jurnal tugas ujian

21

Click here to load reader

Upload: astia-dwiputri-lestari

Post on 30-Nov-2015

99 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

prostho

TRANSCRIPT

Page 1: jurnal tugas ujian

Hubungan Antara Gingiva dan Tepi Restorasi

Interactions Between The Gingiva and The Margin of Restorations

Padbury Jr A, Eber R, Wang H-L. Interactions between the gingiva and the margin of restorations. J Clin Periodontol 2003; 30: 379–385. r Blackwell Munksgaard, 2003.

Abstrak

Pemahaman yang cukup tentang hubungan antara jaringan periodontal dan restorasi gigi

sangat penting untuk memastikan restorasi yang baik dari bentuk, fungsi, estetik, dan

kenyamanan gigi-geligi itu sendiri. Sementara kebanyakan dokter menyadari hubungan penting

ini, ketidakpastian tentang konsep lebar biologis dan indikasi serta aplikasi untuk bedah crown

lengthening. Jurnal ini membahas konsep lebar biologis dan hubungannya dengan kesehatan

periodontal dan restorasi gigi. Pentingnya lokasi tepi restorasi, bahan, dan kontur yang

berhubungan dengan kesehatan periodontal juga dibahas. Alasan dan indikasi untuk crown

lengthening diuraikan. Prinsip bedah crown lengthening dibahas secara rinci.

Kata Kunci: Restorasi; tepi mahkota; lebar biologis; kesehatan gingiva dan periodontal

Jaringan periodontal membentuk dasar untuk estetik, fungsi dan kenyaman gigi geligi

yang baik. Semua perawatan protesa dan restorasi secara umum membutuhkan jaringan

periodontal yang sehat sebagai prasayarat untuk hasil yang memuaskan. Hubungan antara

spesialis periodontik dan spesialis kedokteran gigi restorasi ada dalam banyak aspek, termasuk

lokasi dari tepi restorasi, kontur mahkota, dan respon gingiva terhadap preparasi restorasi.

Tujuan dari jurnal ini adalah untuk meringkas literatur terdahulu maupun terkini tentang konsep

dasar dari hubungan jaringan periodontal dan restorasi, khususnya yang berkaitan tentang tepi

gingiva, termasuk perlekatan dentogingiva dan dampak dari restorasi yang mengganggu jaringan.

Lebar Biologis

Istilah dari lebar biologis umum diketahui bagi sebagian besar klinisi, namun tetap saja

terdapat kebingungan dalam pengertian dan hubungannya dengan prosedur klinis. Lebar biologis

didefinisikan sebagai dimensi dari jaringan lunak, yang melekat pada bagian mahkota gigi

hinggan puncak tulang alveolar. Istilah ini berasal dari Gargiulo, dkk (1961), yang

menggambarkan tentang dimensi dan hubungannya dengan dentogingiva junction pada manusia.

1

Page 2: jurnal tugas ujian

2

Penelitian dibuat dari komponen dentogingiva di 287 gigi dari 30 spesimen autopsi yang

menetapkan bahwa terdapat hubungan yang pasti antara puncak tulang alveolar, perlekatan

connective tissue, perlekatan epitelial, dan kedalaman sulkus. Gargiulo, dkk (1961) melaporkan

ukuran dimensi rata-rata: kedalaman sulkus 0.69mm, perlekatan epitelial 0.97mm, dan

perlekatan connective tissue 1.07mm. Berdasarkan hasil ini, lebar biologis biasanya berjarak

2.04mm, yang merupakan jumlah dari jarak epitelial dan connective tissue. Terdapat banyak

variasi dari dimensi yang diamati, khususnya perlekatan epitelial, yang berkisar antara 1.0

hingga 9.0mm. Di sisi lain perlekatan connective tissue relatif konstan. Baru-baru ini terdapat

penelitian tentang dimensi lebar biologis (Vack, dkk 1994). Terdapat 174 permukaan gigi mayat,

diamati rata-rata ukurannya adalah 1.04mm dari kedalaman sulkus, 1.14mm untuk perlekatan

epitel, dan 0.77mm untuk perlekatan connective tissue. Kelompok ini juga menyimpulkan bahwa

perlekatan connective tissue merupakan ukuran yang paling konstan (Gambar 1).

Gambar 1. Lebar Biologis

Terdapat persetujuan umum bahwa penempatan tepi restorasi pada lebar biologis

biasanya mengakibatkan inflamasi gingiva, kehilangan perlekatan klinis, dan kehilangan tulang.

