kebebasan beragama atau berkeyakinan di indonesia

21
1 KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEYAKINAN DI INDONESIA Valerianus B. Jehanu Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan e-mail : [email protected] Jaminan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) di Indonesia masih menghadapi setidaknya tiga level tantangan: konseptual, sosial dan hukum. Pada level konseptual, konsep ini dinilai sebagian masyarakat sebagai konsep yang lahir dari tradisi barat yang tidak sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia yang religius. Konsep kebebasan beragama sering dianggap sebagai gagasan yang mengampanyekan kebebasan tanpa batas yang justru bertentangan dengan nilai-nilai lokal. Pada level sosial, sebagian masyarakat sekaian tidak siap menerima dan berinteraksi dengan perbedaan agama dan keyakinan. Meskipun dalam sejarahnya masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk, namun dalam praksisnya tidak ada jaminan bahwa penghormatan terhadap perbedaan dilakukan dengan cara yang patut dan nir kekerasan. Berbagai peristiwa di bumi pertiwi, mulai ujaran kebencian atas nama agama, persekusi dan kekerasan, pelarangan kegiatan beragama dan sebagainya memperlihatkan bagaimana tindakan intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama masih terus terjadi,. Pada level hukum, penegakan hukum terhadap berbagai tindakan pelanggaran KBB masih belum maksimal. Tidak jarang pula, korban yang umumnya dari kelompok minoritas mengalami kriminalisasi karena didakwa melakukan tindak pidana penodaan agama atau mengganggu ketertiban umum. Problem penegakan hukum ini muncul karena peraturan perundang-undangan yang lebih berat menekankan pada pembatasan kemerdekaan beragama, seperti Undang- Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/Penodaaan Agama; SKB 3 Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, Peraturan Bersama 2 Menteri Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah dan keberadaan berbagai peraturan di tingkat daerah yang membatasi kemerdekaan beragama kelompok minoritas.

Upload: khangminh22

Post on 29-Apr-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

KEBEBASANBERAGAMAATAUBERKEYAKINANDIINDONESIA

ValerianusB.Jehanu

FakultasHukumUniversitasKatolikParahyangan

e-mail:[email protected]

Jaminanhakataskebebasanberagamaatauberkeyakinan(KBB)diIndonesiamasih

menghadapisetidaknyatigaleveltantangan:konseptual,sosialdanhukum.Padalevel

konseptual, konsep ini dinilai sebagian masyarakat sebagai konsep yang lahir dari

tradisi barat yang tidak sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia yang religius.

Konsepkebebasanberagamaseringdianggapsebagaigagasanyangmengampanyekan

kebebasan tanpabatas yang justru bertentangandengannilai-nilai lokal. Pada level

sosial, sebagian masyarakat sekaian tidak siap menerima dan berinteraksi dengan

perbedaanagamadankeyakinan.MeskipundalamsejarahnyamasyarakatIndonesia

merupakanmasyarakatmajemuk,namundalampraksisnyatidakadajaminanbahwa

penghormatan terhadap perbedaan dilakukan dengan cara yang patut dan nir

kekerasan.

Berbagai peristiwa di bumi pertiwi, mulai ujaran kebencian atas nama agama,

persekusi dan kekerasan, pelarangan kegiatan beragama dan sebagainya

memperlihatkan bagaimana tindakan intoleransi dan pelanggaran kebebasan

beragamamasihterusterjadi,.Padalevelhukum,penegakanhukumterhadapberbagai

tindakan pelanggaran KBBmasih belummaksimal. Tidak jarang pula, korban yang

umumnya dari kelompok minoritas mengalami kriminalisasi karena didakwa

melakukan tindak pidana penodaan agama atau mengganggu ketertiban umum.

Problempenegakanhukum inimunculkarenaperaturanperundang-undanganyang

lebihberatmenekankanpadapembatasankemerdekaanberagama, sepertiUndang-

UndangNomor1PNPSTahun1965tentangPencegahanPenyalahgunaan/Penodaaan

Agama;SKB3MenteriTahun2008tentangAhmadiyah,PeraturanBersama2Menteri

Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah dan keberadaan berbagai peraturan di tingkat

daerahyangmembatasikemerdekaanberagamakelompokminoritas.

2

Berbagaiperaturantersebutdalambanyaklaporantelahterbuktigagalmenjamin

hakataskemerdekaanberagama.TentusajainibukanhanyafenomenakhasIndonesia,

di tingkat global pun bisa ditemukan bagaimana kebebasan beragama, dalam

pengalamanduniabaratjugaterusmenerusdidiskusikanulang.Kitabisatemukandari

laporanmediamassayangmembentukpersepsiumumbahwakonflikglobalberakar

pada konflik yang bernuansa keagamaan, setidaknya pasca penyerangan WTC 11

September 2001 yang dilanjutkan dengan berkembangnya aksi terosisme dimana-

mana.Agamapunturutmengambilperansebagaikomunitaspenafsiran(communities

ofinterpretation)dalamisu-isupublik.Bahasakeagamaanikutmewarnaidebatpublik,

mulaidariisulegalisasiaborsi,euthanasiasukarela,risetbiogenetikayangmencuatkan

debat bioetika, sampai pernikahan sejenis. Akibatnya, diskursus keagamaan makin

berpengaruh pada pembentukan opini publik, bahkan dalam diri masyarakat yang

sudahsangatsekularsekalipun.

PengertianAgama

Pertama-tama untuk membahas definisi agama, yang harus kita perhatikan dari

sudutpandanghukum,agamadiletakkansebagaibagiandarihakasasimanusia.Dalam

konteksHAMinternasional,indikasikearahpendefinisianinidiberikanolehKomentar

Umum Dewan HAM PBB Nomor 22, Paragraf 2 atas Pasal 18 ICCPR (International

Covenant on Civil and Political Rights) yang berupayamendefinisikan agama secara

cukup luas.Disebutkandisitubahwaistilahkepercayaandanagamaharusdipahami

secaraluas,jadimencakupkepercayaan-kepercayaantauhid,nontauhid,danateisme,

serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apapun. Pasal 18 ICCPR

dalam hal ini menempatkan agama dalam konteks kebebasan untuk memiliki atau

menganutagamaataukepercayaanataspilihannyasendiri,termasukberpindahatau

meninggalkan agama atau kepercayaan (forum internum) dan kebebasan untuk

mengejawantahkan (tomanifest) agama atau kepercayaannya yangdalamDeklarasi

Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasar Agama dan

Kepercayaan (1981) mencakup menjalankan agama dan kepercayaannya dalam

3

kegiatan ibadah, memiliki tempat ibadah, menggunakan/memakai simbol-simbol

agama,memperingatiharibesarkeagamaan,menunjukataumemilikpemimpinagama,

melakukansiarkeagamaan,dansebagainya.

