handout hukum perjanjian
TRANSCRIPT
Hukum Perjanjian
Lecturer: Ratna Artha Windari Page 1
PENGANTAR:
Hukum Perjanjian dapat kita jumpai pengaturannya dalam Buku III B.W
(KUH Perdata) tentang Perikatan. Namun sebelum mempelajari lebih lanjut
terkait aturan hukum perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata, perlu kiranya
dilakukan klarifikasi terhadap beberapa peristilahan yang seringkali kita dengar
terkait hukum perjanjian seperti “Hukum Perikatan”, “Hukum Perhutangan”,
“Hukum Perjanjian”, dan “Hukum Kontrak”, sehingga tidak terjadi kebingungan
dalam penggunaan istilah-istilah tersebut.
1. Istilah Hukum Perikatan
Hukum perikatan merupakan istilah yang paling luas cakupannya. Dalam
bahasa Belanda, perikatan dikenal dengan istilah “verbintenis”. Verbintenis
berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat. Jadi dalam hal ini
istilah verbintenis menunjuk kepada adanya ”ikatan” atau ”hubungan”.
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah
suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih
dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu.
Adapun pengertian daripada perikatan menurut para sarjana antara lain :
1. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang
bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak
yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas
suatu prestasi;
2. Pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum
antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu
seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur)
mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap
pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Hukum Perjanjian
Lecturer: Ratna Artha Windari Page 2
Sumber pokok dari perikatan sebagaimana tercantum dalam Buku III KUH
Perdata yaitu :
1. Perjanjian atau Persetujuan,
2. Undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi
menjadi :
a. Undang-Undang karena suatu perbuatan manusia,
sumber dari undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi
menjadi perbuatan yang melawan hukum atau yang tidak
diperbolehkan hukum dan perbuatan yang menurut hukum atau
perbuatan yg diperbolehkan hukum. Pasal pertama dari Buku III
undang-undang menyebutkan tentang terjadinya perikatan-
perikatan dan mengemukakan bahwa perikatan-perikatan timbul
dari persetujuan atau undang-undang. Dan juga Pasal 1233 yang
berbunyi: ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang”.
b. Undang-Undang saja.
Perikatan yang berasal dari undang-undang saja dapat dibagi
menjadi undang-undang saja dan undang-undang karena
perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH
Perdata : ”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul
dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-
undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge
van’s mensen toedoen). Perikatan yang timbul dari undang-
undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III,
yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai
kewajiban alimentasi (tanggung jawab) antara orang tua dan
anak, sedangkan yang timbul dari undang-undang karena
perbuatan manusia antara lain Psl.1353 KUH Perdata, Perbuatan
yang menurut hukum (Psl. 1354 dan Psl. 1359 KUH Perdata),
Perbuatan yang melawan hukum (Psl. 1365 KUH Perdata)
Hukum Perjanjian
Lecturer: Ratna Artha Windari Page 3
3. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas
terdapat pula sumber-sumber lain yaitu :
Kesusilaan dan kepatutan yang menimbulkan perikatan wajar
(obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan
hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid).
2. Istilah Hukum Perhutangan
Istilah “Hukum Perhutangan” sebenarnya dimaksudkan sebagai padanan
atau bahkan istilah lain dari “Hukum Perikatan”. Akan tetapi karena istilah
hukum perhutangan ini berasal dari kata “utang” maka bagaimanapun juga
pemakaian istilah ini akan berkonotasi semata-mata bahwa hubungan hukum
yang ada di dalamnya merupakan ikatan yang berhubungan dengan
pembayaran utang dalam bentuk uang. Ini berarti ruang lingkupnya begitu
sempit, karena tidak selalu dalam suatu perikatan hanya terjadi hubungan
hukum berupa pembayaran sejumlah uang.
3. Istilah Hukum Perjanjian
Istilah “Perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari
istilah “Overeenkomst” dalam bahasa Belanda, atau “Agreement” dalam
bahasa Inggris. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.
