paper kel. 6

17
Deskripsi dan Distribusi Masalah Gizi Kekurangan Energi Protein (KEP) pada Balita A. Deskripsi 1. Pemeriksaan Antropometri - Menggunakan indeks BB/U karena merupakan indeks pemeriksaan antropometri yang sensitif untuk mengukur KEP pada balita. - BB/U juga spesifik karena hanya menggambarkan kondisi KEP pada balita. - Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun. - Klasifikasi tingat keparahan KEP: KEP ringan: BB/U 70% - 80% WHO-NCHS KEP sedang: BB/U 60% - 70% WHO-NCHS KEP berat: BB/U < 60% WHO-NCHS 2. Pemeriksaan Dietetik KEP pada balita dapat dideteksi dengan menggunakan survei dietetik untuk konsumsi energi dan protein. Survei dietetik merupakan deteksi dini KEP bahkan dapat digunakan sebagai pencegahan terjadinya KEP karena masih belum menunjukkan perubahan pada tubuh balita bila dilakukan pemeriksaan antropometri.

Upload: annis-dwi-trisnawati

Post on 02-Jan-2016

67 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Paper Kel. 6

Deskripsi dan Distribusi Masalah Gizi Kekurangan Energi Protein (KEP)

pada Balita

A. Deskripsi

1. Pemeriksaan Antropometri

- Menggunakan indeks BB/U karena merupakan indeks pemeriksaan

antropometri yang sensitif untuk mengukur KEP pada balita.

- BB/U juga spesifik karena hanya menggambarkan kondisi KEP

pada balita.

- Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan

gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan

sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena

penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun.

- Klasifikasi tingat keparahan KEP:

KEP ringan: BB/U 70% - 80% WHO-NCHS

KEP sedang: BB/U 60% - 70% WHO-NCHS

KEP berat: BB/U < 60% WHO-NCHS

2. Pemeriksaan Dietetik

KEP pada balita dapat dideteksi dengan menggunakan survei

dietetik untuk konsumsi energi dan protein. Survei dietetik merupakan

deteksi dini KEP bahkan dapat digunakan sebagai pencegahan

terjadinya KEP karena masih belum menunjukkan perubahan pada

tubuh balita bila dilakukan pemeriksaan antropometri.

Terjadinya KEP pada balita akan mempengaruhi

pertumbuhannya. Maka, bila jumlah energi dalam makanan sehari-

hari kurang, masukan protein akan digunakan sebagai energi sehingga

mengurangi bagian yang diperlukan untuk pertumbuhan.

Berikut ini adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004 bagi

orang Indonesia khususnya untuk konsumsi energi dan protein pada

balita yang dirumuskan oleh Departemen Kesehatan RI:

Page 2: Paper Kel. 6

Tabel 1. Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004 bagi Orang

Indonesia (Depkes RI, 2004)

Dari AKG untuk balita tersebut, didapatkan kategori untuk

kecukupan protein sebagai berikut:

1. Normal 70-90%

2. Kurang Protein Ringan < 70%

3. Kurang Protein Sedang < 60%

4. Kurang Protein Berat < 50%

Bila kecukupan protein balita berada pada kategori 2-4, maka

sudah dapat dikatakan bahwa balita mengalami KEP.

Menurut Kapita Selekta Kedokteran (2000), kebutuhan energi

sehari pada tahun pertama anak 100-200 kkal/kgBB. Untuk tiap 3

tahun pertambahan umur, kebutuhan energi turun 10 kkal/kgBB.

Kebutuhan protein sehari pada tahun pertama adalah 2,5-3 g/kgBB

dan untuk tahun berikutnya hingga usia 5 tahun, kebutuhan proteinnya

adalah 1,5-2 g/kgBB.

