pengertian hi, polin & polurneg
TRANSCRIPT
Pengertian hubungan internasional, politik internasional,
dan politik luar negeri sesungguhnya memiliki ontologi
sendiri-sendiri. Konsep-konsep tersebut adalah Hubungan
Internasional, Politik Luar Negeri, dan Politik Internasional.
Dua konsep terakhir Politik Luar Negeri dan Politik
Internasional adalah sub disiplin Hubungan Internasional.
Karena sifat ‘keindukan’ dari Hubungan Internasional inilah,
maka konsep tersebut akan dijelaskan dijelaskan terlebih
dahulu. Politik Luar Negeri dan Politik Internasional tercakup
ke dalam disiplin Hubungan Internasional. Hubungan
Internasional sendiri masuk ke dalam materi disiplin Ilmu
Politik secara keseluruhan.
Apa yang dimaksud dengan Hubungan Internasional? K.J.
Holsti dalam bukunya International Politics, mendefinisikan
bahwa Hubungan Internasional sebagai:
“Semua bentuk interaksi antara masyarakat yang berbeda,
apakah itu disponsori oleh pemerintah atau tidak … ia
mencakup juga studi mengenai serikat perdagangan
internasional, Palang Merah Internasional, turisme,
perdagangan interasional, transportasi, komunikasi, dan
perkembangan nilai dan etik internasional.”
Hubungan Internasional mencakup seluruh hubungan yang
dilakukan baik oleh negara maupun non-negara (individual), di
mana hubungan tersebut melewati batas yuridiksi wilayah
masing-masing.
1 | P a g e
Aktor negara misalnya pemerintah Amerika Serikat, Iraq,
Afganistan, atau Israel. Aktor non-negara misalnya team
bulutangkis Piala Thomas, petani buah Mekar Sari yang sedang
menjalin hubungan dagang dengan pengusaha di Australia,
masalah turis luar negeri yang berkunjung ke Bali, ataupun
pernik perizinan yang dialami oleh pelajar-pelajar Indonesia
yang tengah belajar di Mesir.
Singkatnya, jika kita belajar Hubungan Internasional,
perhatian kita tidak hanya terpaku pada aktivitas yang
dilakukan negara, melainkan pula aktor individu/organisasi non
politik/negara, seperti telah disebut. Namun, hal yang patut
diingat adalah, Hubungan Internasional menghendaki hubungan-
hubungan yang dilakukan tersebut melewati batas yuridiksi
wilayah masing aktor yang berhubungan.
Dengan demikian, hubungan dagang antara Departemen
Pertanian Republik Indonesia dengan petani beras di Cianjur,
bukan termasuk Hubungan Intenasional oleh sebab batas
yuridiksinya hanya berada di dalam wilayah Indonesia. Namun,
jika petani Cianjur tersebut berdagang dengan agen beras di
Dili (Timor Leste), proses tersebut masuk dalam kerangka
Hubungan Internasional.
Hubungan Internasional juga mengkaji masalah Politik Luar
Negeri dan Politik Internasional. Perbedaan Hubungan
Internasional dengan kedua konsep ini adalah bahwa dua konsep
yang terakhir hanya mengkaji aktor negara.
2 | P a g e
Apa yang dimaksud dengan Politik Luar Negeri? Carlton
Clymer Rodee et al. mendefinisikan Politik Luar Negeri
sebagai:
“Pola perilaku yang diwujudkan oleh suatu negara sewaktu
memperjuangkan kepentingannya dalam hubungannya
dengan negara lain … [yaitu] bagaimana cara menentukan
tujuan, menyusun prioritas, menggerakkan mesin
pengambilan keputusan pemerintah, dan mengelola sumber
daya manusia dan alam untuk bersaing dengan negara lain di
dalam lapangan internasional.”
Berbeda dengan disiplin Hubungan Internasional yang
memasukkan baik aktor negara maupun non-negara ke dalam kajian,
Politik Luar Negeri hanya mengkaji aktor negara. Dalam Politik
Luar Negeri, negara dipandang sebagai tengah memperjuangkan
kepentingan di dalam hubungannya dengan negara (atau beberapa
negara) lain. Secara otomatis pula, jika suatu hubungan
dilakukan suatu negara terhadap negara lain, maka ia pasti
melewati batas yuridiksi wilayah masing-masing. Dalam aktivitas
Politik Luar Negeri, suatu negara memiliki tujuan, cara
mencapai tujuan, cara mengelola sumber daya alam agar ia dapat
bersaing dengan aktor-aktor (negara) lain.
Dalam Politik Luar Negeri, suatu negara menetapkan serta
menerapkan serangkaian tindakan yang ditujukan terhadap negara
lain. Misalnya, Amerika Serikat di bawah administrasi Presiden
George Walker Bush menetapkan politik luar negeri berupa Global
War on Terrorism (GWOT).
3 | P a g e
Dalam politik luar negeri tersebut, pemerintahan Amerika
Serikat menetapkan kebijakan keamanan “ekstra ketat” di dalam
negeri, menseleksi ketat orang asing yang masuk ke negaranya,
membangun teknologi militer anti teror, menekan parlemen untuk
memberi anggaran lebih besar pada bidang keamanan, dan
menjalin hubungan dengan negara lain yang “sepaham” dengan
politik luar negeri anti terorisme tersebut, menekan negara-
negara lain yang tidak sepaham untuk mau mendukung politik
luar negeri Amerika Serikat, bahkan mencap negara-negara
seperti Iran, Korea Utara, dan Kuba sebagai “poros jahat”
(rogue state) akibat mereka dicurigai menghambat politik luar
negeri Amerika Serikat itu.
Namun, Politik Luar Negeri hanya menganalisa apa-apa yang
ditetapkan suatu negara terhadap lingkungan ‘luarnya.’ Ia
tidak ingin masuk lebih dalam lagi guna membahas apa saja
reaksi lingkungan (atau negara) ‘luar’ terhadap suatu negara
yang memberlakukan Politik Luar Negeri. Reaksi tersebut
meliputi interakisi antar negara di luar Amerika Serikat,
sebagai contoh, dalam menanggapi politik luar negeri Global
War on Terrorism. Apakah mereka satu sama lain saling
mendukung, netral, atau bahkan cenderung menjauhi Amerika
Serikat.
Masalah ‘reaksi’ yang dimunculkan oleh lingkungan luar
ini dibahas di dalam disiplin Politik Internasional. Apa yang
dimaksud dengan Politik Internasional? KJ. Holsti
mendefinisikan Politik Internasional sebagai:
4 | P a g e
“ […] interaksi antara dua negara atau lebih … [yang terdiri
atas] pola tindakan suatu negara dan reaksi atau tanggapan
negara lain terhadap tindakan tersebut […]”
Jika Politik Luar Negeri hanya membahas bagaimana sebuah
negara menanggapi serangkaian tindakan yang diambil berdasarkan
analisis kondisi internasional, maka politik internasional
merupakan aksi-reaksi tindakan antarnegara.
