perpanjangan perjanjian pinjam pakai tanah

68
PERPANJANGAN PERJANJIAN PINJAM PAKAI TANAH KAWASAN HUTAN PRAPAT BENOA SEBAGAI WATER TREATMENT KAWASAN PARIWISATA NUSA DUA SURAT PERMOHONAN DIREKTUR PT BTDC NOMOR: 162/DIR/ITDC/XI/2015 SURAT TUGAS DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA NOMOR: 2577/UN14.1.11/HK.07/2015, DIUBAH DENGAN SURAT TUGAS DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA NOMOR: 172/UN14.1.11.I/HK.07/2016 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2016

Upload: khangminh22

Post on 10-Mar-2023

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERPANJANGAN PERJANJIAN PINJAM PAKAI TANAH KAWASAN HUTAN

PRAPAT BENOA SEBAGAI WATER TREATMENT KAWASAN PARIWISATA

NUSA DUA

SURAT PERMOHONAN DIREKTUR PT BTDC NOMOR: 162/DIR/ITDC/XI/2015

SURAT TUGAS DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA NOMOR:

2577/UN14.1.11/HK.07/2015, DIUBAH DENGAN SURAT TUGAS DEKAN FAKULTAS

HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA NOMOR: 172/UN14.1.11.I/HK.07/2016

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

2016

RINGKASAN EKSEKUTIF

PENDAPAT HUKUM

1. Sarana pengolahan limbah merupakan compounded-component dari suatu

kawasan pariwisata, merupakan komponen yang dipersyaratkan secara

mutlak oleh peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang

Kepariwisataan, serta kebijakan internasional, baik yang berkaitan langsung

dengan kepentingan pengembangan kawasan, seperti kepentingan

pembiayaan pengembangan kawasan, maupun kepentingan tidak langsung,

seperti reputasi atau citra kawasan pada pasar internasional. kemampuan

memenuhi persyaratan itu lebih lanjut berpengaruh terhadap keberlanjutan

keberadaan, peran, dan fungsi-fungsi ekonomi kawasan.

2. Status hukum Hutan Prapat Benoa RTK10 sebagai kawasan hutan lahir dari

Surat Penunjukkan GB Nomor 28 B.b.2, 29 Mei 1927, kemudian Surat

Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 821/Kpts/Um/II/1982, 10 Nopember

1982. Sebelum Keputusan Menteri 821/1982, Kawasan Hutan Prapat Benoa

telah diberi fungsi terpadu, yaitu sebagai kawasan hutan dan sebagai lokasi

pengolahan limbah Kawasan Pariwisata Nusa Dua berdasarkan Perjanjian

Pinjam Pakai antara Dirjen Kehutanan dengan PT BTDC (1979). Sejak Tahun

1993, dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 544/Kpts-II/1993, 25

September 1993, Kawasan tersebut diberi status sebagai TAMAN HUTAN

RAYA (TAHURA).Kawasan Hutan Prapat Benoa merupakan bagian dari

Tahura Ngurah Rai dan bestatus sebagai TAHURA. Berdasarkan Undang-

Undang Pemerintahan Daerah, Kawasan Hutan Prapat Benoa merupakan

obyek kewenangan Pemerintah Provinsi Bali.

Berkenaan dengan status baru Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 sebagai

TAHURA, maka perpanjangan Perjanjian Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Prapat Benoa RTK10 dapat diperpanjang dengan memperhatikan dua

kondisi, yaitu:

a. status baru Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 sebagai TAHURA sesuai

dengan Undang-Undang Kehutanan, PP Pengelolaan Kawasan Suaka

Alam dan Kawasan Perlindungan Alam, dan Permen Kehutanan 85/2014;

dan

b. kebijakan …

b. kebijakan pembangunan ekonomi nasional, sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Kepariwisataan dan Undang-Undang Badan Usaha Milik

Negara; kebijakan perlindungan lingkungan hidup dan penataan ruang

sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan dan

Konsisten dengan asas kepastian hukum dan keadilan, serta asas lain

yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, maka

pemanfaatan lahan kehutanan pada Kawasan Hutan Prapat Benoa sebagai

lokasi pengolahan limbah dapat tetap menggunakan skema hukum

kerjasama dalam bentuk perjanjian kerjasama dengan menggunakan

Permen dan model skema kerjasama yang telah digunakan sebelumnya

PENDAPAT HUKUM PERPANJANGAN PERJANJIAN PINJAM PAKAI

TANAH KEHUTANAN KAWASAN HUTAN PRAPAT BENOA SEBAGAI LOKASI

SEWERAGE TREATMENT PLANT KAWASAN PARIWISATA NUSA DUA

DOKUMEN YANG DIPERIKSA

1. Permohonan PT. BTDC kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana;

Nomor: 162/Dir/ITDC/XI/2015, 26 November 2015, Hal: Permohonan Pendapat

Hukum (Legal Opinion).

2. Surat Tugas Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor:

2577/UN14.1.11/HK.07/2015, 1 Desember 2015, sebagaimana dicabut dan

diganti dengan Surat Tugas Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor:

172/UN14.1.11.I/HK.07/2016, 20 Januari 2016.

3. Profil BTDC, http://btdc.co.id/profil-bali, diakses terakhir 20 Desember 2015.

4. Kronologi Perjanjian Pinjam Pakai Tanah Kawasan Hutan Prapat Suwung-Benoa,

BTDC, dilengkapi lampiran dokumen [selanjutnya: Doc, Doc.1-Doc.48], memuat

antara lain:

a. Anggaran Dasar PT Pengembangan Pariwisata Bali (PT. Bali Tourism

Development Corporation), Berita Negara RI Tahun 1974, Nomor: 441,

Tambahan Berita Negara RI tanggal 30/8-1974 Nomor: 70.

b. Salinan Akta Nomor: 29, Tanggal 13 Juni 1974, Hal Perubahan Anggaran

Dasar PT Pengembangan Pariwisata Bali (PT. Bali Tourism Development

Corporation), Notaris Soeleman Ardjasasmita, Jakarta.

c. Perubahan Anggaran Dasar PT. Pengembangan Pariwisata Bali (Bali Tourism

Development Corporation), Berita Negara RI 1985, Nomor: 1057, Tambahan

Berita Negara RI Tanggal 27/8-1985 Nomor 69.

d. Perubahan Anggaran Dasar PT. Pengembangan Pariwisata Bali (Bali Tourism

Development), Berita Negara RI 2004, Nomor 4158, Tambahan Berita Negara RI

Tanggal 30/4-2004 Nomor 35.

e. Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan (Persero) PT. Pengembangan

Pariwisata Bali (Bali Tourism Development), Tanggal 8 Desember 2007, Nomor

12, Notaris Evi Susanti Panjaitan, SH.

f. Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan (Persero) PT. Pengembangan

Pariwisata Bali (Bali Tourism Development), Tanggal 14 Agustus 2008, Nomor

52, Notaris Evi Susanti Panjaitan, SH.

g. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Nomor: AHU-

39726.AH.01.02.Tahun 2009 Tentang Persetujuan Akte Perubahan Anggaran

Dasar Perseroan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pengembangan Pariwisata

Bali (Bali Tourism Development).

h. Keputusan menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Nomor: AHU-

15415.A.H.01.02.Tahun 2014 Tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar

Perusahaan Perseroan (Persero) PT PT. Pengembangan Pariwisata Bali (Bali

Tourism Development).

i. Akta Pernyataan Keputusan Rapat Perusahaan Perseroan (Persero) PT.

Pengembangan Pariwisata Indonesia (Indonesia Tourism Development), Tanggal

3 Nopember 2015, Nomor 06, Notaris Dr. Evi Susanti Panjaitan, SH, MA.

5. Laporan Hasil Pelaksanaan Rekonstruksi Batas Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Oleh PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) Untuk Instalasi

Pengelolaan Limbah Terpadu (Lagoon ITDC) Di Kawasan Taman Hutan Raya

Ngurah Rai Kelompok Hutan Prapat Benoa (RTK.10) Kabupaten Badung

Provinsi Bali, PT Pengembang Pariwisata Indonesia (Persero), 2015 [Doc.49].

6. Peraturan Daerah Tingkat II Badung Nomor: 2 Tahun 1979 Tentang Pembagian

Wilayah Peruntukan Nusa Dua [Doc.50].

7. Direktorat Jendral Pariwisata, Departemen Perhubungan RI, Bali Tourism

Development Plan The Nusa Dua Area Development Plan, Final Report, September

1973, Consultan Pacific Consultants K.K., Tokyo, Japan [Doc.51].

FAKTA HUKUM

1. Kawasan Pariwisata Nusa Dua sebagaimana dikembangkan oleh Badan

Pengembangan Pariwisata Bali atau Bali Tourism Development Corporation (BTDC,

saat ini Indonesia Tourism Development -ITDC) merupakan bagian dari Rencana

Induk Pariwisata Nasional yang dikembangkan sejak 1969 menjelang Repelita I.

Rencana tersebut merupakan hasil studi dari SCTO (Societe Centrale pour

l’Equpement Touristique Outre-Mer), suatu perusahaan Perancis yang

memenangkan tender internasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah

Indonesia. Studi tersebut dibiayai oleh United Nation Development Program (UNDP)

dan diselenggarakan di bawah bimbingan Bank Dunia (the World Bank). SCTO

menyelesaikan laporan atas studi itu pada tahun 1971. Hasil studi itu merupakan

bahan utama penyusunan Master Plan Pariwisata Bali, khususnya Nusa Dua,

sebagaimana disusun oleh Direktorat Jenderal Pariwisata dengan bantuan UNDP

dan Pacific Consultant International (PCI) dari Jepang bekerjasama dengan

Konsultan Indonesia pada tahun 1972 [Doc.51].

Keberadaan Kawasan Pariwisata Nusa Dua selanjutnya diatur di dalam Peraturan

Daerah Tingkat II Badung Nomor: 2 Tahun 1979 Tentang Pembagian Wilayah

Peruntukan Nusa Dua, 9 April 1979 [Doc.50]; Peraturan Daerah Propinsi Daerah

Tingkat I Bali Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi

Daerah Tingkat I Bali (Pasal 22 ayat (5), Kawasan Pariwisata Nusa Dua sebagai

salah satu dari 21 Kawasan Pariwisata); Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3

Tahun 2005 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali (Pasal 25 ayat (1)

huruf a, Kawasan Pariwisata Nusa Dua sebagai salah satu dari 15 Kawasan

Pariwisata); dan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029 yang menetapkan

Kawasan Pariwisata Nusa Dua sebagai Kawasan Strategis Pariwisata (Pasal 82

ayat 1 huruf c).

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor:

PM.34/HM.001/MKP/2008, 8 September 2008, menetapkan Kawasan Wisata

Nusa Dua sebagai Obyek Vital Nasional Di Bidang Kebudayaan dan Pariwisata,

mengkategorikan Kawasan Pariwisata Nusa Dua sebagai obyek vital nasional

dalam bidang kebudayaan dan pariwisata.

Fakta 1 menunjukkan bahwa pengembangan Kawasan Pariwisata Nusa Dua

merupakan bagian dari kebijakan strategis pembangunan ekonomi nasional dalam

bidang kepariwisataan dan merupakan obyek vital nasional dalam bidang

kebudayaan dan pariwisata.

2. Pada tahun 1973 Pemerintah Indonesia mendirikan perseroan terbatas dengan

nama “PT. PENGEMBANGAN PARIWISATA BALI” (PT Bali Tourism Development

Corporation, selanjutnya: PT Pengembangan Pariwisata Bali atau BTDC) di

hadapan Notaris Soeleman Ardjasasmita, Notaris di Jakarta, dengan Akte Notaris

Nomor 33, 12 November 1973, dengan Kantor Pusat berkedudukan di Jakarta,

sebagaimana kemudian diubah dihadapan Notaris Soeleman Ardjasasmita, Notaris

di Jakarta, dengan Akte Notaris Nomor 29, 13 Juni 1974, yang Anggaran

Dasarnya disahkan oleh Menteri Kehakiman tertanggal 10 Juli 1974, Nomor:

Y.A.5/254/3 dan diumumkan dalam Berita Negara RI tanggal 30/8 – 1974 No. 70,

Tambahan Nomor 441 Tahun 1974 [Doc.5, 6, 7].

Dasar hukum pembentukan PT BTDC, mencakup:

(1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 (Lembaran Negara

Tahun 1969 Nomor 16) Tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi

Undang-Undang;

(2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 Tentang Perusahaan Perseroan

(Persero); dan

(3) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1972 tentang Penyertaan Modal Negara

RI Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) Pengembangan Pariwisata

Bali.

Anggaran Dasar PT tersebut telah diubah beberapa kali, antara lain:

(1) melalui Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham (RUPS Luar Biasa), 15

November 1983, sebagaimana dituangkan dalam Akte Notaris Soeleman

Ardjasasmita, Nomor: 10, 10 April 1984, disahkan dengan Keputusan Menteri

Kehakiman RI Nomor: C2-3653HT01.04TH85, 15 Juni 1985, diumumkan

dalam Berita Negara RI, 27 Agustus 1985 Nomor 69, Tambahan Nomor: 1057

Tahun 1985, antara lain mengubah tempat kedudukan PT yang semula

berkedudukan di Jakarta menjadi bertempat kedudukan dan berkantor pusat

di Nusa Dua Bali, dan menetapkan saat beroperasinya PT, yaitu 10 Juli 1974;

(2) RUPS 29 Desember 1997, Perubahan Anggaran Dasar untuk memenuhi

persyaratan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995

Tentang Perseroan Terbatas, dituangkan dalam Akte Notaris, Akte Perubahan

tanggal 31 Desember 1997 Nomor 122 Notaris Soekaimi, Notaris di Jakarta,

disahkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI, 11

Februari 2000 Nomor: C-2089HT.01.04.TH.2000, diumumkan dalam Berita

Negara RI tanggal 30 April 2004 Nomor 35, Tambahan Nomor: 4158 Tahun

2004, antara lain mengubah struktur modal dan tata kelola perseroan

termasuk perluasan kewenangan Direksi dalam penyelenggaraan perseroan

mencakup kewenangan bersyarat dalam mengadakan kerjasama dengan badan

usaha atau pihak lain dalam bentuk kerjasama operasi, kontrak manajemen;

kerjasama lisensi, dan kerjasama konsesi (BOT, BOO), dan perjanjian-

perjanjian lain yang mempunyai dampak keuangan terhadap keuangan

Perseroan; dan kewenangan Direktur Utama untuk bertindak atas nama

Direksi;

(3) Perubahan Anggaran Dasar dituangkan dalam Akte Notaris tanggal 25 Oktober

2005 Nomor: 30, dicatatkan dalam Sisminbakum Dirjen Administrasi Hukum

Umum Departemen Hukum dan HAM RI tanggal 24 Februari 2006, Nomor: C-

05553 HT.01.04.TH.2006;

(4) RUPS 20 Desember 2006, Keputusan RUPS Nomor: Kep-126/MBU/2006, Akte

Notaris tanggal 8 Desember 2007 Nomor: 12, Notaris Evi Susanti Panjaitan,

SH, Notaris di Kuta Kabupaten Badung, antara lain mengubah tempat

kedudukan, semula berkantor pusat di Nusa Dua Denpasar Bali menjadi

berkantor pusat di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Propinsi Bali; peningkatan

struktur modal; penyesuaian Anggaran Dasar dengan Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2003 Tentang BUMN dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005

Tentang Prinsip-prinsip GCG;

(5) RUPS 18 Juli 2008, Keputusan RUPS Nomor: KEP-42/S.MBU/2008, KEP-

05/D3-MBU/2008, Akte Notaris tanggal 14 Agustus 2008 Nomor: 52, Notaris

Evi Susanti Panjaitan, Notaris di Kuta Kabupaten Badung, penyesuaian

Anggaran Dasar dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang

Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 Tentang

Prinsip-Prinsip GCG; dan

(6) RUPS 24 Maret 2014, Keputusan RUPS Nomor: S-13/MBU/2014, 13 Januari

2014, Pernyataan Keputusan Rapat Perusahaan Perseroan (Persero) PT.

