perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

26
KAJIAN PENGARUH FLUKTUASI KUALITAS AIR TERHADAP TINGKAT PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT EUCHEMA SPINOSUM A.Niartiningsih, Mahatma Lanuru dan Muh.Tauhid Umar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS Rumput laut adalah salah satu sumberdaya alam bahari yang selain merupakan sumber bahan makanan, juga merupakan komoditas ekspor non migas dengan prospek pemasaran yang baik di masa datang. Salah satu jenis rumput laut yang dibudidayakan di Sulawesi Selatan adalah Eucheuma spninosum. Seperti jenis rumput laut lainnya, pertumbuhan Eucheuma spninosum dipengaruhi oleh kualitas air dan dinamika massa air perairan. Kajian tentang pengaruh fluktuasi kualitas air terhadap pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma spinosum belum banyak dilakukan sehingga salah satu keutamaan dan tujuan dari penelitian ini adalah melakukan kajian pengaruh fluktuasi kualitas air terhadap pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma spinosum di Sulawesi Selatan. Penelitian dilakukan di tiga lokasi perairan yang berbeda di Kab. Takalar, yaitu Lantang Peo, Rewataya dan Kalukuang. Pengamatan pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan dengan metode tali rentang di setiap lokasi akan dilakukan setiap 10-12 hari selama 40 hari. Selain itu, akan dilakukan pula pengukuran kualitas air pada masing-masing lokasi yang meliputi kecepatan arus, tinggi gelombang, nitrat, fosfat, kecerahan, pasang surut, kekeruhan, salinitas, suhu, pH, DO, substrat dan kedalaman perairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluktuasi kualitas air yang ditandai dengan perubahan salinitas dan suhu menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan berat rumput laut E. spinosum di perairan Kalukuang dan Rewataya. Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa kecerahan, suhu, dan salinitas memiliki kaitan kuat dan positif terhadap pertumbuhan berat rumput laut E. spinosum di lokasi penelitian. Berat awal bibit berpengaruh terhadap terhadap pertumbuhan rumput laut E. spinosum di lokasi penelitian. Kata kunci: Eucheuma spinosum,kualitas air, PCA, rumput laut BUDIDAYA UDANG VANAME (LITOPENEAUS VANNAMEI) DENGAN SISTEM MODULAR DI TAMBAK Abdul Malik Tangko, Utojo dan Machluddin Amin Balai Riset Budidaya Perikanan Budidaya Air Payaua Jl.Makmur Dg Sitakka, No 129 Maros, Tlp.(0411)371 544 Budidaya udang vaname dengan sistem modular di tambak telah dilakukan di Instalasi Tambak Percobaan Maranak milik Balai Riset Perikanan Budidaya Air payau Maros, yang berlangsung mulai 14 September hingga 6 Desember 2009, bertujuan untuk mengetahui frekuensi pemindahan udang yang optimal untuk pertumbuhan, sintasan dan produksi. Penelitian ini menggunakan 8 petak tambak masing-masing berukuran luas100 m 2 dengan perlakuan adalah frekuensi pemindahan udang yang terdiri dari 3 perlakuan yaitu 1 kali pindah (A), 2 kali pindah (B) dan tidak dipindahkan (C) masing-masing 2

Upload: hoangmien

Post on 10-Dec-2016

234 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

KAJIAN PENGARUH FLUKTUASI KUALITAS AIR TERHADAP TINGKAT PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT EUCHEMA SPINOSUM

A.Niartiningsih, Mahatma Lanuru dan Muh.Tauhid UmarFakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS

Rumput laut adalah salah satu sumberdaya alam bahari yang selain merupakan sumber bahan makanan, juga merupakan komoditas ekspor non migas dengan prospek pemasaran yang baik di masa datang. Salah satu jenis rumput laut yang dibudidayakan di Sulawesi Selatan adalah Eucheuma spninosum. Seperti jenis rumput laut lainnya, pertumbuhan Eucheuma spninosum dipengaruhi oleh kualitas air dan dinamika massa air perairan. Kajian tentang pengaruh fluktuasi kualitas air terhadap pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma spinosum belum banyak dilakukan sehingga salah satu keutamaan dan tujuan dari penelitian ini adalah melakukan kajian pengaruh fluktuasi kualitas air terhadap pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma spinosum di Sulawesi Selatan. Penelitian dilakukan di tiga lokasi perairan yang berbeda di Kab. Takalar, yaitu Lantang Peo, Rewataya dan Kalukuang. Pengamatan pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan dengan metode tali rentang di setiap lokasi akan dilakukan setiap 10-12 hari selama 40 hari. Selain itu, akan dilakukan pula pengukuran kualitas air pada masing-masing lokasi yang meliputi kecepatan arus, tinggi gelombang, nitrat, fosfat, kecerahan, pasang surut, kekeruhan, salinitas, suhu, pH, DO, substrat dan kedalaman perairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluktuasi kualitas air yang ditandai dengan perubahan salinitas dan suhu menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan berat rumput laut E. spinosum di perairan Kalukuang dan Rewataya. Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa kecerahan, suhu, dan salinitas memiliki kaitan kuat dan positif terhadap pertumbuhan berat rumput laut E. spinosum di lokasi penelitian. Berat awal bibit berpengaruh terhadap terhadap pertumbuhan rumput laut E. spinosum di lokasi penelitian.

Kata kunci: Eucheuma spinosum,kualitas air, PCA, rumput laut

BUDIDAYA UDANG VANAME (LITOPENEAUS VANNAMEI) DENGAN SISTEM MODULAR DI TAMBAK

Abdul Malik Tangko, Utojo dan Machluddin AminBalai Riset Budidaya Perikanan Budidaya Air PayauaJl.Makmur Dg Sitakka, No 129 Maros, Tlp.(0411)371 544

Budidaya udang vaname dengan sistem modular di tambak telah dilakukan di Instalasi Tambak Percobaan Maranak milik Balai Riset Perikanan Budidaya Air payau Maros, yang berlangsung mulai 14 September hingga 6 Desember 2009, bertujuan untuk mengetahui frekuensi pemindahan udang yang optimal untuk pertumbuhan, sintasan dan produksi. Penelitian ini menggunakan 8 petak tambak masing-masing berukuran luas100 m2 dengan perlakuan adalah frekuensi pemindahan udang yang terdiri dari 3 perlakuan yaitu 1 kali pindah (A), 2 kali pindah (B) dan tidak dipindahkan (C) masing-masing 2 kali ulangan yang dirancang dengan rancangan acak lengkap (RAL). Hewan uji berupa tokolan udang vaname( 0,11 g) dengan padat penebaran 1.000 ekor/petak (10 ekor/m2). Pada bulan pertama pemeliharaan menggunakan pakan alami dari hasil pemupukan dan pada bulan kedua sampai panen menggunakan pakan tambahan (pellet). Hasil pemindahan udang menunjukkan bahwa pemindahan I untuk perlakuan 2 kali pindah (B) jumlah rata-rata udang yang dipindahkan 824 ekor (82,4 %) dengan rata-rata berat 5,65 g dengan lama pada tambak I sebelum dipindahkan 30 hari, kemudian pada pemindahan ke II untuk perlakuan yang sama jumlah rata-rata udang yang dipindahkan 701 (70,1 %) dengan rata-rata berat 12,44 g dengan lama pemeliharaan pada tambak ke II juga 30 hari. Sedangkan pemindahan udang pada perlakuan 1 kali pindah (A) jumlah rata-rata udang yang dipindahkan 892 ekor (89,2 %) dengan rata-rata berat 7,02 g dengan lama pemeliharaan pada tambak I 45 hari. Jumlah hasil panen udang tertinggi pada perlakuan 1 kali pindah (A) dengan jumlah rata-rata 717 ekor (71,7 %) dengan total udang yang dipanen 1434 ekor dan terendah pada perlakuan 2 kali pindah (B) dengan jumlah rata-rata 576 ekor (57,6 %) dengan total udang yang dipanen 1153 ekor. Begitu pula produksi udang tertinggi pada perlakuan 1 kali pindah (A) dengan rata-rata produksi 10,2 kg dengan total produksi 20,4 kg dan terendah pada perlakuan 2 kali pindah (B) dengan rata-rata produksi 7,9 kg dan total produksi 15,9 kg. Hasil pengujian statistik (Anova) menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pemindahan udang

Page 2: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap pertumbuhan, sintasan dan produksi. Kualitas air selama penelitian masih berada pada kisaran yang layak bagi kehidupan dan pertumbuhan udang vaname yang dibudidayakan.

Kata kunci: Budidaya, modular, pertumbuhan, produksi, sintasan, udang Vaname

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI KAWASAN TAMBAK KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT

Abdul Malik Tangko, Utojo dan Erfan A. HendradjatBalai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

Penelitian atau survei telah dilakukan di perairan pertambakan Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat pada tahun 2009 bertujuan untuk mengetahui komposisi dan kelimpahan plankton dalam rangka mendukung pengelolaan tambak yang berkelanjutan. Pengambilan sampel plankton pada lokasi tambak yang representatif dengan menggunakan plankton net no. 25. Sampel plankton dipekatkan dari 100 L menjadi 100 mL kemudian diawetkan dalam larutan MAF. Identifikasi plankton menggunakan mikroskop yang berpedoman pada buku identifikasi plankton dan perhitungannya menggunakan metode counting cell. Hasil penelitian menunjukkan bahwa plankton yang didapatkan pada semua stasiun terdiri dari empat kelas yaitu kelas Bacillariophyceae (14 genus), kelas Cyanophyceae (2 genus), kelas Chromonadeae (2 genus) dan kelas Crustaceae (10 genus). Secara umum kelimpahan plankton berkisar 10- 4436 ind./L perstasiun dengan kelimpahan rata-rata 260 ind,/L perstasiun dan jumlah genus pada seluruh stasiun sebanyak 123 genera dengan rata-rata 3,9 /perstasiun. Fitoplankton didominasi oleh kelas Bacillariophyceae sebanyak 14 genus. Sedangkan zooplankton hanya dari kelas Crustaceae sebanyak 10 genus. Fitoplankton kelas Bacillariophyceae didominasi oleh Navicula sp,Oscillatoria sp, Coscinodiscus sp,Thallasinema sp dan Pleurosigma sp, protoperidinium, dan Prorocentrum. Sedangkan zooplankton dari kelas Crustaceae didominasi Nauplii copepoda dan Copepoda. Hasil uji indeks biologi plankton menunjukkan bahwa 17 (53,13%) stasiun tergolong dalam ketegori stabil sedang (moderat) oleh karena indeks keanekaragamannya ( H1)>1 dan 25(78,13 %) stasiun yang komonitas planktonnya menyebar secara merata, karena nilai indeks keseragamaanya (E) mendekati nilai 1 dan 19 (59,38 %) stasiun tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya karena nilai indeks dominasinya (D) mendekati 0. Berdasarkan nilai rata-rata hasil uji indeks biologinya menunjukan bahwa kondisi perairan pertambakan di Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat termasuk stabil sedang (moderat) dan komonitas planktonnya menyebar secara merata serta hanya sebagian kecil spesies yang dominan terhadap spesies lainnya.