Pada prinsipnya istilah “Hukum Perjanjian” mempunyai cakupan yang
lebih sempit dari istilah “Hukum Perikatan”. Istilah hukum perikatan
mencakup semua bentuk perikatan dalam buku III KUH Perdata baik ikatan
hukum yang berasal dari perjanjian maupun ikatan hukum yang terbit dari
undang-undang. Sedangkan istilah hukum perjanjian hanya dimaksudkan
sebagai pengaturan tentang ikatan hukum yang terbit dari perjanjian saja. Di
dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu
kepada pihak lainnya, sehingga dalam suatu perjanjian seseorang akan terikat
kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
Hukum Perjanjian
Lecturer: Ratna Artha Windari Page 4
4. Istilah Hukum Kontrak
Istilah kontrak dalam “Hukum Kontrak” merupakan kesepadanan dari
istilah “Contract” dalam bahasa Inggris. Istilah kontrak dalam bahasa
Indonesia sebenarnya sudah lama ada, dan bukan merupakan istilah yang
asing lagi. Misalnya dalam hukum kita sudah lama dikenal istilah “Kebebasan
Berkontrak”, bukan “Kebebasan Berperjanjian”, “Berperhutangan”, atau
“Berperikatan”. Hanya saja dewasa ini penggunaan istilah “Hukum Kontrak”
memiliki konotasi sebagai berikut:
a. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang
perjanjian-perjanjian tertulis semata. Sehingga orang sering menanyakan
“mana kontraknya” yang berarti bahwa yang dimaksud disini adalah
kontrak yang tertulis;
b. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang
perjanjian-perjanjian dalam dunia bisnis semata;
c. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur
tentang perjanjian-perjanjian besar seperti perjanjian internasional,
multinasional atau perjanjian dengan perusahaan-perusahaan
multinasional;
d. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur
tentang perjanjian-perjanjian yang prestasinya dilakukan oleh kedua belah
pihak. Sehingga akan sangat janggal jika digunakan istilah kontrak untuk
“Kontrak Hibah”, “Kontrak Warisan” dan sebagainya.
ANATOMI KONTRAK
Dalam penyusunan suatu kontrak hal yang harus diperhatikan adalah
syarat sahnya perjanjian (pasal 1320 B.W), unsur-unsur perjanjian (unsur
esensialia atau unsur pokok perjanjian, unsur aksidentalia seperti cara pembayaran,
tempat pembayaran,dll, dan unsur naturalia atau unsur yang selalu dianggap ada
dalam perjanjian) dan struktur atau anatomi kontrak. Pada dasarnya, susunan dan
anatomi kontrak terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, isi, dan
penutup.
Hukum Perjanjian
Lecturer: Ratna Artha Windari Page 5
5. Bagian Pendahuluan
Bagian pendahuluan dibagi menjadi tiga subbagian, yakni:
a. Pembuka (description of the instrument), memuat tiga hal yaitu:
1. sebutan atau nama kontrak dan penyebutan selanjutnya (penyingkatan);
2. tanggal kontrak yang di buat dan ditandatangani;
3. tempat dibuat dan ditandatanganinya kontrak.
b. Pencantuman identitas para pihak (caption), memuat tiga hal yaitu:
1. para pihak harus disebutkan secara jelas;
2. orang yang menandatangani harus disebutkan kapasitasnya sebagai apa;
3. pendefinisian pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak
c. Penjelasan, yang berisi penjelasan mengenai alasan para pihak membuat
kontrak (bagian premis).
6. Bagian Isi
Ada empat hal yang tercantum dalam bagian isi:
a. Klausula (Pasal) definisi (definition)
Dicantumkannya berbagai definisi untuk keperluan kontrak. Hal ini
penting untuk mengefisienkan klausula-klausula selanjutnya yang
membutuhkan penjelasan suatu istilah dalam kontrak tersebut.
b. Klausula (Pasal) transaksi (operative language)
Merupakan klausula-klausula yang berisi tentang transaksi yang akan
dilakukan, seperti obyek perjanjian dan cara pembayaran.
c. Klausula (Pasal) spesifik
Mengatur hal-hal yang spesifik dalam suatu transaksi.
d. Klausula (Pasal) ketentuan umum
Mengatur tentang domisili hukum, penyelesaian sengketa, pilihan hukum,
pemberitahuan, dan lain-lain.
