penggunaan drone sebagai senjata - perlunya pembentukan aturan mengenai drone

19
1 PENGGUNAAN DRONE SEBAGAI SENJATA: PERLUNYA PEMBENTUKAN ATURAN MENGENAI DRONE 1 Gerald Alditya Bunga, SH., LL.M 2 Abstract In inter-state relation, armed conflict is a matter that may happen and drone is one of equipment used in it. The use of drone is considered more effective because it can reduce the risk of human casualties and can achive the target specified. However, the use of drones as weapon in armed conflict becomes a dilemma because it contradicts with the rules of international humanitarian law and the absence of rules specifically governing the drone. This is a normative research aimed to discuss about why necessary to estabilish a special rule governing the drone. Keywords: Drone, International Humanitarian Law Intisari Dalam hubungan antar negara, konflik merupakan suatu hal yang mungkin terjadi dan seringkali penggunaan kekuatan bersenjata (use of force) merupakan cara yang digunakan untuk menyelesaikannya. Drone merupakan salah satu alat yang digunakan dalam konflik bersenjata. Penggunaan drone dianggap lebih efektif karena dapat mengurangi resiko jatuhnya korban manusia dan dapat mencapai target serangan yang dinginkan. Akan tetapi penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata menjadi sebuah dilema karena bertentangan dengan aturan hukum humaniter internasional dan ketiadaan aturan yang secara khusus mengatur mengenai drone. Penelitian ini dilakukan secara normatif yang bertujuan untuk membahas mengenai mengapa perlu adanya suatu aturan khusus tentang drone. Kata kunci: Drone, Hukum Humaniter Internasional 1 Disampaikan dalam Workshop dan Seminar Hukum Humaniter Internasional di Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata, Semarang, Tanggal 24-26 Juni 2014 2 Dosen Fakultas Hukum, Bagian Hukum Internasional, Universitas Nusa Cendana, Kupang

Upload: undana

Post on 17-Feb-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

PENGGUNAAN DRONE SEBAGAI SENJATA: PERLUNYA

PEMBENTUKAN ATURAN MENGENAI DRONE 1

Gerald Alditya Bunga, SH., LL.M2

Abstract

In inter-state relation, armed conflict is a matter that may happen and drone is one of

equipment used in it. The use of drone is considered more effective because it can

reduce the risk of human casualties and can achive the target specified. However, the

use of drones as weapon in armed conflict becomes a dilemma because it contradicts

with the rules of international humanitarian law and the absence of rules specifically

governing the drone. This is a normative research aimed to discuss about why

necessary to estabilish a special rule governing the drone.

Keywords: Drone, International Humanitarian Law

Intisari

Dalam hubungan antar negara, konflik merupakan suatu hal yang mungkin terjadi dan

seringkali penggunaan kekuatan bersenjata (use of force) merupakan cara yang

digunakan untuk menyelesaikannya. Drone merupakan salah satu alat yang

digunakan dalam konflik bersenjata. Penggunaan drone dianggap lebih efektif karena

dapat mengurangi resiko jatuhnya korban manusia dan dapat mencapai target

serangan yang dinginkan. Akan tetapi penggunaan drone sebagai senjata dalam

konflik bersenjata menjadi sebuah dilema karena bertentangan dengan aturan hukum

humaniter internasional dan ketiadaan aturan yang secara khusus mengatur mengenai

drone. Penelitian ini dilakukan secara normatif yang bertujuan untuk membahas

mengenai mengapa perlu adanya suatu aturan khusus tentang drone.

Kata kunci: Drone, Hukum Humaniter Internasional

1 Disampaikan dalam Workshop dan Seminar Hukum Humaniter Internasional di Fakultas Hukum dan

Komunikasi Unika Soegijapranata, Semarang, Tanggal 24-26 Juni 2014 2 Dosen Fakultas Hukum, Bagian Hukum Internasional, Universitas Nusa Cendana, Kupang

2

Latar Belakang Masalah

Peralatan bersenjata merupakan salah satu sarana penunjang dalam konflik

bersenjata untuk mendapatkan sasaran yang ingin dicapai. Dalam perkembangannya

peralatan bersenjata yang dipakai telah mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Pada masa sebelum orang mengenal senjata api, orang masih sangat bergantung pada

penggunaan senjata tajam seperti belati/pisau, pedang, tombak, panah, atau kapak.

Kemudian dengan ditemukannya senjata api dan teknologi persenjataan semakin

berkembang maka orang banyak beralih menggunakan senjata api seperti pistol atau

senapan. Hal ini lebih menguntungkan karena dapat melumpuhkan lawan lebih efektif

dan lebih banyak.

Perkembangan dewasa ini telah membawa kita melihat perkembangan

teknologi senjata pada tingkat yang sangat maju. Orang tidak perlu lagi berada dalam

arena konflik bersenjata untuk bertempur karena saat ini pertempuran dapat dilakukan

dengan menggunakan remote-controlled weapon systems dan robotic weapon

systems. Salah satu senjata yang termasuk dalam remote-controlled weapon systems

adalah drone atau yang juga dikenal dengan unmanned aerial vehicles, sedangkan

contoh senjata yang menggunakan robotic weapon systems adalah senjata penjaga

otomatis (automated sentry guns), sensor-fused munitions, dan beberapa kenderaan

anti ranjau darat (anti-vehicle landmines).3 Dalam penelitian ini hanya akan dibahas

mengenai penggunaan drone dalam konflik bersenjata.

