disengagement pelaku teror di indonesia: pergeseran

91
1 PENELITIAN BOPTN IAIN SURAKARTA 2020 DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN PEMAHAMAN PELAKU TEROR TERHADAP AYAT-AYAT JIHAD LAPORAN PERKEMBANGAN PENELITIAN BOPTN Penelitian DIPA IAIN Surakarta Tahun Anggaran 2020 Oleh: Peneliti KETUA Nama : Dr. H. Moh Abdul Kholiq Hasan, M.A. M.Ed NIP : 19741109 200801 1 0 11 Prodi / Jurusan : Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir ANGGOTA- Nama : Dr. ROCHMAT BUDI SANTOSO, S.Pd., M.Pd. NIP : 196911112002121001 Prodi / Jurusan : Pendidikan Bahasa Ingris Nama : Wakhid Musthofa, M.Psi NIP : 198611092018011002 LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA TAHUN 2020.

Upload: others

Post on 29-Dec-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

1

PENELITIAN BOPTN IAIN SURAKARTA 2020

DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA:

PERGESERAN PEMAHAMAN PELAKU TEROR

TERHADAP AYAT-AYAT JIHAD

LAPORAN PERKEMBANGAN PENELITIAN BOPTN Penelitian DIPA IAIN Surakarta Tahun Anggaran 2020

Oleh: Peneliti

KETUA

Nama : Dr. H. Moh Abdul Kholiq Hasan, M.A. M.Ed

NIP : 19741109 200801 1 0 11

Prodi / Jurusan : Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir

ANGGOTA-

Nama : Dr. ROCHMAT BUDI SANTOSO, S.Pd., M.Pd.

NIP : 196911112002121001

Prodi / Jurusan : Pendidikan Bahasa Ingris

Nama : Wakhid Musthofa, M.Psi

NIP : 198611092018011002

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

TAHUN 2020.

Page 2: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

2

Daftar isi

No Hal

1. BAB I: PENDAHULUAN 3

2. A. Latar Belakang Masalah 3

3. B. Rumusan Masalah 8

4. C. Manfaat Penelitian 8

5. BAB II: KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

10

6. A. Kajian Pustaka 10

7. B. Landasan Teori

12

8. BAB III: METODE PENELITIAN 36

9. A. Metode Penelitian 36

10. B. Sumber Data 37

11. C. Peran Peneliti 39

12. D. Pengumpulan Data

40

13. E. Teknik Analisis dan Interpretasi Data 44

14. F. Kredibilitas Penelitian

47

15. BAB IV: PEMBAHASAN 50

16. A. Deskripsi Mantan Pelaku Teror 50

17. B. Refleksi Pemahaman Jihad Pelaku Teror 60

18. C. Pembahasan 79-86

19. DAFTAR PUSTAKA 87

20 RAP 92

Page 3: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

3

BAB I: PENDAHULUAN

D. Latar Belakang Masalah

Isu terorisme menjadi isu yang cukup hangat diperbincangkan di Indonesia,

khususnya setelah peristiwa Bom Bali 1 tahun 2002 silam. Namun sebenarnya

aksi teror di Indonesia mulai gencar terjadi sejak tahun 2000. Golose (2014)

merangkum serangkaian aksi teror di Indonesia, seperti di Kedutaan Besar

Malaysia dan di Bursa Efek Jakarta tahun 2000 serta pengeboman di Bandara

Soekarno Hatta pada April 2003 yang dilakukan oleh kelompok teror GAM. Aksi

pengeboman lain seperti pengeboman di kediaman Duta Besar Filipina di Jakarta;

pengeboman sejumlah gereja di Batam, Pekanbaru, Jakarta, Sukabumi,

Mojokerto, Kudus, Batam tahun 2000; Bom Bali 1 dan Bom Bali 2; serta Bom

J.W. Marriot tahun 2003 yang dilakukan oleh kelompok sempalan anggota

Jamaah Islamiyah Indonesia (Golose, 2014).

Pengeboman yang memakan korban paling banyak di Indonesia hingga saat

ini adalah pengeboman yang terjadi di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, yaitu

menewaskan 202 orang dan 300 orang terluka parah (Golose, 2014). Pengeboman

dan aksi teror yang terjadi belakangan ini lebih bersifat low explosive dan sedikit

memakan korban. Pengeboman tersebut diantaranya terjadi di Plaza Sarinah

Jakarta Januari 2016; Mapolresta Surakarta Juli 2016; Gereja Oikumene

Samarinda dan Vihara Budi Dharma November 2016; Bom Panci di Kampung

Melayu dan Bandung pada tahun 2017; serta Bom Surabaya dan Mapolda Riau

pada tahun 2018 yang dilakukan oleh JAD (Wikipedia, 2019).

Selama ini terorisme di Indonesia identik dilakukan oleh umat Islam dengan

dalih jihad fii sabilillah. Pelaku teror dikenal sebagai pribadi yang memahami al-

Qur’an secara tekstual dan kurang melihat konteks sosial budaya dari

lingkungannya (Sarwono, 2012). Mereka memahami al-Qur’an secara sepotong-

sepotong dan tidak memperhatikan asbabun nuzul ayat-ayat tersebut. Pelabelan

teroris di sini diberikan kepada mereka yang mengatasnamakan aksinya sebagai

jihad fii sabilillah. Pelabelan ini bukan dimaksudkan untuk mendeskreditkan

Page 4: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

4

ummat Islam atau kelompok tertentu, tetapi digunakan karena aksi teror yang

mereka lakukan. Selain itu melabeli mereka sebagai kelompok teror karena

sebagian besar peneliti melabeli mereka sebagai teroris (Disley, dkk., 2012)

Terorisme dan dampak yang ditimbulkan dari aksi teror hingga saat ini masih

belum dapat terselesaikan dengan baik (Wright, 2010). Hal itu dibuktikan dengan

masih sering dijumpai aksi teror, terutama teror yang mengatasnamakan agama

dalam setiap aksi yang mereka lakukan. Oleh karena itu, para pemangku

kebijakan dan ilmuwan termasuk ilmuan psikologi dan tafsir terdorong untuk

melakukan kajian terkait motivasi melakukan aksi teror (Levin & Amster, 2003;

Milla, 2010; Sarwono, 2012) dan motivasi meninggalkan aksi (Demant dkk,

2008; Fink & Hearne, 2008; Bjorgo & Horgan, 2009; Choudhury, 2009;

Jacobson, 2010; Hwang, 2015; Gazi, 2016). Penelitian-penelitan tersebut

dilakukan salah satunya untuk merancang kebijakan dalam pengentasan masalah

terorisme (Jacobson, 2010).

Jones dan Libicki (2008) mengemukakan, bahwa para ahli berbeda pendapat

mengenai kapan terorisme akan berakhir. Beberapa ahli mengemukakan, bahwa

terorisme akan berakhir dengan sendirinya namun peneliti lain berpendapat jika

aksi teror dapat berakhir jika pelaku dapat dikalahkan oleh aparat keamanan

(polisi atau militer). Gazi (2016) mengungkapkan, bahwa terorisme akan berakhir

jika pelaku memiliki rasa bersalah atas aksi teror yang telah mereka lakukan.

Namun bagaimana cara menumbuhkan rasa bersalah dalam diri pelaku teror?

Oleh karena itu diperlukan usaha untuk memahami dinamika seorang pelaku teror

meninggalkan cara-cara kekerasan dan beralih ke jalan damai dalam

memperjuangkan ideologinya.

Bjorgo & Horgan (2009) dalam bukunya mengemukakan, bahwa terdapat

istilah “terrorist is terrorist”. Hal itu menunjukkan, bahwa sangat rendahnya

kepercayaan publik kepada mantan pelaku teror yang telah menyesali aksi teror

yang pernah dilakukan. Penelitian Hakim & Mujahid (2018) menunjukkan, bahwa

kasus residivis terorisme dapat terjadi karena stigma buruk yang masih dirasakan

oleh mantan pelaku teror yang ingin kembali ke masyarakat. Namun disisi lain

Moghaddam (2007) mengemukakan, bahwa teroris terlahir bukan karena faktor

Page 5: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

5

bawaan tetapi karena multifaktor seperti faktor sosial dan politik. Oleh karena itu,

kemungkinan meninggalkan jalan teror masih dapat terjadi karena menjadi

seorang teroris lebih disebabkan karena respon terhadap persoalan sosial-politik

yang kompleks.

Meninggalkan jalan teror pada pelaku tindak pidana terorisme dikenal dengan

istilah deradikalisasi dan disengagement (Horgan, 2009). Namun terdapat

beberapa perbedaan mendasar antara kedua istilah tersebut. Deradikalisasi

menurut Reinares (2011) dan Gazi (2016) adalah sebuah proses transformasi

individu dalam menghilangkan ideologi jihad yang menjadi basis hidup dan

perjuangan pelaku teror dalam meraih tujuan pribadi maupun kelompok dari alam

bawah sadarnya. Namun, program deradikalisasi ini akan sulit terjadi karena

menegasikan jihad sama dengan keluar dari Islam (Gazi, 2016). Jihad akan sulit

dihilangkan dari dalam diri pelaku teror karena perintah jihad sendiri tertuang

dalam al-Qur’an yang menjadi dasar hidup ummat Islam.

Disengagement sendiri adalah mengurangi dan menghilangkan komitmen

kekerasan dan beralih ke jalan damai dalam memperjuangkan ideologi bagi

kelompok teror (Kruglanski, dkk, 2014) walaupun pelaku masih menganut

ideologi jihad (Bjorgo, 2009; Horgan, 2009). Proses deradikalisasi tidak selalu

beriringan dengan disengagement (Bjorgo & Horgan, 2009, Fink & Hearne,

2008). Bjorgo (2009) dan Horgan (2009) mengungkapkan, bahwa disengagement

merupakan pintu menuju deradikalisasi. Namun seorang pelaku teror tidak dapat

dikatakan mengalami proses deradikalisasi jika tidak melewati proses

disengagement. Selama ini proses yang terjadi hanya ada dalam tahap

disengagement pelaku teror (Bjorgo & Horgan, 2009; Sarwono, 2012, Gazi,

2016). Sarwono (2012) mengungkapkan, bahwa hal yang jauh lebih penting

adalah menghilangkan sikap pro kekerasan menuju tingkah laku damai.

Hasil penelitian Horgan (2009) yang dilakukan sejak tahun 2006 sampai tahun

2008 menemukan, bahwa sebagian besar mantan pelaku teror lebih tepat bila

dianggap sebagai individu-individu yang mengalami disengagement dibanding

sebagai individu-individu yang mengalami deradikalisasi. Artinya, banyak teroris

yang meninggalkan jalan teror tanpa mengalami perubahan ideologi atau tanpa

Page 6: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

6

harus meninggalkan ideologi kekerasan, misalnya pada kasus mantan narapidana

teroris Jamaah Islamiyah di Indonesia. Anggota JI masih mengimani konsep

jihad, karena mereka menganggap bahwa menegasikan jihad sama saja dengan

keluar dari Islam (Gazi, 2016). Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan,

bahwa tidak perlu masuk dalam tahap deradikalisasi untuk membuat seorang

pelaku teror meninggalkan aksi kekerasan dan beralih ke jalan damai (cukup

berada dalam tahap disengagement).

Sudah cukup banyak penelitian yang menjelaskan mengenai alasan seseorang

masuk dan bertahan dalam kelompok teror (Sageman, 2004; Milla, 2010).

Penelitian mengenai disengagement pelaku teror juga sudah mulai bermunculan

seiring dengan bertambahnya jumlah pelaku teror yang memutuskan untuk

meninggalkan aksi kekerasan dalam memperjuangkan ideologinya (Gazi, 2016;

Mujahid, 2018, Hakim & Mujahid 2018). Selama ini penelitian mengenai proses

disengagement pelaku teror lebih menekankan pada proses dan dinamika sosial

mantan pelaku teror (Bjorgo, 2009; Gafinkel, 2007; Jacobson, 2010; Reinares,

2011; Kruglanski, dkk., 2014; dan Hwang, 2015). Masih sedikit penelitian yang

membahas mengenai pemahaman tafsir ayat-ayat jihad pada diri mantan pelaku

teror.

Jacobson, (2010); Milla, (2011); dan Kruglanski, dkk (2014) mengungkapkan,

bahwa sikap dan pandangan terhadap jihad dapat menggambarkan apakah

seorang pelaku teror sudah memutuskan untuk meninggalkan jalan kekerasan

dalam memperjuangkan ideologinya atau justru memiliki paham teror yang

mengakar. Menurut mereka yang masih berpaham teror, jihad dengan perang (al-

qital) dan pedang adalah jalan untuk mencapai daulah Islamiyah atau negara

dengan sistem khilafah (Imron, 2010; Abuza, 2009, Golose, 2010). Seseorang

tidak dapat disebut sebagai mujahid atau jihadis tanpa melakukan sebuah

perjuangan menegakkan negara Islam karena puncak kemuliaan seorang muslim

adalah menjadi seorang mujahid (Imron, 2010, Milla, 2009).

Pergeseran pemahaman mengenai jihad dari domain kekerasan menjadi

perilaku damai menjadi komponen cukup penting untuk diperhitungkan dalam

proses deradikalisasi dan disengagement (Kruglanski, dkk., 2014). Dahulu pelaku

Page 7: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

7

teror memahami ayat-ayat jihad dalam al-Qur’an sebagai suatu seruan untuk

berjihad tanpa memandang lingkungan sosial tempat tinggalnya (Sarwono, 2012).

Pelaku teror tidak memperdulikan apakah negaranya adalah negara konflik seperti

Afghanistan dan Palestina atau negara damai (Imron, 2010). Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui pemahaman tafsir mantan pelaku teror. Sejauh mana

mereka menafsirkan ayat-ayat jihad di dalam al-Qur’an.

Keputusan untuk masuk atau keluar dari jalan teror ini dapat dijelaskan

dengan teori heuristic dan sistematic information processing. Berpikir heuristik

adalah sebuah upaya kognitif yang membuat individu merasa sangat ahli dalam

mengaplikasikan sejumlah informasi dengan jalan pintas untuk membuat

keputusan yang dirasa masuk akal dengan upaya kognitif yang minimal dalam

segala aspek kehidupan (Lau & Reslawsk, 2001). Individu yang berpikir secara

heuristik memiliki kecenderungan untuk menolak informasi dari orang lain,

memiliki tingkat kepercayaan diri berlebihan, dan over estimasi terhadap

frekuensi peristiwa (Kahneman & Tversky, 1982). Para pelaku teror memiliki

kepercayaan dan doktrin-doktrin ayat jihad agama yang sangat kuat diyakini

sebagai sebuah kebenaran (Milla, 2009) tanpa mereka mau mengkritisi doktrin

yang didapatkan tersebut (Sarwono, 2012).

Disengagement dan deradikalisasi dapat terjadi karena para pelaku mulai

berpikir kritis mengenai metode teror yang selama ini mereka pilih dalam

memperjuangkan ideologi. Pelaku teror melihat imbas dari aksi teror yang mereka

lakukan, seperti melihat mayoritas korban adalah warga sipil yang tidak berdosa

(Choudhury, 2009; Fink & Hearne, 2008; Jacobson, 2010). Ketika para pelaku

berpikir lebih komprehensif, hati-hati, dan dengan penyelidikan lebih intensif,

sejatinya mereka telah berpikir secara sistematis (Chaiken & Ledgerwood, 2012;

Chen, Duckworth, & Chaiken, 1999; Dash, Meeten, & Davey, 2013). Lebih lanjut

Chaiken dan Ledgerwood (2012) menjelaskan tiga sifat dalam systematic

information processing, yaitu keinginan individu untuk mencurahkan perhatian,

berpikir tentang masalah, dan memiliki motivasi untuk memproses informasi

secara lebih sistematis. Berdasarkan penjelasan tersebut muncul pertanyaan

apakah mantan pelaku teror juga bersikap hati-hati dan berpikir komprehensif

Page 8: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

8

dalam menafsirkan ayat-ayat jihad seperti mempertimbangkan asbabun nuzul dari

ayat-ayat jihad di dalam al-Qur’an? Apakah mantan pelaku teror lebih

mempertimbangkan lingkungan sosial sehingga mereka memutuskan untuk tidak

lagi menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan ideologinya?

Mengetahui penafsiran ayat-ayat jihad mantan pelaku teror (baik sebelum

maupun setelah memutuskan meninggalkan jalan kekerasan) diharapkan dapat

dijadikan bahan referensi dalam upaya deradikalisasi dan disengagement pelaku

teror. Karena selaras dengan pendapat Suhardono (2001); Milla (2010); Sarwono

(2012), bahwa penyebaran paham teror tidak dilakukan dengan brain wash,

namun diperoleh melalui pengalaman, pengasuhan, pelatihan, dan lingkungan

(Sarwono, 2012; Milla, 2010, 2013). Oleh karena itu asumsi lain dapat

dikembangkan yaitu, bahwa ketika paham teror didapat dengan sebuah

pembelajaran dan pelatihan, maka pemikiran yang salah dapat dibenahi kembali

dengan pembelajaran ulang (dekonstruksi). Karena Kruglanski, dkk. (2014)

mengemukakan, bahwa proses yang mendorong radikalisasi merupakan antiseden

deradikalisasi dan disengagement. Penelitian ini dimaksudkan agar pembelajaran

ulang pada diri mantan teroris mengenai arti jihad dan mengkaji kembali ayat-

ayat jihad dalam al-Qur’an yang berkonotasi dengan tindak kekerasan dijadikan

acuan para pemangku kebijakan dalam pembuatan program deradikalisasi dan

disengagement karena topik ini belum pernah digali oleh peneliti-peneliti

sebelumnya.

E. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dan telaah literatur mengenai proses meninggalkan

paham kekerasan serta telaah literatur mengenai pemahaman tafsir ayat-ayat

jihad para pelaku teror, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman ayat-ayat jihad pada diri pelaku teror saat masih

menganut paham kekerasan dalam memperjuangkan ideologi? dan setelah

memutuskan untuk meninggalkan paham kekerasan dalam memperjuangkan

ideologi?

Page 9: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

9

2. Bagaimana proses perubahan pola pikir pelaku teror jika ditinjau dari ilmu

psikologi kognitif?

F. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pemahaman tafsir ayat-ayat jihad mantan pelaku teror, baik

pemahaman sebelum maupun setelah mereka memutuskan untuk

meninggalkan aksi kekerasan dalam memperjuangkan ideologi. Secara

singkat, tujuan penelitian ini adalah sebagai beikut:

2. Mengetahui perubahan pola pikir mengenai konsep jihad pada mantan

pelaku terorisme di Indonesia.

G. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, baik

secara akademis maupun praktis.

1. Manfaat Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah di bidang

Tafsir dan Psikologi, khususnya Psikologi Kognitif

2. Manfaat Praktis

a. Menjadi referensi bagi para pemangku kebijakan dalam membuat

program-program deradikalisasi pelaku teror, khususnya yang sesuai

dengan konteks budaya Indonesia.

b. Memberikan sumbangan pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai

pemahaman tafsir ayat-ayat jihad para pelaku teror, baik sebelum maupun

setelah memutuskan untuk meninggalkan aksi kekerasan dalam

memperjuangkan ideologi.

c. Menjadi masukan dan referensi bagi peneliti selanjutnya.

Page 10: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

10

BAB II: KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

C. Kajian Pustaka

Penelitian yang ada selama ini lebih banyak mengenai faktor-faktor yang

melatarbelakangi individu dalam proses disengagement dan deradikalisasi. Sejauh

yang peneliti ketahui, belum ada penelitian mengenai pemahaman tafsir ayat-ayat

jihad dan ayat-ayat damai pada mantan pelaku teror. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Garfinkel (2007) kepada tujuh orang mantan pelaku teror

menunjukkan, bahwa deradikalisasi dan disengagement terjadi karena

transformasi spiritual seperti pertobatan religius; trauma dan gejolak emosional

karena melihat korban dan karena kehilangan dukungan sosial maupun emosional

akibat dari aksi teror yang telah dilakukan; serta masalah kepribadian seperti

menemukan kembali identitas pribadi dan kebermaknaan hidup setelah

meninggalkan jalan teror dan kekerasan.

Garfinkel (2007) mengungkapkan, bahwa menjalin hubungan baru dengan

outgroup serta mendapatkan dukungan dan perlindungan saat mereka berada

dalam masa transisi meninggalkan jalan teror menjadi kunci utama dalam

disengagement pelaku. Outgroup dalam penelitian Garfinkel (2007) adalah

mentor, teman, dan orang lain yang dipandang memiliki kompetensi lebih dalam

membahas mengenai jihad. Garfinkel (2007) tidak membahas mengenai

pergeseran pemahaman pelaku teror mengenai ayat-ayat jihad yang diyakininya

selama ini.

Penelitian lain dilakukan oleh Choudhury (2009) yang lebih menekankan

dukungan intelektual maupun emosional dalam proses disengagement pelaku

teror. Pelaku mendapatkan dukungan intelektual dari mentor yang menentang

jalan teror dalam memperjuangkan ideologinya, dari orang yang dihormati, atau

orang yang dia percaya. Pihak-pihak tersebut dapat membantu pelaku mengatasi

keraguan tentang kepercayaan dan jalan teror yang selama ini dipilih dalam

memperjuangkan ideologi serta meyakinkan pelaku bahwa meninggalkan jalan

teror bukan berarti meninggalkan iman mereka.

Page 11: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

11

Dukungan emosional diberikan untuk membantu individu mengatasi

ketakutan akan isolasi karena meninggalkan jalan teror memungkinkan mereka

mendapatkan perlakuan buruk dan pengucilan dari masyarakat umum. Chouhury

(2009) dalam penelitiannya menekankan, bahwa pelaku teror memerlukan empati

dan dukungan dari seseorang di luar kelompok teror yang selama ini menjadi

basis aktualisasi hidupnya. Sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Garfinkel

(2007), Chudhury (2009) tidak membahas mengenai pergeseran pemahaman ayat-

ayat jihad pada pelaku teror.

Hwang (2015) melakukan penelitian kepada lima puluh anggota jihadis di

Indonesia, yang terdiri dari 27 orang anggota Jemaah Islamiyah, dua puluh orang

anggota Tanah Runtuh afiliasi Jemaah Islamiyah Poso, dan tiga orang anggota

Mujahidin Kayamanya. Hwang ingin memahami pola, jalur, pertimbangan

agama, dan proses psikologis yang mendorong informan untuk meninggalkan

kekerasan dan beralih pada jalur dakwah dalam memperjuangkan ideologi.

Terdapat enam faktor yang melatarbelakangi informan keluar dari jalan teror,

yaitu kekecewaan pada taktik, kepemimpinan, atau aspek gerakan lainnya;

munculnya kesadaran bahwa pengorbanan untuk melanjutkan aktivitas teror

terlalu besar; pembentukan kembali hubungan dengan individu atau jaringan di

luar lingkungan teror; tekanan dari keluarga; perubahan prioritas pribadi; serta

perlakuan manusiawi dari pihak yang berwenang. Hwang mengungkapkan,

bahwa faktor-faktor tersebut dapat saling bekerjasama ataupun individu

meninggalkan aksi teror hanya didorong oleh satu faktor saja. Namun penelitian

tersebut tidak membahas secara detail mengenai pertimbangan agama para pelaku

teror dalam proses disengagement.