Page 3: jurnal tugas ujian

3

Hal ini dikarenakan respon inflamasi yang destruktif pada plak mikroba yang ada pada

penempatan tepi restorasi yang terlalu dalam. Secara klinis perubahan ini dimanifestasikan

sebagai dalamnya poket periodontal atau resesi gingiva. Perubahan ini telah dibuktikan oleh

penelitian faktor histologis dan klinis dari respon jaringan periodontal terhadap tepi restorasi

yang ditempatkan pada lebar biologis. Newcomb (1974) meneliti 66 mahkota artifisial gigi

anterior dengan kedalaman tepi subgingiva dan dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu

gigi kontra-lateral yang tidak memakai mahkota artifisial. Hasilnya menunjukkan bahwa makin

dekat tepi mahkota subgingiva pada perlekatan epitelial (maka lebih dekat pada lebar biologis),

semakin besar kemungkinan bahwa inflamasi gingiva yang parah terjadi. Parma-Benfenati, dkk

(1986) mengamati kira-kira terjadi resorpsi tulang 5mm ketika tepi restorasi ditempatkan pada

puncak tulang alveolar gigi anjing. Resorpsi minimal diamati ketika ditempatkan 4mm dari

koronal ke puncak tulang alveolar. Resorpsi tulang yang parah terjadi pada tulang kortikal yang

tipis dan interdenta septa. Tal, dkk (1989) lebih lanjut menggambarkan bahwa kekerasan pada

lebar biologis menyebabkan kehilangan jaringan pendukung periodontal. Kavitas Kelas V

dipreparasi pada gigi kaninus 43 gigi anjing sehingga batas apikal berada pada puncak tulang

alveolar. Kelompok kontrol gigi mempunyai titik kavitas Kelas V pada CEJ. Semua kavitas

direstorasi dengan amalgam, dan 1 tahun setelah itu, resesi gingiva dan kehilangan tulang secara

signifikan lebih besar pada kelompok uji dibandingkan kelompok kontrol (3.16mm dan 1.17mm

dibandingkan dengan 0.5mm dan 0.15mm). Gunay, dkk (2000) memperlihatkan bahwa

penempatan tepi restorasi pada lebar biologis merugikan kesehatan jaringan periodontal. Pada

studi selama 2 tahun, mereka mengamati 116 gigi yang dipreparasi dibandingkan dengan 82 gigi

yang tidak direstorasi pada 41 pasien. Indeks perdarahan papilla dan kedalaman probe meningkat

pada tepi restorasi yang ditempatkan kurang dari 1mm dari puncak tulang alveolar.

Lebar biologis menjadi perhatian yang sangat penting ketika mempertimbangkan

restorasi gigi yang mengalami fraktur atau telah habis oleh karies yang dekat dengan puncak

tulang alveolar. Estetika juga kadang sering menuntut penempatan tepi restorasi di subgingiva,

yang akan mengawali kekerasan pada ruangan ini. Beberapa peneliti telah merekomendasikan

jarak minimal restorasi ke puncak tulang alveolar untuk menghindari efek yang merusak ini.

Ingber, dkk (1977) menyarankan bahwa 3mm merupakan jarak minimal dari repi restorasi ke

puncak tulang alveolar untuk memungkinkan penyembuhan yang memadai dan untuk

penempatan tepi restorasi gigi. Maynard dan Wilson (1979) membagi jaringan periodontal

Page 4: jurnal tugas ujian

4

kedalam tiga dimensi: dimensi fisiologis superfisial, fisiologis crevicular, fisilogis subcrevicular.

Dimensi fisiologis superfisial yaitu free gingiva dan attached gingiva, dimensi fisiologis

crevicular yaitu sulkus gingiva meluas dari tepi free gingiva ke junctional epithelium. Ruangan

fisiologis subcrevicular dianalogikan sebagai lebar biologis yang digambarkan oleh Gargiulo,

dkk (1961), terdiri dari junctional epithelium dan perlekatan connective tissue. Maynard dan

Wilson menganggap bahwa semua dimensi ini mempengaruhi pemilihan perawatan restorasi dan

klinisi harus mengkonsep semua area ini dan interaksi antara area ini dengan tepi restorasi.

Secara khusus, penulis menganggap bahwa penempatan tepi pada ruangan fisiologis

subcrevicula harus dihindari untuk mencegah penempatan dari kalkulus yang tetap diluar sulkus.

Nevins dan Skurow (1984) berpendapat ketika penempatan di tepi subgingiva menjadi indikasi,

spesialis restorasi tidak boleh mengganggu junctional epithelium dan connective tissue selama

preparasi dan pencetakan. Penulis menganjurkan pelebaran tepi subgingiva hingga 0.5-1.0mm

karena tidak mungkin untuk klinisi mengetahui letak ujung sulkus epithelium dan awal

junctional epithelium. Penulis mengizinkan jarak minimal 3.0mm dari puncak tulang alveolar ke

tepi mahkota artifisial. Block (1987) berpendapat lebar biologis sulit untuk klinisi lihat dan

menyarankan tepi free gingiva sebagai titik acuan untuk pengukuran penempatan tepi. Block

menyatakan ketika tepi restorasi diujung atau dekat pada puncak tulang alveolar, bedah crown

lengthening diperlukan. Penting untuk diingat bahwa rekomendasi penempatan restorasi yang

berhubungan dengan lebar biologis berdasarkan pada artikel-artikel yang sudah ada. Jaraknya

bisa saja berubah karena pengalaman dan interpretasi klinis dari berbagai studi eksperimental.