Kata kunci: Kalimantan Barat, kelimpahan, komposisi, plankton, Pontianak, tambak

EVALUASI KONDISI PERAIRAN DALAM MENDUKUNG PERIKANAN BUDIDAYA AIR TAWAR DI KABUPATEN PACITAN, PROVINSI JAWA TIMUR

Adang Saputra1), I Nyoman Radiarta1), Rasidi1), dan Erlania1)

1). Peneliti pada Pusat Riset Perikanan BudidayaE-mail: [email protected]

Visi dan misi Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia yaitu “Indonesia penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar 2015”, dan “mensejahterakan masyarakat kelautan dan perikanan”, sehingga perikanan menjadi sangat sentral untuk dikembangkan. Salah satu daerah yang potensial untuk dikembangkan kegiatan perikanannya adalah Kabupaten Pacitan, karena salah satu program unggulan dari dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan adalah meningkatkan produksi sektor perikanan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi kualitas perairan untuk mendukung percepatan budidaya perikanan air tawar di Kabupaten Pacitan. Dari hasil analisis terhadap kualitas perairan di Kabupaten Pacitan menunjukkan bahwa pengembangan budidaya ikan nila sangat potensial dikembangkan di Kecamatan Bandar, Kecamatan Nawangan, dan Kecamatan Punung. Untuk pengembangan budidaya ikan mas/tombro sangat potensial dikembangkan di

Page 3: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

Kecamatan Punung, Kebondalem, dan Kecamatan Pacitan. Untuk budidaya ikan lele potensial dikembangkan di Kecamatan Pacitan dan Kecamatan Punung.

Kata kunci: Budidaya perikanan, Kabupaten Pacitan, kelayakan lahan, kualitas air

STUDI AWAL PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN BERPIGMENTERHADAP WARNA DAN KECERAHAN BENIH KAKAP MERAH (LUTJANUS SEBAE)

Afifah, Daniar Kusumawati, dan Titiek AsliantiBalai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, BaliPO BOX 140 Singaraja 81101 Telp. 0362 92278 / fax 0362 92272E-mail : [email protected] Pigmentasi dan kecerahan pada tubuh ikan merupakan salah satu indikator dalam pengamatan awal kondisi kesehatan ikan serta dapat meningkatkan nilai jual pada jenis ikan tertentu khususnya ikan hias. Penelitian ini dilakukan pada benih ikan kakap merah (L. sebae) umur 45 hari (TL= ± 4 cm; BW= ± 1 gr) dengan 3 perlakuan penambahan bahan berpigmen pada pakan yaitu A. tepung spirulina B. carophyll pink dan C. minyak buah merah. Parameter utama yang diamati adalah performansi warna dan kecerahan tubuh kakap merah dengan menggunakan program adobe photoshop. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan pewarna memberikan perubahan performa warna dan kecerahan pada benih ikan kakap merah. Dari 2 ban dominan pada tubuh kakap merah L. sebae yakni ban hitam dan ban putih, pemberian tepung spirulina (A) dan carophyll pink (B) memberikan perubahan yang terkonsentrasi pada kecerahan pada bagian ban hitam dengan variasi warna kuning dan magenta (merah keunguan). Sedangkan dengan penambahan minyak buah merah (C) perubahan pigmen tubuh lebih terkonsentrasi pada ban putih dengan warna mendekati cyan sehingga kecerahan warna yang didapatkan juga jauh lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lain. Pada pengamatan parameter penunjang diketahui terdapat korelasi mengikuti hubungan polynomial dari masing-masing perlakuan dengan laju pertumbuhan harian (SGR) dan konversi pakan (FCR) yang digambarkan pada persamaan y=-0.276x2+0.86x+6.391 dan y= -0.047x2+0.158x+0.52.

Kata kunci: Bahan berpigmen, benih kakap merah, kecerahan warna

PENDUGAAN DAYA DUKUNG PRODUKSI IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK KUTO PANJANG RIAU

Ir. Agus Djoko Utomo Balai Riset Perikanan Perairan Umum Palembang

Perairan Waduk Kota Panjang Fungsi Utamanya yaitu sebagai Pembangkit tenaga Listrik namun ditinjau dari segi perikanan mempunyai arti penting yaitu sebagai tempat hidup organisme air, tempat mata pencaharian Nelayan dan tempat pembudidaya ikan yang harus dijaga kelestariannya agar dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan data atau informasi tentang ambang batas produksi ikan Keramba Jaring Apung di Waduk Kuto Panjang. Diharapkan informasi tersebut dapat memberikan masukkan untuk pengelolaan Keramba Jaring Apung di Waduk Kuto Panjang. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metoda survei pada berbagai lokasi di Waduk Kuto Panjang pada bulan Agustus – Oktober 2009. Lokasi yang diambil diutamakan pada perairan yang terdapat keramba jarring Apung yaitu sekitar PLTA, Jembatan I dan Jembatan II. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa tata ruang pengembangan KJA di waduk kuto panjang perlu dibenahi seharusnya tidak boleh ada pengambangan KJA di dekat PLTA. Jumlaj KJA dekat PLTA ada 703 buah, , di jembatan I ada 62 buah dan di jembatan II ada 37 buah. Daya dukung perairan untuk pengembangan KJA ada 9.908 ton/tahun., terdiri dari 2.275 petak KJA. Kenyataan dilapangan jumlah KJA belum melebihi daya dukung yaitu baru mencapai 2.784 70n/tahun, terdiri dari 802 petak KJA.

Kata Kunci: Daya dukung perairan waduk, keramba jaring apung, produksi ikan

Page 4: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

PENGARUH FREKUENSI PUPUK SUSULAN TERHADAP PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT, GRACILARIA VERRUCOSA DI TAMBAK

Andi Marsambuana Pirzan dan BurhanuddinBalai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros

Penelitian dilaksanakan di Tambak Percobaan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros bertujuan menelaah pengaruh frekuensi pupuk susulan berbeda terhadap pertumbuhan rumput laut, Gracilaria verrucosa di tambak. Petakan tambak yang digunakan sebanyak enam petak, masing-masing berukuran 1000 m2. Bibit rumput laut yang ditebar sebagai organisme uji berasal dari Kabupaten Takalar sedangkan ikan bandeng diperoleh dari penggelondong di Kabupaten Maros. Percobaan diset dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan frekuensi pupuk susulan berbeda, yaitu tanpa pemupukan susulan (A), pemupukan susulan tiap dua minggu sekali (B), dan pemupukan susulan tiap empat minggu sekali (C), masing-masing dua kali ulangan. Pupuk susulan yang diaplikasikan adalah Urea dan SP-36, masing-masing 3 dan 1,5 kg/1000 m 2. Rumput laut ditebar dengan kepadatan 250 kg/1000 m2 dan dipelihara selama 42 hari sedangkan ikan bandeng ditebar dengan kepadatan 100 ind./1000 m2. Pengamatan laju pertumbuhan rumput laut dilakukan tiap dua minggu sekali dan produksi rumput laut ditentukan dengan menimbang pada saat panen. Analisis kandungan agar dan pengukuran ikan bandeng, masing-masing dilakukan sebelum penebaran dan setelah panen. Laju pertumbuhan dan produksi rumput laut yang diperoleh tidak beda nyata (P>0,05) antarperlakuan pemupukan susulan, masing-masing perlakuan (A) sebesar 5,99% dan 2300 kg/1000 m2, (B) 4,63% dan 1340 kg/1000 m2, dan (C) 5,61% dan 1980 kg/1000 m2. Kandungan agar tidak beda nyata (P>0,05) antarperlakuan, yaitu: (A), (B), dan (C) masing-masing 5,09; 6,68; dan 5,69%. Terbatas dari penelitian ini untuk pemeliharaan rumput laut di tambak, maka aplikasi pupuk organik sebagai pemupukan dasar sebanyak 20 kg / 1000 m2 diikuti oleh pemupukan susulan berupa pupuk anorganik, yaitu Urea 3 kg/1000 m2 dan SP-36 1,5 kg/1000 m2 tiap empat minggu sekali. Penebaran ikan bandeng 100 ind./1000 m2 dapat mengatasi kelimpahan lumut dan kelekap yang menghambat pertumbuhan rumput laut.

Kata kunci: Frekuensi, pupuk, rumput laut, Sulawesi Selatan, tambak

PERKEMBANGAN POLIKULTUR BANDENG DAN UDANG WINDU DI KECAMATAN KETAPANG-LAMPUNG SELATAN

Anjang Bangun Prasetio, Adang Saputera dan RasidiPusat Riset Perikanan Budidaya, Jl. Ragunan No.20. Pasar Minggu, Jakarta SelatanE-mail: [email protected]

Adanya kendala serta permasalahan yang dihadapi para pembudidaya ikan dan udang menyebabkan menurunnya produkitivitas tambak sementara ini, sehingga kegiatan budidaya yang dilakukan dengan sistim monokultur selama ini belum banyak memberikan kontribusi dalam pembangunan perikanan di daerah.Dengan berkembangnya polikutur bandeng dan udang di masyarakat tentunya dapat dijadikan harapan bagi pembudidaya untuk meningkatkan produktivitas tambak, sehingga akan terpenuhi kebutuhan ekonominya. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ketapang yang merupakan salah satu sentra polikultur bandeng dan udang windu di Kabupaten Lampung Selatan. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan melakukan desk study dan survey lapangan. Desk study dilakukan dengan mengkompilasi dan mensintesa data-data sekunder yang terkait untuk menjawab tujuan studi. Survei lapangan meliputi wawancara mendalam dengan responden kunci dan observasi kondisi tambak. Semua data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk menentukan opsi kebijakan pengembangan polikultur bandeng dan udang windu ke depan. Kecamatan Ketapang mempunyai potensi lahan untuk tambak sekitar 1.500 ha dan budidaya yang berkembang adalah polikultur bandeng dan udang windu. Adapun teknologi budidayanya yaitu diawali penebaran gelondongan bandeng (ukuran 5-7 cm) kemudian dilanjutkan penebaran udang windu PL 12 setelah bandeng mencapai umur dua bulan dari mulai tebar. Informasi di lapang menunjukan bahwa untuk bandeng dengan padat tebar 2.000 ekor/ha,diperoleh hasil panen sebesar 300 kg/ha, sedangkan untuk udang windu dengan padat tebar 10.000 ekor/ha, diperoleh hasil panen sebesar 80 kg/ha.Tulisan ini memberikan informasi tentang perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di wilayah Kecamatan Ketapang, serta opsi kebijakan pengembangannya kedepan.

