anestesi eter pada hewan kelinci

31
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam ilmu kedokteran sering digunakan suatu istilah anestesi untuk penanganan suatu pembedahan dalam meja operasi. Dalam proses anestesi atau pembiusan sering dilakukan dengan tahapan yang terdiri dari beberapa stadium yaitu stadium 1 sampai 4. Anestesi adalah suatu tindakan menahan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Ada beberapa anestesi yang menyebabkan hilangnya kesadaran sedangkan jenis yang lain hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakaianya tetap sadar. Dan pembiusan lokal adalah suatu jenis anestesi yang hanya melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan kesadaran. Obat bius ini bila di gunakan dalam operasi tidak membuat lama waktu penyembuhkan operasi. Anestesi hanya dilakukan oleh dokter spesialis anestesi atau anestesiologis. Dokter spesialis anestesiologis selama pembedahan berperan memantau tanda-tanda vital pasien karena sewaktu-waktu dapat terjadi perubahan yang memerlukan penanganan secepatnya. Usaha menekan rasa nyeri pada tindakan operasi dengan menggunakan obat telah dilakukan sejak zaman dahulu termasuk pemberian alcohol dan opodium secara 1

Upload: independent

Post on 09-Apr-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam ilmu kedokteran sering digunakan suatu istilah

anestesi untuk penanganan suatu pembedahan dalam meja

operasi. Dalam proses anestesi atau pembiusan sering

dilakukan dengan tahapan yang terdiri dari beberapa

stadium yaitu stadium 1 sampai 4. Anestesi adalah suatu

tindakan menahan rasa sakit ketika melakukan pembedahan

dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit

pada tubuh.

Ada beberapa anestesi yang menyebabkan hilangnya

kesadaran sedangkan jenis yang lain hanya menghilangkan

nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakaianya tetap

sadar. Dan pembiusan lokal adalah suatu jenis anestesi

yang hanya melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa

menyebabkan manusia kehilangan kesadaran. Obat bius ini

bila di gunakan dalam operasi tidak membuat lama waktu

penyembuhkan operasi. Anestesi hanya dilakukan oleh

dokter spesialis anestesi atau anestesiologis. Dokter

spesialis anestesiologis selama pembedahan berperan

memantau tanda-tanda vital pasien karena sewaktu-waktu

dapat terjadi perubahan yang memerlukan penanganan

secepatnya.

Usaha menekan rasa nyeri pada tindakan operasi

dengan menggunakan obat telah dilakukan sejak zaman

dahulu termasuk pemberian alcohol dan opodium secara

1

oral. Setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri

bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan, dan

keadaan secara klinis. Anestetik yang ideal akan bekerja

secara tepat dan baik serta mengembalikan kesadaran

dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain

itu, batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan

efek samping yang sangat minimal. Tidak satu pun obat

anestetik dapat memberikan efek yang diinginkan tampa

disertai efek samping, bila diberikan secara tunggal.

Untuk mengerti pemahaman lebih lanjut untuk anestesi

dalam percobaan kali ini dilakukan suatu anestesi eter

dengan hewan coba kelinci.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian anestesi?

2. Bagaimana mekanisme kerja anestesi?

3. Bagaimana sjenis anestesi?

4. Bagaimana pemerian dietil eter?

5. Bagaimana farmakokinetik anestesi?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui cara anestesi umum menggunakan eter

pada binatang pecobaan.

2. Untuk mengetahui secara langsung efek obat anestesi

pada hewan coba secara visual (langsung).

3. Untuk mengetahui stadium anestesi yang terjadi

melalui parameter-parameter antara lain: respon

2

nyeri, lebar pupil, jenis pernafasan, frekuensi

jantung, dan tonus.