Pengembangan Pariwisata Bali (Bali Tourism Development) Nomor: 63, Notaris

Evi Susanti Panjaitan, SH, Notaris di Kuta Kabupaten Badung, menetapkan

perubahan nama Perusahaan sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat 1 (1)

Anggaran Dasar PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero), semula PT

Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) atau Bali Tourism Development (BTDC)

menjadi PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) atau Indonesia

Tourism Development (ITDC), disahkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan

HAM Nomor: AHU-15415.AH.01.02. Tahun 2014 Tentang Persetujuan

Perubahan Anggaran Dasar Perseroan, 16 Mei 2014.

Perseroan juga telah didaftarkan pada Kantor Perindustrian dan Perdagangan

Kabupaten Badung pada hari Kamis, 11 September 2003 dengan pendaftaran

Nomor: 743/RUB.22-08/IX/2003 dan Nomor TDP 220817003158.

Fakta 2 menunjukkan bahwa pembentukan PT BTDC merupakan bentuk

pelaksanaan kebijakan pembangunan ekonomi nasional dalam bidang

kepariwisataan sebagai badan usaha negara yang ditugaskan untuk

menyelenggarakan pembangunan ekonomi dalam bidang kepariwisataan. Fakta 2

juga menunjukkan bahwa PT BTDC merupakan Perseroan atau Badan Hukum

yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan dan karena itu sah

bertindak sebagai subyek hukum berdasarkan sistem hukum Indonesia.

Pasal 3 angka 1 Anggaran Dasar PT 1973 menyebutkan bahwa maksud dan

tujuan Perseroan adalah untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan

kepariwisataan di daerah Provinsi Bali, dengan cara mengarahkan,

memanfaatkan, memperuntukkan dan mengusahakan tanah-tanah dan perairan

dalam lingkungan yang batas-batasnya akan ditentukan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dalam bidang keagrariaan, serta menyiapkan sarana-sarana

wisata dengan segala fasilitasnya. Untuk mewujudkan maksud dan tujuan itu,

Perseroan melakukan kegiatan-kegiatan, mencakup:

a. merencanakan dan mengusahakan tanah untuk keperluan daerah pariwisata

dan menata serta membagi lebih lanjut dalam satuan-satuan lingkungan

tertentu;

b. menyewakan lingkungan itu untuk satuan hotel-hotel dan fasilitas pariwisata

lainnya serta menyetujui penunjukkan dan ijin untuk membangun satuan

hotel-hotel dan fasilitas pariwisata lainnya, yang akan didirikan dalam daerah

pariwisata tersebut;

c. menentukan dan ditaatinya syarat-syarat yang ditetapkan dalam daerah

pariwisata berkenaan dengan tata bangunan, kesehatan umum, pencegahan

kebakaran dan hal-hal lain yang menyangkut daerah pariwisata, sekedar

persyaratan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang

berlaku terhadap hal yang sama, yang telah dikeluarkan oleh Gubernur

Propinsi Bali atau badan-badan lain yang berwenang;

d. merencanakan dan mengembangkan jasa-jasa prasarana dan fasilitas-fasilitas

umum lainnya dalam lingkungan daerah-daerah pariwisata;

e. membangun bangunan yang dipandang perlu untuk keperluan pengusahaan

dan administrasi daerah-daerah pariwisata;

f. melakukan segala tindakan dan mengadakan kegiatan-kegiatan lainnya yang

dimungkinkan guna tercapainya tujuan perseroan;

g. dalam rangka pelaksanaan usaha-usaha tersebut, Perseroan berhak

mengadakan kerjasama, turut serta mengambil bagian, atau mempunyai

kepentingan-kepentingan dalam perusahaan-perusahaan lain, baik di dalam

maupun di luar negeri.

h. Perseroan dapat pula menjalankan usaha lainnya yang mempunyai hubungan

dengan bidang usaha tersebut di atas baik secara sendiri-sendiri maupun

bersama-sama dengan badan-badan lain, sepanjang yang demikian itu tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai

dengan ketentuan-ketentuan dalam Anggaran Dasar ini.

Anggaran Dasar PT BTDC 1973 telah pula menetapkan ragam organ perseroan

(Direksi dan Dewan Komisaris) termasuk kewenangan masing-masing

sebagaimana diatur di dalam Pasal 10 dan Pasal 11 Anggaran Dasar PT BTDC

1973. Organ tersebut kemudian mencakup RUPS sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, sebagaimana diatur di

dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 Anggaran

Dasar PT BTDC 2007.

Pasal 11 angka 1 Anggaran Dasar PT BTDC 1973 menentukan bahwa tugas pokok

Direksi mencakup memimpin dan mengurus perseroan sesuai dengan tujuan

perseroan, serta menguasai, memelihara dan mengurus kekayaan perseroan.

Angka 2 menentukan bahwa Direksi mewakili perseroan di dalam dan di luar

pengadilan dan melakukan segala tindakan dan perbuatan baik mengenai

pengurusan maupun mengenai pemilikan serta mengikat perseroan dengan pihak

lain dan pihak lain dengan perseroan dengan berbagai pembatasan yang

ditentukan Anggaran Dasar. Ketentuan mengenai kewenangan organ perseroan ini

diatur lebih lanjut melalui berbagai perubahan Anggaran Dasar, diperluas dan

mengatur lebih rinci tentang kewenangan Direksi mengikuti perkembangan

hukum perseroan Indonesia, sebagaimana kemudian diubah melalui RUPS 29

Desember 1997, untuk memenuhi persyaratan ketentuan Pasal 15 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, yang

memberikan kewenangan kepada Direksi mencakup kewenangan bersyarat dalam

mengadakan kerjasama dengan badan usaha atau pihak lain dalam bentuk

kerjasama operasi, kontrak manajemen; kerjasama lisensi, dan kerjasama konsesi

(BOT, BOO) dan perjanjian-perjanjian lain yang mempunyai dampak keuangan

bagi keuangan Perseroan; dan kewenangan Direktur Utama untuk bertindak atas

nama Direksi. Perubahan Anggaran Dasar melalui RUPS 20 Desember 2006,

penyesuaian Anggaran Dasar dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 dan

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Prinsip-prinsip GCG.

Perubahan melalui RUPS 18 Juli 2008, penyesuaian Anggaran Dasar dengan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005.

3. Berdasarkan kewenangan sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar PT BTDC,

Perseroan tersebut telah melakukan kegiatan pengembangan kawasan sejak tahun

1976. PT BTDC mengelola kawasan seluas kurang lebih 350 ha, yang semula

tanah tandus dan tidak produktif menjadi kawasan pariwisata yang menarik.

Prasarana Kawasan Nusa Dua dibangun oleh BTDC dengan pembiayaan yang

bersumber pada pinjaman TheWorld Bank berdasarkan hasil appraisal yang di

lakukan pada bulan Mei 1974. Pinjaman The World Bank telah dilunasi oleh BTDC

lebih cepat dari jangka waktu pelunasan pinjaman, sehingga kepercayaan dunia

terhadap BTDC bertambah baik dan menjadikan BTDC sebagai salah satu

perusahaan yang dipercaya pada level nasional dan internasional. Kemampuan

BTDC melunasi pinjaman yang lebih cepat dari jadwal pelunasan juga

menggambarkan kredibilitas PT BTDC dan potensi ekonomi Kawasan Pariwisata

Nusa Dua.

Pengembangan Kawasan Pariwisata Nusa Dua berlangsung secara berkelanjutan

dalam beberapa fase, mencakup:

a. Fase I, 1976 – 1979: Pembangunan kontruksi dan Infrastruktur Kawasan Pari-

wisata Nusa Dua;

b. Fase II, 1978: Pembangunan Sekolah Pariwisata (BPLP) Balai Pendidikan dan

Latihan Pariwisata (Hotel and Tourism Management Training Center) dan

Training Hotel (Hotel Bualu), sekarang STP Bali;

c. Fase III, 1981 – 1983: pembangunan hotel pertama, Nusa Dua Beach Hotel,

oleh investor Garuda Indonesia, melalui anak perusahaan Aerowisata;

d. Fase IV, 1985 – 1987: membangun 3 hotel, yaitu :

(1) Hotel Putri Bali, Hotel milik Pemerintah yang berada di bawah PT. HII,

sekarang PT.Hotel Indonesia Natour (HIN)

(2) Melia Bali Sol, yang merupakan investor asing yang berasal dari Spanyol,

sekarang Melia Bali Resort, Villas & Spa.

(3) Club Med, yang juga merupakan sebuah investasi asing asal Perancis.

(4) 1987 Mereview dan mengupdate kembali Master Plan Kawasan Pariwisata

Nusa Dua.

e. Fase V, 1991: membangun 4 International Hotel Chain, mencakup:

(1) Nusa Indah Hotel & Convention Center, sekarang Hotel Westin Resort dan

Bali International Convention Centre (BICC).

(2) Sheraton Lagoon, sekarang Laguna Resort.

(3) Grand Hyatt Bali. Bali Hilton, sekarang Ayodya Resort.

(4) Bali Golf & Country Club

(5) Galleria Nusa Dua (Amenity Core), sekarang menjadi Pusat Perbelanjaan

Bali Collection dengan dilengkapi sebuah Sogo.

(6) Pusat Pertunjukan/Gedung Pertunjukan/Amphitheatre.

(7) Bali Desa Service Apartment.

f. Fase VI, 2000, pembangunan hotel dan fasilitas pariwisata lainnya oleh

investor:

(1) Lawn Bowling (Bowling Padang Rumput), 2004;

(2) Kayu Manis Villas and Spa, 2006;

(3) Asia Pacific Museum Art Victus Life (Anti Aging) 2007;

(4) Novotel – Accor Nusa Dua Bali Hotel & Resident, Krya Spa PT. Wyancor

Bali/Grand Hyatt Nusa Dua, PT. Great Balloon Indonesia (GBI), 2008;

(5) ST. Regis Nusa Dua;

(6) Hotel Mercure;

(7) Courtyard;

(8) BNDCC dengan fasilitas MICE dengan kapasitas 10.000 orang;

(9) The Grand Bali;

(10) Rumah Sakit Bedah Plastik-BIMC;

(11) The Bay Bali;

(12) Centara Grand;

(13) Sofitel; dan

(14) St. Regis.

Fase perkembangan tersebut merupakan gambaran dari tingkat kepercayaan

(trust) dunia usaha internasional dan nasional terhadap PT BTDC sebagai

pengelola Kawasan dan Kawasan Pariwisata Nusa Dua sebagai kawasan

pariwisata. Perkembangan tersebut juga menggambarkan posisi dan peran

Kawasan dalam pembangunan ekonomi nasional, baik daerah maupun

nasional.

4. Pengembangan kawasan yang cukup luas dengan ragam dan jumlah fasilitas

pariwisata yang cukup banyak membuat Kawasan Pariwisata Nusa Dua

menjadi kawasan yang potensial menyajikan dampak terhadap lingkungan,

baik lingkungan internal maupun eksternal kawasan. Sejak permulaan

pengembangan kawasan, pengembangan Kawasan Pariwisata Nusa Dua telah

digagas berdasarkan konsep pembangunan berwawasan lingkungan, diikuti

dengan pemenuhan terhadap berbagai persyaratan yang ditentukan oleh

berbagai instrumen hukum, baik nasional maupun internasional.

Sistem pengelolaan limbah merupakan komponen tidak terpisahkan

(compounded-component) dan merupakan satu kesatuan (integrated-component)

yang bersifat mutlak dengan kawasan pariwisata (tourism development center).

Persyaratan pengelolaan dampak lingkungan yang timbul dari akibat kegiatan

pengembangan kawasan pariwisata kemudian diserap dan diatur sebagai

persyaratan di dalam berbagai peraturan perundang-undang, termasuk:

a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Pokok-Pokok Pengelolaan

Lingkungan Hidup, sebagaimana kemudian diubah dengan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup;

b. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Ijin Lingkungan;

c. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan,

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009

Tentang Kepariwisataan; dan

d. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Jenis

Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan.

Persyaratan pengelolaan dampak yang timbul dari suatu kegiatan, termasuk

pengembangan kawasan pariwisata, mewajibkan PT BTDC menyediakan lahan

khusus pengelolaan dampak atau pengolahan limbah dari kegiatan yang

diselenggarakannya. Sejak permulaan pengembangan kawasan, PT BTDC telah

mengupayakan pengadaan lokasi pengelolaan dampak/pengolahan limbah

sebagai bentuk antisipasi terhadap dampak yang akan timbul dari akibat

penyelenggaraan kegiatan pengembangan kawasan tersebut. Sebagai bagian

dari persyaratan pengembangan kawasan, lokasi pengolahan limbah itu

ditetapkan berada di luar kawasan. Pilihan yang paling rasional ketika itu

adalah kawasan lahan kehutanan Prapat Suwung-Benoa, berdasarkan

pertimbangan jarak lokasi dari pusat Kawasan (+ 2 kilo meter) dan kondisi

lokasi pada saat itu (merupakan lahan tandus tidak berhutan).

5. Pada tanggal 25 September 1979 PT BTDC menandatangani Perjanjian Pinjam

Pakai Tanah Kehutanan dengan Kepala Balai Planologi Kehutanan IV Nusa

Tenggara, diketahui dan disetujui oleh Gubernur Bali Prof. Dr. Ida Bagus

Mantra dan Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Bali Ir. R. Suriadi Suradiredja,

mencakup ketentuan sebagai berikut:

(1) Perjanjian berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat

diperpanjang;

(2) Luas lahan yang dipinjam 30 (tiga puluh) ha, terletak di Kelompok Hutan

Prapat Benoa RTK No. 10 di Sekitar Bualu, Bali Selatan;

(3) BTDC harus melakukan reboisasi sebagai bentuk kompensasi atas hak

pinjam pakai;

(4) Hak pengelolaan dan pengusahaan tanah kehutanan itu tidak boleh

dipindahtangankan kepada pihak lain; dan

(5) BTDC wajib mengamankan lahan tersebut berikut tegakan hutan dan

isinya dan tanda-tanda batas hutan selama jangka waktu perjanjian serta

mengawasi agar tidak terdapat perkampungan-perkampungan penduduk di

dalam lahan kehutanan itu. [Doc.1]

6. Pada tanggal 18 Juli 1991 PT BTDC mengusulkan perubahan status lahan

kehutanan sebagaimana dimaksud pada angka 5 dari Lahan Pinjam Pakai

menjadi HPL kepada Kepala Kantor Wilayah Kehutanan Propinsi Bali. Kepala

Kantor Wilayah Kehutanan Propinsi Bali menyarankan agar PT BTDC

mengajukan permohonan berkenaan dengan hal itu kepada Menteri Kehutanan

melalui Menteri Parpostel [Doc.2].

