kebebasan beragama atau berkeyakinan di indonesia
TRANSCRIPT
1
KEBEBASANBERAGAMAATAUBERKEYAKINANDIINDONESIA
ValerianusB.Jehanu
FakultasHukumUniversitasKatolikParahyangan
e-mail:[email protected]
Jaminanhakataskebebasanberagamaatauberkeyakinan(KBB)diIndonesiamasih
menghadapisetidaknyatigaleveltantangan:konseptual,sosialdanhukum.Padalevel
konseptual, konsep ini dinilai sebagian masyarakat sebagai konsep yang lahir dari
tradisi barat yang tidak sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia yang religius.
Konsepkebebasanberagamaseringdianggapsebagaigagasanyangmengampanyekan
kebebasan tanpabatas yang justru bertentangandengannilai-nilai lokal. Pada level
sosial, sebagian masyarakat sekaian tidak siap menerima dan berinteraksi dengan
perbedaanagamadankeyakinan.MeskipundalamsejarahnyamasyarakatIndonesia
merupakanmasyarakatmajemuk,namundalampraksisnyatidakadajaminanbahwa
penghormatan terhadap perbedaan dilakukan dengan cara yang patut dan nir
kekerasan.
Berbagai peristiwa di bumi pertiwi, mulai ujaran kebencian atas nama agama,
persekusi dan kekerasan, pelarangan kegiatan beragama dan sebagainya
memperlihatkan bagaimana tindakan intoleransi dan pelanggaran kebebasan
beragamamasihterusterjadi,.Padalevelhukum,penegakanhukumterhadapberbagai
tindakan pelanggaran KBBmasih belummaksimal. Tidak jarang pula, korban yang
umumnya dari kelompok minoritas mengalami kriminalisasi karena didakwa
melakukan tindak pidana penodaan agama atau mengganggu ketertiban umum.
Problempenegakanhukum inimunculkarenaperaturanperundang-undanganyang
lebihberatmenekankanpadapembatasankemerdekaanberagama, sepertiUndang-
UndangNomor1PNPSTahun1965tentangPencegahanPenyalahgunaan/Penodaaan
Agama;SKB3MenteriTahun2008tentangAhmadiyah,PeraturanBersama2Menteri
Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah dan keberadaan berbagai peraturan di tingkat
daerahyangmembatasikemerdekaanberagamakelompokminoritas.
2
Berbagaiperaturantersebutdalambanyaklaporantelahterbuktigagalmenjamin
hakataskemerdekaanberagama.TentusajainibukanhanyafenomenakhasIndonesia,
di tingkat global pun bisa ditemukan bagaimana kebebasan beragama, dalam
pengalamanduniabaratjugaterusmenerusdidiskusikanulang.Kitabisatemukandari
laporanmediamassayangmembentukpersepsiumumbahwakonflikglobalberakar
pada konflik yang bernuansa keagamaan, setidaknya pasca penyerangan WTC 11
September 2001 yang dilanjutkan dengan berkembangnya aksi terosisme dimana-
mana.Agamapunturutmengambilperansebagaikomunitaspenafsiran(communities
ofinterpretation)dalamisu-isupublik.Bahasakeagamaanikutmewarnaidebatpublik,
mulaidariisulegalisasiaborsi,euthanasiasukarela,risetbiogenetikayangmencuatkan
debat bioetika, sampai pernikahan sejenis. Akibatnya, diskursus keagamaan makin
berpengaruh pada pembentukan opini publik, bahkan dalam diri masyarakat yang
sudahsangatsekularsekalipun.
PengertianAgama
Pertama-tama untuk membahas definisi agama, yang harus kita perhatikan dari
sudutpandanghukum,agamadiletakkansebagaibagiandarihakasasimanusia.Dalam
konteksHAMinternasional,indikasikearahpendefinisianinidiberikanolehKomentar
Umum Dewan HAM PBB Nomor 22, Paragraf 2 atas Pasal 18 ICCPR (International
Covenant on Civil and Political Rights) yang berupayamendefinisikan agama secara
cukup luas.Disebutkandisitubahwaistilahkepercayaandanagamaharusdipahami
secaraluas,jadimencakupkepercayaan-kepercayaantauhid,nontauhid,danateisme,
serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apapun. Pasal 18 ICCPR
dalam hal ini menempatkan agama dalam konteks kebebasan untuk memiliki atau
menganutagamaataukepercayaanataspilihannyasendiri,termasukberpindahatau
meninggalkan agama atau kepercayaan (forum internum) dan kebebasan untuk
mengejawantahkan (tomanifest) agama atau kepercayaannya yangdalamDeklarasi
Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasar Agama dan
Kepercayaan (1981) mencakup menjalankan agama dan kepercayaannya dalam
3
kegiatan ibadah, memiliki tempat ibadah, menggunakan/memakai simbol-simbol
agama,memperingatiharibesarkeagamaan,menunjukataumemilikpemimpinagama,
melakukansiarkeagamaan,dansebagainya.
Apabilakitamelihatnyasecarasosiologis,salahsatupandanganyangbisadirujuk
adalah pendapat Emile Durkheim yang mendefinisikan agama sebagai sistem
kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan dengan hal-hal yang kudus.
Kepercayaandanpraktek-praktekyangbersatumenjadisuatukomunitasyangtunggal.
Daridefinisiiniadaduaunsuryangpenting,yangmenjadisyaratsesuatudapatdisebut
agama,yaitusifatkudusdariagamadanpraktekritualdariagama.Daridefinisiinikita
bisa lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dari substansi isinya, tetapi dari
bentuknya,yangmelibatkanduaciritadi.KudusdalampengertianDurkheimbukanlah
dalam artian teologis, tetapi sosiologis. Sifat kudus itu dibayangkan sebagai suatu
kesatuanyangberadadiatassegala-galanya.
