disengagement pelaku teror di indonesia: pergeseran
TRANSCRIPT
1
PENELITIAN BOPTN IAIN SURAKARTA 2020
DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA:
PERGESERAN PEMAHAMAN PELAKU TEROR
TERHADAP AYAT-AYAT JIHAD
LAPORAN PERKEMBANGAN PENELITIAN BOPTN Penelitian DIPA IAIN Surakarta Tahun Anggaran 2020
Oleh: Peneliti
KETUA
Nama : Dr. H. Moh Abdul Kholiq Hasan, M.A. M.Ed
NIP : 19741109 200801 1 0 11
Prodi / Jurusan : Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir
ANGGOTA-
Nama : Dr. ROCHMAT BUDI SANTOSO, S.Pd., M.Pd.
NIP : 196911112002121001
Prodi / Jurusan : Pendidikan Bahasa Ingris
Nama : Wakhid Musthofa, M.Psi
NIP : 198611092018011002
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN 2020.
2
Daftar isi
No Hal
1. BAB I: PENDAHULUAN 3
2. A. Latar Belakang Masalah 3
3. B. Rumusan Masalah 8
4. C. Manfaat Penelitian 8
5. BAB II: KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
10
6. A. Kajian Pustaka 10
7. B. Landasan Teori
12
8. BAB III: METODE PENELITIAN 36
9. A. Metode Penelitian 36
10. B. Sumber Data 37
11. C. Peran Peneliti 39
12. D. Pengumpulan Data
40
13. E. Teknik Analisis dan Interpretasi Data 44
14. F. Kredibilitas Penelitian
47
15. BAB IV: PEMBAHASAN 50
16. A. Deskripsi Mantan Pelaku Teror 50
17. B. Refleksi Pemahaman Jihad Pelaku Teror 60
18. C. Pembahasan 79-86
19. DAFTAR PUSTAKA 87
20 RAP 92
3
BAB I: PENDAHULUAN
D. Latar Belakang Masalah
Isu terorisme menjadi isu yang cukup hangat diperbincangkan di Indonesia,
khususnya setelah peristiwa Bom Bali 1 tahun 2002 silam. Namun sebenarnya
aksi teror di Indonesia mulai gencar terjadi sejak tahun 2000. Golose (2014)
merangkum serangkaian aksi teror di Indonesia, seperti di Kedutaan Besar
Malaysia dan di Bursa Efek Jakarta tahun 2000 serta pengeboman di Bandara
Soekarno Hatta pada April 2003 yang dilakukan oleh kelompok teror GAM. Aksi
pengeboman lain seperti pengeboman di kediaman Duta Besar Filipina di Jakarta;
pengeboman sejumlah gereja di Batam, Pekanbaru, Jakarta, Sukabumi,
Mojokerto, Kudus, Batam tahun 2000; Bom Bali 1 dan Bom Bali 2; serta Bom
J.W. Marriot tahun 2003 yang dilakukan oleh kelompok sempalan anggota
Jamaah Islamiyah Indonesia (Golose, 2014).
Pengeboman yang memakan korban paling banyak di Indonesia hingga saat
ini adalah pengeboman yang terjadi di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, yaitu
menewaskan 202 orang dan 300 orang terluka parah (Golose, 2014). Pengeboman
dan aksi teror yang terjadi belakangan ini lebih bersifat low explosive dan sedikit
memakan korban. Pengeboman tersebut diantaranya terjadi di Plaza Sarinah
Jakarta Januari 2016; Mapolresta Surakarta Juli 2016; Gereja Oikumene
Samarinda dan Vihara Budi Dharma November 2016; Bom Panci di Kampung
Melayu dan Bandung pada tahun 2017; serta Bom Surabaya dan Mapolda Riau
pada tahun 2018 yang dilakukan oleh JAD (Wikipedia, 2019).
Selama ini terorisme di Indonesia identik dilakukan oleh umat Islam dengan
dalih jihad fii sabilillah. Pelaku teror dikenal sebagai pribadi yang memahami al-
Qur’an secara tekstual dan kurang melihat konteks sosial budaya dari
lingkungannya (Sarwono, 2012). Mereka memahami al-Qur’an secara sepotong-
sepotong dan tidak memperhatikan asbabun nuzul ayat-ayat tersebut. Pelabelan
teroris di sini diberikan kepada mereka yang mengatasnamakan aksinya sebagai
jihad fii sabilillah. Pelabelan ini bukan dimaksudkan untuk mendeskreditkan
4
ummat Islam atau kelompok tertentu, tetapi digunakan karena aksi teror yang
mereka lakukan. Selain itu melabeli mereka sebagai kelompok teror karena
sebagian besar peneliti melabeli mereka sebagai teroris (Disley, dkk., 2012)
Terorisme dan dampak yang ditimbulkan dari aksi teror hingga saat ini masih
belum dapat terselesaikan dengan baik (Wright, 2010). Hal itu dibuktikan dengan
masih sering dijumpai aksi teror, terutama teror yang mengatasnamakan agama
dalam setiap aksi yang mereka lakukan. Oleh karena itu, para pemangku
kebijakan dan ilmuwan termasuk ilmuan psikologi dan tafsir terdorong untuk
melakukan kajian terkait motivasi melakukan aksi teror (Levin & Amster, 2003;
Milla, 2010; Sarwono, 2012) dan motivasi meninggalkan aksi (Demant dkk,
2008; Fink & Hearne, 2008; Bjorgo & Horgan, 2009; Choudhury, 2009;
Jacobson, 2010; Hwang, 2015; Gazi, 2016). Penelitian-penelitan tersebut
dilakukan salah satunya untuk merancang kebijakan dalam pengentasan masalah
terorisme (Jacobson, 2010).
Jones dan Libicki (2008) mengemukakan, bahwa para ahli berbeda pendapat
mengenai kapan terorisme akan berakhir. Beberapa ahli mengemukakan, bahwa
terorisme akan berakhir dengan sendirinya namun peneliti lain berpendapat jika
aksi teror dapat berakhir jika pelaku dapat dikalahkan oleh aparat keamanan
(polisi atau militer). Gazi (2016) mengungkapkan, bahwa terorisme akan berakhir
jika pelaku memiliki rasa bersalah atas aksi teror yang telah mereka lakukan.
Namun bagaimana cara menumbuhkan rasa bersalah dalam diri pelaku teror?
Oleh karena itu diperlukan usaha untuk memahami dinamika seorang pelaku teror
meninggalkan cara-cara kekerasan dan beralih ke jalan damai dalam
memperjuangkan ideologinya.
Bjorgo & Horgan (2009) dalam bukunya mengemukakan, bahwa terdapat
istilah “terrorist is terrorist”. Hal itu menunjukkan, bahwa sangat rendahnya
kepercayaan publik kepada mantan pelaku teror yang telah menyesali aksi teror
yang pernah dilakukan. Penelitian Hakim & Mujahid (2018) menunjukkan, bahwa
kasus residivis terorisme dapat terjadi karena stigma buruk yang masih dirasakan
oleh mantan pelaku teror yang ingin kembali ke masyarakat. Namun disisi lain
Moghaddam (2007) mengemukakan, bahwa teroris terlahir bukan karena faktor
5
bawaan tetapi karena multifaktor seperti faktor sosial dan politik. Oleh karena itu,
kemungkinan meninggalkan jalan teror masih dapat terjadi karena menjadi
seorang teroris lebih disebabkan karena respon terhadap persoalan sosial-politik
yang kompleks.
Meninggalkan jalan teror pada pelaku tindak pidana terorisme dikenal dengan
istilah deradikalisasi dan disengagement (Horgan, 2009). Namun terdapat
beberapa perbedaan mendasar antara kedua istilah tersebut. Deradikalisasi
menurut Reinares (2011) dan Gazi (2016) adalah sebuah proses transformasi
individu dalam menghilangkan ideologi jihad yang menjadi basis hidup dan
perjuangan pelaku teror dalam meraih tujuan pribadi maupun kelompok dari alam
bawah sadarnya. Namun, program deradikalisasi ini akan sulit terjadi karena
menegasikan jihad sama dengan keluar dari Islam (Gazi, 2016). Jihad akan sulit
dihilangkan dari dalam diri pelaku teror karena perintah jihad sendiri tertuang
dalam al-Qur’an yang menjadi dasar hidup ummat Islam.
Disengagement sendiri adalah mengurangi dan menghilangkan komitmen
kekerasan dan beralih ke jalan damai dalam memperjuangkan ideologi bagi
kelompok teror (Kruglanski, dkk, 2014) walaupun pelaku masih menganut
ideologi jihad (Bjorgo, 2009; Horgan, 2009). Proses deradikalisasi tidak selalu
beriringan dengan disengagement (Bjorgo & Horgan, 2009, Fink & Hearne,
2008). Bjorgo (2009) dan Horgan (2009) mengungkapkan, bahwa disengagement
merupakan pintu menuju deradikalisasi. Namun seorang pelaku teror tidak dapat
dikatakan mengalami proses deradikalisasi jika tidak melewati proses
disengagement. Selama ini proses yang terjadi hanya ada dalam tahap
disengagement pelaku teror (Bjorgo & Horgan, 2009; Sarwono, 2012, Gazi,
2016). Sarwono (2012) mengungkapkan, bahwa hal yang jauh lebih penting
adalah menghilangkan sikap pro kekerasan menuju tingkah laku damai.
Hasil penelitian Horgan (2009) yang dilakukan sejak tahun 2006 sampai tahun
2008 menemukan, bahwa sebagian besar mantan pelaku teror lebih tepat bila
dianggap sebagai individu-individu yang mengalami disengagement dibanding
sebagai individu-individu yang mengalami deradikalisasi. Artinya, banyak teroris
yang meninggalkan jalan teror tanpa mengalami perubahan ideologi atau tanpa
6
harus meninggalkan ideologi kekerasan, misalnya pada kasus mantan narapidana
teroris Jamaah Islamiyah di Indonesia. Anggota JI masih mengimani konsep
jihad, karena mereka menganggap bahwa menegasikan jihad sama saja dengan
keluar dari Islam (Gazi, 2016). Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan,
bahwa tidak perlu masuk dalam tahap deradikalisasi untuk membuat seorang
pelaku teror meninggalkan aksi kekerasan dan beralih ke jalan damai (cukup
berada dalam tahap disengagement).
Sudah cukup banyak penelitian yang menjelaskan mengenai alasan seseorang
masuk dan bertahan dalam kelompok teror (Sageman, 2004; Milla, 2010).
Penelitian mengenai disengagement pelaku teror juga sudah mulai bermunculan
seiring dengan bertambahnya jumlah pelaku teror yang memutuskan untuk
meninggalkan aksi kekerasan dalam memperjuangkan ideologinya (Gazi, 2016;
Mujahid, 2018, Hakim & Mujahid 2018). Selama ini penelitian mengenai proses
disengagement pelaku teror lebih menekankan pada proses dan dinamika sosial
mantan pelaku teror (Bjorgo, 2009; Gafinkel, 2007; Jacobson, 2010; Reinares,
2011; Kruglanski, dkk., 2014; dan Hwang, 2015). Masih sedikit penelitian yang
membahas mengenai pemahaman tafsir ayat-ayat jihad pada diri mantan pelaku
teror.
Jacobson, (2010); Milla, (2011); dan Kruglanski, dkk (2014) mengungkapkan,
bahwa sikap dan pandangan terhadap jihad dapat menggambarkan apakah
seorang pelaku teror sudah memutuskan untuk meninggalkan jalan kekerasan
dalam memperjuangkan ideologinya atau justru memiliki paham teror yang
mengakar. Menurut mereka yang masih berpaham teror, jihad dengan perang (al-
qital) dan pedang adalah jalan untuk mencapai daulah Islamiyah atau negara
dengan sistem khilafah (Imron, 2010; Abuza, 2009, Golose, 2010). Seseorang
tidak dapat disebut sebagai mujahid atau jihadis tanpa melakukan sebuah
perjuangan menegakkan negara Islam karena puncak kemuliaan seorang muslim
adalah menjadi seorang mujahid (Imron, 2010, Milla, 2009).
Pergeseran pemahaman mengenai jihad dari domain kekerasan menjadi
perilaku damai menjadi komponen cukup penting untuk diperhitungkan dalam
proses deradikalisasi dan disengagement (Kruglanski, dkk., 2014). Dahulu pelaku
7
teror memahami ayat-ayat jihad dalam al-Qur’an sebagai suatu seruan untuk
berjihad tanpa memandang lingkungan sosial tempat tinggalnya (Sarwono, 2012).
Pelaku teror tidak memperdulikan apakah negaranya adalah negara konflik seperti
Afghanistan dan Palestina atau negara damai (Imron, 2010). Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui pemahaman tafsir mantan pelaku teror. Sejauh mana
mereka menafsirkan ayat-ayat jihad di dalam al-Qur’an.
Keputusan untuk masuk atau keluar dari jalan teror ini dapat dijelaskan
dengan teori heuristic dan sistematic information processing. Berpikir heuristik
adalah sebuah upaya kognitif yang membuat individu merasa sangat ahli dalam
mengaplikasikan sejumlah informasi dengan jalan pintas untuk membuat
keputusan yang dirasa masuk akal dengan upaya kognitif yang minimal dalam
segala aspek kehidupan (Lau & Reslawsk, 2001). Individu yang berpikir secara
heuristik memiliki kecenderungan untuk menolak informasi dari orang lain,
memiliki tingkat kepercayaan diri berlebihan, dan over estimasi terhadap
frekuensi peristiwa (Kahneman & Tversky, 1982). Para pelaku teror memiliki
kepercayaan dan doktrin-doktrin ayat jihad agama yang sangat kuat diyakini
sebagai sebuah kebenaran (Milla, 2009) tanpa mereka mau mengkritisi doktrin
yang didapatkan tersebut (Sarwono, 2012).
Disengagement dan deradikalisasi dapat terjadi karena para pelaku mulai
berpikir kritis mengenai metode teror yang selama ini mereka pilih dalam
memperjuangkan ideologi. Pelaku teror melihat imbas dari aksi teror yang mereka
lakukan, seperti melihat mayoritas korban adalah warga sipil yang tidak berdosa
(Choudhury, 2009; Fink & Hearne, 2008; Jacobson, 2010). Ketika para pelaku
berpikir lebih komprehensif, hati-hati, dan dengan penyelidikan lebih intensif,
sejatinya mereka telah berpikir secara sistematis (Chaiken & Ledgerwood, 2012;
Chen, Duckworth, & Chaiken, 1999; Dash, Meeten, & Davey, 2013). Lebih lanjut
Chaiken dan Ledgerwood (2012) menjelaskan tiga sifat dalam systematic
information processing, yaitu keinginan individu untuk mencurahkan perhatian,
berpikir tentang masalah, dan memiliki motivasi untuk memproses informasi
secara lebih sistematis. Berdasarkan penjelasan tersebut muncul pertanyaan
apakah mantan pelaku teror juga bersikap hati-hati dan berpikir komprehensif
8
dalam menafsirkan ayat-ayat jihad seperti mempertimbangkan asbabun nuzul dari
ayat-ayat jihad di dalam al-Qur’an? Apakah mantan pelaku teror lebih
mempertimbangkan lingkungan sosial sehingga mereka memutuskan untuk tidak
lagi menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan ideologinya?
Mengetahui penafsiran ayat-ayat jihad mantan pelaku teror (baik sebelum
maupun setelah memutuskan meninggalkan jalan kekerasan) diharapkan dapat
dijadikan bahan referensi dalam upaya deradikalisasi dan disengagement pelaku
teror. Karena selaras dengan pendapat Suhardono (2001); Milla (2010); Sarwono
(2012), bahwa penyebaran paham teror tidak dilakukan dengan brain wash,
namun diperoleh melalui pengalaman, pengasuhan, pelatihan, dan lingkungan
(Sarwono, 2012; Milla, 2010, 2013). Oleh karena itu asumsi lain dapat
dikembangkan yaitu, bahwa ketika paham teror didapat dengan sebuah
pembelajaran dan pelatihan, maka pemikiran yang salah dapat dibenahi kembali
dengan pembelajaran ulang (dekonstruksi). Karena Kruglanski, dkk. (2014)
mengemukakan, bahwa proses yang mendorong radikalisasi merupakan antiseden
deradikalisasi dan disengagement. Penelitian ini dimaksudkan agar pembelajaran
ulang pada diri mantan teroris mengenai arti jihad dan mengkaji kembali ayat-
ayat jihad dalam al-Qur’an yang berkonotasi dengan tindak kekerasan dijadikan
acuan para pemangku kebijakan dalam pembuatan program deradikalisasi dan
disengagement karena topik ini belum pernah digali oleh peneliti-peneliti
sebelumnya.
E. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dan telaah literatur mengenai proses meninggalkan
paham kekerasan serta telaah literatur mengenai pemahaman tafsir ayat-ayat
jihad para pelaku teror, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman ayat-ayat jihad pada diri pelaku teror saat masih
menganut paham kekerasan dalam memperjuangkan ideologi? dan setelah
memutuskan untuk meninggalkan paham kekerasan dalam memperjuangkan
ideologi?
9
2. Bagaimana proses perubahan pola pikir pelaku teror jika ditinjau dari ilmu
psikologi kognitif?
F. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pemahaman tafsir ayat-ayat jihad mantan pelaku teror, baik
pemahaman sebelum maupun setelah mereka memutuskan untuk
meninggalkan aksi kekerasan dalam memperjuangkan ideologi. Secara
singkat, tujuan penelitian ini adalah sebagai beikut:
2. Mengetahui perubahan pola pikir mengenai konsep jihad pada mantan
pelaku terorisme di Indonesia.
G. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, baik
secara akademis maupun praktis.
1. Manfaat Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah di bidang
Tafsir dan Psikologi, khususnya Psikologi Kognitif
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi referensi bagi para pemangku kebijakan dalam membuat
program-program deradikalisasi pelaku teror, khususnya yang sesuai
dengan konteks budaya Indonesia.
b. Memberikan sumbangan pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai
pemahaman tafsir ayat-ayat jihad para pelaku teror, baik sebelum maupun
setelah memutuskan untuk meninggalkan aksi kekerasan dalam
memperjuangkan ideologi.
c. Menjadi masukan dan referensi bagi peneliti selanjutnya.
10
BAB II: KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
C. Kajian Pustaka
Penelitian yang ada selama ini lebih banyak mengenai faktor-faktor yang
melatarbelakangi individu dalam proses disengagement dan deradikalisasi. Sejauh
yang peneliti ketahui, belum ada penelitian mengenai pemahaman tafsir ayat-ayat
jihad dan ayat-ayat damai pada mantan pelaku teror. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Garfinkel (2007) kepada tujuh orang mantan pelaku teror
menunjukkan, bahwa deradikalisasi dan disengagement terjadi karena
transformasi spiritual seperti pertobatan religius; trauma dan gejolak emosional
karena melihat korban dan karena kehilangan dukungan sosial maupun emosional
akibat dari aksi teror yang telah dilakukan; serta masalah kepribadian seperti
menemukan kembali identitas pribadi dan kebermaknaan hidup setelah
meninggalkan jalan teror dan kekerasan.
Garfinkel (2007) mengungkapkan, bahwa menjalin hubungan baru dengan
outgroup serta mendapatkan dukungan dan perlindungan saat mereka berada
dalam masa transisi meninggalkan jalan teror menjadi kunci utama dalam
disengagement pelaku. Outgroup dalam penelitian Garfinkel (2007) adalah
mentor, teman, dan orang lain yang dipandang memiliki kompetensi lebih dalam
membahas mengenai jihad. Garfinkel (2007) tidak membahas mengenai
pergeseran pemahaman pelaku teror mengenai ayat-ayat jihad yang diyakininya
selama ini.
Penelitian lain dilakukan oleh Choudhury (2009) yang lebih menekankan
dukungan intelektual maupun emosional dalam proses disengagement pelaku
teror. Pelaku mendapatkan dukungan intelektual dari mentor yang menentang
jalan teror dalam memperjuangkan ideologinya, dari orang yang dihormati, atau
orang yang dia percaya. Pihak-pihak tersebut dapat membantu pelaku mengatasi
keraguan tentang kepercayaan dan jalan teror yang selama ini dipilih dalam
memperjuangkan ideologi serta meyakinkan pelaku bahwa meninggalkan jalan
teror bukan berarti meninggalkan iman mereka.
11
Dukungan emosional diberikan untuk membantu individu mengatasi
ketakutan akan isolasi karena meninggalkan jalan teror memungkinkan mereka
mendapatkan perlakuan buruk dan pengucilan dari masyarakat umum. Chouhury
(2009) dalam penelitiannya menekankan, bahwa pelaku teror memerlukan empati
dan dukungan dari seseorang di luar kelompok teror yang selama ini menjadi
basis aktualisasi hidupnya. Sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Garfinkel
(2007), Chudhury (2009) tidak membahas mengenai pergeseran pemahaman ayat-
ayat jihad pada pelaku teror.
Hwang (2015) melakukan penelitian kepada lima puluh anggota jihadis di
Indonesia, yang terdiri dari 27 orang anggota Jemaah Islamiyah, dua puluh orang
anggota Tanah Runtuh afiliasi Jemaah Islamiyah Poso, dan tiga orang anggota
Mujahidin Kayamanya. Hwang ingin memahami pola, jalur, pertimbangan
agama, dan proses psikologis yang mendorong informan untuk meninggalkan
kekerasan dan beralih pada jalur dakwah dalam memperjuangkan ideologi.
Terdapat enam faktor yang melatarbelakangi informan keluar dari jalan teror,
yaitu kekecewaan pada taktik, kepemimpinan, atau aspek gerakan lainnya;
munculnya kesadaran bahwa pengorbanan untuk melanjutkan aktivitas teror
terlalu besar; pembentukan kembali hubungan dengan individu atau jaringan di
luar lingkungan teror; tekanan dari keluarga; perubahan prioritas pribadi; serta
perlakuan manusiawi dari pihak yang berwenang. Hwang mengungkapkan,
bahwa faktor-faktor tersebut dapat saling bekerjasama ataupun individu
meninggalkan aksi teror hanya didorong oleh satu faktor saja. Namun penelitian
tersebut tidak membahas secara detail mengenai pertimbangan agama para pelaku
teror dalam proses disengagement.
Penelitian lain dilakukan oleh Gazi (2016) pada lima orang mantan anggota
Jama’ah Islamiyah yang menjadi pelaku peledakan Bom Bali 1. Gazi (2016)
menemukan tiga faktor dalam proses disengagement pelaku teror, yaitu faktor
personal seperti rasa bersalah serta lebih menonjolkan identitas dan nilai personal
daripada identitas dan nilai kelompok; faktor organisasi seperti kecenderungan
deideologisasi jihad dan penurunan komitmen; serta faktor sosial seperti terjadi
konflik antara pemimpin-pengikut, konflik interpersonal, kontak dengan orang
12
lain di luar kelompok radikal. Hasil dari penelitian ini lebih menekankan faktor
dari dalam diri pelaku teror, yaitu rasa bersalah dan ketakutan pada Tuhan sebagai
faktor utama yang mendorong individu meninggalkan jalan teror dan kurang
membahas mengenai pergeseran pemahaman ayat-ayat jihad yang selama ini
mereka gunakan sebagai landasan dan ideologi dalam melakukan aksi teror.
