makalah patobiologi aterosklerosis dan inflamasi
DESCRIPTION
Patobiologi Biomolekuler AteroklerosisTRANSCRIPT
-
1
MAKALAH PATOBIOLOGI
CONCEPT OF INFLAMMATION IN
ATHEROSCLEROSIS
Oleh:
Anggita Rahma Ayu Kusuma, S.Ked.
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. dr. H. Djanggan Sargowo, SpPD., SpJP (K). FACC.
FIHA
DOUBLE DEGREE SARJANA KEDOKTERAN
PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
-
2
Atherosklerosis dahulunya hanya dianggap sebagai penyakit akibat
penumpukan lemak lunak di pembuluh darah yang diperburuk dengan akumulasi
sel-sel otot halus. Namun, sekarang diketahui bahwa atherosklerosis melibatkan
proses inflamasi beserta semua mediator-mediatornya. Penelitian terbaru
menunjukkan peranan inflamasi sebagai mediator di semua fase atherosklerosis,
mulai dari fase inisiasi, perkembangannya, sampai remodeling jantung dan
bahkan komplikasi trombosis dari atherosklerosis itu sendiri.
Inflamasi diterjemahkan sebagai reaksi kompleks dari jaringan yang
tervaskularisasi terhadap infeksi, paparan toksin, atau injuri sel yang melibatkan
akumulasi plasma protein dan leukosit ekstravaskular. Inflamasi akut dapat
disebabkan oleh reaksi imun innate atau respon imun adaptif lokal. Meskipun
berperan penting dalam mengontrol infeksi dan mempercepat penyebuhan
jaringan, reaksi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan
berbagai penyakit (Abbas et al, 2012).
Konsep Inflamasi pada Atherosklerosis
Pada penelitian dengan hewan model atherosklerosis, tanda-tanda
inflamasi terjadi beriringan dengan akumulasi lipid di dinding arteri. Sebagai
contoh, leukosit, mediator dari pertahanan tubuh dan inflamasi, terlokalisir di lesi
awal atherosklerosis, tidak hanya di hewan coba, tetapi juga di manusia.
Endotel normal tidak diciptakan untuk berikatan atau ditempeli oleh sel
darah putih. Namun, setelah inisiasi dengan diet atherogenik, sebagian dari sel
endotel mulai mengekspresikan molekul adhesif pada permukaannya untuk
mengiknat berbagai kelas leukosit (Davis, 2005; Libby, 2002).
-
3
Gambar 1. Disfungsi endotel: Leukosit melakukan adhesi dan migrasi ke dalam
intima (Davis, 2005)
Gambar 2. Pembentukan fatty streak menunjukkan keterlibatan agregasiplatelet
pada permukaan endotel, terbentuknya sel busa, dan migrasi sel-sel otot polos
(Davis, 2005)
-
4
Gambar 3. Pembentukan fibrous cap dan inti nekrotik (Davis, 2005)
Gambar 4. Plak yang Ruptur (Davis, 2005)
Menariknya, lokasi peningkatan ekspresi molekul adhesif biasanya
terletak di percabangan pembuluh darah. Bukti menunjukkan bahwa pada daerah
percabangan terjadi kerusakan mekanisme atheroprotektif endotel dikarenakan
-
5
adanya shearstress akibat turbulensi aliran darah di daerah percabangan.
Akibatnya, produksi NO pun akan berkurang. Padahal NO memiliki sifat anti
inflamasi dan dapat menghambat produksi VCAM-1.
Gangguan pada aliran darah juga meningkatkan produksi molekul adhesif
leukosit lainnya, seperti Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1). Stres pada
permukaan endotel menyebabkan terjadinya produksi proteoglikan oleh sel-sel
otot halus arteri yang mana proteoglikan ini berfungsi mengikat dan
mempertahankan partikel lipoprotein, memfasilitasi terjadinya modifikasi
oksidatif,dan menginisiasi terjadinya respon inflamasi pada daerah terbentuknya
lesi (Gakina and Ley, 2009; Libby, 2002).
Begitu berikatan dengan endotel, leukosit akan penetrasi ke dalam intima.
