lapkas dewi
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

BAB I
PENYAJIAN KASUS
1.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal
19 April 2011, pukul 16.00 WIB
Identitas
1. Nama : By. SZ
2. Usia : 1 bulan 20 hari
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Alamat : Kuala Ambawang, Gang. Budaya,
Pontianak.
6. No. RM : 619006
7. Tanggal masuk rumah sakit : 19 April 2011, pukul 11.00 WIB
8. Tanggal keluar rumah sakit : 21 April 2011
Keluhan utama
- Buang air besar (BAB) cair
Riwayat penyakit sekarang :
Sejak empat hari sebelum masuk Rumah Sakit (SMRS), pasien mengalami
BAB cair dengan frekuensi 3-6 kali per hari, terdapat ampas dan lendir, tidak
disertai darah, warna feses kekuningan dan berbau tinja biasa. Jumlah kotoran
setiap kali BAB sedikit (sekitar satu sendok makan). Pasien tidak rewel, tampak
kehausan dan tampak lahap meminum susu. Keluhan muntah, kejang, sesak dan
buang air kecil berkurang disangkal. Sebelum mengalami BAB cair berat badan
pasien 1,8 kg, sedangkan saat mengalami BAB cair berat badan pasien turun
menjadi 1,6 kg.
1

Sejak dua hari SMRS, pasien mengalami demam tinggi, dan demam naik
turun.
Sejak seminggu SMRS, pasien mengalami batuk kering. Batuk tidak kuat.
Setiap kali batuk muka pasien tidak membiru.
Riwayat penyakit dahulu
- Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya
Riwayat keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga lain yang sedang mengalami buang air besar cair.
- Di keluarga pasien ada yang menderita batuk-batuk lama, yaitu bibi pasien yang
tinggal serumah dengan pasien. Bibi pasien yang batuk-batuk oleh dokter
didiagnosis tuberkulosis (TB) dan mendapat obat dari Puskesmas yang
menyebabkan kencing berwarna merah. Saat ini bibi pasien masih batuk-batuk
dan telah minum obat 3 butir berwarna merah selama satu setengah bulan.
Riwayat kelahiran :
- Pasien lahir di Rumah Sakit, lahir kurang bulan (usia kehamilan 8 bulan),
seksio sesar, gemeli (kembar), berat lahir 1000 gram.
- Dirawat di ruang perinatologi selama + 2 minggu
Riwayat imunisasi :
- Menurut ibu pasien, imunisasi belum pernah didapatkan pasien.
Riwayat ASI
- Pasien sejak lahir diberi susu formula (di bangsal perawatan). Sejak bayi
dipulangkan, oleh ibunya diberi ASI, namun bayi menolak, sehingga ibu pasien
sampai saat ini memberikan susu formula untuk anaknya.
2

Riwayat Sosioekonomi
- Ayah pasien bekerja sebagai buruh kasar dan ibu pasien sebagai ibu rumah
tangga.
- Pasien berobat menggunakan jasa Jamkesmas.
1.2 Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum : tampak sakit sedang, tidak rewel
- Kesadaran : Komposmentis
Tanda vital
- denyut jantung : 162 kali/menit, teratur
- Pernapasan : 78 kali/menit, teratur, tipe abdomino-torakal
- Suhu : 37,80C
Antropometri :
- Berat Badan : 1,6 kg
- Panjang Badan : 45 cm
Status gizi:
BB/U = 1,6 kg/ 4,6 kg x 100% = 34,78%, interpretasi: gizi buruk
PB/U = 45 cm/56 cm x 100% = 80,3%, interpretasi: gizi kurang
BB/PB = 1,6 kg/2,5 kg x 100% = 64%, interpretasi: gizi buruk
Dari tabel z-score perbandingan berat badan dan panjang badan (BB/PB)
terletak pada < -3 SD. Interpretasi : gizi buruk
Status generalis :
- Kulit : turgor kembali lambat, sianosis (-)
- Kepala : UUB datar
- Mata : mata cekung (-), air mata (+)
- Telinga : tidak ada kelainan, sekret (-/-)
- Hidung : pernapasan cuping hidung (-), sekret (-/-)
- Mulut : mukosa bibir basah, sianosis perioral (-), candidiasis (-)
3

- Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T2/T2
- Leher : tidak ada pembesaran KGB, retraksi suprasternal (-),
- Dada : bentuk simetris, pergerakan simetris, retraksi intercosta (-)
- Jantung : S1, S2 tunggal normal
- Paru : sonor dikedua lapang paru, vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
- Abdomen : datar, retraksi epigastrik (-), bising usus meningkat, turgor
kembali lambat.
- Genitalia : tidak ada kelainan
- Anus : tidak ada kelainan, ruam perianal (-)
- Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-)
1.3 Pemeriksaan Laboratorium
- Periksa darah rutin (tanggal 19 April 2011):
← Hemoglobin = 9,8 g/dl (11-17 g/dl)
← Leukosit = 12.100/uL (4.000-12.000/uL)
← Trombosit = 625.000/uL (150.000-400.000/uL)
← Interpretasi: Anemia + Leukositosis + Trombositosis
1.4 Resume
Pada anamnesis bayi berumur 1 bulan ini didapatkan: pasien mengalami BAB
cair, batuk, dan demam; bibi pasien mengalami TB; pasien lahir
prematur dengan BB lahir 1000 gram; pasien belum pernah
mendapatkan imunisasi.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan: keadaan umum tampak sakit sedang; denyut
jantung, pernapasan dan suhu meningkat; status gizi buruk; turgor
kembali lambat.
Pada pemeriksaan penunjang diperoleh: anemia + leukositosis + trombositosis
4

1.5 Diagnosis
Diagnosis kerja
- Diare akut tanpa dehidrasi disertai gizi buruk
- Pneumonia e.c infeksi bakteri
- Anemia e.c defisiensi besi
Diagnosis banding
- Diferensial diagnosis etiologi : diare akut e.c bakteri
- Suspect TB
- Anemia e.c defisiensi asam folat
1.6 Program
- Pemeriksaan Darah rutin
- Pemeriksaan Feses rutin
- Pemeriksaan GDS
- Pemeriksaan LED
- Pemeriksaan elektrolit (Na, K)
- Pemeriksaan Gambaran Darah Tepi
- Rhontgen thorax
- Rencana tes mantoux saat usia 2 bulan : jika negatif, imunisasi BCG
- Konsultasi ke bagian Gizi.
1.7 Terapi
- Infus RL 12 tetes/menit mikro
- Paracetamol drop 3 kali 0,2 ml (k/p)
- Injeksi Cefotaxim 2 x 75 mg, IV
1.8 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanactionam : dubia ad bonam
5

1.9 Pencegahan
1. ASI diusahakan diberikan pada pasien
2. Susu formula tetap diberikan jika pasien menolak ASI
3. Bayi tidak dipuasakan
4. Bayi diberikan imunisasi
5. Untuk orang tua: setelah membuang tinja anak, tangan segera dicuci
6. Memperhatikan higienitas saat menyiapkan dan memberikan susu kepada
anak
7. Selama di rumah sakit: orang tua memperhatikan pola pernapasan anak,
jika terdapat napas cepat (lebih dari 60 kali per menit) dan terdapat tarikan
dinding dada saat bernapas, segera laporkan kepada perawat/dokter
8. Mengusahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat dan bersih
9. Untuk masalah gizi buruk : Sebaiknya diusahakan pemberian ASI, jika
bayi tidak mau lanjutkan pemberian susu formula.
10. Untuk masalah bibi pasien yang menderita TB, diberikan edukasi kepada
ibu pasien agar anaknya mengurangi atau menghindari kontak dengan
bibinya, untuk menghindari tertularnya kuman M. Tuberculosis.
1.10 Follow Up
Tanggal 20 April 2011
S : BAB cair (+) 2 kali, ampas (+)
Demam (+)
Batuk (+)
Muntah (-)
Minum susu mau.
O : KU tampak sakit ringan
Denyut jantung : 158 x/menit, teratur
Pernapasan : 68 x/menit
Suhu : 36,9°C
BB : 1,8 kg.
6

Tanda dehidrasi (-)
A : Diare Akut tanpa dehidrasi
IRA
P : - Infus RL 10 tetes/menit (mikro)
- Paracetamol drop 3 kali 0,2 ml (k/p)
- Injeksi Cefotaxim 2 x 75 mg, IV
Tanggal 21 April 2011
S : BAB cair (-), hari ini BAB lembek 1 kali.
Demam (-)
Batuk (-)
Muntah (-)
Minum susu mau.
O : KU baik
Denyut jantung : 156 x/menit, teratur
Pernapasan : 62 kali
Suhu : 36,7°C
BB : 2 kg
Tanda dehidrasi (-)
Kelopak mata edema, Ekstremitas edema.
A : Diare Akut teratasi.
P : - Infus RL dihentikan
- Perbanyak minum susu
- Paracetamol drop 3 kali 0,2 ml (k/p)
- Injeksi Cefotaxim 2 x 75 mg, IV
Tanggal 21 April 2011 pukul 13.00 pasien pulang.
Pasien pulang diberikan:
- Paracetamol drop 3 kali 0,2 ml, jika pasien mengalami demam.
- Cefixime 2 x 8 mg.
- New Oralit (6 bungkus), diberikan jika pasien diare, setiap kali BAB cair.
7

