pengertian hi, polin & polurneg

35
Pengertian hubungan internasional, politik internasional, dan politik luar negeri sesungguhnya memiliki ontologi sendiri-sendiri. Konsep-konsep tersebut adalah Hubungan Internasional, Politik Luar Negeri, dan Politik Internasional. Dua konsep terakhir Politik Luar Negeri dan Politik Internasional adalah sub disiplin Hubungan Internasional. Karena sifat ‘keindukan’ dari Hubungan Internasional inilah, maka konsep tersebut akan dijelaskan dijelaskan terlebih dahulu. Politik Luar Negeri dan Politik Internasional tercakup ke dalam disiplin Hubungan Internasional. Hubungan Internasional sendiri masuk ke dalam materi disiplin Ilmu Politik secara keseluruhan. Apa yang dimaksud dengan Hubungan Internasional? K.J. Holsti dalam bukunya International Politics, mendefinisikan bahwa Hubungan Internasional sebagai: “Semua bentuk interaksi antara masyarakat yang berbeda, apakah itu disponsori oleh pemerintah atau tidak … ia mencakup juga studi mengenai serikat perdagangan internasional, Palang Merah Internasional, turisme, perdagangan interasional, transportasi, komunikasi, dan perkembangan nilai dan etik internasional.” Hubungan Internasional mencakup seluruh hubungan yang dilakukan baik oleh negara maupun non-negara (individual), di mana hubungan tersebut melewati batas yuridiksi wilayah masing-masing. 1 | Page

Upload: iisip

Post on 25-Feb-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pengertian hubungan internasional, politik internasional,

dan politik luar negeri sesungguhnya memiliki ontologi

sendiri-sendiri. Konsep-konsep tersebut adalah Hubungan

Internasional, Politik Luar Negeri, dan Politik Internasional.

Dua konsep terakhir Politik Luar Negeri dan Politik

Internasional adalah sub disiplin Hubungan Internasional.

Karena sifat ‘keindukan’ dari Hubungan Internasional inilah,

maka konsep tersebut akan dijelaskan dijelaskan terlebih

dahulu. Politik Luar Negeri dan Politik Internasional tercakup

ke dalam disiplin Hubungan Internasional. Hubungan

Internasional sendiri masuk ke dalam materi disiplin Ilmu

Politik secara keseluruhan.

Apa yang dimaksud dengan Hubungan Internasional? K.J.

Holsti dalam bukunya International Politics, mendefinisikan

bahwa Hubungan Internasional sebagai:

“Semua bentuk interaksi antara masyarakat yang berbeda,

apakah itu disponsori oleh pemerintah atau tidak … ia

mencakup juga studi mengenai serikat perdagangan

internasional, Palang Merah Internasional, turisme,

perdagangan interasional, transportasi, komunikasi, dan

perkembangan nilai dan etik internasional.”

Hubungan Internasional mencakup seluruh hubungan yang

dilakukan baik oleh negara maupun non-negara (individual), di

mana hubungan tersebut melewati batas yuridiksi wilayah

masing-masing.

1 | P a g e

Aktor negara misalnya pemerintah Amerika Serikat, Iraq,

Afganistan, atau Israel. Aktor non-negara misalnya team

bulutangkis Piala Thomas, petani buah Mekar Sari yang sedang

menjalin hubungan dagang dengan pengusaha di Australia,

masalah turis luar negeri yang berkunjung ke Bali, ataupun

pernik perizinan yang dialami oleh pelajar-pelajar Indonesia

yang tengah belajar di Mesir.

Singkatnya, jika kita belajar Hubungan Internasional,

perhatian kita tidak hanya terpaku pada aktivitas yang

dilakukan negara, melainkan pula aktor individu/organisasi non

politik/negara, seperti telah disebut. Namun, hal yang patut

diingat adalah, Hubungan Internasional menghendaki hubungan-

hubungan yang dilakukan tersebut melewati batas yuridiksi

wilayah masing aktor yang berhubungan.

Dengan demikian, hubungan dagang antara Departemen

Pertanian Republik Indonesia dengan petani beras di Cianjur,

bukan termasuk Hubungan Intenasional oleh sebab batas

yuridiksinya hanya berada di dalam wilayah Indonesia. Namun,

jika petani Cianjur tersebut berdagang dengan agen beras di

Dili (Timor Leste), proses tersebut masuk dalam kerangka

Hubungan Internasional.

Hubungan Internasional juga mengkaji masalah Politik Luar

Negeri dan Politik Internasional. Perbedaan Hubungan

Internasional dengan kedua konsep ini adalah bahwa dua konsep

yang terakhir hanya mengkaji aktor negara.

2 | P a g e

Apa yang dimaksud dengan Politik Luar Negeri? Carlton

Clymer Rodee et al. mendefinisikan Politik Luar Negeri

sebagai:

“Pola perilaku yang diwujudkan oleh suatu negara sewaktu

memperjuangkan kepentingannya dalam hubungannya

dengan negara lain … [yaitu] bagaimana cara menentukan

tujuan, menyusun prioritas, menggerakkan mesin

pengambilan keputusan pemerintah, dan mengelola sumber

daya manusia dan alam untuk bersaing dengan negara lain di

dalam lapangan internasional.”

Berbeda dengan disiplin Hubungan Internasional yang

memasukkan baik aktor negara maupun non-negara ke dalam kajian,

Politik Luar Negeri hanya mengkaji aktor negara. Dalam Politik

Luar Negeri, negara dipandang sebagai tengah memperjuangkan

kepentingan di dalam hubungannya dengan negara (atau beberapa

negara) lain. Secara otomatis pula, jika suatu hubungan

dilakukan suatu negara terhadap negara lain, maka ia pasti

melewati batas yuridiksi wilayah masing-masing. Dalam aktivitas

Politik Luar Negeri, suatu negara memiliki tujuan, cara

mencapai tujuan, cara mengelola sumber daya alam agar ia dapat

bersaing dengan aktor-aktor (negara) lain.

Dalam Politik Luar Negeri, suatu negara menetapkan serta

menerapkan serangkaian tindakan yang ditujukan terhadap negara

lain. Misalnya, Amerika Serikat di bawah administrasi Presiden

George Walker Bush menetapkan politik luar negeri berupa Global

War on Terrorism (GWOT).

3 | P a g e

Dalam politik luar negeri tersebut, pemerintahan Amerika

Serikat menetapkan kebijakan keamanan “ekstra ketat” di dalam

negeri, menseleksi ketat orang asing yang masuk ke negaranya,

membangun teknologi militer anti teror, menekan parlemen untuk

memberi anggaran lebih besar pada bidang keamanan, dan

menjalin hubungan dengan negara lain yang “sepaham” dengan

politik luar negeri anti terorisme tersebut, menekan negara-

negara lain yang tidak sepaham untuk mau mendukung politik

luar negeri Amerika Serikat, bahkan mencap negara-negara

seperti Iran, Korea Utara, dan Kuba sebagai “poros jahat”

(rogue state) akibat mereka dicurigai menghambat politik luar

negeri Amerika Serikat itu.

