handout hukum perjanjian

14
Hukum Perjanjian Lecturer: Ratna Artha Windari Page 1 PENGANTAR: Hukum Perjanjian dapat kita jumpai pengaturannya dalam Buku III B.W (KUH Perdata) tentang Perikatan. Namun sebelum mempelajari lebih lanjut terkait aturan hukum perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata, perlu kiranya dilakukan klarifikasi terhadap beberapa peristilahan yang seringkali kita dengar terkait hukum perjanjian seperti “Hukum Perikatan”, “Hukum Perhutangan”, “Hukum Perjanjian”, dan “Hukum Kontrak”, sehingga tidak terjadi kebingungan dalam penggunaan istilah-istilah tersebut. 1. Istilah Hukum Perikatan Hukum perikatan merupakan istilah yang paling luas cakupannya. Dalam bahasa Belanda, perikatan dikenal dengan istilah verbintenis”. Verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat. Jadi dalam hal ini istilah verbintenis menunjuk kepada adanya ”ikatan” atau ”hubungan”. Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Adapun pengertian daripada perikatan menurut para sarjana antara lain : 1. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi; 2. Pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.

Upload: undiksha

Post on 06-Feb-2023

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Hukum Perjanjian

Lecturer: Ratna Artha Windari Page 1

PENGANTAR:

Hukum Perjanjian dapat kita jumpai pengaturannya dalam Buku III B.W

(KUH Perdata) tentang Perikatan. Namun sebelum mempelajari lebih lanjut

terkait aturan hukum perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata, perlu kiranya

dilakukan klarifikasi terhadap beberapa peristilahan yang seringkali kita dengar

terkait hukum perjanjian seperti “Hukum Perikatan”, “Hukum Perhutangan”,

“Hukum Perjanjian”, dan “Hukum Kontrak”, sehingga tidak terjadi kebingungan

dalam penggunaan istilah-istilah tersebut.

1. Istilah Hukum Perikatan

Hukum perikatan merupakan istilah yang paling luas cakupannya. Dalam

bahasa Belanda, perikatan dikenal dengan istilah “verbintenis”. Verbintenis

berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat. Jadi dalam hal ini

istilah verbintenis menunjuk kepada adanya ”ikatan” atau ”hubungan”.

Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah

suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih

dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas

sesuatu.

Adapun pengertian daripada perikatan menurut para sarjana antara lain :

1. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang

bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak

yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas

suatu prestasi;

2. Pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum

antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu

seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur)

mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap

pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.

Hukum Perjanjian

Lecturer: Ratna Artha Windari Page 2

Sumber pokok dari perikatan sebagaimana tercantum dalam Buku III KUH

Perdata yaitu :

1. Perjanjian atau Persetujuan,

2. Undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi

menjadi :

a. Undang-Undang karena suatu perbuatan manusia,

sumber dari undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi

menjadi perbuatan yang melawan hukum atau yang tidak

diperbolehkan hukum dan perbuatan yang menurut hukum atau

perbuatan yg diperbolehkan hukum. Pasal pertama dari Buku III

undang-undang menyebutkan tentang terjadinya perikatan-

perikatan dan mengemukakan bahwa perikatan-perikatan timbul

dari persetujuan atau undang-undang. Dan juga Pasal 1233 yang

berbunyi: ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena

persetujuan, baik karena undang-undang”.

b. Undang-Undang saja.

Perikatan yang berasal dari undang-undang saja dapat dibagi

menjadi undang-undang saja dan undang-undang karena

perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH

Perdata : ”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul

dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-

undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge

van’s mensen toedoen). Perikatan yang timbul dari undang-

undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III,

yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai

kewajiban alimentasi (tanggung jawab) antara orang tua dan

anak, sedangkan yang timbul dari undang-undang karena

perbuatan manusia antara lain Psl.1353 KUH Perdata, Perbuatan

yang menurut hukum (Psl. 1354 dan Psl. 1359 KUH Perdata),

Perbuatan yang melawan hukum (Psl. 1365 KUH Perdata)

Hukum Perjanjian

Lecturer: Ratna Artha Windari Page 3

3. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas

terdapat pula sumber-sumber lain yaitu :

Kesusilaan dan kepatutan yang menimbulkan perikatan wajar

(obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan

hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid).