Secaraetimologis,kataagamaberasaldaribahasaSansekerta,berasaldarikata“a”
yangberartitidakdan“gama”yangberartikacau.Karenaitu,agamabiasanyadiartikan
sebagaiperaturankehidupanagarmanusiaterhindardarikekacauan.Adapulayang
mengartikan agama dari “a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti “pergi” atau
“berjalan”. Dari sudut ini, agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, kekal dan
terwariskan, Pemaknaan demikian kerena di dalam agama ada nilai universal yang
tetap,abadidanberlakusepanjangmasa.Selain itu,dalamBahasa Inggrisyangbisa
ditemukanadalah istilahreligion yangberarti keyakinanpadaTuhanataukekuatan
supramanusia untuk disembah sebagai pencipta dan penguasa alam semesta.
Pengertian religion juga mencakup sistem kepercayaan dan peribadatan tertentu.
Sedangkanreligiousberartiketakwaanatausesuatuyangsangatmendalam(Rumadi,
2016:110-111).
DalamtradisiLatin,religioberartiderivasidaribeberapakonsepsepertireligare(to
bindbackataumengikatkembali);relegere(toreadagainataumembacaulang);atau
religereorrecolligere(torecollect).Ketigakonsepinimemilikikesamaanyakniupaya
reflektifyangdapatdigunakansebagaimodalitasdalambertindak.NicolasofCusadan
4
MarsilioFicinobahkanmenggunakanketigakonsep ini secarabersamaan“nos Ipsos
relegendo religantes Deo, religiosi sumus”, kita menjadi religius ketika melakukan
pembacaanulangatasteks-teksyangkudus,yangdenganitukemudianmembawakita
(manusia) kembali kepada Tuhan. Dalam konteks itu, baik Cusa maupun Ficino
berargumen bahwa religion bukanlah bagian dari terms of political force (Leinkauf,
2014:165).
Persoalannyamenjadinyataketikagagasantentangagamatadididefinisikanoleh
otoritassepertinegara.ThomasLeinkaufdalamTheConceptofReligioninEarlyModern
Philosophy melihat kecenderungan ini mengarah pada penggunaan agama sebagai
instrumenpolitik.Hal iniditandai setidak-tidaknyasejakmasaNiccolòMacchiavelli.
Jika sebelumnyaagamadiletakkandalampengertiannyayang sangathumanis, pada
masaMacchiavelli jejak-jejak transendenyangmenjanjikankehidupanspiritualbagi
bumimanusiatermasukhukumTuhanmulaidigeser.BagiMacchiavelli,agamatidak
lain adalah saranamempromosikan solidaritas dan kohesi sosial, yang ditinjau dari
sudut pandang kekuatan politik berguna untuk membuat rakyat tetap tenang
sementaraparapenguasasedangmempersiapkanperangdansebagainya (Leinkauf,
2014:167).
“Religionisinthatcontextnothingelsethanapromoterofsolidarityandcohesionin
societiesand,seenfromtheviewpointofpoliticalpower,ameanstodirectpeopleand
tokeeppeoplecalmwhiletherulersare,forexample,preparingwar”.
Maka, agama perlu diatur oleh negara, bahkan dikelola sebagai bagian yang
fundamental untuk mempertahankan negara. Macchiavelli melihat ada hubungan
resiprokal antara agama yang hidup di masyarakat dengan cara kerja dan fungsi
masyarakatuntukbersatumempertahankannegara(Leinkauf,2014:167).
“Theleadersofarepublicorofastatehavetomaintainthefundamentsofthereligion
ofthatrepublicorkingdom,anditwillbeeasy,the,bydoingthis,tomaintainalsothe
republicreligiousand,consequently,goodandunited”.
Untuk konteks Indonesia, definisi agama juga tidak lepas dari politik agamadan
negara yang berkembang sejak sebelum rapat BPUPK, pada masa-masa sidang di
5
BPUPK,hinggasetelahnya.Merujuksejarahnya,DepartemenAgamapadatahun1952
mengajukandefinisi agama yangmencakup tiga unsur: adanyanabi, kitab suci, dan
pengakuan internasional.Usulandefinisi agamayangminimal, sempitdansektarian
tersebutadalahbentukmenutuppeluangbagi“kepercayaan”kelompokabanganuntuk
diakui sebagai agama. Usulan definisi tersebut memang mendapat penolakan, dan
sekalipun tidak pernah dicatatkan dalam dokumen negara, ia telah efektif dipakai
untukmengklasifikasidanmenentukanapayangdapatdantidakdapatdikategorikan
sebagai agama, dan siapa yang dapat dan tidak dapat dianggap sebagai kelompok
agama(Maarif,2017:25).
NegaradanAgama
Seringkalidapatditemukanpertanyaanseperti:agamaapasajayangdilindungioleh
hakkebebasanberagamadanberkeyakinan?apakahhanyaagama-agamabesardunia
atau termasuk agama/kepercayaan lokal? apakah semua agama dan segala macam
kepercayaan.Pertanyaanitusebenarnyajebakan.Orangseringberasumsibahwahak
kebebasan beragama dan berkeyakinan melindungi agama atau kepercayaan.
Sebenarnya tidak, seperti halnya semua HAM lainnya, yang dilindungi adalah
manusianya,bukanagamaataukepercayaanitusendiri.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan melindungi orang-orang yang memeluk
suatu agama,meyakini ataumempraktikan agama-agama lama, baru, agama-agama
yangmenyejarahdisuatunegara,maupunagama-agamalainnya.Kebebasanberagama
dan berkeyakinan juga melindungi orang-orang dengan kepercayaan non-agama,
seperti atheis, humanis, dan sebagainya dimanapun mereka berada. Bahkan juga
melindungi orang-orang yang tidak peduli dengan agama atau kepercayaan sama
sekali.Dengankatalain,melindungisetiaporang.
Mengenai hubungannegara dan agama,KomentarUmumKovenanHak Sipil dan
PolitikNomor22Angka9menyatakanpersoalanbukanpadaadanyaagamanegara,
agamaresmiatauagamatradisiatauagamayangdianutsecaramayoritas.Hal-halini
diperbolehkanmenurut Hukum Internasional sejauh tidakmengurangi penikmatan
6
hak atau menjadikan diskriminasi bagi penganut agama lain (yang tidak dijadikan
sebagai agama resmi negara), atau mereka yang bukan pemeluk agama manapun.