BAB II
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, dari anamnesis didapatkan data By.SZ, perempuan, usia 1
bulan 20 hari dengan keluhan buang air besar cair sejak empat hari sebelum
masuk ke RS, frekuensi 3-6 kali/ hari, jumlah sekitar satu sendok makan, terdapat
ampas dan lendir, warna kekuningan, berbau amis dan tidak disertai darah.
Keluhan lainnya adalah demam dan batuk. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
keadaan umum tampak sakit sedang; denyut jantung, pernapasan dan suhu
meningkat; gizi buruk; dan turgor kembali lambat. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan kadar` hemoglobin kurang dari normal, nilai leukosit dan
trombosit meningkat.
Pasien dalam kasus ini didiagnosis menderita diare akut karena keluhan
buang air besar dengan konsistensi cair, yang frekuensinya 3-6 kali (lebih sering
dibanding ketika anak dalam keadaan sehat) dan berlangsung kurang dari satu
minggu. Di Indonesia diare merupakan salah satu penyebab kematian dan
kesakitan tertinggi pada anak, terutama dibawah usia 5 tahun dan merupakan
penyebab kematian terbanyak, yaitu 42% pada bayi, dan 25,2% untuk golongan 1-
4 tahun. Secara epidemiologi, penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya
dalah golongan virus, bakteri dan parasit. Di negara berkembang, kuman patogen
penyebab tersering diare akut pada anak-anak yaitu Rotavirus, Escherichia coli
enterotoksigenik, Shigella, Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium. Penyebab
diare pada kasus ini kemungkinan adalah rotavirus, karena sebagian besar diare
pada anak yaitu sekitar 60% disebabkan oleh rotavirus.
Diagnosis banding diare akut pada pasien ini adalah diare akut akibat infeksi
bakteri, terutama Enterotoxigenic escherichia coli (ETEC). Gejala utama pada
diare akut yang disebabkan oleh ETEC adalah diare cair tanpa disertai muntah.
Enterotoxigenic E. coli mempunyai 2 faktor virulensi yang penting yaitu faktor
kolonisasi yang menyebabkan bakteri ini melekat pada enterosit usus halus dan
enterotoksin (heat labile dan heat stabile) yang menyebabkan sekresi cairan dan
8

elektrolit yang menghasilkan watery diarrhea. ETEC tidak menginvasi mukosa
sehingga tidak terdapat darah dalam tinja.
Selama anak diare, terjadi peningkatan hilangnya cairan dan elektrolit
(natrium, kalium dan bikarbonat) yang terkandung dalam tinja cair anak.
Dehidrasi terjadi bila hilangnya cairan dan elektrolit ini tidak diganti secara
adekuat, sehingga timbullah kekurangan cairan dan elektrolit. Derajat dehidrasi
diklasifikasikan sesuai dengan gejala dan tanda yang mencerminkan jumlah cairan
yang hilang. Dalam kasus ini pasien tidak mengalami dehidrasi karena
berdasarkan pemantauan derajat dehidrasi, tidak ditemukan tanda dehidrasi.
Turgor kulit abdomen yang kembali lambat pada kasus ini disebabkan oleh
keadaan gizi buruk yang diderita pasien.
Pasien didiagnosis Infeksi Respiratori Akut (IRA) karena terdapat keluhan
batuk yang berlangsung sekitar satu minggu. Berdasarkan klasifikasinya, IRA
pada pasien ini tergolong pneumonia, karena pada pemeriksaan fisik terdapat
napas cepat yang tidak disertai tarikan dinding dada dan pada auskultasi tidak
didapatkan adanya ronkhi.
Pada pemeriksaan tanda vital, terlihat bahwa terjadi peningkatan denyut
jantung, pernapasan dan suhu yang terjadi karena adanya infeksi. Hal ini
didukung pula oleh kadar leukosit yang melebihi kadar normal. Rendahnya kadar
hemoglobin terjadi akibat kekurangan zat gizi terutama kekurangan zat besi.
Sedangkan trombositosis pada pasien disebabkan karena adanya proses infeksi.
Proses infeksi akan menyebabkan peningkatan pelepasan sejumlah sitokin yang
pada akhirnya menyebabkan peningkatan produksi trombosit.
Dari pengukuran antropometri didapatkan perbandingan berat badan per
umur sebesar 34,78% yang menunjukkan bahwa gizi pada anak tersebut buruk;
berdasarkan perbandingan tinggi badan per umur diperoleh nilai 80,3% yang
menandakan tinggi kurang; dan berdasarkan perbandingan BB/PB diperoleh nilai
64% yang menunjukkan gizi buruk. Sedangkan hasil pengukuran berat badan per
panjang badan (BB/PB) sesuai tabel Z score untuk anak perempuan usia 0-2
tahun, didapatkan status gizi buruk yaitu terletak pada kurang dari -3 SD. Pada
kasus ini dapat dipastikan bahwa pasien menderita gizi buruk. Untuk itu, perlu
9