2. Istilah Hukum Perhutangan

Istilah “Hukum Perhutangan” sebenarnya dimaksudkan sebagai padanan

atau bahkan istilah lain dari “Hukum Perikatan”. Akan tetapi karena istilah

hukum perhutangan ini berasal dari kata “utang” maka bagaimanapun juga

pemakaian istilah ini akan berkonotasi semata-mata bahwa hubungan hukum

yang ada di dalamnya merupakan ikatan yang berhubungan dengan

pembayaran utang dalam bentuk uang. Ini berarti ruang lingkupnya begitu

sempit, karena tidak selalu dalam suatu perikatan hanya terjadi hubungan

hukum berupa pembayaran sejumlah uang.

3. Istilah Hukum Perjanjian

Istilah “Perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari

istilah “Overeenkomst” dalam bahasa Belanda, atau “Agreement” dalam

bahasa Inggris. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah suatu

perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih.

Pada prinsipnya istilah “Hukum Perjanjian” mempunyai cakupan yang

lebih sempit dari istilah “Hukum Perikatan”. Istilah hukum perikatan

mencakup semua bentuk perikatan dalam buku III KUH Perdata baik ikatan

hukum yang berasal dari perjanjian maupun ikatan hukum yang terbit dari

undang-undang. Sedangkan istilah hukum perjanjian hanya dimaksudkan

sebagai pengaturan tentang ikatan hukum yang terbit dari perjanjian saja. Di

dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu

kepada pihak lainnya, sehingga dalam suatu perjanjian seseorang akan terikat

kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

Hukum Perjanjian

Lecturer: Ratna Artha Windari Page 4

4. Istilah Hukum Kontrak

Istilah kontrak dalam “Hukum Kontrak” merupakan kesepadanan dari

istilah “Contract” dalam bahasa Inggris. Istilah kontrak dalam bahasa

Indonesia sebenarnya sudah lama ada, dan bukan merupakan istilah yang

asing lagi. Misalnya dalam hukum kita sudah lama dikenal istilah “Kebebasan

Berkontrak”, bukan “Kebebasan Berperjanjian”, “Berperhutangan”, atau

“Berperikatan”. Hanya saja dewasa ini penggunaan istilah “Hukum Kontrak”

memiliki konotasi sebagai berikut:

a. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang

perjanjian-perjanjian tertulis semata. Sehingga orang sering menanyakan

“mana kontraknya” yang berarti bahwa yang dimaksud disini adalah

kontrak yang tertulis;

b. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang

perjanjian-perjanjian dalam dunia bisnis semata;

c. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur

tentang perjanjian-perjanjian besar seperti perjanjian internasional,

multinasional atau perjanjian dengan perusahaan-perusahaan

multinasional;

d. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur

tentang perjanjian-perjanjian yang prestasinya dilakukan oleh kedua belah

pihak. Sehingga akan sangat janggal jika digunakan istilah kontrak untuk

“Kontrak Hibah”, “Kontrak Warisan” dan sebagainya.

ANATOMI KONTRAK

Dalam penyusunan suatu kontrak hal yang harus diperhatikan adalah

syarat sahnya perjanjian (pasal 1320 B.W), unsur-unsur perjanjian (unsur

esensialia atau unsur pokok perjanjian, unsur aksidentalia seperti cara pembayaran,

tempat pembayaran,dll, dan unsur naturalia atau unsur yang selalu dianggap ada

dalam perjanjian) dan struktur atau anatomi kontrak. Pada dasarnya, susunan dan

anatomi kontrak terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, isi, dan

penutup.

Hukum Perjanjian

Lecturer: Ratna Artha Windari Page 5

5. Bagian Pendahuluan

Bagian pendahuluan dibagi menjadi tiga subbagian, yakni:

a. Pembuka (description of the instrument), memuat tiga hal yaitu:

1. sebutan atau nama kontrak dan penyebutan selanjutnya (penyingkatan);

2. tanggal kontrak yang di buat dan ditandatangani;

3. tempat dibuat dan ditandatanganinya kontrak.

b. Pencantuman identitas para pihak (caption), memuat tiga hal yaitu:

1. para pihak harus disebutkan secara jelas;

2. orang yang menandatangani harus disebutkan kapasitasnya sebagai apa;

3. pendefinisian pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak

c. Penjelasan, yang berisi penjelasan mengenai alasan para pihak membuat

kontrak (bagian premis).