Namun, Politik Luar Negeri hanya menganalisa apa-apa yang

ditetapkan suatu negara terhadap lingkungan ‘luarnya.’ Ia

tidak ingin masuk lebih dalam lagi guna membahas apa saja

reaksi lingkungan (atau negara) ‘luar’ terhadap suatu negara

yang memberlakukan Politik Luar Negeri. Reaksi tersebut

meliputi interakisi antar negara di luar Amerika Serikat,

sebagai contoh, dalam menanggapi politik luar negeri Global

War on Terrorism. Apakah mereka satu sama lain saling

mendukung, netral, atau bahkan cenderung menjauhi Amerika

Serikat.

Masalah ‘reaksi’ yang dimunculkan oleh lingkungan luar

ini dibahas di dalam disiplin Politik Internasional. Apa yang

dimaksud dengan Politik Internasional? KJ. Holsti

mendefinisikan Politik Internasional sebagai:

4 | P a g e

“ […] interaksi antara dua negara atau lebih … [yang terdiri

atas] pola tindakan suatu negara dan reaksi atau tanggapan

negara lain terhadap tindakan tersebut […]”

Jika Politik Luar Negeri hanya membahas bagaimana sebuah

negara menanggapi serangkaian tindakan yang diambil berdasarkan

analisis kondisi internasional, maka politik internasional

merupakan aksi-reaksi tindakan antarnegara.

Bidang yang secara khusus membahas prinsip ‘aksi-reaksi’

ini adalah Politik Internasional. Berbeda dengan Politik Luar

Negeri, Politik Internasional menitikberatkan pada dinamika

‘tanggap-menanggapi’ antara dua atau lebih negara. Tentu saja,

di dalam Politik Internasional juga dibahas masalah Politik

Luar Negeri, tetapi sejauh Politik Luar Negeri tersebut

berakibat pada kondisi aksi-reaksi antarnegara. Misalnya

peristiwa masuknya Timor Timur ke dalam negara kesatuan

Republik Indonesia. Kasus tersebut merupakan masalah politik

internasional, oleh sebab melibatkan 2 negara berdaulat :

Indonesia dan Portugal. Indonesia memasukkan Timor Timur ke

dalam wilayahnya bukan tanpa sebab. Pertama, kondisi politik

internasional tahun 1976 ditengarai Perang Dingin antara Blok

Komunis (dipimpin Uni Sovyet) melawan Blok Kapitalis (dipimpin

Amerika Serikat). Kedua, Amerika Serikat memiliki sekutu di

dekat wilayah Timor Timur yaitu Australia. Ketiga, Indonesia

---yang tergabung dalam ASEAN--- juga tengah menghadapi ancaman

Komunis dari Utara (lewat jalur Cina ke Vietnam Utara).

Keempat, Portugal seperti “menterlarkan” wilayah Timor Timur

yang berakibat di wilayah tersebut menjadi basis pelatihan5 | P a g e

gerilyawan komunis yang hendak merebut kekuasaan. Kelima,

pemerintahan Indonesia berada di bawah Orde Baru Suharto yang

anti komunis tetapi cenderung pro Blok Kapitalis. Kasus

pemasukan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia, sebab itu,

sangat kental dimensi Politik Internasional-nya.

Studi politik internasional dapat ditelusuri hingga

tulisan-tulisan pra Masehi, semisal dari Tuchydides,

Aristoteles dan Plato. Mereka dinyatakan sebagai perintis awal

teorisasi hubungan internasional. Masing-masing dari mereka

mewakili 2 aliran dalam teori ini : Realis dan Idealis. Aliran

Realis diwakili Tuchydides dan Aristoteles, sementara Plato

mewakili Aliran Idealis. Dalam studi hubungan internasional

kontemporer, kedua aliran tersebut masih berpengaruh meski

dengan sejumlah variasi. Aliran Realis memandang bahwa aktor

dalam hubungan internasional adalah negara berdaulat serta

organisasi pemerintahan internasional (misalnya PBB). Aliran

ini juga memandang bahwa “dunia” berada dalam kondisi “perang”,

di mana aktor-aktornya (negara atau organisasi internasional)

bersaing mutlak untuk memperoleh teritori, kekuasaan, dan

sumber daya (alam dan manusia).

Di sisi lain, Aliran Idealis memandang bahwa aktor dalam

hubungan internasional, selain negara adalah juga termasuk

Organisasi Pemerintahan Internasional, LSM Internasional,

masyarakat aneka negara, serta individu. Jadi, aktor hubungan

internasional dalam Aliran Idealis cukup luas dan plural.

Aliran ini juga memandang bahwa masyarakat internasional

terbangun atas aneka hubungan yang menyerupai “jaring laba-6 | P a g e

laba” dan tak terhitung jumlahnya. Hubungan tersebut bercorak

lintas batas negara dan terkadang melewati kewenangan negara.

Para aktor terlibat dalam suatu hubungan yang bersifat positif.

Agar lebih jelas, baiklah dimuat bagan perkembangan aliran

pemikiran dalam hubungan internasional berikut:

REALISME

Perkembangan aliran pemikiran dalam hubungan internasional

pun memiliki akar filsafat politik. Realisme mendasarkan diri

para filsafat politik dari Tuchydides dan Aristoteles.

Thucydides dianggap sebagai penulis realis hubungan

internasional yang pertama. Ia hidup tahun 400 sM di Athena dan

menulis buku The History of Peloponnesian War. Setelah itu

muncul konsep kedaulatan negara di akhir abad pertengahan

Eropa. Konsep partikularis negara dari Marsilius Padua, balance

of power (perimbangan kekuatan), dan teori negara dari

Machiavelli melengkapi akar filosofis aliran Realisme dalam

hubungan internasional.

Jika dapat disebut Realis klasik, maka Machiavelli dapat

disebut Realis Modern. Melalui bukunya Il Principe dan

Discourse, Machiavelli menulis tentang kekuasaan, kekuatan,

formasi aliansi dan kontra aliansi, serta sebab-sebab

terjadinya perang antarnegara. Tidak seperti Thucydides,

Machiavelli lebih memfokuskan diri pada masalah keamanan

nasional. Jika boleh ditambah, realis modern lain (di samping

Machiavelli) adalah Thomas Hobbes. Hobbes lewat bukunya

7 | P a g e

Leviathan (1668) menulis tentang kondisi anarki Eropa selama

dia hidup. Bagaimana negara-negara di Eropa saling berperang

dan tidak menghormati perjanjian perdamaian adalah fokusnya.

Pemikiran Hobbes mengenai anarki dan kekuasaan ini berpengaruh

besar pada teoretisi kontemporer semisal Hans J. Morgenthau

lewat bukunya Politics Among Nations.

Pada perkembangannya, aliran Realisme ini mengalami

perkembangan. Perkembangan ini akibat munculnya Globalisme

sistem politik internasional dari pihak Idealisme. Beda

Neorealis dengan Realis adalah, Realis beranggapan sistem

internasional selalu dalam kondisi anarki, sementara Neorealis

menggap anarki adalah akibat dari ketiadaan otoritas sentral.

Beda lainnya, jika Realis mengkaji aktor state yang berusaha

memenuhi kepentingan nasional, maka Neorealis mengkaji sistem

internasional yang berisi hubungan antarnegara. Realis dan

Neorealis juga berbeda dalam konsep “stabilitas.”

