makalah revisi.doc
TRANSCRIPT
1
ح�يم ر�� اا ح ر ح� �� ر اهللاحال حم ح�ــــــــــــــــ ح�
Hukum Pinjam Meminjam Dan Hutang Piutang Dalam
Islam
Hukum Pinjam Meminjam
A. Pengertian Pinjam Meminjam
Pinjam meminjam dalam bahasa Arab disebut “Ariyah”. Kata
“Ariyah”menurut bahasa artinya pinjaman. Pinjam-meminjam menurut istilah
‘Syara” ialah akad berupa pemberian mamfaat suatu benda halal dari seseorang
kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak benda
itu dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya.
Allah swt. Berfirman
ر� ع�و را حل ا ر� ع�و ر� ح ر� ر�“dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (Al-ma’un: 7)
B. Hukum Pinjam Meminjam (Al-Arriyah)
Hukum ‘ariyah adalah sunnah berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al
Maidah ayat 2, akan tetapi bisa jadi ‘ariyah itu hukumnya menjadi wajib, misalnya
meminjamkan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Dan
hukumnya bisa haram apabila barang yang dipinjam itu digunakan untuk sesuatu
yang haram atau dilarang oleh agama. Karena jalan menuju sesuatu, hukumnya
sama dengan hukum yang dituju.
2
Wajib: apabila meminjamkan sesuatu kepada orang lain yang sangat
membutuhkan. Misalnya meminjamkan mobil untuk mengantar orang sakit keras
ke rumah sakit.
Haram: apabila meminjamkan barang untuk melakukan perbuatan maksiat atau
perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Misalnya meminjamkan pisau untuk
berkelahi, atau meminjamkan mobil untuk melakukan perampokan.
Diantara Hukum-hukum ariyah adalah sebagai berikut :
· Sesuatu yang dipinjamkan harus sesuatu yang
mubah(diperbolehkan). Jadi seseorang tidak boleh meminjamkan
budak wanita kepada orang lain untuk digauli atau seseorang tidak
boleh meminjamkan orang muslim untuk melayani orang kafir atau
meminjamkan parfum haram atau pakaian yang diharamkan, karena
Allah Ta’ala berfirman :
ح� ر�ا ح� ع� حل ر�ا حم �ح ��ح ح� ا ر!ى ر� ع"وا ر� ر�ا ر# �ر� ر�
“Dan jangan kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.” (Al Maidah:2)
· Jik mu’ir (pihak yang meminjamkan) mengisyaratkan bahwa
musta’ir (peminjam) berkewajiban mengganti barang yang dipinjam
jika dia merusak barang yang dipinjam, maka musta’ir wajib
menggantinya, karena Rosulullah SAW bersabda :
3
“Kaum muslimin itu berdasarkan syarat-syarat mereka.”(riwayat
Abu Daud dan Al Hakim)
Jika mu’ir tidak mengisyaratkan, kemudian barang pinjaman rusak
bukan karena kesalahan musta’ir atau tidak karena disengaja, maka
musta’ir tidak wajib mengganti, hanya saja dia disunnahkan untuk
menggantinya, karena Rosulullah SAW bersabda kepada salah
seorang istrinya yang telah memecahkan salah Satu tempat makanan.
“makanan dengan makanan dan tempat dengan tempat.”
(diriwayatkan Al Bukhari).
Namun jika kerusakannya hanya sedikit disebabkan karena dipakai
dengan izin tidaklah patut diganti, karena terjadinya sebab
pemakaian yang diizinkan.(ridlo kepada sesuatu berarti ridlo pula
kepada akibatnya).
Jika barang pinjaman mengalami kerusakan karena kesalahan dan
disengaja oleh musta’ir, dia wajib menggantinya dengan barang yang
sama atau dengan uang seharga barang pinjaman tersebut, karena
Rosulullah SAW bersabda :
“Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia
menunaikannya.” (Diriwayatkan Abu Daud, At Tirmidzi dan Al
4
Hakim yang men-shahih-kannya).