7. Bagian Penutup
Terdapat dua hal yang tercantum pada bagian penutup, yakni:
a. Subbagian kata penutup (closing), kata penutup biasanya menerangkan
bahwa perjanjian tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang
Hukum Perjanjian
Lecturer: Ratna Artha Windari Page 6
memiliki kapasitas untuk itu. Atau para pihak menyatakan ulang bahwa
mereka akan terikat dengan isi kontrak.
b. Subbagian ruang penempatan tanda tangan adalah tempat pihak-pihak
menandatangani perjanjian dengan menyebutkan nama pihak yang terlibat
dalam kontrak, nama jelas orang yang menandatangani dan jabatan dari
orang tersebut.
BERBAGAI PERJANJIAN DI LUAR KUH PERDATA (B.W)
Sesuai dengan SEMA No.3 Tahun 1993, menyatakan bahwa BW sudah
tidak berlaku lagi sebagai hukum positif Indonesia. Hal ini dikarenakan sudah
semakin banyak muncul bentuk-bentuk perjanjian baru di Indonesia seiring
perkembangan era globalisasi di berbagai bidang. Perjanjian baru yang dimaksud
disini adalah perjanjian yang pengaturannya tidak terdapat di dalam BW. Adapun
beberapa bentuk perjanjian yang tidak diatur dalam BW antara lain:
1. Perjanjian Waralaba/ Franchise
Dalam PP No.16 Tahun 1997 tentang Waralaba, disebutkan bahwa
waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau
penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan
berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka
penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.
Dari pengertian tersebut, perjanjian waralaba (Franchise) mengandung
elemen-elemen pokok sebagai berikut:
a. Franchisor, yaitu pihak pemilik/produsen dari barang atau jasa yang telah
memiliki merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak
eksklusif tertentu untuk pemasaran dari barang atau jasa itu;
b. Franchisee, yaitu pihak yang menerima hak eksklusif dari franchisor;
c. Adanya penyerahan hak-hak secara eksklusif berupa hak memakai dan
menjual sistem, produk, dan pelayanan yang canggih;
Hukum Perjanjian
Lecturer: Ratna Artha Windari Page 7
d. Adanya penetapan wilayah tertentu, franchise area dimana franchisee
diberikan hak untuk beroperasi di wilayah tertentu (daerah pemasaran
yang eksklusif);
e. Adanya imbal prestasi dari franchisee kepada franchisor yang berupa
Initial Fee dan Royalti serta biaya-biaya lain yang disepakati oleh kedua
belah pihak (Franchise Fee);
f. Adanya standar mutu yang ditetapkan oleh franchisor bagi franchisee,
serta supervisi secara berkala dalam rangka mempertahankan mutu
(Quality Control oleh Franchisor).
g. Adanya pelatihan awal, pelatihan yang berkesinambungan, yang
diselenggarakan oleh franchisor guna peningkatan ketrampilan, dan
adanya pengelolaan iklan oleh franchisor.
Pelaksanaan perjanjian Waralaba memiliki keuntungan dan kerugian
sebagai berikut:
a) Keuntungan:
Merek yang terkenal
Standar kualitas serta keseragaman dari produk dan service
Resep khusus dalam pemasaran, dan pencatatan
Adanya saran pemilihan lokasi, desain outlet, pemasaran, dan
permodalan
Kerangka bisnis yg jelas
Metode dan prosedur operasi untuk membuat dan menjual produk
Sudah dikenal di masyarakat
Menerima informasi yang berguna seperti kompetisi, kebutuhan
produk, kebiasaan masyarakat
Sumber pengadaan barang dan jasa
Pelatihan dari orang yang sudah profesional
Bantuan keuangan.
b) Kerugian:
Penekanan kontrol
Adanya franchise fee
Hukum Perjanjian
Lecturer: Ratna Artha Windari Page 8
Sukar menilai kualitas dari franchisor
Kontrak yang membatasi
Tingkat ketergantungan pada franchisor sangat tinggi
Harus tunduk pada kebijakan-kebijakan franchisor
Reputasi dan citra merek bisa mengalami penurunan.