Terdapat beberapa mediator inflamasi yang dianggap berperan dalam proses
transmigrasi ini. Sebagai contoh, Monocyte Chemoattractant Protein-1 (MCP-1)
ternyata bertanggung jawab terhadap migrasi langsung monosit ke dalam intima
pada lokasi pembentukan lesi. Keluarga T-cells Chemoattractant bertanggung
jawab dalam memanggil limfosit ke dalam intima (Gakina and Ley, 2009, Davis,
2005, Libby, 2002).
Setelah mereka berada di dalam dinding arteri, sel-sel inflamasi yang
berasal dari darah mulai berpartisipasi dan menyebabkan respon inflamasi lokal.
Makrofag akan mengekspresikan reseptor scavanger untuk memodifikasi
lipoprotein. Akibatnya, mereka akan memakan lemak dan berubah menjadi sel
busa. Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF) juga berkontribusi dalam
merubah monosit menjadi sel busa (Gakina and Ley, 2009, Davis, 2005, Libby,
2002).
Sel T akan bertugas mengahasilkan sinyal yang akan memanggil sitokin-
sitokin pro inflamasi seperti interferon dan limfotoksin (TNF) yang sebagai
gantinya akan menstimulasi makrofag sebagaimana sel-sel endotel dan SMC.
Proses inflamasi pun terus berlanjut, di mana leukosit yang teraktivasi dan sel-sel
intrinsik arteri akan melepaskan mediator fibrogenik, termasuk di dalamnya
adalah berbagai jenis peptida faktor pertumbuhan yang dapat menyebabkan
terjadinya replikasi SMC dan berkontribusi dalam pembentukan matriks
-
6
ekstraseluler pada lesi atherosklerosis yang lebih jauh lagi (Gakina and Ley, 2009,
Davis, 2005, Libby, 2002).
Gambar 5. Jalur inflamasi klasik. Patofisiologi dari berbagai penyakit
kardiovaskular melibatkan sekresi mediator-mediator inflamasi yang nantikan
akan disekresikan ke dalam aliran darah dan dapat diukur sebagai biomarker
(Libby et al, 2008).
Proses inflamasi tidak hanya menginisiasi terjadinya pembentukan dan
evolusi atheroma, tetapi juga berperan penting dalam menyebabkan komplikasi
trombosis akut dari atheroma. Sebagian besar trombus pada arteri koronaria yang
menyebabkan infark miokard akut yang bersifat fatal timbul akibat gangguan
secara fisik pada plak atherosklerosis. Makrofag yang teraktivasi di dalam
atheroma dapat memproduksi enzim proteolitik yang mampu mendegradasi
-
7
kolagen yang memberikan kekuatan untuk melidungi penutup plak,menyebabkan
penutup plak menjadi tipis, lemah, dan mudah hancur (Libby, 2002).
Interferon yang dihasilkan oleh limfosit T yang teraktivasi dapat
menghambat sintesis kolagen oleh SMC, membatasi kapasitasnya untuk
memperbaharui kolagen yang berfungsi untuk memperkuat plak. Makrofag juga
memproduksi faktor jaringan, suatu pro-koagulan yang utama dalam terjadinya
trombosis plak. Mediator-mediator inflamasi meregulasi faktor jaringan yang
diekspresikan oleh makrofag, sehingga menunjukkan adanya hubungan penting
antara inflamasi dan trombosis (Libby, 2002).
Dengan pemahaman bahwa inflamasi berperan dalam proses
atherogenesis, maka hal ini dimanfaatkan dengan mencari dan mempelajari
mediator-mediator inflamasi untuk dimanfaatkan sebagai biomarker
atherosklerosis. Tidak semua mediator inflamasi dapat menjadi biomarker,
mengingat sulitnya mengukur mediator-mediator tersebut. Berikut ini adalah
beberapa mediator inflamasi yang digunakan sebagai biomarker proses
atherosklerosis.
Gambar 6. Mediator dalam proses pembentukan plak. Proses patofisiologis
dalam pembentukan plak melibatkan berbagai mediator inflamasi yang berbeda
pada setiap fasenya yang mana dapat dimanfaatkan sebagai biomarker (Armstrong
et al, 2006a).