Jika Realis menganggap keteraturan otomatis muncul jika

masing-masing negara memaksimalisasi kepentingan nasional

dengan memperhatikan kekuatan/kelemahan negara lain, maka

Neorealis memandang setiap negara harus mempertahankan posisi

kekuatan relatifnya di dalam sistem yang ada. Sebab, aliran

Neorealis memandang negara yang memaksimalisasi kepentingan

“ala Realis” akan “dibuang” dari sistem politik internasional.

Neorealisme mengajukan konsep-konsep seperti Unipolar (satu

negara sebagai pusat kekuasaan), Bipolar (dua negara sebagai

pusat kekuasaan), dan multipolar (banyak negara sebagai pusat

kekuasaan). Kembangan Neorealis yang paling berpengaruh adalah8 | P a g e

Neorealis-Strukturalis yang dimotori Kenneth N. Waltz.

Neorealisme-Strukturalis menganggap stuktur sistem politik

internasional sebagai penentu. Dalam sistem ini, kemampuan

tiap negara untuk memenuhi kepentingan nasionalnya dibatasi

oleh kekuatan negara lain. Sistem internasional terbentuk

melalui perubahan dalam pola distribusi kemampuan antar

masing-masing unit (negara). Anarki internasional akan muncul

ketika kekuatan salah satu negara berubah (lebih kuat atau

lebih lemah). 

Gambaran aliran Realisme atas hubungan internasional

adalah, negara-negara yang ada di dunia berinteraksi seperti

bola bilyard. Masing-masing terpisah dan saling bertabrakan

sesuai dengan kepentingan nasionalnya sendiri-sendiri. Sebab

itu, kajian atas Politik Luar Negeri menjadi inti hubungan

internasional. Titik tekannya adalah pada aspek kepentingan

nasional, sebagai dasar dibuatnya kebijakan politik luar

negeri setiap negara. Realisme menjadi mapan setelah Liga

Bangsa-bangsa tidak mampu menanggulangi konflik antarnegara di

Eropa tahun 1930-an yang berakibat Perang Dunia II.

IDEALISME

Di sisi lain, aliran Idealisme memiliki akar filsafat

dari Plato. Plato membayangkan bahwa konsep-konsep seperti

keadilan dan harmonisasi yang bersifat positif merupakan ide

mutlak yang dapat diterapkan di dunia. Pemimpin yang bisa

menerjemahkan hal tersebut adalah seorang filosof yang

9 | P a g e

sekaligus raja. Pemikiran Plato ini diteruskan oleh kaum

Stoic, yaitu raja-raja yang memanfaatkan filsafat Plato untuk

memerintah. Ciri raja-raja Stoic adalah upaya mereka untuk

menahan nafsu berperang, dan anggapan bahwa seluruh negara

adalah sama, yaitu sekumpulan warga dunia (kosmopolitanisme)

dan saling bantu-membantu.

Lebih lanjut, kosmopolitanisme ini mengembangkan ide

utopis (belum ada di kenyataan) berupa satu negara dunia.

Inilah yang mengilhami berdirinya Liga Bangsa-bangsa pasca

terjadinya Perang Dunia I. Penekanan Liga Bangsa-bangsa adalah

mencapai perdamaian internasional melalui hubungan kooperatif

antarnegara. Pemikiran yang melandasi berdirinya Liga Bangsa-

bangsa ini disebut Aliran Idealis, dan para pendukungnya

(seperti Presiden Amerika Serikat 1920-an, Woodrow Wilson)

disebut kaum Idealis. Pada kenyataannya, Liga Bangsa-bangsa

tidak mampu mencegah terjadinya Perang Dunia II yang

berlangsung tahun 1939 hingga 1945.

Kegagalan kaum idealis utamanya adalah tidak konsistennya

negara-negara dominan dalam menciptakan perdamaian dunia lewat

kerjasama interansional, pengurangan senjata secara

berdisiplin, serta ketegasan sikap yang diiringi kekuatan

militer pemaksa. Bagi Wilson, benih absolutisme dan

militerisme adalah penyebab Perang Dunia I. Benih-benih

tersebut hanya bisa dipangkas lewat penciptaan pemerintahan

yang demokratis dibentuknya asosiasi bangsa-bangsa (nantinya

jadi LBB). Asosiasi tersebut yang menurut keyakinannya akan

menjamin kemerdekaan dan integritas nasional setiap negara,10 | P a g e

besar ataupun kecil. Wilson ini juga ditengarai membawa konsep

Tata Dunia Baru (New World Order) yang menggemborkan demokrasi

dan kerjasama internasional sebagai cara memastikan

keteraturan dalam politik internasional. 

Di kemudian hari, konsep Wilson tersebut termanifestasi

dalam wujud Liga Bangsa-bangsa (LBB) yang berdiri 16 Januari

1920. LBB adalah representasi dari Idealisme dalam politik

internasional. Wilson bisa berperan besar karena AS adalah

salah satu dari 3 negara utama pemenang PD I (dua lainnya

Perancis dan Inggris). Lalu, mengapa LBB 'Wilson' ini gagal

mencegah terjadinya perang dunia II? Pertama, LBB gagal

memfasilitasi kerjasama internasional untuk secara stabil

merestorasi perekonomian Eropa daratan pasca PD I. Pasal 231

Perjanjian Versailles secara eksplisit menyebut Jerman (juga

Austria-Hongaria, kerajaan ini hilang dari peta) sebagai pihak

yang pertama kali memulai PD I dan sebab itu harus bayar

kompensasi 33 milyar dollar AS. Harga diri Jerman (Austria

hilang dari peta) jatuh dan menciptakan kemarahan di publik

politik dan masyarakat sipil Jerman.  Dari 33 milyar, Jerman

hanya sanggup membayar cicilannya sekali saja, yaitu sebesar

2,5 milyar pada tahun 1921 dan setelah itu macet. Menyikapi

kemacetan ini, Perancis langsung menganekasi Ruhr, distrik

industri dan pertambangan utama milik Jerman. Jerman melakukan

perlawanan pasif (karena persenjataannya telah jauh berkurang,

juga akibat Perjanjian Versailles) yang dibiayai lewat

percetakan uang Mark (mata uang Jerman) secara besar-besaran.

Karena dicetak besar-besaran buntutnya jelas: Jerman mengalami

11 | P a g e

inflasi yang justru memperburuk keuangan Jerman dan semakin

jauh mengurangi kemampuannya untuk membayar kompensasi perang.

Untuk mengatasi ini, LBB membentuk komisi restorasi

ekonomi Jerman (The Dawes Plan) tahun 1924. Dawes Plan

diketuai bankir AS, memberi pinjaman 200 milyar dollar AS

kepada Jerman guna menggerakkan perekonomiannya. Selama 1924 -

1929 ekonomi Jerman pulih 'sementara' (demikian pula Eropa

daratan dan Inggris) sehingga pembicaranan 'anti militerisme',

demokrasi, dan perdamaian terus dilakukan karena spirit

idealisme Wilson adalah pengurangan persenjataan setiap negara

hingga ke batas minimal. Hanya kurang lebih 5 tahun

'kapitalis' AS mempertahankan jiwa idealis-nya. Perlu diingat,

perbaikan ekonomi Eropa (terutama Jerman) yang 5 tahun itu

murni mengandalkan uang bantuan (investasi) dari para

kapitalis AS. Tahun 1928, bursa saham di New York mengalami

booming Booming ini dilingkupi oleh situasi anomali pasca

perang: Barang industri mahal karena banyak pabrik hancur,

sementra hasil pertanian yang mengandalkan tanah justru

overproduksi dan jatuh nilai jualnya.