Beberapa hal yang sebaiknya dicantumkan dalam klausul (pasal-pasal)
dalam kontrak waralaba, yakni:
a. Objek (bidang usaha) waralaba;
b. Perlindungan hak atas kekayaan intelektual yang menjadi objek waralaba;
c. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi penerima waralaba;
d. Hak dan kewajiban pemberi dan penerima waralaba;
e. Pengakhiran, pembatalan, dan perpanjangan perjanjian waralaba;
f. Klausul persyaratan local content (pengutamaan penggunaan barang atau
bahan produk dalam negeri);
g. Standar mutu produk
h. Pembinaan atau bimbingan dan pelatihan oleh pemberi kepada penerima
waralaba;
i. Tempat usaha dan wilayah usaha waralaba.
2. Perjanjian Lisensi
Di Indonesia, perjanjian ini lahir sebagai konsekuensi dari masuknya
penanaman modal asing yang awalnya diatur dalam UU No.1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA) dan saat ini telah diganti dengan UU No.25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Yang perlu diperhatikan dalam perjanjian lisensi dan klausul-klausul di
dalamnya adalah sebagai berikut:
a. Licensor, yaitu pemilik atas hak milik intelektual yang memberikan izin
atas penggunaan hak tersebut (pemberi lisensi).
b. Licensee, yaitu orang yang diberikan izin untuk menggunakan hak milik
intelektual tersebut (pemegang/pengguna lisensi).
Hukum Perjanjian
Lecturer: Ratna Artha Windari Page 9
c. Jangka waktu, mencantumkannya jangka waktu yang dibolehkan dalam
penggunaan suatu produk oleh si pemberi lisensi kepada pengguna lisensi.
Biasanya jangka waktunya cukup lama.
d. Klausul Kerahasiaan (Secrecy Clause), memuat kewajiban/larangan bagi
pengguna lisensi untuk membuka rahasia produk.
e. Klausula Quality Control, jaminan bahwa pengguna lisensi memelihara
atau menjaga kualitas yang disyaratkan oleh pemberi lisensi guna
menjamin kualitas produk yang ditawarkan.
f. Pembayaran Royalti, kewajiban pengguna lisensi untuk membayar
sejumlah uang (royalti) tertentu sebagai imbalan diperolehnya lisensi.
g. Klausul Pengakhiran Kontrak, memuat ketentuan pengakhiran kontrak
sebelum waktunya. Contoh: adanya force majeure atau keadaan memaksa.
3. PerjanjianDistribusi
Perjanjian Distribusi adalah hubungan antara distributor dengan prinsipal
(pihak yang berwenang menunjuk dan memberi kuasa kepada distributor), dimana
perjanjian tersebut bersifat komersial. Dalam hal ini, distributor bertanggung
jawab dalam:
a. penjualan produk di perusahaan lain dalam teritori tertentu;
b. Mengambil laba atau keuntungan pada penjualan kembali terhadap pihak
ketiga;
c. Menanggung resiko dari produk bersangkutan; dan
d. Menjual produk pada pihak ketiga.
Adapun karakteristik dari perjanjian distribusi adalah sebagai berikut:
a. Distributor bertanggung jawab langsung kepada pembeli kecuali jika ada
garansi produk (product warranty).
b. Distributor beroperasi dalam teritori tertentu.
c. Jangka waktu hubungan ini relatif singkat.
d. Alas haknya berpindah dari prinsipal kepada distributor dan selanjutnya
kepada pembeli
e. Terkadang merek dan logo diisi oleh distributor, sedangkan prinsipal
hanya menyediakan produk.
Hukum Perjanjian
Lecturer: Ratna Artha Windari Page 10
f. Kedudukan distributor adalah independen dari prinsipal, sehingga risiko,
untung atau rugi ditanggung sendiri oleh distributor.
