jurnal ekonomi dan pembangunan - bappeda aceh

85
Volume: 10 Nomor: 2 Desember 2019 ISSN: 0852-9124 Jurnal EKONOMI DAN PEMBANGUNAN PEMERINTAH ACEH BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) ACEH 2019 Reza Septian Pradana Faktor Penentu Perkembangan Market Share Perbankan Syariah di Provinsi Aceh Vidyarto, Nugroho dan Yoga Radyasa Pengaruh Likuiditas, Ukuran Perusahaan dan Leverage Terhadap Kualitas Laba pada Perusahaan Manufaktur Murtala dan Irham Iskandar Analisis Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum Kabupaten Kota di Provinsi Aceh Samsuar dan Siska Mediyanti Kesiapan Pemerintah Kota Langsa Dalam Mendukung Rencana Pengembangan Smart City H. Syahiruddin Perencanaan Pembangunan Daerah Aliran Sungai Krueng Aceh dan Perubahan Lingkungan Hidup di Kota Banda Aceh Aswin Nasution, Ema Alemina dan Irham Iskandar Zona Agroekologi Terhadap Komoditi Unggulan Zona Barat Selatan Aceh.

Upload: khangminh22

Post on 16-Nov-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Volume: 10 Nomor: 2 Desember 2019 ISSN: 0852-9124

Jurnal EKONOMI DAN PEMBANGUNAN

PEMERINTAH ACEHBADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

(BAPPEDA) ACEH 2019

Reza Septian PradanaFaktor Penentu Perkembangan Market Share Perbankan Syariah di Provinsi Aceh

Vidyarto, Nugroho dan Yoga Radyasa Pengaruh Likuiditas, Ukuran Perusahaan dan Leverage Terhadap Kualitas Laba padaPerusahaan Manufaktur

Murtala dan Irham IskandarAnalisis Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum Kabupaten Kota di Provinsi Aceh

Samsuar dan Siska MediyantiKesiapan Pemerintah Kota Langsa Dalam Mendukung Rencana PengembanganSmart City

H. SyahiruddinPerencanaan Pembangunan Daerah Aliran Sungai Krueng Aceh dan PerubahanLingkungan Hidup di Kota Banda Aceh

Aswin Nasution, Ema Alemina dan Irham Iskandar

Zona Agroekologi Terhadap Komoditi Unggulan Zona Barat Selatan Aceh.

[Bappeda Aceh]

[ISSN: 0852-9124]

[Vol. 10, No. 2 Desember 2019]

[0651-29713] | [0651-21440] | [[email protected]]

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Reza Septian Pradana

Faktor Penentu Perkembangan Market Share Perbankan Syariah di Provinsi Aceh.

Vidyarto, Nugroho dan Yoga Radyasa

Pengaruh Likuiditas, Ukuran Perusahaan, dan Leverage Terhadap Kualitas Laba

Pada Perusahaan Manufaktur.

Murtala dan Irham Iskandar

Analisis Belanja Modal , Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi

Umum Kabupaten Kota di Provinsi Aceh.

Samsuar dan Siska Mediyanti

Kesiapan Pemerintah Kota Langsa Dalam Mendukung Rencana Pengembangan

Smart City.

Syahiruddin

Perencanaan Pembangunan Daerah Aliran Sungai Krueng Aceh dan Perubahan

Lingkungan Hidup di Kota Banda Aceh.

Aswin Nasution, Ema Alemina dan Irham Iskandar

Zona Agroekologi Terhadap Komoditi Unggulan Zona Barat Selatan Aceh

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

(BAPPEDA) ACEH 2019

i

TIM REDAKSI

JURNAL EKONOMI DAN PEMBANGUNAN terbit dua kali setahun pada bulan

Juni dan Desember yang berisi tulisan hasil penelitian dan kajian anallisis kritis di bidang

Ekonomi Pembangunan :

Pengarah : Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh

Wakil Pengarah : Feriyana, SH, M.Hum

Mitra Bestari : Dr. M. Shabri Abdul Majid, M.Ec

Dr. Wawan Hermansyah, SE, MT

Dr. Amin Pujiati, SE, M.Si

Dewan Redaksi : Dr. Sufirmansyah, SE, M.Si

Dr. Anto Widyanto, MA, Ed.S

Nanda Yuniza, ST, MT

Dr. Irham Iskandar, SE, M.Si

Pimpinan Redaksi : Dr. Ir. Ema Alemina, MP

Pimpinan Administrasi : Hasrati, SE, M.Si

Redaktur Pelaksana : Umri Praja Muda, S.Hut, M.Si

Staf Redaksi : Roslaini Z, SE

Hendri Dermawan, S.Kom

Sutrisno HS, S,S.Si

Iskandar, SE

Rizki Amelia. Putri, A.Md

Sri Hastuti Supriatna

Syamsuardi

Masdi, ST

Alamat Redaksi

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh

Bidang Penelitian dan Pengembangan

Jl. Tgk. H. M. Daud Beureueh No. 26 Banda Aceh

Telepon: (0651) 21440, 29713

Website: www.bappeda.acehprov.go.id

Email: [email protected]

ii

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan ridha-Nya

sehingga Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Volume 10 Nomor 2 Edisi Desember Tahun

2019 dapat diterbitkan. Salawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad

SAW yang telah menanamkan risalah kepada ilmuwan masa lalu, sekarang, dan yang

akan datang.

Penerbitan jurnal ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan dan

memajukan ilmu pengetahuan sekaligus memberikan informasi bagi stakeholder yang

berkaitan dengan Ekonomi dan Pembangunan di berbagai sektor.

Terbitan Volume 10 Nomor 2 Edisi Desember Tahun 2019 ini, tim redaksi telah

berupaya meningkatkan kualitasnya dengan melakukan perbaikan-perbaikan dalam hal

penambahan dewan pakar, format penulisan yang lebih konsisten, judul jurnal yang lebih

mudah dimengerti serta selektif dalam pengambilan artikel yang akan diterbitkan.

Volume ini berisi enam artikel, yang dimuat adalah: 1) Faktor Penentu Perkembangan

Market Share Perbankan Syariah di Provinsi Aceh; 2) Pengaruh Likuiditas, Ukuran

Perusahaan, dan Leverage Terhadap Kualitas Laba Pada Perusahaan Manufaktur; 3)

Analisis Belanja Modal , Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum

Kabupaten Kota di Provinsi Aceh; 4) Kesiapan Pemerintah Kota Langsa Dalam Mendukung

Rencana Pengembangan Smart City; 5) Perencanaan Pembangunan Daerah Aliran Sungai

Krueng Aceh dan Perubahan Lingkungan Hidup di Kota Banda Aceh; 6) Zona

Agroekologi Terhadap Komoditi Unggulan Zona Barat Selatan Aceh.

Akhirnya ucapan terima kasih kepada para penyunting ahli dan reviewer yang

telah bersedia memberikan masukan demi penyempurnaan jurnal ini. Ucapan terima

kasih juga disampaikan kepada para penulis yang telah dimuat tulisannya. Harapan kami

semoga tulisan-tulisan ilmiah yang disajikan akan memberikan tambahan pengetahuan

kepada semua pembaca. Selain itu, kami juga mengundang semua pihak untuk dapat

mengirimkan tulisan ilmiah untuk terbitan selanjutnya. Redaksi juga mengharapkan kritik

dan saran dari semua pihak dalam upaya untuk meningkatkan kualitas jurnal ini.

Redaksi

iii

DAFTAR ISI

Faktor Penentu Perkembangan Market Share Perbankan Syariah di Provinsi Aceh

Reza Septian Pradana ................................................................................................. 66

Pengaruh Likuiditas, Ukuran Perusahaan, dan Leverage Terhadap Kualitas Laba

Pada Perusahaan Manufaktur.

Vidyarto, Nugroho dan Yoga Radyasa ...................................................................... 80

Analisis Belanja Modal , Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi

Umum Kabupaten Kota di Provinsi Aceh

Murtala dan Irham Iskandar ....................................................................................... 92

Kesiapan Pemerintah Kota Langsa Dalam Mendukung Rencana Pengembangan

Smart City

Samsuar, dan Siska Mediyanti ................................................................................... 102

Perencanaan Pembangunan Daerah Aliran Sungai Krueng Aceh dan Perubahan

Lingkungan Hidup di Kota Banda Aceh

Syahiruddin, ............................................................................................................... 114

Zona Agroekologi Terhadap Komoditi Unggulan Zona Barat Selatan Aceh

Aswin Nasution, Ema Alemina, dan Irham Iskandar ............................................... 126

66

FAKTOR PENENTU PERKEMBANGAN MARKET SHARE PERBANKAN SYARIAH DI PROVINSI ACEH

DETERMINANTS OF ISLAMIC BANKING MARKET SHARE IN ACEH PROVINCE

Reza Septian Pradana

Fungsional Statistisi Ahli BPS Kabupaten Aceh Jaya E-mail: [email protected]

Diterima: 6 Agustus 2019; direvisi: 8 Oktober 2019; diterbitkan: 1 Desember 2019

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor penentu perkembangan market share perbankan syariah di Provinsi Aceh. Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil estimasi menunjukkan bahwa proporsi deposito mudharabah dan suku bunga deposito satu bulan bank konvensional berpengaruh secara signifikan positif terhadap market share perbankan syariah di Provinsi Aceh, sedangkan BI rate dan suku bunga deposito satu tahun bank konvensional berpengaruh secara signifikan negatif terhadap market share perbankan syariah di Provinsi Aceh. Dengan demikian, perbankan syariah perlu meningkatkan daya saing produk deposito mudharabah dengan menaikan nisbah bagi hasil. Selain itu, Bank Indonesia sebaiknya mempertimbangkan kepentingan bank syariah dalam penentuan suku bunga acuan BI rate.

Kata kunci: BI rate, deposito mudharabah, market share, perbankan syariah, suku bunga deposito

ABSTRACT

This study aims to analyze the factors that determine market share of islamic banking in Aceh Province. This study uses multiple regression analysis. The result of estimation shows that mudharabah deposits and one month deposits interest rate of conventional bank significantly give positive influence to market share of islamic banking in Aceh Province while BI rate and one year deposits interest rate of conventional bank significantly give negative influence to market share of islamic banking in Aceh Province. So, islamic banking needs to increase the competitiveness of mudharabah deposit product through increasing pofit sharing ratio. Besides, Bank Indonesia should considers the interests of islamic banks in determaining BI rate.

Keyword: BI rate, deposits interest rate, islamic banking, market share, mudharabah deposits

67

PENDAHULUAN Di tengah isu mengenai sistem

keuangan Islam, perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang mengesankan. Menurut Bank Indonesia, karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil dapat memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Secara teoritis, aktivitas keuangan perbankan syariah dapat mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan karena meminimumkan kegiatan spekulasi, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang (Astasia, 2012).

Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia karena potensi Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangat besar. Pertama, jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah. Kedua, prospek ekonomi yang cerah tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0 - 6,5 persen) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid. Ketiga, peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah. Keempat, memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi

industri keuangan syariah. (Alamsyah, 2012 dalam Astasia, 2012)

Mengingat berbagai keunggulan yang dimiliki, alangkah baiknya apabila pemerintah lebih fokus pada pengembangan market share perbankan syariah. Apalagi keberadaan dan keunggulan bank syariah baru dapat dirasakan apabila bank syariah telah memiliki porsi yang signifikan dalam tatanan perekonomian. Market share atau pangsa pasar merupakan indikator tentang posisi perusahaan terhadap kompetitornya. Dalam dunia perbankan, pangsa pasar mencakup 3 indikator penting, yaitu aset, pembiayaan, dan dana pihak ketiga. Aset perbankan syariah merupakan indikator terpenting karena aset menggambarkan ukuran suatu bank. Semakin besar aset perbankan syariah menandakan makin kuatnya posisi perbankan syariah karena perbankan syariah semakin mampu memperluas usahanya. Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan market share perbankan syariah yaitu dengan mengidentifikasi wilayah potensial pengembangan perbankan syariah serta menganalisis faktor penentu perkembangan market share perbankan syariah. (Cahyono, 1999). Provinsi Aceh yang mayoritas penduduknya merupakan penduduk muslim dan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat islam menjadi potensi bisnis yang sangat baik dalam pengembangan perbankan syariah. Dengan diberlakukannya Qanun Aceh No 8 tentang pokok-pokok syariat islam yang mengatur Lembaga Keuangan Syariah, pengembangan industri perbankan syariah di Provinsi Aceh semakin memiliki landasan hukum yang memadai sehingga akan mendorong pertumbuhannya lebih cepat lagi.

68

Berdasarkan Qanun Aceh No 8, bank umum konvensional yang ada di Aceh harus membuka kantor unit usaha syariah. Provinsi Aceh juga mempunyai bank daerah dengan sistem syariah pertama di Indonesia. Ditinjau dari potensi wilayah, Provinsi Aceh memiliki banyak komponen penunjang kemajuan bisnis perbankan syariah, seperti kekayaan alam yang melimpah dan memiliki Kawasan Ekonomi Khusus Arun. Disamping itu, Provinsi Aceh juga memiliki potensi pariwisata yang tergolong lengkap, dari gunung, laut, hingga wisata religi. Hal inilah yang dapat dijadikan underlying transaksi industri keuangan syariah. Dalam menentukan perkembangan market share suatu industri, khususnya perbankan diperlukan analisis lingkungan yeng mencakup lingkungan eksternal dan internal. Cahyono (1999) mengatakan bahwa analisis mengenai lingkungan penting disebabkan oleh dua hal. Pertama, organisasi saling berinteraksi dengan bagian-bagian lingkungan yang selalu berubah setiap saat. Kedua, pengaruh lingkungan. Lingkungan eksternal merupakan faktor-faktor di luar industri yang memiliki kekuatan diluar kendali organisasi sehingga perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan ini akan memengaruhi kinerja organisasi (Cahyono, 1999). Analisis terhadap lingkungan eksternal dapat membantu perusahaan untuk mengantisipasi peluang dan ancaman dari luar perusahaan. Lingkungan eskternal terdiri dari lingkungan umum dan lingkungan industri. Lingkungan umum dicerminkan oleh BI rate. BI rate mencerminkan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia (BI). BI rate merupakan suku bunga acuan yang diumumkan BI tiap bulannya. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Cleopatra (2008), Hidayah (2008), Astasia (2012), dan Virawan (2017) menunjukkan bahwa BI rate berpengaruh secara signifikan terhadap Market Share Perbankan Syariah. Jika BI rate meningkat maka tingkat bagi hasil deposito bank syariah juga meningkat sehingga produk DPK perbankan syariah menjadi lebih kompetitif. Kenaikan tingkat bagi hasil deposito mudharabah menyebabkan meningkatnya penghimpunan dana bank syariah yang akan memperbesar kemampuan bank syariah memperluas pangsanya. Pengaruh faktor lingkungan industri dijelaskan oleh Porter (1980) dengan lima kekuatan yang mendorong persaingan industri (Five Forces Model). Kelima kekuatan tersebut yaitu persaingan diantara perusahaan yang ada (rivalry among existing), pendatang potensial (potential entrants), kekuatan tawar menawar pemasok (bargaining power of suppliers), kekuatan tawar menawar pembeli (bargaining power of buyers), dan ancaman produk atau jasa pengganti (threat of subtitute products or services). Persaingan akan semakin kuat ketika kompetitor secara aktif berusaha meningkatkan pangsa pasar (market share) dan keuntungannya. Persaingan dalam industri perbankan bersifat kompetitif. Sebagai contoh bank jarang mempertahankan tingkat suku bunga dalam waktu lama dan tingkat bunga prima (prime rate) pada umumnya hampir sama pada semua bank. Pemasok dalam industri perbankan adalah nasabah yang menempatkan dana pada bank. Perilaku nasabah deposan dengan sejumlah dana yang dimiliki selalu ingin memaksimalkan keuntungan dari berbagai pilihan investasi yang ada. Terkait dengan penelitian ini, nasabah deposan dihadapkan pada beberapa

69

pilihan investasi, antara lain deposito mudharabah pada bank syariah maupun deposito pada bank konvensional. Jika para individu diasumsikan rasional maka mereka akan cenderung memilih suatu aset yang menghasilkan keuntungan tertingggi relatif terhadap aset lainnya, yaitu yang memiliki tingkat suku bunga/bagi hasil tertinggi. Tingkat suku bunga deposito bank konvensional merupakan instrumen yang mampu menandakan kondisi persaingan antara perbankan syariah dan konvensional dalam menghadapi nasabah yang rasional. Persaingan tingkat suku bunga/ bagi hasil merupakan persaingan penjaringan nasabah untuk meningkatkan jumlah dana pihak ketiga. Ismal dalam Ismail (2011) mengungkapkan bahwa deposan akan meningkatkan simpanannya di bank syariah apabila bank menawarkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi, mengharapkan tingkat bagi hasil yang tinggi jika tingkat suku bunga meningkat, menutup rekening jika tingkat pengembalian yang diberikan lebih rendah dari harapan, dan menutup rekening jika tingkat pengembalian bank syariah kurang dari tingkat suku bunga. Begitupun penelitian yang dilakukan Mardiansyah (2004), Martiani (2007), Kasri dan Kassim (2009), serta Astasia (2012) menunjukkan kecenderungan bahwa nasabah deposan bank syariah beralih ke bank konvensional saat tingkat bagi hasil yang ditawarkan bank syariah lebih rendah dari tingkat suku bunga bank konvensional. Penelitian Gerrard dan Cunningham (1997) mengenai perilaku nasabah non-muslim bank syariah di Singapura menunjukkan hasil serupa bahwa tingkat bagi hasil merupakan variabel utama pemanfaatan bank syariah. Hal ini memperkuat anggapan bahwa nasabah bersifat rasional.

Selain memperhatikan faktor eksternal, keberlangsungan bank juga harus memperhatikan faktor internal yang sangat menentukan perkembangannya. Lingkungan internal adalah lingkungan yang berada dalam perusahaan dan secara langsung memiliki implikasi kepada perusahaan itu sendiri. Lingkungan internal pada industri perbankan syariah merupakan kondisi kinerja bank yang meliputi beberapa parameter yang dijadikan sebagai tolok ukur, diantaranya Dana Pihak Ketiga (DPK). Deposito mudharabah memegang peranan penting dalam dana pihak ketiga karena dana deposito digunakan untuk investasi kembali yang akan memberikan keuntungan pada bank. Selain itu, dana deposito cenderung tetap dalam jangka waktu tertentu dibandingkan tabungan. Jika nasabah membuka deposito mudharabah dalam jangka waktu yang lama maka dapat meningkatkan porsi pembiayaan untuk investasi (pembiayaan bagi hasil) sehingga pangsa perbankan syariah akan naik. Hasil penelitian Astasia (2012) menunjukkan bahwa deposito mudharabah secara signifikan berpengaruh positif terhadap market share perbankan syariah. Berdasarkan pemikiran di atas, diperlukan suatu analisis untuk mengetahui faktor penentu market share perbankan syariah di Provinsi Aceh. Dengan demikian, diperoleh informasi terkait upaya yang dapat dilakukan untuk memperluas market share perbankan syariah di Provinsi Aceh. Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah proporsi deposito mudharabah dan BI rate berpengaruh positif terhadap market share perbankan syariah di Provinsi Aceh. Kemudian, suku bunga deposito satu bulan dan satu tahun bank konvensional berpengaruh negatif terhadap

70

market share perbankan syariah di Provinsi Aceh. METODE Penelitian dilakukan pada perbankan syariah, yakni Bank Umum Syariah (BUS) di Provinsi Aceh. Periode penelitian dimulai pada triwulan I tahun 2007 hingga triwulan IV tahun 2015. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data time series pangsa perbankan syariah (market share), BI rate, proporsi deposito mudharabah, suku bunga deposito satu bulan bank konvensional, dan suku bunga deposito satu tahun bank konvensional. Data bersumber dari Bank Indonesia. Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu market share perbankan syariah. Kemudian, variabel bebas dalam penelitian ini yaitu BI rate, proporsi deposito mudharabah, suku bunga deposito satu bulan bank konvensional, dan suku bunga deposito satu tahun bank konvensional. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda. Model yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 𝑀𝑆# = 𝛽& + 𝛽(𝑑𝑒𝑝𝑜# + 𝛽-𝑟𝑎𝑡𝑒# +𝛽2𝑆𝐵1# + 𝛽5𝑆𝐵12# + 𝑒# dimana: 𝑀𝑆# = Pangsa Perbankan Syariah (Market Share) di Provinsi Aceh periode t (persen)𝛽& = Intersep 𝛽(, … , 𝛽5 = Koefisien Regresi Variabel Independen 𝑑𝑒𝑝𝑜# = Proporsi Deposito Mudharabah Perbankan Syariah di Provinsi Aceh periode t (persen) 𝑟𝑎𝑡𝑒# = Suku bunga Bank Indonesia periode t (persen)

𝑆𝐵1# = Suku bunga deposito satu bulan bank kon vensional periode t (persen) 𝑆𝐵12# = Suku bunga deposito satu tahun bank kon vensional periode t (persen) 𝑒# = error term periode t t = triwulan I 2007, triwulan II 2007, ..., triwulan IV 2015 Market Share perbankan syariah dihitung dengan menggunakan formula berikut:

𝑀𝑆 =𝐴𝑠𝑒𝑡𝐵𝑈𝑆

𝐴𝑠𝑒𝑡𝐵𝑈𝑆 + 𝐴𝑠𝑒𝑡𝐵𝑈𝐾𝑥100%

dimana BUS adalah Bank Umum Syariah dan BUK adalah Bank Umum Konvensional. Proporsi deposito mudharabah dihitung dengan menggunakan formula berikut:

𝑑𝑒𝑝𝑜 =𝐷𝑒𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑜𝑀𝑢𝑑ℎ𝑎𝑟𝑎𝑏𝑎ℎ𝐷𝑎𝑛𝑎𝑃𝑖ℎ𝑎𝑘𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎𝐵𝑈𝑆

𝑥100%

dimana Dana Pihak Ketiga dihitung dengan menjumlahkan total tabungan, giro, dan deposito mudharabah pada seluruh Bank Umum Syariah (BUS) Agar memperoleh penduga yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator), pada penelitian ini dilakukan berbagai pengujian terhadap data dan model yang terbentuk, seperti uji asumsi dasar (uji Normalitas, Homoskedastisitas, Non-Autokorelasi, dan Non Multikolinearitas) serta Uji Keberartian Model (Uji F dan Uji t). HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Internal Perbankan Syariah

Selama periode penelitian, total aset yang dimiliki perbankan syariah mengalami kecenderungan meningkat (Gambar 1). Pada awal penelitian, yaitu Triwulan I 2006, posisi total aset sebesar 1.235 milyar rupiah dan akhir periode penelitian mencapai 5.605 milyar rupiah, atau tumbuh 4,5 kali lipat.

71

Sumber: Bank Indonesia (diolah) Gambar 1 Total Aset Perbankan Syariah di

Provinsi Aceh Triwulan I 2007 –Triwulan IV 2015 (milyar rupiah)

Untuk mengetahui lebih dalam perkembangan aset perbankan syariah, perlu ditinjau pola pertumbuhan aset perbankan syariah pada setiap triwulannya. Dari pola tersebut diketahui pertumbuhan triwulan tertentu dibandingkan triwulan sebelumnya. Gambar 2 menunjukkan bahwa terjadi dinamika pergerakan aset perbankan syariah pada setiap triwulannya, tidak selalu naik, bahkan beberapa kali total aset perbankan syariah mengalami penurunan. Selama periode penelitian, rata-rata pertumbuhan aset perbankan syariah pada setiap triwulan sebesar 5,11 persen.

Sumber: Bank Indonesia (diolah) Gambar 2 Pertumbuhan Aset Perbankan

Syariah di Provinsi Aceh Triwulan I 2007 – Triwulan IV 2015 (persen)

Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa sebelum tahun 2008 pertumbuhan perbankan syariah dilihat dari total aset

masih kecil. Namun setelah tahun 2008, perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang mengesankan. Hal ini akibat adanya Undang-Undang yang khusus mengatur Perbankan Syariah, yaitu UU No. 21 Tahun 2008 yang disahkan pada bulan Juni 2008. Kebijakan ini terbukti berpengaruh pada kinerja perbankan syariah di Provinsi Aceh, dimana rata-rata pertumbuhan aset pada setiap triwulannya sebelum kebijakan sebesar -2,39 persen dan setelah kebijakan pertumbuhan aset pada setiap triwulannya meningkat mencapai rata-rata 6,37 persen.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Machmud (2009) bahwa lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 telah membuka peluang pasar perbankan syariah yang lebih besar di Indonesia. Pertama, BUS dan BPRS tidak dapat dikonversi menjadi bank konvensional, sementara bank konvensional dapat dikonversi menjadi bank syariah (Pasal 5 ayat 7). Kedua, penggabungan (merger) dan peleburan (akuisisi) antara bank syariah dan bank konvensional wajib menjadi bank syariah (Pasal 17 ayat 2). Ketiga, bank umum konvensional yang memiliki UUS harus melakukan pemisahan apabila UUS mencapai aset paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah. Pangsa Perbankan Syariah di Provinsi Aceh

Seiring dengan meningkatnya total aset perbankan, kontribusi perbankan syariah dalam tatanan perekonomian di Provinsi Aceh juga semakin terlihat. Kontribusi ini mencerminkan pangsa perbankan syariah yang merupakan perbandingan antara total aset perbankan syariah dibandingkan total aset seluruh perbankan (total aset perbankan

1235 2974

5605

01000200030004000500060007000

2007

Q1

2007

Q4

2008

Q3

2009

Q2

2010

Q1

2010

Q4

2011

Q3

2012

Q2

2013

Q1

2013

Q4

2014

Q3

2015

Q2

48,89

27,56

5,11

-30,00

-20,00

-10,00

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

2007

Q2

2008

Q1

2008

Q4

2009

Q3

2010

Q2

2011

Q1

2011

Q4

2012

Q3

2013

Q2

2014

Q1

2014

Q4

2015

Q3

72

konvensional ditambah total aset perbankan konvensional). Pangsa perbankan syariah dapat dilihat pada Gambar 3.

Pangsa perbankan syariah senantiasa meningkat dalam 9 tahun terakhir. Pada triwulan I tahun 2007, pangsa perbankan syariah sebesar 5,21 persen dan terus mengalami peningkatan hingga mencapai pangsa sebesar 14,79 persen pada triwulan IV tahun 2015. Peningkatan pangsa ini tidak terlepas dari pertumbuhan indikator kinerja perbankan syariah, seperti dana pihak ketiga yang meningkat secara mengesankan dalam setiap periodenya. Selain itu, berbagai peraturan dan Undang-Undang yang mengatur perbankan syariah makin menguatkan posisi perbankan syariah dalam tatanan perekonomian khususnya di Provinsi Aceh. Walaupun cenderung mengalami peningkatan pada setiap triwulannya, namun kontribusi perbankan syariah masih terlalu kecil dalam sistem perbankan di Provinsi Aceh.

Sumber : Bank Indonesia (diolah) Gambar 3 Pangsa Perbankan Syariah di

Provinsi Aceh Periode Triwulan I 2007 – Triwulan IV 2015 (persen)

Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah di Provinsi Aceh

Dana pihak ketiga (DPK) merupakan indikator penting bagi perbankan, dimana sumber dana yang diperoleh dari masyarakat inilah yang digunakan dalam pengembangan

perbankan, termasuk pengembangan pangsa pasar. Selain itu, DPK yang merupakan sumber dana yang berasal dari masyarakat mencerminkan besarnya animo masyarakat terhadap keberadaan perbankan syariah. DPK yang berhasil dihimpun perbankan syariah menunjukkan perkembangan yang pesat, ditunjukkan pada Gambar 4. DPK pada awal penelitian sebesar 1.028 milyar rupiah dan akhir periode penelitian mencapai 4.245 milyar rupiah, atau tumbuh 4 kali lipat selama periode penelitian.