Untuk menjaga harga jual, masing-masing negara menaikan

tarif masuk komoditas pertanian dari negara lain. Namun, di

sisi lain para investor 'kapitalis' AS karena menimbang profit

taking akan lebih besar ramai-ramai menarik uang yang

sebelumnya mereka tanamkan di dari Jerman. Karena serangan

'tiba-tiba' tahun 1929 bursa saham di NY tersebut malah

'anjlok.' Akibatnya bisa ditebak: Semakin banyak uang ditarik

dari Jerman oleh investor AS untuk menutupi kerugian mereka di12 | P a g e

bursa. Bayangkan apa yang terjadi pada ekonomi Jerman yang

baru pulih tersebut! Jangankan Jerman, bahkan The Credit-

Ansalt, bank prestisius di Wina, Austria pun mengalami kolaps

tahun 1931.

Depresi ekonomi (malaise) ini berpuncak di tahun 1932.

Akibat krisis yang dilakukan proses produksi adalah memangkas

ongkos produksi yaitu pengurangan tenaga kerja. AKibatnya 1

dari 4 pekerja di Inggris menganggur dan: 40% atau 6 juta

pekerja di Jerman kehilangan pekerjaannya. Apa yang akan lahir

dari situasi semacam ini, di mana harga diri Jerman akibat

Perjanjian Versailles turun hingga batas horizon, pengangguran

6 juta orang, dan Alsace-Lorraine-PrussiaTImur-Ruhr hilang?

Hitler dan Lebensraum! Kedua, LBB gagal menekan 'realisme'

politik internasional. Perjanjian Versailles membuat Jerman

wajib mengurangi kekuatan militer meliputi tentara hingga

tinggal 100.000 orang, mengurangi kekuatan angkatan laut

hingga di bawah kekuatan AL Inggris dan Perancis, serta

mengeliminasi angkatan udaranya. Namun, LBB tidak mampu mem-

push negara-negara selain Jerman untuk melakukan hal serupa.

Ini akibat setiap negara tetap 'realis': Mereka tidak bisa

mempercayakan keamanan negara mereka pada kehendak baik negara

lain, yaitu jika mereka mengurangi senjata negara lain pun

akan melakukan hal serupa. Contoh, ketika Jerman tidak mampu

mencicil kompensasi perang sejak 1921, Perancis langsung

menganeksasi Ruhr, distrik Jerman yang merupakan pusat

industri dan pertambangan. Kendati Ruhn adalah legal miliknya,

Jerman sulit melakukan beladiri aktif karena persenjataannya

13 | P a g e

jauh dari mencukupi. Akibatnya, Jerman melakukan bela-diri

pasif yang dibiayainya dengan cara mencetak sebanyak-banyak

uang Mark Jerman. Akibatnya jelas, Jerman jatuh ke dalam

inflasi dan semakin rendah kemampuannya membayar kompensasi

perang.  Juga bayangkan, sejumlah negara terpaksa keluar atau

dikeluarkan dari LBB karena melakukan invasi: Jepang (1933)

karena menginvasi Manchuria-Cina 1932; Italia menginvasi

Abbysinia (Ethiopia) 1935; Uni Sovyet (1939) karena menginvasi

Finlandia 1939; Kostarika (1925); Brasil (1926); Haiti (1942);

Jerman (1933); Luxemburg (1942).

Selain itu, Konferensi Perlucutan Senjata yang disponsori

LBB tahun 1932 di Jenewa tidak mampu menghentikan semangat

Jerman, Jepang, dan Italia untuk meningkatkan kemampuan

persenjataan mereka. Ketiga,, LBB tidak memiliki kekuatan

realis penting dalam politik internasional: Kekuatan

Bersenjata. Ketika Jepang menginvasi Manchuria atau Italia

menginvasi Abbysinia, LBB tidak mampu menurunkan armed-force

yang mampu memaksa negara-negara agresor kembali ke garis

demarkasinya. Mengapa? Tiga kekuatan pemenang perang

(Perancis, Inggris, dan AS) satu pun tidak memiliki keinginan

untuk terlibat ke dalam perang baru walaupun sebenarnya legal

karena mengatasnamakan LBB. Akibatnya, agresivitas negara-

negara agresor sulit dihentikan karena tidak ada kekuatan

'realis' yang mampu melakukan tindakan pemaksa (kekuatan

militer). LBB jadi macan ompong.

Keempat, LBB melakukan kebijakan berstandar ganda.

Kendati Wilson menggemborkan setiap bangsa berhak atas14 | P a g e

identitas dan wilayah nasionalnya masing-masing, 'penjajahan'

semu tetap berlangsung. Bagaimana tidak, Timur Tengah

misalnya, bukannya diserahkan kepada masing-masing bangsa

(setelah disita dari Ottoman Turki akibat dinasti ini kalah

dalam PD I): Syiria dan Lebanon jatuh menjadi mandat Perancis;

Iraq, Transyordania, Palestina, dan Kuwait jatuh ke mandat

Inggris. Belum lagi negara-negara Eropa yang masih melakukan

tindak kolonialisme seperti Belanda di Indonesia.

Pasca kegagalan Liga Bangsa-bangsa, aliran Idealis

merapatkan diri ke dalam varian barunya: Liberalisme-

Institusionalis. Liberalisme-Institusionalis memandang bahwa

politik dalam negeri setiap negara adalah penting. Di dalam

politik dalam negeri tersebut, hal yang dipantau adalah aspek

demokrasi dan penentuan nasib bangsa secara mandiri.

Liberalisme-Institusionalis juga memandang Perang Dunia II

dianggap sebagai kegagalan pandangan Idealisme dalam hubungan

internasional. Terbukti, sifat hubungan antarnegara bukan

kerjasama konstruktif tetapi egoisme kepentingan nasional yang

dicapai dengan penggunaan kekuatan militer. Sebab itu, aliran

Realisme memperoleh pembenaran atas pandangan mereka dalam

melukiskan fenomena hubungan internasional. Varian dari aliran

Idealisme adalah Globalisme dan Neoliberalisme

Institusionalis. Globalisme muncul sebagai kritik atas

pandangan Realisme yang secara sempit memandang aktor politik

internasional adalah negara saja. Globalisme juga mengkritik

Realisme yang “pesimis” pada dimensi pasifis (suka damai) pada

diri aktor politik.

15 | P a g e

Globalisme, yang tumbuh di tahun 1970-an memandang bahwa

aktor politik internasional tidak cuma negara, melainkan juga

meliputi pemerintahan internasional (misalnya PBB), lembaga

swadaya masyarakat (misalnya Red Cross, GreenPeace), koalisi

internasional (misalnya International Political Science

Association), multi national corporation (misalnya McDonald,

KFC, Sharp), ataupun asosiasi masyarakat transnasional

(misalnya International Olympic Committee). Tidak seperti

Realisme, Globalisme memandang hubungan antar aktor lintas

negara tersebut bercorak positif. Pencapaian kepentingan para

aktor diperoleh melalui sumber daya sosial yang terus-menerus

berkembang sebanding dengan kemajuan teknologi, rasionalisasi

cara produksi, dan makin rumitnya pembagian kerja antar aktor.

