bab ii landasan teori - bina nusantara

48
21 BAB II LANDASAN TEORI Landasan teori merupakan bagian penting yang menjadi dasar sebuah penelitian ilimiah dilakukan. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan variabel penelitian yakni kompensasi, lingkungan kerja, komunikasi dan kepuasan kerja. Adapun kerangka dari teori-teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Upload: others

Post on 26-Nov-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

21

BAB II

LANDASAN TEORI

Landasan teori merupakan bagian penting yang menjadi dasar sebuah penelitian

ilimiah dilakukan. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan

variabel penelitian yakni kompensasi, lingkungan kerja, komunikasi dan kepuasan

kerja. Adapun kerangka dari teori-teori yang digunakan dalam melakukan penelitian

ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.

22

Hierarchy

of Needs Theory

(Maslow, 1943)

Two Factor Theory

(Herzberg, 1950)

Motivators Theory

(Herzberg, 1950)

Hygiene Theory

(Herzberg, 1950) Promotion

(Herzberg, 1950)

Reward

(Herzberg, 1950)

Pay

(Herzberg, 1950)

Nature of Works

(Herzberg, 1950)

Fringe Benefit

(Herzberg, 1950)

Relationship with

co-workers

(Herzberg, 1950)

Supervisor

(Herzberg, 1950)

Operating

Coditions

(Herzberg, 1950)

Thorndike Law

Effect

(Thorndike, 1905)

Reinforcement

Theory

(Skinner, 1985)

Manajemen

Kompensasi

(Hasibuan, 2003)

Teori Komunikasi

Mathematical

Theory of

Communication

(Shannon &

Weaver, 1940

1943)

Work Environment

(Herzberg, 1950)

Komunikasi

Interpersonal

(Myers & Myers

1992)

Equity Theory

(Adams, 1963)

Expectancy

Theory

(Vroom, 1964)

Job Satsifaction

(Spector, 2008)

Gambar 2.1 – Konsep Landasan Teori Penelitian

Job Performance

(Lawler & Porter,

1967)

23

2.1 Teori Hierarchy Of Needs

Teori Hierarchy of Needs oleh Maslow merupakan dasar dari sejumlah teori

yang digunakan dalam penelitian ini. Teori Hierarchy of Needs oleh Maslow pertama

kali berkembang pada tahun 1943. Maslow mengelompokan kebutuhan manusia ke

dalam lima tingkatan. Tingkatan pertama adalah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan

fisiologis merupakan kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan.

Tingkatan kedua dalam teori kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan rasa aman

yang kemudian diikuti dengan kebutuhan akan kasih sayang. Selanjutnya tingkatan

keempat dalam teori kebutuhan Maslow adalah kebutuhan self esteem yang meliputi

reputasi dan status sosial. Pada tingkat tertinggi dalam teori kebutuhan Maslow

(1943) terdapat self actualization yang meliputi kebutuhan akan pengembangan

pribadi diri.

Sejumlah kebutuhan yang dinyatakan oleh Maslow (1943) akan memicu

motivasi dari inidividu untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam rangka

pemenuhan kebutuhan individu kemudian akan terpacu untuk melakukan suatu

pekerjaan. Two factors theory oleh Herzberg (1950) (dalam Herzberg, 1974)

kemudian muncul untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi

kerja individu dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Pada two factors theory terdapat

dua faktor yang mempengaruhi motivasi kerja individu yakni motivator factors dan

hygiene factors. Motivator factors berasal dari pekerjaan itu sendiri yang memicu

munculnya kepuasan kerja. Hygiene factors tidak berasal dari pekerjaan itu sendiri

dan dapat memicu timbulnya ketidakpuasan kerja. Adapun teori ini kemudian

24

berkembang membentuk sejumlah teori baru yang behubungan dengan kompensasi,

lingkungan kerja dan kepuasan kerja.

2.1.1 Konsep Kompensasi

2.1.1.1 Definisi Kompensasi

Kompensasi merupakan pemberian manfaat kepada orang yang dimaksudkan

untuk menerima manfaat tersebut, sehingga dapat menarik minat untuk mencapai

tujuan yang diharapkan (Black, 1953). Lawler III (1966) kemudian menambahkan

bahwa kompensasi penting karena dapat mempengaruhi dan memotivasi pekerja

untuk mencapai suatu tujuan yang kemudian menentukan kesuksesan sebuah

perusahaan. Penelitian Paul (1976) menyebutkan kompensasi yang dianggap penting

bagi pekerja ternyata kurang diperhatikan, sehingga perusahaan gagal untuk

memenuhi kebutuhan pekerja yang selanjutnya berdampak pada penurunan minat

para pekerja dalam menyelesaikan tugasnya. Pekerja yang tergabung dalam serikat

pekerja memperoleh kompensasi yang lebih banyak jika dibandingkan dengan

pekerja yang tidak tergabung dalam serikat pekerja, sehingga umumnya para buruh

anggota serikat pekerja memiliki kepuasan terhadap pekerjaan yang lebih tinggi

(Hirsch, Macpherson, & Dumond, 1997). Adapun pemotongan kompensasi yang

terjadi pada tahun 1970 sebagai dampak dari resesi ekonomi juga mengakibatkan

terjadinya penurunan kepuasan kerja (Boyd, 1999).

Menurut Aswathappa (2007) kompensasi yang diterima pekerja dapat berupa

kompensasi yang memberikan manfaat finansial (gaji, bonus, insentif, dan tunjangan)

dan non finansial (peluang untuk berkembang, pengakuan, dan suasana kerja yang

25

nyaman). Trevor (2008) mendukung penyataan Lawler III (1966) dengan

menambahkan bahwa kompensasi dapat digunakan sebagai strategi untuk

meningkatkan kinerja perusahaan melalui produktivitas pekerja. Penggunaan

kompensasi sebagai komponen strategi untuk meningkatkan kinerja perusahaan itu

dibutuhkan (Trevor, 2008). Sohpia (2013) mendukung pernyataan Aswathappa

(2007) dengan menambahkan bahwa kompensasi yang memberikan manfaat finansial

sangat penting bagi pekerja karena dengan kompensasi tersebut pekerja dapat

memenuhi kebutuhan mereka khususnya kebutuhan fisiologis. Adapun kompensasi

yang memberikan manfaat non finansial juga penting karena membantu pekerja

memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial dan sebagai sarana untuk self-

actualization (Sopiah, 2013). Kompensasi yang mampu memberikan manfaat

terhadap pemenuhan kebutuhan pekerja akan mempengaruhi kepuasan kerja (Salisu,

Chinyo, & Suresh, 2015). Adapun menurut Salisu et al. (2015) unsur reward (pay)

dan promotion opportunity merupakan bagian dari variabel kompensasi yang dapat

digunakan untuk mengukur kepuasan kerja. Pengakuan dan penghargaan yang

diberikan perusahaan kepada pekerja juga merupakan unsur dalam variabel

kompensasi yang menentukan kepuasan pekerja terhadap kompensasi yang

diterimanya (Salisu et al., 2015).

Kompensasi dalam industri jasa sendiri, menurut penelitian Bilal (2012)

mengindikasikan bahwa kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, sosial, self-

esteem dan self-actualization merupakan prediktor signifikan terhadap kinerja

pekerja. Ketika pekerja mampu mengakomodasi kebutuhan fisiologis melalui

kompensasi, maka akan terjadi peningkatan kepuasan kerja yang berdampak pada

26

kinerja dari para pekerja (Bilal, 2012). Tukamuhabwa, Ntayi, Muhzewi, Eyaa &

Makerere (2012) melengkapi hasil penelitian Bilal (2012) dengan menambahkan

bahwa kompensasi non finansial juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap

kinerja pekerja. Faktor pay, fringe benefit, dan promotion merupakan bagian dari

variabel kompensasi yang berperan dalam menentukan kepuasan kerja di industri jasa

(Muguongo, Muguna, & Muriithi, 2015). Di samping itu, pemberian tunjangan dari

perusahaan yang dinilai adil oleh pekerja jika dibandingkan dengan perusahaan lain

juga menjadi faktor pengukur kepuasan kerja (Muguongo et al., 2015).

Adapun menurut penelitian Zitkiene dan Blusyte (2015) pemberian

kompensasi juga ternyata berperan dalam jalannya sebuah proses bisnis di perusahaan

jasa yang melakukan outsourcing pekerja. Penelitian Zitikiene dan Blusyte (2015)

mendukung penelitian Muttaqien (2014) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja dari

pekerja outsourcing dapat dicapai melalui pemberian kompensasi yang layak.

Humaeroh, Susilo, & Prasetya (2015) menambahkan, kepuasan pekerja terhadap

kompensasi seperti pemberian upah yang layak dan peluang untuk memperoleh

kenaikan gaji dapat menjadi faktor pemicu meningkatnya kepuasan kerja.

Adapun setelah mengetahui definisi kompensasi dari sejumlah penelitian

sebelumnya, maka definisi kompensasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

bahwa kompensasi tidak hanya merupakan faktor penting yang diperhatikan pekerja

ketika mereka memutuskan untuk berkerja di suatu perusahaan, tetapi juga

merupakan alat yang digunakan oleh perusahaan untuk menyaring pekerja-pekerja

berkualitas (Barbosa, Bucione & Souza, 2014; Cai dan Zheng, 2016; Rynes, Gerthart,

& Minette, 2014).

27

2.1.1.2 Teori-Teori yang Melandasi Konsep Kompensasi

Teori Hierarchy of Needs oleh Maslow (1943) berkaitan dengan teori perilaku

dan organisasional yang digunakan dalam rangka mengeksplor motivasi pekerja

untuk pengelolaan manajerial yang lebih baik. Berdasarkan teori Maslow, pemenuhan

kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman,

kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan dan terakhir adalah

kebutuhan untuk aktualisasi diri. Teori Maslow mengasumsikan bahwa orang pada

umumnya akan memenuhi kebutuhan mendasar (fisiologis) terlebih dahulu sebelum

mengarahkan ke perilaku pemenuhan kebutuhan pada tingkatan yang lebih tinggi

(aktualisasi diri). Sengupta (2011) menekankan bahwa ketika kebutuhan pada suatu

tingkat telah terpenuhi, maka keinginan untuk memenuhi kebutuhan tersebut akan

berhenti menjadi motivasi utama perilaku seseorang.