Bidang yang secara khusus membahas prinsip ‘aksi-reaksi’
ini adalah Politik Internasional. Berbeda dengan Politik Luar
Negeri, Politik Internasional menitikberatkan pada dinamika
‘tanggap-menanggapi’ antara dua atau lebih negara. Tentu saja,
di dalam Politik Internasional juga dibahas masalah Politik
Luar Negeri, tetapi sejauh Politik Luar Negeri tersebut
berakibat pada kondisi aksi-reaksi antarnegara. Misalnya
peristiwa masuknya Timor Timur ke dalam negara kesatuan
Republik Indonesia. Kasus tersebut merupakan masalah politik
internasional, oleh sebab melibatkan 2 negara berdaulat :
Indonesia dan Portugal. Indonesia memasukkan Timor Timur ke
dalam wilayahnya bukan tanpa sebab. Pertama, kondisi politik
internasional tahun 1976 ditengarai Perang Dingin antara Blok
Komunis (dipimpin Uni Sovyet) melawan Blok Kapitalis (dipimpin
Amerika Serikat). Kedua, Amerika Serikat memiliki sekutu di
dekat wilayah Timor Timur yaitu Australia. Ketiga, Indonesia
---yang tergabung dalam ASEAN--- juga tengah menghadapi ancaman
Komunis dari Utara (lewat jalur Cina ke Vietnam Utara).
Keempat, Portugal seperti “menterlarkan” wilayah Timor Timur
yang berakibat di wilayah tersebut menjadi basis pelatihan5 | P a g e
gerilyawan komunis yang hendak merebut kekuasaan. Kelima,
pemerintahan Indonesia berada di bawah Orde Baru Suharto yang
anti komunis tetapi cenderung pro Blok Kapitalis. Kasus
pemasukan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia, sebab itu,
sangat kental dimensi Politik Internasional-nya.
Studi politik internasional dapat ditelusuri hingga
tulisan-tulisan pra Masehi, semisal dari Tuchydides,
Aristoteles dan Plato. Mereka dinyatakan sebagai perintis awal
teorisasi hubungan internasional. Masing-masing dari mereka
mewakili 2 aliran dalam teori ini : Realis dan Idealis. Aliran
Realis diwakili Tuchydides dan Aristoteles, sementara Plato
mewakili Aliran Idealis. Dalam studi hubungan internasional
kontemporer, kedua aliran tersebut masih berpengaruh meski
dengan sejumlah variasi. Aliran Realis memandang bahwa aktor
dalam hubungan internasional adalah negara berdaulat serta
organisasi pemerintahan internasional (misalnya PBB). Aliran
ini juga memandang bahwa “dunia” berada dalam kondisi “perang”,
di mana aktor-aktornya (negara atau organisasi internasional)
bersaing mutlak untuk memperoleh teritori, kekuasaan, dan
sumber daya (alam dan manusia).
Di sisi lain, Aliran Idealis memandang bahwa aktor dalam
hubungan internasional, selain negara adalah juga termasuk
Organisasi Pemerintahan Internasional, LSM Internasional,
masyarakat aneka negara, serta individu. Jadi, aktor hubungan
internasional dalam Aliran Idealis cukup luas dan plural.
Aliran ini juga memandang bahwa masyarakat internasional
terbangun atas aneka hubungan yang menyerupai “jaring laba-6 | P a g e
laba” dan tak terhitung jumlahnya. Hubungan tersebut bercorak
lintas batas negara dan terkadang melewati kewenangan negara.
Para aktor terlibat dalam suatu hubungan yang bersifat positif.
Agar lebih jelas, baiklah dimuat bagan perkembangan aliran
pemikiran dalam hubungan internasional berikut:
REALISME
Perkembangan aliran pemikiran dalam hubungan internasional
pun memiliki akar filsafat politik. Realisme mendasarkan diri
para filsafat politik dari Tuchydides dan Aristoteles.
Thucydides dianggap sebagai penulis realis hubungan
internasional yang pertama. Ia hidup tahun 400 sM di Athena dan
menulis buku The History of Peloponnesian War. Setelah itu
muncul konsep kedaulatan negara di akhir abad pertengahan
Eropa. Konsep partikularis negara dari Marsilius Padua, balance
of power (perimbangan kekuatan), dan teori negara dari
Machiavelli melengkapi akar filosofis aliran Realisme dalam
hubungan internasional.
Jika dapat disebut Realis klasik, maka Machiavelli dapat
disebut Realis Modern. Melalui bukunya Il Principe dan
Discourse, Machiavelli menulis tentang kekuasaan, kekuatan,
formasi aliansi dan kontra aliansi, serta sebab-sebab
terjadinya perang antarnegara. Tidak seperti Thucydides,
Machiavelli lebih memfokuskan diri pada masalah keamanan
nasional. Jika boleh ditambah, realis modern lain (di samping
Machiavelli) adalah Thomas Hobbes. Hobbes lewat bukunya
7 | P a g e
Leviathan (1668) menulis tentang kondisi anarki Eropa selama
dia hidup. Bagaimana negara-negara di Eropa saling berperang
dan tidak menghormati perjanjian perdamaian adalah fokusnya.
Pemikiran Hobbes mengenai anarki dan kekuasaan ini berpengaruh
besar pada teoretisi kontemporer semisal Hans J. Morgenthau
lewat bukunya Politics Among Nations.
Pada perkembangannya, aliran Realisme ini mengalami
perkembangan. Perkembangan ini akibat munculnya Globalisme
sistem politik internasional dari pihak Idealisme. Beda
Neorealis dengan Realis adalah, Realis beranggapan sistem
internasional selalu dalam kondisi anarki, sementara Neorealis
menggap anarki adalah akibat dari ketiadaan otoritas sentral.
Beda lainnya, jika Realis mengkaji aktor state yang berusaha
memenuhi kepentingan nasional, maka Neorealis mengkaji sistem
internasional yang berisi hubungan antarnegara. Realis dan
Neorealis juga berbeda dalam konsep “stabilitas.”
Jika Realis menganggap keteraturan otomatis muncul jika
masing-masing negara memaksimalisasi kepentingan nasional
dengan memperhatikan kekuatan/kelemahan negara lain, maka
Neorealis memandang setiap negara harus mempertahankan posisi
kekuatan relatifnya di dalam sistem yang ada. Sebab, aliran
Neorealis memandang negara yang memaksimalisasi kepentingan
“ala Realis” akan “dibuang” dari sistem politik internasional.
Neorealisme mengajukan konsep-konsep seperti Unipolar (satu
negara sebagai pusat kekuasaan), Bipolar (dua negara sebagai
pusat kekuasaan), dan multipolar (banyak negara sebagai pusat
kekuasaan). Kembangan Neorealis yang paling berpengaruh adalah8 | P a g e
Neorealis-Strukturalis yang dimotori Kenneth N. Waltz.
Neorealisme-Strukturalis menganggap stuktur sistem politik
internasional sebagai penentu. Dalam sistem ini, kemampuan
tiap negara untuk memenuhi kepentingan nasionalnya dibatasi
oleh kekuatan negara lain. Sistem internasional terbentuk
melalui perubahan dalam pola distribusi kemampuan antar
masing-masing unit (negara). Anarki internasional akan muncul
ketika kekuatan salah satu negara berubah (lebih kuat atau
lebih lemah).