Apabilakitamelihatnyasecarasosiologis,salahsatupandanganyangbisadirujuk

adalah pendapat Emile Durkheim yang mendefinisikan agama sebagai sistem

kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan dengan hal-hal yang kudus.

Kepercayaandanpraktek-praktekyangbersatumenjadisuatukomunitasyangtunggal.

Daridefinisiiniadaduaunsuryangpenting,yangmenjadisyaratsesuatudapatdisebut

agama,yaitusifatkudusdariagamadanpraktekritualdariagama.Daridefinisiinikita

bisa lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dari substansi isinya, tetapi dari

bentuknya,yangmelibatkanduaciritadi.KudusdalampengertianDurkheimbukanlah

dalam artian teologis, tetapi sosiologis. Sifat kudus itu dibayangkan sebagai suatu

kesatuanyangberadadiatassegala-galanya.

Secaraetimologis,kataagamaberasaldaribahasaSansekerta,berasaldarikata“a”

yangberartitidakdan“gama”yangberartikacau.Karenaitu,agamabiasanyadiartikan

sebagaiperaturankehidupanagarmanusiaterhindardarikekacauan.Adapulayang

mengartikan agama dari “a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti “pergi” atau

“berjalan”. Dari sudut ini, agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, kekal dan

terwariskan, Pemaknaan demikian kerena di dalam agama ada nilai universal yang

tetap,abadidanberlakusepanjangmasa.Selain itu,dalamBahasa Inggrisyangbisa

ditemukanadalah istilahreligion yangberarti keyakinanpadaTuhanataukekuatan

supramanusia untuk disembah sebagai pencipta dan penguasa alam semesta.

Pengertian religion juga mencakup sistem kepercayaan dan peribadatan tertentu.

Sedangkanreligiousberartiketakwaanatausesuatuyangsangatmendalam(Rumadi,

2016:110-111).

DalamtradisiLatin,religioberartiderivasidaribeberapakonsepsepertireligare(to

bindbackataumengikatkembali);relegere(toreadagainataumembacaulang);atau

religereorrecolligere(torecollect).Ketigakonsepinimemilikikesamaanyakniupaya

reflektifyangdapatdigunakansebagaimodalitasdalambertindak.NicolasofCusadan

4

MarsilioFicinobahkanmenggunakanketigakonsep ini secarabersamaan“nos Ipsos

relegendo religantes Deo, religiosi sumus”, kita menjadi religius ketika melakukan

pembacaanulangatasteks-teksyangkudus,yangdenganitukemudianmembawakita

(manusia) kembali kepada Tuhan. Dalam konteks itu, baik Cusa maupun Ficino

berargumen bahwa religion bukanlah bagian dari terms of political force (Leinkauf,

2014:165).

Persoalannyamenjadinyataketikagagasantentangagamatadididefinisikanoleh

otoritassepertinegara.ThomasLeinkaufdalamTheConceptofReligioninEarlyModern

Philosophy melihat kecenderungan ini mengarah pada penggunaan agama sebagai

instrumenpolitik.Hal iniditandai setidak-tidaknyasejakmasaNiccolòMacchiavelli.

Jika sebelumnyaagamadiletakkandalampengertiannyayang sangathumanis, pada

masaMacchiavelli jejak-jejak transendenyangmenjanjikankehidupanspiritualbagi

bumimanusiatermasukhukumTuhanmulaidigeser.BagiMacchiavelli,agamatidak

lain adalah saranamempromosikan solidaritas dan kohesi sosial, yang ditinjau dari

sudut pandang kekuatan politik berguna untuk membuat rakyat tetap tenang

sementaraparapenguasasedangmempersiapkanperangdansebagainya (Leinkauf,

2014:167).

“Religionisinthatcontextnothingelsethanapromoterofsolidarityandcohesionin

societiesand,seenfromtheviewpointofpoliticalpower,ameanstodirectpeopleand

tokeeppeoplecalmwhiletherulersare,forexample,preparingwar”.

Maka, agama perlu diatur oleh negara, bahkan dikelola sebagai bagian yang

fundamental untuk mempertahankan negara. Macchiavelli melihat ada hubungan

resiprokal antara agama yang hidup di masyarakat dengan cara kerja dan fungsi

masyarakatuntukbersatumempertahankannegara(Leinkauf,2014:167).

“Theleadersofarepublicorofastatehavetomaintainthefundamentsofthereligion

ofthatrepublicorkingdom,anditwillbeeasy,the,bydoingthis,tomaintainalsothe

republicreligiousand,consequently,goodandunited”.

Untuk konteks Indonesia, definisi agama juga tidak lepas dari politik agamadan

negara yang berkembang sejak sebelum rapat BPUPK, pada masa-masa sidang di

5

BPUPK,hinggasetelahnya.Merujuksejarahnya,DepartemenAgamapadatahun1952

mengajukandefinisi agama yangmencakup tiga unsur: adanyanabi, kitab suci, dan

pengakuan internasional.Usulandefinisi agamayangminimal, sempitdansektarian

tersebutadalahbentukmenutuppeluangbagi“kepercayaan”kelompokabanganuntuk

diakui sebagai agama. Usulan definisi tersebut memang mendapat penolakan, dan

sekalipun tidak pernah dicatatkan dalam dokumen negara, ia telah efektif dipakai

untukmengklasifikasidanmenentukanapayangdapatdantidakdapatdikategorikan

sebagai agama, dan siapa yang dapat dan tidak dapat dianggap sebagai kelompok

agama(Maarif,2017:25).

NegaradanAgama

Seringkalidapatditemukanpertanyaanseperti:agamaapasajayangdilindungioleh

hakkebebasanberagamadanberkeyakinan?apakahhanyaagama-agamabesardunia

atau termasuk agama/kepercayaan lokal? apakah semua agama dan segala macam

kepercayaan.Pertanyaanitusebenarnyajebakan.Orangseringberasumsibahwahak

kebebasan beragama dan berkeyakinan melindungi agama atau kepercayaan.

Sebenarnya tidak, seperti halnya semua HAM lainnya, yang dilindungi adalah

manusianya,bukanagamaataukepercayaanitusendiri.