Two factors theory menurut Herzberg (1950) menyatakan dua faktor yang

mempengaruhi motivasi kerja dalam rangka pemenuhan kebutuhan seseorang (dalam

Herzberg, 1974). Pertama adalah motivator factors atau faktor motivasi yang terdiri

dari sejumlah faktor yang menyebabkan pekerja merasa puas dan ingin bekerja lebih

baik. Faktor seperti kesempatan untuk memperoleh promosi dan penghargaan

terhadap hasil kerja merupakan bagian dari motivator factors. Kedua adalah hygiene

factor atau faktor higiene yaitu faktor yang jika tidak dipenuhi dapat memicu

ketidakpuasan kerja dan penurunan motivasi. Adapun hygiene factors dapat berupa

faktor gaji dan tunjangan (Herzberg, 1974).

28

Teori ekuitas (equity theory) atau teori keseimbangan (Adams, 1963)

kemudian muncul sehubungan dengan persepsi pekerja terhadap gaji sebagai imbalan

untuk pemenuhan kebutuhan yang didasarkan pada two factor theory Herzberg

(1950). Teori ekuitas menurut Adams (1963) adalah teori tentang persepsi pekerja

yakni bagaimana mereka berkonstribusi terhadap organisasi, apa yang mereka

dapatkan sebagai imbalan, dan bagaimana rasio pengembalian atas konstribusi

tersebut jika dibandingkan dengan yang diterima pekerja lain baik di dalam dan luar

organisasi akan menentukan bagaimana mereka melihat hubungan kerja (Skiba &

Rosernberg, 2011).

Teori ekspektasi (expectancy theory) oleh Vroom (1964) lebih menekankan

pada faktor hasil (outcomes), dibandingkan kebutuhan (needs) seperti yang

dikemukakan oleh Maslow (dalam Nimri, Bdair & Albitar, 2015). Teori ini

menyatakan bahwa kecenderungan untuk melakukan suatu hal dengan cara tertentu

tergantung pada intensitas harapan bahwa kinerja akan diikuti dengan hasil yang

pasti. Vroom (1964) mengemukakan bahwa individu akan termotivasi untuk

melakukan hal-hal tertentu guna mencapai tujuan, apabila mereka yakin bahwa

tindakan mereka akan mengarah pada pencapaian tujuan tersebut. Teori penguatan

kembali (reinforcement theory) oleh Skinner (1958) memandang bahwa perilaku

manusia ditentukan oleh konsekuensi yang diberikan oleh lingkungannya (Sequeira,

Melo, & Paiva, 2014). Teori ini berdasarkan pada Thorndike’s law of effect (1905),

yakni bahwa perilaku yang menghasilkan outcome yang menyenangkan akan

cenderung diulangi, sedangkan perilaku yang menghasilkan outcome yang tidak

menyenangkan akan cenderung tidak diulang (dalam Sequeira et al., 2014). Teori

29

ekspektasi (expectancy) dikombinasikan dengan teori penguatan kembali

(reinforcement) dapat memberikan implikasi terhadap manajemen kompensasi

(Malik, Butt & Choi, 2015). Teori ekspektasi (expectancy) dan penguatan kembali

(reinforcement) menyatakan tentang respon yang mengikuti pemberian penghargaan.

Teori penguatan kembali (reinforcement) sama seperti teori ekspektasi (expectancy)

umumnya fokus pada hubungan antara penghargaan dan perilaku, dengan

menekankan pada harapan terhadap penghargaan yang akan diterima. Implikasi

kedua teori ini terhadap manajemen kompensasi adalah kinerja yang baik jika diikuti

dengan pemberian penghargaan yang sesuai dengan ekspektasi maka akan

menyebabkan kualitas kinerja tersebut akan terulang lagi di masa yang akan datang.

Sebaliknya kinerja yang baik, jika diikuti dengan pemberian penghargaan yang tidak

sesuai ekspektasi akan menyebabkan kualitas kinerja yang baik tersebut tidak akan

terulang lagi di masa yang akan datang (Malik et al., 2015).

2.1.1.3 Peranan Konsep Kompensasi Pada Konteks Freight

Forwarding

Kompensasi dalam industri freight forwarding, menurut Hamdan dan

Setiawan (2014) baik yang memberikan manfaat finansial maupun non finansial,

dapat membangkitkan semangat kerja sehingga berdampak pada kinerja pekerja.

Gunawan (2015) menambahkan, kompensasi merupakan faktor penting, mengingat

kompensasi khususnya yang memberikan manfaat finansial dapat membantu

meningkatkan kesejahteraan hidup pekerja. Peningkatan kesejahteraan hidup akan

memotivasi pekerja untuk bekerja secara maksimal yang kemudian berdampak pada

30

kinerja perusahaan (Gunawan, 2015). Hal ini didasarkan pada kombinasi teori

ekspektasi (expectancy) dan penguatan kembali (reinforcement) yang menyatakan

bahwa kinerja yang baik jika diikuti dengan pemberian penghargaan yang sesuai

dengan ekspektasi maka akan menyebabkan kualitas kinerja tersebut dapat terulang

kembali di masa yang akan datang (Malik et al., 2015). Lesal (2015) menyatakan

kompensasi dapat digunakan sebagai faktor pendorong internal pada aplikasi strategi

bersaing dalam menghadapi persaingan bisnis di industri freight forwarding. Istilah

freight forwarder menurut Oxford Dictionaries adalah ―A company that receives

and ships goods on behalf of other companies: the freight forwarder chooses whether

to ship a consignment by road, by rail, or by sea.” Sebuah perusahaan yang

melakukan jasa penerimaan dan pengiriman barang atas nama perusahaan lain;

perusahaan memilih mengirim barang menggunakan jalan darat, melalui kereta api

ataupun melalui laut (―Freight forwarder,‖ 2016).

Pada industri freight forwarding, buruh angkut atau pekerja blue-collar

umumnya mendominasi dalam proses operasional perusahaan (Sasono, 2003). Buruh

angkut sebagai pekerja blue-collar merupakan faktor penting dalam proses

operasional perusahaan freight forwarder (Gunawan, Suhartono & Sianto, 2008).

Adapun kompensasi merupakan faktor yang dapat mendorong peningkatan

produktivitas sebagai akibat dari kepuasan kerja (Gunawan 2015). Persepsi

kompensasi bagi para buruh dianggap sangat penting, karena kompensasi merupakan

sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Kapeliushnikov,

2015). Sebagian besar buruh menggantungkan hidupnya pada kompensasi yang

diterima dari perusahaan, dimana terkadang kompensasi tersebut belum mampu

31

memenuhi kebutuhan hidup mereka (Canavan, 2014). Di Indonesia fenomena upah

murah identik dengan para buruh, dimana kesalahan tolak ukur yang digunakan untuk

menentukan gaji buruh yaitu biaya hidup rendah merupakan pemicu utama fenomena

ini (Syarifudin, 2016). Ketika upah yang diterima para buruh tidak mampu memenuhi

kebutuhan hidupnya, ketidakpuasan kerja akan muncul sebagai efek dari kebutuhan

hidup yang tidak terpenuhi (Zotov, Zhidkova, & Dvorovenko, 2014).

Berdasarkan penjabaran di atas, diduga bahwa kompensasi mempengaruhi

kepuasan kerja para buruh angkut sebagai pekerja blue-collar di industri freight

forwarding. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih jelas

sehubungan dengan pengaruh kompensasi baik yang memberikan finansial maupun

non fimansial terhadap kepuasan kerja di industri freight forwarding. Definisi freight

forwarding yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada penggunaan jalur laut.

2.1.2 Konsep Lingkungan Kerja

2.1.2.1 Definisi Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja fisik dan non fisik mempengaruhi hubungan antar pihak di

perusahaan yang kemudian berdampak pada hasil akhir dari pekerjaan (Weiss, 1949).

Hardin (1960) menambahkan bahwa lingkungan kerja akan mempengaruhi kepuasan

pekerja terhadap pekerjaannya. Howel, Brumback, Newman, & Rizzo (1968)

mendukung penyataan Hardin (1960) yang menyatakan bahwa lingkungan kerja yang

mendukung akan meningkatkan kinerja dari para pekerja. Lingkungan kerja

memainkan peran yang signifikan terhadap tekanan kerja di perusahaan, dimana

dengan lingkungan kerja yang mendukung, tekanan kerja dari para pekerja dapat

32

dikurangi sehingga mampu mengoptimalkan kinerja mereka (Forrester, 1984). Hoogs

& Higgs (2002) melengkapi pernyataan Forrester (1984) dengan menyatakan bahwa

lingkungan kerja umumnya fleksibel, tidak harus terpaku pada suatu tempat secara

fisik, tetapi menyesuaikan dengan lingkungan sosial.

Lingkungan kerja yang terdiri dari fasilitas peralatan, perilaku yang diterima

karyawan, lingkungan tempat kerja, tantangan pekerjaan, sistem kompensasi yang

adil, dukungan lingkungan kerja dan sikap rekan kerja merupakan determinan

kepuasan kerja (Rahmawati, Swasto & Prasetya, 2012). Rahmawati et al. (2012)

kemudian membagi lingkungan kerja menjadi dua kategori yakni lingkungan kerja

fisik dan lingkungan kerja non fisik. Lingkungan kerja fisik mencakup keadaan di

sekitar tempat kerja yang berbentuk fisik dan dapat secara langsung dirasakan oleh

pekerja. Adapun lingkungan kerja non fisik merupakan cerminan hubungan antar

pihak yang terlibat dalam lingkungan kerja. Kondisi perusahaan terkait dengan

lingkungan kerja non fisik meliputi suasana kekeluargaan, komunikasi yang baik

antara atasan dan bawahan, dan pengendalian diri. Lingkungan kerja fisik dan non

fisik ini memiliki pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja. Indikator yang dapat

digunakan untuk mengukur lingkungan kerja fisik antara lain pencahayaan, sirkulasi

udara, warna, kebersihan, keamanan, dan kondisi peralatan kerja. Lingkungan kerja

non fisik dapat diukur melalui struktur tugas, desain pekerjaan, pola kerja sama dan

pola kepemimpinan (Rahmawati et al., 2012). Adapun berdasarkan pembagian

kategori tersebut, menurut Raziq dan Maulabaksh (2015) variabel lingkungan kerja

dapat diukur melalui kepuasan pekerja terhadap kondisi pekerjaan (operating

conditions) serta hubungan dengan atasan dan rekan kerja (relationship with

33

supervisor and co-workers). Beban pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas kerja,

hubungan yang baik dengan rekan kerja dan supervisor serta didukung dengan aturan

dan prosedur yang mudah dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut akan mampu

memelihara tingkat kepuasan kerja pada tingkat tertinggi (Raziq dan Maulabaksh,

2015).