4. Perjanjian Agensi
Lahirnya lembaga keagenan di Indonesia berawal dari UU no.6 Tahun
1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan selanjutnya keluar PP No.36
Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang
Perdagangan yang dalam pasal 7 menyebutkan mengenai penunjukan oleh
perusahaan asing kepada perusahaan nasional sebagai perwakilan, pembagi, dan
penyalur (agen, distributor, dan dealer).
Agen berbeda dengan distributor, dimana dalam kontrak agensi
peranannya hanya sebagai penengah atau perwakilan yang memiliki sifat terikat
dengan prinsipal. Agen bertindak untuk dan atas nama prinsipal, tidak dapat
menjual dan menandatangani perjanjian jual beli dengan pihak ketiga secara
mandiri. Agen hanya mendapat komisi atas persentase penjualan produk. Karen
sifatnya yang tidak independen ini, maka agen tidak bertanggung jawab secara
hukum langsung kepada pembeli. Pada umumnya teritori keagenannya dibatasi,
dan jangka waktu perjanjiannya relatif singkat. Alas hak kepemilikan produk
langsung dari prinsipal kepada pembeli.
5. Perjanjian Pembiayaan
Perjanjian pembiayaan di Indonesia muncul karena adanya Keppres No.61
Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan yang kemudian ditindaklanjuti dalam
Keputusan Menteri Keuangan RI No.448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan
Pembiayaan. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa lembaga pembiayaan (yang
memunculkan suatu perjanjian pembiayaan) yang dijalankan oleh perusahaan
pembiayaan adalah:
a. Sewa Guna Usaha.
Bentuk dasar dari kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah sewa
menyewa. Selanjutnya berkembang menjadi bentuk sewa menyewa khusus.
Menurut Kepmenkeu No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa
Guna Usaha (leasing), leasing adalah suatu kegiatan pembiayaan dalam
Hukum Perjanjian
Lecturer: Ratna Artha Windari Page 11
bentuk penyediaan barang modal oleh lessor (pihak pemberi pembiayaan)
baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (hak pilih untuk membeli
atau tidak membeli barang modal) maupun sewa guna usaha tanpa hak
opsi, untuk dipergunakan oleh lessee (pihak yang membutuhkan barang
modal) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
berkala.
Terdapat dua model pembuatan kontrak leasing:
Model Kontrak Menyatu, biasanya untuk jumlah uang relatif kecil.
Terdiri dari tiga dokumen yakni (1) Dokumen permintaan dan
penawaran yang bersifat pendahuluan, (2) Dokumen pokok yang isinya
tentang leasing yang diperjanjikan dan juga jaminan utangnya, (3)
Dokumen tambahan yang isinya tentang jadwal pembayaran, tanda
bukti penerimaan, order pembelian, sertifikat penyerahan dan
penerimaan, surat konfirmasi, polis asuransi, dan lain-lain.
Model Kontrak Mandiri, digunakan untuk transaksi leasing dalam
jumlah uang relatif besar.
Putusnya perjanjian leasing:
1. karena Konsensus atau kesepakatan para pihak untuk mengakhiri
perjanjian tersebut;
2. karena Wanprestasi, yang terdiri atas wanprestasi akibat tidak
dipenuhinya suatu prestasi dalam perjanjian (wanprestasi yang
didiamkan); wanprestasi akibat tidak dipenuhinya satu atau lebih
klausula dalam perjanjian (wanprestasi pemutus kontrak); dan
wanprestasi karena barangnya cacat.
b. Anjak Piutang.
Menurut Kepmenkeu No.448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan
Pembiayaan, kegiatan anjak piutang (factoring) terdiri atas:
1. Pembelian atau pengalihan piutang jangka pendek yang terbit dari
transaksi perdagangan dalam maupun luar negeri.
2. Penatausahaan penjualan “kredit” serta penagihan piutang perusahaan
klien.