Page 5: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

Kata kunci: Ikan bandeng, opsi kebijakan, polikultur, udang windu

PIGMENTASI, PERTUMBUHAN DAN SINTASAN SPAT TIRAM MUTIARA PINCTADA MAXIMA (JAMESON) PADA BERBAGAI TINGKAT INTENSITAS CAHAYA

Tjahjo WinantoJurusan Perikanan dan Kelautan FST Unsoed. E-mail: [email protected]

Intensitas cahaya berpengaruh terhadap fungsi dan struktur fisiologis spat. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh intensitas cahaya terhadap distribusi, pertumbuhan dan sintasan spat tiram mutiara Pinctada maxima. Disain percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan perlakuan empat tingkat intensitas cahaya, yaitu 0 (ditutup rapat), 500, 1000, 1500 and 2000 lux, masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas cahaya berpengaruh terhadap pigmentasi, pertumbuhan dan sintasan spat, intensitas cahaya optimum untuk pertumbuhan dan sintasan spat adalah ≤ 500 lux.

Kata Kunci : Intensitas cahaya, pertumbuhan, pigmentasi, spat Pinctada maxima, sintasan

SINTASAN DAN MOULTING LOBSTER CAPIT MERAH (CHERAX QUADRICARINATUS) PADA BERBAGAI PERIODE PEMBERIAN AERASI DAN pH AIR MEDIA PEMELIHARAAN

Dade Jubaedah, Marsi, Try Sulistyo Hadi, Boris MariniProgram Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh periode pemberian aerasi dan pH air media pemeliharaan terhadap sintasan dan moulting lobster capit merah (Cherax quadricarinatus). Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial (RALF). Faktor perlakuan pertama adalah perlakuan pemberian aerasi yang terdiri dari A0 (24 jam pemberian aerasi), A1 (18 jam pemberian aerasi), A2 (12 jam pemberian aerasi) dan A3 (6 jam pemberian aerasi). Faktor perlakuan kedua adalah pH yang terdiri darii P1 (nilai pH 6 0,2), P2 (nilai pH 7,5 0,2) dan P3 ( nilai pH 9 0,2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan benih lobster capit merah dipengaruhi oleh pH dengan rataan sintasan terbaik (93,75%) diperoleh pada lobster yang dipelihara pada air media dengan pH 6 (P1). Frekuensi moulting tertinggi (0,92 kali) juga diperoleh pada kombinasi perlakuan pemberian aerasi 24 jam dan pH 6 (A0P1), tetapi periode moulting tersingkat (18,58%) diperoleh pada kombinasi perlakuan pemberian aerasi 12 jam dengan pH 9 (A2P3).

REKAYASA TEKNOLOGI PEMBUAHAN BUATAN IKAN KERAPU TIKUS (CROMILEPTES ALTIVELIS)

Dwi Soeharmanto, Santoso Junadi, Iskandar, SumarsoBalai Budidaya Air Payau Situbondo

Pembuahan buatan ikan laut masih jarang dilakukan utamanya karena ketersediaan dan kesiapan induk untuk memijah sangat terbatas. Tingkat keberhasilan yang dicapainyapun masih rendah dan dirasa sangat sulit karena waktu kematangan induk jantan dan betina yang tersedia sering tidak bersamaan. Teknik ini sangat banyak gunanya termasuk diantaranya akan mempercepat berkembangnya penemuan teknik transgenesis (Subyakto, 2010) yang dapat memasukkan gen pertumbuhan melalui sperma secara injeksi maupun elektroporesis. Teknologi transfer gen dapat mempercepat pertumbuhan ikan (Devlin et al, 1995), meningkatkan daya tahan terhadap penyakit (Dunham, 2002) maupun gen lain untuk tujuan pengembangan budidaya modern ke depan. Teknik pembuahan buatan ini dimulai dengan pengelolaan induk secara baik melalui pemberian pakan dan pengelolaan lingkungan. Induk dipilih yang matang gonad kemudian dilakukan penyuntikan dengan hormon HCG. Dosis yang digunakan adalah 1000 IU untuk induk betina dan 500 IU untuk induk jantan sekaligus. Waktu penyuntikan dilakukan pada saat diameter telur sudah mencapai minimal 400 u (Vatanakul, 2002). Kemudian setelah 48 jam dari penyuntikan dilakukan pengeluaran telur dan sperma dengan cara mengurut bagian perutnya (striping) secara perlahan dan hati-hati. Hasil

Page 6: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

peneluran ini selanjutnya dicampur dalam wadah dan diaduk selama 2 menit menggunakan bulu ayam. Setelah dicuci bersih telur hasil pembuahan ini dipelihara dalam bak pemeliharaan.

Kata kunci: Hormon HCG, matang gonad, pembuahan buatan, striping, transgenesis

PENTOKOLAN UDANG VANAME (LITOPENAEUS VANNAMEI) DALAM WADAH MENGGUNAKAN ATAP DAUN KELAPA

Erfan A. HendrajatBalai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan atap daun kelapa pada wadah pentokolan terhadap pertumbuhan dan sintasan benih udang vaname. Penelitian berlangsung pada bulan Agustus hingga September 2009 dimana pada musim kemarau biasanya kondisi cuaca terik terjadi pada siang hari. Wadah percobaan yang digunakan adalah bak fiber glass ukuran 75x75x60 cm sebanyak 4 buah yang disetting di luar ruangan (out door) dan dilengkapi aerasi. Masing-masing bak diberi subtrat tanah tambak dan disisi air tambak sebanyak 150 liter. Bobot awal rata-rata hewan uji 0,015 g ditebar dengan kepadatan 4 ekor/liter (600 ekor/bak). Pakan yang diberikan adalah pakan komersial dalam bentuk powder dengan dosis 50 – 100% dari bobot biomassa, diberikan 2 kali per hari. Perlakuan yang dicobakan adalah: A (Pemberian atap daun kelapa pada wadah pentokolan) dan B (Tanpa atap) masing-masing dengan 2 ulangan. Hasil pentokolan selama 30 hari menunjukkan bahwa pertumbuhan mutlak dan sintasan antara perlakuan A dengan perlakuan B berbeda nyata (P<0,05), dimana pertumbuhan mutlak lebih tinggi pada perlakuan B (1,040 g/ekor) dibanding pertumbuhan mutlak pada perlakuan A (0,410 g/ekor). Sedangkan sintasan lebih tinggi pada perlakuan A (86,58%) dibanding sintasan pada perlakuan B (13,33%).

Kata kunci: Atap, pentokolan, pertumbuhan, sintasan, udang vaname

EVALUASI PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN SINTASAN IKAN NILA PADA KERAMBA JARING APUNG DI DANAU MANINJAU, SUMATERA BARAT

Erlania, Anjang B. Prasetio dan RasidiPusat Riset Perikanan Budidaya, Jl. Ragunan 20 Pasar Minggu – Jakarta Selatan 12540Email : [email protected]

Danau Maninjau memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan kegiatan budidaya ikan di KJA. Tingkat produksi dari kegiatan budidaya tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya yaitu kualitas benih yang digunakan serta kondisi perairan. Kondisi budidaya pada KJA dengan kepadatan tinggi dan penggunaan pakan buatan secara intensif akan mempengaruhi laju pertumbuhan produksi dan sintasan dari ikan yang dibudidayakan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap kegiatan budidaya ikan nila yang dilakukan oleh masyarakat di Danau Maninjau. Koleksi data telah dilakukan melalui interview langsung dengan para pembudidaya yang mewakili 6 kelompok pembudidaya ikan, kemudian dilakukan analisis pertumbuhan, produksi dan sintasan. Pengukuran parameter kualitas air juga dilakukan untuk mengetahui kondisi perairan Danau Maninjau sebagai media budidaya. Laju pertumbuhan rata-rata 1,38 g/hari, laju produksi rata-rata 6.550 g/hari dan sintasan rata-rata 57%. Kondisi kualitas air Danau Maninjau secara umum masih berada dalam kisaran optimal untuk pertumbuhan ikan nila, kecuali beberapa parameter yang sudah melebihi nilai baku mutu.

Kata kunci: Ikan nila (Oreochromis niloticus), keramba jaring apung (KJA), pertumbuhan, produksi, sintasan

KLASIFIKASI KESEUAIAN LAHAN MANGROVE UNTUK SILVOFISHERY DI KAWASAN REHABILITASI MANGROVE PANTAI UTARA KABUPATEN BREBES DAN PEMALANG

Erny PoedjirahajoeFakultas Kehutanan UGM. Email: [email protected]

Page 7: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

Keberhasilan rehabilitasi mangrove di Pantai Utara Kabupaten Pemalang telah mengembalikan fungsi ekosistem semula. Mangrove yang telah terbentuk, kemudian dimanfaatkan untuk pengembangan silvofishery, yaitu dengan cara membuat tambak berbentuk komplangan atau empang parit (Poedjirahajoe, 1997). Penelitian terdahulu (Poedjirahajoe, 2005) menyimpulkan bahwa silvofishery pola empang parit tahun tanam 2001 mempunyai hasil yang optimal bagi perikanan tambak, khususnya kepiting bakau. Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian diatas, yaitu mengklasifikasi lahan mangrove untuk silvofishery di wilayah Pantai Utara Desa Kaliwlingi Kabupaten Brebes dan Desa Pesantren Kabupaten Pemalang. Penelitian dilakukan dengan cara membandingkan kriteria kesesuaian lahan yang sudah dibuat di Desa Mojo Kabupaten Pemalang dengan menggunakan komoditas kepiting.. Output dari penelitian ini berupa klasifikasi lahan untuk silvofishery yang selanjutnya dipetakan guna mempermudah gambaran lokasi di lapangan. Penelitian dilakukan dengan cara menentukan kembali beberapa areal mangrove silvofishery yang termasuk dalam kategori S1, S2, S3 dan NS. Penentuan tersebut dilakukan dengan cara meneliti kawasan mangrove lain yang masih satu garis pantai dengan penelitian terdahulu. Penentuan kategori S1, S2, S3 dan NS dilakukan dengan cara meneliti habitat, terutama faktor fisik kimia yang meliputi salinitas, suhu, DO, ketebalan lumpur, N, P, K dan BO. Klasifikasi dilakukan dengan cara pengelompokan berupa dendrogram berdasarkan faktor fisik, kimia habitat yang telah diukur. Hasil klasifikasi kemudian dipetakan dengan menggunakan peta dasar Rupa Bumi 1999 Bakosurtanal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada semua lokasi penelitian yang dipilih ternyata menunjukkan hasil katagori yang tidak sesuai untuk komoditas kepiting. Ketidak sesuaian lahan hanya disebabkan oleh satu jenis plankton yang tidak ada pada setiap lokasi penelitian. Tidak adanya satu jenis plankton dapat diatasi dengan meningkatkan faktor lahan yang diukur dan merupakan faktor yang peka terhadap keberadaan plankton seperti salinitas, suhu, pH atau DO. Disarankan untuk penelitian berikutnya menggunakan jenis lain seperti udang galah atau ikan bandeng. Kata kunci: Klasifikasi Lahan, silvofishery