Jenis survei dietetik yang dapat dilakukan adalah survei

dietetik pada level keluarga dan individu. Responden untuk survei

dietetik KEP pada balita adalah orang tua terutama ibu balita bila

balita tersebut diasuh oleh ibunya sendiri atau dapat juga dilakukan

pada pengasuh balita yang lain. Metode yang dapat digunakan untuk

pemeriksaan dietetik antara lain food record (estimated or weighed),

Page 3: Paper Kel. 6

24 hour recall, Food Frequency Questionnaire (FFQ), dan Diet

History (DH).

3. Pemeriksaan Laboratorium

Albumin digunakan dalam mendeskripsikan kondisi KEP pada

balita meskipun tidak spesifik dan tidak sensitif karena belum

ditemukan cara lain. Kadar albumin baru terdeteksi menurun setelah

kekurangan protein selama 14-20 hari sehingga kurang sensitif untuk

mendeteksi KEP. Rendahnya kadar albumin juga tidak spesifik

menggambarkan KEP karena rendahnya kadar albumin dapat pula

menggambarkan berbagai kondisi, seperti anemia, KVA, dan

sebagainya.

4. Pemeriksaan Klinis

Gejala klinis KEP berat atau gizi buruk secara garis besar dapat

dibedakan menjadi marasmus, kwashiorkor atau marasmic-

kwashiorkor.

a. Kwashiorkor

- Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki

(dorsum pedis)

- Wajah membulat dan sembab

- Pandangan mata sayu

- Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah

dicabut tanpa rasa sakit, rontok

- Perubahan status mental, apatis, dan rewel

- Pembesaran hati (hepatomegali)

- Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi

berdiri atau duduk

- Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan

berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy

pavement dermatosis)

- Sering disertai : penyakit infeksi, anemia, diare.

Page 4: Paper Kel. 6

a. Marasmus:

- Tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit

- Wajah seperti orang tua

- Cengeng, rewel

- Perut cekung

- Iga gambang

- Kulit keriput, jaringan lemak subkutis dangan sedikit sampai

tidak ada (baggy pants)

- Sering disertai: penyakit infeksi kronis dan diare kronik atau

konstipasi atau susah buang air.

b. Marasmik-Kwashiorkor:

- Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala

klinik Kwashiorkor dan Marasmus.

Page 5: Paper Kel. 6

B. Distribusi

1. Lokasi

Distribusi KEP umumnya terjadi pada daerah pedesaan. Daerah

yang dimana makanan pokok yang dikonsumsi tidak atau sedikit

mengandung bahan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan

energi balita. Selain itu masyarakat di daerah pedesaan umumnya

kurang mengkonsumsi protein, hanya karbohidrat dan sayur saja. Pada

daerah pedesaan yang terpencil pendapatan masyarakat yaitu

menengah ke bawah sehingga ketersediaan pangan yang bergizi

rendah.

Distribusi penyakit KEP pada masa kini tidak hanya pada

daerah pedesaan yang umumnya masyarakatnya menengah ke bawah,

namun sudah menjangkau masyarakat perkotaan. Balita yang terkena

penyakit KEP di daerah perkotaan adalah balita yang pola asuhnya

dibebankan pada pengasuh. Pengasuh yang kurang pengetahuan akan

kebutuhan enrgi yang dibutuhkan balita dapat menyebabkan balita

Page 6: Paper Kel. 6

menjadi KEP. Selain pola asuh, ibu balita yang sibuk karena menjadi

wanita karier di perkotaan umumnya tidak memberikan ASI eksklusif

pada bayinya sehingga balita mudah terkena KEP.

2. Kelompok Umur (Balita)

Distribusi umur penyakit KEP umumnya terdapat pada balita di

bawah umur 5 tahun. Pada KEP Marasmus penyakit sering terjadi

pada usia yang sangat muda yaitu saat bulan pertama bayi lahir.

Sedangkan pada KEP kwashiorkor penyakit sering terjadi pada usia 6

bulan sampai 4 tahun.

Penyakit ini sering terjadi pada balita karena balita belum bisa

memenuhi kebutuhan energinya sendiri. Balita sangat bergantung pada

ibu atau pengasuh untuk memenuhi kebutuhannya. Kurangnya

pengetahuan ibu atau pengasuh dalam memenuhi kebutuhan energi

balita menyebabkan balita menjadi kekurangan energi, yang kemudian

berakibat penyakit KEP.