Kebebasan beragama dan berkeyakinan melindungi orang-orang yang memeluk

suatu agama,meyakini ataumempraktikan agama-agama lama, baru, agama-agama

yangmenyejarahdisuatunegara,maupunagama-agamalainnya.Kebebasanberagama

dan berkeyakinan juga melindungi orang-orang dengan kepercayaan non-agama,

seperti atheis, humanis, dan sebagainya dimanapun mereka berada. Bahkan juga

melindungi orang-orang yang tidak peduli dengan agama atau kepercayaan sama

sekali.Dengankatalain,melindungisetiaporang.

Mengenai hubungannegara dan agama,KomentarUmumKovenanHak Sipil dan

PolitikNomor22Angka9menyatakanpersoalanbukanpadaadanyaagamanegara,

agamaresmiatauagamatradisiatauagamayangdianutsecaramayoritas.Hal-halini

diperbolehkanmenurut Hukum Internasional sejauh tidakmengurangi penikmatan

6

hak atau menjadikan diskriminasi bagi penganut agama lain (yang tidak dijadikan

sebagai agama resmi negara), atau mereka yang bukan pemeluk agama manapun.

Diskriminasidisiniantara lainberupa laranganmemberikan layananpublikkepada

merekaataumemberikanpengistimewaanekonomiataupelarangantertentuterkait

praktikkeyakinanyang lain.Demikianpulaadanya ideologi resmidalamkonstitusi,

hukum,ataupraktikdisebuatnegara.Kenyataantersebuttidaklahbolehmengurangi

kebebasanberagamaatauberkeyakinanatauhaklaindantidakmendiskriminasiorang

yangtidakmenerimaatautidakbersepakatdenganidelogiresmitersebut(Asfinawati,

2016:94-95).

HakyangDilindungidalamKebebasanBeragamaBerkeyakinan

Untukmengetahuihak apa saja yangdilindungidalamkebebasanberagama, kita

perlumelihatPasal18DeklarasiUniversalHakAsasiManusia1948danPasal18ICCPR.

Deklarasimenyatakanadanyakehendakpolitik,sedangkankovenanmengikatsecara

hukum.RumusanPasal18ICCPRmenyatakan:

1. Setiaporangberhakataskebebasanberpikir,keyakinandanberagama.Hakini

mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas

pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara sendiri maupun bersama-sama

denganoranglain.Baikditempatumumatautertutup,untukmenjalankanagama

atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan dan

pengajaran;

2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk

menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan

pilihannya;

3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang

hanyadapatdibatasiolehketentuanberdasarkanhukum,danyangdiperlukan

untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat

atauhak-hakdankebebasanmendasaroranglain;dan

7

4. Negarapihakdalamkovenan iniberjanjiuntukmenghormatikebebasanorang

tua dan apabila diakui wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa

pendidikanagamadanmoralbagianak-anakmerekasesuaidengankeyakinan

merekasendiri.

Jadi, unsur-unsur yang dilindungi pertama dan utama adalah kebebasan untuk

memiliki, memilih, mengubah ataumeninggalkan agama atau kepercayaaan (forum

internum) dan kebebasan untukmemanifestasikan agama atau kepercayaan (forum

eksternum). Diatas semua itu ada hak untuk mendapatkan perlindungan dari

pemaksaandanperlindungandaridiskriminasi atasdasar agamaataukepercayaan.

Unsurberikutnyaadalahhakbagiorangtuadananak-anakmenyangkutagamaatau

kepercayaan,danhakataskeberatanberdasarkanhatinurani.Kewajibannegarajuga

dapatdilihatdalamDeklarasiPenghapusanSemuaBentukIntoleransidanDiskriminasi

berdasarkanAgamaTahun1981.RumusanPasal2Deklarasi inimenegaskan “tidak

seorangpunbolehmenjadisasarandiskriminasiolehNegara,lembaga,kelompokatau

individuatasdasaragamaataukepercayaan”.

DalamkonteksIndonesia,jaminanterhadapHAMdiKonstitusimengalamipasang

surut. Sejak berlakunya UUD 1945, rumusan Pasal 29 ayat (2) telah menyatakan

“negaramenjaminkemerdekaantiap-tiappendudukuntukmemelukagamanyamasing-

masingdanuntukberibadatmenurutagamanyadankepercayaannyaitu”.Amandemen

UUD1945kemudianmengatur lebih jelas tentangkewajibannegara terhadapHAM

maupunkebebasanberagamaberkeyakinan.Pasal28Iayat(4)mengaturperlindungan,

pemajuan,penegakandanpemenuhanHAMadalahtanggungjawabnegara,terutama

pemerintah.PasalinimenjadisumberkomitmenIndonesiaterhadapHAMdanjugaasal

usul kewajiban Pemerintah. Lebih lanjut Pasal 28I ayat (5) menyatakan untuk

menegakkandanmelindungi hakasasimanusia sesuai denganprinsip negarahukum

yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur dan dituangkan dalam

peraturanperundang-undangan.HaliniadalahturunandariPasal1ayat(3)UUDNRI

8

1945yangmenyatakanNegaraIndonesiaadalahnegarahukum.Artinya,berjalannya

negaradiaturdanharussesuaidenganhukum.

PengaturanselanjutnyadapatditemukandalamUUNomor39Tahun1999tentang

HAM. Pasal 71 UU ini menegaskan “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab

menghormati,melindungi,menegakkandanmemajukanHAMyangdiaturdalamUUini,

peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang HAM yang

diterimaolehNegaraRepublikIndonesia”.KetentuaninidiperkuatPasal7ayat(2)UU

Nomor39Tahun1999yangmenyatakan“KetentuanhukumInternasionalyangsudah

diterima Negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi

hukumnasional”.DemikianpuladenganPasal67yangmengatur“setiaporangyangada

di wilayah Negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-

undangan, hukum tidak tertulis dan hukum internasional mengenai HAM yang telah

diterima Negara Republik Indonesia”. Dengan demikian jelas seluruh hukum

internasional yang telah diterima Indonesia mengikat dan wjaib dipatuhi serta

dilaksanakan.TerkaitkewajibanituIndonesiatelahmenjadikanKovenanInternasional

HakSipildanPolitikmenjadihukumIndonesiamelaluiUUNomor12Tahun2005.