-
8
BIOMARKER INFLAMASI
Terdapat beberapa biomarker inflamasi yang sudah digunakan saat ini, antara lain:
a. Sitokin
Sitokin adalah protein pleiotropik yang meregulasi aktivitas
leukosit. Selama respon fase akut, sitokin-sitokin seperti interleukin (IL)-1
dan IL-6 meningkatkan produksi protein reaktan termasuk C-reactive
protein (CRP). IL-6 dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1)
adalah sitokin-sitokin utama yang secara klinis berperan sebagai
biomarker pada Acute Coronary Syndrome (ACS) (Armstrong et al.,
2006a).
Beberapa sitokin inflamasi yang merupakan biomarker inflamasi
antara lain:
Interleukin-6
IL-6 adalah sitokin ubiquitous, yang berperan dalam aktivasi leukosit
dan sel endotel. IL-6 juga mendorong terjadinya produksi protein
reaktan fase akut hepatik seperti C-reactive protein (CRP). IL-6
diekspresikan di bagian bahu dari plak atherosklerotik dan
meningkatkan ketidakstabilan plak dengan meningkatkan ekspresi
matriks metalloproteinases, MCP-1, dan Tumor Necroting Factor
(TNF)-. Penelitian FRISC-II menunjukkan bahwa peningkatan IL-6 >
5ng/L diasosiasikan dengan peningkatan angka kematian pada bulan ke
6 sampai 12 pada Coronary Artery Disease. Peningkatan IL-6 juga
menunjukkan bahwa pasien akan mendapatkan manfaat yang sangat
besar dari terapi invasif dini. Namun, karena besarnya variasi
circardian IL-6, maka pengaplikasian IL-6 sebagai biomarker ACS
masih terhambat sampai sekarang (Armstrong et al, 2006a).
-
9
Monocyte Chemoattractant Protein-1
MCP-1 adalah chemokine yang mengaktivasi fagosit mononuklear
dengan meningkatkan ikatan leukosit-endothel serta migrasi ke lokassi
inflamasi. Pada Trial Opus-TIMI 16, ditemukan bahwa level MCP-1 >
238 pg/mL menyebabkan peningkatan resiko kematian atau MI setelah
10 bulan (Armstrong et al, 2006a).
TNF-
TNF- adalah sitokin pro inflamasi yang terlibat dalah proses
disgungsi miokardial dan remodeling setelah ACS. Berdasarkan trial
CARE, pasien dengan MI berulang atau kematian jantung memiliki
kadar TNF- yang lebih tinggi (Armstrong et al, 2006a).
Interleukin-18
IL-18 meningkatkan ekspresi interferon (IFN)- yang merupakan
mediator perkembangan plak. IL-18 memediasi proses lambat yang
menentukan stabilitas plak dan kemungkinan pecahnya plak. Pasien
dengan level IL-18 >77,7 pg/mL menunjukkan peningkatan resiko
kematian kardiovaskular (Armstrong et al, 2006a).
Tabel 1. Biomarker Inflamasi pada ACS: Sitokin
(Armstrong et al, 2006a)
b. C-reactive protein (CRP)
Meskipun awalnya dikenal sebagai marker non-spesifik terhadap
inflamasi, tetapi saat ini sudah diketahui bahwa CRP memiliki peranan
-
10
penting dalam patofisiologi terbentuknya atherosklerosis dan gagal
jantung. Mekanisme yang disebabkan oleh CRP meliputi induksi disfungsi
endothel, meningkatkan produksi sel foam, inhibisi survavilitas sel endotel
progenitor, serta aktivasi komplemen pada plak etherosklerotik initima dan
iskemia miokardium (Gruson et al., 2011).
Level CRP meningkat pada pasien-pasien dengan gagal jantung.