4. Untuk menjelaskan stadium-stadium anestesi.

BAB II

TINJAUAN PUSKAKA

A. Teori Tinjauan Pustaka

3

1. Pengertian Anestesi

Anestesi dikemukakan oleh O.W Holmes Sr yang

berasal drai bahasa Yunani anaisthesia (an= tanpa,

aisthetos= perpepsi, kemauan, merasa) secara umum

berarti suatu tindakkan menhilangkan rasasakit

ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur

lainnya yang menimbulkan rasa sakit tubuh. Obat

anastesi umum menjadi 3 golongan yaitu: anestetetik

gas, anestetik yang menguap, anestetik yang

diberikan secara intravena/parenteral.

2. Mekanisme Kerja Anestesi

Anestetikum akan bekerja mempengaruhi dua jenis

reseptor yaitu :

a) Reseptor γ amino butiric acid (GABA) terutama

reseptor GABAA. Gamma-amino butiric acid

merupakan neurotransmiter inhibitori utama di

otak, disintesis dari glutamat dengan bantuan

enzim glutamic acid decarboxylase (GAD),

didegradasi oleh GABA-transaminase. Sekali

dilepaskan, GABA berdifusi menyeberangi celah

sinap untuk berinteraksi dengan reseptornya

sehingga menimbulkan aksi penghambatan fungsi

SSP. Neurotransmiter GABA lepas dari ujung

syaraf gabanergik, berikatan dengan

reseptornya, membuka saluran ion Cl, ion Cl

masuk ke dalam sel, terjadi hiperpolarisasi sel

syaraf , terjadi efek penghambatan transmisi

4

syaraf , dan depresi SSP. Reseptor GABA sebagi

tempat terikatnya GABA terdiri dari dua jenis,

yaitu iono tropik (GABA yang merupakan reseptor

inhibitori.

b) Reseptor Glutamat yang merupakan reseptor

eksitatori kususnya pada sub tipe N-methyl D-

aspartat (NMDA) Gamma-amino butiric acid

merupakan neurotransmiter inhibitori utama di

otak, disintesis dari glutamat dengan bantuan

enzim glutamic acid decarboxylase (GAD),

didegradasi oleh GABA-transaminase. Sekali

dilepaskan, GABA berdifusi menyeberangi celah

sinap untuk berinteraksi dengan reseptornya

sehingga menimbulkan aksi penghambatan fungsi

SSP. Neurotransmiter GABA lepas dari ujung

syaraf gabanergik, berikatan dengan

reseptornya, membuka saluran ion Cl, ion Cl

masuk ke dalam sel, terjadi hiperpolarisasi sel

syaraf , terjadi efek penghambatan transmisi

syaraf , dan depresi SSP. Reseptor GABA sebagi

tempat terikatnya GABA terdiri dari dua jenis,

yaitu ionotropik (GABA A) dan metabotropik

(GABAB). Reseptor GABAA terletak di

postsinaptik dan cukup penting karena merupakan

tempat aksi obat-obat benzodiazepin dan

golongan barbiturat. Reseptor GABAA terdiri

dari lima subtipe (pentamer) 2α, 2ß, dan 1γ,

masing masing subtipe mempunyai N-terminal

5

binding site, terdiri dari 450 asam amino, dan

mempunyai 4-transmembran (TM) saluran ion.

Sampai saat ini telah diketahui ada 19 reseptor

subunit GABAA, yaitu lebih dari 85%

konsentrasinya dalam bentuk kombinasi α1ß2γ2,

α2ß3γ2, dan α3ß1-3γ2. Reseptor GABAA adalah

reseptor komfleks yang memiliki beberapa tempat

aksi obat, seperti benzodiazepin (BZ), GABA,

barbiturat, dan neurosteroid. Glutamat

merupakan asam amino yang termasuk

neurotransmiter eksitatori dan berperan penting

dalam fungsi sistem syaraf pusat. Reseptor

glutamat yang teridentifikasi secara

farmakologi terdiri dari subtipe reseptor N-

methyl D-aspartat (NMDA), 5-hydroxy tryptamine

(5HT), dan amino hydroxy methyl

isoxazolepropionate (AMPA). Aktivasi reseptor

NMDA akan meningkatkan Ca+ dan Na+ intrasel dan

memicu aksi potensial. Terikatnya

neurostransmiter glutamat pada reseptor NMDA,

menyebabkan aliran ion Ca+ dan NA+ ke dalam

sel, ion Ca+ intracellular akan meningkat,

terjadi depolarisasi, menyebabkan eksitatori,

dan memicu konvulsi.