Sumber : Bank Indonesia (diolah) Gambar 4 Dana Pihak Ketiga (DPK) Perbankan

Syariah di Provinsi Aceh Periode Triwulan I 2007 – Triwulan IV 2015 (milyar rupiah)

Gambar 5 menunjukkan komposisi

DPK selama periode penelitian, dimana dana pihak ketiga didominasi oleh tabungan. Sepanjang periode penelitian, proporsi deposito mudharabah terhadap total dana pihak ketiga perbankan syariah mencapai rata-rata 31,46 persen, tabungan memiliki rata-rata proporsi 47,82 persen. Giro wadiah memiliki rata-rata proporsi paling kecil, yaitu 20,72 persen.

5,21

16,04

9,92

14,79

02468

1012141618

2007

Q1

2007

Q3

2008

Q1

2008

Q3

2009

Q1

2009

Q3

2010

Q1

2010

Q3

2011

Q1

2011

Q3

2012

Q1

2012

Q3

2013

Q1

2013

Q3

2014

Q1

2014

Q3

2015

Q1

2015

Q3

1028

2016

4245

0500

10001500200025003000350040004500

2007

Q1

2007

Q4

2008

Q3

2009

Q2

2010

Q1

2010

Q4

2011

Q3

2012

Q2

2013

Q1

2013

Q4

2014

Q3

2015

Q2

73

Sumber : Bank Indonesia (diolah) Gambar 5 Proporsi Dana Pihak Ketiga (DPK)

Perbankan Syariah di Provinsi Aceh Periode Triwulan I 2007 – Triwulan IV 2015 (milyar rupiah)

Deposito mudharabah belum mendominasi dalam DPK perbankan syariah di Provinsi Aceh. Namun preferensi masyarakat terhadap deposito mudharabah jauh lebih besar dibandingkan giro. Masyarakat masih cenderung memilih produk yang memberikan tingkat bagi hasil yang tinggi. Dengan demikian wajar apabila produk deposito mudharabah lebih diminati dibandingkan produk giro.

Gambar 6 memperlihatkan deposito mudharabah sepanjang periode penelitian. Pada awal penelitian deposito mudharabah perbankan syariah adalah sebesar 368 milyar rupiah dan akhir periode penelitian mencapai 1.367 milyar rupiah, atau tumbuh 4 kali lipat selama periode penelitian. Sumber : Bank Indonesia (diolah) Gambar 6 Deposito Mudharabah Perbankan

Syariah di Provinsi Aceh Periode

Triwulan I 2007 – Triwulan IV 2015 (milyar rupiah)

Ditinjau dari pertumbuhan triwulanan deposito mudharabah, selama periode penelitian mengalami pertumbuhan yang berfluktuasi. Secara rata-rata, pertumbuhan deposito mudharabah pada setiap triwulannya sebesar 6,21 persen (Gambar 7). Jika pola pertumbuhan dilihat sebelum dan sesudah disahkannya UU No.21 Tahun 2008 maka pola pertumbuhan deposito mudharabah sama halnya dengan total aset. Kebijakan ini terbukti berpengaruh pada rata-rata pertumbuhan deposito mudharabah tiap triwulan yang sebelumnya mengalami penurunan 11,26 persen tiap triwulan menjadi meningkat 9,12 persen setelahnya.

Sumber : Bank Indonesia (diolah) Gambar 7 Pertumbuhan Deposito Mudharabah

Perbankan Syariah di Provinsi Aceh Periode Triwulan I 2007 – Triwulan IV 2015 (persen)

Kondisi Eksternal Perbankan Syariah Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate)

Sepanjang periode penelitian, BI rate memiliki kecenderungan menurun. Hal ini terlihat dari posisi awal BI rate yaitu pada posisi 9,00 persen pada triwulan I 2007 dan berada pada posisi 7,50 persen pada akhir penelitian triwulan IV 2015 (Gambar 8).

0500

10001500200025003000350040004500

2007

Q1

2007

Q4

2008

Q3

2009

Q2

2010

Q1

2010

Q4

2011

Q3

2012

Q2

2013

Q1

2013

Q4

2014

Q3

2015

Q2

Giro Tabungan Deposito

6,21

-80

-60

-40

-20

0

20

40

60

2007

Q2

2008

Q1

2008

Q4

2009

Q3

2010

Q2

2011

Q1

2011

Q4

2012

Q3

2013

Q2

2014

Q1

2014

Q4

2015

Q3

368

709

1.367

0200400600800

1000120014001600

2007

Q1

2007

Q4

2008

Q3

2009

Q2

2010

Q1

2010

Q4

2011

Q3

2012

Q2

2013

Q1

2013

Q4

2014

Q3

2015

Q2

74

Namun, pada sepanjang tahun 2008 terdapat peningkatan BI rate hingga mencapai titik tertingginya, yaitu 9,25 persen pada triwulan III dan IV tahun 2008. Setelah itu, BI rate kembali menunjukkan kecenderungan menurun. BI rate mencapai titik terendah pada angka 5,75 persen di sepanjang tahun 2012 hingga triwulan I 2013

Sumber : Bank Indonesia (diolah) Gambar 8 Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia

(BI rate) Periode Triwulan I 2007 – Triwulan IV 2015 (persen)

BI rate mempengaruhi pangsa

perbankan syariah melalui tingkat bagi hasil bank syariah. Perilaku ini sesuai dengan hasil penelitian Kasri (2007) yang menunjukkan kecenderungan co-movement antara tingkat bagi hasil deposito mudharabah dengan BI rate. Kecenderungan ini menunjukkan walaupun bank syariah berlandaskan pada sistem bagi hasil, namun tetap mengikuti kondisi lingkungannya, yang ditunjukkan dengan BI rate. Tingkat Suku Bunga Deposito Bank Konvensional Sepanjang periode penelitian, tingkat suku bunga deposito bank konvensional memiliki kecenderungan menurun. Hal ini terlihat dari posisi awal tingkat suku bunga deposito satu bulan dan satu tahun masing-masing pada posisi 8,13 persen dan 10,17

persen pada triwulan I tahun 2007 dan masing-masing berada pada posisi 7,60 persen dan 8,47 persen pada akhir penelitian triwulan IV tahun 2015 (Gambar 9). Namun, pada sepanjang tahun 2008 hingga pertengahan tahun 2009 terdapat peningkatan tingkat suku bunga yang mencapai titik tertingginya, yaitu 10,75 persen pada triwulan IV tahun 2008 untuk tenor satu bulan dan 11,37 persen pada triwulan II tahun 2009 untuk tenor satu tahun. Setelah itu tingkat suku bunga kembali menunjukkan kecenderungan menurun. Kenaikan tingkat suku bunga ini menyesuaikan dengan suku bunga acuan BI rate yang juga meningkat pada periode tersebut.

Sumber : Bank Indonesia (diolah) Gambar 9 Suku Bunga Deposito Bank

Konvensional Periode Triwulan I 2007 – Triwulan IV 2015 (persen)

Bank syariah cenderung menaikkan tingkat bagi hasil jika tingkat suku bunga naik namun tidak mengikuti dengan kecepatan dan ketajaman yang sama pada saat tingkat suku bunga menurun. Strategi ini diperkirakan harus dilakukan oleh bank syariah untuk menjaga agar nasabahnya yang bukan loyalis (nasabah yang memilih bank syariah semata-mata karena alasan agama) tidak memindahkan dana mereka ke bank konvensional. Strategi bank syariah

8,13

10,75

5,40

7,60

10,1711,37

5,86

8,47

456789

101112

2007

Q1

2007

Q3

2008

Q1

2008

Q3

2009

Q1

2009

Q3

2010

Q1

2010

Q3

2011

Q1

2011

Q3

2012

Q1

2012

Q3

2013

Q1

2013

Q3

2014

Q1

2014

Q3

2015

Q1

2015

Q3

1 bulan 1 tahun

9,00 9,25

5,75

7,50

4

5

6

7

8

9

10

2007

Q1

2007

Q3

2008

Q1

2008

Q3

2009

Q1

2009

Q3

2010

Q1

2010

Q3

2011

Q1

2011

Q3

2012

Q1

2012

Q3

2013

Q1

2013

Q3

2014

Q1

2014

Q3

2015

Q1

2015

Q3

75

untuk selalu mengikuti pergerakan tingkat suku bunga ini beresiko merusak pencitraan perbankan syariah yang terkesan menjadi tidak berbeda dengan bank konvensional. Jika strategi ini terus dilakukan maka diperlukan proses edukasi secara terus menerus kepada masyarakat untuk menjelaskan bahwa itu hanya sekedar strategi bersaing tanpa mengganggu kesyariahan akad yang telah disepakati.

Salah satu indikator yang menunjukkan tekanan persaingan bank syariah dengan bank konvensional adalah perilaku bank syariah dalam menetapkan

tingkat bagi hasil. Hasil studi Kasri (2007) menunjukkan terjadinya co-movement antara tingkat bagi hasil dengan tingkat bunga bank konvensional. Kecenderungan ini berarti bank syariah selalu memperhatikan tingkat suku bunga bank konvensional dalam menetapkan tingkat bagi hasil. Pembentukkan Model Terbaik dan Pengujian Asumsi Dasar Dengan menggunakan software Eviews 6, model terbaik yang terbentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

Tabel 1 Model Persamaan Market Share Perbankan Syariah di Provinsi Aceh

Variabel Dependen

Variabel Indepenen Koefisien t-statistic P-value Ringkasan Statistik

𝑀𝑆

Konstanta 14,61* 5,1391 0,0000 𝐴𝑑𝑗𝑢𝑠𝑡𝑒𝑑

𝑅- 0,7581 𝐷𝑒𝑝𝑜 0,26* 5,3949 0,0000 𝑅𝑎𝑡𝑒 -2,52* -5,0827 0,0000 𝑆𝐵1 3,24* 6,1854 0,0000 𝑃𝑟𝑜𝑏𝐹

− 𝑆𝑡𝑎𝑡 0,0000 𝑆𝐵12 -2,24* -7,0822 0,0000

Keterangan: * Signifikan pada taraf nyata/ alpha 1 persen

Gujarati (2004) mengatakan bahwa semua statistik parametrik termasuk regresi linier bearganda mensyaratkan asumsi-asumsi yang harus dipenuhi sebelum estimasi model dilakukan. Pelanggaran terhadap satu atau beberapa asumsi saja mungkin akan menyebabkan masalah yang serius seperti koefisien regresi menjadi bias, standar error menjadi bias dan nilai R2 serta pengujian signifikansi menjadi tidak tepat/ misleading. Dengan demikian, perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi-asumsi tersebut.

Model yang mampu menghasilkan penduga yang BLUE harus memenuhi asumsi kenormalan, homoskedastisitas, non-autokorelasi, dan non-multikolinearitas.

Berikut ini ringkasan hasil pengujian normalitas, homoskedastisitas, dan non-autokrelasi dengan menggunakan software Eviews 6. Tabel 2 Hasil Pengujian Beberapa Asumsi Dasar pada Model Terbaik Pengujian P-value Jarque-Bera 0,2358 Breusch-Pagan-Godfrey 0,9492 Lagrange Multiplier 0,1633

Asumsi Normalitas dari model yang

terbentuk telah terpenuhi. Hal ini dapat dibuktikan dengan nilai probabilitas (P-value) dari Jarque-Bera test lebih besar dari alpha 0,01 (terima H0). Dengan demikian,

76

dapat dinyatakan bahwa residual dari model yang terbentuk berdistribusi nomal. Varians residual dari model yang terbentuk juga bersifat homoskedastis. Hal ini dibuktikan dengan nilai probabilitas (P-value) dari Breusch-Pagan-Godfrey test lebih besar dari alpha 0,01 (terima H0). Pada model yang terbentuk diatas, tidak terjadi autokorelasi. Hal ini dibuktikan dengan nilai probabilitas (P-value) dari Lagrange Multiplier test (LM test) lebih besar dari alpha 0,01 (terima H0). Dengan kata lain, asumsi non-autokorelasi terpenuhi. Pengujian asumsi non-multikolinieritas pada penelitian ini menggunakan uji formal yakni berdasarkan nilai Variance Inflation Factor (VIF). Dengan menggunakan software SPSS 22, diperoleh hasil pengujian non-multikolinearitas sebagai berikut: Tabel 3

Hasil Pengujian Non-Multikolinearitas pada Variabel Bebas Model Terbaik Asumsi Non-Multikolinearitas atas seluruh variabel bebas yang digunakan dalam model sudah terpenuhi. Hal ini dibuktikan dengan nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk seluruh variabel jauh lebih kecil dari 10 sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi hubungan antara variabel bebas yang masuk ke dalam model. Berdasarkan uji asumsi dasar di atas, dapat disimpulkan bahwa model yang terbentuk merupakan model terbaik. Model ini dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh proporsi deposito mudharabah, BI Rate, suku bunga deposito satu bulan bank konvensional, dan suku bunga deposito satu tahun bank konvensional terhadap market share perbankan syariah di Provinsi Aceh. Faktor Penentu Perkembangan Market Share Perbankan Syariah di Provinsi Aceh

Nilai Adjusted R-Square yang diperoleh sebesar 0,7581 yang berarti bahwa variasi yang terjadi pada market share perbankan syariah di Provinsi Aceh dapat dijelaskan oleh proporsi deposito mudharabah, BI rate, suku bunga deposito satu bulan bank konvensional, dan suku bunga deposito satu tahun bank konvensional sebesar 75,81 persen sedangkan sisanya sebesar 24,19 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak masuk di dalam model.

Secara overall, proporsi deposito mudharabah, BI rate, suku bunga deposito satu bulan bank konvensional, dan suku bunga deposito satu tahun bank konvensional secara signifikan berpengaruh terhadap market share perbankan syariah di

Provinsi Aceh. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas uji F-statistic sebesar 0,0000 yang lebih kecil dari alpha 0,01.

Secara parsial, semua variabel signifikan di dalam model. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p-value uji t-statistic untuk semua variabel bebas tersebut lebih kecil dari alpha 0,01. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proporsi deposito mudharabah, BI rate, suku bunga deposito 1 bulan bank konvensional, dan suku bunga deposito 1 tahun bank konvensional secara signifikan berpengaruh terhadap market share perbankan syariah di Provinsi Aceh.

Nilai koefisien proporsi deposito mudharabah sebesar 0,26 memiliki arti bahwa dengan tingkat kepercayaan 99 persen, peningkatan proporsi deposito mudharabah sebesar 1 persen dapat meningkatkan market share perbankan syariah di Provinsi Aceh sebesar 0,26 persen

Variabel VIF 𝐷𝑒𝑝𝑜 1,013 𝑅𝑎𝑡𝑒 2,687 𝑆𝐵1 4,298 𝑆𝐵12 2,445

77

dengan asumsi variabel bebas lainnya tetap. Pengaruh positif proporsi deposito mudharabah terhadap market share perbankan syariah sesuai dengan teori yang dihipotesiskan. Deposito mudharabah merupakan salah satu sumber perolehan dana terbesar kedua setelah tabungan pada perbankan syariah di Provinsi Aceh yang nantinya digunakan untuk memperluas usaha. Selain itu, dana deposito cenderung tetap dalam jangka waktu tertentu sehingga mempermudah bank untuk melakukan investasi maupun penyaluran pembiayaan tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Astasia (2012).

Nilai koefisien BI rate sebesar -2,52 memiliki arti bahwa dengan tingkat kepercayaan 99 persen, kenaikan BI rate sebesar 1 persen dapat menurunkan market share perbankan syariah di Provinsi Aceh sebesar 2,52 persen. Pengaruh negatif BI rate terhadap market share perbankan syariah berlawanan dengan teori yang dihipotesikan. Dalam pelaksanaannya, kenaikan BI rate tidak memengaruhi bank syariah secara langsung karena bank syariah tidak mengacu pada tingkat suku bunga (Aldiansyah, 2018). Di sepanjang periode penelitian, BI rate menunjukkan trend menurun. Dalam kondisi ini, bank syariah melakukan beberapa kebijakan internal, diantaranya dengan menaikkan nisbah bagi hasil yang ditawarkan. Apabila mengacu pada BI rate, ini akan mengakibatkan produk bank syariah menjadi kurang kompetitif karena nisbah bagi hasil akan menurun. Dengan asumsi nasabah bersifat rasional, hal ini mengakibatkan berkurangnya penghimpunan dana bank syariah sehingga menurunkan kemampuan bank syariah memperluas pangsanya. Hasil

penelitian ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan Aldiansyah (2018) namun bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Astasia (2012) dan Virawan (2017).

Suku bunga deposito satu bulan bank konvensional secara signifikan berpengaruh positif terhadap market share perbankan syariah di Provinsi Aceh. Nilai koefisien suku bunga deposito satu bulan sebesar 3,24 memiliki arti bahwa dengan tingkat kepercayaan 99 persen, kenaikan suku bunga deposito satu bulan bank konvensional sebesar 1 persen dapat meningkatkan market share perbankan syariah di Provinsi Aceh sebesar 3,24 persen. Pengaruh positif suku bunga deposito satu bulan bank konvensional terhadap market share perbankan syariah berlawanan dengan teori yang dihipotesiskan. Hal ini dikarenakan suku bunga deposito satu bulan bank konvensional tidak begitu besar dan kurang kompetitif. Selain itu, loyalitas beberapa nasabah terhadap produk bank syariah yang diklaim terbebas dari riba menyebabkan produk bank syariah tetap diminati. Loyalitas beberapa nasabah terhadap produk bank syariah akan menjaga bahkan memperluas pangsa perbankan syariah di Provinsi Aceh melalui dana yang dihimpun. Hal ini pun didukung oleh data statistik yang menunjukkan bahwa selama periode penelitian suku bunga deposito satu bulan bank konvensional menunjukkan trend menurun namun pangsa pasar perbankan syariah di Provinsi Aceh tetap menunjukkan trend menaik. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Astasia (2012).

Berbeda dengan suku bunga deposito satu bulan bank konvensional, suku bunga deposito satu tahun bank konvensional

78

secara signifikan berpengaruh negatif terhadap market share perbankan syariah di Provinsi Aceh. Nilai koefisien suku bunga deposito satu tahun bank konvensional sebesar -2,24 memiliki arti bahwa dengan tingkat kepercayaan 99 persen, penurunan suku bunga deposito satu tahun bank konvensional sebesar 1 persen dapat menaikkan market share perbankan syariah di Provinsi Aceh sebesar 2,24 persen. Kondisi ini sesuai dengan teori yang dihipotesiskan. Jika tingkat suku bunga deposito satu tahun bank konvensional naik maka nasabah bank syariah beralih ke bank syariah yang dianggap memberikan keuntungan lebih besar sehingga porsi aset perbankan syariah yang dinyatakan dalam market share mengalami peningkatan. Hasil ini semakin memperkuat pernyataan bahwa tidak semua konsumen bank syariah merupakan konsumen yang loyalis. Sesuai dengan keadaan di lapangan, nasabah pada bank syariah tidak terbatas hanya nasabah muslim saja, melainkan juga nasabah non-muslim. Adanya nasabah non-muslim pengguna produk dan jasa bank syariah memperkuat dugaan pemilihan nasabah menggunakan bank syariah juga dipengaruhi oleh aspek-aspek rasional. Pengaruh negatif suku bunga deposito satu tahun bank konvensional terhadap market share perbankan syariah serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Astasia (2012). KESIMPULAN Selama periode penelitian, market share perbankan syariah di Provinsi Aceh menunjukkan kecenderungan meningkat Setelah adanya undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, yaitu UU No. 21 Tahun 2008, rata-rata pertumbuhan aset

perbankan syariah di Provinsi Aceh meningkat.

Lingkungan internal yang digambarkan dengan deposito mudharabah mengalami peningkatan sepanjang periode penelitian. Proporsi deposito mudharabah secara signifikan berpengaruh positif terhadap market share perbankan syariah di Provinsi Aceh. Dengan demikian, perbankan syariah perlu meningkatkan daya saing produk deposito mudharabah dengan pemberian nisbah bagi hasil yang lebih tinggi.

Lingkungan eksternal yang berupa lingkungan persaingan industri digambarkan dengan tingkat suku bunga deposito konvensional. Baik jangka waktu satu bulan maupun satu tahun, tingkat suku bunga deposito bank konvensional cenderung mengalami penurunan selama periode penelitian. Suku bunga deposito satu bulan bank konvensional secara signifikan berpengaruh positif sedangkan suku bunga deposito satu tahun bank konvensional berpengaruh negatif terhadap market share perbankan syariah di Provinsi Aceh. Upaya pengembangan bank syariah harus berorientasi kepada pasar atau masyarakat sebagai pengguna jasa perbankan syariah. Hal ini karena tidak semua nasabah bank syariah berkategori loyalis bahkan kebanyakan nasabah bersifat rasional. Oleh karena itu tingkat bagi hasil bank syariah harus dibuat sekompetitif mungkin dengan tingkat suku bunga bank konvensional. Namun, tetap dilakukan tanpa menyampingkan aspek-aspek syariah.

Lingkungan eksternal yang berupa lingkungan umum digambarkan dengan suku bunga acuan BI rate. Selama periode penelitian, BI rate cenderung mengalami penurunan. BI rate secara signifikan berpengaruh negatif terhadap market share

79

perbankan syariah di Provinsi Aceh. Dengan demikian, penentuan BI rate sebagai suku bunga acuan sebaiknya juga mempertimbangkan kepentingan bank syariah. DAFTAR PUSTAKA

Aldiansyah, Toufan. 2018. Pengaruh Inflasi, BI Rate, NPF, dan BOPO Terhadap Profitabilitas Bank Umum Syariah di Indonesia. Jurnal Ekonomi Islam, 6 (1), 133-153.

Astasia, Adina. (2012). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Market Share Perbankan Syariah di Indonesia [Skripsi]. Jakarta: STIS.

Cahyono, Bambang Tri. (1999). Manajemen Strategi. Jakarta: Badan Penerbit IPWI.

Cleopatra, Yuria Pratiwi. (2008). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Proporsi Aset Perbankan Syariah di Indonesia. Dikta Ekonomi Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 5 (1), 1-25.

Gerrard, P & Cunningham (1997). “Islamic Banking: A Study in Singapore.” International Journal of Bank Marketing, 15(6), 204-216.

Gujarati, Damodar N. (2004). Basic Econometrics: Forth Edition. Mc. Graw Hill Companies.

Hidayah Nur, Herlia Ellyn. (2008). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Aset Perbankan Syariah [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia.

Ismail, Rifki. (2011). The Indonesian Islamic Banking: Theory and Practices. Jakarta: Gramata Publishing.

Kasri. (2007). The Determinants of Islamic Banking Growth in Indonesia. Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, 6 (2), 41-64.

Kasri, Rahmatina & Kasim, Salina. (2009). Empirical Determinants of Saving in the Islamic Banks: Evidence from Indonesia. JKAU: Islamic Econ., 22 (2), 181-201.

Machmud, Amir & Rukmana. (2009). Bank Syariah: Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Mardiansyah, Akhmad Denny. (2004). Analisis Faktor-Faktor Penentu Penghimpunan dan Penyaluran Dana Perbankan Syariah Beserta Peramalannya [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Mariantini, Bety. (2007). Analisis Pengaruh Suku Bunga Bank Konvensional terhadap Jumlah Simpanan pada Bank Umum Syariah Tahun 2002-2006 [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Mukhlisin, Murniati. (2010). Faktor-Faktor Pengaruh Pertumbuhan Aset BankBank Islam di Indonesia [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia.

Porter, Michael E. (1980). Competitive Strategy. New York: The Free Press.

Virawan, Adivia. (2017). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perlambatan Pertumbuh an Market Share Perbankan Syariah di Indonesia [Skripsi]. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

80

PENGARUH LIKUIDITAS, UKURAN PERUSAHAAN, DAN LEVERAGE TERHADAP KUALITAS LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR

EFFECT OF LIQUIDITY, COMPANY SIZE, AND LEVERAGE OF PROFIT

QUALITY IN MANUFACTURING COMPANIES

Vidyarto Nugroho1 dan Yoga Radyasa2 Fakultas EkonomiUniversitas TarumanagaraJakarta

Email: [email protected] Diterima: 24 Juli 2019; direvisi: 17 September 2019; diterbitkan: 1 Desember 2019

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh likuiditas, ukuran perusahaan dan leverage terhadap kualitas laba. Metode penelitian yang digunakan yaitu purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 41 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder dengan tahun pengamatan yaitu 2015-2017. Data diperoleh dari laporan keuangan yang diambil dari www.idx.com. Metode analisis data yang digunakan yaitu uji statistik deskriptif,uji pemilihan model data panel, uji f, uji t serta uji koefisien determinasi. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan Eviews versi 10.0 dengan panel data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa likuiditas dan ukuran perusahaan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap kualitas laba, sedangkan leverage mempunyai pengaruh signifikan terhadap kualitas laba.

Kata kunci: Likuiditas, Ukuran Perusahaan, Leverage, Kualitas Laba

ABSTRACT

The purpose of this study is to find out and analyze the influence of liquidity, firm size and leverage on earning quality. The research method used was purposive sampling with a total sample of 41 companies listed on the Indonesia Stock Exchange (IDX). This research was conducted using secondary data with years of observation, namely 2015-2017. Data is obtained from financial statements taken from www.idx.com. Data analysis method used is descriptive statistical test,choosing panel data mode tesl, f test, t test and test coefficient of determination. Testing the hypothesis in this study uses Eviews version 10.0 . The results of the study show that the liquidity and firm size do not have a significant effect on earning quality, while the leverage have a significant effect on earning quality. Keywords:Earning Quality, Liquidity, Firm Size, Leverage

PENDAHULUAN

Laporan keuangan adalah media komunikasi yang berfungsi untuk menghubungkan pihak – pihak yang

berkepentingan kepada perusahaan. Salah satu parameter utama dalam laporan keuangan yang berfungsi untuk mengukur kinerja manajemen adalah laba.

81

Penyampaian informasi laporan keuangan perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pihak eksternal dan juga internal yang memiliki sedikit wewenang untuk mendapatkan informasi yang mereka perlukan dari sumber langsung perusahaan. Informasi terserbut diharapkan berguna dalam mengambil keputusan dan menjadi pedoman bagi stockholder dan investor potensial guna menentukan kepentingan investasi terhadap saham emiten.

Dalam laporan keuangan, laba merupakan bagian penting yang seringkali dapat perhatian karena laba adalah indikator yang digunakan sebagai alat ukur kinerja operasional perusahaan. Informasi laba juga mengukur berhasil atau gagalnya suatu bisnis dalam mencapai tujuan operasi yang telah ditetapkan. Kreditur maupun investor, menggunakan laba guna mengevaluasi kinerja manajemen, memprediksi laba dimasa yang akan datang, dan untuk memperkirakan earnings power. Dari perspektif pengambilan keputusan investor, informasi laba sangat dibutuhkan untuk mengetahui kualitas laba supaya mereka dapat memperoleh informasi. Oleh karena ini kualitas laba menjadi perhatian bagi investor dan para pengambil kebijakan akuntansi serta pemerintahan (Sugiarto dan Siagian, 2007).

