampuan dari lower

esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung)

untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung. Kegagalan

relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi

bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik.

Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang

ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Biasanya gejala yang

ditemukan adalah disfagia, regurgitasi, rasa terbakar dan nyeri substernal,

penurunan berat badan dan rasa penuh pada substernal.

Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran

radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik. Pada pemeriksaan

radiologik, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan

gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran penyempitan di bagian distal

esofagus atau esophagogastric junction yang menyerupai seperti bird-beak like

appearance.

Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus

tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet

tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi

esofagokardiotomi (operasi Heller). Pembedahan memberikan hasil yang lebih

baik dalam menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien dan seharusnya

lebih baik dilakukan daripada pneumatic dilatation apabila ada ahli bedah yang

tersedia.

Page 18: Referat akalasia

18

DAFTAR PUSTAKA

1. Ritcher, I.E. 1999. Achalasia. In: Castell, D. O, Ritcher, I.E. The

Esophagus, 4th edition. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia.

Pg. 6-221.

2. Siegel, G. Leighton. 1998. Penyakit Jalan Napas Bagian Bawah, Esofagus

dan Mediastinum Pertimbangan Endoskopik. Dalam: Adams, G. L., Boies,

Lawrence R., Higler, P. A. BOIES Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6.

Jakarta. EGC. Hal. 4-462.

3. Sjamsuhidajat. 1997. Wim de Jong Buku Ajar Itmu Bedah. EGC. Jakarta.

Hal. 9-676.

4. D., Emslie, Smith, et all. 1988. Textbook of Physiology, 11th edition.

Churchill Livingstone, English Language Book Society. London. Pg. 52-

239.

5. Soepardi, A. Efiaty, Iskandar, Nurbaiti. 2001. Akalasia. Dalam: Buku Ajar

llmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Fakultas

Kedokteran UI. Jakarta. Hal: 2-240.

6. Jacob, J. Ballenger. 1997. Esofagologi. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,

Tenggorok, Kepala dan Leher, Edisi 13, Jilid 2. Binarupa Aksara. Jakarta.

Hal. 76-645.

7. Nelson. 2005. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. EGC. Jakarta. Hal. 1298.

8. Ismail, Ali. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid ll. Edisi Ketiga.

Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hal. 320-322.

9. Patti, Marco. Achalasia. http://www.emedicine.com. 2010. Accessed on:

August 22th, 2010.

10. Marks, Jay W., Lee, Dennis. Achalasia. http://www.medicinenet.com.

2010. Accessed on: August 22th, 2010.

11. Rasad, Syahriar. 2005. Radiologi Diagnostik. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 406.

12. Caffey, John. 1973. Pediatric X-ray Diagnosis Volume 2. Year Book

Medical Publisher Incorporated. Chicago. USA. Hal. 1696-1673.

Page 19: Referat akalasia

19

13. Goyal, Raj K. 1994. Diseases of The Esophagus. In: Jeffers, J. D.,

Boynton, S. D. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 13th edition.

McGraw-Hill, Inc. New York. Pg. 1358.

14. J., Finley R. 2002. Achalasia: Thoracoscopic and Laparoscopic Myotomi.

In: Pearson F.G. MD, Cooper J.D. MD, et all. Esophageal Surgery, 2nd

edition. Churchill Livingstone. New York. Pg. 76-569