“Permainan” tersebut dinamakan “kerjasama internasional”, di

mana masing-masing aktor ingin memperoleh hasil yang maksimal.

Tujuan dari Globalisme adalah perdamaian dunia, yang dicapai

melalui kesalingtergantungan antaraktor di tingkat

internasional.

Kembangan lain dari Idealisme adalah Neoliberalisme-

Institusionalis. Neoliberalisme-Institusionalis muncul sebagai

kritik atas Neorealisme dalam memandang sistem politik

internasional. Neoliberalisme-Institusionalis merupakan

perkembangan dari Liberalisme, ideologi yang berkembang di

Eropa awal abad ke-19. Liberalisme menekankan pada pemenuhan

kepentingan individu semaksimal mungkin. Neoliberalisme

Institusionalis mengkombinasikan antara liberalisme dengan

Realisme. Aliran ini sepakat dengan Realisme bahwa negara

16 | P a g e

adalah aktor internasional yang penting, tetapi ragu bahwa

negara secara sendirian mampu mencapai perolehan absolut

ketimbang sekadar relatif saja. Saat negara berupaya mencapai

kepentingannya, maka ia akan membentuk organisasi yang

diperuntukkan bagi pencapaian kepentingannya itu. Dengan

demikian, posisi organisasi seperti organisasi internasional,

lembaga swadaya masyarakat, gerakan sosial transnasional, dan

multi national corporation menjadi sama penting dengan negara.

Memang semua gerakan dalam politik internasional dilakukan

oleh negara, tetapi itu sekadar langkah awal, sebab

penyelesaiannya kemudian diserahkan kepada organisasi-

organisasi yang tadi telah disebutkan.

Organisasi, sebab itu, dapat mempengaruhi negara, dan

sebaliknya. Negara akan mendukung kerjasama jika itu mampu

menghasilkan perolehan kepentingan relatif ataupun absolut.

Sebaliknya, jika negara menilai organisasi tersebut tidak

mendukung perolehan kepentingannya, mereka akan menentangnya.

Andrew Moravcsik bahkan menyatakan bahwa neoliberalisme-

institusionalis sebagai teori liberal pilihan negara yang

memasukkan aktor-aktor dalam negeri secara luas dan sebab itu

bersifat transnasionali dan internasional dihubungkan dengan

kepentingan domestik ke dalam perilaku negara. Sebab itu,

menurut Neoliberalisme Institusional bukan tidak mungkin bahwa

politik luar negeri suatu negara dipengaruhi aktor-aktor

domestiknya.

Tokoh dari Neoliberalisme Institusional ini adalah Robert

Keohane dan Robert Axelrod. Contoh dari organisasi-organisasi17 | P a g e

yang terbentuk berlatar Neoliberalisme-Institusionalis ini

adalah International Monetary Fund, World Trade Organization,

World Bank, ataupun perusahaan-perusahaan swasta

transnasional. Pada bagan juga dapat diperhatikan bahwa

Realisme muncul sebagai lawan dari Idealisme. Realisme

kemudian memperoleh couter dari Globalisme (varian Idealisme),

dan Globalisme ini kembali dikritik oleh varian Realisme yang

lain, yaitu Neorealisme. Neorealisme ini kemudian dilawan

kembali oleh varian Idealisme yaitu Neoliberalisme

Institusionalis, yang kembali dilawan oleh varian Realisme

Strukturalis. Selain Realisme dan Idealisme, hubungan

internasional juga dikaji oleh beberapa aliran baru. Aliran-

aliran ini terbentuk setelah menyaksikan dialektika

(pertentangan) antara Realisme versus Idealisme. Aliran-aliran

tersebut adalah Teori Imperialisme, Teori Dependensi, dan

Teori Sistem Dunia Kapitalis.

POLITIK INTERNASIONAL

Politik internasional mengkaji interaksi antaraktor state

(negara) dalam sistem politik internasional. Guna menelaah

politik internasional, ada baiknya kita beranjak ke level

sistemik. Tujuannya, agar lebih mudah memberikan penggambaran

secara garis besar atas politik internasional yang berlaku

dewasa ini.

Aliran Neorealisme melihat pola struktur sistem politik

internasional berdasarkan pola interaksi antarnegara. Aliran

18 | P a g e

ini juga menekankan pada aspek “kekuatan” nasional, yang

digunakan negara tersebut dalam bertindak di dalam sistem

politik internasional. Penggambaran pada tulisan ini

menggunakan tradisi berpikir yang ada di aliran Neorealisme

ini.

Politik internasional dewasa ini ditandari berakhirnya

Perang Dingin (Cold War) tahun 1990-an yang ditandari

runtuhnya Uni Sovyet. Keruntuhan tersebut sekaligus menandai

berakhirnya sistem politik bercorak Bipolar. Bipolar adalah

struktur sistem politik internasional yang ditandai kehadiran

2 negara yang memiliki kekuatan relatif besar ketimbang

negara-negara lainnya. Bipolar System sebelum 1990-an diwakili

Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Kini, sistem tersebut telah

tiada dan digantikan dengan Unipolarity System.

William C. Wohlforth menulis bahwa secara meyakinkan,

politik internasional kini ditandai pola Unipolarity System.

Amerika Serikat kini menjadi negara superior dan menentukan

oleh sebab menguasai sumber daya seperti ekonomi, militer,

teknologi, dan geopolitik yang relatif jauh di atas negara-

negara lainnya pasca Perang Dingin. Status Unipolar ini tetap

ada meskipun negara-negara lain berkesempatan menduduki posisi

sebaga “polar” (kutub) seperti Jepang, Cina, Jerman, Russia,

Perancis, dan Inggris.

Dalam sistem Unipolar, di mana kutub-kutub lain tidak ada

ataupun belum terbentuk, Amerika Serikat berposisi sebagai

Hegemon. Hegemon berasal dari bahasa Yunani, Hegemonia, yang

19 | P a g e

berarti “kepemimpinan.” Dalam hubungan internasional, hegemon

adalah pemimpin atau negara pemimpin. Ide dasar yang berada di

belakang stabilitas yang bersifat hegemonik dalam sistem

politik internasional adalah adanya sebuah negara yang mampu

membuat juga memaksakan peraturan (misalnya perdagangan bebas,

demokratisasi) di antara anggota-anggota penting dari sistem

politik internasional. Kemampuan “membuat” dan “memaksa”

tersebut hanya dapat dilakukan negara yang punya serakaian

kapabilitas. Kapabilitas tersebut meliputi perkembangan

ekonomi yang besar, dominasi di bidang ekonomi dan teknologi,

serta kekuasaan politik yang didukung oleh kekuatan militer

yang signifikan. Namun, sebuah negara hegemon menggunakan soft

power dalam melancarkan pengaruh ketimbang hardpower.

Soft power misalnya pengetahuan, diplomasi, teknologi,

atau show of force. Penggunaan soft power akan secara simpatik

membuat negara-negara lain, terutama yang berpotensi menjadi

rival, menerima pengaruh si hegemon tanpa perlawanan yang

“kasar” atau terang-terangan. Di sisi lain, penggunaan hard

power berakibat pada tingginya social cost, yang membuat

berkurangnya simpati negara lain akan aksi si hegemon.