Diskriminasidisiniantara lainberupa laranganmemberikan layananpublikkepada
merekaataumemberikanpengistimewaanekonomiataupelarangantertentuterkait
praktikkeyakinanyang lain.Demikianpulaadanya ideologi resmidalamkonstitusi,
hukum,ataupraktikdisebuatnegara.Kenyataantersebuttidaklahbolehmengurangi
kebebasanberagamaatauberkeyakinanatauhaklaindantidakmendiskriminasiorang
yangtidakmenerimaatautidakbersepakatdenganidelogiresmitersebut(Asfinawati,
2016:94-95).
HakyangDilindungidalamKebebasanBeragamaBerkeyakinan
Untukmengetahuihak apa saja yangdilindungidalamkebebasanberagama, kita
perlumelihatPasal18DeklarasiUniversalHakAsasiManusia1948danPasal18ICCPR.
Deklarasimenyatakanadanyakehendakpolitik,sedangkankovenanmengikatsecara
hukum.RumusanPasal18ICCPRmenyatakan:
1. Setiaporangberhakataskebebasanberpikir,keyakinandanberagama.Hakini
mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas
pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara sendiri maupun bersama-sama
denganoranglain.Baikditempatumumatautertutup,untukmenjalankanagama
atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan dan
pengajaran;
2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk
menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan
pilihannya;
3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang
hanyadapatdibatasiolehketentuanberdasarkanhukum,danyangdiperlukan
untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat
atauhak-hakdankebebasanmendasaroranglain;dan
7
4. Negarapihakdalamkovenan iniberjanjiuntukmenghormatikebebasanorang
tua dan apabila diakui wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa
pendidikanagamadanmoralbagianak-anakmerekasesuaidengankeyakinan
merekasendiri.
Jadi, unsur-unsur yang dilindungi pertama dan utama adalah kebebasan untuk
memiliki, memilih, mengubah ataumeninggalkan agama atau kepercayaaan (forum
internum) dan kebebasan untukmemanifestasikan agama atau kepercayaan (forum
eksternum). Diatas semua itu ada hak untuk mendapatkan perlindungan dari
pemaksaandanperlindungandaridiskriminasi atasdasar agamaataukepercayaan.
Unsurberikutnyaadalahhakbagiorangtuadananak-anakmenyangkutagamaatau
kepercayaan,danhakataskeberatanberdasarkanhatinurani.Kewajibannegarajuga
dapatdilihatdalamDeklarasiPenghapusanSemuaBentukIntoleransidanDiskriminasi
berdasarkanAgamaTahun1981.RumusanPasal2Deklarasi inimenegaskan “tidak
seorangpunbolehmenjadisasarandiskriminasiolehNegara,lembaga,kelompokatau
individuatasdasaragamaataukepercayaan”.
DalamkonteksIndonesia,jaminanterhadapHAMdiKonstitusimengalamipasang
surut. Sejak berlakunya UUD 1945, rumusan Pasal 29 ayat (2) telah menyatakan
“negaramenjaminkemerdekaantiap-tiappendudukuntukmemelukagamanyamasing-
masingdanuntukberibadatmenurutagamanyadankepercayaannyaitu”.Amandemen
UUD1945kemudianmengatur lebih jelas tentangkewajibannegara terhadapHAM
maupunkebebasanberagamaberkeyakinan.Pasal28Iayat(4)mengaturperlindungan,
pemajuan,penegakandanpemenuhanHAMadalahtanggungjawabnegara,terutama
pemerintah.PasalinimenjadisumberkomitmenIndonesiaterhadapHAMdanjugaasal
usul kewajiban Pemerintah. Lebih lanjut Pasal 28I ayat (5) menyatakan untuk
menegakkandanmelindungi hakasasimanusia sesuai denganprinsip negarahukum
yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur dan dituangkan dalam
peraturanperundang-undangan.HaliniadalahturunandariPasal1ayat(3)UUDNRI
8
1945yangmenyatakanNegaraIndonesiaadalahnegarahukum.Artinya,berjalannya
negaradiaturdanharussesuaidenganhukum.
PengaturanselanjutnyadapatditemukandalamUUNomor39Tahun1999tentang
HAM. Pasal 71 UU ini menegaskan “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab
menghormati,melindungi,menegakkandanmemajukanHAMyangdiaturdalamUUini,
peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang HAM yang
diterimaolehNegaraRepublikIndonesia”.KetentuaninidiperkuatPasal7ayat(2)UU
Nomor39Tahun1999yangmenyatakan“KetentuanhukumInternasionalyangsudah
diterima Negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi
hukumnasional”.DemikianpuladenganPasal67yangmengatur“setiaporangyangada
di wilayah Negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-
undangan, hukum tidak tertulis dan hukum internasional mengenai HAM yang telah
diterima Negara Republik Indonesia”. Dengan demikian jelas seluruh hukum
internasional yang telah diterima Indonesia mengikat dan wjaib dipatuhi serta
dilaksanakan.TerkaitkewajibanituIndonesiatelahmenjadikanKovenanInternasional
HakSipildanPolitikmenjadihukumIndonesiamelaluiUUNomor12Tahun2005.
PembatasanHakBeragama
Jika konsep kebebasan beragama dalam HAM Internasional bermaksud melindungi
manusianya, termasuk kebebasan untuk tidak memilih/berafiliasi dengan agama
tertentu,mengapadiIndonesiaadaistilah“agamayangdiakui”?Apakahhakberagama
bolehdibatasiolehnegara?dalamsituasiapahakitubolehdibatasi?
Pertamayangharusdijawabadalahapakahhakberagamabisadibatasi.Pasal18
ayat (3) Kovenan Hak Sipil dan Politik menjelaskan bahwa pembatasan harus
berdasarkan hukum dan sepanjang diperlukan untuk melindungi keselamatan
masyarakat(publik),ketertibanmasyarakat,kesehatanmasyarakat,moralmasyarakat,
sertahakdankebebasanmendasaroranglain.Tetapiingat,pembatasanituhanyabisa
diberlakukansecaraterbataspadaforumeksternum,sementarauntukforuminternum
mengenaihakuntukmemiliki,memilih,bergantiataumeninggalkansuatuagamaatau
9
kepercayaanadalahhakyangmutlak.Makatidaklahdapatdibatasiolehnegara.Salah
satutitikberangkatawaluntukmemperjelasmaknapembatasanyangditerimacukup
luasadalahPrinsip-PrinsipSirakusayangdirumuskanpada tahun1984diSirakusa,
Italia. Motivasi awal perumusan prinsip itu adalah penyalahgunaan pembolehan
pembatasan oleh pemerintah. Karena kerap pembatasan ini digunakan oleh
pemerintah, para ahli hukummerasaperlumelihat dasar pembatasandengan lebih
seksamaagarimplementasiICCPRdapatdilaksanakandenganbaik(Bagir,2019:8-9).