Abdillah (2011) dalam tulisannya yang berjudul Dekonstruksi Tafsir Ayat-
ayat Kekerasan lebih menekankan kepada ayat-ayat damai dalam al-Qur’an untuk
mengevaluasi aksi kekerasan yang telah dilakukan pelaku teror. Selain itu,
Abdillah (2011) juga melakukan kritik terhadap pemahaman tafsir pelaku teror
dengan melihat konteks ayat-ayat jihad secara umum. Abdillah (2011) tidak
melakukan penelitian langsung kepada para pelaku teror, namun lebih mengulas
mengenai pendapat dari tokoh-tokoh atau peneliti sebelumnya.
Berdasarkan pemaparan tersebut sangat jelas posisi penelitian yang akan
dilakukan ini, sekalipun terdapat beberapa titik temu dengan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya. Penelitian ini memiliki perbedaan baik berkaitan dengan
informan, tujuan, maupun pendekatan yang dipilih dalam penelitian. Oleh karena
itu penelitian dengan tema “Disengagement Pelaku Teror di Indonesia:
Pergeseran Pemahaman Pelaku Teror terhadap Ayat-Ayat Jihad” masih cukup
layak untuk dikaji lebih mendalam. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi baru mengenai pergeseran pemikiran dan penafsiran ayat-ayat jihad
pada pelaku teror, khususnya pelaku teror di Indonesia.
D. Landasan Teori
1. Definisi Terorisme
Istilah terorisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
penggunaan kekerasan dan ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-
nakuti dan menakutkan untuk tujuan politik. Djelantik (2010) mendefinisikan
terorisme sebagai penggunaan kekerasan yang dikalkulasikan, mengejutkan,
dan ditujukan kepada rakyat sipil dan pihak keamanan serta militer di daerah
damai dengan motivasi politik, agama, dan/atau karena masalah
ketidakadilan pemerintah yang mereka rasakan. Mereka melakukan aksi teror
13
sebagai bentuk protes dan agar pemerintah menyetujui hal yang mereka
perjuangkan.
Hendropriyono (2009) mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan
kekerasan dalam menciptakan ketakutan pada masyarakat dalam lingkup
yang luas. Lebih lanjut Hendropriyono (2009) mengungkapkan, bahwa
pelaku teror lebih berfokus untuk membuat khalayak ramai menjadi takut
daripada berfokus pada jatuhnya korban kekerasan. Pemberitaan dan
publikasi dari media masa secara besar-besaran dapat membuat pelaku teror
merasa berhasil dan bangga telah melakukan aksi teror.
Imron (2010) dalam autobiografinya mengungkapkan jika alasan
utamanya melakukan pengeboman di Bali tahun 2002 silam bukan untuk
mendapatkan korban sebanyak-banyaknya, namun lebih ingin menunjukkan
eksistensi diri pada dunia. Dia ingin menunjukkan, bahwa ummat Islam ada
dan tidak dapat disepelekan keberadaanya. Lebih lanjut Imron (2010)
menuturkan, bahwa Bom Bali 1 yang merenggut perhatian dunia tersebut
adalah sebuah bentuk balas dendam atas penganiayaan kaum kafir terhadap
saudara seiman mereka di Afghanistan, Palestina, maupun daerah-daerah
konflik lain di dunia. Bom Bali 1 merupakan aksi balas dendam atas
penganiayaan dan penindasan kepada saudara seiman mereka. Mereka
meyakini bahwa setiap mukmin adalah bersaudara, seperti firman Allah SWT
dalam surat al-Hujurat: 10, "Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu adalah
bersaudara".
Borum (2004) mengungkapkan, bahwa aksi teror adalah sebuah tindakan
yang dilakukan untuk mengganti sistem yang berlaku saat ini, baik sistem
politik, hukum, sosial, dan konstitusi, yang dilakukan dengan cara
memaksakan kehendak dan ideologi. Hal itu sejalan dengan pengakuan
Imron (2010) yang ingin menghapuskan ideologi Pancasila di Indonesia dan
menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Lebih lanjut Sarwono (2012)
dan Milla (2010) mengungkapkan, bahwa pelaku teror di Indonesia berusaha
untuk mengganti Pancasila dengan al-Qur’an dan hadist sebagai ideologi dan
dasar negara.
14
Wahid, Sunardi, dan Sidik (2011) mengungkapkan, bahwa kata teroris
(pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari Bahasa latin terrere yang berarti
membuat gemetar atau menggetarkan dan dapat menimbulkan ketakutan.
Lebih lanjut, Davis (2003) mengemukakan, bahwa terorisme merupakan
penggunaan kekerasan yang direncanakan dengan tunjuan untuk
menimbulkan ketakutan bagi pemerintah maupun masyarakat sipil dalam
rangka pencapaian tujuan seperti tujuan politik, ideologi, maupun agama.
Terdapat banyak definisi mengenai terorisme. Perbedaan definisi
terorisme yang beraneka ragam ini menurut Wahid, Sunardi, dan Sidik,
(2011) tergantung dari latar belakang ilmu dan kepentingan peneliti yang
mendefinisikan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
definisi terorisme adalah penggunaan kekerasan pada masyarakat sipil
maupun militer di negara damai dengan tujuan untuk menurunkan semangat,
mengejutkan, menakut-nakuti, mewujudkan keadaan sosial, politik, agama
sesuai keinginan sendiri tanpa mempertimbangkan kondisi lingkungan
tempatnya tinggal, serta untuk menunnjukkan eksistensi diri pelaku.
Pembahasan mengenai terorisme tidak dapat lepas dari pembahasan
kelompok, Milla (2012) menuturkan, bahwa terorisme merupakan sebuah
fenomena kelompok sekalipun sekalipun aksi teror dilakukan oleh
perseorangan. Sarwono (2012) mengungkapkan, bahwa indoktrinasi paham
teror dalam diri pelaku tidak dilakukan secara instan yaitu dengan cuci otak
atau brain wash, namun dilakukan secara bertahap. Lebih lanjut Milla (2013)
mengungkapkan, bahwa seseorang dapat berpaham teror dimulai dari tahap
identifikasi diri dengan nilai dan norma yang diyakini kelompok (sehingga
identitas kelompok lebih kuat daripada identitas diri); indoktrinasi paham
radikal; serta pengamalan dari doktrin, yaitu melakukan aksi teror (Milla,
dkk., 2013). Apabila identitas kelompok dalam diri pelaku teror lebih tinggi
daripada identitas pribadi, maka dia akan bersedia melakukan apapun untuk
kelompok, yaitu melakukan aksi teror sekalipun harus mengorbankan dirinya
sendiri.
15
Peterkabenton dan Benton (2014) mengungkapkan, bahwa paham radikal
akan lebih cepat menyebar di budaya kolektivis daripada budaya individualis.
Karena budaya kolektivis sangat mementingkan loyalitas pada kelompok. Hal
inilah yang melatarbelakangi seorang individu dari budaya kolektivis dapat
lebih mudah bergabung dan loyal terhadap kelompoknya, sekalipun
kelompok tersebut adalah kelompok radikal. Keterikatan seorang individu
terhadap kelompok dalam setting kolektivis cukup kuat sehingga
perlindungan dan pertukaran dalam kelompok tidak perlu diragukan lagi.
Milla (2012) mengungkapkan, bahwa pelaku teror menganggap tetesan
darah bahkan kematian mereka dapat berkontribusi dalam pencapaian tujuan,
yaitu tercapainya hukum Islam. Mereka lebih memuja kematian daripada
dunia beserta segala isinya (Sarwono, 2012). Imron (2010), menuturkan
bahwa impian utama mereka adalah mati syahid atau menjadi keluarga
mujahid karena Islam tidak akan dapat tegak tanpa perang dan pedang.
Issue yang cukup sering diangkat dalam proses radikalisasi pelaku teror
adalah ketidakadilan, penganiayaan, dan penindasan kepada saudara seiman
di belahan bumi lain seperti Palestina dan Afghanistan (Milla, 2012;
Sarwono, 2012; Kruglanski dkk., 2014). Pelaku teror meyakini bahwa
sesama mukmin layaknya satu tubuh, apabila saudaranya kesusahan maka dia
harus menanggung derita dari saudaranya tersebut (Imron, 2010). Hal itu
sejalan dengan hadist Rasulullah riwayat Nu’man bin Basyir yang artinya,
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu
tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan
akan merasakan panas dan demam. (HR. Muslim)”.
Pelaku teror merasakan penderitaan saudara-saudara seimannya begitu
dekat dan nyata. Mereka ingin memperjuangkan hak-hak saudara seimannya
dengan melakukan perlawanan walaupun dengan kondisi lemah, baik lemah
iman, lemah organisasi, lemah daya tahan, maupun lemah persenjataan
(“Catatan Harian Seorang Teroris”, Tempo 13-18 Juni 2006). Mereka
meyakini, walaupun dengan penuh keterbatasan, hal yang dilakukan secara
16
maksimal akan Allah hitung walau hanya “seberat dzarrah” sekalipun
(Samudra, 2004).
2. Meninggalkan Jalan Teror
Fink & Hearne (2008) mengungkapkan, bahwa terdapat beberapa istilah
dalam membahas proses seorang pelaku teror meninggalkan aksinya seperti
penggunaan istilah deradikalisasi, disengagement, dan rehabilitasi. Lebih
lanjut Fink dan Hearne (2008) menunturkan, bahwa perbedaan penggunaan
istilah tersebut tidak menjadi masalah karena pada intinya kesemua istilah
menggambarkan inisiatif untuk membujuk para pelaku teror atau anggota
gerakan ekstrim untuk meninggalkan ideologi dan cara kekerasan dalam
memperjuangkan tujuan-tujuan ideologis dan gerakan mereka.
Berbeda dengan Fink dan Hearne, peneliti lain seperti Gazi (2015)
menganggap bahwa terdapat perbedaan pengertian antara deradikalisasi dan
disengagement. Deradikalisasi lebih menekankan pada proses kognitif, yaitu
dengan menghilangkan ideologi yang menjadi basis hidup dan perjuangan
mantan pelaku teror dalam meraih tujuan pribadi dan kelompok dari alam
pikirannya. Sedangkan disengagement lebih berfokus kepada menghilangkan
cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan ideologi pada diri pelaku teror,
sekalipun mereka masih memiliki pemahaman jihad (Mujahid, 2018).
Pemahaman jihad cukup sulit hilang dalam diri pelaku teror karena
menegasikan jihad sama saja keluar dari Islam karena perintah jihad sendiri
tertuang di dalam al-Qur’an (Gazi, 2016).
Peneliti lain seperti Reinares (2011) sendiri menggolongkan
deradikalisasi kedala tiga komponen penting, yaitu deradikalisasi ideologi,
deradikalisasi tingkah laku, dan deradikalisasi organisasi. Deradikalisasi
ideologi mengandung makna perubahan pemahaman pada level ideologi,
deradikalisasi tingkah laku berarti perubahan pada level tingkah laku (yaitu
dengan menolak cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan), sedangkan
deradikalisasi organisasi bermakna pembubaran organisasi atau kelompok
teror (Reinares, 2011).
17
Beberapa tokoh seperti Rabasa, dkk (2010); Horgan & Braddock (2010);
Morris, dkk (2010) mengungkapkan, bahwa belum ada program
deradikalisasi atau disengagement yang terbukti efektif dan berhasil dapat
mengubah pelaku teror menjadi pribadi yang secara penuh meninggalkan
ideologi kekerasan. Lebih lanjut Kruglanski, dkk. (2014) mengungkapkan,
bahwa perubahan yang terjadi hingga saat ini adalah pengurangan komitmen
terhadap penggunaan kekerasan dalam memperjuangkan ideologi. Karena
tidak mungkin ajaran dan perintah jihad yang tertuang di dalam al-Qur’an
hilang dari pikiran kaum jihadis (Gazi, 2016). Oleh karena itu keberhasilan
dalam menghilangkan paham radikal pelaku teror masih menjadi pertanyaan
besar, akankah dapat terjadi?
Bjorgo & Horgan (2009) mengungkapkan, bahwa jika patokan perubahan
tingkat radikalisme pelaku teror adalah perubahan ideologi, maka hal
tersebut hanya akan dapat terjadi apabila dikombinasikan dengan perubahan
tingkah laku ke arah damai serta memberikan intervensi untuk jaringan sisal,
kelompok, keluarga dan lingkungan pergaulan pelaku teror. Karena
sebenarnya hal yang lebih perlu diperhatikan adalah perubahan sikap dan
menolak penggunaan kekerasan dalam memperjuangkan ideologi (Sarwono,
2012). Para pelaku teror beranggapan, bahwa menegasikan jihad sama
halnya dengan keluar dari Islam, karena perintah jihad sendiri tertuang di
dalam al-Qur’an (Gazi, 2016). Oleh karena itu, hal yang lebih penting
dilakukan bukan merubah ideologi jihad pelaku teror, tetapi menghilangkan
sikap pro kekerasan dan lebih memilih jalan damai dalam memperjuangkan
ideologi.
Proses meninggalkan cara kekerasan dan beralih ke jalan damai dalam
mewujudkan tujuan kelompok walaupun tetap menganut ideologi jihad
disebut dengan disengagement (Fink & Hearne, 2008; Horgan, 2009;
Bjorgo, 2009). Fink & Hearne (2008) dan Bjorgo & Horgan (2009)
mengungkapkan, bahwa disengagement tidak selalu beriringan dengan
deradikalisasi, yaitu perubahan kognisi atau cara pandang yang radikal.
Disengagement lebih penting daripada deradikalisasi karena disengagement
18
dapat terjadi tanpa melalui deradikalisasi, tetapi disengagement merupakan
prasyarat untuk memasuki proses deradikalisasi (Bjorgo, 2009; Horgan,
2009). Sehingga dapat disimpulkan, bahwa seseorang dapat meninggalkan
cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan ideologinya sekaipun dia masih
memiliki pemahaman teror.
Penelitian yang dilakukan Horgan (2009) kepada para mantan pelaku
teror sejak tahun 2006 hingga 2008 menunjukkan bukti, bahwa sebagian
besar mantan pelaku teror lebih tepat apabila dianggap sebagai individu-
individu yang mengalami proses disengagement daripada individu-individu
yang telah terderadikalisasi. Berdasarkan penelitian tersebut dapat
disimpulkan, bahwa mayoritas pelaku meninggalkan jalan teror tanpa
mengalami perubahan ideologi dan tanpa harus meninggalkan ideologinya
tersebut. Hal ini juga terjadi pada sebagian besar mantan anggota Jama’ah
Islamiyah di Indonesia (Imron, 2010). Mereka tidak akan pernah
meninggalkan ideologi jihad yang selama ini secara jelas tertuang di dalam
al-Qur’an.
Salah satu pelaku teror Bom Bali 1 dalam autobiografinya
mengungkapkan, bahwa dirinya meyakini pemahaman jihad yang tertuang di
dalam al-Qur’an dan masih menginginkan tegaknya khilafah, namun dia
tidak menyetujui penggunaan kekerasan dan teror dalam memperjuangkan
ideologinya tersebut (Imron, 2010). Lebih dari itu Gazi (2016)
mengungkapkan, bahwa penegasian jihad dapat membuat seseorang keluar
dari Islam, karena menolak sebagian dari isi al-Qur’an. Ajaran jihad yang
memiliki dasar kuat di dalam al-Qur’an membuat sebagian besar mantan
pelaku teror sulit untuk meninggalkan ideologi tersebut.
Hendropriyono (2009) mengungkapkan, bahwa pendekatan dengan cara
dialog beradab yang dibangun atas prinsip kearifan dan kebijaksanaan lebih
tepat digunakan dalam pengentasan masalah terorisme di Indonesia.
Melibatkan keluarga dan masyarakat juga dapat menjadi jalan alternatif
dalam program pengentasan terorisme (Gunaratna & Hassan, 2011). Karena
jika kesadaran masyarakat terhadap penanganan terorisme rendah bahkan
19
jika masyarakat memusuhi pelaku teror yang ingin tobat dan ingin
memperbaiki kesalahannya, maka dapat membuat pelaku tersebut menjadi
residivis (Hakim & Mujahid, 2018). Demant, dkk. (2008) mengungkapkan,
bahwa hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan bekerjasama dengan
berbagai kalangan seperti tokoh agama, peneliti di bidang sosial dan
terorisme, hingga bekerja sama dengan media massa dalam pemberantasan
masalah terorisme ini.
Bjorgo (2009) lebih menekankan pada dinamika kelompok dalam proses
disengagement pelaku teror. Lebih lanjut Bjorgo (2009) membaginya
menjadi dua faktor, yaitu push factors dan pull factors. Push factors adalah
faktor-faktor internal kelompok yang membuat seseorang terdorong untuk
keluar dari kelompok teror. Push factors mencakup hal-hal negatif dari
kelompok dan hal yang tidak mengenakkan bagi pelaku yang ingin keluar
dari kelompoknya. Pull factors berisi peluang atau kekuatan sosial yang
menari seorang pelaku untuk melihat alternated lain di luar kelompok yang
lebih menjanjikan dan dapat dijadikan alternatif lain dalam memperjuangkan
ideologi.
Push factors membuat seorang pelaku teror merasa tidak nyaman berada
di dalam kelompok radikal. Hal tersebut dicontohkan oleh Gazi (2016)
sebagai perasaan tidak nyaman di dalam hati karena telah melakukan
pengeboman di rumah sakit, panti sosial, dan tempat ibadah. Kesemua hal
tersebut bertentangan dengan hati nurani pelaku teror dan dapat membuatnya
merasa kecewa kepada aktivitas kelompok. Horgan (2009) menambahkan,
bahwa faktor lain seperti kesenjangan antara harapan dan kenyataan,
kekecewaan kepada pemimpin dan kelompok, burn out, dan rasa malas
untuk melanjutkan perjuangan menjadi faktor lain dalam disengagement
pelaku teror.
Faktor afeksi seperti menyaksikan atau bahkan melakukan kekerasan serta
akibat yang ditimbulkan dari kekerasan menjadi faktor lain yang membuat
pelaku merasa ragu dengan keputusannya melakukan aksi teror (Choudhury,
2009 & Jacobson, 2010). Kekecewaan terhadap cara perjuangan yang
20
digunakan akan memperkuat keyakinan mereka untuk meninggalkan
kelompok. Perasaan tersebut pada akhirnya akan membuka kognitif pelaku
teror dan dia akan menimbang ulang dan menafsirkan kembali paradigm
yang ditawarkan kelompok dalam memahami dunia dan memperjuangkan
ideologi mereka selama ini (Jacobson, 2010).
Pull factors merupakan hal-hal positif dan menyenangkan di luar
kelompok yang membuat pelaku bimbang dan pada akhirnya memutuskan
untuk meninggalkan kelompok teror dan memilih kelompok baru yang dia
rasa lebih menarik. Demant, dkk. (2008) mencontohkan pull factors sebagai
keinginan pelaku teror untuk berkeluarga dan hidup normal seperti
kebanyakan orang. Karena hidup normal dapat memberikan suatu kepuasan
dan makna tersendiri bagi pelaku teror (Bjorgo, 2009; Choudhury, 2009;
Horgan, 2009). Jika pull dan push factors ini dipelajari lebih lanjut, maka
pembuat kebijakan dapat mengembangkan program rehabilitasi pelaku teror
dengan lebih baik lagi.
Berbeda dengan Bjorgo (2009), Disley, dkk. (2012) lebih menekankan
pada ikatan sosial dalam proses disengagement pelaku teror. Ikatan sosial
yang positif dengan pihak luar akan dapat memperlemah ikatan dengan
kelompok dan pada akhirnya akan meningkatkan kematangan psikologis dan
merubah prioritas hidup pelaku teror (Disley, dkk., 2012). Ikatan sosial
positif dengan kelompok luar dapat terjalin dengan keluarga, lingkungan
pekerjaan, atau pendidikan pelaku teror yang bertentangan dengan kelompok
sebelumnya (kelompok teror). Hal senada dikemukakan oleh Horgan (2009),
bahwa keputusan meninggalkan jalan teror terjadi karena pelaku lebih
memprioritaskan masalah personal seperti menikah, memiliki anak, atau
melanjutkan studi seiring pertambahan usianya.
Mirahmadi & Farooq (2010) mengemukakan, bahwa deradikalisasi
berbasis sosial dan komunitas diperlukan untuk mempersempit ruang gerak
kaum radikal dalam menyebarkan pemahaman keagamaan yang radikal dan
ekstrim ditengah masyarakat. Karena pada hakikatnya, deradikalisasi sendiri
adalah proses sosial dan psikologis yang rumit dan panjang, dimana
21
komitmen dan keterlibatan individu dalam organisasi kekerasan dikurangi
sampai batas tertentu sehingga mereka tidak lagi berisiko terlibat dalam
aktivitas kekerasan (Horgan, 2009; Jacobson, 2010; Kruglanski, dkk., 2014).
Mengurangi keterlibatan pelaku dalam organisasi kekerasan dan
meningkatkan interaksinya dengan masyarakat dapat memberikan kontribusi
terhadap proses rehabilitasi pelaku teror.
Garfinkel (2007) mengungkapkan, bahwa interaksi dengan figure yang
menjadi representasi musuh atau outgroup merupakan salah satu faktor yang
dapat merubah pelaku teror yang sebelumnya ekstrem kekerasan menjadi
lebih toleran dan pada akhirnya meningalkan jalan kekerasan dalam
memperjuangkan ideologi. Dalam penelitiannya Garfinkel (2007)
menggambarkan figure seorang pastor bernama James yang terkenal radikal
dan ekstrem. James sangat membenci Islam. Namun, cara pandang James
berubah saat dia diberi kesempatan untuk terlibat dan bekerjasama dengan
salah satu tokoh muslim dalam kegiatan penanggulangan masalah kesehatan.
Interaksi Pastor James dengan tokoh muslim ini menjadi salah satu kegiatan
Peace building dan kerjasama lintas agama (Garfinkel, 2007).
Solidaritas dan ikatan sosial dengan ingroup dapat menjadi penghalang
dalam proses deradikalisasi dan disengagement pelaku teror (Gazi, 2016).
Solidaritas cukup penting dalam mempertahankan kebersamaan kelompok
(Abudza, 2009). Pendapat ini didasarkan dari penelitiannya pada Jamaah
Islamiyah (JI) di Indonesia. Solidaritas dan jaringan yang kuat di kalangan
Jamaah Islamiyah umumnya terbentuk melalui persahabatan dan
kekeluargaan yang diperkuat dengan ikatan perkawinan yang strategis
(Abudza, 2009). Menikah dengan anggota keluarga ikhwan seperjuangan
dapat memperkuat ideologi dan keyakinan mereka pada kelompok. Mereka
kurang memperoleh perspektif baru mengenai jihad karena hanya
berinteraksi dengan kelompok serta kurang berinteraksi dengan orang di luar
kelompok. Mengembangkan ikatan sosial dengan outgroup diharapkan
menjadi salah satu cara dalam proses disengagement pelaku teror.