6. Bagian Isi

Ada empat hal yang tercantum dalam bagian isi:

a. Klausula (Pasal) definisi (definition)

Dicantumkannya berbagai definisi untuk keperluan kontrak. Hal ini

penting untuk mengefisienkan klausula-klausula selanjutnya yang

membutuhkan penjelasan suatu istilah dalam kontrak tersebut.

b. Klausula (Pasal) transaksi (operative language)

Merupakan klausula-klausula yang berisi tentang transaksi yang akan

dilakukan, seperti obyek perjanjian dan cara pembayaran.

c. Klausula (Pasal) spesifik

Mengatur hal-hal yang spesifik dalam suatu transaksi.

d. Klausula (Pasal) ketentuan umum

Mengatur tentang domisili hukum, penyelesaian sengketa, pilihan hukum,

pemberitahuan, dan lain-lain.

7. Bagian Penutup

Terdapat dua hal yang tercantum pada bagian penutup, yakni:

a. Subbagian kata penutup (closing), kata penutup biasanya menerangkan

bahwa perjanjian tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang

Hukum Perjanjian

Lecturer: Ratna Artha Windari Page 6

memiliki kapasitas untuk itu. Atau para pihak menyatakan ulang bahwa

mereka akan terikat dengan isi kontrak.

b. Subbagian ruang penempatan tanda tangan adalah tempat pihak-pihak

menandatangani perjanjian dengan menyebutkan nama pihak yang terlibat

dalam kontrak, nama jelas orang yang menandatangani dan jabatan dari

orang tersebut.

BERBAGAI PERJANJIAN DI LUAR KUH PERDATA (B.W)

Sesuai dengan SEMA No.3 Tahun 1993, menyatakan bahwa BW sudah

tidak berlaku lagi sebagai hukum positif Indonesia. Hal ini dikarenakan sudah

semakin banyak muncul bentuk-bentuk perjanjian baru di Indonesia seiring

perkembangan era globalisasi di berbagai bidang. Perjanjian baru yang dimaksud

disini adalah perjanjian yang pengaturannya tidak terdapat di dalam BW. Adapun

beberapa bentuk perjanjian yang tidak diatur dalam BW antara lain:

1. Perjanjian Waralaba/ Franchise

Dalam PP No.16 Tahun 1997 tentang Waralaba, disebutkan bahwa

waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk

memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau

penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan

berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka

penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.

Dari pengertian tersebut, perjanjian waralaba (Franchise) mengandung

elemen-elemen pokok sebagai berikut:

a. Franchisor, yaitu pihak pemilik/produsen dari barang atau jasa yang telah

memiliki merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak

eksklusif tertentu untuk pemasaran dari barang atau jasa itu;

b. Franchisee, yaitu pihak yang menerima hak eksklusif dari franchisor;

c. Adanya penyerahan hak-hak secara eksklusif berupa hak memakai dan

menjual sistem, produk, dan pelayanan yang canggih;

Hukum Perjanjian

Lecturer: Ratna Artha Windari Page 7

d. Adanya penetapan wilayah tertentu, franchise area dimana franchisee

diberikan hak untuk beroperasi di wilayah tertentu (daerah pemasaran

yang eksklusif);

e. Adanya imbal prestasi dari franchisee kepada franchisor yang berupa

Initial Fee dan Royalti serta biaya-biaya lain yang disepakati oleh kedua

belah pihak (Franchise Fee);

f. Adanya standar mutu yang ditetapkan oleh franchisor bagi franchisee,

serta supervisi secara berkala dalam rangka mempertahankan mutu

(Quality Control oleh Franchisor).

g. Adanya pelatihan awal, pelatihan yang berkesinambungan, yang

diselenggarakan oleh franchisor guna peningkatan ketrampilan, dan

adanya pengelolaan iklan oleh franchisor.