PT BTDC mengajukan permohonan kepada Menteri Parpostel agar status lahan

dimaksud dapat diubah dari Lahan Pinjam Pakai menjadi HPL dengan jalan

menukar lahan dimaksud sesuai ketentuan yang berlaku (Surat Permohonan

No. 06/Dir/PT.PPB/IX/91, 2 September 1991) [Doc.3]. Untuk keperluan itu, PT

BTDC telah mengajukan permohonan Ijin Lahan Penukar berlokasi di

Karangasem kepada Gubernur Bali, Drs. Dewa Made Beratha, dan permohonan

tersebut telah disetujui Gubernur (Surat Persetujuan Gubernur No.

593.5/20011/B.B.Pem, 12 Desember 1991) [Doc.4].

Menteri Parpostel Soesilo Soedarman menyetujui status pinjam pakai lahan

dimaksud diubah menjadi HPL dengan cara menukar lahan dimaksud dengan

lahan pengganti. PT BTDC diminta mengajukan permohonan kepada Menteri

Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional (Surat Menteri No.

PL.302/7/11/MPPT-91, 21 Desember 1991) [Doc.5]. Menteri Kehutanan

membentuk Tim Peninjauan Lapangan (SK Menteri Kehutanan Nomor

117/Kpts-II/92) untuk meninjau Kawasan Hutan RTK 10 Prapat Benoa-

Suwung dan Lahan pengganti di RPH Daya, Kecamatan Kubu, Karangasem

[Doc.6]. Permohonan PT BTDC tentang perubahan status pinjam pakai menjadi

HPL ditanggapi oleh Menteri Kehutanan dengan Surat No. 1851/Menhut-II/92,

17 Oktober 1992, yang menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak dapat

disetujui karena kawasan hutan di Propinsi Bali masih kurang dari 30% luas

daratan sebagaimana dipersyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1967 Tentang Kehutanan. Luas hutan di Bali pada saat itu hanya 22,4%

(126.219,92 ha). Menteri mengisyaratkan agar penggunaan kawasan hutan

tersebut oleh PT BTDC dilakukan dengan cara PINJAM PAKAI KOMPENSASI

dengan menyediakan areal lain untuk dijadikan kawasan hutan pengganti

sebagai bentuk kompensasi dari lahan yang akan digunakan sebagai lokasi

pengolahan limbah [Lampiran Doc.7]. PT BTDC menyampaikan penolakan

permohonan perubahan status itu kepada Menteri Parpostel dengan Surat No.

66/Dir/PT.PPB/I/1993, 29 Januari 1993, dan meminta agar perjanjian pinjam

pakai yang sudah ada sebelumnya dapat dilaksanakan kembali sesuai dengan

persyaratan dan ketentuan yang telah diatur di dalam Perjanjian tersebut,

mengingat Perjanjian tersebut masih berlaku sampai tahun 1999 [Doc.8].

Menteri Parpostel menyetujui pinjam pakai dengan berpedoman pada syarat-

syarat yang telah ada dan berlaku berdasarkan Perjanjian dan meminta PT

BTDC agar lebih lanjut menghubungi instansi terkait (Surat Menteri No.

UM001/17/21/MPPT-93, 13 Februari 1993) [Doc.9].

Direktur PT BTDC, berdasarkan hasil Rapat 14 April 1993 di Kantor Wilayah

Departemen Kehutanan Bali, mengajukan surat perpanjangan pinjam pakai

lahan hutan Prapat Benoa kepada Kanwil Departemen Kehutanan Propinsi Bali

dengan kompensasi lahan pengganti yang berlokasi di Karangasem. Kepala

Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Bali meneruskan Permohonan

tersebut kepada Menteri Kehutanan. Dirjen Kehutanan atas nama Menteri

menyetujui permohonan Pinjam Pakai Lahan Kehutanan di Hutan Prapat

Benoa (RTK 10) Kecamatan Kuta dengan kompensasi clear dan clean dengan

luas minimal sama dengan lahan yang disetujui untuk Pinjam Pakai.

Pada 4 Februari 1994 Direktur PT BTDC menandatangani Perjanjian Pinjam

Pakai Lahan Kawasan Hutan Di Kelompok Hutan Prapat Benoa RTK 10 dengan

Kepala kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Bali (Pernjajian Nomor

131/Kwl-5/1994 atau 08/SP/II/1994), Persetujuan Menteri Nomor

1851/Menhut-II/92, 17 Oktober 1992 dan Persetujuan Nomor 1837/Menhut-

II/93, 23 Oktober 1993. Perjanjian tersebut mengatur, antara lain:

(1) Perjanjian berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, berakhir 1999;

(2) BTDC wajib menyediakan areal kompensasi yang clean dan clear dengan

luas minimal sama dengan areal yang disetujui dan menyerahkan areal

kompensasi itu kepada Departemen Kehutanan. [Doc.14]

Perjanjian tersebut ditindaklanjuti dalam bentuk:

(1) Pengukuran lahan oleh Kanwil Kehutanan dan penetapan biaya reboisasi

dan ganti rugi sebesar US$ 1,313.86 dan Rp. 10.700.960,6 [Doc.15];

(2) PT BTDC membayar biaya ganti rugi sebesar Rp. 13.525.215 kepada Kepala

Dinas Kehutanan Propinsi Bali [Doc.16];

(3) Penyelesaian kompensasi lahan kehutanan dengan lahan pengganti di

Karangasem seluas 30 Ha [Doc.17, 18, 19].

Tindak lanjut penyelesaian kompensasi lahan lokasi pengolahan limbah

dengan lahan pengganti sebagaimana dimaksud pada angka (3) diselesaikan

dengan:

(a) Pembentukan Tim Peninjauan Rencana Tanah Kompensasi oleh

Departemen Kehutanan Propinsi Bali, SK No. 172/KPTS/KWL-5/1994, 15

Desember 1995 [Doc.18];

(b) Penandatanganan Berita Acara Serah Terima Tanah Kompensasi Sebagai

Tanah Kawasan Hutan Yang Dipinjam Pakai Oleh PT BTDC untuk Relokasi

Lagoon antara Dirut PT BTDC dengan Kepala Kantor Wilayah Departemen

Kehutanan Propinsi Bali, diketahui Gubernur Bali, No. Pihak Pertama:

82/BA/VIII/96, No. Pihak Kedua: 1279/Kwl-5/96, 16 September 1996.

Tanah pengganti terletak di Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten

Karangasem, dengan luas 30 ha [Doc.19]. Kompensasi tanah dari BTDC di

Karangasem itu oleh Menteri Kehutanan ditunjuk menjadi Kawasan Hutan

Tetap (137/Menhut-VII/1977, 6 Februari 1997) [Doc.20].

7. Berkenaan dengan berakhirnya jangka waktu Perjanjian [Fakta 6] pada tanggal

29 Januari 1999, PT BTDC mengajukan permohonan perpanjangan Pinjam

Pakai Lahan Kehutanan Prapat kepada Kepala Kantor Wilayah Kehutanan

Propinsi Bali, untuk fungsi yang sama [Doc.21]. Kepala Kantor Wilayah

Kehutanan Propinsi Bali menyetujui permohonan tersebut dengan Surat

Nomor: 1736/Kwl-5/1999, 22 Juli 1999 [Doc.22].

Pada tanggal 13 Agustus 1999 PT BTDC menandatangani Perjanjian

Perpanjangan Perjanjian Pinjam Pakai dengan Kepala Kantor Wilayah

Kehutanan Propinsi Bali.

Setelah penandatangan Perjanjian tersebut muncul berbagai peristiwa hukum

yang berkaitan dengan materi Perjanjian itu, antara lain:

(1) Permohonan tukar menukar lahan kehutanan obyek perjanjian oleh

masyarakat perseorangan kepada menteri Kehutanan [Doc.26, 27];

(2) Permohonan penggunaan lahan obyek Perjanjian untuk lapangan sepakbola

oleh Bendesa Adat Benoa dan Tanjung Benoa kepada Bupati Badung,

tembusan kepada BTDC [Doc.28].

Untuk permohonan pada angka (1) PT BTDC telah mengajukan keberatan

kepada Kepala Kantor Wilayah Kehutanan Propinsi Bali [Doc.27]. Sedangkan

untuk permohonan pada angka (2), PT BTDC menyatakan tidak keberatan jika

luas lahan obyek perjanjian dikurangi dari jumlah semula (30 ha) [Doc.29].

8. Sebagai tindak lanjut Perjanjian Perpanjangan Pinjam Pakai Lahan Kehutanan,

sebagai akibat perubahan struktur kelembagaan pada Departemen Kehutanan

dalam bentuk penghapusan Kanwil Kehutanan di mana Kanwil Kehutanan

Propinsi Bali merupakan Pihak Perjanjian sesuai kewenangannya, PT BTDC

mengajukan kembali permohonan Pinjam Pakai kepada Menteri Kehutanan

c.q. Kepala Badan Planologi Departemen Kehutanan (Surat PT BTDC Nomor:

24/Dir/PT.PPB/VIII/2001, 7 Agustus 2001) [Doc.31].

Kepala Badan Planologi (Surat Nomor: 845/VII-KP/2001) menyatakan bahwa

berdasarkan hasil evaluasi dan surat dari Kantor Wilayah Departemen

Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Bali Nomor: 2150/Kwl-5/1999, 31

Agustus 1999, telah terjadi penyimpangan dalam penggunaan lahan

kehutanan obyek Perjanjian, antara lain: adanya lapangan sepak bola,

pembuangan sampah dan jalan setapak yang diperlebar sehingga

menimbulkan okupasi kawasan hutan oleh masyarakat. Pihak kehutanan

membentuk Tim Evaluasi Gabungan Pusat dan Daerah untuk melihat keadaan

tanah Pinjam Pakai pada saat itu [Doc.32].

PT BTDC menyampaikan surat kepada Dinas Kehutanan Propinsi Bali (Surat

Nomor: 65/Dir/PT.PPB/I/2002, 28 Januari 2002) melaporkan dan

menegaskan bahwa pemanfaatan Lahan Pinjam Pakai masih sesuai dengan

ketentuan dan kewenangan BTDC, pengalihan sebagian Lahan Pinjam Pakai,

Pal B. 153 – Pal B. 154, kepada pihak lain tidak dibenarkan. Melaksanakan

rekonstruksi/pengukuran ulang batas lahan kehutanan untuk keamanan

[Doc.33].

9. Pada tanggal 24 Mei 2002, PT BTDC menyampaikan Surat Permohonan kepada

Menteri Kehutanan c.q. Kepala Badan Planologi Departemen Kehutanan, Surat

Nomor: 114/Dir/PT.PPB/V/2002, Hal: Permohonan Perpanjangan Perjanjian

Pinjam Pakai obyek Perjanjian. Permohonan tersebut belum mendapat

tanggapan [Doc.34].

Pada tanggal 13 Oktober 2008 Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bali

mengundang PT BTDC, Surat Nomor: 522/1174/Dishut-2, Hal: Pinjam Pakai

Kawasan Hutan [Doc.35].

Pada tanggal 27 Juli 2010 Kementerian Kehutanan menyurati PT BTDC, Surat

Nomor: S.246/KK-1/2010, Hal: Tindak lanjut permohonan pinjam pakai

Kawasan Hutan Provinsi Bali [Doc.36]. Pada tanggal 30 Agustus 2010

Pemerintah Provinsi Bali mengundang PT BTDC untuk menghadiri sosialisasi

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Peruntukan

dan Fungsi Kawasan Hutan dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2010

Tentang Penggunaan Kawasan Hutan [Doc.37].

Pada tanggal 18 Agustus 2010 PT BTDC menyampaikan surat kepada Direktur

Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam perihal tindak lanjut

permohonan perpanjangan pinjam pakai lahan obyek Perjanjian [Doc.38]. Pada

7 September 2010 PT BTDC menyampaikan surat kepada Gubernur Bali

perihal perpanjangan pemanfaatan lahan kehutanan untuk pengolahan air

limbah [Doc.39]. Pada 30 September 2010 Dinas Kehutanan Provinsi Bali

mengundang PT BTDC untuk membahas Kajian Rekomendasi Gubernur Bali

Tentang Pengolahan Air Limbah BTDC pada Lagoon BTDC [Doc.40]. Pada 14

Oktober 2010 PT BTDC mengirimkan surat kepada Dinas Kehutanan Provinsi

Bali perihal permohonan Rekonstruksi Tanah Lagoon BTDC [Doc.41].

Pada 15 Maret 2011 BTDC mengajukan permohonan kepada Dinas Kehutanan

Provinsi Bali perihal Permohonan Berita Acara Pemenuhan Kewajiban BTDC

terhadap tanah pengganti lahan Lagoon BTDC dengan lahan pengganti di

Karangasem [Doc.42].

Pada 15 Juli 2011, BTDC mengirimkan surat kepada Direktur Jendral

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam perihal tindak lanjut permohonan

perpanjangan pinjam pakai tanah Lagoon BTDC [Doc.43].

Pada 15 Maret 2011, BTDC mengirimkan Surat kepada Kepala Dinas

Kehutanan Provinsi Bali perihal Permohonan penerbitan Berita Acara

Pemenuhan Kewajiban bahwa PT BTDC telah menyediakan Lahan Pengganti

Lahan Lagoon BTDC dengan lahan pengganti di Karangasem [Doc.45].

Pada 6 Juli 2011, Kementerian Kehutanan mengirim surat kepada PT BTDC

perihal permintaan Tenaga Tim Teknis Permohonan Perpanjangan Pinjam

Pakai Kawasan Hutan untuk Lagoon Provinsi Bali [Doc.46].

Pada 2 Agustus 2011, Dinas Kehutanan Provinsi Bali mengirim surat kepada

Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VIII mengenai rekonstruksi Areal

Pinjaman Pakai PT. BTDC [Doc.47].

Pada 10 Oktober 2011, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VIII

mengirim surat kepada PT BTDC perihal Rekonstruksi Tanah Lagoon BTDC

[Doc.48].

Uraian Fakta 1 sampai dengan Fakta 9 menunjukkan bahwa pengembangan

Kawasan Pariwisata Nusa Dua, demikian juga pembentukan PT BTDC sebagai

lembaga usaha pengelola kawasan, merupakan bagian dari kebijakan

pembangunan ekonomi nasional, khususnya bidang pariwisata. Sejak semula

telah disadari bahwa pengembangan Kawasan tersebut potensial menghasilkan

dampak terhadap lingkungan, sehingga pengembangan Kawasan tersebut sejak

semula telah diimbangi dengan penyediaan lahan lokasi pengelolaan dampak dan

pengembangan sistem pengolahan limbah Kawasan.