Hukum Perjanjian
Lecturer: Ratna Artha Windari Page 12
Isi dari perjanjian anjak piutang (factoring) adalah:
Definisi istilah
Penawaran, merupakan penawaran piutang nantinya oleh klien kepada
customer
Penyerahan dokumen
Penerimaan penawaran oleh perusahaan factor
Harga pembelian
Pembayaran dan beban biaya
Pembayaran awal
Reserve
Proses jika piutang disetujui untuk dibeli
Risiko, jaminan dan pembayaran kembali
Pengembalian uang jika barang-barang ditolak atau dikembalikan
Masalah pajak
Pembayaran customer
Bunga
Jaminan
Kerugian/kerusakan barang
Pilihan hukum dan pengadilan
Perubahan perjanjian, dll.
c. Usaha Kartu Kredit.
Usaha kartu kredit adalah penerbitan kartu kredit oleh pihak penerbit
(issuer) untuk diberikan kepada pihak lain (pemegang kartu kredit),
dimana nantinya issuer tersebut berkewajiban untuk melunasi harga barang
atau jasa yang ditagih oleh pihak penjual barang atau jasa dan selanjutnya
issuer berhak menagih kembali pelunasan harga barang atau jasa tersebut
kepada pemegang kartu kredit.
Perjanjian penggunaan kartu kredit merupakan perjanjian yang terjadi
antara para pihak yang terikat, yakni penerbit (issuer), pemegang kartu
kredit, dan penjual barang/jasa. Sedangkan perjanjian penerbitan kartu
kredit merupakan perjanjian antara pihak pemegang kartu kredit dengan
pihak penerbitnya
Hukum Perjanjian
Lecturer: Ratna Artha Windari Page 13
d. Pembiayaan Konsumen.
Pembiayaan konsumen menurut Kepmenkeu No.448/KMK.017/2000
adalah kegiatan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk
pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau
berkala oleh konsumen.
Dalam pembiayaan konsumen ada tiga pihak yang terlibat di dalamnya dan
memiliki hubungan hukum, yakni:
1. Pihak perusahaan konsumen (penyedia dana) dengan konsumen
memiliki hubungan berupa perjanjian pembiayaan.
2. Pihak konsumen dengan supplier (pemilik barang) memiliki
hubungan berupa perjanjian jual beli.
3. Pihak supplier (pemilik barang) dengan perusahaan konsumen
(penyedia dana) memiliki hubungan berupa perjanjian untuk
menyediakan dana yang akan digunakan dalam perjanjian jual beli
antara pihak supplier dengan konsumen.
6. Perjanjian Usaha Patungan/ Joint Venture
Perjanjian Joint Venture adalah suatu upaya dari kegiatan komersial oleh
dua orang atau lebih melalui suatu lembaga atau organisasi yang dibentuk untuk
melaksanakan tujuan bersama.Adapun bentuk dari perjanjian joint venture ini
adalah:
a. Contractual joint venture contract, bentuk perjanjian yang mengatur kerja
sama para pihak dalam bentuk kesepakatan kerja sama melalui suatu
kontrak.
b. Incorporated joint venture contract, bentuk perjanjian para pihak dalam
membentuk suatu perusahaan berbadan hukum bersama (patungan).
Hukum yang berlaku dalam perjanjian ini adalah tunduk pada hukum para
pihak dan hukum nasional setempat. Hukum para pihak adalah kebebasan yang
dituangkan ke dalam kesepakatan para pihak. Peran hukum nasional lebih banyak
mencakup persyaratan hukum pendirian perusahaan, yakni dalam UU No.40
Hukum Perjanjian
Lecturer: Ratna Artha Windari Page 14
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan juga peraturan yang berkaitan
dengan penanaman modal.
Klausul-klausul yang secara umum terdapat dalam perjanjian joint venture
adalah sebagai berikut:
a. Klausul mengenai objek usaha patungan;
b. Klausul jangka waktu usaha patungan;
c. Klausul pembiayaan usaha patungan;
d. Klausul pengakhiran usaha patungan;
e. Klausul kontrol terhadap perusahaan;
f. Klausul pembagian keuntungan;
g. Klausul alokasi risiko;
h. Klausul pengurusan kegiatan perusahaan sehari-hari;
i. Klausul penghentian dan penggantian para pihak dalam perusahaan.
j. Klausul pilihan hukum; dan
k. Klausul penyelesaian sengketa.