Penelitian lain dilakukan oleh Gazi (2016) pada lima orang mantan anggota

Jama’ah Islamiyah yang menjadi pelaku peledakan Bom Bali 1. Gazi (2016)

menemukan tiga faktor dalam proses disengagement pelaku teror, yaitu faktor

personal seperti rasa bersalah serta lebih menonjolkan identitas dan nilai personal

daripada identitas dan nilai kelompok; faktor organisasi seperti kecenderungan

deideologisasi jihad dan penurunan komitmen; serta faktor sosial seperti terjadi

konflik antara pemimpin-pengikut, konflik interpersonal, kontak dengan orang

Page 12: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

12

lain di luar kelompok radikal. Hasil dari penelitian ini lebih menekankan faktor

dari dalam diri pelaku teror, yaitu rasa bersalah dan ketakutan pada Tuhan sebagai

faktor utama yang mendorong individu meninggalkan jalan teror dan kurang

membahas mengenai pergeseran pemahaman ayat-ayat jihad yang selama ini

mereka gunakan sebagai landasan dan ideologi dalam melakukan aksi teror.

Abdillah (2011) dalam tulisannya yang berjudul Dekonstruksi Tafsir Ayat-

ayat Kekerasan lebih menekankan kepada ayat-ayat damai dalam al-Qur’an untuk

mengevaluasi aksi kekerasan yang telah dilakukan pelaku teror. Selain itu,

Abdillah (2011) juga melakukan kritik terhadap pemahaman tafsir pelaku teror

dengan melihat konteks ayat-ayat jihad secara umum. Abdillah (2011) tidak

melakukan penelitian langsung kepada para pelaku teror, namun lebih mengulas

mengenai pendapat dari tokoh-tokoh atau peneliti sebelumnya.

Berdasarkan pemaparan tersebut sangat jelas posisi penelitian yang akan

dilakukan ini, sekalipun terdapat beberapa titik temu dengan penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya. Penelitian ini memiliki perbedaan baik berkaitan dengan

informan, tujuan, maupun pendekatan yang dipilih dalam penelitian. Oleh karena

itu penelitian dengan tema “Disengagement Pelaku Teror di Indonesia:

Pergeseran Pemahaman Pelaku Teror terhadap Ayat-Ayat Jihad” masih cukup

layak untuk dikaji lebih mendalam. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi baru mengenai pergeseran pemikiran dan penafsiran ayat-ayat jihad

pada pelaku teror, khususnya pelaku teror di Indonesia.

D. Landasan Teori

1. Definisi Terorisme

Istilah terorisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

penggunaan kekerasan dan ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-

nakuti dan menakutkan untuk tujuan politik. Djelantik (2010) mendefinisikan

terorisme sebagai penggunaan kekerasan yang dikalkulasikan, mengejutkan,

dan ditujukan kepada rakyat sipil dan pihak keamanan serta militer di daerah

damai dengan motivasi politik, agama, dan/atau karena masalah

ketidakadilan pemerintah yang mereka rasakan. Mereka melakukan aksi teror

Page 13: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

13

sebagai bentuk protes dan agar pemerintah menyetujui hal yang mereka

perjuangkan.

Hendropriyono (2009) mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan

kekerasan dalam menciptakan ketakutan pada masyarakat dalam lingkup

yang luas. Lebih lanjut Hendropriyono (2009) mengungkapkan, bahwa

pelaku teror lebih berfokus untuk membuat khalayak ramai menjadi takut

daripada berfokus pada jatuhnya korban kekerasan. Pemberitaan dan

publikasi dari media masa secara besar-besaran dapat membuat pelaku teror

merasa berhasil dan bangga telah melakukan aksi teror.

Imron (2010) dalam autobiografinya mengungkapkan jika alasan

utamanya melakukan pengeboman di Bali tahun 2002 silam bukan untuk

mendapatkan korban sebanyak-banyaknya, namun lebih ingin menunjukkan

eksistensi diri pada dunia. Dia ingin menunjukkan, bahwa ummat Islam ada

dan tidak dapat disepelekan keberadaanya. Lebih lanjut Imron (2010)

menuturkan, bahwa Bom Bali 1 yang merenggut perhatian dunia tersebut

adalah sebuah bentuk balas dendam atas penganiayaan kaum kafir terhadap

saudara seiman mereka di Afghanistan, Palestina, maupun daerah-daerah

konflik lain di dunia. Bom Bali 1 merupakan aksi balas dendam atas

penganiayaan dan penindasan kepada saudara seiman mereka. Mereka

meyakini bahwa setiap mukmin adalah bersaudara, seperti firman Allah SWT

dalam surat al-Hujurat: 10, "Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu adalah

bersaudara".

Borum (2004) mengungkapkan, bahwa aksi teror adalah sebuah tindakan

yang dilakukan untuk mengganti sistem yang berlaku saat ini, baik sistem

politik, hukum, sosial, dan konstitusi, yang dilakukan dengan cara

memaksakan kehendak dan ideologi. Hal itu sejalan dengan pengakuan

Imron (2010) yang ingin menghapuskan ideologi Pancasila di Indonesia dan

menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Lebih lanjut Sarwono (2012)

dan Milla (2010) mengungkapkan, bahwa pelaku teror di Indonesia berusaha

untuk mengganti Pancasila dengan al-Qur’an dan hadist sebagai ideologi dan

dasar negara.

Page 14: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

14

Wahid, Sunardi, dan Sidik (2011) mengungkapkan, bahwa kata teroris

(pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari Bahasa latin terrere yang berarti

membuat gemetar atau menggetarkan dan dapat menimbulkan ketakutan.

Lebih lanjut, Davis (2003) mengemukakan, bahwa terorisme merupakan

penggunaan kekerasan yang direncanakan dengan tunjuan untuk

menimbulkan ketakutan bagi pemerintah maupun masyarakat sipil dalam

rangka pencapaian tujuan seperti tujuan politik, ideologi, maupun agama.

Terdapat banyak definisi mengenai terorisme. Perbedaan definisi

terorisme yang beraneka ragam ini menurut Wahid, Sunardi, dan Sidik,

(2011) tergantung dari latar belakang ilmu dan kepentingan peneliti yang

mendefinisikan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

definisi terorisme adalah penggunaan kekerasan pada masyarakat sipil

maupun militer di negara damai dengan tujuan untuk menurunkan semangat,

mengejutkan, menakut-nakuti, mewujudkan keadaan sosial, politik, agama

sesuai keinginan sendiri tanpa mempertimbangkan kondisi lingkungan

tempatnya tinggal, serta untuk menunnjukkan eksistensi diri pelaku.

Pembahasan mengenai terorisme tidak dapat lepas dari pembahasan

kelompok, Milla (2012) menuturkan, bahwa terorisme merupakan sebuah

fenomena kelompok sekalipun sekalipun aksi teror dilakukan oleh

perseorangan. Sarwono (2012) mengungkapkan, bahwa indoktrinasi paham

teror dalam diri pelaku tidak dilakukan secara instan yaitu dengan cuci otak

atau brain wash, namun dilakukan secara bertahap. Lebih lanjut Milla (2013)

mengungkapkan, bahwa seseorang dapat berpaham teror dimulai dari tahap

identifikasi diri dengan nilai dan norma yang diyakini kelompok (sehingga

identitas kelompok lebih kuat daripada identitas diri); indoktrinasi paham

radikal; serta pengamalan dari doktrin, yaitu melakukan aksi teror (Milla,

dkk., 2013). Apabila identitas kelompok dalam diri pelaku teror lebih tinggi

daripada identitas pribadi, maka dia akan bersedia melakukan apapun untuk

kelompok, yaitu melakukan aksi teror sekalipun harus mengorbankan dirinya

sendiri.

Page 15: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

15

Peterkabenton dan Benton (2014) mengungkapkan, bahwa paham radikal

akan lebih cepat menyebar di budaya kolektivis daripada budaya individualis.

Karena budaya kolektivis sangat mementingkan loyalitas pada kelompok. Hal

inilah yang melatarbelakangi seorang individu dari budaya kolektivis dapat

lebih mudah bergabung dan loyal terhadap kelompoknya, sekalipun

kelompok tersebut adalah kelompok radikal. Keterikatan seorang individu

terhadap kelompok dalam setting kolektivis cukup kuat sehingga

perlindungan dan pertukaran dalam kelompok tidak perlu diragukan lagi.

Milla (2012) mengungkapkan, bahwa pelaku teror menganggap tetesan

darah bahkan kematian mereka dapat berkontribusi dalam pencapaian tujuan,

yaitu tercapainya hukum Islam. Mereka lebih memuja kematian daripada

dunia beserta segala isinya (Sarwono, 2012). Imron (2010), menuturkan

bahwa impian utama mereka adalah mati syahid atau menjadi keluarga

mujahid karena Islam tidak akan dapat tegak tanpa perang dan pedang.

Issue yang cukup sering diangkat dalam proses radikalisasi pelaku teror

adalah ketidakadilan, penganiayaan, dan penindasan kepada saudara seiman

di belahan bumi lain seperti Palestina dan Afghanistan (Milla, 2012;

Sarwono, 2012; Kruglanski dkk., 2014). Pelaku teror meyakini bahwa

sesama mukmin layaknya satu tubuh, apabila saudaranya kesusahan maka dia

harus menanggung derita dari saudaranya tersebut (Imron, 2010). Hal itu

sejalan dengan hadist Rasulullah riwayat Nu’man bin Basyir yang artinya,

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu

tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan

akan merasakan panas dan demam. (HR. Muslim)”.

Pelaku teror merasakan penderitaan saudara-saudara seimannya begitu

dekat dan nyata. Mereka ingin memperjuangkan hak-hak saudara seimannya

dengan melakukan perlawanan walaupun dengan kondisi lemah, baik lemah

iman, lemah organisasi, lemah daya tahan, maupun lemah persenjataan

(“Catatan Harian Seorang Teroris”, Tempo 13-18 Juni 2006). Mereka

meyakini, walaupun dengan penuh keterbatasan, hal yang dilakukan secara

Page 16: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

16

maksimal akan Allah hitung walau hanya “seberat dzarrah” sekalipun

(Samudra, 2004).

2. Meninggalkan Jalan Teror

Fink & Hearne (2008) mengungkapkan, bahwa terdapat beberapa istilah

dalam membahas proses seorang pelaku teror meninggalkan aksinya seperti

penggunaan istilah deradikalisasi, disengagement, dan rehabilitasi. Lebih

lanjut Fink dan Hearne (2008) menunturkan, bahwa perbedaan penggunaan

istilah tersebut tidak menjadi masalah karena pada intinya kesemua istilah

menggambarkan inisiatif untuk membujuk para pelaku teror atau anggota

gerakan ekstrim untuk meninggalkan ideologi dan cara kekerasan dalam

memperjuangkan tujuan-tujuan ideologis dan gerakan mereka.

Berbeda dengan Fink dan Hearne, peneliti lain seperti Gazi (2015)

menganggap bahwa terdapat perbedaan pengertian antara deradikalisasi dan

disengagement. Deradikalisasi lebih menekankan pada proses kognitif, yaitu

dengan menghilangkan ideologi yang menjadi basis hidup dan perjuangan

mantan pelaku teror dalam meraih tujuan pribadi dan kelompok dari alam

pikirannya. Sedangkan disengagement lebih berfokus kepada menghilangkan

cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan ideologi pada diri pelaku teror,

sekalipun mereka masih memiliki pemahaman jihad (Mujahid, 2018).

Pemahaman jihad cukup sulit hilang dalam diri pelaku teror karena

menegasikan jihad sama saja keluar dari Islam karena perintah jihad sendiri

tertuang di dalam al-Qur’an (Gazi, 2016).

Peneliti lain seperti Reinares (2011) sendiri menggolongkan

deradikalisasi kedala tiga komponen penting, yaitu deradikalisasi ideologi,

deradikalisasi tingkah laku, dan deradikalisasi organisasi. Deradikalisasi

ideologi mengandung makna perubahan pemahaman pada level ideologi,

deradikalisasi tingkah laku berarti perubahan pada level tingkah laku (yaitu

dengan menolak cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan), sedangkan

deradikalisasi organisasi bermakna pembubaran organisasi atau kelompok

teror (Reinares, 2011).

Page 17: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

17

Beberapa tokoh seperti Rabasa, dkk (2010); Horgan & Braddock (2010);

Morris, dkk (2010) mengungkapkan, bahwa belum ada program

deradikalisasi atau disengagement yang terbukti efektif dan berhasil dapat

mengubah pelaku teror menjadi pribadi yang secara penuh meninggalkan

ideologi kekerasan. Lebih lanjut Kruglanski, dkk. (2014) mengungkapkan,

bahwa perubahan yang terjadi hingga saat ini adalah pengurangan komitmen

terhadap penggunaan kekerasan dalam memperjuangkan ideologi. Karena

tidak mungkin ajaran dan perintah jihad yang tertuang di dalam al-Qur’an

hilang dari pikiran kaum jihadis (Gazi, 2016). Oleh karena itu keberhasilan

dalam menghilangkan paham radikal pelaku teror masih menjadi pertanyaan

besar, akankah dapat terjadi?

Bjorgo & Horgan (2009) mengungkapkan, bahwa jika patokan perubahan

tingkat radikalisme pelaku teror adalah perubahan ideologi, maka hal

tersebut hanya akan dapat terjadi apabila dikombinasikan dengan perubahan

tingkah laku ke arah damai serta memberikan intervensi untuk jaringan sisal,

kelompok, keluarga dan lingkungan pergaulan pelaku teror. Karena

sebenarnya hal yang lebih perlu diperhatikan adalah perubahan sikap dan

menolak penggunaan kekerasan dalam memperjuangkan ideologi (Sarwono,

2012). Para pelaku teror beranggapan, bahwa menegasikan jihad sama

halnya dengan keluar dari Islam, karena perintah jihad sendiri tertuang di

dalam al-Qur’an (Gazi, 2016). Oleh karena itu, hal yang lebih penting

dilakukan bukan merubah ideologi jihad pelaku teror, tetapi menghilangkan

sikap pro kekerasan dan lebih memilih jalan damai dalam memperjuangkan

ideologi.

Proses meninggalkan cara kekerasan dan beralih ke jalan damai dalam

mewujudkan tujuan kelompok walaupun tetap menganut ideologi jihad

disebut dengan disengagement (Fink & Hearne, 2008; Horgan, 2009;

Bjorgo, 2009). Fink & Hearne (2008) dan Bjorgo & Horgan (2009)

mengungkapkan, bahwa disengagement tidak selalu beriringan dengan

deradikalisasi, yaitu perubahan kognisi atau cara pandang yang radikal.

Disengagement lebih penting daripada deradikalisasi karena disengagement

Page 18: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

18

dapat terjadi tanpa melalui deradikalisasi, tetapi disengagement merupakan

prasyarat untuk memasuki proses deradikalisasi (Bjorgo, 2009; Horgan,

2009). Sehingga dapat disimpulkan, bahwa seseorang dapat meninggalkan

cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan ideologinya sekaipun dia masih

memiliki pemahaman teror.

Penelitian yang dilakukan Horgan (2009) kepada para mantan pelaku

teror sejak tahun 2006 hingga 2008 menunjukkan bukti, bahwa sebagian

besar mantan pelaku teror lebih tepat apabila dianggap sebagai individu-

individu yang mengalami proses disengagement daripada individu-individu

yang telah terderadikalisasi. Berdasarkan penelitian tersebut dapat

disimpulkan, bahwa mayoritas pelaku meninggalkan jalan teror tanpa

mengalami perubahan ideologi dan tanpa harus meninggalkan ideologinya

tersebut. Hal ini juga terjadi pada sebagian besar mantan anggota Jama’ah

Islamiyah di Indonesia (Imron, 2010). Mereka tidak akan pernah

meninggalkan ideologi jihad yang selama ini secara jelas tertuang di dalam

al-Qur’an.

Salah satu pelaku teror Bom Bali 1 dalam autobiografinya

mengungkapkan, bahwa dirinya meyakini pemahaman jihad yang tertuang di

dalam al-Qur’an dan masih menginginkan tegaknya khilafah, namun dia

tidak menyetujui penggunaan kekerasan dan teror dalam memperjuangkan

ideologinya tersebut (Imron, 2010). Lebih dari itu Gazi (2016)

mengungkapkan, bahwa penegasian jihad dapat membuat seseorang keluar

dari Islam, karena menolak sebagian dari isi al-Qur’an. Ajaran jihad yang

memiliki dasar kuat di dalam al-Qur’an membuat sebagian besar mantan

pelaku teror sulit untuk meninggalkan ideologi tersebut.

Hendropriyono (2009) mengungkapkan, bahwa pendekatan dengan cara

dialog beradab yang dibangun atas prinsip kearifan dan kebijaksanaan lebih

tepat digunakan dalam pengentasan masalah terorisme di Indonesia.

Melibatkan keluarga dan masyarakat juga dapat menjadi jalan alternatif

dalam program pengentasan terorisme (Gunaratna & Hassan, 2011). Karena

jika kesadaran masyarakat terhadap penanganan terorisme rendah bahkan

Page 19: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

19

jika masyarakat memusuhi pelaku teror yang ingin tobat dan ingin

memperbaiki kesalahannya, maka dapat membuat pelaku tersebut menjadi

residivis (Hakim & Mujahid, 2018). Demant, dkk. (2008) mengungkapkan,

bahwa hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan bekerjasama dengan

berbagai kalangan seperti tokoh agama, peneliti di bidang sosial dan

terorisme, hingga bekerja sama dengan media massa dalam pemberantasan

masalah terorisme ini.

Bjorgo (2009) lebih menekankan pada dinamika kelompok dalam proses

disengagement pelaku teror. Lebih lanjut Bjorgo (2009) membaginya

menjadi dua faktor, yaitu push factors dan pull factors. Push factors adalah

faktor-faktor internal kelompok yang membuat seseorang terdorong untuk

keluar dari kelompok teror. Push factors mencakup hal-hal negatif dari

kelompok dan hal yang tidak mengenakkan bagi pelaku yang ingin keluar

dari kelompoknya. Pull factors berisi peluang atau kekuatan sosial yang

menari seorang pelaku untuk melihat alternated lain di luar kelompok yang

lebih menjanjikan dan dapat dijadikan alternatif lain dalam memperjuangkan

ideologi.

Push factors membuat seorang pelaku teror merasa tidak nyaman berada

di dalam kelompok radikal. Hal tersebut dicontohkan oleh Gazi (2016)

sebagai perasaan tidak nyaman di dalam hati karena telah melakukan

pengeboman di rumah sakit, panti sosial, dan tempat ibadah. Kesemua hal

tersebut bertentangan dengan hati nurani pelaku teror dan dapat membuatnya

merasa kecewa kepada aktivitas kelompok. Horgan (2009) menambahkan,

bahwa faktor lain seperti kesenjangan antara harapan dan kenyataan,

kekecewaan kepada pemimpin dan kelompok, burn out, dan rasa malas

untuk melanjutkan perjuangan menjadi faktor lain dalam disengagement

pelaku teror.

Faktor afeksi seperti menyaksikan atau bahkan melakukan kekerasan serta

akibat yang ditimbulkan dari kekerasan menjadi faktor lain yang membuat

pelaku merasa ragu dengan keputusannya melakukan aksi teror (Choudhury,

2009 & Jacobson, 2010). Kekecewaan terhadap cara perjuangan yang

Page 20: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

20

digunakan akan memperkuat keyakinan mereka untuk meninggalkan

kelompok. Perasaan tersebut pada akhirnya akan membuka kognitif pelaku

teror dan dia akan menimbang ulang dan menafsirkan kembali paradigm

yang ditawarkan kelompok dalam memahami dunia dan memperjuangkan

ideologi mereka selama ini (Jacobson, 2010).

Pull factors merupakan hal-hal positif dan menyenangkan di luar

kelompok yang membuat pelaku bimbang dan pada akhirnya memutuskan

untuk meninggalkan kelompok teror dan memilih kelompok baru yang dia

rasa lebih menarik. Demant, dkk. (2008) mencontohkan pull factors sebagai

keinginan pelaku teror untuk berkeluarga dan hidup normal seperti

kebanyakan orang. Karena hidup normal dapat memberikan suatu kepuasan

dan makna tersendiri bagi pelaku teror (Bjorgo, 2009; Choudhury, 2009;

Horgan, 2009). Jika pull dan push factors ini dipelajari lebih lanjut, maka

pembuat kebijakan dapat mengembangkan program rehabilitasi pelaku teror

dengan lebih baik lagi.

Berbeda dengan Bjorgo (2009), Disley, dkk. (2012) lebih menekankan

pada ikatan sosial dalam proses disengagement pelaku teror. Ikatan sosial

yang positif dengan pihak luar akan dapat memperlemah ikatan dengan

kelompok dan pada akhirnya akan meningkatkan kematangan psikologis dan

merubah prioritas hidup pelaku teror (Disley, dkk., 2012). Ikatan sosial

positif dengan kelompok luar dapat terjalin dengan keluarga, lingkungan

pekerjaan, atau pendidikan pelaku teror yang bertentangan dengan kelompok

sebelumnya (kelompok teror). Hal senada dikemukakan oleh Horgan (2009),

bahwa keputusan meninggalkan jalan teror terjadi karena pelaku lebih

memprioritaskan masalah personal seperti menikah, memiliki anak, atau

melanjutkan studi seiring pertambahan usianya.

Mirahmadi & Farooq (2010) mengemukakan, bahwa deradikalisasi

berbasis sosial dan komunitas diperlukan untuk mempersempit ruang gerak

kaum radikal dalam menyebarkan pemahaman keagamaan yang radikal dan

ekstrim ditengah masyarakat. Karena pada hakikatnya, deradikalisasi sendiri

adalah proses sosial dan psikologis yang rumit dan panjang, dimana

Page 21: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

21

komitmen dan keterlibatan individu dalam organisasi kekerasan dikurangi

sampai batas tertentu sehingga mereka tidak lagi berisiko terlibat dalam

aktivitas kekerasan (Horgan, 2009; Jacobson, 2010; Kruglanski, dkk., 2014).

Mengurangi keterlibatan pelaku dalam organisasi kekerasan dan

meningkatkan interaksinya dengan masyarakat dapat memberikan kontribusi

terhadap proses rehabilitasi pelaku teror.

Garfinkel (2007) mengungkapkan, bahwa interaksi dengan figure yang

menjadi representasi musuh atau outgroup merupakan salah satu faktor yang

dapat merubah pelaku teror yang sebelumnya ekstrem kekerasan menjadi

lebih toleran dan pada akhirnya meningalkan jalan kekerasan dalam

memperjuangkan ideologi. Dalam penelitiannya Garfinkel (2007)

menggambarkan figure seorang pastor bernama James yang terkenal radikal

dan ekstrem. James sangat membenci Islam. Namun, cara pandang James

berubah saat dia diberi kesempatan untuk terlibat dan bekerjasama dengan

salah satu tokoh muslim dalam kegiatan penanggulangan masalah kesehatan.

Interaksi Pastor James dengan tokoh muslim ini menjadi salah satu kegiatan

Peace building dan kerjasama lintas agama (Garfinkel, 2007).

Solidaritas dan ikatan sosial dengan ingroup dapat menjadi penghalang

dalam proses deradikalisasi dan disengagement pelaku teror (Gazi, 2016).

Solidaritas cukup penting dalam mempertahankan kebersamaan kelompok

(Abudza, 2009). Pendapat ini didasarkan dari penelitiannya pada Jamaah

Islamiyah (JI) di Indonesia. Solidaritas dan jaringan yang kuat di kalangan

Jamaah Islamiyah umumnya terbentuk melalui persahabatan dan

kekeluargaan yang diperkuat dengan ikatan perkawinan yang strategis

(Abudza, 2009). Menikah dengan anggota keluarga ikhwan seperjuangan

dapat memperkuat ideologi dan keyakinan mereka pada kelompok. Mereka

kurang memperoleh perspektif baru mengenai jihad karena hanya

berinteraksi dengan kelompok serta kurang berinteraksi dengan orang di luar

kelompok. Mengembangkan ikatan sosial dengan outgroup diharapkan

menjadi salah satu cara dalam proses disengagement pelaku teror.