Meskipun demikian, tampak bahwa jarak minimal 3.0mm antara tepi restorasi dan tulang

alveolar merupakan dimensi yang baik untuk perencanaan perawatan restorasi.

Lokasi Tepi Restorasi

Tidak hanya tepi restorasi yang ditempatkan di subgingiva yang membahayakan

perlekatan, namun juga efek jaringan yang tidak diinginkan muncul karena lokasinya di

subgingiva, terlepas dari penetrasi kedalaman sulkus. Orkin, dkk (1987) menggambarkan bahwa

restorasi subgingiva mempunyai kesempatan perdarahan dan resisi gingiva yang lebih besar

daripada restorasi supragingiva. Silness (1980) mengamati kondisi jaringan periodontal pada

permukaan lingual dari 385 gigi penyangga pada protesa cekat. Dia menemukan bahwa posisi

supragingiva pada tepi mahkota artifisial sangat menguntungkan, dimana tepi dibawah margin

Page 5: jurnal tugas ujian

5

gingiva secara signifikan mengganggu kesehatan gingiva. Renggli dan Regolati (1972)

menggambarkan gingivitis dan akumulasi plak terjadi di area interdental tambalan amalgam

subgingiva dengan adaptasi yang baik dibandingkan dengan struktur jaringan pendukung gigi.

Waerhaug (1978) mengatakan bahwa restorasi subgingiva merupakan area retensi plak yang

tidak dapat dijangkau dengan alat scaling. Area retensi ini terus akan menjadi akumulasi plak

walaupun dalam kontrol plak supragingiva yang baik.

Pada studi cross-sectional dari 134 pasien periodontitis, Wang, dkk (1993) menunjukkan

bahwa gigi posterior dengan mahkota artifisial atau restorasi proksimal berhubungan dengan

lebih banyak keterlibatan furkasi dan lebih besar kehilangan perlekatan dibandingkan dengan

restorasi proksimal. Settler dan Bissada (1987) menilai efek dari lebar gingiva yang berkeratin

dan restorasi subgingiva pada kesehatan jaringan periodontal. Gigi dengan restorasi subgingiva

dan sempitnya daerah gingiva berkeratin menunjukkan indeksi gingiva yang lebih tinggi

daripada gigi dengan restorasi submarginal dengan daerah yang lebar dari gingiva berkeratin.

Dengan demikian, klinisi harus mempertimbangkan penambahan gingiva untuk gigi dengan

gingiva berkeratin yang minim sebelum menempatkan restorasi subgingiva.

Waerhaug (1980) menggambarkan gingivitis dan kehilangan perlekatan berhubungan

dengan restorasi submarginal pada monyet dan anjing. Penelitian klinis dan histologist pada gigi

manusia oleh Dragoo dan Williams (1981, 1982) menunjukkan proses penyembuhan yang

berhubungan dengan mahkota artifisial dengan tepi bevel gingiva dibandingkan dengan preparasi

shoulder. Flores-de-Ja-coby, dkk (1989) mempelajari efek dari lokasi tepi mahkota artifisial pada

kesehatan jaringan periodontal dan tipe bakteri pada manusi selama 6-8 minggu dan 1 tahun

setelah insersi. Tepi subgingiva memperlihatkan peningkatan plak, nilai indeks gingiva, dan

kedalaman probe. Selanjutnya terdapat banyak spirochetes, fusiform, rods dan bakteri

filamentous yang ditemukan yang berhubungan dengan tepi subgingiva.

Lokasi tepi restorasi ditentukan oleh banyak faktor, termasuk estetik, faktor retensi,

kerentanan terhadap karies akar, dan derajat dari resesi gusi. Ketika banyak klinisi menempatkan

tepi restorasi di subgingiva, efek merusak dari tepi restorasi dibawah tepi free gingiva dipaparkan

dengan jelas. Kebanyakan periodontist menempatkan tepi restorasi di koronal daripada di sulkus,

namum terdapat beberapa kondisi yang membutuhkan penempatan di tepi subgingiva. Hal ini

termasuk pertimbangan estetik, kebutuhan untuk peningkatan bentuk retensi, penyempurnaan

dari bentuk tepi yang sudah ada, karies akar, abrasi servikal, dan sensitivitas akar.