Rossberg, Eiring, & Friss (2004) menyebutkan bahwa lingkungan kerja dan

kepuasan kerja memiliki hubungan yang erat. Menurut Srivastava (2008) lingkungan

kerja berdampak terhadap kepuasan kerja yang kemudian menjadi faktor penentu

efektivitas organisasi. Tio (2015) menambahkan lingkungan kerja merupakan faktor

yang penting bagi pekerja karena lingkungan kerja dapat membangun perasaan positif

pada saat bekerja. Salunke (2015) mendukung penelitian Tio (2015) dengan

menyatakan bahwa lingkungan kerja penting untuk menciptakan keterikatan sosial

terhadap tempat kerja dan rekan kerja. Nature of works berupa sikap mental pekerja

terhadap pekerjaan yang dimilikinya merupakan salah satu indikator yang dapat

digunakan untuk mengukur kepuasan pada lingkungan kerja (Salunke, 2015).

Kepuasan pekerja terhadap lingkungan kerja muncul ketika pekerja memiliki

pengalaman menyenangkan sehubungan dengan pekerjaannya di lingkungan kerja

(Salunke, 2015). Adapun lingkungan kerja yang tidak menyenangkan akan

berpengaruh terhadap kinerja dari para pekerja yang notabene merupakan aset

terbesar perusahaan (Salunke, 2015).

Kepuasan kerja dari pekerja di industri jasa akan berdampak pada bagaimana

mereka menyampaikan pelayanan kepada konsumen (Dhermawan, Sudibya, &

Utama, 2012). Bersadarkan hasil penelitian Pangarso dan Ramadhyanti (2015)

34

lingkungan kerja non fisik memiliki pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja.

Adapun Bojadjiev, Petkovska, Misoska, & Stojanovska (2015) mendukung penelitian

Pangarso dan Ramadhyanti (2015) dengan menyatakan bahwa lingkungan kerja non

fisik memiliki pengaruh yang lebih signifikan jika dibandingkan dengan lingkungan

kerja fisik pada pekerja di industri jasa. Pengakuan, kesempatan untuk berkembang,

hubungan dengan atasan dan rekan kerja (relationship with supervisor and co-

workers), serta karakteristik pekerjaan itu sendiri (nature of works) menjadi faktor

dari lingkungan kerja non fisik yang mempengaruhi kepuasan kerja (Bojadjiev et al.,

2015). Hubungan pekerja dengan rekan kerja yang baik dimana perselisihan jarang

terjadi menyebabkan kepuasan pekerja akan lingkungan kerjanya meningkat. Adapun

pihak atasan yang kompeten dan memahami perasaan pekerja, serta memperlakukan

pekerja secara adil juga akan menciptakan kepuasan kerja terhadap lingkungan kerja

(Bojadjiev et al., 2015). Setelah mengetahui definisi lingkungan kerja dari sejumlah

penelitian, maka definisi lingkungan kerja yang digunakan pada penelitian ini adalah

lingkungan kerja baik fisik maupun non fisik merupakan faktor penting yang harus

diperhatikan perusahaan untuk mencapai komitmen organisasi dan kepuasan kerja

yang akan berdampak pada kinerja pekerja (Kurniasari dan Halim, 2013; Sukmawati,

2008; Wibowo, Musadieq, & Nurtjahjono, 2014).

2.1.2.2 Teori-Teori yang Melandasi Konsep Lingkungan Kerja

Teori Hierarchy of Needs oleh Maslow (1943) berkaitan dengan, pemenuhan

kebutuhan manusia seperti yang telah dijabarkan sebelumnya memotivasi seseorang

untuk melakukan suatu hal dalam rangka memenuhi kebutuhannya tersebut

35

(Sengupta, 2011). Adapaun two factor theory of motivation menurut Herzberg (1950)

berkembang berdasarkan motivasi untuk memenuhi kebutuhan pribadi, seperti yang

telah dijelaskan oleh Maslow (dalam Herzberg, 1974). Two factor theory menyatakan

dua faktor yang mempengaruhi motivasi kerja dalam rangka pemenuhan kebutuhan

seseorang (dalam Herzberg, 1974). Pertama adalah motivator factors atau faktor

motivasi yang terdiri dari sejumlah faktor yang menyebabkan pekerja merasa puas

dan ingin bekerja lebih baik. Nature of work merupakan bagian motivator factors

pada variabel lingkungan kerja. Kedua adalah hygiene factor yaitu faktor yang jika

tidak dipenuhi dapat memicu ketidakpuasan kerja dan penurunan motivasi. Adapun

yang termasuk ke dalam hygiene factors menurut Herzberg (1974) adalah kondisi

lingkungan kerja seperti hubungan sosial di lingkungan kerja baik dengan atasan

maupun dengan rekan kerja, serta kondisi operasional (Arnabile, Conti, Coon,

Lazenby, & Herron, 2003; Briner, 2000; Sengupta, 2011).

Lingkungan kerja yang mendukung akan meningkatkan motivasi dari para

pekerja yang berdampak pada kinerja mereka (Grahn, Ekhdal, & Borgquist, 2000).

Steers, Mowday, & Shapiro (2004) mendukung pernyataan Grahn et al. (2000)

dengan menyatakan bahwa teori lingkungan kerja merupakan pengembangan dari

teori motivasi, dimana lingkungan kerja akan menjadi determinan dari motivasi kerja.

Dobre (2013) menyatakan bahwa lingkungan kerja yang merupakan salah satu aspek

motivasi kerja akan mempengaruhi kinerja perusahaan, dimana motivasi dan

kepuasan kerja berdampak pada kinerja pekerja yang kemudian mempengaruhi

keseluruhan kinerja perusahaan. Lingkungan kerja merupakan bagian dari hygiene

factors dimana kondisi pekerjaan serta hubungan dengan rekan kerja dan atasan

36

merupakan faktor yang dapat memicu timbulnya ketidakpuasan kerja (Hong dan

Waheed, 2011).

2.1.2.3 Peranan Konsep Lingkungan Kerja Pada Konteks Freight

Forwarding

Pada penelitian Lang (2011) di industri logistik, menyebutkan bahwa

lingkungan kerja non fisik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan

kerja. Lingkungan kerja non fisik yang dimaksud adalah hubungan pekerja dengan

atasannya, dimana hubungan tersebut dinyatakan dalam bentuk dukungan dan umpan

balik. Atasan memberikan perhatian dan dukungan moral kepada pekerja, sehingga

pekerja akan merasa puas terhadap pekerjaannya (Lang, 2011). Adapun penelitian

yang dilakukan Indrawan dan Dewi (2014) di industri freight forwarding dan logistik

menyebutkan bahwa kondisi lingkungan kerja fisik yang mendukung juga menjadi

faktor penyebab meningkatnya kepuasan kerja pekerja. Pernyataan Lang (2011) serta

Indrawan dan Dewi (2014) didasarkan pada two factor theory of motivation oleh

Herzberg (1950) dimana lingkungan kerja sebagai bagian dari motivator-hygiene

factors mempengaruhi motivasi dari pekerja untuk melakukan tugasnya yang

kemudian berdampak pada kepuasan kerja (Dobre, 2013).

Buruh angkut atau pekerja blue-collar memiliki peran penting dalam proses

operasional di industri freight forwarding (Sasono, 2003). Adapun lingkungan kerja

para buruh umumnya identik dengan kondisi pekerjaan yang berat, dimana sejumlah

pekerjaan tersebut membutuhkan lebih banyak kemampuan otot jika dibandingkan

dengan kemampuan otak atau intelektual (Webster, Joynt, & Safalafala, 2016).

37

Lingkungan kerja buruh juga identik dengan hubungan yang sering bermasalah antara

buruh dengan atasannya, dimana perbedaan persepsi dan informasi yang diterima

menjadi akar permasalahan dan komunikasi berperan dalam menyelesaikan

permasalahan tersebut (Baskoro, 2014). Tidak hanya dalam hubungan buruh dengan

atasannya, permasalahan juga sering terjadi antar sesama buruh (Haidir, 2015).

Lingkungan kerja merupakan hal yang penting bagi buruh, dimana kondisi pekerjaan

yang berat dan hubungan sosial yang buruk di lingkungan kerja dapat menyebabkan

kepuasan kerja menurun yang kemudian berdampak pada penurunan produktivitas

(Indrawan dan Dewi, 2014). Berdasarkan penjabaran di atas, diduga bahwa

lingkungan kerja mempengaruhi kepuasan kerja di industri freight forwarding.

Adapun penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap

sehubungan dengan pengaruh lingkungan kerja, khususnya lingkungan kerja non fisik

terhadap kepuasan kerja di industri freight forwarding.

2.1.3 Konsep Kepuasan Kerja

2.1.3.1 Definisi Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja berupa perasaan senang saat melakukan pekerjaan yang

dipengaruhi oleh gaji dan pembagian tugas yang jelas, umumnya lebih tinggi pada

pekerja yang tinggal di pedesaan jika dibandingkan dengan mereka yang tinggal di

perkotaan (Fossum, 1974). Kepuasan kerja adalah perasaan senang ketika melakukan

suatu pekerjaan, yang menyebabkan pekerja bersemangat dalam melakukan

pekerjaanya yang kemudian berhubungan dengan kepuasan hidup (Near, Rice, &

Hunt, 1978). Pekerja yang tidak puas terhadap pekerjaanya cenderung memiliki

38

tingkat ketidakhadiran yang tinggi (Scott dan Taylor, 1985). Leigh (1986)

menambahkan bahwa pekerja yang tergabung dalam serikat buruh umumnya

memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan mereka

yang tidak tergabung dalam serikat, karena kepuasan terhadap kompensasi yang

diterima oleh pekerja serikat lebih baik.

