diabetik ketoasidosis
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
Ketoasidosis diabetik adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa bila
tidak ditangani secara tepat. Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh penurunan kadar insulin
efektif di sirkulasi yang terkait dengan peningkatan sejumlah hormon seperti glukagon,
katekolamin, kortisol, dan growth hormone. Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas pada anak dengan diabetes mellitus tipe 1 (IDDM). Mortalitas
terutama berhubungan dengan edema serebri yang terjadi sekitar 57% – 87% dari seluruh
kematian akibat KAD.1
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester menunjukkan bahwa insidens
Ketoasidosis Dibetik (KAD) sebesar 8 per 1000 pasien Diabetes Melitus (DM) per tahun untuk
semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok umur di bawah 30 tahun sebesar 13,4 per
1000 pasien DM per tahun. Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insidens
KAD di Indonesia tidak sebanyak negara Barat, mengingat prevalensi DM tipe I yang rendah.
Laporan insidens KAD di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit, dan terutama pada
pasien DM tipe II. 4
Di negara maju dengan sarana yang lengkap, angka kematian KAD berkisar antara 9-
10%, sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pada pasien usia lanjut angka kematian
dapat mencapai 25-50%. Angka kematian KAD di RS Dr. Cipto Mangunkusumo dari tahun ke
tahun tampaknya belum ada perbaikan. Selama periode 5 bulan terdapat 39 episode KAD dengan
angka kematian 15%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang
menyertai KAD, seperti, sepsis, syok yang berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia
lanjut, kadar glukosa darah awal tinggi, uremia dan kadar keasaman darah yang rendah.
Kematian pada pasien KAD usia muda, umumnya dapat dihindari dengan diagnose yang cepat,
pengobatan yang tepat dan rasional, serta memadai sesuai dengan dasar patofisiologinya. Pada
pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih sering dipicu oleh faktor penyakit
dasarnya. Dari data yang ada tampak bahawa jumlah pasien KAD dari tahun ke tahun relatif
tetap tidak berkurang dan angka kematiannya juga belum menggembirakan. Mengingat 80%
pasien KAD telah diketahui menderita DM sebelumnya, upaya pencegahan sangat berperan
dalam mencegah KAD dan diagnosis dini KAD. 4
1
II. DIABETES MELITUS
2.1 DEFINISI
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia (meningkatanya kadar gula darah) yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya atau dengan kata lain defisiensi insulin absolut
ataupun relatif.2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia kini menempati urutan
ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes melitus di dunia. Pada 2006, jumlah
penyandang diabetes (diabetasi) di Indonesia mencapai 14 juta orang. Dari jumlah itu, baru
50% penderita yang sadar mengidap, dan sekitar 30% di antaranya melakukan pengobatan
secara teratur. Menurut beberapa penelitian epidemiologi, prevalensi diabetes di Indonesia
berkisar 1,5 sampai 2,3, kecuali di Manado yang cenderung lebih tinggi, yaitu 6,1 %.2
Penyakit diabetes di Indonesia adalah DM tipe 2, merupakan jenis penyakit diabetes yang
mencakup lebih dari 90% seluruh populasi diabetes. Data WHO mengungkapkan, beban
global diabetes melitus pada tahun 2000 adalah 135 juta, di mana beban ini diperkirakan
akan meningkat terus menjadi 366 juta orang setelah 25 tahun (tahun 2025). Pada 2025, Asia
diperkirakan mempunyai populasi diabetes terbesar di dunia, yaitu 82 juta orang dan jumlah
ini akan meningkat menjadi 366 juta orang setelah 25 tahun.2
Hasil penelitian epidemiologi di Jakarta beberapa waktu lalu membuktikan adanya
peningkatan prevalensi diabetes melitus dari 1,7 % pada 1982 menjadi 5,7% tahun 1993,
yang disusul pada 2001 di Depok (sub-urban Jakarta) menjadi 14,7%. Peningkatan prevalensi
diabetes melitus juga terjadi di Makassar yang meningkat dari 1,5 % pada 1981 menjadi 2,9
% tahun 1998 dan 12,5 pada 2005. Pada 2005, daerah semi-urban seperti Sumatera Barat
melaporkan prevalensi diabetes mellitus sebesar 5,1% dan Pekajangan (Jawa Tengah) 9,2%.