Laba yang di publikasikan bisa memberikan respon yang bervariasi, hal ini menunjukkan adanya reaksi pasar terhadap informasi laba. Reaksinya tergantung dari kualitas laba yang perusahaan hasilkan. Kualitas laba diindikasikan sebagai kemampuan informasi laba yang memberikan respon kepada pasar. Laba adalah indikator yang digunakan untuk mengukur prestasi perusahaan dari kinerja operasional perusahaan. Laba dalam laporan keuangan memberikan informasi yang

sangat penting mengenai kondisi perusahaan, khususnya bagi mereka yang melihat laporan keuangan dengan tujuan pengambilan keputusan investasi. Pada perspektif pengambilan keputusan investasi, informasi laba berguna bagi investor untuk mengetahui kualitas laba supaya mereka dapat mengambil keputusan mengenai investasi yang mereka lakukan dengan informasi yang telah didapat. Oleh karena itu kualitas laba menjadi hal utama yang diperhatikan bagi investor dan para pengambil kebijakan akuntansi serta pemerintahan dalam menentukan keputusan investasinya.

Pada dasarnya, kualitas laba ditentukan oleh proses akuntansi (Francis et al., 2004). Persiapan pelaporan keuangan melibatkan manajemen dan dewan komisaris. Terdapat kebijakan dan keputusan mengenai penghasilan oleh manajamen yang mempengaruhi proses pelaporan keuangan. Karena itu, kualitas laba bisa dipengaruhi oleh manajemen laba dan mekanisme tata kelola perusahaan.

Likuiditas merupakan rasio keuangan yang mengukur kemampuan suatu perusahaan yang bertujuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek dengan aset lancarnya (Sugiarto dan Siagian, 2007). Untuk mengukur rasio likuiditas akan digunakan current ratio. Menurut hasil penelitian Basuki(2018) likuiditas berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan. Namun hasil penelitian Dira dan Astika(2014) menyatakan bahwa likuiditas tidak berpengaruh terhadap kualitas laba.

Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar atau kecilnya perusahaan menurut berbagai cara, antara lain : Total Asset, jumlah karyawan nilai pasar saham, log penjualan, kapitalisasi pasar,dan lain - lain (Anggraini, 2006).

82

Perusahaan yang besar biasanya dianggap mempunyai resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang kecil. Menurut hasil penelitian Setiawan(2017) ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan. Namun hasil penelitian Novianti(2012) menyatakan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap perusahaan.

Leverage dapat mempengaruhi kualitas laba. Leverage merupakan penggunaan sumber dana dan aset oleh perusahaan yang memiliki biaya tetap untuk meningkatkan keuntungan potensial pemegang saham (Sartono, 2008). Leverage diukur dengan menggunakan rasio utang atau debt ratio. Rasio utang mengukur besarnya proporsi utang yang dimiliki oleh perusahaan untuk membiayai asetnya. Menurut penelitian Listyawan(2017) leverage berpengaruh terhadap kualitas laba pada perusahaan. Namun hasil penelitian Irawati(2012)menyatakan bahwa leverage tidak berpengaruh terhadap kualitas laba.

Karena adanya perbedaan hasil – hasil penelitian terdahulu mendorong untuk dilakukannya penelitian kembali dengan topik yang serupa untuk menguji apakah likuiditas, ukuran perusahaan, dan leverage memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas laba pada perusahaan manufaktur sektor aneka industri dan barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama tahun 2015 – 2017.

Penjelasan mengenai konsep kualitas laba tidak terlepas dari Teori Keagenan (agency theory). Masalah keagenan muncul karena adanya perbedaan kepentingan antara para pemegang saham dengan pihak manajemen sebagai agen sehingga muncul konflik kepentingan. Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau

lebih principal (pemilik) menggunakan orang lain atau agen (manajer) yang berfungsi untuk menjalankan aktivitas perusahaan.

Pemilik maupun manajer merupakan individu – individu rasional, yang selalu mencari keuntungannya sendiri (moral hazard). Hal ini menguatkan asumsi yang dipaparkan oleh Khomsiyah (2003) tentang sifat dasar manusia, yaitu:

1. Manusia pada umumnya self interest, yaitu lebih mementingkan diri sendiri dan tidak mau berkorban demi kepentingan orang lain.

2. Manusia memiliki pikiran terbatas atas persepsi masa depan atau disebut sebagai bounded rationality menurut agency theory. a.Agency Theory, adanya pemisahan kepemilikan dan pengelolaan perusahaan bisa menimbulkan konflik. Terjadinya konflik pada teori keagenan disebut sebagai agency conflict yang disebabkan oleh pihak terkait yaitu prinsipal dan agen yang mempunyai kepentingan yang saling bertentangan. Apabila agen dan prinsipal berupaya memaksimalkan utilitasnya masing – masing, serta memiliki keinginan dan motivasi yang berbeda, maka ada alasan untuk percaya bahwa agen (manajemen) tidak selalu bertindak sesuai keinginan prinsipal (Rachmawati dan hanung, 2007).

Konflik keagenan (agency theory) mengakibatkan sifat manajemen melaporkan laba secara oportunis untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Apabila hal ini terjadi akan mengakibatkan rendahnya kualitas laba. Laba yang dihasilkan perusahaan merupakan salah satu ukuran kinerja perusahaan yang sering digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan perusahaan. Laba yang diukur atas dasar akrual merupakan ukuran yang lebih baik atas kinerja perusahaan

83

dibandingkan arus kas operasi karena akrual mengurangi masalah waktu dan mismatching yang terdapat dalam penggunaan arus kas dalam jangka pendek (Rachmawati dan Hanung, 2007).

Dalam prosesnya dasar akrual akan memungkinkan perilaku manajer melakukan rekayasa laba guna menaikkan atau menurunkan angka akrual pada laporan laba rugi. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) memberikan kelonggaran memilih metode akuntasi yang digunakan untuk menyusun laporan keuangan. Kelonggaran metode ini dimanfaatkan untuk menghasilkan nilai laba berbeda – beda di setiap perusahaan. Perusahaan dengan metode penyusutan garis lurus akan berbeda hasil laba yang dilaporkan dengan perusahaan yang menggunakan metode saldo menurun. Praktik seperti ini memberikan perubahan terhadap kualitas laba yang dilaporkan (Rachmawati dan Hanung, 2007). b.Teori Signal(Signaling Theory) menurut Ross (1977) adalah sebagai berikut, dia menyatakan bahwa pihak eksekutif perusahaan memiliki informasi yang lebih baik mengenai perusahaannya akan terdorong untuk menyampaikan informasi tersebut kepada calon investor, agar harga saham perusahaannya meningkat.

Sedangkan menurut Suwardjono (2005), signaling theory adalah sinyal – sinyal informasi yang dibutuhkan investor untuk menentukan dan mempertimbangkan apakah investor akan menanamkan sahamnya atau tidak pada perusahaan yang bersangkutan. Kualitas laba merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan investor untuk menentukan apakah pihak investor akan menanamkan modalnya di perusahaan yang bersangkutan atau tidak.

Hal positif dalam signaling theory dimana perusahaan yang memberikan

informasi yang bagus akan membedakan mereka dengan perusahaan lain yang tidak memiliki good news(berita bagus) dengan menginformasikan pada pasa modal tentang keadaan perusahaan, sinyal tentang bagusnya kinerja masa depan yang diberikan oleh perusahaan yang kinerja keuangan pada masa lalunya tidak bagus tidak akan dipercaya oleh pasar dinyatakan oleh Wolk dan Tearney (1997) dalam Dwiyanti (2010). c.Likuiditas merupakan rasio keuangan yang mengukur kemampuan suatu perusahaan yang bertujuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek dengan aset lancarnya (Sugiarto dan Siagian, 2007). Untuk mengukur rasio likuiditas akan digunakan current ratio. Current ratio yang tinggi menunjukkan tidak adanya masalah dalam likuiditas, sehingga semakin tinggi likuiditas artinya tingkat laba yang dihasilkan perusahaan semakin tinggi dan berkualitas sehingga manajemen perusahaan tidak perlu lagi melakukan praktik manajemen laba. d.Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar atau kecilnya perusahaan menurut berbagai cara, antara lain : Total Asset, jumlah karyawan nilai pasar saham, log penjualan, kapitalisasi pasar,dan lain - lain (Anggraini, 2006). Perusahaan yang besar biasanya dianggap mempunyai resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang kecil. Ukuran perusahaan hanya merupakan faktor yang yang kontradiksi. e.Leverage merupakan penggunaan sumber dana dan aset oleh perusahaan yang memiliki biaya tetap untuk meningkatkan keuntungan potensial pemegang saham (Sartono, 2008). Leverage diukur dengan menggunakan rasio utang atau debt ratio. Rasio utang mengukur besarnya proporsi utang yang dimiliki oleh perusahaan untuk membiayai asetnya. Perusahaan dengan

84

leverage yang tinggi akan membuat investor kurang percaya terhadap laba yang dilaporkan oleh perusahaan. Investor mempunyai pendapat bahwa perusahaan akan lebih mengutamakan pembayaran

hutang kepada debtholders daripada pembayaran dividen. Artinya, semakin besar tingkat leverage perusahaan maka semakin rendah kualitas laba suatu perusahaan

Kerangka Pemikiran dalam penelitian ini digambarkan seperti dibawah ini : Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

H1: Likuiditas berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas laba. H2: Ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas laba. H3: Leverage berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas laba.

METODE Penelitian ini merupakan penelitian

kuantitatif yang menggunakan data empiris yang dipublikasikan melalui situs web www.idx.co.id yang berakhir pada 31 Desember. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan yang terjadi antara variabel dependen dengan variabel independen.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan desain penelitian kausalitas. Penelitian kausalitas digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Subjek penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah perusahaan manufaktur sektor aneka industri dan barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia berdasarkan pemilihan melalui purposive sampling method, dimana perusahaan yang

menjadi subjek penelitian ini ditentukan berdasarkan keriteria tertentu : 1) Perusahaan manufaktur sektor aneka industri dan barang konsumsi yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia minimal selama 5 tahun dan masih aktif sampai tahun 2017, 2) Perusahaan yang tidak mengalami kerugian selama periode 2015-2017, 3) Perusahaan yang menggunakan mata uang rupiah, 4) Perusahaan yang tidak delisting selama tahun 2015-2017.

Objek Penelitian. Objek penelitian ini berkaitan dengan analisis statistik deskriptif dari variabel penelitian. Statistik deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu data sehingga memberikan informasi yang bermanfaat bagi penggunanya. Melalui analisis deskriptif, kita dapat mengetahui nilai minimum, maksimum, rata-rata, dan

Kualitas Laba Y

Likuiditas X1

)

Ukuran Perusahaan X2

Leverage X3

H1

H2

H3

85

standar deviasi dari setiap variabel yang digunakan dalam penelitian ini.

Populasi yang digunakan adalah sebanyak 83 perusahaan dan jumlah sampel yang memenuhi kriteria adalah 41 perusahaan dengan demikian total observasi selama tiga tahun adalah 123 data observasi.

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari likuiditas, ukuran perusahaan, leverage sebagai variabel independen dan kualitas laba sebagai variabel dependen.

Operasionalisasi dari variabel-variabel dalam penelitian ini disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 1. Operasionalisasi Variabel

Variabel Parameter Skala Ukuran

Variabel Independen Likuiditas 𝐿𝑖𝑞𝑢𝑖𝑑𝑖𝑡𝑦 =

𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑖𝑒𝑠 Rasio

Ukuran Perusahaan 𝐹𝑖𝑟𝑚𝑆𝑖𝑧𝑒 = 𝐿𝑛𝑜𝑓𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠 Rasio

Leverage 𝐿𝑒𝑣𝑒𝑟𝑎𝑔𝑒 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙𝐷𝑒𝑏𝑡𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠 Rasio

Variabel Dependen

Kualitas Laba 𝑄𝑢𝑎𝑙𝑖𝑡𝑦𝑂𝑓𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜(𝑄𝐼𝑅)𝑖𝑡 =𝐶𝐹𝑂𝑖𝑡𝑁𝐼𝑖𝑡 Rasio

Penelitian ini menggunakan Uji Statistik

Deskriptif untuk analisis objek penelitian, dan menggunakan uji regresi linier berganda dengan program Eviews 10.0, yang terdiri dari Uji Likelihood, Uji Hausman, Uji t, Uji F, Uji koefesien determinasi, dan Uji regresi linear.

Uji Likelihood. Uji Likelihood dilakukan untuk menentukan model penelitian data panel mana yang lebih baik untuk digunakan antara common effect model atau Fixed Effect Model. Hasil uji disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 2. Hasil Uji Likelihood

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 6.342548 (40,79) 0.0000 Cross-section Chi-square 176.849285 40 0.0000

Berdasarkan Tabel tersebut, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi sebesar 0.0000 yang berarti lebih kecil dari α sebesar 0.05 menunjukkan lebih baik menggunakan fixed effect model.

Uji Hausman. Uji Hausman dilakukan untuk menentukan mana model terbaik pada penelitian data panel yang digunakan antara fixed effect model dan random effect model. Hasil Uji disajikan dalam tabel berikut :

86

Tabel 3. Hasil Uji Hausman

Correlated Random Effects - Hausman Test

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 3.616981 3 0.3059

Berdasarkan Tabel 3 di atas, probabilitas yang dihasilkan pada uji hausman adalah α >0,05. Artinya lebih baik menggunakan metode random effect.Hal ini karena nilai probabilitas lebih besar dari tingkat signifikansi yang ditentukan yaitu 0,05,maka Ho diterima. Jika sebaliknya nilai probabilitas lebih kecil dari tingkat signifikansi yang ditentukan yaitu 0,05 maka Ho ditolak

sehingga model yang paling baik untuk digunakan adalah model fixed effect model.

Uji Regresi Linier Berganda. uji analisis regresi linear berganda adalah untuk mengetahui apakah terdapat adanya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil uji disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 4.

Hasil Uji Regresi Linear Berganda

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 43.47044 44.25270 0.982323 0.3279

X1 -0.079112 0.537448 -0.147200 0.8832 X2 -1.382462 1.540763 -0.897258 0.3714 X3 0.015159 0.003331 4.550781 0.0000

Berdasarkan tabel 4 di atas, dapat terbentuk persamaan regresi ganda yang berfungsi

untuk melihat pengaruh yang dimiliki dari setiap variabel independen terhadap variabel dependen. Berikut persamaan regresi linier berganda yang terbentuk dalam penelitian ini : Kualitas Laba = 43,47044– 0,079112Likuiditas–1,382462Ukuran Perusahaan + 0,015159Leverage +e

Uji Kelayakan model (Uji F). Untuk menguji hipotesis, maka dilakukan uji statistik F yang bertujuan untuk menunjukkan variabel independen berpengaruh secara simultan terhadap variabel dependen. Hasil uji disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 5.

Hasil Uji Kelayakan Model (Uji F) Dependent Variable: Y

Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)

Cross-sections included: 41

Total panel (balanced) observations: 123

F-statistic 7.365907

Prob(F-statistic) 0.000143

87

Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang dihasilkan sebesar 0.000143, artinya hasil tersebut menunjukkan bahwa variabel independen dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen sehingga model regresi linier berganda dapat dikatakan fit atau cocok digunakan untuk

menjelaskan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dalam penelitian ini.

Uji t. Uji t digunakan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara individual. Hasil uji disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 6 Hasil Uji t

Dependent Variable: Y

Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 43.47044 44.25270 0.982323 0.3279

X1 -0.079112 0.537448 -0.147200 0.8832

X2 -1.382462 1.540763 -0.897258 0.3714

X3 0.015159 0.003331 4.550781 0.0000

Berdasarkan hasil uji t pada tabel 6 di atas, dapat diketahui hasilnya sebagai berikut : Nilai signifikansi untuk variabel X1 yaitu likuiditasadalah sebesar 0.8832, dimana nilai ini lebih besar dari 0.05.Hal ini menunjukkan bahwa likuiditas tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas laba. Nilai signifikan untuk variabel X2 yaitu ukuran perusahaan, lebih besar dari 0.05 yang artinya variabel tersebut tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap

kualitas laba. Nilai signifikansi untuk X3 yaitu Leverage lebih kecil dari 0.05 yang artinya variabel tersebut memiliki pengaruh yang signfikan terhadap kualitas laba.

Uji Koefesien Determinasi. Uji koefesien determinasi memiliki tujian untuk mengukur tingkat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil pengujian disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 7.

Hasil Uji Koefesien Determinasi

R-squared 0.156613

Adjusted R-squared 0.135351

Berdasarkan tabel 7 di atas, diperoleh

nilai adjusted R-square sebesar 0.135351atau sebesar 13.54%.Hal ini

menujukkan bahwa variabel-variabel independen dalam model regresi dalam penelitian ini dapat menjelaskan variabel

88

dependen yaitu kualitas laba sebesar 13.54%. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa leverage dapat mempengaruhi kualitas laba, sedangkan ukuran perusahaan dan likuiditas tidak dapat mempengaruhi kualitas laba. Likuiditas tidak berpengaruh terhadap kualitas laba. Karena kualitas laba dilihat dari pergerakan arus kas operasi, sedangkan laba diambil berdasarkan ending balance dari saldo current asset dan current liabilities, sehingga jika likuiditas perusahaan tinggi belum tentu kualitas laba perusahaannya semakin baik juga.Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian Dira dan Astika(2014) bahwa likuiditas tidak berpengaruh terhadap kualitas laba. Bahwa dengan semakin baik kemampuan perusahaan untuk memenuhi hutang dan kewajibannya tidak menjadi jaminan bahwa kualitas laba dari perusahaan tersebut juga dalam keadaan baik. Tetapi hasil dari penelitian ini berlawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh Basuki(2018) yang menyatakan bahwa variabel likuiditas memiliki pengaruh terhadap kualitas laba. Ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap kualitas laba. Karena besar atau kecilnya sebuah perusahaan belum dapat meyakinkan investor bahwa keadaan perusahaaan dan tingkat kualitas labanya baik.Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Novianti(2012) bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap kualitas laba,artinya bahwa besar atau kecilnya perusahaan tidak mempengaruhi bagus atau tidaknya kualitas laba perusahaan. Tetapi menurut Setiawan (2017) semakin besar ukuran perusahaan akan meningkatkan kepercayaan para investor

untuk melakukan investasi.Namun, pada perusahaan kecil, perusahaan kecil dapat memberikan profit yang optimal kepada investor. Hal ini menunjukkan bahwa investor tidak memperdulikan ukuran suatu perusahaan karena belum tentu perusahaan besar memiliki kualitas laba yang tinggi. Leverage memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas laba. Perusahaan dengan hutang yang lebih tinggi dianggap memiliki kualitas laba yang tidak begitu baik. Apabila hutang ditambahkan pada posisi struktur modal berada diatas titik optimal maka setiap penambahan hutang akan menurunkan kualitas laba perusahaan.Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Listyawan(2017) bahwa leverage berpengaruh terhadap kualitas laba,berarti besar atau kecilnya hutang perusahaan dalam membiayai operasional perusahaan mempengaruhi kualitas laba perusahaan. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa variabel leverage berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba. Sedangkan variabel likuiditas, dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba. Pada penelitian ini masih terdapat beberapa keterbatasan yang mungkin akan berpengaruh terhadap hasil penelitian, yaitu sebagai berikut : 1) Penelitian ini memiliki keterbatasan pengambilan sampel dari periode tahun pengamatan yang relatif pendek yaitu selama 3 tahun,pada perusahaan manufaktur sektor aneka industri dan barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2015-2017. Hal ini menyebabkan peneliti hanya mencerminkan pengaruh variabel indpenden terhadap variabel dependen pada periode 2015-2017 saja, 2) Penelitian ini hanya

89

menggunakan 3 variabel independen dan tidak menggunakan seluruh faktor yang mempengaruhi perusahaan, 3) Peneliti hanya terbatas dengan sampel yang digunakan yaitu sebanyak 123 data observasi, sehingga peneliti ini tidak mampu memberikan hasil yang dapat digeneralisir.

Berdasarkan hasil dan keterbatasan di atas, maka saran yang dapat diberikan untuk melakukan penelitian selanjutnya yaitu perusahaan yang digunakan tidak terbatas hanya pada sektor manufaktur sektor aneka industri dan barang konsumsi saja. Hal ini bertujuan untuk dapat menggambarkan pasar secara keseluruhan. Memperpanjang periode pengamatan untuk mendapat hasil penelitian yang lebih akurat sesuai dengan kondisi pasar saat ini dan menambahkan variabel independen lainnya yang dianggap mempengaruhi kualitas laba perusahaan. DAFTAR PUSTAKA Andri Rachmawati & Hanung Triatmoko.

2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi X Makassar. 26-28 Juli.

Anggraini, Reni Retno. (2006). Pengungkapan Informasi sosial dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan informasi sosial dalam laporan keuangan tahunan (studi empiris pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia). Jurnal simposium nasional akuntansi 9.

Basuki (2018). Pengaruh Ukuran perusahaan, Likuiditas, dan Investment Opportunity Set terhadap Kualitas Laba.Jurnal Competitive,Vol. 2 No.1 hal.107-120.

Dwiyanti, Rini. (2010). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Pelaporan Keuangan pada

Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

Dira & Astika (2014). Pengaruh Struktur Modal, Likuiditas, Pertumbuhan Laba, dan Ukuran Perusahaan pada Kualitas Laba.E-jurnal akuntansi Vol.7 No.1 April 2014 hal.64-78.

Francis. J., R. LaFond, P. M. Olsson & K. Schipper. (2004). Costs of equity and earnings attributes. The Accounting Review 79(4), 967-1010.

Jensen & Meckling. (1976). The Theory of The Firm: Manajerial Behaviour, Agency Cost, and Ownership Structure. Journal of Financial and Economics. 3, 305-360.

Irawati (2012). Pengaruh Struktur Modal, Pertumbuhan Laba, Ukuran Perusahaan, dan Likuiditas terhadap Kualitas Laba. Accounting Analysis Journal Vol.1 No.2 (2012).

Karlina, E.Y. (2016). Analisis Faktor-Faktor

Yang Mempengaruhi Kualitas Laba. Surabaya: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi.

Khomsiyah. (2003). “Hubungan Corporate Governance dan Pengungkapan Informasi: Pengujian Secara Simultan”. Simposium Nasional Akuntansi VI. Surabaya.

Listyawan (2017). Pengaruh Struktur Modal, Likuiditas, Ukuran Perusahaan, Pertumbuhan Laba, dan Profitabilitas terhadap Kualitas Laba.Skripsi S1 Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Marsela, S.Y. & Maryono. (2017). Pengaruh Good Corporate Governance, Leverage, Profitabilitas, dan Ukuran Perusahaan Terhadap Kualitas Laba. Dinamika Akuntansi, Keuangan, dan Perbankan, 6 (1), 40-52.

Novianti (2012). Kajian Kualits Laba. Accounting Analysis Journal Vol.1 No.2.

90

Pitria, Eka. (2017). Pengaruh Kesempatan Bertumbuh, Leverage, dan Profitabilitas Terhadap Kualitas Laba. Jurnal Akuntansi, 5(2).

Risdawati,. Iin M. Eka & Subowo. (2015). Pengaruh Struktur Modal, Ukuran Perusahaan, Asimetri Informasi, dan Profitabilitas Terhadap Kualitas Laba. Jurnal Dinamika Akuntansi 7 (2), 109-118.

Ross. (1997). Buku Pintar Pasar Modal Indonesia. Mediasoft. Jakarta.

Sartono & R Agus. (2008). Manajemen Keuangan (Teori dan Aplikasi). Yogyakarta:BPFE.

Setiawan. (2017). Analis Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Likuiditas, dan Leverage Terhadap Kualitas Laba. Menara Ilmu 11 (77).

Suwardjono. (2005). Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Yogyakarta: BPFE.

Warianto, Paulina. & Rusiti, Ch. (2014). Pengaruh Ukuran Perusahaan, Struktur Modal, Likuiditas, dan Investment Opportunity Set (IOS) Terhadap Kualitas Laba. Modus 26 (1), 19–32.

Wiryadi, Ari dan Sebrina, Nurzi. (2013). Pengaruh Asimetri Informasi, Kualitas Audit dan Struktur Kepemilikan Terhadap Manajemen Laba. Wahana Riset Akuntansi 1 (2).

91

92

ANALISIS BELANJA MODAL, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA BAGI HASIL DAN DANA ALOKASI UMUM DI PROVINSI ACEH

CAPITAL EXPENDITURES ANALYSIS, REGIONAL ORIGINAL INCOME, FUNDS FOR RESULTS AND FUNDS OF GENERAL ALLOCATION IN ACEH

PROVINCE

Murtala1 dan Irham Iskandar2 1)Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh

2)Peneliti Bappeda Aceh E-Mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal Di Provinsi Aceh. Penelitian ini memiliki rentang waktu 4 tahun, yaitu tahun 2006 sampai dengan 2009 dengan melihat laporan statistik keuangan pemerintah daerah (Laporan Realisasi APBK) yang menyajikan data mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Belanja Modal. Hasil penelitian menunjukkan secara simultan Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal di Provinsi Aceh. Belanja Modal di Provinsi Aceh sangat dipengaruhi oleh Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum. Secara parsial Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal di Provinsi Aceh. Belanja Modal di Provinsi Aceh sangat dipengaruhi oleh Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum. Secara parsial Dana Bagi Hasil berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal di Provinsi Aceh. Belanja Modal di Provinsi Aceh sangat dipengaruhi oleh Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum. Secara parsial Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal di Provinsi Aceh. Belanja Modal di Provinsi Aceh sangat dipengaruhi oleh Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum.

Kata Kunci : Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil dan Dana

Alokasi Umum

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the Effect of Regional Original Revenue, Revenue Sharing Funds and General Allocation Funds on Regency / City Capital Expenditures in Aceh Province. This study has a span of 4 years, from 2006 to 2009 by looking at the financial statements of the local government (APBK Realization Report) which presents data on Local Revenue (PAD), Revenue Sharing Funds (DBH), General Allocation Funds (DAU) and Capital Expenditures. The results showed simultaneously Regional Original Revenue, Revenue Sharing Funds and General Allocation Funds have a significant effect on Regency / City Capital Expenditures in Aceh Province. District / City Capital Expenditures in Aceh Province are strongly influenced by Local Revenue, Revenue Sharing Funds and General Allocation Funds. Partially Local Own Revenue, Revenue

93

Sharing Funds and General Allocation Funds have a significant effect on Regency / City Capital Expenditures in Aceh Province. District / City Capital Expenditures in Aceh Province are strongly influenced by Local Revenue, Revenue Sharing Funds and General Allocation Funds. Partially the Profit Sharing Funds have a significant effect on Regency / City Capital Expenditures in Aceh Province. District / City Capital Expenditures in Aceh Province are strongly influenced by Local Revenue, Revenue Sharing Funds and General Allocation Funds. Partially the General Allocation Fund has a significant effect on Regency / City Capital Expenditures in Aceh Province. District / City Capital Expenditures in Aceh Province are strongly influenced by Local Revenue, Revenue Sharing Funds and General Allocation Funds.

Keywords : Capital Expenditures, Local Own Revenues, Profit Sharing Funds and General

Allocation Funds

PENDAHULUAN Diberlakukannya Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintah daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini menitikberatkan otonomi pada daerah kabupaten dan kota, dengan tujuan untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia berimplikasi pada perubahan dalam sistem pembuatan keputusan terkait dengan pengalokasian sumberdaya dalam anggaran pemerintah daerah. Undang-undang tersebut juga menegaskan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumberdaya ke dalam belanja-belanja dengan menganut asas kepatutan, kebutuhan, dan kemampuan daerah. Pemerintah daerah, bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai lembaga legislatif, terlebih dahulu menentukan arah kebijakan umum (AKU) dan prioritas anggaran sebagai guidance dalam pengalokasian sumberdaya dalam APBD.