BUDIDAYA UDANG WINDU, PERMASALAHAN DAN STRATEGINYA DI MASA KINI

Gunarto Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, 90512 Maros Sulawesi SelatanEmail : [email protected]

Seiring dengan menurunnya kualitas lingkungan perairan pantai, maka pada masa sekarang ini penyakit udang baik bakteri maupun virus telah berkembang di semua perairan pantai, sehingga budidaya udang windu pola intensif tidak ada lagi di masyarakat petambak ataupun pengusaha. Dalam pelaksanaan budidaya udang windu pola intensif strategi yang harus diperhatikan adalah pemilihan lokasi tambak yang tepat, teknik persiapan tambak, lokasi sumber benih udang dan kualitas benih, penggunaan probiotik/bioflok dan teknik pengelolan air dengan cara ganti air seminimal mungkin. Pada penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa udang windu yang dibudidayakan secara intensif di tambak dengan masa pemeliharaan selama 112 hari, udang tidak tumbuh optimum karena dengan padat tebar 20 ekor/m2, dicapai sintasan 90 – 98% dengan ukuran udang rata-rata sekitar 14 g/ekor dan produksi 1706,9 – 1953,3 kg/ha. Kurang optimalnya pertumbuhan udang kemungkinan karena salinitas yang tinggi (35 – 46 ppt) pada masa pemeliharaan di tambak. Selain itu kandungan protein pakan yang tidak mencapai 40%, sehingga perlu perbaikan kualitas pakan. Stategi lainnya adalah benur windu harus ditokolkan lebih lama lagi sehingga menjadi ukuran yang lebih besar (misalnya tokolan PL 50) baru kemudian ditebar di tambak.

Kata kunci: Budidaya intensif, kualitas pakan, salinitas tinggi, tokolan PL50

STUDI AWAL PRODUKSI BIOFLOK SECARA MASSAL DALAM SKALA LABORATORIUM

Gunarto, Hidayat Suryanto dan Andi SahrijanaBalai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, 90512 Maros Sulawesi SelatanEmail : [email protected]

Page 8: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

Bioflok adalah suatu bentuk agregasi dari bakteri heterotrof, fitoplankton dan protozoa yang dapat dimanfaatkan sebagai subsitusi pakan bagi ikan/udang yang dibudidayakan, sehingga akan membantu dalam efisiensi biaya produksi. Tujuan penelitian adalah untuk membandingkan tiga teknik produksi bioflok yang sudah ada yaitu dari metode A (modifikasi dari metode AIYU Shirotabiota Indonesia), metode B (modifikasi dari metode Avnimelech, 1999), dan metode C (modifikasi metode dari Avnimelech, 2007). Enam unit tangki fiberglas kerucut volume 250 L masing-masing diisi air tambak salinitas 35 ppt sebanyak 200 L. Pada metode A dan B air tambak dikaporit 100 ppm terlebih dahulu sebelum digunakan untuk produksi bioflok, sedangkan pada metode C air tambak tidak dikaporit. Sumber C yang ditambahkan ke media air dalam bak kerucut adalah mollase dan juga tepung tapioka dengan kandungan C = 50%. Sedangkan sumber N dari pupuk Za dengan kandungan N = 21%, kemudian dari pakan udang, kandungan N = 6,4% dan dari Ammonium klorida (NH4CL), N = 0,34g per 5g NH4CL). C N rasio di setiap metode dipertahankan pada kisaran 20 : 1. Pengamatan dilakukan pada kecepatan tumbuh flok dari ketiga metode tersebut juga nilai nutrisinya (protein, lemak, karbohidrat), parameter kualitas air (amoniak, nitrit, nitrat, fosfat, pH, oksigen terlarut, salinitas) dan dilakukan pengukuran Total Suspended Solid (TSS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi flok tercepat dijumpai di metode B (6 hari), disusul metode C (20 hari) dan yang paling lambat adalah metode A (25 hari). Di metode A dengan jumlah pakan udang sebagai sumber N sebanyak 2% dari volume air dalam bak kerucut, dirasa terlalu banyak, sehingga menyebabkan sumber C yang ditambahkan juga harus banyak. Hal tersebut menyebabkan pH air media penumbuhan flok menjadi rendah (pH air = 4,5), menyebabkan flok tidak tumbuh, meskipun telah ditambahkan dolomit untuk meningkatkan pH air. Setelah air diganti sebanyak 95%, maka lima hari kemudian bioflok segera terbentuk. Kadar protein flok cukup tinggi di ketiga metode yaitu 25,72 – 27,43% (A), 23,09 – 30,89% (B) dan 30,6% (C). Nilai TSS pada kisaran 91,4 – 98,4 mg/L (A), 80,8 – 151,6 mg/L (B) dan 114,4 – 196,8 mg/L (C).

Kata kunci: Bakteri heterotrofik, bioflok, nilai nutrisi

BUDIDAYA TERPADU UDANG WINDU (PENAEUS MONODON), VANAME (LITOPENAEUS VANNAMEI), IKAN BANDENG (CHANOS CHANOS) DAN RUMPUT LAUT (GRACILARIA VERRUCOSA) DI TAMBAK

Hidayat Suryanto Suwoyo dan Brata PantjaraBalai Riset Perikanan Budidaya Air PayauJl. Makmur Dg. Sitakka. No. 129, Maros, Sulawesi SelatanEmail : [email protected]

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan produksi yang optimal dari polikultur udang windu, udang vaname, bandeng dan rumput laut di tambak. Penelitian dilakukan di Instalasi Tambak Percobaan (ITP), Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros. Tambak yang digunakan berukuran 0,5 ha sebanyak 6 petak. Sebagai perlakuan adalah budidaya terpadu udang windu, udang vaname, ikan bandeng dan rumput laut yaitu : A (udang windu 10.000 ekor/ha + bandeng 1200 ekor/ha + rumput laut 2000 kg/ha), B (udang vaname 10.000 ekor/ha + bandeng 1200 ekor/ha + rumput laut 2000 kg/ha) dan C (udang windu 5.000 ekor/ha + udang vaname 5.000 ekor/ha bandeng 1200 ekor/ha + rumput laut 2000 kg/ha). Masing masing perlakuan dengan 2 ulangan dan waktu pemeliharan berlangsung selama ± 3 bulan. Udang windu dan udang vaname yang ditebar berupa tokolan 3-4 minggu dengan berat-rata-rata masing-masing 0,104 dan 0,129 g/ekor. Sedangkan bandeng yang ditebar berupa gelondongan berukuran 120 – 150 g/ekor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi udang windu, ikan bandeng dan rumput laut pada perlakuan A masing masing 52,2 kg/ha; 583,18 kg /ha, dan 565 kg/ha. Produksi udang vaname, ikan bandeng dan rumput laut pada perlakuan B masing-masing : 6,4 kg/ha, 476,10 kg /ha, dan 502 kg/ha. Produksi udang windu, udang vaname, ikan bandeng dan rumput laut pada perlakuan C masing masing 11,8 kg/ha, 49,8 kg/ha, 366,82 kg /ha, dan 753 kg/ha. Sintasan udang windu dan bandeng pada perlakuan A masing masing 23,24% dan 94,17%, sedangkan perlakuan B, sintasan udang vaname dan bandeng masing masing 7,78 % dan 95,42 %. Sedangkan sintasan udang windu, vaname dan bandeng pada perlakuan C masing-masing 26,4%, 56,64% dan 58,83%. Sintasan dan produksi udang yang rendah disebabkan terserang penyakit WSSV, namun hasil dari budidaya terpadu (polikultur) dengan bandeng dan rumput laut masih dapat diharapkan untuk membantu kelangsungan usaha pertambakan.

Kata Kunci : polikultur, sintasan, bintik putih

Page 9: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

PEMETAAN KELAYAKAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN NILA DI KECAMATAN WAJAK, KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR

I Nyoman Radiarta, Adang Saputra dan Hatim AlbasriPusat Riset Perikanan Budidaya, Jl. Ragunan 20, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540, Telp. 021-7805052, 78834847, Email: [email protected]

Kabupaten Malang merupakan salah satu lokasi program nasional minapolitan. Untuk mendukung program tersebut, kabupaten ini telah menetapkan Kecamatan Wajak sebagai sentra wilayah pengembangan minapolitan. Tujuan dari penelitian adalah untuk melakukan kajian tingkat kelayakan lahan untuk pengembangan budidaya ikan nila (Oreochomis Niloticus) di Kecamatan Wajak. Pengumpulan data telah dilakukan pada bulan Mei 2010. Sebanyak 18 titik pengamatan kualitas perairan telah dikumpulkan selama survei lapangan. Titik pengamatan disebar secara proposional yang mewakili daerah sentra dan penyangga minapolitan. Data kualitas air dan data sekunder lainnya kemudian dianalisis secara spasial dengan sistem informasi geografis (SIG). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari total luasan potensi pengembangan sekitar 9987 Ha, lokasi dengan kategori sangat layak, layak dan tidak layak masing-masing ditemukan seluas 1121 Ha, 4867 Ha dan 1787 Ha. Lokasi potensial untuk pengembangan budidaya ikan nila menjadi terbatas dengan adanya wilayah hutan dan pemukiman seluas 2212 Ha. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi instansi terkait di Kabupaten Malang guna mendukung keberhasilan pelaksanaan program minapolitan.