PembatasanHakBeragama

Jika konsep kebebasan beragama dalam HAM Internasional bermaksud melindungi

manusianya, termasuk kebebasan untuk tidak memilih/berafiliasi dengan agama

tertentu,mengapadiIndonesiaadaistilah“agamayangdiakui”?Apakahhakberagama

bolehdibatasiolehnegara?dalamsituasiapahakitubolehdibatasi?

Pertamayangharusdijawabadalahapakahhakberagamabisadibatasi.Pasal18

ayat (3) Kovenan Hak Sipil dan Politik menjelaskan bahwa pembatasan harus

berdasarkan hukum dan sepanjang diperlukan untuk melindungi keselamatan

masyarakat(publik),ketertibanmasyarakat,kesehatanmasyarakat,moralmasyarakat,

sertahakdankebebasanmendasaroranglain.Tetapiingat,pembatasanituhanyabisa

diberlakukansecaraterbataspadaforumeksternum,sementarauntukforuminternum

mengenaihakuntukmemiliki,memilih,bergantiataumeninggalkansuatuagamaatau

9

kepercayaanadalahhakyangmutlak.Makatidaklahdapatdibatasiolehnegara.Salah

satutitikberangkatawaluntukmemperjelasmaknapembatasanyangditerimacukup

luasadalahPrinsip-PrinsipSirakusayangdirumuskanpada tahun1984diSirakusa,

Italia. Motivasi awal perumusan prinsip itu adalah penyalahgunaan pembolehan

pembatasan oleh pemerintah. Karena kerap pembatasan ini digunakan oleh

pemerintah, para ahli hukummerasaperlumelihat dasar pembatasandengan lebih

seksamaagarimplementasiICCPRdapatdilaksanakandenganbaik(Bagir,2019:8-9).

Sasaranutamaprinsipiniadalahtigahal:pembatasanyangabsah,prinsippenafsiran

yang menjadi kerangka penerapannya dan beberapa karakter utama dasar

pembatasan.

Kedua,setelahmengenalbahwapembatasandapatdilakukanhanyapadawilayah

forumeksternum,makapertanyaanberikutnyatadiapaprasyaratuntukmelakukan

pembatasan. Dalam hukumHAM internasional, pertama, segala bentuk pembatasan

harus diatur dengan hukum. Alasannya, agar negara, polisi dan pengadilan tidak

melakukan pembatasan ini seenaknya dan secara inkonsisten. Kedua, pembatasan

haruslahdiperlukangunamelindungikeselamatan,ketertiban,kesehatanataumoral

masyarakat dan hak serta kebebasan orang lain. Hal ini penting, membatasi KBB

dengan maksud melindungi hak serta kebebasan orang lain berbeda dengan

melindungikepentingansebagiankelompok.Ketiga,pembatasantidakbolehbersifat

diskriminatif.Empat,pembatasanharussebandingdenganpermasalahanyangterjadi

akibatdaripelaksanaan suatuhak.Aturan ini sangatpenting, tanpanya,pemerintah

bisa sesukahatimembatasipraktikberagamadarikelompokyang tidakdisukainya.

Pembatasan haruslahmerupakan pilihan terakhir dan bukannya digunakan sebagai

alatkontrololehnegaraataupemerintah.

Marikitagunakancontohuntukmenjelaskankeempataturantersebut.Bayangkan

di sebuahkotaada limakelompokagamayangberbeda, kelimanyamemiliki rumah

ibadahdanmenimbulkankebisinganyangtidakdisukaiolehpendudukdisekitarnya,

tetapi polisi hanya menerima keluhan dari salah satu kelompok saja. Kebisingan

dengan level yang tinggi tentu tidak baik bagi kesehatan publik dan karenanya itu

10

adalah alasan yang sah untuk melakukan pembatasan. Jadi, apa seharusnya yang

dilakukan pemerintah setempat? pengaturan seperti apa yang diperlukan? Dalam

kasus ini, suatu aturan umum yang mengatur volume suara yang diizinkan dalam

pertemuanpublikdapatdibuat.Suatuaturanyangberlakusetarabagisemuakelompok

agama dan kelompok lainnya. Jika ada yangmelebihi volume yang diizinkan,maka

layakdimintauntukmengurangiatauakandikenaisanksi.Menjaditidakproporsional

jika mereka diminta tidak menggunakan suara sama sekali atau melarang mereka

untuk melaksanakan pertemuan apapun. Polisi seharusnya menerapkan ini secara

merata,bahkanjikaaduanitudatangdarisalahsatukelompokminoritasterhadapyang

mayoritas.

Ketikasuatunegaramelakukanpembatasan,adabeberapapertanyaanyangharus

diajukan oleh Pengadilan untuk menilai apakah ada pelanggaran atau tidak dalam

pembatasan. Pertama, apakah pembatasan tersebut merintangi hak mutlak untuk

memiliki atau menganut suatu agama/kepercayaan. Jika pembatasan dilakukan

terhadaphakmutlak,makapembatasanmenjaditidaksah.Namunjikayangdibatasi

adalah manifestasi terhadap hak tersebut maka pertanyaannya apakah praktik

keagamaan itu ada keterkaitan dengan hak mutlak tadi? atau ia termasuk sebagai

perilaku biasa. Suatu perbuatan yang kita lakukan seringkali dipengaruhi oleh

kepercayaankita.Tetapitidaksemuayangkitalakukanadalahmanifestasidariajaran

agamaataukepercayaanyangdilindungi.Dalambeberapakasus,halinimudah,pergi

kegerejaeratkaitannyadenganKristen,danpuasaeratkaitannyadenganIslam,tetapi

tidaksemuakasussemudahitu.BagiorangKristen,mengenakanrosariomenunjukkan

ekspresi dalam tentang identitas keagamaannya. Perempuan muslim juga memiliki

pendapat yang berbeda tentang hijab. Bukan tugas pengadilan untuk menentukan

mana yang benar, dalammemutuskan apa yang termasuk pelaksanaan dari ajaran

agama,pengadilanmenghadapi resikountukmembuatputusanyangberdasarpada

satudoktrintertentuyangbisajadiberangkatdarisalahsatuinterpretasikeagamaan

tertentu.