Sebagai salah satu daerah yang diberi otonomi khusus oleh pemerintah pusat melalui Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001, proporsi pendapatan untuk DBH, khususnya sumber daya minyak dan gas 70%. Ketetapan ini melebihi otonomi biasa yang mengatur pembagian pendapatan provinsi hanya 15% dari minyak dan 35% dari gas. Namun demikian sumber lain harus digali untuk menambah pendapatan daerah seperti penerimaan dari pajak. Pajak merupakan bagian terpenting dari penerimaan pemerintah di samping penerimaan dari minyak bumi dan gas alam serta penerimaan negara bukan pajak.

Alokasi belanja modal ini sangat berkaitan dengan pelayanan publik karena dapat meningkatkan produktifitas perekonomian daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah harus sangat memperhatikan hal ini, karena semakin tinggi dana yang dialokasikan untuk belanja modal maka semakin tinggi juga tingkat produktifitas perekonomian di daerah. Adi (2006) menjelaskan bahwa tersedianya infrastruktur yang baik diharapkan akan menciptakan efisiensi dan efektifitas di berbagai sektor, produktifitas masyarakat diharapkan semakin tinggi dan pada gilirannya terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Secara teori, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar (BAS) mendefinisikan belanja modal adalah

94

pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang member manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapasitas aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja, bukan untuk dijual.

Peraturan Direktur Jendral bendaharawan Nomor PER 33/PB/2008 suatu belanja dikatagorikan sebagai belanja modal apabila pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya yang menambah masa umur, manfaat dan kapasitas; pengeluaran tersebut melebihi batasan minimum kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang telah ditetapkan pemerintah; perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual.

Pada pasal 53 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal hanya sebesar harga beli/bangun aset.

Lebih lanjut, dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 11, dijelaskan bahwa dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari: 1) Pajak Bumi dan Bangunan(PBB); 2) Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan 3) Pajak Pengahasilan (PPh) Pasal 25 dan pasal 29 Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21. Dana bagi hasil dari penerimaan PBB dan BPHTB sebesar 90% untuk daerah dengan rincian sebagai berikut : a) 16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke

Rekening Kas Umum Daerah Provinsi; b) 64,8% untuk daerah yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah ; dan c) 9% untuk biaya pemungutan. Sedangkan 10% bagian pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbalan sebagai berikut : a) 65% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah ; dan b) 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.

Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun 2004, Pasal 1 ayat 21). DAU dialokasikan berdasarkan persentase pendapatan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu yang menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang formula dan perhitungan DAU-nya ditetapkan sesuai Undang-undang.

Maulida (2007), meneliti tentang Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Prediksi Belanja Daerah. Hasil penelitian menunjukkan : Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap prediksi Belanja Daerah, dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah.

Walidi (2009), meneliti tentang Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Pendapatan Perkapita, Belanja Modal sebagai Intervening Variabel (Studi Kasus di Provinsi Sumatera Utara). Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan terhadap Pendapatan Perkapita; Belanja

95

Modal berpengaruh signifikan terhadap Pendapatan Perkapita ; Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal; Dana Alokasi Umum dan Belanja Modal berpengaruh signifikan terhadap Pendapatan Perkapita; Belanja Modal merupakan Intervening Variabel dalam hubungan antara Dana Alokasi Umum dengan Pendapatan Perkapita.

Panggabean (2009), meneliti tentang Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Toba Simosir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Pajak Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah; Retribusi Daerah tidak berpengaruh terhadap Belanja Daerah; Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah; Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah secara bersama-sama berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah.

Alokasi belanja modal belum sepenuhnya dapat terlaksana bagi pemenuhan kebutuhan publik, karena pengelolaan belanja modal masih belum berorientasi kepada kepentingan publik, hal ini karena belanja modal ini sarat dengan kepentingan politis. Anggaran untuk belanja modal ini sebenarnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan akan sarana dan prasarana umum yang disediakan oleh pemerintah daerah. Namun adanya kepentingan politik dari lembaga legislative yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan alokasi berlanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan permasalahan di masyarakat (Halim dan Abdullah,2006).

Novelti dalam penelitian ini adalah menggunakan variabel belanja modal sebagai variabel dependent dan menggunakan data time series. Dalam penelitian terdahulu analisis pendaptan asli daerah, dana bagi hasil dan dana alokasi umum dilihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara dalam penelitian saat ini di dilihat pengrauhnya terhadap belanja modal, kemudian dalam penelitian terdahulu banyak digunakan data panel.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini sangat menarik untuk dikaji. METODE

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007). Populasi yang akan digunakan didalam penelitian ini, dengan menggunakan data pooling, yaitu kombinasi antara data runtut waktu (time series) dan silang tempat (cross section). Dengan demikian populasi dalam penelitian ini adalah seluruh di Provinsi Aceh yang berjumlah 23 kabupaten kota terdiri dari 18 kabupaten dan 5 kota.

Mengingat sebagian pemerintah yang menjadi populasi dalam penelitian ini merupakan pemekaran yang belum menyajikan data sesuai dengan kebutuhan penelitian, dengan demikian populasil dalam penelitian ini berjumlah 20 . Penelitian ini memiliki rentang waktu 4 tahun, yaitu tahun 2006 sampai dengan 2009 dengan melihat laporan statistik keuangan pemerintah daerah (Laporan Realisasi APBK) yang menyajikan data mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Belanja Modal.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa Laporan Realisasi APBK Tahun 2006 sampai dengan 2009. Dari laporan tersebut diperoleh data mengenai jumlah realisasi PAD, DBH, DAU dan Belanja Modal. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, dan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh.

Variabel independen yang digunakan yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Umum (DAU), serta satu variabel dependen yaitu Belanja Modal (BM), sebagai berikut: a. Pendapatan Asli Daerah (X1)

96

Regression Standardized Residual

3,002,50

2,001,50

1,00,500,00-,50-1,00

-1,50-2,00

-2,50

Dependent Variable: Belanja Modal

Freque

ncy

12

10

8

6

4

2

0

Std. Dev = ,98

Mean = 0,00

N = 80,00

Pendapatan Asli Daerah (PAD), adalah penerimaan Pemerintah Daerah yang bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Skala yang dipergunakan adalah sakla Rasio.

b. Dana Bagi Hasil (X2) Dana Bagi Hasil (DBH), adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Skala yang dipergunakan adalah sakla Rasio

c. Dana Alokasi Umum (X3) Dana Alokasi Umum (DAU), adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Skala yang dipergunakan adalah sakla Rasio

d. Belanja Modal (Y) Belanja Modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan

kualitas aset. Skala yang dipergunakan adalah skala Rasio.

Analisis data dilakukan dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Metode OLS dengan persamaan sebagai berikut :

Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + ε

Keterangan :

Y = Belanja Modal α = Konstanta β1 = Koefisien estimasi Pendapatan Asli

Daerah (PAD) β2 = Koefisien Dana Bagi Hasil (DBH) β3 = Koefisien Dana Alokasi Umum

(DAU) X1 = Pendapatan Asli Daerah (PAD) X2 = Dana Bagi Hasil (DBH) X3 = Dana Alokasi Umum (DAU) ε = Error (variabel pengganggu)

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji normalitas pada penelitian ini

bertujuan untuk menguji apakah variabel pengganggu atau residual pada model regresi berdistribusi normal. Uji-t dan uji-F mengasumsikan bahwa nilai residual harus mengikuti distribusi normal, dan apabila asumsi ini tidak terpenuhi maka penggunaan model regresi untuk prediksi menjadi tidak valid. Hasil pengujian normalitas data pada variabel PAD, DBH, DAU terhadap BM diperoleh hasil sebagai berikut:

.

Gambar 1. Histogram

Berdasarkan analisa lebih lanjut dengan menggunakan Normal Probability

Plot of Regression Standardized Residual dapat dilihat bahwa data residual membentuk pola garis lurus mengikuti garis diagonal. Hal ini menunjukkan bahwa data telah berdistribusi normal.

97

Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual

Dependent Variable: Belanja Modal

Observed Cum Prob

1,00,75,50,250,00

Expe

cted

Cum

Pro

b

1,00

,75

,50

,25

0,00

Gambar 2. Normal P-P Plot Model Regrasi

Uji multikolinieritas bertujuan mendeteksi ada tidaknya hubungan antar variabel independen. Uji multikolinieritas dilakukan dengan melihat nilai Varian Inflation Factor (VIF) dari setiap variabel. Jika nilai VIF dari suatu variabel melebihi 10, dimana R2 melebihi 0,90 maka dikatakan berkolerasi sangat tinggi. Hasil pengujian multikolinieritas pada variabel PAD, DBH, DAU dan BD diperoleh sebagai berikut.

Tabel 1. Collinearity Statistics

Model t Sig.

Collinearity Statistics

Tolerance VIF

1 (Constant) 2,337 0,022

DBH 4,706 0,000 0,750 1,332

DAU 2,462 0,039 0,856 1,168

PAD 2,484 0,015 0,686 1,459

Sumber : Hasil Pengolahan Data, (data diolah, 2019)

Hasil pengujian untuk ketiga variabel bebas dalam penelitian ini memiliki nilai VIF dibawah 10 maka dapat disimpulkan bahwa model regresi dalam penelitian ini tidak mengalami gangguan multikolinearitas.

Di dalam penelitian ini, pengujian terhadap gejala autokorelasi dilakukan dengan uji “Durbin Watson” (D.W. Test). Dasar pengambilan keputusan dalam uji autokorelasi adalah jika DU<DW<4-du. Dari hasil penelitian diperoleh nilai sebesar nilai DU = 1,78 < DW = 1,90 < 4-DU = 2.1 sehingga dapat dismpulkan bahwa dalam penelitian ini tidak terjadinya gejala autokorelasi.

Grafik scatterplots pada Gambar 3 menunjukkan bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y dan tidak membentuk pola tertentu yang teratur, yang mengindikasikan tidak terjadi heteroskedastisitas.

Gambar 3 Scatterplot

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap Belanja Modal di Provinsi Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan Belanja Modal dapat dilakukan dengana meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, meningkatkan Dana Bagi Hasil dan dengan meningkatkan Dana Alokasi Umum.

Hasil temuan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007) yang menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal di Pulau Jawa. Dipihak lain Maulida (2007), yang meneliti tentang Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Prediksi Belanja Daerah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap prediksi Belanja Daerah. Sementara Halim dan Abdullah (2003) menyimpulkan bahwa sumber pendapatan daerah berupa dana perimbangan juga berpengaruh positif terhadap belanja modal

Dependent Variable: Belanja Modal

Regression Studentized Deleted (Press) Residual

43210-1-2-3

Regr

essio

n St

anda

rdize

d Pre

dicte

d Valu

e

4

3

2

1

0

-1

-2

-3

-4

98

Syukri (2006) dalam penelitiannya dengan menggunakan model menunjukkan bahwa alokasi untuk belanja modal berasosiasi positif terhadap belanja pemeliharaan untuk konteks pemerintahaan daerah di Indonesia setelah otonomi daerah dilaksanakan. Besaran belanja modal berasosiasi dengan pendapatan daerah yang bersumber dari pemerintah pusat, tapi tidak dengan pendapatan sendiri.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal di Provinsi Aceh. Hal ini mengunggkapkan bahwa semakin tinggi penerimaan Pendapatan Asli Daerah maka akan semkin tinggi Belanja Modal, hal ini sejalan dengan temuan yang dilakukan oleh Panggabean (2009), yang menyebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah secara parsial berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah.

Temuan ini juga sejalan dengan penelitian Yustikasari (2007) yang menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal di Pulau Jawa. Maulida (2007), juga mngatakan hal yang sama bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan dan positif terhadap Belanja Daerah.

Dana Bagi Hasil secara parsial berpengaruh signifikan dan positif terhadap Belanja Modal di Provinsi Aceh. Semakin tinggi Dana bagi Hasil maka akan semakin tinggi Belanja Modal di Provinsi Aceh. Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Halim dan Abdullah (2003) menyimpulkan bahwa dana perimbangan berprngaruh signifikan dan positif terhadap belanja modal, sementara dipihak lain Sihite (2009) yang meneliti tentang Pengaruh Dana bagi Hasil, dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli daerah Terhadap Belanja langsung di kabupaten dan kota di Sumatra Utara menyebutkan bahwa Dana Bagi Hasil secara parsial berpengaruh signifikan dan positif terhadap Belanja Langsung.

Pemerintah akan memiliki kemampuan dalam menetapkan belanja langsung yang lebih besar apabila anggaran dana bagi hasil, dana alokasi khusus dan pendapatan asli daerah semakin besar, begitu juga sebaiknya pemerintah akan menetapkan belanja langsung yang lebih kecil apabila anggaran dana bagi hasil, dana alokasi khusus dan pendapatan asli daerah semakin kecil (Sihite, 2009).

Dana Alokasi Umum secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal di Provinsi Aceh. Dengan Dana Alokasi Umum yang semakin besar maka akan semakin besar Belanja Modal begitu juga sebaliknya. Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007) yang menyebutkan bahwa secara parsial Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan terhadap variabel belanja modal. Kemudian Maulida (2007), dalam peneliatiannya juga menyebutkan bawha Dana Alokasi Umum secara parsial juga berpengaruh signifikan dan positif terhadap prediksi Belanja Daerah. Ditambahkan lagi dengan pendapat Darwanto (2007) yang menyebutkan bahwa secara parsial dana alokasi umum berpengaruh secara signifikan terhadap variabel belanja modal.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka kesimpulan yang diperoleh sebagai berikut: 1. Hasil penelitian Pendapatan Asli Daerah dari

tahun 2006-2009 berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal di Provinsi Aceh. Hal ini mengidentifikasikan bahwa semakin tinggi Pendapatan Asli Daerah maka akan semakin besar alokasi untuk Belanja Modal di di Provinsi Aceh.

2. Dana Bagi Hasil dari tahun 2006-2009 berpengaruh terhadap Belanja Modal di Provinsi Aceh. Hal ini mengidentifikasikan bahwa semakin besar Dana Bagi Hasil baik dari pajak maupun dari bagi hasil sumber daya alam maka akan semakin besar alokasi untuk Belanja Modal di di Provinsi Aceh.

99

3. Dana Alokasi Umum dari tahun 2006-2009 berpengaruh terhadap Belanja Modal di Provinsi Aceh. Hal ini mengidentifikasikan bahwa samakin besar Dana Alokasi Umum maka akan semakin besar alokasi untuk Belanja Modal di di Provinsi Aceh.

4. Hasil penelitian juga menunjukkan secara simultan Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal di Provinsi Aceh.

Adapun rekomendasi yang dapat diberikan pada masyarakat dan pemerintah daerah, seperti: Pertama, meningkatkan alokasi belanja daerah maka pemerintah daerah diharapkan bisa terus menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah baik secara intensifikasi maupun extensifikasi untuk meningkatkan pendapatan daerah, demikian juga Pemerintah Daerah agar terus mengupayakan untuk bisa menarik Dana Alokasi Umum semaksimal mungkin; Kedua, peneliti selanjutnya disarankan untuk memperbanyak sensus yang digunakan agar hasilnya lebih representatif terhadap populasi yang dipilih. dan mengambil sempel selain kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Aceh; Ketiga, variabel yang digunakan dalam penelitian akan datang diharapkan lebih lengkap dan bervariasi dengan menambah variabel independen lain baik ukuran-ukuran atau jenis-jenis penerimaan Pemerintah Daerah lainnya, maupun variabel non-keuangan seperti kebijakan pemerintah, kondisi makro-ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA Halim, Abdul, Damayanti, Theresia, 2007,

Pengelolaan Keuangan Daerah, Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta,UPP STIM YKPN.

Halim, Abdul dan Syukri Abdullah. (2003). “Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah: Studi Kasus di Jawa dan Bali’. Simposium Nasional Akuntansi VI. Oktober.

-----------,(2006).”Studi Atas Belanja Modal pada Anggaran Pemerintah Daerah Dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan dan Sumber Pendapatan”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan: Vol. 2,No.2, 17-32. November.

--------------. (2004). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Andi.

Maulida, Novi Pratiwi. (2007). Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Prediksi Belanja Daerah, Yogyakarta: Tesis S2 UII.

Panggabean, Edison, Hendri H. (2009). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Toba Samosir, Medan, Tesis Program Pascasarjana Ekonomi USU.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 53 Tahun 2009 tentang Dana Alokasi

--------------, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

--------------,Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Keuangan Daerah.

-------------,Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

------------, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

------------, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06 Tahun 2007 tentang Bagan Akun Standar (BAS).

Peraturan Direktur Jendral Perbendaharaan Nomor PER 33/2008 Tentang Pedoman Penggunaan Akun Pendapatan, Belanja Pegawai,

100

Belanja barang dan Belanja Modal sesuai dengan Permenkeu No 91./PMK. 05/ 2007 Tentang Bagan Akun Standar.

Syukry Abdullah, (2006). Pengalokasian Belanja Fisik dalam Anggaran Pemerintah Daerah (Studi Empiris atas Determinan dan Konsekuensinya Terhadap Belanja Pemeliharaan). Jurnal Akuntansi Keuangan, Vol 3 No 4.

Sihite, (2009). Peningkatan Penerimaan Daerah Sebagai Sumber Pembiayaan Pembangunan Daerah, Perencanaan Pembangunan. PT. Gia, Indonesia.

Sugiyono. (2007). Statistik untuk Penelitian, Bandung, Alfabeta.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal, 2008, Grand Design, Jakarta:Desentralisasi Fiskal Indonesia, Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Walidi. ( 2009). Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Pendapatan Per Kapita, Belanja Modal sebagai Intervening Variabel (Studio Kasus di Propinsi Sumatera Utara), Medan, Tesis Program Pascasarjana Ekonomi USU.

101

102

KESIAPAN PEMERINTAH KOTA LANGSA DALAM MENDUKUNG RENCANA PENGEMBANGAN SMART CITY

READINESS OF THE LANGSA DISTRICT GOVERNMENT TO SUPPORT THE SMART CITY DEVELOPMENT PLAN

Samsuar1 dan Siska Mediyanti2 1)Analis Program Pembangunan Bappeda Aceh

2)Dosen Poltek Kutaraja Email: [email protected]

Diterima: 5 September 2019; direvisi: 11 November 2019; diterbitkan: 1 Desember 2019

Abstrak Pemerintah kota Langsa, Provinsi Aceh berkomitmen untuk menerapkan smart Government sebagai bagian dari konsep Smart City. Pentingnya layanan Smart government dengan sistem open data bertujuan untuk mendorong pelayanan publik yang terintegrasi dan transparan. Penerapan sistem Smart Government, khususnya di Kota Langsa masih terdapat kekurangan terutama pada bidang sumber daya manusia (SDM) dan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang. Tujuan kajian ini adalah untuk melihat kesiapan Pemerintah Kota Langsa dalam menyusun konsep Smart Governance yang sesuai dengan visi misi dan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional). Dalam perencanaan ini menggunakan gabungan framework TOGAF ( The Open Group Architecture Framework ) COBIT 5 capability model. Penelitian ini di lakukan pada fase implementation Governance pada TOGAF dan area Governance pada COBIT 5. Hasil dari kajian ini adalah rekomendasi kesiapan Pemerintah Kota Langsa dalam menerapkan Smart Government.

Kata-kunci : Smart City, Smart Government, COBIT 5, TOGAF

Abstract Langsa district government in Aceh is committed to implementing smart Government as part of the Smart City Concept. The importance of Smart Government services with an open data system aims to encourage public service which is integrated and transparent. The implementation of the Smart Government System, especially in Langsa district still has shortcomings, especially in the field of human resources (HR) and the availability of supporting facilities and infrastructures. The purpose of this study is to explore the readiness of Langsa district Government in developing the concept of Smart Governance in accordance with the vision and mission of the National Long-Term Development Plan (RPJPN). In this planning using a combined TOGAF (The Open Group Arcitecture Framework) COBIT 5 capability model. This research was conducted in the governance implementation phase of the TOGAF and the Governance area of COBIT 5. The results of this study is a recommendation for the readiness of the Langsa District Government to implement Smart Gobernment.

Keywords : Smart City, Smart Government, COBIT 5, TOGAF

103

PENDAHULUAN

Dewasa ini kota banyak menghadapi tantangan yang semakin komplek. Pertambahan jumlah penduduk yang alami dan di ikuti banyaknya urbanisasi menjadi pemicu munculnya berbagai permasalahan ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Persoalan yang banyak muncul tersebut menjadikan warga kota menuntut pelayanan yang semakin maksimal dari penyelenggaraan Pemerintahan kota. Pemerintah kota mengambil inisiatif menjawab persoalan tersebut dengan pemanfaatan pelayanan yang berbasis pada sumber daya dan teknologi informasi serta komunikasi dalam konsep kota cerdas. Sebuah kota dapat dikatakan kota cerdas jika di dalamnya lengkap dengan infrastruktur dasar, juga memiliki sistem transportasi yang lebih efisien dan terintergrasi. sehingga meningkatkan mobilitas masyarakat. Konsep yang di adopsi dalam penerapan sebuah kota menuju Kota Cerdas adalah merujuk pada tiga dimensi yaitu : 1.Dimensi teknologi, diperlukan pembangunan kota yang digital dan terintegrasi dengan dukungan infrastruktur fisik, teknologi pintar, perangkat mobilitas tinggi dan jaringan komputer yang memadai. 2.Dimensi Sumber Daya Manusia, diperlukan kreatifitas, pengetahuan, pendidikan dan pembelajaran sebagai pendorong utama terbentuknya kota yang cerdas, dimana permasalahan yang bersifat manual ditransformasi dengan pengetahuan ke model sistem digital melalui kratifitas dan disajikan dalam bentuk pembelajaran yang sepenuhnya perlu konsisten untuk dilaksanakan dilaksanakan. 3. Dimensi Institusional, diperlukan dukungan dari pemerintah dan kebijakan untuk pemerintahan sebagai dasar dari desain dan implementasi kota yang cerdas. Kebijakan tidak hanya mendukung tetapi juga

berperan, dimana terbentuk hubungan antara lembaga pemerintah dan pihak non-pemerintah, dan sektor lainnya dalam membangun lingkungan administratif yang terintegrasi.

Di Indonesia, beberapa kota besar sudah mulai mengadopsi konsep smart city. Kota besar Jakarta yang memiliki program Jakarta Smart City sejak 2014 lalu. Surabaya juga terus menerapkan inovasi guna menjadi Smart City, misalnya dengan menerapkan sistem tilang online bagi pengemudi kendaraan bermotor yang melakukan pelanggaran lalu lintas dll. Selain itu pengelolaan Command Center oleh kedua kota besar tersebut dalam mengaktualisasikan dan memanage berbagai kejadian dan kesadaran situasional dinilai berhasil dalam mengimplementasikan secara cepat dan efektif. Selain daripada itu keberhasilan kedua kota besar tersebut dalam membuat inovasi-inovasi terbaru berbagai model sistem pelayanan publik online dan Government Resources Management System (GRMS) menjadi rujukan bagi berbagai instansi dari Pemerintah provinsi dan kabupaten/Kota yang ada di Indonesia untuk belajar dalam perencanaan dan penerapan Smart City serta tata kelola Comand Center. Fenomena gap yang terjadi pada kota-kota yang menerapkan smart city, sering belum mendapatkan dukungan dari masyarakatnya sehingga penerapannya belum berjalan sesuai keinginan Pemerintah Kota. Research gap terhadap teori COBIT 5 model tidak akan memberikan pengaruh kuat apabila data tidak valid.

Kota Langsa merupakan salah satu kota di provinsi Aceh yang terus berbenah dalam pengembangan teknologi informasi dan komunikasi berupa peningkatan infrastruktur digitalisasi dan sumber daya

104

lainnya. Program Smart City menjadi prioritas pembangunan pada Pemerintahan Usman Abdullahi-Marzuki di tahun 2020 untuk mencapai tahapan perencanaan pembangunan yang efektif dan efisien melalui Smart government. Capaian utama yang hendak dihasilkan melalui program ini penyediaan satu data atau informasi yang akurat, terbuka, mudah, serta saling terkait dengan sistem lainnya untuk pembangunan dan pelayanan publik. Tujuan program Smart Government membangun sistem informasi terpadu untuk menghindari perencanaan pembangunan yang tidak efektif, tidak efisien, dan tidak tepat sasaran akibat dari ketiadaan data yang valid dan terintegrasi. Pengembangan Smart City merupakan satu rangkaian pencapaian Kota Langsa menuju digitalisasi pengelolaan pemerintahan yang efektif dan efisien. Diharapkan kedepan dengan terbentuk kota Langsa yang akan menjadi Smart City dan terintegrasi dengan manajemen Smart province yang dikelola Pemerintah Aceh sehingga terwujudnya cita-cita Aceh sebagai Provinsi yang cerdas pemerintahannya, cerdas penduduknya, cerdas ekonominya, cerdas mobilitas kegiatannya, cerdas lingkungannya, cerdas kehidupannya dan sejahtera masyarakatnya. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kesiapan Pemerintah Kota Langsa dalam mendukung perencanaan pengembangan Smart City.

Sasaran adalah sebagai berikut: 1. Meningkatnya partisipasi Masyarakat

dalam setiap kebijakan Pemerintah Kota dan pembangunan.

2. Meningkatnya pelayanan publik dan sosial oleh Pemerintah Kota kepada masyarakat.

3. Meningkatnya efisiensi dan elektifitas penyelenggaraan Pemerintah Kota.

4. Tersedianya dokumen perencanaan pembangunan daerah sektoral dan

dokumen perencanaan-perencanaan lainnya dalam bentuk e-dokumen.

5. Meningkatnya jaringan komunikasi dan informasi sesuai kebutuhan.

METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam menyusun perencanaan smart city khususnya pada smart governance adalah sebagai berikut : Pertama menentukan area penelitian pada requirements management dari framework TOGAF yang mana pada penelitian ini adalah perencanaan Smart Governance maka area penelitian terbatas hanya pada fase Implementation Governance (Gambar1).

Gambar 1. Fase yang digunakan pada Framwork TOGAF

Kedua Pada tahap kedua penelitian ini framework dikombinasikan dengan COBIT 5. Dengan cara membuat analisis Organisasi (pemahaman menyeluruh terhadap misi organisasi) yang kemudian dipetakan ke dalam framework COBIT 5.Sehingga diperoleh Business Goal dan IT goal. Dalam kasus perencanaan smart governance digunakan domain-domain yang ada pada area Governance seperti pada Gambar 2.

105

Gambar 2. Area Penelitian pada Framwork cobit 5

Ketiga hasil pemetaan pada COBIT 5 diimplementasikan pada framework TOGAF. Empat setelah didapatkan activity pada COBIT5. maka dilakukan penyusunan perencanaan smart governance yang sesuai dengan indikator dan tolok ukur smart governance dalam konsep Smart City yang dikembangkan oleh Bappenas.

Objek penelitian ini juga melihat sektor-sektor ekonomi atau kategori ekonomi yang tercantum dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Langsa menurut lapangan usaha berdasarkan data BPS. Ruang lingkup penelitian juga pada mengkaji keunggulan kompetitif, kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan organisasi - organisasi Pemerintahan,pendapatan asli daerah, proses keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan dan beberapa data sekunder lainnya yang mendukung dalam penyajian penelitian ini.

Konsep dasar smartcity adalah mewujudkan sebuah komunitas/lingkungan bagi masyarakat yang efisien, berkelanjutan dan memberikan rasa aman. Konsep Smart city meliputi pelayanan, penyusunan kebijakan publik dan perencanaan. ( Patel & Padhya 2014).