Sasaranutamaprinsipiniadalahtigahal:pembatasanyangabsah,prinsippenafsiran
yang menjadi kerangka penerapannya dan beberapa karakter utama dasar
pembatasan.
Kedua,setelahmengenalbahwapembatasandapatdilakukanhanyapadawilayah
forumeksternum,makapertanyaanberikutnyatadiapaprasyaratuntukmelakukan
pembatasan. Dalam hukumHAM internasional, pertama, segala bentuk pembatasan
harus diatur dengan hukum. Alasannya, agar negara, polisi dan pengadilan tidak
melakukan pembatasan ini seenaknya dan secara inkonsisten. Kedua, pembatasan
haruslahdiperlukangunamelindungikeselamatan,ketertiban,kesehatanataumoral
masyarakat dan hak serta kebebasan orang lain. Hal ini penting, membatasi KBB
dengan maksud melindungi hak serta kebebasan orang lain berbeda dengan
melindungikepentingansebagiankelompok.Ketiga,pembatasantidakbolehbersifat
diskriminatif.Empat,pembatasanharussebandingdenganpermasalahanyangterjadi
akibatdaripelaksanaan suatuhak.Aturan ini sangatpenting, tanpanya,pemerintah
bisa sesukahatimembatasipraktikberagamadarikelompokyang tidakdisukainya.
Pembatasan haruslahmerupakan pilihan terakhir dan bukannya digunakan sebagai
alatkontrololehnegaraataupemerintah.
Marikitagunakancontohuntukmenjelaskankeempataturantersebut.Bayangkan
di sebuahkotaada limakelompokagamayangberbeda, kelimanyamemiliki rumah
ibadahdanmenimbulkankebisinganyangtidakdisukaiolehpendudukdisekitarnya,
tetapi polisi hanya menerima keluhan dari salah satu kelompok saja. Kebisingan
dengan level yang tinggi tentu tidak baik bagi kesehatan publik dan karenanya itu
10
adalah alasan yang sah untuk melakukan pembatasan. Jadi, apa seharusnya yang
dilakukan pemerintah setempat? pengaturan seperti apa yang diperlukan? Dalam
kasus ini, suatu aturan umum yang mengatur volume suara yang diizinkan dalam
pertemuanpublikdapatdibuat.Suatuaturanyangberlakusetarabagisemuakelompok
agama dan kelompok lainnya. Jika ada yangmelebihi volume yang diizinkan,maka
layakdimintauntukmengurangiatauakandikenaisanksi.Menjaditidakproporsional
jika mereka diminta tidak menggunakan suara sama sekali atau melarang mereka
untuk melaksanakan pertemuan apapun. Polisi seharusnya menerapkan ini secara
merata,bahkanjikaaduanitudatangdarisalahsatukelompokminoritasterhadapyang
mayoritas.
Ketikasuatunegaramelakukanpembatasan,adabeberapapertanyaanyangharus
diajukan oleh Pengadilan untuk menilai apakah ada pelanggaran atau tidak dalam
pembatasan. Pertama, apakah pembatasan tersebut merintangi hak mutlak untuk
memiliki atau menganut suatu agama/kepercayaan. Jika pembatasan dilakukan
terhadaphakmutlak,makapembatasanmenjaditidaksah.Namunjikayangdibatasi
adalah manifestasi terhadap hak tersebut maka pertanyaannya apakah praktik
keagamaan itu ada keterkaitan dengan hak mutlak tadi? atau ia termasuk sebagai
perilaku biasa. Suatu perbuatan yang kita lakukan seringkali dipengaruhi oleh
kepercayaankita.Tetapitidaksemuayangkitalakukanadalahmanifestasidariajaran
agamaataukepercayaanyangdilindungi.Dalambeberapakasus,halinimudah,pergi
kegerejaeratkaitannyadenganKristen,danpuasaeratkaitannyadenganIslam,tetapi
tidaksemuakasussemudahitu.BagiorangKristen,mengenakanrosariomenunjukkan
ekspresi dalam tentang identitas keagamaannya. Perempuan muslim juga memiliki
pendapat yang berbeda tentang hijab. Bukan tugas pengadilan untuk menentukan
mana yang benar, dalammemutuskan apa yang termasuk pelaksanaan dari ajaran
agama,pengadilanmenghadapi resikountukmembuatputusanyangberdasarpada
satudoktrintertentuyangbisajadiberangkatdarisalahsatuinterpretasikeagamaan
tertentu.
11
Selanjutnyakitaperlumemeriksaapakahpembatasandiaturdenganhukum. Jika
tidakadadasarhukumnyamakapembatasaninitidaksah.Langkahselanjutnyaadalah
apakah pembatasan ini diperlukan untuk alasan yang sah.Menjawab ini, kita perlu
memeriksaketerkaitanantarapraktikyangdibatasidengansalahsatualasanyangsah,
juga apakah pembatasan itu diperlukan. DalamHAM internasional, alasan yang sah
untukmembatasipelaksanaanhakatasKBBadalahuntukkeselamatanmasyarakat,
ketertibanmasyarakatdankesehatanataumoralmasyarakatatauhakdankebebasan
oranglain.Jadikitaperlumelihatbagaimanaperbuatanyangdibatasiitumengancam
hak-haktersebut.