Pelaksanaan perjanjian Waralaba memiliki keuntungan dan kerugian

sebagai berikut:

a) Keuntungan:

Merek yang terkenal

Standar kualitas serta keseragaman dari produk dan service

Resep khusus dalam pemasaran, dan pencatatan

Adanya saran pemilihan lokasi, desain outlet, pemasaran, dan

permodalan

Kerangka bisnis yg jelas

Metode dan prosedur operasi untuk membuat dan menjual produk

Sudah dikenal di masyarakat

Menerima informasi yang berguna seperti kompetisi, kebutuhan

produk, kebiasaan masyarakat

Sumber pengadaan barang dan jasa

Pelatihan dari orang yang sudah profesional

Bantuan keuangan.

b) Kerugian:

Penekanan kontrol

Adanya franchise fee

Hukum Perjanjian

Lecturer: Ratna Artha Windari Page 8

Sukar menilai kualitas dari franchisor

Kontrak yang membatasi

Tingkat ketergantungan pada franchisor sangat tinggi

Harus tunduk pada kebijakan-kebijakan franchisor

Reputasi dan citra merek bisa mengalami penurunan.

Beberapa hal yang sebaiknya dicantumkan dalam klausul (pasal-pasal)

dalam kontrak waralaba, yakni:

a. Objek (bidang usaha) waralaba;

b. Perlindungan hak atas kekayaan intelektual yang menjadi objek waralaba;

c. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi penerima waralaba;

d. Hak dan kewajiban pemberi dan penerima waralaba;

e. Pengakhiran, pembatalan, dan perpanjangan perjanjian waralaba;

f. Klausul persyaratan local content (pengutamaan penggunaan barang atau

bahan produk dalam negeri);

g. Standar mutu produk

h. Pembinaan atau bimbingan dan pelatihan oleh pemberi kepada penerima

waralaba;

i. Tempat usaha dan wilayah usaha waralaba.

2. Perjanjian Lisensi

Di Indonesia, perjanjian ini lahir sebagai konsekuensi dari masuknya

penanaman modal asing yang awalnya diatur dalam UU No.1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing (PMA) dan saat ini telah diganti dengan UU No.25

Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Yang perlu diperhatikan dalam perjanjian lisensi dan klausul-klausul di

dalamnya adalah sebagai berikut:

a. Licensor, yaitu pemilik atas hak milik intelektual yang memberikan izin

atas penggunaan hak tersebut (pemberi lisensi).

b. Licensee, yaitu orang yang diberikan izin untuk menggunakan hak milik

intelektual tersebut (pemegang/pengguna lisensi).

Hukum Perjanjian

Lecturer: Ratna Artha Windari Page 9

c. Jangka waktu, mencantumkannya jangka waktu yang dibolehkan dalam

penggunaan suatu produk oleh si pemberi lisensi kepada pengguna lisensi.

Biasanya jangka waktunya cukup lama.

d. Klausul Kerahasiaan (Secrecy Clause), memuat kewajiban/larangan bagi

pengguna lisensi untuk membuka rahasia produk.

e. Klausula Quality Control, jaminan bahwa pengguna lisensi memelihara

atau menjaga kualitas yang disyaratkan oleh pemberi lisensi guna

menjamin kualitas produk yang ditawarkan.

f. Pembayaran Royalti, kewajiban pengguna lisensi untuk membayar

sejumlah uang (royalti) tertentu sebagai imbalan diperolehnya lisensi.

g. Klausul Pengakhiran Kontrak, memuat ketentuan pengakhiran kontrak

sebelum waktunya. Contoh: adanya force majeure atau keadaan memaksa.

3. PerjanjianDistribusi

Perjanjian Distribusi adalah hubungan antara distributor dengan prinsipal

(pihak yang berwenang menunjuk dan memberi kuasa kepada distributor), dimana

perjanjian tersebut bersifat komersial. Dalam hal ini, distributor bertanggung

jawab dalam:

a. penjualan produk di perusahaan lain dalam teritori tertentu;

b. Mengambil laba atau keuntungan pada penjualan kembali terhadap pihak

ketiga;

c. Menanggung resiko dari produk bersangkutan; dan

d. Menjual produk pada pihak ketiga.

Adapun karakteristik dari perjanjian distribusi adalah sebagai berikut:

a. Distributor bertanggung jawab langsung kepada pembeli kecuali jika ada

garansi produk (product warranty).

b. Distributor beroperasi dalam teritori tertentu.

c. Jangka waktu hubungan ini relatif singkat.

d. Alas haknya berpindah dari prinsipal kepada distributor dan selanjutnya

kepada pembeli

e. Terkadang merek dan logo diisi oleh distributor, sedangkan prinsipal

hanya menyediakan produk.