22
Abudza (2009) mengungkapkan, bahwa penerimaan masyarakat pada
mantan pelaku teror menjadi faktor lain yang mendukung kesuksesan
disengagement. Gazi (2016) mengungkapkan, bahwa jika masyarakat dapat
menerima mantan pelaku teror dengan baik, maka mereka akan merasa
nyaman dan dapat menemukan ikatan sosial baru yang setara dengan ikatan
sebelumnya. Penelitian Hakim & Mujahid (2018) menunjukkan, bahwa rasa
bersalah dan kemauan yang kuat dari pelaku teror untuk meninggalkan
ideologi kekerasan tidakah cukup tanpa adanya lingkungan sosial yang dapat
mendukungnya hidup normal seperti manusia pada umumnya. Seorang
informan dalam penelitian Hakim dan Mujahid (2018) menjadi residivis dan
kembali terlibat dalam aksi teror karena kurang mendapatkan dukungan
sosial dari masyarakat tempatnya tinggal. Pelaku merasa tidak diterima di
masyarakat dan akhirnya lebih memilih kelompok lamanya, sehingga dia
tidak memahami bahwa terdapat perbedaan konsep jihad dengan mayoritas
outgroup (Gazi, 2016).
Garfinkel (2007) mengemukakan, bahwa hubungan interpersonal yang
positif dengan outgroupmenjadi faktor penting dalam proses meninggalkan
jalan teror. Perubahan seringkali bergantung pada suatu hubungan, yaitu
dengan seorang mentor atau teman yang mendukung dan menguatkan
tingkah laku damai pada pelaku teror (Garfinkel, 2007 dan Jacobson, 2010).
Oleh karena itu, perbedaan pemahaman mengenai jihad dari outgroup yang
dianggap sebagai mentor atau senior membuka perspektif baru bagi pelaku
teror yang selama ini memilih jalan kekerasan dan teror yang selama ini dia
pilih dalam memperjuangkan ideologi.
Hubungan dengan model peran, seperti mentor atau senior di luar
kelompok perlu menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan terkait
dalam proses rehabilitasi pelaku teror (Mujahid, 2018). Memutus mata rantai
dengan pemimpin dan kelompok radikal, memasukkan pelaku ke kelompok
baru, serta menghubungkannya dengan mentor atau senior yang memiliki
pemahaman jihad berbeda, diharapkan dapat membuat pelaku teror menjadi
23
lebih moderat, memahami al-Qur’an secara kontekstual, serta dapat melihat
konteks sosial budaya dalam bersikap dan menjalani kehidupan sehari-hari.
Menjalin interaksi dengan outgroup dan memutus kontak dengan ingroup
akan mempercepat proses disengagement pelaku teror (Garfinkel, 2007).
Salah satu informan dalam penelitiannya bahkan memutuskan untuk
meninggalkan jalan teror karena mendapatkan empati yang tidak terduga
dari outgroup. Garfinkel (2007) mengemukakan faktor lain seperti
pengalaman trauma yang dialami selama menjadi anggota kelompok,
persepsi bahwa nilai dan keyakinan kelompok mengalami kegagalan, serta
mulai menyadari bahwa musuh atau lawan adalah manusia yang juga harus
dihargai dan dijunjung tinggi kehormatannya menjadi faktor lain yang tidak
kalah penting dalam proses disengagement pelaku teror. Proses
disengagement pelaku teror akan lebih cepat terjadi apabila pelaku
melakukan migrasi dari tempat yang menjadi basis organsiasi kekerasan ke
tempat yang mempromosikan perdamaian (Garfinkel, 2007). Memilihkan
lingkungan yang menentang aksi kekerasan menjadi pilihan tepat dalam
upaya rehabilitasi pelaku teror.
Jacobson (2010) dan Kruglanski, dkk (2014) menyimpulkan, bahwa
dinamika sosial disekitar individu berpengaruh besar terhadap pilihan
meninggalkan jalan teror. Misalnya, interaksi dan dialog dengan pihak
eksternal di luar kelompok akan membuka perspektif baru pelaku mengenai
jihad dan penggunaan kekerasan dalam memperjuangkan ideologinya
(Jacobson, 2010; Hwang, 2015). Berdialog dengan pihak lain di luar
kelompok akan membuat teroris memiliki pemahaman baru yang berbeda
dengan pemahamannya selama ini. Dengan mengetahui pemahaman orang
lain, diharapkan dapat merubah pola pikir dan sikap pelaku dari pro
kekerasan menjadi lebih moderat dan toleran kepada orang lain di luar
kelompok yang berbeda pemahaman dengannya.
3. Pemahaman Tafsir Pelaku Teror
24
Al-Qur`an sebagai kitab suci dan pedoman bagi umat Islam diturunkan
dengan bahasa Arab. Tidak sekedar bahasa Arab biasa, namun bahasa Arab
dalam al-Qur’an memiliki kandungan sastra yang sangat tinggi (Hasan,
2018). Kandungan sastra yang sangat tinggi di dalam al-Qur’an ini pun
diakui oleh siapapun yang memiliki keahlian dibidang linguistik bahasa Arab
(Ibnu ‘Athiyyah, 2001), sehingga sampai saat ini tidak ada yang dapat
membuktikan bahwa al-Qur`an bukan kalam Tuhan (Daud, 2007). Untuk
memahami kandungan di dalam al-Qur’an, dibutuhkan berbagai instrumen
sebagai prasyarat untuk memahami al-Qur`an dengan benar (Hasan, 2015).
Sekedar penguasaan bahasa Arab tentu tidak cukup dan dipastikan akan
melahirkan pemahaman dan penafsiran yang naif (Ya’qub, 2010). Sehingga
diperlukan pemaknaan yang komprehensif untuk memahami ayat-ayat di
dalam al-Qur’an.
Kandungan sastra yang cukup tinggi di dalam al-Qur’an tidak jarang
membuat seseorang salah dalam menafsirkan ayat-ayat yang terkandung
didalamnya. Sumber kesalahan penafsiran secara teoritis oleh al-Sya>tibi
dikategorikan dalam kitabnya al-Muwafaqat, dalam tiga kelompok. Pertama,
al-Harfiyyun yaitu mereka yang memahami teks suci hanya sebatas bacaan
terhadap yang terlihat dari teks tersebut. Tanpa melihat ‘illah atau alasan dari
sebuah kesimpulan dari ayat tersebut. Atau dengan kata lain mereka
memahami al-Qu`an secara leteler tanpa memperhatikan konteks dari ayat
tersebut. Kedua, adalah kebalikan dari pada kelompok pertama. Dimana
kelompok ini lebih menekankan pemahaman berdasarkan apa yang terdapat
dibalik teks. Kelompok ini lebih dikenal dengan sebutan bathiniyyun.
Disebabkan mereka lebih memprioritaskan makna batin daripada makna
dhahir atau yang terbaca dari teks. Ketiga adalah kelompok rasionalitas atau
‘Aqlaniyyun. Dimana mereka hanya berlandaskan kepada rasio akal semata
ketika memahami teks agama. Akibatnya mereka menolak banyak ketetapan-
ketetapan Syariah yang dianggapnya tidak sejalan dengan akal manusia (al-
Sya>thibi, 1997).
25
Berdasarkan uraian teori di atas peneliti menyimpulkan, bahwa
penyebab utama penyimpangan penafsiran yang dilakukan oleh para pelaku
teror secara umum berakar kepada kategori pertama. Dimana mereka
menafsirkan teks agama hanya berdasarkan kepada kajian linguistik semata.
Pelaku teror tidak mendalam dalam memaknai ayat-ayat jihad yang
terkandung di dalam a-Qur’an. Pemaknaan mereka terhadap al-Qur’an
cenderung dangkal. Mereka menjadikan literal dari sebuah teks sebagai satu-
satunya pemahaman dan mereka menganggap bahwa akal tidak mampu untuk
memberikan pemandangan di luar daripada apa yang terbaca dari teks.
Bahkan hanya sekedar memberikan pemaknaan terhadap ayat-ayat yang
terlihat salin bertentangan pun, menurut mereka akal tidak berhak (Abdillah,
2011). Pelaku hanya terfokus untuk mengimplementasikan ayat-ayat jihad di
dalam al-Qur’an tanpa melihat konteks sosial budaya tempatnya tinggal
(Sarwono, 2012). Mereka memahami, bahwa jihad adalah puncak kemuliaan
seorang muslim (Milla, 2009; Sarwono, 2012, Kruglanski, dkk., 2014).
Kemampuan bahasa saja tidak dapat dijadikan landasan dalam
penafsiran al-Qur'an. Al-Ghazali ketika mengomentari tentang pernyataan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terkait larangan memahami al-Qur’an
hanya sekedar menggunakan akal rasio, ia menjelaskan bahwa diantara hal
yang harus dihindari seorang mufassir adalah tergesa-gesa dalam
menyimpulkan suatu makna yang terkandung dalam al-Qur’an hanya
berdasarkan kepada lahiriyah atau literal dari sebuah teks tanpa
mengkonfirmasi riwayat atau hal-hal yang terkait dengan teks tersebut. Jika
bahasa dijadikan sebagai satu-satunya rujukan dalam memahami al-Qur`an,
maka dapat dipastikan akan menghasilkan pemahaman yang salah (al-
Ghazali: ttp). Hal tersebut juga berlaku untuk para pelaku teror. Aksi teror
dapat berkurang jika semua calon pelaku lebih berhati-hati dalam
menyimpulkan sebuah ayat, termasuk ayat-ayat jihad di dalam al-Qur’an.
Jika para calon pelaku lebih mempertimbangkan lingkungan tempatnya
berada sebelum melakukan aksi teror, maka angka terorisme akan lebih
mudah ditekan.
26
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh al-Ghazali, Imam Ibnu
Taimiyah memberikan kritik keras kepada siapapun yang memahami al-
Qur`an hanya berdasarkan bahasa. Al-Ghazali menyatakan, bahwa siapapun
yang ingin memahami al-Qur`an harus memperhatikan tiga hal. Pertama
terkait siapa yang berbicara dengan al-Quran. Kedua kepada siapa al-Qur`an
itu diturunkan. Dan ketiga adalah untuk siapa al-Qur`an itu disampaikan. Jika
tiga hal tersebut atau salah satunya diabaikan, maka dapat dipastikan hasil
penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an menjadi tidak valid karena dianggap
memaksakan makna yang tidak terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an (Ibnu
Taimiyyah, 1995).
Ibnu Qayyim al-Jauzi, murid Ibnu Taimiyyah lebih tegas menyatakan,
bahwa hal yang harus dihindari dalam menafsirkan sebuah ayat al-Qur’an
adalah menghindari ekspektasi logika kebahasaan. Karena hal ini akan
menjebak mufassir dalam pemahaman yang salah terhadap maksud
kandungan al-Qur`an. (Ibnu Qoyyim, ttp).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah benang merah
bahwa penafsiran dan pemahaman teks agama yang hanya mendasarkan
kepada makna tekstual tanpa melihat unsur-unsur lain seperti asbabun nuzul,
konteks ayat, dan al-maqhoshid al-syariah, sebagaimana dilakukan
umumnya para pelaku teror, dipastikan akan menghasilkan penafsiran yang
kaku, inklusif, anti pruralitas, serta mudah menyalahkan pihak lain yang tidak
sepaham dengannya (Abdillah, 2011). Akibatnya para “jahadis” tersebut
mengatasnamkaan berbagai macam tindakan kekerasan dan teror atas nama
kitab suci dan petintah Tuhan.
4. Heuristic vs Sistematic Information Processing pada Pelaku Teror
Identifikasi masalah menjadi titik awal yang mengarahkan keputusan
pelaku untuk menggunakan cara-cara kekeraan dan teror dalam
memperjuangkan ideologi. Milla (2009) mengungkapkan, bahwa
mendefinisikan masalah, mencari informasi, solusi, evaluasi, dan seleksi
performansi sesuai dengan persepsi mereka. Mereka lebih memilih jalan
27
kekerasan dan teror karena mempertimbangkan beberapa hal, yaitu
mempertimbangkan kemampuan dan sumber daya yang mereka miliki.
Mereka tidak memperdulikan keterbatasan-keterbatasan yang ada, seperti
keterbatasan persenjataan dan sumber daya lain (“Catatan Harian Seorang
Teroris”, Tempo 13-18 Juni 2006). Imron (2010) dan Sarwono (2012)
mengungkapkan, bahwa pelaku teror meyakini bahwa segala hal yang mereka
lakukan walaupun penuh dengan keterbatasan akan memberikan kontribusi
bagi hal yang mereka perjuangkan, sekalipun nyawa menjadi taruhan.
Model rasional terbatas dalam teori pengambilan keputusan dirasa tepat
untuk menjelaskan fenomena ini. Terdapat beberapa faktor yang menjadi
alasan dalam proses pengambilan keputusan pelaku teror ini, yaitu: informasi
yang tidak memadai mengenai duduk permasalahan dan kemungkinan solusi
dari masalah; keterbatasan waktu dan biaya untuk memperoleh informasi
secara lengkap; ketidakmampuan pelaku mengingat informasi dalam jumlah
banyak, serta keterbatasan intelegensi mereka (Milla, 2009). Kesemua hal
tersebut menjadi faktor yang membuat pelaku teror mengambil keputusan
yang cenderung instan, tidak komprehensif, dan tidak kritis dengan penuh
keterbatasan yang ada. Mereka tidak mengevaluasi keputusan penggunaan
jalan kekerasan dan teror dalam memperjuangkan ideologi.
Kahneman & Tversky (1982) mengungkapkan, bahwa pengambilan
keputusan dalam model rasional terbatas cenderung mengandalkan prinsip-
prinsip heuristic. Lau & Reslawsk (2001) mendefinisikan heuristic sebagai
sebuah upaya kognitif yang membuat individu merasa sangat ahli dalam
mengaplikasikan sejumlah informasi untuk membuat keputusan yang dirasa
masuk akal dengan jalan pintas dan dengan upaya kognitif seminimal
mungkin dalam segala aspek kehidupan. Hal tersebut diperparah dengan
kecenderungan individu untuk menolak informasi dari orang lain, memiliki
tingkat kepercayaan diri berlebihan, dan over estimasi terhadap frekuensi
peristiwa (Kahneman & Tversky, 1982). Hal tersebut terjadi pada diri pelaku
teror. Mereka memahami tafsir ayat-ayat suci al-Qur’an secara sepihak
dengan membabi buta ingin menegakkan ajaran agama Islam secara kaffah.
28
Mereka tidak memperdulikan keterbatasan yang mereka miliki, baik
keterbatasan ilmu mengenai tafsir ayat-ayat jihad di dalam al-Qur’an,
keterbatasan informasi untuk mengakses dunia luar, maupun keterbatasan
persenjataan. Karena berpikir secara heuristic sendiri meningkatkan
kemungkinan terjadinya bias dalam penilaian (Lau dan Reslawsk, 2001).
Milla (2009) yang lebih menekankan dinamika kelompok dalam proses
radikalisasi pelaku teror menjelaskan, bahwa bias yang berlebih pada pelaku
terjadi karena kepercayaan awal yang berlebihan kepada kelompok teror.
Pelaku teror yang mengatasnamakan agama memiliki kepercayaan dan
doktrin-doktrin agama yang sangat kuat diyakini sebagai sebuah kebenaran
oleh para pengikutnya. Lebih lanjut Milla (2009) mengungkapkan, bahwa
pelaku teror dapat berpikir secara heuristic dan akhirnya memiliki pandangan
bias yang disebabkan oleh kombinasi antara kepatuhan mereka kepada
pemimpin yang dianggap telah memiliki kompetensi lebih serta tekanan
konformitas dari kelompok. Pada akhirnya, pelaku teror mengambil keputusan
secara heuristic, yaitu keputusan yang sesuai dengan norma kelompok. Pelaku
teror tidak peduli jika keputusan yang dia ambil ternyata bertentangan dengan
norma sosial yang ada di masyarakat.
Penjelasan di atas dapat digunakan sebagai acuan dalam melihat
konsekuensi dari keputusan kelompok teror. Milla (2009) mengemukakan,
bahwa konsekuensi dari keputusan kelompok dapat memberikan akibat yang
berbeda pada anggotanya, meskipun pada awalnya keputusan yang mereka
ambil dipersepsi sebagai keputusan berdasarkan pada norma kelompok.
Kenyataan berupa merodekekerasan dan teror yang selama ini mereka pilih
ternyata bertentangan dengan mayoritas manusia, bahkan bertentangan
dengan kaum muslimin yang mereka anggap sebagai saudara seiman yang
bahkan mereka bela mati-matian (Milla, 2009; Kruglanski, dkk., 2014).
Evaluasi metode ini yang pada akhirnya dapat menjadi pencetus bagi sebagian
pelaku teror untuk memutuskan keluar dari aksi kekerasan dan lebih memilih
jalan damai dalam memperjuangkan ideologi. Proses ini dalam konsep
29
pengambilan keputusan disebut sebagai proses berpikir secara sistematis atau
sistematic information processing.
Chaiken & Ledgerwood (2012); Chen, Duckworth, & Chaiken (1999);
Dash, Meeten, & Davey (2013) mendefinisikan sistematic information
processing sebagai sebuah pemrosesan informasi yang dilakukan dengan cara
mengamati objek yang dituju dengan komprehensif, hati-hati, dan dengan
penyelidikan yang sangat intens. Terdapat tiga sifat sistematic information
processing menurut Chaiken dan Ledgerwood (2012), yaitu berpikir tentang
masalah, keinginan individu untuk mencurahkan perhatian, serta motivasi
individu untuk memproses informasi secara lebih sistematis. Tidak disebut
berpikir secara kritis jika tidak ada motivasi dalam pemrosesan informasi.
Dash, dkk. (2013) mengungkapkan, bahwa seseorang yang sedang cemas
cenderung untuk pemrosesan informasi secara lebih sistematis. Individu yang
bersangkutan akan memproses informasi secara lebih intes, hati-hati, dan
komprehensif dengan mencurahkan segala perhatian terhadap masalah yang
sedang dihadapi serta memilihi motivasi lebih terhadap hal yang membuatnya
cemas. Tanda seorang individu berpikir secara sistematis adalah berpikir
secara analitis dan terperinci mengenai informasi yang relevan dengan isu
yang membuatnya cemas. Pemrosesan informasi secara sistematis juga
digunakan saat individu merasa belum mencapai tingkat kepercayaan yang
maksimal dalam penilaian mereka mengenai hal yang dicemaskan (Dash,
dkk., 2013). Oleh karena itu individu berusaha menyiapkan informasi secara
detail sebagai bahan pertimbangan dalam setiap kemungkinan negatif atau
untuk mendeteksi adanya bahaya, serta untuk memastikan mereka akan dapat
mengatasi masalah yang dirasakan.
Fink & Hearne (2008) mengungkapkan bahwa pelaku teror mulai
meninggalkan jalan kekerasan dan teror dalam memperjuangkan ideologi
karena mereka mulai berpikir kritis dan mengevaluasi aksi teror yang selama
ini mereka lakukan. NA meninggalkan Jamaah Islamiyah karena mengalami
shock berat melihat korban-korban Bom Bali I di Indonesia (Gazi, 2016).
Choudhury (2009) dan Jacobson (2010) mengungkapkan, bahwa pengalaman
30
individu pelaku teror dalam menyaksikan kekerasan atau melakukan
kekerasan serta menyaksikan akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan menjadi
momen penting yang memicu keraguan dan berlanjut kepada penyesalan
mereka telah berbuat teror. Jatuhnya korban yang tidak berdosa juga menjadi
faktor memicu lain yang membuka pemikiran pelaku teror dan pada akhirnya
ia memutuskan untuk meninggalkan jalan kekerasan dan teror dalam
memperjuangkan ideologi.
Jacobson (2010) dalam penelitiannya membahas mengenai salah satu
informan berinisial TH, salah satu anggota kelompok teror di Mesir yang
memutuskan untuk meninggalkan ideologi kekerasan. TH memutuskan untuk
meninggalkan cara kekerasan dan teror ketika dia diperintahkan oleh
pemimpin kelimpoknya untuk menculik dan membunuh salah seorang
petinggi polisi. Dia merasa bahwa hal yang dilakukannya tersebut adalah
sebuah kesalahan dan bertentangan dengan hati nurani. Sejak saat itu TH
mulai mengkritisi setiap aksi kekerasan dan teror yang pernah dilakukannya
bersama teman-teman satu organisasinya sampai pada akhirnya TH
memutuskan untuk keluar dari kelompok radikal (Jacobson, 2010).
Mengebom rumah sakit, panti asuhan, dan tempat ibadah sering kali
bertentangan dengan hati nurani pelaku teror (Gazi, 2016). Lebih lanjut Gazi
(2016) mengungkapkan, bahwa disengagement ditandai dengan proses
keterbukaan pikiran (cognitive opening) pada diri pelaku teror. Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa berpikir kritis tentang strategi teror
yang dipilih serta jatuhnya korban yang tidak berdosa dan bukan merupakan
target utama pengeboman dan teror menjadi faktor penting dalam proses
disengagement pelaku teror. Kedua hal tersebut menjadikan pelaku teror
berpikir secara kritis dan sistematis mengenai strategi teror yang selama ini
mereka pilih dalam memperjuangkan ideologi. Apakah mereka mengkritisi
pemahaman jihad yang selama ini mereka peroleh dari ayat-ayat jihad di
dalam al-Qur’an? Apakah mereka lebih mempertimbangkan konteks sosial
dimana dia tinggal sehingga memutuskan untuk meninggalkan aksi teror?
Apakah mereka lebih kritis dalam mencermati ayat-ayat damai di dalam al-
31
Qur’an? Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dan
kekosongan pembahasan mengenai hal tersebut.
5. Kerangka Teori
Analisis mengenai pergeseran pemahaman ayat-ayat jihad pelaku teror
dapat sebagai bahan referensi dalam pembuatan kebijakan deradikalisasi dan
disengagrement pelaku teror, khususnya terorisme yang terjadi di Indonesia.
Karena menurut Fink dan Hearne (2008), kebijakan dalam rehabilitasi pelaku
teror harus sesuai mempertimbangkan konteks budaya masyarakat setempat.
Program rehabilitasi pelaku teror harus mempertimbangkan konteks budaya
masyarakat setempat agar program yang dibuat dapat dilaksanakan secara
efektif dan dapat meminimalisir kegagalan.
Milla (2009) menjelaskan, bahwa proses radikalisasi pelaku teror dimulai
karena mereka berpikir secara heuristic. Lau & Reslawsk (2001)
mengungkapkan, bahwa orang yang berpikir heuristic cenderung berpikir
dengan jalan pintas dengan upaya kognitif yang minimal. Pelaku teror merasa
tidak berhak untuk memaknai ayat-ayat jihad yang tekandung di dalam al-
Qur’an (Abdillah, 2011). Mereka memiliki kepercayaan dan doktrin-doktrin
ayat jihad agama yang sangat kuat diyakini sebagai sebuah kebenaran (Milla,
2009) tanpa mereka mau mengkritisi doktrin yang didapatkan tersebut
(Sarwono, 2012). Mereka menjadikan literal ayat-ayat jihad tersebut sebagai
satu-satunya pemahaman tanpa mempertimbangkan unsur-unsur lain seperti
asbabun nuzul, konteks ayat dan al-maqhoshid al-syariah.