3. Stadium Anestesi

a) Stadium I (Analgesia)

6

Hilangnya rasa nyeri akibat gangguan

transmisi sensorik dalam traktus

spinotalamikus. Pasien sadar dan bias

bercakap-cakap. Amnesia dan penurunan

kesadaran Selama nyeri terjadi ketika

mendekati Stadium II.

b) Stadium II (Perangsangan)

Pasien mengalami derilium dan mungkin

terdapat perilaku kekerassan dan menantang.

Terdapat peningkatan dan ketidakteraturan

tekanan darah. Laju pernapasan dapat

meningkat. Untuk menghindari stadium

anesthesia ini, barbiturate kerja-pendek,

seperti thiopenthal, diberikan secara

intravena sebelum pemberian anesthesia

inhalasi.

c) Stadium III (Anestesia Bedah)

Pernafasan yang teratur dan relaksasi otot

rangka terjadi pada stadium ini. Refleks mata

menurun secara progresif sehingga gerakkan

mata menghilang dan pupil terfiksasi.

Pembedahan dapat dilakukan dalam stadium ini.

d) Stadium IV (Paralisis Medula)

Depresi pernafasan dan pusat vasomotor

berat terjadi pada stadium ini. Kematian dapat

terjadi dengan cepat, kecuali dilakukan

7

pengukuran untuk mempertahankan sirkulasi dan

pernafasan.

4. Penggolongan Anestesi Umum Dan Anestesi Lokal

a) Anestesi Umum

Anestesi umum atau pembiusan umum adalah

kondisi atau prosedur ketika pasien menerima

obat untuk amnesia, analgesia, melumpuhkan

otot, dan sedasi. Anestesi umum memungkinkan

pasien untuk menoleransi prosedur bedah yang

dalam kondisi normal akan menimbulkan sakit

yang tak tertahankan, berisiko eksaserbasi

fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan

kenangan yang tidak menyenangkan. Anestesi umum

dapat menggunakan agen intravena (injeksi) atau

inhalasi, meskipun injeksi lebih cepat yaitu

memberikan hasil yang diinginkan dalam waktu 10

hingga 20 detik.

Kombinasi dari agen anestesi yang

digunakan untuk anestesi umum membuat pasien

tidak merespon rangsangan yang menyakitkan,

tidak dapat mengingat apa yang terjadi

(amnesia), tidak dapat mempertahankan proteksi

jalan napas yang memadai dan/atau pernapasan

spontan sebagai akibat dari kelumpuhan otot dan

perubahan kardiovaskuler.

Penggolongannya terdiri dari:

8

1) Anestetik Inhalasi : gas tertawa,

halotan, enfluran, isofluran dan

sevofluran. Obat-obat ini diberikan

sebagai uap melalui saluran nafas.

Keuntungannya adalah resorpsi yang

cepat melalui paru paru seperti juga

ekskresinya melalui gelembung paru

paru (alveoli) yang biasanya dengan

keadaan utuh . pemberiannya mudah

dipantau dan bila perlu setiap waktu

dapat dihentikan. Obat ini terutama

digunakan untuk memelihara anestesi.

Dewasa ini senyawa kuno eter,

kloroform, trikoletiren dan

siklopropan praktis tidak digunakan

lagi karena efek sampingnya.

2) Anestetik Intravena : thiopental,

diazepam dan midazolam, ketamine dan

propofol. Obat-obat ini juga dapat

diberikan dalam sediaan suppositoria

secara rektal, tetapi resorpsinya

kurang teratur. Terutama digunakan

untuk mendahului (induksi) anestesi

local atau memeliharanya juga sebagai

anestesi pada pembedahan singkat.

b) Anestesi Lokal

Anestesi lokal adalah teknik untuk

menghilangkan atau mengurangi sensasi di bagian

9

tubuh tertentu. Hal ini memungkinkan pasien

untuk menjalani prosedur pembedahan dan gigi

tanpa rasa sakit yang mengganggu.