Seringkali, alasan yang sah untuk pembatasan KBB bersinggungan dengan
ketertibanmasyarakat. Ada kasus-kasus dimana orang tersinggung karena ekspresi
keagamaanyangdilakukansecaradamaidianggapsebagaibentukpenodaanagama,
ancaman atau hasutan sehinggamenimbulkan respons kekerasan. Beberapa negara
mengatur larangan terhadap ekspresi keagamana yang dilakukan secara damai,
merekaberpendapatbahwaterdapatalasanyangsahkarenaterkaitdenganketertiban
masyarakat, untuk menghindari kerusuhan massa. Indonesia misalnya, melarang
ekspresi kepercayaan Ahmadiyah dan Ateisme dengan dasar ini. Akibatnya, korban
kekerasan seringkali dijatuhi hukuman karena penodaan agama, sementara pelaku
kekerasaannyatidakdihukumkarenapenyeranganyangdilakukannya.Hukumseperti
initidakmengurangikekerasan, justrumemperkuatpandanganadanyakepercayaan
yangsalahdanharusdihukum.
Secarateoritik, istilahpenodaanagamapadanannyaadalahblasphemy,ada istilah
lain yaitu penistaan agama yang padanannya adalah defamation of religion dan
pernyataankebencianatauhatedspeech.Ketigakonseptersebutagaksulitdibedakan
dalambahasaIndonesia.
Jika dikaitkan dengan delik pidana yang diatur dalam hukum pidana Indonesia,
menurutBardaNawariArief, delikharusdibedakan antaradelikagamadandelik
terhadap agama. Membunuh, mencuri, dan sebagainya adalah perbuatan yang
dianggapsebagaikejahatanolehagamadanhukumnasional.Sementarapindahagama
12
(murtad)misalnya,meskipunolehIslamdianggapsebagaitindakpidana,namunKUHP
tidak menjadikan pindah agama sebagai kejahatan. Delik terhadap agama terkait
dengan perbuatan-perbuatan yang dianggap menghina atau menistakan terhadap
agamaatauhal-halyangdisakralkanagama.Dengandemikian,delikinidimaksudkan
untukmelindungi“agama”dariperbuatanyangmenghinakanTuhandanagama.Ada
satukelompoklagiyangdisebutdengandelikterhadapkehidupanberagama.Delik
ini terkaitdenganperbuatanyangsebenarnyatidakterkait langsungdenganagama,
tetapimenyangkutkehidupankeagamaanmasyarakat,sepertimerintangipertemuan
atauupacarakeagamaan,penguburanjenazah,menghinabenda-bendayangdigunakan
untukibadah,danmenggangguorangyangsedangberibadah(Arief,2007:1-2).
Berdasarkanklasifikasitersebut,delikyangjustrubanyakdiakomodasidalamKUHP
adalah delik yang “terkait dengan keagamaan masyarakat” atau delik terhadap
kehidupan beragama. Sedangkan jenis delik terhadap agama, pada awalnya tidak
dikenal dalam KUHP. Delik terhadap agama baru dimasukkan dalam KUHP
(bandingkanPasal156aKUHP)melaluiUUNomor1/PNPS/1965tentangPencegahan
PenyalahgunaanatauPenodaanAgama(Rumadi,2012:250).
RumusanPasal1UUNomor1/PNPS/1965:
“Setiaporangdilarangdengansengajadimukaumummenceritakan,menganjurkan,ataumengusahakandukunganumumuntukmelakukanpenafsirantentangsesuatuagamayangdianutdiIndonesiaataumelakukankegiatan-kegiatankeagamaanyangmenyerupaikegiatan-kegiatankeagamaandariagamaitu,penafsirandankegiatanmanamenyimpangdaripokok-pokokajaranagamaitu”.
RumusanPasal156aKUHPidana:
“Dipidanadenganpidanapenjaraselama-lamanyalimatahunbarangsiapadengansengajadimukaumummengeluarkanperasaanataumelakukanperbuatan:a.yangpadapokoknyabersifatpermusuhan,penyalahgunaanataupenodaanterhadapsuatuagamayangdianutdiIndonesia;b.denganmaksudagarupayaorangtidakmenganutagamaapapunjuga,yangbersendikanKetuhananYangMahaEsa”.
PembatasanHakBeragamadalamHukumdiIndonesia
Bagaimanapenerapanpembatasanhakberagamatadidalamhukumdi Indonesia?
termasukbagaimanaprinsiptersebutditerjemahkanolehMahkamahKonstitusisebagai
13
otoritasyangberwenangmenafsirkanmaksuddantujuanpembatasanhakdiPasal28J
UUDNRI1945?
AdabeberapaPutusanMahkamahKonstitusiyangmengujikonstitusionalitasnorma
UU Nomor 1/PNPS/1965. Satu diantara yang bisa disebutkan adalah Putusan MK
Nomor140/PUU-VII/2009,MKmenyatakanbahwaUUPenodaanAgamameskidibuat
dalamsituasidaruratpada tahun1965,masihdianggaprelevan, tidakbertentangan
denganUUD1945terutamayangterkaitdenganHAMdankebebasanberagamadan
berkeyakinan.Alih-alihmencabut,MKjustruberkeyakinanjikaUUPenodaanAgama
dicabut, akanmuncul anarki dan kekacauan sosial karena akan terjadi kekosongan
hukum. UU Penodaan Agama dianggap tidak terkait dengan kebebasan beragama,
tetapihanyaterkaitdenganpenodaanagama.
Mahkamah berpendapat bahwa untuk kepentingan perlindungan umum dan
antisipasi terjadinyakonflikdi tengahmasyarakat, baikhorizontalmaupunvertikal,
makaadanyaUUPenodaanAgamadinilaisangatpenting.Artinya,dasarpertimbangan
yang dijadikan argumen MK untuk mengambil keputusan ini tidak semata terkait
dengan konstitusi, tetapi juga ada pertimbangan sosiologis-politis. Pertimbangan
sosiologis antara lain tampakdalam argumenkekhawatiran akan timbul kekacauan
tadi. Meski dalam putusan itu disebut-sebut kategori forum internum dan forum
eksternum namun hal tersebut nyaris tidak menjadi rujukan argumen. Kata kunci
pembatasanyangdigunakanadalahPasal28JUUD1945, yangmembatasihakasasi
manusia, termasuk kebebasan beragama melalui pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan dan ketertiban umum. MK dalam hal ini juga berpegang pada
kedudukannyasebagainegativelegislator(Rumadi,2012:246-248).