Drone pertama kali digunakan oleh pihak militer pada era perang dunia

pertama sebagai sarana untuk latihan yang mana pada waktu itu digunakan dalam

latihan anti-pesawat terbang. Dalam perkembangannya drone kemudian mulai

digunakan dalam perang dunia kedua sebagai peluru kendali. Sedangkan dalam

3 Jakob Kellenberger, “International Humanitarian Law and New Weapon Technologies”,

http://www.icrc.org/eng/resources/documents/statement/new-weapon-technologies-statement-2011-09-08.htm, diakses

tanggal 15 Mei 2014.

3

perang Vietnam dan perang di Bosnia, drone digunakan dalam kegiatan intelejen

untuk mengumpulkan informasi dari pihak musuh. Pada tahun 1999 dalam konflik di

Kosovo muncul ide untuk mempersenjatai drone dengan senjata dan mengubah

fungsinya yang pada waktu itu hanya digunakan sebgaian besar untuk pengumpulan

informasi.4

Penggunaan drone dapat ditujukan untuk kegiatan yang tidak ditujukan untuk

digunakan sebagai senjata (non-elthal purpose) dan digunakan sebagai senjata (lethal

purpose). Contoh penggunaan dalam lingkup non-lethal purpose adalah pengawasan,

pengumpulan informasi, pengangkut bantuan kemanusiaan. Contohnya Amerika

menggunakan drone untuk mengawasi perbatasnnya dengan Meksiko.5 Ketika

dilengkapi dengan roket atau misil maka drone difungsikan sebagai senjata.

Pada tahun 2004 drone hanya dimiliki oleh 46 negara tapi pada tahun 2012

jumlah negara yang sudah memiliki teknologi drone berjumlah 76 negara.6 Sebagian

besar negara ini menggunakan drone untuk pengawasan, kegiatan intelejen, dan

dalam operasi kemanusiaan. Negara menggunakan drone sebagai senjata

(diperlengkapi dengan senjata) hanya 5 negara saja yakni Israel, Inggris, Amerika

Serikat, Cina, dan Iran.7 Akan tetapi dengan perkembangan tekonologi yang sangat

pesat saat ini, terbuka kemungkinan yang sangat besar bagi negara-negara lain untuk

menggunakan drone sebagai senjata. Dalam penelitian ini hanya akan difokuskan

mengenai penggunaan drone sebagai senjata.

Penggunaan drone sebagai senjata banyak dilakukan oleh Amerika di

beberapa negara seperti Yaman, Pakistan dan Somalia. Council on Foreign Relation

4 Benjamin Medea, 2012, Drone Warefare, Killing By Remote Control, Or Books, New York, hlm.13-

15. 5 Ibid. hlm.15.

6 US Government Accountability Office , july 2012, “Non-proliferation: Agencies Could Improve

Information Sharing and End-Use Monitoring on Unmanned Aerial Vehicle Exports”,

http://www.gao.gov/assets/600/593131.pdf, diunduh tanggal 8 Juni 2014, hlm.101. 7 Ulrike Esther Franke, “Drone Strikes, and US Policy: The Politics of Unmanned Aerial Vehicles”,

Parameters, Vol 44, No.1, Spring 2014.hlm.121.

4

(CFR) menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2012 hingga 2012 telah terjadi 411

serangan drone di Yaman, Pakistan dan Somalia. The New America Foundation

menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2007 hingga tahun 2010 terjadi

peningkatan penggunaan drone. Pada tahun 2007 terjadi 4 serangan, tahun 2008

terjadi 36 serangan, tahun 2009 terjadi 54 serangan, dan tahun 2010 terjadi 122

serangan.8 Hal ini menunjukan bahwa dalam konflik bersenjata saat ini drone menjadi

salah satu pilihan senjata yang dianggap dapat membawa hasil yang signifikan.

Namun dalam penggunaan drone sebagai senjata tidak didasari pada suatu aturan

khusus yang mengtur mengenai drone. Melihat akan hal ini maka penelitian ini

dilakukan untuk melihat bagaimana penggunaan drone selama ini dan bagaimana

aturan hukum yang berkaitan dengan penggunaan drone sebagai senjata, khususnya

dalam prespektif hukum humaniter internasional.

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian normativ yang mengkaji peraturan-peraturan

internasional yang berkaitan dengan penelitian ini yak ni mengenai penggunaan drone

sebagai senjata dan juga menggunakan bahan-bahan sekunder lainnya seperti tulisan

para ahli dan sarjana yang dimuat dalam buku, jurnal, dan laporan-laporan ilmiah

lainnya, atau laaporan dari suatu badan tertenteu yang berkaitan dengan penelitian ini.

Pembahasan

Pembatasan Penggunaan Senjata

Pada prinsipnya penggunaan senjata antar negara dilarang dalam hukum

internasional. Pasal 2 ayat (4) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

menyatakan bahwa:

“all members of the United Nations shall refrain in their international

relations from the threat or use of force against the territorial integrity or

8 Heather Hurlburt, “Battlefield Earth”, Democracy, No.31, Winter 2014, hlm.62.

5

political independence of any state, or in any other manner inconsistent with

the purpose of the United Nations.”