Semakin tinggi kadar CRP maka semakin buruk prognosis pasien dengan
gagal jantung akut. Pada pasien dengan infark miokard akut, kadar CRP
berkorelasi dengan terjadinya ruptur plak. Penelitian awal yang meneliti
hubungan CRP dengan ACS menunjukkan bahwa CRP berkorelasi dengan
pasien dengan angina unstable berat di mana peningkatan CRP ini
meningkatkan resiko kematian dan miokard infark. Peningkatan CRP
dapat memprediksi mortalitas 14 hari. Peningkatan CRP juga dapat
memprediksi resiko mortalitas jangka panjang. Pasien dengan angina
unstable dan CRP > 3 mg/L pada saat keluar rumah sakit cenderung untuk
kembali lagi ke rumah sakit untuk instabilitas kardiovaskular berulang dan
miokard infark dalam waktu satu tahun. CRP >10 mg/dL dihubungkan
dengan peningkatan resiko kematian dengan rata-rata setelah 20 bulan
(Armstrong et al., 2006b).
c. Serum Amyloid A
Serum amyloid A (SAA) meliputi grup dengan tiga apolipoprotein
yang memiliki korelasi fungsional. Selama respon fase akut, SAA
mengubah apolipoprotein (apo) AI dan apo AII dari lipoprotein dengan
densitas tinggi untuk membentuk partikel lipoprotein yang lebih padat,
lebih besar, dan yang telah berkurang kemampuannya untuk
mengkatalisasi esterifikasi kolesterol dan efflux. Partikel ini nantinya akan
meningkatkan pembentukan sel foam (Armstrong et al., 2006b).
Selama fase akut miokard infark, level SAA meningkat dalam 24
jam dan mencapai puncaknya setelah tiga hari terhitung sejak onset nyeri
dada. Penelitian TIMI 11 menemukan bahwa peningkatan level SAA
-
11
memberikan prediksi resiko mortalitas 14 hari pada pasien dengan angina
unstable atau NSTEMI, di mana hal ini menunjukkan bahwa SAA dan
CRP memberikan informasi prognosis yang sama identik. Pasien dengan
peningkatan kadar SAA ketika keluar rumah sakit setelah perawatan
karena ACS menunjukkan kecenderungan untuk dirawat kembali atau
memiliki serangan angina berulang dalam satu tahun setelah keluar rumah
sakit. Namun, penelitian THROMBO (Thrombogenic Factors and
Recurrent Coronary Events) menunjukkan bahwa peningkatan level SAA
dua bulan setelah miokard infark tidak memiliki asosiasi yang signifikan
terhadap resiko berulangnya kejadian kardiovaskular dalam dua tahun
(Armstrong et al., 2006b).
d. Faktor Von Wille Brand
vWF adalah glikoprotein multimerik yang disimpan dalam Weibel-
Palade bodies pada endotel dan granula trombosit. vWF akan memediasi
pembentukan klot melalui asosiasi dengan faktor VIII. Pada manusia,
vWB terutama berasal dari endotel (Armstrong et al., 2006b).
Pada pasien dengan ACS, kadar vWF meningkat sejak serangan,
mencapai puncak dalam 24 jam, dan kembali ke dasar lagi setelah tiga
hari. Pada penelitian ESSENCE (Efficacy and Safety of Subcutaneous
Enoxaparin in NonQ-wave Coronary Events), peningkatan level vWF
pada 48 jam pertama pada pasien dengan NSTE ACS merupakan prediktor
independen untuk menentukan resiko kematian, miokard infark, angina
berulang, atau revaskularisasi pada hari ke-14 dan 30. Pada pasien dengan
STEMI, vWF merupakan faktor prediktor independen terhadap mortalitas
dalam 30 hari. Peningkatan vWF pada 48 sampai 72 jam berasosiasi
dengan buruknya aliran arteri koroner serta meningkatkan resiko kematian
atau miokard infark dalam 30 hari. Peningkatan vWF selama ACS
menggambarkan adanya perfusi jaringan yang buruk dengan aktivasi
endotel (Armstrong et al., 2006b).
-
12
e. Soluble ICAM-1
ICAM-1 adalah protein superfamili dari imunoglobulin
transmembran yang diekspresikan oleh sel endotel, leukosit, fibroblas, sel
otot polos, miosit jantung, dan berbagai tipe sel non kardiak lainnya.
ICAM-1 diekspresikan pada kadar basal oleh sel endotel dan diupregulasi
sebagai respon terhadap inflamasi. Peningkatan ekspresi ICAM-1
meningkatkan adhesi leukosit (Armstrong et al., 2006b).
Bentuk solubel dari ICAM-1 (sICAM-1) dikeluarkan ke sirkulasi.
sICAM-1 meningkat dalam 10 jam setelah onset nyeri dada pada ACS dan
tetap meningkat di atas level normal selama beberapa bulan (Armstrong
et al., 2006b).