Ditinjau dari teori hegemoni ini, Amerika Serikat kelihatannya

kurang secara penuh dapat dinyatakan sebagai hegemon.

Kebangkitan Amerika Serikat duduk di posisi kunci Unipolarity

System beraneka ragam. Namun, sekurang-kurangnya G. John

Ickerberry menyebut ada 5 faktor, yaitu: 

1. Negara-negara yang potensial menjadi kutub baru relatif

telah kehilangan landasannya. Misalnya, Russia mengalami20 | P a g e

kolaps segera setelah Perang Dingin berakhir dan kini

pun, mereka pun Cuma memiliki setengan kekuatan ekonomi

ukurang menengah jika dibanding negara-negara Eropa

lainnya. Cina masih merupakan negara berkembang dengan

sejumlah masalah politik dan ekonomi dalam negeri. Jepang

telah satu dekade mengalami kemunduran ekonomi.

2. Perang Dingin menghilangkan ganjalan bipolar kekuasaan

Amerika Serikat. Jika dahulu Amerika Serikat menghabiskan

sumber daya untuk 2 hal: Menjalin aliansi dengan negara

lain yang menyita biaya dan tenaga, dan; Uni Sovyet dulu

mengetatkan pengawasan Amerika Serikat akan bahaya

perang. Kini, sumber daya yang dihabiskan untuk menjalin

aliansi jauh berkurang, sementara ancaman nyata Uni

Sovyet telah hilang.

3. Tidak ada rival Amerika Serikat di bidang ideologi

liberal. Komunisme telah runtuh dan sulit untuk kembali

kuat.

4. Perang Afghanistan dan Iraq menunjukkan kekuatan militer

Amerika Serikat yang besar.

5. Meski Perang Dingin berakhir, sistem klien dan hubungan

keamanan dengan Eropa dan Asia Timur tetap berlanjut. 

Untuk sekadar memberikan gambaran mengenai perkembangan

politik internasional dari era ke era, di bagian berikut akan

dicantumkan grafik spider kekuatan militer, ekonomi, dan COW

21 | P a g e

Index (index militer, ekonomi, medis, teknologi, pendidikan,

dan semacamnya).

Pada masa Pax Brittanica, sistem politik internasional

ditandai 6 negara dengan kekuatan militer, ekonomi, dan index

COW tertinggi yaitu Britain (Inggris), Prussia (Jerman),

France (Perancis), Russia, United States (Amerika Serikat),

dan Austria. Inggris memiliki kekuatan ekonomi tertinggi

sementara kekuatan militer dipegang oleh Russia.

Pada era Bipolaritas Awal tahun 1950, terdapat 6 kekuatan

signifikan yaitu United States, France, Jepang, Uni Sovyet,

Inggris, dan Jerman. Amerika Serikat dan Uni Sovyet, memiliki

kekuatan ekonomi, militer, dan index COW tertinggi. Jepang

masuk ke dalam kekuatan politik dunia. Pada era Bipolaritas

Akhir 1985, Uni Sovyet memiliki kekuatan militer yang lebih

tinggi ketimbang Amerika Serikat, tetapi kekuatan ekonominya

jauh melemah. Cina masuk ke dalam struktur kekuatan politik

terbesar dunia.

Era Unipolaritas 1996-1997, sistem politik internasional

ditandai 7 kekuatan dunia yaitu Amerika Serikat, Perancis,

Jepang, Rusia, Cina, Inggris, dan Jerman. Seluruh kekuatan

militer, ekonomi, dan indeks COW terkonsentrasi di Amerika

Serikat. Namun, index COW Cina adalah yang paling mendekati

Amerika Serikat ketimbang negara-negara lainnya.

POLITIK LUAR NEGERI

22 | P a g e

Politik luar negeri adalah seperangkat maksud, tatacara,

dan tujuan, yang diformulasikan oleh orang-orang dalam posisi

resmi atau otoritatif, yang ditujukan terhadap sejumlah aktor

ataupun kondisi di lingkungan luar wilayah kekuasaan suatu

negara, yang bertujuan mempengaruhi target tertentu dengan

cara yang diinginkan oleh para pembuat keputusan.

Terdapat 2 faktor yang harus dipertimbangkan dalam

pembuatan kebijakan politik luar negari : Faktor internasional

dan faktor domestik. Kedua faktor ini digunakan sebagai basis

pertimbangan oleh para pembuat kebijakan politik luar negeri,

yang melakukan proses pembuatan keputusan. Keputusan yang

dihasilkan dapat berupa penyesuaian, program, masalah/tujuan,

dan orientasi internasional.

FAKTOR INTERNASIONAL

Faktor-faktor internasional yang diperhatikan para

pembuat kebijakan luar negeri di antaranya adalah:

1. Faktor Global, berkaitan dengan perubahan sistem politik

internasional yang punya dampak global dan juga negara

dalam konteks pembuatan kebijakan luar negeri.

2. Faktor Regional, berkaitan dengan lembaga-lembaga

regional (yang terdiri atas negara) yang punya dampak

tertentu atas formasi kebijakan luar negeri suatu negara.

Ini juga termasuk norma-norma yang disepakati di dalam23 | P a g e

suatu regional khusus yang harus dipertimbangkan tatkala

suatu negara menentukan politik luar negerinya.

3. Hubungan Bilateral, berkaitan dengan hubungan bilateral

antar aktor negara juga lembaga-lembaga tingkat global

ataupun regional. Aktor-aktor tersebut dapat mempengaruhi

negara suatu negara dengan menggunakan metode aliansi,

perdagangan, juga ancaman ekonomi dan militer.

4. Aktor-aktor Non Negara, aktor-aktor transnasional seperti

jaringan kriminal, jaringan teroris, perusahan

multinasional, dan organisasi hak asasi manusia,

memainkan peran yang mampu membentuk dan mempengaruhi

kebijakan luar negeri suatu negara. 

FAKTOR DOMESTIK

Faktor-faktor domestik yang diperhatikan para pembuat

kebijakan luar negeri adalah:

1. Birokrasi, birokrasi kerap diidentikan dengan kelambatan

kerja dalam mengadaptasi perubahan politik luar negeri,

tetapi cenderung terdapat satu kelompok di dalam

birokrasi yang punya akses pada pejabat tinggi yang

efektif mengusahakan perubahan kebijakan.

2. Opini Publik, opini publik menjadi penting tatkala

pejabat pemerintah butuh dukungan pemilih dalam rangka

menerapkan suatu kebijakan serta agar terpilih kembali.

24 | P a g e

3. Media, media berperan penting dalam dalam mensetting

agenda, dan membentuk opini publik; media menyediakan

informasi dari pemerintah ke publik; media dapat menjadi

investigator, menyediakan informasi baru bagi pemerintah

juga publik, yang dapat mempengaruhi perubahan kebijakan

luar negeri.

4. Kelompok Kepentingan, kelompok kepentingan adalah

kelompok yang terorganisir, yang terlibat dalam sejumlah

aktivitas pengambilan keputusan pemerintah. Kelompok ini

termasuk yang dibentuk warganegara, diorganisir

berdasarkan isu-isu khusus, lobby-lobby bisnis,

profesional, dan firma-firma hukum publik.