Gambaran aliran Realisme atas hubungan internasional
adalah, negara-negara yang ada di dunia berinteraksi seperti
bola bilyard. Masing-masing terpisah dan saling bertabrakan
sesuai dengan kepentingan nasionalnya sendiri-sendiri. Sebab
itu, kajian atas Politik Luar Negeri menjadi inti hubungan
internasional. Titik tekannya adalah pada aspek kepentingan
nasional, sebagai dasar dibuatnya kebijakan politik luar
negeri setiap negara. Realisme menjadi mapan setelah Liga
Bangsa-bangsa tidak mampu menanggulangi konflik antarnegara di
Eropa tahun 1930-an yang berakibat Perang Dunia II.
IDEALISME
Di sisi lain, aliran Idealisme memiliki akar filsafat
dari Plato. Plato membayangkan bahwa konsep-konsep seperti
keadilan dan harmonisasi yang bersifat positif merupakan ide
mutlak yang dapat diterapkan di dunia. Pemimpin yang bisa
menerjemahkan hal tersebut adalah seorang filosof yang
9 | P a g e
sekaligus raja. Pemikiran Plato ini diteruskan oleh kaum
Stoic, yaitu raja-raja yang memanfaatkan filsafat Plato untuk
memerintah. Ciri raja-raja Stoic adalah upaya mereka untuk
menahan nafsu berperang, dan anggapan bahwa seluruh negara
adalah sama, yaitu sekumpulan warga dunia (kosmopolitanisme)
dan saling bantu-membantu.
Lebih lanjut, kosmopolitanisme ini mengembangkan ide
utopis (belum ada di kenyataan) berupa satu negara dunia.
Inilah yang mengilhami berdirinya Liga Bangsa-bangsa pasca
terjadinya Perang Dunia I. Penekanan Liga Bangsa-bangsa adalah
mencapai perdamaian internasional melalui hubungan kooperatif
antarnegara. Pemikiran yang melandasi berdirinya Liga Bangsa-
bangsa ini disebut Aliran Idealis, dan para pendukungnya
(seperti Presiden Amerika Serikat 1920-an, Woodrow Wilson)
disebut kaum Idealis. Pada kenyataannya, Liga Bangsa-bangsa
tidak mampu mencegah terjadinya Perang Dunia II yang
berlangsung tahun 1939 hingga 1945.
Kegagalan kaum idealis utamanya adalah tidak konsistennya
negara-negara dominan dalam menciptakan perdamaian dunia lewat
kerjasama interansional, pengurangan senjata secara
berdisiplin, serta ketegasan sikap yang diiringi kekuatan
militer pemaksa. Bagi Wilson, benih absolutisme dan
militerisme adalah penyebab Perang Dunia I. Benih-benih
tersebut hanya bisa dipangkas lewat penciptaan pemerintahan
yang demokratis dibentuknya asosiasi bangsa-bangsa (nantinya
jadi LBB). Asosiasi tersebut yang menurut keyakinannya akan
menjamin kemerdekaan dan integritas nasional setiap negara,10 | P a g e
besar ataupun kecil. Wilson ini juga ditengarai membawa konsep
Tata Dunia Baru (New World Order) yang menggemborkan demokrasi
dan kerjasama internasional sebagai cara memastikan
keteraturan dalam politik internasional.
Di kemudian hari, konsep Wilson tersebut termanifestasi
dalam wujud Liga Bangsa-bangsa (LBB) yang berdiri 16 Januari
1920. LBB adalah representasi dari Idealisme dalam politik
internasional. Wilson bisa berperan besar karena AS adalah
salah satu dari 3 negara utama pemenang PD I (dua lainnya
Perancis dan Inggris). Lalu, mengapa LBB 'Wilson' ini gagal
mencegah terjadinya perang dunia II? Pertama, LBB gagal
memfasilitasi kerjasama internasional untuk secara stabil
merestorasi perekonomian Eropa daratan pasca PD I. Pasal 231
Perjanjian Versailles secara eksplisit menyebut Jerman (juga
Austria-Hongaria, kerajaan ini hilang dari peta) sebagai pihak
yang pertama kali memulai PD I dan sebab itu harus bayar
kompensasi 33 milyar dollar AS. Harga diri Jerman (Austria
hilang dari peta) jatuh dan menciptakan kemarahan di publik
politik dan masyarakat sipil Jerman. Dari 33 milyar, Jerman
hanya sanggup membayar cicilannya sekali saja, yaitu sebesar
2,5 milyar pada tahun 1921 dan setelah itu macet. Menyikapi
kemacetan ini, Perancis langsung menganekasi Ruhr, distrik
industri dan pertambangan utama milik Jerman. Jerman melakukan
perlawanan pasif (karena persenjataannya telah jauh berkurang,
juga akibat Perjanjian Versailles) yang dibiayai lewat
percetakan uang Mark (mata uang Jerman) secara besar-besaran.
Karena dicetak besar-besaran buntutnya jelas: Jerman mengalami
11 | P a g e
inflasi yang justru memperburuk keuangan Jerman dan semakin
jauh mengurangi kemampuannya untuk membayar kompensasi perang.
Untuk mengatasi ini, LBB membentuk komisi restorasi
ekonomi Jerman (The Dawes Plan) tahun 1924. Dawes Plan
diketuai bankir AS, memberi pinjaman 200 milyar dollar AS
kepada Jerman guna menggerakkan perekonomiannya. Selama 1924 -
1929 ekonomi Jerman pulih 'sementara' (demikian pula Eropa
daratan dan Inggris) sehingga pembicaranan 'anti militerisme',
demokrasi, dan perdamaian terus dilakukan karena spirit
idealisme Wilson adalah pengurangan persenjataan setiap negara
hingga ke batas minimal. Hanya kurang lebih 5 tahun
'kapitalis' AS mempertahankan jiwa idealis-nya. Perlu diingat,
perbaikan ekonomi Eropa (terutama Jerman) yang 5 tahun itu
murni mengandalkan uang bantuan (investasi) dari para
kapitalis AS. Tahun 1928, bursa saham di New York mengalami
booming Booming ini dilingkupi oleh situasi anomali pasca
perang: Barang industri mahal karena banyak pabrik hancur,
sementra hasil pertanian yang mengandalkan tanah justru
overproduksi dan jatuh nilai jualnya.
Untuk menjaga harga jual, masing-masing negara menaikan
tarif masuk komoditas pertanian dari negara lain. Namun, di
sisi lain para investor 'kapitalis' AS karena menimbang profit
taking akan lebih besar ramai-ramai menarik uang yang
sebelumnya mereka tanamkan di dari Jerman. Karena serangan
'tiba-tiba' tahun 1929 bursa saham di NY tersebut malah
'anjlok.' Akibatnya bisa ditebak: Semakin banyak uang ditarik
dari Jerman oleh investor AS untuk menutupi kerugian mereka di12 | P a g e
bursa. Bayangkan apa yang terjadi pada ekonomi Jerman yang
baru pulih tersebut! Jangankan Jerman, bahkan The Credit-
Ansalt, bank prestisius di Wina, Austria pun mengalami kolaps
tahun 1931.