Dalam pasal ini digunakan terminologi all members yang berarti bahwa

aturan ini tidak hanya mengikat bagi negara-negara anggota saja. Berdasarkan

putusan International Court of Justice (ICJ) dalam kasus Nicaragua vs Amerika

Serikat bahwa Pasal 2 ayat (4) merupakan hukum internasional kebiasaan (customary

international law) yang diterapkan kepada semua negara bukan hanya kepada negara

anggota.9 Dari Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB dapat dilihat bahwa ada larangan secara

tegas untuk tidak mengunakan atau bahkan ancaman penggunaan kekerasan yang

mana melanggar intergritas teritorial atau kebebasan politik dari suatu negara, atau

cara-cara lain yang bertentangan dengan tujuan PBB. Dengan demikian dapat dilihat

bahwa PBB tidak menghendaki adanya penggunaan kekuatan bersenjata untuk

menekan negara lain, bahkan dalam bentuk yang lebih rendah dari itu yakni dalam

bentuk ancaman kekerasan.

Pelarangan penggunaan kekerasan (penggunaan kekuatan senjata)

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (4) dapat dimaknai bahwa baik

penggunaan kekerasan itu dalam skala besar seperti dalam perang atau tidak, tetap

bertentangan dengan ketentuan pasal ini. Namun dalam pasal ini tidak melarang

penggunaan tekanan politik atau ekonomi kepada negara lain.

Dalam Pasal 2 ayat (4) juga menekankan bahwa bentuk ancaman penggunaan

kekerasan (threat of use of force) merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal

ini. Contohnya pada Tahun 1994 artileri dan tank milik Irak ditempatkan di sekitar

perbatasan Irak dan Kuwait dengan posisi mengarah ke Kuwait dalam dalam

jangkuan tembak ke sana beserta amunisi yang berada dalam kondisi siap tembak.

Kondisi ini dinyatakan oleh Inggris sebagai ancaman terhdap Kuawait dan melanggar

ketentuan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB.10

9 D. J. Harris, 2004, Cases and Materials on International Law, Sixth Edition, London: Sweet &

Maxwell, hlm.889 10

D J. Harris, Ibid, hlm.891

6

Pelarangan penggunaan kekuatan bersenjata antar negara-negara anggota PBB

juga kembali ditegaskan dalam 1965 Declaration on The Inadmissibility of

Intervention in The Domestic Affairs of States and The Protection of Their

Independence and Sovereignty. Dalam deklarasi ini dinyatakan bahwa penggunaan

kekuatan bersenjata untuk tujuan intervensi ke negara lain dilarang untuk dilakukan.11

Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa dalam kerangka PBB penggunaan

kekuatan bersenjata terhadap suatu negara tidak dapat diterima dan dilarang

penggunaannya.

Jelas dipahami dari penjelasan di atas bahwa penerapan suatu kekerasan

bersenjata antar negara dilarang oleh Piagam PBB, namun demikian ada keadaan-

keadaan tertentu yang mana negara diperbolehkan untuk menggunakan kekuatan

bersenjata terhadap negara lain. Keadaan-keadaan yang dimaksud adalah tindakan

bela diri (self defence) dari suatu negara, penggunaan kekuatan bersenjata yang

dilakukan berdasarkan otorisasi dari Dewan Keamanan (DK) PBB, dan penggunaan

kekuatan bersenjata dalam wilayah suatu negara yang mana sudah terlebih dahulu

mendapat persetujuan dari negara yang bersangkutan.

Hak bela diri (self defense) diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB yang mana

memungkinkan untuk dilaksanakan secara sendiri (individual self defence) atau

berkelompok (collective sefl defence). Bela diri hanya dimungkinkan ketika suatu

negara mengalami serangan bersenjata sehingga harus mempertahankan diri dari

serangan tersebut. Dengan kata lain negara tersebut harus terlebih dahulu diserang.

Penggunaan kekuatan bersenjata untuk membela diri ini hanya dapat dilaksanakan

sampai DK PBB mengambil alih situasi untuk mengembalikan perdamaian dan

keamanan internasional di wilayah tersebut. Oleh karenanya pengunaan kekuatan

bersenjata yang dilakukan oleh suatu negara untuk bela diri harus dihentikan sesegera

mungkin ketika DK PBB telah bertindak di wilayah tersebut. Tindakan bela diri yang

11

Pasal 1 1965 Declaration on The Inadmissibility of Intervention in The Domestic Affairs of States

and The Protection of Their Independence and Sovereignty

7

dilaksanakan tersebut, baik secara individu maupun berkelompok, harus dilaporkan

kepada DK PBB sesegera mungkin begitu dilaksanakan.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Daniel Webster, pada tahun 1982

mengatakan bahwa bela diri diperkenankan ketika tindakan tersebut bersifat seketika,

besar, dan tidak ada pilihan lain, serta tidak ada waktu untuk membahasnya

kembali.12

Hal ini didsarkan pada pemikiran bahwa ketika diserang maka suatu

negara harus bertindak seketika untuk melindungi kepentingannya dan tidak ada

waktu untuk meminta perstujuan dari dunia internasional.