Bali telah meneliti prevalensi beberapa daerah rural dengan hasil antara 3,9-7,2% pada 2004
dan Singaparna tahun 1995 tercatat 1,1%.2
2
WHO memperkirakan, prevalensi global diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta
orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. Indonesia berada di urutan ke-4 terbanyak
kasus diabetes di dunia. Beberapa waktu lalu, International Diabetes Federation (IDF)
menyatakan, tahun 2003 terdapat 194 juta orang terkena diabetes. Pada 2030 akan terdapat
lebih dari 82 juta orang berumur di atas 64 tahun dengan diabetes di negara sedang
berkembang, di negara maju hanya 48 juta orang, dan secara global diperkirakan 333 juta
orang menderita diabetes.2
Seiring dengan pola pertambahan penduduk, pada 2005 di Indonesia ada 171 juta
penduduk berusia di atas 15 tahun dan dengan asumsi prevalensi diabetes melitus maka
terdapat kira- kira 24 juta penyandang diabetes. Tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara
global, terutama dipicu oleh peningkatan kesejahteraan suatu populasi, sehingga sangat
dimungkinkan dalam kurun waktu satu-dua dekade silam, kekerapan diabetes melitus di
Indonesia telah meningkat signifikan.2
2.3 ETIOLOGI
Diabetes melitus sangat erat kaitannya dengan mekanisme pengaturan gula normal. Pada
kondisi normal, kadar gula tubuh akan selalu terkendali, berkisar 70-110 mg/dL, oleh
pengaruh kerja hormon insulin yang diproduksi oleh kalenjar pankreas. Setiap sehabis
makan, terjadi penyerapan makanan seperti tepung-tepungan (karbohidrat) di usus dan kadar
gula darah akan meningkat. Peningkatan kadar gula darah ini akan memicu produksi hormon
insulin oleh kalenjar pankreas.2
Berkat pengaruh hormon insulin ini, gula dalam darah sebagian besar akan masuk ke
dalam berbagai macam sel tubuh (terbanyak sel otot) dan akan digunakan sebagai bahan
energi dalam sel tersebut. Sel otot kemudian menggunakan gula untuk beberapa keperluan
yakni sebagai energi, sebagian disimpan sebagai glikogen dan jika masih ada sisa, sisa
sebagian tersebut diubah menjadi lemak dan protein.2
Penyebab diabetes mellitus sebenarnya bisa dengan berbagai macam cara
misalnya:2
3
1. Genetik atau faktor keturunan
Diabetes mellitus cenderung diturunkan atau diawariskan, bukan ditularkan.
Anggota keluarga penderita DM (diabetis) memiliki kemungkinan lebih besar terserang
penyakit ini dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM. Para ahli
kesehatan juga menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau
kelamin. Biasanya kaum laki-laki menjadi penderita sesungguhnya, sedangkan kaum
perempuan sebagai pihak yang membawa gen untuk diwariskan kepada anak-anaknya.
2. Virus dan bakteri
Virus penyebab DM adalah rubela, mumps, dan human coxsackievirus B4. Melalui
mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta, virus ini mengakibatkan destruksi atau perusakan
sel. Bisa juga, virus ini menyerang melalui reaksi otoimunitas yang menyebabkan hilangnya
autoimun dalam sel beta. Diabetes melitus akibat bakteri masih belum bisa dideteksi. Namun,
para ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan DM.
3. Bahan toksik atau beracun.
Bahan beracun yang mampu merusak sel beta secara langsung adalah alloxan,
pyrinuron (rodentisida), dan streptozoctin (produk dari sejenis jamur). Bahan lain adalah
sianida yg berasal dari singkong.
4. Nutrisi.
Nutrisi yang berlebihan (overnutrition) merupakan faktor resiko pertama yang
diketahui menyebabkan DM. Semakin berat badan berlebih atau obesitas akibat nutrisi yang
berlebihan, semakin besar kemungkinan seseorang mengidap DM.
2.4 FAKTOR RESIKO
4
Para peneliti tidak sepenuhnya memahami mengapa sebagian orang mengembangkan
diabetes tipe 2 dan yang lainnya tidak. Sudah jelas bahwa faktor-faktor tertentu
meningkatkan risiko, bagaimanapun, termasuk:2
Kelebihan berat badan. Menjadi adalah faktor risiko utama untuk diabetes tipe 2.
Jaringan lemak belebih yang dimiliki, sel-sel tubuh akan menjadi lebih resisten terhadap
insulin.
Tidak aktif. Semakin sedikit aktif sesorang, semakin besar risiko diabetes tipe 2.
Aktivitas fisik membantu mengendalikan berat badan, menggunakan glukosa sebagai
energi dan membuat sel-sel tubuh lebih sensitif terhadap insulin.
Riwayat keluarga. Risiko diabetes tipe 2 meningkat jika orang tua atau saudara
memiliki diabetes tipe 2.
Ras -. Walaupun tidak jelas mengapa, orang-orang tertentu, termasuk ras kulit hitam,
Hispanik, Indian Amerika dan Asia-Amerika - lebih mungkin untuk mengembangkan
diabetes tipe 2.
Umur,. Risiko diabetes tipe 2 meningkat seiring bertambahnya usia terutama setelah usia
45. Itu mungkin karena orang cenderung kurang berolahraga, penambahan berat badan
dan kehilangan massa otot dengan bertambahnya usia mereka. Tetapi diabetes tipe 2 juga
meningkat secara dramatis di kalangan anak-anak, remaja dan dewasa muda.
Pradiabetes. Pradiabetes adalah suatu kondisi dimana kadar gula darah seseorang lebih
tinggi dari normal, tetapi tidak cukup tinggi harus diklasifikasikan sebagai diabetes tipe 2.
Bila tidak diobati, pradiabetes sering berkembang menjadi diabetes tipe 2.
Diabetes kehamilan. Jika seseorang terkena gestational diabetes saat hamil, resiko
terkena diabetes tipe 2 kemudian meningkat. Jika ibu melahirkan seorang bayi dengan
berat lebih dari 9 pon (4.1 kilogram), ibu tersebut juga berisiko diabetes tipe 2.