Depresi ekonomi (malaise) ini berpuncak di tahun 1932.
Akibat krisis yang dilakukan proses produksi adalah memangkas
ongkos produksi yaitu pengurangan tenaga kerja. AKibatnya 1
dari 4 pekerja di Inggris menganggur dan: 40% atau 6 juta
pekerja di Jerman kehilangan pekerjaannya. Apa yang akan lahir
dari situasi semacam ini, di mana harga diri Jerman akibat
Perjanjian Versailles turun hingga batas horizon, pengangguran
6 juta orang, dan Alsace-Lorraine-PrussiaTImur-Ruhr hilang?
Hitler dan Lebensraum! Kedua, LBB gagal menekan 'realisme'
politik internasional. Perjanjian Versailles membuat Jerman
wajib mengurangi kekuatan militer meliputi tentara hingga
tinggal 100.000 orang, mengurangi kekuatan angkatan laut
hingga di bawah kekuatan AL Inggris dan Perancis, serta
mengeliminasi angkatan udaranya. Namun, LBB tidak mampu mem-
push negara-negara selain Jerman untuk melakukan hal serupa.
Ini akibat setiap negara tetap 'realis': Mereka tidak bisa
mempercayakan keamanan negara mereka pada kehendak baik negara
lain, yaitu jika mereka mengurangi senjata negara lain pun
akan melakukan hal serupa. Contoh, ketika Jerman tidak mampu
mencicil kompensasi perang sejak 1921, Perancis langsung
menganeksasi Ruhr, distrik Jerman yang merupakan pusat
industri dan pertambangan. Kendati Ruhn adalah legal miliknya,
Jerman sulit melakukan beladiri aktif karena persenjataannya
13 | P a g e
jauh dari mencukupi. Akibatnya, Jerman melakukan bela-diri
pasif yang dibiayainya dengan cara mencetak sebanyak-banyak
uang Mark Jerman. Akibatnya jelas, Jerman jatuh ke dalam
inflasi dan semakin rendah kemampuannya membayar kompensasi
perang. Juga bayangkan, sejumlah negara terpaksa keluar atau
dikeluarkan dari LBB karena melakukan invasi: Jepang (1933)
karena menginvasi Manchuria-Cina 1932; Italia menginvasi
Abbysinia (Ethiopia) 1935; Uni Sovyet (1939) karena menginvasi
Finlandia 1939; Kostarika (1925); Brasil (1926); Haiti (1942);
Jerman (1933); Luxemburg (1942).
Selain itu, Konferensi Perlucutan Senjata yang disponsori
LBB tahun 1932 di Jenewa tidak mampu menghentikan semangat
Jerman, Jepang, dan Italia untuk meningkatkan kemampuan
persenjataan mereka. Ketiga,, LBB tidak memiliki kekuatan
realis penting dalam politik internasional: Kekuatan
Bersenjata. Ketika Jepang menginvasi Manchuria atau Italia
menginvasi Abbysinia, LBB tidak mampu menurunkan armed-force
yang mampu memaksa negara-negara agresor kembali ke garis
demarkasinya. Mengapa? Tiga kekuatan pemenang perang
(Perancis, Inggris, dan AS) satu pun tidak memiliki keinginan
untuk terlibat ke dalam perang baru walaupun sebenarnya legal
karena mengatasnamakan LBB. Akibatnya, agresivitas negara-
negara agresor sulit dihentikan karena tidak ada kekuatan
'realis' yang mampu melakukan tindakan pemaksa (kekuatan
militer). LBB jadi macan ompong.
Keempat, LBB melakukan kebijakan berstandar ganda.
Kendati Wilson menggemborkan setiap bangsa berhak atas14 | P a g e
identitas dan wilayah nasionalnya masing-masing, 'penjajahan'
semu tetap berlangsung. Bagaimana tidak, Timur Tengah
misalnya, bukannya diserahkan kepada masing-masing bangsa
(setelah disita dari Ottoman Turki akibat dinasti ini kalah
dalam PD I): Syiria dan Lebanon jatuh menjadi mandat Perancis;
Iraq, Transyordania, Palestina, dan Kuwait jatuh ke mandat
Inggris. Belum lagi negara-negara Eropa yang masih melakukan
tindak kolonialisme seperti Belanda di Indonesia.
Pasca kegagalan Liga Bangsa-bangsa, aliran Idealis
merapatkan diri ke dalam varian barunya: Liberalisme-
Institusionalis. Liberalisme-Institusionalis memandang bahwa
politik dalam negeri setiap negara adalah penting. Di dalam
politik dalam negeri tersebut, hal yang dipantau adalah aspek
demokrasi dan penentuan nasib bangsa secara mandiri.
Liberalisme-Institusionalis juga memandang Perang Dunia II
dianggap sebagai kegagalan pandangan Idealisme dalam hubungan
internasional. Terbukti, sifat hubungan antarnegara bukan
kerjasama konstruktif tetapi egoisme kepentingan nasional yang
dicapai dengan penggunaan kekuatan militer. Sebab itu, aliran
Realisme memperoleh pembenaran atas pandangan mereka dalam
melukiskan fenomena hubungan internasional. Varian dari aliran
Idealisme adalah Globalisme dan Neoliberalisme
Institusionalis. Globalisme muncul sebagai kritik atas
pandangan Realisme yang secara sempit memandang aktor politik
internasional adalah negara saja. Globalisme juga mengkritik
Realisme yang “pesimis” pada dimensi pasifis (suka damai) pada
diri aktor politik.
15 | P a g e
Globalisme, yang tumbuh di tahun 1970-an memandang bahwa
aktor politik internasional tidak cuma negara, melainkan juga
meliputi pemerintahan internasional (misalnya PBB), lembaga
swadaya masyarakat (misalnya Red Cross, GreenPeace), koalisi
internasional (misalnya International Political Science
Association), multi national corporation (misalnya McDonald,
KFC, Sharp), ataupun asosiasi masyarakat transnasional
(misalnya International Olympic Committee). Tidak seperti
Realisme, Globalisme memandang hubungan antar aktor lintas
negara tersebut bercorak positif. Pencapaian kepentingan para
aktor diperoleh melalui sumber daya sosial yang terus-menerus
berkembang sebanding dengan kemajuan teknologi, rasionalisasi
cara produksi, dan makin rumitnya pembagian kerja antar aktor.
“Permainan” tersebut dinamakan “kerjasama internasional”, di
mana masing-masing aktor ingin memperoleh hasil yang maksimal.
Tujuan dari Globalisme adalah perdamaian dunia, yang dicapai
melalui kesalingtergantungan antaraktor di tingkat
internasional.