Page 6: jurnal tugas ujian

6

Bagaimanapun, jika tidak ada dari faktor ini diperlukan, maka penempatan tepi restorasi di

supragingiva harus dilakukan. Penting juga untuk klinisi dan pasien memahami bahwa walaupun

tepi mahkota artifisial ditempatkan subgingiva, lama kelamaan akan berada pada supragingiva.

Valderhaug dan Birkeland (1976) menilai 114 pasien dengan total 329 restorasi mahkota.

Kebanyakan mahkota (59%) ditempatkan di subgingiva pada awal periode studi. Setelah 5 tahun,

hanya 32% tepi mahkota berada dibawah tepi gingigiva. Semakin besar rata-rata kehilangan

perlekatan berhubungan dengan restorasi subgingiva yang dibandingkan dengan tepi

supragingiva (1.2mm dengan 0.6mm).

Restorasi Overhang

Restorasi yang overhang telah diamati sejak lama sebagai faktor yang menyebabkan

gingivitis dan memungkinkan terjadinya kehilangan perlekatan periodontal. Kasus ini

menimbulkan keprihatinan karena prevalensinya diperkirakan terjadi pada 25-76% untuk semua

permukaan restorasi (Brunsvold dan Lane 1990). Dapat diterima secara umum bahwa restorasi

yang overhang akan memulai terjadinya inflamasi gingiva karena kemampuan retensi untuk

plak bakteri. Gilmore dan Sheiham (1971) menggambarkan radiografi interproksimal dari

kehilangan tulang pada gigi yang bersebelahan dan gigi sebelah posteriornya dengan restorasi

yang overhang. Highfield dan Powell (1978) menunjukkan penghilang restorasi yang overhang

dan kontrol plak yang sangat baik meningkatkan nilai indeks gingiva dan tulang. Jeffcoat dan

Howell (1980) menggambarkan kaitan dari parahnya restorasi yang overhang dengan jumlah

dari kerusakan jaringan periodontal. Berdasarkan penilaian radiografi 100 gigi dengan restorasi

yang overhang dan 100 gigi tanpa restorasi yang overhang, dilaporkan kehilangan tulang yang

begitu besar disekitar gigi dengan restorasi yang overhang. Keparahan kehilangan tulang secara

langsung berhubungan dengan keparahan dari restorasi yang overhang . Restorasi yang overhang

dikatakan besar jika terjadi pada lebih dari 51% permukaan interproksimal. Pada restorasi yang

overhang kecil atau menengah (kurang dari 20% dan 20-50% pada permukaan interproksimal)

tidak menyebabkan kehilangan tulang. Lang, dkk (1983) meneliti aspek khusus dari akumulasi

bakteri secara local yang berhubungan dengan restorasi yang overhang. Lima buah onlay MOD

dengan overhang 1mm ditempatkan di molar rahang bawah oleh mahasiswa kedokteran gigi

selama 9-27 minggu. Mereka lalu mengganti pola onlay dengan tepi klinis yang sempurna.

Penggantian dari overhang dibagian subgingiva mengakibatkan perubahan yang berhubungan

Page 7: jurnal tugas ujian

7

dengan mikroflora yang serupa dengan flora yang diteliti pada pasien periodontitis kronik.

Peningkatan jumlah bakteri batang gram negatif anaerobik, khususnya Bacteriodes hitam. Chen,

dkk (1987) menilai gigi manusia yang telah diesktraksi dengan restorasi yang overhang

dibandingkan dengan gigi tanpa restorasi dan melaporkan kehilangan perlekatan yang besar yang

berhubungan dengan permukaan yang overhang. Pack, dkk (1990) menilai prevalensi dari

restorasi overhang dan berhubungan dengan penyakit periodontal dari 100 pasien yang telah

mempunyai perawatan komplit. Enam puluh dua persen dari semua restorasi proksimal

mempunyai tepi overhanging, dan penyakit periodontal lebih parah terjadi ketika adanya

overhang. Tepi restorasi overhang yang bersentuhan dengan gigi tetangga akan mempengaruhi

secara signifikan status jaringan periodontal gigi tetangga tersebut.

Dengan demikian, overhang tidak hanya meningkatkan plak tetapi juga meningkatkan

patogen periodontal yang spesifik pada plak. Kebanyakan restorasi yang overhang dapat

dibentuk kembali tanpa mengganti restorasi, dan hal ini harus dipertimbangkan sebagai

komponen umum dari perawatan non-bedah. Beberapa alat telah diusulkan sebagai penghilang

overhang, kebanyakan berdasarkan pada pendapat klinis. Salah satu penelitian menjelaskan

bahwa ujung bur diamond lebih cepat untuk menghilangkan overhang dan menghasilkan

restorasi yang lebih lembut dibandingkan scaler dan kuret ultrasonic.