Jatuhnya korban yang tidak berdosa dan sebagian besar korban adalah
representasi dari ingroup (yaitu kaum muslimin) membuat pelaku
mengevaluasi aksi teror yang selama ini mereka lakukan (Choudhury, 2009;
Fink & Hearne, 2008; Imron, 2010; Jacobson, 2010). Mereka berpikir lebih
kritis, terutama karena perjuangan yang selama ini mereka lakukan ternyata
ditentang oleh sebagian besar kaum muslimin (Milla, 2009, Harris, 2010).
Disengagement dan deradikalisasi terjadi karena pelaku mulai berpikir kritis
32
mengenai aksi teror yang selama ini mereka gunakan dalam memperjuangkan
ideologi.
Chaiken & Ledgerwood, (2012); Chen, Duckworth, & Chaiken (1999);
Dash, Meeten, & Davey (2013) mengungkapkan, bahwa systematic
information processing membuat individu berpikir lebih komprehensif, hati-
hati, dan dengan penyelidikan lebih intensif terhadap permasalahan yang
sedang dia hadapi. Jika pelaku teror telah mempertimbangkan jatuhnya
korban yang tidak berdosa, konteks sosial dan lingkungan tempatnya berada,
serta melihat asbabun nuzul ayat-ayat jihad yang menjadi dasar perjuangan,
maka sejatinya mereka telah berpikir secara sistematis. Asumsi peneliti
adalah jika pelaku teror telah dapat mengevaluasi aksi jihadnya selama ini,
maka telah terjadi pergeseran pemahaman mengenai ayat-ayat jihad dalam
diri pelaku teror. Teori di atas memberi skema teoretik sesuai dengan gambar
sebagai berikut:
34
35
Berdasarkan skema teoretik di atas, maka pertanyaan utama yang diajukan
dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pergeseran pemahaman pelaku teror
terhadap ayat-ayat jihad di dalam al-Qur’an? Selain itu, terdapat sub pertanyaan
penelitian, yaitu
1. Bagaimana kehidupan pelaku sebelum, saat, dan setelah memutuskan untuk
meninggalkan paham teror dan kekerasan?
2. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi pelaku terorisme meninggalkan
paham teror dan kekerasan?
36
BAB III: METODE PENELITIAN
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian
kualitatif memiliki tujuan untuk memperoleh gambaran mengenai realitas
empirik dibalik suatu fenomena secara mendalam (Poerwandari, 2013).
Creswell (2014) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai metode untuk
mengeksplorasi dan memahami makna yang dianggap oleh sejumlah individu
atau sekelompok orang berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Secara
khusus, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara detail
dan mendalam mengenai pemahaman tafsir ayat-ayat jihad di dalam al-
Qur’an yang diyakini oleh mantan pelaku teror. Secara khusus, hal yang
digali adalah mengenai pemahaman tafsir mereka mengenai ayat-ayat jihad,
baik pemahaman tafsir mereka saat masih menganut paham teror maupun
setelah memutuskan untuk meninggalkan jalan teror dalam memperjuangkan
ideologi.
Peneliti memiliki beberapa alasan yang melatarbelakangi pemilihan
metode kualitatif sebagai rancangan dalam penelitian ini. Topik utama dalam
penelitian ini adalah pemahaman pelaku teror mengenai ayat-ayat jihad di
dalam al-Qur’an. Penelitian ini dilakukan untuk melihat dan menggambarkan
perubahan cara pandang pelaku teror terhadap ayat-ayat jihad dalam al-
Qur’an. Perubahan cara pandang tersebut peneliti asusmsikan dapat merubah
pelaku teror menjadi lebih lunak, toleran, dan moderat kepada sesamanya.
Pergeseran pemahaman mengenai ayat-ayat jihad di dalam al-Qur’an akan
membuat pelaku teror meninggalkan aksi kekerasan dan lebih memilih jalan
damai dalam memperjuangkan ideologi. Poerwandari (2013) mengatakan,
bahwa metode kualitatif dinilai dapat digunakan untuk memahami manusia
dengan segala kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam
kehidupannya, sehingga diharapkan dapat menjadi metode yang tepat dalam
penelitian ini.
37
Pendekatan fenomenologi dianggap tepat digunakan dalam penelitian ini
karena fenomenologi menekankan pada deskripsi pemaknaan dari sejumlah
individu terhadap pengalaman hidup mereka terkait dengan konsep dan
fenomena (Creswell, 2014). Pengalaman individu pada satu fenomena
direduksi menjadi deskripsi tentang esensi atau intisari universal. Moustakas
(1994) menambahkan, bahwa deskripsi ini terdiri dari “apa” yang mereka
alami dan “bagaimana” mereka mengalaminya. Dalam penelitian ini akan
diungkap mengenai “apa” yang membuat informan keluar dari aksi teror dan
“bagaimana” pemaknaan mereka tentang ayat-ayat jihad yang terkandung di
dalam al-Qur’an.
Terdapat dua pendekatan dalam fenomenologi, yaitu fenomenologi
hermeneutika dari van Manen dan fenomenologi empiris, transendental, atau
psikologis dari Moustakes. Penelitian ini menggunakan pendekatan
fenomenologi dari Moustakas (1994). Fenomenologi transendental dari
Moustakas (1994) lebih menekankan pada deskripsi tentang pengalaman dari
para informan dan kurang berfokus pada penafsiran dari peneliti.
Fenomenologi Moustakas menekankan konsep dari Husserls, yaitu epoche
(pengurungan), yaitu dengan mengurung pengalaman dan pemikiran peneliti
sejauh mungkin agar memperoleh perspektif baru yang “segar” terhadap
fenomena yang sedang diteliti dari sudut pandang informan (Creswell, 2014).
Peneliti berusaha sekuat mungkin untuk mengurung pandangan mengenai
aksi kekerasan dan teror serta proses yang mungkin dilalui pelaku teror dalam
meninggalkan jalan radikal sebelum berproses dengan pengalaman subjektif
para informan penelitian.
H. Sumber Data
Jumlah informan dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara
tegas di awal penelitian. Poeweandari (2013) mengemukakan, bahwa seorang
peneliti kualitatif harus lebih mementingkan tercapainya titik jenuh daripada
memikirkan jumlah informan penelitian. Creswell (2014) mengungkapkan,
bahwa jumlah informan dalam penelitian kualitatif dengan pendekatan
38
fenomenologi sekitar lima hingga 25 individu (Polkinghorne dalam Creswell,
2014). Penelitian ini melibatkan lima orang informan utama penelitian.
Kriteria pemilihan informan dalam penelitian ini telah ditetapkan sebelumnya
oleh peneliti, yaitu:
1. Pemerintah Indonesia memvonis informan terbukti terlibat dalam
kasus terorisme, baik di Indonesia maupun di negara lain
2. Informan dapat berbahasa Arab, baik aktif maupun pasif
3. Informan telah memutuskan meninggalkan jalan teror dalam
memperjuangkan ideologi.
4. Bersedia diwawancara dan dimintai informasi seputar pemahaman
teror yang pernah diyakininya dulu, proses disengagement, serta
pemahaman tafsir pelaku teror mengenai ayat-ayat jihad dalam al-
Qur’an.
Informan dalam penelitian ini adalah individu yang pernah terlibat
dalam aksi teror dan pengeboman di Indonesia. Umar Patek alias Umar
Arab alias Hisyam dijatuhi hukuman 20 tahun penjara atas keterlibatannya
dalam Bom Bali 1 yang ditangkap di Abbottabad, Pakistan. Pemerintah
Amerika Serikat pernah membuat sayembara satu juta dolar jika berhasil
menemukan UP saat masih menjadi buron. Ali Imron adalah adik kandung
dari Ali Ghufron dan Amrozi, Trio Bomber Bali 1. Mubarok adalah pelaku
lain dalam aksi Bom Bali 1. Ali Imron dan Mubarok telah dijatuhi
hukuman penjara seumur hidup. Narasumber utama lain adalah Ali Fauzi.
Ia pernah masuk dalam Akademi Moro Islamic Academic Front di Filipina
tahun 1994, menjadi kepala instruktur perakitan bom di Jamaah Islamiyah
tahun 1999 dan kepala instuktur milisi dalam konflik di Ambon dan Poso
tahun 2000.
Pemilihan informan dalam penelitian kualitatif didasarkan pada
kekayaan informasi dengan mempertimbangkan ketepatan dan adekuasi
dalam metode sampling (Fossey, Harvey, McDermott, dan Davidson,
2002). Pemilihan sampel dalam penelitian ini juga mempertimbangkan dua
hal tersebut. Strategi sampling dalam penelitian ini meliputi perluasan
39
kelompok informan dan perluasan teknik pengumpulan data. Perluasan
informan dapat memunculkan informan tambahan yang memiliki
keterkaitan yang signifikan dengan informan utama serta berguna dalam
triangulasi data (Creswell, 2014). Informan tambahan dalam penelitian ini
adalah teman satu organisasi (teman amaliyat) dan mantan guru pelaku
teror.
I. Peran Peneliti
Peneliti dalam penelitian kualitatif tidak lain dijadikan sebagai alat
pengumpul data. Moleong (2011) mengemukakan, bahwa peneliti adalah
instrument sekaligus perencana, pelaksana, pengumpul data, analis, penafsir
data, dan pelapor penelitian. Peneliti terjun langsung ke lapangan untuk
melakukan wawancara dan observasi pada informan. Peneliti berusaha untuk
memahami perubahan penafsiran ayat-ayat jihad pada diri pelaku teror, yaitu
perubahan penafsiran sejak mereka memutuskan untuk terlibat dalam aksi
teror, hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk meninggalkan aksi
teror dan lebih memilih jalan damai dalam memperjuangkan ideologinya.
Peneliti berusaha untuk menangkap segala bentuk peristiwa, aktivitas, latar
belakang (konteks), dan perasaan serta memahami kesemua hal tersebut
sebagai bagian dari pencarian data penelitian. Smith (2009), mengemukakan,
bahwa peneliti harus terlibat secara simultan dalam pengumpulan data untuk
menghindari banjirnya data umum dan tidak fokus yang tidak mengarah pada
sesuatu yang baru.
Terkait dengan pemahaman ini, maka penelitian dimulai dengan
mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan umum tentang topik penelitian.
Peneliti mengumpulkan data tentang hal yang dikatakan dan dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki pengalaman relevan dengan topik penelitian.
Latar belakang asumsi dan ketertarikan disiplin ilmu yang dimiliki
mengarahkan peneliti untuk mencari pokok persoalan dan proses tertentu
dalam data yang dimiliki. Selanjutnya, peneliti menggunakan konsep-konsep
tersebut sebagai titik tolak untuk merancang pertanyaan-pertanyaan
40
wawancara, mencermati data, menyimak informasi, dan memikirkan data
secara analitis. Minat memandu peneliti dalam memberikan titik tolak untuk
mengembangkan gagasan dan bukan malah membatasi. Smith (2009)
mengemukakan, bahwa pada akhirnya peneliti membangun beberapa konsep
spesifik dengan cara mengkaji gagasan-gagasan yang dimiliki melalui
serangkaian tahap analisis dan mencermati data.
Posisi peneliti dalam penelitian ini memiliki kemungkinan menghasilkan
bias disebabkan karena peneliti adalah seorang muslim. Kemungkinan bias
juga dapat terjadi disebabkan peneliti menempatkan diri sebagai orang yang
‘memahami’ informan dan membangun hubungan dengan berbagai
pengalaman informan. Pengalaman peneliti di dalam berbagai aktivitas dan
organisasi dakwah Islam juga dapat menyebabkan bias dalam penelitian. Hal
tersebut dimungkinkan dapat membuat informan merasakan, bahwa peneliti
merupakan bagian dari kelompok mereka, yaitu dalam interaksi yang saling
memahami dan menerima.
Peneliti menyadari bias tersebut sejak awal. Oleh karena itu dalam proses
pengambilan dan analisis data, peneliti berusaha menjaga agar tetap objektif
dengan sering melakukan diskusi dengan peneliti-peneliti lain yang memiliki
fokus penelitian di bidang terorisme dan dengan rekan peneliti yang sama
sekali berbeda dengan kelompok informan, misalnya mereka yang memiliki
pandangan berbeda tentang penggunaan kekerasan dalam perjuangan dan
jihad atau mereka yang beragama non muslim.
J. Pengumpulan Data
Data dalam penelitian kualitatif dianggap kaya jika data tersebut dapat
mendetail, fokus, dan komprehensif mencerminkan fenomena yang diteliti.
Creswell (2014) mengemukakan, bahwa data dalam penelitian kualitatif harus
dapat menggambarkan pandangan, perasaan, harapan, dan aksi informan yang
berkaitan dengan konteks dan struktur (situasi) kehidupan informan. Data
yang diperoleh baik tertulis maupun tidak seperti foto, artikel, rekaman video,
dan berita dari media massa, baik cetak maupun online, dapat dijadikan
41
sebagai data pendukung dalam penelitian ini agar kesemuanya dapat saling
melengkapi satu sama lain sehingga terbangun menjadi sebuah kisah
individual yang utuh menggambarkan informan baik sebelum maupun setelah
memutuskan keluar dari jalan teror dalam memperjuangkan ideologinya.
Kisah informan utama juga dilengkapi dengan ceita dari orang-orang terdekat
yang mengetahui sejarah mereka (significant others) secara langsung seperti
saudara kandung, mentor, maupun teman amaliyat informan utama.
Peneliti tidak hanya menggunakan satu teknik pengumpulan data, tetapi
memilih beberapa teknik agar dapat membangun pemahaman mengenai
fenomena secara kompleks dan untuk triangulasi data. Karena menurut
Fossey, dkk (2002), informasi dari berbagai sumber dapat digunakan untuk
memahami fenomena yang kompleks dan untuk meningkatkan kualitas data.
Data dari berbagai sumber tersebut dibagi menjadi dua, yaitu data primer
yang peneliti dapat dari informan utama dan data sekunder yang didapat dari
informan tambahan. Baik data primer maupun sekunder tersebut digali
dengan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Lebih lanjut, teknik
pengumpulan data tersebut meliputi:
1. Wawancara
Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara semi terstruktur. Smith (2009) mengemukakan, bahwa
kelebihan dari metode wawancara semi terstruktur adalah dapat
memberikan kesempatan kepada peneliti dan informan untuk terlibat
langsung dalam dialog, karena pertanyaan awal yang diajukan dapat
dikembangkan sesuai dengan jawaban yang diberikan informan. Kelebihan
lain dari penggunaan metode wawancara semi terstruktur adalah untuk
menghindari banjirnya data umum dan tidak fokus yang tidak mengarah
pada sesuatu yang baru. Oleh karena itu, peneliti harus terlibat secara
simultan dalam pengambilan data (Smith, 2009).
Peneliti membuat pedoman wawancara untuk mengingatkan aspek-
aspek yang harus ditanyakan sekaligus menjadi daftar pengecek
(checklist), apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau telah
42
ditanyakan. Dengan pedoman tersebut, peneliti harus memikirkan cara
agar pertanyaan dapat dijabarkan dengan konkret dalam kalimat tanya,
tidak terkesan melompat-lompat, dan tetap menyesuaikan pertanyaan
dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. Peneliti memiliki
pedoman wawancara yang sangat umum dan hanya mencantumkan isu-isu
penting yang harus diliput tanpa harus menentukan urutan pertanyaan
(pertanyaan bersifat conditional).
Wawancara dalam penelitian ini menggunakan pedoman yang cukup
umum dan mendalam, dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai
pemahaman informan terkait tafsir ayat-ayat jihad, baik saat menganut
paham teror dan kekerasan dalam memperjuangkan ideologi, maupun saat
memutuskan meninggalkan paham teror. Peneliti melakukan wawancara
pada informan utama, baik informan yang masih berada di lembaga
pemasyarakatan maupun yang telah bebas. Wawwancara juga dilakukan
kepada teman amaliyat, mentor, dan saudara kandung informan utama.
Pertanyaan wawancara dalam penelitian ini meliputi pertanyaan tentang
proses pemahaman dan interpretasi, sikap, dan perasaan informan yang
bersifat netral. Selain itu, Poerwandari (2013) dan Smith (2009)
mengemukakan, bahwa pertanyaan untuk informan harus menghindari
istilah-istilah canggih, mudah dipahami, dan menggunakan pertanyaan
terbuka.
Tabel 1 Pertanyaan Wawancara
1. Proses bergabung dalam kelompok teror.
Pengalaman spiritual apa yang membuat Anda memutuskan untuk
melakukan aksi teror yang saat itu Anda sebut sebagai jihad?
Probing :
a. Ayat-ayat jihad apa saja yang membuat hati bergetar dan membuat
Anda merasa terpanggil untuk berjihad? Menurut Anda, mengapa
hal itu dapat terjadi?
b. Bagaimana proses Anda masuk dan mulai terlibat dalam aksi teror?
2. Meninggalkan aksi teror dalam memperjuangkan ideologi
Apa yang membuat Anda memutuskan untuk memaknai ayat-ayat jihad
di dalam al-Qur’an secara berbeda (jika dibandingkan ketika
memutuskan terlibat dalam aksi teror)?
Probing:
a. Mengapa Anda memaknai ayat-ayat jihad tersebut secara berbeda?
43
b. Apasajakah ayat-ayat di dalam al-Qur’an atau hadist yang membuat
Anda memutuskan untuk tidak lagi melakukan aksi teror di negara
damai seperti Indonesia?
c. Bagaimana tanggapan Anda terhadap ayat-ayat jihad dibawah ini:
1) Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun
berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan
Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui (At-Taubah:41)
2) Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut
berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang
yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya.
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan
jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada
masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik
(surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas
orang yang duduk dengan pahala yang besar (An-Nisa:95)
3) Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari
Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
(At-Taubah:24)
4) Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,
karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya
Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu (Al-
Hajj:39). Bagaimana dengan jihad defensive?
5) Pengulangan ayat “Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim” di Al-Maidah: 44, 45, 47
d. Bagaimana tanggapan Anda dengan firman Allah “Barangsiapa
tidak berhukum pada hukum Allah maka dia telah kafir”?
e. Bagaimana tanggapan Anda saat ini terhadap aksi “jihad” yang
dilakukan di Indonesia?
f. Bagaimana kehidupan Anda saat ini (setelah memutuskan untuk
tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan
ideologi)?
g. Bagaimana tanggapan orang-orang terdekat setelah Anda
memutuskan untuk meninggalkan aksi teror?
h. Bagaimana perlakuan teman amaliyat (ikhwan) saat ini kepada
Anda?
i. Adakah tokoh Islam yang mempengaruhi perubahan pemikiran
mengenai keputusan Anda meninggalkan jalan teror?
j. Bagimana pendapat anda terkait pembagian dar as-salam (daerah
perdamian) dan dar al-harb (daerah perang)
44
k. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi Anda meninggalkan
jalan teror?
2. Observasi
Observasi dalam penelitian kualitatif penting untuk dilakukan karena dapat
memberikan gambaran mengenai lingkungan fisik maupun lingkungan
sosial informan utama (Poerwandari, 2013). Observasi dalam penelitian ini
dilakukan di lembaga pemasyarakatan tempat informan utama ditahan dan
di daerah tempat mereka tinggal sebelumnya. Pengambilan data pada
informan utama dilakukan di beberapa lembaga pemasyarakatan seperti di
Lapas Klas 1 Surabaya, Lapas Klas 1 Makassar, dan Polda Metro Jaya.
Peneliti juga akan melakukan observasi di lingkungan keluarga informan
untuk memperoleh gambaran lebih komprehensif mengenai informan
utama. Penggunaan metode observasi dalam pengumpulan data bermanfaat
untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman informan yang direfleksikan
saat wawancara ke dalam konteks sosial dimana mereka berinteraksi dan
memperoleh pengalaman tersebut dari lingkungan sosialnya (Creswell,
2014)
3. Dokumentasi
Dokumentasi yang dijadikan pendukung dalam penelitian ini adalah foto,
rekaman video, artikel, dan berita dari media masa. Dokumentasi ini
diperoleh dari berbagai sumber, baik informan utama maupun informan
tambahan seperti teman amaliyat, guru/mentor, dan saudara kandung
informan utama. Penggunaan data tersebut tentunya dilakukan atas
sepengetahuan dan izin dari informan utama, mengingat data tersebut
merupakan data yang sifatnya sangat pribadi.
K. Teknik Analisis dan Interpretasi Data
Langkah awal dalam penelitain dengan metode fenomenologi adalah
mempersiapkan wawancara dengan mempelajari kehidupan informan utama,
baik secara sosial maupun historisnya (Creswell, 2014). Peneliti membuat
pertanyaan wawancara seminimal mungkin. Penelti berusaha untuk memulai
45
dengan membangun rapport dengan informan penelitian, yaitu dengan
mengajaknya berinteraksi secara informal dan bersahabat. Adakalanya satu
pertanyaan akan dijawab dengan kalimat yang sangat panjang oleh informan
penelitian, sehingga peneliti cukup menggali masing-masing point yang
diberitakan oleh informan tanpa perlu menyampaikan pertanyaan baru dari
pedoman awal wawancara. Peneliti tidak diperbolehkan memaksa informan
untuk menjawab pertanyaan dengan segera, tetapi memerlukan proses hingga
pada akhirnya semua hasil wawancara dapat terjalin dan dapat
menggambarkan satu penggal kisah kehidupan informan, yaitu prosesnya
dalam meninggalkan aksi teror dan perubahan penafsiran ayat-ayat jihad
mereka.
Langkah-langkah analisis data dengan menggunakan metode
fenomenologi yang akan peneliti gunakan sesuai dengan pendapat psikolog
Moustakas (1994). Peneliti memilih pendekatan Moustakas (1994) karena ia
memiliki langkah-langkah sistematis dalam melakukan analisis data dan
memiliki panduan yang jelas dalam menyusun deskripsi-deskripsi tekstual
dan struktural daripada pendekatan fenomenologi hermeneutika dari van
Manen (Creswell, 2014). Adapun langkah-langkah prosedural dalam
melakukan penelitian dengan pendekatan fenomenologis adalah sebagai
berikut:
1. Membuat transkip wawancara dengan mengesampingkan prasangka, bias,
dan bentuk-bentuk opini lain yang berkaitan dengan fenomena
(bracketing). Interpretasi ditunda selama mungkin agar peneliti dapat
masuk pada pengalaman subjektif informan, sesuai dengan “pandangan”
informan untuk dapat memahami arti dari hal yang dikatakan informan
lebih dari sekedar apa yang menjadi harapan peneliti akan hal yang ingin
peneliti dengar dan diucapkan informan. Dengan kata lain, peneliti harus
menjiwai dan berusaha merasakan hal yang dirasakan oleh informan
terkait fenomena yang diteliti. Peneliti harus mendengarkan rekaman hasil
wawancara secara keseluruhan dan berulang-ulang dilakukan agar dapat
memahami arti dari setiap pertanyaan, kalimat, kata, dan istilah dari
46
pengalaman informan secara keseluruhan. Penggambaran unit untuk
mendapatkan makna dimulai dengan menganalisis kata, prase, kalimat,
paragraf, menyoroti berbagai pernyataan penting dari informan yang
menyediakan pemahaman tentang bagaimana dia menjalani fenomena
yang diteliti, serta memperhatikan isyarat komunikasi non verbal yang
signifikan dari informan.