· Musta’in (peminjam) harus menanggung biaya pengangkutan
barang pinjaman ketika ia mengembalikannya kepada mu’ir jika
barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut kecualioleh kuli
pengangkut atau dengan taksi.
Rosulullah,bersabda:
“Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia
menunaikannya.”(diriwayatkan Abu Daud, At Tarmidzi dan Al
Hakim)
· Musta’in tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya.
Adapun meminjamkannya kepada orang lain dibolehkan, dengan
syarat mu’in merelakannya.
· Pada tiap-tiap waktu, yang meminjam ataupun yang
meminjamkan boleh memutuskan aqad asal tidak merugikan kepada
salah seorang di antara keduanya. Jika seseorang meminjamkan
kebun untuk dibuat tembok, ia tidak boleh meminta pengembalian
kebun tersebut hingga tembok tersebut roboh. Begitu juga orang
yang meminjamkan sawah untuk ditanami, ia tidak boleh meminta
pengembalian sawah tersebut hingga tanaman yang ditanam diatas
sawah tersebut telah dipanen, karena menimbulkan mudharat kepada
seorang muslim itu haram.
· Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, dia
disunahkan tidak meminta pengembaliannya kecuali setelah
habisnya batas waktu peminjaman.
5
C. Rukun Pinjam Meminjam
Rukun pinjam meminjam ada empat macam dengan syaratnya masing-
masing sebagai berikut:
1. Orang-orang yang meminjamkan, disyaratkan;
a. Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi. Orang yang
dipaksa anak kecil tidak sah meminjamkan.
b. Barang yang dipinjamkan itu milik sendiri atau menjadi tanggung
jawab orang yang meminjamkannya.
2. Orang-orang yang meminjam, disyaratkan;
a. Berhak menerima kebaikan. Oleh sebab itu, orang gila atau anak
kecil tidak sah meminjam.
b. Hanya mengambil manfaat dari barang dari barang yang dipinjam.
3. Barang yang dipinjam, disyaratkan;
a. Ada manfaatnya
b. Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh
karena itu, makanan yang setelah dimanfaatkan menjadi habis atau
berkurang zatnya tidak sah dipinjamkan.
4. ijab qobul, kesepakatan antara peminjam dan pemilik barang yang
meminjamkan.
Apabila barang yang dipinjam itu rusak, selama dimanfaatkan
sebagaimana fungsinya, si peminjam tidak diharuskan mengganti,
Sebab pinjam-meminjam itu sendiri berarti saling percaya-
mempercayai. Akan tetapi kalau kerusakan barang yang dipinjam
akibat dari pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain,
6
maka wajib menggantinya. Shofwan bin Umaiyah menginformasikan,
Sesungguhnya Nabi saw. telah meminjam beberapa baju perang dari
shofwan pada waktu Perang Hunain. Shofwan bertanya: "Paksaankah,
ya Muhammad?" Rosulullah saw. menjawab: "Bukan, tetapi pinjaman
yang dijamin". Kemudian (baju perang itu) hilang sebagian, maka
Rosulullah saw. mengemukakan kepada shofwan akan menggantinya.
Shofwan berkata: "Saya sekarang telah mendapat kepuasan dalam
Islam." (HR. Ahmad dan Nasai).
D. Syarat syah Pinjam Meminjam
Untuk sahnya ‘ariyah ada empat syarat yang wajib dipenuhi :
· a. Pemberi pinjaman hendaknya orang yang layak berbaik hati. Oleh
karena itu, ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang ditahan
hartanya tidak sah.
· b. Manfaat dari barang yang dipinjamkan itu hendaklah milik dari
yang meminjamkan. Artinya, sekalipun orang itu tidak memiliki
barang, hanya memiliki manfaatnya saja, dia boleh
meminjamkannya, karena meminjam hanya bersangkut dengan
manfaat, bukan bersangkut dengan zat.