5
2.5 TIPE DAN PENYEBAB DIABETES
Macam-Macam
Klasifikasi DM dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO 1985
A. Clnical Classes
I. Diabetes Melistus
1. IDDM (DM tipe I)
2. NIDDM (DM tipe II)
3. Bila meragukan Tipe 1 atau Tipe 2 disebut : Questionable DM
4. MRDM (Malnutrition Related DM) :
a. Fibrocalculous Pancreatic Diabetes Melitus (FCPD)
b. Protein Deficient Pancreatic Diabetes Mellitus (PDPD)
5. Other Tupes of DM associated with certain conditions and syndromes :
a. Pancreatic disease
b. Disease of hormonal etiology
c. Drug of chemical induced conditions
d. Abnormal of insulin or its receptor
e. Certain genetic syndromes
f. Miscellanous
II. Impaired Glucose Tolerane (GTG = DM Chemical = DM Latent)
III.Gestational DM (DM hanya pada saat hamil)
B. Statistical Risk Classes
Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah penderita yang :
Kedua orang tuanya menderita DM (potential DM)
Pernah menderita GTG kemudian normal lagi
Pernah melahirkan bayi dengan berat lahir lebih dari 4 kg
Pada DM tipe I kelainan terletak pada sel beta pankreas yang tidak mampu membuat
dan mengeluarkan insulin dalam jumlah dan kualitas yang cukup, bahkan kadang-kadang
tidak ada sekresi (produksi) insulin sama sekali.
6
Pada DM tipe II, kelainan terletak di beberapa tempat :
1. Sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup, tetapi terdapat keterlambatan, sehingga
glukosa sudah diabsorpsi masuk darah tapi insulin belum memadai.
2. Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang (antara 20.000 – 30.000); pada obesitas bahkan
hanya sekitar 20.000.
3. Jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek, sehingga insulin tidak efektif.
4. Terdapat kelainan di pasca reseptor, sehingga proses glikolisis intra seluler terganggu.
5. Adanya kelainan campuran di antara no 1,2,3 dan 4
Pada DM akibat malnutrisi (DM-Malnutrisi atau disingkat DM-M) terjadinya DM-M
diduga karena :
1. Kekurangan protein jangka panjang yang bersamaan dengan makanan utama singkong,
sehingga HCN dari singkong merusak sel beta pankrea s yang sebetulnya HCNbisa
dinetralkan oleh asam amino dari protein makanan, dan terus dikeluarkan melalui urin
(cyanide cassava hypothesis).
2. Kekurangan protein dan kalori jangka panjang (protein deficient hypothesis).
3. Sebab lain yang belum jelas.
7
Tergantung insulin (IDDM, Tipe I) Tidak tergantung insulin (NIDDM, tipe II)
10-15 & penderita diabetes masuk golongan ini Bentuk lazim: sekitar 85% dari diabetes
Biasanya pada anak dan remaja Umur biasanya 40 tahun
Berat badan normal atau kurus Penderita sering gemuk
Gejala secara mendadak Gejala lambat laun atau asimptomatik
Ketoasidosis sering terjadi karena tak terkontrol Ketoasidosis jarang kecuali bila ada penyakit lain yang berat
Sindrom nonketonik hiperosmolar tidak dijumpai Sindroma hiperosmolar nonketonik diawali oleh gangguan ginjal atau kardovaskular
Insulin yang beredar tidak dapat di ukur Kadar insulin rendah, normal atau bahkan tinggi
Resptor insulin tidak terganggu Reseptor berkurang atau tidak efektif
Sering didapat antibody terhadap sel pulau Antibody terhadap sel pualu tidak ada
Jumlah sel beta berkuarang banyak Jumlah sel beta berkurang sedikit
Tidak ada respons terhadap obat hipoglikemik oral
Obat hipoglikemik oral sering efektif
Ada hubungan dengan fenotipe HLA antigen DR3 dan DR4 (juga B8, B15); heterozigot DR3/DR4 merupakan risiko khusus
Tidak ada hubungan dengan fenotipe HLA
Tabel 1. Perbedaan DM Tipe I dan DM tipe I
8
2.6 Fisiologi Glukosa Darah
Proses Pembentukan dan Sekresi Insulin
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh
sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin
disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk
keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur
bersama dengan hormone glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas.
(Aschroft FM, Gribble FM, 1999. ATP-Sensitive K + Channels and insulin secretion :Their
role in health and disease. Diabetologia 42: 903-19)
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada
retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami
pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-
gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim
peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah
siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel. (Aschroft FM, Gribble FM,
1999. ATP-Sensitive K + Channels and insulin secretion :Their role in health and disease.
Diabetologia 42: 903-19)
Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal,
karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada
dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang
memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa,
beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam
rangsangan terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis
dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan
belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas. (Aschroft FM, Gribble FM, 1999. ATP-
Sensitive K + Channels and insulin secretion :Their role in health and disease. Diabetologia
42: 903-19)
9
Dinamika Sekresi Insulin
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh
normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti
dikemukakan, sekresi insulin normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya
rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang
dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas-batas
fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat beban. Dengan demikian, kedua fase
sekresi insulin yang berlangsung secara sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah
selalu dalam batas-batas normal, sebagai cerminan metabolisme glukosa yang fisiologis.
(Aschroft FM, Gribble FM, 1999. ATP-Sensitive K + Channels and insulin secretion :Their
role in health and disease. Diabetologia 42: 903-19)
Aksi Insulin
Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam tubuh
terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam proses
utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak, dan hepar.
(Aschroft FM, Gribble FM, 1999. ATP-Sensitive K + Channels and insulin secretion :Their
role in health and disease. Diabetologia 42: 903-19)
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan
sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut.
Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi
proses regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme
kerja yang sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan
dalam meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada
mendorong penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4
inilah yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya
mengalami metabolisme. Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain
diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin
yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh
10
terhadap insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya
diabetes tipe 2. (Aschroft FM, Gribble FM, 1999. ATP-Sensitive K + Channels and insulin
secretion :Their role in health and disease. Diabetologia 42: 903-19)
Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan
metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana GLUT-2
berfungsi sebagai kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana sel kedalam sel.