Ada kalangan medis yang membatasi istilah

anestesi lokal hanya untuk pembiusan di bagian

kecil tubuh seperti gigi atau area kulit.

Mereka menggunakan istilah anestesi regional

untuk pembiusan bagian yang lebih besar dari

tubuh seperti kaki atau lengan. Namun, banyak

juga yang menyebut anestesi lokal untuk

anestesi apa pun selain yang menimbulkan

ketidaksadaran umum (anestesi umum).

Penggolongannya terdiri dari:

1) Senyawa ester: (terdapatnya ikatan

ester). Contohnya : Kokain,

Prokain,tetrakain dan Benzokain.

2) Senyawa amida: (terdapatnya ikatan

amida). Contohnya: Lidokain,

Dibukain,Mepivakain dan Prilokain.

Obat yang digunakan dalam menimbulkan

anesthesia disebut sebagai anestetik dan kelompok.

Obat ini dibedakan dalam anastetik umum dan

anastetik local. Bergantung pada dalamnya,

pembiusan, anastetik umum dapat memberikan efek

analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri, atau efek

analgesia yang disertai hilangnya kesadaran,

sedangkan anastetik local hanya dapat menimbulkan

efek analgesia. Anestetik umum bekerja disusunan

10

saraf pusat sedangkan anastesi local bekerja

langsung pada serabut saraf perifer.

5. Jenis Anestesi

Jenis anestesi lokal dalam bentuk parenteral

yang paling banyak digunakan adalah:

a) Anestesi permukaan

Sebagai suntikan banyak digunakan sebagai

penghilang rasa oleh dokter gigi untuk mencabut

geraham atau oleh dokter keluarga untuk

pembedahan kecil seperti menjahit luka di

kulit. Sediaan ini aman dan pada kadar yang

tepat tidak akan mengganggu proses penyembuhan

luka.

b) Anestesi Infiltrasi

Tujuannya untuk menimbulkan anestesi ujung

saraf melalui injeksi pada atau sekitar

jaringan yang akan dianestesi sehingga

mengakibatkan hilangnya rasa di kulit dan

jaringan yang terletak lebih dalam, misalnya

daerah kecil di kulit atau gusi (pada

pencabutan gigi).

c) Anestesi Blok

Cara ini dapat digunakan pada tindakan

pembedahan maupun untuk tujuan diagnostik dan

terapi.

d) Anestesi Spinal

11

Obat disuntikkan di tulang punggung dan

diperoleh pembiusan dari kaki sampai tulang

dada hanya dalam beberapa menit.

e) Anestesi spinal

Manfaatnya untuk operasi perut bagian

bawah, perineum atau tungkai bawah.

f) Anestesi Epidural

Anestesi epidural (blokade subarakhnoid

atau intratekal) disuntikkan di ruang epidural

yakni ruang antara kedua selaput keras dari

sumsum belakang. 6. Anestesi Kaudal Anestesi

kaudal adalah bentuk anestesi epidural yang

disuntikkan melalui tempat yang berbeda yaitu

ke dalam kanalis sakralis melalui hiatus

skralis.

6. Dietil Eter

Ether merupakan cairan tidak berwarna, mudah

menguap, berbau, mengiritasi saluran napas, mudah

terbakar dan mudah meledak. Di udara terbuka ether

teroksidasi menjadi peroksida dam bereaksi dengan

alcohol membentuk asetaldehid sehingga ether yang

sudah terbuka beberapa hari sebaiknya tidak

digunakan lagi.