Selain itu, masa balita merupakan masa dimana mudahnya

menderita sakit. Penyakit yang mengakibatkan infeksi pada balita

dapat menyebabkan rusaknya fungsi organ sehingga makanan tidak

dapat diserap dengan baik. Balita yang mudah sakit juga menjadi susah

makan sehingga lebih mudah terkena KEP

3. Gender

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor internal yang

menentukan kebutuhan gizi sehingga jenis kelamin berkaitan erat

dengan status gizi balita. Laki-laki lebih banyak membutuhkan energy

dan protein dari pada perempuan, karena laki-laki diciptakan untuk

tampil lebih aktif dan lebih kuat dari pada perempuan. Hasil penelitian

Lismartina (2001) menunjukkan bahwa kejadian KEP lebih besar pada

anak laki-laki (25,9%) dibandingkan anak perempuan. Sedangkan

menurut hasil Susenas menunjukkan presentasi balita perempuan yang

berstatus gizi baik lebih besar (68,28%) dibandingkan balita laki-laki

(BPS, 1998)

Page 7: Paper Kel. 6

4. Faktor Sosial Ekonomi

a. Sosial Ekonomi Rendah

Kondisi status sosial ekonomi dapat dipakai sebagai alat ukur

untuk menilai tingkat pemenuhan kebutuhan dasar (Widodo,

1990). Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari

pendapatan dan pengeluaran keluarga. Keadaan status ekonomi

yang rendah mempengaruhi pola keluarga, baik untuk konsumsi

makanan maupun bukan makanan. Status sosial ekonomi keluarga

akan mempengaruhi kualitas konsumsi makanan, karena hal ini

berkaitan dengan daya beli keluarga. Keluarga dengan status

sosial ekonomi rendah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan

pangan terbatas, sehingga akan mempengaruhi konsumsi

makanan.

Asupan nutrisi yang rendah dan terdapatnya penyakit infeksi

pada anak balita dalam penelitian ini paling dominan disebabkan

oleh rendahnya kemampuan keluarga untuk membeli bahan

makanan yang memenuhi standar gizi dan untuk pemenuhan

kebutuhan yang berkaitan dengan kesehatan. Status ekonomi

rendah juga erat kaitannya dengan kemampuan orang untuk

memenuhi kebutuhan gizi, perumahan yang sehat, pakaian dan

kebutuhan lain yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan.

b. Sosial Ekonimi Tinggi

Pada kelompok sosial ekonomi tinggi ternyata dapat terjadi

kondisi anak dengan Kekurangan Energi Protein. Menurut hal ini

terjadi karena beberapa faktor, yakni orang tua yang berumur lebih

muda, besar/jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang, pendidikan orang

tua yang lebih rendah dan pada ibu yang tidak bekerja. Keadaan ini

disebabkan karena orang tua muda relative lebih sulit

menyesuaikan diri dengan perannya sebagai orang tua. Bagi ibu

muda pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh dan merawat

anak sangat terbatas. Walaupun ibu tidak bekerja, tetapi karena

pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya sangat terbatas

Page 8: Paper Kel. 6

menyebabkan mereka kurang memperdulikan kebutuhan makanan

dan kesehatan anak. Oleh karena itu, keterlibatan dan peranan

orang tua mereka dalam memberi nasihat dan membagi

pengalaman dalam merawat anak sangatlah penting dan bermanfaat

terhadap pertumbuhan anak (Hurriah, 2002).

5. Faktor Budaya

Kekurangan energi protein pada anak balita amat dipengaruhi

oleh tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya pengetahuan tentang

sumber bahan makanan, perilaku ibu dalam bertindak atas perubahan

fisik dan kesehatan anak. Disamping itu, cara mengolah makanan dan

pengetahuan tentang penyakit infeksi dan tindakan yang harus

dilakukan, menjadi penyebab kekurangan energi protein pada anak

balita (Yusnandar, 2006).