Penelitian prospektif yang melibatkan 119 pasien dengan nyeri
dada yang berasosiasi dengan ACS tidak berhasil menunjukkan adanya
hubungan antara sICAM-1 dengan resiko dari kejadian kardiovaskular
serius selama perawatan di rumah sakit. Meskipun sICAM-1 masih
merupakan prediktor yang kuat sebagai prediktor insidensi penyakit
kardiovaskular, tetapi masih belum diketahui manfaat dari mengetahui
kadar sICAM-1 untuk kepentingan pencegahan sekunder. sICAM-1 masih
belum menunjukkan manfaat dalam menentukan resiko pasien dengan
ACS pada fase akut (Armstrong et al., 2006b).
f. Soluble VCAM-1
VCAM adalah bagian dari superfamili protein imunoglobulin
transmembran yang diekspresikan oleh sel endotel dan sel otot polos yang
teraktivasi. VCAM-1 berikatan dengan VLA-4, suatu integrin yang
diekspresikan oleh monosit, limfosit, dan eosinofil. Interaksi ini
menyebabkan terjadinya adhesi sel dan transmigrasi sel-sel inflamasi.
Sebagaimana ICAM-1, VCAM-1 transmembran juga akan pecah menjadi
bentuk solubel (sVCAM-1) (Armstrong et al., 2006b).
-
13
Pasien dengan ACS memiliki kadar sVCAM1 yang lebih tinggi di
dalam sirkulasinya dibandingkan dengan pasien sehat atau pasien dengan
angina stabil. Pasien dengan kejadian koroner yang buruk cenderung untuk
memiliki kadar sVCAM-1 yang tinggi (Armstrong et al., 2006b).
Pada penelitian prospektif dengan pasien NSTEMI, level sVCAM-
1 menunjukkan level yang tinggi pada pasien dengan kejadian
kardiovaskular dalam 6 bulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa
sVCAM-1 dapat menjadi marker yang sangat penting dalam menentukan
resiko jangka sedang sampai jangka panjang pada pasien dengan ACS.
Namun untuk level akut, masih diperlukan penelitian lebih lanjut lagi
mengenai manfaat sVCAM-1 ini (Armstrong et al., 2006b).
g. Soluble E-Selectin
E-selectin adalah selektin yang spesifik terhadap sel endothelial
yang berfungsi menstabilkan interaksi sel leukosit dengan sel endothel
melalui adhesi antar sel. E-selectin tidak diekspresikan secara masif oleh
endothel, melainkan diupregulasi dalam hitungan jam sebagai respon
terhadap inflamasi (Armstrong et al., 2006b).
Sebagaimana ICAM-1 dan VCAM-1, E-selectin juga dipecah
menjadi mentuk solubelnya (sSelectin) yang dapat menjadi marker tidak
langsung terhadap aktivasi endothel di mikrosirkulasi. Manfaat dari
marker level sSelectin dan marker aktivasi sel endothel lainnya lebih untuk
memprediksi resiko terbentuknya penyakit arteri koroner dan resiko
kematian pada pasien dengan penyakit arteri koroner stabil daripada
marker untuk stratifikasi resiko untuk ACS (Armstrong et al., 2006b).
Tabel 2. Biomarker Inflamasi pada ACS: Acute Phase Reactant and
Endothelial Cell Activation
-
14
(Armstrong et al., 2006b)
h. Myeloperoxidase
Myeloperoksidase (MPO) adalah biomarker inflamasi dan stres
oksidatif yang diproduksi oleh neutrofil, monosit, dan sel endotel. Kadar
MPO distimulasi oleh gagal jantung serta merupakan prediktor independen
untuk mortalitas pada gagal jantung (Gruson et al., 2011).
i. Phospholipase A2 (PLA2)
Phospholipase A2 (PLA2) memecah phospholipid menjadi asam
lemak bebas dan lysophospholipid. Kedua subset dari PLA2 ini nantinya
akan dimetabolisme menjadi berbagai mediator inflamasi (Armstrong et
al., 2006c).