Kembangan lain dari Idealisme adalah Neoliberalisme-
Institusionalis. Neoliberalisme-Institusionalis muncul sebagai
kritik atas Neorealisme dalam memandang sistem politik
internasional. Neoliberalisme-Institusionalis merupakan
perkembangan dari Liberalisme, ideologi yang berkembang di
Eropa awal abad ke-19. Liberalisme menekankan pada pemenuhan
kepentingan individu semaksimal mungkin. Neoliberalisme
Institusionalis mengkombinasikan antara liberalisme dengan
Realisme. Aliran ini sepakat dengan Realisme bahwa negara
16 | P a g e
adalah aktor internasional yang penting, tetapi ragu bahwa
negara secara sendirian mampu mencapai perolehan absolut
ketimbang sekadar relatif saja. Saat negara berupaya mencapai
kepentingannya, maka ia akan membentuk organisasi yang
diperuntukkan bagi pencapaian kepentingannya itu. Dengan
demikian, posisi organisasi seperti organisasi internasional,
lembaga swadaya masyarakat, gerakan sosial transnasional, dan
multi national corporation menjadi sama penting dengan negara.
Memang semua gerakan dalam politik internasional dilakukan
oleh negara, tetapi itu sekadar langkah awal, sebab
penyelesaiannya kemudian diserahkan kepada organisasi-
organisasi yang tadi telah disebutkan.
Organisasi, sebab itu, dapat mempengaruhi negara, dan
sebaliknya. Negara akan mendukung kerjasama jika itu mampu
menghasilkan perolehan kepentingan relatif ataupun absolut.
Sebaliknya, jika negara menilai organisasi tersebut tidak
mendukung perolehan kepentingannya, mereka akan menentangnya.
Andrew Moravcsik bahkan menyatakan bahwa neoliberalisme-
institusionalis sebagai teori liberal pilihan negara yang
memasukkan aktor-aktor dalam negeri secara luas dan sebab itu
bersifat transnasionali dan internasional dihubungkan dengan
kepentingan domestik ke dalam perilaku negara. Sebab itu,
menurut Neoliberalisme Institusional bukan tidak mungkin bahwa
politik luar negeri suatu negara dipengaruhi aktor-aktor
domestiknya.
Tokoh dari Neoliberalisme Institusional ini adalah Robert
Keohane dan Robert Axelrod. Contoh dari organisasi-organisasi17 | P a g e
yang terbentuk berlatar Neoliberalisme-Institusionalis ini
adalah International Monetary Fund, World Trade Organization,
World Bank, ataupun perusahaan-perusahaan swasta
transnasional. Pada bagan juga dapat diperhatikan bahwa
Realisme muncul sebagai lawan dari Idealisme. Realisme
kemudian memperoleh couter dari Globalisme (varian Idealisme),
dan Globalisme ini kembali dikritik oleh varian Realisme yang
lain, yaitu Neorealisme. Neorealisme ini kemudian dilawan
kembali oleh varian Idealisme yaitu Neoliberalisme
Institusionalis, yang kembali dilawan oleh varian Realisme
Strukturalis. Selain Realisme dan Idealisme, hubungan
internasional juga dikaji oleh beberapa aliran baru. Aliran-
aliran ini terbentuk setelah menyaksikan dialektika
(pertentangan) antara Realisme versus Idealisme. Aliran-aliran
tersebut adalah Teori Imperialisme, Teori Dependensi, dan
Teori Sistem Dunia Kapitalis.
POLITIK INTERNASIONAL
Politik internasional mengkaji interaksi antaraktor state
(negara) dalam sistem politik internasional. Guna menelaah
politik internasional, ada baiknya kita beranjak ke level
sistemik. Tujuannya, agar lebih mudah memberikan penggambaran
secara garis besar atas politik internasional yang berlaku
dewasa ini.
Aliran Neorealisme melihat pola struktur sistem politik
internasional berdasarkan pola interaksi antarnegara. Aliran
18 | P a g e
ini juga menekankan pada aspek “kekuatan” nasional, yang
digunakan negara tersebut dalam bertindak di dalam sistem
politik internasional. Penggambaran pada tulisan ini
menggunakan tradisi berpikir yang ada di aliran Neorealisme
ini.
Politik internasional dewasa ini ditandari berakhirnya
Perang Dingin (Cold War) tahun 1990-an yang ditandari
runtuhnya Uni Sovyet. Keruntuhan tersebut sekaligus menandai
berakhirnya sistem politik bercorak Bipolar. Bipolar adalah
struktur sistem politik internasional yang ditandai kehadiran
2 negara yang memiliki kekuatan relatif besar ketimbang
negara-negara lainnya. Bipolar System sebelum 1990-an diwakili
Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Kini, sistem tersebut telah
tiada dan digantikan dengan Unipolarity System.
William C. Wohlforth menulis bahwa secara meyakinkan,
politik internasional kini ditandai pola Unipolarity System.
Amerika Serikat kini menjadi negara superior dan menentukan
oleh sebab menguasai sumber daya seperti ekonomi, militer,
teknologi, dan geopolitik yang relatif jauh di atas negara-
negara lainnya pasca Perang Dingin. Status Unipolar ini tetap
ada meskipun negara-negara lain berkesempatan menduduki posisi
sebaga “polar” (kutub) seperti Jepang, Cina, Jerman, Russia,
Perancis, dan Inggris.
Dalam sistem Unipolar, di mana kutub-kutub lain tidak ada
ataupun belum terbentuk, Amerika Serikat berposisi sebagai
Hegemon. Hegemon berasal dari bahasa Yunani, Hegemonia, yang
19 | P a g e
berarti “kepemimpinan.” Dalam hubungan internasional, hegemon
adalah pemimpin atau negara pemimpin. Ide dasar yang berada di
belakang stabilitas yang bersifat hegemonik dalam sistem
politik internasional adalah adanya sebuah negara yang mampu
membuat juga memaksakan peraturan (misalnya perdagangan bebas,
demokratisasi) di antara anggota-anggota penting dari sistem
politik internasional. Kemampuan “membuat” dan “memaksa”
tersebut hanya dapat dilakukan negara yang punya serakaian
kapabilitas. Kapabilitas tersebut meliputi perkembangan
ekonomi yang besar, dominasi di bidang ekonomi dan teknologi,
serta kekuasaan politik yang didukung oleh kekuatan militer
yang signifikan. Namun, sebuah negara hegemon menggunakan soft
power dalam melancarkan pengaruh ketimbang hardpower.
Soft power misalnya pengetahuan, diplomasi, teknologi,
atau show of force. Penggunaan soft power akan secara simpatik
membuat negara-negara lain, terutama yang berpotensi menjadi
rival, menerima pengaruh si hegemon tanpa perlawanan yang
“kasar” atau terang-terangan. Di sisi lain, penggunaan hard
power berakibat pada tingginya social cost, yang membuat
berkurangnya simpati negara lain akan aksi si hegemon.
Ditinjau dari teori hegemoni ini, Amerika Serikat kelihatannya
kurang secara penuh dapat dinyatakan sebagai hegemon.