Kebijakan pengembangan Kawasan Pariwisata Nusa Dua kemudian diserap ke

dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan, baik Pusat maupun

Daerah, seperti: Undang-Undang Kepariwisataan, Undang-Undang Tata Ruang,

dan Peraturan Daerah Provinsi Bali, termasuk peraturan pelaksanaannya. Pada

sisi lain, pengembangan Kawasan tersebut juga dibebani berbagai kewajiban

untuk mencegah, mengendalikan, dan pengolah limbah kegiatan oleh peraturan

perundang-undangan dalam bidang lingkungan hidup sehingga pengembangan

Kawasan tersebut melahirkan dua kebutuhan mutlak, yaitu: pertama, kebutuhan

terhadap kelembagaan yang akan menyelenggarakan pengembangan Kawasan dan

luasan lahan lokasi tempat Kawasan yang akan dikembangkan; dan kedua,

kebutuhan terhadap lahan tempat pengolahan limbah dan sistem pengolahan

limbahnya.

Kebutuhan kelembagaan untuk mengembangkan dan mengelola Kawasan

dipenuhi dengan cara membentuk PT BTDC, serta kebutuhan terhadap luasan

lahan lokasi pengembangan Kawasan dipenuhi dengan cara pengadaan dan

penyediaan lahan lokasi Kawasan seluas 350 ha (tiga ratus lima puluh hektar).

Kebutuhan terhadap lokasi pengolahan limbah dipenuhi dengan cara membentuk

Perjanjian Pinjam Pakai lahan kehutanan Kawasan Hutan Prapat Benoa dan

kebutuhan terhadap sistem pengolahan limbah dipenuhi dengan cara

mengembangkan sistem pengolahan limbah cair (waste water management).

PT BTDC telah dua kali menandatangani perjanjian dalam penggunaan lahan

kehutanan Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK 10 sejak tahun 1979, yaitu:

(1) Perjanjian Pinjam Pakai Tanah Kehutanan antara PT BTDC dengan Kepala

Balai Planologi Kehutanan IV Nusa Tenggara, diketahui dan disetujui oleh

Gubernur Bali Prof. Dr. Ida Bagus Mantra dan Kepala Dinas Kehutanan

Propinsi Bali Ir. R. Suriadi Suradiredja, 25 September 1979, dengan masa

berlaku Perjanjian 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang; dan

(2) Perjanjian Pinjam Pakai Lahan Kawasan Hutan Di Kelompok Hutan Prapat

Benoa (RTK 10) antara PT BTDC dengan Kepala kantor Wilayah Departemen

Kehutanan Propinsi Bali (Pernjajian Nomor 131/Kwl-5/1994 atau

08/SP/II/1994), Persetujuan Menteri Nomor 1851/Menhut-II/92, 17 Oktober

1992 dan Persetujuan Nomor 1837/Menhut-II/93, 23 Oktober 1993, 4

Februari 1994, dengan masa berlaku Perjanjian 5 (lima) tahun, berakhir 1999;

Pada bulan Agustus 1999, PT BTDC telah menyiapkan Draft Perjanjian Perpanjangan

Perjanjian Pinjam Pakai Sebagian Kawasan Hutan Prapat Benoa (RTK10) Tahura

Ngurah Rai antara PT BTDC dengan Kantor Wilayah Kehutanan dan Perkebunan

Propinsi Bali sebagai upaya untuk memperbaharui landasan hukum dalam

penggunaan Kawasan Hutan tersebut, namun Draft tersebut hingga saat ini belum

ditandatangani.

Perjanjian tersebut dilengkapi dengan berbagai skema pinjam pakai, sesuai dengan

persyaratan peraturan perundang-undangan, termasuk antara lain:

a. skema jangka waktu;

b. skema lahan penukar;

c. skema kompensasi; dan

d. skema kewajiban lainnya.

Skema jangka waktu mengakibatkan BTDC sebagai lembaga pengelola dan

pengembang Kawasan harus memperpanjang Perjanjian tersebut dalam hal Perjanjian

tersebut habis masa berlakunya. Diantara ketiga skema lainnya, skema jangka waktu

dan perpanjangan ini dalam praktek penyelenggaraan pengembangan dan

pengelolaan Kawasan merupakan skema yang paling banyak menimbulkan

hambatan. Skema lahan penukar, skema kompensasi, dan skema kewajiban lainnya

telah dipenuhi oleh PT BTDC sesuai persyaratan dan ketentuan Perjanjian, baik

Perjanjian yang pertama maupun Perjanjian yang kedua.

Disamping soal kelambatan dan berbagai persoalan kelembagaan yang menghambat

perpanjangan Perjanjian, termasuk persoalan perubahan kebijakan dan hukum,

Perjanjian tersebut juga berada dalam berbagai masalah lain, seperti: percobaan

pemanfaatan Lahan Pinjam Pakai oleh masyarakat perseorangan untuk tujuan

perseorangan; lemahnya komitmen pemerintahan daerah terhadap perlindungan

lokasi pengolahan limbah, sebagaimana terbukti dari terbitnya Rekomendasi DPRD

Badung dalam merespon permohonan masyarakat, yang mengancam kepastian

status, fungsi, dan keberlanjutan fungsi lahan sebagai lokasi pengolahan limbah, dan

lemahnya pengetahuan masyarakat terhadap vitalitas posisi dan fungsi lokasi

pengolahan limbah dalam pengembangan kawasan serta dampaknya terhadap

keberlanjutan fungsi ekonomi Kawasan.

Identifikasi masalah tersebut melahirkan kebutuhan analisis dan solusi dalam

bentuk: pertama, jaminan kepastian hukum terhadap status pinjam pakai lahan

Hutan Prapat Benoa sebagai lokasi pengolahan limbah Kawasan dalam rangka

menjamin kepastian keberadaan dan keberlanjutan fungsi ekonomi kawasan; dan

kedua, kejelasan proses dan prosedur perpanjangan Perjanjian Pinjam Pakai atas

lahan tersebut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan agar perpanjangan

Perjanjian tersebut segera dapat dilaksanakan dalam rangka pemenuhan terhadap

kebutuhan yang pertama.

Fakta di atas menunjukkan bahwa kelambatan proses perpanjangan Perjanjian

Pinjam Pakai bersumber pada setidaknya tiga sumber masalah, yaitu:

(1) pemahaman masyarakat dan Pemerintah terhadap karakteristik limbah dan

urgensi sistem pengolahan limbah dalam pengembangan suatu kawasan

pariwisata berkelanjutan sebagai bagian kebijakan strategis negara dalam

pembangunan ekonomi nasional dan status hukum lahan lokasi pengolahan

limbah sebagai obyek kewenangan pemerintah;

(2) alokasi kewenangan kelembagaan pemerintah yang membawahi lokasi

pengolahan limbah sebagai otoritas yang memiliki kewenangan berdasarkan

peraturan perundang-undangan untuk memberikan izin untuk menggunakan

obyek kewenangan itu; dan

(3) skema atau instrumen hukum yang menurut peraturan perundang-undangan

seharusnya digunakan sebagai instrumen dalam pemanfaatan lahan tersebut

oleh BTDC sebagai lokasi pengolahan limbah.

Ketiga sumber masalah itu memerlukan klarifikasi keilmuan dari segi ilmu hukum

dalam rangka pemecahan masalah yang sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang

diatur di dalam peraturan perundang-undangan, agar masalah tersebut dapat

dipecahkan secara lebih baik, lebih cepat, dan lebih pasti dalam rangka keberlanjutan

pengelolaan Kawasan dan keberlanjutan fungsi ekonomi kawasan.

ISU HUKUM

(1) Bagaimanakah karakteristik limbah dan sistem pengolahan limbah, serta

bagaimanakah karakteristik status hukum lahan kehutanan Kawasan Hutan

Prapat Benoa RTK10 yang dipergunakan oleh BTDC sebagai lokasi pengolahan

limbah?

(2) Siapakah yang memiliki kewenangan untuk menentukan pemanfaatan lahan

kehutanan Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 dan bagaimanakah alokasi

kewenangan subyek tersebut terhadap lahan kehutanan yang digunakan oleh

BTDC sebagai lokasi pengolahan limbah?

(3) Bagaimanakah skema hukum pemanfaatan lahan lokasi pengolahan limbah yang

oleh BTDC dipergunakan sebagai lokasi pengolahan limbah sesuai peraturan

perundang-undangan?

KETENTUAN HUKUM

Ketentuan hukum yang digunakan sebagai bahan hukum, mencakup:

1. Algemene Water Reglement 1936 Staatsblad 1936 Nomor 489 jo. Staatsblad 1937

Nomor 540;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kehutanan;

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup;

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan;

6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN;

7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang;

8. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan;

9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup;

10. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Perusakan

Hutan;

11. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah;

12. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1972 Tentang Penyertaan Modal Negara

Republik Indonesia Untuk Pendidikan Perusahan Perseroan (Persero)

Pengembangan Pariwisata Bali;

13. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Prinsip-prinsip GCG;

14. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka

Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;

15. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025;

16. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan;

17. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor:

PM.34/HM.001/MKP/2008, 8 September 2008 Tentang Pengamanan Obyek Vital

Nasional Di Bidang Kebudayaan dan Pariwisata;

18. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2011 Tentang

Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan

Hidup, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor

6 Tahun 2013 Tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam

Pengelolaan Lingkungan Hidup;

19. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.85/Menhut-II/2014 Tentang Tata Cara

Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;

20. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Provinsi Bali;

21. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Provinsi Bali 2009-2029;

22. Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment 1972; dan

23. The Rio Declaration on Environment and Development 1992.

ANALISIS

1. ANALISIS 1: KARAKTERISTIK LIMBAH, SISTEM PENGOLAHAN LIMBAH, DAN

KARAKTERISTIK HUKUM KAWASAN HUTAN PRAPAT BENOA SEBAGAI

LOKASI PENGOLAHAN LIMBAH KAWASAN PARIWISATA NUSA DUA

1.1. Karakteristik Limbah dan Sistem Pengolahan Limbah

Limbah BTDC merupakan limbah cair domestik yang berasal dari masing–masing

bagian dalam hotel seperti: kamar mandi, toilet, laundry, kolam renang, pendingin

ruangan (AC), dapur dan semua kegiatan hotel yang menggunakan air. Limbah

cair dikelola melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang dikenal dengan

nama IPAL PT. BTDC atau Laguna BTDC, merupakan sistem pengolahan limbah

menggunakan Lift Pump Station (LPS) dan Kolam Stabilisasi atau Waste

Stabilization Pond (WSP).

Sistem IPAL BTDC terdiri dari beberapa komponen utama, yaitu:

(1) Collection pit, adalah penampungan limbah yang tersedia pada masing-masing

hotel/restaurant;

(2) saluran pipa limbah utama, yaitu pipa yang menghubungkan collection pit

dengan LPS;

(3) saluran pipa limbah ke Laguna, adalah pipa yang menghubungkan LPS dengan

Laguna;

(4) Laguna, adalah instalasi pengolahan limbah yang mencakup:

(a) instalasi pengolahan limbah, terdiri dari 4 cells, yaitu cell 1, 2a, 2b dan 3;

(b) instalasi produksi air irigasi, terdiri dari: kolam aerator, sedimentasi dan

filtrasi.

Cara kerja IPAL BTDC mencakup proses berikut:

(1) setiap hotel menampung limbah dari masing – masing bagian hotel/restoran

dalam suatu collection pit yang selanjutnya dipompa ke saluran pipa limbah

utama BTDC;

(2) dari pipa lima utama, limbah mengalir secara grativitasi menuju ke lift pump

station (LPS) yang terdekat;

(3) pompa submersible di LPS bekerja secara otomatis memompa limbah ke

Laguna PT. BTDC yang berjarak kurang lebih 2 km di sebelah utara kawasan;

(4) limbah segar dari LPS keluar melalui inlet di Cell 1 dan mengalami proses

oksidasi. Cell 1 terdiri dari 2 bagian (1a dan 1b) yang dipisahkan oleh fiberglass

pada bagian atas yang berfungsi sebagai alat perangkap lemak (greasetrap)

untuk mengurangi lemak dan kotoran terapung masuk ke cell berikutnya.

Lemak dan kotoran yang tertahan pada perangkap lemak secara rutin akan

dibersihkan oleh pekerja di Laguna;

(5) setelah melewati Cell 1, air mengalir dan masuk ke Cell 2a, selanjutnya

mengalir ke Cell 2b (cell terluas). Di Cell 2b proses oksidasi berlangsung cukup

lama (karena sangat luas). Untuk memantau toksitas/kadar racun air, di cell

ini telah dilepaskan ikan-ikan mujair yang dapat dipakai sebagai indikator

biologis untuk mengetahui perubahan kualitas di dalamnya;

(6) selanjutnya air mengalir ke dalam Cell 3, air di cell ini sudah tidak berbau dan

berwarna kehijauan. Dalam cell ini juga dilepaskan ikan mujair untuk me-

mantau kualitas perubahan air dalam cell;

(7) untuk meningkatkan kualitas air setelah proses oksidasi secara alami, air

selanjutnya diproses kembali di kolam aerasi dengan 8 buah mekanik aerator

yang menyala selama 8 jam/hari untuk menambah oksigen terlarut dalam air;

(8) air dialirkan ke kolam sedimentasi/pengendapan (tersedia 2 kolam) untuk

mengendapkan lumpur dan kotoran lain yang ikut terbawa ke kolam ini.

Lumpur di kolam sedimentasi dikuras/dikeringkan secara berkala (Sludge

Drying Bed);

(9) setelah keluar air, kolam sedimentasi air akan difiltrasi/disaring dengan sand

filter supaya tingkat kekeruhan air yang dihasilkan lebih rendah;

(10) setelah proses filtrasi, air masuk ke resevoar, air dari reservoar merupakan air

irigasi yang siap distribusikan ke konsumen melalui instalasi pipa air irigasi

sebagai air penyiraman untuk landscape yang ada di Kawasan Pariwisata Nusa

Dua dan dalam hotel-hotel.

IPAL BTDC merupakan sistem pengolahan dan daur ulang air limbah menjadi air

irigasi yang berfungsi ganda, yaitu memenuhi kebutuhan air hotel dan restaurant

dan efisiensi penggunaan air alamiah. Sifat dan fungsi IPAL demikian itu membuat

IPAL BTDC menjadi kebutuhan mutlak bagi pengembangan kawasan BTDC dalam

rangka pengembangan kawasan yang berkelanjutan dan keberlanjutan fungsi

kawasan sebagai kawasan ekonomi dengan seluruh fungsi dan manfaat

ikutannya.

Gagasan pengembangan Kawasan Pariwisata Nusa Dua lahir bersamaan dengan

kelahiran instrumen hukum lingkungan internasional yang pertama pasca

kelahiran Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (The United Nations Charter, 1945),

yang merupakan tonggak kesadaran masyarakat internasional terhadap

pentingnya pencegahan dan antisipasi terhadap dampak lingkungan yang

potensial dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia, terutama pembangunan.