Penggunaan kekuatan bersenjata juga dimungkinkan dalam hal tindakan

tersebut dilakukan atas otorisasi dari DK PBB. Pasal 43-50 Piagam PBB

memungkinkan dilaksanakannya tindakan yang demikian. Setiap negara anggota

PBB dapat diminta oleh DK PBB untuk menyediakan pasukan bersenjata untuk

digunakan dalam suatu konflik bersenjata dengan tujuan mengembalikan perdamaian

dan kemanan internasional di wilayah tersebut. Namun tindakan yang demikian harus

dilaksanakan dengan adanya otorisasi dari DK PBB. Suatu negara tidak dibenarkan

untuk melakukan penggunaan kekuatan bersenjata kepada negara lain secara

unilateral.

Dalam konteks Somalia misalnya pasukan multinasional diberikan diberikan

otorisasi oleh DK PBB untuk memberantas piracy jure gentium dan armed robbery at

sea yang terjadi di perairan Somalia dan perairan lepas pantai Somalia. Otoritas ini

diberikan berdasarkan Resolusi DK PBB seperti yang tercakup dalam Pasal 7

Resolusi DK PBB 1816 (2008)13

, Pasal 10 Resolusi DK PBB 1846 (2008)14

, Pasal 6

12

Philip C. Jessup, 2012, A Modern Law of Nation, (terjemahan), Nuansa, Bandung, hlm.194. 13

United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1816 (2008) Adopted by the Security Council

at its 5902nd meeting on 2 June 2008“, [online] http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/361/77/PDF/N0836177.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 6 Juni

2014) 14

United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1846 (2008) Adopted by the Security Council

at its 6026th meeting, on 2 December 2008”, [online] http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/630/29/PDF/N0863029.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 6 Juni

2014).

8

Resolusi DK PBB 1851 (2008)15

, Pasal 7 Resolusi DK PBB 1897 (2009)16

, dan Pasal

7 Resolusi DK PBB 1950 (2010)17

, yang mana mengizinkan negara-negara dan

organisasi regional serta internasional yang bekerjasama dengan Transitional Federal

Government (TFG), dalam menjalankan operasi penanganan piracy jure gentium dan

armed robbery, dapat memasuki perairan tertorial Somalia, dan mengambil tindakan

atas kejahatan tersebut, seperti tindakan yang dilakukan terhadap pembajakan yang

dilakukan di laut lepas.

Penggunaan kekuatan bersenjata di wilayah suatu negara juga dimungkinkan

ketika negara yang bersangkutan memberikan persetujuan untuk melakukan hal itu di

wilayahnya. Hal ini didasari pada pertimbangan bahwa negara memiliki kedaulatan di

dalam batas-batas wilayah yang tunduk pada kedaulatannya. Salah satu contoh

penggunaan kekuatan bersenjata dalam koteks ini adalah intervensi militer yang

dilakukan oleh Perancis ke Mali untuk membantu pemerintahan Mali dalam

menumpas gerakan separatis yang terjadi di negara tersebut. Intrvensi yang dilakukan

Perancis tersebut dilakukan atas permintaan dari pemerintah Mali yang disampaikan

melalui presiden Mali, Dioncounda Traore.18

Penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata juga harus

didasarkan pada ketiga pertimbangan tersebut. Oleh karenanya dalam pembahasan

selanjutnya akan coba dianalisis apakah penggunaan drone sebagai senjata yang

15

United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1851 (2008) Adopted by the Security Council

at its 6046th meeting, on 16 December 2008”, [online] http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/655/01/PDF/N0865501.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 6 Juni

2014). 16

United Nations, 2009, “Security Council, Resolution 1897 (2009) Adopted by the Security Council

at its 6226th meeting, on 30 November 2009”, [online] http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N09/624/65/PDF/N0962465.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 6 Juni

2014). 17

United Nations, 2010, “Security Concil, Resolution 1950 (2010) Adopted by the Security Council at

its 6429th meeting, on 23 November 2010 “, [online] http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N10/649/02/PDF/N1064902.pdf?OpenElement, (diakses tanggal 6 Juni

2014). 18

“Perancis Menyerang Dari Udara dan Darat”, Kompas, 13 Januari 2013, (online)

http://www.internasional.kompas.com/read/2013/01/13/02401043/Perancis.Menyerang.dari.Udara.da

n.darat, diakses tanggal 6 Juni 2014.

9

dilakukan selama ini sudah dilakukan sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan

yang dijelaskan diatas atau tidak.

Penggunaan Drone Dalam Konflik Bersenjata

Sejak insiden 9/11, Amerika Serikat telah menyatakan perang melawan terror

(war on terror). Pada tahun 2001 kongres Amerika Serikat telah memberikan

otorisasi bagi presiden Amerika Serikat untuk menggunakan segala kekuatan yang

diperlukan untuk melawan bangsa-bangsa (nations), organisasi-organisasi

(Organizations), atau orang-orang (persons) yang ditetapkan telah merencenakan,

mengotrisasi, melakukan, atau memberi bantuan dana bagi serangan teroris yang

terjadi pada tanggal 11 September 2001, atau mengamankan orang atau organisasi

tersebut untuk mencegah tindakan terorisme terhadap Amerika Serikat. Otorisasi

untuk menggunakan kekuatan militer yang diberikan kongres kepada presiden ini

tidak memiliki batasan waktu, lokasi dan target.19

Berdasarkan hal ini maka

dimulailah perang terhadap terror yang mana pelaksanaannya sampai melintas batas

suatu negara, dan di dalamnya juga melibatkan penggunaan drone yang telah

dipersenjatai untuk menghancurkan target-target yang telah ditentukan.