Hingga saat ini belum ada definisi yang baku mengenai Smart City, akan tetapi ada beberapa definisi Smart City yaitu antara lain yang diberikan oleh The UK Department Of Business: Smart City berarti

bahwa inovasi dan ketrampilan merupakan hal yang diutamakan dari pada hasil yang statis, meningkatkan keterlibatan masyarakat, infrastuktur, modal, dan teknologi digital sehingga membuat kota menjadi layak huni, tangguh dan lebih mampu merespon tantangan (Patel & Padhya, 2014). Sementara itu, The Bristish Standards Institute mendefinisikan Smart City sebagai integrasi yang efektif antara infrastruktur fisik, sistem digital dan ketampilan SDM untuk membangun lingkungan yang memberikan harapan masa depan yang berkelanjutan, makmur dan inklusif (Patel & Padhya, 2014). Disisi lain, IBM mendefinisikan Smart City sebagai satu pemanfaatan yang optimal dari semua informasi yang terhubung saat ini untuk mengendalikan operasi dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang terbatas (Patel& Padhya, 2014).

Beberapa definisi lain tentang Smart City bervariasi antara yang satu dengan yang lain, baik antara orang per orang atau antar negara. Sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing wilayah, beberapa ahli menterjemahkan penjabaran Smart City sebagai berikut. CISCO mendefinisaikan Smart City sebagai kota yang mampu mengadopsi solusi semua problem perkotaan yang memanfaatkan ICT ( Information and Communicatons Technology) guna meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya dan meningkatkan kualitas pelayanan (Patel & Padhya, 2014). Schaffers (2010) mendefinisikan Smart City sebagai kota yang mampu menggunakan SDM, modal sosial, dan infrastruktur telekomunikasi modern untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kualitas kehidupan yang tinggi, dengan manajemen sumber daya yang bijaksana melalui pemerintahan berbasis partisipasi masyarakat. Kourtit & Nijkamp (2012)

106

menyatakan Smart City merupakan hasil dari pengembangan pengetahuan yang intensif dan strategi kreatif dalam peningkatan kualitas sosial-ekonomi, ekologi, daya kompetitif kota.Kemunculan Smart City merupakan hasil dari gabungan modal sumberdaya manusia (contohnya angkatan kerja terdidik), modal infrastruktur (contohnya fasilitas komunikasi yang berteknologi tinggi), modal social (contohnya jaringan komunitas yang terbuka) dan modal entrepreuneurial (contohnya aktifitas bisnis kreatif). Pemerintahan yang kuat dan dapat dipercaya disertai dengan orang-orang yang kreatif dan berpikiran terbuka akan meningkatkan produktifitas lokal dan mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu kota. Cohen, Boyd (2013) mendefinisikan Smart City (Kota Pintar) sebagai sebuah pendekatan yang luas, terintegrasi dalam peningkatkan efisiensi pengoperasian sebuah kota, meningkatkan kualitas hidup penduduknya, dan menumbuhkan ekonomi daerahnya. Cohen lebih jauh mendefinisikan Smart City dengan pembobotan aspek lingkungan menjadi: Smart City menggunakan ICT secara pintar dan efisien dalam menggunakan berbagai sumber daya, menghasilkan penghematan biaya dan energi serta mengurangi jejak lingkungan

semuanya mendukung ke dalam inovasi dan ekonomi ramah lingkungan.

Gambar 3. Dimensi dan indikator Smart City menurut Boyd Cohen

Sementara pakar smart city di Indonesia, Prof. Suhono Harso Supangkat, mengartikan Smart City sebagai kota yang mengetahui permasalahan yang ada di dalamnya (sensing), memahami kondisi permasalahan tersebut (understanding), dan dapat mengatur (controlling) berbagai sumber daya yang ada untuk digunakan secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memaksimalkan pelayanan kepada warganya. Smart City merupakan salah satu

konsep pengembangan kota berdasarkan prinsip teknologi informasi yang dibuat

untuk ke pentingan bersama secara efektif dan efisien (Supangkat, 2015). Dalam

Gambar 4. Perkiraan Tingkat Pertumbuhan Penduduk Perkotaan di Indonesia.

107

beberapa dekade ini, Smart City menjadi populer baik dalam tingkat pemerintah pusat maupun di tingkat pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan semakin ke depan masyarakat akan lebih banyak tinggal di perkotaan sehingga perencanaan Smart City mutlak diperlukan (Bappenas, 2015). Data yang diperoleh dari BPS tahun 2014 grafik penduduk yang tinggal di perkotaan tahun 2014 adalah 48,39% dan di tahun 2015 sudah mencapai 59,35%, sehingga tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan hingga tahun 2045 diperkirakan akan mencapai 82,37% seperti terlihat pada Gambar 2.

Hal ini berarti bahwa lebih dari 50% penduduk Indonesia saat ini. tinggal diperkotaan sehingga perlu penanganan yang tepat untuk mengatasi masalah perkotaan dengan manajemen yang tepat (Bappenas, 2015).

Perencanaan Smart City di Indonesia mengacu pada pilar Smart City (Bappenas,2015) yang mempunyai target-target sebagai berikut : 1. Sebuah kota berkinerja baik dengan

berpandangan ke dalam ekonomi, penduduk, pemerintahan, mobilitas, dan lingkungan hidup.

2. Sebuah kota yang mampu mengontrol dan mengintegrasikan semua infrastruktur termasuk jalan, jembatan, terowongan, rel kereta api bawah tanah, bandara, pelabuhan, komunikasi, air, listrik dan pengeloaan gedung. Dengan begitu dapat mengoptimalkan sumber daya yang dimilikinya serta merencanakan pencegahannya.

Kegiatan pemeliharaan dan kemanan dipercayakan kepada penduduknya.

Gambar 5. Siklus Smart city

3. Smart City dapat menghubungkan infrastruktur fisik, infrastruktur IT dan infrastruktur sosial dan bisnis infrastruktur untuk meningkatkan kecerdasan kota.

4. Smart City membuat kota lebih efisien dan layak huni.

5. Penggunaan smart computing untukmembuat Smart City dan fasilitasnya meliputi pendidikan, kesehatan, keselamatan umum, transportasi yang lebih cerdas, saling berhubungan dan efisien. Dalam penerapan konsep Smart City, terdapat beberapa unsur yang perlu dikembangkan, salah satunya adalah Smart Government. Konsep smart government menyangkut salah satu unsur penting perkotaan, yaitu badan /instansi pemerintahan yang dikembangkan berdasarkan fungsi teknologi informasi agar dapat diakses olehyang berkepentingan secara efektif dan efisien.(Bappenas, 2015).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi perekonomian Kota Langsa adalah dari sektor perdagangan , jasa dan pariwisata dimana sektor ini menjadi sumber pendapatan yang tinggi bagi kota tersebut. Perdagangan

besar menyumbang sebesar 29 persen dari PDRB sehingga sektor tersebut menjadi tulang punggung perekonomian kota Langsa. Dari hasil perdagangan ini berdampak besar juga terhadap sektor jasa.

108

Sektor jasa menjadi tumpuan mata pencaharian penduduk setelah perdagangan dimana keberadaan tempat rekreasi, kuliner, hotel-hotel sudah banyak tersedia. keberadaan infrastruktur berupa jalan aspal yang memadai akan lebih memudahkan para wisatawan lokal maupun nusantara untuk berkunjung ke Kota Langsa, dimana para wisatawan akan di suguhkan hutan kota yang indah dan luas beserta fasilitas yang baik di dalamnya. Daerah ini juga telah memiliki berbagai sarana dan prasarana pendukung diantaranya sarana pembangkit tenaga listrik, air bersih, gas dan jaringan telekomunikasi.

Lokasi Langsa yang secara geografis sangat strategis,terletak di tengah-tengah dan sebagai penyanggah dua kabupaten yaitu aceh timur dan Aceh Tamiang. Infrastruktur yang mendukung, kualitas sumber daya manusia, potensi sektor perdagangan dan jasa yang sedang berkembang karena pertumbuhan ekonomi yang baik Terutama melihat pada daerah-daerah sekitarnya, menjadikannya sebagai sebuah kota yang menarik dan berdaya jual bagi para investor. Untuk itu Kota Langsa harus dikembangkan sebagai pusat pelayanan atau service di wilayah timur Aceh dengan . Dengan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang juga sebagai pemungkin (enabler), hal tersebut dapat diwujudkan dengan konsep Smart City, smart Governance.

Menentukan Area Penelitian dalan TOGAF

Dalam penelitian ini, area penelitian fokus pada fase Implementation Governanceyang mana pada fase ini adalah menyusun rekomendasi tata kelola yang meliputi tata kelola organisasi, tata kelola teknologi informasi dan tata kelola arsitektur. Untuk dapat gambaran mengenai tujuan organisasi yang sesuai dengan framework yang digunakan maka dilakukan penelitian tahap

dua yaitu menggunakan gabungan framework COBIT 5. Proses pada COBIT 5 maka akan didapatkan tujuan proses pada COBIT 5 Enabling Process yang akan digunakan untuk menyusun rekomendasi pada TOGAF. Tujuan proses seperti pada tabel 2. Dari tabel 2 didapatkan base practice yang akan digunakan sebagai dasar menyusun perencanaan smart governance. Penyusunan perencanaan smart governance berdasarkan framework COBIT 5 adalah dengan cara membuat pemetaan indikator smart governance terhadap proses-proses dalam COBIT 5, yang dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 1. Proses pada Cobit 5 Enabling Process

Tujuan Proses COBIT 5

1 EDM01 Ensure Governance Framework Setting and Maintenance

Base Practice Process EDM01 1

Membuat keputusan strategis untuk tata kelola IT disesuaikan dgn Lingk Internal dan eksternal yg memenuhi syarat pemangku kepentingan

2 Menyusun tata kelola IT yg melekat pada institusi

3 Memastikan bahwa tata kelola IT adalah utk efektifitas operasional proses bisnis institusi

2 EDM0 Ensure Risk Optimations

1

Mengoptimalkan konstribusi suatu nilai dari proses operasional institusi, layanan dan aset yang dihasilkan oleh investasi TI dgn biaya yang wajar

Tujuan Proses EDM02

2 Menjamin keamanan dari portfolio ketersediaan IT, layanan dan aset

3 Nilai optomasi dan investasi IT menjadikan praktek tata kelola manajemen menjadi lebih efektif

4 Ketersediaan investasi IT secara individu memiliki konstribusi yang optimal

3 EDM0 Ensure Risk Optimations

1 Menetapkan ambang batas resiko dalam komunikasi

2 Institusi mampu mengelola resiko yg ditimbulkan akibat penggunaan

3

Resiko yg ditimbulkan akibat pemanfaatan IT harus lebih kecil

4 EDM0 Ensure Resources Optimations

1 Kebutuhan institusi akan sumber daya terpenuhi dgn kemampuan yang optimal

109

2 Sumber daya yg dialokasikan utk prioritas institusi walaupun dgn kendala masalah anggaran

3 Pemanfaatan yg optimal akan sumber daya yg berdampak pd siklus ekonomi

5 EDM0 Ensure Stakeholder Transparency

1 Pelaporan stakeholder sejalan dgn kebutuhan stakeholder

2 Sistem Pelaporan selesai tepat waktu dan akurat

3 Sistem komunikasi yg efektif sehingga akan memberikan kepuasan pada stakeholder

Tabel 2. Pemetaan Smart Governance terhadap proses Cobit 5

No Indikator Proses COBIT 5

1 Melibatkan partisipasi masyarakat dalammenentukan kebijakan EDM01

2 Pelayanan Publik dan sosial EDM02

3 Keterbukaan Tata Pemerintahan EDM05

4 Keterbukaan Informasi dan Data EDM05

5 Teknologi Informasi dan EDM02

Komunikasi dan penerapan EGovernment EDM04

Proses-proses yang didapatkan dalam pemetaan seperti pada tabel di atas kemudian diolah kembali menggunakan tool COBIT 5. Enabling Processes. Hasil olah data akan menghasilkan activity COBIT 5 yang akan disusun menjadi rancangan/ usulan perencanaan smart governance.

Dalam menyusun perencanaan smart governance dengan framework TOGAF dan COBIT 5 ini adalah dengan cara menempatkan activity pada framework ke dalam indikator smart governance sebagai berikut :

1. Indikator pertama (Melibatkan partisipasi Masyarakat dalam menentukan kebijakan). Pada indikator ini digunakan proses EDM01. Pada EDM01 terdapat 3 base practice (Evaluated, Directed and Monitoring Governance Framework Setting and Maintenance) dengan aktivitas sebagai berikut :

a. Membuat analisa dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal (regulasi, peraturan dan kontrak) dan

kecenderungan proses bisnis yang mempengaruhi desain tata kelola IT.

b. Menentukan investasi TI yang penting dan perannya terhadap proses bisnis institusi.

c. Membuat pertimbangan atas peraturan eksternal, hukum dan kewajiban kontrak dan menentukan bagaimana regulasi regulasi ini di terapkan dalam tata keloa IT institusi.

d. Menyelaraskan etika penggunaan pengelolaan informasi dan dampaknya terhadap masyarkat, lingkungan alam dan stakeholder di luar institusi terhadap arah, tujuan dan sasaran institusi.

e. Menentukan implikasi dari pengendalian tata kelola IT pada institusi.

f. Mengartikulasikan prinsip untuk panduan penyusunan tatakelola IT institusi.

g. Memahami budaya pengambilan keputusan institusi dan menentukan model pengambilan keputusan IT yang optimalKomunikasi prinsip tata kelola IT yang sejalan dengan pimpinan institusi dengan cara membangun komitmen pimpinan.

h. Membangun dan membentuk struktur organisasi dan tata kelola pemerintahan sesuai dengan desain yang yang sudah di sepakati.

i. Menyusun alokasi tanggung jawab, wewenang dan akuntabilitas sesui dengan prinsip prinsip yang telah di sepakati dalam tata kelola dan pada model pengambilan keputusan dan pendelegasian personil

j. Memastikan bahwa komunikasi mekanisme pelaporan memjadi tanggung jawab untuk pengawasan dan pengambilan keputusan

110

k. Mengatur staf mengikuti pedoman yang relevan untuk etika dan perilaku profesionalisme, jika tidak maka akan ada sanksi yang di tegakkan

l. Membuat aturan sistem reward untuk perubahan budaya kerja seperti yang di inginkan.

m. Menilai efektifitas kinerja stakeholder yang di tugaskan akan tanggungjawabnya terhadap kewenangannya dala tata kelola IT institusi.

n. Memberikan penilaian secara berkala terhadap tata kelola IT institusi (struktur, prinsip dan proses) yang di laksanakan secara efektif

o. Memberikan penilaian efektivitas desain tata kelola IT dan mengidentifikasikan tindakan apabila ada penyimpangan yang di temukan.

p. Melakukan pengawasan sejauh mana tata kelola IT mampu memenuhi kewajiban institusi terhadap konsekuensi hukum, peraturan dan kontrak kerja.

q. Memantau mekanisame secara teratur dan rutin untuk memasatikan bahwa IT sesuai dengan desain tata kelola IT.

2. Indikator kedua (Pelayanan Publik dan Pelayanan Sosial) pada indikator ini digunakan proses EDM02 yaitu Ensure Benefit Delivery (Evaluated Benefit Delivery, Direct Benefit Delivery, Annisah Monitoring Benefit Delivery) dengan aktivitas sebagai berikut :

a. Menjamin keamanan dari portfolio ketersediaan IT, layanan dan aset

b. Nilai optimasi dari investasi IT menjadikan praktek tata kelola manajemen menjadi lebih efektif

c. Ketersediaan investasi IT secara individu memiliki kontribusi yang optimal

3. Indikator Ketiga (Keterbukaan Tatakelola Pemerintahan ) pada indikator ini digunanakan proses EDM05 yaitu Ensure Stakeholder Tranparency yang terdiri dari 3 base practice (Evaluated Stakeholde Tranparency, Direct and Monitoring Stakeholder Tranparency) dengan activity sebagai berikut: a. Menjaga prinsip komunikasi dengan

stakeholders termasuk format komukasi dan alat komunikasi dan alat pelaporan.

b. Mengatur pembentukan strategi komunikasi untuk stakeholder internal dan ekstrenal.

c. Mengarahkan pelaksanaan mekanisme untuk memastikan informasi yang memenuhi kriteria untuk syarat wajib pelaporan IT institusi.

d. Membangun mekanisme untuk validasi dan persetujuan sistem pelaporan institusi.

e. Membangun mekanisme eksalasi pelaporan.

f. Secara berkala menilai efektivitas mekanisme untuk memastikan akurasi dan keandalan pelaporan wajib.

g. Secara berkala menilai efektivitas mekanisme, dan hasil dari, komunikasi dengan para pemangku kepentingan eksternal dan internal.

h. Menentukan apakah persyaratan pemangku kepentingan yang berbeda terpenuhi.

4. Indikator keempat (Keterbukaan Informasi dan Data). Pada indikator ini digunakan proses EDM05 dengan activity sbb: a. Menjaga prinsip komunikasi dengan

stakeholders termasuk format

111

komukasi dan alat komunikasi dan alat pelaporan.

b. Mengatur pembentukan strategi komunikasi untuk stakeholder internal dan ekstrenal.

c. Mengarahkan pelaksanaan mekanisme untuk memastikan informasi yang memenuhi kriteria untuk syarat wajib pelaporan IT institusi.

d. Membangun mekanisme untuk validasi dan persetujuan sistem pelaporan institusi.

e. Membangun mekanisme eksalasi pelaporan.

f. Secara berkala menilai efektivitas mekanisme untuk memastikan akurasi dan keandalan pelaporan wajib.

g. Secara berkala menilai efektivitas mekanisme, dan hasil dari, komunikasi dengan para pemangku

kepentingan eksternal dan internal. h. Menentukan apakah persyaratan

pemangku kepentingan yang berbeda terpenuhi.

5. Indikator kelima (TIK dan penerapan eGovernment). Pada indikator ini digunakan proses EDM02 dan EDM04 dengan akktiviti sebagai berikut: a. Memahami persyaratan pemangku

kepentingan, masalah rencana strategi IT, ketersediaan IT dan wawasan teknologi dan aktualisasi capabilitas IT yang selaras dengan strategi bisnis institusi.

b. Memahami elemen kunci tata kelola IT yang diperlukan untuk kemanan pengiriman, efisiensi biaya sehingga dapat mengandalkan kemampuan institusi secara optimal dari penggunaan layanan TI, aset dan sumber daya.

c. Memahami dan secara teratur membahas peluang yang bisa timbul

dari perubahan perubahan institusi akibat penggunaan teknologi, teknologi yang baru dan menciptakan nilai dari peluang peluang tersebut.

d. Mengevaluasi seberapa efektif insitusi memanfaatkan sumber daya IT yang telah di integrasi dan selaras dengan tujuan institusi.

e. Memahami dan mempertimbangkan seberapa efektif peran dan tanggung jawab, akuntabilitas dan pengambilan keputusan yang memastikan penciptaan nilai dari ketersediaan IT, Jasa dan aset.

Dari uraian program yang didapatkan dari hasil kompilasi data yang ada pada proses COBIT 5 maka pemerintah Kota Langsa bisa menyusun blueprint smart governance untuk rencana program Smart City di pemerintah Kota. Program-program tersebut hanyalah berupa usulan global yang belum diselaraskan dengan kondisi saat ini. Untuk mendapatkan program yang lebih terperinci perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam terkait Smart City untuk pemerintah Kota. Kajian utama yang perlu dilakukan dalam perencanaan smart governance adalah masalah kesiapan pemerintah Kota dalam membangun jaringan Smart City, ketersediaan infrastruktur sebagai penunjang pelayanan Smart City, kecukupan SDM untuk operasional Smart City yang kesemua itu harus sudah terpenuhi dalam jangka waktu 2 tahun. Pemerintah Kota tidak bisa hanya sendirian menerapkannya, melainkan harus bersama-sama dengan semua pihak termasuk pihak akademisi, swasta, dan komunitas guna membentuk suatu Smart City Ecosystem yang integrated and sustainable.

KESIMPULAN Secara menyeluruh konsep smart city memiliki 6 (enam) karakteristik, yaitu smart governance, smart economy, smart mobility,

112

smart environment, smart people, dan smart living (yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi). Masing-masing kota pun melakukan fokus berbeda dalam membangun kotanya menjadikota yang pintar.

Penelitian ini telah menyusun usulan perencanaan smart governance sebagai salah satu dimensi yang mendukung Smart City. Dalam perencanaan smart governance digunakan indikator sebagai tolok ukur keberhasilan Smart City. Dalam kajian ini digunakan gabungan framework TOGAF dan COBIT 5 untuk menyusun tata kelola Smart City. Penggunaaan kerangka kerjaTOGAF dan COBIT 5 dikarenakan dua kerangka kerja tersebut mempunyai best practice yang dapat digunakan sebagai acuan penyusunan program kerja. Dalam menyusun usulan perencanaan ini penulis hanya berpedoman pada framework dan visi misi daerah sehingga akurasi perencanaan belum sempurna karena tidak melibatkan penelitian kondisi di lapangan saat ini. Dari hasil pemantauan activity pada COBIT 5 didapatkan kesimpulan bahwa dalam usulan rencana smart governance, Pemerintah Kota Langsa perlu menitikberatkan pada ketersediaan infrastruktur dan juga pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk menyusun smart governance guna menunjang pembangunan Smart City perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam terkait kesiapan pemerintah Kota Langsa. Untuk mengukur kesiapan ini dapat dilakukan dengan cara melakukan FGD atau penyebaran kuisioner yang dibagikan kepada seluruh stakeholders. Pemerintah kota Langsa harus melakukan perluasan pemanfaatan TIK dalam berbagai bidang layanan pemerintahan, keterbatasan layanan saat ini menjadi kendala yang harus diselesaikan. Seharusnya Diskominfo lebih

memperluas layanan internet di Kecamatan-Kecamatan yang akan mengim plementasikan smart city di Kota Langsa. Selain itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih objektif sebaiknya kota Langsa melakukan penelitian terkait kondisi saat ini sehingga akan terlihat gap antara rencana dan kondisi existing. Sementara itu, untuk penyusunan yang lebih baik sebaiknya diketahui keinginan institusi melalui keinginan top level management yang tidak tersurat dalam visi misi.

DAFTAR PUSTAKA Bawany, N.W. and Shamsi, J.A. 2015.

Smart City Architecture: Vision and Challenges, (IJACSA) International Journal of Advanced Computer Science and Applications, Vol. 6, No. 11, 2015

CreBappenas. 2015. Konsep Smart City Indonesia. Cobit, M. F. (n.d.). No Title, 1–14.

Cohen, Boyd. 2013. What exactly a smart city? http://www.boydcohen.com/smartcities.html

Delloite. 2015. Smart Governance in a Smart Nation A Singapore perspective.

Deakin, Mark. 2013. "From intelligent to smart cities". In Deakin, Mark. Smart Cities: Governing, Modelling and Analysing the Transition. Taylor and Francis. p. 15. ISBN 9781135124144.

Direktur Perkotaan dan Perdesaan. 2015. Pengembangan Kota Cerdas di Indonesia. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional.Bappenas. Jakarta Available at: ftp://ftp.itb.ac.id/pub/ISOIMAGES/linux/eii2015itb/15101

Gultom, M. 2012. Audit Tatakelola Teknlogi Informasi pada PTPN 13 Pontianak menggunakan Framework COBIT, 4(4), 97–114.

113

ISACA. 2012. A Business Framework for the Governance and Management of Enterprise IT.

ISACA. 2012. COBIT 5 Enabling Processes. Kourtit, Karima & Nijkamp, Peter (2012).

Smart cities in the innovation age. The European Journal of Social Science Research, Vol.25, Juni 2012, 93-95. Routledge.

Muliarto, H. 2009. Konsep Smart City : Smart Mobility, (25414021), 1–13.

Pasquini, A. (2013). COBIT 5 and the Process Capability Model Improvements Provided for IT Governance Process, 67–76.

Patel, P. R., & Padhya, H. J. (2014). Review paper for Smart City, 1–6.

Scytl. 2015. Scytl Smart Governance for Smart Cities. Setiawan, H. (2013). Metode Audit Tata Kelola Teknologi.

114

PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH ALIRAN SUNGAI KRUENG ACEH DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN HIDUP

DI KOTA BANDA ACEH THE PLANNING OF DEVELOPMENT LINE RIVER AREA OF KRUENG ACEH

AND CHANGE INTO ENVIROMENTAL LIFES IN BANDA ACEH CITY

Syahiruddin

Widyaiswara Madya BPSDM Aceh e-mail : syahiruddinu@gmailcom

Diterima: 12 Agustus 2019; direvisi: 10 Oktober 2019; diterbitkan: 1 Desember 2019

ABSTRAK

Perencanaan pembangunan sarana dan prasarana sumber daya air yang akan dilaksanakan haruslah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena pendapatan dan pertumbuhan dapat diperoleh berupa hasil pertanian, pertambangan, usaha kecil menengah, perdagangan, dan perindustrian. Pengelolaan sumber daya air dalam suatu Daerah Aliran Sungai haruslah dilakukan secara holistik yaitu memandang masalah secara utuh, terpadu dan, lintas sektoral, lintas daerah sesuai dengan konsep DAS sebagai kesatuan ekosistem. Perlunya menjaga hutan agar tetap lestari sehingga pembangunan DAS dalam economic development, community development dan environmental service bisa berimbang. Lahan-lahan kritis dan gundul kembali hijau, air sungai yang bersih tersedia sepanjang tahun, musim hujan tidak lagi terjadi banjir dan longsor, musim kemarau tidak lagi kekeringan. Lahan dipinggir sungai Krueng Aceh di Kota Banda Aceh sangat subur dikarenakan humus tanah yang dibawa air sangat baik untuk tanaman jangka pendek. Kegiatan ini menjadikan aliran sungai terawat baik dan dapat melestarikan Daerah Aliran Sungai dari degradasi akibat pengikisan air, dan disamping itu juga dapat meningkatkan ekonomi masyarakatnya.

Kata Kunci: Perencanaan Pembangunan, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Ekonomi rakyat

ABSTRACT

Planning for the development of water resources facilities and infrastructure to be implemented must be able to improve community welfare because income and growth can be obtained in the form of agricultural products, mining, small and medium enterprises, trade, and industry. Management of water resources in a watershed must be done holistically, namely looking at the problem as a whole, integrated and, cross-sectoral, across regions in accordance with the concept of watershed as a unified ecosystem. The need to keep the forest sustainable so that the development of watersheds in economic development, community development and environmental services can be balanced. Critical and bare lands return to green, clean river water is available throughout the year, the rainy season no longer occurs flooding and landslides, the dry season is no longer drought. The land on the edge of the Krueng Aceh river in Banda Aceh City is very fertile because soil humus which is carried by water is very good for short-term plants. This activity makes the river flow well-maintained and can preserve the Watershed from degradation due to water erosion, and besides that it can also improve the economy of the community. Keywords: Development Planning, Watershed Management, People's Economy

115

PENDAHULUAN Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 5 tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah, dan Lembaga Daerah Aceh. Dinas Pengairan adalah perangkat daerah sebagai unsur pelaksana Pemerintah Aceh di Bidang Pengairan. Tugas Pokok Dinas Pengairan adalah melaksanakan tugas umum Pemerintah dan Pembangunan di bidang Pengairan meliputi; irigasi, rawa, pantai, sungai, danau, waduk, operasi dan pemeliharaan sistem pengairan. Dalam melaksanakan tugasnya, Dinas Pengairan Aceh mempunyai fungsi-fungsi di antaranya melaksanakan tugas yang berhubungan dengan pelaksanaan pengawasan dan pengendalian terhadap tugas di bidang pengairan di Provinsi Aceh.

Perencanaan pembangunan sarana dan prasarana sumber daya air yang dilaksanakan haruslah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat diukur dengan parameter pendapatan dan pertumbuhan. Pendapatan dan pertumbuhan dapat diperoleh berupa hasil pertanian, pertambangan, usaha kecil menengah, perdagangan, dan perindustrian.