Pada tahun 1972 masyarakat internasional menyelenggarakan konferensi

lingkungan hidup yang pertama di Stockholm dan menghasilkan Deklarasi

Lingkungan Hidup yang pertama yang diberi nama Declaration of the United

Nations Conference on the Human Environment 1972 yang meletakkan gagasan dan

prinsip-prinsip dasar pembangunan berwawasan lingkungan (development wich

sound environmentally) yang kemudian lebih dipertegas di dalam Deklarasi Rio

1992 (The Rio Declaration on Environment and Development) yang dihasilkan dari

United Nations Conference on Environment and Development - UNCED). Konsep

pembangunan berwawasan lingkungan kemudian diserap oleh lembaga-lembaga

pembiayaan internasional dan digunakan sebagai persyaratan mutlak bagi

lembaga pemerintah atau badan usaha yang akan memanfaatkan potensi

keuangan lembaga-lembaga tersebut, termasuk kedalamnya Bank Dunia (The

International Bank for Reconstruction and Development-IBRD, The World Bank).

Gagasan dan prinsip-prinsip ini kemudian diserap ke dalam berbagai peraturan

perundang-undangan dalam bidang lingkungan hidup oleh Pemerintah Indonesia,

antara lain dengan membentuk Undang-undang Lingkungan Hidup pada tahun

1982, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya: UULH 1982). Pasal 5 ayat (1) UULH

1982 menentukan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik

dan sehat. Pasal 7 ayat (1) menentukan bahwa setiap orang yang menjalankan

suatu bidang usaha wajib memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup

yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang

berkesinambungan. Pasal 8 ayat (1) menentukan bahwa Pemerintah menggariskan

kebijaksanaan dan melakukan tindakan yang mendorong ditingkatkannya upaya

pelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang

berkesinambungan. Pasal 16 menentukan bahwa setiap rencana kegiatan yang

diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup wajib

dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan.

Materi ketentuan demikian itu kemudian diserap ke dalam undang-undang yang

mengubah UULH 1982, seperti: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana kemudian diubah dengan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Ketentuan tersebut dilengkapi dengan berbagai peraturan

teknis yang berhubungan dengan penilaian terhadap kinerja perusahaan dalam

perlindungan lingkungan, antara lain Peraturan Menteri Negara Lingkungan

Hidup Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja

Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana kemudian diubah

dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2013 Tentang

Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan

Hidup.

Ketentuan tersebut mensyaratkan pembangunan dan pengelolaan kawasan

pariwisata sebagai kegiatan usaha yang harus dilengkapi dengan sarana

pengelolaan limbah sebagai komponen tidak terpisahkan (compounded-component)

dari kegiatan pembangunan dan kegiatan usaha kawasan tersebut. Kawasan

Pariwisata Nusa Dua digagas sebagai kawasan pariwisata yang berwawasan

lingkungan dimana penyediaan sistem pengelolaan limbah merupakan komponen

tidak terpisahkan yang bersifat mutlak dan tidak dapat dipisahkan. Sistem

pengolahan limbah demikian itu juga dipersyaratkan sebagai sistem pengolahan

limbah yang berwawasan lingkungan (green waste water management system),

yaitu sistem pengolahan limbah yang pada hakekatnya merupakan sistem daur

ulang (waste recycling) dan bukan merupakan sistem portal pembuangan (portal

dumped system). Karena itu, penyediaan lahan lokasi pengolahan limbah

merupakan bagian yang bersifat mutlak dan tidak terpisahkan dari

pengembangan kawasan. Untuk keperluan itu, PT BTDC sejak permulaan

pengembangan kawasan telah menyediakan lokasi dan sistem pengolahan limbah

dan telah memilih Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 sebagai lokasi terdekat,

berjarak lebih kurang 2 (dua) kilo meter dari lokasi Kawasan sebagai lokasi

pengolahan limbah, sebagai upaya untuk memenuhi berbagai persyaratan

peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap kegiatan pengembangan

kawasan pariwisata, termasuk persyaratan dan ketentuan internasional yang

secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan kepentingan

pengembangan Kawasan, seperti persyaratan kebijakan lingkungan hidup

internasional yang berkaitan erat dengan citra kawasan dan persyaratan

kelembagaan keuangan internasional yang berkaitan erat dengan kepentingan

pembiayaan pengembangan kawasan.

Analisis tersebut menunjukkan bahwa sarana pengolahan limbah merupakan

compounded-component dari suatu kawasan pariwisata dan merupakan komponen

yang dipersyaratkan secara mutlak oleh peraturan perundang-undangan dan

kebijakan internasional, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung

dengan kepentingan pengembangan kawasan, yang lebih lanjut akan berpengaruh

terhadap keberlanjutan keberadaan, peran, dan fungsi-fungsi ekonomi kawasan.

1.2. Karakteristik Status Hukum Kawasan Hutan Prapat Benoa Sebagai Lokasi

Pengolahan Limbah Kawasan Pariwisata Nusa Dua

Kawasan Hutan Prapat Benoa, lokasi Intalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) BTDC,

merupakan lahan kehutanan seluas 30 (tiga puluh) hektar terletak di dalam Kawasan

Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Nomor RTK 10. Kawasan Hutan Prapat Benoa pada

saat feasibility study dalam rangka pengembangan Kawasan dilakukan, pada tahun

Sarana pengolahan limbah merupakan compounded-component dari suatu

kawasan pariwisata, merupakan komponen yang dipersyaratkan secara mutlak

oleh peraturan perundang-undangan dan kebijakan internasional, baik yang

berkaitan langsung dengan kepentingan pengembangan kawasan, seperti

kepentingan pembiayaan pengembangan kawasan, maupun kepentingan tidak

langsung, seperti reputasi atau citra kawasan pada pasar internasional yang

lebih lanjut berpengaruh terhadap keberlanjutan keberadaan, peran, dan

fungsi-fungsi ekonomi kawasan.

1970-an, merupakan lahan yang belum berhutan. Feasibility study itu dilakukan

berturut-turut, antara lain oleh:

(1) Pemerintah dengan bantuan United Nations Development Program (UNDP),

dilaksanakan oleh SCETO (1971), suatu badan usaha konsultan pembangunan

pariwisata dari Perancis, menghasilkan Master Plan Pariwisata Bali;

(2) Direktorat Jenderal Pariwisata dengan bantuan UNDP dalam rangka menyiapkan

Master Plan Kawasan Pariwisata Nusa Dua. Master Plan tersebut dibuat oleh

Pacific Consultant International (PCI), suatu badan usaha konsultan dari Jepang,

bekerjasama dengan Konsultan Indonesia (1972);

(3) Badan Pengembangan Rencana Induk Pariwisata Bali (BPRIP), dengan tugas

konsultasi dan koordinasi. Badan ini dibentuk dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 27 Tahun 1972;

(4) Design Committee yang beranggotakan para arsitek dan pakar pembangunan hotel

yang bertugas membangun Kawasan, berdasarkan nilai-nilai arsitektur serta

manifestasi seni budaya Bali, mewujudkan suatu “wajah khas Bali” yang menyatu

dengan arsitektur dan budaya Bali; dan

(5) appraisal oleh The World Bank pada bulan Mei 1974, dalam rangka pembiayaan

pengembangan kawasan [http://btdc.co.id/profil-bali].

Feasibility Study itu menentukan bahwa lokasi pengolahan limbah yang paling ideal

bagi suatu kawasan pariwisata, khususnya Kawasan Pariwisata Nusa Dua, adalah

lokasi yang jauh dari pemukiman dan berjarak ideal dengan Kawasan. Pilihan lokasi

untuk keperluan pengolahan limbah itu jatuh pada lahan kehutanan Kawasan Hutan

Prapat Benoa yang pada waktu itu merupakan lahan tandus dan belum berhutan. PT

BTDC saat itu berkeyakinan mampu melaksanakan reboisasi dengan SISTEM

TUMPANG SARI pada Kawasan hutan tersebut dengan tujuan menghijaukan atau

menghutankan Kawasan Hutan tersebut. Dasar menimbang ketiga dari Perjanjian

Pinjam Pakai antara Direktorat Jendral Kehutanan dengan PT BTDC yang dibuat

pada tahun 1979 [FAKTA 5, Doc.1, h. 1] menyebutkan bahwa “BTDC dalam rangka

kerjasamanya dengan Kehutanan setelah menelaah hasil feasibility study terhadap

kawasan hutan di Kelompok Hutan Prapat Benoa RTK 10 di sekitar Bualu (Bali

Selatan) berkeyakinan bahwa pelaksanaan reboisasi dengan sistem tumpang sari

jangka panjang pada kawasan tersebut dapat dikerjakan/dilaksanakan”. Kegiatan

reboisasi itu disadari oleh Para Pihak sebagai kegiatan jangka panjang untuk

kepentingan pembangunan kawasan hutan pada kawasan tersebut. Di dalam dasar

menimbang keempat Perjanjian disebutkan bahwa pemberian hak pengelolaan

Kawasan Hutan Prapat Benoa kepada BTDC merupakan garis kebijakan Pemerintah

yang diwujudkan dalam bentuk kerjasama dengan BTDC [Doc.1, h.2].

Pasal 1 Perjanjian menunjukkan bahwa obyek Perjanjian yang diberikan oleh

Kehutanan kepada BTDC adalah TANAH KEHUTANAN, bukan hutan, seluas 30 ha

digunakan untuk lokasi Sewerage Treatment Plant dengan menggunakan SISTEM

TUMPANG SARI JANGKA PANJANG yang tujuan utamanya adalah reboisasi lokasi.

Perjanjian tersebut belum menyebutkan STATUS HUTAN yang akan dikembangkan

melalui sistem tersebut.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kehutanan (selanjutnya: UU Kehutanan 1967), sekalipun telah mengklasifikasikan

hutan berdasarkan fungsinya ke dalam beberapa kategori, yaitu: (a) hutan lindung;

(b) hutan produksi; (c) hutan suaka alam; dan (d) hutan wisata, namun saat

Perjanjian disepakati belum mengkategorikan Hutan Prapat Benoa sebagai salah satu

dari keempat kategori itu. Pasal 4 Undang-undang bahkan menentukan kategori lain

berdasarkan peruntukannya, yaitu: (a) wilayah yang berhutan yang perlu

dipertahankan sebagai hutan tetap; dan (b) wilayah tidak berhutan yang perlu

dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai hutan tetap. Berdasarkan

peruntukkannya, Kawasan Hutan Prapat Benoa pada saat itu masuk ke dalam

kategori yang kedua, yaitu wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali

dan dipertahankan sebagai hutan tetap.

Kelompok hutan Prapat Benoa RTK10 untuk pertama kali ditunjuk sebagai kawasan

hutan berdasarkan Surat Penunjukan GB Nomor 28 B.b.2, 29 Mei 1927, kemudian

Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 821/Kpts/Um/II/1982, 10 Nopember 1982,

dengan luasan seluas 1.392 Ha. Pengukuran batas Hutan Prapat Benoa pernah

dilakukan pada tahun 1952, namun belum dilengkapi Berita Acara Tata Batas.

Pengukuran ulang dilakukan pada tahun 1984/1985 disertai penetapan seluruh

batasnya pada RTK.10 dengan STATUS FUNGSI SEBAGAI HUTAN LINDUNG dan

HUTAN PRODUKSI. Pada tahun 1986 dilakukan pengukuhan batas dengan panjang

51,83 km dengan luas 1.392 Ha, Berita Acara Tata Batas tanggal 5 Februari 1987,

disahkan oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 10 Februari 1988, kemudian

ditetapkan oleh Menteri kehutanan dengan Surat Keputusan Penetapan Nomor:

067/Kpts/II/1988, 15 Februari 1988 dengan luas 1.392 Ha. Pada tahun 1992, status

Hutan Prapat Benoa RTK.10 diubah menjadi TAMAN WISATA ALAM dengan

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 885/Kpts-II/1992, 8 September 1992, dan

pada tahun 1993 statusnya diubah kembali menjadi TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA)

dengan nama TAMAN HUTAN RAYA NGURAH RAI dengan Keputusan Menteri

Kehutanan Nomor: 544/Kpts-II/1993, 25 September 1993. Berdasarkan Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor 517/Kpts-II/1997, 12 Agustus 1997, sebagian KAWASAN

TAMAN HUTAN RAYA NGURAH RAI pada blok pemanfaatan Pulau Serangan seluas

80,14 ha, terletak di Kota Madya Denpasar, diubah fungsinya menjadi Kawasan

Hutan Yang Dapat Dikonversi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:

SK.447/Menhut-II/2014, 30 April 2014 Kawasan Hutan Taman Hutan Raya Ngurah

Rai, kelompok Hutan Prapat Benoa (RTK.10) pada sub Kelompok B juga diubah

fungsinya menjadi Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi, terletak di Kabupaten

Badung seluas 169,95 Ha. Kegiatan tukar-menukar pada Kawasan Taman Hutan

Raya Ngurah Rai mengakibatkan luas Kawasan Hutan Prapat Benoa (RTK.10)

berkurang menjadi 1.309,33 Ha. Pengurangan luas itu tidak termasuk pengurangan

akibat pemanfaatan Kawasan Hutan Prapat Benoa untuk lokasi pengolahan limbah

BTDC, karena pemanfaatan tersebut tidak mengakibatkan pengurangan luas dan

perubahan fungsi hutan, melainkan bahkan penambahan sebagai hasil reboisasi

lokasi dan pemberian lahan pengganti seluar 30 Ha, yang juga telah dihutankan oleh

BTDC, di Karangasem.

Berdasarkan perkembangan tersebut, perkembangan karakteristik status hukum

Hutan Prapat Benoa RTK.10 dapat digambarkan sebagai berikut:

NO TAHUN PERKEMBANGAN STATUS HUKUM DASAR HUKUM

1 1927 Penujukan sebagai KAWASAN HUTAN Surat Penunjukkan GB Nomor 28 B.b.2, 29

Mei 1927.

Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor:

821/Kpts/Um/II/1982, 10 Nopember 1982

2 1979 PERJANJIAN PINJAM PAKAI Dirjen

Kehutanan dengan PT BTDC

Kawasan Hutan Prapat Benoa sebagai Lahan

Kehutanan yang akan dikembangkan

menjadi hutan dengan SISTEM TUMPANG

SARI JANGKA PANJANG dan difungsikan sebagai lokasi pengolahan limbah cair

Kawasan Pariwisata Nusa Dua

3 1984/ 1985

HUTAN LINDUNG dan HUTAN PRODUKSI

Penetapan Hasil Pengukuran

4 1986 -idem- Pengukuhan batas dengan panjang 51,83 km

dengan luas 1.392 Ha, Berita Acara Tata Batas tanggal 5 Februari 1987, disahkan

oleh Menteri Kehutanan, 10 Februari 1988,

ditetapkan Surat Keputusan Penetapan

Menteri Kehutanan Nomor:

067/Kpts/II/1988, 15 Februari 1988 dengan

luas 1.392 Ha.

5 1992 TAMAN WISATA ALAM Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:

885/Kpts-II/1992, 8 September 1992.