Hukum Perjanjian

Lecturer: Ratna Artha Windari Page 10

f. Kedudukan distributor adalah independen dari prinsipal, sehingga risiko,

untung atau rugi ditanggung sendiri oleh distributor.

4. Perjanjian Agensi

Lahirnya lembaga keagenan di Indonesia berawal dari UU no.6 Tahun

1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan selanjutnya keluar PP No.36

Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang

Perdagangan yang dalam pasal 7 menyebutkan mengenai penunjukan oleh

perusahaan asing kepada perusahaan nasional sebagai perwakilan, pembagi, dan

penyalur (agen, distributor, dan dealer).

Agen berbeda dengan distributor, dimana dalam kontrak agensi

peranannya hanya sebagai penengah atau perwakilan yang memiliki sifat terikat

dengan prinsipal. Agen bertindak untuk dan atas nama prinsipal, tidak dapat

menjual dan menandatangani perjanjian jual beli dengan pihak ketiga secara

mandiri. Agen hanya mendapat komisi atas persentase penjualan produk. Karen

sifatnya yang tidak independen ini, maka agen tidak bertanggung jawab secara

hukum langsung kepada pembeli. Pada umumnya teritori keagenannya dibatasi,

dan jangka waktu perjanjiannya relatif singkat. Alas hak kepemilikan produk

langsung dari prinsipal kepada pembeli.

5. Perjanjian Pembiayaan

Perjanjian pembiayaan di Indonesia muncul karena adanya Keppres No.61

Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan yang kemudian ditindaklanjuti dalam

Keputusan Menteri Keuangan RI No.448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan

Pembiayaan. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa lembaga pembiayaan (yang

memunculkan suatu perjanjian pembiayaan) yang dijalankan oleh perusahaan

pembiayaan adalah:

a. Sewa Guna Usaha.

Bentuk dasar dari kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah sewa

menyewa. Selanjutnya berkembang menjadi bentuk sewa menyewa khusus.

Menurut Kepmenkeu No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa

Guna Usaha (leasing), leasing adalah suatu kegiatan pembiayaan dalam

Hukum Perjanjian

Lecturer: Ratna Artha Windari Page 11

bentuk penyediaan barang modal oleh lessor (pihak pemberi pembiayaan)

baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (hak pilih untuk membeli

atau tidak membeli barang modal) maupun sewa guna usaha tanpa hak

opsi, untuk dipergunakan oleh lessee (pihak yang membutuhkan barang

modal) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara

berkala.

Terdapat dua model pembuatan kontrak leasing:

Model Kontrak Menyatu, biasanya untuk jumlah uang relatif kecil.

Terdiri dari tiga dokumen yakni (1) Dokumen permintaan dan

penawaran yang bersifat pendahuluan, (2) Dokumen pokok yang isinya

tentang leasing yang diperjanjikan dan juga jaminan utangnya, (3)

Dokumen tambahan yang isinya tentang jadwal pembayaran, tanda

bukti penerimaan, order pembelian, sertifikat penyerahan dan

penerimaan, surat konfirmasi, polis asuransi, dan lain-lain.

Model Kontrak Mandiri, digunakan untuk transaksi leasing dalam

jumlah uang relatif besar.

Putusnya perjanjian leasing:

1. karena Konsensus atau kesepakatan para pihak untuk mengakhiri

perjanjian tersebut;

2. karena Wanprestasi, yang terdiri atas wanprestasi akibat tidak

dipenuhinya suatu prestasi dalam perjanjian (wanprestasi yang

didiamkan); wanprestasi akibat tidak dipenuhinya satu atau lebih

klausula dalam perjanjian (wanprestasi pemutus kontrak); dan

wanprestasi karena barangnya cacat.

b. Anjak Piutang.

Menurut Kepmenkeu No.448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan

Pembiayaan, kegiatan anjak piutang (factoring) terdiri atas:

1. Pembelian atau pengalihan piutang jangka pendek yang terbit dari

transaksi perdagangan dalam maupun luar negeri.

2. Penatausahaan penjualan “kredit” serta penagihan piutang perusahaan

klien.