Kontur Mahkota Artifisial

Mengenai kontur mahkota, terdapat laporan yang saling bertentangan mengenai kontur

yang tepat untuk mempertahankan kesehatan gingiva. Beberapa melaporkan bahwa mahkota

artisial harus mengikuti kontur anatomi gigi asli untuk stimulasi fungsi dan menjaga kesehatan

gingiva. Penelitian lain menyarankan agar mahkota harus undercontoured untuk kesehatan

periodontal yang lebih baik. Yuodelis, dkk (1973) menggambarkan semakin besar tonjolan di

fasial dan lingual pada mahkota artisial, semakin banyak retensi plak di tepi servikalnya. Ehrlich

dan Hochman (1980) menilai perbedaan dalam kontur mahkota subgingiva pada empat pasien

dengan periodontal yang sehat dan menetapkan faktor lain dari variasi kontur mahkota ±1mm.

Dalam tinjauan tentang hubungan periodontal-prostetik, Becker dan Kaldahl (1981) berpendapat

bahwa kontur mahkota bukal dan lingual harus datar bukan menonjol, biasanya lebar harus

kurang dari 0.5mm daripada CEJ, dan area furkasi harus fluted atau barreled out untuk

mengakomodasi kebersihan mulut di area ini.

Page 8: jurnal tugas ujian

8

Hubungan Kontak Proksimal

Gambaran klinis menunjukkan kontak proksimal longgar atau terbuka menjadi faktor

yang membantu pembentukan poket periodontal. Meskipun demikian, literatur mengemukakan

pandangan yang bertentangan tentang hal tersebut. Hal ini mungkin karena tingkat kebersihan

mulut yang berbeda dari populasi penelitian yang berbeda. Kepic & O'Leary (1978), misalnya,

menunjukkan tidak ada perbedaan dalam kerusakan periodontal di lokasi dengan kontak

proksimal yang kurang dibandingkan dengan lokasi yang lebih baik, asalkan kebersihan mulut

yang memadai dipertahankan. Larato (1971) mengevaluasi 121 tulang kering manusia dewasa

dan menemukan bahwa hanya 38 dari 206 lesi infraboni (18%) dikaitkan dengan faktor-faktor

yang dapat menyebabkan impaksi makanan. Sementara peran integritas interproksimal yang

kurang mungkin tidak jelas, kontak terbuka yang mengarah kepada impaksi makanan seringkali

menyebabkan ketidaknyaman bagi pasien, dan hal tersebut masih berlaku umum bahwa kontak

interproksimal yang rapat adalah hal yang penting bagi kesehatan gingiva. Hancock et al. (1980)

mengevaluasi 40 calon anggota angkatan laut untuk menentukan hubungan kontak interdental

pada status periodontal. Hasil menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara tipe

kontak dan indeks gingiva atau kedalaman probing. Namun, hubungan yang signifikan terlihat

antara impaksi makanan dan tipe kontak (impaksi makanan yang lebih besar terjadi di lokasi

dengan kontak terbuka atau longgar), dan antara impaksi makanan dan kedalaman probing.

Temuan ini membantu mendukung pendapat bahwa impaksi makanan memberikan kontribusi

pada penyakit periodontal.

Bedah Pemanjangan Mahkota / Crown Lengthening

Bedah pemanjangan mahkota dilakukan untuk menambah panjang mahkota klinis untuk

berbagai alasan. Mahkota klinis adalah bagian gigi yang memanjang ke arah oklusal atau insisal

dari perlekatan jaringan lunak, biasanya pada gingiva (American Academy of Periodontology

1992). Gigi dengan karies subgingival atau memendek karena karies yang luas, patah tulang,

mahkota klinis pendek dengan atau tanpa kekurangan estetik, dan gigi pendek karena mahkota

anatomi tidak lengkap merupakan kandidat untuk bedah pemanjangan mahkota. Seringkali,

kegagalan untuk melakukan operasi sebelum penempatan margin dalam situasi ini menyebabkan

penempatan margin terlalu dekat dengan puncak tulang alveolar, sehingga masuk ke ruang

biologis. Oleh karena itu, pada tahap awal perencanaan perawatan restoratif, jika klinisi percaya

Page 9: jurnal tugas ujian

9

bahwa margin dari restorasi akhir akan berada pada ≤ 3mm dari puncak tulang alveolar, maka

dianjurkan untuk melakukan pemanjangan mahkota. Hal ini tidak hanya dapat dilakukan dengan

pembedahan tetapi juga dengan percepatan erupsi ortodontik, atau kombinasi keduanya. Banyak

faktor yang dapat menentukan apakah pemanjangan mahkota memanjang diperlukan dan

seringnya, lebih penting, jika gigi tertentu (atau gigi geligi) memang calon dilakukan bedah

pemanjangan mahkota. Sebelum berproses ke arah pembedahan, pertama dokter harus selalu

mempertimbangkan apakah ekstrusi ortodontik tepat untuk dilakukan. Kegagalan untuk

mempertimbangkan ekstrusi ortodontik dapat menyebabkan hasil estetik yang buruk (yaitu resesi

gingiva, terutama pada gigi anterior), mahkota yang ridak baik: rasio akar, dan hilangnya

dukungan tulang pada gigi yang berdekatan (Ingber et al 1977).