Budaya masyarakat untuk melakukan pemberian makanan

tambahan yang terlalu dini dapat menjadi penyebab KEP. Hal ini

terjadi karena pemberian makanan ini ternyata dapat menyebabkan

gangguan pencernaan (diare) yang merupakan penyebab utama

tingginya angka KEP dan angka kematian di Indonesia. Selain itu anak

akan selalu merasa kenyang sehingga kurag mantap memberi

rangsangan isapan terhadap payudara, sehingga produksi ASI sedikit

dan akhirnya terjadi penyapihan dini (Hurriah, 2002)

Umur penyapihan juga dapat menjadi faktor kejadian KEP.

Semakin meningkat umur penyapihan maka semakin ringan KEP.

Pengaturan jadwal makan juga cenderung menentukan status KEP,

yakni anak yang menderita KEP umumnya makan tanpa adanya jadwal

yang jelas. Sikap ibu juga penting diperhatikan. Semakin banyak

interaksi saat memberi makan, semisal bercanda dan bercerita, maka

makanan yang disajikan akan lebih mudah habis. (Hurriah, 2002).

Adanya masalah makan dan berpantang terhadap masakan seperti

telur, ikan, udang, memnyebabkan contoh lebih banyak menderita

KEP tingkat sedang dan berat. Kebudayaan yang biasa disebut food

taboo ini sangat sering dijumpai di berbagai daerah di Indonesia.

Page 9: Paper Kel. 6

6. Faktor Musim

Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat

peningkatan jumlah emisi “Gas Rumah Kaca” di atmosfer. Pemanasan

ini akan diikuti dengan Perubahan Iklim, seperti meningkatnya curah

hujan di beberapa belahan dunia yang menyebabkan menimbulnya

banjir dan erosi. Perubahan iklim berdampak pada penataan ruang

sistem pertanian terutama pada sistem irigasi. Kenaikan temperatur

rata-rata sejak 1850-1899 hingga 2001- 2005 adalah 0.760C dan muka

air laut global telah meningkat dengan laju rata-rata 1.8 mm/tahun

dalam rentang waktu 40 tahun terakhir.

Musim kemarau yang berkepanjangan dan musim penghujan

yang tidak menentu akibat perubahan iklim dan pemanasan global

berdampak besar terhadap hasil pertanian. Terutama pada musim

kemarau seperti saat ini mempengaruhi produktivitas jenis padi yang

ditanam. Jenis padi lokal membutuhkan waktu untuk dipanen

setidaknya enam bulan sekali, sehingga membutuhkan waktu yang

cukup lama dan membutuhkan air yang banyak dalam proses bercocok

tanam. Perubahan musim yang tidak menentu mengakibatkan pola

tanam mengalami pergeseran, sehingga petani akan kesulitan

menentukan awal masa tanam.

Dengan demikian, pergeseran musim yang mempengaruhi hasil

pertanian akan mempengaruhi pasokan dan distribusi kebutuhan

bahan makanan terutama bahan makanan sumber protein yang

dibutuhkan. Hal ini khususnya terjadi di daerah terpencil dengan akses

pusat perdagangan yang terbatas.

7. Faktor Pertanian

Keterbatasan pasokan air akibat adanya musim kemarau yang

berkepanjangan terjadi beberapa tahun terakhir ini di sejumlah daerah

di Indonesia. Padahal kebutuhan terhadap pasokan air digunakan

bukan saja untuk domestik dan irigasi pertanian, tetapi juga untuk

keperluan non pertanian seperti industri pariwisata yang banyak

membutuhkan air bersih. Akibatnya  pasokan air untuk lahan pertanian

Page 10: Paper Kel. 6

menjadi berkurang. Tentunya hal ini akan berdampak pada kuantitas

panen bahan makanan pokok.