Kepuasan kerja berhubungan dengan teori Herzberg (1950) yakni suatu

pekerjaan dilakukan berdasarkan motivasi kerja, yang kemudian motivasi tersebut

akan mempengaruhi kepuasan kerja (Adigun dan Stephenson, 1992). Gaji dan upah

sebagai bagian dari hygiene factors dalam teori Herzberg (1950) merupakan salah

satu faktor penting penentu kepuasan kerja, mengingat kompensasi yang memberikan

manfaat finansial seperti gaji dan upah dapat membantu meningkatkan kesejahteraan

hidup para pekerja (Gunawan, 2015). Adapun penghargaan dan kesempatan untuk

memperoleh promosi merupakan kompensasi non finansial yang menjadi bagian dari

motivator factors (Gunawan, 2015). Hubungan dengan atasan dan rekan kerja serta

kondisi operasional merupakan bagian dari hygiene factors pada lingkungan kerja

yang mempengaruhi kepuasan kerja (Pangarso dan Ramadhyanti, 2015). Nature of

works sebagai bagian dari motivator factors pada variabel lingkungan kerja juga

memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja (Bojadjiev et al., 2015). Adapun pada

pekerja operasional gudang, komunikasi menjadi salah satu faktor yang diperhatikan,

dimana respon terhadap komunikasi antar pihak ternyata mempengaruhi kepuasan

kerja (Autry dan Daugherty, 2003). Pemahaman pekerja terhadap tujuan perusahaan

dan tugas-tugasnya cenderung akan menciptakan kepuasan kerja bagi para pekerja

(Autry dan Daugherty, 2003). Pekerja yang merasa puas dengan pekerjaanya

39

cenderung memiliki sikap yang lebih baik jika dibandingkan dengan mereka yang

tidak, dimana kondisi lingkungan kerja merupakan salah satu faktor penentu

kepuasan kerja (Saari dan Judge, 2004).

Kepuasan kerja dapat meningkatkan kinerja dan mengurangi sejumlah

perilaku negatif dari pada pekerja (Morrison, 2008). Sebuah perusahaan dapat

dikatakan sukses dan berhasil ketika perusahaan tersebut mampu mencapai tujuannya

(Ionota, 2013). Barbosa dan Gomez (2015) menyatakan tujuan perusahaan

merupakan faktor penting yang perlu dicapai oleh setiap perusahaan untuk tetap

bertahan dalam persaingan industri. Aziz dan Samad (2016) kemudian menambahkan

ketika tujuan perusahaan tercapai, perusahaan akan mampu untuk memelihara

competitive advantage yang merupakan poin plus dari perusahaan tersebut. Adapun

setelah mengetahui definisi kepuasan kerja dan pentingnya kepuasan kerja bagi

perusahaan dan pekerja, maka definisi kepuasan kerja yang digunakan pada penelitian

ini yaitu kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam

meningkatkan kinerja dan poduktivitas pekerja guna mencapai tujuan perusahaan.

(Latif, Ahmad, & Qasim, 2013; Pancahanatam, 2014; Xiao dan Foerse, 2008).

2.1.3.2 Teori-Teori yang Melandasi Konsep Kepuasan Kerja

Salah satu teori yang melandasi konsep kepuasan kerja adalah Herzberg’s

Motivator-Hygiene Theory (dalam Adigun dan Stephenson, 1992). Teori Motivator-

Hygiene oleh Herzberg (1950) menganjurkan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan

merupakan bagian dari kelompok variabel yang berbeda yaitu motivators dan hygiene

factors (Teck-Hong dan Waheed, 2011). Hygiene factors atau yang disebut sumber

40

ketidakpuasan kerja dapat berupa kebijakan dan administrasi perusahaan, hubungan

dengan rekan kerja, keamanan, hubungan dengan atasan, gaji dan kondisi kerja.

Adapun motivator factors yang menjadi sumber kepuasan kerja yakni prestasi,

kemajuan, pekerjaan itu sendiri, pengakuan, dan potensi untuk berkembang.

Ketidakpuasan menurut Herzberg (1950) dihubungkan dengan kondisi di sekitar

pekerjaan (seperti kondisi kerja, upah, keamanan, dan hubungan dengan orang lain)

dan bukan dengan pekerjaan itu sendiri. Sebaliknya kepuasan kerja ditarik dari faktor

yang terkait dengan pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya seperti sifat

pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk

pengembangan diri dan pengakuan. Karena faktor ini berkaitan dengan tingkat

kepuasan kerja tinggi dinamakan motivators (dalam Teck-Hong dan Waheed, 2011).

Selain teori Motivator-Hygiene Herzberg terdapat juga teori keseimbangan atau

equity theory yang melandasi konsep kepuasan kerja (Ryan, 2016). Equity theory atau

teori keseimbangan (Adams, 1963) menyatakan kepuasan kerja terjadi pada tingkatan

dimana hasil pekerjaan diterima individu seperti diharapkan. Semakin banyak orang

menerima hasil, akan semakin puas dan sebaliknya. Kunci menuju kepuasan pada

teori ini adalah perbedaan antara aspek pekerjaan yang dimiliki dengan yang

diinginkan seseorang. Semakin besar perbedaan, semakin rendah kepuasan orang

(Ryan, 2016).

Motivator factors dan hygiene factors sebagai bagian dari two factors theory

Herzberg bersama-sama membentuk teori kepuasan kerja, yang kemudian

berkontribusi pada terbentuknya teori kinerja pekerja. Menurut Lawler dan Porter

(1967) kinerja pekerja adalah kunci dalam memperoleh kesuksesan yang dipengaruhi

41

oleh kepuasan kerja dan motivator kerja. Pengaruh sejumlah teori psikologis seperti

motivasi intrinsik (Deci dan Ryan, 1985) juga berkontribusi dalam terciptanya teori

kinerja pekerja. Kompensasi merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk

meningkatkan kinerja pekerja (Brown dan Peterson, 1994). Adapun Simamora (1997)

mengemukakan bahwa kinerja pekerja adalah tingkatan dimana para pekerja

mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan.

Pekerja yang puas dengan pekerjaan dan faktor kompensasi yang diberikan

perusahaan cenderung memiliki kinerja yang lebih baik jika dibandingkan dengan

mereka yang tidak puas (Ahmad, Ahmad, & Shah, 2010). Pada industri jasa,

kepuasan kerja yang mempengaruhi kinerja berperan penting dalam pembentukan

persepsi konsumen tentang organisasi (Salleh, Dzulkifli, Abdullah, dan Ariffin,

2011). Faktor motivasi yang berasal dari diri individu, keadilan organisasi, serta

kerterikatan batin dengan pekerjaan juga merupakan sejumlah faktor yang berdampak

langsung pada kepuasan kerja dimana hal ini akan mengarah pada kinerja pekerja

(Jankingthong dan Rukkhum, 2012). Kepuasan kerja tidak hanya berpengaruh

terhadap kinerja pekerja, tetapi juga sebaliknya bahwa kinerja pekerja akan

mempengaruhi kepuasan kerja. Pekerja yang melakukan pekerjaannya dengan sebaik-

baiknya cenderung akan merasa lebih puas terhadap pekerjaan jika dibandingkan

dengan mereka yang tidak (Judge, Bono, Thoresen, dan Patton, 2001).

42

2.1.3.3 Peranan Konsep Kepuasan Kerja Pada Konteks Freight

Forwarding

Joshua (2008) menyatakan bahwa kesempatan untuk berkembang, komunikasi

dan arus informasi mempengaruhi kepuasan kerja dari pekerja di industri freight

forwarding. Adapun dalam hasil penelitian Joshua (2008) kepuasan pekerja terhadap

komunikasi dan arus informasi di perusahaan freight forwarding umumnya masih

tergolong rendah, sehingga menyebabkan ketidakpuasan kerja. Indrawan dan Dewi

(2014) menambahkan bahwa kompensasi dan lingkungan kerja mempengaruhi

kepuasan kerja di industri freight forwarding baik secara parsial maupun simultan.

Segreevich (2015) mendukung pernyataan Indrawan dan Dewi (2014) dengan

menyebutkan bahwa pada industri freight forwarding, kompensasi merupakan salah

satu faktor penentu kepuasan kerja. Kompensasi pekerja yang berdampak pada

kepuasan kerja, dapat dikelompokan berdasarkan orientasi dan kebutuhan pekerja.

Pekerja di bidang jasa pengangkutan yang umumnya merupakan pekerja lepas,

memperoleh kepuasan kerja tidak hanya berdasarkan kompensasi finansial yang

diberikan. Pekerja di bidang jasa pengangkutan umumnya mengedepankan hubungan

sosial di lingkungan kerja sebagai salah satu bentuk kompensasi yang berperan

penting pada kepuasan kerja (Segreevich, 2015). Penelitian Joshua (2008), Indrawan

dan Dewi (2014), dan Segreevich (2015) mendukung teori Motivator-Hygiene

Herzberg (1950) yakni jika pekerja tidak merasa puas terhadap faktor-faktor seperti

gaji, lingkungan kerja, dan hubungan sosial yang terjalin melalui komunikasi maka

akan menyebabkan ketidakpuasan kerja. Equity theory atau teori keseimbangan juga

43

berhubungan dengan penelitian Segreevich (2015), dimana ketika pekerja telah

melakukan usaha untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tidak memperoleh

penghargaan sesuai dengan harapan mereka, maka tingkat kepuasan kerja akan

menurun.

Menurut Riyadi (2011) kompensasi finansial memberikan pengaruh terhadap

kepuasan kerja yang berdampak pada kinerja perusahaan. Nazir, Khan, Shah, &

Zaman (2013) menyatakan hal serupa dengan Riyadi (2011) yakni pemberian

penghargaan atau reward akan berdampak pada kepuasan kerja pekerja di suatu

perusahaan. Penyataan Nazir et al. (2013) didukung oleh hasil penelitian Yasa dan

Utama (2014) yang menyatakan bahwa penghargaan atau reward sebagai bagian dari

kompensasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja.