Penggunaan drone oleh Amerika Serikat meningkat sejak terjadi insiden 9/11.

Di Pakistan, serangan oleh Amerika Serikat meningkat dari 4 serangan yang terjadi

tahun 2007 menjadi 122 serangan pada tahun 2010. Kalau dijumlah dengan serangan

drone di Somalia dan Yaman maka dalam rentang waktu 2002 hingga 2012 terdapat

total 411 serangan, yang mana menimbulkan korban jiwa sebanyak 3.430 orang, dan

401 diantaranya adalah masyarakat sipil.20

Data ini sendiri didapat dari lembaga non-

pemerintah, yakni Council on Foreign Relation, bukan dari pemerintah Amerika

Serikat. Hal ini dikarenakan pemerintah Amerika Serikat tidak pernah mengeluarkan

pertanggung jawaban resmi kepada publik mengenai jumlah serangan drone yang

19

Heather Hurlburt, Op.cit,hlm.58 20

Ibid, hlm.62

10

telah dilakukan, terhadap siapa serangan tersebut dilakukan, siapa yang melakukan,

siapa-siapa saja yang dimasukan dalam daftar target, dan bagaimana dampak yang

ditimbulkan dari serangan yang dilakukan.21

Salah satu serangan drone oleh Amerika Serikat yang paling menjadi bahan

perdebatan adalah serangan terhadap Al-Awlaqi di Yaman. Dia dianggap sebagai

pemimpin operasi luar dari jaringan Al-Qaeda di Jazirah Arab. Dia menjadi salah satu

target utama dari pemerintah Amerika Serikat dan juga dimasukan dalam daftar target

serangan drone sebagaimana yang dinyatakan dalam memo yang dikeluarkan oleh

Departemen Kehakiman Amerika Serikat, namun tidak dipublikasikan secara resmi

kepada publik. Memo ini dibocorkan oleh Koran New York Times edisi 8 Oktober

2011.22

Serangan ini sendiri menimbulkan beberapa persoalan antara lain, tidak jelas

apakah telah ada persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah Yaman atau tidak, tidak

adanya otorisasi dari DK PBB, dan bagaimana keterlibatan Amerika dalam konflik

tersebut. Baik pemerintah Yaman maupun pemerintah Amerika Serikat tidak pernah

memberikan pernyataan resmi apakah serangan drone yang menewaskan Al-Awlaqi

telah disetujui perintah Yaman atau tidak. Petunjuk yang muncul bersumber dari

kawat diplomatic yang dibocorkan Wilkileaks bahwa Presiden Yaman Saat itu telah

meberikan persetujuan bagi Amerika Serikat untuk meluncurkan misil di wilayahnya

dalam upaya melawan teroris. Dalam bocoran tersebut disebutkan bahwa Presiden

Yaman mengatakan kepada perwakilan Amerika Serikat bahwa: “I have given you an

open door on terrorism, so I am not responsible.”23

Jika bocoran dari wilkileaks ini

benar maka serangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dapat dipandang legal,

21

Loc.cit 22

Robert M. Chesney,” Beyond The Battlefield, Beyond Al Qaeda: The destabilizing legal architecture

Of counterterrorism”, Michigan Law Review, Vol.112, No.163, hlm.217. 23

Arabella Thorp, “Drone attacks and the killing of Anwar al-Awlaqi: legal issues”, 20 Desember

2011, (online) http://www.parliament.uk/briefing-papers/SN06165/drone-attacks-and-the-killing-of-

anwar-alawlaqi-legal-issues, diakses tanggal 6 Juni 2014, hlm.9.

11

namun jika tidak maka hal ini adalah tindakan illegal yang melanggar kedaulatan

Yaman dan bertentangan dengan hukum internasional.

Dalam serangan tersebut juga tidak ditemukan adanya Resolusi DK PBB yang

secara spesifik mendasari serangan itu. Memang sejak tahun 1999 DK PBB telah

mengeluarkan serangkaian resolusi yang berkaitan dengan pembekuan asset-aset

yang berkaitan dengan Al-Qaeda, larangan bepergian dan embargo senjata, namun

tidak disebutkan secara spesifik mengenai penggunaan kekuatan bersenjata dalam hal

ini.24

Resolusi DK PBB 1373 (2001) menyatakan bahwa negara-negara dapat

mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk melawan tindakan-tindakan

terorisme. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran yang luas yang mana bisa saja

negara akan melakukan tindakan represif seperti penggunaan drone dalam menyerang

orang yang masuk daftar target, atau juga bisa ditafsirkan bahwa orang yang dicurigai

sebagai teroris harus dibawa ke dalam proses peradilan, yang mana akan lebih sejalan

dengan tujuan Piagam PBB yang menghendaki agar menghindari penggunaan

kekuatan bersenjata dalam bentuk apapun, dan menghormati hak asasi manusia dan

hukum humaniter internasional.