Karies atau kurangnya struktur gigi seringkali memerlukan penghilangan tulang ke titik

di mana dukungan periodontal gigi terganggu, furkasi yang terbuka, atau mahkota yang tidak

memadai: hasil rasio akar. Jika situasi ini diantisipasi, rencana perawatan harus dievaluasi dan

mempertimbangkan nilai strategis gigi. Masalah estetika juga harus dievaluasi sebelum

pembedahan, terutama jika pemanjangan mahkota diperlukan untuk gigi anterior.

Sementara banyak situasi yang memerlukannya, bedah pemanjangan mahkota sering

kurang dimanfaatkan. Karena itu, terlalu banyak yang mengandalkan pada penempatan restorasi

pasak dan inti serta penempatan margin subgingiva yang dalam untuk mendapatkan retensi

memadai untuk tujuan restoratif (Allen 1993). Hal ini sering menyebabkan fraktur akar pada

kasus restorasi pasak dan inti, dan merusak perluasan biologis dalam hal margin subgingiva yang

dalam. Faktor-faktor ini berkontribusi pada biaya yang lebih besar dan rasa frustrasi bagi pasien,

dan oleh karena itu tindak lanjut terapi restoratif dan periodontal menjadi lebih rumit.

Metode pembedahan untuk pemanjangan mahkota meliputi (a) gingivektomi, (b) bedah

Apically Positioned Flap (APF), dan (c) APF dengan pengurangan osseus. Gingivektomi dan

APF tanpa penurunan osseus terbatas karena pengangkatan tulang sering diperlukan untuk

memberikan jarak yang cukup dari puncak osseus ke margin restorasi yang diharapkan,

memungkinkan untuk lebar biologis. Oleh karena itu, APF dengan operasi osseus adalah teknik

yang paling umum untuk bedah pemanjangan mahkota. APF dengan operasi osseus terdiri dari

insisi reverse bevel dan subsequent mucoperiosteal flap reflection. Insisi vertikal sering dibuat

untuk memungkinkan akses yang lebih baik dan memposisikan flap apikal. Insisi awal mungkin

intrasulkular jika lebar gingiva sempit, atau berkerut ketika gingiva lebar. Umumnya, gigi yang

Page 10: jurnal tugas ujian

10

berdekatan pada setiap sisi gigi yang akan diperpanjang termasuk ke dalam prosedur

pembedahan untuk memungkinkan kontur yang tepat dari gingiva dan tulang yang

mendasarinya. Menkontur tulang awalnya diselesaikan dengan menggunakan rotary handpieces

dan kemudian dilengkapi dengan chisel dan kuret untuk mencapai pengurangan yang diinginkan

sambil mempertahankan kerutan dan kontur tulang parabolik untuk mengikuti kontur yang

diinginkan dari gingiva yang berada di atasnya. Selain itu, bur untuk pemotongan yang tersedia

saat ini dirancang untuk menghilangkan tulang dengan resiko merusak akar yang minimal.

Sebagian besar penulis setuju bahwa jarak minimum 3 mm diperlukan dari puncak osseus

sampai ke margin restoratif akhir mengikuti prosedur pemanjangan mahkota untuk

memungkinkan margin agar berakhir di supragingiva (Brägger et al. 1992). Dengan demikian, 3

mm memungkinkan untuk 1 mm dari perlekatan jaringan ikat supracrestal, 1 mm dari epitel

junctional, dan 1 mm untuk kedalaman sulkus. Perlu dicatat lagi, bagaimanapun, 3 mm tersebut

mengasumsikan lebar biologis sekitar 2,04 mm, berdasarkan temuan dari Gargiulo. Penting

untuk diingat bahwa ada variasi individu yang signifikan dalam penelitian Gargiulo, terutama di

perlekatan epitel. Oleh karena itu, mungkin lebih masuk akal untuk mempertimbangkan lebih

dari 3 mm antara margin restoratif dan tulang crestal untuk memungkinkan variasi individu.