11

Selanjutnyakitaperlumemeriksaapakahpembatasandiaturdenganhukum. Jika

tidakadadasarhukumnyamakapembatasaninitidaksah.Langkahselanjutnyaadalah

apakah pembatasan ini diperlukan untuk alasan yang sah.Menjawab ini, kita perlu

memeriksaketerkaitanantarapraktikyangdibatasidengansalahsatualasanyangsah,

juga apakah pembatasan itu diperlukan. DalamHAM internasional, alasan yang sah

untukmembatasipelaksanaanhakatasKBBadalahuntukkeselamatanmasyarakat,

ketertibanmasyarakatdankesehatanataumoralmasyarakatatauhakdankebebasan

oranglain.Jadikitaperlumelihatbagaimanaperbuatanyangdibatasiitumengancam

hak-haktersebut.

Seringkali, alasan yang sah untuk pembatasan KBB bersinggungan dengan

ketertibanmasyarakat. Ada kasus-kasus dimana orang tersinggung karena ekspresi

keagamaanyangdilakukansecaradamaidianggapsebagaibentukpenodaanagama,

ancaman atau hasutan sehinggamenimbulkan respons kekerasan. Beberapa negara

mengatur larangan terhadap ekspresi keagamana yang dilakukan secara damai,

merekaberpendapatbahwaterdapatalasanyangsahkarenaterkaitdenganketertiban

masyarakat, untuk menghindari kerusuhan massa. Indonesia misalnya, melarang

ekspresi kepercayaan Ahmadiyah dan Ateisme dengan dasar ini. Akibatnya, korban

kekerasan seringkali dijatuhi hukuman karena penodaan agama, sementara pelaku

kekerasaannyatidakdihukumkarenapenyeranganyangdilakukannya.Hukumseperti

initidakmengurangikekerasan, justrumemperkuatpandanganadanyakepercayaan

yangsalahdanharusdihukum.

Secarateoritik, istilahpenodaanagamapadanannyaadalahblasphemy,ada istilah

lain yaitu penistaan agama yang padanannya adalah defamation of religion dan

pernyataankebencianatauhatedspeech.Ketigakonseptersebutagaksulitdibedakan

dalambahasaIndonesia.

Jika dikaitkan dengan delik pidana yang diatur dalam hukum pidana Indonesia,

menurutBardaNawariArief, delikharusdibedakan antaradelikagamadandelik

terhadap agama. Membunuh, mencuri, dan sebagainya adalah perbuatan yang

dianggapsebagaikejahatanolehagamadanhukumnasional.Sementarapindahagama

12

(murtad)misalnya,meskipunolehIslamdianggapsebagaitindakpidana,namunKUHP

tidak menjadikan pindah agama sebagai kejahatan. Delik terhadap agama terkait

dengan perbuatan-perbuatan yang dianggap menghina atau menistakan terhadap

agamaatauhal-halyangdisakralkanagama.Dengandemikian,delikinidimaksudkan

untukmelindungi“agama”dariperbuatanyangmenghinakanTuhandanagama.Ada

satukelompoklagiyangdisebutdengandelikterhadapkehidupanberagama.Delik

ini terkaitdenganperbuatanyangsebenarnyatidakterkait langsungdenganagama,

tetapimenyangkutkehidupankeagamaanmasyarakat,sepertimerintangipertemuan

atauupacarakeagamaan,penguburanjenazah,menghinabenda-bendayangdigunakan

untukibadah,danmenggangguorangyangsedangberibadah(Arief,2007:1-2).

Berdasarkanklasifikasitersebut,delikyangjustrubanyakdiakomodasidalamKUHP

adalah delik yang “terkait dengan keagamaan masyarakat” atau delik terhadap

kehidupan beragama. Sedangkan jenis delik terhadap agama, pada awalnya tidak

dikenal dalam KUHP. Delik terhadap agama baru dimasukkan dalam KUHP

(bandingkanPasal156aKUHP)melaluiUUNomor1/PNPS/1965tentangPencegahan

PenyalahgunaanatauPenodaanAgama(Rumadi,2012:250).

RumusanPasal1UUNomor1/PNPS/1965:

“Setiaporangdilarangdengansengajadimukaumummenceritakan,menganjurkan,ataumengusahakandukunganumumuntukmelakukanpenafsirantentangsesuatuagamayangdianutdiIndonesiaataumelakukankegiatan-kegiatankeagamaanyangmenyerupaikegiatan-kegiatankeagamaandariagamaitu,penafsirandankegiatanmanamenyimpangdaripokok-pokokajaranagamaitu”.

RumusanPasal156aKUHPidana:

“Dipidanadenganpidanapenjaraselama-lamanyalimatahunbarangsiapadengansengajadimukaumummengeluarkanperasaanataumelakukanperbuatan:a.yangpadapokoknyabersifatpermusuhan,penyalahgunaanataupenodaanterhadapsuatuagamayangdianutdiIndonesia;b.denganmaksudagarupayaorangtidakmenganutagamaapapunjuga,yangbersendikanKetuhananYangMahaEsa”.

PembatasanHakBeragamadalamHukumdiIndonesia

Bagaimanapenerapanpembatasanhakberagamatadidalamhukumdi Indonesia?

termasukbagaimanaprinsiptersebutditerjemahkanolehMahkamahKonstitusisebagai

13

otoritasyangberwenangmenafsirkanmaksuddantujuanpembatasanhakdiPasal28J

UUDNRI1945?

AdabeberapaPutusanMahkamahKonstitusiyangmengujikonstitusionalitasnorma

UU Nomor 1/PNPS/1965. Satu diantara yang bisa disebutkan adalah Putusan MK

Nomor140/PUU-VII/2009,MKmenyatakanbahwaUUPenodaanAgamameskidibuat

dalamsituasidaruratpada tahun1965,masihdianggaprelevan, tidakbertentangan

denganUUD1945terutamayangterkaitdenganHAMdankebebasanberagamadan

berkeyakinan.Alih-alihmencabut,MKjustruberkeyakinanjikaUUPenodaanAgama

dicabut, akanmuncul anarki dan kekacauan sosial karena akan terjadi kekosongan

hukum. UU Penodaan Agama dianggap tidak terkait dengan kebebasan beragama,

tetapihanyaterkaitdenganpenodaanagama.