Jumlah eter yang dibutuhkan tergantung dari

berat badan dan kondisi penderita, kebutuhan

dalamnya anastesia dan teknik yang digunakan untuk

induksi digunakan 10 – 20 % volume uap eter dalam

12

oksigen dan N2O untuk dosis penunjang stadium III,

membutuhkan 5 – 15 % volume uap eter. Eter ini sudah

jarang dipergunakan di negara maju tetapi di

Indonesia masih dipakai secara luas. Anastetik ini

cukup aman, hanya berbau yang kurang menyenangkan.

7. Farmakokinetik Anestesi

Anestesi lokal biasanya diberikan secara

suntikan ke dalam daerah serabutsaraf yang akan

menghamba. Oleh karena itu, penyerapan dan

distribusi tidak terlalu penting dalam memantau mula

kerja efek dalam menentukan mula kerja anestesi dan

halnya mula kerja anestesis umum terhadap SPP dan

toksisitasnya pada jantung. Aplikasi topikal

anestesi lokal bagaimanapun juga memerlukandifusi

obat guna mula keja dan lama kerja efek anestesinya.

a) Absorbsi

Absorbsi sistemik suntikkan anestesilokal

dari tempat suntikkan dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antar lain dosis, tempat

suntikkan, ikatan obat jaringan, adanya bahan

vasokonstriktor, dan sifat fisikokimia obat.

Aplikasi anestesi local pada daerah yang kaya

vaskularisasinya seperti mukosa trakea

menyebabkan penyerapan obat yang sangat cepat

dan kadar obat dalam darah yang lebih tinggi

dibandingkan tempat yang perfusinya jelek,

seperti tendo. Untuk anestesi region yang

13

menghambat saraf yang besar, kadar darah

maksimum anestesi local menurun sesuai dengan

tempat pemberian yaitu: interkostal

(tertinggi) > kaudal > epidural > pleksus

brankkialis > saraf inseiadikus (terendah).

Bahan vasokonstriktor seperti efeneprin

mengurangi penyerapan sistematik anestesi

local dari tempat tumpukkan obat dengan

mengurangi aliran darah di daerah ini. Keadaan

ini menjadi nyata terhadap obat yang masa

kerjanya singkat atay menengah seperti

prokain, lidokain, dan mepivakain (tidak untuk

prilokain). Ambilan obat oleh saraf diduga

diperkuat oleh kadar obat local yang tinggi,

dan efek toksik sistemik obat akan berkurang

karena kadar obat yang masuk dalam darah hanya

1/3nya saja.

b) Distribusi

Anestesi local amida disebar meluas dalam

tubuh setelah pemberian bolus intravena. Bukti

menunjukkan bahwa penyimpanan obat mungkin

terjadi dalam jaringan lemak, setelah fase

distribusi awal yang cepat, yang mungkin

menandakan ambilan ke dalam organ yang

perfusinya tinggi seperti otak, ginjal dan

jantung diikuti oleh fase distribusi lambat

yang terjadi karena ambilan dari jaringan yang

perfusinya sedang, seperti otot dan usus.

14

Karena waktu paruh plasma yang sangat singkat

dari obat tipe ester.

c) Metabolisme dan ekskresi

Anestesi lokal diubah dalam hati dan

plasma menjadi metabolit yang mudah larut

dalam air dan kemudian diekskresikan ke dalam

urin. Karena anestesi local yang bentuknya tak

bermuatan mudah berdifusi melalui lipid, maka

sedikit atau tidak ada sama sekali bentuk

netralnya yang diekskresikan karena bentuk ini

tidak mudah diserap kembali oleh tubulus

ginjal.

B. Metode

1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah

corong, pipet kecil dan pipet besar, beaker glass,

plastik + karet, kertas koran, penggaris, senter,

dan stopwatch.

2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah

dietyl eter sebagai bahan dan 1 ekor kelinci sebagai

hewan coba.

3. Prosedur

15

a. Sebelum melakukan percobaan, amati dan

catatlah:

1) Keadaan pernafasan: frekuensi, dalamnya

pernafasan, teratur atau tidak, jenis

pernafasan dada atau perut.