Hukum Perjanjian

Lecturer: Ratna Artha Windari Page 12

Isi dari perjanjian anjak piutang (factoring) adalah:

Definisi istilah

Penawaran, merupakan penawaran piutang nantinya oleh klien kepada

customer

Penyerahan dokumen

Penerimaan penawaran oleh perusahaan factor

Harga pembelian

Pembayaran dan beban biaya

Pembayaran awal

Reserve

Proses jika piutang disetujui untuk dibeli

Risiko, jaminan dan pembayaran kembali

Pengembalian uang jika barang-barang ditolak atau dikembalikan

Masalah pajak

Pembayaran customer

Bunga

Jaminan

Kerugian/kerusakan barang

Pilihan hukum dan pengadilan

Perubahan perjanjian, dll.

c. Usaha Kartu Kredit.

Usaha kartu kredit adalah penerbitan kartu kredit oleh pihak penerbit

(issuer) untuk diberikan kepada pihak lain (pemegang kartu kredit),

dimana nantinya issuer tersebut berkewajiban untuk melunasi harga barang

atau jasa yang ditagih oleh pihak penjual barang atau jasa dan selanjutnya

issuer berhak menagih kembali pelunasan harga barang atau jasa tersebut

kepada pemegang kartu kredit.

Perjanjian penggunaan kartu kredit merupakan perjanjian yang terjadi

antara para pihak yang terikat, yakni penerbit (issuer), pemegang kartu

kredit, dan penjual barang/jasa. Sedangkan perjanjian penerbitan kartu

kredit merupakan perjanjian antara pihak pemegang kartu kredit dengan

pihak penerbitnya

Hukum Perjanjian

Lecturer: Ratna Artha Windari Page 13

d. Pembiayaan Konsumen.

Pembiayaan konsumen menurut Kepmenkeu No.448/KMK.017/2000

adalah kegiatan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk

pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau

berkala oleh konsumen.

Dalam pembiayaan konsumen ada tiga pihak yang terlibat di dalamnya dan

memiliki hubungan hukum, yakni:

1. Pihak perusahaan konsumen (penyedia dana) dengan konsumen

memiliki hubungan berupa perjanjian pembiayaan.

2. Pihak konsumen dengan supplier (pemilik barang) memiliki

hubungan berupa perjanjian jual beli.

3. Pihak supplier (pemilik barang) dengan perusahaan konsumen

(penyedia dana) memiliki hubungan berupa perjanjian untuk

menyediakan dana yang akan digunakan dalam perjanjian jual beli

antara pihak supplier dengan konsumen.

6. Perjanjian Usaha Patungan/ Joint Venture

Perjanjian Joint Venture adalah suatu upaya dari kegiatan komersial oleh

dua orang atau lebih melalui suatu lembaga atau organisasi yang dibentuk untuk

melaksanakan tujuan bersama.Adapun bentuk dari perjanjian joint venture ini

adalah:

a. Contractual joint venture contract, bentuk perjanjian yang mengatur kerja

sama para pihak dalam bentuk kesepakatan kerja sama melalui suatu

kontrak.

b. Incorporated joint venture contract, bentuk perjanjian para pihak dalam

membentuk suatu perusahaan berbadan hukum bersama (patungan).

Hukum yang berlaku dalam perjanjian ini adalah tunduk pada hukum para

pihak dan hukum nasional setempat. Hukum para pihak adalah kebebasan yang

dituangkan ke dalam kesepakatan para pihak. Peran hukum nasional lebih banyak

mencakup persyaratan hukum pendirian perusahaan, yakni dalam UU No.40

Hukum Perjanjian

Lecturer: Ratna Artha Windari Page 14

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan juga peraturan yang berkaitan

dengan penanaman modal.

Klausul-klausul yang secara umum terdapat dalam perjanjian joint venture

adalah sebagai berikut:

a. Klausul mengenai objek usaha patungan;

b. Klausul jangka waktu usaha patungan;

c. Klausul pembiayaan usaha patungan;

d. Klausul pengakhiran usaha patungan;

e. Klausul kontrol terhadap perusahaan;

f. Klausul pembagian keuntungan;

g. Klausul alokasi risiko;

h. Klausul pengurusan kegiatan perusahaan sehari-hari;

i. Klausul penghentian dan penggantian para pihak dalam perusahaan.

j. Klausul pilihan hukum; dan

k. Klausul penyelesaian sengketa.