Kebangkitan Amerika Serikat duduk di posisi kunci Unipolarity
System beraneka ragam. Namun, sekurang-kurangnya G. John
Ickerberry menyebut ada 5 faktor, yaitu:
1. Negara-negara yang potensial menjadi kutub baru relatif
telah kehilangan landasannya. Misalnya, Russia mengalami20 | P a g e
kolaps segera setelah Perang Dingin berakhir dan kini
pun, mereka pun Cuma memiliki setengan kekuatan ekonomi
ukurang menengah jika dibanding negara-negara Eropa
lainnya. Cina masih merupakan negara berkembang dengan
sejumlah masalah politik dan ekonomi dalam negeri. Jepang
telah satu dekade mengalami kemunduran ekonomi.
2. Perang Dingin menghilangkan ganjalan bipolar kekuasaan
Amerika Serikat. Jika dahulu Amerika Serikat menghabiskan
sumber daya untuk 2 hal: Menjalin aliansi dengan negara
lain yang menyita biaya dan tenaga, dan; Uni Sovyet dulu
mengetatkan pengawasan Amerika Serikat akan bahaya
perang. Kini, sumber daya yang dihabiskan untuk menjalin
aliansi jauh berkurang, sementara ancaman nyata Uni
Sovyet telah hilang.
3. Tidak ada rival Amerika Serikat di bidang ideologi
liberal. Komunisme telah runtuh dan sulit untuk kembali
kuat.
4. Perang Afghanistan dan Iraq menunjukkan kekuatan militer
Amerika Serikat yang besar.
5. Meski Perang Dingin berakhir, sistem klien dan hubungan
keamanan dengan Eropa dan Asia Timur tetap berlanjut.
Untuk sekadar memberikan gambaran mengenai perkembangan
politik internasional dari era ke era, di bagian berikut akan
dicantumkan grafik spider kekuatan militer, ekonomi, dan COW
21 | P a g e
Index (index militer, ekonomi, medis, teknologi, pendidikan,
dan semacamnya).
Pada masa Pax Brittanica, sistem politik internasional
ditandai 6 negara dengan kekuatan militer, ekonomi, dan index
COW tertinggi yaitu Britain (Inggris), Prussia (Jerman),
France (Perancis), Russia, United States (Amerika Serikat),
dan Austria. Inggris memiliki kekuatan ekonomi tertinggi
sementara kekuatan militer dipegang oleh Russia.
Pada era Bipolaritas Awal tahun 1950, terdapat 6 kekuatan
signifikan yaitu United States, France, Jepang, Uni Sovyet,
Inggris, dan Jerman. Amerika Serikat dan Uni Sovyet, memiliki
kekuatan ekonomi, militer, dan index COW tertinggi. Jepang
masuk ke dalam kekuatan politik dunia. Pada era Bipolaritas
Akhir 1985, Uni Sovyet memiliki kekuatan militer yang lebih
tinggi ketimbang Amerika Serikat, tetapi kekuatan ekonominya
jauh melemah. Cina masuk ke dalam struktur kekuatan politik
terbesar dunia.
Era Unipolaritas 1996-1997, sistem politik internasional
ditandai 7 kekuatan dunia yaitu Amerika Serikat, Perancis,
Jepang, Rusia, Cina, Inggris, dan Jerman. Seluruh kekuatan
militer, ekonomi, dan indeks COW terkonsentrasi di Amerika
Serikat. Namun, index COW Cina adalah yang paling mendekati
Amerika Serikat ketimbang negara-negara lainnya.
POLITIK LUAR NEGERI
22 | P a g e
Politik luar negeri adalah seperangkat maksud, tatacara,
dan tujuan, yang diformulasikan oleh orang-orang dalam posisi
resmi atau otoritatif, yang ditujukan terhadap sejumlah aktor
ataupun kondisi di lingkungan luar wilayah kekuasaan suatu
negara, yang bertujuan mempengaruhi target tertentu dengan
cara yang diinginkan oleh para pembuat keputusan.
Terdapat 2 faktor yang harus dipertimbangkan dalam
pembuatan kebijakan politik luar negari : Faktor internasional
dan faktor domestik. Kedua faktor ini digunakan sebagai basis
pertimbangan oleh para pembuat kebijakan politik luar negeri,
yang melakukan proses pembuatan keputusan. Keputusan yang
dihasilkan dapat berupa penyesuaian, program, masalah/tujuan,
dan orientasi internasional.
FAKTOR INTERNASIONAL
Faktor-faktor internasional yang diperhatikan para
pembuat kebijakan luar negeri di antaranya adalah:
1. Faktor Global, berkaitan dengan perubahan sistem politik
internasional yang punya dampak global dan juga negara
dalam konteks pembuatan kebijakan luar negeri.
2. Faktor Regional, berkaitan dengan lembaga-lembaga
regional (yang terdiri atas negara) yang punya dampak
tertentu atas formasi kebijakan luar negeri suatu negara.
Ini juga termasuk norma-norma yang disepakati di dalam23 | P a g e
suatu regional khusus yang harus dipertimbangkan tatkala
suatu negara menentukan politik luar negerinya.
3. Hubungan Bilateral, berkaitan dengan hubungan bilateral
antar aktor negara juga lembaga-lembaga tingkat global
ataupun regional. Aktor-aktor tersebut dapat mempengaruhi
negara suatu negara dengan menggunakan metode aliansi,
perdagangan, juga ancaman ekonomi dan militer.
4. Aktor-aktor Non Negara, aktor-aktor transnasional seperti
jaringan kriminal, jaringan teroris, perusahan
multinasional, dan organisasi hak asasi manusia,
memainkan peran yang mampu membentuk dan mempengaruhi
kebijakan luar negeri suatu negara.
FAKTOR DOMESTIK
Faktor-faktor domestik yang diperhatikan para pembuat
kebijakan luar negeri adalah:
1. Birokrasi, birokrasi kerap diidentikan dengan kelambatan
kerja dalam mengadaptasi perubahan politik luar negeri,
tetapi cenderung terdapat satu kelompok di dalam
birokrasi yang punya akses pada pejabat tinggi yang
efektif mengusahakan perubahan kebijakan.
2. Opini Publik, opini publik menjadi penting tatkala
pejabat pemerintah butuh dukungan pemilih dalam rangka
menerapkan suatu kebijakan serta agar terpilih kembali.
24 | P a g e
3. Media, media berperan penting dalam dalam mensetting
agenda, dan membentuk opini publik; media menyediakan
informasi dari pemerintah ke publik; media dapat menjadi
investigator, menyediakan informasi baru bagi pemerintah
juga publik, yang dapat mempengaruhi perubahan kebijakan
luar negeri.
4. Kelompok Kepentingan, kelompok kepentingan adalah
kelompok yang terorganisir, yang terlibat dalam sejumlah
aktivitas pengambilan keputusan pemerintah. Kelompok ini
termasuk yang dibentuk warganegara, diorganisir
berdasarkan isu-isu khusus, lobby-lobby bisnis,
profesional, dan firma-firma hukum publik.
5. Partai Politik, partai politik yang memberikan dukungan
pada pemerintah, ataupun untuk meneruskan/mengubah
politik luar negeri.