Page 22: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

22

Abudza (2009) mengungkapkan, bahwa penerimaan masyarakat pada

mantan pelaku teror menjadi faktor lain yang mendukung kesuksesan

disengagement. Gazi (2016) mengungkapkan, bahwa jika masyarakat dapat

menerima mantan pelaku teror dengan baik, maka mereka akan merasa

nyaman dan dapat menemukan ikatan sosial baru yang setara dengan ikatan

sebelumnya. Penelitian Hakim & Mujahid (2018) menunjukkan, bahwa rasa

bersalah dan kemauan yang kuat dari pelaku teror untuk meninggalkan

ideologi kekerasan tidakah cukup tanpa adanya lingkungan sosial yang dapat

mendukungnya hidup normal seperti manusia pada umumnya. Seorang

informan dalam penelitian Hakim dan Mujahid (2018) menjadi residivis dan

kembali terlibat dalam aksi teror karena kurang mendapatkan dukungan

sosial dari masyarakat tempatnya tinggal. Pelaku merasa tidak diterima di

masyarakat dan akhirnya lebih memilih kelompok lamanya, sehingga dia

tidak memahami bahwa terdapat perbedaan konsep jihad dengan mayoritas

outgroup (Gazi, 2016).

Garfinkel (2007) mengemukakan, bahwa hubungan interpersonal yang

positif dengan outgroupmenjadi faktor penting dalam proses meninggalkan

jalan teror. Perubahan seringkali bergantung pada suatu hubungan, yaitu

dengan seorang mentor atau teman yang mendukung dan menguatkan

tingkah laku damai pada pelaku teror (Garfinkel, 2007 dan Jacobson, 2010).

Oleh karena itu, perbedaan pemahaman mengenai jihad dari outgroup yang

dianggap sebagai mentor atau senior membuka perspektif baru bagi pelaku

teror yang selama ini memilih jalan kekerasan dan teror yang selama ini dia

pilih dalam memperjuangkan ideologi.

Hubungan dengan model peran, seperti mentor atau senior di luar

kelompok perlu menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan terkait

dalam proses rehabilitasi pelaku teror (Mujahid, 2018). Memutus mata rantai

dengan pemimpin dan kelompok radikal, memasukkan pelaku ke kelompok

baru, serta menghubungkannya dengan mentor atau senior yang memiliki

pemahaman jihad berbeda, diharapkan dapat membuat pelaku teror menjadi

Page 23: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

23

lebih moderat, memahami al-Qur’an secara kontekstual, serta dapat melihat

konteks sosial budaya dalam bersikap dan menjalani kehidupan sehari-hari.

Menjalin interaksi dengan outgroup dan memutus kontak dengan ingroup

akan mempercepat proses disengagement pelaku teror (Garfinkel, 2007).

Salah satu informan dalam penelitiannya bahkan memutuskan untuk

meninggalkan jalan teror karena mendapatkan empati yang tidak terduga

dari outgroup. Garfinkel (2007) mengemukakan faktor lain seperti

pengalaman trauma yang dialami selama menjadi anggota kelompok,

persepsi bahwa nilai dan keyakinan kelompok mengalami kegagalan, serta

mulai menyadari bahwa musuh atau lawan adalah manusia yang juga harus

dihargai dan dijunjung tinggi kehormatannya menjadi faktor lain yang tidak

kalah penting dalam proses disengagement pelaku teror. Proses

disengagement pelaku teror akan lebih cepat terjadi apabila pelaku

melakukan migrasi dari tempat yang menjadi basis organsiasi kekerasan ke

tempat yang mempromosikan perdamaian (Garfinkel, 2007). Memilihkan

lingkungan yang menentang aksi kekerasan menjadi pilihan tepat dalam

upaya rehabilitasi pelaku teror.

Jacobson (2010) dan Kruglanski, dkk (2014) menyimpulkan, bahwa

dinamika sosial disekitar individu berpengaruh besar terhadap pilihan

meninggalkan jalan teror. Misalnya, interaksi dan dialog dengan pihak

eksternal di luar kelompok akan membuka perspektif baru pelaku mengenai

jihad dan penggunaan kekerasan dalam memperjuangkan ideologinya

(Jacobson, 2010; Hwang, 2015). Berdialog dengan pihak lain di luar

kelompok akan membuat teroris memiliki pemahaman baru yang berbeda

dengan pemahamannya selama ini. Dengan mengetahui pemahaman orang

lain, diharapkan dapat merubah pola pikir dan sikap pelaku dari pro

kekerasan menjadi lebih moderat dan toleran kepada orang lain di luar

kelompok yang berbeda pemahaman dengannya.

3. Pemahaman Tafsir Pelaku Teror

Page 24: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

24

Al-Qur`an sebagai kitab suci dan pedoman bagi umat Islam diturunkan

dengan bahasa Arab. Tidak sekedar bahasa Arab biasa, namun bahasa Arab

dalam al-Qur’an memiliki kandungan sastra yang sangat tinggi (Hasan,

2018). Kandungan sastra yang sangat tinggi di dalam al-Qur’an ini pun

diakui oleh siapapun yang memiliki keahlian dibidang linguistik bahasa Arab

(Ibnu ‘Athiyyah, 2001), sehingga sampai saat ini tidak ada yang dapat

membuktikan bahwa al-Qur`an bukan kalam Tuhan (Daud, 2007). Untuk

memahami kandungan di dalam al-Qur’an, dibutuhkan berbagai instrumen

sebagai prasyarat untuk memahami al-Qur`an dengan benar (Hasan, 2015).

Sekedar penguasaan bahasa Arab tentu tidak cukup dan dipastikan akan

melahirkan pemahaman dan penafsiran yang naif (Ya’qub, 2010). Sehingga

diperlukan pemaknaan yang komprehensif untuk memahami ayat-ayat di

dalam al-Qur’an.

Kandungan sastra yang cukup tinggi di dalam al-Qur’an tidak jarang

membuat seseorang salah dalam menafsirkan ayat-ayat yang terkandung

didalamnya. Sumber kesalahan penafsiran secara teoritis oleh al-Sya>tibi

dikategorikan dalam kitabnya al-Muwafaqat, dalam tiga kelompok. Pertama,

al-Harfiyyun yaitu mereka yang memahami teks suci hanya sebatas bacaan

terhadap yang terlihat dari teks tersebut. Tanpa melihat ‘illah atau alasan dari

sebuah kesimpulan dari ayat tersebut. Atau dengan kata lain mereka

memahami al-Qu`an secara leteler tanpa memperhatikan konteks dari ayat

tersebut. Kedua, adalah kebalikan dari pada kelompok pertama. Dimana

kelompok ini lebih menekankan pemahaman berdasarkan apa yang terdapat

dibalik teks. Kelompok ini lebih dikenal dengan sebutan bathiniyyun.

Disebabkan mereka lebih memprioritaskan makna batin daripada makna

dhahir atau yang terbaca dari teks. Ketiga adalah kelompok rasionalitas atau

‘Aqlaniyyun. Dimana mereka hanya berlandaskan kepada rasio akal semata

ketika memahami teks agama. Akibatnya mereka menolak banyak ketetapan-

ketetapan Syariah yang dianggapnya tidak sejalan dengan akal manusia (al-

Sya>thibi, 1997).

Page 25: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

25

Berdasarkan uraian teori di atas peneliti menyimpulkan, bahwa

penyebab utama penyimpangan penafsiran yang dilakukan oleh para pelaku

teror secara umum berakar kepada kategori pertama. Dimana mereka

menafsirkan teks agama hanya berdasarkan kepada kajian linguistik semata.

Pelaku teror tidak mendalam dalam memaknai ayat-ayat jihad yang

terkandung di dalam a-Qur’an. Pemaknaan mereka terhadap al-Qur’an

cenderung dangkal. Mereka menjadikan literal dari sebuah teks sebagai satu-

satunya pemahaman dan mereka menganggap bahwa akal tidak mampu untuk

memberikan pemandangan di luar daripada apa yang terbaca dari teks.

Bahkan hanya sekedar memberikan pemaknaan terhadap ayat-ayat yang

terlihat salin bertentangan pun, menurut mereka akal tidak berhak (Abdillah,

2011). Pelaku hanya terfokus untuk mengimplementasikan ayat-ayat jihad di

dalam al-Qur’an tanpa melihat konteks sosial budaya tempatnya tinggal

(Sarwono, 2012). Mereka memahami, bahwa jihad adalah puncak kemuliaan

seorang muslim (Milla, 2009; Sarwono, 2012, Kruglanski, dkk., 2014).

Kemampuan bahasa saja tidak dapat dijadikan landasan dalam

penafsiran al-Qur'an. Al-Ghazali ketika mengomentari tentang pernyataan

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terkait larangan memahami al-Qur’an

hanya sekedar menggunakan akal rasio, ia menjelaskan bahwa diantara hal

yang harus dihindari seorang mufassir adalah tergesa-gesa dalam

menyimpulkan suatu makna yang terkandung dalam al-Qur’an hanya

berdasarkan kepada lahiriyah atau literal dari sebuah teks tanpa

mengkonfirmasi riwayat atau hal-hal yang terkait dengan teks tersebut. Jika

bahasa dijadikan sebagai satu-satunya rujukan dalam memahami al-Qur`an,

maka dapat dipastikan akan menghasilkan pemahaman yang salah (al-

Ghazali: ttp). Hal tersebut juga berlaku untuk para pelaku teror. Aksi teror

dapat berkurang jika semua calon pelaku lebih berhati-hati dalam

menyimpulkan sebuah ayat, termasuk ayat-ayat jihad di dalam al-Qur’an.

Jika para calon pelaku lebih mempertimbangkan lingkungan tempatnya

berada sebelum melakukan aksi teror, maka angka terorisme akan lebih

mudah ditekan.

Page 26: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

26

Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh al-Ghazali, Imam Ibnu

Taimiyah memberikan kritik keras kepada siapapun yang memahami al-

Qur`an hanya berdasarkan bahasa. Al-Ghazali menyatakan, bahwa siapapun

yang ingin memahami al-Qur`an harus memperhatikan tiga hal. Pertama

terkait siapa yang berbicara dengan al-Quran. Kedua kepada siapa al-Qur`an

itu diturunkan. Dan ketiga adalah untuk siapa al-Qur`an itu disampaikan. Jika

tiga hal tersebut atau salah satunya diabaikan, maka dapat dipastikan hasil

penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an menjadi tidak valid karena dianggap

memaksakan makna yang tidak terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an (Ibnu

Taimiyyah, 1995).

Ibnu Qayyim al-Jauzi, murid Ibnu Taimiyyah lebih tegas menyatakan,

bahwa hal yang harus dihindari dalam menafsirkan sebuah ayat al-Qur’an

adalah menghindari ekspektasi logika kebahasaan. Karena hal ini akan

menjebak mufassir dalam pemahaman yang salah terhadap maksud

kandungan al-Qur`an. (Ibnu Qoyyim, ttp).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah benang merah

bahwa penafsiran dan pemahaman teks agama yang hanya mendasarkan

kepada makna tekstual tanpa melihat unsur-unsur lain seperti asbabun nuzul,

konteks ayat, dan al-maqhoshid al-syariah, sebagaimana dilakukan

umumnya para pelaku teror, dipastikan akan menghasilkan penafsiran yang

kaku, inklusif, anti pruralitas, serta mudah menyalahkan pihak lain yang tidak

sepaham dengannya (Abdillah, 2011). Akibatnya para “jahadis” tersebut

mengatasnamkaan berbagai macam tindakan kekerasan dan teror atas nama

kitab suci dan petintah Tuhan.

4. Heuristic vs Sistematic Information Processing pada Pelaku Teror

Identifikasi masalah menjadi titik awal yang mengarahkan keputusan

pelaku untuk menggunakan cara-cara kekeraan dan teror dalam

memperjuangkan ideologi. Milla (2009) mengungkapkan, bahwa

mendefinisikan masalah, mencari informasi, solusi, evaluasi, dan seleksi

performansi sesuai dengan persepsi mereka. Mereka lebih memilih jalan

Page 27: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

27

kekerasan dan teror karena mempertimbangkan beberapa hal, yaitu

mempertimbangkan kemampuan dan sumber daya yang mereka miliki.

Mereka tidak memperdulikan keterbatasan-keterbatasan yang ada, seperti

keterbatasan persenjataan dan sumber daya lain (“Catatan Harian Seorang

Teroris”, Tempo 13-18 Juni 2006). Imron (2010) dan Sarwono (2012)

mengungkapkan, bahwa pelaku teror meyakini bahwa segala hal yang mereka

lakukan walaupun penuh dengan keterbatasan akan memberikan kontribusi

bagi hal yang mereka perjuangkan, sekalipun nyawa menjadi taruhan.

Model rasional terbatas dalam teori pengambilan keputusan dirasa tepat

untuk menjelaskan fenomena ini. Terdapat beberapa faktor yang menjadi

alasan dalam proses pengambilan keputusan pelaku teror ini, yaitu: informasi

yang tidak memadai mengenai duduk permasalahan dan kemungkinan solusi

dari masalah; keterbatasan waktu dan biaya untuk memperoleh informasi

secara lengkap; ketidakmampuan pelaku mengingat informasi dalam jumlah

banyak, serta keterbatasan intelegensi mereka (Milla, 2009). Kesemua hal

tersebut menjadi faktor yang membuat pelaku teror mengambil keputusan

yang cenderung instan, tidak komprehensif, dan tidak kritis dengan penuh

keterbatasan yang ada. Mereka tidak mengevaluasi keputusan penggunaan

jalan kekerasan dan teror dalam memperjuangkan ideologi.

Kahneman & Tversky (1982) mengungkapkan, bahwa pengambilan

keputusan dalam model rasional terbatas cenderung mengandalkan prinsip-

prinsip heuristic. Lau & Reslawsk (2001) mendefinisikan heuristic sebagai

sebuah upaya kognitif yang membuat individu merasa sangat ahli dalam

mengaplikasikan sejumlah informasi untuk membuat keputusan yang dirasa

masuk akal dengan jalan pintas dan dengan upaya kognitif seminimal

mungkin dalam segala aspek kehidupan. Hal tersebut diperparah dengan

kecenderungan individu untuk menolak informasi dari orang lain, memiliki

tingkat kepercayaan diri berlebihan, dan over estimasi terhadap frekuensi

peristiwa (Kahneman & Tversky, 1982). Hal tersebut terjadi pada diri pelaku

teror. Mereka memahami tafsir ayat-ayat suci al-Qur’an secara sepihak

dengan membabi buta ingin menegakkan ajaran agama Islam secara kaffah.

Page 28: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

28

Mereka tidak memperdulikan keterbatasan yang mereka miliki, baik

keterbatasan ilmu mengenai tafsir ayat-ayat jihad di dalam al-Qur’an,

keterbatasan informasi untuk mengakses dunia luar, maupun keterbatasan

persenjataan. Karena berpikir secara heuristic sendiri meningkatkan

kemungkinan terjadinya bias dalam penilaian (Lau dan Reslawsk, 2001).

Milla (2009) yang lebih menekankan dinamika kelompok dalam proses

radikalisasi pelaku teror menjelaskan, bahwa bias yang berlebih pada pelaku

terjadi karena kepercayaan awal yang berlebihan kepada kelompok teror.

Pelaku teror yang mengatasnamakan agama memiliki kepercayaan dan

doktrin-doktrin agama yang sangat kuat diyakini sebagai sebuah kebenaran

oleh para pengikutnya. Lebih lanjut Milla (2009) mengungkapkan, bahwa

pelaku teror dapat berpikir secara heuristic dan akhirnya memiliki pandangan

bias yang disebabkan oleh kombinasi antara kepatuhan mereka kepada

pemimpin yang dianggap telah memiliki kompetensi lebih serta tekanan

konformitas dari kelompok. Pada akhirnya, pelaku teror mengambil keputusan

secara heuristic, yaitu keputusan yang sesuai dengan norma kelompok. Pelaku

teror tidak peduli jika keputusan yang dia ambil ternyata bertentangan dengan

norma sosial yang ada di masyarakat.

Penjelasan di atas dapat digunakan sebagai acuan dalam melihat

konsekuensi dari keputusan kelompok teror. Milla (2009) mengemukakan,

bahwa konsekuensi dari keputusan kelompok dapat memberikan akibat yang

berbeda pada anggotanya, meskipun pada awalnya keputusan yang mereka

ambil dipersepsi sebagai keputusan berdasarkan pada norma kelompok.

Kenyataan berupa merodekekerasan dan teror yang selama ini mereka pilih

ternyata bertentangan dengan mayoritas manusia, bahkan bertentangan

dengan kaum muslimin yang mereka anggap sebagai saudara seiman yang

bahkan mereka bela mati-matian (Milla, 2009; Kruglanski, dkk., 2014).

Evaluasi metode ini yang pada akhirnya dapat menjadi pencetus bagi sebagian

pelaku teror untuk memutuskan keluar dari aksi kekerasan dan lebih memilih

jalan damai dalam memperjuangkan ideologi. Proses ini dalam konsep

Page 29: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

29

pengambilan keputusan disebut sebagai proses berpikir secara sistematis atau

sistematic information processing.

Chaiken & Ledgerwood (2012); Chen, Duckworth, & Chaiken (1999);

Dash, Meeten, & Davey (2013) mendefinisikan sistematic information

processing sebagai sebuah pemrosesan informasi yang dilakukan dengan cara

mengamati objek yang dituju dengan komprehensif, hati-hati, dan dengan

penyelidikan yang sangat intens. Terdapat tiga sifat sistematic information

processing menurut Chaiken dan Ledgerwood (2012), yaitu berpikir tentang

masalah, keinginan individu untuk mencurahkan perhatian, serta motivasi

individu untuk memproses informasi secara lebih sistematis. Tidak disebut

berpikir secara kritis jika tidak ada motivasi dalam pemrosesan informasi.

Dash, dkk. (2013) mengungkapkan, bahwa seseorang yang sedang cemas

cenderung untuk pemrosesan informasi secara lebih sistematis. Individu yang

bersangkutan akan memproses informasi secara lebih intes, hati-hati, dan

komprehensif dengan mencurahkan segala perhatian terhadap masalah yang

sedang dihadapi serta memilihi motivasi lebih terhadap hal yang membuatnya

cemas. Tanda seorang individu berpikir secara sistematis adalah berpikir

secara analitis dan terperinci mengenai informasi yang relevan dengan isu

yang membuatnya cemas. Pemrosesan informasi secara sistematis juga

digunakan saat individu merasa belum mencapai tingkat kepercayaan yang

maksimal dalam penilaian mereka mengenai hal yang dicemaskan (Dash,

dkk., 2013). Oleh karena itu individu berusaha menyiapkan informasi secara

detail sebagai bahan pertimbangan dalam setiap kemungkinan negatif atau

untuk mendeteksi adanya bahaya, serta untuk memastikan mereka akan dapat

mengatasi masalah yang dirasakan.

Fink & Hearne (2008) mengungkapkan bahwa pelaku teror mulai

meninggalkan jalan kekerasan dan teror dalam memperjuangkan ideologi

karena mereka mulai berpikir kritis dan mengevaluasi aksi teror yang selama

ini mereka lakukan. NA meninggalkan Jamaah Islamiyah karena mengalami

shock berat melihat korban-korban Bom Bali I di Indonesia (Gazi, 2016).

Choudhury (2009) dan Jacobson (2010) mengungkapkan, bahwa pengalaman

Page 30: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

30

individu pelaku teror dalam menyaksikan kekerasan atau melakukan

kekerasan serta menyaksikan akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan menjadi

momen penting yang memicu keraguan dan berlanjut kepada penyesalan

mereka telah berbuat teror. Jatuhnya korban yang tidak berdosa juga menjadi

faktor memicu lain yang membuka pemikiran pelaku teror dan pada akhirnya

ia memutuskan untuk meninggalkan jalan kekerasan dan teror dalam

memperjuangkan ideologi.

Jacobson (2010) dalam penelitiannya membahas mengenai salah satu

informan berinisial TH, salah satu anggota kelompok teror di Mesir yang

memutuskan untuk meninggalkan ideologi kekerasan. TH memutuskan untuk

meninggalkan cara kekerasan dan teror ketika dia diperintahkan oleh

pemimpin kelimpoknya untuk menculik dan membunuh salah seorang

petinggi polisi. Dia merasa bahwa hal yang dilakukannya tersebut adalah

sebuah kesalahan dan bertentangan dengan hati nurani. Sejak saat itu TH

mulai mengkritisi setiap aksi kekerasan dan teror yang pernah dilakukannya

bersama teman-teman satu organisasinya sampai pada akhirnya TH

memutuskan untuk keluar dari kelompok radikal (Jacobson, 2010).

Mengebom rumah sakit, panti asuhan, dan tempat ibadah sering kali

bertentangan dengan hati nurani pelaku teror (Gazi, 2016). Lebih lanjut Gazi

(2016) mengungkapkan, bahwa disengagement ditandai dengan proses

keterbukaan pikiran (cognitive opening) pada diri pelaku teror. Berdasarkan

uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa berpikir kritis tentang strategi teror

yang dipilih serta jatuhnya korban yang tidak berdosa dan bukan merupakan

target utama pengeboman dan teror menjadi faktor penting dalam proses

disengagement pelaku teror. Kedua hal tersebut menjadikan pelaku teror

berpikir secara kritis dan sistematis mengenai strategi teror yang selama ini

mereka pilih dalam memperjuangkan ideologi. Apakah mereka mengkritisi

pemahaman jihad yang selama ini mereka peroleh dari ayat-ayat jihad di

dalam al-Qur’an? Apakah mereka lebih mempertimbangkan konteks sosial

dimana dia tinggal sehingga memutuskan untuk meninggalkan aksi teror?

Apakah mereka lebih kritis dalam mencermati ayat-ayat damai di dalam al-

Page 31: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

31

Qur’an? Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dan

kekosongan pembahasan mengenai hal tersebut.

5. Kerangka Teori

Analisis mengenai pergeseran pemahaman ayat-ayat jihad pelaku teror

dapat sebagai bahan referensi dalam pembuatan kebijakan deradikalisasi dan

disengagrement pelaku teror, khususnya terorisme yang terjadi di Indonesia.

Karena menurut Fink dan Hearne (2008), kebijakan dalam rehabilitasi pelaku

teror harus sesuai mempertimbangkan konteks budaya masyarakat setempat.

Program rehabilitasi pelaku teror harus mempertimbangkan konteks budaya

masyarakat setempat agar program yang dibuat dapat dilaksanakan secara

efektif dan dapat meminimalisir kegagalan.

Milla (2009) menjelaskan, bahwa proses radikalisasi pelaku teror dimulai

karena mereka berpikir secara heuristic. Lau & Reslawsk (2001)

mengungkapkan, bahwa orang yang berpikir heuristic cenderung berpikir

dengan jalan pintas dengan upaya kognitif yang minimal. Pelaku teror merasa

tidak berhak untuk memaknai ayat-ayat jihad yang tekandung di dalam al-

Qur’an (Abdillah, 2011). Mereka memiliki kepercayaan dan doktrin-doktrin

ayat jihad agama yang sangat kuat diyakini sebagai sebuah kebenaran (Milla,

2009) tanpa mereka mau mengkritisi doktrin yang didapatkan tersebut

(Sarwono, 2012). Mereka menjadikan literal ayat-ayat jihad tersebut sebagai

satu-satunya pemahaman tanpa mempertimbangkan unsur-unsur lain seperti

asbabun nuzul, konteks ayat dan al-maqhoshid al-syariah.