Kata kunci: Ikan Nila, kelayakan lahan, Malang, minapolitan, SIG

MODEL SPASIAL DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK PENENTUAN LOKASI POTENSIAL PENGEMBANGAN BUDIDAYA TIRAM MUTIARA DI PROVINSI PAPUA BARAT

I Nyoman RadiartaPusat Riset Perikanan BudidayaJl. Ragunan 20, Pasar Minggu Jakarta Indonesia 12540. Telp. 021-7805052, 78834847Email: [email protected]

Pemilihan lokasi adalah tahapan awal yang sangat penting bagi kegiatan budidaya laut. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis tingkat kelayakan perairan untuk pengembangan budidaya tiram mutiara dengan sistem long-line di Provinsi Papua Barat dengan menggunakan data penginderaan jauh (inderaja) dan sistem informasi geografis (SIG). Empat parameter biofisik yang mempengaruhi budidaya tiram mutiara digunakan dalam penelitian ini meliputi: konsentrasi klorofil, kandungan sedimen, suhu perairan, dan kedalaman perairan. Data yang digunakan umumnya diekstrak dari data inderaja (satelit MODIS). Tingkat kelayakan perairan dianalisis dengan menggunakan multi-criteria evaluation dan SIG. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari total luasan potensi perairan sekitar 35,711 km2 (kedalaman kurang dari 50 m) terdapat sekitar 23% yang diklasifikasikan sangat layak bagi pengembangan budidaya tiram mutiara.

Kata kunci: SIG, penginderaan jauh, budidaya tiram mutiara, Papua Barat

KERAGAAN BENIH UDANG GALAH (MACROBRACHIUM ROSENBERGII) DARI SUMBER POPULASI BERBEDA PADA MEDIA pH RENDAH

Ikhsan Khasani1), Veza Febtasia2), Supono3), Asep Sopian1)

Penelitian bertujuan untuk mengetahui keragaan benih udang galah dari beberapa populasi, yaitu asal sungai Asahan (Medan), Musi (Palembang) dan Barito (Kalimantan). Kegiatan diawali dengan melakukan pemijahan pada masing-masing populasi dan dilanjutkan dengan pemeliharaan larvanya hingga menjadi pasca larva (PL). Pengujian dilakukan selama 42 hari. Asam cuka (asam asetat) konsumsi digunakan sebagai bahan untuk membuat stratifikasi pH. Konsentrasi pH yang diterapkan

Page 10: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

didasarkan pada uji LD50, dan didapatkan pH 5,2. Sebagai variabel bebas adalah benih udang galah asal 3 populasi, dengan ulangan lima kali. Wadah pemeliharaan berupa keranjang plastik ukuran 50x30x40 cm yang dimodifikasi dengan dilapisi terpal dan diisi air sebanyak 50 L. Kepadatan masing-masing perlakuan 2 ekor/L dengan pemberian pakan 3 kali sehari 10% dari biomassa. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan asal populasi benih udang galah yang dipelihara pada pH 5,2 tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan panjang mutlak, pertumbuhan bobot mutlak, laju pertambahan panjang spesifik, dan laju pertambahan bobot spesifik, tetapi memberikan pengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup benih udang galah. Kelangsungan hidup benih udang galah populasi asal Musi sebesar 61,4% relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan populasi Asahan sebesar 46,2%, dan Barito sebesar 35,4%.

Kata kunci : pH rendah, sintasan, sumber populasi, udang galah

THE EFFECTS OF WELL BOAT TRANSPORT ON STRESS RESPONSES UNDER DIFFERENT DENSITIES OF RAINBOW TROUT (ONCORHYNCHUS MYKISS, WALBAUM 1792)

Yunita MaimunahFakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang

The transport of harvested fish has been recognized to bring stress effect on fish. In this study the stress effects mainly assessed by monitoring the chemical blood characteristics in each transport sequences which were loading, transporting and unloading. The objectives of this paper were to test the new well boat design from MMC Tendos AS, Norway, with circulatory tanks and suction pumps would show such effects, and further to compare the transport densities of fish and the effects of unloading by pumping in terms of stress response. The Rainbow trout (Oncorhynchus mykiss, Walbaum 1792) were transported in two biomass densities, 18 % volume (low density) and 26 % volume (high density). The results showed that the low density fish recovered faster from the induced handling stress encountered at crowding with respect to HCO3

-, glucose, and lactate levels. However, it was observed a significant reduction in oxygen consumption in the high density tank during transport. This was probably due to a slight sedation effect from the metabolic CO2 accumulation in the transport tank. After unloading, significantly elevated levels of pCO2 and lactate, and significantly lower potassium and blood pH were observed in the low density group compared to the high density group, and also when compared to data obtained for both groups under transport. The results thus clearly demonstrated that most stress was induced by handling under crowding and pumping on loading and unloading, whereas the transport may benefit from increased fish density up to at least 26 volume %.

Keywords: Blood, rainbow trout, stress, transportation, well-boat

PERAN MANIPULASI LINGKUNGAN BUDIDAYA SUPERINTENSIFKEPITING BAKAU (SCYLLA PARAMAMOSAIN) DALAM UPAYAPENINGKATAN PRODUKSI KEPITING SOFT SHELL

Istiyanto SamidjanProgram Studi Budidaya Perairan, Fak.Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip

Kondisi saat ini kepiting bakau (Scylla paramamosain) cangkang lunak merupakan salah satu jenis kepiting konsumsi yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Tingkat mortalitas yang masih tinggi 60 – 70%, disebabkan oleh lingkungan yang kurang layak dan pakan yang diberikan belum sesuai. Teknologi yang diterapkan oleh petani pembudidaya kepiting bakau masih sangat sederhana. Salah satu teknologi yang dapat diterapkan adalah dengan manipulasi lingkungan terutama pH berbeda (6, 7, 8, 9) dengan diberi pakan buatan dengan sumber lemak nabati (oil corn). Sehingga mampu meningkatkan produksi kepiting cangkang lunak (soft shell). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui teknik manipulasi lingkungan pada pH berbeda terhadap kelulushidupan dan pertumbuhan (produksi) kepiting cangkang lunak (soft shell) dengan budidaya superintensif sistem batery. Materi yang digunakan adalah kepiting bakau (S. paramamosain) dewasa yang diperoleh dari

Page 11: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

hasil tangkapan nelayan di wilayah perairan Pidodo Kulon, Kendal berjumlah 60 ekor. Kepiting bakau ini berukuran berat tubuh kurang lebih 142.35g±1.95. Metode yang digunakan adalah metode eksperimental yang dilakukan di lapangan, dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan yaitu perlakuan tersebut pH A (6) B (7), C (8), D(9) pH berbeda, dengan diberi pakan buatan dengan sumber lemak nabati 5% perbiomas/hari diberikan dengan frekuensi 2 kali perhari pada pagi dan sore hari. Data yang diperoleh adalah data pertumbuhan biomassa mutlak, kelulushidupan, FCR, PER, NPU dan data pengamatan kualitas air selama pemeliharaan 42 hari. Data dianalisis dengan analisis ragam. Penelitian dilakukan di tambak dengan sistem bateri dan padat penebaran 1 ekor/basket atau 25 ekor/m². Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kombinasi pakan berpengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap pertumbuhan mutlak, kelulushidupan kepiting bakau dan nilai konversi pakan. Pertumbuhan mutlak kepiting bakau tertinggi diperoleh dari perlakuan C (57.25±0.985 gr) dan Kelulushidupan kepiting bakau perlakuan B dan C (91.6667±2.887 %). Kualitas air selama pemeliharaan masih berada dalam kisaran yang layak untuk budidaya kepiting bakau cangkang lunak (soft shell).

Kata kunci: Kelulushidupan, Kepiting bakau (Scylla paramamosain), kualitas air, lemak nabati, manipulasi lingkungan, pH, Pertumbuhan, soft shell.

REKAYASA TEKNOLOGI BUDIDAYA KEPITING BAKAU SOFT SHELL BERBASIS PAKAN BUATAN DENGAN SUMBER LEMAK HEWANI DENGAN CLOSED SYSTEM YANG RAMAH LINGKUNGAN

Istiyanto SamidjanProgram Studi Budidaya Perairan,Fak.Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip Jalan Hayam Wuruk 4A Semarang, Telp 024-8311525, HP.081390713299Email: [email protected]

Produksi kepiting Bakau (Scylla paramamosain) cangkang lunak (Soft shell) saat ini sangat berkembang dengan baik dan merupakan salah satu komoditi unggulan eksport Indonesia. Teknik budidayanya saat ini masih tergantung pada pakan buatan bersumber lemak hewani (oil cod) dan teknik rekayasa lingkungan menggunakan biofiltrasi biologi untuk mengolah air secara closed system sangat baik untuk meningkatkan kelulushidupan kepiting dan produksi softshell. Permasalahannya adalah tingkat mortalitas yang masih tinggi 70 – 80 %, disebabkan oleh pakan yang diberian belum sesuai dan lingkungan yang jelek. Salah satu teknologi yang dapat diterapkan adalah aplikasi berbagai dosis formula pakan buatan dengan sumber lemak hewani (1% s/d 7% Perbiomass/perhari) dapat meningkatkan produksi kepiting soft shell (cangkang lunak) dan perbaikan lingkungan dengan biofiltrasi biuologi secara closed system. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh pemberian berbagai dosis pakan buatan dengan formula sumber lemak hewani dan manipulasi lingkungan (biofiltrasi bilogi) terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan kepiting bakau (S. paramamosain) dengan budidaya sistem batery.Materi yang digunakan adalah kepiting bakau (S. paramamosain) dewasa yang diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di wilayah perairan Pidodo Kulon, Kendal berjumlah 48 ekor. Kepiting bakau ini berukuran berat tubuh kurang lebih 144.3g±1.82. Metode yang digunakan adalah metode eksperimental yang dilakukan di lapangan, dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan yaitu perlakuan A (pakan buatan 1%Perbiomas/hari), perlakuan B (3% Perbiomass /hari), perlakuan C (5%perbiomass/hari), D (1% perbiomass/hari dan perlakuan E (kontrol diberi ikan kuniran 3% perbiomass/hari). Data yang diperoleh adalah pertumbuhan biomassa mutlak, laju pertumbuhan harian, kelulushidupan, FCR, NPU, PER dan data pengamatan kualitas air selama pemeliharaan 42 hari. Data dianalisis dengan analisis ragam. Penelitian dilakukan di tambak dengan sistem bateri dan padat penebaran 1 ekor/basket atau 25 ekor/m², pakan diberikan 2 kali pada pagi dan sore.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan buatan dengan sumber lemak hewani pada berbagai dosis berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap pertumbuhan biomassa mutlak, kelulushidupan kepiting bakau. Pertumbuhan biomassa mutlak kepiting bakau tertinggi diperoleh dari perlakuan C (5%perbiomass/hari), yaitu 55.26±0.764 gr dan kelulushidupan C (95.31±3.12 &) Kualitas air selama pemeliharaan masih berada dalam kisaran yang layak untuk budidaya kepiting bakau.