6 1993 TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA)

dengan nama TAMAN HUTAN RAYA

NGURAH RAI

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:

544/Kpts-II/1993, 25 September 1993

7 1997 KAWASAN HUTAN YANG DAPAT

DIKONVERSI. [Kawasan Taman

Hutan Raya Ngurah Rai pada blok pemanfaatan Pulau Serangan seluas

80,14 Ha, terletak di Kota Madya

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

517/Kpts-II/1997, 12 Agustus 1997

Denpasar]

8 2014 KAWASAN HUTAN YANG DAPAT

DIKONVERSI [Kawasan Hutan Taman Hutan Raya

Ngurah Rai, kelompok Hutan Prapat

Benoa (RTK.10), sub Kelompok B,

terletak di Kabupaten Badung seluas

169,95 Ha

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:

SK.447/Menhut-II/2014, 30 April 2014

Perkembangan tersebut menunjukan bahwa status hukum Hutan Prapat Benoa

RTK10 sebagai Kawasan hutan lahir dari Surat Penunjukkan GB Nomor 28 B.b.2, 29

Mei 1927, kemudian Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor:

821/Kpts/Um/II/1982, 10 Nopember 1982. Sebelum Keputusan Menteri 821/1982,

Kawasan Hutan Prapat Benoa diberi fungsi terpadu sebagai kawasan hutan dan

lokasi pengolahan limbah Kawasan Pariwisata Nusa Dua melalui Perjanjian Pinjam

Pakai antara Dirjen Kehutanan dengan PT BTDC (1979). Sejak Tahun 1993, dengan

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 544/Kpts-II/1993, 25 September 1993,

Kawasan tersebut diberi status sebagai TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA).

Perkembangan tersebut juga menunjukan bahwa penetapan dan pengukuhan status

Kawasan Hutan Prapat Benoa sebagai Taman Hutan Raya terjadi setelah Pemerintah

c.q. Kementerian Kehutanan memberikan izin pinjam pakai kepada PT BTDC melalui

Perjanjian Pinjam Pakai antara Kementerian Kehutanan dengan PT. BTDC (1979) dan

berdasarkan Perjanjian tersebut Kawasan Hutan tersebut, seluas 30 ha, juga telah

ditetapkan sebagai lokasi pengolahan limbah Kawasan Pariwisata Nusa Dua sebagai

bagian dari kebijakan pembangunan pariwisata nasional. Hanya saja, berbagai

kebijakan penetapan status hutan pada Kawasan tersebut setelah Perjanjian tersebut

dibentuk mengabaikan fungsi lain dari lahan kehutanan seluas 30 Ha pada Kawasan

Hutan Prapat Benoa RTK10 yang sejak 1979 telah ditetapkan sebagai lokasi

pengolahan limbah Kawasan Pariwisata Nusa Dua. Perjanjian Pinjam Pakai, sebagai

bagian dari kebijakan Pemerintah dalam bidang pembangunan pariwisata, telah

menetapkan Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 sebagai Kawasan kehutanan yang

diberi fungsi terpadu, yaitu di satu sisi berfungsi sebagai Kawasan Hutan dan pada

sisi lainnya berfungsi sebagai lokasi pengolahan limbah yang berwawasan

lingkungan. Fungsi demikian itu merupakan fungsi khusus yang seyogyanya diberi

pengaturan khusus di dalam pengaturan kebijakan penetapan status fungsi hutan

tersebut.

Berkenaan dengan status baru Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK.10 sebagai

TAHURA, maka perpanjangan Perjanjian Pinjam Pakai Kawasan Hutan Prapat Benoa

RTK.10 dapat diperpanjang dengan memperhatikan dua kondisi, yaitu:

(1) status baru Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK.10 sebagai TAHURA; dan

(2) kebijakan pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diatur di dalam berbagai

peraturan perundang-undangan dan kebijakan Kementerian Kehutanan yang

telah ditetapkan mendahului kebijakan Kementerian Kehutanan tentang

penetapan status baru Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK.10 yang tercakup

kedalam status TAHURA.

Status hukum Hutan Prapat Benoa RTK10 sebagai Kawasan hutan lahir dari Surat

Penunjukkan GB Nomor 28 B.b.2, 29 Mei 1927, kemudian Surat Keputusan Menteri

Pertanian Nomor: 821/Kpts/Um/II/1982, 10 Nopember 1982. Sebelum Keputusan Menteri

821/1982, Kawasan Hutan Prapat Benoa diberi fungsi terpadu sebagai kawasan hutan

dan lokasi pengolahan limbah Kawasan Pariwisata Nusa Dua berdasarkan Perjanjian

Pinjam Pakai antara Dirjen Kehutanan dengan PT BTDC (1979). Sejak Tahun 1993,

dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 544/Kpts-II/1993, 25 September 1993,

Kawasan tersebut diberi status sebagai TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA).

Berkenaan dengan status baru Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK.10 sebagai TAHURA,

maka perpanjangan Perjanjian Pinjam Pakai Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK.10 dapat

diperpanjang dengan memperhatikan dua kondisi, yaitu:

(1) status baru Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 sebagai TAHURA sesuai dengan

Undang-Undang Kehutanan, PP Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan

Perlindungan Alam, dan Permen Kehutanan 85/2014; dan

(2) kebijakan pembangunan ekonomi nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Kepariwisataan dan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara; kebijakan

perlindungan lingkungan hidup dan penataan ruang sebagaimana diatur di dalam

Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-

Undang Penataan Ruang, termasuk Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali

2009; peraturan perundang-undang dalam bidang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, sebagaimana diatur di dalam berbagai peraturan perundang-

undangan dan kebijakan Kementerian Kehutanan yang telah ditetapkan mendahului

2. ANALISIS 2: SUBYEK KEWENANGAN KAWASAN HUTAN PRAPAT BENOA RTK.10

SEBAGAI LOKASI IPAL BTDC

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya: UU

atau UU 41/1999) mengklasifikasikan hutan berdasarkan fungsinya atas 3 (tiga)

klasifikasi, yaitu:

a. hutan konservasi;

b. hutan lindung; dan

c. hutan produksi.

Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai

fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya

(Pasal 1 angka 9). Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi

pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,

mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara

kesuburan tanah (Pasal 1 angka 8). Hutan produksi adalah kawasan hutan yang

mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Kawasan hutan adalah wilayah

tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap (Pasal 1 angka 3).

Pasal 7 UU mengatur jenis kawasan hutan konservasi. Hutan konservasi mencakup

tiga kategori kawasan hutan, yaitu:

a. kawasan hutan suaka alam;

b. kawasan hutan pelestarian alam; dan

c. taman buru.

Kawasan hutan suaka alam (KSA) adalah hutan dengan ciri khas tertentu dengan

fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa

serta ekosistemnya, dan juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan

(Pasal 1 angka 10). Kawasan hutan pelestarian alam (KPA) adalah hutan dengan ciri

khas tertentu dengan fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan,

pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara

lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 1angka 11). Taman buru

adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu (Pasal 1angka

12).

Taman Hutan Raya (Tahura) masuk kedalam kategori Kawasan Hutan Pelestarian

Alam (KPA). Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 Tentang

Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (selanjutnya: PP

atau PP 28/2011) menentukan bahwa KPA terdiri dari:

a. taman nasional;

b. taman hutan raya; dan

c. taman wisata alam.

Pasal 2 UU menentukan bahwa penyelenggaraan kehutanan didasarkan pada asas-

asas hukum berikut:

a. asas manfaat dan lestari;

b. kerakyatan;

c. keadilan;

d. kebersamaan;

e. keterbukaan; dan

f. keterpaduan.

Asas pertama (manfaat dan lestari) UU memungkinkan Tahura dimanfaatkan untuk

fungsi lain selain konservasi, sepanjang pemanfaatan itu tidak mengganggu atau

dapat menjaga kelestarian hutan. Pasal 36 PP menentukan bahwa TAHURA terbuka

untuk pemanfaatan, termasuk: ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian, koleksi

keragaman hayati, penyimpanan/penyerapan karbon, dan wisata alam, yang memberi

indikasi bahwa Tahura dapat dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan diluar

konservasi.

Pasal 12 PP menentukan bahwa penyelenggaraan taman hutan raya (Tahura)

dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota. Ketentuan ini

menunjukkan bahwa subyek kewenangan pengelolaan Tahura ada pada Pemerintah

Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota. Lampiran Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah huruf BB angka 3 tentang Urusan

Pemerintahan Bidang Kehutanan menentukan bahwa urusan pelaksanaan

perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman hutan raya

(TAHURA) lintas Daerah kabupaten/kota, pelaksanaan perlindungan tumbuhan dan

satwa liar yang tidak dilindungi dan/atau tidak masuk dalam lampiran (Appendix)

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and

Flora), dan pelaksanaan pengelolaan kawasan bernilai ekosistem penting dan daerah

penyangga kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

kewenangan Pemerintah Provinsi. Lampiran Undang-Undang itu mempertegas bahwa

kewenangan pengelolaan kawasan Tahura Prapat Benoa RTK.10 berada di dalam

lingkup atau merupakan bagian kewenangan Pemerintah Provinsi Bali.

Ketentuan tersebut selaras juga dengan ketentuan Lampiran Undang-Undang

Pemerintahan Daerah huruf C tentang pembagian urusan Pemerintahan dalam

bidang pengelolaan air limbah yang tercakup kedalam urusan Pemerintahan Bidang

Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang yang menentukan bahwa urusan

pemerintahan bidang pekerjaan umum dan penataan ruang mencakup urusan air

limbah. Pengelolaan dan pengembangan sistem air limbah domestik regional

merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi dan urusan pengelolaan dan

pengembangan sistem air limbah domestik dalam Daerah kabupaten/kota. Dalam

pembagian urusan yang berkenaan dengan penataan ruang, Lampiran tersebut

menentukan bahwa penyelenggaraan penataan ruang Daerah provinsi merupakan

kewenangan pemerintah provinsi dan penyelenggaraan penataan ruang Daerah

kabupaten/kota merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Ketentuan

mengenai pembagian urusan tersebut menempatkan pemerintah provinsi sebagai

subyek kewenangan dalam urusan pengelolaan limbah regional.

Alokasi urusan dan kewenangan itu kemudian dijabarkan oleh Pemerintah Provinsi

Bali di dalam Pasal 66 ayat (2) huruf g Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2009

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali 2009-2029 menetapkan Kawasan

Pariwisata Nusa Dua sebagai kawasan peruntukan pariwisata. Pasal 66 ayat (3)

menentukan bahwa pengembangan kawasan pariwisata demikian itu dilakukan

dalam bentuk:

a. penetapan kawasan pariwisata berdasarkan cakupan geografis yang berada dalam

satu atau lebih satuan wilayah administrasi desa/kelurahan yang di dalamnya

terdapat potensi daya tarik wisata, aksesibilitas yang tinggi, ketersediaan fasilitas

umum dan fasilitas pariwisata serta aktivitas sosial budaya masyarakat yang saling

mendukung dalam perwujudan kepariwisataan;

b. pemaknaan kawasan pariwisata tidak semata-mata hanya sebagai kawasan yang

boleh dibangun fasilitas akomodasi dan fasilitas penunjang pariwisata di dalam

kawasan, melainkan mencakup kawasan lindung dan kawasan budidaya lainnya di

luar kawasan peruntukan pariwisata;

c. pengaturan kawasan pariwisata dengan menetapkan luasan dan lokasi

pengembangan kawasan peruntukan efektif pariwisata sebagai lokasi peruntukan

akomodasi wisata beserta fasilitas pendukung lainnya sesuai potensi, daya

dukung dan daya tampung kawasan yang dapat dikelola sebagai kawasan

pariwisata tertutup, kawasan pariwisata terbuka, maupun kombinasi keduanya;

dan

d. penetapan kawasan peruntukan efektif pariwisata beserta peruntukan lainnya baik

peruntukan kawasan lindung maupun kawasan budidaya lainnya.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pengembangan suatu kawasan pariwisata

tidak terbatas pada pengembangan kawasan sebagai kawasan, melainkan kawasan

dalam kombinasi dengan fungsi kawasan lainnya, termasuk fasilitas pendukung

kawasan pariwisata.

Pasal 82 huruf c Perda juga menetapkan Kawasan Pariwisata Nusa Dua sebagai

kawasan strategis pariwisata, yaitu kawasan strategis dari sudut kepentingan

pertumbuhan ekonomi. Pasal 87 Perda menyatakan bahwa kawasan strategis provinsi

dari sudut kepentingan ekonomi adalah kawasan yang:

a. memiliki potensi ekonomi cepat tumbuh;

b. memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi

wilayah;

c. didukung jaringan prasarana dan fasilitas penunjang kegiatan ekonomi skala

pelayanan wilayah, nasional dan internasional; dan

d. memiliki tingkat pelayanan tinggi untuk mendorong aksesibilitas pergerakan

penumpang, barang dan jasa skala pelayanan wilayah, nasional dan internasional.

Pasal 85 huruf a Perda menetapkan Kawasan Taman Hutan Raya Prapat Benoa

(Ngurah Rai) di Kota Denpasar dan Badung sebagai Kawasan Strategis Provinsi dari

sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Pasal 90 Perda

menentukan bahwa kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan

daya dukung lingkungan hidup mencakup fungsi sebagai:

g. tempat perlindungan keanekaragaman hayati;

h. aset daerah berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan

ekosistem;

i. perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro;

j. perlindungan keseimbangan tata guna air;

k. perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam; dan

l. perlindungan terhadap daerah pesisir.

Pasal 39 ayat (8) Perda menetapkan IPAL Kawasan Pariwisata Nusa Dua yang dilayani

dengan IPAL Benoa sebagai IPAL pelayanan limbah Kawasan Pariwisata Nusa Dua

sebagai bagian sistem pengelolaan air limbah perpipaan terpusat. Pasal 39 ayat (7)

huruf b menyatakan bahwa sistem pembuangan air limbah perpipaan terpusat

dilakukan secara kolektif melalui jaringan pengumpul dan diolah serta dibuang

secara terpusat pada kawasan pariwisata.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Perda Tata Ruang Bali 2009 telah

mempertimbangkan dan mengatur Kawasan Pariwisata Nusa Dua dan Kawasan

Hutan Prapat Benoa RTK.10 sebagai dua kawasan yang berfungsi berbeda, namun

satu sama lain saling mendukung dan melengkapi. Satu kesatuan kawasan yang

dikelola dari sudut kepentingan ekonomi dan lingkungan hidup secara seimbang

sesuai dengan asas UU Kehutanan, kemanfaatan dan kelestarian. Pengaturan fungsi-

fungsi ruang melalui kebijakan demikian itu menegaskan bahwa Perda Tata Ruang

Bali 2009 telah mengakui, mengukuhkan dan memelihara fungsi-fungsi ruang

Kawasan Pariwisata Nusa Dua dan Hutan Prapat Beoa RTK.10 dengan seluruh

bagiannya sebagaimana fungsi yang sudah ada dan berlangsung sebelumnya, dan

terus dapat dilanjutkan. Karena itu, kerjasama pemanfaatan Kawasan Hutan Prapat

Benoa RTK.10 sebagai lokasi pengolahan limbah cair Kawasan Pariwisata Nusa Dua

tetap dapat dilanjutkan dengan penyesuaian-penyesuaian dengan perkembangan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya dalam bidang kehutanan,

sepanjang sesuai dengan asas hukum yang dianut oleh UU Kehutanan (kemanfaatan

dan kelestarian).