2) Keadaan mata: lebar pupil (mm), refleks

kornea, konjungtiva, pergerakkan mata,

keadaan otot/pergerakkan : keadaan

gerakkan, tonus otot bergaris. Keadaan

saliva (saliva banyak/sedikit). Rasa nyeri:

keadaan rasa nyeri (dengan mencubit

telinganya), lain-lain muntah, ronchi,

warna telinga (warna biru,menunjukkan

tetesan eter terlalu banyak).

3) Setelah hal-hal diatas dicatat, mulailah

percobaan. Pasanglah corong anastesi dengan

baik pada kelinci dan mulailah meneteskan

eter, dengan kecepatan kira-kira 60 tetes

per menit. Catatlah waktu mulai meneteskan

eter, adanya tanda-tanda dan tiap stadium,

keadaan dimana binatang coba sudah berada

dalam kondisi yang cukup untuk mulai

operasi.

4) Bila keadaan stadium of abaesthesia sudah

tercapai, pertahankanlah keadaan untuk

beberapa saat (5 menit). Amati keadaan

kelinci (seperti diatas) tanpa menambah

16

eter lagi. Biarkanlah kelinci bangun dan

catatlah waktu kelinci bangun.

5) Setelah 10-15 menit, percobaan diulangi

kembali. Selama percobaan amati dan

catatlah hal-hal yang perlu, perhatikanlah

baik-baik keadaan stadium anestesi.

Hitunglah jumlah eter yang diperlukan.

b. Perhatikanlah:

Perhatikanlah hal-hal yang menentukan dan tiap-

tiap stadium (tanda-tanda):

1) Perhatikan cara memasang corong anestesi

sehingga pernapasan kelinci tidak

terganggu.

2) Amatilah keadaan binatang coba selama

percobaan berjalan, terutama pada tiap-

tiap perubahan stadium dengan sebaik-

baiknya.

17

BAB III

HASIL PERCOBAAN

1. TABEL 1

MENIT

KE-

FREKUENSI

PERNAPASANIRAMA

JENIS

PERNAPASAN

LEBAR

PUPIL

KANAN

LEBAR

PUPIL KIRI

REFLEK

KORNEA

0 CepatTidak

TeraturPerut 0.5 cm 0.6 cm

Refle

ks

5 CepatTidak

TeraturPerut 0.3 cm 0.4 cm

Refle

ks

10 PelanTidak

TeraturPerut 0.3 cm 0.4 cm

Refle

ks15 Pelan Tidak

Teratur

Perut 0.2 cm 0.2 cm Tidak

Refle

18

ks

20 LambatTidak

TeraturPerut 0.1 cm 0.1 cm

Tidak

Refle

ks

2. TABEL 2 MENIT

KE-

KEADAAN

SALIVAWARNA

TELINGARASA NYERI STADIUM

PERGERAKKAN

MATA

0 Tidak Ada Biru Nyeri 1 Bergerak

5 Tidak Ada Biru Tidak Nyeri 2Tidak

Bergerak

10 Tidak Ada Biru Tidak Nyeri 2Tidak

Bergerak

15 Tidak Ada Biru Tidak Nyeri 3

Tidak

Beragera

k

20 Tidak Ada Biru Tidak Nyeri 3Tidak

Bergerak

BAB IV

PEMBAHASAN

Dalam percobaan Anestesi Eter Pada Hewan Coba Kelinci

memperoleh beberapa stadium yang berbeda dari menit per menit

sesuai dengan pengamatan berdasarkan frekuensi pernapasan,

19

irama, jenis pernapasan, lebar pupil kanan, lebar pupil kiri,

refleks kornea, keadaan saliva, warna telinga, rasa nyeri,

stadium, perbesaran mata. Cara kerja dalam perlakuan yang ada

yaitu pemasangan corong pada mulit kelinci dengan penetesan

tetes per tetes melewati mulut tabung untuk perlakuan secara

manusia pada hewan coba karena saat pengorbanan hewan coba

kita harus memperlakukan sesuai dengan prosedur yang baik.