5. Partai Politik, partai politik yang memberikan dukungan

pada pemerintah, ataupun untuk meneruskan/mengubah

politik luar negeri.

Faktor-faktor domestik dan internasional ini diserap oleh

para pembuat kebijakan. Sebagai manusia, para pembuat

kebijakan dipengaruhi karakteristik yang melekat pada dirinya

dalam memandang faktor-faktor domestik dan internasional

tersebut, Karakteristik-karakteristik yang melekat tersebut

adalah: Keyakinan (beliefs), motif, gaya pembuatan keputusan,

gaya interpersonal, kepentingan dalam hubungan luar negeri,

dan pelatihan yang pernah didapat dalam hubungan luar negeri.

Keyakinan mengacu pada asumsi-asumsi dasar pemimpin

politik yang berakibat pada penafsirannya atas lingkungan, dan

secara lebih jauh berdampak pada strategi-strategi yang25 | P a g e

diambil kemudian. Motif mengacu pada alasan mengapa seorang

pengambil keputusan luar negeri melakukan hal tersebut, dan

ini meliputi motif akan afiliasi, motif kekuasaan, dan motif

untuk disetujui. Gaya pengambilan keputusan mengacu pada

metode yang diambil seorang pembuat kebijakan seperti

sebagaimana terbuka mereka akan informasi atau tingkat resiko

yang harus diambil.

Gaya interpersonal mengacu pada bagaimana seorang pemimpin

politik melakukan kesepakatan dengan para pembuat kebijakan

lainnya, yang meliputi dua jenis yaitu paranoid (kecurigaan

berlebihan) dan Machiavellian (perilaku yang manipulatif).

Pelatihan yang diperoleh dalam hubungan luar negeri mengacu

pada jumlah pengalaman yang diterima seorang pembuat kebijakan

dalam konteks pembuatan kebijakan luar negeri, yang

berpengaruh pada si pembuat kebijakan bertindadak serta

strategi apa yang akan diambil. Kepentingan dalam hubungan

luar negeri mengacu pada kepentingan yang hendak diambil

seorang pembuat kebijakan luar negeri, di mana jika

kepentingan tersebut kecil maka ia cenderung mendelegasikannya

pada orang lain, sementara jika besar, maka ia akan melakukan

pemantauan secara langsung.

Proses Pembuatan Keputusan. Proses pembuatan keputusan

yang dilakukan oleh para pemimpin politik memiliki sejumlah

tahap. Tahap-tahap tersebut adalah:

1. keinginan awal untuk membuat kebijakan

26 | P a g e

2. rangsangan dari lingkungan/aktor luar negeri

3. menerima beragam informasi

4. melakukan penghubungan antara masalah dengan kebijakan

5. membangun serangkaian alternatif

6. membangun konsensus yang otoritatif atat pilihan

7. menerapkan kebijakan baru

Aktor-aktor Non Negara dalam Hubungan Internasional

Perlu ditambahkan, bahwa di abad ke-21 dunia hubungan

internasional ditengarai dengan semakin signifikan peran yang

dimainkan oleh aktor-aktor non negara (non-state actors), baik

dalam konteks hubungan internasional, bilkhusus di era yang

disebut "globalisasi" ini. Non state actors atau aktor-aktor

non negara oleh Thomas M. Magstadt didefinisikan sebagai:

“Entitas-entitas selain negara-bangsa, termasuk ke dalamnya

multinational corporation, organisasi non pemerintah, serta

organisasi-organisasi internasional non pemerintah, yang

memainkan peran tertentu di dalam politik internasional.”

Magstadt lalu mengidentifikasi sejumlah aktor negara yang

signifikan perannya dalam politik internasional, yang

meliputi:

1. Multinational Corporation;

27 | P a g e

2. International Organizatioan (meliputi INGO dan IGO)

3. Uni Eropa

4. Perserikatan Bangsa-bangsa

5. Unconventional Nonstate Actors (meliputi organisasi

teroris, dan firma-firma militer swasta)

Multinational corporation merupakan perusahaan (swasta)

yang beraktivitas di lebih dari satu negara. Umumnya

perusahaan ini lazim ditemui bergerak secara global, di

seluruh dunia. Magstadt mencontohkan perusahaan-perusahaan

berbasis di Amerika Serikat memenuhi kategori multinasional

ini, seperti Exxon Mobil, Wal-Mart, Chevron, ConocoPhillips,

General Electric, General Motors, Ford Motor, AT&T, Hewlett

Packard, Valero Energy, Citigroup, Bank of America, AIG,

Sementara itu yang berbasis di Eropa dapat disebut seperti

Royal Dutch Shell, BP, dan Total. Ini belum termasuk

perusahaan-perusahan multinational yang berbasis di Jepang dan

Korea Selatan seperti KIA, Mitsubishi, Toshiba, ataupun

Samsung. Salah satu sumber daya utama yang mendukung ekspansi

pasar perusahaan-perusahaan tersebut adalah pendaan dari bank-

bank. Banyak di antara bank-bank tersebut (juga termasuk

multinational corporation, tentunya) berbasis di Jepang,

Amerika Serikat, dan Eropa Barat.

Kehadiran aktor-aktor non negara seperti MNC-MNC ini

ditanggapi secara optimis dan pesimis. Pihak yang optimis

menyatakan bahwa kehadiran MNC dalam politik internasional

28 | P a g e

akan mendorong efisiensi ekonomi, kompetisi dalam skala

global, dan mempromosikan teknologi. Pihak yang pesimis

menyatakan, kehadiran MNC mengakibatkan campur-tangan

berlebihan MNC tersebut (juga pemerintah negara asalnya) atas

kebijakan-kebijakan dalam negeri negara tempat mereka

beroperasi, selain motif egoistik mereka dalam mencari untuk

yang tidak memperhitungkan dampak aktivitas perusahaan di masa

depan bagi wilayah atau lingkungan hidup tempat kegiatan

mereka. 

Organisasi internasional terdiri atas dua jenis yaitu INGO

(International NonGovernmental Organizations) dan IGO

(International Governmental Organizations). INGO terdiri atas

organisasi swasta individual maupun kelompok yang aktivitasnya

melangkahi yuridiksi negara-negara dalam mencapai tujuan-

tujuannya. Sementara itu IGO adalah kelompok yang terdiri atas

sejumlah negara, yang pendiriannya didasarkan atas suatu

perjanjian (treaties), punya struktur formal, dan saling

bertemu dalam suatu pertemuan periodik. Contoh dari INGO

adalah Amensty International, International Crisis Groups,

World Vision, Greenpeace, atau Special Olympic (di Indonesia

namanya SOIna, aktivitasnya kegiatan olahraga bagi yang

mengalami tuna grahita). Contoh dari IGO sangat banyak dan ini

yang kemudian populer disebut sebagai "rezim internasional"

seperti IAEA, IPU, ASEAN, IMF, World Bank, ADB, juga termasuk

ke dalamnya PBB.