· c. Barang yang dipinjamkan hendaklah ada manfaatnya. Maka tidak
sah meminjamkan barang yang tidak berguna. Karena sia-sia saja
tujuan peminjaman itu.
d. Barang pinjaman harus tetap utuh, tidak boleh rusak setelah
diambil manfaatnya, seperti kendaraan, pakaian ataupun
7
alat-alat lainnya. Maka tidak sah meminjamkan barang-barang
konsumtip karena barang itu tidak utuh, seperti meminjamkan
makanan,lilin ataupun lainnya karena barang itu tidak utuh. Karena
pemanfaatan barang barang konsumtip ini justru terletak dalam
penghabiskannya. Padahal syarat sahnya ariyah hendaklah barang itu
tetap utuh
8
HUTANG PIUTANG DALAM ISLAM
A. Pengertian Hutang Piutang
Dalam membahas pengertian utang piutang dalam Islam kita telusuri dulu
definisi dari berbagai sumber. Kata Utang dalam kamus bahasa Indonesia terdiri
atas dua suku kata yaitu “Utang” yang mempunyai arti uang yang dipinjamkan
dari orang lain. Sedangkan kata “piutang” mempunyai arti uang yang dipinjamkan
(dapat ditagih dari orang lain).
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan
istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang
berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut
Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.
(Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili)
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah
menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang
akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai
dengan padanannya. (Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-
Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah
Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29).
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi
hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian
hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman
Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan
9
mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
B. Dasar Hukum Hutang Piutang
Adapun yang menjadi dasar hutang piutang dapat dilihat pada ketentuan Al-
Qur’an dan Al-Hadits, dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 2
yang berbunyi :
… اب� ( ال�ع�ق� د�يد ش� الل�ه� إ�ن� الل�ه� وا ات�ق و� ال�عد�و�ان� و� �ث�م� اإل� ع�ل�ى نوا ت�ع�او� 2و�ال�
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.(Q.S al-
Maidah : 2)
Sedangkan dalam sunnah Rasululllah SAW. Dapat ditemukan antara lain dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai berikut:
ابن ( رواه ة! ر� م� ا ت�ه� د�ق� ك�ص� ك�ان� إ�ال� ت�ي�ن� ر� م� ا ض! ر� ق� ا ل�م! مس� ر�ض يق� ل�م/ مس� م�ن� ا م�
ماجه
“Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah telah
bersedekah kepadanya satu kali”
Hukum Hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan
orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat
membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya
terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya
hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah I: “Siapakah yang mau memberi
10
pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan
Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Namun meskipun berhutang atau meminta pinjaman itu diperbolehkan dalam
syariat Islam, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang
semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam
keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah r, merupakan
penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat
membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah r: “Sesungguhnya
seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan
berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah r pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui
masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya.
Rasulullah r bersabda: “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya,
kecuali hutangnya.” (HR. Muslim).
Utang piutang itu hukumnya boleh bila telah terpenuhi rukun dan
syaratnya. Adapun rukun utang piutang adalah akad yang bermaksud melepaskan
uang untuk sementara dengan cara menunjukkan adanya rasa suka sama suka.
C. Adab Hutang Piutang
Unsur-unsur yang terlibat dalam transaksi utang piutang tersebut adalah
orang yang berutang (dain), orang yang memberi utang muddain dan objek utang
piutang yaitu uang atau barang yang dinilai dengan uang dan tenggang waktu
pembayaran, berakal sehat dan berbuat dengan sendirinya tanpa paksaan.
Sedangkan syarat yang berkenaan dengan objek yaitu uang adalah jelas nilainya,
milik sempurna dari yang memberi utang dan dapat diserahkan pada waktu akad.
11
Sedangkan yang menyangkut dengan tenggang waktu harus jelas dan dalam masa
itu uang yang diserahkan telah dapat dimanfaatkan.