Faktor-faktor domestik dan internasional ini diserap oleh
para pembuat kebijakan. Sebagai manusia, para pembuat
kebijakan dipengaruhi karakteristik yang melekat pada dirinya
dalam memandang faktor-faktor domestik dan internasional
tersebut, Karakteristik-karakteristik yang melekat tersebut
adalah: Keyakinan (beliefs), motif, gaya pembuatan keputusan,
gaya interpersonal, kepentingan dalam hubungan luar negeri,
dan pelatihan yang pernah didapat dalam hubungan luar negeri.
Keyakinan mengacu pada asumsi-asumsi dasar pemimpin
politik yang berakibat pada penafsirannya atas lingkungan, dan
secara lebih jauh berdampak pada strategi-strategi yang25 | P a g e
diambil kemudian. Motif mengacu pada alasan mengapa seorang
pengambil keputusan luar negeri melakukan hal tersebut, dan
ini meliputi motif akan afiliasi, motif kekuasaan, dan motif
untuk disetujui. Gaya pengambilan keputusan mengacu pada
metode yang diambil seorang pembuat kebijakan seperti
sebagaimana terbuka mereka akan informasi atau tingkat resiko
yang harus diambil.
Gaya interpersonal mengacu pada bagaimana seorang pemimpin
politik melakukan kesepakatan dengan para pembuat kebijakan
lainnya, yang meliputi dua jenis yaitu paranoid (kecurigaan
berlebihan) dan Machiavellian (perilaku yang manipulatif).
Pelatihan yang diperoleh dalam hubungan luar negeri mengacu
pada jumlah pengalaman yang diterima seorang pembuat kebijakan
dalam konteks pembuatan kebijakan luar negeri, yang
berpengaruh pada si pembuat kebijakan bertindadak serta
strategi apa yang akan diambil. Kepentingan dalam hubungan
luar negeri mengacu pada kepentingan yang hendak diambil
seorang pembuat kebijakan luar negeri, di mana jika
kepentingan tersebut kecil maka ia cenderung mendelegasikannya
pada orang lain, sementara jika besar, maka ia akan melakukan
pemantauan secara langsung.
Proses Pembuatan Keputusan. Proses pembuatan keputusan
yang dilakukan oleh para pemimpin politik memiliki sejumlah
tahap. Tahap-tahap tersebut adalah:
1. keinginan awal untuk membuat kebijakan
26 | P a g e
2. rangsangan dari lingkungan/aktor luar negeri
3. menerima beragam informasi
4. melakukan penghubungan antara masalah dengan kebijakan
5. membangun serangkaian alternatif
6. membangun konsensus yang otoritatif atat pilihan
7. menerapkan kebijakan baru
Aktor-aktor Non Negara dalam Hubungan Internasional
Perlu ditambahkan, bahwa di abad ke-21 dunia hubungan
internasional ditengarai dengan semakin signifikan peran yang
dimainkan oleh aktor-aktor non negara (non-state actors), baik
dalam konteks hubungan internasional, bilkhusus di era yang
disebut "globalisasi" ini. Non state actors atau aktor-aktor
non negara oleh Thomas M. Magstadt didefinisikan sebagai:
“Entitas-entitas selain negara-bangsa, termasuk ke dalamnya
multinational corporation, organisasi non pemerintah, serta
organisasi-organisasi internasional non pemerintah, yang
memainkan peran tertentu di dalam politik internasional.”
Magstadt lalu mengidentifikasi sejumlah aktor negara yang
signifikan perannya dalam politik internasional, yang
meliputi:
1. Multinational Corporation;
27 | P a g e
2. International Organizatioan (meliputi INGO dan IGO)
3. Uni Eropa
4. Perserikatan Bangsa-bangsa
5. Unconventional Nonstate Actors (meliputi organisasi
teroris, dan firma-firma militer swasta)
Multinational corporation merupakan perusahaan (swasta)
yang beraktivitas di lebih dari satu negara. Umumnya
perusahaan ini lazim ditemui bergerak secara global, di
seluruh dunia. Magstadt mencontohkan perusahaan-perusahaan
berbasis di Amerika Serikat memenuhi kategori multinasional
ini, seperti Exxon Mobil, Wal-Mart, Chevron, ConocoPhillips,
General Electric, General Motors, Ford Motor, AT&T, Hewlett
Packard, Valero Energy, Citigroup, Bank of America, AIG,
Sementara itu yang berbasis di Eropa dapat disebut seperti
Royal Dutch Shell, BP, dan Total. Ini belum termasuk
perusahaan-perusahan multinational yang berbasis di Jepang dan
Korea Selatan seperti KIA, Mitsubishi, Toshiba, ataupun
Samsung. Salah satu sumber daya utama yang mendukung ekspansi
pasar perusahaan-perusahaan tersebut adalah pendaan dari bank-
bank. Banyak di antara bank-bank tersebut (juga termasuk
multinational corporation, tentunya) berbasis di Jepang,
Amerika Serikat, dan Eropa Barat.
Kehadiran aktor-aktor non negara seperti MNC-MNC ini
ditanggapi secara optimis dan pesimis. Pihak yang optimis
menyatakan bahwa kehadiran MNC dalam politik internasional
28 | P a g e
akan mendorong efisiensi ekonomi, kompetisi dalam skala
global, dan mempromosikan teknologi. Pihak yang pesimis
menyatakan, kehadiran MNC mengakibatkan campur-tangan
berlebihan MNC tersebut (juga pemerintah negara asalnya) atas
kebijakan-kebijakan dalam negeri negara tempat mereka
beroperasi, selain motif egoistik mereka dalam mencari untuk
yang tidak memperhitungkan dampak aktivitas perusahaan di masa
depan bagi wilayah atau lingkungan hidup tempat kegiatan
mereka.
Organisasi internasional terdiri atas dua jenis yaitu INGO
(International NonGovernmental Organizations) dan IGO
(International Governmental Organizations). INGO terdiri atas
organisasi swasta individual maupun kelompok yang aktivitasnya
melangkahi yuridiksi negara-negara dalam mencapai tujuan-
tujuannya. Sementara itu IGO adalah kelompok yang terdiri atas
sejumlah negara, yang pendiriannya didasarkan atas suatu
perjanjian (treaties), punya struktur formal, dan saling
bertemu dalam suatu pertemuan periodik. Contoh dari INGO
adalah Amensty International, International Crisis Groups,
World Vision, Greenpeace, atau Special Olympic (di Indonesia
namanya SOIna, aktivitasnya kegiatan olahraga bagi yang
mengalami tuna grahita). Contoh dari IGO sangat banyak dan ini
yang kemudian populer disebut sebagai "rezim internasional"
seperti IAEA, IPU, ASEAN, IMF, World Bank, ADB, juga termasuk
ke dalamnya PBB.
29 | P a g e
INGO, kendati bersifat swasta (privat) memiliki daya
"paksa" dalam memengaruhi tindakan suatu negara. Greenpeace
contohnya, para aktivisnya memiliki keberanian yang luar biasa
dalam menghalangi kapal-kapal negara adikuasa, swasta ataupun
pemerintah, yang hendak melakukan pembuangan limbah baik di
laut maupun darat. Amnesty International memerhatikan aspek
kebebasan politik individual dan menghalangi represi
pemerintah suatu negara di saat mereka menekan kalangan
oposisi politiknya. Di sisi IGO, kita telah menyaksikan
bagaimana IAEA menjalankan peran "mediator" dalam dugaan
pengembangan senjata nuklir Iran yang dilancarkan oleh Amerika
Serikat dan Israel. Kasus tersebut masih terus bergulir hingga
kini. Atau, IPU sebagai serikat parlemen internasional yang
mempromosikan kuota perwakilan politik perempuan bagi negara-
negara yang menjadi anggotanya.