Pembangunan daerah merupakan rangkaian pembangunan yang terpadu, terintegrasi, bertahap, dan berkesinambungan. Hal ini dapat terlaksana bila para pelaksana pembangunan merupakan tenaga ahli dan para personil yang memiliki keterampilan sesuai dalam bidangnya masing-masing, sehingga perencana pembangunan yang efektif dan tepat guna, tearah, transparan, produktif, dan berwawasan lingkungan.

Dalam penyelenggaraan pemerinta hannya yang berorientasi pada kepentingan publik merupakan tuntutan dan idaman masyarakat Oleh karena itu, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan harus

mengacu pada tujuan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat untuk mencapai tujuan dimaksud penyelenggaraan tata pemerintahan yang bermutu (good goverment) yang ditandai dengan penerapan sistem penyelenggaraan pemerintahan mutlak diperlukan. Secara teori, pengelolaan lingkungan hidup dapatlah diartikan sebagai usaha secara sadar untuk memelihara atau dan memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Manusia mempunyai daya adaptasi yang besar, baik secara hayati maupun kultural. Misalnya, manusia dapat menyesuaikan diri pada penggunaan air yang tercemar. Adaptasi yang demikian dianggap sebagai maladaptasi atau penyesuaian diri yang tidak sehat. Maladaptasi tidak dapat diterima dalam pengelolaan lingkungan. Sebab hidup dengan air yang tercemar itu haruslah dianggap tidak manusiawi. Untuk mendapatkan mutu lingkungan yang baik, usaha yang dilakukan ialah memperbesar manfaat lingkungan dengan memperkecil resiko. Menurut W.J.S. Poerwodarminta (1996;70), yang dimuat dalam kamus tentang lingkungan hidup sebagai berikut : Lestari=tetap selama-lamanya, kekal, tidak berubah sebagai sediakala; Melestarikan=menjadikan atau membiarkan tetap tidak berubah; Serasi=cocok, sesuai, karena benar. Dalam proses pengelolaan lingkungan ada tiga hal yang menjadi perhatian utama adalah standarisasi lingkungan, keanekaragaman hayati, dan konservasi hutan tropis. Lingkungan hidup merupakan salah satu isu penting yang dihadapi oleh setiap

116

negara. Masalah lingkungan hidup sudah dikenal sejak dilaksanakan Konfrensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup Manusia di Stokholm pada bulan Juni 1972 yang menghasilkan beberapa keputusan penting atau yang lebih dikenal dengan Deklarasi Stockholm. Namun demikian untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup masih jauh dari yang diharapkan. Setiap bangsa didunia termasuk Bangsa Indonesia menjadikan lingkungan hidup sebagai yang tidak terpisahkan dari segala aktivitas yang berkaitan dengan pembangunan nasional. Sedangkan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang lingkungan hidup mulai ada pada tahun 1982, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Batasan pengertian tentang lingkungan hidup sebagaimana yang termuat pada BAB Ketentuan Umum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982, maupun yang telah diperbaharui dalam BAB Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 memberi batasan pengertian sebagaimana berikut :

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Dari batasan pengertian administrasi dan lingkungan hidup sebagaimana tersebut,

maka administrasi lingkungan hidup dapat dirumuskan sebagai berikut; Administrasi lingkungan hidup adalah suatu proses penyelenggaraan dan pengurusan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia melalui segenap tindakan/kegiatan dalam setiap usaha kerjasama kelompok orang untuk meujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup.

Mengutip suatu filosofi bahwa Lingkungan hidup itu bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu, berarti memberikan pengertian kepada setiap generasi sat ini untuk selalu bertindak bijak, sehingga kecerobohan tindakan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup dapat diminimalkan. Sehingga pembangunan berwawasan lingkungan hidup dan berkelanjutan tidak sekedar slogan semata namun menjadi kenyataan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Seiring dengan era globalisasi dan pasar bebas, langkah pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat salah satunya adalah dengan melakukan pembangunan dan pemulihan ekonomi dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang sangat kaya dan berlimpah ruah, yang berpotensi sebagai faktor penyumbang terbesar berhasilnya pelaksanaan pembangunan nasional.

Dalam rencana kinerja, selain penetapan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan, ditetapkan juga indikator kinerja kegiatan dan target-targetnya. Indikator kinerja kegiatan adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu kegiatan yang telah ditetapkan, dengan kategori pengelompokan sebagai berikut:

117

1. Indikator masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan, agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan output, misalnya sumber daya manusia, dana, material, waktu, teknologi dan sebagainya.

2. Indikator keluaran (output) adalah segala sesuatu atau berupa produk/ jasa (fisik/ non fisik) sebagai hasil langsung dari pelaksanaan suatu kegiatan dan program berdasarkan masukan yang digunakan .

3. Indikator hasil (outcomes) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah, outcomes merupakan ukuran seberapa jauh setiap produk/ jasa dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat.

4. Indikator manfaat (benefits) adalah kegunaan suatu keluaran (out puts) yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Dengan demikian manfaat dapat berupa tersedianya fasilitas yang dapat diakses oleh publik.

5. Indikator dampak (impack) adalah ukuran tingkat pengaruh sosial, ekonomi, lingkungan atau kepentingan umum lainnya yang dimulai oleh capaian kinerja setiap indikator dalam suatu kegiatan.

Untuk mewujudkan pelaksanaan pengawasan yang baik, secara optimal dapat dilakukan dengan meningkatkan pemahaman pegawai tentang pengawasan. Peningkatan pemahaman ini hanya dapat terwujud bila adanya peningkatan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan pengawas. Di mana hal ini dapat terwujud bila terlaksananya kegiatan-kegiatan yang mendukung terlaksananya pendidikan dan pelatihan pengawas.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, untuk meningkatkan kualitas aparatur yang handal tertib pembangunan dan terarah dan

pengelolaan lingkungan perlu adanya peningkatan kinerja dengan rencana yang matang dan tenaga teknis berkwalitas untuk memberikan sumbangan bagi peningkatan pembangunan pada seksi perencanaan pembangunan. Untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintahan yang berkualitas merupakan langkah strategis dan sinergis merupakan kewajiban organisasi sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa agar perencanaan pembangunan yang dicita-citakan berhasil sesuai dengan harapan pembangunan di Kota Banda Aceh.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data empiris sebagai kenyataan di lapangan dan ingin mendeskripsikan tentang perencanaan pembangunan Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh dan memberi perubahan Lingkungan Hidup sekitar bantaran Krueng Aceh di Kota Banda Aceh.

METODE

Berdasarkan kenyataan sebagaimana tersebut di atas, peneliti tertarik untuk menganalisa perencanaan pembangunan Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh dan perubahan lingkungan hidup sehingga dapat mempengaruhi perubahan pertumbuhan ekonomi di Kota Banda Aceh.

Data yang diperlukan dalam rangka penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini bersumber dari berbagai sumber informasi, fakta dan data yang terdiri dari data primer dan skunder. 1. Data Primer

Data yang diperoleh dari Dinas/ Instansi/ lembaga yang terkait langsung dengan tujuan dan sasaran, dalam hal ini data diperoleh dari Dinas Pengairan Aceh dan Kota Banda Aceh.

2. Data Skunder

118

Data yang diperoleh dari berbagai sumber yang ada kaitannya dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah. Dalam hal ini data akan diperoleh dari perpustakaan, pengalaman dan informasi lainnya.

Dalam hal teknik pengumpulan data, penulis menggunakan teknik :

1. Telahaan Kepustakaan, yaitu dengan cara mempelajari literatur dari sejumlah buku-buku penelusuran dokumen, laporan, majalah-majalah yang berhubungan dengan judul Kertas Kerja Perseorangan ini.

2. Telahaan Lapangan, yaitu mendapatkan dengan cara: a. Observasi pengamatan langsung di

lapangan dan pencatatan mengenai pengalaman kerja yang selama ini penulis lakukan yang berhubungan dengan tulisan ini.

b. Melalui percakapan sehari-hari dan hasil Laporan pengawas kepada penulis sesuai dengan subtansi masalah yang diteliti.

c. Melakukan interview langsung kepada masyarakat disekitar daerah Krueng Aceh mengenai dampak pembangunan DAS Krueng Aceh terhadap perubahan kehidupan dan perekonomian masyarakat.

Selanjutnya data yang sudah bersifat kuantitatif tersebut dibandingkan dengan kondisi yang paling ideal, sehingga diperoleh nilai prosentase, kemudian ditasirkan dengan kalimat yang brsifat kualitatif dengan tolok ukur sebagai berikut :

i. Kategori Baik/Tinggi apabila data empirik menunjukkan kuantitas sebesar 76% - 100% dari kondisi ideal;

ii. Kategori Cukup Baik/Sedang apabila data empirik menunjukkan kuantitas sebesar 56% - 75% dari kondisi ideal;

iii. Kategori Kurang Baik apabila data empirik menunjukkan kuantitas sebesar 40% - 55% dari kondisi ideal;

iv. Kategori Tidak Baik apabila data empirik menunjukkan kuantitas sebesar kurang dari 40 % dari kondisi ideal (Suharsimi Arikunto, 1988 :195) Pengolahan data di atas merupakan

pengolahan data bagi risets deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau status fenomena yang melekat pada obyek penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam jangka waktu yang panjang, dengan semakin meningkatnya upaya pembangunan menyebabkan makin meningkat pula dampak negatif terhadap lingkungan, bila eksplorasi dan eksploitasi pemanfaatan sumber daya alam tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan limbah yang dihasilkan juga bertambah cepat. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan yang begitu besar berupa kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan hidup, terutama terjadi di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, dimana tingkat ekonomi dan tehnologinya masih rendah. Kerusakan hutan dan tata air yang disertai menurun dan punahnya tumbuhan dan hewan, misalnya terjadi erosi tanah dan sanitasi lingkungan yang buruk yang dapat menyebabkan berkembangnya penyakit infeksi dan parasit, hal ini merupakan masalah lingkungan. Untuk meminimalkan terjadinya pencemaran dan kerusakan linkungan tersebut perlu diupayakan adanya keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan hidup dengan

119

melakukan pembangunan yang bijaksana, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam setiap proses pembangunan harus dilakukan suatu perencanaan yang baik. Perencanaan yang baik dapat mencegah serta mengurangi dampak negatif serta meningkatkan dampak positif yang diakibatkan dari suatu kegiatan pembangunan. Salah satu upaya ini khususnya dibidang lingkungan hidup dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang bercirikan tidak merusak lingkungan yang dihuni manusia, dilaksanakan dengan kebijakan yang terpadu dan menyeluruh serta memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang, yang didalamnya mencakup unsur ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Ketiga unsur ini terkait dan tidak dapat dipisahkan meskipun dalam kenyataannya dalam setiap pembangunan lebih mengedepankan kepentingan ekonomi. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu prediksi yang akurat terhadap proses pembangunan. Suatu kegiatan/usaha yang akan didirikan haruslah memiliki rencana yang jelas agar tidak berdampak merugikan terhadap lingkungan hidup. Kegiatan yang direncanakan yang memiliki dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup diperlukan alat perencanaan dan prediksi untuk mengendalikan dan mengelola dampak penting tersebut. Karena itu diperlukan suatu analisis yang mengkaji secara ilmiah terhadap timbulnya dampak lingkungan yang akan terjadi yang disebut sebagai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). AMDAL merupakan suatu alat perencanaan yang diharapkan mampu mengendalikan dampak yang timbulkan dari

suatu kegiatan atau rencana usaha, baik yang bersifat negatif maupun positif terhadap lingkungan hidup. Hal ini dilakukan agar dapat diambil suatu keputusan mengenai layak atau tidaknya kegiatan tersebut terhadap lingkungan hidup. Hal-hal yang dikaji dalam proses Amdal meliputi aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha atau kegiatan, yang dibuat pada tahap perencanaan. Perangkat AMDAL inilah sebagai satu alat perencanaan pembangunan yang merupakan bagian dari studi kelayakan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 2 (1) Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1999 tentang AMDAL : “(1) Analisis Mengenai Dampak lingkungan hidup merupakan bagian dari kegiatan studi kelayakan usaha dan atau kegiatan“ . Selanjutnya kewajiban untuk melampirkan keputusan studi kelayakan lingkungan menjadi penting berkaitan dengan perizinan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 7 (2) yang menyatakan : ‘(2) Permohonan izin melakukan usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pemprakarsa kepada pejabat yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib melampirkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 (2) yang diberikan oleh instansi yang bertanggungjawab.” Sedangkan Pasal 19 (2) dalam menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan didasarkan pada hasil penilaian dokumen studi AMDAL seperti dinyatakan : “instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan atau kegiatan berdasarkan hasil penilaian Analisis Dampak Lingkungan Hidup

120

(ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) sebagaimana dimaksud ayat (1).” Dengan demikian studi AMDAL diharapkan mencakup uraian analisis ekonomi-finansial, analisis tehnologi serta analisis dampak lingkungan hidup yang merupakan alat yang dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan untuk menetukan layak atau tidaknya kegiatan atau proyek tersebut bagi lingkungan hidup. Selain itu AMDAL juga menjadi salah satu perangkat untuk memperoleh izin suatu usaha dan atau kegiatan dapat berjalan. Perangkat AMDAL sebagai salah satu instrumen pengendalian dampak lingkungan diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tanggal 1 Januari 1970 oleh National Environmental policy Act (NEPA) yang diundangkan pada tahun 1969. Menurut NEPA, AMDAL merupakan alat untuk mengurangi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perencanaan pembangunan yang buruk. Sejak itu AMDAl (EIA=environmental Impact Assessment) mulai dikenal luas dan diterapkan dibanyak negara seperti : Kanada, Australia, Inggris bahkan Negara Uni Eropa. Pada saat berlangsungnya Konperensi Stockhlom 1972, AMDAL dibahas lebih mendalam dalam tingkat internasional dengan melibatkan seluruh pemerintah didunia dalam proses penilaian dan perencanaan lingkungan hidup, mempersatukan pendapat dan kepedulian negara maju dan berkembang untuk menyelamatkan bumi, menggalakkan partisipasi masyarakat serta mengembangkan pembangunan dengan memperhatikan lingkungna hidup. Sehubungan dengan hal tersebut Konferensi Stockhlom mengkaji ulang pola

pembangunan konvensional yang selam ini cendrung merusak bumi yang berkaitan dengan masalah kemiskinan, tingkat pertumbuhan ekonomi, tekanan penduduk di negara berkembang, pola konsumsi yang berlebihan di negara maju serta ketimpangan tata perekonomian internasional. Dengan lahirnya Deklarasi Stockhlom 1972 yang menegaskan adanya integrasi antara lingkungan dan pembangunan, konsep AMDAL kemudian terus menerus menjadi bahasan diberbagai pertemuan internasional. AMDAL sebagai bagian dari prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan hendaknya dapat dilaksanakan oleh semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) dengan tujuan untuk mencegah dan mengendalikan timbulnya kerusakan dan pencemaran lingkungan. Dengan direncanakannya suatu kegiatan/usaha dalam proses pembangunan maka diharapkan dampak negatif terhadap lingkungan dapat diminimisasikan dan dampak positif dapat dioptimalkan. Belum tercapai suasana kerja yang kondusif dalam pekerjaan-pekerjaan fisik di lapangan, karena belum optimalnya koordinasi pengawasan. Hal ini disebabkan oleh masalah utama rendahnya pemahaman pegawai tentang pengawasan.

Belum optimalnya koordinasi pengawasan pekerjaan disebabkan oleh pelaksanaan monitoring tidak tepat waktu, kurang akuratnya penyediaan data, terlambatnya penetapan pelaksana dan rendahnya sistem kendali. a. Pemanfaatan Daerah Aliran Sungai

(DAS) Semua aktifitas manusia di darat berlangsung didalam suatu wilayah yang disebut Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu wilayah daratan yang dibatasi oleh pemisah

121

topografis berupa punggung bukit yang menerima air hujan dan mengalirkannya ke hilir dan bermuara ke laut. DAS terdiri dari beberapa sub-DAS yang merupakan suatu anak sungai yang bermuara ke waduk, dam, danau atau Catchment Area. Kebutuhan akan air merupakan suatu hal yang mutlak dalam kehidupan, namun kerusakan dan tingginya pencemaran sungai sudah sangat memprihatinkan. Salah satu penyebabnya adalah berupa alih guna lahan didalam suatu kawasan DAS. Didalam DAS, penggunaan lahan dibedakan atas : a). Hutan, biasanya berada di hulu, b). Kawasan budidaya, perkebunan dan pertanian, c). Pemukiman, d). Rawa, waduk atau danau dan bantaran sungai, e). Lahan industri dan lain-lain. Dimana air hujan yang turun dalam kawasan DAS akan mengalami beberapa kejadian yang berbeda. Pertama, air hujan yang jatuh dikawasan hutan akan menjadi uap kembali (evaporasi), mengalir urut batang (stemflow) turun ke tanah atau jatuh langsung dari dahan, ranting dan daun langsung ke tanah, karena pada umumnya lapisan permukaan tanah hutan terdiri dari bahan organik yang berasal dari dekomposisi bahan tanaman, maka air yang sampai ke tanah akan mudah diresapkan ke dalam tanah. Air yang jatuh ke tanah akan ditahan oleh lapisan tumbuhan bawah, berupa semak dan perdu, serta lapisan humus sehingga sedikit merusak partikel tanah. Kedua, lahan pertanian biasanya intensif digarap, disiangi, dipupuk sehingga tanaman bawah menjadi bersih, akibatnya air hujan yang jatuh ke tanah dapat langsung mencerai-beraikan partikel tanah dipermukaan lahan dan terjadi erosi. Apalagi saat menjelang musim tanam, lahan biasanya dibersihkan sehingga saat hujan datang tetapi tanaman belum mampu

melindungi tanah maka erosi akan terjadi. Air yang meresap ke dalam tanah lebih sedikit dari pada yang mengalir sebagai aliran permukaan tanah (run-off) yang mampu menyebabkan erosi dan mengalir ke sungai bersama sedimen yang terangkut. Tanaman keras perkebunan berfungsi sama atau hampir sama dengan tanaman hutan. Karena di bawah tegakan terdapat tanaman penutup tanah yang mampu menahan pukulan air hujan. Air yang jatuh ke tanah akan meresap ke dalam tanah. Demikian pula aliran permukaan dihambat oleh tanaman penutup, sisanya masuk ke sungai. Volume run-off dihambat oleh tegakan tanaman perkebunan, demikian pula sedimennya. Ketiga, pemukiman terutama di pekotaan sebagian besar terdiri dari bangunan kedap air; atap, halaman beton, jalanan aspal, saluran beton, sehingga air tidak diberi kesempatan meresap ke dalam tanah. Akibatnya hampir semua air hujan mengalir ke sungai utama dan berakhir ke laut, waduk, dan atau danau, termasuk semua bentuk limbah yang diangkut. Makin luas atau makin besar persentasi kawasan pemukiman dari suatu DAS maka makin besar air yang masuk ke sungai dan berpotensi menambah volume air sungai dan menimbulkan banjir di musim penghujan. Meskipun demikian erosi di kawasan pemukiman di perkotaan relatif lebih kecil dibanding dengan pedesaan atau kawasan budidaya. Keempat, air hujan yang jatuh ke permukaan air di waduk, danau, dam, atau sungai akan menambah langsung volume air yang tercermin dengan naiknya permukaan air. Secara langsung tidak menyebabkan erosi, tetapi kalau air tersebut mengalir maka kecepatan aliran akan dapat mengikis dinding/tebing saluran/badan air dan mengangkutnya ke hilir. Bantaran sungai

122

(flood plain) merupakan kawasan cadangan aliran sungai. Dalam keadaan aliran air melebihi normal, maka aliran air akan memenuhi bantaran sungai. Dalam keadaan curah hujan yang luar biasa besar (siklus 50 tahunan atau lebih), air akan melimpah ke daerah rendah di sekitar bantaran sungai. Pengelolaan sumber daya alam dalam suatu DAS haruslah dilakukan secara holistik yaitu memandang masalah secara utuh, terpadu dan memecahkannya secara multidisiplin, lintas sektoral, lintas daerah sesuai dengan konsep DAS sebagai kesatuan ekosistem. Perlunya menjaga hutan agar tetap lestari sehingga pembangunan DAS dalam economic development, community development dan environmental service bisa berimbang. Lahan-lahan kritis dan gundul kembali hujau, air sungai yang bersih tersedia sepanjang tahun, musim hujan tidak lagi terjadi banjir dan longsor, musim kemarau tidak lagi kekeringan. Di Gampong Peulanggahan, Gampong Jawa, Gampong Keudah, Gampong Penayong Kecamatan Kutaraja dan Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, masyarakat sekitarnya dalam menjaga pelestarian DAS memanfaatkan sisa lahan kosong di sepanjang pinggir sungai dengan menanam aneka tanaman bunga, palawija baik jangka pendek dan jangka panjang. Lahan dipinggir sungai sangat subur dikarenakan humus tanah yang dibawa air sangat baik untuk tanaman jangka pendek. Kegiatan ini menjadikan aliran sungai terawat baik dan dapat melestarikan DAS dari degradasi akibat pengikisan air, dan disamping itu juga dapat meningkatkan ekonomi masyarakatnya. b. Pendapatan Pemerintah Aceh 1. Pendapatan Asli Aceh (PAA) Pendapatan Asli Aceh (PAA) terdiri

dari : Pajak Aceh, Retribusi Aceh,

Hasil Pengelolaan Kekayaan Aceh yang dipisahkan, Zakat dan lain-lain Pendapatan Asli Aceh yang sah. Pendapatan Asli Aceh yang sangat besar memberikan kontribusi kepada APBA adalah penerimaan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN – KB) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB).

2. Dana Perimbangan Dana perimbangan yaitu dana yang

bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan transfer yang bersifat khusus (spscifik grand) untuk memenuhi pembiayaan kebutuhan khusus daerah dan/atau kepentingan Nasional.

Penerimaan dana perimbangan merupakan Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Hidrocarbon dan Sumber Daya Alam Lain, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Tambahan Hasil Minyak dan Gas Bumi dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006 serta Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000.

3. Dana Otonomi Khusus (OTSUS) Dana Otonomi Khusus merupakan

penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan. Alokasi Dana Otonomi Khusus dianggarkan

123

dalam UU RI tentang APBN, selanjutnya akan diatur kembali dengan PerMenKeu untuk tiap tahun anggaran yang bersangkutan.

Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas yaitu Pengembangan Kawasan Pesisir (x1), Rehabilitasi Kawasan Hutan (x2), Penghijauan dengan Hutan Kota (x3), dan Pengembangan Kawasan Wisata (x4) terhadap Tata Ruang Kota Banda Aceh (Y) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Melalui program SPSS, maka diperoleh persamaan regresi berganda sebagai berikut : Y = 1.412 + 0.155x1 + 0.131x2 + 0.172x3 +

0.182x4 Dari persamaan regresi di atas dapat diketahui hasil penelitian sebagai berikut:

• Nilai konstanta sebesar 1.412. Artinya bilamana faktor Pengembangan Kawasan Pesisir (x1), Rehabilitasi Kawasan Hutan (x2), Penghijauan dengan Hutan Kota (x3), dan Pengembangan Kawasan Wisata (x4) dianggap konstan, maka Pelestarian Hidup dalam Tata Ruang Kota, adalah sebesar 1.412 pada satuan skala likert atau Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Tata Ruang Kota Banda Aceh masih rendah. Hal ini terkait masih rendahnya dukungan variabel yang diteliti, dimana semua indikator tersebut ternyata masih mempunyai dampak yang rendah terhadap pelestarian lingkungan hidup dalam tata ruang kota.

• Koefisien regresi pengembangan kawasan pesisir sebesar 0.155. Artinya setiap 100% perubahan dalam variabel pengembangan kawasan pesisir akan meningkatkan pelestarian lingkungan hidup dalam

tata ruang kota Banda Aceh sebesar 15.5% dengan asumsi variabel rehabilitasi kawasan hutan, penghijauan dengan hutan kota, dan pengembangan kawasan wisata di anggap konstan.

• Koefisien regresi rehabilitasi kawasan hutan sebesar 0.131. Artinya setiap 100% perubahan (perbaikan) dalam variabel rehabilitasi kawasan hutan secara relatif akan meningkatkan pelestarian lingkungan hidup dalam tata ruang kota Banda Aceh sebesar 13.1% dengan asumsi variabel pengembangan kawasan pesisir, penghijauan dengan hutan kota, dan pengembangan kawasan wisata di anggap konstan.

• Koefisien regresi penghijauan dengan hutan kota sebesar 0.172. artinya setiap 100% perubahan (perbaikan) dalam variabel penghijauan dengan hutan kota secara relatif akan meningkatkan pelestarian lingkungan hidup dalam tata ruang kota Banda Aceh sebesar 17.2% dengan asumsi pengembangan kawasan pesisir, rehabilitasi kawasan hutan, dan pengembangan kawasan wisata di anggap konstan.

• Koefisien regresi pengembangan kawasan wisata sebesar 0.182. Artinya setiap 100% perubahan (perbaikan) dalam variabel pengembangan kawasan wisata secara relatif akan meningkatkan pelestarian lingkungan hidup dalam tata ruang kota sebesar 18.2%, dengan asumsi variabel pengembangan kawasan pesisir, rehabilitasi kawasan hutan, dan

124

penghijauan dengan hutan kota di anggap konstan.

Berdasarkan hasil analisis di atas dapat diketahui bahwa dari keempat variabel yang diteliti, ternyata variabel pengembangan kawasan wisata dan penghijauan dengan hutan kota mempunyai pengaruh dominan dalam meningkatkan pelestarian lingkungan hidup dalam tata ruang kota Banda Aceh karena diperoleh koefisien regresi masing-masing sebesar 18.2% dan 17.2%. KESIMPULAN

Dari hasil analisis diatas, dapatlah diambil suatu kesimpulan yaitu:

1. Perencanaan pembangunan sarana dan prasarana sumber daya air yang dilaksanakan haruslah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena pendapatan dan pertumbuhan dapat diperoleh berupa hasil pertanian, pertambangan, usaha kecil menengah, perdagangan, dan perindustrian.

2. Pembangunan daerah merupakan rangkaian pembangunan yang terpadu, terintegrasi, bertahap, dan berkesinambungan. Hal ini dapat terlaksana bila para pelaksana pembangunan merupakan tenaga ahli dan para personil yang memiliki keterampilan sesuai dalam bidangnya masing-masing, sehingga perencana pembangunan yang efektif dan tepat guna, tearah, transparan, produktif, dan berwawasan lingkungan.

3. Untuk mewujudkan program-program yang telah digariskan dalam Rencana Kerja Stratejik Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD) Dinas Pengairan Provinsi Aceh serta untuk mewujudkan pelayanan yang berdaya guna dan berhasil guna di

seksi perencanaan pembangunan masyarakat diperlukan adanya aturan-aturan untuk kenyamanan, keamanan, tertib, dan teratur.

4. Isu Aktual yang sedang berkembang di Unit pelaksana Teknis Dinas Wilayah V Dinas Pengairan Aceh adalah Belum Optimalnya Koordinasi Pengawasan, Permasalahan dari kurang akuratnya penyediaan data karena terbatasnya intensitas pelatihan / Diklat.

5. Pengelolaan sumber daya air dalam suatu DAS haruslah dilakukan secara holistik yaitu memandang masalah secara utuh, terpadu dan memecahkannya secara multidisiplin, lintas sektoral, lintas daerah sesuai dengan konsep DAS sebagai kesatuan ekosistem.

6. Perlunya menjaga hutan agar tetap lestari sehingga pembangunan DAS dalam economic development, community development dan environmental service bisa berimbang. Lahan-lahan kritis dan gundul kembali hujau, air sungai yang bersih tersedia sepanjang tahun, musim hujan tidak lagi terjadi banjir dan longsor, musim kemarau tidak lagi kekeringan.