Wagenberg et al. (1989), pada kenyataannya, menyarankan jarak 5 mm dari tulang ke margin

restoratif. Mereka menjelaskan bahwa panjang mahkota klinis, lokasi furkasi, dan pertimbangan

estetika membatasi pembedahan. Mereka juga menganjurkan menunggu selama 8-12 minggu

sebelum perawatan prostetik akhir. Kelompok ini mencatat bahwa pengangkatan tulang secara

inheren tidaklah wajar untuk seorang periodontist sehingga dokter memiliki kecenderungan

untuk menambil tulang terlalu sedikit selama prosedur pemanjangan mahkota. Peneliti lain juga

menganjurkan memungkinkan 5 mm dari tulang ke restorasi untuk memastikan pengurangan

osseus memadai. Hal tersebut dirasakan bahwa 5 mm akan memungkinkan untuk variasi

individu dalam hal dimensi lebar biologis dan akan mencegah dokter untuk mengambil tulang

terlalu sedikit. Fenomena underreduction baru-baru ini ditunjukkan oleh Herrero et al. (1995).

Mereka mengevaluasi jumlah bedah pemanjangan mahkota yang sebenarnya dicapai selama

pembedahan dalam kaitannya dengan tujuan 3 mm yang diinginkan. Klinisi dari tingkat

pengalaman yang berbeda melakukan prosedur pemanjangan, dan pemeriksa secara terpisah

menyelesaikan pengukuran sebelum, selama, dan 8 minggu setelah pembedahan. Hasil

menunjukkan penurunan rata-rata 2,4 mm, 0,6 mm kurang dari yang dibutuhkan untuk mencapai

Page 11: jurnal tugas ujian

11

tujuan 3 mm. Klinisi yang berpengalaman juga mencapai pengurangan osseus lebih besar. Para

penulis menyimpulkan bahwa dokter mungkin perlu untuk lebih agresif dan melakukan

pengukuran selama pembedahan untuk mencapai tujuan pengurangan osseus yang diinginkan.

Pontoriero & Carnevale (2001) menunjukkan efek yang tidak diinginkan dari pengurangan

osseus minimal selama bedah. Delapan puluh empat gigi menjalani prosedur pemanjangan

mahkota dan diikuti selama 1 tahun pasca pembedahan. Meskipun awalnya rata-rata 3,9 mm

struktur gigi baru terkena, 1 tahun kemudian terjadi perpindahan koronal gingival rata-rata 3,05

mm, sehingga mengakibatkan rata-rata keseluruhan panjang mahkota mencapai 0,85 mm. Dalam

semua prosedur bedah tersebut, ketika margin gingiva direposisikan secara apikal setelah

pembedahan, pengurangan osseus minimal telah selesai (sekitar 1 mm). Studi ini menunjukkan

pentingnya pengurangan puncak tulang alveolar yang memadai agar memungkinkannya lokasi

margin gingiva akhir yang diinginkan.

Masalah yang umum selama bedah pemanjangan mahkota adalah bahwa dokter bedah

tidak dapat menentukan dengan tepat di mana dokter gigi restoratif akan menempatkan margin

akhir restoratif. Oleh karena itu, sangat penting bahwa ahli bedah dan dokter gigi restoratif

berkomunikasi sebelum perawatan. Ketika terdapat ketidakpastian, hasil yang sukses biasanya

dapat dicapai jika ahli bedah mengikuti prinsip-prinsip dasar tertentu. Ketika amalgam atau

restorasi komposit direncanakan untuk gigi tertentu, klinisi harus menyediakan sekitar 4 mm

jarak antara batas apikal dari margin restoratif yang direncanakan dan puncak tulang alveolar.

Jarak ini akan menjelaskan variasi lebar biologik individu dan kemungkinan besar “memastikan”

bahwa akan ada ruang yang cukup di antara puncak tulang dan margin akhir restoratif. Untuk

gigi yang direncanakan untuk restorasi pasak dan inti, ahli bedah harus menyediakan setidaknya

5-6 mm gigi yang terbuka di atas puncak osseus. Hal tersebut juga memperhitungkan 4 mm dari

puncak alveolar ke margin restorative, sementara itu juga memperhitungkan panjang ferrule 1,5

mm. Efek ferrule mengacu pada gagasan bahwa kerah logam 360o pada mahkota yang

mengelilingi dinding paralel dentin harus meluas setidaknya 1,5 mm apikal ke preparasi shoulder

(Libman & Nicholls 1995).

Untuk gigi yang direncanakan untuk merestorasi mahkota, umumnya kasus ini terjadi

dengan gigi atau bagian gigi fraktur atau rusak di margin gingiva. Klinisi harus memberikan

paparan koronal gigi yang cukup untuk memungkinkan retensi mahkota yang memadai bersama

dengan perencanaan untuk jarak 4 mm dari margin restoratif ke puncak tulang alveolar. Klinisi

Page 12: jurnal tugas ujian

12

juga harus mengingat bahwa resorpsi tulang biasanya mengikuti pembedahan osseus resective.