Dalam hal inilah jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh.
Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa
secara endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan
hepar. Kedua proses ini berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh
hormon insulin. Manakala jaringan (hepar) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi
hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan menjadi
tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan
inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat
produksi glukosa dari hepar. (Aschroft FM, Gribble FM, 1999. ATP-Sensitive K + Channels
and insulin secretion :Their role in health and disease. Diabetologia 42: 903-19)
Efek Metabolisme dari Insulin
Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan pada
metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada dasarnya ini
bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan
kadar glukosa darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes
melitus. Pada diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering
ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak
adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh
terhadap insulin (resistensi insulin), disertai oleh faktor lingkungan ( environment ).
Sedangkan pada diabetes tipe 1 (DMT1), gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi
insulin secara absolut. (Aschroft FM, Gribble FM, 1999. ATP-Sensitive K + Channels and
insulin secretion :Their role in health and disease. Diabetologia 42: 903-19)
11
Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika
sekresi insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan
(inadekuat). Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap
homeostasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial
(HAP) yakni peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah beban glukosa
(makan atau minum). (Aschroft FM, Gribble FM, 1999. ATP-Sensitive K + Channels and
insulin secretion :Their role in health and disease. Diabetologia 42: 903-19)
Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi
yang bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, perjalanan penyakit ini bersifat progressif dan
cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan
kadar glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna pada gilirannya
secara klinis sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan
kadar glukosa yang normal dalam darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel
beta untuk peningkatan sekresi insulin ( insulin secretagogue ) atau bila diperlukan secara
substitusi insulin, disamping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi insulin (
insulin sensitizer ). (Aschroft FM, Gribble FM, 1999. ATP-Sensitive K + Channels and
insulin secretion :Their role in health and disease. Diabetologia 42: 903-19)
Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau konversi
fase TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai
dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini terlihat
dari kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin serum yang
cukup tinggi, namun hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi,
terutama mikrovaskular, meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan
makrovaskular telah muncul semenjak prediabetes. Semakin tingginya tingkat resistensi
insulin dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun postprandial.
Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah
kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, menyebabkan
semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa dari hepar. (Aschroft FM, Gribble FM, 1999.
ATP-Sensitive K + Channels and insulin secretion :Their role in health and disease.
Diabetologia 42: 903-19)
12
Jadi, dapat disimpulkan perjalanan penyakit DMT2, pada awalnya ditentukan oleh
kinerja fase 1 yang kemudian memberi dampak negatif terhadap kinerja fase 2, dan
berakibat langsung terhadap peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia).
Hiperglikemia terjadi tidak hanya disebabkan oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi
insulin), tapi pada saat bersamaan juga oleh rendahnya respons jaringan tubuh terhadap
insulin (resistensi insulin). Gangguan atau pengaruh lingkungan seperti gaya hidup atau
obesitas akan mempercepat progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme
glukosa akan berlanjut pada gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses
kerusakan berbagai jaringan tubuh. Rangkaian kelainan yang dilatarbelakangi oleh resistensi
insulin, selain daripada intoleransi terhadap glukosa beserta berbagai akibatnya, sering
menimbulkan kumpulan gejala yang dinamakan sindroma metabolic. (Aschroft FM, Gribble
FM, 1999. ATP-Sensitive K + Channels and insulin secretion :Their role in health and
disease. Diabetologia 42: 903-19)
13
2.7 PATOGENESIS
Diabetes Tipe I
Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel pankreas telah
dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial
(sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut diekskresikan
dalam urin (glukosuria). Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam
berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi). 3
Diabetes melitus tipe 2
14
Terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin
dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II
disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. 3
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel
beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin
disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan
regulasi glukosa darah. Resistensi insulin berarti ketidaksanggupan insulin memberi efek
biologik yang normal pada kadar gula darah tertentu. Dikatakan resisten insulin bila dibutuhkan
kadar insulin yang lebih banyak untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal. Sekresi
insulin oleh sel beta tergantung oleh 3 faktor utama yaitu, kadar glukosa darah, ATP-sensitive K
channels dan Voltage-sensitive Calcium Channels sel beta pankreas. Mekanisme kerja ketiga
faktor ini sebagai berikut : Pada keadaan puasa saat kadar glukosa darah turun, ATP sensitive K
channels di membran sel beta akan terbuka sehingga ion kalium akan meninggalkan sel beta (K-
efflux),dengan demikian mempertahankan potensial membran dalam keadaan hiperpolar
sehingga Ca-channels tertutup, akibatnya kalsium tidak dapat masuk ke dalam sel beta sehingga
perangsangan sel beta untuk mensekresi insulin menurun. Sebaliknya pada keadaan setelah
makan, kadar glukosa darah yang meningkat akan ditangkap oleh sel beta melalui glucose
transporter 2 (GLUT2) dan dibawa ke dalam sel. Di dalam sel, glukosa akan mengalami
fosforilase menjadi glukosa-6 fosfat (G6P) dengan bantuan enzim penting, yaitu glukokinase.
Glukosa 6 fosfat kemudian akan mengalami glikolisis dan akhirnya akan menjadi asam piruvat.