Penggunaan drone sebagai senjata dilakukan melalui tiga cara yakni: sebagai

bantuan udara bagi pasukan di darat, melakukan patroli di udara untuk mencari

akitivitas-aktivitas yang mencurigakan, dan melakukan targeted killing terhadap

militant yang dicurigai (suspected militans).25

Pengoperasian penggunaan drone yang

dilaksanakan dengan menggunakan metode targeted killing menempatkan seseorang

yang telah ditargetkan untuk diserang oleh drone ditujukan untuk dibunuh. Hal ini

bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang dianut dalam hukum humaniter

internasional. Seharusnya tujuanya adalah untuk melemahkan bukan membunuh.

24

Loc.cit 25

Benjamin Medea,Op.cit,hlm.18.

12

Terlebih dahulu harus diupayakan untuk menangkap, kalau tidak bisa baru kemudian

dilukai, kalu juga tidak bisa maka bisa dibunuh. Jatuhnya korban dalam hal ini harus

ditekan seminimal mungkin. Pengunaaan drone menganut metode targeted killing

sehingga suatu target operasi dari drone tujuannya adalah dihancurkan. Selain itu,

Targeted killing juga dapat dipandang menghilangkan hak seseorang untuk dapat

membela diri dalam sebuah proses hukum yang sah, karena seseorang yang dianggap

bersalah dan menjadi target operasi dari drone tidak ditujukan untuk ditangkap dan

diadili. Proses penilaian bersalah atau tidak dirinnya telah dilakukan oleh pemerintah

tanpa melalui sebuah proses peradilan.

Pengaturan Penggunaan Drone

Penggunaan drone sebagai senjata merupakan konsekuensi dari

berkembangnya teknologi yang begitu pesat saat ini. Namun saat ini tidak ada satu

aturan internasional yang secara khusus mangatur mengenai penggunaan drone baik

untuk digunakan sebagai senjata maupun tidak. Meskipun demikian hukum

humaniter internasional secara fleksibel bisa diterapkan pada perkembangan

teknologi senjata yang sangat maju sekalipun hal ini didasarkan pada Pengaturan

dalam Pasal 36 Protokol Tambahan I tahun 1977 yang menyatakan bahwa:

“In the study, development, acquisition or adoption of a new weapon, means

or method of warfare, a High Contracting Party is under an obligation to

determine whether its employment would, in some or all circumstances, be

prohibited by this Protocol or by any other rule of international law

applicableto the High Contracting Party.”

Dengan demikian dapat dilihat bahwa aturan hukum internasional mencakup

semua perkembangan teknologi persenjataan, karena dalam pengembangan senjata

atau metode berperang, negara memiliki kewajiban untuk menyesuaikan agar

perkembangannya tidak bertentangan dengan hukum humaniter internasional.

Kewajiban hukum yang termuat dalam Pasal 36 tidak hanya berlaku bagi para pihak

dalam perjanjian saja tapi semua negara yang mengembangkan persenjataan dan

13

metode berperang.26

Namun pengaturan dalam Pasal ini tidak secara spesifik

menyatakan mengenai bagaimana penentuan legalitas dari suatu senjata atau metode

dan cara berperang yang harus dilaksanakan. Selain itu aturan dalam Pasal 36 ini

hanya mengatur ketentuan secara umum saja tidak secara spesifik mengatur mengena

teknologi atau metode berperang tertentu.

Kekosongan ini juga diakui oleh Jakob Kellenberger, presiden ICRC, yang

menyatakan bahwa :

”applying pre-existing legal rules to a new technology raises the question of

whether the rules are sufficiently clear in light of the technology's specific –

and perhaps unprecedented - characteristics, as well as with regard to the

foreseeable humanitarian impact it may have. In certain circumstances, States

will choose or have chosen to adopt more specific regulations.”27

Harus diakui bahwa aturan yang telah ada sebelumnya mungkin saja tidak

cukup untuk mengikuti perkembangan teknologi secara spesifik dan juga dampak

yang bisa ditimbulkan dari perkembangan tersebut. Oleh karenanya negara didesak

untuk bisa membuat aturan yang lebih spesifik mengenai perkembangan teknologi

senjata yang dibuat. Termasuk dalam hal ini adalah mengenai penggunaan drone

sebagai senjata dalam konflik bersenjata.

Pada tahun 1999, dalam 27th International Conference of the Red Cross and

Red Crescent, negara-negara didorong untuk menetapkan suatu mekanisme dan

prosedur untuk menentukan apakah penggunaan senjata, baik yang mereka temukan,

produksi atau kembangkan, sesuai dengan aturan hukum humaniter internasional atau

tidak. Dalam pertemuan tersebut negara-negara juga didorong untuk mempromosikan

pertukaran informasi dan transparansi mengenai mekanisme, prosedur dan evaluasi

26

ICRC, “A Guide to the Legal Review of New Weapons, Means and Methods of Warfare: Measures

to Implement Article 36 of Additional Protocol I of 1977”, International Review of the Red Cross,

Vol.88, No.864, Desember 2006, hlm.933. 27

Jakob Kellenberger,“International Humanitarian Law and New Weapon Technologies”,

http://www.icrc.org/eng/resources/documents/statement/new-weapon-technologies-statement-2011-09-08.htm, diakses

tanggal 15 Mei 2014.