Adapun pada penelitian Lang (2011) di industri logistik, menyebutkan bahwa

lingkungan kerja non fisik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan

kerja. Hendri (2012) menambahkan, hubungan kerja dengan rekan kerja

mempengaruhi psikologis karyawan yang berdampak pada kepuasan kerja. Menurut

Jain dan Kaur (2014) lingkungan kerja adalah salah satu faktor yang mempengaruhi

kepuasan kerja. Banyaknya jumlah pekerjaan, tekanan kerja dan kelelahan merupakan

hal-hal yang meningkatkan ketidakpuasan kerja (Jain dan Kaur, 2014). Rizal (2012)

mendukung hasil penelitian di atas dengan menyatakan bahwa kompensasi dan

lingkungan kerja baik secara parsial maupun simultan mempengaruhi kepuasan kerja.

Hasil ini diperkuat oleh teori Motivator-Hygiene yang menyatakan bahwa

ketidakpuasan kerja dapat dihubungkan dengan kompensasi dan lingkungan kerja.

44

Kompensasi dan lingkungan kerja merupakan aspek yang menjadi bagian dari

motivators dan hygiene factors (Rizal, 2012).

Menurut Jofri dan Jofri (2011) penyampaian informasi tentang strategi

perusahaan melalui komunikasi berdampak pada kepuasan karyawan. Paripurna

(2013) mendukung pernyataan Jofri dan Jofri (2011) dengan menyatakan bahwa

kepuasan kerja dipengaruhi oleh komunikasi baik antara atasan dan bawahan maupun

komunikasi antar rekan kerja. Munir dan Rahman (2016) menambahkan, buruknya

komunikasi di lingkungan kerja berdampak signifikan pada ketidakpuasan kerja.

Kholid, Nurhardji, & Prajitiasari (2015) mendukung hasil penelitian di atas dengan

menyatakan bahwa komunikasi dan lingkungan kerja secara simultan berpengaruh

terhadap kepuasan kerja. Pekerja yang mampu memahami informasi dan

menyampaikan pendapatnya dengan tetap berpikir positif terhadap lawan bicaranya

memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Penyampaian informasi dengan cara yang

efektif dapat memberikan pengaruh positif terhadap kepuasan kerja (Kholid et al.,

2015).

Industri freight forwarding merupakan salah satu industri yang melibatkan

peran pekerja blue-collar atau buruh dalam kegiatan operasional perusahaan (Sasono,

2003). Kepuasan kerja dari para buruh sebagai motor penggerak pada proses

operasional perusahaan sangat penting karena dapat meningkatkan kinerja perusahaan

dan juga membantu mencapai tujuan perusahaan (Joshua, 2008). Namun, kepuasan

kerja di industri yang melibatkan pekerja blue-collar atau buruh umumnya masih

sangat rendah (Poggi, 2010). Hal ini karena buruknya tingkat pengupahan,

lingkungan kerja yang tidak mendukung, dan arus informasi yang tidak jelas tentang

45

hak-hak buruh (Baiquni, 2014). Ketidakpuasan kerja ini dapat mendorong para buruh

melakukan sejumlah tindakan negatif yang tidak hanya merugikan perusahaan tetapi

juga masyarakat luas (Fajerial, 2015). Berdasarkan penjabaran di atas tentang

pentingnya kepuasan kerja buruh, diduga bahwa kompensasi, lingkungan kerja, dan

komunikasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Penelitian ini dilakukan untuk

melengkapi sejumlah penelitian terdahulu, dengan memfokuskan pada kompensasi,

lingkungan kerja dan komunikasi sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan

kerja dari pekerja blue-collar atau buruh di industri freight forwarding.

2.2 Teori Komunikasi

Teori komunikasi merupakan salah satu teori penting dalam ilmu

pengetahuan. Adapun teori komunikasi klasik yang sangat penting bagi

perkembangan sejumlah teori komunikasi modern adalah teori informasi atau teori

matematis (Mathematical Theory of Communication) oleh Shannon dan Weaver

(1949). Teori Matematis menjelaskan mengenai sejumlah tahapan dan proses dalam

komunikasi. Adapun teori ini kemudian menjadi dasar dari sejumlah teori komunikasi

yang digunakan dalam penelitian ini.

2.2.1 Definisi Komunikasi

Komunikasi berfungsi untuk menyampaikan informasi atau pesan yang

kemudian dapat memberikan manfaat kepada penerima pesan tersebut (Stelzer &

Ceccio, 1984). Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat penting

dalam dunia bisnis, dimana komunikasi merupakan hal yang krusial untuk

46

menyampaikan informasi bisnis (Bennett & Olney, 1986). Komunikasi sangat

penting dalam konteks penyampaian pesan dari supervisor atau atasan kepada

bawahan (Kikoski, 1999).

Hasil penelitian Zhang dan Argawal (2009) menunjukan bahwa komunikasi

memiliki korelasi postif dengan output perusahaan. Ketika komunikasi berhasil

menyampaikan informasi yang dimaksud, hal ini akan mendorong terciptanya

peningkatan kinerja pekerja, komitmen organisasional terhadap perusahaan yang

semakin kuat, dan meningkatnya kepuasan kerja. Sebaliknya komunikasi yang tidak

berhasil menyampaikan informasi yang dimaksud, akan mendorong terjadinya

sejumlah hal tidak diinginkan seperti meningkatnya tingkat stress pekerja,

ketidakpuasan kerja¸ penurunan komitmen terhadap perusahaan, menurunnya

kepercayaan pekerja, meningkatnya ketidakhadiran pekerja, dan keinginan untuk

berhenti dari pekerjaan (Zhang dan Argawal, 2009). Komunikasi dalam perusahaan

merupakan penentu keberhasilan dalam pencapaian tujuan, dengan komunikasi akan

terjadi hubungan timbal balik antar pihak yang terlibat dalam perusahaan baik berupa

perintah, saran, pendapat maupun kritik (Endang, 2010). Adapun variabel komunikasi

dapat diukur dengan tingkat pemahaman pekerja terhadap tugas dan tujuan organisasi

serta melalui sikap dan tindakan sebagai respon dari proses komunikasi tersebut.

Ketika informasi yang diterima, dipahami dan diwujudnyatakan melalui perubahan

sikap dan tindakan sesuai dengan harapan pengirim pesan, maka komunikasi tersebut

dapat dinyatakan berhasil (Endang, 2010). Menurut Turkalj dan Fosic (2014)

komunikasi sangat penting karena membantu perusahaan untuk menyampaikan

strategi bisnis kepada pihak internal —dalam hal ini melibatkan komunikasi antara

47

atasan dan bawahan serta komunikasi di antara pekerja— untuk memenangkan

persaingan industri. Turkalj dan Fosic (2014) mengidentifikasi variabel komunikasi

dengan pemahaman pekerja, yang mencakup pemahaman tentang keadaan dan tujuan

yang ingin dicapai oleh perusahaan, serta hak-hak dan kewajiban mereka. Kesuksesan

proses komunikasi juga dapat diidentifikasi melalui terciptanya hubungan yang

semakin baik diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi (Turkalj

dan Fosic, 2014)

Komunikasi memiliki peranan penting dalam pekerjaan yang melibatkan

interaksi antara atasan dan bawahan di suatu perusahaan, dimana variabel komunikasi

tersebut dapat diukur melalui hubungan interaksi antara pekerja dan atasan yang ada

pada suatu perusahaan (Grover, 2005). Komunikasi dapat meningkatkan kinerja

atasan dan bawahan (Yamaguchi, 2005). Cetin, Karabay, & Efe (2012)

menambahkan keberhasilan proses komunikasi akan sangat membantu dalam

kelancaran proses manajemen, termasuk koordinasi terhadap informasi, proses

pengambilan keputusan, kontrol dan supervisi. Cetin et al. (2012) menilai bahwa

komunikasi dalam suatu perusahaan dapat dikatakan berhasil ketika pihak pekerja

mampu menangkap maksud dan tujuan perusahaan yang kemudian dapat dipenuhinya

melalui tindakan dan pelaksanaan sejumlah tugas.

Komunikasi dalam industri jasa sangat berpengaruh pada persepsi konsumen

terhadap citra perusahaan (Jain, Sethi, & Mukherji, 2009). Poctor (2014)

menambahkan dalam industri jasa ketika perusahaan memberikan informasi dan

pekerja mampu memahami dengan jelas informasi tersebut, kemudian memberikan

umpan balik dan umpan balik dari pekerja tersebut dijadikan masukan oleh atasan,

48

tingkat kepuasan pekerja akan naik karena merasa turut berpartisipasi dalam

kesuksesan perusahaan. Zulkepli, Hasnan & Mothar (2015) mendukung penelitian

Jain et al. (2009) dan Poctor (2014) dengan menyatakan bahwa komunikasi dalam

industri jasa sangat penting karena kepuasan konsumen di indusri jasa tergantung

pada bagaimana perusahaan mampu menyampaikan jasa, yang tentunya didukung

dengan komunikasi yang baik dari internal perusahaan.

Menurut Flood dan Ramammorthy (2004) komunikasi dengan pekerja blue-

collar umumnya dilakukan dengan kata-kata yang lebih mudah dipahami. Istilah

blue-collar menurut Business Dictionary adalah ―Employees whose job entails

(largely or entirely) physical labor, such as in a factory or workshop.” Pekerja yang

melakukan pekerjaan dengan menggunakan tenaga fisik, seperti di pabrik atau loka

karya (―Blue-Collar,‖ 2016). Adapun dari Business Dictionary¸ white collar adalah

“Relating to the work done or the people who work in an office or other professional

environment.” Pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang bekerja di kantor atau di

lingkungan profesional lainnya (―White-Collar,‖ 2016). Lucas (2011) mendukung

hasil penelitian Flood dan Ramammorthy (2004) dengan menyatakan bahwa pekerja

blue-collar umumnya memiliki kemampuan berkomunikasi yang kurang jika

dibandingkan dengan pekerja white-collar. Ors (2014) menambahkan cara

mengkomunikasikan informasi pada pekerja blue-collar dan white-collar berbeda,

karena white-collar merupakan hasil transisi dari blue-collar. Adapun setelah

mengetahui definisi tentang komunikasi dari sejumlah penelitian, maka pengertian

komunikasi dalam penelitian ini yakni bahwa komunikasi terjadi ketika pemberi

pesan (sender) menyalurkan informasi kepada penerima pesan (reciever) kemudian

49

informasi tersebut diproses dan berhasil dipahami oleh reciever yang diwujudkan

dengan pemberian umpan balik kepada sender (Arquero, Polvillo, Hassall, & Joyce,

2015; Chatterje dan Kulakli, 2015; Mardianto, 2014).