Jatuhnya korban yang tidak berdosa dan sebagian besar korban adalah

representasi dari ingroup (yaitu kaum muslimin) membuat pelaku

mengevaluasi aksi teror yang selama ini mereka lakukan (Choudhury, 2009;

Fink & Hearne, 2008; Imron, 2010; Jacobson, 2010). Mereka berpikir lebih

kritis, terutama karena perjuangan yang selama ini mereka lakukan ternyata

ditentang oleh sebagian besar kaum muslimin (Milla, 2009, Harris, 2010).

Disengagement dan deradikalisasi terjadi karena pelaku mulai berpikir kritis

Page 32: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

32

mengenai aksi teror yang selama ini mereka gunakan dalam memperjuangkan

ideologi.

Chaiken & Ledgerwood, (2012); Chen, Duckworth, & Chaiken (1999);

Dash, Meeten, & Davey (2013) mengungkapkan, bahwa systematic

information processing membuat individu berpikir lebih komprehensif, hati-

hati, dan dengan penyelidikan lebih intensif terhadap permasalahan yang

sedang dia hadapi. Jika pelaku teror telah mempertimbangkan jatuhnya

korban yang tidak berdosa, konteks sosial dan lingkungan tempatnya berada,

serta melihat asbabun nuzul ayat-ayat jihad yang menjadi dasar perjuangan,

maka sejatinya mereka telah berpikir secara sistematis. Asumsi peneliti

adalah jika pelaku teror telah dapat mengevaluasi aksi jihadnya selama ini,

maka telah terjadi pergeseran pemahaman mengenai ayat-ayat jihad dalam

diri pelaku teror. Teori di atas memberi skema teoretik sesuai dengan gambar

sebagai berikut:

Page 33: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

34

Page 34: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

35

Berdasarkan skema teoretik di atas, maka pertanyaan utama yang diajukan

dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pergeseran pemahaman pelaku teror

terhadap ayat-ayat jihad di dalam al-Qur’an? Selain itu, terdapat sub pertanyaan

penelitian, yaitu

1. Bagaimana kehidupan pelaku sebelum, saat, dan setelah memutuskan untuk

meninggalkan paham teror dan kekerasan?

2. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi pelaku terorisme meninggalkan

paham teror dan kekerasan?

Page 35: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

36

BAB III: METODE PENELITIAN

G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian

kualitatif memiliki tujuan untuk memperoleh gambaran mengenai realitas

empirik dibalik suatu fenomena secara mendalam (Poerwandari, 2013).

Creswell (2014) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai metode untuk

mengeksplorasi dan memahami makna yang dianggap oleh sejumlah individu

atau sekelompok orang berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Secara

khusus, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara detail

dan mendalam mengenai pemahaman tafsir ayat-ayat jihad di dalam al-

Qur’an yang diyakini oleh mantan pelaku teror. Secara khusus, hal yang

digali adalah mengenai pemahaman tafsir mereka mengenai ayat-ayat jihad,

baik pemahaman tafsir mereka saat masih menganut paham teror maupun

setelah memutuskan untuk meninggalkan jalan teror dalam memperjuangkan

ideologi.

Peneliti memiliki beberapa alasan yang melatarbelakangi pemilihan

metode kualitatif sebagai rancangan dalam penelitian ini. Topik utama dalam

penelitian ini adalah pemahaman pelaku teror mengenai ayat-ayat jihad di

dalam al-Qur’an. Penelitian ini dilakukan untuk melihat dan menggambarkan

perubahan cara pandang pelaku teror terhadap ayat-ayat jihad dalam al-

Qur’an. Perubahan cara pandang tersebut peneliti asusmsikan dapat merubah

pelaku teror menjadi lebih lunak, toleran, dan moderat kepada sesamanya.

Pergeseran pemahaman mengenai ayat-ayat jihad di dalam al-Qur’an akan

membuat pelaku teror meninggalkan aksi kekerasan dan lebih memilih jalan

damai dalam memperjuangkan ideologi. Poerwandari (2013) mengatakan,

bahwa metode kualitatif dinilai dapat digunakan untuk memahami manusia

dengan segala kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam

kehidupannya, sehingga diharapkan dapat menjadi metode yang tepat dalam

penelitian ini.

Page 36: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

37

Pendekatan fenomenologi dianggap tepat digunakan dalam penelitian ini

karena fenomenologi menekankan pada deskripsi pemaknaan dari sejumlah

individu terhadap pengalaman hidup mereka terkait dengan konsep dan

fenomena (Creswell, 2014). Pengalaman individu pada satu fenomena

direduksi menjadi deskripsi tentang esensi atau intisari universal. Moustakas

(1994) menambahkan, bahwa deskripsi ini terdiri dari “apa” yang mereka

alami dan “bagaimana” mereka mengalaminya. Dalam penelitian ini akan

diungkap mengenai “apa” yang membuat informan keluar dari aksi teror dan

“bagaimana” pemaknaan mereka tentang ayat-ayat jihad yang terkandung di

dalam al-Qur’an.

Terdapat dua pendekatan dalam fenomenologi, yaitu fenomenologi

hermeneutika dari van Manen dan fenomenologi empiris, transendental, atau

psikologis dari Moustakes. Penelitian ini menggunakan pendekatan

fenomenologi dari Moustakas (1994). Fenomenologi transendental dari

Moustakas (1994) lebih menekankan pada deskripsi tentang pengalaman dari

para informan dan kurang berfokus pada penafsiran dari peneliti.

Fenomenologi Moustakas menekankan konsep dari Husserls, yaitu epoche

(pengurungan), yaitu dengan mengurung pengalaman dan pemikiran peneliti

sejauh mungkin agar memperoleh perspektif baru yang “segar” terhadap

fenomena yang sedang diteliti dari sudut pandang informan (Creswell, 2014).

Peneliti berusaha sekuat mungkin untuk mengurung pandangan mengenai

aksi kekerasan dan teror serta proses yang mungkin dilalui pelaku teror dalam

meninggalkan jalan radikal sebelum berproses dengan pengalaman subjektif

para informan penelitian.

H. Sumber Data

Jumlah informan dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara

tegas di awal penelitian. Poeweandari (2013) mengemukakan, bahwa seorang

peneliti kualitatif harus lebih mementingkan tercapainya titik jenuh daripada

memikirkan jumlah informan penelitian. Creswell (2014) mengungkapkan,

bahwa jumlah informan dalam penelitian kualitatif dengan pendekatan

Page 37: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

38

fenomenologi sekitar lima hingga 25 individu (Polkinghorne dalam Creswell,

2014). Penelitian ini melibatkan lima orang informan utama penelitian.

Kriteria pemilihan informan dalam penelitian ini telah ditetapkan sebelumnya

oleh peneliti, yaitu:

1. Pemerintah Indonesia memvonis informan terbukti terlibat dalam

kasus terorisme, baik di Indonesia maupun di negara lain

2. Informan dapat berbahasa Arab, baik aktif maupun pasif

3. Informan telah memutuskan meninggalkan jalan teror dalam

memperjuangkan ideologi.

4. Bersedia diwawancara dan dimintai informasi seputar pemahaman

teror yang pernah diyakininya dulu, proses disengagement, serta

pemahaman tafsir pelaku teror mengenai ayat-ayat jihad dalam al-

Qur’an.

Informan dalam penelitian ini adalah individu yang pernah terlibat

dalam aksi teror dan pengeboman di Indonesia. Umar Patek alias Umar

Arab alias Hisyam dijatuhi hukuman 20 tahun penjara atas keterlibatannya

dalam Bom Bali 1 yang ditangkap di Abbottabad, Pakistan. Pemerintah

Amerika Serikat pernah membuat sayembara satu juta dolar jika berhasil

menemukan UP saat masih menjadi buron. Ali Imron adalah adik kandung

dari Ali Ghufron dan Amrozi, Trio Bomber Bali 1. Mubarok adalah pelaku

lain dalam aksi Bom Bali 1. Ali Imron dan Mubarok telah dijatuhi

hukuman penjara seumur hidup. Narasumber utama lain adalah Ali Fauzi.

Ia pernah masuk dalam Akademi Moro Islamic Academic Front di Filipina

tahun 1994, menjadi kepala instruktur perakitan bom di Jamaah Islamiyah

tahun 1999 dan kepala instuktur milisi dalam konflik di Ambon dan Poso

tahun 2000.

Pemilihan informan dalam penelitian kualitatif didasarkan pada

kekayaan informasi dengan mempertimbangkan ketepatan dan adekuasi

dalam metode sampling (Fossey, Harvey, McDermott, dan Davidson,

2002). Pemilihan sampel dalam penelitian ini juga mempertimbangkan dua

hal tersebut. Strategi sampling dalam penelitian ini meliputi perluasan

Page 38: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

39

kelompok informan dan perluasan teknik pengumpulan data. Perluasan

informan dapat memunculkan informan tambahan yang memiliki

keterkaitan yang signifikan dengan informan utama serta berguna dalam

triangulasi data (Creswell, 2014). Informan tambahan dalam penelitian ini

adalah teman satu organisasi (teman amaliyat) dan mantan guru pelaku

teror.

I. Peran Peneliti

Peneliti dalam penelitian kualitatif tidak lain dijadikan sebagai alat

pengumpul data. Moleong (2011) mengemukakan, bahwa peneliti adalah

instrument sekaligus perencana, pelaksana, pengumpul data, analis, penafsir

data, dan pelapor penelitian. Peneliti terjun langsung ke lapangan untuk

melakukan wawancara dan observasi pada informan. Peneliti berusaha untuk

memahami perubahan penafsiran ayat-ayat jihad pada diri pelaku teror, yaitu

perubahan penafsiran sejak mereka memutuskan untuk terlibat dalam aksi

teror, hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk meninggalkan aksi

teror dan lebih memilih jalan damai dalam memperjuangkan ideologinya.

Peneliti berusaha untuk menangkap segala bentuk peristiwa, aktivitas, latar

belakang (konteks), dan perasaan serta memahami kesemua hal tersebut

sebagai bagian dari pencarian data penelitian. Smith (2009), mengemukakan,

bahwa peneliti harus terlibat secara simultan dalam pengumpulan data untuk

menghindari banjirnya data umum dan tidak fokus yang tidak mengarah pada

sesuatu yang baru.

Terkait dengan pemahaman ini, maka penelitian dimulai dengan

mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan umum tentang topik penelitian.

Peneliti mengumpulkan data tentang hal yang dikatakan dan dilakukan oleh

orang-orang yang memiliki pengalaman relevan dengan topik penelitian.

Latar belakang asumsi dan ketertarikan disiplin ilmu yang dimiliki

mengarahkan peneliti untuk mencari pokok persoalan dan proses tertentu

dalam data yang dimiliki. Selanjutnya, peneliti menggunakan konsep-konsep

tersebut sebagai titik tolak untuk merancang pertanyaan-pertanyaan

Page 39: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

40

wawancara, mencermati data, menyimak informasi, dan memikirkan data

secara analitis. Minat memandu peneliti dalam memberikan titik tolak untuk

mengembangkan gagasan dan bukan malah membatasi. Smith (2009)

mengemukakan, bahwa pada akhirnya peneliti membangun beberapa konsep

spesifik dengan cara mengkaji gagasan-gagasan yang dimiliki melalui

serangkaian tahap analisis dan mencermati data.

Posisi peneliti dalam penelitian ini memiliki kemungkinan menghasilkan

bias disebabkan karena peneliti adalah seorang muslim. Kemungkinan bias

juga dapat terjadi disebabkan peneliti menempatkan diri sebagai orang yang

‘memahami’ informan dan membangun hubungan dengan berbagai

pengalaman informan. Pengalaman peneliti di dalam berbagai aktivitas dan

organisasi dakwah Islam juga dapat menyebabkan bias dalam penelitian. Hal

tersebut dimungkinkan dapat membuat informan merasakan, bahwa peneliti

merupakan bagian dari kelompok mereka, yaitu dalam interaksi yang saling

memahami dan menerima.

Peneliti menyadari bias tersebut sejak awal. Oleh karena itu dalam proses

pengambilan dan analisis data, peneliti berusaha menjaga agar tetap objektif

dengan sering melakukan diskusi dengan peneliti-peneliti lain yang memiliki

fokus penelitian di bidang terorisme dan dengan rekan peneliti yang sama

sekali berbeda dengan kelompok informan, misalnya mereka yang memiliki

pandangan berbeda tentang penggunaan kekerasan dalam perjuangan dan

jihad atau mereka yang beragama non muslim.

J. Pengumpulan Data

Data dalam penelitian kualitatif dianggap kaya jika data tersebut dapat

mendetail, fokus, dan komprehensif mencerminkan fenomena yang diteliti.

Creswell (2014) mengemukakan, bahwa data dalam penelitian kualitatif harus

dapat menggambarkan pandangan, perasaan, harapan, dan aksi informan yang

berkaitan dengan konteks dan struktur (situasi) kehidupan informan. Data

yang diperoleh baik tertulis maupun tidak seperti foto, artikel, rekaman video,

dan berita dari media massa, baik cetak maupun online, dapat dijadikan

Page 40: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

41

sebagai data pendukung dalam penelitian ini agar kesemuanya dapat saling

melengkapi satu sama lain sehingga terbangun menjadi sebuah kisah

individual yang utuh menggambarkan informan baik sebelum maupun setelah

memutuskan keluar dari jalan teror dalam memperjuangkan ideologinya.

Kisah informan utama juga dilengkapi dengan ceita dari orang-orang terdekat

yang mengetahui sejarah mereka (significant others) secara langsung seperti

saudara kandung, mentor, maupun teman amaliyat informan utama.

Peneliti tidak hanya menggunakan satu teknik pengumpulan data, tetapi

memilih beberapa teknik agar dapat membangun pemahaman mengenai

fenomena secara kompleks dan untuk triangulasi data. Karena menurut

Fossey, dkk (2002), informasi dari berbagai sumber dapat digunakan untuk

memahami fenomena yang kompleks dan untuk meningkatkan kualitas data.

Data dari berbagai sumber tersebut dibagi menjadi dua, yaitu data primer

yang peneliti dapat dari informan utama dan data sekunder yang didapat dari

informan tambahan. Baik data primer maupun sekunder tersebut digali

dengan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Lebih lanjut, teknik

pengumpulan data tersebut meliputi:

1. Wawancara

Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara semi terstruktur. Smith (2009) mengemukakan, bahwa

kelebihan dari metode wawancara semi terstruktur adalah dapat

memberikan kesempatan kepada peneliti dan informan untuk terlibat

langsung dalam dialog, karena pertanyaan awal yang diajukan dapat

dikembangkan sesuai dengan jawaban yang diberikan informan. Kelebihan

lain dari penggunaan metode wawancara semi terstruktur adalah untuk

menghindari banjirnya data umum dan tidak fokus yang tidak mengarah

pada sesuatu yang baru. Oleh karena itu, peneliti harus terlibat secara

simultan dalam pengambilan data (Smith, 2009).

Peneliti membuat pedoman wawancara untuk mengingatkan aspek-

aspek yang harus ditanyakan sekaligus menjadi daftar pengecek

(checklist), apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau telah

Page 41: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

42

ditanyakan. Dengan pedoman tersebut, peneliti harus memikirkan cara

agar pertanyaan dapat dijabarkan dengan konkret dalam kalimat tanya,

tidak terkesan melompat-lompat, dan tetap menyesuaikan pertanyaan

dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. Peneliti memiliki

pedoman wawancara yang sangat umum dan hanya mencantumkan isu-isu

penting yang harus diliput tanpa harus menentukan urutan pertanyaan

(pertanyaan bersifat conditional).

Wawancara dalam penelitian ini menggunakan pedoman yang cukup

umum dan mendalam, dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai

pemahaman informan terkait tafsir ayat-ayat jihad, baik saat menganut

paham teror dan kekerasan dalam memperjuangkan ideologi, maupun saat

memutuskan meninggalkan paham teror. Peneliti melakukan wawancara

pada informan utama, baik informan yang masih berada di lembaga

pemasyarakatan maupun yang telah bebas. Wawwancara juga dilakukan

kepada teman amaliyat, mentor, dan saudara kandung informan utama.

Pertanyaan wawancara dalam penelitian ini meliputi pertanyaan tentang

proses pemahaman dan interpretasi, sikap, dan perasaan informan yang

bersifat netral. Selain itu, Poerwandari (2013) dan Smith (2009)

mengemukakan, bahwa pertanyaan untuk informan harus menghindari

istilah-istilah canggih, mudah dipahami, dan menggunakan pertanyaan

terbuka.

Tabel 1 Pertanyaan Wawancara

1. Proses bergabung dalam kelompok teror.

Pengalaman spiritual apa yang membuat Anda memutuskan untuk

melakukan aksi teror yang saat itu Anda sebut sebagai jihad?

Probing :

a. Ayat-ayat jihad apa saja yang membuat hati bergetar dan membuat

Anda merasa terpanggil untuk berjihad? Menurut Anda, mengapa

hal itu dapat terjadi?

b. Bagaimana proses Anda masuk dan mulai terlibat dalam aksi teror?

2. Meninggalkan aksi teror dalam memperjuangkan ideologi

Apa yang membuat Anda memutuskan untuk memaknai ayat-ayat jihad

di dalam al-Qur’an secara berbeda (jika dibandingkan ketika

memutuskan terlibat dalam aksi teror)?

Probing:

a. Mengapa Anda memaknai ayat-ayat jihad tersebut secara berbeda?

Page 42: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

43

b. Apasajakah ayat-ayat di dalam al-Qur’an atau hadist yang membuat

Anda memutuskan untuk tidak lagi melakukan aksi teror di negara

damai seperti Indonesia?

c. Bagaimana tanggapan Anda terhadap ayat-ayat jihad dibawah ini:

1) Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun

berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan

Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu

mengetahui (At-Taubah:41)

2) Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut

berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang

yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya.

Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan

jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada

masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik

(surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas

orang yang duduk dengan pahala yang besar (An-Nisa:95)

3) Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,

isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu

usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan

tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari

Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka

tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan

Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

(At-Taubah:24)

4) Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,

karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya

Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu (Al-

Hajj:39). Bagaimana dengan jihad defensive?

5) Pengulangan ayat “Barangsiapa tidak memutuskan perkara

menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah

orang-orang yang zalim” di Al-Maidah: 44, 45, 47

d. Bagaimana tanggapan Anda dengan firman Allah “Barangsiapa

tidak berhukum pada hukum Allah maka dia telah kafir”?

e. Bagaimana tanggapan Anda saat ini terhadap aksi “jihad” yang

dilakukan di Indonesia?

f. Bagaimana kehidupan Anda saat ini (setelah memutuskan untuk

tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan

ideologi)?

g. Bagaimana tanggapan orang-orang terdekat setelah Anda

memutuskan untuk meninggalkan aksi teror?

h. Bagaimana perlakuan teman amaliyat (ikhwan) saat ini kepada

Anda?

i. Adakah tokoh Islam yang mempengaruhi perubahan pemikiran

mengenai keputusan Anda meninggalkan jalan teror?

j. Bagimana pendapat anda terkait pembagian dar as-salam (daerah

perdamian) dan dar al-harb (daerah perang)

Page 43: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

44

k. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi Anda meninggalkan

jalan teror?

2. Observasi

Observasi dalam penelitian kualitatif penting untuk dilakukan karena dapat

memberikan gambaran mengenai lingkungan fisik maupun lingkungan

sosial informan utama (Poerwandari, 2013). Observasi dalam penelitian ini

dilakukan di lembaga pemasyarakatan tempat informan utama ditahan dan

di daerah tempat mereka tinggal sebelumnya. Pengambilan data pada

informan utama dilakukan di beberapa lembaga pemasyarakatan seperti di

Lapas Klas 1 Surabaya, Lapas Klas 1 Makassar, dan Polda Metro Jaya.

Peneliti juga akan melakukan observasi di lingkungan keluarga informan

untuk memperoleh gambaran lebih komprehensif mengenai informan

utama. Penggunaan metode observasi dalam pengumpulan data bermanfaat

untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman informan yang direfleksikan

saat wawancara ke dalam konteks sosial dimana mereka berinteraksi dan

memperoleh pengalaman tersebut dari lingkungan sosialnya (Creswell,

2014)

3. Dokumentasi

Dokumentasi yang dijadikan pendukung dalam penelitian ini adalah foto,

rekaman video, artikel, dan berita dari media masa. Dokumentasi ini

diperoleh dari berbagai sumber, baik informan utama maupun informan

tambahan seperti teman amaliyat, guru/mentor, dan saudara kandung

informan utama. Penggunaan data tersebut tentunya dilakukan atas

sepengetahuan dan izin dari informan utama, mengingat data tersebut

merupakan data yang sifatnya sangat pribadi.

K. Teknik Analisis dan Interpretasi Data

Langkah awal dalam penelitain dengan metode fenomenologi adalah

mempersiapkan wawancara dengan mempelajari kehidupan informan utama,

baik secara sosial maupun historisnya (Creswell, 2014). Peneliti membuat

pertanyaan wawancara seminimal mungkin. Penelti berusaha untuk memulai

Page 44: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

45

dengan membangun rapport dengan informan penelitian, yaitu dengan

mengajaknya berinteraksi secara informal dan bersahabat. Adakalanya satu

pertanyaan akan dijawab dengan kalimat yang sangat panjang oleh informan

penelitian, sehingga peneliti cukup menggali masing-masing point yang

diberitakan oleh informan tanpa perlu menyampaikan pertanyaan baru dari

pedoman awal wawancara. Peneliti tidak diperbolehkan memaksa informan

untuk menjawab pertanyaan dengan segera, tetapi memerlukan proses hingga

pada akhirnya semua hasil wawancara dapat terjalin dan dapat

menggambarkan satu penggal kisah kehidupan informan, yaitu prosesnya

dalam meninggalkan aksi teror dan perubahan penafsiran ayat-ayat jihad

mereka.

Langkah-langkah analisis data dengan menggunakan metode

fenomenologi yang akan peneliti gunakan sesuai dengan pendapat psikolog

Moustakas (1994). Peneliti memilih pendekatan Moustakas (1994) karena ia

memiliki langkah-langkah sistematis dalam melakukan analisis data dan

memiliki panduan yang jelas dalam menyusun deskripsi-deskripsi tekstual

dan struktural daripada pendekatan fenomenologi hermeneutika dari van

Manen (Creswell, 2014). Adapun langkah-langkah prosedural dalam

melakukan penelitian dengan pendekatan fenomenologis adalah sebagai

berikut:

1. Membuat transkip wawancara dengan mengesampingkan prasangka, bias,

dan bentuk-bentuk opini lain yang berkaitan dengan fenomena

(bracketing). Interpretasi ditunda selama mungkin agar peneliti dapat

masuk pada pengalaman subjektif informan, sesuai dengan “pandangan”

informan untuk dapat memahami arti dari hal yang dikatakan informan

lebih dari sekedar apa yang menjadi harapan peneliti akan hal yang ingin

peneliti dengar dan diucapkan informan. Dengan kata lain, peneliti harus

menjiwai dan berusaha merasakan hal yang dirasakan oleh informan

terkait fenomena yang diteliti. Peneliti harus mendengarkan rekaman hasil

wawancara secara keseluruhan dan berulang-ulang dilakukan agar dapat

memahami arti dari setiap pertanyaan, kalimat, kata, dan istilah dari

Page 45: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

46

pengalaman informan secara keseluruhan. Penggambaran unit untuk

mendapatkan makna dimulai dengan menganalisis kata, prase, kalimat,

paragraf, menyoroti berbagai pernyataan penting dari informan yang

menyediakan pemahaman tentang bagaimana dia menjalani fenomena

yang diteliti, serta memperhatikan isyarat komunikasi non verbal yang

signifikan dari informan.