dilakukan konseling kepada ibu mengenai pentingnya pemberian ASI pada bayi
dan menyarankan kepada ibu agar mencoba memberikan ASI lagi kepada
bayinya, jika bayi mau meminum ASI, maka pemberian susu formula dihentikan
dan ASI diteruskan. Namun jika bayi menolak meminum ASI, pemberian susu
formula dapat dilanjutkan dan anak tidak dipuasakan.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah infus RL 12 tetes mikro
per menit, paracetamol drop 3 kali sehari sebanyak 0,2 ml (20 mg), dan cefotaxim
2 kali 75 mg.
Secara teoritis dalam tatalaksana pasien anak dengan diare, terdapat lima
elemen penting yang termasuk dalam lintas diare, antara lain: cairan (rehidrasi),
seng (zink), nutrisi, antibiotik yang tepat dan edukasi. Rejimen rehidrasi dipilih
sesuai dengan derajat dehidrasi yang ada. Larutan intravena terbaik adalah larutan
Ringer Laktat (RL). Tersedia juga larutan Ringer Asetat. Jika larutan Ringer
Laktat tidak tersedia, larutan garam normal (NaCl 0.9%) dapat digunakan. Larutan
glukosa 5% (dextrosa) tunggal tidak efektif dan jangan digunakan.
Secara teoritis, pasien diare akut tanpa dehidrasi, rehidrasi dapat dilakukan
dengan pemberian oral sesuai dengan defisit yang terjadi. Cairan rehidrasi oral
yang diberikan berupa cairan rehidrasi oralit 5-10 ml/kgBB setiap diare cair dan
ASI atau susu formula harus tetap diberikan. Dalam kasus ini, mengingat pasien
adalah bayi yang lahir prematur dan gizi buruk, maka diberikan infus RL dengan
jumlah tetesan 12 tetes per menit mikro.
Pasien ini diberikan paracetamol jika demam (suhu > 38 0C). Pada kasus ini,
antibiotik diberikan untuk mengobati infeksi saluran pernapasan, karena pada
kasus ini gejala batuk telah terjadi selama satu minggu, sehingga kemungkinan
penyebabnya adalah bakteri. Antibiotik yang diberikan pada kasus ini adalah
cefotaxim dengan dosis 2x75 mg IV (dosis cefotaxim adalah 100 mg/kgBB/hari).
Cefotaxim merupakan antibiotik golongan sefalosporin gernerasi ke-3 dengan
mekanisme aksi menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan dengan
satu atau lebih ikatan protein - penisilin (penicillin-binding proteins-PBPs) yang
selanjutnya akan menghambat tahap transpeptidasi sintesis peptidoglikan dinding
sel bakteri sehingga menghambat biosintesis dinding sel. Bakteri akan mengalami
10