Page 12: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

Kata kunci : Kepiting bakau, cangkang lunak, Pertumbuhan, Kelulushidupan.

KLONING GEN HORMON PERTUMBUHAN IKAN KERAPU TIKUS (CROMILEPTES ALTIVELIS) PADA VEKTOR EKSPRESI PROTEIN REKOMBINAN

Ken Ratih Probosaria), Irvan Faizal a,, Ratu Siti Aliaha), Alimuddinb), M.Husni Amarullaha), Dody Irawana) dan Suhendar I Sachoemara)

a) Pusat Teknologi Produksi Pertanian – Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi (BPPT), Jakarta; b) Fakultas Perikanan dan lmu Kelautan – Institut Pertanian Bogor

Salah satu penghambat utama dalam budidaya ikan kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) adalah pertumbuhannya yang lambat. Untuk mengatasi hambatan tersebut, dalam penelitian ini dilakukan produksi protein rekombinan hormon pertumbuhan oleh Escherichia coli (E. coli) yang mampu mengekspresikan protein. Pada tahapan awal, dilakukan konstruksi pGEMTeasy-ktGH yang membawa gen ktGH (hormon pertumbuhan ikan kerapu tikus), kemudian diperbanyak di dalam host non ekspresi E. coli DH5α dengan teknik elektroporasi. Selanjutnya dilakukan isolasi konstruksi pGEMTeasy-ktGH, untuk kemudian dipotong dengan menggunakan enzim EcoRI untuk mengisolasi gen ktGH. Gen ktGH diligasikan dengan vektor ekspresi pETBlue-2 (Novagen) (rasio molar 2,5:1) untuk menciptakan konstruksi baru, pBlueKNKT. Pada gen ktGH yang akan diligasikan dengan pETBlue-2 diberikan perlakuan End Conversion Mix (Novagen) agar tercipta sisi restriksi yang bersifat tumpul (blunt end) pada kedua sisinya. Konstruksi pBlueKNKT selanjutnya dikloning ke dalam E. coli Novablue. Untuk mendeteksi koloni positif yang mengandung konstruksi pBlueKNKT, dilakukan isolasi konstruksi pBlueKNKT, single digestion, dan PCR (insert dan orientasi). Setelah dideteksi, dapat diketahui bahwa konstruksi pBlueKNKT bersifat stabil dan mampu membawa gen ktGH di dalam E. coli Novablue.

Kata kunci: Hormon pertumbuhan ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kloning, pETBlue-2, E. coli Novablue

PENGGUNAAN JENIS PUPUK ORGANIK PADA BUDIDAYA UDANG WINDU (PENAEUS MONODON FABRICIUS) DI TAMBAK

Machluddin Amin, Herlina Jompa dan Abd. MalikTangkoBalai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan jenis pupuk organik terhadap pertumbuhan dan sintasan udang windu (Penaeus mondon Fabricius) di tambak dengan menggunakan 6 petak tambak ukuran 500 m2. Perlakuan yang dicobakan pada penelitian ini adalah penggunaan berbagai jenis pupuk organik yaitu perlakuan A = kotoran ayam , perlakuan B = kotoran sapi dan perlakuan B = dedak masing-masing diulang 2 kali Hewan uji yang digunakan adalah udang windu PL 20 (0,028 g/ekor) dengan padat tebar 2 ekor/m2. Sebelum penebaran organisme uji dilakukan persiapan masing-masing tambak meliputi pengeringan dan pengolahan dasar tambak. perbaikan pematang tambak, pemberantasan hama dengan saponin sebanyak 1,25 kg/ha (25 kg/ha), pengapuran dengan kapur pertanian sebanyak 16 kg/petak (320 kg/ha), kapur dolomit 100 kg/petak (2000 kg/ha), pemupukan anorganik masing-masing pupuk urea 7,5 kg/petak (150 kg/ha), SP36 3,75 kg/petak (75 kg/ha). Pemupukan susulan urea dan SP36 dilakukan pada setiap 15 hari dengan dosis 5% dari pupuk awal. Peubah yang diamati meliputi pertumbuhan berat mutlak udang windu, setiap 15 hari serta sintasan dan produksi udang windu pada akhir penelitian. Parameter penunjang yang diukur meliputi suhu, salinias oksigen terlarut, pH, BOT, PO4, NO2, NO3, Fe, plankton dan bakteri dilakukan setiap 2 minggu. Pengamatan tanah dasar tambak meliputi pH, BOT, posfat, nitrat dan tekstur tanah dilakukan pada awal dan akhir penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan jenis pupuk organik tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertumbuhan dan sintasan udang windu namun tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi udang windu. Berat/ekor akhir udang windu tertinggi pada perlakuan C (dedak) dan sintasan udang windu tertinggi diperoleh pada perlakuan A (kotoran ayam) dan B (kotoran sapi).

Page 13: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

Kata kunci: Pupuk organik, tambak, udang windu

KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA TAMBAK KABUPATEN SERANG DALAM RENCANA KAWASAN MINAPOLITAN BANDENG

Markus Mangampa1) dan Adang Saputra2)1) Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau; 2) Pusat Riset Perikanan Budidaya

Kabupaten Serang memiliki 8 kecamatan pesisir dengan luas tambak kurang lebih 6.064 Ha tetapi produktivitas tambaknya relatif rendah. Oleh karena itu dilakukan penelitian pada tiga kecamatan yang mempunyai areal tambak yang luas yaitu kecamatan Pontang, Tirtayasa dan Tanara. untuk melihat beberapa parameter yang menjadi salah satu faktor pembatas menurunnya kesuburan tambak. Disamping itu dilakukan pengumpulan data sekunder berupa cara pengelolaan tambak dan capaian produksi dari beberapa petambak. Tujuan penelitian ini adalah masukkan rekomendasi alternatif pengelolaan budidaya tambak sebagai salah satu upaya peningkatan produktivitas tambak di kabupaten Serang. Hasil análisis menunjukkan bahwa salah satu faktor pembatas kesuburan tanah adalah rendahnya kandungan N total dalam tanah tambak yaitu berkisar: 0,00–0,21% dan relatif sama untuk ke tiga kecamatan. Demikian pula kandungan bahan organik dalam tanah tambak relatif rendah khususnya Tanara yaitu:0,13–1,63%, menyusul Tirtayasa : 0,66–8,21% dan Pontang : 1,53–5,58%. Kandungan Fe dalam tanah tambak relatif tinggi yaitu : 32,50–2436,50 ppm, Tekstur tanah tambak di 3 kecamatan rata rata didominasi oleh fraksi pasir dengan kelas tekstur lempung berpasir, lempung liat berpasir yang cukup layak untuk budidaya tambak. Sedangkan beberapa peubah mutu air memperlihatkan kisaran yang masih layak untuk budidaya tambak, kecuali Nitrat dan alkalinitas cukup rendah dengan kisaran masing masing ;0,0105–0,0374 mg/L dan 86,1–183,66 mg/L. Rekomendasi alternatif pengelolaahan budidaya tambak pada tiga kecamatan ini adalah (1) perbaikan tingkat kesuburan tanah dengan penggunaan pupuk urea dan pupuk organik utamanya dari kotoran ayam, dan (2) penanaman mangrove (perbaikan jalur hijau) mencegah abrasi yang besar dan sebagai perangkap polutan yang mencermari perairan tambak ( menurunkan kadar Fe dalam air dan tanah tambak).

Kata kunci: Kabupaten Serang, kesesuaian tambak, minapolitan Bandeng

PENGGUNAAN  SHELTER  PADA  PENTOKOLAN UDANG VANNAMEI (LITOPENAEUS VANNAMEI) DENGAN WADAH BAK FIBER

Markus MangampaBalai Riset Perikanan Budidaya Air PayauJl. Makmur Dg Sitakka 129 Maros 90512, Telepon: (0411) 371544

Penelitian penggunaan shelter pada pentokolan udang vaname dengan  wadah bak fiberglas (bak terkontrol) bertujuan untuk  mengetahui pengaruh shelter terhadap sintasan dan pertumbuhan udang vaname yang ditokolkan dalam bak fiberglas.  Riset ini dilaksanakan di Marana Maros, Instalasi Riset BRPBAP, menggunakan 9 bak fiberglas, berukuran 1,0x1,0x0,75 m3/bak dengan perlakuan : jenis shelter yaitu  (A) shelter dari rumput laut dengan metode apung,  (B) shelter dari waring hitam  dan (C) tanpa shelter, setiap perlakuan dengan 3 ulangan.  Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pentokolan udang vaname selama 15 hari dalam bak fiberglas dengan menggunakan shelter rumput laut menghasilkan sintasan sebesar 92+1,803%, lebih tinggi dan berbeda nyata dengan pentokolan menggunakan waring hitam yaitu: 81,03+2.644% dan pentokolan tanpa menggunakan shelter yaitu: 83,49+2.736%. Pertumbuhan antara ke 3 perlakuan relatif tinggi pada pentokolan shelter rumput laut yaitu 0,099+0,002 g/ekor, dibandingkan dengan pentokolan menggunakan shelter waring hitam yaitu 0,084+0,0026 g/ekor, dan tanpa shelter yaitu 0,087+0,003 g/ekor, namun pertumbuhan ke 3 perlakuan ini berbeda tidak nyata. Perbedaan ini disebabkan karena rumput laut mempunyai keunggulan spesifik terhadap pentokolan maupun pembesaran udang váname.. Pemeliharaan ini dilakukan dalam bak terkontrol sehingga umumnya peubah mutu air memperlihatkan kisaran yang layak untuk budidaya udang, namun beberap peubah mutu air seperti oksigen terlarut dan suhu memperlihatkan kisaran yang berbeda antara ke 3 perlakuan, namun relatif kecil.