Dalam proses glikolisis ini akan dihasilkan 6-8 ATP. Penambahan ATP akan meningkatkan rasio
ATP/ADP dan ini akan menutup terowongan kalium. Dengan demikian kalium akan tertumpuk
dalam sel dan terjadilah depolarisasi membran sel, sehingga membuka terowongan kalsium dan
kalsium akan masuk ke dalam sel. Dengan meningkatnya kalsium intrasel, akan terjadi
translokasi granul insulin ke membran dan insulin akan dilepaskan ke dalam darah. Mengingat
GLUT2 mempunyai sifat mengangkut glukosa ke dalam sel tanpa batas, agaknya enzim
glukokinase bekerja sebagai "pembatas" agar proses fosforilasi berjalan seimbang sesuai
15
kebutuhan, dengan demikian peristiwa depolarisasi dapat diatur dan pelepasan insulin dari sel
beta ke dalam darah disesuaikan dengan kebutuhan. Oleh karena itu enzim glukokinase disebut
sebagai glucose sensor karena bertindak sebagai sensor terhadap glukosa. Sekresi insulin pada
orang non diabetes meliputi 2 fase yaitu fase dini (fase 1) atau early peak yang terjadi dalam 3-
10 menit pertama setelah makan. Insulin yang disekresi pada fase ini adalah insulin yang
disimpan dalam sel beta (siap pakai) dan fase lanjut (fase 2) adalah sekresi insulin dimulai 20
menit setelah stimulasi glukosa. Pada fase 1, pemberian glukosa akan meningkatkan sekresi
insulin untuk mencegah kenaikan kadar glukosa darah, dan kenaikan glukosa darah selanjutnya
akan merangsang fase 2 untuk meningkatkan produksi insulin. Makin tinggi kadar glukosa darah
sesudah makan makin banyak pula insulin yang dibutuhkan, akan tetapi kemampuan ini hanya
terbatas pada kadar glukosa darah dalam batas normal. Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1
tidak dapat menurunkan glukosa darah sehingga merangsang fase 2 untuk menghasilkan insulin
lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang
normal. Gangguan sekresi sel beta menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar
insulin dalam darah turun menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar
glukosa darah puasa meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk
menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan
gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak
terjadi hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. Apabila ada gangguan pada mekanisme
kerja insulin, menimbulkan hambatan dalam utilisasi glukosa serta peningkatan kadar glukosa
darah. 3
2.8 GEJALA KLINIS2
16
3
Gejala polidipsia (banyak minum) dan poliuria (banyak kencing) bersama polifagia
(banyak makan) dengan tubuh yang kurus pada usia anak-anak merupakan gejala DM tipe 1
yang memerlukan suntikan insulin. DMT1 ini jarang ditemukan karena hanya 5% dari total
kasus DM. 2
DM tipe 2 yang ditemukan pada usia pertengahan atau usia lanjut terjadi karena
gangguan pada proses masuknya gula ke dalam sel (resistensi insulin). Pada tipe ini,
penyandangnya bertubuh gemuk dan biasanya tidak memberikan keluhan serta gejala yang
jelas sebelum terdapat komplikasi. Paling banter penyandang DMT2 yang jumlah sekitar
95% dari seluruh kasus DM mengeluhkan badan yang cepat lelah, sering pusing, berat badan
yang bertambah terus, dan kulit yang sering terasa gatal. Lebih lanjut mungkin dia mengeluh
banyak kencing terutama di malam hari, sering haus dan lapar, penglihatan kabur dan luka
yang susah sembuh. 2
III. KETOASIDOSIS DIABETIKUM
3.1 DEFINISI17
Ketoasidosis adalah komplikasi dari diabetes mellitus dengan keadaan dekompensasi-
kekacauan metabolic yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. 4
3.2 FAKTOR PENCETUS
Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali.
Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya factor
pencetus. Mengatasi factor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan
ketoasidosis berulang. Faktor pencetus yang berperan terjadinya KAD adalah infeksi, infark
miokard akut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau
mengurangi dosis insulin. Sementara itu 20% pasien KAD tidak didapatkan factor pencetus. 4,6,7
Menghentikan atau mengurangi dosis insulin merupakan salah satu pencetus terjadinya
KAD. Data seri kasus KAD tahun 1988-99 di RS Dr.Cipto Mangunkusumo menunjukkan 5%
kasus menyuntik dosis insulin kurang. Musey et al melaporkan 56 kasus KAD negro di
Amerika Serikat yang tinggal di daerah perkotaan. Di antara 56 kasus tersebut, 75% telah
diketahui DM sebelumnya dan 67% factor pencetusnya adalah sebagai berikut: 50% tidak
mempunyai uang untuk membeli, 21% nafsu makan menurun, 14% masalah psikologism,
14% tidak paham mengatasi masa masa sakit akut. Pada seri kasus di atas 55% menyadari
adanya gejala hiperglikemia, walaupun demikian hanya 5% yang menghubungi klinik
diabetes untuk mengatasi masalah tersebut. 4,6,7
3.3 PATOFISIOLOGI
18
KAD adalah suatu keadaan di mana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan hormone kontra regulator (glucagon, katekolamin, kortisol, dan hormone
pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi
glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia
sangat bervariasi dan tidak menentukan berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda
klinis KAD dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
a. Akibat hiperglikemia b. Akibat ketosis
Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem hemeostasis tubuh terus
teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia.
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormone kontra regulator terutama
epinefrin, mengaktivasi hormone lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis
meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara
berlebihan. Akumulasi produk benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolic
asidosis. Benda keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi butirat
(3HB) ; dalam keadaan normal konsentrasi 3HB meliputi 75-85% dan aseton darah
merupakan benda keton yang tidak begitu penting. Meskipun sudah tersedia bahan bakar
tersebut sel sel tubuh masih tetap lapar dan terus memproduksi glukosa. 4,7
Hanya insulin yang dapat menginduksi transport glukosa ke dalam sel, memberi signal
untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen, menghambat lipolisis pada sel lemak
(menekan pembentukan asam lemak bebas), menghambat gluconeogenesis pada sel hati serta
mendorong proses oksidasi melalui siklus kreb dalam mitokondria sel. Melalui proses
oksidasi tersebut akan dihasilkan adenine trifosfat (ATP) yang merupakn sumber energy
utama sel. 4,7
Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi insulin relatif.