2. Langkah selanjutnya adalah melakukan proses reduksi dengan bracketing
yang dilakukan dengan cara mengesampingkan hal-hal di luar fokus
penelitian yang berasal dari topik dan pertanyaan. Peneliti akan melakukan
analisis dengan melihat unit dari makna keseluruhan untuk menentukan
apakah respon dari informan dan apakah hal yang dikatakannya telah dapat
menjelaskan pertanyaan penelitian.
3. Memeriksa apakah terdapat penekanan atau penyebutan yang informan
lakukan berulang dan dirasa memiliki arti signifikan serta dianggap
penting untuk isu yang sedang diteliti.
4. Memilih makna yang relevan lalu menyusunnya dalam bentuk daftar.
Daftar makna yang telah selesai disusun kemudian dikelompokkan
berdasarkan makna yang relevan. Peneliti berusaha melihat sekali lagi
apakah terdapat beberapa hal dalam daftar yang telah disusun memiliki
tema yang sama sehingga dapat dimasukkan dalam satu kelompok yang
sama.
5. Menentukan beberapa tema sentral dari pengelompokkan makna yang
telah dilakukan. Setelah menyusun tema-tema sentral, langkah selanjutnya
adalah menuliskan ringkasan wawancara untuk setiap informan dan
menyusunnya dalam deskripsi fenomena secara individual. Proses ini
disebut dengan deskripsi tekstual. Dimana masing-masing individu
memiliki cerita pengalaman baik waktu, tempat, dan materi yang berbeda
namun harus dapat dipahami dalam keterkaian satu sama lain dalam
keseluruhan inner “world”. Apabila masih diperlukan data tambahan dari
informan, maka peneliti harus kembali ke lapangan. Modifikasi tema dan
ringkasan dapat dilakukan pada tahap ini.
47
6. Tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi tema umum dan unik untuk
keseluruhan informan dari hasil pengumpulan data. Peneliti mencari tema
umum untuk keseluruhan informan berdasarkan variasi individual yang
ada. Mencatat adanya kemungkinan tema-tema yang unik untuk beberapa
informan, yang mungkin termasuk minoritas dari keseluruhan informan.
Variasi individual ini diperlukan sebagai tambahan dari tema general yang
telah ada.
7. Kontekstualisasi tema perlu dilakukan setelah tema umum dan unik
berhasil ditentukan. Hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah kembali
pada konteks keseluruhan dari proses semula tema tersebut muncul.
8. Penggabungan dari setiap ringkasan dilakukan agar dapat diperoleh esensi
secara akurat dari fenomena yang diteliti. Proses ini disebut struktur
invariant esensial. Dalam tahap ini, peneliti harus menggambarkan ‘dunia’
yang dialami oleh informan secara umum, kemudian menuliskan beberapa
perbedaan individual yang ada di akhir ringkasan. Peneliti harus berusaha
sekuat tenaga agar pembaca memiliki perasaan “Saya memahami dengan
lebih baik seperti apa fenomena tersebut bagi seseorang yang
mengalaminya” (Polkinghorne dalam Creswell, 2014).
L. Kredibilitas Penelitian
Hal yang tidak kalah penting dalam studi kualitatif selain teknik analisis
adalah cara menjaga agar penelitian dapat dikatakan kredibel. Karena
kredibilitas menjadi isu validitas dan menjadi penentu kualitas dalam
penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Poerwandari (2013)
mengemukakan, bahwa hanya dengan menjaga kredibilitas, orang yang tidak
berkecimpung dalam penelitian akan meyakini kualitas dari penelitian
kualitatif yang dilakukan. Moleong (2011) mengungkapkan, bahwa
kredibilitas penelitian adalah sebuah keadaan yang harus mendemonstrasikan
kebenaran nilai, menyediakan dasar agar dapat diterapkan dan memperoleh
keputusan akan konsistesi prosedur serta kenetralan dari temuan dan
keputusan-keputusan yang akan diambil.
48
Beberapa hal yang akan peneliti lakukan untuk menjaga kredibilitas data
adalah:
1. Menggunakan aplikasi pengkodingan untuk mereduksi data, yaitu
menggunakan ATLAS.ti. Aplikasi ini mempermudah peneliti dalam
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak
diperlukan, serta mengorganisir data sedemikian rupa, sehingga akan
didapat kesimpulan yang mudah dicerna, mudah dipahami, dan dapat
meningkatkan objektifitas penelitian.
2. Melakukan member checking, yaitu mengkonfirmasi data dan hasil analisis
pada informan penelitian (Creswell, 2014). Peneliti akan melakukan
konfirmasi atas analisis yang telah dilakukan terkait perubahan penafsiran
ayat-ayat jihad yang diyakini oleh mantan pelaku teror. Hal ini dilakukan
agar meminimalisir kesalahan dari interpretasi data yang telah dilakukan.
Data yang dikonfirmasi dalam penelitian ini adalah data wawancara
kepada mantan pelaku teror. Peneliti melakukan checking terhadap semua
informan penelitian dan tidak hanya dilakukan satu kali.
3. Triangulasi, yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi
sumber. Moleong (2011) mengungkapkan, bahwa triangulasi sumber
dilakukan dengan:
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara
b. Membandingkan hal yang dikatakan informan di depan umum dengan
apa yang dikatakan secara pribadi kepada peneliti
c. Membandingkan hal yang dikatakan informan utama dengan hal yang
dikatakan informan tambahan
d. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen terkait
4. Diskusi dengan peneliti lain yang memiliki topik peminatan dan topik
penelitian yang sama dengan peneliti guna mencapai kredibilitas data.
Mereka dapat membantu peneliti dalam mengklarifikasi data dan
penafsiran atas temuan yang diperoleh di lapangan. Pemaparan secara
terbuka pada peneliti lain juga memudahkan dalam penilaian, apabila data
49
yang diperoleh telah melenceng dari fokus penelitian atau data-data
penting yang diperlukan justru terabaikan oleh peneliti.
50
BAB IV: PEMBAHASAN
A. Deskripsi Mantan Pelaku Teror
1. Profil AI
AI atau Alik merupakan terpidana bom Bali satu yang sekarang
bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam rangka program deradikalisi. Setelah
ditangkap pada tanggal 13 Januari 2003, ia divosnis penjara selama hidup di lapas
satu Metro Jaya Jakarta Pusat. Saat wawancara dilaksanakan, AI telah menjalani
hukuman selama 17 tahun. Ia mengaku telah mengajukan keringan hukuman,
namun tak kunjung dikabulkan. Menurutnya, hal ini menjadi kekecewaan
tersendari baginya, setelah apa yang dilakukan dalam membantu pihak kepolisian
terkait program deradikalisasi.
Dilahirkan di Kabupaten Lapongan, tepatnya di desa Tenggulun, AI
bersama kakaknya, AG alias Mukhlas, dan Amrozi dididik dalam lingkungan
keluarga berlatar belakang Muhammadiyah. Selesai merampungkan pendidikan
di madarasah Aliyah Muhammadiah, AI menyusul kakaknya untuk belajar agama
di pesantren Ngruki, Sukaharja Jawa Tengah. Namun tidak seperti kakaknya yang
menamatkan pedidikan di Nguki dan sempat menjadi dewan pangajar, AI dengan
jiwa kelananya, teryata hanya bertahan di Ngruki beberapa bulan.
Sebagai Salah satu pelaku bom Bali, orang yang memiliki nama lalin Alik,
mengaku berafialiasi degan jaringan Jama’ah Islamiyyah atau JI. JI merupakan
pecahan atau bagian daripada Darul Islam atau DI/TII. DI merupakan penerus dari
negara Islam Indonesia yang didirikan oleh Karta Suwirya tahun 1949. Sesuai
pengakuannya, AI adalah generasi ke keempat dalam geniologi gerakan Jama’ah
Islamiyyah, setelah generasi ketiga Abu Bakar Ba’asir. Waktu itu kejadian bom
bali sebagai pemimpin atau amir JI. Namun Abu Abu Bakar Ba’asir sendiri
membantahnya dan lebih mengakui sebagai amir atau pemimpin Majlis Mujahidin
Indonesia (MMI).(Tempo 2002).
AI mengaku, bahwa ia terpapar pemikiran radikal untuk pertama kali
melalui buku-buku keagamaan dan surat menyurat dari kiriman kakaknya yang
51
saat itu masih di Ngruki. Sang kakak, AG adalah salah satu pelaku teror bom Bali
yang divonis mati. Kekaguman AI terhadap sosok sang kakak (Milla 2009), pada
menghantarkannya bertemu dengan Jama’ah Islamiyyah dan berbaiat setia
dengannya. Di JI, AI mendapatkan berbagai pendidikan dan pelatihan
pengkaderan serta gemblengan pemahaman keagamaan sesuai pemahaman
jama’ah.
JI dengan jaringan internasionalnya, pada tahun 1991 berhasil mengirim
AI untuk belajar militer dan pertempuran di akademi militer mujahidin
Afghanistan. Menyusul kakaknya yang lebih dulu berada di Afghanistan.
Akademik militer dibentuk ketika terjadi jihad terhadap Uni Soviet yang
melakukan invasi ke Afghanistan dalam rentan Desember 1979 - Februari 1989.
Sesuai pengakuannya, di akademik militer tersebut, AI lebih banyak berlajar
materi militer dibandingkang belajar agama. Karena menurutnya, yang datang ke
tempat tersebut adalah kader-kader pilihan yang dianggap ilmu agamanya sudah
mapan. Sehingga tambahan ilmu agama hanya sebagai penguat dibanding ilmu
militer yang menjadi pokok pembelajaran.
Selama tiga tahun (1991-1994) AI mengeyam pendidikan militer dengan
empat materi utama kemiliteran. Meliputi; taktik, fiil engineering, weapon
training, map reading. Ia mengaku lulus dengan pangkat kemiliteran setara letnan
dua dan dididik sebagai pasukan komandos. Namun dikarenakan status
pendidikannya yang tidak resmi, AI tidak dapat membawa keluar catatan dan
dokumen terkait pendidikan militer sekertas pun untuk dibawa pulang. Seperti
pengakuannya, AI hanya mengandalkan kemampuan hafalannya terkait materi
dan rumus-rumus fisika dalam membuat bom dan bahan peledak. Bahkan dengan
bangga, ia mengaku mampu menuliskan kembali rumus-rumus tersebut dalam
buku yang sedang ia susun. Namun sayang ketika peneliti memintanya untuk
mendokumentasikan, ia menolak dengan alasan takut disalah gunakan pihak-
pihak yang tidak bertanggung-jawab.
Jumlah orang Indonesia yang ikut dalam pendidikan militer di Afghanistan
mencapai ratusan orang. Mereka dikumpulan dalam asrama pelatihan yang
52
terpisah dengan orang-orang asing seperti dari Timur Tengah atau kebangsaan
lain. JI Indonesia dikumpulkan bersama JI dari Malaysia dan Singapura, ditambah
beberap utusan dari ikhwan-ikhwan Philipina, dan ikhwan Pattani, Thailand.
Mereka yang berasal Philipina dan Pattani, Thailand adalah bukan dari kelompok
JI, tetapi mendapatkan rekomendari dari JI. Mereka menginduk dalam bendera JI
selama masa pendidikan militer di Afghanistan. Dari sini terlihat bagaiamana
jejaring JI telah menyebar dan menjadi mentor militer di berbagai daerah konfik
di beberapa negara di Asia Tenggara.
AI sebagai lulusan angkatan ke Sembilan, mengaku memiliki kemampuan
strategi tempur, membuat bom dan aneka bahan peledak. Namun diakuinya, tidak
semua lulusan akademik militer Afghanistan, memiliki memampuan yang sama.
Namun menurutnya, minimal semua lulusan akademik militer Afghanistan
dibekali kemampuan membuat bom. Inilah yang kelak menjadi penyebab
maraknya pengeboman di Indonesia. Terutama kejadian teror bom Bali yang
dilakukan orang-orang seangkatan ketika di Afghanistan. Mereka diantaranya
adalah Umar Patek, Sawat, Imam Samudera dan AI sendiri. Para pelaku bom Bali,
umumnya adalah angkatan ke sembilan atau ke sepuluh, tutur Ali Imran.1
Terbongkarnya para pelaku terror bom Bali 1, menguak peran AI yang
sangat signifikan. Bahkan sesuai pengakuannya, dia termasuk orang yang banyak
mengkritisi rencana dan pelaksaan teror tersebut. Namun karena terikat dalam satu
kelompok jama’ah, ususlannya tidak mampu merubah kebutusan kelompok.
Apalagi setelah dikatakan ada restu dari pemimpin al-Qaida Usamah bin Ladin.2
Bahkan, menjelang pelaksaan teror, AI mengambil peran penting. Dapat
dikatakan dialah koordinator lapangan. Dia yang mensurve tempat, mengatur
pematik peledak, dan mengawal peledakan bom di Sari Club dan diskotik
1 Perbedaan penghitungan angkatan ini, menurut AI disebabkan adanya satu masa JI tidak
mengirimkan utusan untuk mengikuti pelatihan di akademik militer Afghanistan. Jika dihitung
dari setiap periode pengiriman, AI Cs adalah angkatan ke 10, namun jika dihitung dari utusan
yang dikirim AI Cs adalah angkatan ke 9.
2 Hal ini yang menguatkan adanya dugaan, bahwa pelaksaan teror bom Bali adalah aksi sepihak
yang dilakukan kelompok sempalan yang tidak direstui oleh jama’ah Islamiyyah.
53
Paddy's, di jalan Legian, Kuta Bali, dan dia pula yang membawa bom jinjing ke
konsulat Amerika Serikat di daerah Renon, Denpasar Bali, dan meledakkannya.
AI ditangkap bersama Mubarak, di akhir tempat pelariannya di daerah
tambak sungai Mahakan, Kuala Pembuang Kalimantan Timur. Dalam
penangkapan itu, tidak ada perlawan, karena disamping kondisi terkepung dan
tidak ada celah baginya untuk melarikan diri, AI merasa sadar bahwa ia memang
bersalah. Penangkapan tanpa perlawanan, sempat membut ragu ketua tim
penangkapan dirjen Krimum sini Polda Metro Jaya, Bapak Karlo. Sehingga
beberapa kali AI ditanya tentang kebenaran dirinya. Seakan pihak kepolisian tidak
percaya bahwa yang ditangkap adalah benar korlap bom Bali 1, kenang Ali
Imran.
2. Profil JL
Peneliti mengenal JL dari seseorang yang lebih dulu sudah mengenal JL
dan pernah satu kelompok dengan pengajian JL. JL merupakan mantan napiter
kelahiran Demak dan tinggal serta dibesarkan di Klaten. Dia merupakan anak dari
enam bersaudara dari dua ibu yang berbeda. Ayah JL cerai dengan Ibu dari 3
kakak JL dan menikah dengan Ibu kandung JL kemudian dikaruniai 3 anak. JL
adalah anak pertama dari istri kedua ayah JL.
JL adalah napiter yang menjalani masa tahanan selama 3 tahun 4 bulan di
Mako brimob Jakarta dan mendapatkan Pembebasan Bersyarat (PB) di Lapas Klas
1A Semarang. Pertemuan dengan JL dilakukan di Solo di tempat JL bekerja di
sebuah kebun buah. JL merupakan lulusan SMK di Klaten dan lahir pada tahun
1992. Sebelum bersekolah di SMK, JL sudah memiliki pengetahuan dan
pemahaman tantang agama. Di sekolah SMK JL juga aktif dalam pengajian yang
diselenggarakan di sekolah oleh organisasi siswa. Meskipun demikian, JL tidak
hanya mengaji di sekolah. JL juga mengikuti pengajian di luar sekolah. Melalui
pengajian di luar sekolah itulah, JL mulai mengenal amaliyah-amaliyah jihad.
Sebagai remaja, JL mengaku memiliki ghirah/semangat yang besar untuk
memperdalam ilmu agama. Awalnya JL mengikuti kajian karena diajak oleh
54
teman (JL. 78-79). Terlebih lagi, kajian yang diikuti JL di luar sekolah (Krapyak,
Klaten) banyak membahas dan mengkaji kitab-kitab terjemah dari Timur Tengah.
Pembahasan kitab pada awalnya membahas hal yang umum seperti kitab tauhid,
Kajian Kitab Bukhori Muslim (JL. 81), dan kitab-kitab lain karangan ulama
Timur Tengah.
“Kajiannya sebenernya sih pembahasan buku umumnya biasa sih
kayak tapi kan buku terjemahan dari Timur Tengah.” “Akeh sih, Judul e opo,
lali aku. Tapi rata-rata kebanyakan karangan Syaikh Al-Maghdisi karya
seperti itu lah, kalau kitab tauhidnya palingan itu punyanya kitab tauhid seng
seng apa..” (JL. 55-61).
Salah satu ustadz, Mus’ab Abdul Ghofar, yang menjuruskan ke persoalan
jihad merupakan penggemar Shaikh Al-Maghdisi seorang ulama dai Irak.
Menurut JL, Shaikh Al-Maghdisi memiliki pemahaman yang tidak terlalu keras,
hanya saja yang menyampaikan pemahaman atau yang menerima informasi yang
berlebihan (JL. 111-120). Menurut JL, pengajian yang dia ikuti sebenarnya
bersifat umum, namun lambat laun terjadi perubahan setelah mendapatkan
pengawasan dari intel. Terlebih lagi salah satu anggota pengajian yang berusia
paling tua, Antok, warga sukoharjo yang mengaku mantan NII dan memiliki
hubungan dengan Yusuf Qurdowi, memberikan pengaruh kepada JL dalam
amaliyat jihad di Indonesia.
JL mengaku bahwa pemahaman dia dahulu seperti pemahaman ISIS
sekarang. Dia mengaku tidak pernah ikut apa-apa namun hanya ikut-ikut dengan
Laskar Hizbah di Surakarta yang dipimpin oleh tersangka teroris yang tewas di
Sukoharjo, Sigit Qurdowi. Pada saat itulah, pemikiran JL sudah mulai mengarah
ke amaliyah jihad (JL. 125-150). Proses perubahan orientasi pemikiran tersebut
terjadi secara perlahan, tidak disadari (D2-JL-9: 18049-19033), dari mengaji
tentang tauhid sampai dengan pembahasan tentang gejolak, kondisi umat Islam,
dan peperangan di Timur Tengah (JL. 200-255). Simpati kepada umat Islam
(Afganistan, Palestina) dan adanya pembenaran pada beberapa pelaku jihad dari
Indonesia, memunculkan motivasi untuk ikut melakukan nahi mungkar meskipun
menurut JL pelaksanaan amaliyah yang ada di Indonesia bertentangan dengan hati
nuraninya. Misalnya, ketidaksepakatan dengan perayaan yang dianggap
55
kesyirikan kemudian harus dicegah dengan meletakkan bom di tempat tersebut,
usaha pengeboman masjid karena dianggap masjid dhirar (JL. 330-331), masjid
pemerintah (Delanggu) dan pos polisi yang menjadi target sasaran. JL pada saat
ditangkap berusia 20 tahun, namun usia teman-teman kelompok pengajian JL
yang berjumlah tujuh orang ini semua masih tergolong remaja ada yang berusia
18 dan 17 tahun.
Pemahaman JL tentang jihad mulai berubah setelah menjalani masa
tahanan napiter. Di dalam tahanan, JL banyak bertemu dengan senior- senior
napiter seperti Abu Thalud dari JI (JL. 617-625) yang kemudian banyak sharing
tentang jihad dan mempengaruhi JL dalam memahami Jihad. Di dalam tahanan JL
juga aktif mengikuti kajian kitab yang diberikan secara umum untuk para napi
(JL. 645-655). Selain dari orang lain, JL juga berubah setelah melakukan
perenungan-perenungan pribadi (JL. 602-609), melihat berita, membaca buku-
buku, dan sampai sekarang terkadang mengakses video-video ceramah youtube
ustadz-ustadz di Indonesia seperti Adi Hidayat dan Gus Baha.
Perubahan pemahaman jihad yang ada pada JL seiring dengan perubahan
pemikiran JL tentang konsep jihad. Dahulu jihad perang dianggap sudah global
termasuk di Indonesia (JL. 526-529) dan menganggap pemerintahan di Indonesia
termasuk kafir dan bisa diperangi (JL. 579-580). Setelah menjalani masa tahanan
dan melalui perenungan, kini JL tidak lagi berpikiran seperti ddahulu lagi.
Menurut JL, persoalan pemahaman tidak bisa dihakimi begitu saja, itu menjadi
urursan individu, dan ada banyak pemahaman yang tidak bisa saklek (kaku),
sehingga meskipun tidak setuju untuk menghakimi atau menghukumi sesuatu
yang dianggap syikrik (misalnya praktik demokrasi di Indonesia). JL juga merasa
dahulu ketika mengaji tidak kritis dan hanya mendengar dan taat pada perintah
amir, hal itu yang disesali JL dan menjadikan pesan JL untuk generasi muda untuk
lebih kritis saat mengaji dan tidak hanya terpaku pada satu atau dua ustadz saja.
Aktivitas JL saat ini mejadi masyarakat yang menjalin muamalah dengan
semua orang serta menjalani pekerjaan pada tempat yang disediakan oleh
Densus88 di Surakarta. JL juga pernah memperoleh pembinaan dari BNPT
56
melalui pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan antara lain di Solo (seperti
ketika ada pertemuan di Swissbell Hotel Purwosari).
3. Profil UP
Pertemuan dengan UP terjadi di ruang Keamanan dan Ketertiban Lembaga
Pemasyarakatan Klas 1 di daerah Jawa. UP merupakan pria keturunan Arab
berusia 55 tahun. UP memiliki seorang istri bernama R, wanita yang dinikahinya
di Camp Abu Bakar saat ia bergabung dengan organisasi MILF (Moro Islamic
Liberation Front), organisasi yang dinilai separatis dan illegal ingin memisahkan
diri dari Filipina. UP dan R belum juga memiliki keturunan hingga saat laporan
ini dibuat, walaupun pernikahan mereka sudah hampir memasuki usia perak. Saat
pertama kali bertemu, UP mengenakan baju biru dongker berkerah motif garis-
garis dan celana jeans. Kostum yang hampir sama, bahasa tubuh yang sama, serta
ekspresi yang sama selalu peneliti lihat saat berkesempatan membesuk UP di
waktu-waktu berkunjung selanjutnya. UP tergolong pribadi ramah dan dan
hangat dalam menjamu tamunya. Dia berkeyakinan bahwa menghormati dan
memuliakan tamu dengan menjamunya adalah kewajiban dari seorang muslim
yang baik.
Pertemuan selanjutnya peneliti didampingi oleh seorang laki-laki yang
bertindak sebagai co-researcher. UP terlihat sangat menyambut co-researcher -
tersebut dengan rangkulan dan pelukan seolah mereka adalah kawan lama yang
tidak pernah bertemu. Keakraban tersebut mungkin muncul karena co-researcher
secara penampilan tidak berbeda jauh dengan UP, seorang ikhwan berjenggot
lebat dan bercelana di atas mata kaki. Di pertemuan selanjutnya UP bahkan tidak
sungkan mencubit pipi co-researcher untuk mempererat kedekatan diantara
mereka. Kami sempat canggung karena selalu dijamu dengan makanan-makanan
khas Timur Tengah setiap kali berkunjung. Ketika jam makan siang tiba, kami
disuguhi sate ayam dari kantin yang UP kelola.