PengujianUUNomor1/PNPS/1965menjadiberalasankarenatelahmerugikanhak
konstitusionalbeberapakelompokwarganegara.ZainalAbidinBagirdalamLaporan
KehidupanBeragamadiIndonesiapadaDesember2017menulissetidaknyaempattipe
kasusyangdikenaisanksipidanaolehkeduaUUtersebut(Bagir,2017:4-7).
a. Mazhab/kelompokinternaldalamsuatuagama,yangtermasukdalamkasusini
adalahSyiahdanAhmadiyah(sebagaibagiandariIslam)danBaha’iyangmasing-
14
masingmengalaminasibberbeda.TerkaitSyiah,padatahun2012,TajulMuluk,
seorang pemimpin lokal Syiah di Sampang Madura diputus bersalah oleh
Pengadilan.SetelahTajulMulukdipenjaran,parapengikutnyadiungsikankeGOR
di Sampang lalu dipindah ke Rusun di Sidoarjo atas dasar keamanan dan
kekhawatiran akan terjadinya konflik sosial apabila mereka (pengikut Tajul
Muluk)tetapbertahandikampunghalamannya.BerbedadenganSyiah,anggota
ataupimpinanJemaatAhmadiyahIndonesia(JAI)belumpernahadayangdiadili
denganmenggunakanpasalpenodaanagama.Meskipundemikian,atasdasarUU
itu, pada tahun 2008 ada restriksi yang dituangkan Menteri Agama, Menteri
DalamNegeridanJaksaAgungyangmembatasiajaranAhmadiyahyangdianggap
menyimpang.MenyusulSKB,dibeberapadaerahdikeluarkanrestriksiyanglebih
ketathinggamelarangkeberadaanJAI.
b. Sekte atau Gerakan Keagamaan Baru, dalam tipe ini sebetulnya dari segi
perlakuannyaolehnegaratidakbanyakberbedadengantipesebelumnya.Secara
normatif, dalam kacamata UU Nomor 1/PNPS/1965, keduanya masuk dalam
kategori penyimpangan. Kelompok dalam tipe ini, seperti Gafatar dan
Salamullah/LiaEden,memilikijumlahyangjauhlebihsedikit,daniaberkembang
hanya di satu atau beberapa wilayah di Indonesia dan bukan bagian dari
kelompok internasional, dan karena itu cenderung lebih rentandari serangan.
KasusGafatarmisalnya,padatahun2017menyeretketigapimpinannya:Mahful
MuisTumanurung,AhmadMussadeq,danAndriCahya.MiripdengankasusTajul
Muluk,ketigaoranginidiadilidandivonisbersalahmelakukanpenodaanagama,
justrusetelahkomunitasnyadiserang(sekitar800orangterusirdariMempawah,
KalimantanBaratpadaJanuari2016).
c. Ujaran Publik (atau tindakan) yang menyinggung kelompok tertentu, yang
termasukdalamtipeiniadalahtindakanindividuyangdirasakanmenyinggung
kelompokkeagamaantertentu,ataukritisterhadapagama(agamasendiriatau
orang lain).DalambagianpenjelasandariUUNomor1/PNPS/1965,kelompok
keagamaanyangdilindungiadalahenamagama: Islam,Kristen,Katolik,Hindu,
15
Buddha,danKonghucu.Satuunsurpentingdisini,yangakandibedakandarijenis
berikutnyaadalahniatpelakunyayangsesungguhnya tidak terlalu jelas (tanpa
keraguan) untuk memusuhi, menyalahgunakan atau menodai agama, namun
dirasakanataudipersepsidemikianolehkelompoktertentu.Contohkasusterkait
tipe ini adalah Basuki Tjahaja Purnama, yang diputus bersalah dalam kasus
penodaan agama. Sementara Basuki menjadi sasaran demonstrasi yang
menuntutnyadipenjara, ImamBesarFrontPembela Islam,RiziehShihab,yang
diadukan ke polisi oleh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
(PMKRI) karena pernyataannya yang mengkritik kepercayaan Kristen: “Kalau
Tuhanberanak,terusbidannyasiapa?”justrutidakberlanjutkasusnya.
d. Ujarankebencian,provokasiatauhasutanuntukkekerasan,yangtermasukdalam
tipe ini adalah ujaran atau tindakan langsung atau melalui media, yang
dimaksudkan untuk merendahkan, mendiskriminasi atau mengundang
kekerasan.Contohdalamkasus ini adalahShobri Lubis, SekjenFPI, yangpada
2008secaraterbukadalamsebuahceramahmenyerukaneksplisituntuk“bunuh
Ahmadiyah dimanapun mereka berasa”. Peristiwa yang terjadi tiga tahun
sebelum tiga orang Ahmadiyah dibunuh di Cikeusik itu pernah dilaporkan ke
polisi,namuntampaknyatidakdiproseslebihlanjut.
Berdasarkanvariantipekasusdiatas,makadapatdibedakanyangpertamaterkait
“penyimpangan”, dan dua terakhir terkait “penodaan”, terlepas dari adanya niat
penghinaan atau permusuhan. Kasus-kasus tersebut mengantar kita pada sebuah
pertanyaan kritis: apakah benar ketentuan mengenai penodaan agama diperlukan
untukmemastikan kerukunan sebagaimana dipahami olehHakimKonstitusi? konsep
kerukunan sendiri tidak memiliki definisi yang tegas, namun biasanya dipahami
sebagaisituasidimanatidakadakonflik,ataukonflikdapatdiselesaikandengancara
beradab.Dalamcontohkasusdiatas,tipepertamadankeduamenunjukkanbagaimana
legislasi penodaan agama justru dikenakan pada mereka yang memiliki perbedaan
penafsiranatasagama,danbukansesuatuyangbersifatpermusuhanataupenghinaan
16
yang disengaja. Permusuhan, secara ironis, justru dilakukan oleh kelompok yang
menentangnya,yangtidakterkenapasalpenodaan.DalamkasusAhmadiyahdanSyiah,
hukumjustrutidakmampuberbicarabanyakuntukmenindakmerekayangmelakukan
penyerangan atau pengerusakan. Jelas ini bukan situasi ideal kerukunan, seperti
apapun konsep ini didefinisikan. Dalam logika legislasi penodaan agama dan
implementasinya,ketidakrukunandilakukanbukanolehkelompokyangmenyerang,
tetapiolehkorbannya(Bagir,2017:8).