Meningkatnya hormone kontra regulator insulin, meningkatnya asam lemak bebas,
hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa dapat menganggu
sensitivitas insulin. 4,7
19
Figure22-10. Regulation of long chain fatty acid oxidation in the liver. (FFA, free fatty
acid; VLDL, very low density lipoprotein.) Positive (+) and negative (-) regulatory effects
are represented by red arrows and substrate flow by black arrows. 5
3.4 HORMON REGULATOR
3.4.1 PERANAN INSULIN
20
Pada KAD terjadi defisiensi insulin absolut atau relative terhadap
hormone kontra regulasi yang berlebihan. Defisiensi insulin dapat disebabkan
oleh resistensi insulin atau suplai insulin endogen atau eksogen yang berkurang.
Defisiensi aktivitas insulin tersebut menyebabkan 3 proses patofisiologi yang
nyata pada 3 organ, yaitu sel sel lemak, hati dan otot. Perubahan terjadi terutama
melibatkan metabolism lemak dan karbohidrat. 4
3.4.2 PERANAN GLUKAGON
Di antara hormone hormone kontraregulator, glucagon yang paling
berperan dalam pathogenesis KAD. Glukagon menghambat proses glikolisis dan
menghambat pembentukan malonyl CoA. Malonyl CoA adalah suatu penghambat
carnitine acyl transferases (CPT1 dan CPT2) yang bekerja pada transfer asam
lemak bebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian peningkatan glucagon akan
meransang oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis. 4
Pada pasien DM tipe 1, konsentrasi glukagon darah tidak teregulasi
dengan baik. Bila konsentrasi insulin rendah maka konsentrasi glukagon darah
sangat meningkat serta mengakibatkan reaksi kebalikan respons insulin pada sel-
sel lemak dan hati. 4
3.4.3 HORMON KONTRA REGULATOR LAINNYA
Konsentrasi epinefrin dan kortisol darah meningkat pada KAD. Hormon pertumbuhan
(GH) pada awal terapi KAD konsentrasinya kadang-kadang meningkat dan lebih
meningkat lagi dengan pemberian insulin. 4
Keadaan stres sendiri meningkatkan hormone kontra regulasi yang pada akhirnya
akan menstimulasi pembentukan benda-benda keton, gluconeogenesis serta potensial
sebagai pencetus KAD. Sekali proses KAD terjadi maka akan terjadi stres yang
berkepanjangan4
3.4 GEJALA KLINIS
21
Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan ini tentunya
sangat membantu untuk mengenali KAD akan lebih cepat sebagai komplikasi akut DM dan
segera menangatasinya. 4,7
Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai penafasan cepat dan
dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering),
kadang kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu
mudah tercium. 4,7
Areataeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuri dan polidipsi
sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, demam,
atau infeksi. Muntah muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD
anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan
gastroparesis-dilatasi lambung. 4,7
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi
sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan
kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alcohol) 4,7
Infeksi merupakan factor pencetus yang paling sering, di RS Dr.Cipto Mangunkusumo
Jakarta, factor pencetus infeksi didapatkan sekitar 80%. Infeksi yang sering ditemukan ialah
infeksi saluran kemih dan pneumonia. Walaupun factor pencetusnya adalah infeksi,
kebanyakan pasien tak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu
dipikirkan kemungkinan kolesistitis, iskemia usus, apendisitis, diverticulitis, atau perforasi
usus. Bila ternyata pasien tidak menunjukkan respons yang baik terhadapa pengobatan KAD,
maka perlu dicari kemungkinan infesi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirectal) 4,7
3.5 DIAGNOSIS
22
Ketoasidosis diabetic perlu dibedakan dengan ketosis diabetic ataupun hiperglikemia
hyperosmolar nonketotik. Beratnya hiperglikemia, ketonemia dan asidosis dapat dipakai
dengan kriteria diagnosis KAD. Walaupun demikian penilaian kasus per kasus diperlukan
untuk menegakkan diagnosis. 4
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien dengan KAD terdiri dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama memperhatikan patensi jalan
napas, status mental, status ginjal dan kardiovaskuler, dan status hidrasi. Langkah- langkah
ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan,
sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan. 4
Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera dilakukan
setelah dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan konsentrasi
glukosa darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan urin dengan menggunakan urin strip
untuk melihat secara kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat, dan lekosit dalam urin.
Pemeriksaan laboratorium lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan
KAD meliputi konsentrasi HCO3, anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan
pemeriksaan konsentrasi AcAc dan laktat serta 3HB. 4
Tabel. Kriteria Diagnosis KAD
Kadar glukosa > 250mg%
pH < 7,35
HCO3 rendah
Anion gap yang tinggi
Keton serum positif
3.6 PRINSIP PENGOBATAN
23
Begitu masalah diagnosis KAD ditegakkan, segera pengelolaan dimulai. Pengelolaan
KAD tentunya berdasarkan patofisiologi dan pathogenesis penyakit, merupakan terapi
titerasi, sehingga sebaiknya dirawat di ruang perawatan intensif. Prinsip pengelolaan KAD
ialah : 1. Penggantian cairan dan garam yang hilang; 2. Menekan lipolisis sel lemak dan
menekan gluconeogenesis sel hati dengan pemberian insulin; 3. Mengatasi stres sebagai
pencetus KAD; 4. Mengembalikan keadaan fisiologis normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyeusaian pengobatan. 4
Pengobatan KAD tidak terlalu rumit. Ada 6 hal yang harus diberikan; 5 diantaranya ialah:
cairan, garam, insulin, kalium dan glukosa. Sedangkan yang terakhir tetapi sangat
menentukan adalah asuahan keperawatan. Di sini diperlukan kecermatan dalam evaluasi
sampai keadaan KAD teratasi dan stabil.