UP terlihat cukup antusias menceritakan prosesnya dalam meninggalkan
kelompok teror kepada kami. Hal itu terlihat dari inisiatif UP untuk tidak sholat
Dzuhur tepat waktu secara berjama’ah ketika wawancara sedang berlangsung,
berbeda dengan narapidana terorisme lain yang sering peneliti temui
57
(W1.IU1.R.596-600), meninggalkan semua aktivitas ketika adzan berkumandang
untuk sholat jama’ah tepat waktu. Narapidana teroris di lapas lain tidak peduli,
aktivitas harus segera dihentikan saat adzan berkumandang. Bahkan tidak sedikit
dari mereka yang sudah berhenti beraktivitas beberapa menit sebelum waktu
adzan datang agar dapat mempersiapkan diri pergi berjama’ah di musholla lapas.
UP terlihat sudah lebih lunak daripada narapidana teroris lain yang pernah peneliti
temui. Dia menghargai kehadiran peneliti dan bersedia menunda waktu sholat
demi pengambilan data.
UP adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dia lahir di Desa Kahuman
(nama samaran) pada 20 Juli 1966. Masa kecil hingga remaja UP habiskan di
Kahuman. UP kecil lebih dekat dengan ibu daripada ayah (Mujahid, Yuniarti,
2018). Ibu digambarkan sebagai sosok yang selalu menanamkan nilai-nilai
keislaman dan mengajarkan kebersamaan antar anggota keluarga. Ibu selalu
mengajarkan kepada UP dan adik-adiknya untuk beribadah agar dapat berkumpul
bersama di surga kelak. UP menggambarkan sosok ayah sebagai pribadi yang
bertanggung jawab dan gigih mencari nafkah untuk keluarga, diantaranya dengan
menyewakan becak, berternak, berkebun, dan berdagang (Mujahid, Yuniarti,
2018).
Setamat dari SMA, UP izin kepada keluarga merantau ke Yogyakarta
untuk kursus komputer dan mencari kerja. Tidak disangka, di Yogyakarta, UP
bertemu dengan salah seorang tetangganya di Kahuman bernama DL. DL adalah
salah satu pelaku Bom Bali 1 yang ditembak mati oleh Densus 88 di Pamulang
Banten pada 9 Maret 2010. DL yang mengajak UP untuk ikut dalam sebuah
pengajian di Yogyakarta. Sejak di Yogyakarta, UP cenderung tertutup dari
keluarga, terutama berhubungan dengan masalah kelompok pengajiannya
(Mujahid, Yuniarti, 2018). Sepulang dari perantauan di Yogyakarta, UP meminta
izin kepada orang tua untuk merantau menjadi guru agama ke Brunei Darussalam.
Kejanggalan akan kepergian UP mulai keluarga rasakan sejak tidak adanya kabar
yang UP berikan. Ibu UP sering sakit memikirkan UP hingga meninggal tanpa
mengetahui keberadaan UP.
58
Pada kenyataannya, UP tidak pergi ke Brunei Darussalam untuk bekerja
sebagai guru agama. UP diajak DL untuk pergi ke Malaysia menemui AD. AD
adalah salah satu pelaku utama dalam Bom Bali 1 yang telah dieksekusi mati pada
9 November 2008 di Lembah Nirbaya Nusakambangan. AD diketahui menjadi
pemimpin kelompok Jama’ah Islamiyah di Asia Tenggara, dan secara kedudukan
dalam kelompok teror, UP ada di bawah DL dan AD. AD memerintahkan UP
untuk pergi ke Pakistan dan Afghanistan untuk belajar ilmu kemiliteran dan jihad
di Akademi Militer Mujahidin pada tahun 1991. Setelah lulus tahun 1995 dari
akademi militer di Afghanistan, UP diperintahkan untuk kembali ke Indonesia
oleh AD. Namun UP menolak dan lebih memilih pergi ke Filipina untuk
bergabung dengan kelompok MILF yang menurutnya sedang memperjuangkan
kemerdekaan Bangsa Moro. UP menganggap bergabung dengan MILF sebagai
aksi jihad karena hanya ingin mempertahankan daerah kekuasaan kaum muslimin
dari orang kafir (quotation dengan ustadz Hasan.
Di Filipina, UP menikahi seorang wanita mualaf yang belajar ilmu agama
di Camp Abu Bakar. UP kembali ke Indonesia bersama istri saat pemerintah
Filipina mengkampanyekan perang total melawan MILF pada tahun 2000
(quotation dengan ustadz Hasan). Di Indonesia UP melakukan pengeboman di dua
tempat, yaitu Bom Malam Natal tahun 2000 dan Bom Bali 1 tahun 2002. Sejak
saat itu, UP menjadi buron yang paling dicari. Bahkan pemerintah Amerika
Serikat membuat sayembara penangkapan UP senilai 1 juta USD. Dalam masa
pelarian, UP membawa istrinya kembali ke Filipina. Di Filipina, UP kembali
bergabung dengan kelompok MILF. Namun ada yang mengganjal dalam pikiran
dan hati UP saat itu. Dia mencemaskan kondisi istri jika dia ditakdirkan mati
dalam perang (Mujahid, Yuniarti, 2018). UP cemas meninggalkan istri seorang
diri di negara yang berpenduduk katolik terbesar nomor dua di Asia. Hal itu
membuat UP memutuskan untuk pergi ke Afghanistan. UP menganggap, bahwa
Fatmah akan tenang hidup dan beribadah di negara tersebut jika dia ditakdirkan
untuk syahid berperang di sana quotation dengan ustadz Hasan.
UP di tangkap di kota Abbottabad Paksitan saat perjalanan menuju
Afghanistan (quotation dengan ustadz Hasan). UP diperebutkan oleh empat
59
negara yaitu Amerika, Australia, Filipina, dan Indonesia. Amerika memburu UP
atas keterlibatannya dalam Bom Bali 1 dan karena ada pasukan tentara Amerika
yang dibunuh oleh kelompoknya (MILF) di Filipina (Mujahid, Yuniarti, 2018),
Australia memburu UP atas kasus Bom Bali 1. Filipina memburu UP atas
keterlibatannya dengan kelompok MILF, dan Indonesia memburu UP atas
keterlibatannya dalam Bom Bali 1, Bom Malam Natal, dan kasus pelatihan militer
Jalin Jantho (W1.IU1.R.58-66). Perebutan tersebut dimenangkan oleh pemerintah
Indonesia dan UP dipulangkan pada 11 Agustus 2011 (media). UP divonis terlibat
dan bersalah pada 21 Juni 2012 dan dijatuhi hukuman 20 tahun kurungan penjara.
Saat ini UP ditahan di lembaga pemasyarakatan kelas 1 di kota dekat keluarganya
tinggal.
Selama berada di lapas, UP sudah lima kali menjadi petugas pengibar
bendera dan menuai kontroversi. Bahkan tidak sedikit dari kelompok radikal
menganggap UP telah murtad dan kafir (Mujahid, Yuniarti, 2018). UP
menghabiskan waktu di lapas untuk bekerja. Dia bekerjasama dengan kantin lapas
untuk ikut mendistribusikan barang-barang kebutuhan sehari-hari di blok
tempatnya di tahan (Mujahid, Yuniarti, 2018). Selain berjualan kelontong, UP
juga memiliki kantin. Masakan andalannya adalah sate ayam yang sempat dicicipi
oleh kepala BNPT Suhardi Alius saat berkunjung ke lapas tempatnya ditahan
(Susilowati, 2017).
4. Profil YS
YS belum pernah melakukan aksi pengeboman di Indonesia. Dia terkena
UU Terorisme karena menyembunyikan bahan peledak yang awalnya dia pikir
akan gunakan di Ambon (D4:YS:81; 39:64572-65243).
Kepedulian terhadap Islam sudah terlihat sejak muda (D4-YS-30:50609-
51005). Menurutnya di partai politik maupun ormas yang ada seperti NU dan
Muhammadiyah belum ada askarinya, “kalau politik iya, PKU ha.. NU, Partai 4
tapikan tidak ada sisi askarinya tapi kalau hamas ada bentuk perlawanan partai,
ada perlawan, ada sisi, itu yang minimal jadi miniatur contoh kepengennya seperti
itu.” (D4-YS-71:87530-87736)
60
Pencarian identitas YS dimulai dengan ditawari masuk HTI (D4-YS-
67:89735-90103)
B. Refleksi Pemahaman Jihad Pelaku Teror
Data dalam penelitian ini didapatkan melalui wawancara tidak terstruktur
(unstructured in-depth interview) kepada empat orang informan; AI, JL, UP,
dan YS. Interview dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan di mana masing-
masing informan berada (bagi yang masih dibina) dan ditempat informan
bekerja (bagi yang telah bebas). Data rekaman yang didapatkan dari proses
wawancara ini kemudian diubah menjadi bentuk verbatim melalui proses
transkripsi dan data verbatim ini kemudian di-coding-kan dan dieksplorasi
dengan menggunakan software ATLAS.ti versi 8.
Dalam proses analisis dengan software ATLAS.ti ini, peneliti menetapkan
tipe coding Conventional Content Analysis sebagai tipe coding (model
interaksi peneliti dan data untuk interpretasi) dengan melakukan pengcodingan
pada data AI sebagai initial coding untuk didapatkan gambaran code yang
dapat diaplikasikan. Initial Coding dilakukan secara induktif sehingga code-
code yang didapatkan dari proses analisis awal terhadap AI benar-benar code
yang emerge dari data mentah. Setelah code dari AI didapatkan, selanjutnya
dilakukan pengcodingan pada data-data yang lain, dan dilakukan kategorisasi
code berdasarkan kategori-kategori yang didapatkan dari AI. Apabila
ditemukan kategori baru yang ditemukan pada data selain kategori yang
didapatkan dari analisis data AI maka kategori baru tersebut dimasukkan dalam
pola akhir, sehingga pada akhir analisis selain didapatkan deskripsi dari
masing-masing data akan didapatkan pula pola akhir yang bersifat holistik
yang diekstraksi dari keseluruhan data dari semua informan. Model analisis ini
sesuai dengan model analisis Fenomenologi dengan model Stevick-Colaizzi-
Keen di mana prosedur yang disarankan adalah sebagai berikut:
61
Gambar 1. Analisis Fenomenologi Stevick-Colaizzi-Keen
1. Informan Pertama – AI
a. I’dad
AI menjalani I’dad atau persiapan perang di Afghanistan. Disana, AI
berlatih militer dan berperang melawan Amerika. Identitas kelompok pada
diri AI semakin kuat saat menjalani i’dad ini.
“Ketika jihad Afghanistan itu mengumpulkan para jihadis dari
berbagai negara yah. Dari Indonesia kami ingin melawan Suharto.
Ketemu di Afghanistan. Dari Irak, ikhwan-ikhwan ingin melawan
Sadam, ketemu di Afghanistan. Dari Suriah, ikhwan-ikhwan ingin
melawan Hafid Hasad, bapaknya si Bashir Alsad ini, ketemu disana.
Dari Libya yang melawan Muammar Khadafi, ketemu. Dari Mesir
yang melawan Husni Mubarok, ketemu disana. Dari Saudi yang
melawan kerajaan Saudi yang pro Amerika, ketemu disana” (D1-AI-
38: 120858-121346)
Menurut AI, tingkat literasi (D1-AI-142:128708-129433) dan
kemampuan ikhwan-ikhwan dalam menyerap ilmu di akademi militer
Afghanistan cukup bervariatif (D1-AI-38; 21:7141-7690) dan tingkat
literasi berbeda-beda. Namun, berkat pendidikan militer yang diperoleh di
Afghanistan, AI dapat menjadi instruktur pelatihan konflik Ambon (D1-
AI-61:26576-27299). Identitas sebagai seorang mujahid menjadi semakin
kuat (Mujahid, Yuniarti, 2018) karena AI merasa bahwa dirinya bisa
menolong agama Allah dan bermanfaat untuk ikhwan-ikhwan di Ambon.
Dalam sesi pengambilan data pada AI, AI menceritakan kronologi aksi
bom bali dan perannya dalam aksi pengeboman tersebut (D1-AI-64:28517-
31193; 127:121349-121800; 67:31803-32432; 96:54560-55239; 65:31315-
62
31461; D1-AI-44:19619-19915; D1-AI-53:23159-23361; D1-AI-48-
20890-20929; D1-AI-39:17812-18291;60:25930-26448; D1-103:73414-
74705). Menurut AI, Bom Bali terjadi atas perintah Osama bin Laden
kepada temannya, yaitu Hambali, “Langsung kata hambali, menurut…
menurut ijtihadnya Syeikh Osama bahwa diperbolehkan menyerang dan
itu hukum urusan kam… kami” (D1-AI-74:33639-33780; 75:33826-34024)
“secara kuantitas belum memenuhi jika harus konfrontasi dengan
pemerintah Indonesia. Sehingga memilih jalan teror untuk menunjukkan
eksistensi” (D1-AI-149).
Aksi teror di Indonesia, terutama di Bali juga terjadi karena desakan
senior-seniornya (JI lulusan akademi militer di Afghanistan) yang terlalu
menggebu-gebu untuk berjihad di Indonesia “Nah, kami selalu mendengar
bahwa senior-senior kami yang sudah lulus dari Afghanistan yang pulang
terutama ke Indonesia selalu menuntut jamaah ini, kapan kita mulai
jihad?” (D1-AI-22).
Penyebab lain dari ledakan Bom Bali 1 adalah adanya barisan sakit hati
kepada pemerintah (D1-AI-175-188590:189534) dan ini dibenarkan oleh
YS (D4-YS-29:49505-50243). Hal itu dibenarkan oleh informan keempat,
yaitu YS. Pemerintah Indonesia di zaman orde baru dianggap telah
melakukan diskriminasi kepada para ulama yang berbeda dengan
pemahaman penguasa (D4-YS-26:46742-46875).
Dari awal AI tidak setuju atas aksi pengeboman di Bali (D1-AI-
1:408:784)
“Ketika pamitan pulang inilah saya sampaikan ke Amrozi. Zi,
tolong disampaikan ke Mukhlas, menurut saya ayo dibatalkan.…..
Kalau jadi nanti tambah nggak karu-karuan. (tapi) Amrozi, Amrozi
lapor ke Mukhlas, apa jawabannya, “ah… nggak ada urusannya,
terus aja! (tidak digubris).” (D1-AI-98:60294-60819)
Hal yang ditekankan AI terkait aksi Bom Bali bahwa yang melakukan
aksi tersebut bukanlah dari organisasi JI secara resmi, melainkan oknum JI
(D1-AI-162:141822-142198; 163:142326-142916; 168:147244-148297).
Mereka ter-brain wash oleh amir, misalnya dengan doktrin bahwa amalan
63
yang dapat menghapuskan dosa besar tidak lain hanya dengan jihad (D1-
AI-98:70871-72319). AI merasa bahwa kenakalannya ketika masih remaja
dapat terhapuskan dengan jihad (Milla, 2009). Dia menebusnya dengan
taat dan patuh pada perintah jamaah agar bisa menebus kesalahan di masa
lalu.
b. Pemahaman Keislaman dan Tingkat Literasi AI
AI merupakan asatidz di pondok pesantren milik keluarganya di
Lamongan(Milla, 2009). Dia terinspirasi ingin menjadi ustadz yang hebat
seperti kakaknya, yaitu Ali Ghufron (Mujahid & Yuniarti, 2018). Namun,
berdasarkan hasil wawancara, tingkat literasi AI masih dibawah YS
(informan keempat dalam penelitian ini) (D1-AI-141:128112-128660).
Tafsir yang biasa digunakan AI dan YS adalah tafsir dari Ibnu Katsir (D1-
AI-138:126964-127151; D4-YS-52: 73456-74127).
Ketika diajukan pertanyaan lebih lanjut terkait dengan ayat yang
dijadikan sebagai motivasi dalam berjihad, AI menyebutkan surat di At
Taubah. Namun, tafsir dalam at-Taubah ini menurutnya hanya dapat
diberlakukan di medan tempur, bukan untuk membuat teror di negara
damai. Selain itu, AI beranggapan bahwa seorang muslim harus bijak
dalam menggunakan ayat, terutama ayat jihad dengan melihat asbabul
nuzulnya (D1-AI-132:124685-125833).
c. Evaluasi Aksi Teror
AI merasa bahwa aksi teror di Bali tidak sesuai dengan syari’at dan
hanya berdasarkan pada hawa nafsu (D1-A1-84:42141-42271; 85:
42288:42762) terutama hawa nafsu IS, coordinator lapangan dalam Bom
Bali 1 (D1-A1-92:49114-49303; 93:51212-51995; 94:53550-53866;
87:44805-45080). Menurutnya, jihad tidak boleh hanya berdasarkan pada
hawa nafsu sesaat (D1-AI-124:118331-119253). Bom Bali ini disusun
bukan dengan perencanaan matang d1-AI-112:91828-92530) dan hanya
berdasarkan pada emosi sesaat (D1-AI-123:117651-118329.
AI merasa bahwa jihad di Indonesia cenderung memaksakan diri (D1-
AI-78:36450-36655). Lebih lanjut AI menyampaikan bahwa jihad yang
64
dilakukan bersama teman-temannya ini bukan karena Allah (D1-AI-
123:117651-118329), “Kan saya itu berprinsip seperti ini yah, ketika kami
ditangkap berarti kekalahan. Ketika kekalahan pasti jihad itu ada
kesalahan, itu prinsip saya” (D1-A1-116:106061-106502). Dia merasa
kelu dan aneh pasca pengeboman, “Saya nggak bisa, saya waktu itu
simpulkan apakah karena keraguan saya? Sehingga menjadikan kelu.
Waduh, makan saja nggak bisa gitu. Bukan berarti grogi” (D1-AI-
107:87985-88422). Aksi pengeboman tersebut bertentangan dengan hati
nuraninya.
Sedari awal, AI memang telah menentang aksi pengeboman di
Indonesia (D1-AI-89:46169-46554; 88:44969:45079; 97:59673-59940),
terutama di tempat-tempat ibadah seperti di gereja, “Fiqih jihad terutama
adab jihad kan kita nggak boleh menyerang tempat ibadah. Kenapa kita
merencanakan pengeboman di gereja, di malam natal dibeberapa kota di
Indonesia” (D1-AI-71:33108-33275).
Keraguan AI pada aksi yang telah dilakukannya tersebut semakin
menjadi ketika dia melihat banyak teman-temannya yang ikut menjadi
korban penangkapan densus 88 padahal mereka tidak terlibat secara teknis
(hanya menjadi tempat tumpangan menginap saat pelarian(D1-AI-85:
42288-42762)-karena dana terbatas(D1-AI-112:91828-92530)).
Saat dalam pelarian, AI juga memikirkan keluarga yang dia tinggalkan
di rumah:
“Bapak sakit dan hanya ibu yang mengurusi. Tidak bisa
membantu mengurusi bapak, malah sibuk ngebom, “Bapak kamu,
bapak kalian sakit nggak diurusi. Ibu kalian suruh ngurusi sendiri
kalian malah tinggal ngebom disana” (D1-A1-119: 114298-114651;
118:114830-115052)
Evaluasi juga terus dilakukan AI, salah satunya dengan melakukan
kontak dengan outgroup. Kontak dengan outgroup yaitu polisi dapat
membantu upaya rehabilitasi pelaku teror (Mujahid & Yuniarti, 2018). AI
65
mencontohkan salah satu kasus unik yang mengguncang pikiran takfiri dan
pada akhirnya mengevaluasi aksi jihad yang selama ini dilakukannya,
“Bahkan ada Densus 88 itu, yang meninggal itu dzikir waktu
setelah salat maghrib di Masjidil Haram. Kan, berarti itu
menandakan khusnul…Khusnul khatimah. Bagaimana kita
mengkafirkan mere… mereka?” (D1-AI-158:139654-139902)
Kontak dengan outgroup / tokoh dari kelompok lain juga terlihat salah
satunya ketika dia mengutip pendapat ulama dari kalangan outgroup yaitu
Syaik Ali Jaber (tidak mengkafirkan ulama di luar kelompok jihad) (D1-
AI-157:138743:139053). Kontak dengan outgroup dan melihat tokoh
ulama dari kelompok lain memang terbukti dalam penurunan menurunkan
paham teror _______.
d. Pandangan Jihad AI setelah Refleksi Kasus Bom Bali 1
Informan berpegang dengan pemahamannya atas al-Quran terkait cara
berjihad. Baginya, jihad hanya dapat dilakukan di medan perang (D1-AI-
77L35969-37154). Namun, implementasi ayat jihad hanya diberlakukan di
front jihad / negara konflik, tidak dapat diberlakukan di negara damai (D1-
AI-131:123941-124982) dan tidak layak dilakukan saat ini (D1-AI-
151:133719-134139). Lebih lanjut AI menjelaskan bahwa jihad tetap
harus mempertimbangkan adab dan tidak boleh serampangan (D1-AI-
81:38591-39001).
Jika terbuka medan jihad di Indonesia, AI ingin lebih hati-hati dan tidak
gegabah seperti dulu, seperti dengan menginduk pendapat ke ulama, “Jadi
istilahnya semaksimal mungkin untuk mengikuti para ulama…… Misalkan
di Muhammadiyah siapa yang dianggap ulama.” (D1-AI-154: 135396-
135800). AI tidak ingin mengulangi kesalahannya kembali sekalipun
pemerintah Indonesia belum menerapkan syariat Islam secara menyeluruh.
Baginya walaupun syariat Islam belum terwujud secara kaffah di
Indonesia, namun masih terdapat kebaikan dari pemerintah Indonesia (D1-
A1-156:137933-140338). Menurutnya banyak syariat Islam masih
66
diberlakukan di Indonesia. Presiden dan wakilnya juga masih seorang
muslim (D1-AI-155:136835-137780).
Saat ini AI beranggapan jika ada oknum pemerintahan yang berbuat
dzolim, maka cara menegurnya adalah dengan lisan. Bukan dengan
pengeboman atau aksi teror. “Kan jadi, dari jihad yang agung itu
menyampaikan. Kalau dianggap pemerintahan ini dzalim, sampaikan
dengan mulut”. AI tetap akan berpikir matang terkait aksi jihad sekalipun
front jihad telah dibuka
e. Pertanggungjawaban Moral AI
Keraguan dalam diri AI terkait aksi teror yang dilakukannya bersama
kelompok membawanya untuk mengakui kesalahan dan menyesali aksi
tersebut (D1-AI-1:4408-784). Untuk menebus kesalahan dan perasaan
bersalahnya, AI selalu kooperatif pada pemerintah dan aparat penegak
hukum (D1-AI-122:117011-117649) dengan kampanye kontra terorisme,
“Saya tularkan kepada generasi (muda/Ikhwan-ikhwan mujahidin) jangan
sampai kita itu hanya mengikut.” (D1:AI:144; 145: 130872-131024;
146:130850-131139).