Ketika eter tidak diberikan tetes per tetes maka akan

memperoleh hal yang fatal pada kelinci tersebut. Dietyl eter

merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau,

mengiritasi saluran pernapasan, mudah terbakar, dan mudah

meledak, sehingga harus hati-hati dalam penggunaannya.

Kelinci yang digunakan dalam percobaan kali ini yaitu

beratnya kurang dari tabel konversi sehingga dalam pemberian

ter yang awalnya 60 tetes per menit diganti menjadi 25 tetes

per menit. Tetapi pemberian 25 tetes per menit membuat kelinci

belum terjadi pingsan atau hilangnya kesadaran sehingga untuk

jumlah pertama eter yang di berikan sebanyak 60 tetes dan

kelinci akhirnya pingsan atau sudah masuk stadium 2. Stadium 2

untuk pengamatan pada 5 menit pertama dengan jumlah penetesan

eter 79 tetes dengan hasil yang diperoleh yaitu pernafasannya

masih cepat tetapi pupilnya sudah mulai menurun.

Adapun stadium dari anestesi berdasarkan buku Farmakologi

Ulasan Bergambar yaitu:

a) Stad ium I (Analgesia)

Hilangnya rasa nyeri akibat gangguan transmisi

sensorik dalam traktus spinotalamikus. Pasien sadar dan

20

bias bercakap-cakap. Amnesia dan penurunan kesadaran

Selama nyeri terjadi ketika mendekati Stadium II.

b) Stadium II (Perangsangan)

Pasien mengalami derilium dan mungkin terdapat

perilaku kekerassan dan menantang. Terdapat peningkatan

dan ketidakteraturan tekanan darah. Laju pernapasan

dapat meningkat. Untuk menghindari stadium anesthesia

ini, barbiturate kerja-pendek, seperti thiopenthal,

diberikan secara intravena sebelum pemberian anesthesia

inhalasi.

c) Stadium III (Anestesia Bedah)

Pernafasan yang teratur dan relaksasi otot rangka

terjadi pada stadium ini. Refleks mata menurun secara

progresif sehingga gerakkan mata menghilang dan pupil

terfiksasi. Pembedahan dapat dilakukan dalam stadium

ini.

d) Stadium IV (Paralisis Medula)

Depresi pernafasan dan pusat vasomotor berat

terjadi pada stadium ini. Kematian dapat terjadi dengan

cepat, kecuali dilakukan pengukuran untuk

mempertahankan sirkulasi dan pernafasan.

Berdasarkan pengamatan pertama dari kelinci sebelum

dilakukan anestesi, frekuensi pernapasannya cepat, iramanya

tidak teratur, jenis pernapasanya perut, lebar pupil kanannya

0.5 cm, lebar pupil kirinya 0.6 cm, refleks korneanya refleks,

keadaan salivanya tidak ada, warna telinganya biru, rasa

nyerinya nyeri, stadiumnya 1, dan pergerakkan matanya

21

bergerak. Untuk kepekaan telinga yang dicubit telinganya

karena kelinci tempat syaraf dan pembuluh darahnya disana dan

ketika dipegang maka akan terganggu pada syaraf tersebut.

Warna telinga yang awalnya biru ketika eter saat penetesannya

mengenai telinga yang dalam maka warnanya akan merah. Pada

anastesi ringan, seperti halnya anastetik lain, eter

menyebabkan dilates pembuluh darah kulit sehingga timbul

kemerahan.

Pada percobaan 5 menit pertama dan 5 menit kedua dalam

percobaan anestesi eter pada hewan coba kelinci memasuki

stadium ke 2 yang ditandai dengan pupil yang mulai mulai

mengecil dengan pernafasan yang tidak teratur. Sesuai teori

yang ada bahwa stadium II yaitu pasien mengalami derilium dan

perlakuan keras dan menantang sehinnga pada 5 menit pertama

dan 5 menit kedua dimasukkan dalam stadium 2. Untuk 5 menit

ketiga dan keempat termasuk sadium 3 karena pernafasannya

tadium 4 pada teratur dan mengalami relaksasi otot. Untuk

stadium IV pada percobaan ini idak sampai mengenai sana karena

jika sampai stadium IV maka kelinci mengalami kematian.