2. Langkah selanjutnya adalah melakukan proses reduksi dengan bracketing

yang dilakukan dengan cara mengesampingkan hal-hal di luar fokus

penelitian yang berasal dari topik dan pertanyaan. Peneliti akan melakukan

analisis dengan melihat unit dari makna keseluruhan untuk menentukan

apakah respon dari informan dan apakah hal yang dikatakannya telah dapat

menjelaskan pertanyaan penelitian.

3. Memeriksa apakah terdapat penekanan atau penyebutan yang informan

lakukan berulang dan dirasa memiliki arti signifikan serta dianggap

penting untuk isu yang sedang diteliti.

4. Memilih makna yang relevan lalu menyusunnya dalam bentuk daftar.

Daftar makna yang telah selesai disusun kemudian dikelompokkan

berdasarkan makna yang relevan. Peneliti berusaha melihat sekali lagi

apakah terdapat beberapa hal dalam daftar yang telah disusun memiliki

tema yang sama sehingga dapat dimasukkan dalam satu kelompok yang

sama.

5. Menentukan beberapa tema sentral dari pengelompokkan makna yang

telah dilakukan. Setelah menyusun tema-tema sentral, langkah selanjutnya

adalah menuliskan ringkasan wawancara untuk setiap informan dan

menyusunnya dalam deskripsi fenomena secara individual. Proses ini

disebut dengan deskripsi tekstual. Dimana masing-masing individu

memiliki cerita pengalaman baik waktu, tempat, dan materi yang berbeda

namun harus dapat dipahami dalam keterkaian satu sama lain dalam

keseluruhan inner “world”. Apabila masih diperlukan data tambahan dari

informan, maka peneliti harus kembali ke lapangan. Modifikasi tema dan

ringkasan dapat dilakukan pada tahap ini.

Page 46: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

47

6. Tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi tema umum dan unik untuk

keseluruhan informan dari hasil pengumpulan data. Peneliti mencari tema

umum untuk keseluruhan informan berdasarkan variasi individual yang

ada. Mencatat adanya kemungkinan tema-tema yang unik untuk beberapa

informan, yang mungkin termasuk minoritas dari keseluruhan informan.

Variasi individual ini diperlukan sebagai tambahan dari tema general yang

telah ada.

7. Kontekstualisasi tema perlu dilakukan setelah tema umum dan unik

berhasil ditentukan. Hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah kembali

pada konteks keseluruhan dari proses semula tema tersebut muncul.

8. Penggabungan dari setiap ringkasan dilakukan agar dapat diperoleh esensi

secara akurat dari fenomena yang diteliti. Proses ini disebut struktur

invariant esensial. Dalam tahap ini, peneliti harus menggambarkan ‘dunia’

yang dialami oleh informan secara umum, kemudian menuliskan beberapa

perbedaan individual yang ada di akhir ringkasan. Peneliti harus berusaha

sekuat tenaga agar pembaca memiliki perasaan “Saya memahami dengan

lebih baik seperti apa fenomena tersebut bagi seseorang yang

mengalaminya” (Polkinghorne dalam Creswell, 2014).

L. Kredibilitas Penelitian

Hal yang tidak kalah penting dalam studi kualitatif selain teknik analisis

adalah cara menjaga agar penelitian dapat dikatakan kredibel. Karena

kredibilitas menjadi isu validitas dan menjadi penentu kualitas dalam

penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Poerwandari (2013)

mengemukakan, bahwa hanya dengan menjaga kredibilitas, orang yang tidak

berkecimpung dalam penelitian akan meyakini kualitas dari penelitian

kualitatif yang dilakukan. Moleong (2011) mengungkapkan, bahwa

kredibilitas penelitian adalah sebuah keadaan yang harus mendemonstrasikan

kebenaran nilai, menyediakan dasar agar dapat diterapkan dan memperoleh

keputusan akan konsistesi prosedur serta kenetralan dari temuan dan

keputusan-keputusan yang akan diambil.

Page 47: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

48

Beberapa hal yang akan peneliti lakukan untuk menjaga kredibilitas data

adalah:

1. Menggunakan aplikasi pengkodingan untuk mereduksi data, yaitu

menggunakan ATLAS.ti. Aplikasi ini mempermudah peneliti dalam

menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak

diperlukan, serta mengorganisir data sedemikian rupa, sehingga akan

didapat kesimpulan yang mudah dicerna, mudah dipahami, dan dapat

meningkatkan objektifitas penelitian.

2. Melakukan member checking, yaitu mengkonfirmasi data dan hasil analisis

pada informan penelitian (Creswell, 2014). Peneliti akan melakukan

konfirmasi atas analisis yang telah dilakukan terkait perubahan penafsiran

ayat-ayat jihad yang diyakini oleh mantan pelaku teror. Hal ini dilakukan

agar meminimalisir kesalahan dari interpretasi data yang telah dilakukan.

Data yang dikonfirmasi dalam penelitian ini adalah data wawancara

kepada mantan pelaku teror. Peneliti melakukan checking terhadap semua

informan penelitian dan tidak hanya dilakukan satu kali.

3. Triangulasi, yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi

sumber. Moleong (2011) mengungkapkan, bahwa triangulasi sumber

dilakukan dengan:

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara

b. Membandingkan hal yang dikatakan informan di depan umum dengan

apa yang dikatakan secara pribadi kepada peneliti

c. Membandingkan hal yang dikatakan informan utama dengan hal yang

dikatakan informan tambahan

d. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen terkait

4. Diskusi dengan peneliti lain yang memiliki topik peminatan dan topik

penelitian yang sama dengan peneliti guna mencapai kredibilitas data.

Mereka dapat membantu peneliti dalam mengklarifikasi data dan

penafsiran atas temuan yang diperoleh di lapangan. Pemaparan secara

terbuka pada peneliti lain juga memudahkan dalam penilaian, apabila data

Page 48: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

49

yang diperoleh telah melenceng dari fokus penelitian atau data-data

penting yang diperlukan justru terabaikan oleh peneliti.

Page 49: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

50

BAB IV: PEMBAHASAN

A. Deskripsi Mantan Pelaku Teror

1. Profil AI

AI atau Alik merupakan terpidana bom Bali satu yang sekarang

bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam rangka program deradikalisi. Setelah

ditangkap pada tanggal 13 Januari 2003, ia divosnis penjara selama hidup di lapas

satu Metro Jaya Jakarta Pusat. Saat wawancara dilaksanakan, AI telah menjalani

hukuman selama 17 tahun. Ia mengaku telah mengajukan keringan hukuman,

namun tak kunjung dikabulkan. Menurutnya, hal ini menjadi kekecewaan

tersendari baginya, setelah apa yang dilakukan dalam membantu pihak kepolisian

terkait program deradikalisasi.

Dilahirkan di Kabupaten Lapongan, tepatnya di desa Tenggulun, AI

bersama kakaknya, AG alias Mukhlas, dan Amrozi dididik dalam lingkungan

keluarga berlatar belakang Muhammadiyah. Selesai merampungkan pendidikan

di madarasah Aliyah Muhammadiah, AI menyusul kakaknya untuk belajar agama

di pesantren Ngruki, Sukaharja Jawa Tengah. Namun tidak seperti kakaknya yang

menamatkan pedidikan di Nguki dan sempat menjadi dewan pangajar, AI dengan

jiwa kelananya, teryata hanya bertahan di Ngruki beberapa bulan.

Sebagai Salah satu pelaku bom Bali, orang yang memiliki nama lalin Alik,

mengaku berafialiasi degan jaringan Jama’ah Islamiyyah atau JI. JI merupakan

pecahan atau bagian daripada Darul Islam atau DI/TII. DI merupakan penerus dari

negara Islam Indonesia yang didirikan oleh Karta Suwirya tahun 1949. Sesuai

pengakuannya, AI adalah generasi ke keempat dalam geniologi gerakan Jama’ah

Islamiyyah, setelah generasi ketiga Abu Bakar Ba’asir. Waktu itu kejadian bom

bali sebagai pemimpin atau amir JI. Namun Abu Abu Bakar Ba’asir sendiri

membantahnya dan lebih mengakui sebagai amir atau pemimpin Majlis Mujahidin

Indonesia (MMI).(Tempo 2002).

AI mengaku, bahwa ia terpapar pemikiran radikal untuk pertama kali

melalui buku-buku keagamaan dan surat menyurat dari kiriman kakaknya yang

Page 50: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

51

saat itu masih di Ngruki. Sang kakak, AG adalah salah satu pelaku teror bom Bali

yang divonis mati. Kekaguman AI terhadap sosok sang kakak (Milla 2009), pada

menghantarkannya bertemu dengan Jama’ah Islamiyyah dan berbaiat setia

dengannya. Di JI, AI mendapatkan berbagai pendidikan dan pelatihan

pengkaderan serta gemblengan pemahaman keagamaan sesuai pemahaman

jama’ah.

JI dengan jaringan internasionalnya, pada tahun 1991 berhasil mengirim

AI untuk belajar militer dan pertempuran di akademi militer mujahidin

Afghanistan. Menyusul kakaknya yang lebih dulu berada di Afghanistan.

Akademik militer dibentuk ketika terjadi jihad terhadap Uni Soviet yang

melakukan invasi ke Afghanistan dalam rentan Desember 1979 - Februari 1989.

Sesuai pengakuannya, di akademik militer tersebut, AI lebih banyak berlajar

materi militer dibandingkang belajar agama. Karena menurutnya, yang datang ke

tempat tersebut adalah kader-kader pilihan yang dianggap ilmu agamanya sudah

mapan. Sehingga tambahan ilmu agama hanya sebagai penguat dibanding ilmu

militer yang menjadi pokok pembelajaran.

Selama tiga tahun (1991-1994) AI mengeyam pendidikan militer dengan

empat materi utama kemiliteran. Meliputi; taktik, fiil engineering, weapon

training, map reading. Ia mengaku lulus dengan pangkat kemiliteran setara letnan

dua dan dididik sebagai pasukan komandos. Namun dikarenakan status

pendidikannya yang tidak resmi, AI tidak dapat membawa keluar catatan dan

dokumen terkait pendidikan militer sekertas pun untuk dibawa pulang. Seperti

pengakuannya, AI hanya mengandalkan kemampuan hafalannya terkait materi

dan rumus-rumus fisika dalam membuat bom dan bahan peledak. Bahkan dengan

bangga, ia mengaku mampu menuliskan kembali rumus-rumus tersebut dalam

buku yang sedang ia susun. Namun sayang ketika peneliti memintanya untuk

mendokumentasikan, ia menolak dengan alasan takut disalah gunakan pihak-

pihak yang tidak bertanggung-jawab.

Jumlah orang Indonesia yang ikut dalam pendidikan militer di Afghanistan

mencapai ratusan orang. Mereka dikumpulan dalam asrama pelatihan yang

Page 51: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

52

terpisah dengan orang-orang asing seperti dari Timur Tengah atau kebangsaan

lain. JI Indonesia dikumpulkan bersama JI dari Malaysia dan Singapura, ditambah

beberap utusan dari ikhwan-ikhwan Philipina, dan ikhwan Pattani, Thailand.

Mereka yang berasal Philipina dan Pattani, Thailand adalah bukan dari kelompok

JI, tetapi mendapatkan rekomendari dari JI. Mereka menginduk dalam bendera JI

selama masa pendidikan militer di Afghanistan. Dari sini terlihat bagaiamana

jejaring JI telah menyebar dan menjadi mentor militer di berbagai daerah konfik

di beberapa negara di Asia Tenggara.

AI sebagai lulusan angkatan ke Sembilan, mengaku memiliki kemampuan

strategi tempur, membuat bom dan aneka bahan peledak. Namun diakuinya, tidak

semua lulusan akademik militer Afghanistan, memiliki memampuan yang sama.

Namun menurutnya, minimal semua lulusan akademik militer Afghanistan

dibekali kemampuan membuat bom. Inilah yang kelak menjadi penyebab

maraknya pengeboman di Indonesia. Terutama kejadian teror bom Bali yang

dilakukan orang-orang seangkatan ketika di Afghanistan. Mereka diantaranya

adalah Umar Patek, Sawat, Imam Samudera dan AI sendiri. Para pelaku bom Bali,

umumnya adalah angkatan ke sembilan atau ke sepuluh, tutur Ali Imran.1

Terbongkarnya para pelaku terror bom Bali 1, menguak peran AI yang

sangat signifikan. Bahkan sesuai pengakuannya, dia termasuk orang yang banyak

mengkritisi rencana dan pelaksaan teror tersebut. Namun karena terikat dalam satu

kelompok jama’ah, ususlannya tidak mampu merubah kebutusan kelompok.

Apalagi setelah dikatakan ada restu dari pemimpin al-Qaida Usamah bin Ladin.2

Bahkan, menjelang pelaksaan teror, AI mengambil peran penting. Dapat

dikatakan dialah koordinator lapangan. Dia yang mensurve tempat, mengatur

pematik peledak, dan mengawal peledakan bom di Sari Club dan diskotik

1 Perbedaan penghitungan angkatan ini, menurut AI disebabkan adanya satu masa JI tidak

mengirimkan utusan untuk mengikuti pelatihan di akademik militer Afghanistan. Jika dihitung

dari setiap periode pengiriman, AI Cs adalah angkatan ke 10, namun jika dihitung dari utusan

yang dikirim AI Cs adalah angkatan ke 9.

2 Hal ini yang menguatkan adanya dugaan, bahwa pelaksaan teror bom Bali adalah aksi sepihak

yang dilakukan kelompok sempalan yang tidak direstui oleh jama’ah Islamiyyah.

Page 52: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

53

Paddy's, di jalan Legian, Kuta Bali, dan dia pula yang membawa bom jinjing ke

konsulat Amerika Serikat di daerah Renon, Denpasar Bali, dan meledakkannya.

AI ditangkap bersama Mubarak, di akhir tempat pelariannya di daerah

tambak sungai Mahakan, Kuala Pembuang Kalimantan Timur. Dalam

penangkapan itu, tidak ada perlawan, karena disamping kondisi terkepung dan

tidak ada celah baginya untuk melarikan diri, AI merasa sadar bahwa ia memang

bersalah. Penangkapan tanpa perlawanan, sempat membut ragu ketua tim

penangkapan dirjen Krimum sini Polda Metro Jaya, Bapak Karlo. Sehingga

beberapa kali AI ditanya tentang kebenaran dirinya. Seakan pihak kepolisian tidak

percaya bahwa yang ditangkap adalah benar korlap bom Bali 1, kenang Ali

Imran.

2. Profil JL

Peneliti mengenal JL dari seseorang yang lebih dulu sudah mengenal JL

dan pernah satu kelompok dengan pengajian JL. JL merupakan mantan napiter

kelahiran Demak dan tinggal serta dibesarkan di Klaten. Dia merupakan anak dari

enam bersaudara dari dua ibu yang berbeda. Ayah JL cerai dengan Ibu dari 3

kakak JL dan menikah dengan Ibu kandung JL kemudian dikaruniai 3 anak. JL

adalah anak pertama dari istri kedua ayah JL.

JL adalah napiter yang menjalani masa tahanan selama 3 tahun 4 bulan di

Mako brimob Jakarta dan mendapatkan Pembebasan Bersyarat (PB) di Lapas Klas

1A Semarang. Pertemuan dengan JL dilakukan di Solo di tempat JL bekerja di

sebuah kebun buah. JL merupakan lulusan SMK di Klaten dan lahir pada tahun

1992. Sebelum bersekolah di SMK, JL sudah memiliki pengetahuan dan

pemahaman tantang agama. Di sekolah SMK JL juga aktif dalam pengajian yang

diselenggarakan di sekolah oleh organisasi siswa. Meskipun demikian, JL tidak

hanya mengaji di sekolah. JL juga mengikuti pengajian di luar sekolah. Melalui

pengajian di luar sekolah itulah, JL mulai mengenal amaliyah-amaliyah jihad.

Sebagai remaja, JL mengaku memiliki ghirah/semangat yang besar untuk

memperdalam ilmu agama. Awalnya JL mengikuti kajian karena diajak oleh

Page 53: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

54

teman (JL. 78-79). Terlebih lagi, kajian yang diikuti JL di luar sekolah (Krapyak,

Klaten) banyak membahas dan mengkaji kitab-kitab terjemah dari Timur Tengah.

Pembahasan kitab pada awalnya membahas hal yang umum seperti kitab tauhid,

Kajian Kitab Bukhori Muslim (JL. 81), dan kitab-kitab lain karangan ulama

Timur Tengah.

“Kajiannya sebenernya sih pembahasan buku umumnya biasa sih

kayak tapi kan buku terjemahan dari Timur Tengah.” “Akeh sih, Judul e opo,

lali aku. Tapi rata-rata kebanyakan karangan Syaikh Al-Maghdisi karya

seperti itu lah, kalau kitab tauhidnya palingan itu punyanya kitab tauhid seng

seng apa..” (JL. 55-61).

Salah satu ustadz, Mus’ab Abdul Ghofar, yang menjuruskan ke persoalan

jihad merupakan penggemar Shaikh Al-Maghdisi seorang ulama dai Irak.

Menurut JL, Shaikh Al-Maghdisi memiliki pemahaman yang tidak terlalu keras,

hanya saja yang menyampaikan pemahaman atau yang menerima informasi yang

berlebihan (JL. 111-120). Menurut JL, pengajian yang dia ikuti sebenarnya

bersifat umum, namun lambat laun terjadi perubahan setelah mendapatkan

pengawasan dari intel. Terlebih lagi salah satu anggota pengajian yang berusia

paling tua, Antok, warga sukoharjo yang mengaku mantan NII dan memiliki

hubungan dengan Yusuf Qurdowi, memberikan pengaruh kepada JL dalam

amaliyat jihad di Indonesia.

JL mengaku bahwa pemahaman dia dahulu seperti pemahaman ISIS

sekarang. Dia mengaku tidak pernah ikut apa-apa namun hanya ikut-ikut dengan

Laskar Hizbah di Surakarta yang dipimpin oleh tersangka teroris yang tewas di

Sukoharjo, Sigit Qurdowi. Pada saat itulah, pemikiran JL sudah mulai mengarah

ke amaliyah jihad (JL. 125-150). Proses perubahan orientasi pemikiran tersebut

terjadi secara perlahan, tidak disadari (D2-JL-9: 18049-19033), dari mengaji

tentang tauhid sampai dengan pembahasan tentang gejolak, kondisi umat Islam,

dan peperangan di Timur Tengah (JL. 200-255). Simpati kepada umat Islam

(Afganistan, Palestina) dan adanya pembenaran pada beberapa pelaku jihad dari

Indonesia, memunculkan motivasi untuk ikut melakukan nahi mungkar meskipun

menurut JL pelaksanaan amaliyah yang ada di Indonesia bertentangan dengan hati

nuraninya. Misalnya, ketidaksepakatan dengan perayaan yang dianggap

Page 54: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

55

kesyirikan kemudian harus dicegah dengan meletakkan bom di tempat tersebut,

usaha pengeboman masjid karena dianggap masjid dhirar (JL. 330-331), masjid

pemerintah (Delanggu) dan pos polisi yang menjadi target sasaran. JL pada saat

ditangkap berusia 20 tahun, namun usia teman-teman kelompok pengajian JL

yang berjumlah tujuh orang ini semua masih tergolong remaja ada yang berusia

18 dan 17 tahun.

Pemahaman JL tentang jihad mulai berubah setelah menjalani masa

tahanan napiter. Di dalam tahanan, JL banyak bertemu dengan senior- senior

napiter seperti Abu Thalud dari JI (JL. 617-625) yang kemudian banyak sharing

tentang jihad dan mempengaruhi JL dalam memahami Jihad. Di dalam tahanan JL

juga aktif mengikuti kajian kitab yang diberikan secara umum untuk para napi

(JL. 645-655). Selain dari orang lain, JL juga berubah setelah melakukan

perenungan-perenungan pribadi (JL. 602-609), melihat berita, membaca buku-

buku, dan sampai sekarang terkadang mengakses video-video ceramah youtube

ustadz-ustadz di Indonesia seperti Adi Hidayat dan Gus Baha.

Perubahan pemahaman jihad yang ada pada JL seiring dengan perubahan

pemikiran JL tentang konsep jihad. Dahulu jihad perang dianggap sudah global

termasuk di Indonesia (JL. 526-529) dan menganggap pemerintahan di Indonesia

termasuk kafir dan bisa diperangi (JL. 579-580). Setelah menjalani masa tahanan

dan melalui perenungan, kini JL tidak lagi berpikiran seperti ddahulu lagi.

Menurut JL, persoalan pemahaman tidak bisa dihakimi begitu saja, itu menjadi

urursan individu, dan ada banyak pemahaman yang tidak bisa saklek (kaku),

sehingga meskipun tidak setuju untuk menghakimi atau menghukumi sesuatu

yang dianggap syikrik (misalnya praktik demokrasi di Indonesia). JL juga merasa

dahulu ketika mengaji tidak kritis dan hanya mendengar dan taat pada perintah

amir, hal itu yang disesali JL dan menjadikan pesan JL untuk generasi muda untuk

lebih kritis saat mengaji dan tidak hanya terpaku pada satu atau dua ustadz saja.

Aktivitas JL saat ini mejadi masyarakat yang menjalin muamalah dengan

semua orang serta menjalani pekerjaan pada tempat yang disediakan oleh

Densus88 di Surakarta. JL juga pernah memperoleh pembinaan dari BNPT

Page 55: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

56

melalui pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan antara lain di Solo (seperti

ketika ada pertemuan di Swissbell Hotel Purwosari).

3. Profil UP

Pertemuan dengan UP terjadi di ruang Keamanan dan Ketertiban Lembaga

Pemasyarakatan Klas 1 di daerah Jawa. UP merupakan pria keturunan Arab

berusia 55 tahun. UP memiliki seorang istri bernama R, wanita yang dinikahinya

di Camp Abu Bakar saat ia bergabung dengan organisasi MILF (Moro Islamic

Liberation Front), organisasi yang dinilai separatis dan illegal ingin memisahkan

diri dari Filipina. UP dan R belum juga memiliki keturunan hingga saat laporan

ini dibuat, walaupun pernikahan mereka sudah hampir memasuki usia perak. Saat

pertama kali bertemu, UP mengenakan baju biru dongker berkerah motif garis-

garis dan celana jeans. Kostum yang hampir sama, bahasa tubuh yang sama, serta

ekspresi yang sama selalu peneliti lihat saat berkesempatan membesuk UP di

waktu-waktu berkunjung selanjutnya. UP tergolong pribadi ramah dan dan

hangat dalam menjamu tamunya. Dia berkeyakinan bahwa menghormati dan

memuliakan tamu dengan menjamunya adalah kewajiban dari seorang muslim

yang baik.