Mahkamah berpendapat bahwa untuk kepentingan perlindungan umum dan

antisipasi terjadinyakonflikdi tengahmasyarakat, baikhorizontalmaupunvertikal,

makaadanyaUUPenodaanAgamadinilaisangatpenting.Artinya,dasarpertimbangan

yang dijadikan argumen MK untuk mengambil keputusan ini tidak semata terkait

dengan konstitusi, tetapi juga ada pertimbangan sosiologis-politis. Pertimbangan

sosiologis antara lain tampakdalam argumenkekhawatiran akan timbul kekacauan

tadi. Meski dalam putusan itu disebut-sebut kategori forum internum dan forum

eksternum namun hal tersebut nyaris tidak menjadi rujukan argumen. Kata kunci

pembatasanyangdigunakanadalahPasal28JUUD1945, yangmembatasihakasasi

manusia, termasuk kebebasan beragama melalui pertimbangan moral, nilai-nilai

agama, keamanan dan ketertiban umum. MK dalam hal ini juga berpegang pada

kedudukannyasebagainegativelegislator(Rumadi,2012:246-248).

PengujianUUNomor1/PNPS/1965menjadiberalasankarenatelahmerugikanhak

konstitusionalbeberapakelompokwarganegara.ZainalAbidinBagirdalamLaporan

KehidupanBeragamadiIndonesiapadaDesember2017menulissetidaknyaempattipe

kasusyangdikenaisanksipidanaolehkeduaUUtersebut(Bagir,2017:4-7).

a. Mazhab/kelompokinternaldalamsuatuagama,yangtermasukdalamkasusini

adalahSyiahdanAhmadiyah(sebagaibagiandariIslam)danBaha’iyangmasing-

14

masingmengalaminasibberbeda.TerkaitSyiah,padatahun2012,TajulMuluk,

seorang pemimpin lokal Syiah di Sampang Madura diputus bersalah oleh

Pengadilan.SetelahTajulMulukdipenjaran,parapengikutnyadiungsikankeGOR

di Sampang lalu dipindah ke Rusun di Sidoarjo atas dasar keamanan dan

kekhawatiran akan terjadinya konflik sosial apabila mereka (pengikut Tajul

Muluk)tetapbertahandikampunghalamannya.BerbedadenganSyiah,anggota

ataupimpinanJemaatAhmadiyahIndonesia(JAI)belumpernahadayangdiadili

denganmenggunakanpasalpenodaanagama.Meskipundemikian,atasdasarUU

itu, pada tahun 2008 ada restriksi yang dituangkan Menteri Agama, Menteri

DalamNegeridanJaksaAgungyangmembatasiajaranAhmadiyahyangdianggap

menyimpang.MenyusulSKB,dibeberapadaerahdikeluarkanrestriksiyanglebih

ketathinggamelarangkeberadaanJAI.

b. Sekte atau Gerakan Keagamaan Baru, dalam tipe ini sebetulnya dari segi

perlakuannyaolehnegaratidakbanyakberbedadengantipesebelumnya.Secara

normatif, dalam kacamata UU Nomor 1/PNPS/1965, keduanya masuk dalam

kategori penyimpangan. Kelompok dalam tipe ini, seperti Gafatar dan

Salamullah/LiaEden,memilikijumlahyangjauhlebihsedikit,daniaberkembang

hanya di satu atau beberapa wilayah di Indonesia dan bukan bagian dari

kelompok internasional, dan karena itu cenderung lebih rentandari serangan.

KasusGafatarmisalnya,padatahun2017menyeretketigapimpinannya:Mahful

MuisTumanurung,AhmadMussadeq,danAndriCahya.MiripdengankasusTajul

Muluk,ketigaoranginidiadilidandivonisbersalahmelakukanpenodaanagama,

justrusetelahkomunitasnyadiserang(sekitar800orangterusirdariMempawah,

KalimantanBaratpadaJanuari2016).

c. Ujaran Publik (atau tindakan) yang menyinggung kelompok tertentu, yang

termasukdalamtipeiniadalahtindakanindividuyangdirasakanmenyinggung

kelompokkeagamaantertentu,ataukritisterhadapagama(agamasendiriatau

orang lain).DalambagianpenjelasandariUUNomor1/PNPS/1965,kelompok

keagamaanyangdilindungiadalahenamagama: Islam,Kristen,Katolik,Hindu,

15

Buddha,danKonghucu.Satuunsurpentingdisini,yangakandibedakandarijenis

berikutnyaadalahniatpelakunyayangsesungguhnya tidak terlalu jelas (tanpa

keraguan) untuk memusuhi, menyalahgunakan atau menodai agama, namun

dirasakanataudipersepsidemikianolehkelompoktertentu.Contohkasusterkait

tipe ini adalah Basuki Tjahaja Purnama, yang diputus bersalah dalam kasus

penodaan agama. Sementara Basuki menjadi sasaran demonstrasi yang

menuntutnyadipenjara, ImamBesarFrontPembela Islam,RiziehShihab,yang

diadukan ke polisi oleh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia

(PMKRI) karena pernyataannya yang mengkritik kepercayaan Kristen: “Kalau

Tuhanberanak,terusbidannyasiapa?”justrutidakberlanjutkasusnya.

d. Ujarankebencian,provokasiatauhasutanuntukkekerasan,yangtermasukdalam

tipe ini adalah ujaran atau tindakan langsung atau melalui media, yang

dimaksudkan untuk merendahkan, mendiskriminasi atau mengundang

kekerasan.Contohdalamkasus ini adalahShobri Lubis, SekjenFPI, yangpada

2008secaraterbukadalamsebuahceramahmenyerukaneksplisituntuk“bunuh

Ahmadiyah dimanapun mereka berasa”. Peristiwa yang terjadi tiga tahun

sebelum tiga orang Ahmadiyah dibunuh di Cikeusik itu pernah dilaporkan ke

polisi,namuntampaknyatidakdiproseslebihlanjut.

Berdasarkanvariantipekasusdiatas,makadapatdibedakanyangpertamaterkait

“penyimpangan”, dan dua terakhir terkait “penodaan”, terlepas dari adanya niat

penghinaan atau permusuhan. Kasus-kasus tersebut mengantar kita pada sebuah

pertanyaan kritis: apakah benar ketentuan mengenai penodaan agama diperlukan

untukmemastikan kerukunan sebagaimana dipahami olehHakimKonstitusi? konsep

kerukunan sendiri tidak memiliki definisi yang tegas, namun biasanya dipahami

sebagaisituasidimanatidakadakonflik,ataukonflikdapatdiselesaikandengancara

beradab.Dalamcontohkasusdiatas,tipepertamadankeduamenunjukkanbagaimana

legislasi penodaan agama justru dikenakan pada mereka yang memiliki perbedaan

penafsiranatasagama,danbukansesuatuyangbersifatpermusuhanataupenghinaan

16

yang disengaja. Permusuhan, secara ironis, justru dilakukan oleh kelompok yang

menentangnya,yangtidakterkenapasalpenodaan.DalamkasusAhmadiyahdanSyiah,

hukumjustrutidakmampuberbicarabanyakuntukmenindakmerekayangmelakukan

penyerangan atau pengerusakan. Jelas ini bukan situasi ideal kerukunan, seperti

apapun konsep ini didefinisikan. Dalam logika legislasi penodaan agama dan

implementasinya,ketidakrukunandilakukanbukanolehkelompokyangmenyerang,

tetapiolehkorbannya(Bagir,2017:8).