Tidak hanya padi, hasil pertanian sumber protein seperti

kedelai juga akan menurun. Hal ini sudah terbukti dengan ketidak

mampuan pasar dalam negeri untuk memasok kebutuhan dalam negeri.

Ditambah lagi pengembagan pertanian berbasis IPTEK dinegara kita

masih jauh tertinggal dibanding negara lainnya. Itulah yang menjadi

salah satu penyebab KEP terjadi bahkan bila mungkin terjadi dalam

satu keluarga dalam taraf ekonomi kurang terdapat sumber makanan

berprotein sekalipun, kemungkinan besar akan diprioritaskan untuk

anggota keluarga dewasa yang bekerja. Sedangkan balita dalam

keluarga tersebut sangat memerlukan zat tersebut untuk

pertumbuhannya.

8. Faktor Internal

Perubahan iklim terhadap pertanian di Indonesia telah dirasakan

30 tahun terakhir, dan berdampak pada ketersediaan bahan makanan

dalam negeri. Sehingga pemerintah seringkali harus melakukan impor

bahan makanan.

Agar dampak perubahan iklim terhadap tanaman tidak semakin

parah. Maka diperlukan solusi untuk mengatasi masalah-masalah yang

timbul akibat perubahan iklim terhadap pertanian, solusi tersebut

antara lain adalah diadakannya studi tentang perubahan iklim,

peningkatan sarana irigasi, menciptakan bibit-bibit unggul, dan

penggunaan pupuk dan pestisida organic (ridhaazza,2013)

Page 11: Paper Kel. 6

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, Merryana. 2012. Masalah Gizi Buruk Kurang Energi Protein. Bahan

Ajar Mata Kuliah Pengantar Gizi Masyarakat, Program Studi Ilmu

Kesehatan Masyarakat, Surabaya: Universitas Airlangga.

Arif Mansjoer, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Cetakan 1. Jakarta:

Media Aesculapius

Almatsier, Sunita.2011. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama

Depkes RI. 2004. Tabel Angka Kecukupan Gizi 2004 bagi Orang Indonesia .

Didapat dari: http://gizi.depkes.go.id/download/AKG2004.pdf Diakses

tanggal: (disitasi 19 September 2013)

BPS.1998. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta

Hurriah, Mistahul. 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurang Energi

Protein (KEP) Anak Umur 6-18 Bulan pad Keluarga Tidak Miskin di

Kabupaten Lima Puluh Kota, Propinsi Sumatera utara.

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/19140/A02mhu.pdf?

sequence=2 (disitasi tanggal 20 September 2013)

Lismartina dalam Suryadi. 2001. Kejadian KEP. 2009. Jakarta: Universitas

Indonesia

Yusnandar. 2006. Aplikasi Analisis Khi Kuadrat (X2) Terhadap Kekurangan

Energi Protein Pada Anak Dibawah Lima Tahun (Balita) dan Faktor-Faktor

yang Berhubungan.

http://www.litbang.deptan.go.id/warta-ip/pdf-file/5.yusipvol-15.pdf (disitasi

tanggal 20 September 2013)

Widodo, S.T. 1990. Indikator Ekonomi Dasar Perhitungan Perekonomian di

Indonesia. Yogyakarta: Kanisius

Gema, Adenz. 2013. Tugas MK Pemecahan Masalah Bidang Pertanian-Pengaruh

Perubahan Iklim Terhadap Sistem Irigasi/Pengairan Pertanian Tradisional

Ataupun Modern “DAS Bengawan Solo dan Irigasi Subak. Diambil di

<http://mistergemma.blogspot.com/2013/01/tugas-mk-pemecahan-

masalah-bidang_7.html> (disitasi 20 September 2013 pukul 18.03 WIB)

Page 12: Paper Kel. 6

Ridhaazza. 2013. dampak perubahan iklim terhadap pertanian. Diakses di

<http://ridhaazza.blogspot.com/2013/01/dampak-perubahan-iklim-

terhadap.html> (disitasi 20 September 2013 pukul 18.15 WIB)