Pertemuan selanjutnya peneliti didampingi oleh seorang laki-laki yang

bertindak sebagai co-researcher. UP terlihat sangat menyambut co-researcher -

tersebut dengan rangkulan dan pelukan seolah mereka adalah kawan lama yang

tidak pernah bertemu. Keakraban tersebut mungkin muncul karena co-researcher

secara penampilan tidak berbeda jauh dengan UP, seorang ikhwan berjenggot

lebat dan bercelana di atas mata kaki. Di pertemuan selanjutnya UP bahkan tidak

sungkan mencubit pipi co-researcher untuk mempererat kedekatan diantara

mereka. Kami sempat canggung karena selalu dijamu dengan makanan-makanan

khas Timur Tengah setiap kali berkunjung. Ketika jam makan siang tiba, kami

disuguhi sate ayam dari kantin yang UP kelola.

UP terlihat cukup antusias menceritakan prosesnya dalam meninggalkan

kelompok teror kepada kami. Hal itu terlihat dari inisiatif UP untuk tidak sholat

Dzuhur tepat waktu secara berjama’ah ketika wawancara sedang berlangsung,

berbeda dengan narapidana terorisme lain yang sering peneliti temui

Page 56: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

57

(W1.IU1.R.596-600), meninggalkan semua aktivitas ketika adzan berkumandang

untuk sholat jama’ah tepat waktu. Narapidana teroris di lapas lain tidak peduli,

aktivitas harus segera dihentikan saat adzan berkumandang. Bahkan tidak sedikit

dari mereka yang sudah berhenti beraktivitas beberapa menit sebelum waktu

adzan datang agar dapat mempersiapkan diri pergi berjama’ah di musholla lapas.

UP terlihat sudah lebih lunak daripada narapidana teroris lain yang pernah peneliti

temui. Dia menghargai kehadiran peneliti dan bersedia menunda waktu sholat

demi pengambilan data.

UP adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dia lahir di Desa Kahuman

(nama samaran) pada 20 Juli 1966. Masa kecil hingga remaja UP habiskan di

Kahuman. UP kecil lebih dekat dengan ibu daripada ayah (Mujahid, Yuniarti,

2018). Ibu digambarkan sebagai sosok yang selalu menanamkan nilai-nilai

keislaman dan mengajarkan kebersamaan antar anggota keluarga. Ibu selalu

mengajarkan kepada UP dan adik-adiknya untuk beribadah agar dapat berkumpul

bersama di surga kelak. UP menggambarkan sosok ayah sebagai pribadi yang

bertanggung jawab dan gigih mencari nafkah untuk keluarga, diantaranya dengan

menyewakan becak, berternak, berkebun, dan berdagang (Mujahid, Yuniarti,

2018).

Setamat dari SMA, UP izin kepada keluarga merantau ke Yogyakarta

untuk kursus komputer dan mencari kerja. Tidak disangka, di Yogyakarta, UP

bertemu dengan salah seorang tetangganya di Kahuman bernama DL. DL adalah

salah satu pelaku Bom Bali 1 yang ditembak mati oleh Densus 88 di Pamulang

Banten pada 9 Maret 2010. DL yang mengajak UP untuk ikut dalam sebuah

pengajian di Yogyakarta. Sejak di Yogyakarta, UP cenderung tertutup dari

keluarga, terutama berhubungan dengan masalah kelompok pengajiannya

(Mujahid, Yuniarti, 2018). Sepulang dari perantauan di Yogyakarta, UP meminta

izin kepada orang tua untuk merantau menjadi guru agama ke Brunei Darussalam.

Kejanggalan akan kepergian UP mulai keluarga rasakan sejak tidak adanya kabar

yang UP berikan. Ibu UP sering sakit memikirkan UP hingga meninggal tanpa

mengetahui keberadaan UP.

Page 57: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

58

Pada kenyataannya, UP tidak pergi ke Brunei Darussalam untuk bekerja

sebagai guru agama. UP diajak DL untuk pergi ke Malaysia menemui AD. AD

adalah salah satu pelaku utama dalam Bom Bali 1 yang telah dieksekusi mati pada

9 November 2008 di Lembah Nirbaya Nusakambangan. AD diketahui menjadi

pemimpin kelompok Jama’ah Islamiyah di Asia Tenggara, dan secara kedudukan

dalam kelompok teror, UP ada di bawah DL dan AD. AD memerintahkan UP

untuk pergi ke Pakistan dan Afghanistan untuk belajar ilmu kemiliteran dan jihad

di Akademi Militer Mujahidin pada tahun 1991. Setelah lulus tahun 1995 dari

akademi militer di Afghanistan, UP diperintahkan untuk kembali ke Indonesia

oleh AD. Namun UP menolak dan lebih memilih pergi ke Filipina untuk

bergabung dengan kelompok MILF yang menurutnya sedang memperjuangkan

kemerdekaan Bangsa Moro. UP menganggap bergabung dengan MILF sebagai

aksi jihad karena hanya ingin mempertahankan daerah kekuasaan kaum muslimin

dari orang kafir (quotation dengan ustadz Hasan.

Di Filipina, UP menikahi seorang wanita mualaf yang belajar ilmu agama

di Camp Abu Bakar. UP kembali ke Indonesia bersama istri saat pemerintah

Filipina mengkampanyekan perang total melawan MILF pada tahun 2000

(quotation dengan ustadz Hasan). Di Indonesia UP melakukan pengeboman di dua

tempat, yaitu Bom Malam Natal tahun 2000 dan Bom Bali 1 tahun 2002. Sejak

saat itu, UP menjadi buron yang paling dicari. Bahkan pemerintah Amerika

Serikat membuat sayembara penangkapan UP senilai 1 juta USD. Dalam masa

pelarian, UP membawa istrinya kembali ke Filipina. Di Filipina, UP kembali

bergabung dengan kelompok MILF. Namun ada yang mengganjal dalam pikiran

dan hati UP saat itu. Dia mencemaskan kondisi istri jika dia ditakdirkan mati

dalam perang (Mujahid, Yuniarti, 2018). UP cemas meninggalkan istri seorang

diri di negara yang berpenduduk katolik terbesar nomor dua di Asia. Hal itu

membuat UP memutuskan untuk pergi ke Afghanistan. UP menganggap, bahwa

Fatmah akan tenang hidup dan beribadah di negara tersebut jika dia ditakdirkan

untuk syahid berperang di sana quotation dengan ustadz Hasan.

UP di tangkap di kota Abbottabad Paksitan saat perjalanan menuju

Afghanistan (quotation dengan ustadz Hasan). UP diperebutkan oleh empat

Page 58: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

59

negara yaitu Amerika, Australia, Filipina, dan Indonesia. Amerika memburu UP

atas keterlibatannya dalam Bom Bali 1 dan karena ada pasukan tentara Amerika

yang dibunuh oleh kelompoknya (MILF) di Filipina (Mujahid, Yuniarti, 2018),

Australia memburu UP atas kasus Bom Bali 1. Filipina memburu UP atas

keterlibatannya dengan kelompok MILF, dan Indonesia memburu UP atas

keterlibatannya dalam Bom Bali 1, Bom Malam Natal, dan kasus pelatihan militer

Jalin Jantho (W1.IU1.R.58-66). Perebutan tersebut dimenangkan oleh pemerintah

Indonesia dan UP dipulangkan pada 11 Agustus 2011 (media). UP divonis terlibat

dan bersalah pada 21 Juni 2012 dan dijatuhi hukuman 20 tahun kurungan penjara.

Saat ini UP ditahan di lembaga pemasyarakatan kelas 1 di kota dekat keluarganya

tinggal.

Selama berada di lapas, UP sudah lima kali menjadi petugas pengibar

bendera dan menuai kontroversi. Bahkan tidak sedikit dari kelompok radikal

menganggap UP telah murtad dan kafir (Mujahid, Yuniarti, 2018). UP

menghabiskan waktu di lapas untuk bekerja. Dia bekerjasama dengan kantin lapas

untuk ikut mendistribusikan barang-barang kebutuhan sehari-hari di blok

tempatnya di tahan (Mujahid, Yuniarti, 2018). Selain berjualan kelontong, UP

juga memiliki kantin. Masakan andalannya adalah sate ayam yang sempat dicicipi

oleh kepala BNPT Suhardi Alius saat berkunjung ke lapas tempatnya ditahan

(Susilowati, 2017).

4. Profil YS

YS belum pernah melakukan aksi pengeboman di Indonesia. Dia terkena

UU Terorisme karena menyembunyikan bahan peledak yang awalnya dia pikir

akan gunakan di Ambon (D4:YS:81; 39:64572-65243).

Kepedulian terhadap Islam sudah terlihat sejak muda (D4-YS-30:50609-

51005). Menurutnya di partai politik maupun ormas yang ada seperti NU dan

Muhammadiyah belum ada askarinya, “kalau politik iya, PKU ha.. NU, Partai 4

tapikan tidak ada sisi askarinya tapi kalau hamas ada bentuk perlawanan partai,

ada perlawan, ada sisi, itu yang minimal jadi miniatur contoh kepengennya seperti

itu.” (D4-YS-71:87530-87736)

Page 59: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

60

Pencarian identitas YS dimulai dengan ditawari masuk HTI (D4-YS-

67:89735-90103)

B. Refleksi Pemahaman Jihad Pelaku Teror

Data dalam penelitian ini didapatkan melalui wawancara tidak terstruktur

(unstructured in-depth interview) kepada empat orang informan; AI, JL, UP,

dan YS. Interview dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan di mana masing-

masing informan berada (bagi yang masih dibina) dan ditempat informan

bekerja (bagi yang telah bebas). Data rekaman yang didapatkan dari proses

wawancara ini kemudian diubah menjadi bentuk verbatim melalui proses

transkripsi dan data verbatim ini kemudian di-coding-kan dan dieksplorasi

dengan menggunakan software ATLAS.ti versi 8.

Dalam proses analisis dengan software ATLAS.ti ini, peneliti menetapkan

tipe coding Conventional Content Analysis sebagai tipe coding (model

interaksi peneliti dan data untuk interpretasi) dengan melakukan pengcodingan

pada data AI sebagai initial coding untuk didapatkan gambaran code yang

dapat diaplikasikan. Initial Coding dilakukan secara induktif sehingga code-

code yang didapatkan dari proses analisis awal terhadap AI benar-benar code

yang emerge dari data mentah. Setelah code dari AI didapatkan, selanjutnya

dilakukan pengcodingan pada data-data yang lain, dan dilakukan kategorisasi

code berdasarkan kategori-kategori yang didapatkan dari AI. Apabila

ditemukan kategori baru yang ditemukan pada data selain kategori yang

didapatkan dari analisis data AI maka kategori baru tersebut dimasukkan dalam

pola akhir, sehingga pada akhir analisis selain didapatkan deskripsi dari

masing-masing data akan didapatkan pula pola akhir yang bersifat holistik

yang diekstraksi dari keseluruhan data dari semua informan. Model analisis ini

sesuai dengan model analisis Fenomenologi dengan model Stevick-Colaizzi-

Keen di mana prosedur yang disarankan adalah sebagai berikut:

Page 60: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

61

Gambar 1. Analisis Fenomenologi Stevick-Colaizzi-Keen

1. Informan Pertama – AI

a. I’dad

AI menjalani I’dad atau persiapan perang di Afghanistan. Disana, AI

berlatih militer dan berperang melawan Amerika. Identitas kelompok pada

diri AI semakin kuat saat menjalani i’dad ini.

“Ketika jihad Afghanistan itu mengumpulkan para jihadis dari

berbagai negara yah. Dari Indonesia kami ingin melawan Suharto.

Ketemu di Afghanistan. Dari Irak, ikhwan-ikhwan ingin melawan

Sadam, ketemu di Afghanistan. Dari Suriah, ikhwan-ikhwan ingin

melawan Hafid Hasad, bapaknya si Bashir Alsad ini, ketemu disana.

Dari Libya yang melawan Muammar Khadafi, ketemu. Dari Mesir

yang melawan Husni Mubarok, ketemu disana. Dari Saudi yang

melawan kerajaan Saudi yang pro Amerika, ketemu disana” (D1-AI-

38: 120858-121346)

Menurut AI, tingkat literasi (D1-AI-142:128708-129433) dan

kemampuan ikhwan-ikhwan dalam menyerap ilmu di akademi militer

Afghanistan cukup bervariatif (D1-AI-38; 21:7141-7690) dan tingkat

literasi berbeda-beda. Namun, berkat pendidikan militer yang diperoleh di

Afghanistan, AI dapat menjadi instruktur pelatihan konflik Ambon (D1-

AI-61:26576-27299). Identitas sebagai seorang mujahid menjadi semakin

kuat (Mujahid, Yuniarti, 2018) karena AI merasa bahwa dirinya bisa

menolong agama Allah dan bermanfaat untuk ikhwan-ikhwan di Ambon.

Dalam sesi pengambilan data pada AI, AI menceritakan kronologi aksi

bom bali dan perannya dalam aksi pengeboman tersebut (D1-AI-64:28517-

31193; 127:121349-121800; 67:31803-32432; 96:54560-55239; 65:31315-

Page 61: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

62

31461; D1-AI-44:19619-19915; D1-AI-53:23159-23361; D1-AI-48-

20890-20929; D1-AI-39:17812-18291;60:25930-26448; D1-103:73414-

74705). Menurut AI, Bom Bali terjadi atas perintah Osama bin Laden

kepada temannya, yaitu Hambali, “Langsung kata hambali, menurut…

menurut ijtihadnya Syeikh Osama bahwa diperbolehkan menyerang dan

itu hukum urusan kam… kami” (D1-AI-74:33639-33780; 75:33826-34024)

“secara kuantitas belum memenuhi jika harus konfrontasi dengan

pemerintah Indonesia. Sehingga memilih jalan teror untuk menunjukkan

eksistensi” (D1-AI-149).

Aksi teror di Indonesia, terutama di Bali juga terjadi karena desakan

senior-seniornya (JI lulusan akademi militer di Afghanistan) yang terlalu

menggebu-gebu untuk berjihad di Indonesia “Nah, kami selalu mendengar

bahwa senior-senior kami yang sudah lulus dari Afghanistan yang pulang

terutama ke Indonesia selalu menuntut jamaah ini, kapan kita mulai

jihad?” (D1-AI-22).

Penyebab lain dari ledakan Bom Bali 1 adalah adanya barisan sakit hati

kepada pemerintah (D1-AI-175-188590:189534) dan ini dibenarkan oleh

YS (D4-YS-29:49505-50243). Hal itu dibenarkan oleh informan keempat,

yaitu YS. Pemerintah Indonesia di zaman orde baru dianggap telah

melakukan diskriminasi kepada para ulama yang berbeda dengan

pemahaman penguasa (D4-YS-26:46742-46875).

Dari awal AI tidak setuju atas aksi pengeboman di Bali (D1-AI-

1:408:784)

“Ketika pamitan pulang inilah saya sampaikan ke Amrozi. Zi,

tolong disampaikan ke Mukhlas, menurut saya ayo dibatalkan.…..

Kalau jadi nanti tambah nggak karu-karuan. (tapi) Amrozi, Amrozi

lapor ke Mukhlas, apa jawabannya, “ah… nggak ada urusannya,

terus aja! (tidak digubris).” (D1-AI-98:60294-60819)

Hal yang ditekankan AI terkait aksi Bom Bali bahwa yang melakukan

aksi tersebut bukanlah dari organisasi JI secara resmi, melainkan oknum JI

(D1-AI-162:141822-142198; 163:142326-142916; 168:147244-148297).

Mereka ter-brain wash oleh amir, misalnya dengan doktrin bahwa amalan

Page 62: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

63

yang dapat menghapuskan dosa besar tidak lain hanya dengan jihad (D1-

AI-98:70871-72319). AI merasa bahwa kenakalannya ketika masih remaja

dapat terhapuskan dengan jihad (Milla, 2009). Dia menebusnya dengan

taat dan patuh pada perintah jamaah agar bisa menebus kesalahan di masa

lalu.

b. Pemahaman Keislaman dan Tingkat Literasi AI

AI merupakan asatidz di pondok pesantren milik keluarganya di

Lamongan(Milla, 2009). Dia terinspirasi ingin menjadi ustadz yang hebat

seperti kakaknya, yaitu Ali Ghufron (Mujahid & Yuniarti, 2018). Namun,

berdasarkan hasil wawancara, tingkat literasi AI masih dibawah YS

(informan keempat dalam penelitian ini) (D1-AI-141:128112-128660).

Tafsir yang biasa digunakan AI dan YS adalah tafsir dari Ibnu Katsir (D1-

AI-138:126964-127151; D4-YS-52: 73456-74127).

Ketika diajukan pertanyaan lebih lanjut terkait dengan ayat yang

dijadikan sebagai motivasi dalam berjihad, AI menyebutkan surat di At

Taubah. Namun, tafsir dalam at-Taubah ini menurutnya hanya dapat

diberlakukan di medan tempur, bukan untuk membuat teror di negara

damai. Selain itu, AI beranggapan bahwa seorang muslim harus bijak

dalam menggunakan ayat, terutama ayat jihad dengan melihat asbabul

nuzulnya (D1-AI-132:124685-125833).

c. Evaluasi Aksi Teror

AI merasa bahwa aksi teror di Bali tidak sesuai dengan syari’at dan

hanya berdasarkan pada hawa nafsu (D1-A1-84:42141-42271; 85:

42288:42762) terutama hawa nafsu IS, coordinator lapangan dalam Bom

Bali 1 (D1-A1-92:49114-49303; 93:51212-51995; 94:53550-53866;

87:44805-45080). Menurutnya, jihad tidak boleh hanya berdasarkan pada

hawa nafsu sesaat (D1-AI-124:118331-119253). Bom Bali ini disusun

bukan dengan perencanaan matang d1-AI-112:91828-92530) dan hanya

berdasarkan pada emosi sesaat (D1-AI-123:117651-118329.

AI merasa bahwa jihad di Indonesia cenderung memaksakan diri (D1-

AI-78:36450-36655). Lebih lanjut AI menyampaikan bahwa jihad yang

Page 63: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

64

dilakukan bersama teman-temannya ini bukan karena Allah (D1-AI-

123:117651-118329), “Kan saya itu berprinsip seperti ini yah, ketika kami

ditangkap berarti kekalahan. Ketika kekalahan pasti jihad itu ada

kesalahan, itu prinsip saya” (D1-A1-116:106061-106502). Dia merasa

kelu dan aneh pasca pengeboman, “Saya nggak bisa, saya waktu itu

simpulkan apakah karena keraguan saya? Sehingga menjadikan kelu.

Waduh, makan saja nggak bisa gitu. Bukan berarti grogi” (D1-AI-

107:87985-88422). Aksi pengeboman tersebut bertentangan dengan hati

nuraninya.

Sedari awal, AI memang telah menentang aksi pengeboman di

Indonesia (D1-AI-89:46169-46554; 88:44969:45079; 97:59673-59940),

terutama di tempat-tempat ibadah seperti di gereja, “Fiqih jihad terutama

adab jihad kan kita nggak boleh menyerang tempat ibadah. Kenapa kita

merencanakan pengeboman di gereja, di malam natal dibeberapa kota di

Indonesia” (D1-AI-71:33108-33275).

Keraguan AI pada aksi yang telah dilakukannya tersebut semakin

menjadi ketika dia melihat banyak teman-temannya yang ikut menjadi

korban penangkapan densus 88 padahal mereka tidak terlibat secara teknis

(hanya menjadi tempat tumpangan menginap saat pelarian(D1-AI-85:

42288-42762)-karena dana terbatas(D1-AI-112:91828-92530)).

Saat dalam pelarian, AI juga memikirkan keluarga yang dia tinggalkan

di rumah:

“Bapak sakit dan hanya ibu yang mengurusi. Tidak bisa

membantu mengurusi bapak, malah sibuk ngebom, “Bapak kamu,

bapak kalian sakit nggak diurusi. Ibu kalian suruh ngurusi sendiri

kalian malah tinggal ngebom disana” (D1-A1-119: 114298-114651;

118:114830-115052)

Evaluasi juga terus dilakukan AI, salah satunya dengan melakukan

kontak dengan outgroup. Kontak dengan outgroup yaitu polisi dapat

membantu upaya rehabilitasi pelaku teror (Mujahid & Yuniarti, 2018). AI

Page 64: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

65

mencontohkan salah satu kasus unik yang mengguncang pikiran takfiri dan

pada akhirnya mengevaluasi aksi jihad yang selama ini dilakukannya,

“Bahkan ada Densus 88 itu, yang meninggal itu dzikir waktu

setelah salat maghrib di Masjidil Haram. Kan, berarti itu

menandakan khusnul…Khusnul khatimah. Bagaimana kita

mengkafirkan mere… mereka?” (D1-AI-158:139654-139902)

Kontak dengan outgroup / tokoh dari kelompok lain juga terlihat salah

satunya ketika dia mengutip pendapat ulama dari kalangan outgroup yaitu

Syaik Ali Jaber (tidak mengkafirkan ulama di luar kelompok jihad) (D1-

AI-157:138743:139053). Kontak dengan outgroup dan melihat tokoh

ulama dari kelompok lain memang terbukti dalam penurunan menurunkan

paham teror _______.

d. Pandangan Jihad AI setelah Refleksi Kasus Bom Bali 1

Informan berpegang dengan pemahamannya atas al-Quran terkait cara

berjihad. Baginya, jihad hanya dapat dilakukan di medan perang (D1-AI-

77L35969-37154). Namun, implementasi ayat jihad hanya diberlakukan di

front jihad / negara konflik, tidak dapat diberlakukan di negara damai (D1-

AI-131:123941-124982) dan tidak layak dilakukan saat ini (D1-AI-

151:133719-134139). Lebih lanjut AI menjelaskan bahwa jihad tetap

harus mempertimbangkan adab dan tidak boleh serampangan (D1-AI-

81:38591-39001).

Jika terbuka medan jihad di Indonesia, AI ingin lebih hati-hati dan tidak

gegabah seperti dulu, seperti dengan menginduk pendapat ke ulama, “Jadi

istilahnya semaksimal mungkin untuk mengikuti para ulama…… Misalkan

di Muhammadiyah siapa yang dianggap ulama.” (D1-AI-154: 135396-

135800). AI tidak ingin mengulangi kesalahannya kembali sekalipun

pemerintah Indonesia belum menerapkan syariat Islam secara menyeluruh.

Baginya walaupun syariat Islam belum terwujud secara kaffah di

Indonesia, namun masih terdapat kebaikan dari pemerintah Indonesia (D1-

A1-156:137933-140338). Menurutnya banyak syariat Islam masih

Page 65: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

66

diberlakukan di Indonesia. Presiden dan wakilnya juga masih seorang

muslim (D1-AI-155:136835-137780).

Saat ini AI beranggapan jika ada oknum pemerintahan yang berbuat

dzolim, maka cara menegurnya adalah dengan lisan. Bukan dengan

pengeboman atau aksi teror. “Kan jadi, dari jihad yang agung itu

menyampaikan. Kalau dianggap pemerintahan ini dzalim, sampaikan

dengan mulut”. AI tetap akan berpikir matang terkait aksi jihad sekalipun

front jihad telah dibuka

e. Pertanggungjawaban Moral AI

Keraguan dalam diri AI terkait aksi teror yang dilakukannya bersama

kelompok membawanya untuk mengakui kesalahan dan menyesali aksi

tersebut (D1-AI-1:4408-784). Untuk menebus kesalahan dan perasaan

bersalahnya, AI selalu kooperatif pada pemerintah dan aparat penegak

hukum (D1-AI-122:117011-117649) dengan kampanye kontra terorisme,

“Saya tularkan kepada generasi (muda/Ikhwan-ikhwan mujahidin) jangan

sampai kita itu hanya mengikut.” (D1:AI:144; 145: 130872-131024;

146:130850-131139).