7. Lahan dipinggir sungai sangat subur dikarenakan humus tanah yang dibawa air sangat baik untuk tanaman jangka pendek. Kegiatan ini menjadikan aliran sungai terawat baik dan dapat melestarikan DAS dari degradasi akibat pengikisan air, dan disamping itu juga dapat meningkatkan ekonomi masyarakatnya.

Sedangkan rekomendasi yang dapat

disampaikan, seperti: a. Untuk mewujudkan tujuan dan sasaran dari

hasil akhir kegiatan peningkatan kinerja pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Wilayah

125

V Dinas Pengairan Aceh, secara professional berkomitmen untuk terus melaksanakan kegiatan dan pemantauan untuk terus meningkatkan kinerja secara lebih baik dan professional.

b. Semua aktifitas manusia di darat berlangsung didalam suatu wilayah yang disebut Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu wilayah daratan yang dibatasi oleh pemisah topografis berupa punggung bukit yang menerima air hujan dan mengalirkannya ke hilir dan bermuara ke laut. DAS terdiri dari beberapa sub-DAS yang merupakan suatu anak sungai yang bermuara ke waduk, dam, danau atau Catchment Area, sehingga perlu dilakukan pemeliharaan DAS yang berkesinambungan bagi kelangsungan hidup masyarakat disekitar Krueng Aceh.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1997. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, Tentang Ketentuan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Anonim , 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, Tentang Pemerintahan Aceh.

Anonim , 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999, Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Emil Salim, 1993. Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Cetakan VI Penerbit PT. Pustaka LP3ES Indonesia.

Endro Waluyo, 2002. Administrasi Lingkungan Hidup, Penerbit Global Pustaka Utama Yogyakarta.

Team Sosialisasi RTRW, 2006. Rencana Tata Ruang Kota (RTRW) Kota Banda Aceh Tahun 2006-2016, Penerbit Pemko Banda Aceh.

Sri Hardiyanti, Manajemen Sumber Daya Manusia, Erlangga Jakarta, 2001

Sudirman, Drs. MPA dan Wijinarko Teguh, Drs. MPA. AKIP dan Pengukuran Kinerja, LAN-RI, 2006

Tupoksi Dinas Pengairan Aceh Satuan Kerja Pemerintah Aceh Provinsi Aceh.

126

KOMODITI UNGGULAN DI ZONA AGROEKOLOGI BARAT SELATAN ACEH

AGROECOLOGY ZONE ON THE SUPERIOR COMMODITY OF SOUTH WEST ZONE ACEH

Aswin Nasution1), Ema Alemina2), Irham Iskandar2)

1) Fakultas Pertanian Universitas Teuku Umar 2) Litbang Bappeda Bappeda Aceh

E-mail: [email protected] Diterima: 9 Agustus 2019; direvisi: 10 Oktober 2019; diterbitkan: 1 Desember 2019

ABSTRAK

Teknik penentuan sampel adalah dengan menggunakan tiga indikator yang terdiri dari kemiringan lahan, curah hujan, dan jenis tanah dalam kawasan Barat – Selatan ini. Metode analisis data selanjutnya menggunakan pendekatan Location Quotient (LQ) Dari hasil analisis yang dilakukan, diperoleh beberapa komoditas unggulan yang memiliki LQ > 1 dan juga LQ < 1. Hal ini menunjukkan terdapat komoditas unggulan yang memiliki kualitas ekspor (LQ > 1) sebagai sektor basis untuk kabupaten tersebut, dan juga sebagai sektor non – basis (LQ < 1) dimana kabupaten tersebut mengimpor dari daerah lainnya. menunjukkan setiap kabupaten memiliki karakteristik tersendiri di dalam penentuan skenario yang optimal. Terdapat komoditas – komoditas unggulan tertentu di suatu kabupaten yang tidak terdapat di kabupaten lainnya. Kata Kunci: zona agroekologi, location quetient,

ABSTRACT Research carried out in the West - South Aceh region aims to identify land use types based on Agroecological zones and identify superior agricultural commodities in the Agroecological zone system. The sampling technique is to use three indicators consisting of land slope, rainfall, and soil type in this West - South region. The next data analysis method uses the Location Quotient (LQ) approach. From the results of the analysis conducted, obtained several leading commodities that have LQ> 1 and also LQ <1. This shows that there are superior commodities that have export quality (LQ> 1) as a base sector for the district, and also as a non-base sector (LQ <1) where the district imports from other regions. The implication shows that each district has its own characteristics in determining the optimal scenario. There are certain superior commodities in one district that are not in another district. Keywords: Agroecology Zone, Location Quotient

127

PENDAHULUAN Pemanfaatan sumber daya alam memerlukan pengelolaan khusus dengan memperhatikan sifat khas yang kompleks dan adanya keterkaitan dari berbagai aspek/faktor, yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada kelestarian (sustainability) dari sumber daya alam tersebut (Hardjowigeno, 2007). Permasalahan yang terjadi saat ini adalah sering terjadinya kegiatan pembangunan yang tidak serasi, selaras dan seimbang dengan kondisi lingkungan serta kurang memperhatikan kemampuannya sehingga menimbulkan degradasi lingkungan. Hal ini disebabkan oleh suatu perencanaan penggunaan lahan yang cenderung mementingkan aspek ekonomi dari pada aspek lingkungan sehingga dapat merusak sumber daya alam tersebut. Keragaman potensi (sifat) tanah, iklim dan terrain merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan digunakan sebagai modal utama dalam perencanaan pembangunan. Bertambahnya jumlah penduduk telah mengakibatkan besarnya beban yang harus didukung atau disediakan oleh lahan/ tanah. Menurut Van Dijk (2012), perubahan atau perkembangan penggunaan lahan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami diantaranya adalah iklim, relief, tanah atau adanya bencana alam seperti gempa bumi atau banjir, sedangkan faktor manusia berupa aktivitasnya pada sebidang lahan. Faktor manusia dirasakan mempunyai pengaruh yang lebih dominan jika dibandingkan dengan faktor alami. Hal ini disebabkan karena sebagian besar perubahan penggunaan lahan ditentukan oleh aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya pada sebidang lahan yang spesifik, misalnya konversi lahan kawasan

lindung menjadi areal perkebunan atau konversi lahan sawah menjadi tempat permukiman. Sistem pertanian berkelanjutan yang baik akan dapat berjalan dengan usaha pemanfaatan lahan yang optimal. Identifikasi sumberdaya lahan ini akan berhubungan erat dengan produktivitas dan ekosistem yang berada di sekitarnya. Pemanfaatan yang optimal ini dapat memberikan keberlangsungan pertanian bagi generasi mendatang. Sebagai dasar pertimbangan bagi pengambil kebijakan, perencana maupun pelaksana pembangunan pertanian diperlukan adanya informasi sumberdaya lahan yang menyangkut iklim, tanah dan kondisi hidrologi yang perlu dikumpulkan dan ditingkatkan daya guna dan pemanfaatannya. Dengan demikian, sasaran untuk mencapai pembangunan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan berupa penentuan komoditas unggulan dan cara pengelolaan pada masing – masing lahan dapat dipilih dengan tepat sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan tersebut. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam evaluasi lahan ini adalah melalui pendekatan “Zona Agroekologi” yang dasar atau landasan penelitian dan pengembangannya berupa evaluasi kesesuaian lahan untuk penggunaan lahan yang spesifik, khususnya dalam sektor pertanian. Menurut Wiradisastra (1996), zona Agroekologi adalah suatu konsep wilayah yang didefinisikan dengan pengertian Agroekologi yang menyangkut aspek – aspek tanam – tumbuh di atas lahan dan menghasilkan interaksi antara tanaman dengan lahan pada kondisi iklim tertentu di wilayah tertentu. Konsep ini memerlukan adanya parameter lahan dan sumberdaya

128

alam seperti iklim, topografi, tanah dan vegetasi yang dirumuskan menjadi suatu zona. FAO (1978), mendefinisikan bahwa Zona Agroekologi adalah suatu wilayah yang relatif luas yang ditentukan berdasarkan kondisi iklim, bentuk wilayah (dalam katagori kasar), hidrologi, pengelompokan jenis tanah (dalam katagori kasar) dan/atau vegetasi (semi) alami, yang cocok dan sesuai untuk suatu jenis tanaman dan kultivar tertentu. Penetapan Zona Agroekologi (ZAE) merupakan salah satu cara dalam menata penggunaan lahan melalui pengelompokan wilayah berdasarkan kesamaan sifat dan kondisi wilayah. Pengelompokan bertujuan untuk menetapkan area pertanaman dan komoditas potensial, berskala ekonomi, dan tertata dengan baik agar diperoleh sistem usaha tani yang berkelanjutan dan mengacu pada konsep sistem pakar (expert system). Konsep ini mengacu pada kesesuaian antara karakteristik lahan, iklim dan persyaratan tumbuh tanaman (Amien, 1997). Komponen utama dalam penetapan zona Agroekologi adalah kondisi biofisik lahan (kelerengan, kedalaman tanah, dan elevasi), iklim (curah hujan, kelembaban, dan suhu), dan persyaratan tumbuh tanaman, agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimum. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Damayanti (2013) menyatakan bahwa sistem informasi geografi atau teknik penginderaan jauh dapat membantu untuk mengevaluasi sistem produksi yang tepat untuk suatu lahan dan mencari alternatif komoditas untuk diusahakan dengan cepat dan tepat dalam rangka mencari solusi pembangunan pertanian saat ini. Teknologi informasi dapat digunakan untuk menganalisis dan mensimulasi data untuk memperoleh informasi Agroekologi yang lebih baik.

Demikian juga penelitian yang dilakukan Hafif dan Barus (2014) menyatakan produktivitas lahan pada Agroekologi lahan di Lampung Timur menemukan bahwa secara umum produktivitas tanaman bahan pangan di wilayah tersebut masih relatif rendah dan belum optimal. Komoditas tanaman pangan dengan produksi yang cukup baik adalah ubikayu pada lahan kering, padi dan jagung. Produktivitas tanaman pangan akan dapat ditingkatkan dengan teknologi yang mampu mengatasi sifat – sifat Agroekologi lahan sebagai faktor pembatas pertumbuhan tanaman seperti retensi hara, cekaman air dan lapisan tanah olah yang agak kasar dan berpasir. Berdasarkan studi empiris diatas, maka penelitian ini mengembangkan variabel lainnya yaitu analisis Location Quotient (LQ) dalam menentukan produk unggulan Analisa yang dilakukan sejauh ini hanya memberikan informasi untuk satu jenis tanaman pada suatu lahan. Tentunya, hal ini dapat menjadi hambatan, terutama dari sudut pandang sosial, dimana masyarakat yang telah lama menetap pada wilayah tersebut kemungkinan memiliki ketertarikan pada jenis tanaman yang lain. Oleh karena itu, zonasi Agroekologi yang akan dilakukan pada kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tipe penggunaan lahan berdasarkan zona Agroekologi, dan mengidentifikasi komoditas – komoditas unggulan pertanian pada sistem zona Agroekologi. METODE

Penelitian ini dilakukan di 6 kabupaten wilayah Barat – Selatan Aceh, yaitu Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, dan Aceh Singkil. Rangkaian kegiatan penelitian

129

dilakukan pada bulan Juli sampai dengan November 2018, meliputi kegiatan pra penelitian, pengumpulan data sekunder, serta pelaksanaan survei yang terdiri dari observasi kondisi lahan. Data pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berisi informasi mengenai kondisi lahan dan komoditas yang ditanam, serta informasi lainnya, diperoleh dari pelaksanaan survei kondisi lahan pertanian. Sementara itu data sekunder berisi berbagai informasi yang menunjang pelaksanaan penelitian, baik untuk keperluan penentuan sampel maupun analisis, antara lain terdiri dari data parameter – parameter iklim, topografi, jenis tanah, data komoditas unggulan setiap kabupaten, serta hasil – hasil penelitian sebelumnya. Penentuan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan teknik khusus yang disesuaikan dengan tujuan penelitian (purposive sampling) yang menjadi unit pengamatan adalah poligon – poligon lahan dari berbagai kategori lahan serta para petani pada wilayah penelitian. Kategori lahan yang dimaksud dibentuk berdasarkan kombinasi 3 indikator, yaitu: kemiringan lahan (4 kategori), curah hujan (4 kategori), dan jenis tanah (6 kategori), sehingga maksimal terdapat 96 kategori yang dapat terbentuk. Untuk keperluan penentuan sampel, kategori – kategori lahan diperingkatkan berdasarkan luasan lahan totalnya. Berdasarkan hasil pemeringkatan tersebut diketahui bahwa 11 kategori dengan luas lahan terbesar telah mencakup 70% dari total luas lahan pada wilayah penelitian. Maka dari itu, sampel lahan diambil hanya dari poligon – poligon yang termasuk dalam 11 kategori lahan tersebut. Selain itu, sampel poligon lahan juga ditentukan dengan mempertimbangkan

keterwakilan dari 6 kabupaten yang menjadi lokasi penelitian. Analisis spasial yang dilakukan merupakan bagian terintegrasi dari Sistem Informasi Geografis (SIG). Sistem informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi tentang pengumpulan dan pengolahan data serta penyampaian informasi dalam koordinat ruang, baik secara manual maupun digital. Data dalam SIG merupakan data yang mengacu pada lokasi geografis, yang terdiri dari dua kelompok, yaitu data grafis dan data atribut. Data grafis tersusun dalam bentuk titik, garis, dan poligon. Sedangkan data atribut dapat berupa data kualitatif atau kuantitatif yang mempunyai hubungan satu – satu dangan data grafisnya. Analisa yang digunakan untuk mengetahui lahan zona agroekologi antar kabupaten/kota dengan uji statistik yaitu uji t (t-tes) independent t-test , yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan nila rata-rata antara satu kelompok dengan kelompok lainnya tidak saling berhubungan. (Riduwan, 2010). Teknik lainnya yaitu menggunakan Location Quotient. Perbandingan relatif ini dapat dinyatakan secara matematika sebagai berikut (Warpani 2001) : LQ = Si/S / Ni/N

Keterangan : LQ : Nilai Location Quotient Si : PDRB Sektor i di Kabupaten/kota S : PDRB total di Kabupaten/Kota Ni : PDRB Sektor i di Provinsi N : PDRB total di Provinsi Hasil dan Pembahasan Agroekologi merupakan kegiatan pengelompokkan lahan atau wilayah

130

berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama, dasar pengelompokan tersebut berupa faktor iklim, fisiografi atau bentuk wilayah, dan tanah. Pengelompokkan Agroekologi lahan sebagai suatu zona atau wilayah berkaitan dengan pola tanam yang sesuai pada kegiatan pertanian, hal ini karena usaha pertanian yang dilakukan sangat dipengaruhi oleh bentuk wilayah dan jenis tanah sebagai faktor Agroekologi (Hafif dan Barus, 2014). Informasi yang akurat terkait dengan sifat dan karakter Agroekologi lahan merupakan kunci dari keberhasilan perencanaan pembangunan

pertanian menuju pertanian berkelanjutan (Soemarsono, 2011). Pembagian Zona Agroekologi di Wilayah Barat Aceh yang dilakukan melalui analisa spasial dan pada penelitian ini di dasarkan pada faktor kelerengan, curah hujan dan jenis tanah. Adapun distribusi luas lahan dengan dari masing – masing faktor tersebut sebagaimana Tabel 1. Selanjutnya kombinasi dari Zona Agroekologi yang terjadi di lapangan berdasarkan kelerengan, curah hujan dan jenis tanah di lapangan menghasil 78 kombinasi zona Agroekologi yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1 Distribusi Lahan Berdasarkan Zona Agroekologi Kelerengan, Curah Hujan dan

Jenis Tanah di Wilayah Barat Aceh

Uraian Aceh Jaya

Aceh Barat

Nagan Raya

Aceh Barat Daya

Aceh Selatan

Aceh Singkil Jumlah

I = > 40 % 15.289 1.018 4.182 4.784 14.643 170 40.087 II = 15-40 % 73.609 9.251 21.175 19.428 36.190 8.670 168.23 III = 8-15 % 24.156 10.915 10.212 2.896 7.162 10.628 65.968 IV = 0-8 % 93.113 109.172 119.621 36.016 64.359 66.494 488.775 Jumlah 206.166 130.356 155.189 63.124 122.354 85.963 763.154 Curah Hujan (mm/thn) a = < 1.500 184.307 40.545 0 150 98.008 1.691 324.702 b = 1.500-2.000 10.146 14.579 6 8.259 23.515 12.178 68.682 C = 2.000-2.500 6.144 12.451 7.089 8.609 831 24.498 59.622 D =2.500-3000 3.390 13.513 10.407 10.066 0 23.528 60.904 E = > 3.000 2.179 49.268 137.687 36.040 0 24.069 249,243 Jumlah 206.166 130.356 155.189 63.124 122.354 85.963 763.154 Jenis Tanah Entisol 21.739 2.535 7.007 8.411 25.250 0 64.942 Histosol 16.993 20.445 21.179 11.705 22.050 4.776 97.149 Inseptisol 49.904 53.200 59.186 22.410 40.110 23.101 247.912 Andosol 0 531 814 0 0 0 1.345 Ultisol 117.530 53.645 67.004 20.598 34.944 58.086 351.807 Jumlah 206.166 130.356 155.189 63.124 122.354 85.963 763.154

Sumber : Analisis Spasial (2018)

131

Pengelompokan lahan Tabel 1 menujukkan 14 kelompok lahan yang terdiri dari 4 kelompok kelerengan lahan, 5 kelompok intensitas curah dan 5 kelompok jenis tanah. Berdasarkan pengelompokan kelerengan lahan, 488.775 Ha atau 64,05% lahan merupakan lahan dengan kelerengan 0 – 8%. Luasnya lahan dengan kemiringan seperti ini sangat menguntungkan bagi kegiatan pertanian, karena kelerengan di bawah 8% merupakan lahan datar sampai landai yang baik digunakan untuk pertanian (Sitorus, 2004; Arsyad, 2006). Penyebaran curah hujan terlihat bahwa daerah Aceh Jaya, sedikit Aceh Barat, Aceh Selatan dan Singkil memiliki curah hujan yang rendah yaitu di bawah 1,500 mm/tahun. Wilayah Aceh Barat, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya memiliki curah

hujan tinggi yaitu di atas 2.500 mm/tahun. Kondisi ini sesuai dengan yang disampaikan Purnama (2013), bahwa lokasi penelitian atau Wilayah Barat Aceh memiliki tipe iklim sebagai berikut : 1) Aceh Jaya tipe C dan D; 2) Aceh Barat tipe C dan B; 3) Nagan Raya tipe A, B dan C; 4) Aceh Barat Daya tipe A, B dan C; 5) Aceh Selatan tipe A, B dan C; 6) Subulussalam tipe C dan D; 7) Singkil tipe D, Sehingga pemilihan tanaman yang dikembangkan idealnya adalah tanaman yang mengikuti kondisi iklim di masing – masing wilayah tersebut. Penyebaran jenis tanah terlihat bahwa jenis tanah Inseptisol dan Ultisol mendominasi Wilayah Barat Aceh. Luas masing – masing adalah inseptisol 247.912 Ha atau 32,49% dan jenis tanah ultisol 351.807 Ha atau 46,10%. Tanah

inseptisol merupakan tanah yang baik digunakan untuk pertanian karena memiliki solum 1 – 2 meter, berwarna hitam atau kelabu hingga coklat tua, bertekstur berdebu, lempung debu, dan lempung, berstruktur tanah remah, konsistensi gembur, memiliki pH 5 – 7, memiliki kandungan bahan organik 10 – 30%, kandungan usur hara sedang – tinggi dan produktivitas tanah sedang hingga tinggi. Sedangkan tanah ultisol kurang baik untuk

pertanian karena memiliki pH rendah, kejenuhan Al tinggi, daya ikat posfat kuat, kejenuhan basa rendah, bahan organik rendah, kandungan N, daya simpan air terbatas, kemantapan agregat lemah (Hardjowigeno, 2007; Hanafiah, 2012). Oleh karena itu penggunaan tanah ultisol lebih membutuhkan pengelolaan yang lebih berat dibandingkan dengan penggunaan tanah inseptisol.

132

Tabel 2 Distribusi Lahan Berdasarkan Kombinasi Zona Agroekologi Kelerengan, Curah Hujan Dan Jenis Tanah di Wilayah Barat Aceh

No Zona Agroekologi

Luas (Ha) No Zona

Agroekologi Luas (Ha) No Zona

Agroekologi Luas (Ha)

1 I-a-enti 17.498 27 II-c-incep 1.178 53 III-e-enti 229 2 I-a-hist 83 28 II-c-ulti 4.241 54 III-e-hist 181 3 I-a-incep 933 29 II-d-enti 3.200 55 III-e-incep 3.146 4 I-a-ulti 10.972 30 II-d-incep 1.461 56 III-e-ulti 9.327 5 I-b-enti 344 31 II-d-ulti 7.124 57 IV-a-ando 30 6 I-b-incep 193 32 II-e-ando 670 58 IV-a-enti 4.488 7 I-b-ulti 1.194 33 II-e-enti 2.915 59 IV-a-hist 27.068 8 I-c-enti 723 34 II-e-incep 3.369 60 IV-a-incep 68.278 9 I-c-incep 6 35 II-e-ulti 19.804 61 IV-a-ulti 49.533

10 I-c-ulti 1.012 36 III-a-ando 193 62 IV-b-enti 33 11 I-d-enti 1.585 37 III-a-enti 2.932 63 IV-b-hist 9.614 12 I-d-ulti 931 38 III-a-hist 205 64 IV-b-incep 26.429 13 I-e-ando 91 39 III-a-incep 4.755 65 IV-b-ulti 13.463 14 I-e-enti 1.688 40 III-a-ulti 28.001 66 IV-c-enti 75 15 I-e-incep 0 41 III-b-enti 21 67 IV-c-hist 3.628 16 I-e-ulti 2.835 42 III-b-hist 36 68 IV-c-incep 16.082 17 II-a-ando 308 43 III-b-incep 1.104 69 IV-c-ulti 26.154 18 II-a-enti 23.684 44 III-b-ulti 4.713 70 IV-d-enti 123 19 II-a-hist 630 45 III-c-enti 347 71 IV-d-hist 7.682 20 II-a-incep 7.981 46 III-c-incep 796 72 IV-d-incep 13.664 21 II-a-ulti 77.130 47 III-c-ulti 2.292 73 IV-d-ulti 17.486 22 II-b-enti 1.358 48 III-d-enti 211 74 IV-e-ando 11 23 II-b-hist 55 49 III-d-hist 0 75 IV-e-enti 399 24 II-b-incep 2.141 50 III-d-incep 1.528 76 IV-e-hist 47.967 25 II-b-ulti 7.984 51 III-d-ulti 5.910 77 IV-e-incep 94.867 26 II-c-enti 3.088 52 III-e-ando 42 78 IV-e-ulti 61,702

Total Luas (Ha) 763.154 Sumber : Analisis Spasial (2018) Keterangan : Kelerengan I = > 40 %; II = 15–40%; III = 8–15 %; IV = 0–8%. Curah Hujan (mm/tahun) a = < 1.500; b = 1.500–2.000; c = 2.000–2.500; d = 2.500–3.000; e = > 3.000. Jenis tanah ulti = Ultisol; incep = Inseptisol; hist = Histosol; enti = Entisol; ando = Andosol

Tabel 2 menunjukan bahwa terdapat 78 kombinasi Zona Agroekologi lahan yang ada di Wilayah Barat Aceh. Data tersebut menunjukkan lahan dengan kombinasi faktor Zona Agroekologi terluas adalah pada kombinasi Nomor 77, dengan kelerengan 0 – 8%, curah hujan di atas 3.000 mm/tahun dan jenis tanah Inceptisols seluas 94.867 Ha.

Setelah itu lahan pada kombinasi Nomor 60 dengan kelerengan 0 – 8%, curah hujan di bawah 1.500 mm/tahun dan jenis tanah Inceptisols. Kombinasi Zona Agroekologi ini merupakan gambaran dari sifat dan karakter faktor Agroekologi dalam mempengaruhi pengelolaan yang harus dilakukan terhadap

133

lahan dan tanaman untuk mendapatkan produksi yang optimal. Terhadap lahan yang berkelerengan tinggi perlu tindakan konservasi pembuatan teras untuk menghindari bahaya erosi, lahan tergenang perlu tindakan drainase untuk menghindari kekurangan oksigen yang dibutuhkan akar, lahan ber pH rendah perlu pengapuran, lahan yang miskin hara perlu pupuk yang tepat (Sitorus, 2004; Arsyad, 2006). Terhadap faktor curah hujan perlu penyesuaian tanaman yang dipilih dengan kondisi iklim (Hasnunidah, 2009). Hal ini karena curah hujan merupakan faktor iklim

yang sulit dimodifikasi, selain itu kondisi curah hujan berhubungan dan mempengaruhi faktor iklim yang lain seperti intensitas penyinaran, suhu, kelembapan udara serta ketersediaan dan kelebihan air tanah (Kartasapoetra, 2008). Hasil uji Independent Samples t Test lahan Zona Agroekologi antar masing – masing kabupaten di Wilayah Barat Aceh berdasarkan faktor Agroekologi dan kombinasi faktor Agroekologi dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3 Uji Beda Wilayah Zona Agroekologi Kabupaten Berdasarkan Kelerengan, Curah Hujan dan

Jenis Tanah di Wilayah Barat Aceh (14 Zona)

Kabupaten Dibandingkan

Jenis Uji t Independent Sample t Test Kondisi Kesimpulan Sig.

Uji F Uji t t hit t tabel Sig. (2 tailed)

AJ X AB 0,067 EVA 0,973 2,056 0,339 Terima Ho Zona Kedua wilayah tidak beda

AJ X NR 0,551 EVA 0,575 2,056 0,571 Terima Ho Zona Kedua wilayah tidak beda

AJ X ABD 0,001 EVNA 2,052 2,056 0,059 Terima Ho Zona Kedua wilayah tidak beda

AJ X AS 0,034 EVNA 1,095 2,056 0,287 Terima Ho Zona Kedua wilayah tidak beda

AJ X S 0,008 EVNA 1,648 2,056 0,118 Terima Ho Zona Kedua wilayah tidak beda

AB X NR 0,168 EVA -0,364 2,056 0,719 Terima Ho Zona Kedua wilayah tidak beda

AB X ABD 0,009 EVNA 1,656 2,056 0,116 Terima Ho Zona Kedua wilayah tidak beda

AB X AS 0,625 EVA 0,155 2,056 0,878 Terima Ho Zona Kedua wilayah tidak beda

AB X S 0,180 EVA 0,967 2,056 0,343 Terima Ho Zona Kedua wilayah tidak beda

NR X ABD 0,001 EVNA 1,568 2,056 0,138 Terima Ho Zona Kedua wilayah tidak beda

NR X AS 0,085 EVA 0,492 2,056 0,627 Terima Ho Zona Kedua wilayah tidak beda

NR X S 0,017 EVNA 1,107 2,056 0,283 Terima Ho Zona Kedua wilayah tidak beda

ABD X AS 0,048 EVNA -1,561 2,056 0,136 Terima Ho Zona Kedua wilayah tidak beda

ABD X S 0,135 EVA -0,763 2,056 0,453 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

AS X S 0,439 EVA 0,835 2,056 0,411 Terima Ho Zona Kedua wilayah tidak beda

Sumber : Analisis Statistik Spasial (2018) Keterangan : AJ = Aceh Jaya; AB = Aceh Barat; NR = Nagan Raya; ABD = Aceh Barat Daya; AS = Aceh Selatan; S = Singkil.