lisis karena aktivitas enzim autolitik (autolisin dan murein hidrolase) saat dinding
sel bakteri terhambat. Cefotaxim merupakan antibiotik spektrum luas yang cukup
efektif pada bakteri gram positif dan gram negatif.
Berdasarkan data epidemiologi, bakteri tersering yang menyebabkan infeksi
saluran pernapasan pada anak usia 1-3 bulan adalah RSV (Respiratory Syncytial
Virus), Rhinovirus, Pneumococcus, Pneumocytis carinii, dan S.aureus. Secara
teoritis pada pasien yang mengalami IRA jenis pneumonia (napas cepat > 60
kali/menit, tanpa tarikan dinding dada dan rhonki) diberi obat antibiotik
kotrimoksazol peroral. Bila penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau
ternyata dengan pemberian kontrimoksazol keadaan penderita menetap, dapat
dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin.
Zink merupakan mikronutrien penting untuk kesehatan dan perkembangan
anak. Zink hilang dalam jumlah banyak selama diare. Penggantian zink yang
hilang ini penting untuk membantu kesembuhan anak dan menjaga anak tetap
sehat di bulan-bulan berikutnya. Telah dibuktikan bahwa pemberian zink selama
episode diare, mengurangi lamanya dan tingkat keparahan episode diare dan
menurunkan kejadian diare pada 2-3 bulan berikutnya. Berdasarkan bukti ini,
semua anak dengan diare harus diberi zink, segera setelah anak tidak muntah.
Zink/Seng terbukti secara ilmiah terpercaya dapat menurunkan frekuensi buang
air besar dan volume tinja sehingga dapat menurunkan resiko terjadinya dehidrasi
pada anak. Seng/Zink elemental diberikan selama 10-14 hari meskipun anak telah
tidak mengalami diare, dengan dosis: usia di bawah umur 6 bulan: ½ tablet (10
mg) per hari; usia 6 bulan ke atas: 1 tablet (20 mg) per hari. Pada pasien ini, zink
elemental belum diberikan karena berat badan pasien yang masih rendah.
Probiotik (Lactic acid bacteria) merupakan bakteri hidup yang mempunyai
efek yang menguntungkan pada host dengan cara meningkatkan kolonisasi bakteri
probiotik di dalam lumen saluran cerna sehingga seluruh epitel mukosa usus
telah diduduki oleh bakteri probiotik melalui reseptor dalam sel epitel usus,
sehingga tidak terdapat tempat lagi untuk bakteri patogen untuk melekatkan
diri pada sel epitel usus sehingga kolonisasi bakteri patogen tidak terjadi.
Dengan mencermati fenomena tersebut bakteri probiotik dapat dipakai sebagai
11

cara untuk pencegahan dan pengobatan diare baik yang disebabkan oleh Rotavirus
maupun mikroorganisme lain, pseudomembran colitis maupun diare yang
disebabkan oleh karena pemakaian antibiotika yang tidak rasional (antibiotic
associated diarrhea). Mekanisme kerja bakteri probiotik dalam meregulasi
kekacauan atau gangguan keseimbangan mikrobiota komensal melalui 2 model
kerja rekolonisasi bakteri probiotik dan peningkatan respon imun dari sistem
imun mukosa untuk menjamin terutama sistem imun humoral lokal mukosa
yang adekuat yang dapat menetralisasi bakteri patogen yang berada dalam
lumen usus yang fungsi ini dilakukan oleh secretory IgA (SIgA). Probiotik
meliputi Laktobasilus, Bifidobakterium, Streptokokus spp, yeast (Saccaromyces
boulardi), dan lainnya. Pada kasus ini, pasien belum bisa diberikan probiotik,
karena mengingat keadaan gizi buruk, lahir prematur dan berat badan yang rendah
dengan daya imun yang belum sempurna, maka dikhawatirkan dengan pemberian
probiotik dapat memperburuk kejadian diare.
Selama diare, penurunan asupan dan penyerapan nutrisi serta peningkatan
kebutuhan nutrisi, sering secara bersama-sama menyebabkan penurunan berat
badan dan berlanjut ke gagal tumbuh. Pada gilirannya, gangguan gizi dapat
menyebabkan diare menjadi lebih parah, lebih lama dan lebih sering terjadi,
dibandingkan dengan kejadian diare pada anak yang tidak menderita gangguan
gizi. ASI merupakan menu yang sesuai untuk pasien ini.
Keadaan anemia pada pasien kemungkinan akibat kurangnya masukan
nutrisi berupa ASI, sehingga disarankan kepada ibunya agar mencoba menyusui
ASI kepada bayinya. Namun, pada bayi yang lahir kurang bulan, keadaan anemia
terjadi fisiologis selama 2 bulan pertama kehidupan. Untuk memastikan jenis
anemia yang terjadi, perlu dilakukan pemeriksaan gambaran darah tepi. Pada
pasien ini Fe belum diberikan, karena pasien masih dalam keadaan sakit (adanya
infeksi), karena jika Fe tetap diberikan dapat menjadi media yang baik bagi
perkembangan mikroorganisme, lagipula dalam keadaan gizi buruk, Fe diberikan
jika penatalaksanaan gizi buruk telah sampai pada tahap rehabilitasi.
Dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemEriksaan darah rutin untuk
melihat kadar leukosit, trombosit dan hemoglobin. Pemeriksaan feses rutin
12