2. Informan Keempat – JL

a. Pemahaman Saat Masih Menganut Paham Teror

Sikap JL dahulu lebih keras, “Dulu ya lebih keras. Pemahamannya

dulu itu kalau sekarang ISIS” (D2-JL-6:15065-15303). Dia dahulu

memiliki kebencian yang teramat besar terhadap pemerintah dan

menghukumi demokrasi sebagai sesuatu yang haram (D2-JL-15:24126-

24252). JL juga over generalisasi kepada orang lain yang berbeda

dengannya: “Kalau demokrasi ini syirik berarti kan orang yang di

dalamnya otomatis……. maksude kaya wong umum “Wes pemerintah ki

opo marahi sengsara wong cilik” (D2:JL:36) Sikap over generalisasi ini

juga ditunjukkan JL dengan menafsirkan ayat-ayat di dalam al-Qur’an

tentang kekafiran dibawa ke ranah pemerintahan dan demokrasi

(D2:JL:14:23150-23392).

Page 66: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

67

Sikap keras dan doktrin takfiri membuat JL lebih mudah menghukumi

bahwa mengambil harta orang kafir sebagai hal yang halal dilakukan

(D2:JL:23:35638-36372). Bagi JL, puncak perjuangan adalah kematian

ditangan taghut, “Yo perjuangan, puncak perjuangane yo meninggal iku

mau wes mati ditembak densus wes ngono ae” (D2-JL-20:33613-33704).

Baginya, tidak ada cara lain yang lebih mulia dari menegakkan syariat

Islam dengan melawan kemungkaran. Kegiatan syirik harus dihilangkan

(nahi mungkar) (D2-JL-10:19224-20241).

Doktin takfiri dan haramnya demokrasi didapatkan JL dari kajian

tertutup yang hanya dihadiri JL beserta teman amaliyah (D2:JL:12:

22519-22677). Dia juga terinspirasi dengan trio bomber Bali dan konflik

di Timur Tengah (D2-JL-11: 20680:21451). Bagi JL, saat itu jihad global

sudah dapat dilakukan di Indonesia, “Jihad ini udah jihad global

pokoknya dimanapun tempatnya yo pokokmen oke ngono dulu” (D2-JL-

18:32973-33130). Ketika ditanya lebih lanjut, ayat yang digunakan untuk

mendoktrin JL dan teman-temannya adalah al-Maidah (D2-JL-13:22679-

23148).

b. Pemahaman Keislaman dan Tingkat Literasi

JL sudah mulai belajar ilmu agama sejak kecil. Namun tingkat literasi

terkait ayat-ayat jihad masih cenderung kurang (D2:JL:31:45285-45919;

44:63555-63961). Hal ini terlihat dari kurang JL dalam menyebutkan buku

bacaan dan karya ulama yang dijadikan referensi teror dengan

mengatasnamakan jihad (D2:JL:1: 12478-12657; 2:12302-12409). Kajian

yang pernah diikuti JL adalah kajian kitab bukhori muslim

(D2:JL:1:13485-13618) dan kitab Tauhid Syekh Al Mahsari

(D2:JL:1:49279-49688)

“Jadi membaca kitab karangannya siapa Syekh Al Maghdisi

atau Syekh Ibnu Taimiyah, atau Syekh Abdul Lahab terjemah, saya

terjemahkan, saya sampaikan kan gitu. Opo namane cuma opo kan

istilahe kajian umum. Ya bahas ya secara umum saja, kan tauhid

iki. Pemahamannya dulu sebenere demokrasi juga syirik gitu juga

(dibahas)” (D2:JL:1: 54894-55431).

Page 67: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

68

JL menuturkan bahwa dia tidak begitu menguasai kitab karena i’dad

yang lebih ditekankan daripada belajar kitab. pendapat. JL

mengungkapkan bahwa karya al-Maghdisi masih bersifat umum dan bukan

merupakan rujukan utama dalam melakukan aksi:

“Itu gak terlalu keras sih sebenarnya untuk apa penjabaran

dalilnya itu lho, jihadnya itu, dia gak terlalu keras dia lebih

melihat waqi’ nya, gak terlalu grusa grusu maksud saya, Cuma

kadang orang yang nerima (yang menafsirkan) aja yang terlalu

(keras)” D2-JL-5:14540-15006)

Saat ini JL lebih terbuka dan tidak mudah membenci orang lain yang

berbeda pemahaman dengannya. Kajian yang dia ikuti adalah kajian umum

dari internet, “Kadang Adi Hidayat kadang Gus Baha’, kadang Ustad

Somad. Yang umum-umum lah” (D2-JL-28:40040:40259).

c. Evaluasi Aksi Teror

Pertentangan dengan hati nurani ketika ngebom di Yaqawiyu (D2-JL-

10:19224-20241) dan harus mengebom masjid Dhirar (D2:JL:16:24357-

24939) dan merenung (D2-JL-30-45190-45283). JL juga mengevaluasi

aksi teror yang dilakukannya semenjak dia tertangkap oleh Densus 88 (D2-

JL-23:35638-36372). Dia kecewa dan mengakui aksi yang dilakukannya

dahulu sebagai sebuah kesalahan,

“Kekecewaan sih ada, maksudnya kecewa karena kesalahan

yang saya lakukan tadi dalam arti kesalahan pemahaman tadi ya

biarpun gak semua ya maksude gak semua pemahaman yang dulu

saya salahkan enggak. Ya menyesal juga karena lha kok dadine

ngene ya itu perenungan pas di dalem begitu saya kok jadine

seperti ini ya……sampai perenungan itu iki salah sih iki ra bener

iki kurang tepat ya begitu lah” (D2:JL:34:54370-54793)

JL saat ini berusaha untuk lebih hati-hati dalam bersikap dan bertindak.

Dulu kurang belajar / baca buku dan melakukan amaliyat lebih karena

semangat tanpa berpikir kritis (D2-JL-8:16823-17462) dan hanya

berdasarkan pada hawa nafsu, “Wong jek cah cilik istilahe lagek metu thek

Iuh kae apik, nek wong tuane weh dek kae lho truk apik kan neng

nggenanku cah cilik senengane nonton truk oleng, ana truk oleng apik dek

Page 68: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

69

berarti kan wong tuane ngono kuwi, sering di delokke ngono kan” (D2-JL-

24:36416-36851). Saat ini JL berusaha lebih memfilter dan kritis terhadap

pemahaman atau ideologi yang baru (D2-JL-42:59804-60057).

JL menuturkan beberapa ibroh yang didapatkan selama berada di

lembaga pemasyarakatan seperti dapat berdialog dengan senior, “untuk

saya emang sharing-sharing itu bisa merubah saya maksudnya dalam arti

memperbarui pemahaman saya tentang jihad ini” (D2-JL-25:36985-

37232); sharing dengan senior narapidana teroris di lapas karena paling

junior (D2:JL:22:34319-35124; 26:38128-38468; 27:38483-388568). Di

lapas JL juga memiliki waktu lebih untuk membaca buku dan lebih banyak

melihat realita di lapangan bahwa Islam tidak sesempit yang selama ini dia

bayangkan (D2:JL:23:35638-36372).

Tidak jauh berbeda dengan AI, menurut JL, jihad tetaplah harus dengan

perang. Tetapi tidak bisa dilakukan di Indonesia karena Indonesia bukan

negara konflik. Metode yang cocok digunakan di Indonesia adalah dengan

dakwah (menasihati pemerintah) (D2-JL-43:61251-61962). Menurutnya,

jihad hanya dapat dilakukan di daerah konflik. Hal yang bertentangan

dengan pendapat JL sebelumnya adalah terkait dengan i’dad. Dia

beranggapan bahwa i’dad masih perlu untuk dilakukan karena i’dad tidak

memulu harus perang / jihad (D2-JL-45:81768-81990). Hal ini sebenarnya

mengindikasikan bahwa JL belum sepenuhnya meninggalkan pemahaman

jihad walaupun sudah tidak beranggapan bahwa saat ini jihad global dapat

diberlakukan di semua tempat, termasuk Indonesia (D2-JL-21:33831-

33924)

Ketika digali lebih lanjut pandangannya tentang sistem demokrasi, dia

menganggap demokrasi sebagai kilafiyah,

“Demokrasi masih ikhtilaf. Perbedaan, kana da yang

memperbolehkan kita masuk demokrasi juga ada, nggak opo jenenge

gak saklek lah. Saya lebih umum aja, mungkin kalau dibilang kurang

setuju itu saya kurang setuju dengan demokrasi ini. Tapi kan terus

saya nggak menghukumi demokrasi ini syirik nggak. Polisi pun juga

seperti itu” (D2-JL-38:56684-57233)

Pendapat ahli tentang disengagement.

Page 69: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

70

3. Informan Kedua – UP

a. Kehidupan Sebelum Terlibat dalam Jamaah

UP tidak mengetahui jika dia akan dilatih ilmu militer di Afghanistan.

Dia hanya mengetahui akan dikirim untuk belajar ilmu agama di suatu

jamiah (D3-UP-35: 26395-26506; 34:26211-26288).

UP menuturkan bahwa tidak sepakat dengan aksi bom bali (D3-UP-

23:18395-18565). Dia sudah ragu sebelum terlibat dalam aksi Bom Bali:

“Kan kalau dalam fiqih itu kategori Amaliah iqtishadiyah dan

itu harus dengan syarat-syarat yang ketat Apakah target itu

memang nggak bisa dilakukan dengan selain itu. banyaklah

pertimbangannya sehingga tidak asal kasih semangat oh nanti

kamu Ketemu Bidadari 72, ahli Surga. Ah ngga. Itu ada di dalam

buku jihad syaratnya ketat banget sehingga sampai akhirnya harus

diputuskan dengan cara seperti itu ya memang tidak ada cara yang

lain.” (D3-UP-22:17721-18311)

Konflik dengan ingroup memang sebenarnya sudah terlihat sejak

dahulu sebelum aksi teror dilakukan

“Gini dulu waktu saya bergabung dengan abu sayyaf, ketika

Abu sayyaf mendapatkan tawanan perang tentara atau apalah

namanya nya. itu bukan sandra ya, tapi tawanan dalam perang.

Untuk mengorek informasi, mereka biasa menyiksa, memukuli

supaya informasi itu keluar. Setelah saya bergabung ke mereka.

mereka terbiasa memukuli tawanan terus dalam satu

kesempatan mereka ada majelis Syuranya saya izin datang ingin

menyampaikan sesuatu yang saya lihat menurut saya gak

bener.” (D3-UP-19:14033-15454); “aku sengaja nggak

diundang (breafing aksi peledakan). Kalau diundang aku bakal

melontarkan nggak setuju” (D3-UP-33:24722-24857)

b. Pelepasan dari Kelompok Teror

Keraguan dalam diri UP atas aksi jihad yang dilakukan semakin kuat

ketika dia mulai lebih banyak belajar dan membaca, “Dari hasil belajar,

membaca. artinya apa gunanya kita membaca untuk tsaqofah tok sebagai

bahan ilmu pengetahuan tok. Ya harus diterapkan dalam kehidupan

sehari-hari” (D3-UP-20:15518-15781). Bagi UP, syarat jihad cukup

banyak dan sangat ketat untuk bisa terwujud dan terpenuhi,

Page 70: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

71

“Kalau dalam fiqih itu kategori Amaliah iqtishadiyah dan itu

harus dengan syarat-syarat yang ketat Apakah target itu

memang nggak bisa dilakukan dengan selain itu. banyaklah

pertimbangannya sehingga tidak asal kasih semangat oh nanti

kamu Ketemu Bidadari 72, ahli Surga. Ah ngga. Itu ada di

dalam buku jihad syaratnya ketat banget sehingga sampai

akhirnya harus diputuskan dengan cara seperti itu ya memang

tidak ada cara yang lain (selain dengan jihad perang).” (D3-

UP-22:17721-18311)

c. Literasi UP

UP tidak membaca tafsir khusus. Ketika digali lebih lanjut terkait

dengan bacaan tafsir yang digunakan dia menjawab “(tafsir Fi dhilalul

qur’an) nggak baca. bahasanya tinggi itu, sulit.” (D3-UP-36:26588-

26675). UP lebih menyukai belajar siroh karya Munawar Kholil:

“Buku siroh yang banyak dikagumi di dunia internasional

kan tulisannya Ibnu Hisyam sirah Ibnu Hisyam tapi ternyata

menurut saya jauh dibanding buku ini (Munawar Kholil). cara

mengulas peristiwa itu sangat detil banget, makanya foodnote

itu sampai banyak banget” (D3-UP-4:2868:3372)

Baginya, jika harus belajar tafisr, seorang muslim harus langsung

merujuk ke kitab aslinya agar tidak dibelokkan oleh ustadz atau

leadernya di kelompok teror (D3-UP-41:36898-37424) karena menurut

UP, ayat jihad hanya disampaikan sepotong-sepotong, tidak

komprehensif, dan tidak memperhatikan asbabun nuzul akibatnya mudah

untuk mengkafirkan orang lain termasuk RT, RW, atau lurah (D3-UP-29:

20695:21436). Selain itu, UP beranggapan bahwa belajar ilmu agama

diutamakan dengan mempelajari adab terlebih dahulu sebelum berpikir

tentang jihad (D3-UP-41:36898-37424). UP memang memiliki prinsip

bahwa adab dan akhlak harus didahulukan, sekalipun sedang dalam

kondisi perang dan jihad (D3-UP-19:14033-15454).

d. Bentuk pertanggungjawaban Moral

UP ingin menebus kesalahannya dengan menjaga persatuan (D3-UP-

13:7933-8427) dan menjaga keamanan Indonesia

“Satu ya (saya menghimbau) Jangan lakukan aksi terror.

kemudian kalau ada orang yang mau melakukan aksi teror.

Page 71: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

72

(Mereka) diberikan pemahaman kemudian dicegah kalau nggak

mau dilaporkan. Ini mau ada orang ngebom misalnya dari pada

korbannya banyak dan merugikan orang lain” (D3-UP-

8:4726:5172)

Bagi UP, Pancasila adalah salah satu alat pemersatu bangsadan tidak

dengan dengan syariat Islam, “Nggak usah diganti, wong Pancasila itu

sendiri tidak bertentangan dengan Islam. ngapain harus diganti. nilai-

nilai sila Pancasila sila 1-5 semuanya klop dengan ajaran Islam” (D3-

UP-14:8551-8727)

UP ingin melakukan kampanye anti terorisme dengan mengarahkan

pemahaman yang benar terkait ayat dan hadist tentang jihad kepada

masyarakat umum (D3-UP-25:18796-18902) “Ke masyarakat ya

memberikan pemahaman supaya tidak terkena pemahaman tentang

terorisme” (D3-UP-6:5174-6428). Selain itu, tidak jarang UP

memberikan rekomendasi kepada pemerintah (BNPT) dalam upaya

menekan angka terorisme di Indonesia salah satunya dengan

menyarankan agar narapidana teroris yang berbahaya tidak dihukum mati

agar tidak dijadikan idola dan role model pengikutnya karena dianggap

telah dibunuh dan mati syahid ditangan taghut (D3-UP-37:27117-28152).

UP yang cukup menyesali perpisahannya dengan keluarga karena

lebih memilih menghabiskan hari-hari bersama kelompok dan menjadi

buron ingin menebusnnya dengan berkumpul dengan keluarga (D3-UP-

11:6167-6428)

“Kalau sekarang intinya ingin banyak Kumpul sama

keluarga. keluarga kan sudah lama aku tinggalkan. ingin hidup

bersama keluarga dalam artian keluarga besar, istri kemudian

adik-adik dan semuanya lah, keponakan. Dengan keluarga

besar yang sudah lama enggak kumpul” (D3-UP-9:5174-6428

UP saat ini sudah berusaha untuk mulai menebus kesalahannya

dengan mengais rizki dengan berjualan kelontong di lapas untuk

menghidupi istri (Mujahid & Yuniarti, 2018) dan mendoakan orang tua

yang sudah meninggal karena doa anak tidak akan terputus pahalanya

Page 72: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

73

(D3-UP-5:3374-3639). Pendapat peran keluarga dalam proses

disengagement.

Ketika digali lebih dalam tentang keinginannya berjihad di daerah

konflik seperti Afghanistan, UP menekankan bahwa dirinya tidak ingin

kembali ke tempat tersebut sekalipun ada jalan terbuka ke sana. Dia lebih

memilih ingin menghabiskan sisa usia bersama keluarga

“Kalau hijrah lagi kayaknya sih hitung-hitungan akal nggak

mungkin sebab pengalaman atau cerita dari para napiter yang

sudah keluar itu udah dipantau kemana-mana dipantau mereka

nggak membayangkan sekelas saya aja yang kayak gini nyatanya

dipantaunya” (D3-UP-10:5672-6124)

4. Informan Keempat – YS

a. Pandangan Mengenai Pemerintah Sebelum Terderadikalisasi

Dahulu, YS menganggap bahwa pemerintah adalah aimmatul kufr.

Aimmatul kufr adalah presiden sekalipun dia adalah seorang muslim (D4-

YS:48). Perpanjangan dari aimatul kufr adalah para pembantu

pemerintah, termasuk polisi (D4-YS-49:71451-71731). YS merasa

kecewa dan sakit hati atas sikap pemerintah. Salah satu contoh dari

kekecewaannya ada di kejadian Piagam Jakarta sebagai ketidakadilan

terhadap umat Islam, “Piagam jakarta kita jadikan bahan kenapa

dihilangkan untuk syariat Islam padahal kita mayoritas meskinya kita

dapat porsi dong kan gitu” (D4-YS-66:88995:89278). Akibat

kekecewaannya tersebut, YS bergerilya mencari jamaah / kelompok yang

dapat mengakomodir kekecewaannya agar dapat tersalurkan. Dia

mengikuti kajian kelompok teror dengan dauroh 3 hari di pondok

pesantren Amrozi (D4-YS-30:50609-51005). Salah satu doktrin yang

disampaikan dan masih teringat dalam ingatannya adalah fadhilah jihad,

“Pertama kali menetes darahnya sudah diampuni oleh Allah kemudian

diperlihatkan tempatnya di surga.bisa memberikan syafaat kepada 72

keluargannya, dinikahkan dengan 72 bidadari” (D4-YS-58:79134-

79578)

b. Alasan Melakukan Jihad

Page 73: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

74

- Iming-iming syahid dengan cara instan “Saya mau mencari syahid lha

makna mencari syahid itu ada namanya juga ketika ada sahabat Ya

Rasul kalau saya bersyahadat masuk Islam masuk surga? masuk surga.

Akhirnya begitu dia syahadat perang datang belum sholat belum

zakat, belum ada.. Rasul bilang masuk surga. Karena memang

waqi’nya dia langsung perang, dikatakan surga memang shirahnya

begitu” (D4-YS-57)

- Jihad di Indonesia sudah termasuk fardu a’in dan ingin masuk surga

dengan cara yang instan / melompat (D4-YS-87:111089-111974),

bahkan dengan membawa anggota keluarga dalam aksi jihad

sekalipun anggota keluarganya masih kecil (D4-YS-5: 19282:19963)

c. Literasi

Literasi YS termasuk paling banyak daripada informan lain:

- YS menggunakan tafsir ibnu Katsir (D4-YS-52: 73456-74127)

- Dahulu belajar kitab hanya diambil tematik (sepotong-sepotong) yang

sesuai dengan langkah jihad (D4-YS-53:74129-74844)

- Tafsir Dzilalil Qur’an hanya dijadikan penyemangat. Bukan sebagai

rujukan utama, “Memang untuk mengarah ke Fii Zilalil Qur’an ini apa

ya untuk bentuk penyemangat untuk jihad jadi bukan minded bukan

jadi langkah begitu misalnya Sayyid Qutb atau soal Hasan Al-Banna”

(D4-YS-54:74847-75779) dan ini dibenarkan oleh AI (D1-AI-

160:140537-141183)

- “(Al Anfal sama Al-Baraah) disebut sebagai senandungnya mujahidin

ya ini…khusus bahwa baraahnya surat Bara’ah terutama tidak pakai

Bismillah, kenapa nggak pakai Bismillah? Ini ni ni, itu juga baraah

antara mukmin dan munafik, kafir, jelas…Dan Al Baraah lanjutan

surat Al Anfal, semuanya isinya jihad, justru dengan 2 surat ini kita

bisa melihat orang mukmin, orang munafik orang kafir orang musyrik,

fa ajirhu hatta yasmaa kalamallah, berilah perlindungan sampai

mereka mendengarkan kalam Allah, lha itu ada sifat dzimmi” (D4-YS-

55:75892-77205)

Page 74: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

75

- Ayaturrahman fii Jihadi Afghan menjadi buku bacaan YS “bumbu-

bumbunya jihad itu masih di ayaturrahman fi jihadi Afganistan baca

lagi baca lagi…. Karangan Abdul Azam sih tapi ya hanya pengalaman

beliau bagaimana melihat bom-bom itu ya mung ditakdirkan ndak

tepat (sasaran). (padahal) ratusan bom …. (tapi) meleset” (D4-YS:68:

90220:91288)

- “….Jihad Sabiluna, jihad adalah jalanku, sudah anu, buku-buku yang

kita baca Tarbiyah Jihadiyah, 1 sampai 12 walaupun disitu kowe

perang yo ora ono, ini lo gambarannya, ini lo gambarannya” (D4-YS-

68:113383-113883)

- Banyak kisah dalam sirah terkait dengan jihad dinarasikan sepotong

(bukan versi lengkapnya), “Hanzolah adalah syuhada yang

dimandikan malaikat itu ideal banget itu heroik banget gitu kan… satu

kisah dan kisahnya betul ada shirahnya, kemudian Ukasya Ya Rasul

doakan saya masuk surga. Khalid bin walid perang terus gak pernah

kalah walaupun meninggalnya tidak perang. Itu heroiknya terus disitu

jadi seolah-olah apa yang menjadi cita-cita temen-temen ini

kesampaian syahid adalah fadhilah, ada yang mengatakan bahwa

syahid adalah tujuan hidup. Saya mau mencari syahid lha makna

mencari syahid itu ada namanya juga ketika ada sahabat Ya Rasul

kalau saya bersyahadat masuk Islam masuk surga? masuk surga.

Akhirnya begitu dia syahadat perang datang belum sholat belum

zakat, belum ada.. Rasul bilang masuk surga. Karena memang

waqi’nya dia langsung perang, dikatakan surga memang shirahnya

begitu. Tapi kan susah, lha temen-temen ini nuwun sewu kadang ada

sejarah kelam misalnya di masa jahiliyah, saya selama kuliah nggak

pernah sholat gitu, lha ini ibaratnya bukan penebus dosa, artinya

beramal sedikit tapi masuk surga, bahasanya begitu.Ya syahid ini..

Belum yang fadhilah Imam Nawawi 7 keutamaan orang yang syahid…

eh Arbain” (D4-YS-56:77869-79140)

Page 75: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

76

- Belajar dari kitab tafsir al Maraghi dan tafsir Hamka tentang solat

khauf, “Kalau tafsir kalau kita dari guru-guru memang Ibnu Katsir,

Ibnu Katsir itu baik dari terjemahan, baik mulazamah dengan yang

diajarkan, kemudian bahkan di MTI sendiri banyak tafsir-tafsir.