14

yang berkaitan dengan penggunaan senjata.28

Masalah transparansi penggunaan drone

sebagai senjata menjadi sebuah masalah tersendiri di Amerika Serikat karena

penggunaan drone dalam menyerang target-target yang telah ditetapkan tidak disertai

dengan pertanggung jawaban kepada publik secara transparan. Publik tidak pernah

diberi tahu mengenai siapa-siapa saja yang termasuk dalam target serangan drone dan

berapa jumlah serangan yang telah dilakukan oleh pemerintah.

Ketiadaan aturan hukum yang secara spesifik mengatur mengenai penggunaan

drone, khususnya yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata, membuka

peluang terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional ketika

drone yang telah dipersenjatai digunakan dalam suatu konflik bersenjata.

John Brennan, asisten presiden Amerika Serikat untuk urusan keamanan

dalam negeri dan perlawanan terhadap terorisme, menyatakan bahwa setidaknya

terdapat 3 alasan hukum penggunaan drone sebagai senjata, yakni:

1. Pemerintah telah memperoleh otoritas kongres pada tahun 2001 tentang

penggunaan segala bentuk kekuatan untuk melawan terorisme;

2. Dalam hal otorisasi tidak didapatkan dari kongres, maka metode targeted

killing melalui penggunaan drone dijinkan sebagai bentuk pertahanan

negara berdasarkan Pasal II Konstitusi Amerika Serikat;

3. Hal ini juga diijinkan sebagai bentuk bela diri (self defense) dalam Hukum

Internasional.29

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa otoritas kongres kepada pemerintah

tidak ada batasan waktu, tempat dan target. Jika dikaitkan dengan hak bela diri dari

Amerika Serikat akibat dari serangan 9/11 maka hal ini akan menjadi sebuah

permasalahan.

28

ICRC, Op.cit,hlm.934-935. 29

Heather Hurlburt, Op.cit,hlm.68-69.

15

Dalam melihat hal ini maka akan digunakan pendapat yang diutarakan oleh

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, sebagaimana diuraikan diatas, yang

menyatakan bahwa suatu tindakan bela diri harus bersifat seketika, besar, dan tidak

ada pilihan lain, serta tidak ada waktu untuk membahasnya kembali. Pertama, hak

bela diri harus dilaksanakan seketika ketika serangan 9/11 itu terjadi sebagai bentuk

perlindungan. Kedua, adanya urgensi dalam kondisi saat itu mebutuhkan tindakan

yang cepat untuk dilaksanaka. Kenyataan yang ada, sebagai akibat dari serangan 9/11

Amerika terus melakukan operasi perlawanan terhadap terorisme dari tahun 2001

hingga saat ini, yang mana dinyatakan sebagai bentuk bela diri atas serangan yang

terjadi. Dengan demikian alasan penggunaan drone sebagai senjata dalam rangka bela

diri tidak dapat dibenarkan.

Pelaksanaan metode targeted killing yang diaanggap sah berdasarkan

konstitusi Amerika Serikat juga harus dilaksanakan tanpa mengesampingkan hukum

humaniter internasional, yang mana menghendaki agar penggunaan senjata untuk

membunuh dilaksanakan sebagai upaya terakhir bukan yang pertama dilakukan

speerti yang selama ini diterapkan Amerika Serikat.

Ketiadaan aturan mengenai penggunaan drone mengikis batasan antara perang

dan kondisi damai.30

Hal ini sangat nyata dalam penggunaan drone yang dilakukan

oleh Amerika Serikat dalam perang melawan terror. Penggunaan drone sebagai

senjata nyata dilakukan namun tidak pernah ada deklarasi perang yang dinyatakan.

Heather Hurlburt menyatakan bahwa jika ke depan kita menghadapi ketiadaan

aturan mengenai drone dalam skala lokal maupun nasional di Amerika Serikat maka

kita menghadapai masa depan tanpa aturan mengenai drone sama sekali.31

Kekawatiran ini berdasar karena sejalan dengan amanat Pasal 36 Protokol Tambahan

I Tahun 1977, negara diwajibkan untuk mengatur perkembangan teknologi

30

Robert A. Johnson, “ Predicting Future War”, Parameter, Vol.44, No.1, spring 2014, hlm.70. 31

Heather Hurlburt, Op.cit,hlm.62.

16

persenjataan dan metode perang terbaru yang dikembangkannya, dalam hal ini

negara-negara yang saat ini menggunakan teknologi drone, terutama negara-negara

yang menggunakannya sebagai senjata harus merumuskan suatu aturan khusus

mengenai penggunaan drone baik sebagai senjata (lethal purpose) maupun yang

digunakan untuk kepentingan lainnya (non-lethal purpose).

Perumusan aturan hukum mengenai penggunaan drone khususnya yang

berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata menjadi sangat penting saat ini

karena perkembangan teknologi saat ini mengarah kepada drone yang bersifat

otonom. Artinya tidak lagi diperlukan seseorang untuk mengontrol drone, karena

drone akan beroprasi sendiri secara komputerisasi sesuai dengan misi yang telah

diprogramkan padanya.32

Memang drone yang bersifat otonomi tidak berarti tidak

dapat dioperasikan sesuai dengan prinsip pembedaan dalam hukum humaniter

internasional, karena pendeteksian dan pengidentifikasian target akan dilakukan

melalui sensor yang mempunyai kemampuan untuk membedakan antara target

militer dan bukan target militer,33

namun dengan menggantungkan kuasa untuk

membedakan pada mesin sesungguhnya telah menghilangkan unsur kemanusiaan

dalam sebuah konflik bersenjata dan berpotensi terjadi machine error yang berakibat

fatal dalam konflik bersenjata.