2.2.2 Teori-Teori yang Melandasi Konsep Komunikasi

Teori komunikasi klasik yang sangat mempengaruhi perkembangan teori-teori

komunikasi selanjutnya adalah teori informasi atau teori matematis (Mathematical

Theory of Communication). Teori matematis merupakan bentuk penjabaran dari karya

Shannon dan Weaver (1949). Teori ini melihat komunikasi sebagai fenomena

mekanistis, matematis, dan informatif dimana komunikasi sebagai transmisi pesan

dan bagaimana transmitter menggunakan saluran dan media komunikasi. Pada teori

ini terdapat tahap encoding dan decoding sebagai bagian dari proses penyampaian

informasi. Mathematical Theory of Communication menekankan pada akurasi dan

efektivitas penyampaian pesan. Proses yang dimaksud adalah bagaimana pengirim

pesan mampu menyampaikan informasi kepada penerima pesan, dan informasi

tersebut mampu ditangkap dan diwujudnyatakan melalui tindakan yang sesuai dengan

harapan pengirim pesan. Adapun jika penerima pesan tidak memahami dan

memberikan respon yang tidak sesuai dengan harapan pengirim pesan, maka

komunikasi dapat dikatakan gagal (Min-Hsiu dan Wilde, 2010).

Myers dan Myers (1992) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal antar

individu baik secara langsung maupun tidak langsung dikatakan sukses jika informasi

yang dimaksudkan oleh pemberi pesan berhasil dipahami oleh penerima pesan,

sehingga tercipta pemahaman yang sama antar pemberi dan penerima pesan (dalam

50

DeKay, 2012). Komunikasi interpersonal merupakan transaksi informasi antar

individu dengan lingkungan sekitarnya yang menjadi penentu keberhasilan sebuah

organisasi (DeKay, 2012).

2.2.3 Peranan Konsep Komunikasi Pada Konteks Freight

Forwarding

Menurut hasil penelitian Joshua (2008) tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi kepuasan kerja di perusahaan freight forwarder, komunikasi menjadi

salah satu faktor penentu kepuasan kerja. Saat pekerja tidak mampu memahami hak

dan kewajibannya, mereka akan merasa bingung terhadap pekerjaan yang berdampak

pada menurunnya kepuasan kerja (Joshua, 2008). Muhammad, Sabaar, Hasan, Fiah,

& Nor (2013) mendukung hasil penelitian Joshua (2008) dengan menyatakan bahwa

komunikasi merupakan salah satu elemen yang berperan penting dalam kelancaran

proses operasional di perusahaan freight forwarder. Samapaty (2015) menambahkan

komunikasi berperan dalam proses implementasi strategi, pengelolaan dan

pengembangan di perusahaan freight forwarding.

Pernyataan Joshua (2008) berhubungan dengan teori komunikasi interpersonal

Myers & Myers (1992) yakni ketika pihak yang terlibat dalam komunikasi yaitu

pekerja dan perusahaan memiliki pemahaman yang sama mengenai hak dan

kewajiban, dimana hak dan kewajiban tersebut kemudian dilaksanakan maka akan

berdampak pada kepuasan kerja. Pekerja yang memiliki informasi dan paham tentang

hak-hak dan kewajibannya cenderung memiliki kepuasan kerja yang lebih baik jika

dibandingkan dengan mereka yang tidak (Joshua, 2008). Adapun pernyataan

51

Muhammad et al. (2013) dan Samapaty (2015) didasarkan pada teori Shanon dan

Weaver (1949) yakni ketika proses penyampaian informasi berhasil dalam hal ini

dilakukan oleh atasan, penerima pesan (bawahan) akan mampu mewujudnyatakan

pemahamannya dalam bentuk sikap dan tindakan yang diharapkan oleh pemberi

pesan. Komunikasi yang berhasil juga akan menyebabkan hubungan diantara pihak-

pihak yang terlibat, dalam hal ini adalah perusahaan dan pekerja menjadi semakin

baik (Chin dan Liu, 2015). Adapun komunikasi yang tidak berhasil dapat memicu

terjadinya konflik di lingkungan kerja baik antara atasan dan buruh maupun antar

sesama buruh yang kemudian berdampak pada kepuasan kerja (Chin dan Liu, 2015).

Komunikasi berperan penting pada proses penyampaian informasi dari atasan

kepada buruh atau pekerja blue-collar di industri freight forwarding untuk menjamin

terciptanya kelancaran proses operasional perusahaan (Joshua, 2008). Namun,

komunikasi di lingkungan kerja yang melibatkan buruh sebagai ―ujung tombak‖

perusahaan umumnya identik dengan citra negatif, dimana berbagai permasalahan

yang muncul sebagian besar disebabkan oleh kegagalan komunikasi (Ferreira, 2006).

Hambatan dalam proses komunikasi yang melibatkan atasan dan buruh ini muncul

sebagai akibat dari perbedaan tingkat pendidikan kedua pihak, dimana hal ini

berdampak pada metode komunikasi, penggunaan bahasa dan daya tangkap terhadap

informasi (Ferreira, 2006). Kesuksesan proses komunikasi berperan penting pada

kelancaran operasional suatu organisasi (Muhammad et al., 2013).

Berdasarkan penjabaran di atas, diduga bahwa komunikasi mempengaruhi

kepuasan kerja dari para pekerja blue-collar atau buruh angkut di industri freight

forwarding. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap

52

tentang pengaruh komunikasi pada pekerja blue-collar di industri freight forwarding.

Penelitian ini juga dilakukan mengingat minimnya jumlah penelitian tentang

pengaruh komunikasi terhadap kepuasan kerja di industri freight forwarding. Adapun

penelitian terakhir tentang variabel komunikasi terhadap kepuasan kerja di industri

freight forwarding dilakukan pada tahun 2008 yang lalu, dimana hasil penelitian

tersebut tentu membutuhkan pembaharuan.

2.3 Konteks Industri

2.3.1 Industri Freight Forwarding

Perusahaan jasa angkutan berperan penting dalam menunjang kegiatan

distribusi komoditi baik untuk dalam dan luar negeri (Kumar, 2011). Freight

forwarder merupakan salah satu pihak yang berperan dalam rantai pasok global

(Ford, 2014). Perusahaan freight forwarding memiliki pengaruh terhadap sektor

perdagangan dan distribusi komiditi antar negara di seluruh dunia (Rajasekar dan

Prabhakar, 2015). Freight forwarder sebagai perusahaan yang bergerak dalam

industri freight forwarding bertugas untuk mengantarkan satu barang atas nama pihak

lain, dengan menggunakan jalur udara, laut, dan darat sebagai sarana untuk

menyampaikan barang dalam rangka memenuhi layanan yang telah dijanjikan (Ibis

World, 2016). Pada Ibis World (2016) perusahaan bertanggung jawab untuk seluruh

proses transportasi sesuai perjanjian yang ditentukan dalam kontrak. Adapun industri

freight forwarding sendiri secara singkat dapat dikelompokan menjadi tiga kategori,

yakni

53

1. Air freight cargo (Internasional, Domestik, Charter dan Courier Service)

2. Sea Freight Cargo (Internasional, Domestik, Break bulk, dan Konsolidasi

kargo),

3. Trucking, Railway ( Kereta Api), Bongkar Muat, dan lain-lain.

Berdasarkan tiga kategori dalam industri freight forwarding, pengiriman

internasional sea freight menyumbang kontribusi terbsesar yakni 90% dari total

perdagangan dunia (ICS, 2015). Kontribusi ini diikuti dengan peningkatan jumlah

permintaan jasa sea freight (World Ocean Overview, 2015). Berdasarkan penelitian

yang dilakukan beberapa ekonom seperti yang dilansir World Ocean Review (2015)

menyebutkan peningkatan jumlah pendapatan rumah tangga memicu pembelian

barang, dimana hal ini berpengaruh terhadap jumlah permintaan jasa sea freight.

Peningkatan jumlah permintaan terhadap jasa sea freight dapat dilihat pada Gambar

2.2. Jumlah permintaan akan jasa sea freight terus mengalami peningkatan sejak

tahun 1980 hingga 2009, dimana oil tankers dan bulk carriers masih mendominasi

perdagangan.

54

Adapun melihat potensi dan menyadari peranan industri freight forwading

yang sangat penting, sejumlah penelitian tentang industri freight forwarding pun terus

dikembangkan hingga pada topik tentang kepuasan kerja dari para pekerja (Joshua,

2008). Kepuasan kerja di industri freight forwarding dipengaruhi oleh faktor

kompensasi, lingkungan kerja, dan komunikasi (Joshua, 2008; Lang, 2011; Lesal,

2015). Joshua (2008) menjabarkan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

kepuasan kerja di industri freight forwarder, dimana komunikasi menjadi salah satu

faktor penentu kepuasan kerja. Kegagalan dalam proses komunikasi menyebabkan

kepuasan kerja menurun. Saat pekerja tidak memiliki informasi tentang tujuan

perusahaan dan tanggung jawab yang dimilikinya serta tidak mampu untuk

memahami instruksi yang diberikan, maka kepuasan kerja akan menurun (Joshua,

2008). Adapun pada penelitian Lang (2011) di industri freight forwarding,

menyebutkan bahwa lingkungan kerja non fisik memiliki pengaruh yang signifikan

Sumber: World Ocean Review (2015)

Gambar 2.2 – Total Sea Freight Transportation Tahun 1980 -2009

55

terhadap kepuasan kerja. Lingkungan kerja non fisik yang dimaksud adalah support

dan umpan balik yang diberikan. Perhatian dan dukungan moral yang diberikan oleh

atasan akan meningkatkan kepuasan kerja (Lang, 2011). Penelitian Hamdan dan

Setiawan (2014) menyatakan bahwa kompensasi baik finansial dan non finansial

mempengaruhi kepuasan kerja yang dapat menjadi pemicu peningkatan atau

penurunan kualitas kerja dari para pekerja. Kepuasan kerja penting di industri freight

forwarding, dimana perusahaan perlu memelihara kepuasan kerja dari para pekerja

pada tingkat tertinggi guna membantu mencapai tujuan perusahaan (Raziq dan

Maulabaksh, 2015).