PLA2 sekretorik tipe II (sPLA2) menyebabkan terjadinya oksidasi
dan mengkatalis metabolisme phospholipid dari LDL, yang kemudian
meningkatkan atherogenicity dari partikel LDL. Enzim PLA2 lainnya,
lipoprotein-associated phospholipase A2 (Lp-PLA2), beredar di dalam
sirkulasi untuk berikatan dengan LDL (Armstrong et al., 2006c).
-
15
Pada penelitian dengan pasien ACS, peningkatan level sPLA2
menunjukkan hubungan dengan peningkatan probabilitas kejadian koroner
sebanyak lima kali lebih banyak dalam dua tahun. Penelitian GRACE
(Global Registry of Acute Coronary Events) menemukan bahwa
peningkatan aktivitas sPLA2 di dalam sirkulasi berhubungan dengan
peningkatan resiko kematian atau infark miokard sebanyak tiga kali lipat.
Sementara itu, Lp-PLA2 menunjukkan hubungannya dengan ACS dan
intependen terhadap CRP dan penggunaan statin. Penemuan ini
menunjukkan bahwa Lp-PLA2 dapan memberikan informasi prognosis
dari ACS dan mekanisme antiinflamasi dari statin tidak mempengaruhi
jalur inflamasi yang dimediasi oleh sPLA2 (Armstrong et al., 2006c).
Tabel 3. Biomarker Inflamasi pada ACS: Biomarker of Oxidative Stress and
Angiogenic Growth Factors
(Armstrong et al., 2006c)
j. Copeptin
Copeptin adalah fragmen C-terminal dari arginin vasopressi
(AVP). Kadar copeptin meningkat sebagai respon terhadap stres dan
penyakit menular (Gruson et al., 2011).
-
16
Penelitian baru-baru ini menunjukkan peningkatan copeptin pada
kasus gagal jantung dan potensinya sebagai marker untuk morbiditas dan
mortalitas. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Neuhold et al. Pada
penelitian cohort yang dilakukan pada 700 pasien gagal jantung,
konsentrasi copeptin berhubungan dengan kelas fungsional NYHA
(Gruson et al, 2011).
k. Endothelin
Endothelin-1 (ET-1) adalah peptida asam amino 21 serta
merupakan salah satu vasokonstriktor paling poten. ET-1 disintesis
sebagai prehormon asam amino 212 inaktif, yaitu preproET-1. PreproET-1
ini akan dipecah oleh endopeptidase menjadi asam amino-39, yaitu ET-1
besar. ET-1 besar kemudian dipecah oleh endothelin converting enzyme-1
menjadi asam amino-21. Efek dari ET-1 dimediasi melalui stimulasi dari 2
subtipe reseptor, yaitu reseptor endothelin subtipe A dan reseptor
endothelin subtipe B (Gruson et al, 2011).
ET-1 terutama diproduksi di sel endotel, ginjal, dan sistem saraf
pusat. ET-1 memiliki efek langsung terhadap jantung, yaitu efek
chronotropik dan inotropik, penurunan kardiak output, stimulasi hipertrofi
miokard, dan induksi respon sintesis kolagen pada fibroblas jantung
(Gruson et al, 2011).
ET-1 meningkat pada pasien gagal jantung, terutama gagal jantung
berat. Pemeriksaan endothelin sama dengan sitokin, yaitu dengan teknik
ELISA, akibatnya tes ini masih mahal untuk dilakukan dan tidak semua
laboratorium dapat melaksanakan pemeriksaan ini (Gruson et al, 2011).
l. Matrix Metalloproteinase (MMP)
Matrix Metalloproteinase (MMP) adalah endoproteinase yang
dependen terhadap zinc dengan aktivitas kolagenase dan atau gelatinase.
Degradasi dari fibril kolagen melemahkan stabilitas plak dan integritas
-
17
membrana basalis endotel, yang mana merupakan faktor predisposisi
terhadap rupturnya atheroma (Armstrong et al., 2006d).
MMP diekspresi dalam jumlah besar pada plak atherosklerotik,
dengan peningkatan jumlah pada bagian bahu dari plak. Pasien dengan
ACS mengalami peningkatan level MMP-1, -2, dan -9 pada plasma.