2. Informan Keempat – JL
a. Pemahaman Saat Masih Menganut Paham Teror
Sikap JL dahulu lebih keras, “Dulu ya lebih keras. Pemahamannya
dulu itu kalau sekarang ISIS” (D2-JL-6:15065-15303). Dia dahulu
memiliki kebencian yang teramat besar terhadap pemerintah dan
menghukumi demokrasi sebagai sesuatu yang haram (D2-JL-15:24126-
24252). JL juga over generalisasi kepada orang lain yang berbeda
dengannya: “Kalau demokrasi ini syirik berarti kan orang yang di
dalamnya otomatis……. maksude kaya wong umum “Wes pemerintah ki
opo marahi sengsara wong cilik” (D2:JL:36) Sikap over generalisasi ini
juga ditunjukkan JL dengan menafsirkan ayat-ayat di dalam al-Qur’an
tentang kekafiran dibawa ke ranah pemerintahan dan demokrasi
(D2:JL:14:23150-23392).
67
Sikap keras dan doktrin takfiri membuat JL lebih mudah menghukumi
bahwa mengambil harta orang kafir sebagai hal yang halal dilakukan
(D2:JL:23:35638-36372). Bagi JL, puncak perjuangan adalah kematian
ditangan taghut, “Yo perjuangan, puncak perjuangane yo meninggal iku
mau wes mati ditembak densus wes ngono ae” (D2-JL-20:33613-33704).
Baginya, tidak ada cara lain yang lebih mulia dari menegakkan syariat
Islam dengan melawan kemungkaran. Kegiatan syirik harus dihilangkan
(nahi mungkar) (D2-JL-10:19224-20241).
Doktin takfiri dan haramnya demokrasi didapatkan JL dari kajian
tertutup yang hanya dihadiri JL beserta teman amaliyah (D2:JL:12:
22519-22677). Dia juga terinspirasi dengan trio bomber Bali dan konflik
di Timur Tengah (D2-JL-11: 20680:21451). Bagi JL, saat itu jihad global
sudah dapat dilakukan di Indonesia, “Jihad ini udah jihad global
pokoknya dimanapun tempatnya yo pokokmen oke ngono dulu” (D2-JL-
18:32973-33130). Ketika ditanya lebih lanjut, ayat yang digunakan untuk
mendoktrin JL dan teman-temannya adalah al-Maidah (D2-JL-13:22679-
23148).
b. Pemahaman Keislaman dan Tingkat Literasi
JL sudah mulai belajar ilmu agama sejak kecil. Namun tingkat literasi
terkait ayat-ayat jihad masih cenderung kurang (D2:JL:31:45285-45919;
44:63555-63961). Hal ini terlihat dari kurang JL dalam menyebutkan buku
bacaan dan karya ulama yang dijadikan referensi teror dengan
mengatasnamakan jihad (D2:JL:1: 12478-12657; 2:12302-12409). Kajian
yang pernah diikuti JL adalah kajian kitab bukhori muslim
(D2:JL:1:13485-13618) dan kitab Tauhid Syekh Al Mahsari
(D2:JL:1:49279-49688)
“Jadi membaca kitab karangannya siapa Syekh Al Maghdisi
atau Syekh Ibnu Taimiyah, atau Syekh Abdul Lahab terjemah, saya
terjemahkan, saya sampaikan kan gitu. Opo namane cuma opo kan
istilahe kajian umum. Ya bahas ya secara umum saja, kan tauhid
iki. Pemahamannya dulu sebenere demokrasi juga syirik gitu juga
(dibahas)” (D2:JL:1: 54894-55431).
68
JL menuturkan bahwa dia tidak begitu menguasai kitab karena i’dad
yang lebih ditekankan daripada belajar kitab. pendapat. JL
mengungkapkan bahwa karya al-Maghdisi masih bersifat umum dan bukan
merupakan rujukan utama dalam melakukan aksi:
“Itu gak terlalu keras sih sebenarnya untuk apa penjabaran
dalilnya itu lho, jihadnya itu, dia gak terlalu keras dia lebih
melihat waqi’ nya, gak terlalu grusa grusu maksud saya, Cuma
kadang orang yang nerima (yang menafsirkan) aja yang terlalu
(keras)” D2-JL-5:14540-15006)
Saat ini JL lebih terbuka dan tidak mudah membenci orang lain yang
berbeda pemahaman dengannya. Kajian yang dia ikuti adalah kajian umum
dari internet, “Kadang Adi Hidayat kadang Gus Baha’, kadang Ustad
Somad. Yang umum-umum lah” (D2-JL-28:40040:40259).
c. Evaluasi Aksi Teror
Pertentangan dengan hati nurani ketika ngebom di Yaqawiyu (D2-JL-
10:19224-20241) dan harus mengebom masjid Dhirar (D2:JL:16:24357-
24939) dan merenung (D2-JL-30-45190-45283). JL juga mengevaluasi
aksi teror yang dilakukannya semenjak dia tertangkap oleh Densus 88 (D2-
JL-23:35638-36372). Dia kecewa dan mengakui aksi yang dilakukannya
dahulu sebagai sebuah kesalahan,
“Kekecewaan sih ada, maksudnya kecewa karena kesalahan
yang saya lakukan tadi dalam arti kesalahan pemahaman tadi ya
biarpun gak semua ya maksude gak semua pemahaman yang dulu
saya salahkan enggak. Ya menyesal juga karena lha kok dadine
ngene ya itu perenungan pas di dalem begitu saya kok jadine
seperti ini ya……sampai perenungan itu iki salah sih iki ra bener
iki kurang tepat ya begitu lah” (D2:JL:34:54370-54793)
JL saat ini berusaha untuk lebih hati-hati dalam bersikap dan bertindak.
Dulu kurang belajar / baca buku dan melakukan amaliyat lebih karena
semangat tanpa berpikir kritis (D2-JL-8:16823-17462) dan hanya
berdasarkan pada hawa nafsu, “Wong jek cah cilik istilahe lagek metu thek
Iuh kae apik, nek wong tuane weh dek kae lho truk apik kan neng
nggenanku cah cilik senengane nonton truk oleng, ana truk oleng apik dek
69
berarti kan wong tuane ngono kuwi, sering di delokke ngono kan” (D2-JL-
24:36416-36851). Saat ini JL berusaha lebih memfilter dan kritis terhadap
pemahaman atau ideologi yang baru (D2-JL-42:59804-60057).
JL menuturkan beberapa ibroh yang didapatkan selama berada di
lembaga pemasyarakatan seperti dapat berdialog dengan senior, “untuk
saya emang sharing-sharing itu bisa merubah saya maksudnya dalam arti
memperbarui pemahaman saya tentang jihad ini” (D2-JL-25:36985-
37232); sharing dengan senior narapidana teroris di lapas karena paling
junior (D2:JL:22:34319-35124; 26:38128-38468; 27:38483-388568). Di
lapas JL juga memiliki waktu lebih untuk membaca buku dan lebih banyak
melihat realita di lapangan bahwa Islam tidak sesempit yang selama ini dia
bayangkan (D2:JL:23:35638-36372).
Tidak jauh berbeda dengan AI, menurut JL, jihad tetaplah harus dengan
perang. Tetapi tidak bisa dilakukan di Indonesia karena Indonesia bukan
negara konflik. Metode yang cocok digunakan di Indonesia adalah dengan
dakwah (menasihati pemerintah) (D2-JL-43:61251-61962). Menurutnya,
jihad hanya dapat dilakukan di daerah konflik. Hal yang bertentangan
dengan pendapat JL sebelumnya adalah terkait dengan i’dad. Dia
beranggapan bahwa i’dad masih perlu untuk dilakukan karena i’dad tidak
memulu harus perang / jihad (D2-JL-45:81768-81990). Hal ini sebenarnya
mengindikasikan bahwa JL belum sepenuhnya meninggalkan pemahaman
jihad walaupun sudah tidak beranggapan bahwa saat ini jihad global dapat
diberlakukan di semua tempat, termasuk Indonesia (D2-JL-21:33831-
33924)
Ketika digali lebih lanjut pandangannya tentang sistem demokrasi, dia
menganggap demokrasi sebagai kilafiyah,
“Demokrasi masih ikhtilaf. Perbedaan, kana da yang
memperbolehkan kita masuk demokrasi juga ada, nggak opo jenenge
gak saklek lah. Saya lebih umum aja, mungkin kalau dibilang kurang
setuju itu saya kurang setuju dengan demokrasi ini. Tapi kan terus
saya nggak menghukumi demokrasi ini syirik nggak. Polisi pun juga
seperti itu” (D2-JL-38:56684-57233)
Pendapat ahli tentang disengagement.
70
3. Informan Kedua – UP
a. Kehidupan Sebelum Terlibat dalam Jamaah
UP tidak mengetahui jika dia akan dilatih ilmu militer di Afghanistan.
Dia hanya mengetahui akan dikirim untuk belajar ilmu agama di suatu
jamiah (D3-UP-35: 26395-26506; 34:26211-26288).
UP menuturkan bahwa tidak sepakat dengan aksi bom bali (D3-UP-
23:18395-18565). Dia sudah ragu sebelum terlibat dalam aksi Bom Bali:
“Kan kalau dalam fiqih itu kategori Amaliah iqtishadiyah dan
itu harus dengan syarat-syarat yang ketat Apakah target itu
memang nggak bisa dilakukan dengan selain itu. banyaklah
pertimbangannya sehingga tidak asal kasih semangat oh nanti
kamu Ketemu Bidadari 72, ahli Surga. Ah ngga. Itu ada di dalam
buku jihad syaratnya ketat banget sehingga sampai akhirnya harus
diputuskan dengan cara seperti itu ya memang tidak ada cara yang
lain.” (D3-UP-22:17721-18311)
Konflik dengan ingroup memang sebenarnya sudah terlihat sejak
dahulu sebelum aksi teror dilakukan
“Gini dulu waktu saya bergabung dengan abu sayyaf, ketika
Abu sayyaf mendapatkan tawanan perang tentara atau apalah
namanya nya. itu bukan sandra ya, tapi tawanan dalam perang.
Untuk mengorek informasi, mereka biasa menyiksa, memukuli
supaya informasi itu keluar. Setelah saya bergabung ke mereka.
mereka terbiasa memukuli tawanan terus dalam satu
kesempatan mereka ada majelis Syuranya saya izin datang ingin
menyampaikan sesuatu yang saya lihat menurut saya gak
bener.” (D3-UP-19:14033-15454); “aku sengaja nggak
diundang (breafing aksi peledakan). Kalau diundang aku bakal
melontarkan nggak setuju” (D3-UP-33:24722-24857)
b. Pelepasan dari Kelompok Teror
Keraguan dalam diri UP atas aksi jihad yang dilakukan semakin kuat
ketika dia mulai lebih banyak belajar dan membaca, “Dari hasil belajar,
membaca. artinya apa gunanya kita membaca untuk tsaqofah tok sebagai
bahan ilmu pengetahuan tok. Ya harus diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari” (D3-UP-20:15518-15781). Bagi UP, syarat jihad cukup
banyak dan sangat ketat untuk bisa terwujud dan terpenuhi,
71
“Kalau dalam fiqih itu kategori Amaliah iqtishadiyah dan itu
harus dengan syarat-syarat yang ketat Apakah target itu
memang nggak bisa dilakukan dengan selain itu. banyaklah
pertimbangannya sehingga tidak asal kasih semangat oh nanti
kamu Ketemu Bidadari 72, ahli Surga. Ah ngga. Itu ada di
dalam buku jihad syaratnya ketat banget sehingga sampai
akhirnya harus diputuskan dengan cara seperti itu ya memang
tidak ada cara yang lain (selain dengan jihad perang).” (D3-
UP-22:17721-18311)
c. Literasi UP
UP tidak membaca tafsir khusus. Ketika digali lebih lanjut terkait
dengan bacaan tafsir yang digunakan dia menjawab “(tafsir Fi dhilalul
qur’an) nggak baca. bahasanya tinggi itu, sulit.” (D3-UP-36:26588-
26675). UP lebih menyukai belajar siroh karya Munawar Kholil:
“Buku siroh yang banyak dikagumi di dunia internasional
kan tulisannya Ibnu Hisyam sirah Ibnu Hisyam tapi ternyata
menurut saya jauh dibanding buku ini (Munawar Kholil). cara
mengulas peristiwa itu sangat detil banget, makanya foodnote
itu sampai banyak banget” (D3-UP-4:2868:3372)
Baginya, jika harus belajar tafisr, seorang muslim harus langsung
merujuk ke kitab aslinya agar tidak dibelokkan oleh ustadz atau
leadernya di kelompok teror (D3-UP-41:36898-37424) karena menurut
UP, ayat jihad hanya disampaikan sepotong-sepotong, tidak
komprehensif, dan tidak memperhatikan asbabun nuzul akibatnya mudah
untuk mengkafirkan orang lain termasuk RT, RW, atau lurah (D3-UP-29:
20695:21436). Selain itu, UP beranggapan bahwa belajar ilmu agama
diutamakan dengan mempelajari adab terlebih dahulu sebelum berpikir
tentang jihad (D3-UP-41:36898-37424). UP memang memiliki prinsip
bahwa adab dan akhlak harus didahulukan, sekalipun sedang dalam
kondisi perang dan jihad (D3-UP-19:14033-15454).
d. Bentuk pertanggungjawaban Moral
UP ingin menebus kesalahannya dengan menjaga persatuan (D3-UP-
13:7933-8427) dan menjaga keamanan Indonesia
“Satu ya (saya menghimbau) Jangan lakukan aksi terror.
kemudian kalau ada orang yang mau melakukan aksi teror.
72
(Mereka) diberikan pemahaman kemudian dicegah kalau nggak
mau dilaporkan. Ini mau ada orang ngebom misalnya dari pada
korbannya banyak dan merugikan orang lain” (D3-UP-
8:4726:5172)
Bagi UP, Pancasila adalah salah satu alat pemersatu bangsadan tidak
dengan dengan syariat Islam, “Nggak usah diganti, wong Pancasila itu
sendiri tidak bertentangan dengan Islam. ngapain harus diganti. nilai-
nilai sila Pancasila sila 1-5 semuanya klop dengan ajaran Islam” (D3-
UP-14:8551-8727)
UP ingin melakukan kampanye anti terorisme dengan mengarahkan
pemahaman yang benar terkait ayat dan hadist tentang jihad kepada
masyarakat umum (D3-UP-25:18796-18902) “Ke masyarakat ya
memberikan pemahaman supaya tidak terkena pemahaman tentang
terorisme” (D3-UP-6:5174-6428). Selain itu, tidak jarang UP
memberikan rekomendasi kepada pemerintah (BNPT) dalam upaya
menekan angka terorisme di Indonesia salah satunya dengan
menyarankan agar narapidana teroris yang berbahaya tidak dihukum mati
agar tidak dijadikan idola dan role model pengikutnya karena dianggap
telah dibunuh dan mati syahid ditangan taghut (D3-UP-37:27117-28152).
UP yang cukup menyesali perpisahannya dengan keluarga karena
lebih memilih menghabiskan hari-hari bersama kelompok dan menjadi
buron ingin menebusnnya dengan berkumpul dengan keluarga (D3-UP-
11:6167-6428)
“Kalau sekarang intinya ingin banyak Kumpul sama
keluarga. keluarga kan sudah lama aku tinggalkan. ingin hidup
bersama keluarga dalam artian keluarga besar, istri kemudian
adik-adik dan semuanya lah, keponakan. Dengan keluarga
besar yang sudah lama enggak kumpul” (D3-UP-9:5174-6428
UP saat ini sudah berusaha untuk mulai menebus kesalahannya
dengan mengais rizki dengan berjualan kelontong di lapas untuk
menghidupi istri (Mujahid & Yuniarti, 2018) dan mendoakan orang tua
yang sudah meninggal karena doa anak tidak akan terputus pahalanya
73
(D3-UP-5:3374-3639). Pendapat peran keluarga dalam proses
disengagement.
Ketika digali lebih dalam tentang keinginannya berjihad di daerah
konflik seperti Afghanistan, UP menekankan bahwa dirinya tidak ingin
kembali ke tempat tersebut sekalipun ada jalan terbuka ke sana. Dia lebih
memilih ingin menghabiskan sisa usia bersama keluarga
“Kalau hijrah lagi kayaknya sih hitung-hitungan akal nggak
mungkin sebab pengalaman atau cerita dari para napiter yang
sudah keluar itu udah dipantau kemana-mana dipantau mereka
nggak membayangkan sekelas saya aja yang kayak gini nyatanya
dipantaunya” (D3-UP-10:5672-6124)
4. Informan Keempat – YS
a. Pandangan Mengenai Pemerintah Sebelum Terderadikalisasi
Dahulu, YS menganggap bahwa pemerintah adalah aimmatul kufr.
Aimmatul kufr adalah presiden sekalipun dia adalah seorang muslim (D4-
YS:48). Perpanjangan dari aimatul kufr adalah para pembantu
pemerintah, termasuk polisi (D4-YS-49:71451-71731). YS merasa
kecewa dan sakit hati atas sikap pemerintah. Salah satu contoh dari
kekecewaannya ada di kejadian Piagam Jakarta sebagai ketidakadilan
terhadap umat Islam, “Piagam jakarta kita jadikan bahan kenapa
dihilangkan untuk syariat Islam padahal kita mayoritas meskinya kita
dapat porsi dong kan gitu” (D4-YS-66:88995:89278). Akibat
kekecewaannya tersebut, YS bergerilya mencari jamaah / kelompok yang
dapat mengakomodir kekecewaannya agar dapat tersalurkan. Dia
mengikuti kajian kelompok teror dengan dauroh 3 hari di pondok
pesantren Amrozi (D4-YS-30:50609-51005). Salah satu doktrin yang
disampaikan dan masih teringat dalam ingatannya adalah fadhilah jihad,
“Pertama kali menetes darahnya sudah diampuni oleh Allah kemudian
diperlihatkan tempatnya di surga.bisa memberikan syafaat kepada 72
keluargannya, dinikahkan dengan 72 bidadari” (D4-YS-58:79134-
79578)
b. Alasan Melakukan Jihad
74
- Iming-iming syahid dengan cara instan “Saya mau mencari syahid lha
makna mencari syahid itu ada namanya juga ketika ada sahabat Ya
Rasul kalau saya bersyahadat masuk Islam masuk surga? masuk surga.
Akhirnya begitu dia syahadat perang datang belum sholat belum
zakat, belum ada.. Rasul bilang masuk surga. Karena memang
waqi’nya dia langsung perang, dikatakan surga memang shirahnya
begitu” (D4-YS-57)
- Jihad di Indonesia sudah termasuk fardu a’in dan ingin masuk surga
dengan cara yang instan / melompat (D4-YS-87:111089-111974),
bahkan dengan membawa anggota keluarga dalam aksi jihad
sekalipun anggota keluarganya masih kecil (D4-YS-5: 19282:19963)
c. Literasi
Literasi YS termasuk paling banyak daripada informan lain:
- YS menggunakan tafsir ibnu Katsir (D4-YS-52: 73456-74127)
- Dahulu belajar kitab hanya diambil tematik (sepotong-sepotong) yang
sesuai dengan langkah jihad (D4-YS-53:74129-74844)
- Tafsir Dzilalil Qur’an hanya dijadikan penyemangat. Bukan sebagai
rujukan utama, “Memang untuk mengarah ke Fii Zilalil Qur’an ini apa
ya untuk bentuk penyemangat untuk jihad jadi bukan minded bukan
jadi langkah begitu misalnya Sayyid Qutb atau soal Hasan Al-Banna”
(D4-YS-54:74847-75779) dan ini dibenarkan oleh AI (D1-AI-
160:140537-141183)
- “(Al Anfal sama Al-Baraah) disebut sebagai senandungnya mujahidin
ya ini…khusus bahwa baraahnya surat Bara’ah terutama tidak pakai
Bismillah, kenapa nggak pakai Bismillah? Ini ni ni, itu juga baraah
antara mukmin dan munafik, kafir, jelas…Dan Al Baraah lanjutan
surat Al Anfal, semuanya isinya jihad, justru dengan 2 surat ini kita
bisa melihat orang mukmin, orang munafik orang kafir orang musyrik,
fa ajirhu hatta yasmaa kalamallah, berilah perlindungan sampai
mereka mendengarkan kalam Allah, lha itu ada sifat dzimmi” (D4-YS-
55:75892-77205)
75
- Ayaturrahman fii Jihadi Afghan menjadi buku bacaan YS “bumbu-
bumbunya jihad itu masih di ayaturrahman fi jihadi Afganistan baca
lagi baca lagi…. Karangan Abdul Azam sih tapi ya hanya pengalaman
beliau bagaimana melihat bom-bom itu ya mung ditakdirkan ndak
tepat (sasaran). (padahal) ratusan bom …. (tapi) meleset” (D4-YS:68:
90220:91288)
- “….Jihad Sabiluna, jihad adalah jalanku, sudah anu, buku-buku yang
kita baca Tarbiyah Jihadiyah, 1 sampai 12 walaupun disitu kowe
perang yo ora ono, ini lo gambarannya, ini lo gambarannya” (D4-YS-
68:113383-113883)
- Banyak kisah dalam sirah terkait dengan jihad dinarasikan sepotong
(bukan versi lengkapnya), “Hanzolah adalah syuhada yang
dimandikan malaikat itu ideal banget itu heroik banget gitu kan… satu
kisah dan kisahnya betul ada shirahnya, kemudian Ukasya Ya Rasul
doakan saya masuk surga. Khalid bin walid perang terus gak pernah
kalah walaupun meninggalnya tidak perang. Itu heroiknya terus disitu
jadi seolah-olah apa yang menjadi cita-cita temen-temen ini
kesampaian syahid adalah fadhilah, ada yang mengatakan bahwa
syahid adalah tujuan hidup. Saya mau mencari syahid lha makna
mencari syahid itu ada namanya juga ketika ada sahabat Ya Rasul
kalau saya bersyahadat masuk Islam masuk surga? masuk surga.
Akhirnya begitu dia syahadat perang datang belum sholat belum
zakat, belum ada.. Rasul bilang masuk surga. Karena memang
waqi’nya dia langsung perang, dikatakan surga memang shirahnya
begitu. Tapi kan susah, lha temen-temen ini nuwun sewu kadang ada
sejarah kelam misalnya di masa jahiliyah, saya selama kuliah nggak
pernah sholat gitu, lha ini ibaratnya bukan penebus dosa, artinya
beramal sedikit tapi masuk surga, bahasanya begitu.Ya syahid ini..
Belum yang fadhilah Imam Nawawi 7 keutamaan orang yang syahid…
eh Arbain” (D4-YS-56:77869-79140)
76
- Belajar dari kitab tafsir al Maraghi dan tafsir Hamka tentang solat
khauf, “Kalau tafsir kalau kita dari guru-guru memang Ibnu Katsir,
Ibnu Katsir itu baik dari terjemahan, baik mulazamah dengan yang
diajarkan, kemudian bahkan di MTI sendiri banyak tafsir-tafsir.