MengenaiAgamadan(Penghayat)Kepercayaan

Halberikutnyayangperludisinggungketikamendiskusikankebebasanberagama

atau berkeyakinan di Indonesia adalah keberadaan penghayat kepercayaan atau

penganutagama-agamalokaldiIndonesia.NggayMehangTana,PagarDemanraSirait,

Carlim dan Arnol Purba, yang keempatnya adalah penghayat kepercayaan yang

tersebardibeberapawilayahdiIndonesiamengajukanujimateriilterhadapbeberapa

ketentuan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) ke

MahkamahKonstitusi.Paramemohonmengartikulasikankerugiankonstitusionalnya

danmemintaMKmemutuskata“agama”dalamPasal61ayat(1)danPasal64ayat(1)

UUAdmindukbertentangandengankonstitusisepanjangtidakdimaknaikata“agama”

tersebuttermasukjuga“kepercayaan”.Sebagaikonsekuensiataspermohonanitu,para

pemohon jugamengajukanpermohonanagarMKmenyatakanPasal62ayat(2)dan

pasal64ayat(5)bertentangandengankonstitusi.Berikutbunyikeduapasaltersebut

selengkapnya:

Pasal61ayat(1)UUNo23Tahun2006

KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepalakeluargadananggotakeluarga,NIK,jeniskelamin,alamat,tempatlahir,tanggallahir,agama,pendidikan,pekerjaan,statusperkawinan,statushubungandalamkeluarga,kewarganegaraan,dokumenimigrasi,namaorangtua.

Pasal64ayat(1)UUNo23Tahun2006

KTPmencantumkangambarlambangGarudaPancasiladanpetawilayahNegaraKesatuan Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempattanggal lahir, laki-laki atau perempuan,agama, status perkawinan, golongan

17

darah,alamat,pekerjaan,kewarganegaraan,pasfoto,masaberlaku,tempatdantanggaldikeluarkanKTP,tandatanganpemegangKTP,sertamemuatnamadannomorindukpegawaipejabatyangmenandatanganinya.

Pasal61ayat(2)UUNo23Tahun2006

Keterangantentangagamasebagaimanadimaksudpadaayat(1)bagipendudukyang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuanperaturan perundangundangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi,tetapitetapdilayanidandicatatdalamdatabasekependudukan.

Pasal64ayat(5)UUNo.24Tahun2013

Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud ayat (1) bagipenduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkanketentuan Perundangundangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi,tetapitetapdilayanidandicatatdalamdatabasekependudukan.

Pengujian atas kata agama, di kedua pasal pertama oleh para pemohon tidak

dimaksudkanuntukmenghapuskolomagamadalamKKdanKTP,namunmenghendaki

agar dalam KK dan KTP dicantumkan juga Penghayat atau Kepercayaan. Hal ini

disebabkanolehkarenaselamainiberdasarkanPasal61ayat(2)dan64ayat(2)kolom

agama di KK dan KTP wajib dikosongkan bagi kaum penghayat kepercayaan.

Pengosongan kolom agama tersebut merupakan salah satu bentuk diskriminasi

terhadappenganut kepercayaan, serta dalamkenyataannyamereka punmengalami

perlakuanyangdiskriminatifbaikdariaparatpemerintahanmaupunmasyarakat.

Dalammenjawabpermohonanparapemohondiatasterdapatduapermasalahan

yangdibahasterlebihdahuluolehMKdalampertimbangannya.Permasalahanpertama

yaituapakahUUDNRI1945mengakuikeberadaanKepercayaanTerhadapTuhanYang

MahaEsasebagaisesuatuyangsetaradenganagamaatautidak.Permasalahanpertama

ini dipandang penting untuk menjawab permasalahan kedua, yaitu apakah dengan

dikosongkannyakolomagamabagipenganutkepercayaanketentuanyangmewajibkan

pengosongan kolom tersebut, yaitu pasal-pasal yang sedang diuji ini bersifat

diskriminatifatautidaksehinggadapatdikatakanbertentangandengankonstitusi.

Atas permasalahan pertama, MK berpendapat bahwa konstitusi pada dasarnya

telah mengakui keberadaan aliran kepercayaan di samping pengakuan terhadap

18

agama.MKmenggunakan tafsir leksikal sebagaidasarawaluntukmemahamiposisi

danhubungan“agama”dan “kepercayaan”.Untukmemperjelas,MK jugamemeriksa

semangatyangadadibalikperumusannormaPasal29danPasal28Eayat(1)danayat

(2)UUDNRI1945.

Menurut MK dari proses perumusan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 frasa

kepercayaan tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang terpisah dari agama.

Pencantuman kata “kepercayaan” bertujuan agar pemeluk agama selain Islam tetap

dijamin haknya untuk menjalankan agama sesuai dengan kepercayaannya. Artinya,

warga negara yang tidak beragama Islam, kepercayaannya tetap dilindungi sesuai

ketentuanPasal29UUDNRI1945.

Menggunakantigaasasdalampenafsirankontekstualyaitunoscituresocilis(suatu

kata harus dikaitkan dengan rangkaiannya), asas ejusdem generis (suatu kata atau

istilah dibatasi secara khusus dalam kelompoknya), dan expressio unius exclusion

alterius(suatukonsepdigunakanuntuksatuhalmakaiatidakberlakuuntukhallain)

MKmenyimpulkanbahwaincasuPasal61ayat(1)danayat(2)sertaPasal64ayat(1)

danayat(5)UUAdmindukberpegangpadapendirianbahwa“agama”yangdimaksud

adalahagamayangdiakui sesuaiperaturanperundang-undangan.Ataudengankata

lainhakataukemerdekaanwarganegarauntukmenganutagamadibatasipadaagama

yangdiakuisecaraperaturanperundang-undangan.