MengenaiAgamadan(Penghayat)Kepercayaan
Halberikutnyayangperludisinggungketikamendiskusikankebebasanberagama
atau berkeyakinan di Indonesia adalah keberadaan penghayat kepercayaan atau
penganutagama-agamalokaldiIndonesia.NggayMehangTana,PagarDemanraSirait,
Carlim dan Arnol Purba, yang keempatnya adalah penghayat kepercayaan yang
tersebardibeberapawilayahdiIndonesiamengajukanujimateriilterhadapbeberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) ke
MahkamahKonstitusi.Paramemohonmengartikulasikankerugiankonstitusionalnya
danmemintaMKmemutuskata“agama”dalamPasal61ayat(1)danPasal64ayat(1)
UUAdmindukbertentangandengankonstitusisepanjangtidakdimaknaikata“agama”
tersebuttermasukjuga“kepercayaan”.Sebagaikonsekuensiataspermohonanitu,para
pemohon jugamengajukanpermohonanagarMKmenyatakanPasal62ayat(2)dan
pasal64ayat(5)bertentangandengankonstitusi.Berikutbunyikeduapasaltersebut
selengkapnya:
Pasal61ayat(1)UUNo23Tahun2006
KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepalakeluargadananggotakeluarga,NIK,jeniskelamin,alamat,tempatlahir,tanggallahir,agama,pendidikan,pekerjaan,statusperkawinan,statushubungandalamkeluarga,kewarganegaraan,dokumenimigrasi,namaorangtua.
Pasal64ayat(1)UUNo23Tahun2006
KTPmencantumkangambarlambangGarudaPancasiladanpetawilayahNegaraKesatuan Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempattanggal lahir, laki-laki atau perempuan,agama, status perkawinan, golongan
17
darah,alamat,pekerjaan,kewarganegaraan,pasfoto,masaberlaku,tempatdantanggaldikeluarkanKTP,tandatanganpemegangKTP,sertamemuatnamadannomorindukpegawaipejabatyangmenandatanganinya.
Pasal61ayat(2)UUNo23Tahun2006
Keterangantentangagamasebagaimanadimaksudpadaayat(1)bagipendudukyang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuanperaturan perundangundangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi,tetapitetapdilayanidandicatatdalamdatabasekependudukan.
Pasal64ayat(5)UUNo.24Tahun2013
Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud ayat (1) bagipenduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkanketentuan Perundangundangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi,tetapitetapdilayanidandicatatdalamdatabasekependudukan.
Pengujian atas kata agama, di kedua pasal pertama oleh para pemohon tidak
dimaksudkanuntukmenghapuskolomagamadalamKKdanKTP,namunmenghendaki
agar dalam KK dan KTP dicantumkan juga Penghayat atau Kepercayaan. Hal ini
disebabkanolehkarenaselamainiberdasarkanPasal61ayat(2)dan64ayat(2)kolom
agama di KK dan KTP wajib dikosongkan bagi kaum penghayat kepercayaan.
Pengosongan kolom agama tersebut merupakan salah satu bentuk diskriminasi
terhadappenganut kepercayaan, serta dalamkenyataannyamereka punmengalami
perlakuanyangdiskriminatifbaikdariaparatpemerintahanmaupunmasyarakat.
Dalammenjawabpermohonanparapemohondiatasterdapatduapermasalahan
yangdibahasterlebihdahuluolehMKdalampertimbangannya.Permasalahanpertama
yaituapakahUUDNRI1945mengakuikeberadaanKepercayaanTerhadapTuhanYang
MahaEsasebagaisesuatuyangsetaradenganagamaatautidak.Permasalahanpertama
ini dipandang penting untuk menjawab permasalahan kedua, yaitu apakah dengan
dikosongkannyakolomagamabagipenganutkepercayaanketentuanyangmewajibkan
pengosongan kolom tersebut, yaitu pasal-pasal yang sedang diuji ini bersifat
diskriminatifatautidaksehinggadapatdikatakanbertentangandengankonstitusi.
Atas permasalahan pertama, MK berpendapat bahwa konstitusi pada dasarnya
telah mengakui keberadaan aliran kepercayaan di samping pengakuan terhadap
18
agama.MKmenggunakan tafsir leksikal sebagaidasarawaluntukmemahamiposisi
danhubungan“agama”dan “kepercayaan”.Untukmemperjelas,MK jugamemeriksa
semangatyangadadibalikperumusannormaPasal29danPasal28Eayat(1)danayat
(2)UUDNRI1945.
Menurut MK dari proses perumusan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 frasa
kepercayaan tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang terpisah dari agama.
Pencantuman kata “kepercayaan” bertujuan agar pemeluk agama selain Islam tetap
dijamin haknya untuk menjalankan agama sesuai dengan kepercayaannya. Artinya,
warga negara yang tidak beragama Islam, kepercayaannya tetap dilindungi sesuai
ketentuanPasal29UUDNRI1945.
Menggunakantigaasasdalampenafsirankontekstualyaitunoscituresocilis(suatu
kata harus dikaitkan dengan rangkaiannya), asas ejusdem generis (suatu kata atau
istilah dibatasi secara khusus dalam kelompoknya), dan expressio unius exclusion
alterius(suatukonsepdigunakanuntuksatuhalmakaiatidakberlakuuntukhallain)
MKmenyimpulkanbahwaincasuPasal61ayat(1)danayat(2)sertaPasal64ayat(1)
danayat(5)UUAdmindukberpegangpadapendirianbahwa“agama”yangdimaksud
adalahagamayangdiakui sesuaiperaturanperundang-undangan.Ataudengankata
lainhakataukemerdekaanwarganegarauntukmenganutagamadibatasipadaagama
yangdiakuisecaraperaturanperundang-undangan.
HalinilahyangtidaksejalandenganjiwaUUDNRI1945yangsecarategasmenjamin
bahwatiap-tiapwarganegaramerdekauntukmemelukagamadankepercayaandan
untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaan itu. Dari pandangan di atas MK
kemudianmenjawabpermasalahankedua,yaitu jikakedudukanKepercayaansetara
denganagama,makapengosongankolomagamabagipenganutkepercayaanbersifat
diskriminatifatautidak.