3.6.3 Cairan
Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan garam fisiologis. Berdasarkan
perkiraan hilangnya cairan pada KAD mencapai 100ml per kg berat badan,
maka pada jam pertama diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter
dan selanjutnya sesuai protocol. Ada dua keuntungan rehidrasi pada KAD:
memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormone kontraregulator
insulin. Bila konsentrasi glukosa kurang dari 200mg% maka perlu diberikan
larutan mengandung glukosa (dektrosa 5% atau 10%)4
3.6.4 Insulin24
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan
rehidrasis yang memadai. Pemberian insulin akan menurukan konsentrasi
hormone glukagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati,
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari
jaringan oto dan meningktkan utitilisasi glukosa oleh jaringan.
Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya secara bolus melalui
intravena, intramuscular, ataupun subkutan. Sejak pertengahan tahun 1970-an
protocol pengelolaan KAD dengan drip insulin intravena dosis rendah mulai
digunakan dan menjadi popular. (soken et al,1972). Cara ini dianjurkan oleh
karena lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan konsentrasi
glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat menghilang, masuknya kalium
ke intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan hypokalemia lebih
sedikit. Butkeiwicz et al menganalisis data pengobatan KAD sebelum dan
sesudah tahun 1970 dan melaporkan bahwa pemberian insulin kontinu secara
intravena lebih jarang menyebabkan hipoglikemia dibandingkan dengan cara
bolus. Sedangkan untuk hypokalemia tidak berbeda. 4
Efek kerja insulin terjadi dalam beberapa menit setelah insulin berikatan
dengan reseptor. Kemudian reseptor yang telah berikatan akan mengalami
internalisasi dan insulin akan mengalami destruksi. Dalam keadaan hormone
kontraregulator masih tinggi dalam darah dan untuk mencegah terjadinya
lipolisis dan ketogenesis, pemberian insulin tidak boleh dihentikan tiba-tiba
dan perlu dilanjutkan beberapa jam setelah koreksi hiperglikemia tercapai
bersamaan dengan pemberian larutan mengandung glukosa untuk mencegah
hipoglikemia. Kesalahan yang sering terjadi ialah penghentian drip insulin
lebih awal sebelum klirens benda keton darah cukup adekuat tanpa konversi
ke insulin kerja panjang. 4
Tujuan pemberian insulin disini bukan hanya untuk mencapai konsentrasi
glukosa normal, tetapi untuk mengatasi keadaan ketonemia. Oleh karena itu
bila konsentrasi glukosa kurang dari 200mg%, insulin diterusakan dan untuk
25
mencegah hipoglikemia diberi cairan mengandung glukosa sampai asupan
kalori oral pulih kembali. 4
Di Rs. Dr. Cipto Mangunkusumo cara pengobatan KAD dengan insulin
dosis rendah kontinu intravena diperkenalkan sejak tahun 1980 dan sampai
sekarang sudah beberapa kali mengalami modifikasi. Perubahan terakhir
dikeluarkan sejak awal 1997. Dengan cara itu, dilaporkan kejadian
hipoglikemia 3,6-7,1% dan kejadian hypokalemia 7,2%.4
3.6.5 Kalium
Pada awal KAD biasanya konsentrasi ion K serum meningkat.
Hyperkalemia yang fatal sangat jarang dan bila terjadi harus segera diatasi
dengan pemberian bikarbonat. Bila pada elektrokardiogram ditemukan
gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat segera
mengatasi keadaan hyperkalemia tersebut. 4
Yang perlu menjadi perhatian adalah terjadinya hypokalemia yang
dapat fatal selama pengobatan KAD. Ion kalium terutama terdapat
intraselular. Pada keadaan KAD, ion K bergerak ke luar sel dan selanjutnya
dikeluarkan melalui urin. Total deficit K yang terjadi selama KAD
diperkirakan mencapai 3-5mEq/kgBB. Selama terapi KAD, ion K kembali ke
dalam sel. Untuk mengantisipasi masuknya ion K ke dalam sel serta
mempertahankan konsentrasi K serum dalam batas normal, perlu pemberian
kalium. Pada pasien tanpa gagal ginjal serta tidak ditemukan gelombang T
yang lancip dan tinggi pada elektrokardiogram, pemberian kalium segera
dimulai setelah jumlah urin cukup adekuat. 4
3.6.6 Glukosa
26
Setelah rehidrasi awal 2jam pertama, biasanya konsentrasi glukosa darah
akan turun. Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi
penurunan konsentrasi glukosa sekitar 60mg%/jam. Bila konsentrasi glukosa
mencapai < 200mg% maka dapat dimulai infus mengandung glukosa. Perlu
ditekankan disini bahwa tujuan terapi KAD bukan untuk menormalkan
konsentrasi glukosa tetapi menekan menekan ketogenesis. 4
3.6.7 Bikarbonat
Terapi bikarbonat pada KAD menjadi topic perdebatan selama beberapa
tahun. Pemberian bikarbona hanya dianjurkan oada KAD yang berat, adaun
alasan keberatan pemberian bikarbonat adalah; 1. Menurunkan pH intraselular
akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat. 2. Efek negatif pada dissosiasi
oksigen di jaringan; 3. Hipertonis dan kelebihan kalium; 4. Meningkatkan
insidens hypokalemia; 5. Gangguan fungsi serebral dan 6. Terjadi alkalemia
bila bikarbonat terbentuk dari asam keto. 4
Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari 7,1 walaupun
demikian komplikasi asidosis laktat dan hyperkalemia yang mengancam tetap
merupakan indikasi pemberian bikarbonat. 4
3.6.8 Pengobatan umum
Di samping hal tersebut diatas pengobatan umum tak kalah penting.