Pemberian eter tiap menit untuk mempertahankan kelinci

agar tidak terbangun agar bisa cepat untuk anestesi

pembedahan. Selang beberapa menit kelinci setelah tertidu

mengalami beberapa kali bangun dikarena yang digunakan untuk

anestesi yaitu dietyl eter, sebagai anestesi umum. Karena

anestesi umum hanya memberikan hilangnya sensasi nyeri atau

efek anesthesia berdasarkan pendalaman pembiusaan.

Anastesi yang kami lakukan pada praktikum kali ini adalah

anastesi (Inhalasi) yang merupakan jenis anastesi umum.

22

Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh

dan hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang

dihasilkan melalui penekanan sistem syaraf pusat karena adanya

induksi secara farmakologi atau penekanan sensorik pada

syaraf. Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan sistem

syaraf pusat (SSP) secara reversibel. Anestesi umum merupakan

kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan

diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan

atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri

(analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon

terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan

(immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness).

23

BAB V

KESIMPULAN

Dalam percobaan yang dilakukan diperoleh kesimpulan

yaitu:

1. Anestesi umum pada percobaan Anestesi Eter Pada

Hewan Coba Kelinci yaitu berupa anestesi inhalasi

dengan eter. anestesi umum bergantung pada dalamnya

pembiusan dan hanya memberikan efek hilangnya

sensasi nyeri disertai hilangnya kesadaran.

2. Efek anestesi pada percobaan Anestesi Eter Pada

Hewan Coba Kelinci yaitu hewan coba mengalami tidur

melaliu beberapa stadium yang dilalui sampai hewan

coba siap untuk dilakukan pembedahan.

3. Stadium-stadium dari anestesi ditunjukkan dengan

parameter-parameter yang diperoleh dari pangamatan

24

sebelum sampai sesudah pemberian eter. Pada 5 menit

petama dan kedua sudah masuk ke stadium 2 karena

kelinci sudah mulai mengalami lemas dan tidak

melawan serta lebar pupil yang semakin kecil. Pada 5

menit ketiga dan keempat termasuk stadium 3 karena

kelinci sudah lelap atau tertidur yang dibuktikan

pupil dan pergerakkan matanya sudah mulai menurun

atau tidak ada.

4. Stadium anestesi I yaitu kelinci masih sadar,

stadium II yaitu kelinci mlai melakukan perlawanan

dan stadium III kelinci mulai tidak melakukan

perlawannan atau tertidur. Pada stadium IV dihindari

karena stadium ini merupakan stadium fatal atau

kematian dari hewan coba.

5. Jumlah eter yang diperlukan untuk anestesi pada

kelinci sebanyak 174 tetes.

DAFTAR PUSTAKA

25

Harvey, Richard.A dan Champe, Pamela.C. 2013. Farmakologi Ulasan

Bergambar. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Departemen Farmakologi Dan Terapeutik. 2007. Farmakologi Dan

Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi 3. Jakarta:

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

NN. 2013. Anestesi Umum. (online). http://www.academia.edu.

Diakses Pada Hari Rabu Tanggal 01 April 2015.

26

LAMPIRAN

1. PENGAMATAN PARAMETER (REFLEKS KORNEA)

2. ANASTESI INHALASI (PENETESAN ETER)

A. PENETESAN 5 MENIT PERTAMA (25 TETES)

27

B. PENETESAN 5 MENIT PERTAMA (20 TETES + 10 TETES)

C. PENETESAN 5 MENIT KE 2 (25 TETES + 28 TETES)

28

D. PENETESAN 5 MENIT KE TIGA (25 TETES + 28 TETES)

29

E. PENETESAN 5 MENIT KE EMPAT (25 TETES)

3. EFEK KELINCI SETELAH ANASTESI INHALASI

30

31