EVA = Equal Variances Assumed; EVNA = Equal Variances Not Assumed

134

Tabel 4 Uji Beda Wilayah Zona Agroekologi Kabupaten Berdasarkan Kombinasi Kelerengan, Curah Hujan dan Jenis Tanah di Wilayah Barat Aceh (156 Kombinasi Zona)

Kabupaten Dibandingkan

Jenis Uji t Independent Sample t Test Kondisi Kesimpulan Sig.

Uji F Uji t t hit t tabel Sig. (2 tailed)

AJ X AB 0,086 EVA 0,898 2,056 0,371 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

AJ X NR 0,419 EVA 0,501 2,056 0,617 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

AJ X ABD 0,001 EVNA 1,844 2,056 0,069 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

AJ X AS 0,083 EVA 0,980 2,056 0,328 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

AJ X S 0,008 EVNA 1,513 2,056 0,134 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

AB X NR 0,456 EVA -0,316 2,056 0,752 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

AB X ABD 0,004 EVNA 1,574 2,056 0,118 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

AB X AS 0,936 EVA 0,143 2,056 0,886 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

AB X S 0,121 EVA 0,963 2,056 0,337 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

NR X ABD 0,017 EVNA 1,294 2,056 0,199 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

NR X AS 0,433 EVA 0,412 2,056 0,681 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

NR X S 0,093 EVA 0,945 2,056 0,346 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

ABD X AS 0,010 EVNA -1,324 2,056 0,188 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

ABD X S 0,092 EVA -0,720 2,056 0,473 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

AS X S 0,172 EVA 0,759 2,056 0,449 Terima Ho

Zona Kedua wilayah tidak beda

Sumber : Analisis Statistik Spasial (2018) Keterangan : AJ = Aceh Jaya; AB = Aceh Barat; NR = Nagan Raya; ABD = Aceh Barat Daya; AS = Aceh Selatan; S = Singkil. EVA = Equal Variances Assumed; EVNA = Equal Variances Not Assumed

Tabel 3 dan tabel 4 hasil uji t test Zona Agroekologi antar kabupaten di Wilayah Barat Aceh baik berdasarkan faktor Zona Agroekologi maupun berdasarkan kombinasi faktor Zona Agroekologi masing – masing kabupaten memiliki pola yang tidak berbeda. Tidak berbeda atau samanya pola Zona Agroekologi ini menunjukkan bahwa di Wilayah Barat Aceh dapat dilakukan pengembangan jenis tanaman yang sama dengan pola pengelolaan yang juga sama. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis keunggulan suatu

komoditas tanaman adalah metode analisis Location Quotient (LQ). Analisis ini merupakan pendekatan tidak langsung yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu sektor pertanian merupakan sektor basis atau non basis. Jika nilai LQ >1 menunjukkan bahwa sektor tersebut masuk sektor basis, artinya sektor tersebut mempunyai peranan ekspor di wilayah (kabupaten/kota) tersebut. Jika LQ < 1 menunjukkan bahwa sektor tersebut termasuk sektor non basis, artinya wilayah (kabupaten/kota) tersebut akan mengimpor dari daerah lain. Jika LQ = 1 berarti suatu wilayah (kabupaten/kota)

135

dengan wilayah pembanding yang lebih luas (provinsi) mempunyai derajat spesialisasi yang sama (Bachrein, 2003; Keratorop et al., 2016). Untuk informasi komoditas unggulan

di Wilayah Barat Aceh melalui analisa LQ terhadap tanaman padi/palawija, perkebunan dan buah – buahan ditampilkan pada Tabel 5, 6 dan 7.

Tabel 5 LQ Tanaman Perkebunan di Wilayah Barat Aceh

No Uraian Aceh Jaya

Aceh Barat

Nagan Raya

Aceh Barat Daya

Aceh Selatan

Subulussalam Singkil

1 Karet 2,10 4,49 1,24 0,08 0,10 1,01 0,27 2 Kelapa 1,21 0,42 0,07 0,65 1,63 0,08 1,25 3 Kelapa Sawit 1,16 0,85 1,63 1,33 0,97 1,60 1,59 4 Kopi 0,13 0,03 0,01 0,10 0,13 0,00 0,00 5 Kakao 0,11 0,17 0,14 2,06 0,25 0,11 0,04 6 Cengkeh 0,09 - - 0,30 1,99 - 0,29 7 Lada - 0,06 - - - 0,05 0,01 8 Jambu Mente - - - - - - - 9 Tebu - - - - 0,03 - 0,01 10 Tembakau - - - 0,03 - - - 11 Pala 0,09 0,05 0,02 1,65 21,99 - 0,03 12 Pinang 0,37 0,52 0,09 0,46 1,08 0,17 0,09 13 Kapok/Randu - 1,19 0,04 - 1,30 0,39 - 14 Kemiri - - 0,02 - 0,23 0,03 0,00 15 Sagu 1,70 0,50 0,31 0,12 3,05 1,16 0,28 16 Aren 0,24 - 0,03 - - 0,02 0,04 17 Kayu Manis - - - - 3,81 - - 18 Gambir - - - - - 4,47 1,55 19 Nilam 1,68 1,28 0,08 0,40 3,53 - 0,11 20 Serai wangi - - - - - - - 21 Jarak - - - - - - -

Sumber : Data Penelitian (diolah)

Tabel 6 LQ Tanaman Palawija di Wilayah Barat Aceh

No Uraian Aceh Jaya

Aceh Barat

Nagan Raya

Aceh Barat Daya

Aceh Selatan

Subulussalam Singkil

1 Padi 1,49 1,62 1,41 1,48 0,37 0,17 0,53 2 Padi Ladang 0,19 1,24 1,14 0,01 - 2,81 0,41 3 Jagung 0,28 0,01 0,12 1,09 2,75 2,56 0,59 4 Kedelai 1,47 0,00 0,64 1,09 0,86 0,31 0,38 5 Kacang Tanah 1,10 1,22 2,07 0,21 2,63 0,82 2,62 6 Kacang Hijau 0,06 0,00 0,35 - 0,25 1,27 0,24 7 Ubi Kayu 0,10 0,10 0,77 0,07 0,30 1,88 9,11 8 Ubi Jalar 0,07 0,09 1,25 0,04 0,37 1,21 1,86

Sumber : Data Penelitian (diolah)

Tabel 7 LQ Tanaman Buah – buahan di Wilayah Barat Aceh

No Uraian Aceh Jaya

Aceh Barat

Nagan Raya

Aceh Barat Daya

Aceh Selatan

Subulussalam Singkil

1 Mangga 0,67 0,33 0,55 1,57 1,53 0,50 0,95 2 Durian 0,69 1,25 2,27 1,02 1,88 1,06 2,25 3 Jeruk Besar 3,17 0,42 0,60 1,81 0,47 - 0,01

136

No Uraian Aceh Jaya

Aceh Barat

Nagan Raya

Aceh Barat Daya

Aceh Selatan

Subulussalam Singkil

4 Pisang 0,13 0,11 0,16 0,03 0,58 1,19 0,53 5 Pepaya 0,35 0,57 2,37 7,99 0,60 1,26 1,64 6 Melinjo 0,02 - 0,07 0,00 0,15 0,47 0,01 7 Rambutan 1,06 0,52 1,70 4,34 0,90 1,58 0,71

Sumber : Data Penelitian (diolah) Table 5 menunjukkan bahwa tanaman unggulan perkebunan berdasarkan hasil analisa LQ di Wilayah Barat Aceh adalah kelapa sawit, karet, kelapa, pala, pinang, kayu manis, nilam, kapok/randu, gambir dan kakao. Tanaman unggulan ini menyebar pada 7 kabupaten/kota wilayah penelitian. Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman unggulan di 5 kabupaten/kota dari 7 kabupaten kecuali Aceh Barat dan Selatan. Tanaman kelapa sawit menjadi unggul di Wilayah Barat Aceh karena daerah ini telah lama mengenal tanaman kelapa sawit atau sejak tahun 1913 bersamaan dengan dibangunnya perkebunan kelapa sawit kebun Seunagan dan Seumayam oleh PT. Socfindo di Kabupaten Nagan Raya (Nasution, 2015). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Bapeda Aceh, (2012) menegaskan bahwa untuk tanaman kelapa sawit Wilayah Barat Aceh mulai Kabupaten Aceh Jaya sampai Singkil memiliki kesesuaian lahan Sangat Sesuai (S1) sampai dengan Sesuai Marginal (S3). Selanjutnya Kabupaten Aceh Selatan merupakan wilayah yang paling banyak memiliki tanaman unggulan 8 dari 12 tanaman yaitu kelapa, cengkeh, pala, pinang, kapok, sagu, kayu manis dan nilam.

Untuk tanaman padi/palawija Tabel 6 menunjukkan bahwa padi/palawija unggulan berdasarkan hasil analisa LQ di Wilayah Barat Aceh adalah padi, padi ladang, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar. Tanaman padi unggul di 4 kabupaten yaitu Aceh Jaya, Barat, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, kecuali Aceh Selatan, Subulussalam dan Singkil. Tanaman

padi menjadi unggul di kabupaten Aceh Jaya, Barat, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya tidak terlepas dari baiknya sistem irigasi yang menyediakan air untuk mendukung tanaman padi di daerah tersebut. Selanjutnya kabupaten yang paling banyak memiliki tanaman unggulan adalah Kota Subulussalam dengan 5 tanaman dari 8 tanaman unggulan yaitu padi ladang, jagung, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar. Untuk tanaman buah – buahan Tabel 7 menunjukkan bahwa tanaman buah – buahan unggulan berdasarkan hasil analisa LQ di Wilayah Barat Aceh adalah mangga, durian, jeruk besar, pisang, pepaya dan rambutan. Tanaman durian unggul di 6 kabupaten yaitu Aceh Barat, Nagan Raya, Barat Daya, Selatan, Subulussalam dan Singkil, kecuali Aceh Jaya. Selanjutnya kabupaten yang paling banyak memiliki tanaman unggulan buah – buahan adalah Kabupaten Aceh Barat Daya dengan 5 dari 6 tanaman unggulan yaitu mangga, durian, jeruk besar, pepaya dan rambutan. Berdasarkan jumlah tanaman unggulan di setiap kabupaten/kota menunjukkan bahwa Kabupaten Aceh Selatan dan kota Subulussalam memiliki tanaman unggulan terbanyak masing – masing 12 tanaman, Aceh Barat Daya 11 tanaman, Aceh Jaya 10 tanaman, Singkil 8 tanaman, Aceh Barat dan Nagan Raya masing – masing 7 tanaman. Untuk mengoptimalkan potensi tanaman unggulan di Wilayah Barat Aceh ini perlu dilakukan penataan pengembangan lokasi komoditas sesuai dengan kondisi agroekosistem yang ada. Pengembangan

137

tanaman unggulan yang tepat akan menjadikannya sebagai komoditas unggulan penunjang agribisnis suatu wilayah. Oleh karena itu diperlukan instrumen perencanaan pengembangan komoditas pertanian berdasarkan analisis isu strategis,

identifikasi potensi dan strategi pengembangan, arah kebijakan jangka menengah, dan langkah – langkah operasional pelaksanaan yang dikemas dalam suatu rancang bangun yang komprehensif.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat di ambil kesimpulan yaitu pertama, uji beda wilayah Zona Agroekologi berdasarkan indikator kelerengan, curah hujan, jenis tanah dan juga berdasarkan kombinasi ketiga indikator menunjukkan bahwa antar masing-masing kabupaten di Wilayah Barat Aceh tidak menunjukkan beda yang nyata. Dengan demikian jenis tanaman dan pola pengembangan yang sama dapat dilakukan di seluruh wilayah Barat Aceh, dan kedua, komoditi unggulan wilayah Barat Aceh berdasarkan kereteria LQ adalah padi, kacang tanah, ubi jalar dan jagung untuk jenis palawija; kelapa sawit, karet, kelapa, pala, pinang untuk tanaman perkebunan; durian mangga, rambutan, pepaya, untuk tanaman buah-buahan.

Adapun rekomendasi yang ingin dicapai, yaitu Pertama, penggunaan lahan yang tidak sesuai menurut Zona Agroekologi sebaiknya perlu ditinjau kembali oleh Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya, adalah pada zona I dan II yang berada pada daerah – daerah berlereng terutama untuk kawasan permukiman, peternakan, tegalan, industri, tanaman semusim/pangan; Kedua, lahan – lahan yang belum dimanfaatkan sebaiknya perlu direncanakan penggunaannya menurut pembagian Zona Agroekologi, sehingga lahan di pertanian maupun perkebunan di 3 Kabupaten di wilayah Barat – Selatan dapat

dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan keadaan lingkungannya; serta Ketiga, perlu adanya kebijakan Pemerintah Daerah di masing – masing Kabupaten melalui regulasi resmi yang mengatur tentang penggunaan lahan sebaiknya mengacu pada Zona Agroekologi demi menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Amien, L.I. 1997. Karakteristik dan Analisis

Zona Agroekologi untuk Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Aswin Nasution, Fajri dan Sofyan. 2015. Analisa Pola Produksi Kelapa Sawit dan Keseimbangannya Terhadap Pabrik Kelapa Sawit di Pantai Barat Aceh, Agrisep Vol (16) No. 2.

Bachrein S. 2003. Penetapan Komoditas Unggulan Propinsi. BP2TP Working Paper. Bogor. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Damayanti, A. 2013. Analisis Zona Agroekologi untuk Strategis Pengelolaan DAS Berkelanjutan. Jurnal Geografi. Vol 5 (1) : 1-16.

FAO. 1978. Report on the agro-ecological zonas project. Vol. I. Methodology and Result for Africa. World Soil Resources Report 48, FAO, Rome.

Hafif, B., Y. Barus. 2014. Produktivitas Tanaman Pangan pada Agroekologi Lahan Sub-optimal Lampung Timur. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 : 605-703.

138

Hanafiah, K. A. 2012. Dasar – Dasar Ilmu Tanah. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Hasnunidah, N. 2009. Botani Tumbuhan Rendah. Bandar Lampung: Unila

Kartasapoetra, Ance Gunarsih. 2008. Klimatologi : Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan Tanaman. Jakarta: Sinar Grafika Offset

Keratorop, M. 2016. Arahan pengembangan komoditas unggulan pertanian tanaman pangan di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. (Tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sitorus, S.R.P. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito, Bandung

Riduwan. 2010. Dasar-Dasar Statistika. Bandung : Alfabeta .

Warpani, Suwardjoko. 2001. Analisis Kota dan Daerah, Penerbit ITB, Bandung

PEDOMAN PENULISAN NASKAH ILMIAH

Jurnal ekonomi dan pembangunan memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau

tinjauan kepustakaan dalam bidang ekonomi dan pembangunan sebagai berikut:

perencanaan daerah, fiskal, ekonomi regional, pembangunan kawasan tata ruang

serta yang terkait dengan perencanaan lainnya.

Naskah yang akan diterbitkan dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Bappeda

Aceh, harus memenuhi ketentuan berikut:

Bentuk Naskah

1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dan

tidak sedang diajukan ke tempat lain

2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan

kaidah masing-masing bahasa yang digunakan.

Komponen Naskah

Komponen utama naskah wajib mencantumkan dan memuat hal-hal berikut:

a. Judul, dalam bahasa Indonesia disertai dengan terjemahannya dalam bahasa

Inggris, ditulis dengan jelas menggambarkan isi tulisan.

b. Identitas Penulis, dimuat di bawah judul tulisan, memuat nama, alamat

korespondensi dan e-mail.

c. Abstract, ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris beserta kata kunci

sebanyak 3-5. Abstrak ditulis dalam 1 alinea berisi latar belakang masalah,

tujuan penelitian, hasil, dan rekomendasi. Panjang abstrak dibatasi 200-400 kata.

d. Pendahuluan, (tanpa sub judul, memuat latar belakang, masalah, rumusan

masalah, rangkuman kajian teoretik, ulasan ilmiah terkait judul berdasarkan

rujukan (pustaka) terkini, dan tujuan penelitian). Dalam pendahuluan ini juga

disajikan pertanyaan ilmiah yang akan dijawab dalam penelitian tersebut.

e. Metode, berisikan desain penelitian (ditulis dengan jelas waktu, lokasi, bahan,

dan analisis data penelitian sehingga memungkinkan peneliti lain untuk

mengulangi percobaan yang terkait). Bagian metode ditulis tanpa subjudul.

f. Hasil dan Pembahasan, (sajikan hasil terlebih dahulu kemudian diikuti dengan

penjelasan atau pembahasan. Pembahasan harus menggunakan rujukan (pustaka)

atau dibandingkan (diulas) dengan rujukan terkini). Bagian hasil dan

pembahasan ditulis tanpa subjudul.

g. Kesimpulan, (ditulis dalam bentuk essay (paragraph) secara ringkas dan jelas

dan harus bisa menjawab (menjelaskan) judul, tujuan, dan hasil penelitian).

h. Rekomendasi, berisi usulan-usulan kebijakan yang memungkinkan dihasilkan,

berisi bentuk dan telaahannya untuk dilaksanakan mengacu pada prinsip tepat

guna, logis dan relevan. Jika tidak memungkinkan dalam bentuk narasi,

rekomendasi dapat dibuat dalam butir-butir rekomendasi.

i. Daftar Pustaka, menuliskan sesuai dengan acuan model Harvard-APA Style,

berurutan sesuai abjad.

j. Ucapan Terima Kasih, jika ada, merupakan wujud penghargaan kepada pihak-

pihak yang terlibat dalam penelitian atau penulisan naskah.

Tabel dan Gambar

Tabel, gambar dan grafik diharapkan dapat terbaca dengan jelas dan mudah dipahami,

serta diberi penjelasan yang lebih mendalam. Judul tabel diletakkan di atas tabel dan

judul gambar di bawah gambar. Tabel atau gambar yang diacu dari sumber lain harus

disebutkan, kecuali merupakan hasil penelitian penulisnya sendiri.

Contoh Penulisan Daftar Pustaka

a. Buku teks

Aturan penulisan: nama belakang, singkatan (inisial) nama depan dan nama tengah

(jika ada), tahun penerbitan, judul buku (cetak miring), edisi buku, nama penerbit,

kota penerbit.

Contoh:

Merna T. dan F. F. Al-Thani. 2008. Corporate Risk Management. 2nd ed. John

Welly and Sons Ltd. England.

Wiley, J. 2006.Contemporary Financial Management.3rd ed. Mc. GrowHill. Los

Angeles.

b. Buku Teks Terjemahan

Aturan penulisan: nama belakang penulis asli, singkatan (inisial) nama depan dan

nama tengah (jika ada), tahun penerbitan, judul buku asli (cetak miring),

edisi/cetakan, nama penerbit, kota penerbit, nama penerjemah, tahun, judul buku

(cetak miring), edisi/cetakan, nama penerbit, kota penerbit.

Contoh:

Cresswell, J.W. 2008. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed

Methods Approaches. Third Edition. Sage Publication. California. Terjemahan

A. Fawaid. 2010. Research Design:Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan

Mixed. Cetakan 1. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Kieso, D.E., J.J. Weygandt, dan T.D. Warfield. 2007. Intermediate Accounting.

Twelfth Edition. John Wiley & Sons, Inc. USA. Terjemahan E. Salim. 2008.

Akuntansi Intermediate. Edisi Keduabelas. Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

c. Buku Terbitan Lembaga/Badan/Organisasi

Aturan penulisan: nama lembaga/badan/organisasi, tahun penerbitan, judul buku

(cetak miring), edisi/cetakan, nama penerbit, kota penerbit.

Contoh:

Badan Pusat Statistik. 2013. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Januari. BPS

Aceh. Banda Aceh

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2009. Laporan Tahunan 2009: Perjuangan

Melawan Korupsi Tak Pernah Berhenti. KPK. Jakarta.

d. Buku Terbitan Lembaga/Badan/Organisasi (Berisi Himpunan Peraturan, UU,

dan sejenisnya)

Aturan penulisan: nama lembaga/badan/organisasi, tahun penerbitan, judul

peraturan/UU yang dirujuk (cetak miring), nomor atau seri peraturan/UU,

edisi/cetakan, nama penerbit, kota penerbit.

Contoh:

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). 2011. Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk

Dijual dan Operasi yang Dihentikan. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan

No. 58 (Revisi 2009). DSAK-IAI. Jakarta.

e. Peraturan, Undang-Undang, dan sejenisnya (cetak lepas, tidak berupa buku

himpunan)

Aturan penulisan: nomor dan tahun peraturan/UU, judul peraturan/UU yang dirujuk

(cetak miring), tanggal pengesahan/penerbitan (jika ada), nomor lembaran negara

(jika ada), organisasi penerbit (jika ada), kota tempat pengesahan/penerbitan.

Contoh:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan

Nasional. 8 Juli 2003. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003

Nomor 4301. Jakarta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Standar Nasional

Pendidikan. 16 Mei 2005. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005

Nomor 41. Jakarta.

f. Artikel dalam Jurnal. Aturan penulisan: nama belakang, singkatan (inisial) nama depan dan nama tengah

(jika ada), tahun penerbitan, judul artikel, nama jurnal (cetak miring), volume dan

nomor jurnal (nomor jurnal dalam tanda kurung), nomor halaman artikel dalam

jurnal.

Contoh:

Riduwan, A. 2010. Etika dan Perilaku Koruptif dalam Praktik Manajemen Laba.

Jurnal Akuntansi & Auditing Indonesia 14(2): 121-141.

Veronica, S. dan Y. S. Bachtiar. 2005. The Role of Governance in Preventing

Misstated Financial Statement. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia

2(1): 159–173.

g. Artikel Seminar/Simposium (dalam Prosiding)

Aturan penulisan: nama belakang, singkatan (inisial) nama depan dan nama tengah

(jika ada), tahun penerbitan, nama prosiding (cetak miring), nomor dan volume

prosiding (jika ada), tanggal seminar/simposium, penerbit prosiding (jika ada, cetak

miring), nomor halaman artikel dalam prosiding.

Contoh:

Fidiana, I. Triyuwono, dan A. Riduwan. 2012. Zakah Perspectives as a Symbol of

Individual and Social Piety: Developing Review of the Meadian Symbolic

Interactionism. Global Conference on Business and Finance Proceedings 7(1).

January 3-6. The Institute of Business and Finance Research: 721-742

h. Artikel Seminar/Simposium (cetak lepas)

Aturan penulisan: nama belakang, singkatan (inisial) nama depan dan nama tengah

(jika ada), tahun penerbitan, nama seminar/simposium (cetak miring), tanggal

seminar/simposium, nomor halaman artikel.

Contoh:

Kalana, I., S. Ngumar, dan I.B. Riharjo. 2012. Independensi Auditor Berbasis

Kultur dan Filsafat Herbert Blumer. Simposium Nasional Akuntansi XV

Banjarmasin. 20-23 September: 1-25.

Riduwan, A. 2012. Realitas dalam Cermin Retak: Laba Akuntansi dalam Bingkai

Penafsiran Praktisi Bisnis Non-Akuntan (Studi Hermeneutika-Kritis).

Simposium Nasional Akuntansi XV Banjarmasin. 20-23 September: 1-22.

i. Artikel dalam Buku Antologi dengan Editor

Aturan penulisan: nama belakang, singkatan (inisial) nama depan dan nama tengah

(jika ada), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku (cetak miring), nama editor

buku, penerbit, kota penerbit.

Contoh:

Azra, A. 2005. Pluralisme Islam Dalam Perspektif Historis. Dalam Nilai-Nilai

Pluralisme Islam:Bingkai Gagasan Yang Berserak. Editor M. Sururin. Cetakan

1. Penerbit Nuansa. Bandung.

Barth, M.E. 2004. Fair Values and Financial Statement Volatility. Dalam The

Market Dicipline Across Countries and Industries. Editor C. Borio, W.C.

Hunter, G.G. Kaufman, dan K. Tsatsaronis. MIT Press. Cambridge.

j. Skripsi/Tesis/Disertasi

Aturan penulisan: nama belakang, singkatan (inisial) nama depan dan nama tengah

(jika ada), tahun, judul skripsi/tesis/disertasi, skripsi/tesis/disertasi (cetak miring),

nama program studi dan/atau perguruan tinggi, kota tempat perguruan tinggi.

Contoh:

Natsir, M. 2008. Studi Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di

Indonesia Melalui Jalur Suku Bunga, Jalur Nilai Tukar, dan Jalur Ekspektasi

Inflasi Periode 1990:2-2007:1. Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas

Airlangga. Surabaya.

k. Artikel dari Internet

Aturan penulisan: nama belakang, singkatan (inisial) nama depan dan nama tengah

(jika ada), tahun, judul, alamat e-mail (cetak miring), tanggal dan jam unduh.

Contoh:

Yahya, H. 2005. Realitas dan Pancaindra Anda. http://www.pesanharunyahya.com

dan

[email protected]. 27 Januari 2008 (14:35).

l. Makalah Pidato Ilmiah dan semacamnya

Aturan penulisan: nama belakang, singkatan (inisial) nama depan dan nama tengah

(jika ada), tahun, judul, sifat/tujuan makalah (cetak miring), nama kegiatan, tanggal

kegiatan, kota tempat kegiatan.

Contoh:

Raka, G. 2003. Menggarisbawahi Peran Idealisme, Karakter dan Komunitas dalam

Transformasi Institusi. Makalah Orasi Ilmiah. Sidang Terbuka Senat Peringatan

Dies Natalis ke-44 Institut Teknologi Bandung. 2 Maret. Bandung.

m. Artikel dari Majalah atau Surat Kabar

Aturan penulisan: nama belakang, singkatan (inisial) nama depan dan nama tengah

(jika ada), tahun, judul artikel (cetak miring), nama majalah/surat kabar, tanggal,

halaman,

kota penerbit.

Contoh:

Mangunwijaya, Y.B. 1992. Pendidikan Manusia Merdeka. Harian Kompas. 11

Agustus. Halaman 15. Jakarta.

n. Berita dari Majalah atau Surat Kabar

Aturan penulisan: nama majalah/surat kabar, tahun, judul berita (cetak miring),

nomor dan/atau volume (jika ada), tanggal, halaman, kota penerbit.

Contoh:

Majalah Tempo. 2002. Jatuhnya Enron. No. XXXVIII. 23 Januari. Halaman 18.

Jakarta

Penulisan

Naskah dituliskan dengan menggunakan Times New Roman 12, maksimal 20

halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word.

Prosedur Naskah

Naskah yang masuk hendaknya diterima 2 (dua) bulan sebelum waktu penerbitan

untuk di-review oleh anggota dewan redaksi dan reviewer (mitra bestari) yang

ditunjuk oleh Dewan Redaksi. Dewan redaksi berhak menolak naskah ilmiah yang

dianggap tidak layak muat di Jurnal Inovasi. Naskah diserahkan dalam 2 (dua) media

yaitu hardcopy dan softcopy yang keduanya harus memuat isi yang sama. Nama file,

judul dan nama penulis naskah dituliskan pada label CD. Pengiriman naskah ke

alamat redaksi melalui elektronik ke:

[email protected]

atau melalui pos ke:

Dewan Redaksi Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Aceh

Bidang Penelitian dan Pengembangan

Jl. Tgk. H. Mohd. Daud Beureu-eh No. 26

Redaksi berhak menolak naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman

penulisan naskah di atas dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah

tersebut. Setiap penerimaan atau penolakan naskah akan disertai dengan surat resmi

yang ditandatangani oleh Dewan Redaksi dan dikirimkan kepada penulis. Setiap penulis

yang karya tulisnya telah diterbitkan, akan mendapat satu buah cetak lepas dan satu buah

full print

Hak Cipta

Setiap penulis menyetujui untuk mengalihkan hak ciptanya ke Jurnal Ekonomi dan

Pembangunan jika naskahnya diterima untuk diterbitkan.