Telah diperkirakan bahwa sebanyak 0,6-0,8 mm resorpsi tulang tambahan terjadi sampai 1 tahun

setelah pembedahan osseus (Wilderman et al. 1970, Selipsky 1976).

Brägger et al. (1992) menyelesaikan salah satu studi terkontrol mengevaluasi beberapa

perubahan periodontal dalam fase penyembuhan setelah bedah pemanjangan mahkota. Dua

puluh lima pasien yang menerima pembedahan dipantau selama 6 bulan. Parameter klinis dari 43

gigi uji dan 42 gigi kontrol dievaluasi menggunakan splint akrilik sebagai referensi. Hasil

menunjukkan pengurangan puncak tulang alveolar dari 1-2 mm setelah pembedahan pada 53%

kasus. Sebanyak 3-4mm pengambilan tulang dilakukan pada 4% kasus. Resesi jaringan rata-rata

setelah operasi adalah 1,32 mm, sedangkan 29% dari situs menunjukkan 1-4 mm resesi gingiva

antara 6 minggu dan 6 bulan pasca pembedahan. Tingkat perlekatan atau kedalaman probing

tidak berubah setelah 6 minggu penyembuhan (Brägger et al. 1992). Penelitian ini memberikan

dukungan untuk konsep mempertahankan dari perawatan restoratif selama minimal 6 minggu

setelah operasi pemanjangan mahkota. Selanjutnya, karena kemungkinan terjadinya resesi,

menunda penempatan margin selama 6 bulan setelah pembedahan di daerah yang berkaitan

dengan estetika dapat diindikasikan.

Beberapa peneliti telah mempertanyakan apakah dimensi lebar biologis kembali

mengikuti prosedur pemanjangan mahkota. Kelompok Caton mengamati bahwa setelah operasi

osseus dan Apically Positioned Flap (AFP), ada jarak yang berkurang antara margin gingiva dan

luas apikal pada epitel junctional (Caton & Nyman 1981). Karena itu juga secara luas diketahui

bahwa pembedahan osseus terjadi pada resorpsi tulang crestal (Wilderman et al. 1970), muncul

pertanyaan sebagai sifat yang tepat dari unit dento-gingiva setelah pembedahan osseus resective.

Oakley et al. (1999) meneliti pembentukan unit dento-gingiva setelah bedah pemanjangan

mahkota pada primata bukan manusia. Pemanjangan mahkota dilakukan pada gigi insisivus dari

tiga monyet dewasa. Analisis Histometric mengungkapkan bahwa lebar biologis kembali

terbentuk setelah prosedur tersebut. Epitel junctional dibentuk di tingkat apikal pada root

planing. Ruang untuk perlekatan jaringan ikat supracrestal yang dibuat oleh resorpsi crestal

tulang alveolar. Ini bertentangan dengan pandangan dari beberapa penulis yang berpendapat

bahwa jaringan ikat supracrestal akan terbentuk kembali secara koronal sejauh apikal root

planing, sehingga dibutuhkan suatu eksposur yang lebih besar dari struktur gigi selama

pembedahan.

Page 13: jurnal tugas ujian

13

Kesimpulan

Kesehatan jaringan periodontal tergantung pada bahan restorasi yang dirancang dengan

baik. Restorasi overhang dan kontak interproksimal terbuka harus ditangani dan diperbaiki

selama tahap terapi pengendalian penyakit periodontal. Mengenai margin restoratif, tidak

diragukan lagi adalah lebih baik jika margin dapat tetap pada koronal dari margin gingiva bebas.

Merupakan hal yang jelas bahwa penempatan margin subgingiva sering tidak dapat dihindari.

Namun, perawatan harus dilakukan dengan melibatkan sulkus sedikit mungkin. Bukti

menunjukkan bahwa bahkan perambahan minimal pada jaringan subgingiva dapat menyebabkan

efek merusak pada periodonsium. Selanjutnya, resiko penempatan margin dalam mengganggu

perlekatan jaringan lunak dari gingiva pada gigi, yang sering menimbulkan respon inflamasi

yang disebabkan oleh plak. Jika margin restoratif perlu ditempatkan dekat puncak alveolar,

bedah pemanjangan mahkota atau ekstrusi ortodontik harus dipertimbangkan untuk menyediakan

struktur gigi yang memadai sekaligus menjamin integritas lebar biologis. Meskipun variasi

individu terdapat pada perlekatan jaringan lunak di sekitar gigi, ada kesepakatan umum bahwa

harus ada jarak minimal 3 mm dari margin restoratif ke tulang alveolar, memungkinkan ruang

lebar biologis 2 mm dan 1 mm untuk kedalaman sulkus.