Utang harus dibayar dalam jumlah dan nilai sama dengan yang diterima
dari pemiliknya, tidak boleh berlebih karena kelebihan pembayaran itu menjadikan
transaksi ini menjadi riba yang diharamkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi
dalam hadis dari Ali r.a menurut riwayat al-Harits bin Usamah yang artinya “setiap
utang yang menghasilkan keuntungan adalah riba”.
Diantara adab dalam hutang piutang yakni :
A). Adab bagi Pemberi Hutang
1. Sebaiknya memberi tempo pembayaran kepada yang meminjam agar
ada kemudahan untuk membayar. (HR. Muslim, Ahmad).
Utang wajib dibayar pada waktu yang ditentukan bila memang
yang berutang telah mampu membayarnya. Namun bila yang
berutang memang tidak mampu membayar utangnya pada waktu jatuh
tempo, orang yang mengutangi diharapkan bersabar sampai yang
berutang mempunyai kemampuan. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 280 :
Dan jika mereka (orang yang berutang) dalam kesulitan, maka
hendaklah tunggu sampai ia mempunyai kemampuan untuk
membayar. Bila kamu sedekahkan, ia akan lebih baik, seandainya
kamu mengetahui.
12
2. Jangan menagih sebelum waktu pembayaran yang sudah ditentukan.
(HR. Ahmad)
3. Hendaknya menagih dengan sikap yang lembut penuh maaf. (HR.
Bukhari, Muslim, Tirmidzi). Boleh menyuruh orang lain untuk
menagih utang, tetapi terlebih dahulu diberi nasihat agar bersikap
baik, lembut dan penuh pemaaf kepada orang yang akan ditagih. (HR.
Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Hakim). Allah akan memberikan kasih
sayangnya kepada orang yang bermurah hati ketika menagih utang.
(HR. Bukhori).
4. Sebaiknya memaafkan orang yang berutang apabila ditagih belum
mampu membayar karena Alloh akan memaafkan si piutang di
hadapan-Nya nanti. (HR. Bukhori dan Muslim)
5. Menyedekahkan hutang terhadap orang yang menemui kesulitan /
kesukaran mengembalikannya, itu lebih baik.
"… Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui." (Al-Baqarah:280)
B). Adab bagi Peminjam
Adapun adab bagi peminjam diantaranya :
1. Sebaik-baik orang adalah yang mudah dalam membayar hutang
(tidak menunda-nunda). (HR. Bukhari, Nasa’i, Ibnu Majah,
13
Tirmidzi).
2. Yang berhutang hendaknya berniat sungguh-sungguh untuk
membayar. (HR. Bukhari, Muslim)
3. Menunda-nunda hutang padahal mampu adalah kezaliman. (HR.
Thabrani, Abu Dawud).
4. Barangsiapa menunda-nunda pembayaran hutang, padahal ia mampu
membayarnya, maka bertambah satu dosa baginya setiap hari. (HR.
Baihaqi).
5. Bagi yang memiliki hutang dan ia belum mampu membayarnya,
dianjurkan banyak-banyak berdoa kepada Allah agar dibebaskan dari
utang, serta banyak-banyak membaca surat Ali Imran ayat 26. (HR.
Baihaqi).
6. Pengutang boleh melebihkan pengembalian pinjaman sebagai tanda
terima kasih atau hadiah kepada pemberi pinjaman.
Boleh ada kelebihan pembayaran, berubah menjadi hadiah,
asalkan tidak diakadkan sebelumnya." (HR. Bukhari, Muslim, Abdur
Razak). Selain itu, kita pun dilarang memberikan syarat macam-
macam kepada peminjam, "Jangan ada syarat lain dalam utang-
piutang kecuali (waktu) pembayarannya." (HR. Ahmad, Nasa’i).
14
7. Disunnahkan agar segera mengucapkan tahmid (Alhamdulillah)
setelah dapat membayar utang. (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i,
Ahmad).