dilakukan untuk memastikan etiologi diare akut. Pemeriksaan GDS dilakukan
karena biasanya pada bayi-bayi kecil sering terjadi hipoglikemia. Pemeriksaan
kadar elektrolit dilakukan karena pada pasien yang mengalami diare, terjadi
kehilangan elektrolit. Pemeriksaan gambaran darah tepi dilakukan untuk
mengetahui jenis anemia yang terjadi pada pasien. Pemeriksaan rhontgen thoraks
untuk mendeteksi adanya kelainan pada paru, karena pada pasien ini terdapat
gejala batuk dan adanya kontak dengan pasien TB. Selain itu dilakukan
pemeriksaan LED (laju endap darah) untuk mengetahui apakah terjadi infeksi
kronis atau tidak. Tes mantoux dilakukan saat usia pasien 2 bulan.
Pada pasien ini dianjurkan ke Puskesmas untuk mendapatkan imunisasi
sesuai usianya, antara lain imunisasi BCG, Polio dan DPT. Imunisasi BCG
diberikan jika uji tuberkulin (tes mantoux) hasilnya negatif. Untuk masalah bibi
pasien yang menderita TB, diberikan edukasi kepada ibu pasien agar anaknya
menghindari kontak dengan bibinya, agar tidak tertular kuman M. Tuberculosis.
Prognosis pada anak umumnya baik dengan pengawasan dan terapi yang
adekuat. Jika dalam 1-2 hari frekuensi dan volume diare berkurang serta pasien
tidak mengalami takipnea, maka pasien boleh pulang.
Orang tua diminta untuk membawa kembali anaknya ke Pusat Pelayanan
Kesehatan bila ditemukan hal sebagai berikut: demam, tinja berdarah, makan atau
minum sedikit, sangat haus, diare semakin sering, atau belum membaik dalam 3
hari.
Untuk mencegah terjadinya diare di kemudian hari (terlebih pasien minum
susu formula), maka dilakukan edukasi kepada orang tua pasien terutama ibunya.
Edukasi yang diberikan berupa:
1. Higiene dalam mempersiapkan dan memberikan susu kepada anak, maupun
higiene lingkungan yang sehat dan bersih. Penyajian susu formula harus
menggunakan air yang telah dimasak, dan botol susu setelah pemakaian
sebaiknya dibersihkan kemudian direbus untuk menghindari adanya
kontaminasi mikroorganisme, karena penggunaan botol susu memudahkan
pencemaran oleh kuman, karena botol susu susah dibersihkan. Penggunaan
13

botol untuk susu formula, biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena diare,
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya gizi buruk.
2. Pemberian ASI eksklusif. Menyampaikan kepada ibu pasien bahwa ASI turut
memberikan perlindungan terhadap diare. Tidak memberikan ASI eksklusif
secara penuh selama empat sampai enam bulan, risiko untuk menderita diare
lebih besar dari pada bayi yang diberi ASI secara penuh. Oleh karena itu,
pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya
lindung empat kali lebih besar terhadap diare, dari pada pemberian ASI yang
disertai dengan susu formula.
3. Kebiasaan cuci tangan sesudah membuang tinja anak, sebelum memberi anak
susu, dan sebelum menyentuh
4. Kebiasaan membuang tinja. Membuang tinja (termasuk tinja bayi) harus
dilakukan secara bersih dan benar. Banyak orang beranggapan bahwa tinja
bayi tidaklah berbahaya. Padahal sesungguhnya tinja bayi mengandung virus
atau bakteri dalam jumlah besar. Tinja bayi dapat pula menularkan penyakit
pada anak-anak dan orang tuanya.
5. Menggunakan air minum yang bersih. Air mungkin sudah tercemar dari
sumbernya atau pada saat disimpan dirumah. Pencemaran di rumah dapat
terjadi apabila tempat penyimpanan tidak tertutup atau tangan yang tercemar
menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan. Untuk
mengurangi risiko terhadap diare, yaitu harus menggunakan air yang bersih
dan melindungi air tersebut dari kontaminasi.
14