2.3.2 Pentingnya Industri Freight Forwarding di Indonesia

Freight forwarding merupakan industri yang tidak hanya menjadi arsitek

dalam pendistribusian komoditi tetapi juga sekaligus menjadi pihak yang terlibat

dalam membantu pemerintah untuk mempromosikan produk Indonesia ke luar negeri

(Rahman, 2004). Adapun peranan freight forwarding sebagai sarana penghubung dan

penunjang distribusi barang komoditi ke seluruh wilayah Indonesia dapat dilihat pada

Gambar 2.3. Pada Gambar 2.3 tampak peranan industri freight forwarding khususnya

sea freight dalam menghubungkan pulau-pulau di Indonesia melalui jalur utama

penghubung laut (main sea corridor).

56

Freight forwarding sebagai salah satu sektor kunci dalam industri transportasi

dan pergudangan, pada tahun 2014 menyumbang sebesar US$ 33,34Miliar terhadap

PDB Indonesia dengan mencatat peringkat ke 53 pada logistic performance index dan

LPI score sebesar 3,08 (LPI, 2014). Adapun berdasarkan data APTRINDO Supply

Chain Indonesia, tren logistik Indonesia naik seiring dengan jalannya program

Masyarakat Ekonomi Asean 2015. Asumsi potensi pasar logistik Indonesia

diperkirakan pada tahun 2015 mencapai angka US$ 247,74Miliar (ALFI, 2014).

Gambar 2.3 – Peran Sea Freight Sebagai Penghubung Nusantara

Sumber: IPC (2012)

57

Potensi pasar yang cukup besar ini, sangat penting bagi perkembangan ekonomi

Indonesia, khususnya pada industri freight forwarding dimana hal ini akan membuka

peluang bagi sejumlah pihak yang telah dan ingin berkecimpung dalam industri

freight forwarding (ALFI, 2014). Adapun industri freight forwarding di Indonesia

merupakan salah satu industri jasa yang terus tumbuh dan berkembang. Meskipun

pertumbuhannya industri freight forwarding di Indonesia diperkirakan berjalan

dengan lambat (dari 3% selama 5 tahun terakhir menjadi sekitar 1.5%), laju ini akan

tetapi melebihi laju GDP global, sebuah situasi yang baik mengingat keadaan

ekonomi masa kini (Knigge, 2015). Adapun berdasarkan data Forwarder dan

Ekspedisi Indonesia (ILFA, 2011) hingga tahun 2011 tidak kurang terdapat 3000

lebih perusahaan freight forwarding berskala internasional dan lokal yang tergabung

dalam organisasi ini.

Sea freight sebagai bagian dari industri freight forwarding memiliki peran

penting dalam mendistribusikan barang ke berbagai pelosok Indonesia (Knigge,

2015). Sea freight merupakan tol laut yang berfungsi menjembatani proses

pengiriman rail freight ataupun road freight. Kapabilitas daya jangkauan yang luas,

mendukung sea freight untuk melaksanakan fungsi perannya sebagai tol laut. Adapun

di Indonesia, peran sea freight dalam pendistribusian barang-barang komoditi dapat

dilihat pada Gambar 2.4. Pada Gambar 2.4 tampak Indonesia yang dibagi ke dalam

tiga wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). ALKI merupakan alur

pelayaran yang dapat dimanfaatkan oleh kapal untuk melaksanakan pelayaran dalam

rangka pendistribusian barang. Melalui ketentuan jalur ALKI yang dapat dilalui, sea

58

freight kemudian menjadi tol laut yang menghubungkan pendistribusian barang antar

pulau di Indonesia.

Kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan peran

penting angkutan laut menyebabkan volume perdagangan terus meningkat yang

kemudian berdampak pada kebutuhan akan perusahaan jasa angkutan khususnya

melalui jalur laut mengalami peningkatan (Padmuji dan Achmadi, 2012). Adapun

peranan sea freight dalam pendistribusian barang seperti yang tampak pada Gambar

Sumber: IPC (2016) Gambar 2.4 – Jalur Transportasi Sea Freight Indonesia

59

2.4 diuraikan secara lebih jelas melalui data jumlah bongkar muat barang antar pulau

dan luar negeri yang dapat dilihat pada pada Tabel 2.1

Pada Tabel 2.1 tampak jumlah bongkar muat barang baik untuk antar pulau

maupun untuk luar negeri terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 jumlah

bongkar muat barang untuk perdagangan domestik mencapai angka 404.161 ton

dengan rincian jumlah muat sebesar 182.486 ton dan bongkar sebesar 221.675 ton.

Adapun pada tahun 2014 total bongkar muat untuk antar pulau mencapai angka

710.345 ton dengan rincian jumlah muat sebanyak 328.743 ton dan jumlah bongkar

sebanyak 381.602 ton. Adapun selisih antara jumlah bongkar muat untuk tahun 2010

hingga 2014 untuk transportasi antar pulau mencapai angka 306.184 ton atau

meningkat sebesar 76% sejak tahun 2010.

Tabel 2.1 Jumlah Bongkar Muat Barang Antar Pulau dan Luar Negeri di

Pelabuhan Indonesia tahun 2010 – 2014 (dalam Ton)

Tahun Muat Bongkar

Antar Pulau Luar Negeri Antar Pulau Luar Negeri

2010 182.486 233.222 221.675 65.641

2011 238.940 376.652 284.292 78.836

2012 312.599 488.264 327.715 69.645

2013 303.881 510.699 336.063 89.512

2014 328.743 417.155 381.602 100.570

Sumber: BPS (2016)

60

Pelabuhan Tanjung Priok sebagai salah satu pelabuhan utama di Indonesia

mengalami dampak dari peningkatan volume perdagangan (ALFI, 2014). Gambar 2.5

menunjukan kenaikan jumlah arus kargo pada tahun 2012 dan 2013 sebagai dampak

dari peningkatan volume perdagangan. Pada tahun 2012 terjadi kenaikan arus kargo

hingga 6,21Miliar unit ekuivalen dua puluh kaki (teu). Peningkatan ini terus berlanjut

hingga tahun 2013 dimana arus kargo mencapai angka 6,4Miliar unit ekuivalen dua

puluh kaki (teu). Adapun peningkatan yang terjadi pada tahun 2012 dan 2013

melebihi kapasitas pelabuhan Tanjung Priok yang hanya mampu menampung

sebanyak 5Miliar unit ekuivalen dua puluh kaki(teu).

Sumber: ALFI (2014)

Gambar 2.5 – Unit Ekuivalen Dua Puluh Kaki (teu) di Pelabuhan Tanjung Priok

Capacity

Container Traffic

61

Kelebihan kapasitas yang dialami pelabuhan Tanjung Priok menunjukan

besarnya kebutuhan masyarakat terhadap jasa angkutan laut atau sea freight

(Adhiyakso dan Hadi, 2012). Presiden Joko Widodo menyadari besarnya kebutuhan

masyarakat Indonesia terhadap jasa angkutan laut dan pentingnya transportasi laut

sebagai salah satu sarana pendistribusian komoditi (Presiden RI, ). Didasarkan pada

kesadaran tersebut, Presiden Joko Widodo mencanangkan program pembangunan

ekonomi maritim Indonesia. Salah satu yang menjadi perhatian Presiden Joko

Widodo adalah sektor logistik sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 2.6. Pada

Gambar 2.6 tampak bahwa salah satu target pembangunan Presiden Joko Widodo

adalah konektivitas antar wilayah di Indonesia melalui sektor transportasi.

Sumber: Ben Line Agencies (2014)

Gambar 2.6 – Target Pembangunan Periode Pemerintahan Presiden Joko Widodo

dan Wakil Presiden Jusuf Kalla

62

Presiden Joko Widodo dalam gagasan program Lima Poros Maritim Nasional

melalui tol laut, berfokus pada pembangunan dan pengembangan lima pelabuhan

utama di Indonesia yakni pelabuhan Belawan/ Kuala Tanjung, pelabuhan Tanjung

Priok, pelabuhan Tanjung Perak, pebuhan Makassar dan pelabuhan Bitung (Fajrah,

2016). Adapun pelabuhan feeder atau pelabuhan transit juga menjadi perhatian

Presiden Joko Widodo yang mencakup 19 pelabuhan yakni Pelabuhan Sabang,

Pekanbaru, Batam, Jambi, Palembang, Panjang, Tanjung Emas, Pontianak,

Banjarmasin, Balikpapan, Samarinda/Palaran, Kupang, Pantoloan, Ternate,

BauBau/Kendari, Sorong, Ambon, Jayapura, dan Merauke (Fajirah, 2016).

Pentingnya peranan angkutan laut di Indonesia dalam pendistribusian barang

dan pembangunan sektor ekonomi maritim harus diikuti dengan peningkatan kualitas

layanan (Gunawan, 2015). Adapun peningkatan kualitas layanan umumnya

dipengaruhi oleh kepuasan kerja dari para pekerja di industri freight forwarding,

dimana peran buruh angkut sangat mendominasi dalam industri ini. Buruh sebagai

―ujung tombak‖ perusahaan freight forwarding merupakan komponen krusial dalam

penyampaian layanan kepada konsumen, dimana hal ini akan mempengaruhi citra

perusahaan (Gunawan, 2015). Para pekerja dalam industri freight forwarding

umumnya didominasi oleh para buruh angkut yang berperan penting dalam

penyampaian jasa kepada konsumen (Samapaty, 2015). Oleh karena itu kepuasan

kerja para buruh angkut sangat penting dalam industri freight forwarding untuk

menjamin pekerja memberikan kualitas layanan yang optimal kepada konsumen

(Gunawan, 2015).