29 | P a g e

INGO, kendati bersifat swasta (privat) memiliki daya

"paksa" dalam memengaruhi tindakan suatu negara. Greenpeace

contohnya, para aktivisnya memiliki keberanian yang luar biasa

dalam menghalangi kapal-kapal negara adikuasa, swasta ataupun

pemerintah, yang hendak melakukan pembuangan limbah baik di

laut maupun darat. Amnesty International memerhatikan aspek

kebebasan politik individual dan menghalangi represi

pemerintah suatu negara di saat mereka menekan kalangan

oposisi politiknya. Di sisi IGO, kita telah menyaksikan

bagaimana IAEA menjalankan peran "mediator" dalam dugaan

pengembangan senjata nuklir Iran yang dilancarkan oleh Amerika

Serikat dan Israel. Kasus tersebut masih terus bergulir hingga

kini. Atau, IPU sebagai serikat parlemen internasional yang

mempromosikan kuota perwakilan politik perempuan bagi negara-

negara yang menjadi anggotanya. 

Uni Eropa diyakini menjadi embrio bagi satu pasar tunggal

dunia. Kini Uni Eropa telah menancapkan langkahnya di Eropa

daratan. Uni Eropa adalah pewaris dari Masyarakat Ekonomi

Eropa. Perbedaannya, kini Uni Eropa tidak lagi semata-mata

mengurus masalah ekonomi seperti MEE melainkan menjadi suatu

organisasi politik supra nasional yang mengatasi negara-negara

Eropa dalam beberapa kebijakan. Argumentasi mengapa Uni Eropa

dikatakan sebagai organisasi politik supra nasional karena

kini ia membawahi sejumlah struktur yang menjalankan fungsi

lembaga pemerintahan seperti European Council and Council of

Ministers, Commissions, European Parliament, dan Court of

Justice, yang keseluruhannya mencerminkan trias politika:

30 | P a g e

Eksekutif, Legislatif, Yudikatif. Tentu saja, setiap negara

anggotanya tetap berdaulat tetapi telah cukup banyak hal-hal

yang diatur oleh Uni Eropa di mana setiap negara anggotanya

tidak boleh melanggar. Misalnya, suatu negara tidak akan

beroleh izin bergabung ke dalam Uni Eropa jika tidak

menunjukkan komitmen nyata atas aturan konstitusinya, pemilu

yang bebas, dan jaminan atas hak-hak asasi manusia. Inilah

serangkaian faktor yang mempersulit Turki masuk ke dalam Uni

Eropa selain tentunya masalah kekuatan ekonominya. 

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merupakan satu bentuk IGO

yang khusus. Ini akibat sejarah panjang pendiriannya serta

luasnya keterlibatan negara-negara di dunia ke dalam

organisasi ini. PBB mengemban "impian" stoisisme yaitu "satu

pemerintahan dunia" atau "novum ordo seclorum." Kendati

tentunya, secara kritis dapat diujarkan bahwa dalam gagasan

satu pemerintahan dunia, dapat saja yang terjadi adalah

kekuasaan satu negara atau satu oligarki negara di dalam

organisasi ini atas "dunia." Negara dengan kekuatan ekonomi,

militer, politik, dan teknologi besar memiliki kans untuk

menjadi pengendalinya. 

Organisasi teroris dan pasukan militer swasta dimasukkan

oleh Magstadt ke dalam organisasi nonkonvensional dalam

konteks aktor-aktor non negara. Organisasi teroris ini sama

dengan MNC, yaitu beroperasi lintas negara dengan tujuan-

tujuan spesifik masing-masing. Organisasi teroris ini

beroperasi di banyak negara seperti Indonesia, Peru Bolivia,

31 | P a g e

Spanyol, Pakistan, ataupun Amerika Serikat tanpa harus berasal

dari negara-negara tersebut. Di Spanyol yang masih dilanda

pertikaian etnis Catalan dan Basque, serangan-serangan teroris

banyak dimaksudkan demi mempengaruhi hasil pemilu ataupun

pemilihan gubernur. Di Amerika Serikat, operasi-operasi Al

Qaeda ditunjukkan demi memberi peringatan kepada Amerika

Serikat untuk bersikap adil dalam kebijakan-kebijakan politik

luar negerinya di Timur Tengah. 

Firma-firma militer swasta merupakan perkembangan baru

yang cukup menyentak, kendati keberadaan "pasukan bayaran" di

kisah-kisah politik masa lalu sesungguhnya cukup biasa. Untuk

organisasi ini misalnya dapat disebut BlackWater Company

(basis di Amerika Serikat), Military Professional Resources

Incorporated (MPRJ) yang berbasis di Virginia (AS) merupakan

sedikit contohnya. Firma-firma militer swasta ini bertindak

sebagian besar bukan karena alasan moral, ideologi, ataupun

politik melainkan karena alasan profit layaknya MNC.

Blackwater misalnya, disewa oleh pemerintah transisi Amerika

Serikat untuk mengamankan pendudukan mereka di Irak.

Rekrutmen anggota militer swasta ini tidak semata-mata

berasal dari dalam negeri Amerika Serikat sendiri melainkan

bisa direkrut dari Filipina, Peru, Ekuador, untuk kemudian

didatangkan ke Amerika Serikat untuk dilatih secara militer-

profesional. Firma-firma militer swasta ini terbuka untuk

direkrut aktor-aktor negara demi tujuan politik spesifik pihak

penyewa.

32 | P a g e

33 | P a g e

REFERENSI

Benjamin N. Schiff, Building the International Criminal

Court, Cambridge University Press.

Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik,

(Jakarta: Rajawali, 2002), h. 499.

G. John Ickenberry, Strategic Reactions to American

Preeminence: Great Power Politics in the Age of Unipolarity, NIC

2020 Project, 23 Juli 2003.

Jacob Gustavsson, The Politics of Foreign Policy Change:

Explaining the Swedish Reorientation on EC Membership, (Lund:

Lund University Press, 1998).

Joakim Eidenfalk, Towards a New Model of Foreign Policy

Change, Refereed paper presented to the Australasian Political

Studies Association conference, University of Newcastle 25-27

September 2006.

K.J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis,

Jilid 1, Penerjemah M. Thahir Azhary, (Jakarta: Erlangga, 1988)

Marti Griffiths, Beyond the Bush Doctrine: American Hegemony

and World Order, Australasian Journal of American Studies.

Philip G. Cerny, Embedding Neoliberalism: The Evolution of a

Hegemonic Paradigm, The Journal of International Trade and

Diplomacy 2 (1), Spring 2008:1-46.

34 | P a g e

Reinhard Meyes, Contemporary Developments in International

Relations, (Serbia, University of Novi Sad : Centre for Advanced

European Studies and Research, 2005).

Sezai ÖZÇELİK, Neorealist And Neo-Gramscian Hegemony in

International Relations and Conflict Resolution during the

1990’s, Ekonomik ve Sosyal Araştırmalar Dergisi, Güz , 2005.

Skyler J. Cranmer, Realism and Liberalism : Third Pass,

Summary, 22 September 2005.

Thucydides, History of the Peloponnesian War, Book 5: The

Melian Dialogue, Translated by Rex Warner, (Penguin Books ,

1954).

William C. Wohlforth, The Stability of a Unipolar World,

International Security, Vol. 24, No. 1 (Summer 1999), pp. 5–41.

William J. Duicker and Jackson J. Spielgovel, World History:

Volume II Since 1500, 5th Edition (Belmont: Thomson Higher

Education, 2007) p. 643-7. 

Thomas M. Magstadt, Understanding Politikcs, Ninth Edition

(Boston: Wadsworth, 2011) p. 579-602.

35 | P a g e