Ketentuan-ketentuan tersebut memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi

ITDC dan instansi yang berwenang bahwa Perjanjian Kerjasama Pinjam Pakai antara

ITDC dengan Kementerian Kehutanan (1979) dan antara ITDC dengan Pemerintah

Provinsi Bali (1999) tetap dapat dilanjutkan dengan berbagai penyesuaian dengan

status baru Kawasan Hutan Prapat Benoa, termasuk RTK.10, yang telah ditetapkan

sebagai TAHURA yang kewenangan pengelolaannya ada pada Pemerintah Provinsi

Bali. Bagian-bagian materi Perjanjian yang tidak tercakup di dalam peraturan

perundangan yang mengatur TAHURA, termasuk Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor: P.85/Menhut-II/2014 Tentang Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan

Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dapat menggunakan materi

yang telah tercakup di dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah 2014, Perda

RTRW Bali 2009, dan Perjanjian Pinjam Pakai, sehingga Perjanjian Kerjasama Pinjam

Pakai tetap dapat diteruskan dalam bentuk penggabungan antara ketentuan Permen,

ketentuan Undang-Undang Pemda 2014, Perda RTRW Bali 2009 dan ketentuan

Perjanjian yang telah mengatur bagian-bagian yang tidak diatur di dalam Permen dan

sebaliknya bagian-bagian yang belum diatur di dalam Perjanjian. Materi Perjanjian

tentang kerjasama penyelenggaraan KPA dapat diserap dari Permen dan materi

Perjanjian tentang pengelolaan limbah di dalam kawasan kehutanan dapat diserap

dari Perjanjian Pinjam Pakai yang telah ada sebelum Permen dibentuk.

Pasal 52 ayat (3) PP 28/2011 yang mengatur tentang keadaan peralihan akibat

pemberlakuan PP itu menentukan bahwa kerjasama pengelolaan KSA dan KPA yang

ditandatangani sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, dalam jangka waktu

paling lambat 1 (satu) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Peraturan Pemerintah ini ditetapkan pada tanggal 19 Mei 2011, sehingga paling

lambat pada tanggal 19 Mei 2012 BTDC seharusnya sudah menyesuaikan Kerjasama

pengelolaan lahan kehutanan yang tercakup kedalam Kawasan Hutan Prapat Benoa

yang oleh BTDC dipergunakan sebagai lokasi pengolahan limbah. Namun demikian,

sekalipun proses perpanjangan Kerjasama penggunaan lahan kehutanan tersebut

telah dilakukan secara terus menerus sejak Perjanjian Pinjam Pakai Kawasan

tersebut berakhir, namun proses perpanjangan tersebut belum selesai. Sesuai

Perjanjian Pinjam Pakai antara PT BTDC dengan Kepala kantor Wilayah Departemen

Kehutanan Propinsi Bali (Pernjajian Nomor 131/Kwl-5/1994 atau 08/SP/II/1994),

Persetujuan Menteri Nomor 1851/Menhut-II/92, 17 Oktober 1992 dan Persetujuan

Nomor 1837/Menhut-II/93, 23 Oktober 1993, dengan masa berlaku Perjanjian 5

(lima) tahun, berakhir 1999 dan pada bulan Agustus 1999, PT BTDC telah

menyiapkan Draft Perjanjian Perpanjangan Perjanjian Pinjam Pakai Sebagian

Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 Tahura Ngurah Rai antara PT BTDC dengan

Kantor Wilayah Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Bali sebagai upaya untuk

memberikan landasan hukum bagi penggunaan Kawasan Hutan tersebut, namun

hingga saat ini Draft tersebut belum ditandatangani. Keterlambatan penandatangan

Draft Perjanjian itu terkait dengan perubahan kebijakan Pemerintah dalam bidang

kehutanan yang mengakibatkan diperlukan waktu lebih lama untuk membahas dan

menentukan format hukum pemanfaatan atau penggunaan lokasi tersebut berkenaan

dengan perubahan status Kawasan kehutanan dimaksud, alokasi kewenangan,

subyek kewenangan, dan posisi Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK. 10 sebagai obyek

kewenangan Pemerintah.

Bertolak dari bentuk dasar format hukum pemanfaatan Kawasan adalah KERJASAMA

dan status Kawasan tersebut sebagai TAHURA, maka format hukum yang paling

sesuai dengan persyaratan peraturan perundang-undangan dalam pemanfaatan lebih

lanjut kawasan tersebut adalah Kerjasama Pengelolaan KPA sebagaimana diatur di

dalam Pasal 52 PP. Bertolak dari ketentuan Pasal 12 PP dan Undang-Undang

Pemerintahan Daerah, maka perpanjangan perjanjian pemanfaatan Kawasan Hutan

Prapat Benoa RTK10 sebagai bagian dari Tahura Ngurah Rai dapat dilanjutkan antara

ITDC dengan Pemerintah Provinsi Bali berkenaan dengan ketentuan Pasal 12 PP dan

Lampiran Undang-Undang Pemerintahan Daerah menentukan Pemerintah Provinsi

Bali sebagai subyek kewenangan dari Kawasan tersebut, serta Pasal 52 PP yang

mengamanatkan penyesuaian perpanjangan perjanjian kerjasama itu harus

disesuaikan dengan ketentuan PP.

3. ANALISIS 3: PERPANJANGAN PERJANJIAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN

PRAPAT BENOA RTK. 10 SEBAGAI LOKASI PENGOLAHAN LIMBAH BTDC

Pemanfaatan Tahura ditentukan di dalam Pasal 36 PP. Pasal 36 PP menentukan

bahwa Tahura dapat dimanfaatkan antara lain untuk kegiatan:

a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. pendidikan dan peningkatan kesadaran dan pengetahuan konservasi;

Berdasarkan ketentuan Pasal 52 PP, maka perpanjangan Perjanjian Pemanfaatan

Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 sebagai bagian dari Tahura Ngurah Rai dapat dilanjutkan antara ITDC dengan Pemerintah Provinsi Bali berkenaan dengan

ketentuan Pasal 12 PP dan Lampiran Undang-Undang Pemerintahan Daerah 2014 menentukan Pemerintah Provinsi Bali sebagai subyek kewenangan dari Kawasan

Hutan tersebut dan Pasal 52 PP mengamanatkan penyesuaian perpanjangan perjanjian kerjasama itu harus disesuaian dengan ketentuan PP.

c. koleksi keanekaragaman hayati;

d. penyimpanan dan/atau penyerapan carbon, pemanfaatan air serta energi air,

panas dan angin, serta wisata alam;

e. pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dalam rangka menunjang budi daya dalam

bentuk penyediaan plasma nuftah; dan

f. pembinaan populasi melalui penangkaran dalam rangka pengembangbiakan satwa

atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam lingkungan semi alami.

Kerjasama PT ITDC dengan Pemerintah Provinsi Bali dalam pemanfaatan Tahura

Hutan Prapat Benoa dapat mencakup seluruh materi pemanfaatan itu.

Oleh karena Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 masuk kedalam cakupan Tahura

Ngurah Rai, maka tata cara kerjasamanya tercakup kedalam Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor: P.85/Menht-II/2014. Nomenklatur dan materi perjanjian dapat

disesuaikan dengan ketentuan Permen tersebut.

Pasal 1 angka 6 Permen menentukan bahwa kerjasama penyelenggaraan KPA

merupakan kegiatan bersama antara para pihak yang dibangun atas kepentingan

bersama untuk optimalisasi dan efektifitas pengelolaan kawasan atau karena adanya

pertimbangan khusus bagi penguatan ketahanan nasional. Pasal 2 Permen

menentukan bahwa tujuan kerjasama penyelenggaraan KPA adalah untuk:

a. mewujudkan penguatan tata kekola pengelolaan kawasan; dan

b. konservasi keanekaragaman hayati.

Pasal 3 menentukan bahwa kerjasama penyelenggaraan KPA dapat mencakup:

a. penguatan fungsi KPA dan konservasi keanekaragaman hayati; dan

b. pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Permen, kerjasama ITDC dengan Pemerintah Provinsi

Bali dapat mencakup kedua materi tersebut, berkenaan dengan fungsi yang selama

ini telah diperankan ITDC, yaitu melakukan reboisasi, memelihara, mengawasi,

menjaga, dan mengembangkan kawasan pengolahan limbah menjadi kawasan

konservasi vegetasi dan keragaman hayati yang sehat dan lestari.

Pasal 4 Permen menentukan bahwa ruang lingkup kegiatan kerjasama

penyelenggaraan KPA, meliputi:

a. mitra kerjasama;

b. penguatan fungsi KPA serta keanekaragaman hayati;

c. pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan;

d. kewajiban;

e. tata cara kerjasama; dan

f. monitoring, evaluasi, dan pelaporan.

Pasal 5 Permen menyebutkan bahwa disamping lembaga internasional dan pihak

lainnya, mitra kerjasama yang pertama disebutkan di dalam ketentuan itu adalah

badan usaha. Ketentuan-ketentuan tersebut memberi kepastian hukum bagi ITDC

bahwa ITDC sebagai suatu badan usaha tetap dapat berkedudukan sebagai pihak

perjanjian dalam kerjasama dalam rangka penyelenggaraan KPA.

Pasal 6 Permen menentukan bahwa kerjasama penguatan fungsi KPA dan konservasi

keragaman hayati, mencakup:

a. kerjasama penguatan kelembagaan;

b. kerjasama perlindungan kawasan;

c. kerjasama pengawetan flora dan fauna;

d. kerjasama pemulihan ekosistem;

e. kerjasama pengembangan wisata alam; atau

f. kerjasama pemberdayaan masyarakat.

Kata “atau” pada tabulasi unsur-unsur kerjasama huruf e menunjukkan bahwa mitra

kerjasama dapat memilih beberapa materi kerjasama yang berkaitan dengan

kepentingan para pihak. Atau, komponen materi kerjasama itu tidak bersifat

kumulatif, melainkan alternatif.

Bab III Permen mengatur tentang kerjasama dalam rangka pembangunan strategis

yang tidak dapat dielakkan. Pasal 13 Permen menentukan bahwa komponen

kerjasama dalam rangka pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan hanya

mencakup:

a. kegiatan yang mempunyai pengaruh terhadap kedaulatan negara dan

pertahanan keamanan negara;

b. pemanfaatan dan pengembangan sarana komunikasi;

c. pemanfaatan dan pengembangan transportasi terbatas; atau

d. pemanfaatan dan pengembangan energi baru dan terbarukan serta jaringan

listrik untuk kepentingan nasional.

Ketentuan tersebut tidak menyebutkan kebutuhan lokasi pengolahan limbah yang

berwawasan lingkungan bagi pengembangan suatu kawasan pariwisata sebagai

komponen dari pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan. Demikian juga

pengertian pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan sebagaimana diatur di

dalam Pasal 1 angka 7 Permen tidak menyebutkan pengolahan limbah berwawasan

lingkungan untuk kepentingan pengembangan kawasan pariwisata sebagai komponen

bagian dari pembangunan demikian itu. Pasal 1angka 7 hanya menyebutkan bahwa

pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan adalah kegiatan yang mempunyai

pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan

keamanan negara, sarana komunikasi, transportasi terbatas dan jaringan listrik

untuk kepentingan nasional. Definisi tersebut belum memasukkan pembangunan

strategis yang tidak dapat dielakkan yang timbul dari kepentingan pembangunan

ekonomi strategis.

Berdasarkan unsur dasar di dalam pengertian tersebut dan sesuai dengan asas

hukum yang dianut oleh UU Kehutanan dalam penyelenggaraan pengelolaan urusan

kehutanan (asas manfaat dan lestari, keadilan, dan keterpaduan), maka pengolahan

limbah Kawasan Pariwisata Nusa Dua sebagai compounded-component dari suatu

kawasan pariwisata adalah pembangunan yang masuk kedalam kategori

pembangunan yang tidak dapat dielakkan dan mempunyai pengaruh penting secara

nasional terhadap kepentingan ekonomi nasional. Pengolahan limbah merupakan

bagian tidak terpisahkan dari atau merupakan prasyarat mutlak dari pengembangan

dan keberadaan kawasan pariwisata. Persyaratan demikian itu lahir dari peraturan

perundang-undangan dalam bidang lingkungan hidup, penataan ruang, dan

peraturan perundang-undangan dalam bidang pariwisata. Pasal 20 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (selanjutnya: UUPPLH) menentukan setiap orang diperbolehkan untuk

membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:

a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan

b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

kewenangannya.

Pasal 22 UUPPLH menentukan bahwa setiap kegiatan usaha yang menghasilkan

dampak penting terhadap lingkungan hidup wajib menyediakan fasilitas pengelolaan

dampak. Pasal 44 UUPPLH juga mewajibkan setiap penyusunan peraturan

perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan

perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUPPLH yang

mengisyaratkan bahwa Permen Kehutanan 85/2014 seyogyanya juga dibaca dalam

konteks asas dan ketentuan yang dianut UUPPLH.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan (selanjutnya:

UU Kepariwisataan) menentukan bahwa kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan

asas, antara lain:

a. manfaat;

b. adil dan merata;

c. keseimbangan;

d. kelestarian; dan

e. berkelanjutan;

Pasal 23 ayat (1) menentukan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah

berkewajiban untuk, antara lain:

a. menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata

yang meliputi terbukanya kesempatan yang sama dalam berusaha,

memfasilitasi, dan memberikan kepastian hukum;

b. memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi

daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali; dan

c. mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka

mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.

Pasal 26 huruf l dan m UU Kepariwisataan membebankan kewajiban kepada

pengusaha pariwisata untuk memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya,

menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan

secara bertanggung jawab.

Ketentuan-ketentuan tersebut dalam bidang pengaturan lingkungan hidup dan

kepariwisataan meletakkan fasilitas pengolahan limbah sebagai prasyarat mutlak

dalam pengembangan dan pengelolaan suatu kawasan pariwisata. Fasilitas

pengolahan limbah merupakan prasyarat mutlak bagi keberadaan suatu kawasan

pariwisata, dan karena itu sesungguhnya merupakan bagian dari kategori

pembangunan yang tidak dapat dielakkan, mempunyai pengaruh sangat penting

secara nasional terhadap kepentingan ekonomi nasional karena persyaratan

pengolahan limbah merupakan prasyarat mutlak bagi pengembangan suatu kawasan

pariwisata. Ketersediaan pengolahan demikian itu berpengaruh besar terhadap citra

kawasan, fungsi ekonomi kawasan, dan kepentingan ekonomi nasional terhadap

keberlanjutan fungsi ekonomi kawasan. Karena itu, berkenaan dengan:

a. persyaratan yang lahir dari peraturan perundang-undangan bidang lingkungan

hidup dan kepariwisataan, serta asas hukum yang dianut oleh UU Kehutanan;

b. konsep dasar dari pengertian pembangunan yang tidak dapat dielakkan yang

mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional;

c. izin pemanfaatan lahan kehutanan Kawasan Hutan Prapat Benoa yang telah

diberikan oleh Kementerian Kehutanan kepada ITDC sejak 1979;

d. pelaksanaan segala persyaratan pemanfaatan dan kewajiban yang ditentukan

di dalam perjanjian secara baik oleh ITDC, termasuk reboisasi, penyediaan

lahan pengganti dan penghutanan lahan pengganti;

e. pemeliharaan dan perlindungan kawasan kehutanan lokasi pengolahan limbah

secara baik;

f. fungsi kawasan hutan lokasi yang telah berkembang menjadi lagoon dan hutan

vegetasi dan tempat berkembangnya keragaman hayati;

g. model pengolahan limbah yang berwawasan lingkungan dan mendapat

pengakuan dunia; dan

h. ketentuan Permen yang secara konsep dasar memungkinkan keberlanjutan

pemanfaatan lokasi; dan

i. secara hukum, fakta pemanfaatan dan izin pemanfaatan telah berlangsung

mendahului ketentuan dan sifat obyek sebagai persyaratan mutlak

pengembangan suatu kawasan wisata;

maka pemanfaatan lokasi pengolahan limbah Kawasan Pariwisata Nusa Dusa

tetap dapat dilanjutkan.