63

2.3.3 Peranan Buruh Angkut (Blue-Collar) di Industri Freight

Forwarding

Buruh angkut atau pekerja blue-collar memiliki peran yang sangat penting di

industri freight forwarding (Samapaty, 2015). Buruh memainkan peranan yang

penting dalam pembentukan citra perusahaan melalui penyampaian layanan kepada

konsumen (Gunawan, 2015). Buruh yang tidak memperoleh kepuasan kerja

cenderung untuk melakukan berbagai tindakan negatif (Fajerial, 2015).

Buruh atau pekerja blue-collar identik dengan tingkat pendidikan yang

rendah, upah minim, dan pilihan pekerjaan yang terbatas (Carless, Fewings-Hall,

Hall, Hay, Hemsworth, & Coleman, 2007). Buruh atau pekerja blue-collar juga

identik dengan pekerja yang berketerampilan rendah (Hellerstein, Neumark, &

Troske, 2010). Buruknya fasilitas, tingkat pengupahan, lingkungan sekitar tempat

kerja dan arus informasi dengan pihak manajemen perusahaan menyebabkan

kepuasan kerja para buruh di industri freight forwarding masih sangat rendah (Poggi,

2010). Persepsi kompensasi sangat penting bagi para buruh di industri freight

forwarding karena merupakan sumber utama mata pencaharian mereka untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Kapeliushnikov, 2015). Namun pemberian

upah yang minim berpotensi untuk menimbulkan ketidakpuasan kerja, yang besar

pengaruhnya pada aktivitas perusahaan freight forwarding mengingat pentingnya

peranan buruh (Syarifudin, 2016). Lingkungan kerja yang melibatkan para buruh di

industri freight forwarding juga identik dengan kondisi pekerjaan yang berat dan

hubungan sosial buruk, baik antar sesama buruh maupun antara pihak buruh dan

64

perusahaan (Baskoro, 2014; Haidir, 2015). Lingkungan kerja yang buruk ini

cenderung berdampak pada penurunan kepuasan kerja (Dawal dan Taha, 2015).

Adapun faktor komunikasi berperan dalam menciptakan kepuasan kerja dari para

buruh di industri freight forwarding (Joshua, 2008). Namun sering kali komunikasi

yang melibatkan para buruh tidak berjalan dengan efektif sehingga memicu

ketidakpuasan kerja (Ferreira, 2006). Berbagai permasalahan muncul dalam proses

komunikasi antara para buruh dan pihak perusahaan yang disebabkan oleh perbedaan

interpretasi. Perbedaan interpretasi merupakan akibat dari ketidaksesuaian

penggunaan metode komunikasi dan bahasa terhadap daya tangkap sejumlah pihak

(Ferreira, 2006). Permasalahan yang muncul sebagai akibat kegagalan komunikasi

akan berdampak pada kepuasan kerja dari para buruh di industri freight forwarding

(Muhammad et al., 2013).

Ketidakpuasan kerja akan mendorong buruh melakukan sejumlah tindakan

negatif seperti demonstrasi, mogok kerja, pencurian, dan berbagai tindakan lainya

yang tidak hanya merugikan perusahaan tetapi juga masyarakat luas (Fajerial, 2015;

Trio, 2016; Tanjung, 2016). Kepuasan kerja buruh sangat penting, karena disamping

efek negatif yang ditimbulkan ketika kepuasan kerja itu tidak terpenuhi, perusahaan

yang berhasil menjaga kepuasan kerja dari para pekerjanya pada tingkat yang

tertinggi akan memperoleh dampak positif (Biziukov, 2012). Dampak positif yang

dimaksud adalah ketika pekerja merasa puas dengan pekerjaannya, maka kinerja

perusahaan akan meningkat sebagai dampak dari peningkatan kinerja pekerja

(Shooshtarian, Ameli, & Aminilari, 2013).

65

2.4 Hubungan Antar Variabel dan Hipotesis Penelitian

2.4.1 Kompensasi dan Kepuasan Kerja

Kompensasi merupakan hal penting yang menjadi perhatian pekerja ketika

memutuskan untuk bekerja di suatu perusahaan (Barbosa et al., 2014). Adapun

demikian, kompensasi dapat dibagi ke dalam dua kategori, yakni kompensasi yang

memberikan manfaat finansial dan non finansial (Aswathappa, 2007). Kompensasi

yang memberikan manfaat finansial seperti gaji, bonus, insentif dan tunjangan dapat

membantu pekerja untuk memenuhi kebutuhan fisiologis mereka (Sopiah, 2013).

Adapun kompensasi yang memberikan manfaat non finansial seperti penghargaan,

peluang untuk berkembang dan suasana kerja yang nyaman akan memenuhi

kebutuhan pekerja sehubungan dengan interaksi sosial (Sopiah, 2013).

Pemberian kompensasi yang mampu memenuhi kebutuhan pekerja akan

menciptakan kepuasan kerja (Salisu et al., 2015). Sejumlah faktor seperti pay, fringe

benefit, promotion dan reward merupakan bagian dari variabel kompensasi yang

berperan dalam menentukan kepuasan kerja di industri jasa (Muguongo et al., 2015).

Adapun di industri freight forwarding, pemberian kompensasi yang layak oleh

perusahaan akan menjadi faktor pemicu meningkatnya kepuasan kerja dari para buruh

angkut (Gunawan, 2015). Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, maka

ditetapkan hipotesis satu, yakni:

H1: Terdapat pengaruh kompensasi terhadap kepuasan kerja dari para buruh angkut di

industri freight forwarding.

66

2.4.2 Lingkungan Kerja dan Kepuasan Kerja

Lingkungan kerja merupakan faktor penting yang harus diperhatikan

perusahaan untuk mencapai kepuasan kerja (Kurniasari dan Halim, 2013).

Lingkungan kerja dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu lingkungan kerja fisik dan

lingkungan kerja non fisik (Rahmawati et al., 2012). Lingkungan kerja fisik

mencakup keadaan yang dapat dirasakan oleh pekerja secara langsung, sedangkan

lingkungan kerja non fisik adalah cerminan hubungan antar pihak dalam suatu

organisasi (Rahmawati et al., 2012).

Lingkungan kerja yang nyaman dan mampu membangun perasaan positif

akan menciptakan kepuasan kerja (Salunke, 2015). Sejumlah faktor seperti hubungan

dengan atasan dan rekan kerja (relationship with supervisor and co-workers), kondisi

pekerjaan (operating conditions), dan sikap mental pekerja terhadap pekerjaan itu

sendiri (nature of works) merupakan bagian dari variabel lingkungan kerja yang

menentukan kepuasan kerja di industri jasa (Raziq dan Maulabaksh, 2015). Adapun

di industri freight forwarding, buruknya hubungan sosial yang melibatkan para buruh

angkut akan menyebabkan penurunan kepuasan kerja (Baskoro, 2014; Haidir, 2015).

Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, maka ditetapkan hipotesis dua, yakni:

H2: Terdapat pengaruh lingkungan kerja terhadap kepuasan kerja dari para buruh

angkut di industri freight forwarding.

2.4.3 Komunikasi dan Kepuasan Kerja

Komunikasi merupakan proses untuk menyampaikan informasi yang dimiliki

dari pemberi pesan kepada penerima pesan (Mardianto, 2014). Komunikasi memiliki

67

korelasi positif dengan output perusahaan, dimana ketika informasi yang disampaikan

berhasil dipahami dan diwujud nyatakan dalam bentuk sikap serta tindakan yang

diharapkan, hal ini akan mendorong peningkatan kinerja dan kepuasan kerja (Zhang

dan Argawal, 2009). Komunikasi juga dapat diidentifikasi melalui hubungan yang

semakin baik antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi (Chin dan

Liu, 2015).

Pemahaman terhadap tugas individu dan tujuan perusahaan merupakan hal

yang dapat mengidentifikasi variabel komunikasi (Turkalj dan Fosic, 2014). Adapun

di industri freight forwarding, proses komunikasi yang melibatkan pekerja blue collar

umumnya sering menemui hambatan sebagai akibat dari perbedaan tingkat

pendidikan (Muhammad et al., 2013). Hambatan dalam komunikasi ini menyebabkan

penurunan kepuasan kerja, mengingat komunikasi merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi kepuasan kerja buruh angkut di industri freight forwarding (Joshua,

2008). Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, maka ditetapkan hipotesis tiga,

yakni:

H3: Terdapat pengaruh komunikasi terhadap kepuasan kerja dari para buruh angkut di

industri freight forwarding.

2.4.4 Kompensasi, Lingkungan Kerja, dan Komunikasi dengan

Kepuasan Kerja

Kompensasi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan fisiologis berpengaruh

terhadap kepuasan kerja (Salisu et al., 2015). Adapun hubungan sosial di lingkungan

kerja, baik dengan atasan maupun rekan kerja, serta kondisi operasional perusahaan

68

juga dapat mempengaruhi kepuasan kerja (Pangarso dan Ramadhyanti, 2015).

Komunikasi di lingkungan kerja merupakan faktor penting, karena respon sebagai

akibat dari proses komunikasi ternyata mempengaruhi kepuasan kerja (Turkalj dan

Fosic, 2014).

Kompensasi di industri freight forwarding merupakan salah satu faktor yang

dapat memicu meningkatnya kepuasan kerja, mengingat kompensasi finansial

membantu pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Gunawan, 2015).

Adapun di industri freight forwarding lingkungan kerja non fisik memiliki pengaruh

signifikan terhadap kepuasan kerja dari para buruh angkut (Lang, 2011). Banyaknya

jumlah pekerjaan, tekanan kerja dan kelelahan merupakan bagian dari variabel

lingkungan kerja yang meningkatkan ketidakpuasan kerja (Jain dan Kaur, 2014).

Penyampaian informasi di industri freight forwarding yang masih menemui sejumlah

hambatan juga menyebabkan menurunnya kepuasan kerja para buruh angkut (Joshua,

2008). Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, maka ditetapkan hipotesis

empat, yakni:

H4: Terdapat pengaruh kompensasi, lingkungan kerja dan komunikasi terhadap

kepuasan kerja dari para buruh angkut di industri freight forwarding.