Kata kunci: Pentokolan, pertumbuhan, shelter, sintasan, udang vannamei

Page 14: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

ANALISIS KARAKTERISTIK LAHAN, PENENTUAN POTENSI DAN TINGKAT KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii) DI PERAIRAN PESISIR KOTA BAU-BAU PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Mudian PaenaBalai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP)Jl. Makmur Daeng Sitakkan No. 129 Maros Sulawesi [email protected]

Kota Bau-Bau sejak tahun 2000 merupakan salah satu kabupaten sentra produksi rumput laut di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sampai saat ini belum ada informasi yang memadai tentang potensi dan tingkat kesesuaian lahan budidaya rumput laut (Kappaphycus alvarezii) di perairan pesisir Kota Bau-Bau, demikian pula dengan karakteristik físika dan kimia oseanografinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik, potensi dan kesesuaian lahan budidaya rumput laut di perairan pesisir Kota Bau-Bau. Metode penelitian yang dilakukan adalah survei lapangan dan pemanfaatan sistem informasi geografis. Bahan yang digunakan adalah peta digital Rupa bumi Indonesia wilayah Kota Bau-Bau dan peralatan survei lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi lahan budidaya rumput laut di Kota Bau-Bau mencapai 3.685,45 ha, dengan tingkat kesesuaian lahan sesuai 3,320.72 ha, dan 364,73 tidak sesuai. Karakter perairan pesisir Kota Bau-Bau dicirikan dengan kecerahan 5,3-10,5 meter, kedalaman 4,5–35 meter, suhu 28,78-30,30oC, pH antara 8,1-8,17, salinitas 35,88- 36,98 ppt, oksigen terlarut 5,81-6,85 mg/L, bahan organik total 31,79 – 44,84 mg/L, nitrit 0,008 – 0,0014 mg/L, nitrat <0,0008 – 0,0068 mg/L, fosfat 0,0302 – 0,6857 mg/L, besi 0,028 – 0,264 mg/L dan total suspensi 72 - 118 mg/L.

Kata kunci: kesesuaian, Kota Bau-Bau, potensi, rumput laut

PEMELIHARAAN KRABLET KEPITING BAKAU (SCYLLA PARAMAMOSAIN) DENGAN PERLAKUAN PHOTOPERIOD YANG BERBEDA

Muslimin, Sulaeman dan Noor Bimo AdhiyudantoBalai Riset Perikanan Budidaya Air Payau MarosJln. Makmur Dg Sitakka no.129 Maros Sulawesi Selatan

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi pertumbuhan dan sintasan krablet kepiting bakau (Scylla paramamosain) dengan perlakuan photoperiod yang berbeda. Kegiatan ini dilakukan di Instalasi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Dusun Lawallu, Kec. Mangkoso Kab. Barru. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah krablet kepiting bakau umur 30 hari dengan bobot awal dan lebar karapaks adalah 0,02±0,1 g dan 0,04±0,1 mm. Penelitian ini di desain dengan rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan, di mana masing-masing perlakuan diulang empat kali. Perlakuan photoperiod yang diujicobakan dalam penelitian ini adalah:

1. Perlakuan A (24 jam gelap)2. Perlakuan B (18 jam gelap dan 6 jam terang)3. Perlakuan C (12 jam gelap dan 12 jam terang)4. Perlakuan D (24 jam terang)

Wadah yang digunakan dalam pemeliharaan krablet berupa toples berbahan kaca berukuran tinggi 22 cm dan diameter 15 cm dengan volume 3 L. Wadah ini diisi air laut salinitas 32 ppt sebanyak 2 L/toples. Kepadatan larva dalam toples sebanyak 8 ekor/toples. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari (pagi 08.00; sore 18.00 wita). Jenis pakan yang diberikan berupa potongan cumi-cumi, dengan dosis 15-5% dari bobot badan. Pergantian air dilakukan setiap hari sebanyak 60-70%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan photoperiod berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap laju pertumbuhan bobot krablet kepiting bakau. Laju pertumbuhan tertinggi diperoleh pada perlakuan A(24 jam gelap) dengan nilai sebesar 8,7± 0,3 secara berurut perlakuan C(12 jam gelap; 12 jam terang) sebesar 8,3±0,8 dan perlakuan D(24 jam terang) sebesar 7,8±0,6 serta terendah pada perlakuan B 18 jam gelap; 6 jam terang) sebesar 6,6±0,8. Sedangkan sintasan krablet kepiting bakau tidak berpengaruh terhadap perlakuan photoperiod. Sintasan krablet kepiting bakau tertinggi diperoleh pada perlakuan C (12 jam gelap;12 jam terang) sebesar 59±10.

Kata kunci: Kepiting Bakau, krablet, photoperiod

Page 15: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

SINTASAN DAN PERTUMBUHAN BENIH UDANG PAMA (PENAEUS SEMISULCATUS) DENGAN PERLAKUAN SUBSTRAT BERBEDA

Muslimin, Sulaeman dan Muh. TjarongeBalai Riset Perikanan Budidaya Air Payau MarosEmail: [email protected]

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang sintasan dan pertumbuhan benih udang pama dengan perlakuan substrat yang berbeda. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober-Desember 2009 di Instalasi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Dusun Lawallu Kec. Mangkoso Kab. Barru. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian adalah benih udang pama (Post Larva 25) dengan panjang 1,8±0,2 cm dan bobot awal 0,03±0,01 g. Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak fiberglass berukuran tinggi 44 cm,diameter 40 cm serta volume 55 L. Penelitian ini didesain dengan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan, di mana masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Perlakuan yang diujicobakan dalam penelitian ini adalah A. Substrat tanah tambak; B. Substrat tanah pantai; dan C. Substrat tanah sawah. Hasil penelitian menujukkan bahwa sintasan dan pertumbuhan bobot benih udang pama berbeda nyata (P<0,05) antara perlakuan substrat tanah tambak, substrat tanah sawah dan substak tanah pantai, di mana sintasan dan pertubuhan bobot tertinggi diperoleh pada perlakuan substrat tanah pantai sebesar 71,0±5,5 dan 21,3±0,5. Pertumbuhan panjang benih udang pama tidak berpengaruh nyata terhadap perbedaan substrat.

Kata kunci: Pertumbuhan, sintasan substrat, udang pama

PARAMETER KUALITAS AIR DALAM POLIKULTUR HUNA CAPIT MERAH (CHERAX QUADRICARINATUS)

Yohanna Retnaning Widyastuti dan Rani RahmayaniBalai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor

Kolam ikan air tawar memiliki relung ekologi yang dapat dimanfaatkan secara terintegrasi untuk membudidayakan beberapa komoditas sesuai kaidah polikultur. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kualitas air dalam polikultur huna capit merah (Cherax quadricarinatus) guna peningkatan produktivitas kolam budidaya. Penelitian dilakukan di Instalasi Riset Lingkungan Perikanan Budidaya Air Tawar & Toksikologi, BRPBAT, Bogor. Penelitian dirancang dalam rancangan acak lengkap (RAL), dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan menggunakan 9 kolam semen berukuran 10m 2 . Perlakuan A (monokultur) huna dengan kepadatan 10 ekor, B (polikultur 1) : 10 ekor huna + 10 ekor tambakan dan C (polikultur 2) : 10 ekor huna + 10 ekor tambakan + 3 ekor koan per m 3. Parameter kualitas air yang diamati :suhu, DO, pH, kesadahan, total bahan organik (TOM), NO2, NO3, NH4, diukur secara rutin setiap bulan. Pengamatan selama 24 jam untuk suhu, DO, pH dan kecerahan dengan selang pengambilan sample setiap 6 jam dilakukan pada awal dan akhir penelitian. Hasil menunjukan bahwa kisaran suhu dan pH cenderung sama pada kolam mono maupun polikultur. Kadar oksigen terlarut pada polikultur huna, tambakan dan koan menurun pada akhir penelitian karena minimnya plankton pada kolam tersebut. Pada kolam polikultur proses nitrifikasi dan denitrifikasi berjalan dengan baik sehingga terjadi penurunan kadar amoniak. Polikultur huna, tambakan dan koan menghasilkan pertumbuhan huna terbaik dengan berat akhir 58.25 ± 14.89 g dan panjang total 12.74 ± 1.14 cm dibanding kolam monokultur 50.21± 14.00 g dan 12.04 ± 1.16 cm karena didukung kualitas air yang cenderung lebih baik.

Kata kunci: huna capit merah, kualitas air, polikultur

TEKNIK TRANSPORTASI TERTUTUP BENIH NILA BEST (OREOCHROMIS NILOTICUS) DENGAN LAMA PENGANGKUTAN BERBEDA

Page 16: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

Nuryadi, Vitas Atmadi Prakoso, Gleni Hasan Huwoyon dan Rudhy GustianoBalai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Jl. Sempur No. 1, Bogor 16151 [email protected]

Ikan nila merupakan jenis ikan pangan potensial bagi budidaya air tawar dan memerlukan riset dalam penanganan dan metode pengangkutannya untuk mendukung kegiatan budidaya dan perdagangan di masa mendatang. Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah mengetahui metode transportasi dan penanganan yang baik pada benih ikan nila. Benih ikan yang digunakan berkisar antara 3-5 cm. Padat tebar yang digunakan sebanyak 50 ekor per liter yang dimasukan dalam kantong plastik yang diberi air dan gas oksigen dengan perbandingan 1:3 yang disimpan dalam box styrofoam. Benih ikan nila yang digunakan pada penelitian ini merupakan populasi Nila BEST. Lama perlakuan adalah 12, 24 dan 36 jam dengan tiga ulangan. Setelah ikan dikeluarkan dari kantong plastik, ikan dipelihara selama 2 hari dan diberi pakan komersial sebanyak 3-5% bobot tubuh per hari. Sintasan diamati selama penelitian dan setelah 2 hari masa pemeliharaan. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa lama pengangkutan terbaik pada benih nila BEST didapat pada perlakuan 12 jam dengan sintasan tertinggi pada perlakuan 12 jam (99,7%), 24 jam (98,0%) dan 36 jam (95,0%). Perbedaan antar perlakuan tidak berbeda nyata.

Kata kunci: benih nila best (Oreochromis niloticus), transportasi, waktu

KESEIMBANGAN DISTRIBUSI ZOO-FITOPLANKTON PADA BUDIDAYA UDANG VANAMEI POLA TRADISIONAL DENGAN PENAMBAHAN SUMBER KARBOHIDRAT Sahabuddin, A.Sahrijanna dan GunartoPeneliti pada Balai Riset Perikanan Budidaya Air PayauEmail : [email protected]

Kegiatan penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keseimbangan distribusi zoo-fitoplankton di tambak pada budidaya udang vanamei pola tradisional dengan penambahan sumber karbohidrat. Perlakuan dalam riset yakni; a).Tepung tapioka 40% 3-5 hari sekali; b) Fermentasi probiotik 5 ppm; dan c) Kontrol. Hasil kegiatan ditemukan fitoplankton yakni pada perlakuan; a) Navicula sp, Pleurosigma sp, Prorocentrum sp, Oscillatoria sp, sedang zooplankton didominasi dari kopepoda dan juga terdapat genera Branchionus sp. Pada perlakuan b) di dominasi kopepoda, kemudian terdapat fitoplankton dari genera Oscillatoria sp, Coscinodiscus sp. Nilai indeks diversitasnya antara 1,1235-1,3321; sedang indeks keseragamannya yakni ; 0,6634-0,9323; dominansinya yakni ; 0,1-0,4. Perlakuan fermentasi 5 ppm cenderung mempunyai populasi plankton yang cukup tinggi.