Uni Eropa diyakini menjadi embrio bagi satu pasar tunggal
dunia. Kini Uni Eropa telah menancapkan langkahnya di Eropa
daratan. Uni Eropa adalah pewaris dari Masyarakat Ekonomi
Eropa. Perbedaannya, kini Uni Eropa tidak lagi semata-mata
mengurus masalah ekonomi seperti MEE melainkan menjadi suatu
organisasi politik supra nasional yang mengatasi negara-negara
Eropa dalam beberapa kebijakan. Argumentasi mengapa Uni Eropa
dikatakan sebagai organisasi politik supra nasional karena
kini ia membawahi sejumlah struktur yang menjalankan fungsi
lembaga pemerintahan seperti European Council and Council of
Ministers, Commissions, European Parliament, dan Court of
Justice, yang keseluruhannya mencerminkan trias politika:
30 | P a g e
Eksekutif, Legislatif, Yudikatif. Tentu saja, setiap negara
anggotanya tetap berdaulat tetapi telah cukup banyak hal-hal
yang diatur oleh Uni Eropa di mana setiap negara anggotanya
tidak boleh melanggar. Misalnya, suatu negara tidak akan
beroleh izin bergabung ke dalam Uni Eropa jika tidak
menunjukkan komitmen nyata atas aturan konstitusinya, pemilu
yang bebas, dan jaminan atas hak-hak asasi manusia. Inilah
serangkaian faktor yang mempersulit Turki masuk ke dalam Uni
Eropa selain tentunya masalah kekuatan ekonominya.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merupakan satu bentuk IGO
yang khusus. Ini akibat sejarah panjang pendiriannya serta
luasnya keterlibatan negara-negara di dunia ke dalam
organisasi ini. PBB mengemban "impian" stoisisme yaitu "satu
pemerintahan dunia" atau "novum ordo seclorum." Kendati
tentunya, secara kritis dapat diujarkan bahwa dalam gagasan
satu pemerintahan dunia, dapat saja yang terjadi adalah
kekuasaan satu negara atau satu oligarki negara di dalam
organisasi ini atas "dunia." Negara dengan kekuatan ekonomi,
militer, politik, dan teknologi besar memiliki kans untuk
menjadi pengendalinya.
Organisasi teroris dan pasukan militer swasta dimasukkan
oleh Magstadt ke dalam organisasi nonkonvensional dalam
konteks aktor-aktor non negara. Organisasi teroris ini sama
dengan MNC, yaitu beroperasi lintas negara dengan tujuan-
tujuan spesifik masing-masing. Organisasi teroris ini
beroperasi di banyak negara seperti Indonesia, Peru Bolivia,
31 | P a g e
Spanyol, Pakistan, ataupun Amerika Serikat tanpa harus berasal
dari negara-negara tersebut. Di Spanyol yang masih dilanda
pertikaian etnis Catalan dan Basque, serangan-serangan teroris
banyak dimaksudkan demi mempengaruhi hasil pemilu ataupun
pemilihan gubernur. Di Amerika Serikat, operasi-operasi Al
Qaeda ditunjukkan demi memberi peringatan kepada Amerika
Serikat untuk bersikap adil dalam kebijakan-kebijakan politik
luar negerinya di Timur Tengah.
Firma-firma militer swasta merupakan perkembangan baru
yang cukup menyentak, kendati keberadaan "pasukan bayaran" di
kisah-kisah politik masa lalu sesungguhnya cukup biasa. Untuk
organisasi ini misalnya dapat disebut BlackWater Company
(basis di Amerika Serikat), Military Professional Resources
Incorporated (MPRJ) yang berbasis di Virginia (AS) merupakan
sedikit contohnya. Firma-firma militer swasta ini bertindak
sebagian besar bukan karena alasan moral, ideologi, ataupun
politik melainkan karena alasan profit layaknya MNC.
Blackwater misalnya, disewa oleh pemerintah transisi Amerika
Serikat untuk mengamankan pendudukan mereka di Irak.
Rekrutmen anggota militer swasta ini tidak semata-mata
berasal dari dalam negeri Amerika Serikat sendiri melainkan
bisa direkrut dari Filipina, Peru, Ekuador, untuk kemudian
didatangkan ke Amerika Serikat untuk dilatih secara militer-
profesional. Firma-firma militer swasta ini terbuka untuk
direkrut aktor-aktor negara demi tujuan politik spesifik pihak
penyewa.
32 | P a g e
REFERENSI
Benjamin N. Schiff, Building the International Criminal
Court, Cambridge University Press.
Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik,
(Jakarta: Rajawali, 2002), h. 499.
G. John Ickenberry, Strategic Reactions to American
Preeminence: Great Power Politics in the Age of Unipolarity, NIC
2020 Project, 23 Juli 2003.
Jacob Gustavsson, The Politics of Foreign Policy Change:
Explaining the Swedish Reorientation on EC Membership, (Lund:
Lund University Press, 1998).
Joakim Eidenfalk, Towards a New Model of Foreign Policy
Change, Refereed paper presented to the Australasian Political
Studies Association conference, University of Newcastle 25-27
September 2006.
K.J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis,
Jilid 1, Penerjemah M. Thahir Azhary, (Jakarta: Erlangga, 1988)
Marti Griffiths, Beyond the Bush Doctrine: American Hegemony
and World Order, Australasian Journal of American Studies.
Philip G. Cerny, Embedding Neoliberalism: The Evolution of a
Hegemonic Paradigm, The Journal of International Trade and
Diplomacy 2 (1), Spring 2008:1-46.
34 | P a g e
Reinhard Meyes, Contemporary Developments in International
Relations, (Serbia, University of Novi Sad : Centre for Advanced
European Studies and Research, 2005).
Sezai ÖZÇELİK, Neorealist And Neo-Gramscian Hegemony in
International Relations and Conflict Resolution during the
1990’s, Ekonomik ve Sosyal Araştırmalar Dergisi, Güz , 2005.
Skyler J. Cranmer, Realism and Liberalism : Third Pass,
Summary, 22 September 2005.
Thucydides, History of the Peloponnesian War, Book 5: The
Melian Dialogue, Translated by Rex Warner, (Penguin Books ,
1954).
William C. Wohlforth, The Stability of a Unipolar World,
International Security, Vol. 24, No. 1 (Summer 1999), pp. 5–41.
William J. Duicker and Jackson J. Spielgovel, World History:
Volume II Since 1500, 5th Edition (Belmont: Thomson Higher
Education, 2007) p. 643-7.
Thomas M. Magstadt, Understanding Politikcs, Ninth Edition
(Boston: Wadsworth, 2011) p. 579-602.
35 | P a g e