Kemudian ada tafsir Al-Maraghi dulu aa tambah-tambahan yang lain
itu hanya tertentu yang menguatkan tafsir Al-Ahzar misalnya Tafsir
Al-Ahzar itu nanti disoroti tentang surah khauf, sholat dalam keadaan
perang itu pak Pak Hamka saja begini- begini-begini..dibuat tematik
mana yang kuat. Fathul mekkah apa” (D4-YS-52:73456-74127)
d. Deradikalisasi pada diri YS:
Evaluasi jihad pada diri YS dimulai sejak dia terpaksa harus
berbohong kepada keluarga akan kegiatan yang selama ini dilakukan.
Karena baginya, jihad merupakan syariat suci dan seharusnya tidak
membuat seseorang berbohong. Hal ini menimbulkan pertarungan batin
dalam diri YS (D4:YS:38:63940-64535). Dia memutuskan untuk
meninggalkan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan ideologi. YS
merasa bahwa jika dia melakukan aksi kembali, akan merepotkan
keluarga, “Saya memang berbohong, jadi itu menunjukkan bahwa apa
yang telah kita alami itu kadang juga buat keluarga karena keluarga
akan menikmati kesusahan ini selama 6 tahun di penjara itu kan” (D4-
YS-41:66406-66986).
Evaluasi terhadap aksi teror semakin intens dilakukan YS ketika
tertangkap Densus 88 (D4-YS-8:21340-22162). Dia tidak sepakat dengan
aksi teror di Indonesia, “Awalnya gak sepakat, kelompok saya ndak
sepakat karena itu akan, satu merusak semua tatanan wes macem-macem
lah ya, wes pokoknya banyak yang anu, apa mudhorotnya 80%
manfaatnya 20% waktu itu..” (D4-YS-44:68020-68356). Hal lain yang
memperkuat alasan YS meninggalkan kelompok adalah konflik dengan
kelompok lama terkait cara yang digunakan untuk memperjuangkan
ideologi (D4-YS-12:25635-26386). Karena memang dari awal, YS belum
yakin 100% jika pemerintah adalah thaghut (D4:YS:47:70710-71114).
77
YS beranggapan jika jihadnya di Filipina adalah sebuah kebenaran
sedangkan jihad di Indonesia tidak sesuai dengan syari’at (bukan daerah
konflik) (D4-YS-80:99755-100475). Jihad di Indonesia hanya dapat
dilakukan dengan cara defensive, “temen-temen yang dari Ambon-Poso
ketika di Fhilipina kita latih, kamu bukan melawan Jakarta tapi kamu
membentengi dirimu menjaga keluargamu, wilayahmu, bumi muslim”
(D4-YS-63:84776-85035; 62:83834-84684). Baginya, jihad di Indonesia
bisa dilakukan dengan masuk ke parlemen (D4-YS-61:82767-83589). YS
menuuturkan bahwa sebenarnya dia kaget ketika ada peristiwa Bom Bali
karena dia menganggap perang hanya dapat dilakukan di tempat konflik
(seperti di Filipina yang sedang berseteru dengan MILF). Bali bukan
wilayah konflik (D4-YS-43:67553-68018).
Faktor lain yang membuat YS semakin kuat meninggalkan kelompok
dan ideologi kekerasan untuk perjuangan di wilayah damai adalah
keluarga. Perhatian keluarga dirasakan YS begitu besar
“Ya keluarga pengennya gak usah melu-melu lagi, setiap ada
jihad Aceh 2011 telpon saya lagi kamu jangan ikut-ikut ke Aceh ini
ada yang ditangkap namannya Mahmudi juga kakak adik ibu
telfon, kekhaawatirnya mereka sampai segitu, walaupun tetap
godaan. ….(ada tawaran) kerjaan ……. melatih jihad di Aceh …..
Itu (dianggap pekerjaan. Tetapi bagi saya) bukan pekerjaan,
(tetapi) itu godaan” (D4-YS-77:95103-95537)
Kontak dengan outgroup juga menjadi faktor lain dalam
disengagement pada YS “saya diajak Mas Nur Huda ke Inggris ikut
sama google konferensi …. Begitu di sana saya dapat informasi lah,
pokoknya ini direktur google, youtube, facebook ada di situ semuanya”
(D4-YS-75:93012-94362).
e. Refleksi Pemahaman Jihad dan Teror pada Diri YS
Menurut YS, aksi teror dan amaliyat di Indonesia harus dihentikan
“kalau bagi versi saya tinggalkanlah amal jama’i beralih ke
amal islami gitu lo, kalau jama’i ini lagi bermasalah dengan
densus, masalahnya kan diincer terus, jadi tak nasehati kepada
temen-temen, karena kalau kalian masuk penjara yang susah tidak
hanya kalian, keluarga kalian anak-anak, padahal nggak ada
78
efektifnya kalian bersikukuh dengan seperti ini kondisinya”
(D4:YS:11)
Tokoh seperti Gus Baha menjadi outgroup yang bisa memberikan
perspektif baru tentang Islam,
“Ada sih, contoh Gus Baha misalnya. Gus Baha memberi
uraian tentang bagaimana perangnya nabi, kebenciannya nabi,
tapi nabi juga punya namun musuhnya dapat hidayah, Abu Sofyan
misalnya, Ora memusuhi nabi pie? Ya entuk hidayah. Lha aku noto
jihadku perang koyo opo nek entuk hidayah gimana?”
(D4:YS:86:109151-109890)
Menurut YS, seorang muslim harus mempertimbangkan Fiqih
kekinian / waqi’ sebelum memutuskan untuk bertindak, termasuk berjihad
(D4:YS:91:114108-115285). Selain itu terdapat ayat yang dijadikan
pertimbangan dalam proses disengagement dalam diri YS:
“Yaaa. Misalnya ya secara umum ya siapa yang menjaga
nyawa satu orang berarti sama dengan menjaga nyawa semua
makhluk. Itu ayatnya jelas dan belum pernah ditekankan segencar
membunuh, ya kan. Ini juga mungkin menjadi masukan. Ternyata
emm urusan nyawa urusan darah itu pertama kali salah satunya
kan dihisab, itu sangat pentingnya” (D4:YS:96:127814-128340)
f. Bentuk Pertanggungjawaban Moral YS
Bentuk pertanggungjawaban moral dilakukan YS dengan membuat
program reintegrasi napiter di PERSADANI (D4:YS:93:117914-119806;
92: 116579:117854); mendampingi terdakwa teroris untuk menghadapi
persidangan agar vonis lebih ringan (D4:YS:13:26508-27667); program
deradikalisasi bekerja sama dengan pemerintah untuk merangkul mantan
terpidana kasus terorisme (D4-YS-82:101714-102490); mencoba
merangkul tokoh jihadi seperti Abu Rusydan (D4-YS-27:47771-48132);
menjenguk napi teroris di penjara (D4-YS-41:66406-66986); menghimbau
ikhwan jihadi untuk tidak melibatkan tempat-tempat netral seperti pondok
untuk pelarian agar Islam tidak menjadi korban karena identic dengan
terorisme (D4-YS-10:23573-24189); tidak goyah pendirian sekalipun
diajak bergabung kembali ke kelompok (terutama 2 tahun setelah bebas)
(D4:YS:75:93012-94362). YS menuturkan bahwa reintegrasi narapidana
79
teroris biasa dia lakukan dengan bermain logika (tidak perlu menggunakan
dalil) (D4-YS-83:103954-104258). Karena jika dia menggunakan dalil,
maka akan ditolak oleh kelompok.
Kontradiksi data ditemukan dari penelitian ini, yaitu pemahaman YS
yang masih menganggap bahwa jihad hanya dapat dilakukan dengan
perang. Namun, hanya dapat dilakukan di medan jihad, yaitu di negara
konflik seperti Afghanistan (D4:YS:105:151607-152465) dan Indonesia
bukan darul harbi yang wajib diperangi (D4-YS-4:146924-147611).
C. Pembahasan
Peneliti menetapkan tipe coding Conventional Content Analysis sebagai tipe
coding (model interaksi peneliti dan data untuk interpretasi) dengan melakukan
pengcodingan pada data AI sebagai initial coding untuk didapatkan gambaran
code yang dapat diaplikasikan. Initial Coding dilakukan secara induktif
sehingga code-code yang didapatkan dari proses analisis awal terhadap AI
benar-benar code yang emerge dari data mentah. Setelah code dari AI
didapatkan, selanjutnya dilakukan pengcodingan pada data-data yang lain, dan
dilakukan kategorisasi code berdasarkan kategori-kategori yang didapatkan
dari AI. Apabila ditemukan kategori baru yang ditemukan pada data selain
kategori yang didapatkan dari analisis data AI maka kategori baru tersebut
dimasukkan dalam pola akhir, sehingga pada akhir analisis selain didapatkan
deskripsi dari masing-masing data akan didapatkan pula pola akhir yang
bersifat holistik yang diekstraksi dari keseluruhan data dari semua informan.
Model analisis ini sesuai dengan model analisis Fenomenologi dengan model
Stevick-Colaizzi-Keen di mana prosedur yang disarankan adalah sebagai
berikut:
80
Gambar 1. Analisis Fenomenologi Stevick-Colaizzi-Keen
1. Analisis Informan AI (Initial Coding)
Initial Coding dilakukan pada hasil wawancara informan AI dan hasil
dari analisis dan eksplorasi dapat dipaparkan sebagai berikut.
81
Gambar 1. Diagram Network View Hasil Analisis Informan AI
82
Sebagaimana dapat dilihat dari diagram di atas, melalui analisis wawancara
terhadap AI, ditemukan tema-tema pokok yang muncul dalam hasil wawancara
sebagai berikut:
Tema [REFLEKSI] di mana pada tema ini informan mengungkapkan hal-hal
yang terkait dengan pengalaman hidupnya terutama terkait dengan kasus Bom
Bali, pengalaman informan belajar militer di Afghanistan, serta kehidupannya
sebelum berangkat ke Afghanistan dan kejadian-kejadian tersebut terkait dengan
pembentukan pemahaman informan terhadap agama. Tema [REFLEKSI] ini yang
kemudian terkait langsung dengan tema [TAFSIR], di mana keterkaitan antara
[REFLEKSI] dan [TAFSIR] ini dapat dibuktikan di antaranya dengan kutipan
berikut:
“Iya ada seperti itu mas, tetapi kalau kitapun melihat tafsirnya, misalkan
tafsirnya.secara umum, misalnya tafsir Ibnu Katsir atau tafsir-tafsir zaman
dulu. Heem… Bukan zaman yang ditulis oleh ulama
sekarang…Heem…yang ketika khilafah itu sudah tidak ada..”
Dalam kutipan di atas, AI mendasarkan koreksiannya terhadap penafsiran al
Quran yang ada di dalam kitab-kitab klasik, seperti Tafsir Ibnu Katsir, tidak tepat
karena perbedaan konteks kehidupan kaum muslimin yaitu terkait dengan ada
tidaknya khilafah. Dengan kata lain, AI berusaha memahami ayat-ayat terkait
dengan jihad dengan konteks kondisi kaum muslimin sekarang. Pada bagian lain
AI menuturkan sebagai berikut:
Q: Em… tapi apakah kemudian bisa kita katakan penyebab teror itu Ibnu
Katsir?
AI: Bukan… jangan…
Q: Gimana, keterangannya?
AI: Nggak pas itu… ya tentunya kan begini… tadi loh kesalahan yang fatal
adalah…
Heem…Penafsiran itu, yang ditulis oleh ulama ahli tafsir, itu di…di
sambung…Pakai sampai sekarang… Heem…Zamannya itu…
Q: Oke, gitu… iya.
AI: Kan gitu.Padahal kan zamannya Ibnu Katsir itu masih ada
pemimpin…Masih ada khilafah… masih ada pimpinan. Masih ada
istilahnya kekuasaan Islam.
83
2. Analisis Informan JL
Berikut merupakan skema network view hasil analisis dan eksplorasi
terhadap hasil wawancara terhadap JL
84
3. Analisis Informan UP
Berikut merupakan skema network view hasil analisis dan eksplorasi
terhadap hasil wawancara terhadap
85
4. Analisis Informan YS
Berikut merupakan skema network view hasil analisis dan eksplorasi
terhadap hasil wawancara terhadap YS
86
Berdasarkan hasil analisis atas wawancara terhadap YS.
- JI saat ini menjadi macan tidur yang mungkin akan bangun dan
mengkonfrontasi pemerintah AI → nunggu Indonesia chaos (D1-AI-
49:20964-21299; 35-16451-16690; 150:133143-133686)
- Ikhwan yang jadi macan tidur (D4:YS:85:107144-107551; D1-AI-
148:131735-132195)
1:148 Artinya begini loh, JI sampai sekarang itu bergerak loh mas. Em…
Ini…
- JI berbeda dengan ISIS (D1-AI-165:144225-144759; D4-YS-51:72905-
73057; D2-JL-39:57472-57767l; D2-JL-39:57472-57767)
- YS mengungkapkan tidak ada ayat spesifik yang digunakan sebagai dalil
aksi teror, “Nggak disebutkan, kalau saya sampai dadi, jadi umum, banyak
yang umum. Misale mempelajari surat aaa Al Fath Al Asr dan Al fushshilat
dan sebagainya, …..seperti wacana sama dengan kita semuanya belajar sirah
ya” (D4-YS-88:112103-112403)
- AI berpendapat bahwa mereka sudah mengetahui fadhilah jihad, namun
menurutnya jihad tidak boleh dilakukan dengan memaksakan diri, “Kita kan
sudah tau bahwa fadhilahnya jihad itu, itu. Tetapi tetep saya tentang kalau
memaksakan diri” (D1-AI-78:36450-36655).
87
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, J. (2011). Dekonstruksi Tafsir Ayat-ayat Kekerasan.Analisis (Vol XI,
No 1), 71-90.
Abuza, Z. (2009). The rehabilitation of Jamaah Islamiyah detainees in South East
Asia: a preliminary assessment. In T. Bjorgo & J. Horgan (Eds.), Leaving
terrorism behind: Individual and collective disengagement (pp. 193-211).
Oxon: Routledge.
Al-Ghazali (Ttp), Ihya’ Ulum al-Di>n, Da>r al-Ma’rfah.
al-Jauzi, Ibnu Qayyim,(Ttp). Bada>i’ al-Fawa>id, Da>r al-Kita>b al-‘Arabi, Bairut.
Al-Sya>thibi, (1997). al-Muwa>faqat, Ed, Abu ‘Ubaidah, Da>r Ibnu ‘Affa>n.
Bjorgo, T. (2009). Processes of disengagement from violent groups of the extreme
right. In T. Bjorgo & J. Horgan (Eds.), Leaving terrorism behind:
Individual and collective disengagement (pp. 30-48). Oxon: Routledge.
Bjorgo, T., & Horgan, J. (2009). Leaving terrorism behind: Individual and
collective disengagement. New York: Routledge.
Borum, R. (2004). Psychology of terrorism. Tampa: University of South Florida.
Chaiken, S., & Ledgerwood, A. (2012). A theory of heuristic and systematic
information processing. In P. A. M. Van Lange, A. W. Kruglanski & E. T.
Higgins (Eds.), Handbook of theories of social psychology (Vol. 1).
California: Sage Publication Inc.
Chen, S., Duckworth, K., & Chaiken, S. (1999). Motivated heuristic and
systematic processing. Psychology Inquiry,10(1), 44-49.
Choudhury, T. (2009). Stepping out: Supporting exit strategies form violence and
extreme. Washington DC: Institute for Strategic Dialogue.
Creswell, J. W. (2014). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed
methods approaches. California: Sage Publication Inc.
Dash, S., Meeten, F., & Davey, G. C. L. (2013). Systematic information
processing style and perseverative worry. Clinical Psychological Review
33, 1041-1056. doi: 10.1016/j.cpr.2013.08.007.
Daud, M.M. (2007). Kama>l al-Lughah al-‘Arabia Bain Haqa>iq al-I’Ja>z wa Auha>m
al-Khushu>m. Da>r al-Mana>r. Kairo, Mesir.
88
Demant, F., Slootman, M., Buijs, F., & Tillie, J. (2008). Decline and
disengagement: An analysis of processes of deradicalisation. Amsterdam:
Institute for Migration and Ethnics Studies.
Disley, E., Weed, K., Reding, A., Clutterback, L., & Warnes, R. (2012).
Individual disengagement from Al-Qaida-influenced terrorist groups.
Santa Monica CA: Rand Corporation.
Djelantik, S. (2010). Terorisme: Tinjauan psiko-politis, peran media, kemiskinan,
dan keamanan nasional. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Fink, N. C., & Hearne, E. B. (2008). Beyond terrorism: Deradicalization and
disengagement from violent extremism. London: International Peace
Institute.
Fossey, E., Harvey, C., McDermott, F., & Davidson, L. (2002). Understanding
and evaluating qualitative research. Australian and New Zealand Journal of
Psychiatry, 36(7), 717-732. doi: 10.1046/j.1440-1614.2002.01100.
Garfinkel, R. (2007). Personal transformations: Moving from violence to peace.
Washington DC: United States Institute of Peace.
Gazi. (2016). Dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror
(Tesis tidak terpublikasi). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok.
Golose, R. P. (2014). Deradikalisasi terorisme (3th ed.). Jakarta: Yayasan
Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Gunaratna, R., & Hassan, M. F. (2011). Terrorist rehabilitation: The Singapore
experience. In R. Gunaratna, J. Jerard, & L. Rubin (Eds.), Terrorist
rehabilitation and counter-radicalisation: New approach to counter
terrorism (pp. 36-58). New York: Routledge.
Hakim & Mujahid. (2018). Social Context, Interpersonal Network, and Identity
Dynamics: A social psychological case study of terrorist recidivism.
Asian Journal Social Psychology. doi: 10.1111/ajsp.12349.
Hasan, M. A. K. (2015). Metode Penafsiran Al-Quran (Pengenalan Dasar
Penafsiran al-Qur̀an). Al-A’raf Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, Vol.
XII, No. 1.
Hasan, M. A. K. (2018). Interfaith Tolerance And Its Relevance To The
Indonesian Diversity:A Study On Ibn ʿĀshūr’s Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr,
Ulumuna, Vol. 22, No. 2 (2018), 334.
Hendropriyono, A. M. (2009). Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam.
Jakarta : Kompas.
89
Horgan, J. (2009). Individual disengagement: A psychological analysis. In T.
Bjorgo & J. Horgan (Eds.), Leaving terrorist behind: Individual and
collective disengagement (pp. 17-29). New York: Routledge.
Horgan, J., & Braddock, K. (2010). Rehabilitating the terrorists?: Challenges in
assessing the effectiveness of deradicalization programs. Terrorism and
Political Violence,22(2), 267-291 doi: 10.1080/09546551003594748.
Hwang, J. C. (2015). The disengagement of Indonesian Jihadists: Understanding
the pathways. Terrorism and Political Violence, 1-9. doi:
10.1080/09546553.2015.1034855.
Ibnu ‘Athiyyah, (2001). al-Muharrar al-Wajiz, Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
Bairut.
Ibnu Taimiyyah, (1995). Majmu’ al-Fata>wa, Majma’ al-Malk Fahd li Thiba’ah
al-Mushaf al-Syari>f, Madinah Munawwarah, Saudi Arabia.
Imron, A. (2010). Ali Imron sang pengebom. Jakarta: Republika.
Jacobson, M. (2010). Terrorist dropouts: Learning from those who have left.
Washington: The Washington Institute for Near East Policy.
Jones, S., & Libicki, M. (2008). How terrorist groups end: lessons for countering
Al Qaida. Santa Monica Ca: Rand Corporation.
Kruglanski, A. W., Gelfand, M. J., Belanger, J. J., Shaveland, A., Hetiarachchi,
M., & Gunaratna, R. (2014). The psychology of radicalization and
deradicalization: How significance quest impacts violent extrimism.
Advance in Political Psychology,35(1), 69-93. doi:
10.1111/pops.12163Lau & Reslawsk, 2001.
Milla, M. N. (2009). Dinamika psikologis pelaku terorisme: identitas dan
pengambilan keputusan jihad di luar wilayah konflik pada terpidana kasus
bom Bali di Indonesia (Tesis tidak terpublikasi). Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Milla, M. N. (2010). Mengapa memilih jalan teror: Analisis psikologis pelaku
teror. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Milla, M.N., Faturochman, & Ancok, D. (2013). The impact of leader–follower
interactions on the radicalization of terrorists: A case study of the Bali
bombers. Asian Journal of Social Psychology, 16, 92–100. doi:
10.1111/ajsp.12007.
Mirahmadi, H., & Farooq, M. (2010). A community based approach to countering
radicalization: A partner for America. Washington DC: World
Organization for Resource and Education Development.
90
Moghaddam, F. M. (2007). The staircase to terrorism: A psychological
exploration. In B. Bongar, L. M. Brown, L. E. Beutler, J. N. Breckenridge,
& P. G. Zimbardo (Eds.), The psychology of terrorism (pp. 69-80).
Oxford: Oxford University Press.
Moleong, L. J. (2011). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja.
Moris, M., Eberhard, F., Rivera, J., & Watsula, M. (2010). Deradicalization: A
review of the literature with comparison to findings in the literatures on
deganging and deprograming. Institute for Homeland Security Solution.
Moustakas, C. 1994. Phenomenological Research Methods. California: Sage.
Mujahid, D.A. (2018). Dinamika Disengagement Pelaku Terorisme di Indonesia.
Tesis. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Peterkabenton, D., & Benton, B. (2014). Effects of cultural collectivism on
terrorism favorability. Journal of Applied Security Research,9(1), 17-40.
doi: 10.1080/19361610.2014.852001.
Poerwandari, K. (2013). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.
Jakarta: LPSP3 UI.
Rabasa, A., Pettyjohn, S. L., & Jeremy J., & Ghez, C. B. (2010). Deradicalizing
islamist extremists. Santa Monica CA: Rand.
Reinares, F. (2011). Exit from terrorism: A qualitative empirical study on
disengagement and deradicalization among members of ETA. Terrorism
and Political Violence, 23, 780-803. doi: 10.1080/09546553.2011.613307.
Sagemen, M. (2004). Understanding terror network. Philadelphia, Pennsylvania:
University of Pennsylvania Press.
Samudra. (2004). Aku Melawan Teroris. Solo: Jazeera.
Ya’qub, Thahir Mahmud Muhammad, (2010). Asba>b al-Khata` fi Tafsi>r, Damam,
Saudi Arabia.
Sarwono, S. W. (2012). Terorisme di Indonesia dalam tinjauan psikologi. Jakarta:
Alfabet.
Smith, J. A. (2009). Psikologi kualitatif: Panduan praktis metode riset (B.
Samtoso, Trans.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Naskah asli diterbitkan
pada 2008).
Suhardono, Edy. (2001). Bandingan Eksplanatif antara Pendekatan Kognitif
Sosial dan Relasional-Sosial atas Kausalitas Ba’asyir-Amrozi. Jurnal
Psikologi Sosial, 9, 33-41.
91
Wahid, A., Sunardi., dan Sidik, M.I. (2011). Kejahatan Terorisme Perspektif
Agama, HAM, dan Hukum. Bandung : Refika Aditama.
Wikipedia. (2019, June4). Terorisme di Indonesia. Wikipedia. Retrieved from
http://id.wikipedia.org
Wright, L. (2010). Sejaran teror, jalan panjang menuju 11/9. Jakarta: Penerbit
Kanisius.
92
RANCANGAN ANGGARAN BELANJA