Contoh Praktek Hutang Piutang Di Bank :
Hukum Meminjam Uang di Bank Untuk Usaha
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya kalau kita utang di bank dengan tujuan
mengembangkan usaha. Apakah ini termasuk hutang yang dilarang
agama?
Dari: Saiful Rijal
Jawaban:
Disebutkan dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau
mengatakan,
!ع!ن! ول% ل س% ,ه* ر! ,ه% ص!ل,ى الل 1ه* الل !ي ,م! ع!ل ل *ل! و!س! !ا، آك ب !ه%، الر> *ل 1ه*، و!م%وك اه*د!ي !ه% و!ش! *ب !ات و!ك
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang makan riba,
pemberi makan riba, dua saksi transaksi riba, dan orang mencatat
transaksinya.” (HR. Turmudzi, Ibnu Majah dan disahihkan Al-Albani)
Dalam riwayat yang lain, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, beliau
mengatakan,
!ع!ن! ول% ل س% ,ه* ر! 1ه* الله% ص!ل,ى الل !ي ,م! ع!ل ل *ل!: و!س! آك Pة ر! !ا، ع!ش1 ب !ه%، الر> *ل !ه%، و!م%وك *ب !ات و!ك 1ه* اه*د!ي و!ش!
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat 10 orang: pemakan riba,
pemberi makan riba, dua saksi transaksi riba, dan orang mencatat
transaksinya.” (HR. Ahmad 635).
15
Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan:
ه%م1: و!اءZ و!ق!ال! س!
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: “Mereka semua sama.”
(Baihaqi dalam As-Shugra, 1871).
Siapakah pemberi makan riba?
Dalam Aunul Ma’bud Syarh sunan Abu Daud dinyatakan:
!ه% *ل ي1 و!موك! !ه% أ *م!ن1 م%ع1ط*ي 1خ%ذ%ه% ل !أ ي
“Pemberi makan” maksudnya yang memberikan riba kepada orang yang
mengambilnya. (Aunul Ma’bud, 9:130)
Dan masih banyak penjelasan lainnya, yang semuanya memberikan
kesimpulan bahwa “pemberi makan riba” adalah nasabah yang berutang ke
rentenir atau bank. Konsekuensinya, dia harus memberikan bunga kepada
bank. Meskipun dia sama sekali tidak makan riba itu, tapi bank-lah yang
makan.
Al-Khatib mengatakan,
أحدهما كان وإن عليه وتعاونهما الفعل في الشتراكهما الوعيد في بينهما سوى مهتضما واآلخر مغتبطا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ancaman yang sama pada
keduanya, karena mereka sama-sama terlibat dalam perbuatan itu (transaksi
riba) dan saling membantu untuk melakukannya. Meskipun yang satu untung
dan yang satu terzalimi.” (Faidhul Qadir, 1:53)
Berdasarkan kesimpulan di atas, meminjam dari bank meskipun untuk tujuan
usaha yang halal, statusnya terlarang. Karena bagaimanapun bank akan
mempersyaratkan riba, meskipun bisa jadi usahanya untung besar, dan bisa
menutupi cicilan bank. Namun hakikatnya itu bukan bagi hasil, tapi itu riba
yang telah ditetapkan nilainya di awal transaksi. Sebagai orang yang
beriman, tentu kita tidak ingin mendapatkan laknat dari Nabi shallallahu
16
‘alaihi wa sallam
Daftar Pustaka
http://kafeilmu.com/pengertian-hutang-piutang-dalam-islam/
http://www.alquran-sunnah.com/artikel/kategori/muamalah/787-adab-hutang-piutang
http://rudiiain.blogspot.com/2013/11/pinjam-meminjam-dalam-islam.html
http://www.artikelislami.net/aturan-pinjam-meminjam-dalam-
http://blog.mtt.or.id/pengertian-pinjam-meminjam-dalam-islam/