Kemudian ada tafsir Al-Maraghi dulu aa tambah-tambahan yang lain

itu hanya tertentu yang menguatkan tafsir Al-Ahzar misalnya Tafsir

Al-Ahzar itu nanti disoroti tentang surah khauf, sholat dalam keadaan

perang itu pak Pak Hamka saja begini- begini-begini..dibuat tematik

mana yang kuat. Fathul mekkah apa” (D4-YS-52:73456-74127)

d. Deradikalisasi pada diri YS:

Evaluasi jihad pada diri YS dimulai sejak dia terpaksa harus

berbohong kepada keluarga akan kegiatan yang selama ini dilakukan.

Karena baginya, jihad merupakan syariat suci dan seharusnya tidak

membuat seseorang berbohong. Hal ini menimbulkan pertarungan batin

dalam diri YS (D4:YS:38:63940-64535). Dia memutuskan untuk

meninggalkan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan ideologi. YS

merasa bahwa jika dia melakukan aksi kembali, akan merepotkan

keluarga, “Saya memang berbohong, jadi itu menunjukkan bahwa apa

yang telah kita alami itu kadang juga buat keluarga karena keluarga

akan menikmati kesusahan ini selama 6 tahun di penjara itu kan” (D4-

YS-41:66406-66986).

Evaluasi terhadap aksi teror semakin intens dilakukan YS ketika

tertangkap Densus 88 (D4-YS-8:21340-22162). Dia tidak sepakat dengan

aksi teror di Indonesia, “Awalnya gak sepakat, kelompok saya ndak

sepakat karena itu akan, satu merusak semua tatanan wes macem-macem

lah ya, wes pokoknya banyak yang anu, apa mudhorotnya 80%

manfaatnya 20% waktu itu..” (D4-YS-44:68020-68356). Hal lain yang

memperkuat alasan YS meninggalkan kelompok adalah konflik dengan

kelompok lama terkait cara yang digunakan untuk memperjuangkan

ideologi (D4-YS-12:25635-26386). Karena memang dari awal, YS belum

yakin 100% jika pemerintah adalah thaghut (D4:YS:47:70710-71114).

Page 76: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

77

YS beranggapan jika jihadnya di Filipina adalah sebuah kebenaran

sedangkan jihad di Indonesia tidak sesuai dengan syari’at (bukan daerah

konflik) (D4-YS-80:99755-100475). Jihad di Indonesia hanya dapat

dilakukan dengan cara defensive, “temen-temen yang dari Ambon-Poso

ketika di Fhilipina kita latih, kamu bukan melawan Jakarta tapi kamu

membentengi dirimu menjaga keluargamu, wilayahmu, bumi muslim”

(D4-YS-63:84776-85035; 62:83834-84684). Baginya, jihad di Indonesia

bisa dilakukan dengan masuk ke parlemen (D4-YS-61:82767-83589). YS

menuuturkan bahwa sebenarnya dia kaget ketika ada peristiwa Bom Bali

karena dia menganggap perang hanya dapat dilakukan di tempat konflik

(seperti di Filipina yang sedang berseteru dengan MILF). Bali bukan

wilayah konflik (D4-YS-43:67553-68018).

Faktor lain yang membuat YS semakin kuat meninggalkan kelompok

dan ideologi kekerasan untuk perjuangan di wilayah damai adalah

keluarga. Perhatian keluarga dirasakan YS begitu besar

“Ya keluarga pengennya gak usah melu-melu lagi, setiap ada

jihad Aceh 2011 telpon saya lagi kamu jangan ikut-ikut ke Aceh ini

ada yang ditangkap namannya Mahmudi juga kakak adik ibu

telfon, kekhaawatirnya mereka sampai segitu, walaupun tetap

godaan. ….(ada tawaran) kerjaan ……. melatih jihad di Aceh …..

Itu (dianggap pekerjaan. Tetapi bagi saya) bukan pekerjaan,

(tetapi) itu godaan” (D4-YS-77:95103-95537)

Kontak dengan outgroup juga menjadi faktor lain dalam

disengagement pada YS “saya diajak Mas Nur Huda ke Inggris ikut

sama google konferensi …. Begitu di sana saya dapat informasi lah,

pokoknya ini direktur google, youtube, facebook ada di situ semuanya”

(D4-YS-75:93012-94362).

e. Refleksi Pemahaman Jihad dan Teror pada Diri YS

Menurut YS, aksi teror dan amaliyat di Indonesia harus dihentikan

“kalau bagi versi saya tinggalkanlah amal jama’i beralih ke

amal islami gitu lo, kalau jama’i ini lagi bermasalah dengan

densus, masalahnya kan diincer terus, jadi tak nasehati kepada

temen-temen, karena kalau kalian masuk penjara yang susah tidak

hanya kalian, keluarga kalian anak-anak, padahal nggak ada

Page 77: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

78

efektifnya kalian bersikukuh dengan seperti ini kondisinya”

(D4:YS:11)

Tokoh seperti Gus Baha menjadi outgroup yang bisa memberikan

perspektif baru tentang Islam,

“Ada sih, contoh Gus Baha misalnya. Gus Baha memberi

uraian tentang bagaimana perangnya nabi, kebenciannya nabi,

tapi nabi juga punya namun musuhnya dapat hidayah, Abu Sofyan

misalnya, Ora memusuhi nabi pie? Ya entuk hidayah. Lha aku noto

jihadku perang koyo opo nek entuk hidayah gimana?”

(D4:YS:86:109151-109890)

Menurut YS, seorang muslim harus mempertimbangkan Fiqih

kekinian / waqi’ sebelum memutuskan untuk bertindak, termasuk berjihad

(D4:YS:91:114108-115285). Selain itu terdapat ayat yang dijadikan

pertimbangan dalam proses disengagement dalam diri YS:

“Yaaa. Misalnya ya secara umum ya siapa yang menjaga

nyawa satu orang berarti sama dengan menjaga nyawa semua

makhluk. Itu ayatnya jelas dan belum pernah ditekankan segencar

membunuh, ya kan. Ini juga mungkin menjadi masukan. Ternyata

emm urusan nyawa urusan darah itu pertama kali salah satunya

kan dihisab, itu sangat pentingnya” (D4:YS:96:127814-128340)

f. Bentuk Pertanggungjawaban Moral YS

Bentuk pertanggungjawaban moral dilakukan YS dengan membuat

program reintegrasi napiter di PERSADANI (D4:YS:93:117914-119806;

92: 116579:117854); mendampingi terdakwa teroris untuk menghadapi

persidangan agar vonis lebih ringan (D4:YS:13:26508-27667); program

deradikalisasi bekerja sama dengan pemerintah untuk merangkul mantan

terpidana kasus terorisme (D4-YS-82:101714-102490); mencoba

merangkul tokoh jihadi seperti Abu Rusydan (D4-YS-27:47771-48132);

menjenguk napi teroris di penjara (D4-YS-41:66406-66986); menghimbau

ikhwan jihadi untuk tidak melibatkan tempat-tempat netral seperti pondok

untuk pelarian agar Islam tidak menjadi korban karena identic dengan

terorisme (D4-YS-10:23573-24189); tidak goyah pendirian sekalipun

diajak bergabung kembali ke kelompok (terutama 2 tahun setelah bebas)

(D4:YS:75:93012-94362). YS menuturkan bahwa reintegrasi narapidana

Page 78: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

79

teroris biasa dia lakukan dengan bermain logika (tidak perlu menggunakan

dalil) (D4-YS-83:103954-104258). Karena jika dia menggunakan dalil,

maka akan ditolak oleh kelompok.

Kontradiksi data ditemukan dari penelitian ini, yaitu pemahaman YS

yang masih menganggap bahwa jihad hanya dapat dilakukan dengan

perang. Namun, hanya dapat dilakukan di medan jihad, yaitu di negara

konflik seperti Afghanistan (D4:YS:105:151607-152465) dan Indonesia

bukan darul harbi yang wajib diperangi (D4-YS-4:146924-147611).

C. Pembahasan

Peneliti menetapkan tipe coding Conventional Content Analysis sebagai tipe

coding (model interaksi peneliti dan data untuk interpretasi) dengan melakukan

pengcodingan pada data AI sebagai initial coding untuk didapatkan gambaran

code yang dapat diaplikasikan. Initial Coding dilakukan secara induktif

sehingga code-code yang didapatkan dari proses analisis awal terhadap AI

benar-benar code yang emerge dari data mentah. Setelah code dari AI

didapatkan, selanjutnya dilakukan pengcodingan pada data-data yang lain, dan

dilakukan kategorisasi code berdasarkan kategori-kategori yang didapatkan

dari AI. Apabila ditemukan kategori baru yang ditemukan pada data selain

kategori yang didapatkan dari analisis data AI maka kategori baru tersebut

dimasukkan dalam pola akhir, sehingga pada akhir analisis selain didapatkan

deskripsi dari masing-masing data akan didapatkan pula pola akhir yang

bersifat holistik yang diekstraksi dari keseluruhan data dari semua informan.

Model analisis ini sesuai dengan model analisis Fenomenologi dengan model

Stevick-Colaizzi-Keen di mana prosedur yang disarankan adalah sebagai

berikut:

Page 79: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

80

Gambar 1. Analisis Fenomenologi Stevick-Colaizzi-Keen

1. Analisis Informan AI (Initial Coding)

Initial Coding dilakukan pada hasil wawancara informan AI dan hasil

dari analisis dan eksplorasi dapat dipaparkan sebagai berikut.

Page 80: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

81

Gambar 1. Diagram Network View Hasil Analisis Informan AI

Page 81: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

82

Sebagaimana dapat dilihat dari diagram di atas, melalui analisis wawancara

terhadap AI, ditemukan tema-tema pokok yang muncul dalam hasil wawancara

sebagai berikut:

Tema [REFLEKSI] di mana pada tema ini informan mengungkapkan hal-hal

yang terkait dengan pengalaman hidupnya terutama terkait dengan kasus Bom

Bali, pengalaman informan belajar militer di Afghanistan, serta kehidupannya

sebelum berangkat ke Afghanistan dan kejadian-kejadian tersebut terkait dengan

pembentukan pemahaman informan terhadap agama. Tema [REFLEKSI] ini yang

kemudian terkait langsung dengan tema [TAFSIR], di mana keterkaitan antara

[REFLEKSI] dan [TAFSIR] ini dapat dibuktikan di antaranya dengan kutipan

berikut:

“Iya ada seperti itu mas, tetapi kalau kitapun melihat tafsirnya, misalkan

tafsirnya.secara umum, misalnya tafsir Ibnu Katsir atau tafsir-tafsir zaman

dulu. Heem… Bukan zaman yang ditulis oleh ulama

sekarang…Heem…yang ketika khilafah itu sudah tidak ada..”

Dalam kutipan di atas, AI mendasarkan koreksiannya terhadap penafsiran al

Quran yang ada di dalam kitab-kitab klasik, seperti Tafsir Ibnu Katsir, tidak tepat

karena perbedaan konteks kehidupan kaum muslimin yaitu terkait dengan ada

tidaknya khilafah. Dengan kata lain, AI berusaha memahami ayat-ayat terkait

dengan jihad dengan konteks kondisi kaum muslimin sekarang. Pada bagian lain

AI menuturkan sebagai berikut:

Q: Em… tapi apakah kemudian bisa kita katakan penyebab teror itu Ibnu

Katsir?

AI: Bukan… jangan…

Q: Gimana, keterangannya?

AI: Nggak pas itu… ya tentunya kan begini… tadi loh kesalahan yang fatal

adalah…

Heem…Penafsiran itu, yang ditulis oleh ulama ahli tafsir, itu di…di

sambung…Pakai sampai sekarang… Heem…Zamannya itu…

Q: Oke, gitu… iya.

AI: Kan gitu.Padahal kan zamannya Ibnu Katsir itu masih ada

pemimpin…Masih ada khilafah… masih ada pimpinan. Masih ada

istilahnya kekuasaan Islam.

Page 82: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

83

2. Analisis Informan JL

Berikut merupakan skema network view hasil analisis dan eksplorasi

terhadap hasil wawancara terhadap JL

Page 83: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

84

3. Analisis Informan UP

Berikut merupakan skema network view hasil analisis dan eksplorasi

terhadap hasil wawancara terhadap

Page 84: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

85

4. Analisis Informan YS

Berikut merupakan skema network view hasil analisis dan eksplorasi

terhadap hasil wawancara terhadap YS

Page 85: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

86

Berdasarkan hasil analisis atas wawancara terhadap YS.

- JI saat ini menjadi macan tidur yang mungkin akan bangun dan

mengkonfrontasi pemerintah AI → nunggu Indonesia chaos (D1-AI-

49:20964-21299; 35-16451-16690; 150:133143-133686)

- Ikhwan yang jadi macan tidur (D4:YS:85:107144-107551; D1-AI-

148:131735-132195)

1:148 Artinya begini loh, JI sampai sekarang itu bergerak loh mas. Em…

Ini…

- JI berbeda dengan ISIS (D1-AI-165:144225-144759; D4-YS-51:72905-

73057; D2-JL-39:57472-57767l; D2-JL-39:57472-57767)

- YS mengungkapkan tidak ada ayat spesifik yang digunakan sebagai dalil

aksi teror, “Nggak disebutkan, kalau saya sampai dadi, jadi umum, banyak

yang umum. Misale mempelajari surat aaa Al Fath Al Asr dan Al fushshilat

dan sebagainya, …..seperti wacana sama dengan kita semuanya belajar sirah

ya” (D4-YS-88:112103-112403)

- AI berpendapat bahwa mereka sudah mengetahui fadhilah jihad, namun

menurutnya jihad tidak boleh dilakukan dengan memaksakan diri, “Kita kan

sudah tau bahwa fadhilahnya jihad itu, itu. Tetapi tetep saya tentang kalau

memaksakan diri” (D1-AI-78:36450-36655).

Page 86: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

87

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, J. (2011). Dekonstruksi Tafsir Ayat-ayat Kekerasan.Analisis (Vol XI,

No 1), 71-90.

Abuza, Z. (2009). The rehabilitation of Jamaah Islamiyah detainees in South East

Asia: a preliminary assessment. In T. Bjorgo & J. Horgan (Eds.), Leaving

terrorism behind: Individual and collective disengagement (pp. 193-211).

Oxon: Routledge.

Al-Ghazali (Ttp), Ihya’ Ulum al-Di>n, Da>r al-Ma’rfah.

al-Jauzi, Ibnu Qayyim,(Ttp). Bada>i’ al-Fawa>id, Da>r al-Kita>b al-‘Arabi, Bairut.

Al-Sya>thibi, (1997). al-Muwa>faqat, Ed, Abu ‘Ubaidah, Da>r Ibnu ‘Affa>n.

Bjorgo, T. (2009). Processes of disengagement from violent groups of the extreme

right. In T. Bjorgo & J. Horgan (Eds.), Leaving terrorism behind:

Individual and collective disengagement (pp. 30-48). Oxon: Routledge.

Bjorgo, T., & Horgan, J. (2009). Leaving terrorism behind: Individual and

collective disengagement. New York: Routledge.

Borum, R. (2004). Psychology of terrorism. Tampa: University of South Florida.

Chaiken, S., & Ledgerwood, A. (2012). A theory of heuristic and systematic

information processing. In P. A. M. Van Lange, A. W. Kruglanski & E. T.

Higgins (Eds.), Handbook of theories of social psychology (Vol. 1).

California: Sage Publication Inc.

Chen, S., Duckworth, K., & Chaiken, S. (1999). Motivated heuristic and

systematic processing. Psychology Inquiry,10(1), 44-49.

Choudhury, T. (2009). Stepping out: Supporting exit strategies form violence and

extreme. Washington DC: Institute for Strategic Dialogue.

Creswell, J. W. (2014). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed

methods approaches. California: Sage Publication Inc.

Dash, S., Meeten, F., & Davey, G. C. L. (2013). Systematic information

processing style and perseverative worry. Clinical Psychological Review

33, 1041-1056. doi: 10.1016/j.cpr.2013.08.007.

Daud, M.M. (2007). Kama>l al-Lughah al-‘Arabia Bain Haqa>iq al-I’Ja>z wa Auha>m

al-Khushu>m. Da>r al-Mana>r. Kairo, Mesir.

Page 87: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

88

Demant, F., Slootman, M., Buijs, F., & Tillie, J. (2008). Decline and

disengagement: An analysis of processes of deradicalisation. Amsterdam:

Institute for Migration and Ethnics Studies.

Disley, E., Weed, K., Reding, A., Clutterback, L., & Warnes, R. (2012).

Individual disengagement from Al-Qaida-influenced terrorist groups.

Santa Monica CA: Rand Corporation.

Djelantik, S. (2010). Terorisme: Tinjauan psiko-politis, peran media, kemiskinan,

dan keamanan nasional. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Fink, N. C., & Hearne, E. B. (2008). Beyond terrorism: Deradicalization and

disengagement from violent extremism. London: International Peace

Institute.

Fossey, E., Harvey, C., McDermott, F., & Davidson, L. (2002). Understanding

and evaluating qualitative research. Australian and New Zealand Journal of

Psychiatry, 36(7), 717-732. doi: 10.1046/j.1440-1614.2002.01100.

Garfinkel, R. (2007). Personal transformations: Moving from violence to peace.

Washington DC: United States Institute of Peace.

Gazi. (2016). Dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror

(Tesis tidak terpublikasi). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok.

Golose, R. P. (2014). Deradikalisasi terorisme (3th ed.). Jakarta: Yayasan

Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

Gunaratna, R., & Hassan, M. F. (2011). Terrorist rehabilitation: The Singapore

experience. In R. Gunaratna, J. Jerard, & L. Rubin (Eds.), Terrorist

rehabilitation and counter-radicalisation: New approach to counter

terrorism (pp. 36-58). New York: Routledge.

Hakim & Mujahid. (2018). Social Context, Interpersonal Network, and Identity

Dynamics: A social psychological case study of terrorist recidivism.

Asian Journal Social Psychology. doi: 10.1111/ajsp.12349.

Hasan, M. A. K. (2015). Metode Penafsiran Al-Quran (Pengenalan Dasar

Penafsiran al-Qur̀an). Al-A’raf Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, Vol.

XII, No. 1.

Hasan, M. A. K. (2018). Interfaith Tolerance And Its Relevance To The

Indonesian Diversity:A Study On Ibn ʿĀshūr’s Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr,

Ulumuna, Vol. 22, No. 2 (2018), 334.

Hendropriyono, A. M. (2009). Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam.

Jakarta : Kompas.

Page 88: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

89

Horgan, J. (2009). Individual disengagement: A psychological analysis. In T.

Bjorgo & J. Horgan (Eds.), Leaving terrorist behind: Individual and

collective disengagement (pp. 17-29). New York: Routledge.

Horgan, J., & Braddock, K. (2010). Rehabilitating the terrorists?: Challenges in

assessing the effectiveness of deradicalization programs. Terrorism and

Political Violence,22(2), 267-291 doi: 10.1080/09546551003594748.

Hwang, J. C. (2015). The disengagement of Indonesian Jihadists: Understanding

the pathways. Terrorism and Political Violence, 1-9. doi:

10.1080/09546553.2015.1034855.

Ibnu ‘Athiyyah, (2001). al-Muharrar al-Wajiz, Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

Bairut.

Ibnu Taimiyyah, (1995). Majmu’ al-Fata>wa, Majma’ al-Malk Fahd li Thiba’ah

al-Mushaf al-Syari>f, Madinah Munawwarah, Saudi Arabia.

Imron, A. (2010). Ali Imron sang pengebom. Jakarta: Republika.

Jacobson, M. (2010). Terrorist dropouts: Learning from those who have left.

Washington: The Washington Institute for Near East Policy.

Jones, S., & Libicki, M. (2008). How terrorist groups end: lessons for countering

Al Qaida. Santa Monica Ca: Rand Corporation.

Kruglanski, A. W., Gelfand, M. J., Belanger, J. J., Shaveland, A., Hetiarachchi,

M., & Gunaratna, R. (2014). The psychology of radicalization and

deradicalization: How significance quest impacts violent extrimism.

Advance in Political Psychology,35(1), 69-93. doi:

10.1111/pops.12163Lau & Reslawsk, 2001.

Milla, M. N. (2009). Dinamika psikologis pelaku terorisme: identitas dan

pengambilan keputusan jihad di luar wilayah konflik pada terpidana kasus

bom Bali di Indonesia (Tesis tidak terpublikasi). Fakultas Psikologi

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Milla, M. N. (2010). Mengapa memilih jalan teror: Analisis psikologis pelaku

teror. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Milla, M.N., Faturochman, & Ancok, D. (2013). The impact of leader–follower

interactions on the radicalization of terrorists: A case study of the Bali

bombers. Asian Journal of Social Psychology, 16, 92–100. doi:

10.1111/ajsp.12007.

Mirahmadi, H., & Farooq, M. (2010). A community based approach to countering

radicalization: A partner for America. Washington DC: World

Organization for Resource and Education Development.

Page 89: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

90

Moghaddam, F. M. (2007). The staircase to terrorism: A psychological

exploration. In B. Bongar, L. M. Brown, L. E. Beutler, J. N. Breckenridge,

& P. G. Zimbardo (Eds.), The psychology of terrorism (pp. 69-80).

Oxford: Oxford University Press.

Moleong, L. J. (2011). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja.

Moris, M., Eberhard, F., Rivera, J., & Watsula, M. (2010). Deradicalization: A

review of the literature with comparison to findings in the literatures on

deganging and deprograming. Institute for Homeland Security Solution.

Moustakas, C. 1994. Phenomenological Research Methods. California: Sage.

Mujahid, D.A. (2018). Dinamika Disengagement Pelaku Terorisme di Indonesia.

Tesis. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Peterkabenton, D., & Benton, B. (2014). Effects of cultural collectivism on

terrorism favorability. Journal of Applied Security Research,9(1), 17-40.

doi: 10.1080/19361610.2014.852001.

Poerwandari, K. (2013). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.

Jakarta: LPSP3 UI.

Rabasa, A., Pettyjohn, S. L., & Jeremy J., & Ghez, C. B. (2010). Deradicalizing

islamist extremists. Santa Monica CA: Rand.

Reinares, F. (2011). Exit from terrorism: A qualitative empirical study on

disengagement and deradicalization among members of ETA. Terrorism

and Political Violence, 23, 780-803. doi: 10.1080/09546553.2011.613307.

Sagemen, M. (2004). Understanding terror network. Philadelphia, Pennsylvania:

University of Pennsylvania Press.

Samudra. (2004). Aku Melawan Teroris. Solo: Jazeera.

Ya’qub, Thahir Mahmud Muhammad, (2010). Asba>b al-Khata` fi Tafsi>r, Damam,

Saudi Arabia.

Sarwono, S. W. (2012). Terorisme di Indonesia dalam tinjauan psikologi. Jakarta:

Alfabet.

Smith, J. A. (2009). Psikologi kualitatif: Panduan praktis metode riset (B.

Samtoso, Trans.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Naskah asli diterbitkan

pada 2008).

Suhardono, Edy. (2001). Bandingan Eksplanatif antara Pendekatan Kognitif

Sosial dan Relasional-Sosial atas Kausalitas Ba’asyir-Amrozi. Jurnal

Psikologi Sosial, 9, 33-41.

Page 90: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

91

Wahid, A., Sunardi., dan Sidik, M.I. (2011). Kejahatan Terorisme Perspektif

Agama, HAM, dan Hukum. Bandung : Refika Aditama.

Wikipedia. (2019, June4). Terorisme di Indonesia. Wikipedia. Retrieved from

http://id.wikipedia.org

Wright, L. (2010). Sejaran teror, jalan panjang menuju 11/9. Jakarta: Penerbit

Kanisius.

Page 91: DISENGAGEMENT PELAKU TEROR DI INDONESIA: PERGESERAN

92

RANCANGAN ANGGARAN BELANJA