Kata kunci: Distribusi, karbohidrat, plankton, vanamei

PERTUMBUHAN KERANG KEPAH POLYMESODA EROSA (SOLANDER, 1786) YANG DI PELIHARA PADA TAMBAK DI DELTA MAHAKAM PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Samsul Rizal1, Johannes Hutabarat2, Ita Widowati2

1) Mahasiswa Double Degree Beasiswa Unggulan Konsentrasi Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Progam Studi Magister Manajemen Sumber Daya Pantai Universitas Diponegoro, Semarang.

2) Staf Pengajar Magister Manajemen Sumber Daya Pantai Universitas Diponegoro, Semarang.

Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan tambak tidak produktif di Delta Mahakam, dengan cara melakukan ujicoba pemeliharaan kerang kepah (Polymesoda erosa) adapun aspek yang dikaji yaitu pertumbuhan morfometrik (panjang cangkang, tinggi cangkang, tebal cangkang), pertumbuhan biometrik (berat total), kelangsungan hidup dan kondisi lingkungan kerang kepah pada tambak dua jenis tambak. Metoda penelitian yaitu eksperimental lapangan. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok. Faktor A yaitu kelas ukuran kerang yang terdiri dari kelas ukuran I (40 – 60,99 mm), II (61 – 80,99 mm) dan kelas ukuran III (81 – 100 mm). Faktor B yaitu lokasi penelitian dimana tambak Rhizophora sp dan tambak tanpa bervegetasi. Untuk menganalisis tambak dan kelas ukuran apakah berpengaruh terhadap pertumbuhan digunakan uji ANOVA 1 arah. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan tambak dan

Page 17: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

kelas ukuran berpengaruh terhadap pertumbuhan morfometrik, biometrik. Pertumbuhan panjang cangkang lebih cepat dari pada tinggi dan tebal cangkang, pertumbuhan kerang pada tambak Rhizophora sp lebih baik dari tambak tanpa vegetasi. Kelangsungan hidup kerang Rhizophora sp 100 %, sedangkan tambak tanpa vegetasi 90,12 %. Parameter lingkungan seperti suhu, oksigen terlarut, salinitas dan pH masih mendukung bagi perkembangan kerang kepah.

Kata Kunci: Delta Mahakam, kelas ukuran, pertumbuhan, Polymesoda erosa, tambak

DINAMIKA PLANKTON PADA BUDIDAYA UDANG WINDU (PENAEUS MONODON) SISTEM MODULAR DI TAMBAK DENGAN KONDISI YANG EKSTRIM

Suwardi Tahe dan Machluddin AminBalai Riset Perikanan Budidaya Air PayauJl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Telp (0411) 371544E=mail litkanta @ indosat,net.id

Plankton merupakan pakan alami yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan sintasan udang pada sistem budidaya udang smiintensif di tambak. Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Tambak Percobaan Maranak, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika plankton pada budidaya udang windu (Penaeus monodon) sisem modular di tambak dengan kondisi yang ekstrim. Penelitian menggunakan 4 petak tambak ukuran 2500 m2 dan tandon sebagai sumber air. Sebelum penebaran udang terlebih dahulu dilakukan persiapan tambak yang meliputi: Pengeringan tambak, pengapuran dengan kapur bakar 2000 kg/ha, pemberantasan hama dengan saponin 20 kg/ha. Untuk menumbuhkan pakan alami dilakukan pemupukan dasar urea dan SP-36 dosis masing-masing 150 kg/ha dan 200 kg/ha. Hewan uji adalah tokolan udang windu bobot awal rata-rata 0,074 ± 0,02 g yang ditebar dengan kepadatan 60.000 ekor/ha atau 15000 ekor/petak. Penelitian menggunakan dua perlakuan masing-masing terdiri dua ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah A=Pemindahan udang 45 hari pemeliharaan dan B= Tanpa pemindahan udang. Selama pemeliharaan 70 hari udang diberi pakan komersil dosis 50-3% menurun seirng dengan bertambahnya berat biomassa udang. Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan menyaring air tambak menggunakan plankton net no 25. sebanyak 100 L, kemudian disaring dan dipadatkan menjadi 100 mL, selanjutnya sampel diawetkan dengan menggunakan larutan lugol 1 cc. Identifikasi jenis plankton dilakukan di Laboratorium mrnggunakan mikroskop yang berpedoman pada buku identifikasi plankton dan perhitungannya menggunakan Sedwick Rafter Counting Cell. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah individu plankton pada perlakuan A dan B masing-masing 103 dan 80 ind/L dan jumlah genera diperoleh pada perlakuan A 6 jenis dan perlakuan B 5 jenis. Indeks keragaman yang diperoleh selama penelitian pada perlakuan A 1,033 dan perlakuan B 1,008. Indeks keseragaman pada perlakuan A dan B masing-masing 0,636 dan 0,737. Indeks dominansi pada perlakuan A 0,500 dan B=0,442

Kata kunci: Modular, plankton, salinitas tinggi, tambak

TOLERANSI BENIH IKAN MAS RAJADANU PADA BERBAGAI SALINITAS BERBEDA

Vitas Atmadi Prakoso, M.H. Fariduddin Ath-thar dan Otong Zenal Arifin Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Jl. Sempur No. 1, Bogor 16151 [email protected]

Peningkatan permintaan ikan mas dan ketersediaan perairan payau telah meningkatkan kesempatan untuk mengembangkan strain baru yang cocok untuk dibudidayakan di perairan tersebut. Ikan Mas strain Rajadanu yang memiliki performa pertumbuhan unggul merupakan salah satu kandidat strain yang akan dibudidayakan pada perairan payau. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk melakukan evaluasi toleransi salinitas larva dan benih ikan nila Mas Rajadanu. Perlakuan yang diberikan adalah salinitas 0 ppt (kontrol), 4 ppt, 8 ppt dan 12 ppt dengan masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Ikan uji yang digunakan adalah benih ukuran 2-5 cm. Metode perlakuan dilakukan dengan memindahkan ikan secara langsung ke dalam media bersalinitas tanpa dilakukan aklimatisasi. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa benih ikan mas rajadanu dapat hidup dengan sintasan diatas 90% pada

Page 18: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

salinitas 4 – 8 ppt, tetapi pertumbuhan panjang dan bobotnya lebih lambat dibandingkan dengan kontrol (0 ppt). Disimpulkan bahwa larva dan benih ikan mas Rajadanu dapat hidup dengan baik hingga salinitas 8 ppt, namun pemeliharaan ikan mas rajadanu di perairan bersalinitas menyebabkan penurunan pada laju pertumbuhan panjang dan bobot. Kata kunci : Ikan Mas Rajadanu, Pertumbuhan, Salinitas

PENGARUH WARNA WADAH TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN LARVA IKAN BALASHARK (BALANTIOCHEILUS MELANOPTERUS)

Tutik Kadarini, Nurul Tri Jayanti, Eni Kusrini, Siti Subandiyah dan Lili Sholichah

Kematian tertinggi saat ikan mulai makan dan salah satu faktor yang mempengaruhi adalah seperti jenis pakan, pencahayaan dan kekontrasan warna wadah, Penyesuaian diri dengan parameter tersebut akan meningkatkan efisiensi larva dalam memangsa pakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh wadah berbeda terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva balashark (Balantiocheilus melanopterus ). Wadah yang digunakan baskom volume 5 liter sebanyak 12 buah. Wadah berwarna digunakan sekaligus sebagai perlakuan adalah a.Putih. b. Merah c. Kuning, dan d. Hijau, dimana masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Ikan uji yang digunakan larva balashark umur 6 hari dan ditebar kepadatannya 10 ekor/L.. Jenis pakan artemia diberikan secara adlibitum (sekenyangnya) dan frekuensi pemberian tiga kali sehari. Rancangan percobaan yang digunakan Rancangan Acak lengkap. Parameter yang diamati kelangsungan hidup, pertumbuhan dan kualitas air. Pengamatan pertumbuhan dengan menimbang dan mengukur panjang larva setiap 10 hari sekali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dari warna wadah putih,merah,kuning dan hijau yang terbaik adalah warna wadah putih.

VALIDASI POTENSI KAWASAN PESISIR, LUAS TAMBAK DAN LAHAN POTENSIAL UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG, PROVINSI SULAWESI TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

Utojo dan Hasnawi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Jalan Makmur Daeng Sitakka No. 129 Maros 90512, Sulawesi Selatan

Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah memiliki kawasan pesisir yang cukup potensial untuk pengembangan budidaya tambak, namun sampai saat ini belum diperoleh data rinci potensinya karena rencana tataruang wilayah pesisir belum terinventarisir secara lengkap. Adanya laju perubahan fungsi lahan yang cepat menyebabkan adanya perubahan ekosistem, karakteristik lahan dan tipologi pesisir serta potensi kawasan pertambakan, sehingga diperlukan akurasi data terkini melalui validasi potensi, luas tambak dan lahan potensial untuk budidaya tambak. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan potensi, luas tambak dan lahan potensial untuk budidaya tambak yang akurat dan terkini di Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Penentuan potensi, luas tambak dan lahan potensial budidaya tambak bersumber dari citra landsat-7ETM akuisisi 2002 dan peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000, lembar Parigi Moutong sebagai peta dasar. Mekanisme pemetaan potensi, luas tambak dan lahan potensial budidaya tambak yang akurat dan terkini melalui hasil klasifikasi citra dengan hasil digitasi peta Rupa Bumi Indonesia yang diintegrasikan menggunakan analisis spasial dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mendapatkan peta awal. Keakuratan peta awal ditingkatkan dengan survei lapang dan didapatkan peta akhir potensi, luas tambak dan lahan potensial budidaya tambak yang akurat dan terkini. Hasil analisis spasial menggunakan Sistem Informasi Geografis, di dapatkan data potensi lahan budidaya tambak di Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah seluas 23.805 ha, luas tambak yang ada 5.400 ha dan lahan potensial untuk budidaya tambak seluas 18.405 ha yang tersebar di enam kecamatan pesisir. Luas lahan mangrove di Kabupaten Parigi Moutong adalah 7.509 ha yang didominasi Rhizophora, Avicennia, Bruguiera dan Nypa. Lahan potensial untuk budidaya tambak di Kabupaten Parigi Moutong, sebagian besar berasal dari kawasan mangrove dan sawah lahan kering.

Page 19: perkembangan polikultur bandeng dan udang windu di kecamatan

Kata kunci: Kabupaten Parigi Moutong, lahan potensial budidaya tambak, luas tambak, penginderaan jauh dan sistem informasi geografis, validasi potensi

,