Kesimpulan

Penggunaan drone sebagai senjata telah dilakukan tanpa adanya suatu aturan

hukum yang memadai mengenai hal ini. Pasal 36 Protokol Tambahan I Tahun 1977

hanya memuat hal yang bersifat umum mengenai perkembangan teknologi

persenjataan dan metode berperang namun tidak secara spesifik mengatur mengenai

penggunaan drone.

32

Benjamin Medea, Op.cit, hlm.40-42. 33

Justin Mcclelland, ” The review of weapons in accordance with Article 36 of Additional Protocol I”,

International Review of the Red Cross ,Vol. 85 No 850, Juni 2003, hlm.408-409.

17

Penggunaan drone sebagai senjata harus dirumuskan dalam suatu atura hukum

tertentu. Oleh karenanya negara-negara yang saat ini menggunakan teknologi drone

harus bersepakat untuk menetapkan aturan hukum tersebut, sehingga tidak ada

kekosongan hukum dalam pengaturan mengenai penggunaan drone tertuma yang

berkaitan dengan penggunaanya sebagai senjata dalam konflik bersenjata. Perumusan

aturan hukum ini harus juga memperhatikan hukum humaniter internasional.

18

Daftar Pustaka

Thorp Arabella, “Drone attacks and the killing of Anwar al-Awlaqi: legal issues”,

20 Desember 2011, (online) http://www.parliament.uk/briefing-

papers/SN06165/drone-attacks-and-the-killing-of-anwar-alawlaqi-legal-

issues;

Chesney Robert M.,” Beyond The Battlefield, Beyond Al Qaeda: The destabilizing

legal architecture Of counterterrorism”, Michigan Law Review, Vol.112,

No.163;

Declaration on The Inadmissibility of Intervention in The Domestic Affairs of

States and The Protection of Their Independence and Sovereignty;

Franke Ulrike Esther, “Drone Strikes, and US Policy: The Politics of Unmanned

Aerial Vehicles”, Parameters, Vol 44, No.1, Spring 2014.hlm.121.

Harris D. J., 2004, Cases and Materials on International Law, Sixth Edition,

London: Sweet & Maxwell;

Hurlburt Heather, “Battlefield Earth”, Democracy, No.31, Winter 2014, hlm.62.

ICRC, “A Guide to the Legal Review of New Weapons, Means and Methods of

Warfare: Measures to Implement Article 36 of Additional Protocol I of

1977”, International Review of the Red Cross, Vol.88, No.864, Desember

2006;

Jessup Philip C, 2012, A Modern Law of Nation, (terjemahan), Nuansa, Bandung;

Johnson Robert A., “ Predicting Future War”, Parameter, Vol.44, No.1, spring

2014;

Kellenberger Jakob, “International Humanitarian Law and New Weapon Technologies”,

http://www.icrc.org/eng/resources/documents/statement/new-weapon-technologies-

statement-2011-09-08.htm;

Medea Benjamin, 2012, Drone Warefare, Killing By Remote Control, Or Books,

New York;

Mcclelland Justin, ” The review of weapons in accordance with Article 36 of

Additional Protocol I”, International Review of the Red Cross ,Vol. 85 No

850, Juni 2003;

United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1816 (2008) Adopted by the

Security Council at its 5902nd meeting on 2 June 2008“, [online]

http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/361/77/PDF/N0836177.pdf?OpenElemen

t;

United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1846 (2008) Adopted by the

Security Council at its 6026th meeting, on 2 December 2008”, [online]

http://daccess-dds

19

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/630/29/PDF/N0863029.pdf?OpenElemen

t;

United Nations, 2008, “Security Council, Resolution 1851 (2008) Adopted by the

Security Council at its 6046th meeting, on 16 December 2008”, [online]

http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N08/655/01/PDF/N0865501.pdf?OpenElemen

t;

United Nations, 2009, “Security Council, Resolution 1897 (2009) Adopted by the

Security Council at its 6226th meeting, on 30 November 2009”, [online]

http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N09/624/65/PDF/N0962465.pdf?OpenElemen

t;

United Nations, 2010, “Security Concil, Resolution 1950 (2010) Adopted by the

Security Council at its 6429th meeting, on 23 November 2010 “, [online]

http://daccess-dds-

ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N10/649/02/PDF/N1064902.pdf?OpenElemen

t;

US Government Accountability Office , july 2012, “Non-proliferation: Agencies

Could Improve Information Sharing and End-Use Monitoring on

Unmanned Aerial Vehicle Exports”,

http://www.gao.gov/assets/600/593131.pdf;

“Perancis Menyerang Dari Udara dan Darat”, Kompas, 13 Januari 2013, (online)

http://www.internasional.kompas.com/read/2013/01/13/02401043/Perancis

.Menyerang.dari.Udara.dan.darat