Pengobatan umum KAD terdiri atas ; 1. Antibiotic yang adekuat; 2. Oksigen
bila pO2<80mmHg; 3. Heparin bila ada DIC atau bila hyperosmolar
(>380mOsm/l). 4
3.6.9 Pemantauan
27
Pemantaun merupakan bagian yang terpenting dalam pengobatan KAD
mengingat penyesuaian terapi perlu dilakukan selama terapi berlangsung.
Untuk itu perlu dilaksanakan pemeriksaan; 1. Konsentrasi glukosa darah tiap
jam dengan alat glucometer; 2. Elektrolit setiap 6 jam selama 24 jam
selanjutnya mengikut keadaan; 3. Analisis gas darah; bila pH<7 waktu masuk
periksa setiap 6jam sampai pH>7,1 selanjutnya setiap hari sampai stabil; 4.
Tekanan darah, nadi, frekuensi napas, dan temperature setiap jam; 5. Keadaan
hidrasi, balans cairan; 6. Waspada terhadap kemungkinan DIC. 4
Agar hasil pemantauan efektif dapat digunakan lembar evaluasi
penatalaksanaan ketoasidosis yang baku. 4
3.7 KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD ialah sebagai berikut
edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut dan komplikasi iatrogenic. Komplikasi
iatrogenic tersebut ialah hipoglikemia, hypokalemia, edema otak, dan hipokalsemia. 4,7
3.8 PENCEGAHAN
28
Factor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan
kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada
sistem pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif
terutama pada saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk pilek, diare,
demam, luka). 4,7
Upaya pencegahan merupakan hal yang penting pada penatalaksanaan DM secara
komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya komplikasi DM
kronik dan akut, melalui edukasi sangat penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien
yang baik. 4,7
Khusus mengenai pencegahan KAD dan hipoglikemia, program edukasi perlu
menekankan pada cara-cara mengatasi pada saat sakit akut, meliputi informasi mengenai
pemberian insulin kerja cepat, target konsentrasi glukosa darah pada saat sakit, mengatasi
demam dan infeksi, memulai pemberian makanan cair mengandung karbohidrat dan garam
yang mudah dicerna. Yang paling penting adalah agar tidak menghentikan pemberian insulin
atau obat hipoglikemia oral dan sebaiknya segera mencari pertolongan atau nasihat tenaga
kesehatan yang professional. 4,7
Pasein DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat mengalami masa-masa
sakit, dengan melakukan pemantauan konsentrasi glukosa darah dan keton urin sendiri.
Disinilah pentingnya educator diabetes yang dapat membantu pasien dan keluarga, terutama
pada keadaan sulit. 4,7
IV. KESIMPULAN
29
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi metabolik akut serius pada pasien
diabetes melitus. Manifestasi utamanya adalah kekurangan insulin, hiperglikemia yang berat,
dehidrasi, asidosis metabolik. KAD terjadi bila kekurangan insulin yang berat tidak saja
menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi yang berat tapi juga mengakibatkan produksi keton
meningkat serta asidosis. Diagnosis KAD ditegakkan bila ditemukan hiperglikemia (≥ 250
mg/dL), ketosis darah atau urin, dan asidemia (pH < 7.3)., HCO3 rendah (<15 meq/L), anion gap
yang tinggi. Terapi bertujuan mengoreksi kelainan patofisiologis yang mendasari, yaitu
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, kadar glukosa darah, gangguan asam basa, serta
mengobati faktor pencetus. Prinsip terapi KAD terdiri dari pemberian cairan, terapi insulin,
koreksi kalium, dan bikarbonat. 4,7
V. DAFTAR PUSTAKA
30
1. Syahputra, Muhammad. Diabetik Ketoacidosis. Bagian Biokimia Fakultas kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Medan: 2003.hal 1-14
2. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S et al. Diabetes melitus. Buku ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2006:p 1852-1859
3. Schteingart DE. Diabetes mellitus. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994;p 1111-1119.
4. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S et al. Ketoasidosis diabetikum.
Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2006:p 1874-1877
5. Robert KM, Daryl KG, Victor WR et al. Oxidation of fatty acids:ketogenesis.
Harper’s Illustrated Biochemistry 27th edition. US: Mc Graw Hill.2006:p 187-195
6. Usher-Smith JA, Thompson MJ, Sharp SJ, Walter FM. Factors associated with the
presence of diabetic ketoacidosis at diagnosis of diabetes in children and young
adults: a systematic review. BMJ. Jul 7 2011;343:d4092.
7. Rucker DW. Diabetic ketoasidosis. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/766275-overview. 2010 pada tanggal 25
Augustus 2012
8. Rocky. Clinic and health community diunduh dari : http://www.dr-rocky.com pada
tanggal 25 Augustus 2012
31