Dengan mempertimbangkan azas-azas hukum yang telah digunakan sebagai dasar

pembentukan Perjanjian Pinjam Pakai antara BTDC dengan Kementerian

Kehutanan dan BTDC dengan Pemerintah Provinsi Bali, konsisten dengan asas

kepastian hukum maka pemanfaatan lahan Kawasan Hutan Prapat Benoa sebagai

lokasi pengolahan limbah dapat tetap menggunakan skema hukum kerjasama

dalam bentuk perjanjian kerjasama dengan menggunakan Permen dan model

skema kerjasama yang telah digunakan sebelumnya, baik model Perjanjian antara

BTDC dengan Kementerian Kehutanan maupun antara BTDC dengan Pemerintah

Provinsi Bali. Perjanjian Kerjasama itu dapat dibentuk antara ITDC sebagai badan

usaha pengguna dengan Pemerintah Provinsi Bali sebagai subyek kewenangan

yang memiliki otoritas atas Kawasan tersebut. Persyaratan-persyaratan lainnya

dapat menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Oleh karena Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 masuk kedalam cakupan

Tahura Ngurah Rai, maka tata cara kerjasama pemanfaatan kawasan tersebut

tercakup ke dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 85/2014. Sekalipun

Peraturan Menteri tersebut tidak memasukkan komponen pengolahan limbah dari

suatu kawasan pariwisata sebagai komponen dari pembangunan strategis yang

tidak dapat dielakkan dan mempunyai pengaruh penting secara nasional terhadap

kepentingan ekonomi nasional, namun politik hukum yang terkandung di dalam

konsep hukum itu menegaskan bahwa secara implisit komponen pengolahan

limbah dalam suatu kawasan pariwisata merupakan jenis komponen

pembangunan yang masuk kedalam kategori pembangunan strategis yang tidak

dapat dielakkan dan mempunyai pengaruh penting secara nasional terhadap

kepentingan ekonomi nasional. Pengkualifikasian komponen itu kedalam kategori

tersebut merupakan konsekwensi dari berbagai kewajiban yang dibebankan oleh

berbagai asas dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang pembangunan pariwisata dan perlindungan lingkungan hidup, seperti:

Undang-Undang Kepariwisataan, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Penataan

Ruang, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, dan peraturan pelaksanaannya.

Konsisten dengan asas kepastian hukum dan keadilan, serta asas lain yang

terkandung di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan hidup, maka

pemanfaatan lahan Kawasan Hutan Prapat Benoa sebagai lokasi pengolahan

limbah dapat tetap menggunakan skema hukum kerjasama, dalam bentuk

perjanjian kerjasama, dengan menggunakan Permen dan model skema kerjasama

yang telah digunakan sebelumnya sebagai model acuan. Ketentuan Permen

85/2014 harus diterapkan secara konsisten dengan berbagai asas dan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang mengatur tentang

pembagian kewenangan, pembangunan kepariwisataan, dan perlindungan

lingkungan, serta peraturan perundang-undangan yang terkait lainnya.

Nomenklatur dan materi perjanjian dapat disesuaikan dengan ketentuan

Peraturan Menteri dan nomenklatur serta materi Perjanjian yang telah digunakan

sebelumnya.

Oleh karena Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 masuk kedalam cakupan Tahura

Ngurah Rai, maka tata cara kerjasama pemanfaatan kawasan tersebut tercakup ke

dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 85/2014. Sekalipun Peraturan Menteri

tersebut tidak memasukkan komponen pengolahan limbah dari suatu kawasan

pariwisata sebagai cakupan komponen dari konsep pembangunan strategis yang tidak

dapat dielakkan dan mempunyai pengaruh penting secara nasional terhadap

kepentingan ekonomi nasional, namun politik hukum yang terkandung di dalam konsep

hukum itu menegaskan bahwa secara implisit komponen pengolahan limbah dalam

KESIMPULAN

Berdasarkan fakta, ketentuan peraturan perundang-undangan dan hasil analisis 1,

analisis 2, dan analisis 3, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:

1. Sarana pengolahan limbah merupakan compounded-component dari suatu

kawasan pariwisata, merupakan komponen yang dipersyaratkan secara mutlak

oleh peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Kepariwisataan, dan juga

berbagai kebijakan internasional dalam bidang pariwisata dan lingkungan hidup,

baik yang berkaitan langsung dengan kepentingan pengembangan kawasan,

seperti kepentingan pembiayaan pengembangan kawasan, maupun kepentingan

tidak langsung, seperti reputasi atau citra kawasan pada pasar internasional.

Kemampuan memenuhi persyaratan itu lebih lanjut berpengaruh terhadap

keberlanjutan keberadaan, peran, dan fungsi-fungsi ekonomi kawasan.

2. Status hukum Hutan Prapat Benoa RTK10 sebagai kawasan hutan lahir dari Surat

Penunjukkan GB Nomor 28 B.b.2, 29 Mei 1927, kemudian Surat Keputusan

Menteri Pertanian Nomor: 821/Kpts/Um/II/1982, 10 Nopember 1982. Sebelum

Keputusan Menteri 821/1982, Kawasan Hutan Prapat Benoa diberi fungsi terpadu

sebagai kawasan hutan dan lokasi pengolahan limbah sebagaimana diatur di

dalam Perjanjian Pinjam Pakai antara Dirjen Kehutanan dengan PT BTDC (1979).

Sejak Tahun 1993, dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 544/Kpts-

II/1993, 25 September 1993, Kawasan tersebut diberi status sebagai TAMAN

HUTAN RAYA (TAHURA).Kawasan Hutan Prapat Benoa merupakan bagian dari

Tahura Ngurah Rai dan bestatus sebagai TAHURA. Berdasarkan Undang-Undang

Pemerintahan Daerah, Kawasan Hutan Prapat Benoa merupakan obyek

kewenangan Pemerintah Provinsi Bali.

Berkenaan dengan status baru Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 sebagai

TAHURA, maka perpanjangan Perjanjian Pinjam Pakai Kawasan Hutan Prapat

Benoa RTK10 dapat diperpanjang dengan memperhatikan dua kondisi, yaitu:

b. status baru Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 sebagai TAHURA sesuai

dengan Undang-Undang Kehutanan, PP Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Perlindungan Alam, dan Permen Kehutanan 85/2014; dan

c. kebijakan pembangunan ekonomi nasional, sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Kepariwisataan dan Undang-Undang Badan Usaha Milik

Negara; kebijakan perlindungan lingkungan hidup dan penataan ruang

sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Penataan Ruang, termasuk Perda

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali 2009; kebijakan kehutanan,

sebagaimana diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan

kebijakan Kementerian Kehutanan.

ITDC sebagai suatu badan usaha merupakan subyek yang dibenarkan oleh

Permen dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah membentuk perjanjian

kerjasama dalam pemanfaatan Tahura dengan Pemerintah Provinsi Bali

sebagai subyek kewenangan yang mempunyai otoritas terhadap Kawasan

Hutan Prapat Benoa lokasi IPAL ITDC.

3. Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 masuk kedalam cakupan Tahura Ngurah

Rai, karena itu tata cara kerjasama pemanfaatan kawasan tersebut tercakup

ke dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 85/2014. Sekalipun Peraturan

Menteri tidak memasukkan komponen pengolahan limbah dari suatu kawasan

pariwisata sebagai cakupan komponen dari konsep pembangunan strategis

yang tidak dapat dielakkan dan mempunyai pengaruh penting secara nasional

terhadap kepentingan ekonomi nasional, namun politik hukum yang

terkandung di dalam konsep hukum itu menegaskan secara implisit bahwa

komponen pengolahan limbah dalam suatu kawasan pariwisata merupakan

jenis komponen pembangunan yang masuk kedalam kategori pembangunan

strategis yang tidak dapat dielakkan dan mempunyai pengaruh penting secara

nasional terhadap kepentingan ekonomi nasional. Pengkualifikasian komponen

itu kedalam kategori tersebut merupakan konsekwensi dari berbagai kewajiban

yang dibebankan oleh berbagai asas dan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang pembangunan ekonomi pariwisata dan

perlindungan lingkungan hidup, seperti: Undang-Undang Kepariwisataan,

Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-

Undang Kehutanan, Undang-Undang Penataan Ruang, Undang-Undang

Pemerintahan Daerah, dan peraturan pelaksanaannya.

Konsisten dengan asas kepastian hukum dan keadilan, serta asas lain yang

terkandung di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

pembangunan ekonomi pariwisata dan perlindungan lingkungan hidup, maka

pemanfaatan lahan kehutanan pada Kawasan Hutan Prapat Benoa sebagai

lokasi pengolahan limbah dapat tetap menggunakan skema hukum kerjasama

dalam bentuk perjanjian kerjasama dengan menggunakan Permen dan model

skema kerjasama yang telah digunakan sebelumnya sebagai model acuan.

Ketentuan Permen 85/2014 harus diterapkan secara konsisten dengan

berbagai asas dan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.

Nomenklatur dan materi perjanjian kerjasama dapat disesuaikan dengan

ketentuan Peraturan Menteri dan nomenklatur serta materi Perjanjian

Kerjasama yang telah digunakan dalam Perjanjian sebelumnya, serta

kesepakatan para pihak.

PENDAPAT HUKUM

Berdasarkan fakta, ketentuan hukum, dan analisis pada analisis 1, analisis 2, dan

analisis 3, dapat disampaikan pendapat hukum sebagai berikut:

1. Sarana pengolahan limbah merupakan compounded-component dari suatu

kawasan pariwisata, merupakan komponen yang dipersyaratkan secara mutlak

oleh peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Kepariwisataan, serta

kebijakan internasional, baik yang berkaitan langsung dengan kepentingan

pengembangan kawasan, seperti kepentingan pembiayaan pengembangan

kawasan, maupun kepentingan tidak langsung, seperti reputasi atau citra

kawasan pada pasar internasional. Kemampuan memenuhi persyaratan itu lebih

lanjut berpengaruh terhadap keberlanjutan keberadaan, peran, dan fungsi-fungsi

ekonomi kawasan.

2. Status hukum Hutan Prapat Benoa RTK10 sebagai kawasan hutan lahir dari Surat

Penunjukkan GB Nomor 28 B.b.2, 29 Mei 1927, kemudian Surat Keputusan

Menteri Pertanian Nomor: 821/Kpts/Um/II/1982, 10 Nopember 1982. Sebelum

Keputusan Menteri 821/1982, Kawasan Hutan Prapat Benoa telah diberi fungsi

terpadu sebagai kawasan hutan dan lokasi pengolahan limbah Kawasan

Pariwisata Nusa Dua sebagaimana diatur di dalam Perjanjian Pinjam Pakai antara

Dirjen Kehutanan dengan PT BTDC (1979). Sejak Tahun 1993, dengan Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor: 544/Kpts-II/1993, 25 September 1993, Kawasan

tersebut diberi status sebagai TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA).Kawasan Hutan

Prapat Benoa merupakan bagian dari Tahura Ngurah Rai dan bestatus sebagai

TAHURA. Berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Kawasan Hutan

Prapat Benoa merupakan obyek kewenangan Pemerintah Provinsi Bali.

Berkenaan dengan status baru Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 sebagai

TAHURA, maka perpanjangan Perjanjian Pinjam Pakai Kawasan Hutan Prapat

Benoa RTK10 dapat diperpanjang dengan memperhatikan dua kondisi, yaitu:

b. status baru Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 sebagai TAHURA sesuai

dengan Undang-Undang Kehutanan, PP Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Perlindungan Alam, dan Permen Kehutanan 85/2014; dan

c. kebijakan pembangunan ekonomi nasional, sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Kepariwisataan dan Undang-Undang Badan Usaha Milik

Negara; kebijakan perlindungan lingkungan hidup dan penataan ruang

sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Penataan Ruang, termasuk Perda

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali 2009; kebijakan kehutanan,

sebagaimana diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan

kebijakan Kementerian Kehutanan.

ITDC sebagai suatu badan usaha merupakan subyek yang dibenarkan oleh

Permen dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah membentuk perjanjian

kerjasama dalam pemanfaatan Tahura dengan Pemerintah Provinsi Bali sebagai

subyek kewenangan yang mempunyai otoritas terhadap Kawasan Hutan Prapat

Benoa lokasi IPAL ITDC.

3. Kawasan Hutan Prapat Benoa RTK10 masuk kedalam cakupan Tahura Ngurah

Rai. Karena itu, tata cara kerjasama pemanfaatan kawasan tersebut tercakup ke

dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 85/2014. Sekalipun Peraturan

Menteri tersebut tidak memasukkan komponen pengolahan limbah dari suatu

kawasan pariwisata sebagai komponen dari konsep pembangunan strategis yang

tidak dapat dielakkan dan mempunyai pengaruh penting secara nasional terhadap

kepentingan ekonomi nasional, namun politik hukum yang terkandung di dalam

konsep hukum itu menegaskan secara implisit bahwa komponen pengolahan

limbah dalam suatu kawasan pariwisata merupakan jenis komponen

pembangunan yang masuk kedalam kategori pembangunan strategis yang tidak

dapat dielakkan dan mempunyai pengaruh penting secara nasional terhadap

kepentingan ekonomi nasional. Pengkualifikasian komponen itu kedalam kategori

tersebut merupakan konsekwensi dari berbagai kewajiban yang dibebankan oleh

berbagai asas dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang pembangunan ekonomi pariwisata dan perlindungan lingkungan hidup,

seperti: Undang-Undang Kepariwisataan, Undang-Undang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang

Penataan Ruang, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, dan peraturan

pelaksanaannya.

Konsisten dengan asas kepastian hukum dan keadilan, serta asas lain yang

terkandung di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, maka

pemanfaatan lahan kehutanan pada Kawasan Hutan Prapat Benoa sebagai lokasi

pengolahan limbah dapat tetap menggunakan skema hukum kerjasama dalam

bentuk perjanjian kerjasama dengan menggunakan Permen dan model skema

kerjasama yang telah digunakan sebelumnya sebagai model acuan. Ketentuan

Permen 85/2014 harus diterapkan secara konsisten dengan berbagai asas dan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembangunan

ekonomi pariwisata dan perlindungan lingkungan, serta peraturan perundang-

undangan yang terkait lainnya. Nomenklatur dan materi perjanjian kerjasama

dapat disesuaikan dengan ketentuan Peraturan Menteri, nomenklatur dan materi

perjanjian sebelumnya, serta kesepakatan para pihak.

Demikian pendapat hukum ini disusun berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan ilmu

hukum, sesuai dengan azas dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Denpasar, 28 Desember 2015

TIM PENYUSUN

PROF. DR. IDA BAGUS WYASA PUTRA, SH, M.HUM (Ketua) ______________________

PROF. DR. I GUSTI NGURAH WAIROCANA, SH, MH (Anggota) ____________________