Dalammenjawab permasalahan ini, sebelumnyaMKmembahas terlebih dahulu
batasan tentang diskriminasi. Dalam memberikan batasan terkait diskriminasi MK
merujuk pada batasan-batasan yang telah dibuat MK sebelumnya dalam putusan
nomor070/PUU-II/2004tanggal12April2005,024/PUU-III/2005tanggal29Maret
19
2009 dan nomor 27/PUU-V/2007 tanggal 22 Februari 2008. Dari ketiga putusan
tersebut MK memberikan batasan terkait diskriminasi yaitu suatu perlakuan yang
berbeda tanpa adanya alasan yangmasuk akal (reasonable ground) gunamembuat
perbedaantersebut.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut MK menyimpulkan bahwa
pencantuman kolom agama dalam KK dan KTP bertentangan dengan konstitusi
sepanjang yang dimaksud “agama” tidak termasuk “kepercayaan”. MK memulai
pertimbangannyadenganmemandangbahwahakdasaruntukmenganutagama,yang
didalamnyamencakuphakuntukmenganutkepercayaanterhadapTuhanYangMaha
EsaadalahbagiandariHakAsasiManusia(HAM)dalamkelompokhak-haksipildan
politik.Haktersebutmerupakanhakalamiah(naturalrights)yangdimilikiolehsetiap
manusia,bukanpemberiannegara.PadaposisiiniMKmenegaskankembaliapayang
telahdiaturdalamPasal28Eayat(1)jo.Pasal28Iayat(1)jo.Pasal29ayat(2)UUDNRI
1945bahwapenghayatkepercayaanadalahpengembanhak(rightsholder)dannegara
adalah pengemban tanggung jawab (duty bearer) untuk menghormati, melindungi
serta memenuhi hak tersebut. Dengan pernyataan ini, MK juga ingin menegaskan
bahwapelayanandanpencatatantanpapencantumankepercayaandalamKTPdanKK
tidaklah cukup. Pelayanan dan pencatatan hanyalah penegasan tentang kewajiban
negarauntukmemberikanpelayanankepadasetiapwarganegara.Negarasebagaiduty
bearer jugamemiliki kewajiban untukmemberikan perlindungan dan jaminan bagi
pemenuhanhakpenghayatkepercayaan.
Berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
97/PUU-XIV/2016 yang menyatakan “agama” dan “kepercayaan” adalah dua genus
yang berbeda namun setara, maka Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia
kemudian mengeluarkan Surat Edaran Nomor 471.14/10666/Dukcapil tentang
PenerbitanKartuKeluarga (KK)bagiPenghayatKepercayaanTerhadapTuhanYang
MahaEsatertanggal25Juni2018yangmerupakanaturanturunandariPermendagri
Nomor 118Tahun 2017 tentangBlankoKartuKeluarga, Register danKutipanAkta
Catatan Sipil membedakan nomenklatur bagi pencantuman Kepercayaan dengan
20
Agama.DalamSuratEdarantersebutdipertegasbahwa“untukpenulisankepercayaan,
kolomkepercayaanpadaKKakandiisidenganKepercayaanTerhadapTuhanYangMaha
Esa”. Hal ini didasarkan pada pertimbanganHakimdi PutusanMKNomor97/PUU-
XIV/2016:
“Bahwa agar tujuan untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan dapatterwujud serta mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakatIndonesia sangat banyak dan beragam, maka pencantuman elemen datakependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya denganmencatatkan yang bersangkutan sebagai “penghayat kepercayaan” tanpamerincikepercayaanyangdianutdidalamKKmaupunKTP-el,begitujugadenganpenganutagamalain(hlm.153)”.
Tindak lanjut Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 perlu dilandasi dengan
kesadaranbahwaaspekkesempatan(opportunity)danaspekproses(process)dalam
diskursuskebebasanberagamadanberkeyakinanperludipisahkan.Perlakuansetara,
yangsecaranormatifdiberikanmelaluipencantumankepercayaandalamKTPdanKK
adalah kebebasan yang sifatnya prosedural. Akan tetapi, kesetaraan dalam proses
belum tentu menjamin kesempatan yang substantif bagi penghayat kepercayaan,
seperti misalnya kebebasan dalam ekspresi spiritual, mengakses pendidikan dan
pekerjaansertamendapatpelayananpublik.Aspekyangterakhiradalahbagianyang
lebihfundamentaldalamkontekskebebasanberagama.
DaftarPustaka
Buku
Arief,BardaNawawi,DelikAgamadanPenghinaanTuhan(Blasphemy)diIndonesiadan
PerbandinganBerbagaiNegara,Semarang:UniversitasDiponegoro,2007.
Bagir,ZainalAbidin,KerukunandanPenodaanAgama:AlternatifPenangananMasalah,
Yogyakarta: Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Universitas Gadjah
Mada,2017.
______________________,PembatasanHakuntukKebebasanBeragamaatauBerkeyakinandi
Indonesia,Yogyakarta,CenterforReligiousandCross-CulturalStudies,Universitas
GadjahMada,2019.
21
Dja’far, Alamsyah M., ed., Buku Sumber Hak Atas Kebebasan Beragama atau
BerkeyakinandiIndonesia,Jakarta:WahidFoundation,2016.
Maarif, Samsul, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di
Indonesia,Yogyakarta:CenterforReligiousandCross-CulturalStudies,Universitas
GadjahMada,2017.
Jurnal
Rumadi, “Kebebasan dan Penodaan Agama: Menimbang Proyek “Jalan Tengah”
MahkamahKonstitusiRI”,JurnalIndo-Islamika,Vol.1No.2,2012/1433.
Thomas Leinkauf, “The Concept of Religion in Early Modern Philosophy – Three
Examples:Machiavelli,CardanoandBruno”,Problemata:RevistaInternacionalde
Filosofia,v.5n.1,2014.
PutusanPengadilan
PutusanMahkamahKonstitusiRepublikIndonesiaNomor140/PUU-VII/2009.
PutusanMahkamahKonstitusiRepublikIndonesiaNomor97/PUU-XIV/2016.