MMP-1, -2, dan -9 tidak meningkat di awal gejala klinis ACS, tetapi
peningkatan tersebut baru terjadi pada hari ketujuh sampai keempat belas.
Penelitian lainnya menemukan bahwa tidak ada peningkatan signifikan
dari MMP-2, tetapi terjadi peningkatan cepat yang diikuti dengan turunnya
level secara cepat pula dari MMP-9 pada minggu pertama setelah gejala
ACS. Pada penelitian dengan 24 pasien ACS, peningkatan level MMP-1
pada hari ke-7 dan -14 setelah ACS berkorelasi negatif dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri (Armstrong et al., 2006d).
Data-data dari berbagai penelitian di atas masih belum
menunjukkan manfaat nyata dari MMP sebagai marker untuk mengambil
keputusan terapi klinis maupun stratifikasi resiko ACS. Namun, MMP
masih menjadi target penelitian sebagai target terapi (Armstrong et al.,
2006d).
Terdapat beberapa MMP yang berperan dalam inflamasi, antara lain:
MMP-1
MMP-1 adalah kolagenase yang diekspresikan di dalam intertisium
dan diupregulasi secara cepat pada hewan model iskemia
koroner/reperfusi.
MMP-2
MMP-2 adalah gelatinase yang memiliki kemampuan mendegradasi
kolagen tipe IV, yang merupakan tipe kolagen mayoritas pada
membrana basalis di subendothel.
-
18
MMP-9
MMP-9 adalah gelatinase dengan implikasi yang luas pada remodeling
ventrikel dan perjalanan gagal jantung.
Tabel 4. Biomarker Inflamasi pada ACS: Matrix Metalloproteinases and
Biomarkers of Platelet Activation
(Armstrong et al., 2006d)
.
-
19
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Abul K; Lichman, Andrew H; Pillai, Shiv. Cellular and Molecular
Immunology Seventh Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2012.
Armstrong, Ehrin J; Morrow, David A.; Sabatine, Marc S. 2006a. Inflammatory
Biomarkers in Acute Coronary Syndromes : Part I: Introduction and
Cytokines. Circulation 2006, 113:e72-e75.
Armstrong, Ehrin J; Morrow, David A.; Sabatine, Marc S. 2006b. Inflammatory
Biomarkers in Acute Coronary Syndromes : Part II: Acute-Phase
Reactants and Biomarkers of Endothelial Cell Activation. Circulation
2006, 113:e152-e155.
Armstrong, Ehrin J; Morrow, David A.; Sabatine, Marc S. 2006c. Inflammatory
Biomarkers in Acute Coronary Syndromes : Part III: Biomarkers of
Oxidative Stress and Angiogenic Growth Factors. Circulation 2006,
113:e289-e292.
Armstrong, Ehrin J; Morrow, David A.; Sabatine, Marc S. 2006d. Inflammatory
Biomarkers in Acute Coronary Syndromes : Part IV: Matrix
Metalloproteinases and Biomarkers of Platelet Activation. Circulation
2006, 113:e382-e385.
Davis, Norma E. 2005. AtherosclerosisAn Inflammatory Process. J Insur Med
2005;37:7275.
Galkina, Elena; Ley, Klaus. 2009. Immune and Inflammatory Mechanisms of
Atherosclerosis. Annu Rev Immunol. 2009 ; 27: 165197.
Gruson, Damien; Ahn, Sylvie A.; Rousseau, Michel F. 2011. Biomarkers of
inflammation and cardiac remodeling: the quest of relevant companions
for the risk stratification of heart failure patients is still ongoing.
Biochemia Medica 2011;21(3):254-63.
-
20
Lewandowski, Eileen Carreiro. 2006. Update on Cardiac Biomarkers:
Inflammatory Markers. Laboratory Medicine. 2006;37(10):598-605.
Medscape News. Available at:
http://www.medscape.com/viewarticle/545526_5
Libby, Peter; Packard, Rene R.S. 2007. Inflammation in Atherosclerosis: From
Vascular Biology to Biomarker Discovery and Risk Prediction. Clinical
Chemistry 54:1 2438 (2008)
Libby, Peter. 2002. Inflammation and Atherosclerosis. Circulation.
2002;105:1135-1143.