HalinilahyangtidaksejalandenganjiwaUUDNRI1945yangsecarategasmenjamin

bahwatiap-tiapwarganegaramerdekauntukmemelukagamadankepercayaandan

untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaan itu. Dari pandangan di atas MK

kemudianmenjawabpermasalahankedua,yaitu jikakedudukanKepercayaansetara

denganagama,makapengosongankolomagamabagipenganutkepercayaanbersifat

diskriminatifatautidak.

Dalammenjawab permasalahan ini, sebelumnyaMKmembahas terlebih dahulu

batasan tentang diskriminasi. Dalam memberikan batasan terkait diskriminasi MK

merujuk pada batasan-batasan yang telah dibuat MK sebelumnya dalam putusan

nomor070/PUU-II/2004tanggal12April2005,024/PUU-III/2005tanggal29Maret

19

2009 dan nomor 27/PUU-V/2007 tanggal 22 Februari 2008. Dari ketiga putusan

tersebut MK memberikan batasan terkait diskriminasi yaitu suatu perlakuan yang

berbeda tanpa adanya alasan yangmasuk akal (reasonable ground) gunamembuat

perbedaantersebut.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut MK menyimpulkan bahwa

pencantuman kolom agama dalam KK dan KTP bertentangan dengan konstitusi

sepanjang yang dimaksud “agama” tidak termasuk “kepercayaan”. MK memulai

pertimbangannyadenganmemandangbahwahakdasaruntukmenganutagama,yang

didalamnyamencakuphakuntukmenganutkepercayaanterhadapTuhanYangMaha

EsaadalahbagiandariHakAsasiManusia(HAM)dalamkelompokhak-haksipildan

politik.Haktersebutmerupakanhakalamiah(naturalrights)yangdimilikiolehsetiap

manusia,bukanpemberiannegara.PadaposisiiniMKmenegaskankembaliapayang

telahdiaturdalamPasal28Eayat(1)jo.Pasal28Iayat(1)jo.Pasal29ayat(2)UUDNRI

1945bahwapenghayatkepercayaanadalahpengembanhak(rightsholder)dannegara

adalah pengemban tanggung jawab (duty bearer) untuk menghormati, melindungi

serta memenuhi hak tersebut. Dengan pernyataan ini, MK juga ingin menegaskan

bahwapelayanandanpencatatantanpapencantumankepercayaandalamKTPdanKK

tidaklah cukup. Pelayanan dan pencatatan hanyalah penegasan tentang kewajiban

negarauntukmemberikanpelayanankepadasetiapwarganegara.Negarasebagaiduty

bearer jugamemiliki kewajiban untukmemberikan perlindungan dan jaminan bagi

pemenuhanhakpenghayatkepercayaan.

Berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor

97/PUU-XIV/2016 yang menyatakan “agama” dan “kepercayaan” adalah dua genus

yang berbeda namun setara, maka Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia

kemudian mengeluarkan Surat Edaran Nomor 471.14/10666/Dukcapil tentang

PenerbitanKartuKeluarga (KK)bagiPenghayatKepercayaanTerhadapTuhanYang

MahaEsatertanggal25Juni2018yangmerupakanaturanturunandariPermendagri

Nomor 118Tahun 2017 tentangBlankoKartuKeluarga, Register danKutipanAkta

Catatan Sipil membedakan nomenklatur bagi pencantuman Kepercayaan dengan

20

Agama.DalamSuratEdarantersebutdipertegasbahwa“untukpenulisankepercayaan,

kolomkepercayaanpadaKKakandiisidenganKepercayaanTerhadapTuhanYangMaha

Esa”. Hal ini didasarkan pada pertimbanganHakimdi PutusanMKNomor97/PUU-

XIV/2016:

“Bahwa agar tujuan untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan dapatterwujud serta mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakatIndonesia sangat banyak dan beragam, maka pencantuman elemen datakependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya denganmencatatkan yang bersangkutan sebagai “penghayat kepercayaan” tanpamerincikepercayaanyangdianutdidalamKKmaupunKTP-el,begitujugadenganpenganutagamalain(hlm.153)”.

Tindak lanjut Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 perlu dilandasi dengan

kesadaranbahwaaspekkesempatan(opportunity)danaspekproses(process)dalam

diskursuskebebasanberagamadanberkeyakinanperludipisahkan.Perlakuansetara,

yangsecaranormatifdiberikanmelaluipencantumankepercayaandalamKTPdanKK

adalah kebebasan yang sifatnya prosedural. Akan tetapi, kesetaraan dalam proses

belum tentu menjamin kesempatan yang substantif bagi penghayat kepercayaan,

seperti misalnya kebebasan dalam ekspresi spiritual, mengakses pendidikan dan

pekerjaansertamendapatpelayananpublik.Aspekyangterakhiradalahbagianyang

lebihfundamentaldalamkontekskebebasanberagama.

DaftarPustaka

Buku

Arief,BardaNawawi,DelikAgamadanPenghinaanTuhan(Blasphemy)diIndonesiadan

PerbandinganBerbagaiNegara,Semarang:UniversitasDiponegoro,2007.

Bagir,ZainalAbidin,KerukunandanPenodaanAgama:AlternatifPenangananMasalah,

Yogyakarta: Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Universitas Gadjah

Mada,2017.

______________________,PembatasanHakuntukKebebasanBeragamaatauBerkeyakinandi

Indonesia,Yogyakarta,CenterforReligiousandCross-CulturalStudies,Universitas

GadjahMada,2019.

21

Dja’far, Alamsyah M., ed., Buku Sumber Hak Atas Kebebasan Beragama atau

BerkeyakinandiIndonesia,Jakarta:WahidFoundation,2016.

Maarif, Samsul, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di

Indonesia,Yogyakarta:CenterforReligiousandCross-CulturalStudies,Universitas

GadjahMada,2017.

Jurnal

Rumadi, “Kebebasan dan Penodaan Agama: Menimbang Proyek “Jalan Tengah”

MahkamahKonstitusiRI”,JurnalIndo-Islamika,Vol.1No.2,2012/1433.

Thomas Leinkauf, “The Concept of Religion in Early Modern Philosophy – Three

Examples:Machiavelli,CardanoandBruno”,Problemata:RevistaInternacionalde

Filosofia,v.5n.1,2014.

PutusanPengadilan

PutusanMahkamahKonstitusiRepublikIndonesiaNomor140/PUU-VII/2009.

PutusanMahkamahKonstitusiRepublikIndonesiaNomor97/PUU-XIV/2016.